- Home »
- Undang-Undang »
- 1951 » Undang-Undang Perubahan "rechtenordonnantie" (staatsblad 1882 No. 240 Jo. Staatsblad 1931 No. 47) (UU 14 thn 1951)
1951
Undang-Undang Perubahan "rechtenordonnantie" (staatsblad 1882 No. 240 Jo. Staatsblad 1931 No. 47) (UU 14 thn 1951)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1951 Tentang Perubahan "rechtenordonnantie" (staatsblad 1882 No. 240 Jo. Staatsblad 1931 No. 47) :
Silahkan download versi PDF nya sbb:
perubahan_rechtenordonnantie_(staatsblad_1882_no_14.pdf
UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 1951
TENTANG
PERUBAHAN "RECHTENORDONNANTIE" (STAATSBLAD 1882 NO. 240
JO. STAATSBLAD 1931 NO. 47)
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa ternyata sangat meninjau kembali untuk mengubah
"Rechtenor donnantie" dalam jangka pendek;
b. bahwa karena keadaan-keadaan yang mendesak, perubahan
tersebut di atas itu perlu segera diadakan;
Mengingat : pasal 96 dan pasal 117 Undang-undang Dasar Sementara
Republik Indonesia;
Memutuskan :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG DARURAT TENTANG PERUBAHAN
"RECHTENORDONNANTIE" (STAATSBLAD 1882 No. 240 JO
STAATSBLAD 1931 No. 471).
Pasal I.
Naskah yang lengkap dan baru dari Ordonansi 1 Oktober 1882 (Staatsblad No.
240) sebagai semula telah diubah dan ditambah, terakhir dengan ordonansi
tanggal 21 Pebruari 1948 (Staatsblad No. 43), yang dilampirkan pada Ordonansi
tanggal 26 Nopember 1931 (Staatsblad No. 471), diubah dan ditambah lagi
sebagai berikut :
A.
Ayat kedua pasal 2a dibaca sebagai berikut :
"Memuatkan barang-barang untuk diangkut melalui lautan di tempat-tempat,
dimana syarat-syarat untuk muat tidak dapat dipenuhi, hanya diperbolehkan
dengan perjanjian, bahwa kapal, dengan mana pengangkutan akan dilakukan,
segera ditempat terdekat, dimana syarat-syarat dapat dipenuhi, meneguhkan
kewajiban-kewajiban, bagaikan dimuat ditempat itu".
Pada pasal tersebut ditambahkan ayat baru yang bunyinya :
"Menteri Keuangan dapat mengizinkan, dengan perjanjian-perjanjian yang
ditetapkan olehnya, untuk memenuhi syarat-syarat termasuk dalam ayat kedua,
bukan di tempat yang terdekat, tetapi di tempat lain yang akan ditunjuk
olehnya, dimana syarat-syarat itu dapat dipenuhi".
B.
Ayat kedua pasal 3 dibaca sebagai berikut :
"Dengan tidak mengurangi peraturan-peraturan dari Ordonansi ini dan
reglemen-reglemen yang terlampir padanya tentang pengangkutan ke dan dari
pelabuhan, maka Menteri Keuangan dengan permufakatan Menteri Dalam
Negeri, berhak untuk menunjuk jalan-jalan daratan atau melalui perairan atau
daerah-daerah, dimana terlarang barang-barang yang ditetapkan olehnya, jika
tidak dilindungi dengan dokumen dari pegawai-pegawai Bea dan Cukai yang
ditunjuk olehnya atau dari Jawatan-jawatan lain, diangkut dan/atau disimpan
dalam sebuah bangunan atau dipekarangannya".
C.
Dalam pasal 6 diantara "Padang" dan "Makasar" disisipkan "Banjarmasin,
Pontianak".
D.
Dalam ayat keempat pasal 9 kata-kata "vijf gulden" harus dibaca "lima belas
rupiah" dan dalam ayat kedelapan kata-kata "een gulden" dan "tien gulden"
masing-masing harus dibaca "lima rupiah" dan "lima puluh rupiah".
E.
Pasal 16 dibaca sebagai berikut :
"Semua surat-surat, diperbuat berkenaan dengan ordonansi ini atau reglemen-
reglemen yang terlampir padanya, bebas dari meterai"
F.
Dalam pasal 20, ayat terakhir, kata-kata "hoofd van gewestelijk bestuur"
diganti dengan "Kepala Daerah Jawatan Bea dan Cukai".
G.
Pasal 29 dibaca sebagai berikut :
"Menteri Keuangan, untuk menghindarkan penuntutan hakim bagi perkara-
perkara, yang dalam ordonansi ini ditetapkan dapat dihukum, selama tidak
dianggap sebagai kejahatan, dapat berdamai atau menyuruh berdamai.
Dalam hal kelalaian yang salah, (schuldig verzium) kekuasaan yang sama,
ditempat-tempat, di mana berlaku reglemen A, dipegang oleh Kepala-kepala
Kantor, dan di tempat-tempat di mana reglemen itu tidak berlaku, oleh Kepala
Daerah Jawatan Bea dan Cukai".
Pasal II.
Reglemen A, terlampir pada "Rechtenordonnantie" tersebut dalam pasal
terdahulu, diubah dan ditambah lagi sebagai berikut
A.
Dalam pasal 4, ayat terakhir dibatalkan.
B.
dalam ayat ketiga pasal 17 dibelakang kata "Palembang" dibubuhkan kata-kata
"dan Pontianak".
Pasal III.
Dalam Reglemen B, terlampir pada "Rechtenordonnantie" tersebut, ayat kedua
pasal 9 harus dibaca sebagai berikut :
"Surat pemberitahuan berisi :
tempat tujuan, jenis, banyaknya (dengan huruf), merek-merek dan nomor-
nomor colli, beserta jenis barang-barang menurut kebiasaan dalam
perdagangan dan untuk barang-barang yang dikenakan bea-keluar, banyaknya :
a. jika harga guna menghitung bea-keluar ditetapkan oleh Menteri
Keuangan atau oleh Pembesar yang ditunjuk olehnya, menurut
ukuran dalam prijscourant atau daftar harga-harga, termasuk
dalam keputusan yang bersangkutan.
b. jika bea-keluar harus dihitung dari harga ketika pengeluaran,
menurut kebiasaan dalam perdagangan
c. jika bea-keluar dihitung lain dari pada harga, menurut ukuran
yang ditentukan untuk menghitung bea itu.
Pasal IV.
Undang-undang Darurat ini mulai berlaku pada hari sesudah diundangkan.an
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang Darurat ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Januari 1951
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEKARNO
MENTERI KEUANGAN,
SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA.
Diundangkan
pada tanggal 15 Januari 1951
MENTERI KEHAKIMAN,
WONGSONEGORO
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG DARURAT NO 2 TAHUN 1951 TENTANG PERUBAHAN
"RECHTENORDONNANTIE" (STAATSBLAD 1882 No. 240
JO STAATSBLAD 1931 No. 471).
UMUM
Perubahan pasal 2a OR (Rechten Ordonnantie) sebagai termuat dalam
pasal I-A, dianggap sangat penting untuk mencapai hasil yang effektief
dalam usaha pembrantasan perdagangan gelap. Susunan kata (redaksi)
dari pasal yang pertama disebut, yang berlaku sejak tahun 1936, antara
lain merintangi kemungkinan pemeriksaan terhadap pemuatan-pemuatan
dari tempat-tempat, di mana tiada ditempatkan douane. Tidaklah
perahu yang berasal dari tempat-tempat semacam itu jika ditahan di
tengah lautan, nakhodanya selalu dapat menyatakan, bahwa syarat-
syarat untuk muat akan dipenuhinya di seberang kantor pabean, menurut
kehendak hatinya, walaupun kantor demikian letaknya tidak dalam
jalannya kapal itu. Kesempatan ini yang terbuka bagi penyelundup-
penyelundup untuk menutupi maksud-maksud sebenarnya pada waktu
ditahan dalam daerah pabean, haruslah dihentikan dalam jangka
pendek, hal mana dapat diselenggarakan dengan menghidupkan kembali
peraturan-peraturan yang berlaku sebelum tanggal 1 Pebruari 1937,
berdasarkan peraturan mana syarat-syarat harus dengan segera
dipenuhinya ditempat terdekat, di mana ada kantor pabean.
Karena dua sebab, maka redaksi pasal 2a OR yang sekarang, pada waktu
itu (lihat Ordonansi dalam S 1936 No. 702) dianggap penting.
Selaku akibat dari peninjauan kembali Zeehaven- en Scheepvaart-regiem
(S 1936 No. 699) maka pemasukan dan pengeluaran langsung dari-dan
keluar negeri dalam tahun 1937 dilakukan di beberapa pelabuhan-
pelabuhan yang tertentu (yang disebut "pelabuhan-pelabuhan-laut
(zeehavens), sedangkan pelayaran pantai (yaitu pengangkutan barang-
barang dengan kapal-kapal-laut (zeeschepen) yang dimuatkan dan/atau
penumpang yang naik, disesuatu pelabuhan-laut atau tempat-pantai
(kustplaats) ke pelabuhan-laut dan/atau tempat-pantai lain, di mana
barang-barang itu dibongkar dan/atau penumpang-penumpang itu turun,
dengan tidak memandang perjalanan yang dilaluinya) pada umumnya
hanya dapat dilakukan oleh kapal-kapal yang berlayar di bawah bendera
sendiri.
Karena tempat yang terdekat, di mana syarat-syarat pabean seharusnya
dipenuhi, tidak selamanya suatu pelabuhan-laut, maka hal ini berarti,
bahwa sesudahnya syarat-syarat dipenuhi di sesuatu tempat-pantai harus
pula diangkut ke pelabuhan-laut - jadi dengan melakukan pelayaran
pantai - agar dari sana dapat diangkut ke luar negeri; maka pada waktu
itu dirasa tidak benar untuk lebih mempertahankan teks pasal 2a OR
yang lama, tetapi haruslah diberikan kelonggaran untuk memenuhi
syarat-syarat pabean di setiap tempat, di mana ada ditempatkan kantor
pabean.
Kesukaran-kesukaran yang diduga tadi sebenarnya mempunyai arti lebih
jauh dalam teori dari dalam prakteknya, karena banyaklah jumlah
pelabuhan-pelabuhan-laut dan tempat-tempat-pantai, dari mana,
bersandarkan pada kelonggaran (dispensasi) luar biasa, dapat dilakukan
perdagangan luar negeri (lihat pasal 1, Scheepvaartverordening 1936,
Stbl. No. 703 dan pasal I Couvt. Besluit tertanggal 28 Desember 1936 No.
4 S No. 704).
Alasan lain untuk memilih redaksi pasal 2a OR yang sekarang, pada
waktu itu didapat, karena kewajiban untuk singgah di tempat yang
terdekat, di mana ada ditempatkan kantor pabean, oleh maskapai-
maskapai perkapalan yang besar sangatlah sukar dipenuhinya berkenaan
dengan waktu yang hilang karenanya. Tetapi dalam tahun 1936 tidak
perlu memusatkan pikiran akan penyelundupan, hal mana pada waktu ini
selalu meminta perhatian. Kini dirasa sebagai kekurangan yang sangat
berarti, bahwa kewajiban yang dulu, sebagai dimaksudkan di atas,
ditiadakan.
Tetapi agar pelayaran yang benar jujur di mana perlu dapat tertolong,
maka dalam pasal I-A dari Rencana dimuatkan bubuhan satu ayat baru
pada pasal 2a OR, yang memberikan kekuasaan pada Menteri Keuangan
di mana perlu untuk menyimpang dari apa yang diwajibkan sebagai
tertera dalam redaksi baru.
Untuk pemberantasan perdagangan gelap dari bagian daratan, ayat
kedua pasal 3 OR adalah merupakan dasar yang terpenting bagi
menciptakan tindakan-tindakan untuk membrantasnya. Berdasarkan
pasal ini, maka dapatlah ditetapkan apa yang disebut daerah-daerah
terlarang, di dalam daerah-daerah mana baik pengangkutan maupun
penumpukan dari apa yang disebut barang-barang expor-penting tidak
diperbolehkan, dengan ancaman akan didenda dan dirampas, jika tidak
ada surat naung.
Penunjukan daerah demikian, di mana termasuk jalan-jalan daratan dan
jalan-jalan di atas perairan dan pula daerah-daerah perbatasan, yang
berhubung dengan letaknya sangat baik bagi melakukan perdagangan
gelap, menurut bunyi kata-kata peraturan sekarang, harus dilakukan
oleh residen. Cara semacam ini, yang terlahir pada suatu saat, ketika
kejahatan penyelundupan tidak dirasa penting, sukarlah disesuaikan
dengan keadaan pada masa sekarang ini.
Sering-sering pemberantasan perdagangan gelap itu menjadi
kewajibannya pemerintah pusat, yang, karena tersangkutnya
kepentingan-kepentingan Negara yang besar dan bersifat umum,
langsung menyinggung kepentingannya. Berhubung dengan ini teranglah
bahwa peraturan tersebut di atas sepatutnya tidak lagi berada di tangan
residen, akan tetapi di tangan Menteri Keuangan. Tetapi agar supaya
penunjukan tersebut di atas dilakukan dengan mengingatkan akan
kepentingan-kepentingannya se-propinsi atau se-tempat, maka tindakan-
tindakan yang dalam hal itu dianggap perlu diambil oleh Menteri
tersebut, selalu hendaknya diperbincangkan dengan Menteri Dalam
Negeri. Pasal I-B dari Rencana dimaksudkan untuk memenuhi sesuatu.
Usul dalam pasal I-C dari Rencana, untuk merubah pasal 6 dari
"Rechtenordonnantie" bertujuan untuk menyesuaikan cara memungut
dan menjamin bea-bea-masuk dan ke luar di Pontianak dan Banjarmasin
dengan cara yang ditetapkan dalam Reglemen A, yang terlampir pada
ordonnansi ini.
Reglemen A ini berlaku yaitu hanya untuk pelabuhan-pelabuhan besar
seperti Tanjung Priok, Cirebon, Semarang, Surabaya, Belawan,
Palembang, Padang, Makassar, dan Manado sedangkan reglemen B untuk
pelabuhan-pelabuhan lainnya dan dari sebab itu, juga untuk Pontianak
dan Banjarmasin.
Menetapkan reglemen A untuk pelabuhan-pelabuhan penting dan
reglemen B untuk pelabuhan-pelabuhan lainnya pada waktu menyusun
peraturan- peraturan douane, adalah karena mereka yang berdagang di
pelabuhan-pelabuhan besar dipandang dapat, dan di pelabuhan-
pelabuhan kecil tidak dapat menyanggupi untuk memberikan semua
keterangan-keterangan kepada douane, yang sangat diperlukan bagi
memungut bea-bea.
Baik di pelabuhan-pelabuhan besar maupun di pelabuhan-pelabuhan
kecil, pedagang diharuskan memberitahukan barang-barang yang akan
dimasukkan atau dikeluarkan. Di pelabuhan-pelabuhan besar
pemberitahuan itu harus berisi semua keterangan-keterangan, yang
perlu diketahui douane untuk memungut bea-bea; di pelabuhan-
pelabuhan kecil dalam pemberitahuan-pemberitahuan dapat dinyatakan
keterangan-keterangan secara globaal sahaja. Douane di sana mendapat
keterangan-keterangan yang diperlukan untuk memungut bea-bea itu
dengan memeriksanya barang-barang itu sendiri.
Mewajibkan menyatakan semua keterangan-keterangan yang dibutuhkan
douane dalam pemberitahuan-pemberitahuan, seperti terjadi di kantor-
kantor-A, membatasi kewajiban-kewajiban pegawai-pegawai hingga
memeriksa barang-barang saja, dengan lain kata : hingga
memperbandingkan barang-barang yang diberitahukan untuk dimasukkan
atau dikeluarkan itu dengan pemberitahuannya.
Kecuali jika ada sesuatu sebab untuk melakukan pemeriksaan suatu
partai yang diberitahukan itu dengan seluruhnya, maka di kantor-A
pemeriksaan itu dapat dilakukan hanya terhadap sebahagian dari barang-
barang yang diberitahukan.
Cara bekerja demikian melancarkan jalannya pemeriksaan barang-barang
di halaman-halaman pelabuhan dan mempunyai faedahnya karena dapat
diselenggarakan oleh sejumlah kecil pegawai-pegawai; tidaklah demikian
halnya jika dalam pemberitahuan tidak dinyatakan semua keterangan-
keterangan yang diperlukan.
Seperti telah diterangkan di atas, selaku akibat dari pemberitahuan
secara globaal, maka di kantor-kantor-B, pegawai-pegawai yang
diwajibkan mendapatkan keterangan-keterangan yang diperlukan agar
dapat memungut bea-bea dengan tepat. Pemeriksaan barang-barang
secara lengkap ini, berarti menetapkan jenis, jumlah dan harga dari
pelbagai jenis barang-barang, dengan sendirinya menghambat jalannya
barang-barang di pelabuhan dan berkenaan dengan pemungutan bea-
bea, melimpahkan pelbagai kewajiban-kewajiban kepada pegawai-
pegawai kantor-kantor-B itu, kewajiban-kewajiban mana memerlukan
ketelitian yang seksama dan karenanya mengambil tempo yang banyak.
Penetapan yang tidak tepat dapat mengakibatkan kerugian-kerugian
besar bagi kas Negara.
Di kantor-A, di mana kaum dagang sendiri harus memberikan semua
keterangan yang dibutuhkan untuk pemungutan bea-bea, maka
menghitung bea pada asasnya dilakukan berdasarkan pemberitahuan itu.
Tetapi jika douane tidak setuju dengan jenis dan harga barang-barang
yang diberitahukan dan dalam hal itu tidak mendapat kata sepakat
dengan importur-importur, maka keputusan diminta dari suatu panitya
pertimbangan pertimbangan (pasal 39 reglemen A). Panitia ini, yang
terdiri dari Kepala Kantor di tempat selaku ketua dan sejumlah
anggauta-anggauta yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, mengambil
putusan dengan tiga anggauta, di mana selalu termasuk ketua itu.
Anggauta-anggauta biasa, yang separoh diangkat oleh Balai Perdagangan
dan Kerajinan (Kamer van Koophandel en Nijverheid) setempat dan
separoh lagi oleh Dewan Justisi (Raad van Justitie) atau, jika di tempat
itu tiada ada Balai Perdagangan dan Kerajinan, yang semuanya diangkat
oleh Dewan Justisi, pada umumnya adalah pedagang-pedagang
partikelir.
Berkenaan dengan berlakunya reglemen A dengan sendirinya tentu
diadakan pula pelbagai pengukuhan (sancties) terhadap pelanggaran
peraturan mengenai pemberitahuan, yang barulah tidak dapat dianggap
kurang patut atau luar biasa keras, jika perniagaan pada umumnya
sanggup memenuhi peraturan itu.
Agar untuk suatu pelabuhan dapat berlaku reglemen A, maka perlulah
bahwa perniagaan di tempat itu telah cukup mempunyai kecerdasan
sedemikian rupa, hingga dapat dituntut pemberitahuan lengkap tentang
barang-barang yang akan dimasukkan dan dikeluarkan dan selanjutnya di
tempat itu bisa didapatkan cukup orang-orang, kepada siapa sepenuhnya
dapat dipercayakan dan diserahi menyelesaikan perselisihan antara
douane dan pedagang.
Sebelum perang, perniagaan di Pontianak dan Banjarmasin dianggap
belum cukup cerdas untuk dimintakan pemberitahuan yang lengkap.
Kini terbukti, bahwa perniagaan di kedua pelabuhan tersebut telah
berkembang sekian rupa, hingga dapat dianggap bahwa di tempat-
tempat ini dapat diperbuat pemberitahuan-pemberitahuan yang lengkap,
seperti yang diminta di kantor-kantor-A, sedangkan kongsi-kongsi
perniagaan yang ternama disana cukup ada, hingga dapat dibentuk suatu
panitya pertimbangan.
Maka dari itu baiklah kedua pelabuhan tersebut dinaikkan derajatnya
hingga kantor-kantor-A, untuk hal mana dalam pasal 6
"rechtenordonnantie" di antara "Padang" dan "Makassar" hendaknya
disisipkan "Banjarmasin, Pontianak".
Berhubung dengan keadaan-keadaan yang harus diperhatikan pula, maka
untuk Pontianak hendaknya diadakan suatu peraturan. Berkenaan dengan
kekurangan tempat penimbunan di Pontianak, maka dianggap perlu
untuk mengadakan aturan bagi Pontianak yang sesuai dengan peraturan
yang kini berlaku bagi Palembang, peraturan mana menyimpang dari
peraturan-peraturan yang berlaku bagi kantor-kantor-A lainnya, perihal
pengangkutan barang-barang dari ruangan-ruangan penimbunan atau
dari halaman-halaman penimbunan.
Peraturan umum di kantor-kantor-A untuk hal ini, yaitu bagi barang-
barang yang diperuntukkan bagi dimasukkan di tempat itu diberikan
tempo 15 hari dan bagi barang-barang lainnya tempo 30 hari, dalam
waktu mana barang-barang itu harus diangkat dari ruangan-
ruangan/halaman-halaman penimbunan.
Karena di Pontianak kekurangan tempat penimbunan, maka terpaksalah
tempo 15 dan 30 hari itu masing-masing diperpendekkan hingga 8 hari.
Hal ini dapat diselenggarakan dengan mudah sekali, seperti diusulkan
dalam pasal 11-B dari rencana Undang-undang, dengan menyisipkan "en
Pontianak" dalam ayat ketiga di belakangnya kata "Palembang" dari pasal
17 reglemen A, yang terlampir pada "Rechtenordonanntie".
Perubahan-perubahan yang diusulkan dalam sub D pasal I dari Rencana
Undang-undang dirasa perlu, karena uang-uang pengganti yang
ditetapkan dalam pasal 9 OR telah lama tidak sesuai lagi dengan dasar
upah personil douane sekarang dan karenanya harus diubah dengan
segera. Jumlah-jumlah yang kini diusulkan banyak mendekati pada
ongkos-ongkos yang sebenarnya.
Perubahan yang dimaksudkan dalam sub E pasal I dari Rencana, ternyata
perlu untuk menyesuaikan redaksi pasal 16 "Rechtenordonnantie" dengan
maksud pasal ini yaitu untuk membebaskan bea meterai dari semua
surat, yang diperbuat berkenaan dengan ordonansi ini.
Redaksi yang sekarang diusulkan dan yang disusun setelah
diperbincangkan dengan Jawatan Pajak, adalah lebih luas dari pada yang
sekarang, hingga maksud dari pembuat Undang-undang itu dapatlah lebih
terang dimengerti.
Dalam perubahan pasal 20 "Rechtenordonnantie" (lihat pasal I-F) adalah
terkandung maksud untuk menyerahkan kekuasaan pengembalian uang
melulu kepada pegawai-pegawai Jawatan Bea dan Cukai, baik jumlah-
jumlah uang yang telah dibayar lebih karena kekhilafan yang nyata
(kennelijke vergissing) maupun jumlah uang bea keluar dari barang-
barang yang telah karam di pelabuhan.
Ditempat-tempat di mana berada pegawai douane dengan paling rendah
pangkat "akhli pabean", maka pengembalian uang tersebut dilakukan
oleh pegawai ini, tetapi di tempat-tempat dimana pegawai dengan
pangkat tersebut tiada ditempatkan, maka ini dilakukan oleh oleh
Kepala Daerah Pamong Praja.
Tersangkut-pautnya Kepala Daerah (kemudian-residen) dalam hal ini
adalah sedari dulu ketika kepada Pamong Praja diserahi sesuatu
kewajiban yang tertentu dalam organisasi douane.
Ketika alat-alat penghubung yang modern memungkinkan mengadakan
perhubungan yang cepat antara bagian-bagian daerah, maka ditilik dari
sudut organisatoris dianggap perlu, bahwa kekuasaan termaksud berada
di tangan Kepala Daerah Jawatan Bea dan Cukai, yang karenanya
berpangkat inspektur atau inspektur kepala.
Alasan yang menyebabkan diusulkannya perubahan pasal 20 OR lebih-
lebih berlaku bagi pasal 29 OR, di mana diberikan kekuasaan untuk
mengadakan atau menyuruh mengadakan perdamaian untuk
menghindarkan penuntutan dihakim mengenai semua pelanggaran-
pelanggaran tersebut dalam "Rechtenordonnantie", selama pelanggaran-
pelanggaran itu bukan kejahatan.
Kekuasaan ini, sekedar mengenai pulau Jawa dan Madura, berada di
tangan Menteri Keuangan dan jika mengenai daerah-daerah lainnya, di
tangan Kepala Daerah Pamong Praja.
Dalam hal kelalaian yang dapat dipersalahkan (schulding verzuim)
ditempat-tempat di mana berlaku reglemen A, kekuasaan semacam itu
berada di tangan Kepala Kantor dan di tempat-tempat di Pulau Jawa dan
Madura di mana reglemen itu tidak berlaku di tangan Kepala Daerah
Pamong Praja.
Sebagai ternyata dalam pasal I-F dari Rencana Undang-undang, kini
diusulkan supaya kekuasaan berdamai untuk seluruh daerah pabean
diletakkan di tangan Menteri Keuangan, sedangkan dalam hal kelalaian
yang dapat dipersalahkan (schuldig verzuim) di tempat-tempat di mana
reglemen A tidak berlaku, kekuasaan itu diberikan kepada Kepala-kepala
Daerah Jawatan Bea dan Cukai, masing-msing untuk daerah-daerahnya
sendiri.
Dalam pasal II Rencana Undang-undang diusulkan dua rupa perubahan
dari reglemen A, yang terlampir pada "Rechtenordonnantie".
Perubahan pertama adalah mengenai pembatalan ayat terakhir dari
pasal 4 reglemen ini.
Tidak saja ayat terakhir ini berkenaan dengan ayat terdahulu dapat
dihapuskan, bahkan mungkin sulitlah halnya karena dalam beberapa hal
pemasukan secara gelap malah menjadi lebih mudah karenanya.
Kekuasaan yang tercantum dalam ayat kedua dari pasal ini yaitu untuk
memberikan idzin supaya di setiap tempat hanya memberitahukan
barang-barang yang akan dibongkar di sana, adalah dipergunakan seluas-
luasnya hingga idzin ini praktis diberikan kepada semua maskapai-
maskapai yang terkenal bernama baik, maka dispensasi ini sebenarnya
telah melampaui kelonggaran, yang diberikan kepada Tanjung Priok
dalam ayat terakhir, yang sebenarnya hanya mengenai pembebasan
penyerahan pemberitahuan umum untuk barang-barang yang
diperuntukkan bagi diangkut ke luar daerah pabean, jika langsung
diangkut ke sana.
Pembebasan terakhir ini dapatlah dipergunakan kapal-kapal kepada
mana idzin termaksud dalam ayat kedua karena sebab-sebab yang luar
biasa tidak diberikannya, untuk membongkar barang-barang itu secara
gelap pada waktu-waktu yang baik.
Perubahan yang diusulkan dalam sub B pasal 11, dengan panjang lebar
telah dijelaskan dalam usul di atas perihal menaikkan drajatnya kantor-
kantor Banjarmasin dan Pontianak hingga kantor-kantor A.
Dalam pasal 9 regelemen B, yang terlampir pada "OR", karena
dibatalkannya pos-pos 2, 3, 6, 7, 8 dan 10 dari lampiran B, yang
tersemat pada Undang-undang Tarip (I.S. 1924 No. 487) dengan pasal 12
ayat (1) dari "Ordonnansi bea keluar umum 1949" (Stbl. No. 39), perlulah
diadakan perubahan yang bersifat tekhnis.
Seperti telah dijelaskan di atas, di kantor-kantor B hanya dibutuhkan
pemberitahuan secara sumir. Terhadap kopra, lada, karet hevea dan
minyak kelapa, hasil-hasil bumi mana ketika itu dikenakan bea keluar
berdasarkan tarip bea-bea keluar yang sebagai lampiran B tersemat pada
Undang-undang Tarip, diharuskan memberitahukan banyaknya, yaitu
untuk ketiga hasil bumi yang tersebut pertama, dinyatakan dengan
kilogram dan untuk minyak kelapa, dengan liter. Peraturan ini (pasal 9
reglemen B) karena pembatalan tersebut diatas menjadi tidak benar dan
kini harus diubah lagi sedemikian rupa hingga terhadap semua barang-
barang yang dikenakan bea keluar diharuskan memberitahukan
banyaknya menurut ukuran yang diperlukan bagi menetapkan bea keluar
yang wajib dibayar itu.
Perubahan yang diusulkan, sekedar mengenai redaksinya, adalah kurang
lebih sama dengan pasal 51 reglemen A yang dalam hal ini mengatur
barang-barang yang dikeluarkan melalui kantor-kantor pabean yang
besar.
Silahkan download versi PDF nya sbb:
perubahan_rechtenordonnantie_(staatsblad_1882_no_14.pdf
(ogi/Carapedia)
Pencarian Terbaru
Pengertian staatsblad. Pasal 25 dan 26 rechtenordonnantie. Definisi staatsblad. Pengertian staatsblad adalah. Staatsblad adalah. Apa arti staatblad. Staatsblad pengertian.
Ordonansi bea cukai terakhir diubah dengan staatsblad tahun 1931 nomor 471 (rechten ordonantie) pasal 25 dan 26. Apa arti staatsblad. Pengertian stateblad 1882. Pengertian statblad 1882. Pasal 25 rechtenordonnantie. Undang undang pasal 25 dan 26 rechtoredonantie. Pengertan staadblad adalah.
Isi pasal 25 dan 26 rechtenordonnantie. Pengertian staatblad. Https://carapedia.com/perubahan_rechtenordonnantie_staatsblad_1882_240_staatsblad_1931_info1007.html. Isi staatblad. Apa itu staatblad. Pasal 25 & 26 rechtenordonnantie.
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)






