- Home »
- Undang-Undang »
- 1951 » Undang-Undang Perubahan Dan Tambahan Undang-undang Lalu-lintas Jalan (wegverkeersordonnantie, Staatsblad 1933 No. 86) (UU 7 thn 1951)
1951
Undang-Undang Perubahan Dan Tambahan Undang-undang Lalu-lintas Jalan (wegverkeersordonnantie, Staatsblad 1933 No. 86) (UU 7 thn 1951)
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1951
TENTANG
PERUBAHAN DAN TAMBAHAN UNDANG-UNDANG LALU-LINTAS JALAN
(WEGVERKEERSORDONNANTIE, STAATSBLAD 1933 NO. 86)
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk menyesuaikan aturan-aturan yang ditetapkan
dengan atau berdasarkan Undang-undang Lalu-lintas Jalan
(Wegverkeersordonnantie, Staatsblad 1933 No. 68) dengan
Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia supaya
aturan-aturan ini dapat terjamin pelaksanaannya secara
praktis, perlu diadakan perubahan dan tambahan dalam
Undang- undang Lalu-Lintas Jalan yang telah diubah beberapa
kali, terakhir dengan Staatsblad 1940 No. 72;
Mengingat : pasal 89, 142, dan 143 Undang-undang Dasar Sementara
Republik Indonesia;
Dengan persetujuan : Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
Memutuskan
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN DAN TAMBAHAN
UNDANG-UNDANG LALU-LINTAS JALAN
(WEGVERKEERSORDONANTIE, STAATSBLAD 1933 No. 86).
Pasal 1.
"Undang-undang Lalu-Lintas Jalan" (Staatsblad 1933 No. 86) sebagaimana
Undang-undang itu telah diubah dan ditambah, terakhir dengan Undang-undang
tanggal 1 Maret 1940 (Staatsblad 1940 No. 72) diubah dan ditambah lagi sebagai
berikut :
Pasal 1 ayat (1) dibawah 8 harus dibaca :
8.daerah-daerah otonom : daerah-daerah yang disebut dalam pasal 131
Undang-undang Dasar Sementara (Undang- undang No. 7 tahun 1950, Lembaran
Negara 1950 No. 56).
Pasal 5ayat (2)harus dibaca :
(2) Seraya mengingat penetapan dalam ayat (1) dan aturan-aturan yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, maka dengan atau berdasarkan
keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat ditentukan untuk
beberapa jalan kecepatan-kecepatan-maksimum yang berlaku untuk
semua atau beberapa jenis kendaraan.
ayat (4) harus dibaca :
(4) Penetapan-penetapan yang disebut dalam ayat (2) dan (3) diumumkan di
Lembaran Propinsi.
Pasal 8ayat (2) harus dibaca :
(2) Nomor dan huruf atas permohonan diberikan kepada pemilik-pemilik atau
pemegang-pemegang kendaraan bermotor oleh Kepala Kepolisian
Keresidenan, di dalam wilayah kekuasaan siapa kendaraan-bermotor itu
biasanya berada.
Jika sesuatu kendaraan-bermotor biasanya berada dalam lebih dari satu
wilayah-kekuasaan yang disebut tadi, maka sebagai tempat biasa harus
dianggap wilayah-kekuasaan di dalam mana tempat kediaman pimpinan harian
perusahaan itu berada.
Dalam pasal II di bawah b, "daerah-pemerintahan" harus dibaca : "wilayah-
kekuasaan".
Dalam pasal 14 ayat (1) ditiadakan anak-kalimat yang berikut :
", atau, jika ini tidak ada, dengan aturan-aturan atau peraturan peraturan
Kepolisian seperti disebut dalam pasal 129 Tata Negara Indonesia".
Pasal 14 ayat (3) ditiadakan.
Pasal 16 ayat (2) harus dibaca :
ayat (2) Keterangan-keterangan mengemudi diberikan oleh Kepala Kepolisian
Keresidenan.
Pasal 25 ayat (3) ditiadakan.
Dalam pasal 25 ayat (4) kata-kata " mengenai tugas jawatan pemeriksaan"
ditambah dan harus dibaca :
"mengenai susunan dan tugas jawatan pemeriksaan".
Pasal 25 ayat (5) ditiadakan.
Dalam pasal 27 ditiadakan anak-kalimat yang berikut :
", atau, jika ini tidak ada, dengan aturan peraturan Kepolisian seperti disebut
di pasal 129 Tata Negara Indonesia".
Dalam pasal 30 ayat (1) ditiadakan anak-kalimat :
", atau, jika ini tidak ada, digubernemen Yogyakarta dan Surakarta dengan
penetapan gubernur dan di tempat dengan penetapan residen".
Pasal 30 ayat (2) harus dibaca :
(2) Penetapan-penetapan yang disebut dalam ayat (1) diumumkan di Lembaran
Propinsi.
Dalam pasal 31 ayat (1) sebagai pengganti "ayat-ayat (2) dan (2a)" harus dibaca:
"ayat (2)".
Pasal 31 ayat (2) harus dibaca (2) Izin yang disebut dalam ayat pertamaan
diberikan :
a. untuk trayek-trayek dalam kota oleh atau atas nama Dewan Perwakilan
Rakyat Kota;
b. untuk semua trayek-trayek yang lain oleh Menteri Perhubungan setelah
berunding dengan Gubernur yang bersangkutan.
Pasal 31 ayat-ayat (2a) dan (3) ditiadakan.
Pasal 32 ayat (6) harus dibaca :
(6) Izin yang disebut dalam pasal 31 ayat (1) itu tidak diwajibkan untuk
pengangkutan yang akan dilakukan hanya sekali atau jarang kali saja.
Dalam hal ini dilarang mempergunakan otobis untuk
pengangkutan/penumpang ataupun menyuruh atau membiarkannya
dipergunakan untuk itu, jika tidak mempunyai izin istimewa dari Inspektur
Lalu-lintas dalam wilayah-kekuasaan siapa kendaraan bermotor itu
biasanya berada.
Jika kendaraan bermotor itu biasanya berada dalam lebih dari satu wilayah
kekuasaan yang disebut tadi, maka izin itu diberikan oleh Inspektur Lalu-lintas
dalam wilayah kekuasaan siapa tempat kediaman pimpinan harian perusahaan
itu berada.
Inspektur-inspektur Lalu-lintas berkuasa memberikan izin untuk trayek yang
diminta seluruhnya, juga jika trayek ini melewati batas wilayah-kekuasaan
mereka.
Terhadap penolakan izin, maka dalam waktu 30 hari sesudah pemberitahuan
hal ini disampaikan kepada pemohon, dapat diminta bandingan Gubernur dan
beliaulah yang memberikan izin itu, jika permintaan-bandingan ini dianggap
beralasan.
Pasal 32 ayat (7) ditiadakan.
Pasal 37ayat (4) harus dibaca.
(4) Terhadap keputusan tentang pemberian, penolakan atau pencabutan
sesuatu izin, ataupun tentang perubahan aturan jalan atau biaya
pengangkutan yang ditetapkan dengan izin yang disebut dalam pasal 31
ayat (1), orang yang berkepentingan dapat minta bandingan dalam waktu
tiga puluh hari setelah keputusan yang bersangkutan itu diumumkan :
a. kepada Menteri Perhubungan, jika keputusan ini diambil oleh atau atas
nama Dewan Perwakilan Rakyat Kota;
b. kepada Dewan Menteri, jika keputusan ini diambil oleh Menteri
Perhubungan.
Dalam pasal 40 ayat (1) ditiadakan anak-kalimat :
"ataupun Gubernur yang bersangkutan".
Pasal 40 ayat (4) harus dibaca :
(4) Izin yang disebut dalam ayat pertama tidak diwajibkan untuk pengangkutan
yang dilakukan sekali atau jarang kali saja. Dalam hal ini dilarang
mengangkut barang dengan kendaraan-bermotor ataupun menyuruh atau
membiarkan mengangkutnya dengan tak mempunyai izin istimewa dari
Inspektur Lalu-lintas, dalam wilayah-kekuasaan siapa kendaraan bermotor
itu biasa berada.
Jika kendaraan-bermotor itu biasanya berada dilebih dari satu wilayah-
kekuasaan yang disebut tadi, maka izin itu diberikan oleh Inspektur Lalu-Lintas
dalam wilayah kekuasaan siapa tempat kediaman pimpinan harian perusahaan
itu berada.
Inspektur-inspektur Lalu-Lintas berkuasa memberikan izin untuk trayek yang
diminta seluruhnya, juga jika trayek ini meliwati batas wilayah-kekuasaan
mereka.
Terhadap penolakan izin, dalam waktu 30 hari sesudah pemberitahuan hal ini
disampaikan kepada pemohon, dapat minta bandingan Gubernur dan beliaulah
yang memberikan izin itu, jika permintaan-bandingan ini dianggap beralasan.
Pasal 43 ayat (7) harus dibaca :
(7) Terhadap penolakan permohonan izin yang disebut dalam pasal ini, yang
berkepentingan dapat minta bandingan Dewan Menteri, dalam waktu 30
hari sesudah keputusan yang bersangkutan diumumkan.
Pasal 54 ayat (4) di bawah a. ditambah dan harus dibaca
a. menjalankan segala kebijaksanaan, jika perlu dengan memakai kekerasan,
supaya tuntutan-tuntutan, perintah- perintah dan petunjuk-petunjuknya
sebagai termaksud dalam ayat di muka ini, diturut;
Pasal 54 ayat (5) kata : "di Jawa dan Madura Bupati dan di tempat lain Kepala
Pemerintahan setempat" diganti dengan kata "Kepala Kejaksaan".
Pasal 55 ayat (3) harus dibaca :
(3) Jikalau pengemudi sesuatu kendaraan melakukan salah satu perbuatan
yang terancam dengan hukuman di dalam atau berdasarkan Undang-
undang ini, ataupun melanggar salah satu pasal 359, 360, 406, 409, 410
atau 492 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang sebagai hukuman
tambahan melarangnya mengemudikan beberapa jenis kendaraan, dalam
keadaan yang demikian beberapa jenis kendaraan, dalam keadaan yang
sedemikian, sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk
membicarakannya seterusnya sebagai pengemudi kendaraan yang
semacam itu dijalan, maka oleh Kepala Kejaksaan dapat disita
keterangan mengemudi yang telah diberikan kepadanya atau tanda-
penerimaan yang disebutkan dalam ayat (2), sampai perbuatan ini diadili
dengan keputusan-hakim yang tak dapat diubah lagi, atau sampai saat
penetapan bahwa tidak akan diadakan lagi tuntutan-hukuman. Dalam hal
ini tidak diberikan tanda-penerimaan yang disebut dalam ayat (2) itu.
Dalam pasal 56 ayat-ayat (1) dan (2) kata-kata "Gubernur Jenderal dan/atau
Kepala-kepala Departemen" diganti dengan kata "Menteri".
Dalam pasal 57 ayat (2) kata-kata "Gubernur Jenderal" diganti dengan kata :
"Presiden".
Pasal II.
Selama dalam pasal I dari Undang-undang ini tidak ada penetapan lain maka
dalam "Undang-undang Lalu-lintas Jalan" sebagai pengganti :
a. "Gubernur Jenderal" ; "Direktur Perhubungan dan Perairan" harus dibaca :
"Menteri Perhubungan";
b. "Direktur Pemerintahan Dalam Negeri" harus dibaca "Menteri Dalam Negeri";
c. "Regeringsverordening" harus dibaca "Peraturan-Pemerintah;
d. "Javase Courant" harus dibaca "Berita Negara".
Pasal III.
Jika di dalam aturan-aturan yang ditetapkan dengan atau berdasarkan atas
"Undang-undang Lalu-Lintas Jalan" disebut :
a. "propinsi", "dewan propinsi", "dewan harian propinsi" (College van
Gedeputeerden) dan "gubernur", maka dimaksudkan pula dengan itu
berturut-turut :
"Daerah Istimewa Yogyakarta", sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-
undang nomor 3 dan 19 tahun 1950 dari Republik Indonesia (Negara-Bagian
dahulu), serta badan-badan pemerintahan daerah itu yang bersamaan;
b. "stadsgemeente" dan "gemeente", maka dengan itu dimaksudkan kota-kota
seperti yang dimaksudkan di dalam pasal-pasal 121 dan 123 Tata Negara
Indonesia serta "kota-besar" dan "kota-kecil" seperti yang dimaksudkan
dalam Undang-undang No. 22 tahun 1948 dari Republik Indonesia (Negara-
Bagian dahulu).
Pasal IV.
Pengumuman di Lembaran-lembaran Propinsi atau Lembaran-lembaran Kota
yang diharuskan menurut atau berdasarkan "Undang-undang Lalu-lintas Jalan"
itu, di tempat-tempat yang belum ada penerbitan Lembaran-lembaran
demikian, dilakukan di dalam "Berita Negara".
Pasal V.
Di mana dalam atau berdasar Undang-undang ini ada ketentuan ketentuan yang
mengakui hak utama berdasarkan hak sejarah, maka ketentuan ketentuan itu
ditiadakan.
Pasal VI.
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1951.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 30 Juni 1951.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEKARNO
MENTERI PERHUBUNGAN
DJUANDA
Diundangkan
pada tanggal 9 Juli 1951.
MENTERI KEHAKIMAN a.i.,
M.A PELLAUPESSY
PENJELASAN UNDANG UNDANG NO 7 TAHUN 1950
TENTANG
PERUBAHAN DAN TAMBAHAN UNDANG-UNDANG LALU-LINTAS JALAN
(WEGVERKEERSORDONNANTIE, STAATSBLAD 1933 NO. 86)
PENJELASAN UMUM.
Undang-undang Lalu-lintas Jalan, yang berlaku pada 27 Desember 1949, masih
tetap berlaku sesudah penyerahan kedaulatan menurut pasal 192 "Undang-
undang Dasar Republik Indonesia Serikat, pun sesudah penjelmaan Negara-
Kesatuan pada 17 Agustus 1950 tetap berlaku menurut pasal 142 "Undang-
undang Dasar Sementara".
Undang-undang Lalu-lintas Jalan tersebut yang bersifat modern dan yang telah
ternyata berguna dipraktek, untuk beberapa waktu tetap dapat berlaku dengan
syah, dipandang dari sudut hukum madi (materieel recht). Pemerintah tidak
dapat menyangkal, bahwa peninjauan kembali aturan-aturan mengenai
ekonomi Lalu-lintas Jalan yang terdapat di dalam perundang-undangan ini
sangat perlu untuk menyesuaikannya dengan pendirian-pendirian Umum
Pemerintah yang mengenai politik lalu-lintas dan ekonomi pengangkutan,
tetapi perobahan yang demikian belum lagi dapat dikemukakan, oleh karena
masalah koordinasi-pengangkutan yang serba sulit itu memerlukan penyelidikan
yang saksama yang akan memakan jangka waktu yang agak
lama. Tetapi peraturan-peraturan yang bersangkutan dengan Undang undang
yang berlaku sekarang mempunyai banyak kelonggaran (elasticiteit), sehingga
ketika melaksanakannya Pemerintah tidak terikat kepada politik Pemerintah
dahulu, dan dapat mewujudkan pendirian-pendiriannya sementara mengenai
hal itu. Sudah tentu hal ini akan dilakukan secara sangat berhati-hati, selama
Pemerintah belum menentukan pendiriannya sampai garis-garis kecil mengenai
politik yang akan dijalankan. Dapat dikatakan, bahwa sebagai tujuan yang
terutama sewaktu menjalankan aturan-aturan tentang pengangkutan, ialah
pembangunan alat-pengangkutan nasional yang dibentuk dari perusahaan-
perusahaan pengangkutan yang sebagian besar bersifat kebangsaan.
Pemerintah telah senantiasa berusaha ke arah ini. Pada aturan-aturan
penyelenggaraan Undang-undang Lalu-lintas Jalan yang juga akan mendapat
peninjauan dan perbaikan-sementara, akan segera pula dimasukkan aturan-
aturan untuk memperpesatkan penjelmaan tujuan ini.
Selain dari itu untuk sementara Pemerintah berpendapat tidak akan
mengadakan perubahan Undang-undang Lalu-lintas Jalan yang prinsipieel,
sebelum lembaga-lembaga-negara sudah kokoh dan alat-pemerintahan sampai
ke seluruh cabang-cabangnya telah mengembangkan usahanya seluas-luasnya,
sehingga dapat dijalankan politik-lalu-lintas yang baru dengan berhasil baik.
Organisasi jawatan-jawatan yang diberi tugas untuk menjalankan dan
mengawasi pelaksanaan Undang-undang Lalu-lintas ini, telah disusun dengan
sungguh-sungguh. Tetapi pendidikan pegawai-pegawai ahli, walaupun untuk
sementara waktu tidak sesempurna yang dikehendaki, sudah tentu
menghendaki waktu juga.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang disebut tadi maka perubahan
yang diusulkan sekarang hanya bersifat hukum-zahari (formeel recht) saja.
Tetapi perubahan-perubahan ini sangat perlu untuk menjamin pelaksanaan
Undang-undang Lalu-lintas Jalan secara praktis. Menurut Undang-undang itu
masih ada badan-badan pemerintahan yang diberikan kekuasaan-eksekutip,
yang sekarang tidak ada lagi, seperti "Gubernur Jenderal", "Residen", "Asisten-
residen", "Kepala Pemerintahan setempat" dan "Magistrat". Walaupun seringkali
telah nyata, kepada penjabat-penjabat mana dalam suasana baru ini harus
diberikan kekuasaan-kekuasaan yang ada pada badan-badan pemerintahan tadi,
tetapi masih perlu hal ini diperkuat dengan Undang-undang, juga mengenai
beberapa hal, yang tidak segera dapat dinyatakan badan mana yang ada
sekarang ini harus menerima kekuasaan itu.
Penunjukkan badan-badan-eksekutip bersifat sementara dalam beberapa hal,
dan harus dianggap sebagai tindakan-peralihan.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.
Pasal 1.
Ayat(1) sub 8. Dari definisi "daerah-daerah otonoom" (Openbare
gemenschappen) harus ditiadakan penunjukan ke "Tata-Negara
Indonesia" yang dahulu, yang antara lain juga menyebut "daerah-daerah
golongan" (groepsgemeenschappen) yang sekarang tidak ada lagi. Lihat
juga pasal III.
Pasal 5.
Ayat(2). Dari penetapan ini harus dibuang sebagai badan pemerintahan
eksekutip gubernur-gubernur Gubernemen Yogyakarta dan Surakarta,
dan residen-residen.
Ayat(4). Penetapan yang ada sekarang mengharuskan pengumuman
keputusan-keputusan mengenai penetapan kecepatan-kecepatan
maksimum di Lembaran Propinsi, atau Berita Negara. Jika Lembaran-
lembaran Propinsi sudah dikeluarkan di mana-mana, maka tidak perlu
lagi dilakukan pengumuman di Berita Negara. Lihat selanjutnya pasal II
sub d dan pasal IV.
Pasal 8 ayat (2), 11 sub b dan 16 ayat (2).
Tanda nomor dan keterangan-mengemudi dikeluarkan oleh para residen.
Dipraktek kewajiban ini selalu ditugaskan dan diserahkan seluruhnya kepada
Polisi Umum. Bagaimana juga kedudukan Pamong Praja terhadap Polisi akan
diatur kelak, tidak ada keberatan, jika segera ditetapkan dengan Undang-
undang kekuasaan polisi dalam melaksanakan Undang-undang Lalu-lintas
mengenai soal ini, sebab pengawasan lalu-lintas sebenarya adalah bagian yang
penting dari tugas-polisi dan dengan sendirinya hal ini harus seterusnya
dipercayakan kepada Jawatan Polisi Umum.
Oleh karena organisasi Polisi Umum sambil menunggu diadakan pembagian-
ketata-negaraan yang pasti (pembagian propinsi dalam kabupaten-kabupaten)-
masih berdasarkan pembagian-pemerintahan dalam keresidenan, maka sebagai
akibatnya yang tak dapat dielakkan lagi, ialah, bahwa buat sementara waktu,
pengluaran tanda-nomor dan keterangan-mengemudi harus tetap dilakukan
secara keresidenan demi keresidenan.
Pasal 14.
Ayat(1). Aturan-aturan dan peraturan-peraturan Polisi yang disebut
dalam pasal 129 Tata-Negara Indonesia tidak ada lagi pada susunan baru
ini. Ayat(3). Menurut penetapan ini Gubernur Jenderal dapat sementara
membatalkan aturan mengenai kewajiban memberi -nomor pada
kendaraan-kendaraan tak bermotor untuk daerah-daerah yang
mempunyai lalu-lintas-kendaraan yang belum luas. Kekuasaan ini tidak
dipergunakan lagi pada tahun-tahun terakhir sebelum perang.
Pasal 25.
Ayat-ayat (3) dan (4). Dalam ayat (3) pemeriksaan-kendaraan-motor
diserahkan kepada, selain dari Jawatan-Pemeriksaan-Propinsi, juga
kepada Jawatan Pemeriksaan Daerah, daerah golongan dan keresidenan,
serta juga kepada Jawatan Pemeriksaan Daerah Perkebunan.
Untuk sementara jawatan-jawatan pemeriksaan itu sekarang diatur dari
pusat dengan peraturan pemerintah. Hal ini dapat dilakukan berdasarkan
ayat (4).
Ayat (5). Menurut penetapan ini Gubernur Jenderal mempunyai
kekuasaan membebaskan kewajiban pemeriksaan kendaraan motor untuk
daerah-daerah yang mempunyai lalu lintas kendaraan motor yang belum
luas.
Oleh karena hal demikian dianggap bertentangan dengan keamanan,
maka penetapan ini sudah lama sebelum perang tidak dijalankan lagi.
Pasal 27.
Lihat penjelasan atas pasal 14 ayat (1).
Pasal 30.
Ayat (1). Lihat penjelasan atas pasal 5 ayat (2).
Ayat (2). Lihat penjelasan atas pasal 5 ayat (4).
Pasal 31.
Ayat-ayat (1), (2) dan (2a). Oleh karena Pemerintah pemerintah Propinsi
belum semua tersusun, dan inspeksi-inspeksi yang akan diberbantukan
kepada Pemerintah itu belum semua berjalan, maka kekuasaan (hak)
untuk memberikan izin untuk dines otobis umum tetap dipegang Menteri
Perhubungan : hal ini adalah tindakan peralihan. Lagi pula sekarang ini
pembangunan soal otobis ini sangat perlu diurus dari pusat, sebab
perkara ini menghendaki keahlian khusus dan sewaktu
mempertimbangkan permintaan izin ini harus diadakan ukuran-ukuran
umum. Selanjutnya sewaktu membangun alat pengangkutan otobis itu
harus dipergunakan dasar-dasar koordinasi dan ekonomi lalu-lintas yang
tertentu, yang belum lagi dikerjakan sampai garis-garis kecil, sehingga
belum dapat diumumkan; dan berhubung dengan itulah maka kekuasaan
untuk memberikan izin otobis tersebut tidak segera dapat diserahkan
kepada Pemerintah-pemerintah daerah.
Pasal 32.
Ayat (6). Izin sekali-sekali (incidenteel) untuk menjalankan otobis umum
menurut aturan-aturan yang ada sekarang, diberikan oleh asisten-
residen, atau Kepala Pemerintah setempat. Dipraktek ternyata,
pembesar-pembesar pemerintah ini tidak mempunyai pemandangan yang
cukup dalam perkara ini. Kekuasaan ini diserahkan kepada pegawai-
pegawai Pamong Praja, sebab belum perang hanya di Jawa dan Madura
saja diadakan Inspeksi Lalu-lintas. Oleh karena sekarang ini di tiap-tiap
Propinsi diadakan atau akan diadakan inspeksi lalu-lintas, maka dengan
sendirinya jawatan yang ahli ini ditugaskan untuk melaksanakan aturan
itu.
Ayat (7). Lihat penjelasan atas pasal 14 ayat (3).
Pasal 37.
Ayat (4). Terhadap keputusan-keputusan Direktur Perhubungan dan
Pengairan, diberi kesempatan untuk meminta perbandingan kepada
Gubernur Jenderal. Walaupun Menteri Perhubungan sekarang berlainan
pertanggungjawabnya kepada Parlemen dari pada Direktur Perhubungan
dan Perairan yang dahulu mengenai pimpinannya dalam soal lalu-lintas,
tetapi buat sementara masih dianggap perlu diadakan instansi yang lebih
tinggi kepada siapa orang dapat meminta perbandingan mengenai
keputusan-keputusannya; dalam suasana yang baru sekarang Dewan
Menteri yang dianggap tepat untuk memberikan putusan dalam
perbandingan itu.
Pasal 40.
Ayat (1). Dengan Gubernur dimaksudkan di sini Gubernur gubernur
Sumatera, Kalimantan dan Timur Besar dahulu.
Ayat (4). Lihat penjelasan atas pasal 32 ayat (6).
Pasal 43.
Ayat (7). Lihat penjelasan atas pasal 37 ayat (4).
Pasal 54.
Ayat (4) di bawah a. Meskipun sudah selayaknya, masih dianggap perlu
supaya ditetapkan, bahwa pegawai kepolisian sebelum memakai
kekerasan, menjalankan segala kebijaksanaan dalam menuntut supaya
perintah dan petunjuknya diturut.
Ayat (5). Penetapan ini mengatur pengawalan kendaraan yang telah
dipakai sewaktu melakukan pelanggaran. Dengan sendirinya kekuasaan
(hak) untuk mengeluarkan perintah yang demikian harus diberikan
kepada Parket.
Pasal 55.
Ayat (3). Aturan ini dahulu memberikan kekuasaan kepada Jaksa Umum
dan kepada Asisten-residen, Kepala Pemerintahan setempat dan
Magistrat menyita keterangan-keterangan mengemudi kepunyaan
seorang pengemudi kendaraan yang bermuat sesuatu pelanggaran lalu-
lintas dalam keadaan yang sedemikian, sehingga tak dapat
dipertanggung jawabkan untuk membolehkannya lagi berada di jalan
sebagai pengemudi kendaraan yang serupa itu. Juga kekuasaan ini
semata-mata harus berada pada pegawai penuntut, yaitu Parket.
Pasal 56.
Ayat-ayat (1) dan (2). Pasal ini menguraikan pembentukan Panitya Lalu-
lintas dan menyebutkan pembesar-pembesar yang akan diberikan
nasehat-nasehat oleh Panitya ini.
Pasal 57.
Ayat (2). Aturan ini menerangkan bahwa Gubernur Jenderal berkuasa
dalam hal-hal istimewa memberikan kelonggaran (dispensasi) dari
aturan-aturan yang ditetapkan dengan atau berdasarkan Undang-undang
Lalu-lintas Jalan. Kekuasaan yang maha penting ini harus berada di
tangan Kepala Negara.
Pasal II.
sub a. Hanya dalam satu hal, yakni, dalam hal yang disebut di pasal 57 ayat (2)
kekuasaan Gubernur-Jenderal dahulu berpindah kepada Presiden. Jika diselidiki
lebih lanjut maka ternyata, bahwa segala kekuasaan-kekuasaan Gubernur-
Jenderal yang lain adalah mengenai soal-soal yang diselenggarakan dengan
pertanggung-jawaban Menteri, oleh sebab itu kekuasaan-kekuasaan ini harus
diserahkan kepada Menteri Perhubungan.
Segala kekuasaan-kekuasaan Direktur Perhubungan dan Perairan yang dahulu
dengan sendirinya berpindah ke Menteri Perhubungan.
sub b, c dan d. Aturan-aturan ini tak perlu dijelaskan lagi. Lihat selanjutnya
pasal IV.
Pasal III.
sub a. Menurut Undang-undang Republik Indonesia (Negara Bagian dahulu) No. 3
dan 19 tahun 1950 mengenai pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta,
Daerah ini sederajat dengan propinsi sebagai daerah otonoom.
Untuk menghindarkan perlunya mengubah puluhan pasal, yang menyebutkan
propinsi atau badan-badannya, maka sesuai dengan Undang-undang yang
termaksud, di sini ditetapkan, bahwa tentang pelaksanaan perundang-undangan
lalu-lintas jalan, Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai hak-hak yang
bersamaan dengan Pemerintah Propinsi.
sub b. Baik daerah-daerah kota di daerah-daerah R.I.S. yang dahulu, maupun
kota-besar dan kota-kecil di daerah R.I. (Negara Bagian dahulu) harus diberikan
tugas pada pelaksanaan perundang-undangan lalu-lintas jalan.
Pasal IV.
Selama lembaran-lembaran propinsi dan kota belum diterbitkan, peraturan-
peraturan dan keputusan-keputusan daerah-otonoom, yang melaksanakan
perundang-undangan lalu-lintas jalan harus diumumkan dengan cara lain.
Berita Negara ialah penerbitan yang selayaknya untuk ini.
Pasal V.
Dalam Undang-undang Lalu-lintas Jalan adalah beberapa jenis peraturan yang
memperkenankan hak utama kepada pengusaha-pengusaha pengangkutan
umum untuk memperoleh izin pengangkutan penumpang dan barang dan yang
waktu berlakunya izinnya telah lampau (lihatlah pasal-pasal 32 ayat 5 dan 41
ayat (5) Undang-undang Lalu-lintas Jalan).
Hasrat ini yang terang, untuk mempertahankan sesuatu yang telah berada, atau
dengan kata lain : untuk melindungi hak sejarah (historisch recht), merintangi
pembina peralatan pengangkutan yang nasional, maka tidak sesuai lagi dengan
perimbangan-perimbangan yang telah diubah.
Berhubung dengan itu, maka Undang-undang Lalu-lintas Jalan perlu ditambah
dengan suatu pasal umum untuk menyampingkan pengakuan hak sejarah itu
dan demikianlah instansi yang berhak memberikan izin-izin dapat bertindak
dengan bebas untuk memperkenankan izin-izin pengangkutan penumpang dan
barang kepada pengusaha-pengusaha, yang dalam suasana dewasa ini
selayaknya harus diberikan izin itu.
Silahkan download versi PDF nya sbb:
perubahan_tambahan__lalulintas_jalan_(wegverkeers_7.pdf
Pencarian Terbaru
Pasal 129 lalu lintas. Mengapa harus diadakan peraturan lalu lintas. Undang undang lalu lintas sebelum amandemen. Wegverkeersordonantie. Pasal 129 peraturan lalu linytas. Mengapa peraturan perundang undangan perlu diadakan perubahan. Perubahan amandemen uu lalu lintas.
Pasal 14 ayat 1 sebelum dan sesudah amandemen. Pelanggaran lalu lintas pasal 129. Pasal lalu lintas yang harus di amandemen. Isi pasal 86 tentang lalulintas. Bunyi undang undang kepolisian pasal 86. Undang undang pelanggaran lantas yang sudah di amandemen. Undang undang lalu lintas perubahan model.
Pasal 31 ayat 1 sampai dgn 5 tahun sementara 1950. Arti wegverkeersordonantie. Pasal 30 uu lalulintas. Uu lalin nomer 3 pasal 27. Pasal 30 ayat 4 tentang lalu lintas. Uu 86.






