- Home »
- Undang-Undang »
- 1965 » Undang-Undang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan Raya (UU 3 thn 1965)
1965
Undang-Undang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan Raya (UU 3 thn 1965)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1965 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan Raya :
Silahkan download versi PDF nya sbb:
lalu_lintas_angkutan_jalan_raya_(uu_3_thn_1965)_3.pdf
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1965 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN RAYA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa "Werverkeersordonnantie" (Staatsblad 1933 Nomor 86) sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1951 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1951 Nomor 42), tidak sesuai lagi dengan perkembangan lalu lintas di jalan raya dan kemajuan di bidang teknik kendaraan bermotor; b. bahwa dianggap perlu untuk mengatur pula segala kegiatan-kegiatan yang sangat erat hubungannya dengan pengusahaan, penyelenggaraan dan perkembangan angkutan jalan serta pemeliharaan jalan raya; c. bahwa oleh sebab itu perlu diadakan Undang-undang baru yang akan mengatur hal-hal tersebut di atas. Mengingat: 1. Pasal 5 ayat 1 dan pasal 33 ayat 2 Undang-undang Dasar; 2. Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor I/MPRS/1960, dan Nomor II/MPRS/1960; 3. Deklarasi Ekonomi. Dengan Persetujuan: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT GOTONG ROYONG, MEMUTUSKAN: Dengan mencabut "Wegverkeersordonnantie" (Staatsblad 1933 Nomor 86), sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1951 (Lembaran Negara Republik Indonesia Republik Indonesia tahun 1951 Nomor 42). Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN RAYA BAB I KETENTUAN-KETENTUAN UMUM Pasal 1 (1) Dalam Undang-undang ini yang dimaksudkan dengan: a. "jalan" : setiap jalan dalam bentuk apapun yang terbuka untuk lalu lintas umum; b. "kendaraan : setiap kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang ada pada bermotor" kendaraan itu dan biasanya dipergunakan untuk pengangkutan orang atau barang di jalan selain dari pada kendaraan yang berjalan di atas rel; c. "mobil : setiap kendaraan bermotor yang semata-mata diperlengkapi dengan penumpang" sebanyak-banyaknya 8 tempat duduk tidak termasuk tempat duduk pengemudinya, baik dengan maupun tanpa perlengkapan pengangkutan bagasi; d. "mobil-bis" : setiap kendaraan bermotor yang diperlengkapi dengan lebih dari 8 tempat duduk tidak termasuk tempat duduk pengemudinya, baik dengan maupun tanpa perlengkapan pengangkutan barang; e. "Mobil-barang" : kendaraan bermotor selain dari pada yang termaksud dalam sub c, sub d dan selain kendaraan bermotor beroda dua; f. "kendaraan- : setiap kendaraan yang biasanya disediakan untuk dipergunakan oleh umum umum" dengan pembayaran; g. "pengemudi" : orang yang mengemudikan kendaraan atau yang langsung mengawasi orang lain mengemudikannya; h. "daerah- : daerah yang termaksud dalam perundang-undangan tentang pemerintahan swatantra" Daerah; i. "Menteri" : Menteri yang diserahi urusan angkutan darat. (2) Kendaraan yang berjalan di atas rel tidak dianggap sebagai kendaraan sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan-ketentuan Undang-undang ini; (3) Sesuatu rangkaian kendaraan yang terdiri dari kendaraan bermotor dan satu atau beberapa kereta tempelan/kereta-gandengan dianggap sebagai kendaraan bermotor sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan-ketentuan Undang-undang ini, kecuali jika jelas dinyatakan sebaliknya. BAB II KETENTUAN-KETENTUAN UNTUK SEMUA PEMAKAI JALAN Pasal 2 (1) Dilarang mempergunakan jalan dengan cara yang dapat merintangi, membahayakan kebebasan atau keamanan lalu lintas, atau yang mungkin menimbulkan kerusakan pada jalan itu. (2) Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan ketentuan-ketentuan umum mengenai lalu lintas jalan yang harus memuat tentang: a. berjalan dan berhenti, meminggir, penerangan dan memberi isyarat-isyarat peringatan; b. mengizinkan hewan berada di jalan. Pasal 3 (1) Dengan peraturan Pemerintah ditetapkan kecepatan maksimum yang berlaku untuk beberapa macam kendaraan tertentu, baik di dalam maupun di luar daerah bangunan. (2) Dengan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat diatur kecepatan maksimum yang berlaku untuk jalan-jalan tertentu bagi semua atau beberapa macam kendaraan, dengan mengindahkan ketentuan pada ayat (1). (3) Peraturan yang dimaksudkan dalam ayat (2) di atas ditetapkan oleh: a. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I untuk jalan-jalan Propinsi; b. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kotapraja untuk semua jalan yang terletak dalam daerah hukum kotapraja tersebut. (4) Keputusan-keputusan termaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diumumkan dalam Lembaran Daerah. Pasal 4 (1) Dilarang menyelenggarakan atau ikut serta dalam perlombaan atau pacuan di jalan, yang diselenggarakan tanpa izin. (2) Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan ketentuan- ketentuan mengenai perlombaan dan pacuan di jalan. BAB III PENGEMUDI Pasal 5 Pengemudi yang mengemudikan sesuatu kendaraan di jalan: a. harus dapat memperlihatkan surat izin mengemudi, surat nomor kendaraan, surat coba kendaraan, surat uji, kendaraan atau tanda-tanda bukti lainnya yang berlaku, sebagaimana diwajibkan menurut ketentuan-ketentuan Undang-undang ini; b. harus memenuhi seluruh ketentuan-ketentuan Undang-undang ini tentang penomoran, penerangan, peralatan, susunan, perlengkapan, pemuatan dari kendaraannya dan syarat-syarat penggandengan dengan kendaraan lain; c. harus memenuhi semua peraturan berdasarkan ketentuan-ketentuan pasal 14; d. harus mampu mengemudikan kendaraannya dengan wajar tanpa dipengaruhi oleh keadaan sakit, lelah, meminum sesuatu yang mengandung alkohol atau obat bius ataupun oleh hal-hal lain. Pasal 6 (1) Pengemudi sesudah terjadinya kecelakaan oleh karena sesuatu peristiwa yang melibatkan kendaraannya: a. harus menghentikan kendaraannya apabila dalam peristiwa ini terdapat seorang yang mati, luka atau kesehatannya terganggu ataupun menderita kerugian besar; b. harus berusaha agar orang yang karena kecelakaan itu luka atau terganggu kesehatannya mendapat pertolongan. (2) Pengemudi yang dalam peristiwa termaksud dalam ayat (1) oleh karena alasan mendesak berjalan terus dengan kendaraannya ataupun membiarkan dalam keadaan tanpa pertolongan orang yang dalam kecelakaan tersebut luka atau terganggu kesehatannya diwajibkan mengenalkan dirinya atau kendaraannya serta memberikan segala keterangan yang diketahuinya tentang kecelakaan itu kepada pejabat Kepolisian yang terdekat. Pasal 7 (1) Surat izin mengemudi kendaraan bermotor diberikan oleh instansi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (2) Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan ketentuan- ketentuan lebih lanjut tentang surat izin mengemudi mengenai: a. syarat-syarat untuk memperolehnya tentang umur kecakapan jasmani dan rohani, kecakapan menulis dan membaca, pengetahuan tentang peraturan-peraturan lalu lintas jalan dan ketangkasan mengemudikan kendaraan bermotor, untuk mengemudikan kendaraan bermotor umum dapat ditetapkan syarat-syarat istimewa; b. penggolongannya menurut jenis, jumlah berat atau isi silinder kendaraan bermotor; c. jangka waktu berlakunya; d. biaya yang dipungut; e. sebab-sebab ditolaknya permohonan; f. sebab-sebab tidak berlakunya lagi; g. cara memohon dan cara mempergunakannya. Pasal 8 (1) Pemilik atau kuasanya dan pengemudi dilarang memperkenankan kendaraan bermotor dikemudikan oleh seorang yang tidak memilik surat izin mengemudi. (2) Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan ketentuan- ketentuan mengenai cara belajar dan memberi pelajaran mengemudikan kendaraan bermotor. Pasal 9 Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan ketentuan-ketentuan mengenai jam mengemudi untuk pengemudi kendaraan bermotor umum. BAB IV PENOMORAN KENDARAAN BERMOTOR Pasal 10 (1) Setiap kendaraan bermotor yang berada di jalan, harus dilengkapi dengan tanda yang jelas kelihatan terdiri dari satu atau beberapa nomor dan satu atau beberapa huruf. (2) Sebagai bukti bahwa pemilik atau kuasanya berhak memakai nomor yang diberikan menurut ayat (1), kepadanya diberikan surat nomor kendaraan atas namanya atau surat coba kendaraan, di mana dicantumkan nomor dan huruf termaksud dalam ayat (1). (3) Surat nomor kendaraan atau surat coba kendaraan diberikan kepada pemilik kendaraan bermotor atau kuasanya oleh instansi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (4) Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan ketentuan-ketentuan lebih lanjut tentang tanda termaksud dalam ayat (1) dan surat nomor kendaraan atau surat coba kendaraan termaksud dalam ayat (2) mengenai: a. permohonan, pemberian dan penolakan; b. daerah penomoran; c. daerah dan jangka waktu berlakunya; d. tidak berlakunya lagi; e. biaya yang dipungut; f. cara memohon dan cara mempergunakannya; g. pendaftaran ulangan. BAB V PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR Pasal 11 (1) Setiap kendaraan bermotor kereta tempelan atau kereta gandengan yang berada di jalan harus diuji, dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan kendaraan-kendaraan mana untuk sementara tidak dikenakan wajib uji tersebut. (2) Sebagai bukti pengujian yang berhasil baik kendaraan bermotor yang termaksud dalam ayat (1) dibubuhi tanda uji kendaraan dan diberikan pula satu surat uji kendaraan yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia. (3) Pengujian dilakukan oleh instansi yang ditunjuk oleh Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri, kecuali untuk kendaraan bermotor khusus Angkatan Bersenjata. (4) Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan ketentuan- ketentuan tentang: a. syarat-syarat yang harus dipenuhi kendaraan bermotor pada pengujian; b. jangka waktu berlakunya; c. biaya yang dipungut; d. cara memohon dan cara mempergunakan surat uji dan tanda uji. BAB VI KENDARAAN TIDAK BERMOTOR Pasal 12 Daerah Tingkat I menetapkan peraturan-peraturan umum mengenai kendaraan tidak bermotor. BAB VII KETENTUAN-KETENTUAN MENGENAI JALAN Pasal 13 Negara menguasai, membuat dan memelihara jalan. Pasal 14 (1) Pemerintah menetapkan ketentuan-ketentuan tentang pembuatan, pemeliharaan dan penggunaan jalan. (2) Dengan peraturan Menteri ditetapkan kelas-kelas jalan, rambu-rambu dan tanda-tanda jalan menurut kebutuhan perkembangan angkutan dan intensitas lalu lintas. BAB VIII PERANAN PEMERINTAH DI BIDANG PENGANGKUTAN JALAN RAYA Pasal 15 Negara menguasai dan menyelenggarakan angkutan jalan raya yang vital, baik angkutan orang maupun angkutan barang. Pasal 16 Menteri mengatur dan memberi bimbingan kepada angkutan swasta demi tercapainya koordinasi antara semua jenis angkutan jalan raya. Pasal 17 Izin angkutan diberikan berdasarkan pengerahan segala potensi angkutan menurut kebutuhan. BAB IX PENGANGKUTAN ORANG DENGAN KENDARAAN BERMOTOR Pasal 18 (1) Penguasahaan mobil bis umum untuk pengangkutan orang harus dengan izin. (2) Izin termaksud dalam ayat (1) diberikan: I.a. untuk trayek-trayek yang seluruhnya berada di dalam Daerah Tingkat I oleh Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I; I.b. untuk trayek-trayek yang melalui lebih dari Daerah Tingkat I oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri; II. untuk trayek-trayek yang seluruhnya berada di dalam daerah kotapraja oleh Wali Kota/Kepala Daerah. Pasal 19 Atas usul Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan, Menteri dapat menunjuk trayek di luar batas kotapraja yang dapat dilayani oleh mobil penumpang umum hanya dengan izin yang diberikan oleh penguasa termaksud dalam pasal 18 ayat (2) sub I. Pasal 20 Pengangkutan orang untuk keperluan pariwisata akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 21 Jika dipandang perlu untuk melancarkan pengangkutan orang secara tertib dan teratur di dalam wilayah kotapraja maka dengan Peraturan Pemerintah Daerah Kotapraja yang bersangkutan dapat ditetapkan ketentuan-ketentuan tambahan mengenai susunan dan perlengkapan mobil bis umum dan mobil penumpang umum. BAB X PENGANGKUTAN BARANG DENGAN KENDARAAN BERMOTOR Pasal 22 Dengan koordinasi pengangkutan dan demi kepentingan umum Menteri dapat menunjuk trayek-trayek tertentu di luar batas kotapraja, di mana pengangkutan barang dengan kendaraan bermotor umum atau tidak umum dengan daya angkut tertentu harus dengan izin. Pasal 23 Izin termaksud dalam pasal 22 diberikan oleh penguasa dan menurut ketentuan-ketentuan termaksud dalam pasal 18 ayat (2) sub I. BAB XI PENGUSAHAAN PENGANGKUTAN DENGAN KENDARAAN UMUM Pasal 24 (1) Pengusaha kendaraan umum bertanggung jawab terhadap kerugian-kerugian yang diderita oleh penumpang serta kerusakan-kerusakan barang yang berada di dalam kendaraan tersebut, kecuali jika ia dapat membuktikan, bahwa kerugian itu terjadi di luar kesalahannya atau kesalahan pegawainya. (2) Ketentuan dalam ayat (1) tidak berlaku, jika kerugian dan kerusakan tersebut terjadi karena tidak sempurna pembungkusan barang yang diangkut, dengan ketentuan bahwa hal tersebut telah diberitahukan kepada si pengirim sebelum pengangkutan dimulai. Pasal 25 (1) Selama ketentuan-ketentuan berdasarkan Undang-undang ini mengenai pemuatan tidak dilanggar, pengusaha kendaraan umum dan pegawainya harus mengangkut orang dan barang setelah dinyatakan keinginan untuk diangkut dengan pembayaran biaya menurut tarip yang telah ditetapkan berdasarkan Undang-undang ini. (2) Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan pengecualian terhadap wajib angkut termaksud dalam ayat (1). (3) Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan ketentuan- ketentuan lebih lanjut tentang kewajiban dari pengusaha dan pegawai kendaraan umum serta kewajiban penumpangnya, begitu pula tentang cara mengangkut orang dan barang dengan kendaraan umum. Pasal 26 (1) Sepanjang tidak ditetapkan tarip berdasarkan perundang-undangan lain maka demi kepentingan umum dengan keputusan Pemerintah Daerah Tingkat I ditetapkan tarip untuk pengangkutan orang dan barang dengan kendaraan umum. (2) Keputusan yang termaksud dalam ayat (1) diumumkan di Lembaran Daerah. (3) Pengusaha kendaraan umum atau pegawainya dilarang mengangkut orang dan barang dengan kendaraannya dengan tarip yang berbeda dengan tarip sebagai termaksud dalam ayat (1). Pasal 27 (1) Untuk mendirikan perusahaan pengangkutan dengan kendaraan bermotor umum harus ada izin dari penguasa termaksud dalam ayat (2). (2) Izin termaksud dalam ayat (1) diberikan: a. untuk perusahaan yang berkedudukan di wilayah kotapraja oleh Wali Kota/Kepala Daerah; untuk daerah khusus Ibukota oleh Gubernur/Kepala Daerah; b. untuk perusahaan yang berkedudukan dalam wilayah Daerah Tingkat II oleh Bupati/Kepala Daerah. BAB XII KETENTUAN-KETENTUAN MENGENAI BENGKEL UMUM UNTUK KENDARAAN BERMOTOR. Pasal 28 Untuk mendirikan perusahaan bengkel umum untuk kendaraan bermotor harus ada izin dari penguasa dan menurut ketentuan- ketentuan termaksud dalam pasal 27 ayat (2). Pasal 29 (1) Persyaratan, permohonan, pemberian, penolakan dan perubahan izin termaksud dalam pasal- pasal 18, 19, 23, 27 dan pasal 28 begitu pula syarat-syarat tentang pencabutannya, ketentuan- ketentuan tentang sanggahan, bandingan dan cara pengumumannya serta biaya yang berhubungan dengan hal-hal tersebut akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. (2) Menteri memberi petunjuk-petunjuk demi keseragaman dalam pemberian izin termaksud dalam pasal-pasal 18, 19, 23, 27 dan pasal 28. BAB XIII KENDARAAN BERMOTOR SERTA ALAT-ALATNYA Pasal 30 (1) Menteri menentukan syarat-syarat tentang susunan, perlengkapan, peralatan, pemuatan, ukuran dan penggandengan kendaraan bermotor. (2) Rencana pembikinan kendaraan bermotor serta alat-alatnya ditetapkan oleh Menteri Perindustrian Dasar dan Menteri Perdagangan. (3) Rencana pengimporan kendaraan bermotor serta alat-alatnya ditetapkan oleh Menteri, Menteri Perindustrian Dasar dan Menteri Perdagangan. (4) Untuk mencapai daya guna yang sebesar-besarnya Menteri mengatur assembling dan distribusi kendaraan bermotor serta alat-alatnya. BAB XIV DEWAN ANGKUTAN DARAT Pasal 31 (1) Di tingkat Pusat dan di setiap Daerah Tingkat I dibentuk Dewan Angkutan Darat Pusat dan Dewan Angkutan Darat Daerah yang memberi pertimbangan masing-masing kepada Menteri dan Gubernur/Kepala Daerah. (2) Tugas pokok dari Dewan Angkutan Darat ialah mengkoordinasikan segala usaha dan kegiatan di bidang angkutan darat baik dalam taraf perencanaan, pembinaan maupun dalam taraf pelaksanaan dan pengawasan. (3) Dewan Angkutan Darat Pusat dibentuk dengan keputusan Presiden dan Dewan Angkutan Darat Daerah dibentuk dengan keputusan Menteri dan mempunyai susunan keanggotaan sebagai berikut: a. pejabat-pejabat Pemerintah yang mempunyai keahlian dalam bidang angkutan darat dan/atau mempunyai hubungan dalam pembinaan angkutan darat; b. wakil-wakil organisasi perusahaan di bidang angkutan darat; c. wakil-wakil organisasi buruh di bidang angkutan darat atas usul Front Nasional. BAB XV KETENTUAN-KETENTUAN PIDANA Pasal 32 (1) Dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh ribu rupiah barang siapa yang tidak memenuhi atau melanggar seluruh atau sebagian dari keharusan atau ketentuan yang termaksud dalam dan berdasarkan pasal-pasal 2, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 18, 19, 22, 25, 26, 27, 28 dan pasal 35 ayat (2). (2) Tindak pidana termaksud dalam ayat (1) adalah pelanggaran. (3) Jika salah satu pelanggaran yang disebut pada ayat (1) dilakukan dalam masa satu tahun semenjak suatu putusan hakim dijatuhkan terhadap yang bersalah oleh karena pelanggaran yang sama mempunyai kekuatan tetap, maka pidana kurungan dapat ditambah dengan sepertiga dan denda dengan separuh. Pasal 33 (1) Pengemudi yang melakukan: a. pelanggaran termaksud dalam pasal-pasal 2, 4, 5 di bawah d, 6 dan pasal 8. b. pelanggaran oleh karena penyalahgunaan surat izin mengemudi, surat nomor, tanda nomor, surat coba, surat uji dan tanda uji kendaraan atau memberi keterangan yang tidak benar dalam permohonan surat izin mengemudi. c. dengan kendaraan bermotor salah satu tindak pidana termaksud dalam pasal-pasal 359, 360, 406, 408, 409, 410 dan 492 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dapat dicabut wewenangnya untuk mengemudi kendaraan bermotor tertentu untuk paling lama satu tahun, tidak bersamaan sebagian atau seluruhnya dengan pidana kurungan yang telah dijatuhkan. (2) Jika suatu pelanggaran termaksud dalam ayat (1) dilakukan masa satu tahun semenjak suatu putusan hakim yang dijatuhkan terhadap yang bersalah karena pelanggaran yang sama, maka wewenang untuk mengemudikan kendaraan bermotor dapat dicabut untuk paling lama dua tahun. Pasal 34 (1) Dalam mempidana pemilik kendaraan bermotor atau kuasanya oleh karena penyalahgunaan surat nomor, tanda nomor, surat uji dan tanda uji kendaraan atau memberi keterangan yang tidak benar dalam permohonannya maka: a. surat nomor, surat uji, tanda uji kendaraan yang bersangkutan dapat dinyatakan tidak berlaku; b. mengenai surat coba kendaraan, wewenang pemilik atau kuasanya untuk mempergunakannya dapat dicabut untuk selamanya satu tahun tidak bersamaan seluruhnya atau sebagian dengan pidana kurungan yang telah dijatuhkan. (2) Dalam mempidana pemegang surat coba kendaraan karena pelanggaran peraturan-peraturan berdasarkan Undang-undang ini, maka wewenangnya untuk mempergunakan surat coba kendaraan dapat dicabut untuk selama-lamanya satu tahun, tidak bersamaan sebagian atau seluruhnya dengan pidana kurungan yang telah dijatuhkan. Pasal 35 (1) Selain dari para pejabat yang pada umumnya bertugas menyidik kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran, penyidikan pelanggaran ketentuan-ketentuan dalam atau berdasarkan Undang-undang ini dapat juga dilakukan oleh pejabat-pejabat yang penunjukan dan wewenangnya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. (2) Setiap orang diwajibkan segera memenuhi perintah atau petunjuk yang diberikan kepadanya oleh pejabat termaksud dalam ayat (1). BAB XVI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 36 Peraturan-peraturan pelaksanaan yang berlaku sekarang tetap berlaku hingga diubah dengan peraturan- peraturan berdasarkan Undang-undang ini. BAB XVII KETENTUAN-KETENTUAN PENUTUP Pasal 37 Ketentuan-ketentuan mengenai surat izin mengemudi, surat nomor kendaraan dan wajib uji tidak berlaku terhadap pengemudi dan kendaraan bermotor yang diperbolehkan ikut serta dalam lalu lintas internasional berdasarkan perjanjian internasional tentang lalu lintas jalan. Pasal 38 Dengan peraturan Pemerintah dapat diatur sampai di mana ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan atau berdasarkan Undang-undang ini tidak berlaku untuk: a. kendaraan bermotor dan barisan Angkatan Bersenjata, Barisan Pemadam Kebakaran serta Dinas Umum lainnya; b. pengemudi kereta api dan tram; c. kendaraan-kendaraan bermotor untuk keperluan khusus. Pasal 39 Undang-undang ini disebut "Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya" dan mulai berlaku pada tanggal diundangkannya. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan Di Jakarta, Pada Tanggal 1 April 1965 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd. SUKARNO Diundangkan Di Jakarta, Pada Tanggal 1 April 1965 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. MOHD. ICHSAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1965 NOMOR 25 PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1965 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN RAYA UMUM Undang-undang ini memuat ketentuan-ketentuan pokok untuk mengatur kelancaran, keamanan dan ketertiban lalu lintas dan ketentuan-ketentuan pokok tentang politik Pemerintah dibidang angkutan jalan raya. Angkutan jalan raya sebagaimana juga halnya dengan jenis angkutan lainnya sangat penting bagi perkembangan politik, sosial dan ekonomi setiap negara dan merupakan salah satu syarat mutlak untuk perkembangan perekonomian masyarakat dalam rangka pembangunan nasional semesta. Untuk menuju masyarakat adil dan makmur sebagaimana kita cita-citakan bersama, maka Negara harus menguasai angkutan agar angkutan tersebut dapat dikerahkan ketujuan yang dicita-citakan itu. Angkutan jalan tidak dapat dipisahkan dari jalan raya, dengan demikian sudah selayaknya jika Negara menguasai, membuat dan memelihara jalan. Hal ini tercantum dalam pasal 13. Pasal 13 ini merupakan dasar bagi Pemerintah untuk lebih lanjut mengatur persoalan jalan raya serta angkutan jalan raya secara integral dan konsepsionil. Pun soal-soal lain yang erat hubungannya dengan perkembangan angkutan perlu diatur. Persoalan perbengkelan, pembikinan pembelian kendaraan serta alat-alatnya, soal koordinasi angkutan perlu diatur lebih lanjut. Angkutan dengan kendaraan tidak bermotor seperti gerobak sapi, gerobak kuda, becak dan sebagainya tidak kurang pentingnya, tetapi pengaturan,angkutan tidak bermotor ini lebih tepat kiranya jika seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah, yakni Daerah Swatantra Tingkat I berdasarkan pertimbangan bahwa angkutan ini bersifat regional. Dengan adanya ketentuan tentang Dewan Angkutan Darat maka diharapkan dapat direalisasikan prinsip- prinsip koordinasi dan integrasi serta prinsip social-control, social-support dan social participation dalam pelbagai kegiatan dibidang angkutan darat. Demi kesempurnaan pelaksanaan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini maka kepada masyarakat selayaknya diberi penerangan dan bimbingan seluas-luasnya sehingga mereka dapat memahami dan ikut serta mengamalkan ketentuan-ketentuan tersebut demi kelancaran, keselamatan dan keamanan lalu lintas. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Ayat (1) Penjelasan ini berlaku baik untuk Undang-undang ini maupun untuk peraturan-peraturan pelaksanaannya. Sub a. Jalan Dalam pengertian "jalan" termasuk jalan kendaraan, jalan orang, jalan kuda, jalan sepeda dan tempat-tempat lain yang terbuka untuk lalu lintas umum. Bagian-bagian dari jalan seperti jembatan, tanggul, pinggir, selokan dan lereng sampai batas garis sepadan pagar (hekrooilijn) juga termasuk dalam arti jalan" menurut Undang-undang ini. Dengan anak kalimat "dalam bentuk apapun" dimaksud bahwa pengertian jalan itu tidak terbatas pada berbentuk jalan yang konsepsionil akan tetapi juga jalan yang berbentuk lain umpamanya jalan dibawah tanah, dibawah laut, tempat-tempat parkir asal jalan itu terbuka untuk lalu lintas umum. Bagi jalan masuk halaman/pekarangan yang khusus diperuntukkan bagi pemiliknya ketentuan-ketentuan Undang-undang ini tidak berlaku. Sub b. Kendaraan bermotor. Dengan adanya anak kalimat "selain dari pada kendaraan yang berjalan diatas rel" maka ketentuan-ketentuan terhadap kendaraan bermotor tidak berlaku terhadap alat angkutan yang bergerak diatas rel, seperti lokomotip dan sebagainya (bandingkan dengan penjelasan ayat (2). Semua kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik termasuk dalam istilah ini, baik yang merupakan mesin uap, motor pembakar ataupun motor listrik. Peralatan teknik, yang menggerakkan kendaraan itu harus berada pada kendaraan itu. Dengan demikian kereta gandengan atau tempelan tidak dianggap sebagai kendaraan bermotor. Otobus listrik (trolley bus), walaupun sumber tenaganya berada dipusat pembangkit listrik, tetapi oleh karena peralatan teknik yang diperlukan untuk menggerakkan kendaraan tersebut berada pada kendaraan, maka trolley bus termasuk dalam pengertian kendaraan bermotor. Sub c. Mobil penumpang. Kendaraan ini harus semata-mata diperlengkapi untuk pengangkutan orang. Dengan perkataan "semata-mata" dimaksud agar dalam istilah mobil penumpang itu tidak dimasukkan mobil barang, yang selain dipergunakan untuk pengangkutan barang diperlengkapi juga untuk pengangkutan orang dalam jumlah terbatas. Sub d. Mobil-bus Kendaraan ini diperlengkapi baik untuk pengangkutan orang maupun untuk pengangkutan barang. Dengan barang dimaksudkan bukan saja barang-penumpang (bagasi), tetapi juga barang lain. Suatu kendaraan bermotor dianggap sebagai mobil-bus menurut Undang-undang ini, jika ia diperlengkapi dengan lebih dari delapan tempat duduk kecuali tempat duduk pengemudi, walaupun kendaraan tersebut mempunyai bentuk mobil-barang atau bentuk mobil penumpang. Sub e. Mobil-barang. Dalam pengertian mobil-barang termasuk traktor, yang dipergunakan untuk menghela kereta gandengan atau kereta tempelan. Ada traktor yang dipergunakan untuk angkutan jalan raya, ada traktor pertanian dan ada pula traktor yang dipergunakan dipelabuhan antara lain forklift semua jenis traktor ini termasuk mobil-barang. Sub f. Kendaraan umum. Sifat "umum" kendaraan didasarkan pada kenyataan, bahwa pengangkutan dengan kendaraan itu biasanya dilakukan dengan pembayaran. Dalam pengertian kendaraan umum termasuk pula kendaraan yang disewakan kepada orang lain, baik dengan maupun tanpa pengemudi, selama jangka waktu tertentu. Mobil belajar dari sekolah pengemudi termasuk juga dalam pengertian kendaraan umum, karena dalam biaya belajar telah termasuk sewa untuk memakai kendaraan tersebut sewaktu dipergunakan untuk belajar. Dengan "biasanya" dimaksudkan pada lazimnya atau acap-kali. Menyewakan suatu kendaraan secara kadang kali saja tidak mengubah sifat kendaraan tersebut menjadi kendaraan umum. Sub g. Pengemudi Menurut ketentuan ini, maka yang disebut pengemudi ialah semua orang yang mengemudikan kendaraan baik kendaraan bermotor maupun tidak bermotor seperti sopir, kusir kereta atau tukang gerobak, pengendara sepeda, juga orang yang sedang menuntun sepedanya atau orang yang langsung mengawasi orang lain mengemudikannya. Dengan demikian orang yang sedang memberi pelajaran kepada orang lain mengemudikan kendaraan diangga sebagai pengemudi. Sub h. Cukup jelas. Sub i. Cukup jelas. Ayat (2) Dengan adanya ketentuan ini maka perundang-undangan lalu-lintas jalan tidak berlaku terhadap lokomotip, tram dan untuk setiap kendaraan yang ditarik olehnya. Lihatlah penjelasan ayat (1) sub b tersebut diatas. Ayat (3) Ayat ini menghilangkan keragu-raguan apakah ketentuan-ketentuan mengenai kendaraan bermotor berlaku pula untuk kereta tempelan atau kereta gandengan yang digandengkan pada kendaraan bermotor. Apakah rangkaian ini dianggap mobil-penumpang, mobil-bus atau mobil barang tergantung pula pada kereta gandengannya. Misalnya rangkaian mobil-penumpang dengan tempat duduk untuk 5 orang dengan kereta gandengan untuk 5 orang, seluruhnya dianggap sebagai mobil-bus. Pasal 2 Ayat (1) Meskipun telah diusahakan untuk mengatur sebanyak mungkin hal-hal yang dapat merintangi atau membahayakan kebebasan atau keamanan lalu-lintas jalan, namun ketentuan ini dapat dipergunakan sebagai dasar umum untuk menuntut peristiwa-peristiwa yang belum diatur secara tegas dalam Undang-undang ini. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Ketentuan-ketentuan tentang kecepatan maksimum yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah merupakan peraturan seragam yang berlaku secara umum terhadap kendaraan-kendaraan tertentu. Ayat (2) Ayat ini mengatur kecepatan maksimum untuk jalan-jalan tertentu dengan mengindahkan ketentuan dalam ayat (1). Ayat (3) Daerah Tingkat II tidak berwenang untuk menetapkan kecepatan maksimum dijalan-jalan yang dikuasai oleh Daerah Tingkat I demi keseragaman. Sebaliknya daerah kotapraja berwenang untuk menetapkan kecepatan maksimum untuk jalan-jalan yang berada didaerah hukumnya, walaupun jalan-jalan tersebut dikuasai oleh Daerah Tingkat I atau Daerah Tingkat II. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Semua perlombaan dan pacuan dengan kendaraan sedikit banyak akan membahayakan ataupun merintangi kebebasan lalu-lintas maka oleh karena itu perlu diatur. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Ketentuan ini berlaku terhadap pengemudi, baik kendaraan bermotor maupun tidak bermotor. Sub a. Cukup jelas. Sub b. Cukup jelas. Sub c. Cukup jelas. Sub d. Dengan obat bius dimaksudkan disini antara lain candu, morfine dan sebagainya. Biasanya sukar membuktikan bahwa seorang pengemudi tidak mampu mengemudikan kendaraannya karena sebab-sebab tersebut, kecuali dalam hal pengemudi melakukan pelanggaran lalu-lintas dan kemudian baru diketahui bahwa ia berbau alkohol. Pasal 6 Ketentuan-ketentuan pasal ini berlaku baik terhadap pengemudi kendaraan bermotor maupun pengemudi kendaraan tidak bermotor, baik terhadap pengemudi kendaraan Angkatan Bersenjata maupun pengemudi kendaraan bukan milik Angkatan Bersenjata. Namun terhadap pengemudi kendaraan Angkatan Bersenjata haruslah diadakan beberapa pengecualian yang akan diatur lebih lanjut berdasarkan pasal 38 sub a. Sebagai contoh pengecualian dapat disebut pengemudi tank, pengemudi kendaraan dalam konvoi yang sedang melakukan operasi. Ayat (1) Keharusan menghentikan kendaraan tersebut sudah selayaknya dilihat dari sudut perikemanusiaan. Ayat (2) Sebagai contoh "alasan yang mendesak" ialah misalnya jika ada gejala-gejala bahwa pengemudi atau penumpangnya mendapat serangan dari korban atau dari orang-orang yang berbeda disekitarnya. Walaupun dalam hal ini pengemudi dapat berjalan terus namun ia diwajibkan melaporkan diri pada pejabat kepolisian ditempat yang terdekat. Pasal 7 Untuk dapat memperlancar pemberian surat izin mengemudi-kendaraan bermotor maka instansi yang memberi surat izin tersebut dapat mendelegasikan wewenangnya kepada instansi bawahan di Daerah Tingkat II. (1) dan ayat (2) Cukup jelas. Pasal 8 Terhadap pengemudi kendaraan yang tidak memiliki surat izin mengemudi yang syah sudah ada sangsi hukum (lihat pasal 5). Larangan dalam pasal ini ditujukan terhadap pemilik kendaraan bermotor atau kuasanya dan pengemudi kendaraan bermotor untuk memperkenankan kendaraannya dikemudian oleh orang yang tidak memiliki surat izin mengemudi. Namun terhadap seorang pelajar diberi kemungkinan untuk mempelajari praktek mengemudi walaupun ia belum memiliki surat izin mengemudi yang syah. Hal ini akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (lihat ayat (2). Pasal 9 Demi keamanan maka perlu diatur lamanya pengemudi mengemudikan kendaraan bermotor umum, agar jangan sampai terjadi kecelakaan oleh karena kelelahan pengemudi tersebut. Dalam mengatur jam mengemudi haruslah diperhatikan ketentuan-ketentuan Undang-undang kerja yang berlaku. Pasal 10 Maksud dari penomoran ialah untuk keperluan registrasi dan untuk tanda pengenal kendaraan sehingga memudahkan penyidikan pelanggaran yang dilakukan dengan kendaraan bermotor. Pasal 11 Ayat (1) Tujuan dari pengujian kendaraan bermotor yang dilakukan secara berkala, ialah untuk menjaga agar kendaraan bermotor. tersebut tidak menunjukkan kekurangan-kekurangan teknis sehingga dapat menimbulkan bahaya. Kendaraan yang wajib uji hanya terbatas pada kendaraan yang berada dijalan; kendaraan-kendaraan yang dalam persediaan pedagang atau berada di bengkel tidak wajib diuji. Ayat (2) s/d ayat (4) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Perkembangan angkutan jalan raya dan pembikinan serta keadaan jalan saling mempengaruhi. Tanpa jalan yang sempurna tidaklah mungkin angkutan yang sempurna sebaliknya untuk mencapai lalu-lintas yang aman, lancar dan murah, jalan harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Ayat (2). Dilihat dari sudut kebutuhan perkembangan angkutan dan intensitas lalu-lintas, Menteri mengadakan klasifikasi jalan misalnya jalan A, jalan B dan jalan C. Tiga kelas jalan ini memerlukan persyaratan-persyaratan teknis dan perambuan tertentu. Syarat-syarat teknis ialah misalnya: lebar jalan, daya angkut, permukaan jalan, radius tikungan dan sebagainya. Perambuan misalnya mengenai: Larangan berhenti, hanya untuk kendaraan bermotor, tempat- tempat yang berbahaya dan sebagainya. Menteri melaksanakan ketentuan ayat (2) ini dengan kerja sama yang erat dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga dan semua pengusaha jalan yang bersangkutan. Pasal 15 Ketentuan dalam pasal ini tentang penguasaan dan penyelenggaraan angkutan jalan raya yang vital mengandung Politik Pemerintah dibidang angkutan didarat sesuai dengan Ketetapan M.P.R.S. yang berbunyi: Negara menguasai dan menyelenggarakan perhubungan dan angkutan didarat dan laut yang vital, serta angkutan udara dan perhubungan telekomunikasi seluruhnya yang pelaksanaannya berpedoman pada Deklarasi Ekonomi, khususnya dalam tahap pertama revolusi kita. Oleh karena itu penguasaan dan penyelenggaraan angkutan tersebut ditujukan untuk memperluas dan mengembangkan angkutan jalan raya baik yang diselenggarakan sepenuhnya oleh negara maupun oleh swasta. Angkutan bermotor, baik angkutan orang maupun barang yang sangat menentukan bagi kelancaran lalu- lintas ekonomi antara desa dan kota, antara pelbagai pusat perekonomian termasuk pelabuhan, adalah angkutan yang vital. Penetapan tentang angkutan bermotor yang vital diputuskan oleh Menteri dengan memperhatikan pendapat Dewan Angkutan Darat Pusat. Akibat penguasaan angkutan oleh Negara ialah bahwa kepada perusahaan-perusahaan milik Pemerintah diberi fasilitas-fasilitas sesuai dengan kedudukannya sebagai alat kelengkapan Pemerintah, tanpa mengabaikan hukum-hukum ekonomi perusahaan yang berlaku bagi setiap perusahaan. Pasal 16 Angkutan swasta sebagai salah satu unsur penting dari potensi rakyat diberi bimbingan sehingga senantiasa dapat berkembang dan memberi manfaat yang sebesar-besarnya kearah tujuan yang kita harapkan sebagai telah digariskan oleh Deklarasi Ekonomi. Pasal 17 Dengan demikian dapat dihindarkan bahwa pengusaha hanya melayani trayek-trayek yang gemuk saja. Pasal 18 Pasal ini mengatur izin mobil-bis umum. Pemberian izin didesentralisasikan. Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai izin ini akan diatur dengan Peraturan Pemerintah (lihat pasal 29). Pasal 19 Pasal ini membuka kemungkinan untuk mengatur pengusahaan mobil penumpang umum seperti taksi, otolet dan sebagainya yang melayani trayek-trayek luar kota. Salah satu pertimbangan untuk mengatur jenis angkutan ini ialah antara lain untuk mencegah persaingan yang merugikan antara sesama dan pelbagai jenis angkutan jalan raya (lihat penjelasan pasal 18). Pasal 20 Mobil-bis dan mobil-penumpang untuk keperluan pariwisata pada umumnya menghendaki pengaturan yang lebih lunak, sehingga dapat disesuaikan dengan kebutuhan pariwisata. Misalnya mobil-bus untuk keperluan pariwisata tidak menghendaki peraturan jalan yang terlalu kaku. Mobil-bis tidak umum, misalnya mobil-bis instansi Pemerintah atau badan swasta yang dipergunakan untuk keperluan pariwisata, darmawisata dan sebagainya, takluk kepada ketentuan ini. Persoalan angkutan orang dalam kota menunjukkan aspek-aspek yang banyak berbeda dengan angkutan antar-kota. Pemerintah Daerah Kotapraja yang bersangkutan dapat mengatur hal-hal tersebut lebih lanjut. Sebagai contoh beberapa Kotapraja menganggap perlu untuk memperlengkapi mobil penumpang umum dengan taxi-motor atau memberikan tanda pengenal khusus kepada mobil-bis atau mobil-penumpang umum yang diusahakan dalam batas Kotapraja. Pasal 22 Pengangkutan barang dengan mobil-barang dapat diatur menurut kebutuhan. Pasal 23 Lihat penjelasan pasal 18. Pasal 24 Ayat (1) Ketentuan ini berlaku bagi semua pengusaha kendaraan umum, baik kendaraan bermotor maupun tidak bermotor seperti gerobak, kereta dan becak. Ayat (2) Dalam pengertian "pembungkusan" termasuk cara mengikat, cara menutup, cara membungkus dan sebagainya. Pasal 25 Pasal ini mengatur wajib-angkut perusahaan-perusahaan pengangkut umum. Ayat (1) Wajib angkut berlaku, baik untuk orang maupun untuk barang, selama tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan tentang muatan. Pengusaha mobil-bis tidak diwajibkan mengangkut barang selain dari pada bagasi penumpang. Jika seorang penumpang mempunyai barang yang beratnya lebih dari maksimum yang ditetapkan untuk bagasi, maka pengusaha dapat menolak mengangkut barang tersebut. Ayat (2) Walaupun wajib angkut ini berlaku terhadap setiap pengusaha pengangkutan umum, namun dalam hal-hal tertentu ada pengecualian. Mobil tangki tidak diwajibkan mengangkut barang lain selain minyak atau air. Pengecualian-pengecualian lain akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 26 Pengendalian tarip ini berlaku baik terhadap kendaraan bermotor maupun terhadap kendaraan tidak bermotor, baik untuk pengangkutan orang maupun barang. Ayat (1) Yang dimaksud dengan Keputusan Pemerintah Daerah Tingkat I ialah Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong yang bersangkutan. Ayat (2) dan ayat (3) Cukup jelas. Pasal 27 Maksud dari perizinan perusahaan bukanlah semata-mata untuk tujuan pendaftaran, sebab dengan wajib penomoran bagi kendaraan bermotor yang ada sekarang telah diperoleh daftar-daftar yang diinginkan. Dengan perizinan ini dapat tercapai kebijaksanaan tertentu dalam bidang pengangkutan, antara lain untuk memelihara keseimbangan antara kebutuhan dan penawaran pengangkutan di daerah tertentu. Hal ini akan mempermudah pula segala sesuatu yang berhubungan dengan perpajakan. Dalam izin ditetapkan syarat-syarat antara lain kewajiban pengusaha untuk menyusun statistik pengangkutan. Perizinan ini tidak membebaskan perusahaan pengangkutan dari ketentuan-ketentuan Undang-undang Pokok Perusahaan dan Undang-undang Gangguan. Lebih lanjut lihat penjelasan pasal 18. Pasal 28 Untuk menjamin kelancaran pengangkutan, selain kendaraan bermotor dan perusahaan angkutan harus pula diatur perawatannya. Maka oleh karena itu, untuk mendirikan bengkel umum kendaraan bermotor harus ada izin, sehingga bengkel-bengkel tersebut dapat diawasi agar dapat terjamin perawatan yang sempurna terhadap kendaraan bermotor. Pasal 29 Ayat (1) dan ayat (2) Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Syarat-syarat tersebut dimaksud demi keamanan lalu-lintas, daya guna dalam penggunaan kendaraan dan ketenteraman serta kesenangan para penumpang. Ayat (2) dan ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Masalah assembling kendaraan bermotor tidaklah terlepas dari perkembangan pembikinan kendaraan bermotor pada khususnya dan perkembangan industri pada umumnya. Pasal 31 Ayat (1) dan ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Sub c Untuk Dewan Angkutan Darat Pusat usul Front Nasional ditujukan oleh Pengurus Besar Front Nasional; untuk Dewan Angkutan Darat Daerah oleh Pengurus Daerah Front Nasional. Pasal 32 Ayat (1) s/d ayat (3) Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Sebagai pidana tambahan, wewenang untuk mengemudikan kendaraan bermotor dapat dicabut, atas pelanggaran-pelanggaran tertentu. Penyalahgunaan ialah antara lain memalsukan, mempergunakan surat yang tidak sah dan sebagainya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Pasal ini mengatur pidana tambahan terhadap pemilik kendaraan bermotor atau kuasanya. Ayat (2) Pemegang surat-coba-kendaraan ialah misalnya dealer, bengkel, importir dan sebagainya. Pasal 35 Ayat (1) Petugas-petugas penyelidikan selain dari anggota Angkatan Kepolisian ialah misalnya pejabat- pejabat Direktorat Lalu Lintas Jalan dan Direktorat Jalan-jalan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Untuk pengemudi dan kendaraan termaksud dalam pasal ini tidak diperlukan suat izin mengemudi dan surat nomor kendaraan Indonesia. Begitu pula kendaraan tersebut tidak dikenakan wajib uji. Pasal 38 Dengan kendaraan untuk keperluan khusus dimaksud antara lain forklift, penggilas jalan dan sebagainya. Dengan demikian kendaraan tersebut serta pengemudinya dapat dikecualikan umpamanya dari wajib nomor dan wajib uji. Pasal 39 Cukup jelas. Mengetahui: SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. MOHD. ICHSAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2742
Silahkan download versi PDF nya sbb:
lalu_lintas_angkutan_jalan_raya_(uu_3_thn_1965)_3.pdf
(ogi/Carapedia)
Pencarian Terbaru
Uu jalan raya. Undang undang jalan raya. Uud jalan raya. Undang2 jalan raya. Peraturan jalan raya. Hukum lalu lintas jalan raya. Undang undang dasar lalu lintas.
Undang undang yang mengatur tentang jalan dan lalu lintas. Undang undang yang mengatur tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Undang undang pengguna jalan raya. Uu jalan raya terbaru. Pasal 29 lalulintas. Aturran jalan raya. Pasal yang memuat peraturan lalu lintas.
Undang undang di jalan raya. Aturan jalan raya. Http://carapedia.com/lalu_lintas_angkutan_jalan_raya_thn_1965_info1156.html. Larangan gerobak motor di jalan raya. Peraturan lalu lintas jalan raya. Penjelasan undang undang lalu lintas.
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)