Previous
Next

1965

Undang-Undang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan Raya (UU 3 thn 1965)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1965 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan Raya :
                            UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                                     NOMOR 3 TAHUN 1965
                                            TENTANG
                           LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN RAYA


                               PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,




Menimbang:
a.    bahwa "Werverkeersordonnantie" (Staatsblad 1933 Nomor 86) sebagaimana telah diubah dan
     ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1951 (Lembaran Negara Republik
     Indonesia tahun 1951 Nomor 42), tidak sesuai lagi dengan perkembangan lalu lintas di jalan raya
     dan kemajuan di bidang teknik kendaraan bermotor;
b.    bahwa dianggap perlu untuk mengatur pula segala kegiatan-kegiatan yang sangat erat
     hubungannya dengan pengusahaan, penyelenggaraan dan perkembangan angkutan jalan serta
     pemeliharaan jalan raya;
c.   bahwa oleh sebab itu perlu diadakan Undang-undang baru yang akan mengatur hal-hal tersebut di
     atas.
Mengingat:
1.    Pasal 5 ayat 1 dan pasal 33 ayat 2 Undang-undang Dasar;
2.   Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor I/MPRS/1960, dan
     Nomor II/MPRS/1960;
3.    Deklarasi Ekonomi.




                                       Dengan Persetujuan:
                       DEWAN PERWAKILAN RAKYAT GOTONG ROYONG,

                                         MEMUTUSKAN:




Dengan mencabut "Wegverkeersordonnantie" (Staatsblad 1933 Nomor 86), sebagaimana telah diubah
dan ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1951 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Republik Indonesia tahun 1951 Nomor 42).

Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN RAYA




                                              BAB I
                                KETENTUAN-KETENTUAN UMUM
                                              Pasal 1

(1)   Dalam Undang-undang ini yang dimaksudkan dengan:

      a.    "jalan"             : setiap jalan dalam bentuk apapun yang terbuka untuk lalu lintas umum;
      b.    "kendaraan          : setiap kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang ada pada
            bermotor"             kendaraan itu dan biasanya dipergunakan untuk pengangkutan orang atau
                                  barang di jalan selain dari pada kendaraan yang berjalan di atas rel;
      c.   "mobil               : setiap kendaraan bermotor yang semata-mata diperlengkapi dengan
           penumpang"             sebanyak-banyaknya 8 tempat duduk tidak termasuk tempat duduk
                                  pengemudinya, baik dengan maupun tanpa perlengkapan pengangkutan
                                  bagasi;
      d.    "mobil-bis"         : setiap kendaraan bermotor yang diperlengkapi dengan lebih dari 8 tempat
                                  duduk tidak termasuk tempat duduk pengemudinya, baik dengan maupun
                                  tanpa perlengkapan pengangkutan barang;
      e.    "Mobil-barang"      : kendaraan bermotor selain dari pada yang termaksud dalam sub c, sub d dan
                                  selain kendaraan bermotor beroda dua;
      f.    "kendaraan-         : setiap kendaraan yang biasanya disediakan untuk dipergunakan oleh umum
            umum"                 dengan pembayaran;
      g.    "pengemudi"         : orang yang mengemudikan kendaraan atau yang langsung mengawasi orang
                                  lain mengemudikannya;
      h.   "daerah-             : daerah yang termaksud dalam perundang-undangan tentang pemerintahan
           swatantra"             Daerah;
      i.   "Menteri"            : Menteri yang diserahi urusan angkutan darat.
(2)   Kendaraan yang berjalan di atas rel tidak dianggap sebagai kendaraan sebagaimana dimaksudkan
      dalam ketentuan-ketentuan Undang-undang ini;
(3)   Sesuatu rangkaian kendaraan yang terdiri dari kendaraan bermotor dan satu atau beberapa kereta
      tempelan/kereta-gandengan dianggap sebagai kendaraan bermotor sebagaimana dimaksudkan
      dalam ketentuan-ketentuan Undang-undang ini, kecuali jika jelas dinyatakan sebaliknya.


                                               BAB II
                      KETENTUAN-KETENTUAN UNTUK SEMUA PEMAKAI JALAN


                                              Pasal 2
(1)   Dilarang mempergunakan jalan dengan cara yang dapat merintangi, membahayakan kebebasan
      atau keamanan lalu lintas, atau yang mungkin menimbulkan kerusakan pada jalan itu.
(2)   Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan ketentuan-ketentuan umum mengenai lalu lintas jalan
      yang harus memuat tentang:
      a.        berjalan dan berhenti, meminggir, penerangan dan memberi isyarat-isyarat peringatan;
      b.        mengizinkan hewan berada di jalan.




                                              Pasal 3
(1)   Dengan peraturan Pemerintah ditetapkan kecepatan maksimum yang berlaku untuk beberapa
      macam kendaraan tertentu, baik di dalam maupun di luar daerah bangunan.
(2)   Dengan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat diatur kecepatan maksimum yang
      berlaku untuk jalan-jalan tertentu bagi semua atau beberapa macam kendaraan, dengan
      mengindahkan ketentuan pada ayat (1).
(3)   Peraturan yang dimaksudkan dalam ayat (2) di atas ditetapkan oleh:
      a.    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I untuk jalan-jalan Propinsi;
      b.    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kotapraja untuk semua jalan yang terletak dalam daerah
            hukum kotapraja tersebut.
(4)   Keputusan-keputusan termaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diumumkan dalam Lembaran
      Daerah.




                                               Pasal 4
(1)   Dilarang menyelenggarakan atau ikut serta dalam perlombaan atau pacuan di jalan, yang
      diselenggarakan tanpa izin.
(2)   Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan ketentuan- ketentuan mengenai perlombaan dan pacuan
      di jalan.




                                               BAB III
                                            PENGEMUDI


                                               Pasal 5
Pengemudi yang mengemudikan sesuatu kendaraan di jalan:
a.    harus dapat memperlihatkan surat izin mengemudi, surat nomor kendaraan, surat coba kendaraan,
      surat uji, kendaraan atau tanda-tanda bukti lainnya yang berlaku, sebagaimana diwajibkan menurut
      ketentuan-ketentuan Undang-undang ini;
b.    harus memenuhi seluruh ketentuan-ketentuan Undang-undang ini tentang penomoran,
      penerangan, peralatan, susunan, perlengkapan, pemuatan dari kendaraannya dan syarat-syarat
      penggandengan dengan kendaraan lain;
c.    harus memenuhi semua peraturan berdasarkan ketentuan-ketentuan pasal 14;
d.    harus mampu mengemudikan kendaraannya dengan wajar tanpa dipengaruhi oleh keadaan sakit,
      lelah, meminum sesuatu yang mengandung alkohol atau obat bius ataupun oleh hal-hal lain.




                                               Pasal 6
(1)   Pengemudi sesudah terjadinya kecelakaan oleh karena sesuatu peristiwa yang melibatkan
      kendaraannya:
      a.     harus menghentikan kendaraannya apabila dalam peristiwa ini terdapat seorang yang mati,
            luka atau kesehatannya terganggu ataupun menderita kerugian besar;
      b.    harus berusaha agar orang yang karena kecelakaan itu luka atau terganggu kesehatannya
            mendapat pertolongan.
(2)   Pengemudi yang dalam peristiwa termaksud dalam ayat (1) oleh karena alasan mendesak berjalan
      terus dengan kendaraannya ataupun membiarkan dalam keadaan tanpa pertolongan orang yang
      dalam kecelakaan tersebut luka atau terganggu kesehatannya diwajibkan mengenalkan dirinya
      atau kendaraannya serta memberikan segala keterangan yang diketahuinya tentang kecelakaan
      itu kepada pejabat Kepolisian yang terdekat.




                                                Pasal 7
(1)   Surat izin mengemudi kendaraan bermotor diberikan oleh instansi yang ditetapkan dengan
      Peraturan Pemerintah.
(2)   Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan ketentuan- ketentuan lebih lanjut tentang surat izin
      mengemudi mengenai:
      a.   syarat-syarat untuk memperolehnya tentang umur kecakapan jasmani dan rohani,
           kecakapan menulis dan membaca, pengetahuan tentang peraturan-peraturan lalu lintas
           jalan dan ketangkasan mengemudikan kendaraan bermotor, untuk mengemudikan
           kendaraan bermotor umum dapat ditetapkan syarat-syarat istimewa;
      b.   penggolongannya menurut jenis, jumlah berat atau isi silinder kendaraan bermotor;
      c.   jangka waktu berlakunya;
      d.   biaya yang dipungut;
      e.   sebab-sebab ditolaknya permohonan;
      f.   sebab-sebab tidak berlakunya lagi;
      g.   cara memohon dan cara mempergunakannya.




                                                Pasal 8
(1)   Pemilik atau kuasanya dan pengemudi dilarang memperkenankan kendaraan bermotor
      dikemudikan oleh seorang yang tidak memilik surat izin mengemudi.
(2)   Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan ketentuan- ketentuan mengenai cara belajar dan
      memberi pelajaran mengemudikan kendaraan bermotor.




                                                Pasal 9
Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan ketentuan-ketentuan mengenai jam mengemudi untuk
pengemudi kendaraan bermotor umum.




                                                BAB IV
                            PENOMORAN KENDARAAN BERMOTOR




                                                Pasal 10
(1)   Setiap kendaraan bermotor yang berada di jalan, harus dilengkapi dengan tanda yang jelas
      kelihatan terdiri dari satu atau beberapa nomor dan satu atau beberapa huruf.
(2)   Sebagai bukti bahwa pemilik atau kuasanya berhak memakai nomor yang diberikan menurut ayat
      (1), kepadanya diberikan surat nomor kendaraan atas namanya atau surat coba kendaraan, di
      mana dicantumkan nomor dan huruf termaksud dalam ayat (1).
(3)   Surat nomor kendaraan atau surat coba kendaraan diberikan kepada pemilik kendaraan bermotor
      atau kuasanya oleh instansi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(4)   Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan ketentuan-ketentuan lebih lanjut tentang tanda
      termaksud dalam ayat (1) dan surat nomor kendaraan atau surat coba kendaraan termaksud
      dalam ayat (2) mengenai:
      a.   permohonan, pemberian dan penolakan;
      b.   daerah penomoran;
      c.   daerah dan jangka waktu berlakunya;
      d.   tidak berlakunya lagi;
      e.   biaya yang dipungut;
      f.   cara memohon dan cara mempergunakannya;
      g.   pendaftaran ulangan.




                                               BAB V
                               PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR


                                              Pasal 11
(1)   Setiap kendaraan bermotor kereta tempelan atau kereta gandengan yang berada di jalan harus
      diuji, dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan kendaraan-kendaraan mana untuk sementara tidak
      dikenakan wajib uji tersebut.
(2)   Sebagai bukti pengujian yang berhasil baik kendaraan bermotor yang termaksud dalam ayat (1)
      dibubuhi tanda uji kendaraan dan diberikan pula satu surat uji kendaraan yang berlaku di seluruh
      wilayah Indonesia.
(3)   Pengujian dilakukan oleh instansi yang ditunjuk oleh Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I menurut
      ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri, kecuali untuk kendaraan bermotor khusus
      Angkatan Bersenjata.
(4)   Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan ketentuan- ketentuan tentang:
      a.   syarat-syarat yang harus dipenuhi kendaraan bermotor pada pengujian;
      b.   jangka waktu berlakunya;
      c.   biaya yang dipungut;
      d.   cara memohon dan cara mempergunakan surat uji dan tanda uji.




                                               BAB VI
                                    KENDARAAN TIDAK BERMOTOR
                                             Pasal 12
Daerah Tingkat I menetapkan peraturan-peraturan umum mengenai kendaraan tidak bermotor.




                                             BAB VII
                          KETENTUAN-KETENTUAN MENGENAI JALAN




                                             Pasal 13
Negara menguasai, membuat dan memelihara jalan.




                                             Pasal 14
(1)   Pemerintah menetapkan ketentuan-ketentuan tentang pembuatan, pemeliharaan dan penggunaan
      jalan.
(2)   Dengan peraturan Menteri ditetapkan kelas-kelas jalan, rambu-rambu dan tanda-tanda jalan
      menurut kebutuhan perkembangan angkutan dan intensitas lalu lintas.




                                             BAB VIII
              PERANAN PEMERINTAH DI BIDANG PENGANGKUTAN JALAN RAYA




                                             Pasal 15
Negara menguasai dan menyelenggarakan angkutan jalan raya yang vital, baik angkutan orang maupun
angkutan barang.




                                             Pasal 16
Menteri mengatur dan memberi bimbingan kepada angkutan swasta demi tercapainya koordinasi antara
semua jenis angkutan jalan raya.




                                             Pasal 17
Izin angkutan diberikan berdasarkan pengerahan segala potensi angkutan menurut kebutuhan.
                                                  BAB IX
                   PENGANGKUTAN ORANG DENGAN KENDARAAN BERMOTOR




                                                  Pasal 18
(1)    Penguasahaan mobil bis umum untuk pengangkutan orang harus dengan izin.
(2)    Izin termaksud dalam ayat (1) diberikan:
      I.a.   untuk trayek-trayek yang seluruhnya           berada   di   dalam   Daerah   Tingkat   I   oleh
             Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I;
      I.b.   untuk trayek-trayek yang melalui lebih dari Daerah Tingkat I oleh pejabat yang ditunjuk oleh
             Menteri;
      II.    untuk trayek-trayek yang seluruhnya berada di dalam daerah kotapraja oleh Wali
             Kota/Kepala Daerah.




                                                  Pasal 19
Atas usul Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan, Menteri dapat menunjuk trayek di luar
batas kotapraja yang dapat dilayani oleh mobil penumpang umum hanya dengan izin yang diberikan oleh
penguasa termaksud dalam pasal 18 ayat (2) sub I.




                                                  Pasal 20
Pengangkutan orang untuk keperluan pariwisata akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.




                                                  Pasal 21
Jika dipandang perlu untuk melancarkan pengangkutan orang secara tertib dan teratur di dalam wilayah
kotapraja maka dengan Peraturan Pemerintah Daerah Kotapraja yang bersangkutan dapat ditetapkan
ketentuan-ketentuan tambahan mengenai susunan dan perlengkapan mobil bis umum dan mobil
penumpang umum.




                                                  BAB X
                  PENGANGKUTAN BARANG DENGAN KENDARAAN BERMOTOR




                                                  Pasal 22
Dengan koordinasi pengangkutan dan demi kepentingan umum Menteri dapat menunjuk trayek-trayek
tertentu di luar batas kotapraja, di mana pengangkutan barang dengan kendaraan bermotor umum atau
tidak umum dengan daya angkut tertentu harus dengan izin.
                                              Pasal 23
Izin termaksud dalam pasal 22 diberikan oleh penguasa dan menurut ketentuan-ketentuan termaksud
dalam pasal 18 ayat (2) sub I.


                                               BAB XI
                PENGUSAHAAN PENGANGKUTAN DENGAN KENDARAAN UMUM




                                              Pasal 24
(1)    Pengusaha kendaraan umum bertanggung jawab terhadap kerugian-kerugian yang diderita oleh
      penumpang serta kerusakan-kerusakan barang yang berada di dalam kendaraan tersebut, kecuali
      jika ia dapat membuktikan, bahwa kerugian itu terjadi di luar kesalahannya atau kesalahan
      pegawainya.
(2)   Ketentuan dalam ayat (1) tidak berlaku, jika kerugian dan kerusakan tersebut terjadi karena tidak
      sempurna pembungkusan barang yang diangkut, dengan ketentuan bahwa hal tersebut telah
      diberitahukan kepada si pengirim sebelum pengangkutan dimulai.




                                              Pasal 25
(1)   Selama ketentuan-ketentuan berdasarkan Undang-undang ini mengenai pemuatan tidak dilanggar,
      pengusaha kendaraan umum dan pegawainya harus mengangkut orang dan barang setelah
      dinyatakan keinginan untuk diangkut dengan pembayaran biaya menurut tarip yang telah
      ditetapkan berdasarkan Undang-undang ini.
(2)   Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan pengecualian terhadap wajib angkut termaksud dalam
      ayat (1).
(3)   Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan ketentuan- ketentuan lebih lanjut tentang kewajiban dari
      pengusaha dan pegawai kendaraan umum serta kewajiban penumpangnya, begitu pula tentang
      cara mengangkut orang dan barang dengan kendaraan umum.




                                              Pasal 26
(1)   Sepanjang tidak ditetapkan tarip berdasarkan perundang-undangan lain maka demi kepentingan
      umum dengan keputusan Pemerintah Daerah Tingkat I ditetapkan tarip untuk pengangkutan orang
      dan barang dengan kendaraan umum.
(2)   Keputusan yang termaksud dalam ayat (1) diumumkan di Lembaran Daerah.
(3)   Pengusaha kendaraan umum atau pegawainya dilarang mengangkut orang dan barang dengan
      kendaraannya dengan tarip yang berbeda dengan tarip sebagai termaksud dalam ayat (1).




                                              Pasal 27
(1)     Untuk mendirikan perusahaan pengangkutan dengan kendaraan bermotor umum harus ada izin
        dari penguasa termaksud dalam ayat (2).
(2)     Izin termaksud dalam ayat (1) diberikan:
        a.    untuk perusahaan yang berkedudukan di wilayah kotapraja oleh Wali Kota/Kepala Daerah;
              untuk daerah khusus Ibukota oleh Gubernur/Kepala Daerah;
        b.    untuk perusahaan yang berkedudukan dalam wilayah Daerah Tingkat II oleh Bupati/Kepala
              Daerah.




                                                   BAB XII
      KETENTUAN-KETENTUAN MENGENAI BENGKEL UMUM UNTUK KENDARAAN BERMOTOR.




                                                   Pasal 28
Untuk mendirikan perusahaan bengkel umum untuk kendaraan bermotor harus ada izin dari penguasa
dan menurut ketentuan- ketentuan termaksud dalam pasal 27 ayat (2).




                                                   Pasal 29
(1)     Persyaratan, permohonan, pemberian, penolakan dan perubahan izin termaksud dalam pasal-
        pasal 18, 19, 23, 27 dan pasal 28 begitu pula syarat-syarat tentang pencabutannya, ketentuan-
        ketentuan tentang sanggahan, bandingan dan cara pengumumannya serta biaya yang
        berhubungan dengan hal-hal tersebut akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
(2)     Menteri memberi petunjuk-petunjuk demi keseragaman dalam pemberian izin termaksud dalam
        pasal-pasal 18, 19, 23, 27 dan pasal 28.




                                                   BAB XIII
                          KENDARAAN BERMOTOR SERTA ALAT-ALATNYA




                                                   Pasal 30
(1)     Menteri menentukan syarat-syarat tentang susunan, perlengkapan, peralatan, pemuatan, ukuran
        dan penggandengan kendaraan bermotor.
(2)     Rencana pembikinan kendaraan bermotor serta alat-alatnya ditetapkan oleh Menteri Perindustrian
        Dasar dan Menteri Perdagangan.
(3)     Rencana pengimporan kendaraan bermotor serta alat-alatnya ditetapkan oleh Menteri, Menteri
        Perindustrian Dasar dan Menteri Perdagangan.
(4)     Untuk mencapai daya guna yang sebesar-besarnya Menteri mengatur assembling dan distribusi
        kendaraan bermotor serta alat-alatnya.
                                              BAB XIV
                                    DEWAN ANGKUTAN DARAT




                                              Pasal 31
(1)   Di tingkat Pusat dan di setiap Daerah Tingkat I dibentuk Dewan Angkutan Darat Pusat dan Dewan
      Angkutan Darat Daerah yang memberi pertimbangan masing-masing kepada Menteri dan
      Gubernur/Kepala Daerah.
(2)   Tugas pokok dari Dewan Angkutan Darat ialah mengkoordinasikan segala usaha dan kegiatan di
      bidang angkutan darat baik dalam taraf perencanaan, pembinaan maupun dalam taraf
      pelaksanaan dan pengawasan.
(3)   Dewan Angkutan Darat Pusat dibentuk dengan keputusan Presiden dan Dewan Angkutan Darat
      Daerah dibentuk dengan keputusan Menteri dan mempunyai susunan keanggotaan sebagai
      berikut:
      a.    pejabat-pejabat Pemerintah yang mempunyai keahlian dalam bidang angkutan darat
            dan/atau mempunyai hubungan dalam pembinaan angkutan darat;
      b.    wakil-wakil organisasi perusahaan di bidang angkutan darat;
      c.   wakil-wakil organisasi buruh di bidang angkutan darat atas usul Front Nasional.




                                               BAB XV
                                KETENTUAN-KETENTUAN PIDANA




                                              Pasal 32
(1)   Dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya
      sepuluh ribu rupiah barang siapa yang tidak memenuhi atau melanggar seluruh atau sebagian dari
      keharusan atau ketentuan yang termaksud dalam dan berdasarkan pasal-pasal 2, 4, 5, 6, 7, 8, 10,
      11, 18, 19, 22, 25, 26, 27, 28 dan pasal 35 ayat (2).
(2)   Tindak pidana termaksud dalam ayat (1) adalah pelanggaran.
(3)   Jika salah satu pelanggaran yang disebut pada ayat (1) dilakukan dalam masa satu tahun
      semenjak suatu putusan hakim dijatuhkan terhadap yang bersalah oleh karena pelanggaran yang
      sama mempunyai kekuatan tetap, maka pidana kurungan dapat ditambah dengan sepertiga dan
      denda dengan separuh.




                                              Pasal 33
(1)   Pengemudi yang melakukan:
      a.   pelanggaran termaksud dalam pasal-pasal 2, 4, 5 di bawah d, 6 dan pasal 8.
      b.    pelanggaran oleh karena penyalahgunaan surat izin mengemudi, surat nomor, tanda nomor,
            surat coba, surat uji dan tanda uji kendaraan atau memberi keterangan yang tidak benar
            dalam permohonan surat izin mengemudi.
      c.   dengan kendaraan bermotor salah satu tindak pidana termaksud dalam pasal-pasal 359,
           360, 406, 408, 409, 410 dan 492 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dapat dicabut
           wewenangnya untuk mengemudi kendaraan bermotor tertentu untuk paling lama satu tahun,
           tidak bersamaan sebagian atau seluruhnya dengan pidana kurungan yang telah dijatuhkan.
(2)   Jika suatu pelanggaran termaksud dalam ayat (1) dilakukan masa satu tahun semenjak suatu
      putusan hakim yang dijatuhkan terhadap yang bersalah karena pelanggaran yang sama, maka
      wewenang untuk mengemudikan kendaraan bermotor dapat dicabut untuk paling lama dua tahun.




                                             Pasal 34
(1)   Dalam mempidana pemilik kendaraan bermotor atau kuasanya oleh karena penyalahgunaan surat
      nomor, tanda nomor, surat uji dan tanda uji kendaraan atau memberi keterangan yang tidak benar
      dalam permohonannya maka:
      a.    surat nomor, surat uji, tanda uji kendaraan yang bersangkutan dapat dinyatakan tidak
            berlaku;
      b.      mengenai surat coba kendaraan, wewenang pemilik atau kuasanya untuk
            mempergunakannya dapat dicabut untuk selamanya satu tahun tidak bersamaan seluruhnya
            atau sebagian dengan pidana kurungan yang telah dijatuhkan.
(2)    Dalam mempidana pemegang surat coba kendaraan karena pelanggaran peraturan-peraturan
      berdasarkan Undang-undang ini, maka wewenangnya untuk mempergunakan surat coba
      kendaraan dapat dicabut untuk selama-lamanya satu tahun, tidak bersamaan sebagian atau
      seluruhnya dengan pidana kurungan yang telah dijatuhkan.




                                             Pasal 35
(1)    Selain dari para pejabat yang pada umumnya bertugas menyidik kejahatan-kejahatan dan
      pelanggaran-pelanggaran, penyidikan pelanggaran ketentuan-ketentuan dalam atau berdasarkan
      Undang-undang ini dapat juga dilakukan oleh pejabat-pejabat yang penunjukan dan wewenangnya
      akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
(2)   Setiap orang diwajibkan segera memenuhi perintah atau petunjuk yang diberikan kepadanya oleh
      pejabat termaksud dalam ayat (1).




                                             BAB XVI
                                    KETENTUAN PERALIHAN




                                             Pasal 36
Peraturan-peraturan pelaksanaan yang berlaku sekarang tetap berlaku hingga diubah dengan peraturan-
peraturan berdasarkan Undang-undang ini.




                                             BAB XVII
                               KETENTUAN-KETENTUAN PENUTUP




                                              Pasal 37
Ketentuan-ketentuan mengenai surat izin mengemudi, surat nomor kendaraan dan wajib uji tidak berlaku
terhadap pengemudi dan kendaraan bermotor yang diperbolehkan ikut serta dalam lalu lintas
internasional berdasarkan perjanjian internasional tentang lalu lintas jalan.




                                              Pasal 38
Dengan peraturan Pemerintah dapat diatur sampai di mana ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan
atau berdasarkan Undang-undang ini tidak berlaku untuk:
a.   kendaraan bermotor dan barisan Angkatan Bersenjata, Barisan Pemadam Kebakaran serta Dinas
     Umum lainnya;
b.   pengemudi kereta api dan tram;
c.   kendaraan-kendaraan bermotor untuk keperluan khusus.




                                              Pasal 39
Undang-undang ini disebut "Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya" dan mulai berlaku
pada tanggal diundangkannya.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




                                        Disahkan Di Jakarta,
                                      Pada Tanggal 1 April 1965
                                PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
                                                Ttd.
                                             SUKARNO




                                      Diundangkan Di Jakarta,
                                      Pada Tanggal 1 April 1965
                          SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
                                                Ttd.
                                          MOHD. ICHSAN
                LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1965 NOMOR 25

                                              PENJELASAN
                              UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                                         NOMOR 3 TAHUN 1965
                                                TENTANG
                            LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN RAYA




UMUM
Undang-undang ini memuat ketentuan-ketentuan pokok untuk mengatur kelancaran, keamanan dan
ketertiban lalu lintas dan ketentuan-ketentuan pokok tentang politik Pemerintah dibidang angkutan jalan
raya.
Angkutan jalan raya sebagaimana juga halnya dengan jenis angkutan lainnya sangat penting bagi
perkembangan politik, sosial dan ekonomi setiap negara dan merupakan salah satu syarat mutlak untuk
perkembangan perekonomian masyarakat dalam rangka pembangunan nasional semesta. Untuk menuju
masyarakat adil dan makmur sebagaimana kita cita-citakan bersama, maka Negara harus menguasai
angkutan agar angkutan tersebut dapat dikerahkan ketujuan yang dicita-citakan itu.
Angkutan jalan tidak dapat dipisahkan dari jalan raya, dengan demikian sudah selayaknya jika Negara
menguasai, membuat dan memelihara jalan. Hal ini tercantum dalam pasal 13.
Pasal 13 ini merupakan dasar bagi Pemerintah untuk lebih lanjut mengatur persoalan jalan raya serta
angkutan jalan raya secara integral dan konsepsionil.
Pun soal-soal lain yang erat hubungannya dengan perkembangan angkutan perlu diatur. Persoalan
perbengkelan, pembikinan pembelian kendaraan serta alat-alatnya, soal koordinasi angkutan perlu diatur
lebih lanjut.
Angkutan dengan kendaraan tidak bermotor seperti gerobak sapi, gerobak kuda, becak dan sebagainya
tidak kurang pentingnya, tetapi pengaturan,angkutan tidak bermotor ini lebih tepat kiranya jika seluruhnya
diserahkan kepada Pemerintah Daerah, yakni Daerah Swatantra Tingkat I berdasarkan pertimbangan
bahwa angkutan ini bersifat regional.
Dengan adanya ketentuan tentang Dewan Angkutan Darat maka diharapkan dapat direalisasikan prinsip-
prinsip koordinasi dan integrasi serta prinsip social-control, social-support dan social participation dalam
pelbagai kegiatan dibidang angkutan darat.
Demi kesempurnaan pelaksanaan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini maka kepada masyarakat
selayaknya diberi penerangan dan bimbingan seluas-luasnya sehingga mereka dapat memahami dan
ikut serta mengamalkan ketentuan-ketentuan tersebut demi kelancaran, keselamatan dan keamanan lalu
lintas.




PENJELASAN PASAL DEMI PASAL




                                                  Pasal 1
Ayat (1)
Penjelasan ini berlaku baik untuk Undang-undang ini maupun untuk peraturan-peraturan
pelaksanaannya.
Sub a.
     Jalan Dalam pengertian "jalan" termasuk jalan kendaraan, jalan orang, jalan kuda, jalan
     sepeda dan tempat-tempat lain yang terbuka untuk lalu lintas umum.
     Bagian-bagian dari jalan seperti jembatan, tanggul, pinggir, selokan dan lereng sampai batas
     garis sepadan pagar (hekrooilijn) juga termasuk dalam arti jalan" menurut Undang-undang
     ini.
     Dengan anak kalimat "dalam bentuk apapun" dimaksud bahwa pengertian jalan itu tidak
     terbatas pada berbentuk jalan yang konsepsionil akan tetapi juga jalan yang berbentuk lain
     umpamanya jalan dibawah tanah, dibawah laut, tempat-tempat parkir asal jalan itu terbuka
     untuk lalu lintas umum.
     Bagi jalan masuk halaman/pekarangan yang khusus diperuntukkan bagi pemiliknya
     ketentuan-ketentuan Undang-undang ini tidak berlaku.
Sub b.
     Kendaraan bermotor. Dengan adanya anak kalimat "selain dari pada kendaraan yang
     berjalan diatas rel" maka ketentuan-ketentuan terhadap kendaraan bermotor tidak berlaku
     terhadap alat angkutan yang bergerak diatas rel, seperti lokomotip dan sebagainya
     (bandingkan dengan penjelasan ayat (2).
     Semua kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik termasuk dalam istilah ini, baik
     yang merupakan mesin uap, motor pembakar ataupun motor listrik.
     Peralatan teknik, yang menggerakkan kendaraan itu harus berada pada kendaraan itu.
     Dengan demikian kereta gandengan atau tempelan tidak dianggap sebagai kendaraan
     bermotor.
     Otobus listrik (trolley bus), walaupun sumber tenaganya berada dipusat pembangkit listrik,
     tetapi oleh karena peralatan teknik yang diperlukan untuk menggerakkan kendaraan
     tersebut berada pada kendaraan, maka trolley bus termasuk dalam pengertian kendaraan
     bermotor.
Sub c.
     Mobil penumpang. Kendaraan ini harus semata-mata diperlengkapi untuk pengangkutan
     orang. Dengan perkataan "semata-mata" dimaksud agar dalam istilah mobil penumpang itu
     tidak dimasukkan mobil barang, yang selain dipergunakan untuk pengangkutan barang
     diperlengkapi juga untuk pengangkutan orang dalam jumlah terbatas.
Sub d.
     Mobil-bus Kendaraan ini diperlengkapi baik untuk pengangkutan orang maupun untuk
     pengangkutan barang. Dengan barang dimaksudkan bukan saja barang-penumpang
     (bagasi), tetapi juga barang lain.
     Suatu kendaraan bermotor dianggap sebagai mobil-bus menurut Undang-undang ini, jika ia
     diperlengkapi dengan lebih dari delapan tempat duduk kecuali tempat duduk pengemudi,
     walaupun kendaraan tersebut mempunyai bentuk mobil-barang atau bentuk mobil
     penumpang.
Sub e.
     Mobil-barang. Dalam pengertian mobil-barang termasuk traktor, yang dipergunakan untuk
     menghela kereta gandengan atau kereta tempelan. Ada traktor yang dipergunakan untuk
     angkutan jalan raya, ada traktor pertanian dan ada pula traktor yang dipergunakan
     dipelabuhan antara lain forklift semua jenis traktor ini termasuk mobil-barang.
      Sub f.
               Kendaraan umum. Sifat "umum" kendaraan didasarkan pada kenyataan,            bahwa
               pengangkutan dengan kendaraan itu biasanya dilakukan dengan pembayaran.
               Dalam pengertian kendaraan umum termasuk pula kendaraan yang disewakan kepada
               orang lain, baik dengan maupun tanpa pengemudi, selama jangka waktu tertentu.
               Mobil belajar dari sekolah pengemudi termasuk juga dalam pengertian kendaraan umum,
               karena dalam biaya belajar telah termasuk sewa untuk memakai kendaraan tersebut
               sewaktu dipergunakan untuk belajar.
               Dengan "biasanya" dimaksudkan pada lazimnya atau acap-kali. Menyewakan suatu
               kendaraan secara kadang kali saja tidak mengubah sifat kendaraan tersebut menjadi
               kendaraan umum.
      Sub g.
               Pengemudi Menurut ketentuan ini, maka yang disebut pengemudi ialah semua orang yang
               mengemudikan kendaraan baik kendaraan bermotor maupun tidak bermotor seperti sopir,
               kusir kereta atau tukang gerobak, pengendara sepeda, juga orang yang sedang menuntun
               sepedanya atau orang yang langsung mengawasi orang lain mengemudikannya. Dengan
               demikian orang yang sedang memberi pelajaran kepada orang lain mengemudikan
               kendaraan diangga sebagai pengemudi.
      Sub h.
               Cukup jelas.
      Sub i.
               Cukup jelas.
Ayat (2)
      Dengan adanya ketentuan ini maka perundang-undangan lalu-lintas jalan tidak berlaku terhadap
      lokomotip, tram dan untuk setiap kendaraan yang ditarik olehnya.
      Lihatlah penjelasan ayat (1) sub b tersebut diatas.
Ayat (3)
      Ayat ini menghilangkan keragu-raguan apakah ketentuan-ketentuan mengenai kendaraan
      bermotor berlaku pula untuk kereta tempelan atau kereta gandengan yang digandengkan pada
      kendaraan bermotor.
      Apakah rangkaian ini dianggap mobil-penumpang, mobil-bus atau mobil barang tergantung pula
      pada kereta gandengannya. Misalnya rangkaian mobil-penumpang dengan tempat duduk untuk 5
      orang dengan kereta gandengan untuk 5 orang, seluruhnya dianggap sebagai mobil-bus.




                                                 Pasal 2
Ayat (1)
      Meskipun telah diusahakan untuk mengatur sebanyak mungkin hal-hal yang dapat merintangi atau
      membahayakan kebebasan atau keamanan lalu-lintas jalan, namun ketentuan ini dapat
      dipergunakan sebagai dasar umum untuk menuntut peristiwa-peristiwa yang belum diatur secara
      tegas dalam Undang-undang ini.
Ayat (2)
      Cukup jelas.
                                              Pasal 3
Ayat (1)
      Ketentuan-ketentuan tentang kecepatan maksimum yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
      merupakan peraturan seragam yang berlaku secara umum terhadap kendaraan-kendaraan
      tertentu.
Ayat (2)
      Ayat ini mengatur kecepatan maksimum untuk jalan-jalan tertentu dengan mengindahkan
      ketentuan dalam ayat (1).
Ayat (3)
      Daerah Tingkat II tidak berwenang untuk menetapkan kecepatan maksimum dijalan-jalan yang
      dikuasai oleh Daerah Tingkat I demi keseragaman. Sebaliknya daerah kotapraja berwenang untuk
      menetapkan kecepatan maksimum untuk jalan-jalan yang berada didaerah hukumnya, walaupun
      jalan-jalan tersebut dikuasai oleh Daerah Tingkat I atau Daerah Tingkat II.
Ayat (4)
      Cukup jelas.




                                              Pasal 4
Ayat (1)
      Semua perlombaan dan pacuan dengan kendaraan sedikit banyak akan membahayakan ataupun
      merintangi kebebasan lalu-lintas maka oleh karena itu perlu diatur.
Ayat (2)
      Cukup jelas.




                                              Pasal 5
Ketentuan ini berlaku terhadap pengemudi, baik kendaraan bermotor maupun tidak bermotor.
Sub a.
      Cukup jelas.
Sub b.
      Cukup jelas.
Sub c.
      Cukup jelas.
Sub d.
      Dengan obat bius dimaksudkan disini antara lain candu, morfine dan sebagainya. Biasanya sukar
      membuktikan bahwa seorang pengemudi tidak mampu mengemudikan kendaraannya karena
      sebab-sebab tersebut, kecuali dalam hal pengemudi melakukan pelanggaran lalu-lintas dan
      kemudian baru diketahui bahwa ia berbau alkohol.
                                                  Pasal 6
Ketentuan-ketentuan pasal ini berlaku baik terhadap pengemudi kendaraan bermotor maupun pengemudi
kendaraan tidak bermotor, baik terhadap pengemudi kendaraan Angkatan Bersenjata maupun
pengemudi kendaraan bukan milik Angkatan Bersenjata.
Namun terhadap pengemudi kendaraan Angkatan Bersenjata haruslah diadakan beberapa pengecualian
yang akan diatur lebih lanjut berdasarkan pasal 38 sub a.
Sebagai contoh pengecualian dapat disebut pengemudi tank, pengemudi kendaraan dalam konvoi yang
sedang melakukan operasi.
Ayat (1)
      Keharusan menghentikan          kendaraan     tersebut   sudah     selayaknya   dilihat   dari   sudut
      perikemanusiaan.
Ayat (2)
      Sebagai contoh "alasan yang mendesak" ialah misalnya jika ada gejala-gejala bahwa pengemudi
      atau penumpangnya mendapat serangan dari korban atau dari orang-orang yang berbeda
      disekitarnya. Walaupun dalam hal ini pengemudi dapat berjalan terus namun ia diwajibkan
      melaporkan diri pada pejabat kepolisian ditempat yang terdekat.




                                                  Pasal 7
Untuk dapat memperlancar pemberian surat izin mengemudi-kendaraan bermotor maka instansi yang
memberi surat izin tersebut dapat mendelegasikan wewenangnya kepada instansi bawahan di Daerah
Tingkat II.
(1) dan ayat (2)
      Cukup jelas.




                                                  Pasal 8
Terhadap pengemudi kendaraan yang tidak memiliki surat izin mengemudi yang syah sudah ada sangsi
hukum (lihat pasal 5).
Larangan dalam pasal ini ditujukan terhadap pemilik kendaraan bermotor atau kuasanya dan pengemudi
kendaraan bermotor untuk memperkenankan kendaraannya dikemudian oleh orang yang tidak memiliki
surat izin mengemudi.
Namun terhadap seorang pelajar diberi kemungkinan untuk mempelajari praktek mengemudi walaupun ia
belum memiliki surat izin mengemudi yang syah.
Hal ini akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (lihat ayat (2).




                                                  Pasal 9
Demi keamanan maka perlu diatur lamanya pengemudi mengemudikan kendaraan bermotor umum, agar
jangan sampai terjadi kecelakaan oleh karena kelelahan pengemudi tersebut.
Dalam mengatur jam mengemudi haruslah diperhatikan ketentuan-ketentuan Undang-undang kerja yang
berlaku.
                                               Pasal 10
Maksud dari penomoran ialah untuk keperluan registrasi dan untuk tanda pengenal kendaraan sehingga
memudahkan penyidikan pelanggaran yang dilakukan dengan kendaraan bermotor.




                                               Pasal 11
Ayat (1)
      Tujuan dari pengujian kendaraan bermotor yang dilakukan secara berkala, ialah untuk menjaga
      agar kendaraan bermotor. tersebut tidak menunjukkan kekurangan-kekurangan teknis sehingga
      dapat menimbulkan bahaya. Kendaraan yang wajib uji hanya terbatas pada kendaraan yang
      berada dijalan; kendaraan-kendaraan yang dalam persediaan pedagang atau berada di bengkel
      tidak wajib diuji.
Ayat (2) s/d ayat (4)
      Cukup jelas.




                                               Pasal 12
Cukup jelas.


                                               Pasal 13
Cukup jelas.


                                               Pasal 14
Ayat (1)
      Perkembangan angkutan jalan raya dan pembikinan serta keadaan jalan saling mempengaruhi.
      Tanpa jalan yang sempurna tidaklah mungkin angkutan yang sempurna sebaliknya untuk
      mencapai lalu-lintas yang aman, lancar dan murah, jalan harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
Ayat (2).
      Dilihat dari sudut kebutuhan perkembangan angkutan dan intensitas lalu-lintas, Menteri
      mengadakan klasifikasi jalan misalnya jalan A, jalan B dan jalan C.
      Tiga kelas jalan ini memerlukan persyaratan-persyaratan teknis dan perambuan tertentu.
      Syarat-syarat teknis ialah misalnya: lebar jalan, daya angkut, permukaan jalan, radius tikungan dan
      sebagainya.
      Perambuan misalnya mengenai: Larangan berhenti, hanya untuk kendaraan bermotor, tempat-
      tempat yang berbahaya dan sebagainya.
      Menteri melaksanakan ketentuan ayat (2) ini dengan kerja sama yang erat dengan Menteri
      Pekerjaan Umum dan Tenaga dan semua pengusaha jalan yang bersangkutan.
Pasal 15
Ketentuan dalam pasal ini tentang penguasaan dan penyelenggaraan angkutan jalan raya yang vital
mengandung Politik Pemerintah dibidang angkutan didarat sesuai dengan Ketetapan M.P.R.S. yang
berbunyi:
Negara menguasai dan menyelenggarakan perhubungan dan angkutan didarat dan laut yang vital, serta
angkutan udara dan perhubungan telekomunikasi seluruhnya yang pelaksanaannya berpedoman pada
Deklarasi Ekonomi, khususnya dalam tahap pertama revolusi kita. Oleh karena itu penguasaan dan
penyelenggaraan angkutan tersebut ditujukan untuk memperluas dan mengembangkan angkutan jalan
raya baik yang diselenggarakan sepenuhnya oleh negara maupun oleh swasta.
Angkutan bermotor, baik angkutan orang maupun barang yang sangat menentukan bagi kelancaran lalu-
lintas ekonomi antara desa dan kota, antara pelbagai pusat perekonomian termasuk pelabuhan, adalah
angkutan yang vital.
Penetapan tentang angkutan bermotor yang vital diputuskan oleh Menteri dengan memperhatikan
pendapat Dewan Angkutan Darat Pusat.
Akibat penguasaan angkutan oleh Negara ialah bahwa kepada perusahaan-perusahaan milik Pemerintah
diberi fasilitas-fasilitas sesuai dengan kedudukannya sebagai alat kelengkapan Pemerintah, tanpa
mengabaikan hukum-hukum ekonomi perusahaan yang berlaku bagi setiap perusahaan.




                                               Pasal 16
Angkutan swasta sebagai salah satu unsur penting dari potensi rakyat diberi bimbingan sehingga
senantiasa dapat berkembang dan memberi manfaat yang sebesar-besarnya kearah tujuan yang kita
harapkan sebagai telah digariskan oleh Deklarasi Ekonomi.


                                               Pasal 17
Dengan demikian dapat dihindarkan bahwa pengusaha hanya melayani trayek-trayek yang gemuk saja.


                                               Pasal 18
Pasal ini mengatur izin mobil-bis umum. Pemberian izin didesentralisasikan.
Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai izin ini akan diatur dengan Peraturan Pemerintah (lihat pasal
29).


                                               Pasal 19
Pasal ini membuka kemungkinan untuk mengatur pengusahaan mobil penumpang umum seperti taksi,
otolet dan sebagainya yang melayani trayek-trayek luar kota.
Salah satu pertimbangan untuk mengatur jenis angkutan ini ialah antara lain untuk mencegah persaingan
yang merugikan antara sesama dan pelbagai jenis angkutan jalan raya (lihat penjelasan pasal 18).


                                               Pasal 20
Mobil-bis dan mobil-penumpang untuk keperluan pariwisata pada umumnya menghendaki pengaturan
yang lebih lunak, sehingga dapat disesuaikan dengan kebutuhan pariwisata.
Misalnya mobil-bus untuk keperluan pariwisata tidak menghendaki peraturan jalan yang terlalu kaku.
Mobil-bis tidak umum, misalnya mobil-bis instansi Pemerintah atau badan swasta yang dipergunakan
untuk keperluan pariwisata, darmawisata dan sebagainya, takluk kepada ketentuan ini.
Persoalan angkutan orang dalam kota menunjukkan aspek-aspek yang banyak berbeda dengan
angkutan antar-kota.
Pemerintah Daerah Kotapraja yang bersangkutan dapat mengatur hal-hal tersebut lebih lanjut.
Sebagai contoh beberapa Kotapraja menganggap perlu untuk memperlengkapi mobil penumpang umum
dengan taxi-motor atau memberikan tanda pengenal khusus kepada mobil-bis atau mobil-penumpang
umum yang diusahakan dalam batas Kotapraja.


                                              Pasal 22
Pengangkutan barang dengan mobil-barang dapat diatur menurut kebutuhan.


                                              Pasal 23
Lihat penjelasan pasal 18.


                                              Pasal 24
Ayat (1)
      Ketentuan ini berlaku bagi semua pengusaha kendaraan umum, baik kendaraan bermotor maupun
      tidak bermotor seperti gerobak, kereta dan becak.
Ayat (2)
      Dalam pengertian "pembungkusan" termasuk cara mengikat, cara menutup, cara membungkus
      dan sebagainya.


                                              Pasal 25
Pasal ini mengatur wajib-angkut perusahaan-perusahaan pengangkut umum.
Ayat (1)
      Wajib angkut berlaku, baik untuk orang maupun untuk barang, selama tidak bertentangan dengan
      ketentuan-ketentuan tentang muatan.
      Pengusaha mobil-bis tidak diwajibkan mengangkut barang selain dari pada bagasi penumpang.
      Jika seorang penumpang mempunyai barang yang beratnya lebih dari maksimum yang ditetapkan
      untuk bagasi, maka pengusaha dapat menolak mengangkut barang tersebut.
Ayat (2)
      Walaupun wajib angkut ini berlaku terhadap setiap pengusaha pengangkutan umum, namun dalam
      hal-hal tertentu ada pengecualian. Mobil tangki tidak diwajibkan mengangkut barang lain selain
      minyak atau air. Pengecualian-pengecualian lain akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
      Pemerintah.
Ayat (3)
      Cukup jelas.


                                              Pasal 26
Pengendalian tarip ini berlaku baik terhadap kendaraan bermotor maupun terhadap kendaraan tidak
bermotor, baik untuk pengangkutan orang maupun barang.
Ayat (1)
      Yang dimaksud dengan Keputusan Pemerintah Daerah Tingkat I ialah Keputusan Dewan
      Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong yang bersangkutan.
Ayat (2) dan ayat (3)
      Cukup jelas.


                                            Pasal 27
Maksud dari perizinan perusahaan bukanlah semata-mata untuk tujuan pendaftaran, sebab dengan wajib
penomoran bagi kendaraan bermotor yang ada sekarang telah diperoleh daftar-daftar yang diinginkan.
Dengan perizinan ini dapat tercapai kebijaksanaan tertentu dalam bidang pengangkutan, antara lain
untuk memelihara keseimbangan antara kebutuhan dan penawaran pengangkutan di daerah tertentu.
Hal ini akan mempermudah pula segala sesuatu yang berhubungan dengan perpajakan.
Dalam izin ditetapkan syarat-syarat antara lain kewajiban pengusaha untuk menyusun statistik
pengangkutan.
Perizinan ini tidak membebaskan perusahaan pengangkutan dari ketentuan-ketentuan Undang-undang
Pokok Perusahaan dan Undang-undang Gangguan. Lebih lanjut lihat penjelasan pasal 18.


                                            Pasal 28
Untuk menjamin kelancaran pengangkutan, selain kendaraan bermotor dan perusahaan angkutan harus
pula diatur perawatannya.
Maka oleh karena itu, untuk mendirikan bengkel umum kendaraan bermotor harus ada izin, sehingga
bengkel-bengkel tersebut dapat diawasi agar dapat terjamin perawatan yang sempurna terhadap
kendaraan bermotor.


                                            Pasal 29
Ayat (1) dan ayat (2)
      Cukup jelas.


                                            Pasal 30
Ayat (1)
      Syarat-syarat tersebut dimaksud demi keamanan lalu-lintas, daya guna dalam penggunaan
      kendaraan dan ketenteraman serta kesenangan para penumpang.
Ayat (2) dan ayat (3)
      Cukup jelas.
Ayat (4)
      Masalah assembling kendaraan bermotor tidaklah terlepas dari perkembangan pembikinan
      kendaraan bermotor pada khususnya dan perkembangan industri pada umumnya.


                                            Pasal 31
Ayat (1) dan ayat (2)
      Cukup jelas.
Ayat (3)
      Sub c
               Untuk Dewan Angkutan Darat Pusat usul Front Nasional ditujukan oleh Pengurus Besar
               Front Nasional; untuk Dewan Angkutan Darat Daerah oleh Pengurus Daerah Front Nasional.


                                               Pasal 32
Ayat (1) s/d ayat (3)
      Cukup jelas.


                                               Pasal 33
Ayat (1)
      Sebagai pidana tambahan, wewenang untuk mengemudikan kendaraan bermotor dapat dicabut,
      atas pelanggaran-pelanggaran tertentu.
      Penyalahgunaan ialah antara lain memalsukan, mempergunakan surat yang tidak sah dan
      sebagainya.
Ayat (2)
      Cukup jelas.


                                               Pasal 34
Ayat (1)
      Pasal ini mengatur pidana tambahan terhadap pemilik kendaraan bermotor atau kuasanya.
Ayat (2)
      Pemegang surat-coba-kendaraan ialah misalnya dealer, bengkel, importir dan sebagainya.


                                               Pasal 35
Ayat (1)
      Petugas-petugas penyelidikan selain dari anggota Angkatan Kepolisian ialah misalnya pejabat-
      pejabat Direktorat Lalu Lintas Jalan dan Direktorat Jalan-jalan.
Ayat (2)
      Cukup jelas.


                                               Pasal 36
Cukup jelas.


                                               Pasal 37
Untuk pengemudi dan kendaraan termaksud dalam pasal ini tidak diperlukan suat izin mengemudi dan
surat nomor kendaraan Indonesia. Begitu pula kendaraan tersebut tidak dikenakan wajib uji.
                                              Pasal 38
Dengan kendaraan untuk keperluan khusus dimaksud antara lain forklift, penggilas jalan dan sebagainya.
Dengan demikian kendaraan tersebut serta pengemudinya dapat dikecualikan umpamanya dari wajib
nomor dan wajib uji.


                                              Pasal 39
Cukup jelas.




                                             Mengetahui:
                          SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
                                                 Ttd.
                                           MOHD. ICHSAN


               TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2742


Silahkan download versi PDF nya sbb:
lalu_lintas_angkutan_jalan_raya_(uu_3_thn_1965)_3.pdf
(ogi/Carapedia)
Pencarian Terbaru

Uu jalan raya. Undang undang jalan raya. Uud jalan raya. Undang2 jalan raya. Peraturan jalan raya. Hukum lalu lintas jalan raya. Undang undang dasar lalu lintas.

Undang undang yang mengatur tentang jalan dan lalu lintas. Undang undang yang mengatur tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Undang undang pengguna jalan raya. Uu jalan raya terbaru. Pasal 29 lalulintas. Aturran jalan raya. Pasal yang memuat peraturan lalu lintas.

Undang undang di jalan raya. Aturan jalan raya. Http://carapedia.com/lalu_lintas_angkutan_jalan_raya_thn_1965_info1156.html. Larangan gerobak motor di jalan raya. Peraturan lalu lintas jalan raya. Penjelasan undang undang lalu lintas.

Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.
FIND US ON FACEEBOOK