Previous
Next

1992

Undang-Undang Pelayaran (UU 21 thn 1992)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran :

UU 21/1992, PELAYARAN

Bentuk:   UNDANG-UNDANG (UU)

Oleh:      PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor:     21 TAHUN 1992 (21/1992)

Tanggal:   17 SEPTEMBER 1992 (JAKARTA)

Sumber:    LN 1992/98; TLN NO. 3493

Tentang:   PELAYARAN

Indeks:    PERHUBUNGAN. Laut. Prasarana.

                DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                  Presiden Republik Indonesia,

Menimbang :
a.   bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis
     untuk memantapkan perwujudan wawasan nusantara, memperkukuh
     ketahanan nasional, dan mempererat hubungan antar bangsa
     dalam usaha mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila
     dan Undang-Undang Dasar 1945;
b.   bahwa pelayaran bagi Negara Republik Indonesia sebagai
     negara kepulauan merupakan salah satu moda transportasi,
     tidak dapat dipisahkan dari moda-moda transportasi lain yang
     ditata dalam sistim transportasi nasional yang dinamis dan
     mampu mengadaptasi kemajuan di masa        depan, mempunyai
     karakteristik mampu melakukan pengangkutan secara masal,
     menghubungkan, dan menjangkau seluruh wilayah melalui
     perairan,   perlu    lebih   dikembangkan   potensinya   dan
     ditingkatkan peranannya baik nasional maupun internasional,
     sebagai penunjang, pendorong, dan penggerak pembangunan
     nasional demi peningkatan kesejahteraan rakyat;
c.   bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur pelayaran
     yang ada pada saat ini tidak sesuai dengan kebutuhan dan,
     perkembangan jaman, ilmu pengetahuan dan teknologi;
d.   bahwa untuk meningkatkan pembinaan dan penyelenggaraan
     pelayaran sesuai dengan perkembangan kehidupan rakyat dan
     bangsa Indonesia serta agar lebih berhasil guna dan berdaya
     guna dipandang perlu menetapkan ketentuan mengenai pelayaran
     dalam Undang-undang;

Mengingat :
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945;

                        Dengan Persetujuan
            DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

                            MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PELAYARAN.

                               BAB I
                          KETENTUAN UMUM

                               Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1.   Pelayaran adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan
     angkutan di perairan, kepelabuhanan, serta keamanan dan
     keselamatannya;
2.   Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis apapun,
     yang digerakkan dengan tenaga mekanik, tenaga angin, atau
     ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis,
     kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan
     bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah;
3.   Perairan Indonesia adalah perairan yang meliputi laut
     wilayah, perairan kepulauan, perairan pedalaman sebagaimana
     dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tentang
     Perairan Indonesia jo Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985
     tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of
     the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum
     Laut), serta perairan daratan;
4.   Pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan
     perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai
     tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi yang
     dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, naik
     turun penumpang dan/atau bongkar muat barang yang dilengkapi
     dengan   fasilitas    keselamatan    pelayaran   dan   kegiatan
     penunjang   pelabuhan    serta   sebagai   tempat   perpindahan
     intra-dan antarmoda transportasi;
5.   Alur pelayaran adalah bagian dari perairan yang alami maupun
     buatan yang dari segi kedalaman, lebar, dan hambatan
     pelayaran lainnya dianggap aman untuk dilayari;
6.   Sarana bantu navigasi pelayaran adalah sarana yang dibangun
     atau terbentuk secara alami yang berada di luar kapal yang
     berfungsi   membantu    navigator   dalam   menentukan   posisi
     dan/atau haluan kapal serta memberitahukan bahaya dan/atau
     rintangan pelayaran untuk kepentingan keselamatan berlayar;
7.   Telekomunikasi    pelayaran     adalah    setiap    pemancaran,
     pengiriman atau penerimaan tiap jenis tanda, gambar, suara,
     dan informasi dalam bentuk apapun melalui sistem kawat,
     optik, radio atau sistem elektromagnetik lainnya dalam dinas
     bergerak pelayaran yang merupakan bagian dari kesciamatan
     pelayaran;
8.   Pekerjaan bawah air adalah pekerjaan yang berhubungan dengan
     instalasi, konstruksi atau kapal yang dilakukan di bawah air
     atau pekerjaan di bawah air yang bersifat khusus;
9.   Kerangka kapal adalah setiap kapal yang tenggelam atau
      kandas atau terdampar dan telah ditinggalkan;
10.   Kelaiklautan kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi
      persyaratan    keselamatan   kapal,    pencegahan   pencemaran
      perairan dari kapal, pengawakan, pemuatan, kesehatan dan
      *8287 kesejahteraan awak kapal, serta penumpang dan status
      hukum kapal untuk berlayar di perairan tertentu;
11.   Awak kapal adalah orang yang bekerja atau dipekerjakan di
      atas kapal oleh pemilik atau operator kapal untuk melakukan
      tugas di atas kapal sesuai dengan jabatannya yang tercantum
      dalam buku sijil;
12.   Nakhoda kapal adalah salah seorang dari awak kapal yang
      menjadi pimpinan umum di atas kapal dan mempunyai wewenang
      dan   tanggung   jawab   tertentu   sesuai   dengan  peraturan
      perundang-undangan yang berlaku;
13.   Pemimpin kapal adalah salah seorang dari awak kapal yang
      menjadi pimpinan umum di atas kapal untuk jenis dan ukuran
      tertentu serta mempunyai wewenang dan tanggung jawab
      tertentu, berbeda dengan yang dimiliki oleh nakhoda;
14.   Anak buah kapal adalah awak kapal selain nakhoda atau
      pemimpin kapal;
15.   Badan hukum Indonesia adalah badan usaha yang dimiliki oleh
      negara dan/atau swasta dan/atau koperasi.

                               BAB II
                          ASAS DAN TUJUAN

                             Pasal 2
Pelayaran diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, usaha bersama
dan kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, kepentingan
umum, keterpaduan, kesadaran hukum, dan percaya pada diri
sendiri.

                             Pasal 3
Pelayaran sebagai salah satu moda transportasi diselenggarakan
dengan tujuan untuk memperlancar arus perpindahan orang dan/atau
barang melalui perairan dengan mengutamakan dan melindungi
pelayaran nasional, dalam rangka menunjang, menggerakkan, dan
mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional, memantapkan
perwujudan   wawasan  nusantara   serta  memperkukuh   ketahanan
nasional.

                              BAB III
              RUANG LINGKUP BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG

                             Pasal 4
Undang-undang ini berlaku untuk pelayaran di perairan Indonesia
dan kapal-kapal berbendera Indonesia yang berada di luar perairan
Indonesia.

                               BAB IV
                             PEMBINAAN

                              Pasal 5
(1)   Pelayaran dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan
      oleh Pemerintah.
(2)   Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
      pembinaan pelayaran dilakukan dengan memperhatikan seluruh
      aspek kehidupan masyarakat dan diarahkan untuk :
      *8288 a.        memperlancar arus perpindahan orang dan/atau
      barang secara masal melalui perairan dengan selamat, aman,
      cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman, dan berdayaguna,
      dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat;
      b.         meningkatkan penyelenggaraan pelayaran sebagai
      bagian dari keseluruhan moda transportasi secara terpadu
      dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan
      teknologi;
      c.         mengembangkan kemampuan armada angkutan nasional
      yang tangguh di perairan, serta didukung industri perkapalan
      yang andal, sehingga mampu memenuhi kebutuhan angkutan baik
      di dalam negeri maupun ke dan dari luar negeri;
      d.         meningkatkan kemampuan dan peranan kepelabuhanan,
      serta keamanan dan keselamatan pelayaran;
      e.         terwujudnya sumber daya manusia yang berjiwa
      bahari, profesional, dan mampu mengikuti perkembangan
      kebutuhan penyelenggaraan pelayaran.
(3)   Pembinaan pelayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
      ayat (2)diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                             Pasal 6
Pelaksanaan pembinaan pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang ini dengan
memperhatikan Undang-undang lain yang berkaitan serta konvensi
internasional di bidang pelayaran.

                               BAB V
                           KENAVIGASIAN
                          Bagian Pertama
                                Umum

                             Pasal 7
Kenavigasian meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan sarana
bantu navigasi pelayaran, telekomunikasi pelayaran, hidrografi,
alur dan perlintasan, pemanduan, penanganan kerangka kapal,
salvage, dan pekerjaan bawah air, untuk kepentingan keselamatan
pelayaran.

Bagian Kedua
  Sarana Bantu Navigasi Pelayaran dan Telekomunikasi Pelayaran

                              Pasal 8
(1)   Pengadaan, pengoperasian, dan pemeliharaan sarana bantu
      navigasi pelayaran dan telckomunikasi pelayaran dilakukan
      oleh Pemerintah.
(2)   Untuk kepentingan tertentu, badan hukum Indonesia dapat
      melakukan pengadaan, pengoperasian, dan pemeliharaan sarana
      bantu navigasi pelayaran dengan izin dan persyaratan yang
     ditetapkan oleh Pemerintah.
(3)  Pengoperasian   sarana    bantu   navigasi   pelayaran   dan
     telekomunikasi pelayaran dilaksanakan oleh petugas yang
     memenuhi persyaratan kesehatan, pendidikan, dan kecakapan.
(4) Untuk menjamin keamanan dan keselamatan sarana bantu
     navigasi pelayaran dan telekomunikasi pelayaran ditetapkan
     zona-zona keamanan dan keselamatan di sekitar instalasi dan
     bangunan tersebut.
(5) Kapal yang berlayar di perairan Indonesia dapat dikenakan
     biaya penggunaan sarana bantu navigasi pelayaran dan
     telekomunikasi pelayaran.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
     ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut dengan
     Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 9
(1)   Pemerintah   berkewajiban    memberikan   pelayanan   berita
      marabahaya, meteorologi dan siaran tanda waktu standar.
(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
      lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                               Pasal 10
(1)   Pemilik dan/atau operator kapal bertanggung jawab atas
      setiap   kerusakan   dan   hambatan    yang  disebabkan  oleh
      pengoperasian kapalnya pada sarana bantu navigasi pelayaran,
      telekomunikasi pelayaran, serta fasilitas alur pelayaran di
      sungai dan danau, kecuali :
      a.        apabila   kerusakan     tersebut  diakibatkan  oleh
      keadaan yang tidak dapat dielakkan atau keadaan memaksa;
      b.        apabila yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa
      kerusakan tersebut terjadi bukan karena kesalahannya.
(2)   Pemilik dan/atau operator kapal yang karena kesalahannya
      sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memperbaiki
      dan/atau mengganti sehingga fasilitas tersebut berfungsi
      seperti semula.
(3)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
      diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                             Pasal 11
Dilarang   merusak   atau    melakukan   tindakan   apapun  yang
mengakibatkan tidak berfungsinya sarana bantu navigasi pelayaran
dan telekomunikasi pelayaran serta fasilitas alur pelayaran di
sungai dan danau di bawah yurisdiksi nasional Indonesia.

                           Bagian Ketiga
                       Alur dan Perlintasan

                             Pasal 12
Untuk kepentingan keselamatan berlayar di perairan Indonesia,
Pemerintah :
a.   menetapkan alur-alur pelayaran, pcmbangunan, pengoperasian
     serta pemeliharaannya;
b.   menetapkan sistem rute;
c.    menetapkan tata cara berlalu lintas;
d.    melaksanakan   survei   dan    pemetaan    hidrografi  untuk
      pemutakhiran data pada buku petunjuk      pelayaran dan peta
      laut.

                           *8290 Pasal 13
(1)   Untuk kepentingan keselamatan berlayar di perairan :
      a.        setiap bangunan atau instalasi harus memenuhi
      persyaratan yang ditetapkan;
      b.        setiap kegiatan atau hal yang dapat membahayakan
      wajib ditetapkan zona keselamatan dan diumumkan.

(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
      lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                             Pasal 14
Pemerintah menetapkan alur-alur laut kepulauan untuk perlintasan
yang sifatnya terus-mencrus, langsung, dan secepatnya bagi kapal
asing yang melalui perairan Indonesia.

                              Pasal 15
(1)   Nakhoda atau pemimpin kapal selama berlayar wajib mematuhi
      aturan-aturan yang berkaitan dengan tata cara berlalu
      lintas, alur-alur pelayaran, sistem rute, sarana bantu
      navigasi pelayaran, dan telekomunikasi pelayaran yang diatur
      dalam Undang-undang ini.
(2)   Nakhoda atau pemimpin kapal dari kapal yang berada di
      pelabuhan yang patut diduga melanggar aturan-aturan yang
      ditetapkan pada ayat (1), oleh pejabat pemerintah yang
      berwenang   dapat  diwajibkan    untuk menempatkan   jaminan
      pembayaran hukuman denda yang mungkin dikenakan atasnya.
(3)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
      diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                          Bagian Keempat
                            Pemanduan

                              Pasal 16
(1)   Untuk   kepentingan  keselamatan   pelayaran,  pada   daerah
      perairan tertentu ditetapkan sebagai perairan wajib pandu
      dan perairan pandu luar biasa.
(2)   Pelayanan pemanduan dilaksanakan oleh petugas yang telah
      memenuhi persyaratan kesehatan, kecakapan, serta pendidikan
      dan pelatihan.
(3)   Pemanduan terhadap kapal tidak mengurangi wewenang dan
      tanggung jawab nakhoda atau pemimpin kapal.
(4)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan
      ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                           Bagian Kelima
                     Kerangka Kapal, Salvage,
                     dan Pekerjaan Bawah Air
                             Pasal 17
(1)  Pemilik kapal dan/atau nakhoda atau pemimpin kapal, wajib
     melaporkan kerangka kapalnya yang berada di perairan
     Indonesia kepada instansi yang berwenang.
(2) Kerangka kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang
     keberadaannya mengganggu keselamatan berlayar diberi tanda
     dan diumumkan oleh instansi yang berwenang.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
     diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 18
(1)   Pemilik kapal bertanggung jawab dan wajib menyingkirkan
      kerangka    kapal   dan/atau   muatannya    yang   mengganggu
      keselamatan berlayar.
(2)   Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
      diasuransikan.
(3)   Pemerintah    berwenang   mengangkat,    menyingkirkan   atau
      meng-hancurkan seluruh atau sebagian dari kerangka kapal
      dan/atau muatannya atas biaya pemilik apabila dalam batas
      waktu yang telah ditentukan, pemilik belum melaksanakan
      tanggung jawab dan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam
      ayat (1).
(4)   Pemerintah dapat menguasai dan mengangkat kerangka kapal
      dan/ atau muatannya yang dalam batas waktu yang telah
      ditentukan tidak diketahui pemiliknya.
(5)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
      ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
      Pemerintah.

                              Pasal 19
(1)   Kegiatan salvage dilakukan tcrhadap kerangka kapal dan/atau
      muatannya dan terhadap kapal dan/atau muatannya yang
      mengalami kecelakaan atau tenggelam.
(2)   Setiap pekerjaan bawah air harus memenuhi persyaratan teknis
      yang berkaitan dengan keselamatan berlayar.
(3)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
      diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 20
(1)   Pemilik kapal yang lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) sehingga mengakibatkan
      terjadinya kecelakaan pelayaran wajib membayar ganti rugi
      kepada pihak yang mengalami kecelakaan.
(2)   Izin Usaha Pelayaran dapat dicabut apabila pemilik kapal
      tidak   melaksanakan   tanggung   jawab   dan  kewajibannya
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1).

                               BAB VI
                           KEPELABUHANAN
                          Bagian Pertama
                                Umum

                             Pasal 21
(1)  Kepelabuhanan meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan
     kegiatan penyelenggaraan pelabuhan dan kegiatan lainnya
     dalam   melaksanakan   fungsi  pelabuhan    untuk   menunjang
     kelancaran, keamanan dan ketertiban arus lalu lintas kapal,
     penumpang dan/atau barang, keselamatan berlayar, serta
     tempat perpindahan intradan/atau antarmoda.
(2) Penyelenggaraan pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam
     ayat (1) dilaksanakan secara terkoordinasi antara kegiatan
     pemerintahan dan kegiatan pelayanan jasa di pelabuhan.
(3) Pelaksanaan kegiatan pemerintahan di pelabuhan sebagaimana
     dimaksud   dalam  ayat   (2)  meliputi   fungsi   keselamatan
     pelayaran, bea dan cukai, imigrasi, karantina, serta
     keamanan dan ketertiban.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)
     diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                            Bagian Kedua
                          Jenis Pelabuhan

                              Pasal 22
(l)   Pelabuhan terdiri dari pelabuhan umum dan pelabuhan khusus.
(2)   Pelabuhan umum diselenggarakan untuk kepentingan pelayanan
      masyarakat umum.
(3)   Pelabuhan khusus diselenggarakan untuk kepentingan sendiri
      guna menunjang kegiatan tertentu.

                           Bagian Ketiga
                         Penetapan Lokasi

                              Pasal 23
(1)   Penggunaan bagian tertentu daerah daratan dan/atau perairan
      untuk pelabuhan, wajib memenuhi persyaratan.
(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
      lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                          Bagian Keempat
                          Pelabuhan Umum

                               Pasal 24
(1)   Untuk kepentingan penyclenggaraan pelabuhan umum, ditetapkan
      daerah lingkungan kerja pelabuhan dan dacrah lingkungan
      kepentingan pelabuhan.
(2)   Terhadap tanah yang ditetapkan sebagai daerah lingkungan
      kerja   pelabuhan   sebagaimana   dimaksud  dalam  ayat   (1)
      diberikan   hak   atas   tanah   sesuai  ketentuan  peraturan
      perundang-undangan yang berlaku.
(3)   ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
      diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pcmerintah.

                              Pasal 25
(1)   Pembangunan   pclabuhan    umum   dilaksanakan    berdasarkan
      persyaratan teknis kepelabuhanan, kelestarian     lingkungan,
      dan    memperhatikan    keterpaduan    intradan     antarmoda
        transportasi serta wajib memperoleh izin dari Pemerintah.
(2)     Pengoperasian pelabuhan umum dapat dilaksanakan setelah
        pem-bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selesai
        dilaksanakan serta memenuhi persyaratan dan mendapat izin
        dari Pemerintah.
(3)     Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
        diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
*8293
                                Pasal 26
(1)     Penyelenggaraan pelabuhan umum dilakukan olch Pemerintah dan
        pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada badan usaha milik
        negara yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan
        peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)     Badan   hukum    Indonesia    dapat   diikutsertakan   dalam
        penyelenggaraan pelabuhan umum sebagaimana dimaksud dalam
        ayat (1) atas dasar kerja sama dengan badan usaha milik
        negara yang melaksanakan pengusahaan pelabuhan.
(3)     Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
        diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                                Pasal 27
(1)     Usaha kegiatan penunjang pelabuhan di pelabuhan umum
        dilakukan oleh badan hukum Indonesia dan/ atau warga negara
        Indonesia.
(2)     Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
        lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                                Pasal 28
(1)     Suatu tempat tertentu di daratan dapat ditetapkan sebagai
        tempat yang berfungsi sebagai pelabuhan umum dengan memenuhi
        persyaratan tertentu.
(2)     Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
        lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                             Bagian Kelima
                           Pelabuhan Khusus

                                Pasal 29
(1)     Untuk menunjang kegiatan tertentu dapat dibangun pelabuhan
        khusus yang dioperasikan untuk kepentingan sendiri, yang
        merupakan satu kesatuan tatanan kepelabuhanan nasional.
(2)     Untuk   membangun   dan   mengoperasikan   pelabuhan   khusus
        sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memiliki izin dari
        Pemerintah.
(3)     Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diperoleh
        setelah    dipenuhi   persyaratan    teknis    kepelabuhanan,
        keselamatan pelayaran, dan kelestarian lingkungan.
(4)     Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan
        ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                             Pasal 30
Dilarang menggunakan pelabuhan khusus untuk kepentingan        umum,
kecuali dalam keadaan tertentu dengan izin Pemerintah.
                           Bagian Keenam
                    Pelabuhan Yang Terbuka Bagi
                      Perdagangan Luar Negeri

                              Pasal 31
(1) Untuk menunjang kelancaran perdagangan luar negeri
     dapat ditetapkan pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan
     luar negeri.
(2) Penetapan pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
     dilakukan    berdasarkan    peritimbangan   pertumbuhan   dan
     pengembangan    ekonomi   daerah,   kepentingan  pengembangan
     kemampuan angkutan laut nasional, pengembangan ekonomi
     nasional, serta kepentingan nasional lainnya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
     diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                          Bagian Ketujuh
                               Tarif

                             Pasal 32
Ketentuan mengenai jenis, struktur, dan golongan tarif jasa
pelabuhan yang diberikan di pelabuhan ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

                         Bagian Kedelapan
                          Tanggung Jawab

                              Pasal 33
(1)   Setiap orang dan/atau badan usaha yang melaksanakan kegiatan
      di pelabuhan umum bcrtanggung jawab uniuk mengganti kerugian
      atas setiap kerusakan pada bangunan dan/atau fasilitas
      pelabuhan yang diakibatkan oleh kegiatannya.
(2)   Pemilik dan/atau operator kapal bertanggung jawab untuk
      mengganti kerugian atas setiap kerusakan pada bangunan
      dan/atau fasilitas pelabuhan umum yang diakibatkan oleh
      kapalnya.
(3)   Untuk menjamin pelaksanaan tanggung jawab atas ganti rugi
      sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pemilik dan/atau
      operator kapal wajib memberikan jaminan.
(4)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan
      ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 34
(1)   Penyelenggara pelabuhan umum bertanggung jawab terhadap
      kerugian pengguna jasa atau pihak ketiga lainnya karena
      kesalahan dalam pengoperasian pelabuhan.
(2)   Pengguna jasa pelabuhan atau pihak ketiga sebagaimana
      dimaksud dalam ayat (1) berhak mengajukan tuntutan ganti
      rugi.

                              BAB VII
                            PERKAPALAN
                          Bagian Pertama
                        Kelaiklautan Kapal

                             Pasal 35
(1)  Pengadaan, pembangunan, dan pengerjaan kapal termasuk
     perlengkapannya   wajib  memenuhi   persyaratan  keselamatan
     kapal.
(2) Keselamatan kapal ditentukan melalui pemeriksaan dan
     pengujian.
(3) Kapal yang dinyatakan memenuhi persyaratan keselamatan kapal
     diberikan sertifikat keselamatan kapal oleh Pemerintah.
(4) Pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat
     (2) dilakukan oleh Pemerintah serta dapat dilaksanakan oleh
     badan hukum Indonesia yang ditunjuk oleh Pemerintah.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
     ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
     Pemerintah.

                              Pasal 36
(1)   Untuk keperluan persyaratan keselamatan kapal, kapal ukuran
      tertentu dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan klasifikasi.
(2)   Pengklasifikasian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      dilakukan oleh badan hukum Indonesia yang ditetapkan oleh
      Pemerintah.
(3)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
      diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                             Pasal 37
Setiap kapal yang telah memperoleh sertifikat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3), wajib dipelihara sehingga tetap
memenuhi persyaratan keselamatan kapal.

                              Pasal 38
(1)   Perubahan atas sebuah kapal yang mempengaruhi rincian dan
      identitas yang ada dalam sertifikat dan surat-surat kapal
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3), Pasal 45 ayat
      (2), dan Pasal 50 ayat (1), wajib dilaporkan kepada pejabat
      pemerintah yang berwenang.
(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
      lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 39
(1)   Berdasarkan pertimbangin kondisi geografi dan meteorologic
      ditetapkan daerah pelayaran tertentu.
(2)   Setiap kapal yang beroperasi di daerah pelayaran sebagaimana
      dimaksud   dalam  ayat   (1)   wajib  memenuhi   persyaratan
      kelaiklautan kapal sesuai dengan daerah pelayarannya.
(3)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
      diatur lebih lanjut dengan Pcraturan Pemerintah.

                             Pasal 40
(1)   Setiap kapal yang memasuki pelabuhan dan selama berada di
      pelabuhan wajib mematuhi peraturan-peraturan untuk menjaga
      ketertiban dan kelancaran lalu lintas kapal di pelabuhan,
      yang pengawasannya dilakukan oleh syahbandar.
(2)   Setiap kapal yang akan berlayar wajib memiliki Surat Izin
      Berlayar yang dikeluarkan oleh syahbandar setelah memenuhi
      persyaratan kelaiklautan kapal.
(3)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
      diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                          *8296 Pasal 41
Atas perintah pengadilan, pejabat pemerintah yang berwenang dapat
melakukan penahanan terhadap kapal yang sedang berada di
pelabuhan Indonesia.

                              Pasal 42
(1)   Dalam keadaan tertentu, kepada suatu kapal dapat diberikan
      keringanan pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 40 ayat (2) dengan tetap mempertimbangkan terjaminnya
      kelaiklautan.
(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
      lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                            Pasal 43
Surat Izin Berlayar tidak diberikan pada       kapal atau dicabut
apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam    Pasal 37, Pasal 38
ayat (1), Pasal 39 ayat (2), Pasal 40 ayat     (1), Pasal 44 ayat
(2), Pasal 66 ayat (1)dan ayat (2), dan        Pasal 87 ayat (1)
dilanggar.

                           Bagian Kedua
                            Peti Kemas

                              Pasal 44
(1)   Setiap peti kemas yang akan dipergunakan sebagai bagian dari
      alat angkut, wajib memenuhi persyaratan kelaikan peti kemas.
(2)   Pemuatan   peti  kemas   ke   dalam  kapal  wajib   memenuhi
      persyaratan pemuatan untuk menjamin kelaiklautan kapal.
(3)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
      diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                          Bagian Ketiga
                   Pengukuran, Pendaftaran, dan
                         Kebangsaan Kapal

                              Pasal 45
(1)   Sebelum digunakan dalam pelayaran setiap kapal wajib diukur.
(2)   Berdasarkan pengukuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      diterbitkan surat ukur untuk kapal dengan ukuran isi kotor
      sekurang-kurangnya 20 m3 atau yang dinilai sama dengan itu.
(3)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
      diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                             Pasal 46
(1)   Kapal yang telah diukur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
      ayat (2)dapat didaftar di Indonesia yang dilakukan oleh
      pejabat pendaftar dan pencatat balik nama kapal.
(2)   Kapal yang dapat didaftar di Indonesia adalah
      a.        kapal dengan ukuran isi kotor sekurang-kurangnya
      20 m3 atau yang dinilai sama dengan itu; dan
      *8297 b.       dimiliki oleh warga negara Indonesia atau
      badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan
      berkedudukan di Indonesia.
(3)   Pendaftaran kapal dicatat dalam daftar kapal Indonesia.
(4)   Sebagai bukti kapal telah didaftar, kepada pemilik diberikan
      surat tanda pendaftaran yang berfungsi pula sebagai bukti
      hak milik kapal.
(5)   Pada kapal yang telah didaftar wajib dipasang tanda
      pendaftaran.
(6)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
      ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut dengan
      Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 47
(1)   Sebagai pengganti surat tanda pendaftaran kapal yang hilang
      atau musnah dapat diberikan surat tanda pendaftaran kapal
      baru sebagai pengganti.
(2)   Surat tanda pendaftaran pengganti sebagaimana dimaksud dalam
      ayat (1)hanya dapat diberikan oleh pejabat pendaftar dan
      pencatat balik nama kapal pada tempat kapal didaftarkan
      berdasarkan penetapan pengadilan negeri.

                             Pasal 48
Pengalihan hak milik atas kapal wajib dilakukan dengan cara balik
nama di tempat kapal tersebut didaftarkan.

                              Pasal 49
(1)   Kapal yang telah didaftar dapat dibebani hipotek.
(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
      lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 50
(1)   Kapal yang didaftar di Indonesia dapat memperolch Surat
      Tanda Kebangsaan kapal Indonesia.
(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
      lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 51
(1)   Kapal negara yang digunakan untuk tugas pemerintahan, dapat
      diberikan Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia.
(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
      lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 52
(1)   Kapal Indonesia wajib mengibarkan bendera Indonesia sebagai
      tanda kebangsaan kapal.
(2)   Kapal yang bukan kapal Indonesia dilarang mengibarkan
      bendera Indonesia sebagai tanda kebangsaannya.
                             Pasal 53
(1)  Setiap kapal yang berlayar di perairan Indonesia harus
     menunjukkan secara jelas identitas kapalnya.
(2) Kapal yang berlayar di perairan Indonesia dengan
     mengibarkan   lebih   dari   satu  bendera   sebagai  tanda
     kebangsaan, dianggap tidak mempunyai identitas kapal.

                              Pasal 54
(1)   Kapal Indonesia dilarang mengibarkan bendera kebangsaan
      negara lain sebagai pengganti tanda kebangsaan Indonesia.
(2)   Dalam hal kapal Indonesia berlayar ke negara lain dan
      kebiasaan internasional atau peraturan negara yang dituju
      mensyaratkan mengibarkan bendera negara tersebut, maka kapal
      Indonesia wajib mengibarkan bendera Indonesia dan dapat
      mengibarkan bendera negara yang dituju secara bersamaan.

                          Bagian Keempat
                     Nakhoda, Pemimpin Kapal,
                       dan Anak Buah Kapal

                               Pasal 55
(1)   Nakhoda merupakan pimpinan di atas kapal yang memiliki
      wewenang   penegakan   hukum   dan  bertanggung   jawab atas
      keselamatan, keamanan dan ketertiban kapal, pelayar, dan
      barang muatan yang menjadi kewajibannya.
(2)   Pemimpin kapal merupakan pimpinan di atas kapal dan
      bertanggung jawab atas keselamatan, keamanan dan ketertiban
      kapal, pelayar, dan barang muatan yang menjadi kewajibannya.
(3)   Di samping kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      nakhoda diberi tugas dan kewenangan khusus, yaitu :
      a.         membuat catatan setiap kelahiran;
      b.         membuat catatan setiap kematian;
      c.         menyaksikan dan mencatat Surat wasiat.
(4)   Nakhoda atau pemimpin kapal wajib memenuhi persyaratan
      pendidikan dan pelatihan, kemampuan dan keterampilan, serta
      kesehatan.
(5)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
      ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
      Pemerintah.

                              Pasal 56
(1)   Nakhoda atau pemimpin kapal dan anak buah kapal berbendera
      Indonesia harus warga negara Indonesia.
(2)   Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
      ayat (1) dapat diberikan atas izin Pemerintah.
(3)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
      diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 57
(1)   Nakhoda atau pemimpin kapal, wajib berada di kapal selama
      berlayar, kecuali dalam keadaan yang sangat memaksa.
(2)   Nakhoda atau pemimpin kapal yang akan berlayar, wajib
     memastikan   bahwa  kapalnya   telah  memenuhi    persyaratan
     kelaiklautan.
(3) Nakhoda atau pemimpin kapal berhak menolak untuk
     melayarkan kapalnya apabila mengetahui kapal tersebut tidak
     memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Nakhoda    atau  pemimpin   kapal  wajib   memperhatikan   dan
     memelihara kondisi kapalnya tetap laik laut untuk berlayar.
(5) Pemilik atau operator kapal wajib memberikan keleluasaan
     kepada nakhoda atau pemimpin kapal untuk melaksanakan
     kewajibannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
     berlaku.

                             Pasal 58
Untuk tindakan penyelamatan, nakhoda atau pemimpin kapal berhak
menyimpang dari rute yang telah ditetapkan dan mengambil tindakan
lainnya yang diperlukan.

                              Pasal 59
(1)   Dalam hal nakhoda yang bertugas di kapal yang sedang
      berlayar untuk sementara atau untuk seterusnya tidak mampu
      melaksanakan tugas, maka mualim I menggantikannya dan pada
      pelabuhan berikut yang disinggahinya diadakan penggantian
      nakhoda.
(2)   Apabila mualim I sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
      mampu menggantikan nakhoda, maka mualim lainnya yang
      tertinggi   dalam   jabatan   sesuai   dengan    sijil   dapat
      menggantikan, dan pada pelabuhan berikut yang disinggahinya
      diadakan penggantian nakhoda.
(3)   Dalam hal penggantian nakhoda sebagaimana dimaksud dalam
      ayat (1) dan ayat (2) disebabkan halangan sementara maka
      penggantian tidak mengalihkan kewenangan dan tanggung jawab
      nakhoda kepada pengganti sementara.
(4)   Apabila seluruh mualim dalam kapal berhalangan menggantikan
      nakhoda kapal maka pengganti nakhoda ditunjuk oleh dewan
      kapal.
(5)   Dalam hal penggantian nakhoda disebabkan halangan tetap maka
      nakhoda   pengganti   sementara  mempunyai    kewenangan   dan
      tanggung jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1)
      dan ayat (3).

                              Pasal 60
(1)   Nakhoda atau pemimpin kapal untuk kapal ukuran tertentu,
      wajib menyelenggarakan buku harian kapal.
(2)   Nakhoda atau pemimpin kapal wajib melaporkan buku harian
      kapal kepada pejabat pemerintah yang berwenang dan/atau atas
      permintaan pihak-pihak yang berwenang untuk memperlihatkan
      buku harian kapal dan/atau memberikan salinannya.
(3)   Buku harian dan keterangan yang dicatat di dalamnya dapat
      dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan.
(4)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan
      ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 61
(1)  Dilarang mempekerjakan seseorang di kapal dalam jabatan
     apapun tanpa disijil dan tanpa memiliki kemampuan serta
     dokumen pelaut yang dipersyaratkan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
     lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 62
(I)   Anak buah kapal wajib menaati perintah nakhoda atau pemimpin
      kapal secara tepat dan cermat dan dilarang meninggalkan
      kapalnya tanpa izin nakhoda atau pemimpin kapal.
(2)   Dalam hal anak buah kapal mengetahui bahwa perintah yang
      diterimanya tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka
      yang   bersangkutan   berhak    mengadukan  kepada   pejabat
      pemerintah yang berwenang.
(3)   Hubungan kerja antara awak kapal dengan pemilik atau
      operator kapal serta hak dan kewajibannya diselenggarakan
      sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan
      ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 63
(1)   Nakhoda   berwenang   mengenakan  tindakan   disiplin    atas
      pelanggaran yang dilakukan setiap anak buah kapal yang :
      a.        meninggalkan kapal tanpa izin nakhoda;
      b.        tidak kembali ke kapal pada waktunya;
      c.        menolak perintah penugasan;
      d.        tidak melaksanakan tugas dengan baik;
      e.        berperilaku tidak tertib;
      f.        berperilaku tidak layak terhadap seseorang.
(2)   Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      dilaksanakan sesuai dcngan peraturan perundang-undangan yang
      berlaku.

                             Pasal 64
(1)   Selama perjalanan kapal, nakhoda dapat mengambil tindakan
      terhadap setiap orang yang secara tidak sah berada di atas
      kapal.
(2)   Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
      sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
      berlaku.

                                  BAB VIII
                       PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
                           PENCEMARAN OLEH KAPAL

                              Pasal 65
(1)   Setiap kapal dilarang melakukan pembuangan limbah atau bahan
      lain apabila tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
      lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                                   Pasal 66
(1)   Setiap   kapal     yang   dioperasikan   wajib   dilengkapi   dengan
     peralatan   pencegahan   pencemaran  sebagai   bagian dari
     persyaratan kelaiklautan kapal.
(2) Setiap nakhoda atau pemimpin kapal dan/atau anak buah
     kapal wajib mencegah terjadinya pencemaran lingkungan yang
     bersumber dari kapalnya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
     diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 67
(1)   Setiap nakhoda atau pemimpin kapal wajib menanggulangi
      pen-cemaran yang bersumber dari kapalnya.
(2)   Nakhoda atau pemimpin kapal wajib segera melaporkan kepada
      pejabat pemerintah yang berwenang terdekat atau instansi
      yang berwenang menangani penanggulangan pencemaran laut
      mengenai terjadinya pencemaran laut yang disebabkan oleh
      kapalnya atau oleh kapal lain, atau apabila melihat adanya
      pencemaran di laut.
(3)   Pejabat pemerintah yang berwenang segera meneruskan laporan
      sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) kepada instansi yang
      berwenang menangani penanggulangan pencemaran laut di
      pelabuhan untuk penanganan lebih lanjut.
(4)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan
      ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 68
(1)   Pemilik atau operator kapal bertanggung jawab terhadap
      pencemaran yang bcrsumber dari kapalnya.
(2)   Untuk memenuhi tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam
      ayat (1), pemilik atau operator kapal wajib mengasuransikan
      tanggung jawabnya.
(3)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
      diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                              BAB IX
                             ANGKUTAN
                          Bagian Pertama
                          Usaha Angkutan

                              Pasal 69
(1)   Usaha angkutan di perairan, diselenggarakan berdasarkan izin
      Pemerintah.
(2)   Penyelenggaraan usaha angkutan sebagaimana dimaksud dalam
      ayat (1) dilakukan oleh badan hukum Indonesia yang bergerak
      khusus di bidang usaha angkutan di perairan.
(3)   Usaha angkutan di perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
      77 ayat (1) dan Pasal 79 dapat juga diselenggarakan oleh
      warga negara Indonesia.
(4)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan
      ayat (3) diatur lcbih lanjut dengan Pcraturan Pemerintah.

                              Pasal 70
(1)   Untuk menunjang usaha    tertentu   dapat dilakukan kegiatan
      angkutan laut, serta     angkutan   sungai dan danau untuk
     kepentingan sendiri.
(2) Kegiatan angkutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
     dapat dilakukan oleh badan hukum Indonesia atau warga negara
     Indonesia dengan izin Pemerintah.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
     diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                           Bagian Kedua
                     Usaha Penunjang Angkutan

                              Pasal 71
(1)   Untuk menunjang usaha atau kegiatan angkutan sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 70 dapat diselcnggarakan
      usaha penunjang angkutan laut serta angkutan sungai dan
      danau.
(2)   Usaha   penunjang  scbagaimana   dimaksud  dalam ayat  (1)
      dise-lenggarakan oleh badan hukum Indonesia atau warga
      negara Indonesia dengan izin Pemerintah.
(3)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
      diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                           Pasal 72
Ketentuan mcngenai jenis dan struktur tarif usaha penunjang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.

                           Bagian Ketiga
                    Angkutan Laut Dalam Negeri

                              Pasal 73
(1)   Penyelenggaraan angkutan laut dalam negeri dilakukan dengan
      menggunakan kapal berbendera Indonesia.
(2)   Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
      ayat (1) maka dalam keadaan dan persyaratan tertentu,
      Pemerintah dapat menctapkan penggunaan kapal berbendera
      asing untuk angkutan laut dalam negeri yang dioperasikan
      oleh badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
      69 ayat (2) dan Pasal 70 ayat (2).

                              Pasal 74
(1)   Pola penyelenggaraan angkutan laut dalam negeri disusun dan
      dilaksanakan secara terpadu baik intra-maupun antar-moda
      yang merupakan satu kesatuan tatanan transportasi nasional.
(2)   Angkutan laut dalam negeri diselenggarakan dengan trayek
      tetap dan teratur serta dapat pula dilengkapi dengan trayek
      tidak tetap dan tidak teratur.
(3)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
      diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                            Pasal 75
Struktur dan golongan tarif penumpang angkutan laut dalam negeri
ditetapkan olch Pemerintah.
                             Bagian Keempat
                       Angkutan Laut Luar Negeri
*8303
                                Pasal 76
(1)     Penyelenggaraan angkutan laut dari dan ke luar negeri
        dilakukan oleh badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud
        dalam Pasal 69 ayat (2) dan/atau perusahaan angkutan laut
        asing.
(2)     Penyelenggaraan angkutan laut sebagaimana dimaksud dalam
        ayat (1) dilaksanakan dengan tujuan agar perusahaan angkutan
        laut nasional memperoleh pangsa muatan yang wajar sesuai
        dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)     Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
        diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                             Bagian Kelima
                           Pelayaran Rakyat

                                Pasal 77
(1)     Pelayaran   rakyat  sebagai   usaha rakyat  yang  bersifat
        tradisional, merupakan bagian dari usaha angkutan di
        perairan, mempunyai peranan yang penting dan karakteristik
        tersendiri.
(2)     Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
        lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                                Pasal 78
(1)     Pembinaan pelayaran rakyat dilaksanakan dengan tujuan agar
        kehidupan usaha dan peranan pentingnya tetap terpelihara
        sebagai bagian dari tatanan angkutan di perairan.
(2)     Pengembangan pelayaran rakyat dilaksanakan untuk
        a.        meningkatkan kemampuannya sebagai lapangan usaha
        dan lapangan kerja;
        b.        terwujudnya pengembangan sumber daya manusia dan
        kewiraswastaan dalam bidang usaha pelayaran.
(3)     Pembinaan dan pengembangan pelayaran rakyat sebagaimana
        dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
        dengan Peraturan Pemerintah.

                             Bagian Keenam
                          Angkutan Sungai dan
                     Danau, Angkutan Penyeberangan

                                Pasal 79
(1)     Penyelenggaraan angkutan sungai dan danau dan angkutan
        penyeberangan, di dalam negeri dilakukan dengan menggunakan
        kapal berbendera Indonesia.

(2)     Penyelenggaraan angkutan sungai dan danau, dan angkutan
        penyeberangan, antara negara Republik Indonesia dengan
        negara asing, dilakukan berdasarkan perjanjian antara
        Pemerintah negara Republik Indonesia dengan Pcmerintah
        negara asing yang bersangkutan.
                             Pasal 80
(1) Penyelenggaraan angkutan sungai dan danau disusun
     secara terpadu intra-dan antar-moda yang merupakan satu
     kesatuan tatanan transportasi nasional.
(2) Angkutan sungai dan danau diselenggarakan dengan menggunakan
     trayek tetap dan teratur yang dilengkapi dengan trayek tidak
     tetap dan tidak teratur.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) diatur
     lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 81
(1)   Penetapan lintasan angkutan penyeberangan dilakukan dengan
      memperhatikan pengembangan jaringan jalan dan/atau jaringan
      jalan kereta api yang tersusun dalam satu kesatuan tatanan
      transportasi nasional.
(2)   Angkutan penyeberangan diselenggarakan dengan menggunakan
      trayek tetap dan teratur.
(3)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
      diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                            Pasal 82
Struktur dan golongan tarif penumpang dan barang untuk angkutan
sungai dan danau, dan angkutan penyeberangan, ditetapkan oleh
Pemerintah.

                          Bagian Ketujuh
                        Pelayanan Angkutan
                      Untuk Penyandang Cacat

                              Pasal 83
(1)   Penyandang cacat dan orang sakit berhak memperoleh pelayanan
      berupa perlakuan khusus dalam angkutan di perairan.
(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
      lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                          Bagian Kedelapan
                         Angkutan Perintis

                              Pasal 84
(1)   Pemerintah   menyelenggarakan    angkutan perintis  berupa
      angkutan di perairan yang menghubungkan daerah-daerah
      tcrpencil dan belum berkembang.
(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
      lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                         Bagian Kesembilan
                           Wajib Angkut

                              Pasal 85
(1)   Perusahaan angkutan di perairan wajib mengangkut penumpang
      dan/ atau barang setelah disepakati perjanjian pengangkutan.
(2)   Karcis penumpang dan dokumen muatan merupakan tanda bukti
      terjadinya perjanjian angkutan.

                       *8305 Bagian Kesepuluh
                     Tanggung Jawab Pengangkut

                              Pasal 86
(1)   Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab atas
      akibat yang ditimbulkan oleh pengoperasian kapalnya berupa :
      a.        kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;
      b.        musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut;
      c.        keterlambatan angkutan penumpang, dan atau barang
      yang diangkut;
      d.        kerugian pihak ketiga.
(2)   Jika perusahaan angkutan dapat mcmbuktikan bahwa kerugian
      sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, c, dan d bukan
      disebabkan oleh kesalahannya, maka dapat dibebaskan sebagian
      atau seluruh dari tanggung jawabnya.
(3)   Perusahaan angkutan wajib mengasuransikan tanggung jawabnya
      sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4)   Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
      (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
      Pemerintah.

                         Bagian Kesebelas
                  Pengangkutan Barang Khusus dan
                         Barang Berbabaya

                              Pasal 87
(1)   Pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya wajib
      memenuhi persyaratan.
(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
      lanjut dcngan Peraturan Pcmerintah.

                                BAB X
                         KECELAKAAN KAPAL
                     PENCARIAN DAN PERTOLONGAN
                           Bagian Pertama
                          Kecelakaan Kapal

                             Pasal 88
Nakhoda atau pemimpin kapal bertanggung jawab atas kecelakaan
kapal, kecuali dapat dibuktikan lain.

                              Pasal 89
(1)   Setiap orang yang ada di atas kapal yang mengetahui di
      kapalnya terjadi kecelakaan, dalam batas-batas kemampuannya
      wajib memberikan pertolongan dan melaporkan kecelakaan
      tersebut kepada pejabat yang berwenang terdekat atau pihak
      lain.
(2)   Nakhoda atau pemimpin kapal yang mengetahui adanya bahaya
      bagi   keselamatan   berlayar    wijib mengambil   tindakan
      pencegahan dan menyebarluaskan berita mengenai hal itu
      kepada pihak lain.
(3)     Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ayat (2)
        diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
*8306
                                Pasal 90
(1)     Nakhoda atau pemimpin kapal yang sedang berlayar wajib
        memberikan pertolongan dalam batas kemampuannya kepada
        setiap orang atau kapal yang ditemukan berada dalam bahaya
        di perairan dan orang-orang yang berada di menara suar.
(2)     Nakhoda atau pemimpin kapal yang terlibat dalam tubrukan
        dengan kapal lain wajib memberikan pertolongan kepada
        penumpang, awak kapal, dan kapal yang terlibat dalam
        tubrukan tersebut.

                                Pasal 91
(1)     Nakhoda kapal wajib melaporkan kepada pejabat pemerintah
        yang   berwenang  terdekat   setiap  keadaan   yang  mungkin
        merupakan bahaya terhadap keselamatan berlayar di dalam atau
        di dekat perairan di bawah yuridiksi Indonesia atau di laut
        lepas yang diketahuinya.
(2)     Pemimpin kapal wajib melaporkan kepada pejabat pemerintah
        yang berwenang atau kepala pelabuhan atau pejabat yang
        ditunjuk terdekat, terhadap setiap keadaan yang mungkin
        merupakan bahaya keselamatan berlayar, di dalam atau dekat
        perairan di bawah yurisdiksi Indonesia.

                             Pasal 92
Nakhoda atau pemimpin kapal yang bcrada di perairan Indonesia
wajib melaporkan kepada pejabat peinerinlah yang berwenang,
setiap kecelakaan yang melibatkan kapalnya alau kapal lain yang
dikelahuinya, yang telah mengakibatkan atau dapat mengakibatkan
kerusakan pada alur atau bangunan di perairan yang berkaitan atau
yang dapat mengakibatkan bahaya terhadap kesclamatan berlayar.

                                Pasal 93
(1)     Terhadap setiap kecelakaan kapal diadakan pemeriksaan oich
        pejabat   pemerintah   yang   bcrwenang   untuk  mengetahui
        sebab-sebab terjadinya kecelakaan.
(2)     Terhadap hasil pemeriksaan tersebut pada ayat (1) dapat
        diadakan pemeriksaan lanjutan untuk diambil keputusan oleh
        lembaga yang ditunjuk untuk itu.
(3)     Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
        diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                              Bagian Kedua
                       Pencarian dan Pertolongan

                                Pasal 94
(1)     Pemerintah bertanggung jawab melaksanakan pencarian dan
        pertolongan terhadap setiap orang yang mengalami musibah di
        perairan Indonesia.
(2)     Setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan kapal atau
        pesawat udara wajib membantu usaha pencarian dan pertolongan
        terhadap setiap orang yang mengalami musibah di perairan
     Indonesia.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
     (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                               BAB XI
                        SUMBER DAYA MANUSIA

                              Pasal 95
(1)   Pengembangan sumber daya manusia dalam bidang pelayaran
      dilaksanakan dengan tujuan agar tercipta tenaga kerja yang
      profesional.
(2)   Pengembangan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam
      ayat (1) mencakup perencanaan, penelitian dan pengembangan,
      pendidikan dan pelatihan, serta pengembangan pasar kerja dan
      perluasan kesempatan berusaha.

                               Pasal 96
(1)   Untuk   mewujudkan   tenaga   kerja  profesional  di   bidang
      pelayaran diselenggarakan pendidikan dan pelatihan oleh
      lembaga pendidikan yang memenuhi persyaratan dan mendapat
      izin dari Pemerintah.
(2)   Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      disesuaikan   dengan    kebutuhan,  perkembangan   ilmu   dan
      teknologi serta persyaratan internasional.
(3)   Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      dan ayat (2) diselenggarakan sesuai dengan peraturan
      perundang-undangan yang berlaku.

                              Pasal 97
(1)   Pelaut Indonesia yang bekerja di kapal berbendera asing
      wajib memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku
      baik nasional maupun internasional.
(2)   Pemerintah menetapkan tata cara perlindungan terhadap pelaut
      Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang diatur
      lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 98
(1)   Untuk memperluas penampungan tenaga kerja, Pemerintah
      mendorong tumbuhnya pasar kerja di bidang pelayaran.
(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
      lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                              BAB XII
                            PENYIDIKAN

                              Pasal 99
(1)   Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia,
      Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang
      lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran dan
      perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut tertentu
      diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan tindak
      pidana di bidang pelayaran dimaksud dalam Undang-undang ini.
(2)   Pcnyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang untuk
      *8308 a.        melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan
      atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang
      pelayaran;
      b.         melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap
      saksi dan orang yang diduga melakukan tindak pidana di
      bidang pelayaran;
      c.         melakukan   penggeledahan,   penyegelan   dan/atau
      menyita alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak
      pidana di bidang pelayaran;
      d.         melakukan pemeriksaan tempat yang diduga digunakan
      melakukan tindak pidana;
      e.         meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau
      sehubungan dengan tindak pidana di bidang pelayaran;
      f.         membuat    dan    menandatangani   berita    acara
      pemeriksaan;
      g.         menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat
      cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang
      pelayaran.

                             BAB XIII
                         KETENTUAN PIDANA

                              Pasal 100
(1)   Barangsiapa dengan sengaja merusak atau melakukan tindakan
      apapun yang mengakibatkan tidak berfungsinya sarana bantu
      navigasi pelayaran dan fasilitas alur pelayaran di sungai
      dan danau di bawah yurisdiksi nasional Indonesia sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 11, dipidana dengan pidana:
      a.        penjara paling lama 12 (dua belas) tahun jika hal
      itu dapat mengakibatkan bahaya bagi kapal berlayar;
      b.        penjara paling lama 15 (lima belas) tahun, jika
      hal itu dapat mengakibatkan bahaya bagi kapal berlayar dan
      perbuatan itu berakibat kapal tcnggelam atau terdampar;
      c.        penjara seumur hidup atau penjara untuk waktu
      tertentu paling lama 20 (dua puluh) tahun, jika hal itu
      dapat mengakibatkan bahaya bagi kapat bcrlayar dan bcrakibat
      matinya seseorang.
(2)   Barangsiapa    karena    kelalaiannya   menyebabkan     tidak
      berfungsinya sarana bantu navigasi pelayaran dan fasilitas
      alur pelayaran di sungai dan danau di bawah yurisdiksi
      nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,
      dipidana dengan pidana :
      a.        pcnjara paling lama 4 (empat) bulan 2 (dua) minggu
      atau hukuman kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda
      setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah), jika
      hal itu mengakibatkan bahaya bagi kapal berlayar;
      b.        penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau
      kurungan   paling   lama   6   (enam) bulan   atau      denda
      setinggi-tingginya Rp. 12.000.000,- (duabelas juta rupiah),
      jika hal itu mengakibatkan kapal tenggelam atau terdampar;
      c.        penjara paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan
      atau kurungan paling lama 1(satu) tahun jika hal itu
      mengakibatkan matinya seseorang.
(3) Barangsiapa karena tindakannya mengakibatkan rusak atau
     tidak berfungsinya telekomunikasi pelayaran sebagaimana
     dimaksud dalam Pasal 11 dipidana sesuai dengan ketentuan
     Undang-undang yang berlaku di bidang telekomunikasi.

                            Pasal 101
Nakhoda atau pemimpin kapal yang tidak mematuhi aturan-aturan
yang berkaitan dengan tata cara berlalu lintas, alur-alur
pelayaran, sistem rute, sarana bantu navigasi pelayaran dan
telekomunikasi pelayaran selama berlayar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling
lama   3  (tiga)   bulan   atau   denda setinggi-tingginya Rp.
6.000.000,-(enam juta rupiah).

                              Pasal 102
(1)   Nakhoda atau pemimpin kapal yang memasuki perairan wajib
      pandu, tetapi tidak menggunakan tenaga pandu, tanpa izin
      dari pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
      16 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2
      (dua)    bulan     atau    denda   setinggi-tingginya    Rp.
      4.000.000,-(empat juta rupiah).
(2)   Barangsiapa yang melaksanakan pemanduan tidak memenuhi
      persyaratan    atau   kewcnangan   yang   telah   ditentukan
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dipidana dengan
      pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda
      setinggi-tingginya Rp. 4.000.000,- (empat juta rupiah).

                            Pasal 103
Pemilik kapal dan/atau nakhoda atau pemimpin kapal yang tidak
melaporkan kerangka kapalnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 2.000.000,- (dua juta
rupiah).

                             Pasal 104
(1)   Pemilik kapal yang tidak menyingkirkan kerangka kapalnya
      dan/atau muatannya yang mengganggu keselamatan berlayar
      sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (1) dipidana dengan
      pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda
      setinggi-tingginya Rp 24.000.000,- (duapuluh empat juta
      rupiah).
(2)   Pemilik kapal yang tidak melakukan kewajiban mengasuransikan
      tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2)
      dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan
      atau denda setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,- (enam juta
      rupiah).
(3)   Apabila pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      menycbabkan kapal lain mengalami kecclakaan atau menimbulkan
      kematian sescorang dipidana dengan pidana pcnjara paling
      lama 10 (sepuluh) tahun.

                             Pasal 105
(1)   Barangsiapa   membangun    pelabuhan   umum,   tanpa    izin
      sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dipidana
      dengan pidana   *8310 penjara 10 paling lama 2 (dua) tahun
      atau dcnda setinggi-tingginya Rp 48.000.000,- (empat puluh
      delapan juta rupiah).
(2)   Barangsiapa   mengoperasikan  pelabuhan   umum  tanpa   izin
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) dipidana dengan
      pidana pcnjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda
      setinggi-tingginya Rp. 72.000.000,- (tujuh puluh dua juta
      rupiah).

                            Pasal 106
Barangsiapa membangun dan mengoperasikan pelabuhan khusus tanpa
izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dipidana dengan
pidana   penjara   paling  lama   2   (dua)   tahun  atau   denda
setinggi-tingginya Rp. 48.000.000,- (empat puluh delapan juta
rupiah).

                            Pasal 107
Barangsiapa menggunakan pelabuhan khusus untuk kepentingan umum
tanpa memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda
se-tinggi-tingginya Rp. 24.000.000,- (dua puluh empat juta
rupiah).

                             Pasal 108
Barangsiapa yang tidak melaporkan kepada pejabat pemerintah yang
berwenang tentang perubahan yang dilakukan terhadap sebuah kapal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dipidana dengan
pidana   kurungan  paling   lama   1   (satu) tahun  atau    denda
setinggi-tingginya Rp. 24.000.000,- (dua puluh juta rupiah).

                            Pasal 109
Nakhoda atau pemimpin kapal yang melayarkan kapalnya melam- paui
daerah     pelayaran     yang    ditentukan     sesuai     dengan
kelaiklautan kapalnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat
(2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan
atau denda setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah).

                             Pasal 110
(1)   Nakhoda   atau   pemimpin    kapal   yang   tidak   mematuhi
      peraturan-peraturan untuk menjaga ketertiban dan kelancaran
      lalu lintas kapal di pelabuhan sebagaimana dimaksud Pasal 40
      ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3
      (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,-
      (enam juta rupiah).
(2)   Nakhoda atau pemimpin kapal yang berlayar tanpa memiliki
      Surat Izin Berlayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat
      (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
      tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 24.000.000,- (dua
      puluh empat juta rupiah).

                              Pasal 111
Barangsiapa   menggunakan   peti kemas sebagai   bagian   dari   alat
angkut yang tidak memenuhi persyaratan kelaikan peti kemas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah).

                            Pasal 112
Pemilik kapal yang tidak memasang tanda pendaftaran pada kapal
sebagaimana   dimaksud  dalam   Pasal   46   ayat  (5) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah).

                            Pasal 113
Barangsiapa menerima pengalihan hak milik atas kapal dan tidak
melakukan balik nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, dalam
batas waktu yang ditetapkan sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku, dipidana dengan pidana denda setinggi-tingginya 10
(sepuluh) kali lipat dari biaya balik nama yang ditentukan.

                            Pasal 114
Nakhoda atau pemimpin kapal yang tidak memenuhi ketentuan
mengenai pengibaran bendera kebangsaan kapal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52, Pasal 54 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 32.000.000,- (tiga puluh dua juta rupiah).

                             Pasal 115
(1)   Nakhoda atau pemimpin kapal yang tidak berada di atas kapal
      atau meninggalkan kapalnya tanpa alasan yang sangat memaksa
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), dipidana
      dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun 6 (enam)
      bulan.
(2)   Nakhoda atau pemimpin kapal yang melayarkan kapalnya
      sedangkan yang bersangkutan mengetahui bahwa kapal tersebut
      tidak laiklaut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2)
      dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan
      atau denda setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,- (enam juta
      rupiah).
(3)   Pemilik   atau   operator  kapal   yang   menghalang-halangi
      keleluasaan nakhoda atau pemimpin kapal untuk melaksanakan
      kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (5)
      dipidana dengan pidana, kurungan paling lama 9 (sembilan)
      bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 18.000.000,-(delapan
      belas juta rupiah).

                            Pasal 116
Nakhoda atau pemimpin kapal untuk kapal dengan ukuran yang tidak
menyelenggarakan buku harian atau tidak melaporkan buku harian
kapal kepada pejabat pemerintah yang berwenang atau tidak
memper-lihatkan kepada pihak-pihak yang berwenang atas permintaan
dan untuk memperolch salinannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
60 ayat (1)dan ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling
lama   3  (tiga)   bulan   atau   denda  setinggi-tingginya   Rp.
6.000.000,-(enam juta rupiah).
                             Pasal 117
(1) Pemilik atau operator kapal yang mempekerjakan awak
     kapal di kapal tanpa disijil dan tanpa memiliki kemampuan
     serta   dokumen   pelaut   yang   dipersyaratkan  sebagaimana
     dimaksud dalam Pasal 61 ayat 91) dipidana dengan pidana
     kurungan   paling    lama   6   (enam)    bulan  atau   denda
     setinggi-tingginya Rp. 12.000.000,- (duabelas juta rupiah).
(2) Nakhoda atau pemimpin kapal yang mempekerjakan anak buah
     kapal di kapal tanpa disijil dan tanpa memiliki kemampuan
     serta   dokumen   pelaut   yang   dipersyaratkan  sebagaimana
     dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) dipidana dengan pidana
     kurungan   paling    lama   3   (tiga)    bulan  atau   denda
     setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah).

                            Pasal 118
Anak buah kapal yang tidak menaati perintah nakhoda atau pemimpin
kapal atau meninggalkan kapal tanpa izin nakhoda atau pemimpin
kapal sebagaimana dimaksud dalam pasal 62 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama a (satu) tahun 4 (empat) bulan.

                              Pasal 119
(1)   Barangsiapa yang melakukan pembuangan limbah atau bahan lain
      dari kapal yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) dipidana dengan pidana
      penjara    paling   lama    5   (lima)   tahun   atau    denda
      setinggi-tingginya Rp. 120.000.000,- (scratus dua puluh juta
      rupiah).
(2)   Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya
      lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama
      10   (sepuluh)   tahun   atau  denda   setinggi-tingginya   Rp
      240.000.000,- (dua ratus empat puluh juta rupiah).

                           Pasal 120
Nakhoda atau pemimpin kapal yang tidak melaksanakan kewajibannya
untuk melakukan penanggulangan pencemaran yang bersumber dari
kapalnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda
setinggi-tingginya Rp. 48.000.000,- (empat puluh delapan juta
rupiah).

                            Pasal 121
Pemilik atau operator kapal yang tidak mengasuransikan tanggung
jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah).

                            Pasal 122
Barangsiapa menyelenggarakan usaha angkutan di perairan, kegiatan
angkutan, atau usaha penunjang angkutan tanpa memiliki izin
scbagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1), Pasal 70 ayat (2),
Pasal 71 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3
(tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,- (enam
juta rupiah).
*8313
                            Pasal 123
Barangsiapa tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 86 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.
6.000.000,- (enam juta rupiah).

                             Pasal 124
(1)   Setiap orang yang ada di atas kapal yang mengetahui
      dikapal-nya    terjadi   kecelakaan,    dalam    batas-batas
      kemampuannya tidak memberikan pertolongan dan melaporkan
      kecelakaan tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat
      (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua)
      bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 4.000.000,- (empat
      juta rupiah).
(2)   Nakhoda atau pemimpin kapal yang mengetahui adanya bahaya
      bagi keselamatan bcrlayar dan tidak mengambil tindakan
      pencegahan atau menyebarluaskan berita kepada pihak-pihak
      lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) dipidana
      dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau
      denda setinggi-tingginya Rp. 8.000.000,- (delapan juta
      rupiah).

                             Pasal 125
(1)   Nakhoda atau pemimpin kapal yang sedang berlayar, tetapi
      tidak memberikan pertolongan sesuai dengan kemampuannya
      kepada setiap orang atau kapal yang ditemukan berada dalam
      bahaya di perairan dan orang-orang yang berada di menara
      suar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) dipidana
      dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda
      setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah).
(2)   Nakhoda atau pemimpin kapal yang kapalnya terlibat dalam
      tubrukan dengan kapal lain dan dengan sengaja tidak
      memberikan pertolongan kepada penumpang, awak kapal, dan
      kapal yang terlibat dalam tubrukan tersebut sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) dipidana dengan pidana
      penjara paling lama 4 (empat) tahun.

                            Pasal 126
Nakhoda atau pemimpin kapal yang tidak melaporkan setiap keadaan
yang mungkin merupakan bahaya terhadap keselamatan berlayar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91, dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau dcnda setinggi-tingginya
Rp. 4.000.000,- (empat juta rupiah).

                           Pasal 127
Nakhoda atau pemimpin kapal yang tidak melaporkan setiap
kecelakaan yang melibatkan kapalnya atau kapal lain yang
diketahuinya, yang telah mengakibatkan atau dapat mengakibatkan
kerusakan pada alur atau bangunan di perairan atau yang dapat
mengakibatkan bahaya terhadap keselamatan berlayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 92 dipidana dengan pidana kurungan paling
lama   3  (tiga)   bulan   atau denda  setinggi-tingginya  Rp.
6.000.000,-(enam juta rupiah).

                         *8314 Pasal 128
Setiap orang atau badan hukum yang mcngoperasikan kapal atau
pesawat udara yang tidak membantu usaha pencarian dan pertolongan
terhadap setiap orang yang mengalami musibah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 94 ayat (2), walaupun telah diberitahukan secara
patut oleh pejabat pemerintah yang berwenang, dipidana dengin
pidana   kurungan   paling   lama  1(satu)   tahun   atau   denda
setinggi-tingginya Rp. 24.000.000,- (dua puluh empat juta
rupiah).

                              Pasal 129
(1)    Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1),
       ayat (2)huruf c dan ayat (3), Pasal 104 ayat (3), Pasal 105,
       Pasal 106, Pasal 114, Pasal 115 ayat (1), Pasal 118, Pasal
       119, Pasal 120, dan Pasal 125 ayat (2) adalah kejahatan.
(2)    Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (2)
       huruf a dan b, Pasal 101, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 104
       ayat (1) dan ayat (2), Pasal 107, Pasal 108, Pasal 109,
       Pasil 110, Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 115 ayat
       (2) dan ayat (3), Pasal 116, Pasal 117, Pasal 121, Pasal
       122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125 ayat (1), Pasal 126,
       Pasal 127, dan Pasal 128 adalah pelanggaran.

                               BAB XIV
                          KETENUAN PERALIHAN

                            Pasal 130
Pada tanggal mulai berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan
Pelaksanaan mengenai pelayaran dinyatakan tetap berlaku sepanjang
tidak   bertentangan  atau   belum  diganti   dengan  yang   baru
berdasarkan Undang-undang ini.

                               BAB XV
                          KETENTUAN PENUTUP

                              Pasal 131
Pada   saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka :
1.     Indische Scheepvaartswet, Staatsblad Tahun 1936   Nomor 700;
2.     Loodsdienst Ordonnantie, Staatsblad Tahun 1927 Nomor 62;
3.     Scheepmeetings Ordonnantie, Staatsblad Tahun 1927 Nomor 210;
4.     Binnenscheepen Ordonnantie, Staatsblad Tahun 1927 Nomor 289;
5.     Zeebrieven en Scheepspassen Ordonnantie, Staatsblad Tahun
       1935 Nomor 492;
6.     Scheepen Ordonnantie, Staatsblad Tahun 1935 Nomor 66;
7.     Bakengeld Ordonnantie, Staatsblad Tahun 1935 Nomor 468;
       dinyatakan tidak berlaku.

                                Pasal 132
Undang-undang   ini   mulai   berlaku 2 (dua)   tahun   sejak   tanggal
diundangkan.
             Agar   Setiap   orang  mengetahuinya,   memerintahkan
     *8315
pengundangan   Undang-undang   ini  dengan   penempatannya   dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 17 September 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 September 1992
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

M0ERDI0N0

                            PENJELASAN
                               ATAS
                UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                       NOMOR 21 TAHUN 1992
                             TENTANG
                            PELAYARAN

UMUM

Bahwa berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa Negara Republik Indonesia
telah dianugerahi sebagai negara kepulauan yang terdiri dari.
beribu pulau, terletak memanjang di garis khatulistiwa, di antara
dua benua dan dua samudera, oleh karena itu mempunyai posisi dan
peranan yang sangat penting dan strategis dalam hubungan antar
bangsa.

Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional sebagai pengamalan
Pancasila,   transportasi  memiliki   posisi  yang  penting   dan
strategis dalam pembangunan bangsa yang berwawasan lingkungan dan
hal ini harus tercermin pada kebutuhan mobilitas seluruh sektor
dan wilayah.

Transportasi   merupakan    sarana   untuk    memperlancar  roda
perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, dalam
rangka memantapkan perwujudan wawasan nusantara dan meningkatkan
ketahanan nasional, serta mempererat hubungan antar bangsa.

Pentingnya      transportasi     tersebut      tercermin     pada
penyelenggaraannya yang mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa
dan negara serta semakin meningkatnya kebutuhan jasa angkutan
bagi mobilitas manusia dan barang di dalam negeri serta dari dan
ke luar negeri.

Di samping itu, transportasi juga berperan sebagai penunjang,
pendorong, dan penggerak bagi pertumbuhan daerah yang berpotensi
namun belum berkembang, dalam upaya       peningkatan   dan
pemerataan pembangunan serta hasil-hasilnya.

Menyadari peranan transportasi, maka pelayaran sebagai salah satu
moda transportasi, penyelenggaraannya harus ditata dalam satu
kesatuan sistem transportasi nasional secara terpadu dan mampu
mewujudkan penyediaan jasa transportasi yang seimbang dengan
tingkat kebutuhan dan tersedianya pelayanan angkutan yang
selamat, aman, cepat, lancar, tertib, teratur, nyaman, dan
efisien dengan biaya yang wajar serta terjangkau oleh daya beli
masyarakat.

Pelayaran yang mempunyai karakteristik dan keunggulan tersendiri
perlu dikembangkan dengan memperhatikan sifatnya yang padat
modal, sehingga mampu meningkatkan pelayanan yang lebih luas,
baik di dalam negeri maupun ke dan dari luar negeri.

Mengingat penting dan strategisnya peranan pelayaran yang
menguasai hajat hidup orang banyak, maka pelayaran dikuasai oleh
negara yang pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.

Dalam kenyataannya berbagai peraturan perundang-undangan yang
merupakan produk Pemerintah Hindia Belanda yang tersebar di
berbagai bentuk peraturan antara lain di bidang kenavigasian,
perkapalan, kepelabuhanan, dan angkutan sudah tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan dan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan
teknologi.

Atas   dasar   hal-hal   tersebut  di   alas,   maka   disusunlah
Undang-undang tentang Pelayaran, yang merupakan penyempurnaan dan
kodifikasi, agar penyelenggaraan pelayaran dapat memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya kepada seluruh rakyat, bangsa dan
negara,   memupuk   dan   mengembangkan   jiwa   bahari,   dengan
mengutamakan kepentingan umum, dan kelestarian lingkungan,
koordinasi antara pusat dan daerah serta antara instansi, sektor,
dan antar unsur terkait serta pertahanan keamanan negara.

Dengan diundangkannya Undang-undang tentang Pelayaran ini maka
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam undang-undang lain yang
berkaitan dengan pelayaran antara lain Kitab Undang-undang Hukum
Dagang (Wet Bock Van Koophandel), Undang-undang Nomor 4 Prp Tahun
1960 tentang Perairan Indonesia, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia, Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan
United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi
Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut), Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, Ordonansi Laut Teritorial
dan Lingkungan Maritim Tahun 1939, merupakan Undang-undang yang
mempunyai kaitan yang sangat erat dengan undang-undang ini.

Di samping itu berbagai konvensi internasional lainnya yang telah
diratifikasi oleh Indonesia, merupakan ketentuan yang harus
dilaksanakan sesuai dengan kepentingan nasional.
*8317
Dalam Undang-undang ini diatur hal-hal yang bersifat pokok,
sedangkan yang bersifat teknis dan operasional akan diatur dalam
Peraturan Pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainya.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
     Angka 1
     Pengertian tentang angkutan di perairan meliputi angkutan
     laut, angkutan sungai dan danau, dan angkutan penyeberangan.
     Angkutan laut meliputi angkutan laut dalam negeri termasuk
     pelayaran rakyat, dan angkutan laut dari dan ke luar negeri.
     Angkutan sungai dan danau meliputi angkutan di waduk, rawa,
     anjir, kanal, dan terusan.
     Angkutan Penyeberangan adalah angkutan yang berfungsi
     sebagai jembatan bergerak yang menghubungkan jaringan jalan
     atau jaringan jalur kereta api yang terputus karena adanya
     perairan.
     Dalam pengertian angkutan di perairan terdapat angkutan yang
     bersifat perintis.
     Angka 2
     Yang dimaksud dengan:
     a.        kapal yang digerakkan dengan tenaga mekanik adalah
     kapal yang mempunyai alat penggerak mesin, misalnya kapal
     motor, kapal uap, kapal dengan tenaga matahari, dan kapal
     nuklir;
     b.        kapal yang digerakkan oleh angin adalah kapal
     layar;
     c.        kapal yang ditunda adalah kapal yang bergerak
     dengan menggunakan alat penggerak kapal lain;
     d.        kendaraan berdaya dukung dinamis adalah jenis
     kapal yang dapat dioperasikan di permukaan air atau di atas
     permukaan air dengan menggunakan daya dukung dinamis yang
     diakibatkan oleh kecepatan dan/atau rancang bangun kapal itu
     sendiri, misalnya jet foil, hidro foil, hovercraft, dan
     kapal-kapal cepat lainnya yang memenuhi kriteria tertentu;
     e.        kendaraan di bawah permukaan air adalah jenis
     kapal yang mampu bergerak di bawah permukaan air;
     f.        alat apung dan bangunan terapung yang tidak
     berpindah-pindah adalah alat apung dan bangunan terapung
     yang   tidak  mempunyai    alat  penggerak  sendiri,    serta
     ditempatkan di suatu lokasi perairan tertentu dan tidak
     berpindah-pindah untuk waktu yang lama, misalnya hotel
     terapung, tongkang akomodasi (accomodation barge) untuk
     penunjang kegiatan lepas pantai dan tongkang penampung
     minyak (oil storage barge), serta unit-unit pemboran lepas
     pantai berpindah (mobile offshore drilling units/MODU).

     Angka 3
     *8318 Yang dimaksud perairan daratan antara lain sungai,
     danau, waduk, kanal, dan terusan.
     Angka 4
     Cukup jelas
     Angka 5
     Alur pelayaran terdiri dari alur pelayaran di laut, sungai
     dan danau. Dalam pengertian alur pelayaran di sungai
     termasuk seluruh fasilitasnya antara lain berupa kolam
     pemindahan kapal (lock), bendung pengatur kedalaman alur
     (navigation barrage), dan bangunan untuk pengangkat kapal
     (ship lift).
     Angka 6
     Cukup jelas
     Angka 7
     Cukup jelas
     Angka 8
     Pekerjaan di bawah air yang bersifat khusus misalnya
     penggunaan peralatan bawah air yang dioperasikan dari
     permukaan air.
     Pekerjaan pengerukan tidak termasuk pekerjaan bawah air.
     Angka 9
     Termasuk pengertian kerangka kapal adalah sebagian atau
     bagian dari kerangka kapal yang terpisah.
     Angka 10
     Yang dimaksud dengan keselamatan kapal adalah keadaan kapal
     yang memenuhi persyaratan material, konstruksi, bangunan,
     permesinan dan perlistrikan, stabilitas, tata susunan serta
     perlengkapan termasuk radio, dan elektronika kapal, yang
     dibuktikan dengan sertifikat setelah dilakukan pemeriksaan
     dan pengujian.
     Angka 11
     Cukup jelas
     Angka 12
     Cukup jelas
     Angka 13
     Yang dimaksud jenis dan ukuran kapal tertentu adalah kapal
     dengan ukuran lebih kecil dari 100 M3 untuk kapal motor dan
     lebih kecil dari 300 M3 untuk kapal tanpa motor dengan
     konstruksi sederhana yang berlayar di perairan terbatas.
     Kapal tersebut tidak perlu dipimpin oleh seorang nakhoda,
     namun cukup dipimpin oleh pemimpin kapal yang memiliki
     persyaratan keterampilan yang lebih ringan dari keterampilan
     yang harus dimiliki oleh nakhoda.
     Angka 14
     Cukup jelas
     Angka 15
     Cukup jelas
Pasal 2
     Dalam ketentuan Pasal ini yang dimaksud dengan
     a.        asas manfaat, yaitu bahwa pelayaran harus dapat
     memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan,
     peningkatan kesejahteraan rakyat dan           *8319
     pengembangan peri kehidupan yang berkesinambungan bagi warga
     negara, serta upaya peningkatan pertahanan dan keamanan
     negara;
     b.         asas usaha bersama dan kekeluargaan, yaitu bahwa
     penyelenggaraan usaha di bidang pelayaran dilaksanakan untuk
     mencapai    cita-cita    dan    aspirasi  bangsa    yang    dalam
     kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat
     dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan;
     c.         asas adil dan merata, yaitu bahwa penyelenggaraan
     pelayaran harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan
     merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang
     terjangkau oleh masyarakat;
     d.         asas keseimbangan, yaitu bahwa pelayaran harus
     diselenggarakan      sedemikian     rupa   sehingga      terdapat
     keseimbangan yang serasi antara sarana dan prasarana, antara
     kepentingan pengguna dan penyedia jasa, antara kepentingan
     individu dan masyarakat, serta antara kepentingan nasional
     dan internasional;
     e.         asas kepentingan umum, yaitu bahwa penyelenggaraan
     pelayaran harus mengutamakan kepentingan pelayanan umum bagi
     masyarakat luas;
     f.         asas keterpaduan, yaitu bahwa pelayaran harus
     merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, terpadu, saling
     menunjang, dan saling mengisi baik intra-maupun antar-moda
     transportasi;
     g.         asas kesadaran hukum, yaitu bahwa mewajibkan
     kepada Pemerintah untuk menegakkan dan menjamin kepastian
     hukum serta mewajibkan kepada setiap warga negara Indonesia
     untuk    selalu   sadar    dan    taat   kepada    hukum    dalam
     penyelenggaraan pelayaran;
     h.         asas percaya pada diri sendiri, yaitu bahwa
     pelayaran harus bersendikan kepada kepribadian bangsa,
     berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan
     sendiri, mengutamakan kepentingan nasional dalam pelayaran
     dan memperhatikan pangsa wajar dalam angkutan di perairan
     dari dan ke luar negeri.
Pasal 3
     Cukup jelas
Pasal 4
     Cukup jelas
Pasal 5
     Ayat (1)
     Pengerian dikuasai oleh Negara adalah bahwa Negara mempunyai
     hak   penguasaan     atas    penyelenggaraan    pelayaran    yang
     perwujudannya meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan
     pengawasan.
     Dalam aspek pengaturan tercakup perumusan dan penentuan
     kebijaksanaan umum maupun teknis yang antara lain berupa
     persyaratan keselamatan dan perizinan.
     Aspek pengendalian dilakukan baik di bidang pembangunan
     maupun operasi berupa pengarahan dan bimbingan.
     Sedangkan      aspek      pengawasan     dilakukan       terhadap
     penyelenggaraan pelayaran agar tetap memenuhi ketentuan
     peraturan perundang-undangan.
     *8320 Ayat      (2)
     Cukup jelas
     Ayat (3)
     Cukup jelas
Pasal 6
     Cukup jelas
Pasal 7
     Navigasi adalah proses mengarahkan gerak kapal dari satu
     titik ke titik yang lain dengan lancar dan dapat menghindari
     bahaya dan/atau rintangan pelayaran agar dapat menyelesaikan
     perjalanan dengan selamat dan sesuai jadwal.
     Pemanduan adalah kegiatan pandu dalam membantu nakhoda
     kapal, agar navigasi dapat dilaksanakan dengan selamat,
     tertib, dan lancar dengan memberikan informasi tentang
     keadaan perairan setempat yang penting demi keselamatan
     kapal dan lingkungan.
     Salvage adalah pekerjaan untuk memberikan pertolongan
     terhadap kapal dan/atau muatannya yang mengalami kecelakaan
     atau dalam keadaan bahaya di perairan termasuk mengangkat
     kerangka kapal atau rintangan bawah air atau benda lainnya
     yang tidak secara permanen dan tidak dimaksudkan dipasang di
     dasar laut.
Pasal 8
     Ayat (1)
     Pengadaan, pengoperasian, dan pemeliharaan sarana bantu
     navigasi pelayaran dan telekomunikasi pelayaran termasuk
     kegiatan pembangunannya menjadi kewajiban dan tanggung jawab
     pemerintah.
     Yang   dimaksud   dengan  telekomunikasi    pelayaran    adalah
     telekomunikasi yang digunakan dalam dinas bergerak pelayaran
     yaitu antara stasiun pantai dengan stasiun kapal, atau antar
     stasiun   komunikasi   di  atas   kapal,   sedangkan    stasiun
     rambu-rambu radio petunjuk posisi darurat dapat juga
     mengambil bagian dalam dinas ini.
     Stasiun kapal adalah suatu stasiun bergerak dalam dinas
     bergerak pelayaran yang ditempatkan di kapal yang tidak
     tertambat secara tetap, kecuali stasiun sekoci penolong.
     Stasiun pantai adalah stasiun darat dalam dinas bergerak
     pelayaran.
     Ayat (2)
     Yang dimaksud dengan kepentingan tertentu adalah kepentingan
     untuk memenuhi persyaratan pengoperasian pelabuhan khusus
     yang dilakukan oleh badan hukum Indonesia yang bersangkutan.
     Ayat (3)
     Cukup jelas
     Ayat (4)
     Pengertian instalasi dan bangunan dalam ketentuan ini adalah
     instalasi atau bangunan dari sarana bantu navigasi pelayaran
     dan telekomunikasi pelayaran.
     Ayat (5)
     Cukup jelas
     Ayat (6)
     *8321 Dalam Peraturan Pemerintah diatur antara lain mengenai
     persyaratan   pengadaan,  pengoperasian    dan   pemeliharaan,
     persyaratan   kualifikasi   dan    kecakapan    petugas    yang
     mengoperasikan, serta persyaratan dan tata cara pengenaan
     biaya.
Pasal 9
     Ayat (1)
     Yang dimaksud dengan berita marabahaya yaitu :
     a.             berita tentang adanya kecelakaan kapal yang
     memerlukan pertolongan segera, berita dalam usaha pencarian
     dan pertolongan serta berita panting tentang epidemi dari
     Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization)
     termasuk wabah menular di kapal;
     b.             berita tentang keselamatan pelayaran meliputi
     antara lain :
     1.                  orang jatuh di laut dan pelayanan medis;
     2.                  pencemaran perairan;
     3.                  angin ribut, badai, topan dan gelombang
     laut yang besar, dan bencana alam lainnya;
     4.                  kerangka kapal dan atau benda-benda lain
     yang membahayakan keselamatan berlayar;
     5.                  sarana bantu navigasi pelayaran baru,
     hilang, bergeser dari posisi yang ditentukan, padam, dan
     mengalami kelainan;
     6.                  daerah terlarang karena latihan perang.
     Yang dimaksud dengan pelayanan meteorologi meliputi antara
     lain:
     a.             pemberian informasi mengenai keadaan cuaca
     dan laut serta. prakiraannya, terutama pada waktu operasi
     pencarian dan pertolongan serta penanggulangan pencemaran di
     perairan;
     b.             kalibrasi   dan    sertifikasi   perlengkapan
     pengamatan cuaca di kapal;
     c.             bimbingan teknis pengamatan cuaca di laut
     oleh kapal dan pembinaan kesadaran kepada para awak kapal
     untuk menunjang masukan data metereologi.

     Yang dimaksud dengan siaran tanda waktu standar adalah
     pancaran tanda waktu untuk kapal-kapal, stasiun radio
     pantai, dan bagi pihak lain yang memerlukan, untuk
     menentukan   waktu    dan  mencocokkan   kronometer,   yang
     penyiarannya   dilakukan  melalui   stasiun  radio   pantai
     tertentu, Radio Republik Indonesia, dan Televisi Republik
     Indonesia.
     Ayat (2)
     Cukup jelas

Pasal 10
     Ayat (1)
     Dalam hal terjadi kerusakan dan hambatan sebagaimana
     dimaksud dalam Pasal ini yang menimbulkan kerugian, pemilik
     atau operator kapal secara sendiri-sendiri atau bersama-sama
     bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
     *8322 Tanggung jawab sebagaimana dimaksud adalah tanggung
     jawab perdata.
     Pemilik kapal dimaksud adalah orang atau badan hukum yang
     memiliki kapal.
     Operator dimaksud adalah orang atau badan hukum yang
     mengoperasikan kapal.
     Yang dimaksud dengan keadaan yang tidak dapat dielakkan atau
     keadaan memaksa adalah force majeure.
     Tanggung jawab pemilik dan/atau operator kapal pada Pasal
     ini tidak menghilangkan tanggung jawab nakhoda atau pemimpin
     kapal atas kesalahannya yang mengakibatkan kerusakan dan
     hambatan yang menimbulkan kerugian terhadap sarana bantu
     navigasi    pelayaran,   telekomunikasi   pelayaran,   serta
     fasilitas alur pelayaran di sungai dan danau.
     Ayat (2)
     Cukup jelas
     Ayat (3)
     Cukup jelas

Pasal 11
     Yang dimaksud dengan di bawah yurisdiksi nasional Indonesia
     adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 17
     Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on
     the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
     tentang Hukum Laut), serta perairan daratan.

Pasal 12
     Huruf a
     Untuk membangun dan memelihara alur bagi keselamatan
     berlayar dan kepentingan lainnya diperlukan antara lain
     pekerjaan pengerukan dan/atau reklamasi yang persyaratannya
     diatur oleh Pemerintah.
     Huruf b
     Sistem rute adalah sistem yang terdiri dari satu rute atau
     lebih   atau  pengaturan   rute   yang  dimaksudkan,   untuk
     mengurangi resiko kecelakaan kapal, termasuk tata pemisahan
     lalu lintas, rute dua arah, garis haluan (tracks) yang
     dianjurkan, daerah-daerah yang harus dihindari, daerah lalu
     lintas pedalaman, daerah kewaspadaan (precautionary area),
     dan rute air dalam.
     Huruf c
     Tata cara berlalu lintas adalah mengenai semua tindakan yang
     diperlukan untuk keselamatan berlayar terutama bila sedang
     berlayar melalui sistem pemisah lalu lintas antara lain
     jarak bebas di bawah lunas kapal, kapal-kapal yang bersarat
     besar harus menggunakan rute air adalam (kapal bersarat
     besar yaitu 15M atau lebih), kapal-kapal bersarat besar
     harus berlayar dengan kecepatan yang telah ditetapkan.
     Huruf d
     Survei adalah pekerjaan atau kegiatan yang berhubungan
     dengan pengukuran suatu daerah perairan yang meliputi
     *8323 antara lain, survei kenavigasian, survei geologi
     survei geofisika, survei batimetrik.
     Pemetaan laut adalah suatu kegiatan penggambaran kondisi dan
     sifat-sifat suatu daerah perairan ke dalam suatu peta baik
     dengan menggunakan data hasil survei maupun tidak.
     Kegiatan survei dan pemetaan hidrografi tujuannya untuk
     kepentingan   keselamatan    berlayar  antara   lain   untuk
     pemutakhiran data pada buku petunjuk.
Pasal 13
     Ayat (1)
     Huruf a
     Persyaratan yang dimaksud dalam butir a tidak menyangkut
     persyaratan konstruksi.
     Ayat ini semata-mata mengatur persyaratan teknis yang
     berkaitan dengan keselamatan berlayar bagi kapal di sekitar
     lokasi yang bersangkutan.
     Persyaratan tersebut berupa antara lain pemberian tanda pada
     bangunan atau instalasi, serta penetapan zona keselamatan
     (safety zone) di sekitarnya yang harus diumumkan.
     Huruf b
     Kegiatan atau hal yang dapat membahayakan keselamatan
     berlayar dapat bersifat tetap misalnya eksplorasi dan
     eksploitasi lepas pantai. Sedang yang bersifat sementara
     misalnya kegiatan survei, latihan perang, kegiatan gunung
     berapi, dan lain sebagainya.
     Ayat (2)
     Cukup jelas
Pasal 14
     Pengertian terus menerus, langsung, dan secepatnya adalah
     berlayar dari laut bebas melintas perairan Indonesia dan
     langsung menuju ke laut bebas lainnya, sesuai dengan
     Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United
     Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi
     Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut).
Pasal 15
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Yang dimaksud dengan patut diduga adalah apabila ada
     pengakuan dari nakhoda atau pemimpin kapal dari kapal yang
     melanggar dan/atau adanya bukti-bukti yang nyata bahwa kapal
     tersebut telah melanggar dan/atau laporan-laporan dari
     pelapor yang diketahui indentitasnya dan sanggup menjadi
     saksi.
     Penempatan jaminan dimaksudkan untuk tidak menghambat
     pengoperasian kapal, sementara kasus pelanggaran yang
     dilakukan    diselesaikan     sesuai  ketentuan    peraturan
     perundang-undangan yang berlaku.

     Ayat (3)
     Cukup jelas
*8324
Pasal 16
      Ayat (1)
      Yang dimaksud dengan perairan wajib pandu adalah suatu
      wilayah perairan yang karena kondisi perairannya wajib
      dilakukan pemanduan bagi kapal berukuran isi kotor tertentu.
      Yang dimaksud dengan perairan pandu luar biasa yaitu suatu
     wilayah perairan yang karena kondisi perairannya tidak wajib
     dilakukan pemanduan.
     Penggunaan   fasilitas    pemanduan    dapat    diberikan   atas
     permintaan nakhoda atau pemimpin kapal.
     Penetapan perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa
     bertitik tolak pada kondisi perairan yang bersangkutan yang
     dinilai   berdasarkan   pada   kriteria/    aspek   yang   dapat
     mempengaruhi keselamatan pelayaran, berupa kondisi cuaca,
     kondisi arus, rintangan alam lainnya, dan kondisi kepadatan
     lalu-lintas kapal yang menuju suatu daerah pelabuhan.
     Ayat (2)
     Pandu adalah petugas pelaksana pemanduan yaitu seorang
     pelaut nautis yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan
     Pemerintah.
     Ayat (3)
     Pelayanan pandu di atas kapal merupakan bantuan kepada
     nakhoda atau pemimpin kapal untuk dapat mengambil tindakan
     yang tepat dalam rangka menjamin keselamatan berlayar, dan
     keputusan akhir tetap berada di tangan nakhoda.
     Petugas pandu bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas
     pemanduan   sehingga   apabila   melakukan     kesalahan   dalam
     pelaksanaan tugasnya dapat dikenakan tindakan administratif.
     Ayat (4)
     Cukup jelas
Pasal 17
     Ayat (1)
     Instansi yang berwenang adalah instansi yang berwenang dan
     bertanggung jawab atas pelaksanaan fungsi keselamatan
     pelayaran.
     Ayat (2)
     Pemberian tanda dan pengumuman dimaksudkan untuk menghindari
     terjadinya kecelakaan akibat adanya kerangka kapal tersebut.
     Biaya pengadaan dan pemasangan tanda kerangka kapal tersebut
     dibebankan kepada pemilik kapal.
     Ayat (3)
     Cukup jelas
Pasal 18
     Ayat (1)
     Tanggung jawab dan kewajiban pemilik sebagaimana dimaksud
     dalam ayat ini dapat dikenakan kepada operator apabila hal
     tersebut   jelas-jelas   disebut    dalam    perjanjian   antara
     operator dengan pemilik kapal.
     *8325 Ayat     (2)
     Cukup jelas
     Ayat (3)
     Cukup jelas
     Ayat (4)
     Penguasaan yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap kerangka
     kapal dan/atau muatannya yang tidak diketahui pemiliknya
     dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk melakukan tindakan
     pengangkatan guna menjamin keselamatan berlayar.
     Ayat (5)
     Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur antara lain mengenai
     pemberian   tanda,  penetapan  batas   waktu,  tata  cara
     penyingkiran, pembebanan biaya, penguasaan kerangka kapal
     dan/atau muatannya.

Pasal 19
     Ayat (1)
     Kerangka kapal yang berada di alur pelayaran wajib di
     lakukan salvage, sedangkan kerangka kapal yang tidak berada
     di alur pelayaran apabila tidak merupakan bahaya bagi
     keselamatan berlayar tidak wajib dilakukan salvage tetapi
     harus diumumkan oleh instansi yang berwenang dan bertanggung
     jawab atas pelaksanaan fungsi keselamatan pelayaran.
     Termasuk    kegiatan     salvage   menyangkut    juga    kegiatan
     pengangkatan kerangka kapal dan/atau muatannya yang tidak
     ditujukan untuk memelihara alur pelayaran, misalnya salvage
     untuk pengangkatan benda-benda berharga.
     Ayat (2)
     Pekerjaan    bawah   air    antara  lain   berupa   pembangunan,
     pemasangan konstruksi dan/atau instalasi yang dilakukan di
     bawah air.
     Ayat (3)
     Dalam Peraturan Pemerintah diatur antara lain izin usaha,
     persyaratan    pelaksanaan     kegiatan  salvage,     persyaratan
     pekerjaan bawah air, dan persyaratan penyelaman.

Pasal 20
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Pencabutan izin usaha pelayaran dilakukan sebagai upaya
     terakhir      setelah      melalui      upaya       pemberian
     peringatan-peringatan secara patut kepada yang bersangkutan.
Pasal 21
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Untuk menjamin kelancaran berbagai kegiatan di pelabuhan
     yang dilaksanakan berbagai pihak, maka        *8326
     diperlukan koordinasi yang meliputi kegiatan pemerintahan
     dan kegiatan pelayanan jasa.
Ayat (3)
     Cukup jelas
     Ayat (4)
     Cukup jelas

Pasal 22
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Yang dimaksud pelabuhan umum dalam ketentuan ini meliputi
     pelabuhan untuk melayani angkutan laut, angkutan sungai dan
     danau, dan angkutan penyeberangan.
     Termasuk dalam pengertian ini adalah pelabuhan umum yang
     dipergunakan untuk membongkar dan memuat komoditi sejenis,
     misalnya pelabuhan umum batu bara, atau yang dipergunakan
     untuk melayani kapal sejenis misalnya pelabuhan untuk kapal
     pelayaran rakyat, pelabuhan marina, dan lain sebagainya.
     Pelabuhan perikanan sebagai prasarana pengembangan perikanan
     sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985
     tentang   Perikanan   dalam   aspek  keselamatan   pelayaran
     diberlakukan ketentuan Undang-undang ini.
     Ayat (3)
     Cukup jelas
Pasal 23
     Ayat (1)
     Ketentuan ini berlaku untuk setiap pelabuhan, baik pelabuhan
     umum maupun pelabuhan khusus.
     Penggunaan suatu wilayah tertentu untuk pelabuhan harus
     dapat mewujudkan tatanan pelabuhan nasional yang mampu
     menunjang angkutan di perairan. Untuk itu dalam menetapkan
     persyaratan harus dipertimbangkan antara lain tata ruang,
     pertumbuhan ekonomi, kelestarian lingkungan, keamanan, dan
     keselamatan pelayaran.
     Ayat (3)
     Cukup jelas

Pasal 24
     Ayat (1)
     Penyelenggaraan     pelabuhan    sebagaimana dimaksud    dalam
     ketentuan ini meliputi kegiatan perencanaan, pembangunan,
     pengoperasian,    pengusahaan,    perawatan, pengawasan,   dan
     pengendalian.
     Yang dimaksud daerah lingkungan kerja pelabuhan adalah
     wilayah    perairan    dan    daratan   pada pelabuhan    yang
     dipergunakan secara langsung untuk kegiatan pelabuhan.
     Yang dimaksud daerah lingkungan kepentingan pelabuhan adalah
     perairan di sekeliling daerah lingkungan kerja perairan
     pelabuhan yang dipergunakan untuk menjamin keselamatan
     pelayaran.
     Ayat (2)
     *8327 Daerah lingkungan kerja yang diberikan hak atas tanah
     sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah
     untuk wilayah daratan. Sesuai ketentuan yang berlaku,
     pemberian suatu hak atas tanah tergantung pada subyek dan
     rencana pemanfaatannya, antara lain jika tanah tersebut akan
     digunakan untuk pelabuhan yang dikelola oleh Pemerintah atau
     diusahakan oleh badan usaha milik negara yang seluruh
     modalnya dikuasai oleh Pemerintah dapat diberikan hak
     pengelolaan.
     Ayat (3)
     Cukup jelas
Pasal 25
     Ayat (1)
     Yang dimaksud persyaratan teknis meliputi persyaratan yang
     berkaitan dengan konstruksi dermaga, pengaruh kondisi
     hidrografi, topografi, kondisi tanah, penempatan sarana
     bantu navigasi, alur dan kolam pelabuhan, serta tata letak
     peralatan di pelabuhan umum.
     Ayat (2)
     Persyaratan   pengoperasian    pelabuhan    umum   antara   lain
     meliputi :
     a.             dilaksanakan oleh Pemerintah atau bekerja
     sama dengan badan usaha milik negara;
     b.             untuk kepentingan umum;
     c.             menjamin     kelancaran     arus    barang    dan
     penumpang;
     d.             menjamin keamanan, ketertiban dan keselamatan
     pelayaran;
     e.             menjamin kelestarian lingkungan.
     Ayat (3)
     Cukup jelas
Pasal 26
     Ayat (1)
     Pengertian penyelenggaraan pelabuhan umum oleh Pemerintah
     semata-mata berkaitan dengan tanggung jawab Pemerintah untuk
     melindungi kepentingan umum serta terwujudnya suatu tatanan
     pelabuhan nasional.
     Ayat (2)
     Keikutsertaan badan hukum Indonesia dalam bekerja sama
     dengan badan usaha milik negara dalam penyelenggaraan
     pelabuhan umum antara lain terhadap kegiatan jasa unit
     terminal peti kemas di pelabuhan, lapangan penumpukan,
     penundaan,   dan    lain   sebagainya.     Sedangkan    kegiatan
     penyediaan jasa kolam pelabuhan dalam rangka keselamatan
     hanya dapat dilakukan oleh badan usaha milik negara.
     Ayat (3)
     Cukup jelas
Pasal 27
     Ayat (1)
     Kegiatan penunjang pelabuhan adalah
     a.             tidak     termasuk    dalam     kegiatan    pokok
     pelabuhan;
     b.             merupakan kegiatan yang menunjang kelancaran
     operasional pelabuhan, dan apabila kegiatan
     *8328 tersebut tidak ada, dalam keadaan tertentu akan
     mempengaruhi kelancaran operasional pelabuhan;
     c.             merupakan    kegiatan    yang    dapat   membantu
     kelancaran operasional pelabuhan tetapi jika tidak ada,
     tidak akan mengganggu kelancaran operasional pelabuhan.

     Usaha kegiatan dimaksud meliputi antara lain penampungan
     limbah (reception facilities), perkantoran, pertokoan, dan
     penyediaan fasilitas umum lainnya.
     Ayat (2)
     Cukup jelas
Pasal 28
     Ayat (1)
     Suatu tempat tertentu di daratan yang berfungsi sebagai
     pelabuhan yang dimaksud dalam ketentuan ini hanya memiliki
     wilayah daratan dan tidak memiliki wilayah perairan sebagai
     tempat untuk bertambat dan/atau berlabuh bagi kapal.
     Terhadap tempat tersebut diberlakukan ketentuan-ketentuan
     atau hukum yang berlaku di pelabuhan antara lain mengenai
     tata laksana dan ketentuan umum tentang ekspor dan impor.
     Ayat (2)
     Cukup jelas
Pasal 29
     Ayat (1)
     Kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini
     antara lain meliputi kegiatan di bidang pertambangan,
     perindustrian, pertanian, dan pariwisata.
     Pelabuhan khusus merupakan pelabuhan yang penyelenggaraannya
     tidak untuk memberikan pelayanan umum.
     Ayat (2)
     Cukup jelas
     Ayat (3)
     Pembangunan dan pengoperasian pelabuhan khusus merupakan
     rangkaian kegiatan yang dilakukan secara berurutan dan
     memiliki keterkaitan satu dengan lainnya, sehingga hasil
     pelaksanaan pembangunan akan menentukan pemberian izin
     operasi bagi pelabuhan khusus yang bersangkutan.
     Ayat (4)
     Cukup jelas
Pasal 30
     Yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah keadaan yang
     dipandang   perlu   oleh   Pemerintah   untuk    memanfaatkan
     keberadaan pelabuhan khusus untuk melayani kepentingan umum,
     misalnya bencana alam, tidak berfungsinya pelabuhan umum
     terdekat.
Pasal 31
     Ayat (1)
     *8329 Pengertian perdagangan luar negeri dalam ketentuan ini
     meliputi segala kegiatan lalu lintas barang, jasa, dan/ atau
     penumpang.
     Pelabuhan yang terbuka untuk perdagangan luar negeri
     meliputi pelabuhan umum dan pelabuhan khusus yang dapat
     disinggahi kapal-kapal berbendera Indonesia dan/atau asing
     yang berlayar dari atau ke luar negeri.
     Ketentuan ini juga mengandung pengertian bahwa kapal-kapal
     berbendera asing dimaksud tidak melakukan angkutan antar
     pulau,
     Ayat (2)
     Kepentingan nasional lainnya meliputi antara lain pertahanan
     dan keamanan nasional.
     Ayat (3)
     Cukup jelas
Pasal 32
     Dengan berdasarkan pada jenis, struktur, dan golongan tarif
     yang ditetapkan oleh Pemerintah, penyelenggara pelabuhan
     menetapkan tarif dengan memperhatikan keseimbanan antara
     kepentingan untuk kelangsungan dan pengembangan usaha
     pelabuhan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan, dan
     kepentingan pengguna jasa pelabuhan.
Pasal 33
     Ayat (1)
     Apabila terjadi perselisihan, penyelesaian hukum terhadap
     tanggung jawab untuk mengganti kerugian sebagaimana dimaksud
     dalam ketentuan ini, dilaksanakan melalui gugatan perdata
     sesuai ketentuan dalam Hukum Acara Perdata.
     Ayat (2)
     Cukup jelas
     Ayat (3)
     Ketentuan ini dimaksudkan pula untuk memungkinkan pemilik
     dan/atau operator kapal agar kegiatan operasi kapalnya tetap
     dapat berlangsung.
     Ayat (4)
     Cukup jelas
Pasal 34
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Apabila terjadi perselisihan, penyelesaian hukum terhadap
     tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini
     dilaksanakn melalui gugatan perdata sesuai ketentuan dalam
     Hukum Acara Perdata.
Pasal 35
     Ayat (1)
     Pengadaan kapal adalah kegiatan memasukkan kapal dari luar
     negeri, baik kapal bekas maupun kapal bangunan baru untuk
     didaftarkan dalam daftar kapal Indonesia.
     Pembangunan kapal adalah pembuatan kapal baru di dalam
     negeri maupun di luar negeri yang langsung berbendera
     Indonesia.
     *8330 Pengerjaan kapal merupakan tahapan pekerjaan dan
     kegiatan pada saat dilakukan perombakan, perbaikan, dan
     perawatan kapal.
     Perlengkapan kapal adalah bagian-bagian yang termasuk dalam
     perlengkapan navigasi, alat-alat penolong, penemu dan
     pemadam   kebakaran,  radio   dan  elektronika   kapal,  dan
     peta-peta serta publikasi nautika, serta perlengkapan
     pengamatan meteorologi untuk kapal dengan ukuran dan daerah
     pelayaran tertentu.
     Ayat (2)
     Cukup jelas
     Ayat (3)
     Kapal yang telah diperiksa dan diuji dan apabila memenuhi
     persyaratan keselamatan kapal diberikan sertifikat sebagai
     tanda bukti. Untuk kapal-kapal ukuran tertentu dan karena
     sifat pelayarannya tidak memerlukan sertifikat, tidak
     diberikan sertifikat.
     Ayat (4)
     Yang dimaksud dengan badan hukum Indonesia dalam ketentuan
     ini adalah badan klasifikasi.
Ayat (5)
     Dalam Peraturan Pemerintah diatur antara lain mengenai
     persyaratan    dan   tata   cara    pengadaan,   pembangunan,
     pengerjaan, pemeriksaan, dan pengujian kapal, bentuk dan
     jenis sertifikat keselamatan kapal.
Pasal 36
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Yang dimaksud dengan badan hukum Indonesia dalam ketentuan
     ini adalah badan klasifikasi.
     Ayat (3)
     Cukup jelas
Pasal 37
     Cukup jelas
Pasal 38
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Cukup jelas
Pasal 39
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Cukup jelas
     Ayat (3)
     Cukup jelas
Pasal 40
     Ayat (1) dan Ayat (2)
     Kewenangan    dan   tanggung    jawab    syahbandar   menurut
     Undang-undang ini terbatas pada Ayat (1) dan Ayat (2) Pasal
     40.
     Ayat (3)
     Cukup jelas
Pasal 41
     Terdapat dua kemungkinan alasan penahanan atas kapal
     berdasarkan perintah pengadilan yaitu karena :
     a.         kapal yang bersangkutan terkait dengan suatu
     perkara pidana;
     b.         kapal yang bersangkutan terkait dengan suatu
     perkara perdata.

     Penahanan kapal karena suatu perkara pidana disebabkan
     adanya kecurigaan bahwa kapal tersebut digunakan untuk
     melakukan suatu tindak pidana. Sedangkan penahanan kapal
     karena perkara perdata dilakukan sebagai sita jaminan
     sehubungan dengan adanya suatu gugatan perdata terhadap
     pemilik dan/atau operator kapal yang bersangkutan.
     Pejabat pemerintah yang berwenang melaksanakan penahanan
     tersebut berdasarkan perintah tertulis dari pengadilan
     sehingga pejabat pemerintah yang berwenang terbebaskan dari
     segala tuntutan ganti rugi dari pemilik atau operator kapal
     yang mungkin timbul akibat penahanan kapal tersebut.
Pasal 42
     Ayat (1)
     Pemberian   keringanan  tersebut   bersifat    sementara   dan
     diberikan atas pertimbangan khusus, antara lain untuk
     percobaan berlayar, kepentingan umum yang mendesak atau
     untuk berlayar menuju lokasi perbaikan.
     Ayat (2)
     Cukup jelas
Pasal 43
     Cukup jelas
Pasal 44
     Ayat (1)
     Penentuan persyaratan kelaikan petikemas yang meliputi
     pengujian, pemeriksaan, sertifikasi, dan pemberian tanda
     lulus uji, dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan yang
     berlaku, baik nasional maupun internasional.
     Ayat (2)
     Cukup jelas
     Ayat (3)
     Cukup jelas
Pasal 45
     Ayat (1)
     Pengukuran dilakukan oleh pejabat pemerintah yang berwenang
     untuk menentukan tonase kapal sesuai dengan ketentuan yang
     berlaku dalam rangka penerbitan surat ukur kapal dan untuk
     menentukan aturan-aturan yang harus ditetapkan bagi kapal
     tersebut, seperti penentuan status hukum kapal tersebut
     sebagai barang bergerak atau barang tidak bergerak.
     Ayat (2)
     Pada dasarnya surat ukur hanya diterbitkan untuk pengukuran
     kapal dengan ukuran isi kotor sekurang-kurangnya 20 M3 atau
     yang dinilai sama dengan ukuran itu, sedangkan pengukuran
     kapal kurang dari 20 M3                  dipergunakan    untuk
                                    *8332
     penerbitan surat-surat kapal atau atas permintaan pemilik
     dapat diterbitkan surat ukur.
     Ayat (3)
     Cukup jelas
Pasal 46
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Ayat ini secara khusus menegaskan bahwa sistem pendaftaran
     yang dianut di Indonesia adalah sistem pendaftaran tertutup
     yang menetapkan bahwa hanya kapal yang dimiliki oleh warga
     negara atau badan hukum Indonesia yang didirikan menurut
     hukum   Indonesia  dan   berkedudukan   di   Indonesia   dapat
     didaftarkan di Indonesia.
     Ayat (3)
     Cukup jelas
     Ayat (4)
     Yang dimaksud dengan surat tanda pendaftaran kapal adalah
     grosse akte yang merupakan salinan pertama dari asli
     (minute) akte.
     Ayat (5)
     Cukup jelas
     Ayat (6)
     Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur antara lain ketentuan
     mengenai pejabat pendaftar dan pencatat balik nama kapal,
     tata cara pendaftaran, bentuk surat tanda pendaftaran,
     pembuatan tanda pendaftaran, pemasangan tanda pendaftaran,
     penyampaian berita acara pemasangan tanda pendaftaran.
Pasal 47
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Cukup jelas
Pasal 48
     Cukup jelas
Pasal 49
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Dalam Peraturan Pemerintah diatur antara lain mengenai
     syarat   dan  tata   cara   pembebanan  hipotek.   Sedangkan
     pelaksanaan pembebanan hipotek atas kapal dilaksanakan
     sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 50
     Ayat (1)
     Tanda kebangsaan kapal dalam ketentuan ini menentukan hukum
     nasional yang berlaku di atas kapal di manapun kapal
     tersebut berada, yang diberikan sesuai dengan ukuran kapal.
     Ayat (2)
     *8333 Dalam Peraturan Pemerintah diatur antara lain mangenai
     tata cara penerbitan dan jenis surat tanda kebangsaan.
Pasal 51
     Ayat (1)
     Kapal Negara yang digunakan untuk tugas pemerintahan adalah
     kapal yang digunakan oleh instansi Pemerintah tertentu yang
     diberi fungsi dan kewenangan sesuai dengan peraturan
     perundang-undangan yang berlaku untuk menegakkan hukum serta
     tugas-tugas pemerintahannya penelitian di laut, pemasangan
     sarana bantu navigasi pelayaran, dan lain sebagainya.
     Ayat (2)
     Cukup jelas
Pasal 52
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Cukup jelas
Pasal 53
     Ayat (1)
     Yang dimaksud dengan identitas kapal adalah nama kapal dan
     pelabuhan tempat kapal didaftar yang dicantumkan pada badan
     kapal, bendera kebangsaan yang dikibarkan pada buritan kapal
     sesuai dengan surat tanda kebangsaan yang diberikan oleh
     pemerintah negara yang bersangkutan.
     Ayat (2)
     Cukup jelas
Pasal 54
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Cukup jelas
Pasal 55
     Ayat (1)
     Penegakan hukum yang dilaksanakan oleh nakhoda dalam hal ini
     bersifat sementara dan terbatas dalam arti selama kapal
     berlayar dan terhadap tindakan-tindakan yang akan mengganggu
     keselamatan, keamanan, dan ketertiban di alas kapal.
     Kewenangan penegakan hukum tersebut antara lain berupa
     tindakan memasukkan orang ke dalam sel dan lain-lain.
     Yang dimaksud dengan pelayar adalah semua orang yang ada di
     atas kapal, kecuali nakhoda.
     Ayat (2)
     Yang dimaksud dengan pelayar adalah semua orang yang ada di
     atas kapal, kecuali pemimpin kapal.
     Ayat (3)
     Catatan atau keterangan tentang kelahiran dan/atau kematian
     yang dibuat oleh nakhoda bersifat sementara yang selanjutnya
     akan merupakan dokumen untuk pembuatan akte yang asli sesuai
     ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
     Ayat (4)
     *8334 Cukup jelas
     Ayat (5)
     Cukup jelas
Pasal 56
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Cukup jelas
     Ayat (3)
     Cukup jelas
Pasal 57
     Ayat (1)
     Yang dimaksud dengan keadaan yang sangat memaksa dalam
     ketentuan ini adalah situasi darurat terancamnya jiwa dan
     keselamatan   nakhoda   atau  pemimpin   kapal   tanpa   ada
     kemungkinan upaya lain untuk menyelamatkannya.
     Dalam keadaan kecelakaan kapal, nakhoda atau pemimpin kapal
     hanya dapat meninggalkan kapal setelah melaksanakan seluruh
     kewajibannya dan merugikan orang terakhir yang meninggalkan
     kapal.
     Ayat (2)
     Cukup jelas
     Ayat (3)
     Cukup jelas
     Ayat (4)
     Cukup jelas
     Ayat (5)
     Cukup jelas
Pasal 58
     Tugas nakhoda adalah membawa kapal dari tempat tolak ke
     tempat tujuan dengan aman dan selamat.
     Dalam hal dijumpai keadaan yang mungkin membahayakan
     keselamatan berlayar, nakhoda dapat menyimpang dari rute
     dan/atau garis haluan (track) yang telah ditetapkan,
     walaupun tindakan tersebut akan menambah biaya operasional
     dan lama perjalanan.
     Yang dimaksud dengan tindakan lainnya yang diperlukan adalah
     tindakan penyelamatan bagi kapal maupun jiwa manusia sesuai
     dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 59
     Ayat (1)
     Yang dimaksud dengan mualim I adalah perwira kapal yang
     bertugas di bidang navigasi kapal dengan pangkat paling
     tinggi setelah nakhoda.
     Ayat (2)
     Cukup jelas
     Ayat (3)
     Yang dimaksud dengan nakhoda berhalangan sementara adalah
     keadaan nakhoda yang secara fisik untuk sementara tidak
     mampu melaksanakan tugasnya selama berlayar.
     Ayat (4)
     Yang dimaksud dengan dewan kapal adalah suatu dewan yang
     dibentuk di atas kapal yang terdiri dari para
     *8335 perwira kapal, dengan tugas memberikan nasehat kepada
     nakhoda atau pengganti nakhoda sementara.
     Ayat (5)
     Cukup jelas
Pasal 60
     Ayat (1)
     Buku harian kapal adalah buku harian yang digunakan untuk
     mencatat    hal-hal   yang    ditentukan   oleh    peraturan
     perundang-undangan dan hal-hal lain yang dipandang perlu
     oleh nakhoda atau pemimpin kapal.
     Buku harian terdiri dari sebuah buku atau lebih sesuai
     dengan ukuran kapal, antara lain buku harian dek, buku
     harian mesin, dan buku harian radio.
     Ayat (2)
     Cukup jelas
     Ayat (3)
     Cukup jelas
     Ayat (4)
     Dalam Peraturan Pemerintah diatur antara lain mengenai
     pejabat pemerintah yang berwenang, jenis serta ukuran kapal
     yang harus memiliki dan menyelenggarakan buku harian, jenis,
     ukuran, dan bentuk buku harian, hal-hal yang dicatat dalam
     buku harian serta cara mencatatnya.
Pasal 61
     Ayat (1)
     Yang dimaksud dengan disijil adalah dimasukkan ke dalam
     daftar awak kapal yang disebut buku sijil.
     Buku sijil merupakan buku yang berisi daftar awak kapal yang
     bekerja di atas kapal sesuai dengan jabatannya yang
      dinyatakan oleh pegawai pendaftaran awak kapal dan setelah
      memenuhi persyaratan tertentu.
      Yang dimaksud dengan memiliki kemampuan adalah memiliki
      sertifikat pelaut serta sertifikat pengukuhan (kewenangan
      untuk menduduki jabatan tertentu di atas kapal yang
      diberikan oleh Pemerintah).
      Yang dimaksud dengan memiliki dokumen pelaut adalah memiliki
      buku pelaut dan perjanjian kerja laut serta sertifikat
      keterampilan pelaut untuk anak buah kapal.
      Ayat (2)
      Dalam Peraturan Pemerintah diatur antara lain mengenai
      sijil, persyaratan jabatan di atas kapal, pengukuhan, dan
      dokumen pelaut.
Pasal 62
      Ayat (1)
      Cukup jelas
      Ayat (2)
      Cukup jelas
      Ayat (3)
      Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang
      berlaku   adalah   peraturan   bidang  ketenagakerjaan   dan
      perjanjian kerja laut serta peraturan lainnya.
      Ayat (4)
      Dalam Peraturan Perintah diatur antara lain mengenai pejabat
      pemerintah yang berwenang.
*8336
Pasal 63
      Ayat (1)
      Kewenangan nakhoda untuk mengenakan tindakan disiplin adalah
      untuk mengambil tindakan seketika yang sangat diperlukan
      demi tegaknya disiplin dan ketertiban di atas kapal.
      Yang dimaksud dengan seseorang dalam butir f, adalah setiap
      orang yang berada di kapal.
      Ayat (2)
      Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang
      berlaku adalah ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum
      Dagang dan tidak menutup kemungkinan terhadap ketentuan di
      luar Kitab Undang-undang Hukum Dagang yang mengatur mengenai
      masalah ini.

Pasal 64
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Cukup jelas
Pasal 65
     Ayat (1)
     Pembuatan limbah atau bahan lain yang tidak memenuhi
     persyaratan dapat terjadi antara lain, karena :
     a.             melakukan pembuangan (dumping) tidak sesuai
     dengan peraturan yang berlaku;
     b.             melakukan pembuangan muatan dengan sengaja;
     c.             melakukan   pembuangan    tanpa   menggunakan
     peralatan pencegahan pencemaran;
     d.             melakukan   pembuangan   dengan   menggunakan
     peralatan pencegahan pencemaran yang tidak berfungsi.
     Ayat (2)
     Cukup jelas

Pasal 66
     Ayat (1)
     Kewajiban untuk melengkapi peralatan pencegahan pencemaran
     di kapal disesuaikan dengan jenis dan ukuran kapal serta
     daerah operasi kapal yang bersangkutan.
     Ayat (2)
     Cukup jelas
     Ayat (3)
     Dalam   Peraturan  Pemerintah   diatur  antar   lain  sanksi
     administratif terhadap nakhoda atau pemimpin kapal dan/ atau
     anak buah kapal sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2).

Pasal 67
     Ayat (1)
     Yang dimaksud dengan wajib menanggulangi oleh nakhoda atau
     pemimpin kapal adalah melakukan penanggulangan dengan
     peralatan penanggulangan yang dimiliki oleh kapal tersebut.
     *8337 Ayat     (2)
     Cukup jelas
     Ayat (3)
     Cukup jelas
     Ayat (4)
     Cukup jelas

Pasal 68
     Ayat (1)
     Yang dimaksud dengan tanggung jawab pemilik atau operator
     kapal adalah tanggung jawab terhadap aspek perdata seperti
     penggantian kerugian atas kerusakan yang timbul akibat
     terjadinya pencemaran baik kerugian langsung maupun tidak
     langsung.
     Mengenai    pembebanan  tanggung   jawab   tergantung  pada
     perjanjian yang diadakan antara dengan operator kapal.
     Ayat (2)
     Cukup jelas
     Ayat (3)
     Cukup jelas

Pasal 69
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Cukup jelas
     Ayat (3)
     Usaha    tersebut    harus   sungguh-sungguh    mengutamakan
     kepentingan rakyat banyak.
     Ayat (4)
     Cukup jelas
Pasal 70
     Ayat (1)
     Yang dimaksud dengan usaha tertentu adalah usaha di luar
     usaha angkutan di perairan seperti usaha di bidang industri,
     pertambangan, perikanan, serta kegiatan atau kepentingan
     khusus seperti penelitian, kegiatan sosial dan sebagainya.
     Kegiatan angkutan yang dilakukan tersebut merupakan bagian
     usahanya dan hanya terbatas untuk menunjang kegiatan
     pokoknya dan tidak melayani kepentingan pihak ketiga.
     Ayat (2)
     Kegiatan angkutan yang dilakukan oleh badan hukum Indonesia
     atau warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
     ketentuan ini merupakan bagian dari tatanan angkutan di
     perairan secara nasional.
     Berdasarkan hal tersebut maka penyelenggaraannya perlu
     diatur dan dikendalikan sehingga tetap merupakan satu
     kesatuan di dalam tatanan angkutan di perairan secara
     nasional.
     Ayat (3)
     Cukup jelas

Pasal 71
     Ayat (1)
     Usaha   penunjang  angkutan   adalah    usaha yang   bersifat
     menunjang kelancaran proses perpindahan barang dari pengirim
     ke penerima barang antara lain ekspedisi muatan kapal laut,
     bongkar muat, angkutan bandar, dan lain sebagainya sesuai
     perkembangan teknologi.
Ayat (2)
     Cukup jelas
     Ayat (3)
     Cukup jelas
Pasal 72
     Dalam penetapan jenis dan struktur tarif usaha penunjang
     bagi usaha atau kegiatan angkutan di perairan Pemerintah
     mempertimbangkan   kelancaran   lalu   lintas  angkutan   dan
     perkembangan serta kepentingan dunia usaha dan kesejahteraan
     tenaga kerja.
     Yang dimaksud dengan jenis tarif adalah jenis tarif yang
     diberlakukan terhadap barang antara lain untuk barang-barang
     umum (general cargo), peti kemas, dan barang curah cair yang
     memerlukan penanganan dan peralatan khusus misalnya dengan
     konveyor, pipa.
     Yang dimaksud dengan struktur tarif adalah komponen tarif
     yang diperhitungkan sebagai pedoman besaran tarif antara
     lain   asuransi,   produktivitas   peralatan,   administrasi,
     kesejahteraan tenaga kerja, dan upah tenaga kerja.
Pasal 73
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Yang   dimaksud   dalam   keadaan    tertentu  adalah   belum
     terpenuhinya kebutuhan ruang kapal bagi angkutan laut dalam
     negeri dan jika dalam kurun waktu tertentu ruang kapal sudah
     terpenuhi maka angkutan laut dalam negeri dilaksanakan oleh
     kapal berbendera Indonesia.
     Untuk mengatasi keadaan demikian maka Pemerintah dapat
     memberikan    kelonggaran   syarat    bendera   (dispensasi)
     penggunaan kapal asing yang dioperasikan secara nyata oleh
     badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69
     Ayat (2) dan Pasal 70 Ayat (2), dengan memperhatikan
     kepentingan kapal berbendera Indonesia.

Pasal 74
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Cukup jelas
     Ayat (3)
     Cukup jelas
Pasal 75
     Dalam penetapan struktur dan golongan tarif penumpang
     angkutan   laut  dalam   negeri,  Pemerintah   memperhatikan
     kepentingan   masyarakat    dan  kepentingan   penyelenggara
     angkutan laut dalam negeri.
     *8339 Pemerintah menetapkan tarif yang berorientasi kepada
     kepentingan dan kemampuan masyarakat luas, termasuk tarif
     untuk angkutan laut perintis.
     Dengan berpedoman kepada struktur dan golongan tarif
     tersebut penyelenggara angkutan laut dalam negeri menetapkan
     tarif penumpang yang berorientasi kepada kelangsungan dan
     pengembangan usaha angkutan laut dalam negeri dalam rangka
     meningkatkan mutu pelayanan.

Pasal 76
     Ayat (1)
     Sebagai konsekuensi dalam hubungan internasional, maka
     penyelenggaraan usaha angkutan laut dari dan ke luar negeri
     dilakukan oleh badan hukum Indonesia atau perusahaan
     angkutan laut luar negeri (asing) baik melalui wadah kerja
     sama maupun secara sendiri-sendiri.
     Ayat (2)
     Meskipun angkutan laut dari dan ke luar negeri dapat
     dilaksanakan oleh perusahaan angkutan laut luar negeri
     (asing), namun perlu diupayakan agar perusahaan angkutan
     laut nasional yaitu badan hukum Indonesia sebagaimana
     dimaksud dalam Ayat (1) memperoleh pangsa muatan yang wajar
     dari angkutan laut tersebut.
     Yang dimaksud dengan pangsa muatan yang wajar dalam
     ketentuan ini tidak selalu dalam arti memperoleh bagian yang
     sama (equal share) akan tetapi adalah perolehan pangsa
     sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan
     yang berlaku misalnya dalam perjanjian bilateral, konvensi
     internasional yang diratifikasi oleh Indonesia dan peraturan
     lainnya.
     Khusus untuk barang-barang milik Pemerintah perlu diupayakan
     pengangkutannya  dilaksanakan   oleh   perusahaan  pelayaran
     nasional.
Ayat (3)
     Cukup jelas

Pasal 77
     Ayat (1)
     Pelayaran   rakyat   adalah    usaha    rakyat    yang   bersifat
     tradisional   untuk   menyelenggarakan     usaha    angkutan     perairan dengan mempergunakan perahu layar dan/atau perahu
     layar bermotor dengan ukuran tertentu.
     Sifat tradisional tersebut, mengandung nilai-nilai budaya
     bangsa yang tidak hawa terdapat pada cara pengelolaan usaha
     serta pengelolanya misalnya mengenai hubungan kerja antara
     pemilik kapal dengan awak kapal, tetapi juga pada jenis dan
     bentuk kapal yang digunakan.
     Hal-hal tersebut perlu dilestarikan dan dikembangkan dengan
     memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
     Usaha rakyat dalam ketentuan ini adalah usaha yang
     penyelenggaraannya dilakukan oleh warga negara
     *8340 Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan
     mendorong usaha-usaha yang bersifat koperatif.
     Penyelenggaraan pelayaran rakyat tersebut dilakukan dengan
     menggunakan kapal berbendera Indonesia.
     Yang dimaksud dengan karakteristik tersendiri yaitu antara
     lain sebagai berikut :
     a.              ukuran kapal yang terbatas;
     b.              tenaga penggeraknya angin dengan menggunakan
     layar atau mesin dengan tenaga yang terbatas;
     c.              pengawakan yang mempunyai kualifikasi berbeda
     dengan   kualifikasi    yang    ditetapkan    bagi    kapal-kapal
     sebagaimana dimaksud dalam pasal 61;
     d.              lingkup     operasinya      dapat      menjangkau
     daerah-daerah terpencil yang tidak memiliki fasilitas
     pelabuhan dan kedalaman air yang rendah serta negara-negara
     yang berbatasan.
     Ayat (2)
     Cukup jelas
Pasal 78
     Ayat (1)
     Ketentuan   ini   dimaksudkan     sebagai   salah    satu   upaya
     memberikan    perlindungan     terhadap    kelangsungan     usaha
     pelayaran rakyat, tanpa mengurangi pembinaan terhadap
     unsur-unsur angkutan lainnya di perairan.
     Ayat (2)
     Pengembangan    pelayaran    rakyat    dapat    dilakukan    oleh
     Pemerintah    dalam   bentuk     bimbingan,     pelatihan,    dan
     pengaturan.
     Ayat (3)
     Cukup jelas
Pasal 79
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Cukup jelas
Pasal 80
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Cukup jelas
     Ayat (3)
     Cukup jelas
Pasal 81
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Cukup jelas
     Ayat (3)
     Cukup jelas
Pasal 82
     Dalam menetapkan struktur dan golongan tarif angkutan
     penumpang dan/atau barang bagi angkutan sungai dan danau
     serta angkutan penumpang dan/atau kendaraan bagi angkutan
     penyeberangan, Pemerintah memperhatikan kepentingan
     *8341 masyarakat dan kepentingan penyelenggara angkutan
     sungai dan danau, dan angkutan penye-
     Pemerintah   menetapkan   tarif   yang  berorientasi   kepada
     kepentingan dan kemampuan masyarakat luas, termasuk tarif
     untuk angkutan penyeberangan perintis.
     Dengan berpedoman pada struktur dan golongan tarif tersebut
     penyelenggara angkutan menetapkan tarif yang berorientasi
     kepada kelangsungan dan pengembangan usaha angkutan dalam
     rangka meningkatkan mutu pelayanan.
Pasal 83
     Ayat (1)
     Pelayanan khusus bagi penumpang yang menyandang cacat atau
     orang sakit dimaksudkan agar mereka juga dapat menikmati
     pelayanan angkutan dengan baik.
     Yang dimaksud pelayanan khusus dalam ketentuan ini dapat
     berupa penyediaan jalan khusus di pelabuhan dan sarana
     khusus untuk naik ke atau turun dari kapal, atau penyediaan
     ruang yang disediakan khusus bagi penempatan kursi roda atau
     sarana   bantu   bagi   orang   sakit  yang   pengangkutannya
     mengharuskan dalam posisi tidur.
     Yang dimaksud dengan cacat dalam ketentuan ini misalnya
     penumpang yang menggunakan kursi roda karena lumpuh, cacat
     kaki, tuna netra, dan sebagainya.
     Tidak termasuk dalam pengertian orang sakit dalam ketentuan
     ini adalah orang yang menderita penyakit menular sesuai
     peraturan perundang-undangan yang berlaku.
     Ayat (2)
     Cukup jelas
Pasal 84
     Ayat (1)
     Yang dimaksud dengan daerah terpencil dan belum berkembang
     yaitu daerah yang masih sulit dijangkau oleh sarana
     transportasi.
     Penyelenggaraan angkutan ke dan dari daerah terpencil
     biasanya secara komersial kurang menguntungkan sehingga
     penyelenggara angkutan pada umumnya tidak tertarik untuk
     melayani rute-rute demikian.
     Oleh sebab itu guna mengembangkan daerah-daerah tersebut dan
     menembus isolasi, angkutan ke dan dari daerah-daerah
     demikian    diselenggarakan     oleh    Pemerintah    dengan
     mengikutsertakan diselenggarakan oleh Pemerintah dengan
     mengikutsertakan penyelenggara angkutan di perairan baik
     swasta maupun koperasi yang dapat diberi kemudahan tertentu.
     Ayat (2)
     Cukup jelas
Pasal 85
     Ayat (1)
     Ketentuan ini dimaksudkan agar perusahaan angkutan tidak
     membedakan   perlakuan  terhadap   pengguna   jasa  angkutan
     sepanjang yang bersangkutan telah memenuhi perjanjian
     pengangkutan yang disepakati.
     Ayat (2)
     *8342 Cukup jelas

Pasal 86
     Ayat (1)
     Huruf a
     Tanggung jawab perusahaan angkutan sebagaimana dimaksud
     dalam ketentuan ini adalah kematian atau lukanya penumpang
     yang diakibatkan oleh kecelakaan selama dalam pengangkutan
     dan terjadi di dalam kapal, dan/atau kecelakaan pada saat
     naik ke atau turun dari kapal, sesuai dengan peraturan
     perundang-undangan yang berlaku.
     Termasuk dalam pengertian lukanya penumpang adalah cacat
     fisik dan/atau cacat mental.
     Huruf b
     Tanggung    jawab    tersebut    sesuai    dengan    perjanjian
     pengangkutan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
     Huruf c
     Tanggung jawab tersebut meliputi antara lain memberikan
     pelayanan dalam batas-batas kelayakan sesuai kemampuan
     perusahaan angkutan di perairan kepada penumpang selama
     menunggu   keberangkatan    dalam    hal   terjadi   kelambatan
     pemberangkatan    karena    kelalaian    perusahaan    angkutan
     tersebut.
     Ketentuan ini perlu mempertimbangkan agar jangan sampai
     menghambat pengembangan perusahaan angkutan di perairan
     Huruf d
     Yang dimaksud pihak ketiga adalah orang atau badan hukum
     yang tidak ada kaitannya dengan pengoperasian kapal tetapi
     meninggal   atau   luka   atau    menderita   kerugian   akibat
     pengoperasian kapal.
     Ayat (2)
     Cukup jelas
     Ayat (3)
     Cukup jelas
     Ayat (4)
     Cukup jelas
Pasal 87
     Ayat (1)
     Barang khusus dan barang berbahaya adalah barang-barang yang
     karena sifatnya dapat mengancam keselamatan manusia, harta
     benda,   dan  lingkungan,   sesuai   yang  tercantum   dalam
     peraturan-peraturan yang berlaku antara lain :
     a.             Safety of Life at Sea (SOLAS) 74;
     b.             Code of safe practice for bulk cargoes;
     c.             Grain regulation;
     d.             Code of safe practice for ships carrying
     timber deck cargoes.

     *8343 Yang dimaksud dengan barang khusus adalah jenis barang
     yang karena sifat dan ukurannya memerlukan penanganan
     khusus, misalnya kayu logs, barang curah, batangan rel,
     ternak, ikan beku, dan sebagainya.
     Yang dimaksud dengan barang berbahaya adalah jenis barang
     yang karena sifatnya dapat dikelompokan sebagai barang
     berbahaya, misalnya barang yang mudah terbakar (BBM), bahan
     kimia, radio aktif, dan sebagainya.
     Ayat (2)
     Cukup jelas
Pasal 88
     Yang dimaksud dengan dibuktikan lain dalam ketentuan ini
     adalah nakhoda atau pemimpin kapal berdasarkan pembuktian
     telah melakukan upaya dan melaksanakan kewajiban berdasarkan
     Undang-undang ini.
Pasal 89
     Ayat (1)
     Kecelakaan di kapal adalah suatu kejadian di kapal yang
     bersangkutan yang dapat mengancam keselamatan kapal dan/atau
     jiwa manusia.
     Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang adalah pejabat
     yang memiliki kewenangan untuk menindaklanjuti proses
     penanggulangan kecelakaan dan pelaporan selanjutnya.
     Ayat (2)
     Yang dimaksud dengan bahaya bagi keselamatan kapal adalah
     keadaan yang dapat membahayakan kapal yang sedang berlayar
     seperti antara lain cuaca buruk, kerangka kapal, sarana
     bantu navigasi yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
     Ayat (3)
     Cukup jelas
Pasal 90
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Cukup jelas
Pasal 91
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Cukup jelas
Pasal 92
     Cukup jelas
Pasal 93
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Yang dimaksud dengan lembaga dalam ayat ini adalah lembaga
     pemerintah, bukan lembaga peradilan sebagaimana dimaksud
     dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
     Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Lembaga tersebut berwenang
     Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Lembaga tersebut berwenang
     melakukan pemeriksaan                     lanjutan     untuk
                                     *8344
     mengambil keputusan atas kecelakaan kapal :
     a.             kapal tenggelam;
     b.             kapal terbakar;
     c.             kapal tubrukan yang mengakibatkan kerusakan
     berat;
     d.             kecelakaan kapal yang menyebabkan terancamnya
     jiwa manusia dan kerugian harta benda;
     e.             kapal kandas dan rusak berat.

     Lembaga dimaksud bertugas terbatas pada menjatuhkan sanksi
     berupa hukuman administratif yang berkaitan dengan profesi
     kepelautan, yang pada saat Undang-undang ini ditetapkan
     disebut Mahkamah Pelayaran.
     Ayat (3)
     Cukup jelas
Pasal 94
     Ayat (1)
     Pencarian dan pertolongan (search and rescue) yang dilakukan
     Pemerintah yaitu segala daya dan upaya yang dapat diusahakan
     untuk menyelamatkan jiwa manusia di perairan Indonesia.
     Ayat (2)
     Kewajiban setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan
     kapal atau pesawat udara dimaksudkan untuk membantu sebatas
     kemampuannya sebagai potensi search and rescue (SAR) guna
     keberhasilan operasi pencarian dan pertolongan terhadap
     setiap orang yang mengalami musibah di perairan Indonesia.
     Ayat (3)
     Cukup jelas
Pasal 95
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Cukup jelas
Pasal 96
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Cukup jelas
     Ayat (3)
     Cukup jelas
Pasal 97
     Ayat (1)
     Termasuk    dalam  pengertian    pelaut   Indonesia   adalah
     tenaga-tenaga yang bekerja dalam bidang pelayaran.
     Ayat (2)
     Cukup jelas
Pasal 98
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Cukup jelas
Pasal 99
     Ayat (1)
     Penyidikan    dan  penyelesaian   hukum   selanjutnya   atas
     penyidikan yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil tertentu
     dan perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut
     tertentu, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang
     Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
     Ayat (2)
     Cukup jelas
Pasal 100
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Cukup jelas
     Ayat (3)
     Cukup jelas
Pasal 101

Pasal 102
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Cukup jelas
Pasal 103
     Cukup jelas
Pasal 104
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Cukup jelas
     Ayat (3)
     Cukup jelas
Pasal 105
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Cukup jelas
Pasal 106
     Cukup jelas
Pasal 107
     Cukup jelas
Pasal 108
     Cukup jelas
Pasal 109
     Cukup jelas
Pasal 110
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Cukup jelas
Pasal 111
     Cukup jelas
Pasal 1 12
     *8346 Cukup jelas
Pasal 113
     Cukup jelas
Pasal 114
     Cukup jelas
Pasal 115
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Cukup jelas
     Ayat (3)
     Cukup jelas
Pasal 116
     Cukup jelas
Pasal 1 17
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Cukup jelas

Pasal 118
     Cukup jelas
Pasal 1 19
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Cukup jelas
Pasal 120
     Cukup jelas
Pasal 121
     Cukup jelas
Pasal 122
     Cukup jelas
Pasal 123
     Cukup jelas
Pasal 124
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Cukup jelas
Pasal 125
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Cukup jelas
Pasal 126
     Cukup jelas
Pasal 127
     Cukup jelas
Pasal 128
     Cukup jelas
Pasal 129
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     *834 Ayat (2)
     Cukup jelas
Pasal 130
     Cukup jelas
Pasal 131
     Cukup jelas
Pasal 132
     Diberlakukannya Undang-undang ini 2 (dua) tahun sejak
     tanggal diundangkan dimaksudkan untuk memberi kesempatan
     kepada aparat Pemerintah dan penyelenggara pelayaran guna
     menyesuaikan dengan ketentuan Undang-undang ini serta
     memberikan penyuluhan pada masyarakat untuk mengetahui
     Undang-undang ini.

                 --------------------------------

                              CATATAN

Kutipan:   LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1992


Silahkan download versi PDF nya sbb:
pelayaran_(uu_21_thn_1992)_21.pdf
(ogi/Carapedia)
Pencarian Terbaru

Alasan uu no 21/1992 diganti dengan uu no 17/2008.

Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.