Previous
Next

2008

Undang-Undang Pelayaran (UU 17 thn 2008)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran :
                UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                        NOMOR 17 TAHUN 2008
                               TENTANG
                           PELAYARAN


                DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
                   PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang   :   a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara
                   kepulauan berciri nusantara yang disatukan oleh wilayah
                   perairan sangat luas dengan batas-batas, hak-hak, dan
                   kedaulatan yang ditetapkan dengan undang-undang;
                b. bahwa    dalam     upaya   mencapai     tujuan  nasional
                   berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
                   Republik Indonesia Tahun 1945, mewujudkan Wawasan
                   Nusantara serta memantapkan ketahanan nasional
                   diperlukan sistem transportasi nasional untuk mendukung
                   pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah, dan
                   memperkukuh kedaulatan negara;
                c. bahwa pelayaran yang terdiri atas angkutan di perairan,
                   kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran,
                   dan perlindungan lingkungan maritim, merupakan bagian
                   dari   sistem   transportasi    nasional   yang    harus
                   dikembangkan     potensi     dan    peranannya    untuk
                   mewujudkan sistem transportasi yang efektif dan efisien,
                   serta membantu terciptanya pola distribusi nasional yang
                   mantap dan dinamis;
                d. bahwa perkembangan lingkungan strategis nasional dan
                   internasional menuntut penyelenggaraan pelayaran yang
                   sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
                   teknologi, peran serta swasta dan persaingan usaha,
                   otonomi daerah, dan akuntabilitas penyelenggara negara,
                   dengan tetap mengutamakan keselamatan dan keamanan
                   pelayaran demi kepentingan nasional;
                e. bahwa Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang
                   Pelayaran sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan
                   penyelenggaraan pelayaran saat ini sehingga perlu diganti
                   dengan undang-undang yang baru;


                                                               f. bahwa . . .
                                     -2-


                 f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
                    dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e,
                    perlu membentuk Undang-Undang tentang Pelayaran;

Mengingat    :   Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 25A, dan Pasal 33
                 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
                 1945;


                         Dengan Persetujuan Bersama
            DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
                                     dan
                      PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

                             M E M U T U S K A N:

Menetapkan :     UNDANG-UNDANG TENTANG PELAYARAN.


                                  BAB I
                             KETENTUAN UMUM


                                    Pasal 1

                 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
                 1. Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas
                     angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan
                     keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim.
                 2.   Perairan   Indonesia    adalah laut teritorial Indonesia
                      beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya.
                 3.   Angkutan di Perairan adalah kegiatan mengangkut
                      dan/atau memindahkan penumpang dan/atau barang
                      dengan menggunakan kapal.
                 4.   Angkutan Laut Khusus adalah kegiatan angkutan untuk
                      melayani kepentingan usaha sendiri dalam menunjang
                      usaha pokoknya.


                                                             5. Angkutan . . .
                    -3-

5.   Angkutan Laut Pelayaran-Rakyat adalah usaha rakyat
     yang bersifat tradisional dan mempunyai karakteristik
     tersendiri untuk melaksanakan angkutan di perairan
     dengan menggunakan kapal layar, kapal layar bermotor,
     dan/atau kapal motor sederhana berbendera Indonesia
     dengan ukuran tertentu.

6.   Trayek adalah rute atau lintasan pelayanan angkutan
     dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya.

7.   Agen Umum adalah perusahaan angkutan laut nasional
     atau perusahaan nasional yang khusus didirikan untuk
     melakukan usaha keagenan kapal, yang ditunjuk oleh
     perusahaan angkutan laut asing untuk mengurus
     kepentingan kapalnya selama berada di Indonesia.

8.   Pelayaran-Perintis adalah pelayanan angkutan di perairan
     pada trayek-trayek yang ditetapkan oleh Pemerintah
     untuk melayani daerah atau wilayah yang belum atau
     tidak terlayani oleh angkutan perairan karena belum
     memberikan manfaat komersial.

9.   Usaha Jasa Terkait adalah kegiatan usaha yang bersifat
     memperlancar proses kegiatan di bidang pelayaran.

10. Angkutan Multimoda adalah angkutan barang dengan
    menggunakan paling sedikit 2 (dua) moda angkutan yang
    berbeda atas dasar 1 (satu) kontrak yang menggunakan
    dokumen angkutan multimoda dari satu tempat
    diterimanya barang oleh operator angkutan multimoda ke
    suatu tempat yang ditentukan untuk penyerahan barang
    tersebut.

11. Usaha Pokok adalah jenis usaha yang disebutkan di
    dalam surat izin usaha suatu perusahaan.

12. Hipotek Kapal adalah hak agunan kebendaan atas kapal
    yang terdaftar untuk menjamin pelunasan utang tertentu
    yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
    kreditor tertentu terhadap kreditor lain.

13. Piutang-Pelayaran yang Didahulukan adalah tagihan
    yang wajib dilunasi lebih dahulu dari hasil eksekusi kapal
    mendahului tagihan pemegang hipotek kapal.



                                      14. Kepelabuhanan . . .
                   -4-

14. Kepelabuhanan adalah segala sesuatu yang berkaitan
    dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan untuk menunjang
    kelancaran, keamanan, dan ketertiban arus lalu lintas
    kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan dan
    keamanan berlayar, tempat perpindahan intra-dan/atau
    antarmoda serta mendorong perekonomian nasional dan
    daerah dengan tetap memperhatikan tata ruang wilayah.
15. Tatanan Kepelabuhanan Nasional adalah suatu sistem
    kepelabuhanan yang memuat peran, fungsi, jenis,
    hierarki pelabuhan, Rencana Induk Pelabuhan Nasional,
    dan lokasi pelabuhan serta keterpaduan intra-dan
    antarmoda serta keterpaduan dengan sektor lainnya.
16. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan
    dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai
    tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan
    yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik
    turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang,
    berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang
    dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan
    pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta
    sebagai tempat perpindahan intra-dan antarmoda
    transportasi.
17. Pelabuhan Utama adalah pelabuhan yang fungsi
    pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri
    dan internasional, alih muat angkutan laut dalam negeri
    dan internasional dalam jumlah besar, dan sebagai
    tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta
    angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan
    antarprovinsi.
18. Pelabuhan Pengumpul adalah pelabuhan yang fungsi
    pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri,
    alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah
    menengah, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang
    dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan
    jangkauan pelayanan antarprovinsi.
19. Pelabuhan Pengumpan adalah pelabuhan yang fungsi
    pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri,
    alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah
    terbatas, merupakan pengumpan bagi pelabuhan utama
    dan pelabuhan pengumpul, dan sebagai tempat asal
    tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan
    penyeberangan dengan jangkauan pelayanan dalam
    provinsi.
                                          20. Terminal . . .
                   -5-

20. Terminal adalah fasilitas pelabuhan yang terdiri atas
    kolam sandar dan tempat kapal bersandar atau tambat,
    tempat penumpukan, tempat menunggu dan naik turun
    penumpang, dan/atau tempat bongkar muat barang.
21. Terminal Khusus adalah terminal yang terletak di luar
    Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan
    Kepentingan pelabuhan yang merupakan bagian dari
    pelabuhan terdekat untuk melayani kepentingan sendiri
    sesuai dengan usaha pokoknya.
22. Terminal untuk Kepentingan Sendiri adalah terminal
    yang terletak di dalam Daerah Lingkungan Kerja dan
    Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan yang
    merupakan bagian dari pelabuhan untuk melayani
    kepentingan sendiri sesuai dengan usaha pokoknya.
23. Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) adalah wilayah perairan
    dan daratan pada pelabuhan atau terminal khusus yang
    digunakan secara langsung untuk kegiatan pelabuhan.
24. Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) adalah perairan
    di sekeliling daerah lingkungan kerja perairan pelabuhan
    yang dipergunakan untuk menjamin keselamatan
    pelayaran.
25. Rencana Induk Pelabuhan adalah pengaturan ruang
    pelabuhan berupa peruntukan rencana tata guna tanah
    dan perairan di Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah
    Lingkungan Kepentingan pelabuhan.
26. Otoritas Pelabuhan (Port Authority) adalah lembaga
    pemerintah di pelabuhan sebagai otoritas yang
    melaksanakan fungsi pengaturan, pengendalian, dan
    pengawasan kegiatan kepelabuhanan yang diusahakan
    secara komersial.
27. Unit   Penyelenggara    Pelabuhan    adalah   lembaga
    pemerintah di pelabuhan sebagai otoritas yang
    melaksanakan     fungsi    pengaturan,   pengendalian,
    pengawasan kegiatan kepelabuhanan, dan pemberian
    pelayanan jasa kepelabuhanan untuk pelabuhan yang
    belum diusahakan secara komersial.
28. Badan Usaha Pelabuhan adalah badan usaha yang
    kegiatan usahanya khusus di bidang pengusahaan
    terminal dan fasilitas pelabuhan lainnya.


                                             29. Kolam . . .
                   -6-

29. Kolam Pelabuhan adalah perairan di depan dermaga yang
    digunakan untuk kepentingan operasional sandar dan
    olah gerak kapal.
30. Tata Ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
31. Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan
    tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
    pemanfaatan ruang.
32. Keselamatan dan Keamanan Pelayaran adalah suatu
    keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan dan
    keamanan yang menyangkut angkutan di perairan,
    kepelabuhanan, dan lingkungan maritim.
33. Kelaiklautan Kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi
    persyaratan keselamatan kapal, pencegahan pencemaran
    perairan dari kapal, pengawakan, garis muat, pemuatan,
    kesejahteraan Awak Kapal dan kesehatan penumpang,
    status hukum kapal, manajemen keselamatan dan
    pencegahan pencemaran dari kapal, dan manajemen
    keamanan kapal untuk berlayar di perairan tertentu.
34. Keselamatan Kapal adalah keadaan kapal yang
    memenuhi persyaratan material, konstruksi, bangunan,
    permesinan dan perlistrikan, stabilitas, tata susunan
    serta perlengkapan termasuk perlengkapan alat penolong
    dan radio, elektronik kapal, yang dibuktikan dengan
    sertifikat setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian.
35. Badan Klasifikasi adalah lembaga klasifikasi kapal yang
    melakukan pengaturan kekuatan konstruksi dan
    permesinan kapal, jaminan mutu material marine,
    pengawasan     pembangunan,      pemeliharaan,      dan
    perombakan kapal sesuai dengan peraturan klasifikasi.
36. Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis
    tertentu, yang digerakkan dengan tenaga angin, tenaga
    mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk
    kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di
    bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan
    terapung yang tidak berpindah-pindah.
37. Kapal Perang adalah kapal Tentara Nasional Indonesia
    yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
    perundang-undangan.


                                              38. Kapal . . .
                    -7-

38. Kapal Negara adalah kapal milik negara digunakan oleh
    instansi Pemerintah tertentu yang diberi fungsi dan
    kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan
    perundang-undangan untuk menegakkan hukum serta
    tugas-tugas Pemerintah lainnya.
39. Kapal Asing adalah kapal yang berbendera selain bendera
    Indonesia dan tidak dicatat dalam daftar kapal Indonesia.
40. Awak Kapal adalah orang yang bekerja atau dipekerjakan
    di atas kapal oleh pemilik atau operator kapal untuk
    melakukan tugas di atas kapal sesuai dengan jabatannya
    yang tercantum dalam buku sijil.
41. Nakhoda adalah salah seorang dari Awak Kapal yang
    menjadi pemimpin tertinggi di kapal dan mempunyai
    wewenang dan tanggung jawab tertentu sesuai dengan
    ketentuan peraturan perundang-undangan.
42. Anak Buah Kapal adalah Awak Kapal selain Nakhoda.
43. Kenavigasian adalah segala sesuatu yang berkaitan
    dengan      Sarana      Bantu       Navigasi-Pelayaran,
    Telekomunikasi-Pelayaran, hidrografi dan meteorologi,
    alur dan perlintasan, pengerukan dan reklamasi,
    pemanduan, penanganan kerangka kapal, salvage dan
    pekerjaan bawah air untuk kepentingan keselamatan
    pelayaran kapal.
44. Navigasi adalah proses mengarahkan gerak kapal dari
    satu titik ke titik yang lain dengan aman dan lancar serta
    untuk       menghindari bahaya dan/atau rintangan-
    pelayaran.
45. Alur-Pelayaran adalah perairan yang dari segi kedalaman,
    lebar, dan bebas hambatan pelayaran lainnya dianggap
    aman dan selamat untuk dilayari.
46. Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran adalah peralatan atau
    sistem yang berada di luar kapal yang didesain dan
    dioperasikan untuk meningkatkan keselamatan dan
    efisiensi bernavigasi kapal dan/atau lalu lintas kapal.
47. Telekomunikasi-Pelayaran adalah telekomunikasi khusus
    untuk keperluan dinas pelayaran yang merupakan setiap
    pemancaran, pengiriman atau penerimaan tiap jenis
    tanda, gambar, suara dan informasi dalam bentuk apa
    pun melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem
    elektromagnetik lainnya dalam dinas bergerak-pelayaran
    yang merupakan bagian dari keselamatan pelayaran.


                                         48. Pemanduan . . .
                   -8-

48. Pemanduan adalah kegiatan pandu dalam membantu,
    memberikan saran, dan informasi kepada Nakhoda
    tentang keadaan perairan setempat yang penting agar
    navigasi-pelayaran dapat dilaksanakan dengan selamat,
    tertib, dan lancar demi keselamatan kapal dan
    lingkungan.
49. Perairan Wajib Pandu adalah wilayah perairan yang
    karena kondisi perairannya mewajibkan dilakukan
    pemanduan kepada kapal yang melayarinya.
50. Pandu adalah pelaut yang mempunyai keahlian di bidang
    nautika yang telah memenuhi persyaratan untuk
    melaksanakan pemanduan kapal.
51. Pekerjaan   Bawah    Air   adalah    pekerjaan  yang
    berhubungan dengan instalasi, konstruksi, atau kapal
    yang dilakukan di bawah air dan/atau pekerjaan di
    bawah air yang bersifat khusus, yaitu penggunaan
    peralatan bawah air yang dioperasikan dari permukaan
    air.
52. Pengerukan adalah pekerjaan mengubah bentuk dasar
    perairan untuk mencapai kedalaman dan lebar yang
    dikehendaki atau untuk mengambil material dasar
    perairan yang dipergunakan untuk keperluan tertentu.
53. Reklamasi adalah pekerjaan timbunan di perairan atau
    pesisir yang mengubah garis pantai dan/atau kontur
    kedalaman perairan.
54. Kerangka Kapal adalah setiap kapal yang tenggelam atau
    kandas atau terdampar dan telah ditinggalkan.
55. Salvage adalah pekerjaan untuk memberikan pertolongan
    terhadap kapal dan/atau muatannya yang mengalami
    kecelakaan kapal atau dalam keadaan bahaya di perairan
    termasuk mengangkat kerangka kapal atau rintangan
    bawah air atau benda lainnya.
56. Syahbandar adalah pejabat pemerintah di pelabuhan
    yang diangkat oleh Menteri dan memiliki kewenangan
    tertinggi untuk menjalankan dan melakukan pengawasan
    terhadap dipenuhinya ketentuan peraturan perundang-
    undangan untuk menjamin keselamatan dan keamanan
    pelayaran.
57. Perlindungan Lingkungan Maritim adalah setiap upaya
    untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran
    lingkungan perairan yang bersumber dari kegiatan yang
    terkait dengan pelayaran.

                                        58. Mahkamah . . .
                    -9-

58. Mahkamah Pelayaran adalah panel ahli yang berada di
    bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri yang
    bertugas untuk melakukan pemeriksaan lanjutan
    kecelakaan kapal.
59. Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) adalah
    lembaga yang melaksanakan fungsi penjagaan dan
    penegakan peraturan perundang-undangan di laut dan
    pantai yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada
    Presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh
    Menteri.
60. Badan Usaha adalah Badan Usaha Milik Negara, Badan
    Usaha Milik Daerah, atau badan hukum Indonesia yang
    khusus didirikan untuk pelayaran.
61. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
62. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah
    adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
    kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia
    sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
    Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
63. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau
    walikota  dan    perangkat   daerah sebagai unsur
    penyelenggara pemerintahan daerah.
64. Menteri adalah Menteri      yang tugas dan tanggung
    jawabnya di bidang pelayaran.



                 BAB II
            ASAS DAN TUJUAN


                  Pasal 2

Pelayaran diselenggarakan berdasarkan:
a. asas manfaat;
b. asas usaha bersama dan kekeluargaan;
c. asas persaingan sehat;
d. asas adil dan merata tanpa diskriminasi;
e. asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan;
f. asas kepentingan umum;

                                                 g. asas . . .
                   - 10 -


g. asas keterpaduan;
h. asas tegaknya hukum;
i. asas kemandirian;
j. asas berwawasan lingkungan hidup;
k. asas kedaulatan negara; dan
l. asas kebangsaan.

                  Pasal 3

Pelayaran diselenggarakan dengan tujuan:
a. memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang
   melalui perairan dengan mengutamakan dan melindungi
   angkutan di perairan dalam rangka memperlancar kegiatan
   perekonomian nasional;
b. membina jiwa kebaharian;
c. menjunjung kedaulatan negara;
d. menciptakan daya saing dengan mengembangkan industri
   angkutan perairan nasional;
e. menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian
   tujuan pembangunan nasional;
f. memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam
   rangka perwujudan Wawasan Nusantara; dan
g. meningkatkan ketahanan nasional.


               BAB III
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG

                  Pasal 4

Undang-Undang ini berlaku untuk:
a. semua kegiatan angkutan di perairan, kepelabuhanan,
   keselamatan dan keamanan pelayaran, serta perlindungan
   lingkungan maritim di perairan Indonesia;
b. semua kapal asing yang berlayar di perairan Indonesia; dan
c. semua kapal berbendera Indonesia yang berada di luar
   perairan Indonesia.


                                                  BAB IV . . .
                    - 11 -

                   BAB IV
                 PEMBINAAN


                   Pasal 5

(1)   Pelayaran dikuasai oleh negara     dan   pembinaannya
      dilakukan oleh Pemerintah.
(2)   Pembinaan pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) meliputi:
      a. pengaturan;
      b. pengendalian; dan
      c. pengawasan.
(3)   Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
      meliputi penetapan kebijakan umum dan teknis, antara
      lain, penentuan norma, standar, pedoman, kriteria,
      perencanaan, dan     prosedur termasuk persyaratan
      keselamatan dan keamanan pelayaran serta perizinan.
(4)   Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
      b meliputi pemberian arahan, bimbingan, pelatihan,
      perizinan, sertifikasi, serta bantuan teknis di bidang
      pembangunan dan pengoperasian.
(5)   Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
      meliputi kegiatan     pengawasan pembangunan dan
      pengoperasian agar sesuai dengan peraturan perundang-
      undangan termasuk melakukan tindakan korektif dan
      penegakan hukum.
(6)   Pembinaan pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat
      (2) dilakukan dengan memperhatikan seluruh aspek
      kehidupan masyarakat dan diarahkan untuk :
      a. memperlancar arus perpindahan orang dan/atau
         barang secara massal melalui perairan dengan
         selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur,
         nyaman, dan berdaya guna, dengan biaya yang
         terjangkau oleh daya beli masyarakat;
      b. meningkatkan penyelenggaraan kegiatan angkutan di
         perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan,
         serta perlindungan lingkungan maritim sebagai bagian
         dari keseluruhan moda transportasi secara terpadu
         dengan      memanfaatkan      perkembangan      ilmu
         pengetahuan dan teknologi;

                                      c. mengembangkan . . .
                    - 12 -



      c. mengembangkan kemampuan armada angkutan
         nasional yang tangguh di perairan serta didukung
         industri perkapalan yang andal sehingga mampu
         memenuhi kebutuhan angkutan, baik di dalam negeri
         maupun dari dan ke luar negeri;
      d. mengembangkan usaha jasa angkutan di perairan
         nasional yang andal dan berdaya saing serta didukung
         kemudahan memperoleh pendanaan, keringanan
         perpajakan, dan industri perkapalan yang tangguh
         sehingga mampu mandiri dan bersaing;
      e. meningkatkan        kemampuan       dan      peranan
         kepelabuhanan serta keselamatan dan keamanan
         pelayaran dengan menjamin tersedianya alur-
         pelayaran, kolam pelabuhan, dan Sarana Bantu
         Navigasi-Pelayaran yang memadai dalam rangka
         menunjang angkutan di perairan;
      f. mewujudkan sumber daya manusia yang berjiwa
         bahari,    profesional,  dan    mampu      mengikuti
         perkembangan kebutuhan penyelenggaraan pelayaran;
         dan
      g. memenuhi perlindungan lingkungan maritim dengan
         upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran
         yang bersumber dari kegiatan angkutan di perairan,
         kepelabuhanan, serta keselamatan dan keamanan.
(7)   Pemerintah daerah melakukan pembinaan pelayaran
      sebagaimana dimaksud pada ayat (6) sesuai dengan
      kewenangannya.


                 BAB V
           ANGKUTAN DI PERAIRAN


                Bagian Kesatu
          Jenis Angkutan di Perairan

                   Pasal 6

Jenis angkutan di perairan terdiri atas:
a. angkutan laut;
b. angkutan sungai dan danau; dan
c. angkutan penyeberangan.

                                            Bagian Kedua . . .
                     - 13 -

                Bagian Kedua
                Angkutan Laut

                  Paragraf 1
             Jenis Angkutan Laut

                    Pasal 7

Angkutan laut terdiri atas:
a. angkutan laut dalam negeri;
b. angkutan laut luar negeri;
c. angkutan laut khusus; dan
d. angkutan laut pelayaran-rakyat.

                 Paragraf 2
         Angkutan Laut Dalam Negeri

                    Pasal 8

(1)   Kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh
      perusahaan   angkutan     laut  nasional      dengan
      menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki
      oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia.
(2)   Kapal asing dilarang mengangkut penumpang dan/atau
      barang antarpulau atau antarpelabuhan di wilayah
      perairan Indonesia.


                    Pasal 9

(1)   Kegiatan angkutan laut dalam negeri disusun dan
      dilaksanakan secara terpadu, baik intra-maupun
      antarmoda yang merupakan satu kesatuan sistem
      transportasi nasional.
(2)   Kegiatan angkutan laut dalam negeri sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan trayek tetap
      dan teratur (liner) serta dapat dilengkapi dengan trayek
      tidak tetap dan tidak teratur (tramper).
(3)   Kegiatan angkutan laut dalam negeri yang melayani
      trayek tetap dan teratur dilakukan dalam jaringan trayek.


                                              (4) Jaringan . . .
                     - 14 -

(4)   Jaringan trayek tetap dan teratur angkutan laut dalam
      negeri disusun dengan memperhatikan:
      a. pengembangan pusat industri, perdagangan, dan
         pariwisata;
      b. pengembangan wilayah dan/atau daerah;
      c. rencana umum tata ruang;
      d. keterpaduan intra-dan antarmoda transportasi; dan
      e. perwujudan Wawasan Nusantara.
(5)   Penyusunan     jaringan  trayek  tetap   dan  teratur
      sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan bersama
      oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan asosiasi
      perusahaan      angkutan    laut   nasional   dengan
      memperhatikan masukan asosiasi pengguna jasa
      angkutan laut.

(6)   Jaringan trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud
      pada ayat (5) ditetapkan oleh Menteri.

(7)   Pengoperasian kapal pada jaringan trayek tetap dan
      teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan
      oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan
      mempertimbangkan:
      a. kelaiklautan kapal;
      b. menggunakan kapal berbendera Indonesia dan
         diawaki oleh warga negara Indonesia;
      c. keseimbangan permintaan dan tersedianya ruangan;
      d. kondisi alur dan fasilitas pelabuhan yang disinggahi;
         dan
      e. tipe dan ukuran kapal sesuai dengan kebutuhan.

(8)   Pengoperasian kapal pada trayek tidak tetap dan tidak
      teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
      oleh perusahaan angkutan laut nasional dan wajib
      dilaporkan kepada Pemerintah.


                  Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan laut
dalam negeri diatur dengan Peraturan Pemerintah.



                                                Paragraf 3 . . .
                     - 15 -


                 Paragraf 3
          Angkutan Laut Luar Negeri


                    Pasal 11

(1)   Kegiatan angkutan laut dari dan ke luar negeri dilakukan
      oleh perusahaan angkutan laut nasional dan/atau
      perusahaan angkutan laut asing dengan menggunakan
      kapal berbendera Indonesia dan/atau kapal asing.

(2)   Kegiatan angkutan laut sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) dilaksanakan agar perusahaan angkutan laut nasional
      memperoleh pangsa muatan yang wajar sesuai dengan
      ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)   Kegiatan angkutan laut dari dan ke luar negeri
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang termasuk
      angkutan laut lintas batas dapat dilakukan dengan
      trayek tetap dan teratur serta trayek tidak tetap dan tidak
      teratur.

(4)   Perusahaan angkutan laut asing hanya dapat melakukan
      kegiatan angkutan laut ke dan dari pelabuhan Indonesia
      yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dan wajib
      menunjuk perusahaan nasional sebagai agen umum.

(5)   Perusahaan angkutan laut asing yang melakukan
      kegiatan angkutan laut ke atau dari pelabuhan Indonesia
      yang terbuka untuk perdagangan luar negeri secara
      berkesinambungan dapat menunjuk perwakilannya di
      Indonesia.


                    Pasal 12

Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan laut luar
negeri, keagenan umum, dan perwakilan perusahaan
angkutan laut asing diatur dengan Peraturan Pemerintah.



                                                  Paragraf 4 . . .
                    - 16 -

                 Paragraf 4
            Angkutan Laut Khusus

                   Pasal 13

(1)   Kegiatan angkutan laut khusus dilakukan oleh badan
      usaha untuk menunjang usaha pokok untuk kepentingan
      sendiri dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia
      yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal dan
      diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia.
(2)   Kegiatan angkutan laut khusus sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) dilakukan berdasarkan izin operasi dari
      Pemerintah.
(3)   Kegiatan angkutan laut khusus     sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) diselenggarakan       dengan menggunakan
      kapal berbendera Indonesia yang   laik laut dengan kondisi
      dan persyaratan kapal sesuai       dengan jenis kegiatan
      usaha pokoknya.
(4)   Kegiatan angkutan laut khusus sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) dilarang mengangkut muatan atau barang
      milik pihak lain dan/atau mengangkut muatan atau
      barang umum kecuali dalam hal keadaan tertentu
      berdasarkan izin Pemerintah.
(5)   Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
      berupa:
      a. tidak tersedianya kapal; dan
      b. belum adanya perusahaan angkutan yang mampu
         melayani sebagian atau seluruh permintaan jasa
         angkutan yang ada.
(6) Pelaksana kegiatan angkutan laut asing yang melakukan
    kegiatan angkutan laut khusus ke pelabuhan Indonesia
    yang terbuka bagi perdagangan luar negeri wajib
    menunjuk perusahaan angkutan laut nasional atau
    pelaksana kegiatan angkutan laut khusus sebagai agen
    umum.
(7)   Pelaksana kegiatan angkutan laut khusus hanya dapat
      menjadi agen bagi kapal yang melakukan kegiatan yang
      sejenis dengan usaha pokoknya.


                                                   Pasal 14 . . .
                    - 17 -

                   Pasal 14

Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan laut
khusus diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                 Paragraf 5
       Angkutan Laut Pelayaran-Rakyat

                   Pasal 15

(1)   Kegiatan angkutan laut pelayaran-rakyat sebagai usaha
      masyarakat yang bersifat tradisional dan merupakan
      bagian dari usaha angkutan di perairan mempunyai
      peranan yang penting dan karakteristik tersendiri.
(2)   Kegiatan angkutan laut pelayaran-rakyat dilakukan oleh
      orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan
      usaha dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia
      yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal serta
      diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia.

                   Pasal 16

(1)   Pembinaan angkutan laut pelayaran-rakyat dilaksanakan
      agar kehidupan usaha dan peranan penting angkutan
      laut pelayaran-rakyat tetap terpelihara sebagai bagian
      dari potensi angkutan laut nasional yang merupakan satu
      kesatuan sistem transportasi nasional.
(2)   Pengembangan      angkutan     laut    pelayaran-rakyat
      dilaksanakan untuk:
      a. meningkatkan pelayanan ke daerah pedalaman
         dan/atau perairan yang memiliki alur dengan
         kedalaman terbatas termasuk sungai dan danau;
      b. meningkatkan     kemampuannya sebagai lapangan
         usaha angkutan laut nasional dan lapangan kerja; dan
      c. meningkatkan kompetensi sumber daya manusia dan
         kewiraswastaan dalam bidang usaha angkutan laut
         nasional.
(3)   Armada      angkutan     laut pelayaran-rakyat dapat
      dioperasikan di dalam negeri dan lintas batas, baik
      dengan trayek tetap dan teratur maupun trayek tidak
      tetap dan tidak teratur.

                                                 Pasal 17 . . .
                    - 18 -

                  Pasal 17

Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan laut
pelayaran-rakyat diatur dengan Peraturan Pemerintah.

               Bagian Ketiga
         Angkutan Sungai dan Danau

                  Pasal 18

(1)   Kegiatan angkutan sungai dan danau di dalam negeri
      dilakukan oleh orang perseorangan warga negara
      Indonesia atau badan usaha dengan menggunakan kapal
      berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan
      kelaiklautan kapal serta diawaki oleh Awak Kapal
      berkewarganegaraan Indonesia.
(2)   Kegiatan angkutan sungai dan danau antara Negara
      Republik Indonesia dan negara tetangga dilakukan
      berdasarkan perjanjian antara Pemerintah Republik
      Indonesia dan pemerintah negara tetangga yang
      bersangkutan.
(3)   Angkutan sungai dan danau yang dilakukan antara dua
      negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat
      dilakukan oleh kapal berbendera Indonesia dan/atau
      kapal berbendera negara yang bersangkutan.
(4)   Kegiatan angkutan sungai dan danau disusun dan
      dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan intra-
      dan antarmoda yang merupakan satu kesatuan sistem
      transportasi nasional.
(5)   Kegiatan angkutan sungai dan danau dapat dilaksanakan
      dengan menggunakan trayek tetap dan teratur atau
      trayek tidak tetap dan tidak teratur.
(6)   Kegiatan angkutan sungai dan danau dilarang dilakukan
      di laut kecuali mendapat izin dari Syahbandar dengan
      tetap memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal.

                  Pasal 19

(1)   Untuk menunjang usaha pokok dapat dilakukan kegiatan
      angkutan sungai dan danau untuk kepentingan sendiri.


                                           (2) Kegiatan . . .
                    - 19 -

(2)   Kegiatan angkutan sungai dan danau sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh orang
      perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha
      dengan izin Pemerintah.

                   Pasal 20

Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan sungai
dan danau diatur dengan Peraturan Pemerintah.

              Bagian Keempat
           Angkutan Penyeberangan

                   Pasal 21

(1)   Kegiatan angkutan penyeberangan di dalam negeri
      dilakukan oleh badan usaha dengan menggunakan kapal
      berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan
      kelaiklautan kapal serta diawaki oleh Awak Kapal
      berkewarganegaraan Indonesia.
(2)   Kegiatan angkutan penyeberangan antara Negara
      Republik Indonesia dan negara tetangga dilakukan
      berdasarkan perjanjian antara Pemerintah Republik
      Indonesia dan pemerintah negara yang bersangkutan.
(3)   Angkutan penyeberangan yang dilakukan antara dua
      negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat
      dilakukan oleh kapal berbendera Indonesia dan/atau
      kapal berbendera negara yang bersangkutan.

                  Pasal 22

(1)   Angkutan penyeberangan merupakan angkutan yang
      berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan
      jaringan jalan atau jaringan jalur kereta api yang
      dipisahkan oleh perairan untuk mengangkut penumpang
      dan kendaraan beserta muatannya.
(2)   Penetapan lintas angkutan penyeberangan sebagaimana
      dimaksud     pada    ayat  (1)   dilakukan   dengan
      mempertimbangkan:
      a. pengembangan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur
         kereta api yang dipisahkan oleh perairan;

                                               b. fungsi . . .
                       - 20 -

         b. fungsi sebagai jembatan;
         c. hubungan antara dua pelabuhan, antara pelabuhan
            dan terminal, dan antara dua terminal penyeberangan
            dengan jarak tertentu;
         d. tidak mengangkut barang yang diturunkan dari
            kendaraan pengangkutnya;
         e. Rencana Tata Ruang Wilayah; dan
         f. jaringan trayek angkutan laut sehingga dapat
            mencapai optimalisasi keterpaduan angkutan antar-
            dan intramoda.
   (3)   Angkutan   penyeberangan       dilaksanakan      dengan
         menggunakan trayek tetap dan teratur.

                      Pasal 23

   Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan
   penyeberangan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                  Bagian Kelima
Angkutan di Perairan untuk Daerah masih Tertinggal
           dan/atau Wilayah Terpencil

                      Pasal 24

   (1)   Angkutan di perairan untuk daerah masih tertinggal
         dan/atau wilayah terpencil wajib dilaksanakan oleh
         Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
   (2)   Angkutan di perairan sebagaimana dimaksud pada
         ayat (1) dilaksanakan dengan pelayaran-perintis dan
         penugasan.
   (3)   Pelayaran-perintis sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
         dilaksanakan dengan biaya yang disediakan oleh
         Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
   (4)   Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
         diberikan kepada perusahaan angkutan laut nasional
         dengan mendapatkan kompensasi dari Pemerintah
         dan/atau pemerintah daerah sebesar selisih antara biaya
         produksi dan tarif yang ditetapkan Pemerintah dan/atau
         pemerintah daerah sebagai kewajiban pelayanan publik.


                                               (5) Pelayaran . . .
                    - 21 -

(5)   Pelayaran-perintis dan penugasan dilaksanakan secara
      terpadu dengan sektor lain berdasarkan pendekatan
      pembangunan wilayah.
(6)   Angkutan perairan untuk daerah masih tertinggal
      dan/atau wilayah terpencil dievaluasi oleh Pemerintah
      dan/atau pemerintah daerah setiap tahun.

                   Pasal 25

Pelayaran-perintis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
dapat dilakukan dengan cara kontrak jangka panjang dengan
perusahaan angkutan di perairan menggunakan kapal
berbendera    Indonesia    yang     memenuhi     persyaratan
kelaiklautan kapal yang diawaki oleh warga negara Indonesia.

                   Pasal 26

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayaran-perintis dan
penugasan pada angkutan di perairan untuk daerah masih
tertinggal dan/atau wilayah terpencil diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

                Bagian Keenam
              Perizinan Angkutan

                   Pasal 27

Untuk melakukan kegiatan angkutan di perairan orang
perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha wajib
memiliki izin usaha.

                  Pasal 28

(1)   Izin usaha angkutan laut diberikan oleh:
      a. bupati/walikota yang bersangkutan bagi badan usaha
          yang berdomisili dalam wilayah kabupaten/kota dan
          beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah
          kabupaten/kota;
      b. gubernur provinsi yang bersangkutan bagi badan
          usaha yang berdomisili dalam wilayah provinsi dan
          beroperasi       pada        lintas      pelabuhan
          antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi; atau


                                              c. Menteri . . .
                     - 22 -

      c. Menteri bagi badan usaha yang melakukan kegiatan
         pada lintas pelabuhan antarprovinsi dan internasional.
(2)   Izin usaha angkutan laut pelayaran-rakyat diberikan
      oleh:
      a. bupati/walikota yang bersangkutan bagi orang
          perseorangan warga negara Indonesia atau badan
          usaha yang berdomisili dalam wilayah kabupaten/kota
          dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah
          kabupaten/kota; atau
      b. gubernur yang bersangkutan bagi orang perseorangan
          warga negara Indonesia atau badan usaha yang
          berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan
          antarkabupaten/kota     dalam     wilayah   provinsi,
          pelabuhan      antarprovinsi,     dan     pelabuhan
          internasional.
(3)   Izin usaha angkutan sungai dan danau diberikan oleh:
      a. bupati/walikota sesuai    dengan domisili      orang
          perseorangan warga negara Indonesia atau badan
          usaha; atau
      b. Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
          untuk orang perseorangan warga negara Indonesia
          atau badan usaha yang berdomisili di Daerah Khusus
          Ibukota Jakarta.
(4)   Selain memiliki izin usaha sebagaimana dimaksud pada
      ayat (3) untuk angkutan sungai dan danau kapal yang
      dioperasikan wajib memiliki izin trayek yang diberikan
      oleh:
      a. bupati/walikota yang bersangkutan bagi kapal yang
         melayani trayek dalam wilayah kabupaten/kota;
      b. gubernur provinsi yang bersangkutan bagi kapal yang
         melayani trayek antarkabupaten/kota dalam wilayah
         provinsi; atau
      c. Menteri bagi kapal yang melayani trayek antarprovinsi
         dan/atau antarnegara.
(5) Izin usaha angkutan penyeberangan diberikan oleh:
      a. bupati/walikota sesuai dengan domisili badan usaha;
         atau
      b. Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
         untuk badan usaha yang berdomisili di Daerah
         Khusus Ibukota Jakarta.

                                                 (6) Selain . . .
                     - 23 -


(6)   Selain memilik izin usaha sebagaimana dimaksud pada
      ayat (5) untuk angkutan penyeberangan, kapal yang
      dioperasikan wajib memiliki persetujuan pengoperasian
      kapal yang diberikan oleh:
      a. bupati/walikota yang bersangkutan bagi kapal yang
         melayani    lintas   pelabuhan   dalam    wilayah
         kabupaten/kota;
      b. gubernur provinsi yang bersangkutan bagi kapal yang
         melayani lintas pelabuhan antarkabupaten/kota
         dalam provinsi; dan
      c. Menteri bagi kapal yang melayani lintas pelabuhan
         antarprovinsi dan/atau antarnegara.


                   Pasal 29

(1)   Untuk mendapatkan izin usaha angkutan laut
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) badan
      usaha wajib memiliki kapal berbendera Indonesia dengan
      ukuran sekurang-kurangnya      GT 175 (seratus tujuh
      puluh lima Gross Tonnage).

(2)   Orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan
      usaha dapat melakukan kerja sama dengan perusahaan
      angkutan laut asing atau badan hukum asing atau warga
      negara asing dalam bentuk usaha patungan (joint venture)
      dengan membentuk perusahaan angkutan laut yang
      memiliki   kapal    berbendera   Indonesia   sekurang-
      kurangnya 1 (satu) unit kapal dengan ukuran GT 5000
      (lima ribu Gross Tonnage) dan diawaki oleh awak
      berkewarganegaraan Indonesia.


                   Pasal 30

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan
perizinan angkutan di perairan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.



                                           Bagian Ketujuh . . .
                        - 24 -

               Bagian Ketujuh
Usaha Jasa Terkait dengan Angkutan di Perairan

                       Pasal 31

 (1)   Untuk kelancaran kegiatan angkutan di perairan
       sebagaimana    dimaksud    dalam     Pasal  6   dapat
       diselenggarakan usaha jasa terkait dengan angkutan di
       perairan.
 (2)   Usaha jasa terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
       dapat berupa:
       a.   bongkar muat barang;
       b.   jasa pengurusan transportasi;
       c.   angkutan perairan pelabuhan;
       d.   penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan
            jasa terkait dengan angkutan laut;
       e.   tally mandiri;
       f.   depo peti kemas;
       g.   pengelolaan kapal (ship management);
       h.   perantara jual beli dan/atau sewa kapal (ship broker);
       i.   keagenan Awak Kapal (ship manning agency);
       j.   keagenan kapal; dan
       k.   perawatan dan perbaikan kapal (ship repairing and
            maintenance).

                       Pasal 32

 (1)   Usaha jasa terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal
       31 ayat (2) dilakukan oleh badan usaha yang didirikan
       khusus untuk itu.
 (2)   Selain badan usaha yang didirikan khusus untuk itu
       sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kegiatan bongkar
       muat dapat dilakukan oleh perusahaan angkutan laut
       nasional hanya untuk kegiatan bongkar muat barang
       tertentu untuk kapal yang dioperasikannya.
 (3)   Selain badan usaha yang didirikan khusus untuk itu
       sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kegiatan angkutan
       perairan pelabuhan dapat dilakukan oleh perusahaan
       angkutan laut nasional.

                                                  (4) Kegiatan . . .
                       - 25 -

(4)    Kegiatan tally yang bukan tally mandiri sebagaimana
       dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf e dapat
       dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional,
       perusahaan bongkar muat, atau perusahaan jasa
       pengurusan transportasi, terbatas hanya untuk kegiatan
       cargodoring, receiving/delivery, stuffing, dan stripping peti
       kemas bagi kepentingannya sendiri.

                     Pasal 33

Setiap badan usaha yang didirikan khusus untuk usaha jasa
terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) wajib
memiliki izin usaha.

                     Pasal 34

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan
perizinan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                Bagian Kedelapan
      Tarif Angkutan dan Usaha Jasa Terkait

                     Pasal 35

(1)    Tarif angkutan di perairan terdiri atas tarif angkutan
       penumpang dan tarif angkutan barang.
(2)    Tarif angkutan penumpang kelas ekonomi ditetapkan
       oleh Pemerintah.
(3)    Tarif angkutan penumpang nonekonomi ditetapkan oleh
       penyelenggara angkutan berdasarkan tingkat pelayanan
       yang diberikan.
(4)    Tarif angkutan barang ditetapkan oleh penyedia jasa
       angkutan berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa
       dan penyedia jasa angkutan sesuai dengan jenis,
       struktur, dan golongan yang ditetapkan oleh Pemerintah.

                     Pasal 36

Tarif usaha jasa terkait ditetapkan oleh penyedia jasa terkait
berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia
jasa terkait sesuai dengan jenis, struktur, dan golongan yang
ditetapkan oleh Pemerintah.

                                                       Pasal 37 . . .
                    - 26 -

                  Pasal 37

Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, struktur, dan golongan
tarif angkutan dan usaha jasa terkait diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

            Bagian Kesembilan
Kewajiban dan Tanggung Jawab Pengangkut

                 Paragraf 1
                Wajib Angkut

                  Pasal 38

(1)   Perusahaan angkutan di perairan wajib mengangkut
      penumpang dan/atau barang terutama angkutan pos
      yang disepakati dalam perjanjian pengangkutan.
(2)   Perjanjian pengangkutan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) dibuktikan dengan karcis penumpang dan
      dokumen muatan.
(3)   Dalam keadaan tertentu Pemerintah memobilisasi armada
      niaga nasional.

                  Pasal 39

Ketentuan lebih lanjut mengenai wajib angkut diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

                 Paragraf 2
         Tanggung Jawab Pengangkut

                  Pasal 40

(1)   Perusahaan angkutan di perairan bertangggung jawab
      terhadap keselamatan dan keamanan penumpang
      dan/atau barang yang diangkutnya.
(2)   Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab
      terhadap muatan kapal sesuai dengan jenis dan jumlah
      yang dinyatakan dalam dokumen muatan dan/atau
      perjanjian atau kontrak pengangkutan yang telah
      disepakati.


                                                Pasal 41 . . .
                       - 27 -

                     Pasal 41

   (1)   Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
         dapat ditimbulkan sebagai akibat pengoperasian kapal,
         berupa:
         a. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;
         b. musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut;
         c. keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang
            yang diangkut; atau
         d. kerugian pihak ketiga.
   (2)   Jika dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana
         dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d
         bukan disebabkan oleh kesalahannya, perusahaan
         angkutan di perairan dapat dibebaskan sebagian atau
         seluruh tanggung jawabnya.
   (3)   Perusahaan angkutan di perairan wajib mengasuransikan
         tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
         dan   melaksanakan    asuransi   perlindungan   dasar
         penumpang umum sesuai dengan ketentuan peraturan
         perundang-undangan.

                      Pasal 42

   (1)   Perusahaan angkutan di perairan wajib memberikan
         fasilitas khusus dan kemudahan bagi penyandang cacat,
         wanita hamil, anak di bawah usia 5 (lima) tahun, orang
         sakit, dan orang lanjut usia.
   (2)   Pemberian fasilitas khusus dan kemudahan sebagaimana
         dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut biaya tambahan.

                      Pasal 43

   Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab pengangkut
   diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                   Paragraf 3
Pengangkutan Barang Khusus dan Barang Berbahaya

                      Pasal 44

   Pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya wajib
   dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
   undangan.

                                                   Pasal 45 . . .
                       - 28 -

                     Pasal 45

(1)   Barang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44
      dapat berupa:
      a.   kayu gelondongan (logs);
      b.   barang curah;
      c.   rel; dan
      d.   ternak.
(2)   Barang berbahaya          sebagaimana   dimaksud     dalam
      Pasal 44 berbentuk:
      a. bahan cair;
      b. bahan padat; dan
      c. bahan gas.
(3)   Barang berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      diklasifikasikan sebagai berikut:
      a. bahan atau barang peledak (explosives);
      b. gas yang dimampatkan, dicairkan, atau dilarutkan
         dengan tekanan (compressed gases, liquified or
         dissolved under pressure);
      c. cairan mudah menyala atau         terbakar (flammable
         liquids);
      d. bahan atau barang padat mudah menyala atau
         terbakar (flammable solids);
      e. bahan      atau    barang     pengoksidasi   (oxidizing
         substances);
      f. bahan atau barang beracun dan mudah menular (toxic
         and infectious substances);
      g. bahan atau barang radioaktif (radioactive material);
      h. bahan atau barang perusak (corrosive substances); dan
      i. berbagai bahan atau zat berbahaya lainnya
         (miscellaneous dangerous substances).

                     Pasal 46
Pengangkutan barang berbahaya dan barang khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 wajib memenuhi
persyaratan:
a. pengemasan,    penumpukan,    dan    penyimpanan   pelabuhan, penanganan bongkar muat, serta penumpukan
   dan penyimpanan selama berada di kapal;


                                              b. keselamatan . . .
                    - 29 -

b. keselamatan sesuai dengan peraturan dan standar, baik
   nasional maupun internasional bagi kapal khusus
   pengangkut barang berbahaya; dan
c. pemberian tanda tertentu sesuai dengan barang berbahaya
   yang diangkut.

                   Pasal 47

Pemilik, operator, dan/atau agen perusahaan angkutan laut
yang mengangkut barang berbahaya dan barang khusus
wajib menyampaikan pemberitahuan kepada Syahbandar
sebelum kapal pengangkut barang khusus dan/atau barang
berbahaya tiba di pelabuhan.

                   Pasal 48

Badan Usaha Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan
wajib menyediakan tempat penyimpanan atau penumpukan
barang berbahaya dan barang khusus     untuk menjamin
keselamatan dan kelancaran arus lalu lintas barang di
pelabuhan serta bertanggung jawab terhadap penyusunan
sistem dan prosedur penanganan barang berbahaya dan
barang khusus di pelabuhan.

                   Pasal 49

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkutan
barang khusus dan barang berbahaya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

              Bagian Kesepuluh
             Angkutan Multimoda

                   Pasal 50

(1)   Angkutan perairan dapat merupakan bagian dari
      angkutan multimoda yang dilaksanakan oleh badan
      usaha angkutan multimoda.
(2)   Kegiatan angkutan perairan dalam angkutan multimoda
      dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang dilaksanakan
      antara penyedia jasa angkutan perairan dan badan usaha
      angkutan multimoda dan penyedia jasa moda lainnya.


                                                Pasal 51 . . .
                    - 30 -

                  Pasal 51

(1)   Angkutan multimoda dilakukan oleh badan usaha yang
      telah mendapat izin khusus untuk melakukan angkutan
      multimoda dari Pemerintah.
(2)   Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      bertanggung jawab (liability) terhadap barang sejak
      diterimanya barang sampai diserahkan kepada penerima
      barang.

                  Pasal 52

Pelaksanaan angkutan multimoda dilakukan berdasarkan 1
(satu) dokumen yang diterbitkan oleh penyedia jasa angkutan
multimoda.

                  Pasal 53

(1)   Tanggung jawab penyedia jasa angkutan multimoda
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) meliputi
      kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada barang
      serta keterlambatan penyerahan barang.
(2)   Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      dapat dikecualikan dalam hal penyedia jasa angkutan
      multimoda dapat membuktikan bahwa dirinya atau
      agennya secara layak telah melaksanakan segala
      tindakan untuk mencegah terjadinya kehilangan,
      kerusakan barang, serta keterlambatan penyerahan
      barang.
(3)   Tanggung jawab penyedia jasa angkutan multimoda
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat terbatas.

                  Pasal 54

Penyedia jasa angkutan multimoda wajib mengasuransikan
tanggung jawabnya.

                  Pasal 55

Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda diatur
dengan Peraturan Pemerintah.


                                       Bagian Kesebelas . . .
                     - 31 -

               Bagian Kesebelas
Pemberdayaan Industri Angkutan Perairan Nasional

                    Pasal 56

  Pengembangan dan pengadaan armada angkutan perairan
  nasional dilakukan dalam rangka memberdayakan angkutan
  perairan nasional dan memperkuat industri perkapalan
  nasional yang dilakukan secara terpadu dengan dukungan
  semua sektor terkait.

                    Pasal 57

  (1)   Pemberdayaan industri angkutan perairan nasional
        sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 wajib dilakukan
        oleh Pemerintah dengan:
        a. memberikan fasilitas pembiayaan dan perpajakan;
        b. memfasilitasi kemitraan kontrak jangka panjang
           antara pemilik barang dan pemilik kapal; dan
        c. memberikan jaminan ketersediaan bahan bakar
           minyak untuk angkutan di perairan.

  (2)   Perkuatan industri perkapalan nasional sebagaimana
        dimaksud dalam Pasal 56 wajib dilakukan oleh
        Pemerintah dengan:
        a. menetapkan kawasan industri perkapalan terpadu;
        b. mengembangkan pusat desain, penelitian, dan
           pengembangan industri kapal nasional;
        c. mengembangkan standardisasi dan komponen kapal
           dengan menggunakan sebanyak-banyaknya muatan
           lokal dan melakukan alih teknologi;
        d. mengembangkan industri bahan baku dan komponen
           kapal;
        e. memberikan insentif kepada perusahaan angkutan
           perairan nasional yang membangun dan/atau
           mereparasi kapal di dalam negeri dan/atau yang
           melakukan pengadaan kapal dari luar negeri;
        f. membangun kapal pada industri galangan kapal
           nasional apabila biaya pengadaannya dibebankan
           kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau
           Anggaran Pendapatan Belanja Daerah;


                                          g. membangun . . .
                       - 32 -

      g. membangun kapal yang pendanaannya berasal dari
         luar   negeri  dengan menggunakan   sebanyak-
         banyaknya muatan lokal dan pelaksanaan    alih
         teknologi; dan
      h. memelihara dan mereparasi kapal pada industri
         perkapalan nasional yang biayanya dibebankan
         kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau
         Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.


                    Pasal 58

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberdayaan industri
angkutan perairan dan perkuatan industri perkapalan
nasional diatur dengan Peraturan Pemerintah.


              Bagian Kedua belas
              Sanksi Administratif

                    Pasal 59

(1)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (8), Pasal
      28 ayat (4) atau ayat (6), atau Pasal 33 dapat dikenakan
      sanksi administratif berupa:
      a. peringatan;
      b. denda administratif;
      c. pembekuan izin atau pembekuan sertifikat; atau
      d. pencabutan izin atau pencabutan sertifikat.

(2)   Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 11 ayat (4)
      atau Pasal 13 ayat (6) dapat dikenakan sanksi
      administratif berupa tidak diberikan pelayanan jasa
      kepelabuhanan.

(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
      pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
      Pemerintah.



                                                       BAB VI . . .
                      - 33 -

                  BAB VI
      HIPOTEK DAN PIUTANG-PELAYARAN
            YANG DIDAHULUKAN


                 Bagian Kesatu
                    Hipotek

                    Pasal 60

(1)   Kapal yang telah didaftarkan dalam Daftar Kapal
      Indonesia dapat dijadikan jaminan utang dengan
      pembebanan hipotek atas kapal.
(2)   Pembebanan hipotek atas kapal dilakukan dengan
      pembuatan akta hipotek oleh Pejabat Pendaftar dan
      Pencatat Balik Nama Kapal di tempat kapal didaftarkan
      dan dicatat dalam Daftar Induk Pendaftaran Kapal.
(3)   Setiap akta hipotek diterbitkan 1 (satu) Grosse Akta
      Hipotek yang diberikan kepada penerima hipotek.
(4)   Grosse Akta Hipotek sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
      mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan
      putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
      hukum yang tetap.
(5)   Dalam hal Grosse Akta Hipotek hilang dapat diterbitkan
      grosse   akta   pengganti   berdasarkan    penetapan
      pengadilan.

                    Pasal 61

(1)   Kapal dapat dibebani lebih dari 1 (satu) hipotek.
(2)   Peringkat masing-masing hipotek ditentukan           sesuai
      dengan tanggal dan nomor urut akta hipotek.

                    Pasal 62

Pengalihan hipotek dari penerima hipotek kepada penerima
hipotek yang lain dilakukan dengan membuat akta pengalihan
hipotek oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal
di tempat kapal didaftarkan dan dicatat dalam Daftar Induk
Pendaftaran Kapal.


                                                    Pasal 63 . . .
                    - 34 -


                   Pasal 63

(1)   Pencoretan hipotek (roya) dilakukan oleh Pejabat
      Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal atas
      permintaan tertulis dari penerima hipotek.
(2)   Dalam hal permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) diajukan oleh pemberi hipotek, permintaan tersebut
      dilampiri dengan surat persetujuan pencoretan dari
      penerima hipotek.

                   Pasal 64

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembebanan
hipotek diatur dengan Peraturan Menteri.

                 Bagian Kedua
      Piutang-Pelayaran yang Didahulukan

                   Pasal 65

(1)   Apabila terdapat gugatan terhadap piutang yang dijamin
      dengan kapal, pemilik, pencarter, atau operator kapal
      harus mendahulukan pembayaran piutang-pelayaran
      yang didahulukan.
(2)   Piutang-pelayaran   yang    didahulukan     sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) yaitu sebagai berikut:
      a. untuk pembayaran upah dan pembayaran lainnya
         kepada Nakhoda, Anak Buah Kapal, dan awak
         pelengkap lainnya dari kapal dalam hubungan dengan
         penugasan mereka di kapal, termasuk biaya repatriasi
         dan kontribusi asuransi sosial yang harus dibiayai;
      b. untuk membayar uang duka atas kematian atau
         membayar biaya pengobatan atas luka badan, baik
         yang terjadi di darat maupun di laut yang
         berhubungan langsung dengan pengoperasian kapal;
      c. untuk pembayaran biaya salvage atas kapal;
      d. untuk biaya pelabuhan dan alur-pelayaran lainnya
         serta biaya pemanduan; dan


                                                e. untuk . . .
                     - 35 -


      e. untuk membayar kerugian yang ditimbulkan oleh
         kerugian fisik atau kerusakan yang disebabkan oleh
         pengoperasian kapal selain dari kerugian atau
         kerusakan terhadap muatan, peti kemas, dan barang
         bawaan penumpang yang diangkut di kapal.
(3)   Piutang-pelayaran yang didahulukan tidak dapat
      dibebankan atas kapal untuk menjamin gugatan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf e
      apabila tindakan tersebut timbul sebagai akibat dari:
      a. kerusakan yang timbul dari angkutan minyak atau
         bahan berbahaya dan beracun lainnya melalui laut;
         dan
      b. bahan radioaktif atau kombinasi antara bahan
         radioaktif dengan bahan beracun, eksplosif atau
         bahan berbahaya dari bahan bakar nuklir, produk,
         atau sampah radioaktif.

                   Pasal 66

(1)   Pembayaran     piutang-pelayaran     yang    didahulukan
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 diutamakan dari
      pembayaran piutang gadai, hipotek, dan piutang yang
      terdaftar.
(2)   Pemilik, pencarter, pengelola, atau operator kapal harus
      mendahulukan pembayaran terhadap biaya yang timbul
      selain    dari  pembayaran      piutang-pelayaran   yang
      didahulukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65.
(3)   Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
      a. biaya yang timbul dari pengangkatan kapal yang
         tenggelam atau terdampar yang dilakukan oleh
         Pemerintah untuk menjamin keselamatan pelayaran
         atau perlindungan lingkungan maritim; dan
      b. biaya perbaikan kapal yang menjadi hak galangan
         atau dok (hak retensi) jika pada saat penjualan paksa
         kapal sedang berada di galangan atau dok yang berada
         di wilayah hukum Indonesia.
(4) Piutang-pelayaran     sebagaimana   ditetapkan    dalam
    Pasal 65 mempunyai jenjang prioritas sesuai dengan
    urutannya, kecuali apabila klaim biaya salvage kapal
    telah timbul terlebih dahulu mendahului klaim yang lain,
    biaya salvage menjadi prioritas yang lebih dari piutang-
    pelayaran yang didahulukan lainnya.
                                                  BAB VII . . .
                     - 36 -

                   BAB VII
               KEPELABUHANAN


                Bagian Kesatu
       Tatanan Kepelabuhanan Nasional

                   Paragraf 1
                    Umum

                    Pasal 67

(1)   Tatanan Kepelabuhanan Nasional diwujudkan dalam
      rangka penyelenggaraan pelabuhan yang andal dan
      berkemampuan    tinggi, menjamin   efisiensi, dan
      mempunyai daya saing global untuk menunjang
      pembangunan nasional dan daerah yang ber-Wawasan
      Nusantara.
(2)   Tatanan Kepelabuhanan Nasional sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) merupakan sistem kepelabuhanan secara
      nasional     yang    menggambarkan         perencanaan
      kepelabuhanan berdasarkan kawasan ekonomi, geografi,
      dan keunggulan komparatif wilayah, serta kondisi alam.
(3)   Tatanan Kepelabuhanan Nasional sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) memuat:
      a. peran, fungsi, jenis, dan hierarki pelabuhan;
      b. Rencana Induk Pelabuhan Nasional; dan
      c. lokasi pelabuhan.

                 Paragraf 2
Peran, Fungsi, Jenis, dan Hierarki Pelabuhan

                    Pasal 68

Pelabuhan memiliki peran sebagai:
a. simpul dalam jaringan transportasi sesuai dengan
   hierarkinya;
b. pintu gerbang kegiatan perekonomian;
c. tempat kegiatan alih moda transportasi;
d. penunjang kegiatan industri dan/atau perdagangan;


                                                  e. tempat . . .
                    - 37 -

e. tempat distribusi, produksi, dan konsolidasi muatan atau
   barang; dan
f. mewujudkan Wawasan Nusantara dan kedaulatan negara.

                  Pasal 69

Pelabuhan berfungsi sebagai tempat kegiatan:
a. pemerintahan; dan
b. pengusahaan.

                  Pasal 70

(1)   Jenis pelabuhan terdiri atas:
      a. pelabuhan laut; dan
      b. pelabuhan sungai dan danau.

(2)   Pelabuhan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      huruf a mempunyai hierarki terdiri atas:
      a. pelabuhan utama;
      b. pelabuhan pengumpul; dan
      c. pelabuhan pengumpan.

                 Paragraf 3
      Rencana Induk Pelabuhan Nasional

                  Pasal 71

(1)   Rencana Induk Pelabuhan Nasional sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3) huruf b merupakan
      pedoman dalam penetapan lokasi, pembangunan,
      pengoperasian,  pengembangan      pelabuhan,   dan
      penyusunan Rencana Induk Pelabuhan.
(2)   Rencana Induk Pelabuhan Nasional disusun dengan
      memperhatikan:
      a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata
         Ruang Wilayah Provinsi, Rencana Tata Ruang Wilayah
         Kabupaten/Kota;
      b. potensi dan perkembangan sosial ekonomi wilayah;
      c. potensi sumber daya alam; dan
      d. perkembangan lingkungan strategis, baik nasional
         maupun internasional.

                                               (3) Rencana . . .
                     - 38 -


(3)   Rencana Induk Pelabuhan Nasional memuat:
      a. kebijakan pelabuhan nasional; dan
      b. rencana lokasi dan hierarki pelabuhan.

(4)   Menteri menetapkan Rencana Induk Pelabuhan Nasional
      untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.
(5)   Rencana Induk Pelabuhan Nasional sebagaimana
      dimaksud pada ayat (4) dapat ditinjau kembali 1 (satu)
      kali dalam 5 (lima) tahun.
(6)   Dalam hal terjadi perubahan kondisi lingkungan strategis
      akibat bencana yang ditetapkan dengan ketentuan
      peraturan      perundang-undangan      Rencana    Induk
      Pelabuhan Nasional dapat ditinjau kembali lebih dari 1
      (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.

                  Paragraf 4
               Lokasi Pelabuhan

                   Pasal 72

(1)   Penggunaan wilayah daratan dan perairan tertentu
      sebagai lokasi pelabuhan ditetapkan oleh Menteri sesuai
      dengan Rencana Induk Pelabuhan Nasional.
(2)   Lokasi pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      disertai dengan Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah
      Lingkungan Kerja (DLKr) dan Daerah Lingkungan
      Kepentingan (DLKp) pelabuhan.

                   Pasal 73

(1)   Setiap pelabuhan        wajib   memiliki   Rencana   Induk
      Pelabuhan.
(2)   Rencana Induk Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) disusun dengan memperhatikan:
      a. Rencana Induk Pelabuhan Nasional;
      b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;
      c. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;
      d. keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain
         terkait di lokasi pelabuhan;
      e. kelayakan teknis, ekonomis, dan lingkungan; dan
      f. keamanan dan keselamatan lalu lintas kapal.

                                                    Pasal 74 . . .
                     - 39 -

                   Pasal 74

(1)   Rencana Induk Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 73 ayat (1) meliputi rencana peruntukan wilayah
      daratan dan rencana peruntukan wilayah perairan.
(2)   Rencana peruntukan wilayah daratan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) berdasar pada kriteria
      kebutuhan:
      a. fasilitas pokok; dan
      b. fasilitas penunjang.
(3)   Rencana peruntukan wilayah perairan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) berdasar pada kriteria
      kebutuhan:
      a. fasilitas pokok; dan
      b. fasilitas penunjang.

                   Pasal 75

(1)   Rencana Induk Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 73 ayat (1) dilengkapi dengan Daerah Lingkungan
      Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan.
(2)   Batas Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan
      Kepentingan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) ditetapkan dengan koordinat geografis untuk
      menjamin kegiatan kepelabuhanan.
(3)   Daerah Lingkungan Kerja pelabuhan, terdiri atas:
      a. wilayah daratan yang digunakan untuk kegiatan
         fasilitas pokok dan fasilitas penunjang; dan
      b. wilayah perairan yang digunakan untuk kegiatan alur-
         pelayaran, tempat labuh, tempat alih muat antarkapal,
         kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah
         gerak kapal, kegiatan pemanduan, tempat perbaikan
         kapal, dan kegiatan lain sesuai dengan kebutuhan.
(4)   Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan merupakan
      perairan pelabuhan di luar Daerah Lingkungan Kerja
      perairan yang digunakan untuk alur-pelayaran dari dan
      ke      pelabuhan,   keperluan     keadaan     darurat,
      pengembangan pelabuhan jangka panjang, penempatan
      kapal mati, percobaan berlayar, kegiatan pemanduan,
      fasilitas pembangunan, dan pemeliharaan kapal.


                                              (5) Daratan . . .
                    - 40 -

(5)   Daratan dan/atau perairan yang ditetapkan sebagai
      Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan
      Kepentingan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) dikuasai oleh negara dan diatur oleh
      penyelenggara pelabuhan.
(6)   Pada Daerah Lingkungan Kerja pelabuhan yang telah
      ditetapkan, diberikan hak pengelolaan atas tanah
      dan/atau pemanfaatan perairan sesuai dengan ketentuan
      peraturan perundang-undangan.

                  Pasal 76

(1)   Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan
      Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan
      untuk pelabuhan laut ditetapkan oleh:
      a. Menteri untuk pelabuhan utama dan pelabuhan
         pengumpul setelah mendapat rekomendasi dari
         gubernur dan bupati/walikota akan kesesuaian
         dengan   tata    ruang     wilayah provinsi dan
         kabupaten/kota; dan
      b. gubernur atau bupati/walikota untuk pelabuhan
         pengumpan.
(2)   Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan
      Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan
      untuk pelabuhan sungai dan danau ditetapkan oleh
      bupati/walikota.

                  Pasal 77

Suatu wilayah tertentu di daratan atau di perairan dapat
ditetapkan oleh Menteri menjadi lokasi yang berfungsi sebagai
pelabuhan, sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota
serta   memenuhi    persyaratan    kelayakan     teknis  dan
lingkungan.

                  Pasal 78

Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman dan tata cara
penetapan Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah
Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan
pelabuhan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                                           Bagian Kedua . . .
                     - 41 -

                  Bagian Kedua
      Penyelenggaraan Kegiatan di Pelabuhan

                   Paragraf 1
                    Umum

                    Pasal 79

Kegiatan pemerintahan dan pengusahaan di pelabuhan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 diselenggarakan
secara terpadu dan terkoordinasi.

                   Paragraf 2
       Kegiatan Pemerintahan di Pelabuhan

                    Pasal 80

(1)    Kegiatan pemerintahan di pelabuhan sebagaimana
       dimaksud dalam Pasal 79 meliputi:
       a. pengaturan dan pembinaan, pengendalian, dan
          pengawasan kegiatan kepelabuhanan;
       b. keselamatan dan keamanan pelayaran; dan/atau
       c. kepabeanan;
       d. keimigrasian;
       e. kekarantinaan.
(2)    Selain kegiatan pemerintahan di pelabuhan sebagaimana
       dimaksud pada ayat (1) terdapat kegiatan pemerintahan
       lainnya yang keberadaannya bersifat tidak tetap.
(3)    Pengaturan    dan   pembinaan, pengendalian, dan
       pengawasan kegiatan kepelabuhanan sebagaimana
       dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh
       penyelenggara pelabuhan.
(4)    Fungsi    keselamatan   dan   keamanan      pelayaran
       sebagaimana dimaksud pada ayat (1)          huruf b
       dilaksanakan oleh Syahbandar.
(5)    Fungsi kepabeanan, keimigrasian, dan kekarantinaan
       sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d,
       dan huruf e dilaksanakan sesuai dengan peraturan
       perundang-undangan.



                                               Paragraf 3 . . .
                    - 42 -

                  Paragraf 3
           Penyelenggara Pelabuhan

                   Pasal 81

(1)   Penyelenggara pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 80 ayat (3) yaitu terdiri atas:
      a. Otoritas Pelabuhan; atau
      b. Unit Penyelenggara Pelabuhan.
(2)   Otoritas Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      huruf a dibentuk pada pelabuhan yang diusahakan
      secara komersial.
(3)   Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud
      ayat (1) huruf b dibentuk pada pelabuhan yang belum
      diusahakan secara komersial.
(4)   Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud
      pada ayat (3) dapat merupakan Unit Penyelenggara
      Pelabuhan Pemerintah dan Unit Penyelenggara Pelabuhan
      pemerintah daerah.

                   Pasal 82

(1)   Otoritas Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
      81 ayat (1) huruf a dibentuk oleh dan bertanggung jawab
      kepada Menteri.
(2)   Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 81 ayat (1) huruf b dibentuk dan
      bertanggung jawab kepada:
      a. Menteri   untuk    Unit  Penyelenggara   Pelabuhan
         Pemerintah; dan
      b. gubernur    atau    bupati/walikota   untuk    Unit
         Penyelenggara Pelabuhan pemerintah daerah.
(3)   Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) dibentuk
      untuk 1 (satu) atau beberapa pelabuhan.
(4)   Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berperan sebagai
      wakil Pemerintah untuk memberikan konsesi atau bentuk
      lainnya kepada Badan Usaha Pelabuhan untuk
      melakukan kegiatan pengusahaan di pelabuhan yang
      dituangkan dalam perjanjian.

                                                (5) Hasil . . .
                    - 43 -

(5)   Hasil konsesi yang diperoleh Otoritas Pelabuhan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan
      pendapatan negara sesuai dengan ketentuan peraturan
      perundang-undangan.
(6)   Otoritas Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
      81 ayat (1) huruf a dalam pelaksanaannya harus
      berkoordinasi dengan pemerintah daerah.

                   Pasal 83

(1)   Untuk melaksanakan fungsi pengaturan dan pembinaan,
      pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf a
      Otoritas Pelabuhan mempunyai tugas dan tanggung
      jawab:
      a. menyediakan lahan daratan dan perairan pelabuhan;
      b. menyediakan dan memelihara penahan gelombang,
         kolam pelabuhan, alur-pelayaran, dan jaringan jalan;
      c. menyediakan dan memelihara Sarana Bantu Navigasi-
         Pelayaran;
      d. menjamin keamanan dan ketertiban di pelabuhan;
      e. menjamin dan memelihara kelestarian lingkungan di
         pelabuhan;
      f. menyusun Rencana Induk Pelabuhan, serta Daerah
         Lingkungan    Kerja    dan Daerah   Lingkungan
         Kepentingan pelabuhan;
      g. mengusulkan tarif untuk ditetapkan Menteri, atas
         penggunaan perairan dan/atau daratan, dan fasilitas
         pelabuhan yang disediakan oleh Pemerintah serta jasa
         kepelabuhanan yang diselenggarakan oleh Otoritas
         Pelabuhan sesuai dengan ketentuan peraturan
         perundang-undangan; dan
      h. menjamin kelancaran arus barang.
(2)   Selain tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) Otoritas Pelabuhan melaksanakan kegiatan
      penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan
      yang diperlukan oleh pengguna jasa yang belum
      disediakan oleh Badan Usaha Pelabuhan.


                                                Pasal 84 . . .
                  - 44 -

                 Pasal 84

Untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 83 Otoritas Pelabuhan mempunyai
wewenang:
a. mengatur dan mengawasi penggunaan lahan daratan dan
   perairan pelabuhan;
b. mengawasi penggunaan Daerah Lingkungan Kerja dan
   Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan;
c. mengatur lalu lintas kapal ke luar masuk pelabuhan
   melalui pemanduan kapal; dan
d. menetapkan standar kinerja operasional pelayanan jasa
   kepelabuhanan.

                 Pasal 85

Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) diberi hak
pengelolaan atas tanah dan pemanfaatan perairan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

                 Pasal 86

Aparat Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan
merupakan pegawai negeri sipil yang mempunyai kemampuan
dan kompetensi di bidang kepelabuhanan sesuai dengan
kriteria yang ditetapkan.

                 Pasal 87

Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 81 ayat (1) huruf b mempunyai tugas dan tanggung
jawab:
a. menyediakan dan memelihara penahan gelombang, kolam
   pelabuhan, dan alur-pelayaran;
b. menyediakan dan memelihara Sarana Bantu Navigasi-
   Pelayaran;
c. menjamin keamanan dan ketertiban di pelabuhan;
d. memelihara kelestarian lingkungan di pelabuhan;



                                         e. menyusun . . .
                    - 45 -

e. menyusun Rencana Induk Pelabuhan, serta Daerah
   Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan
   pelabuhan;
f. menjamin kelancaran arus barang; dan
g. menyediakan fasilitas pelabuhan.

                   Pasal 88

(1)   Dalam mendukung kawasan perdagangan bebas dapat
      diselenggarakan pelabuhan tersendiri.
(2)   Penyelenggaraan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
      perundang-undangan di bidang kawasan perdagangan
      bebas.
(3)   Pelaksanaan     fungsi  keselamatan   dan   keamanan
      pelayaran pada pelabuhan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-
      Undang ini.

                   Pasal 89

Ketentuan lebih lanjut mengenai Otoritas Pelabuhan dan Unit
Penyelenggara    Pelabuhan    diatur    dengan    Peraturan
Pemerintah.

                  Paragraf 4
      Kegiatan Pengusahaan di Pelabuhan

                   Pasal 90

(1)   Kegiatan pengusahaan di pelabuhan terdiri atas
      penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan dan
      jasa terkait dengan kepelabuhanan.
(2)   Penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penyediaan
      dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang, dan barang.
(3)   Penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang,
      dan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri
      atas:
      a. penyediaan dan/atau pelayanan jasa dermaga untuk
         bertambat;

                                          b. penyediaan . . .
                      - 46 -

      b. penyediaan dan/atau pelayanan       pengisian   bahan
         bakar dan pelayanan air bersih;
      c. penyediaan dan/atau pelayanan fasilitas naik turun
         penumpang dan/atau kendaraan;
      d. penyediaan dan/atau pelayanan jasa dermaga untuk
         pelaksanaan kegiatan bongkar muat barang dan peti
         kemas;
      e. penyediaan dan/atau pelayanan jasa gudang dan
         tempat penimbunan barang, alat bongkar muat, serta
         peralatan pelabuhan;
      f. penyediaan dan/atau pelayanan jasa terminal peti
         kemas, curah cair, curah kering, dan Ro-Ro;
      g. penyediaan dan/atau pelayanan jasa bongkar muat
         barang;
      h. penyediaan dan/atau pelayanan pusat distribusi dan
         konsolidasi barang; dan/atau
      i. penyediaan   dan/atau   pelayanan   jasa   penundaan
         kapal.
(4)   Kegiatan jasa terkait dengan kepelabuhanan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan yang
      menunjang kelancaran operasional dan memberikan nilai
      tambah bagi pelabuhan.

                   Pasal 91

(1)   Kegiatan   penyediaan      dan/atau    pelayanan jasa
      kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90
      ayat (1) pada pelabuhan yang diusahakan secara
      komersial dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan
      sesuai dengan jenis izin usaha yang dimilikinya.
(2)   Kegiatan pengusahaan yang dilakukan oleh Badan Usaha
      Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
      dilakukan untuk lebih dari satu terminal.
(3)   Kegiatan    penyediaan   dan/atau   pelayanan    jasa
      kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90
      ayat (1) pada pelabuhan yang belum diusahakan secara
      komersial   dilaksanakan   oleh  Unit   Penyelenggara
      Pelabuhan.


                                               (4) Dalam . . .
                     - 47 -

(4)   Dalam keadaan tertentu, terminal dan fasilitas pelabuhan
      lainnya pada pelabuhan yang diusahakan Unit
      Penyelenggara Pelabuhan dapat dilaksanakan oleh Badan
      Usaha Pelabuhan berdasarkan perjanjian.
(5)   Kegiatan jasa terkait dengan kepelabuhanan sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) dapat dilakukan oleh
      orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau
      badan usaha.

                   Pasal 92

Kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan
yang dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) dilakukan berdasarkan
konsesi atau bentuk lainnya dari Otoritas Pelabuhan, yang
dituangkan dalam perjanjian.

                 Paragraf 5
           Badan Usaha Pelabuhan

                   Pasal 93

Badan Usaha Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
92 berperan sebagai operator yang mengoperasikan terminal
dan fasilitas pelabuhan lainnya.

                   Pasal 94

Dalam      melaksanakan    kegiatan   penyediaan    dan/atau
pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 90 ayat (1) Badan Usaha Pelabuhan berkewajiban:
a. menyediakan      dan   memelihara      kelayakan  fasilitas
   pelabuhan;
b. memberikan pelayanan kepada pengguna jasa pelabuhan
   sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan oleh
   Pemerintah;
c. menjaga keamanan, keselamatan, dan ketertiban pada
   fasilitas pelabuhan yang dioperasikan;
d. ikut menjaga keselamatan, keamanan, dan ketertiban yang
   menyangkut angkutan di perairan;
e. memelihara kelestarian lingkungan;


                                             f. memenuhi . . .
                    - 48 -

f. memenuhi kewajiban sesuai dengan konsesi dalam
   perjanjian; dan
g. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, baik
   secara nasional maupun internasional.

                   Pasal 95

Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Usaha Pelabuhan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

              Paragraf 6
Pembangunan dan Pengoperasian Pelabuhan

                   Pasal 96

(1)   Pembangunan pelabuhan laut dilaksanakan berdasarkan
      izin dari:
      a. Menteri untuk pelabuhan utama dan pelabuhan
          pengumpul; dan
      b. gubernur atau bupati/walikota untuk pelabuhan
          pengumpan.
(2)   Pembangunan pelabuhan laut sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan teknis
      kepelabuhanan,   kelestarian    lingkungan,    dan
      memperhatikan  keterpaduan   intra-dan   antarmoda
      transportasi.

                   Pasal 97

(1)   Pelabuhan laut hanya dapat dioperasikan setelah selesai
      dibangun dan memenuhi persyaratan operasional serta
      memperoleh izin.
(2)   Izin mengoperasikan pelabuhan laut diberikan oleh:
      a. Menteri untuk pelabuhan utama dan pelabuhan
          pengumpul; dan
      b. gubernur atau bupati/walikota untuk pelabuhan
          pengumpan.

                   Pasal 98

(1)   Pembangunan pelabuhan sungai dan         danau    wajib
      memperoleh izin dari bupati/walikota.


                                       (2) Pembangunan . . .
                    - 49 -

(2)   Pembangunan pelabuhan sungai dan danau sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan
      persyaratan    teknis   kepelabuhanan,   kelestarian
      lingkungan, dengan memperhatikan keterpaduan intra-
      dan antarmoda transportasi.
(3)   Pelabuhan sungai dan danau hanya dapat dioperasikan
      setelah selesai dibangun dan memenuhi persyaratan
      operasional serta memperoleh izin.
(4)   Izin mengoperasikan pelabuhan      sungai   dan   danau
      diberikan oleh bupati/walikota.

                   Pasal 99

Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan pembangunan dan
pengoperasian     pelabuhan   diatur    dengan   Peraturan
Pemerintah.

                  Paragraf 7
        Tanggung Jawab Ganti Kerugian

                  Pasal 100

(1)   Orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau
      badan usaha yang melaksanakan kegiatan di pelabuhan
      bertanggung jawab untuk mengganti kerugian atas setiap
      kerusakan pada bangunan dan/atau fasilitas pelabuhan
      yang diakibatkan oleh kegiatannya.
(2)   Pemilik dan/atau operator kapal bertanggung jawab
      untuk mengganti kerugian atas setiap kerusakan pada
      bangunan dan/atau fasilitas pelabuhan yang diakibatkan
      oleh kapal.
(3)   Untuk menjamin pelaksanaan tanggung jawab atas ganti
      kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemilik
      dan/atau operator kapal yang melaksanakan kegiatan di
      pelabuhan wajib memberikan jaminan.

                  Pasal 101

(1)   Badan Usaha Pelabuhan bertanggung jawab terhadap
      kerugian pengguna jasa atau pihak ketiga lainnya karena
      kesalahan dalam pengoperasian pelabuhan.

                                           (2) Pengguna . . .
                     - 50 -

(2)   Pengguna jasa pelabuhan atau pihak ketiga sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) berhak mengajukan tuntutan
      ganti kerugian.

                Bagian Ketiga
        Terminal Khusus dan Terminal
          untuk Kepentingan Sendiri

                   Pasal 102

(1)   Untuk menunjang kegiatan tertentu di luar Daerah
      Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan
      pelabuhan dapat dibangun terminal khusus.
(2)   Untuk menunjang kegiatan tertentu di dalam Daerah
      Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan
      pelabuhan dapat dibangun terminal untuk kepentingan
      sendiri.

                   Pasal 103

Terminal khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102
ayat (1):
a. ditetapkan menjadi bagian dari pelabuhan terdekat;
b. wajib memiliki Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah
   Lingkungan Kepentingan tertentu; dan
c. ditempatkan instansi Pemerintah yang melaksanakan
   fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran, serta
   instansi yang melaksanakan fungsi pemerintahan sesuai
   dengan kebutuhan.

                   Pasal 104

(1)   Terminal   khusus    sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 102 ayat (1) hanya dapat dibangun dan
      dioperasikan dalam hal:
      a. pelabuhan      terdekat   tidak   dapat menampung
         kegiatan pokok tersebut; dan
      b. berdasarkan pertimbangan ekonomis dan teknis
         operasional akan lebih efektif dan efisien serta lebih
         menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran
         apabila membangun dan mengoperasikan terminal
         khusus.

                                                (2) Untuk . . .
                    - 51 -

(2)   Untuk membangun dan mengoperasikan terminal khusus
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi
      persyaratan teknis kepelabuhanan, keselamatan dan
      keamanan pelayaran, dan kelestarian lingkungan dengan
      izin dari Menteri.

(3)   Izin pengoperasian terminal khusus diberikan untuk
      jangka waktu maksimal 5 (lima) tahun dan dapat
      diperpanjang selama memenuhi persyaratan berdasarkan
      Undang-Undang ini.


                  Pasal 105

Terminal khusus dilarang digunakan untuk kepentingan
umum kecuali dalam keadaan darurat dengan izin Menteri.

                  Pasal 106

Terminal khusus yang sudah tidak dioperasikan sesuai
dengan izin yang telah diberikan dapat diserahkan kepada
Pemerintah atau dikembalikan seperti keadaan semula atau
diusulkan untuk perubahan status menjadi terminal khusus
untuk menunjang usaha pokok yang lain atau menjadi
pelabuhan.

                  Pasal 107

(1)   Terminal khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
      106 yang diserahkan kepada Pemerintah dapat berubah
      statusnya menjadi      pelabuhan setelah memenuhi
      persyaratan:
      a. sesuai dengan Rencana Induk Pelabuhan Nasional;
      b. layak secara ekonomis dan teknis operasional;
      c. membentuk atau mendirikan Badan Usaha Pelabuhan;
      d. mendapat konsesi dari Otoritas Pelabuhan;
      e. keamanan, ketertiban, dan keselamatan pelayaran;
         dan
      f. kelestarian lingkungan.


                                             (2) Dalam . . .
                     - 52 -

(2)   Dalam hal terminal khusus berubah status menjadi
      pelabuhan, tanah daratan dan/atau perairan, fasilitas
      penahan gelombang, kolam pelabuhan, alur-pelayaran,
      dan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran yang dikuasai dan
      dimiliki oleh pengelola terminal khusus sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) diserahkan dan dikuasai oleh
      negara.

                   Pasal 108

Ketentuan lebih lanjut mengenai terminal khusus dan
perubahan status terminal khusus diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

                Bagian Keempat
                   Penarifan

                  Pasal 109

Setiap pelayanan jasa kepelabuhanan dikenakan tarif sesuai
dengan jasa yang disediakan.

                   Pasal 110

(1)   Tarif yang terkait dengan penggunaan perairan dan/atau
      daratan serta jasa kepelabuhanan yang diselenggarakan
      oleh Otoritas Pelabuhan ditetapkan oleh Otoritas
      Pelabuhan setelah dikonsultasikan dengan Menteri.
(2)   Tarif jasa kepelabuhanan yang diusahakan oleh Badan
      Usaha Pelabuhan ditetapkan oleh Badan Usaha
      Pelabuhan berdasarkan jenis, struktur, dan golongan tarif
      yang ditetapkan oleh Pemerintah dan merupakan
      pendapatan Badan Usaha Pelabuhan.
(3)   Tarif jasa kepelabuhanan bagi pelabuhan yang
      diusahakan secara tidak komersial oleh Pemerintah
      ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dan merupakan
      Penerimaan Negara Bukan Pajak.
(4)   Tarif jasa kepelabuhanan bagi pelabuhan yang
      diusahakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah
      kabupaten/kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah
      dan merupakan penerimaan daerah.


                                             Bagian Kelima . . .
                         - 53 -

                   Bagian Kelima
Pelabuhan yang Terbuka bagi Perdagangan Luar Negeri

                      Pasal 111

    (1)   Kegiatan pelabuhan untuk menunjang kelancaran
          perdagangan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri
          dilakukan oleh pelabuhan utama.
    (2)   Penetapan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
          (1) dilakukan berdasarkan pertimbangan:
          a. pertumbuhan dan pengembangan ekonomi nasional;
          b. kepentingan perdagangan internasional;
          c. kepentingan pengembangan kemampuan angkutan
              laut nasional;
          d. posisi geografis yang terletak pada lintasan pelayaran
              internasional;
          e. Tatanan Kepelabuhanan Nasional;
          f. fasilitas pelabuhan;
          g. keamanan dan kedaulatan negara; dan
          h. kepentingan nasional lainnya.

    (3)   Terminal khusus tertentu dapat digunakan            untuk
          melakukan kegiatan perdagangan luar negeri.

    (4)   Terminal khusus tertentu sebagaimana dimaksud pada
          ayat (2) wajib memenuhi persyaratan:
          a. aspek administrasi;
          b. aspek ekonomi;
          c. aspek keselamatan dan keamanan pelayaran;
          d. aspek teknis fasilitas kepelabuhanan;
          e. fasilitas kantor dan peralatan penunjang bagi instansi
             pemegang      fungsi    keselamatan   dan    keamanan
             pelayaran, instansi bea cukai, imigrasi, dan karantina;
             dan
          f. jenis komoditas khusus.

    (5)   Pelabuhan dan terminal khusus yang terbuka bagi
          perdagangan luar negeri ditetapkan oleh Menteri.



                                                      Pasal 112 . . .
                    - 54 -

                  Pasal 112

(1)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 111 ayat (4) dapat dikenakan
      sanksi administratif berupa denda administratif.
(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
      pengenaan sanksi administratif serta besarnya denda
      administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
      dengan Peraturan Pemerintah.

                  Pasal 113

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelabuhan dan terminal
khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

                Bagian Keenam
           Peran Pemerintah Daerah

                  Pasal 114

Peran pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68
dilakukan untuk memberikan manfaat bagi pemerintah
daerah.

                  Pasal 115

(1)   Upaya untuk memberikan manfaat sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 114 pemerintah daerah
      mempunyai peran, tugas, dan wewenang sebagai berikut:
      a. mendorong pengembangan kawasan perdagangan,
         kawasan industri, dan pusat kegiatan perekonomian
         lainnya;
      b. mengawasi terjaminnya kelestarian lingkungan di
         pelabuhan;
      c. ikut   menjamin    keselamatan    dan    keamanan
         pelabuhan;
      d. menyediakan dan memelihara infrastruktur yang
         menghubungkan      pelabuhan    dengan    kawasan
         perdagangan, kawasan industri, dan pusat kegiatan
         perekonomian lainnya;

                                             e. membina . . .
                     - 55 -

      e. membina masyarakat di sekitar pelabuhan dan
         memfasilitasi masyarakat di wilayahnya untuk dapat
         berperan serta secara positif terselenggaranya kegiatan
         pelabuhan;
      f. menyediakan pusat informasi muatan di tingkat
         wilayah;
      g. memberikan izin mendirikan bangunan di sisi daratan;
         dan
      h. memberikan rekomendasi dalam penetapan lokasi
         pelabuhan dan terminal khusus.
(2)   Dalam hal pemerintah daerah tidak dapat melaksanakan
      atau menyalahgunakan peran, tugas, dan wewenang,
      Pemerintah mengambil alih peran, tugas, dan wewenang
      sesuai   dengan   ketentuan    peraturan   perundang-
      undangan.


             BAB VIII
KESELAMATAN DAN KEAMANAN PELAYARAN


                 Bagian Kesatu
                    Umum

                   Pasal 116

(1)   Keselamatan    dan     keamanan    pelayaran   meliputi
      keselamatan dan keamanan angkutan di perairan,
      pelabuhan, serta perlindungan lingkungan maritim.
(2)   Penyelenggaraan keselamatan dan keamanan pelayaran
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
      Pemerintah.

               Bagian Kedua
Keselamatan dan Keamanan Angkutan Perairan

                   Pasal 117

(1)   Keselamatan dan keamanan angkutan perairan yaitu
      kondisi terpenuhinya persyaratan:
      a. kelaiklautan kapal; dan
      b. kenavigasian.

                                           (2) Kelaiklautan . . .
                    - 56 -

(2)   Kelaiklautan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      huruf a wajib dipenuhi setiap kapal     sesuai dengan
      daerah-pelayarannya yang meliputi:
      a. keselamatan kapal;
      b. pencegahan pencemaran dari kapal;
      c. pengawakan kapal;
      d. garis muat kapal dan pemuatan;
      e. kesejahteraan Awak Kapal dan kesehatan penumpang;
      f. status hukum kapal;
      g. manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran
         dari kapal; dan
      h. manajemen keamanan kapal.
(3)   Pemenuhan setiap persyaratan kelaiklautan kapal
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan
      sertifikat dan surat kapal.

                  Pasal 118

Kenavigasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1)
huruf b terdiri atas:
a. Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran;
b. Telekomunikasi-Pelayaran;
c. hidrografi dan meteorologi;
d. alur dan perlintasan;
e. pengerukan dan reklamasi;
f. pemanduan;
g. penanganan kerangka kapal; dan
h. salvage dan pekerjaan bawah air.

                  Pasal 119

(1)   Untuk menjamin keselamatan dan keamanan angkutan
      perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1)
      Pemerintah    melakukan      perencanaan,    pengadaan,
      pengoperasian, pemeliharaan, dan pengawasan Sarana
      Bantu Navigasi-Pelayaran dan Telekomunikasi-Pelayaran
      sesuai dengan ketentuan internasional, serta menetapkan
      alur-pelayaran dan perairan pandu.
(2)   Untuk menjamin keamanan dan keselamatan Sarana
      Bantu Navigasi-Pelayaran dan Telekomunikasi-Pelayaran,
      Pemerintah    menetapkan        zona   keamanan     dan
      keselamatan di sekitar instalasi bangunan tersebut.


                                           Bagian Ketiga . . .
                  - 57 -


             Bagian Ketiga
  Keselamatan dan Keamanan Pelabuhan

                Pasal 120

Pembangunan dan pengoperasian pelabuhan dilakukan
dengan tetap memperhatikan keselamatan dan keamanan
kapal yang beroperasi di pelabuhan, bongkar muat barang,
dan naik turun penumpang serta keselamatan dan keamanan
pelabuhan.

                Pasal 121

Keselamatan dan keamanan pelabuhan yaitu            kondisi
terpenuhinya    manajemen      keselamatan  dan      sistem
pengamanan fasilitas pelabuhan meliputi:
a. prosedur pengamanan fasilitas pelabuhan;
b. sarana dan prasarana pengamanan pelabuhan;
c. sistem komunikasi; dan
d. personel pengaman.

                Pasal 122

Setiap pengoperasian kapal dan pelabuhan wajib memenuhi
persyaratan keselamatan dan keamanan serta perlindungan
lingkungan maritim.

             Bagian Keempat
     Perlindungan Lingkungan Maritim

                Pasal 123

Perlindungan lingkungan maritim yaitu kondisi terpenuhinya
prosedur dan persyaratan pencegahan dan penanggulangan
pencemaran dari kegiatan:
a. kepelabuhanan;
b. pengoperasian kapal;
c. pengangkutan limbah, bahan berbahaya, dan beracun di
   perairan;
d. pembuangan limbah di perairan; dan
e. penutuhan kapal.



                                                BAB IX . . .
                    - 58 -

                  BAB IX
            KELAIKLAUTAN KAPAL


                Bagian Kesatu
              Keselamatan Kapal

                  Pasal 124

(1)   Setiap pengadaan, pembangunan, dan pengerjaan kapal
      termasuk perlengkapannya serta pengoperasian kapal di
      perairan Indonesia harus memenuhi persyaratan
      keselamatan kapal.
(2)   Persyaratan keselamatan kapal sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) meliputi:
      a. material;
      b. konstruksi;
      c. bangunan;
      d. permesinan dan perlistrikan;
      e. stabilitas;
      f. tata     susunan     serta perlengkapan   termasuk
         perlengkapan alat penolong dan radio; dan
      g. elektronika kapal.

                  Pasal 125

(1)   Sebelum pembangunan dan pengerjaan kapal termasuk
      perlengkapannya, pemilik atau galangan kapal wajib
      membuat perhitungan dan gambar rancang bangun serta
      data kelengkapannya.
(2)   Pembangunan atau pengerjaan kapal yang merupakan
      perombakan harus sesuai dengan gambar rancang
      bangun dan data yang telah mendapat pengesahan dari
      Menteri.
(3)   Pengawasan terhadap pembangunan dan pengerjaan
      perombakan kapal dilakukan oleh Menteri.

                  Pasal 126

(1)   Kapal    yang  dinyatakan   memenuhi      persyaratan
      keselamatan kapal diberi sertifikat keselamatan oleh
      Menteri.


                                           (2) Sertifikat . . .
                     - 59 -

(2)   Sertifikat keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) terdiri atas:
      a. sertifikat keselamatan kapal penumpang;
      b. sertifikat keselamatan kapal barang; dan
      c. sertifikat kelaikan dan pengawakan kapal penangkap
          ikan.
(3)   Keselamatan kapal ditentukan melalui pemeriksaan dan
      pengujian.
(4)   Terhadap kapal yang telah memperoleh sertifikat
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan penilikan
      secara terus-menerus sampai kapal tidak digunakan lagi.
(5)   Pemeriksaan dan pengujian serta penilikan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) wajib dilakukan oleh
      pejabat pemerintah yang diberi wewenang dan memiliki
      kompetensi.

                   Pasal 127

(1)   Sertifikat kapal tidak berlaku apabila:
      a. masa berlaku sudah berakhir;
      b. tidak      melaksanakan       pengukuhan    sertifikat
         (endorsement);
      c. kapal rusak dan dinyatakan tidak memenuhi
         persyaratan keselamatan kapal;
      d. kapal berubah nama;
      e. kapal berganti bendera;
      f. kapal tidak sesuai lagi dengan data teknis dalam
         sertifikat keselamatan kapal;
      g. kapal mengalami perombakan yang mengakibatkan
         perubahan konstruksi kapal, perubahan ukuran
         utama kapal, perubahan fungsi atau jenis kapal;
      h. kapal tenggelam atau hilang; atau
      i. kapal ditutuh (scrapping).
(2)   Sertifikat kapal dibatalkan apabila:
      a. keterangan dalam dokumen kapal yang digunakan
         untuk penerbitan sertifikat ternyata tidak sesuai
         dengan keadaan sebenarnya;
      b. kapal sudah tidak memenuhi persyaratan keselamatan
         kapal; atau
      c. sertifikat diperoleh secara tidak sah.

                                            (3) Ketentuan . . .
                     - 60 -

(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembatalan
      sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
      dengan Peraturan Menteri.

                   Pasal 128

(1)   Nakhoda     dan/atau     Anak      Buah   Kapal    harus
      memberitahukan kepada Pejabat Pemeriksa Keselamatan
      Kapal apabila mengetahui bahwa kondisi kapal atau
      bagian dari kapalnya, dinilai tidak memenuhi persyaratan
      keselamatan kapal.
(2)   Pemilik, operator kapal, dan Nakhoda wajib membantu
      pelaksanaan pemeriksaan dan pengujian.

                   Pasal 129

(1)   Kapal berdasarkan jenis dan ukuran tertentu wajib
      diklasifikasikan pada badan klasifikasi untuk keperluan
      persyaratan keselamatan kapal.
(2)   Badan klasifikasi nasional atau badan klasifikasi asing
      yang diakui dapat ditunjuk melaksanakan pemeriksaan
      dan pengujian terhadap kapal untuk memenuhi
      persyaratan keselamatan kapal.
(3)   Pengakuan   dan   penunjukan   badan     klasifikasi
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
      Menteri.
(4)   Badan klasifikasi yang ditunjuk sebagaimana dimaksud
      pada ayat (2) wajib melaporkan kegiatannya kepada
      Menteri.

                   Pasal 130

(1)   Setiap kapal yang memperoleh sertifikat sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 126 ayat (1) wajib dipelihara
      sehingga tetap memenuhi persyaratan keselamatan
      kapal.
(2)   Pemeliharaan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      dilakukan secara berkala dan sewaktu-waktu.
(3)   Dalam keadaan tertentu Menteri dapat memberikan
      pembebasan sebagian persyaratan yang ditetapkan
      dengan tetap memperhatikan keselamatan kapal.

                                                Pasal 131 . . .
                     - 61 -

                   Pasal 131

(1)   Kapal sesuai dengan jenis, ukuran, dan daerah-
      pelayarannya wajib dilengkapi dengan perlengkapan
      navigasi dan/atau navigasi elektronika kapal yang
      memenuhi persyaratan.
(2)   Kapal sesuai dengan jenis, ukuran, dan daerah-
      pelayarannya wajib dilengkapi dengan perangkat
      komunikasi radio dan kelengkapannya yang memenuhi
      persyaratan.

                   Pasal 132

(1)   Kapal sesuai dengan jenis, ukuran, dan daerah-
      pelayarannya    wajib dilengkapi   dengan peralatan
      meteorologi yang memenuhi persyaratan.
(2)   Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
      menyampaikan informasi cuaca sesuai dengan ketentuan
      peraturan perundang-undangan.
(3)   Nakhoda yang sedang berlayar dan mengetahui adanya
      cuaca buruk yang membahayakan keselamatan berlayar
      wajib menyebarluaskannya kepada pihak lain dan/atau
      instansi Pemerintah terkait.

                   Pasal 133

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengesahan
gambar dan pengawasan pembangunan kapal, serta
pemeriksaan dan sertifikasi keselamatan kapal diatur dengan
Peraturan Menteri.

               Bagian Kedua
      Pencegahan Pencemaran dari Kapal

                   Pasal 134

(1)   Setiap kapal yang beroperasi di perairan Indonesia harus
      memenuhi persyaratan pencegahan dan pengendalian
      pencemaran.
(2)   Pencegahan dan pengendalian pencemaran ditentukan
      melalui pemeriksaan dan pengujian.


                                                (3) Kapal . . .
                    - 62 -

(3)   Kapal     yang    dinyatakan  memenuhi      persyaratan
      pencegahan dan pengendalian pencemaran diberikan
      sertifikat pencegahan dan pengendalian pencemaran oleh
      Menteri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencegahan pencemaran
    dari kapal diatur dengan Peraturan Menteri.


                Bagian Ketiga
              Pengawakan Kapal

                  Pasal 135

Setiap kapal wajib diawaki oleh Awak Kapal yang memenuhi
persyaratan kualifikasi dan kompetensi sesuai dengan
ketentuan nasional dan internasional.

                  Pasal 136

(1)   Nakhoda dan Anak Buah Kapal untuk kapal berbendera
      Indonesia harus warga negara Indonesia.
(2)   Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) dapat diberikan izin sesuai dengan
      ketentuan peraturan perundang-undangan.

                  Pasal 137

(1)   Nakhoda untuk kapal motor ukuran GT 35 (tiga puluh
      lima Gross Tonnage) atau lebih    memiliki wewenang
      penegakan hukum serta bertanggung jawab atas
      keselamatan, keamanan, dan ketertiban kapal, pelayar,
      dan barang muatan.
(2)   Nakhoda untuk kapal motor ukuran kurang dari GT 35
      (tiga puluh lima Gross Tonnage) dan untuk kapal
      tradisional ukuran kurang dari GT 105 (seratus lima
      Gross Tonnage) dengan konstruksi sederhana yang
      berlayar di perairan terbatas bertanggung jawab atas
      keselamatan, keamanan dan ketertiban kapal, pelayar,
      dan barang muatan.
(3)   Nakhoda tidak bertanggung jawab terhadap keabsahan
      atau kebenaran materiil dokumen muatan kapal.


                                            (4) Nakhoda . . .
                     - 63 -

(4)   Nakhoda wajib menolak dan memberitahukan kepada
      instansi yang berwenang apabila mengetahui muatan
      yang diangkut tidak sesuai dengan dokumen muatan.
(5)   Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      Nakhoda untuk kapal motor ukuran GT 35 (tiga puluh
      lima Gross Tonnage) atau lebih       diberi tugas dan
      kewenangan khusus, yaitu:
      a. membuat catatan setiap kelahiran;
      b. membuat catatan setiap kematian; dan
      c. menyaksikan dan mencatat surat wasiat.
(6)   Nakhoda wajib memenuhi persyaratan pendidikan,
      pelatihan, kemampuan, dan  keterampilan  serta
      kesehatan.

                   Pasal 138

(1)   Nakhoda wajib berada di kapal selama berlayar.
(2)   Sebelum kapal berlayar, Nakhoda wajib memastikan
      bahwa     kapalnya   telah    memenuhi      persyaratan
      kelaiklautan dan melaporkan hal tersebut kepada
      Syahbandar.
(3)   Nakhoda berhak menolak untuk melayarkan kapalnya
      apabila mengetahui kapal tersebut tidak memenuhi
      persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4)   Pemilik atau operator kapal wajib memberikan
      keleluasaan kepada Nakhoda untuk melaksanakan
      kewajibannya sesuai dengan peraturan perundang-
      undangan.

                  Pasal 139

Untuk tindakan penyelamatan, Nakhoda berhak menyimpang
dari rute yang telah ditetapkan dan mengambil tindakan
lainnya yang diperlukan.

                  Pasal 140

(1)   Dalam hal Nakhoda untuk kapal motor ukuran GT 35
      (tiga puluh lima Gross Tonnage) atau lebih yang bertugas
      di kapal sedang berlayar untuk sementara atau untuk
      seterusnya tidak mampu melaksanakan tugas, mualim I
      menggantikannya dan pada pelabuhan berikut yang
      disinggahinya diadakan penggantian Nakhoda.

                                              (2) Apabila . . .
                    - 64 -

(2)   Apabila mualim I sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      tidak mampu menggantikan Nakhoda sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1), mualim lainnya yang tertinggi
      dalam jabatan sesuai dengan sijil menggantikan dan pada
      pelabuhan    berikut   yang    disinggahinya   diadakan
      penggantian Nakhoda.
(3)   Dalam hal penggantian Nakhoda sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) dan ayat (2) disebabkan halangan
      sementara, penggantian tidak mengalihkan kewenangan
      dan tanggung jawab Nakhoda kepada pengganti
      sementara.
(4)   Apabila seluruh mualim dalam kapal berhalangan
      menggantikan Nakhoda sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1), pengganti Nakhoda ditunjuk oleh dewan kapal.
(5)   Dalam hal penggantian Nakhoda sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) disebabkan halangan tetap, Nakhoda
      pengganti sementara mempunyai kewenangan dan
      tanggung jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 137
      ayat (1) dan ayat (3).

                  Pasal 141

(1)   Nakhoda untuk kapal motor ukuran GT 35 (tiga puluh
      lima Gross Tonnage) atau lebih dan Nakhoda untuk kapal
      penumpang, wajib menyelenggarakan buku harian kapal.

(2)   Nakhoda untuk kapal motor ukuran GT 35 (tiga puluh
      lima Gross Tonnage) atau lebih wajib melaporkan buku
      harian kapal kepada pejabat pemerintah yang berwenang
      dan/atau atas permintaan pihak yang berwenang untuk
      memperlihatkan    buku     harian    kapal   dan/atau
      memberikan salinannya.

(3) Buku harian kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
    dapat dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan.

                  Pasal 142

(1)   Anak Buah Kapal wajib menaati perintah Nakhoda secara
      tepat dan cermat dan dilarang meninggalkan kapal tanpa
      izin Nakhoda.


                                               (2) Dalam . . .
                    - 65 -

(2)   Dalam hal Anak Buah Kapal mengetahui bahwa perintah
      yang diterimanya tidak sesuai dengan ketentuan yang
      berlaku, maka yang bersangkutan berhak mengadukan
      kepada pejabat pemerintah yang berwenang.

                 Pasal 143

(1)   Nakhoda berwenang memberikan tindakan disiplin atas
      pelanggaran yang dilakukan setiap Anak Buah Kapal
      yang:
      a. meninggalkan kapal tanpa izin Nakhoda;
      b. tidak kembali ke kapal pada waktunya;
      c. tidak melaksanakan tugas dengan baik;
      d. menolak perintah penugasan;
      e. berperilaku tidak tertib; dan/atau
      f. berperilaku tidak layak.
(2)   Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
      undangan.

                 Pasal 144

(1)   Selama perjalanan kapal, Nakhoda dapat mengambil
      tindakan terhadap setiap orang yang secara tidak sah
      berada di atas kapal.
(2)   Nakhoda mengambil tindakan apabila orang dan/atau
      yang ada di dalam kapal akan membahayakan
      keselamatan kapal dan Awak Kapal.
(3)   Tindakan sebagaimana dimaksud pada         ayat (1)
      dilaksanakan sesuai dengan ketentuan       peraturan
      perundang-undangan.

                 Pasal 145

Setiap orang dilarang mempekerjakan seseorang di kapal
dalam jabatan apa pun tanpa disijil dan tanpa memiliki
kompetensi dan keterampilan serta dokumen pelaut yang
dipersyaratkan.

                  Pasal 146

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyijilan, pengawakan
kapal, dan dokumen pelaut diatur dengan Peraturan Menteri.

                                        Bagian Keempat . . .
                    - 66 -

              Bagian Keempat
       Garis Muat Kapal dan Pemuatan

                  Pasal 147

(1)   Setiap kapal yang berlayar harus     ditetapkan   garis
      muatnya sesuai dengan persyaratan.

(2)   Penetapan garis muat kapal dinyatakan dalam Sertifikat
      Garis Muat.

(3)   Pada setiap kapal sesuai dengan jenis dan ukurannya
      harus dipasang Marka Garis Muat secara tetap sesuai
      dengan daerah-pelayarannya.

                  Pasal 148

(1)   Setiap kapal sesuai dengan jenis dan ukurannya harus
      dilengkapi   dengan     informasi   stabilitas untuk
      memungkinkan Nakhoda menentukan semua keadaan
      pemuatan yang layak pada setiap kondisi kapal.

(2)   Tata cara penanganan, penempatan, dan pemadatan
      muatan barang serta pengaturan balas harus memenuhi
      persyaratan keselamatan kapal.

                  Pasal 149

(1)   Setiap peti kemas yang akan dipergunakan sebagai
      bagian dari alat angkut wajib memenuhi persyaratan
      kelaikan peti kemas.

(2)   Tata cara penanganan, penempatan, dan pemadatan peti
      kemas serta pengaturan balas harus memenuhi
      persyaratan keselamatan kapal.


                  Pasal 150

Ketentuan lebih lanjut mengenai garis muat dan pemuatan
diatur dengan Peraturan Menteri.



                                           Bagian Kelima . . .
                    - 67 -

                Bagian Kelima
          Kesejahteraan Awak Kapal
          dan Kesehatan Penumpang

                  Pasal 151

(1)   Setiap Awak Kapal berhak mendapatkan kesejahteraan
      yang meliputi:
      a. gaji;
      b. jam kerja dan jam istirahat;
      c. jaminan pemberangkatan ke tempat tujuan dan
         pemulangan ke tempat asal;
      d. kompensasi apabila kapal tidak dapat beroperasi
         karena mengalami kecelakaan;
      e. kesempatan mengembangkan karier;
      f. pemberian akomodasi, fasilitas rekreasi, makanan
         atau minuman; dan
      g. pemeliharaan dan perawatan kesehatan serta
         pemberian asuransi kecelakaan kerja.

(2)   Kesejahteraan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      dinyatakan dalam perjanjian kerja antara Awak Kapal
      dengan pemilik atau operator kapal sesuai dengan
      peraturan perundang-undangan.

                  Pasal 152

(1)   Setiap kapal yang mengangkut penumpang            wajib
      menyediakan fasilitas kesehatan bagi penumpang.
(2)   Fasilitas kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      meliputi:
      a. ruang pengobatan atau perawatan;
      b. peralatan medis dan obat-obatan; dan
      c. tenaga medis.

                  Pasal 153

Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian kerja dan
persyaratan fasilitas kesehatan penumpang diatur dengan
Peraturan Pemerintah.


                                          Bagian Keenam . . .
                    - 68 -

                Bagian Keenam
             Status Hukum Kapal

                  Pasal 154

Status hukum kapal dapat ditentukan setelah melalui proses:
a. pengukuran kapal;
b. pendaftaran kapal; dan
c. penetapan kebangsaan kapal.

                  Pasal 155

(1)   Setiap kapal sebelum dioperasikan wajib dilakukan
      pengukuran oleh pejabat pemerintah yang diberi
      wewenang oleh Menteri.
(2)   Pengukuran kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      dapat dilakukan menurut 3 (tiga) metode, yaitu:
      a. pengukuran dalam negeri untuk kapal yang
         berukuran panjang kurang dari 24 (dua puluh empat)
         meter;
      b. pengukuran     internasional   untuk    kapal yang
         berukuran panjang 24 (dua puluh empat) meter atau
         lebih; dan
      c. pengukuran khusus untuk kapal yang akan melalui
         terusan tertentu.
(3)   Berdasarkan pengukuran sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) diterbitkan Surat Ukur untuk kapal dengan
      ukuran tonase kotor sekurang-kurangnya GT 7 (tujuh
      Gross Tonnage).
(4)   Surat Ukur sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
      diterbitkan oleh Menteri dan dapat dilimpahkan kepada
      pejabat yang ditunjuk.


                  Pasal 156

(1)   Pada kapal yang telah diukur dan mendapat Surat Ukur
      wajib dipasang Tanda Selar.
(2)   Tanda Selar harus tetap terpasang di kapal dengan baik
      dan mudah dibaca.


                                              Pasal 157 . . .
                     - 69 -

                   Pasal 157

(1)   Pemilik, operator kapal, atau Nakhoda harus segera
      melaporkan secara tertulis kepada Menteri apabila terjadi
      perombakan kapal yang menyebabkan perubahan data
      yang ada dalam Surat Ukur.
(2)   Apabila terjadi perubahan data sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1), pengukuran ulang kapal harus segera
      dilakukan.

                   Pasal 158

(1)   Kapal yang telah diukur dan mendapat Surat Ukur dapat
      didaftarkan di Indonesia oleh pemilik kepada Pejabat
      Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal yang
      ditetapkan oleh Menteri.
(2)   Kapal yang dapat didaftar di Indonesia yaitu:
      a. kapal dengan ukuran tonase kotor sekurang-
         kurangnya GT 7 (tujuh Gross Tonnage);
      b. kapal milik warga negara Indonesia atau badan
         hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia
         dan berkedudukan di Indonesia; dan
      c. kapal milik badan hukum Indonesia yang merupakan
         usaha patungan yang mayoritas sahamnya dimiliki
         oleh warga negara Indonesia.
(3)   Pendaftaran kapal dilakukan dengan pembuatan akta
      pendaftaran dan dicatat dalam daftar kapal Indonesia.
(4)   Sebagai bukti kapal telah terdaftar, kepada pemilik
      diberikan grosse akta pendaftaran kapal yang berfungsi
      pula sebagai bukti hak milik atas kapal yang telah
      didaftar.
(5)   Pada kapal yang telah didaftar wajib dipasang Tanda
      Pendaftaran.

                   Pasal 159

(1)   Pendaftaran kapal dilakukan di tempat yang ditetapkan
      oleh Menteri.
(2)   Pemilik kapal bebas memilih salah satu tempat
      pendaftaran kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      untuk mendaftarkan kapalnya.

                                                Pasal 160 . . .
                    - 70 -


                  Pasal 160

(1)   Kapal dilarang didaftarkan apabila pada saat yang sama
      kapal itu masih terdaftar di tempat pendaftaran lain.
(2)   Kapal asing yang akan didaftarkan di Indonesia harus
      dilengkapi dengan surat keterangan penghapusan dari
      negara bendera asal kapal.

                  Pasal 161

(1)   Grosse akta pendaftaran kapal yang rusak, hilang, atau
      musnah dapat diberikan grosse akta baru sebagai
      pengganti.
(2)   Grosse akta pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) hanya dapat diberikan oleh pejabat pendaftar dan
      pencatat balik nama kapal pada tempat kapal didaftarkan
      berdasarkan penetapan pengadilan negeri.

                  Pasal 162

(1)   Pengalihan hak milik atas kapal wajib dilakukan dengan
      cara balik nama di tempat kapal tersebut semula
      didaftarkan.
(2)   Balik nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      dilaksanakan dengan membuat akta balik nama dan
      dicatat dalam daftar induk kapal yang bersangkutan.
(3)   Sebagai bukti telah terjadi pengalihan hak milik atas
      kapal kepada pemilik yang baru diberikan grosse akta
      balik nama kapal.

                  Pasal 163

(1)   Kapal yang didaftar di Indonesia dan berlayar di laut
      diberikan Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia oleh
      Menteri.
(2)   Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk :
      a. Surat Laut untuk kapal berukuran GT 175 (seratus
         tujuh puluh lima Gross Tonnage) atau lebih;


                                                  b. Pas . . .
                    - 71 -

      b. Pas Besar untuk kapal berukuran GT 7 (tujuh Gross
         Tonnage) sampai dengan ukuran kurang dari GT 175
         (seratus tujuh puluh lima Gross Tonnage); atau
      c. Pas Kecil untuk kapal berukuran kurang dari GT 7
         (tujuh Gross Tonnage).
(3)   Kapal yang hanya berlayar di perairan sungai dan danau
      diberikan pas sungai dan danau.

                  Pasal 164

Kapal negara dapat diberi Surat Tanda Kebangsaan Kapal
Indonesia.

                  Pasal 165

(1)   Kapal berkebangsaan Indonesia wajib mengibarkan
      bendera Indonesia sebagai tanda kebangsaan kapal.
(2)   Kapal yang bukan berkebangsaan Indonesia dilarang
      mengibarkan    bendera Indonesia  sebagai   tanda
      kebangsaannya.

                  Pasal 166

(1)   Setiap kapal yang berlayar di perairan Indonesia harus
      menunjukkan identitas kapalnya secara jelas.
(2)   Setiap kapal asing yang memasuki pelabuhan, selama
      berada di pelabuhan dan akan bertolak dari pelabuhan di
      Indonesia, wajib mengibarkan bendera Indonesia selain
      bendera kebangsaannya.

                  Pasal 167

Kapal berkebangsaan Indonesia dilarang          mengibarkan
bendera negara lain sebagai tanda kebangsaan.

                  Pasal 168

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengukuran dan
penerbitan surat ukur, tata cara, persyaratan, dan
dokumentasi pendaftaran kapal, serta tata cara dan
persyaratan penerbitan Surat Tanda Kebangsaan Kapal diatur
dengan Peraturan Menteri.

                                          Bagian Ketujuh . . .
                        - 72 -

                 Bagian Ketujuh
Manajemen Keselamatan dan Pencegahan Pencemaran
                   dari Kapal

                      Pasal 169

   (1)   Pemilik atau operator kapal yang mengoperasikan kapal
         untuk jenis dan ukuran tertentu harus memenuhi
         persyaratan manajemen keselamatan dan pencegahan
         pencemaran dari kapal.
   (2)   Kapal yang telah memenuhi persyaratan manajemen
         keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal
         sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi sertifikat.
   (3)   Sertifikat manajemen keselamatan dan pencegahan
         pencemaran dari kapal sebagaimana dimaksud pada ayat
         (2)    berupa  Dokumen        Penyesuaian  Manajemen
         Keselamatan (Document of Compliance/DOC) untuk
         perusahaan dan Sertifikat Manajemen Keselamatan
         (Safety Management Certificate/SMC) untuk kapal.
   (4)   Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
         diterbitkan setelah dilakukan audit eksternal oleh pejabat
         pemerintah yang memiliki kompetensi atau lembaga yang
         diberikan kewenangan oleh Pemerintah.
   (5)   Sertifikat Manajemen Keselamatan dan Pencegahan
         Pencemaran diterbitkan oleh pejabat yang ditunjuk oleh
         Menteri.
   (6)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara audit dan
         penerbitan sertifikat manajemen keselamatan dan
         pencegahan pencemaran dari kapal diatur dengan
         Peraturan Menteri.

                Bagian Kedelapan
            Manajemen Keamanan Kapal

                      Pasal 170

   (1)   Pemilik atau operator kapal yang mengoperasikan kapal
         untuk ukuran tertentu harus memenuhi persyaratan
         manajemen keamanan kapal.
   (2)   Kapal yang telah memenuhi persyaratan manajemen
         keamanan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
         diberi sertifikat.


                                                 (3) Sertifikat . . .
                     - 73 -


(3)   Sertifikat Manajemen Keamanan Kapal sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) berupa Sertifikat Keamanan
      Kapal     Internasional (International Ship Security
      Certificate/ISSC).
(4)   Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
      diterbitkan setelah dilakukan audit eksternal oleh pejabat
      pemerintah yang memiliki kompetensi atau lembaga yang
      diberikan kewenangan oleh Pemerintah.
(5)   Sertifikat Manajemen Keamanan Kapal diterbitkan oleh
      pejabat berwenang yang ditunjuk oleh Menteri.
(6)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara audit dan
      penerbitan sertifikat manajemen keamanan kapal diatur
      dengan Peraturan Menteri.

               Bagian Kesembilan
              Sanksi Administratif

                   Pasal 171

(1)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 125 ayat (1), Pasal 129 ayat (1)
      atau ayat (4), Pasal 130 ayat (1), Pasal 132 ayat (1) atau
      ayat (2), Pasal 137 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 138 ayat
      (1) atau ayat (2), Pasal 141 ayat (1) atau ayat (2), Pasal
      152 ayat (1), Pasal 156 ayat (1), Pasal 160 ayat (1), Pasal
      162 ayat (1), atau Pasal 165 ayat (1) dikenakan sanksi
      administratif, berupa:
      a. peringatan;
      b. denda administratif;
      c. pembekuan izin atau pembekuan sertifikat;
      d. pencabutan izin atau pencabutan sertifikat;
      e. tidak diberikan sertifikat; atau
      f. tidak diberikan Surat Persetujuan Berlayar.
(2)   Pejabat   pemerintah   yang     melanggar    ketentuan
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (5)
      dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan
      peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
      pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
      Pemerintah.

                                                     BAB X . . .
                    - 74 -

                  BAB X
               KENAVIGASIAN


               Bagian Kesatu
       Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran

                  Pasal 172

(1)   Pemerintah    bertanggung   jawab     untuk menjaga
      keselamatan    dan    keamanan    pelayaran  dengan
      menyelenggarakan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran
      sesuai dengan perkembangan teknologi.
(2)   Selain untuk menjaga keselamatan dan keamanan
      pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Sarana
      Bantu Navigasi-Pelayaran dapat pula dipergunakan
      untuk kepentingan tertentu lainnya.
(3)   Penyelenggaraan   Sarana  Bantu  Navigasi-Pelayaran
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
      persyaratan dan standar sesuai dengan ketentuan
      peraturan perundang-undangan.
(4)   Dalam keadaan tertentu, pengadaan Sarana Bantu
      Navigasi-Pelayaran sebagai bagian dari penyelenggaraan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan
      oleh badan usaha.
(5)   Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran yang diadakan oleh
      badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
      diawasi oleh Pemerintah.
(6)   Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib:
      a. memelihara dan merawat Sarana Bantu Navigasi-
         Pelayaran;
      b. menjamin keandalan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran
         dengan standar yang telah ditetapkan; dan
      c. melaporkan kepada Menteri tentang pengoperasian
         Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran.

                  Pasal 173

Pengoperasian Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dilaksanakan
oleh petugas yang memenuhi persyaratan kesehatan,
pendidikan, dan keterampilan yang dibuktikan dengan
sertifikat.

                                               Pasal 174 . . .
                     - 75 -

                   Pasal 174

Setiap orang dilarang merusak atau melakukan tindakan apa
pun yang mengakibatkan tidak berfungsinya Sarana Bantu
Navigasi-Pelayaran serta fasilitas alur-pelayaran di laut,
sungai, dan danau.

                   Pasal 175

(1)   Pemilik dan/atau operator kapal bertanggung jawab
      pada setiap kerusakan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran
      dan hambatan di laut, sungai, dan danau yang
      disebabkan oleh pengoperasian kapalnya.
(2)   Tanggung jawab Pemilik dan/atau operator kapal
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa kewajiban
      untuk segera memperbaiki atau mengganti sehingga
      fasilitas tersebut dapat berfungsi kembali seperti semula.
(3)   Perbaikan dan penggantian sebagaimana dimaksud pada
      ayat (2) dilakukan dalam batas waktu 60 (enam puluh) hari
      kalender sejak kerusakan terjadi.

                   Pasal 176

(1)   Kapal yang berlayar di perairan Indonesia dikenai biaya
      pemanfaatan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran yang
      merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak.
(2)   Biaya pemanfaatan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran
      tidak dikenakan bagi kapal negara dan kapal tertentu.

                   Pasal 177

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Sarana
Bantu    Navigasi-Pelayaran diatur  dengan    Peraturan
Pemerintah.

                 Bagian Kedua
           Telekomunikasi-Pelayaran

                   Pasal 178

(1)   Pemerintah wajib menjaga keselamatan dan keamanan
      pelayaran dengan menyelenggarakan Telekomunikasi-
      Pelayaran sesuai dengan perkembangan informasi dan
      teknologi.

                                       (2) Penyelenggaraan . . .
                     - 76 -

(2)   Penyelenggaraan    sistem   Telekomunikasi-Pelayaran
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
      persyaratan dan standar sesuai dengan ketentuan
      peraturan perundang-undangan.
(3)   Pengadaan Telekomunikasi-Pelayaran sebagai bagian dari
      penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      dapat dilaksanakan oleh badan usaha.
(4)   Telekomunikasi-Pelayaran yang diadakan oleh badan
      usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diawasi oleh
      Pemerintah.
(5)   Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib:
      a. memelihara dan merawat Telekomunikasi-Pelayaran;
      b. menjamin     keandalan      Telekomunikasi-Pelayaran
         dengan standar yang telah ditetapkan; dan
      c. melaporkan kepada Menteri tentang pengoperasian
         Telekomunikasi-Pelayaran.

                   Pasal 179

Pengoperasian Telekomunikasi-Pelayaran dilaksanakan oleh
petugas yang memenuhi persyaratan kesehatan, pendidikan,
dan keterampilan yang dibuktikan dengan sertifikat.

                   Pasal 180

Setiap orang dilarang merusak atau melakukan tindakan apa
pun yang mengakibatkan tidak berfungsinya Telekomunikasi-
Pelayaran serta fasilitas alur-pelayaran di laut, sungai, dan
danau.

                   Pasal 181

(1)   Pemilik dan/atau operator kapal bertanggung jawab
      pada setiap kerusakan Telekomunikasi-Pelayaran dan
      hambatan di laut, sungai dan danau yang disebabkan
      oleh pengoperasian kapalnya.
(2)   Tanggung jawab pemilik dan/atau operator kapal
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa kewajiban
      untuk segera memperbaiki atau mengganti sehingga
      fasilitas tersebut dapat berfungsi kembali seperti semula.


                                               (3) Perbaikan . .
                     - 77 -

(3)   Perbaikan dan penggantian sebagaimana dimaksud pada
      ayat (2) dilakukan dalam batas waktu 60 (enam puluh) hari
      kalender sejak kerusakan terjadi.

                   Pasal 182

(1)   Kapal yang berlayar di perairan Indonesia dikenai biaya
      pemanfaatan Telekomunikasi-Pelayaran yang merupakan
      Penerimaan Negara Bukan Pajak.
(2)   Biaya pemanfaatan Telekomunikasi-Pelayaran dikenakan
      bagi seluruh kapal.

                   Pasal 183

(1)   Pemerintah wajib memberikan pelayanan komunikasi
      marabahaya, komunikasi segera, dan keselamatan serta
      siaran tanda waktu standar.
(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan komunikasi
      marabahaya, komunikasi segera, dan keselamatan serta
      siaran tanda waktu standar sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                   Pasal 184

Ketentuan    lebih    lanjut     tentang    penyelenggaraan
Telekomunikasi-Pelayaran     diatur     dengan    Peraturan
Pemerintah.

                 Bagian Ketiga
           Hidrografi dan Meteorologi

                   Pasal 185

Pemerintah melaksanakan survei dan pemetaan hidrografi
untuk pemutakhiran data pada buku petunjuk-pelayaran,
peta laut, dan peta alur-pelayaran sungai dan danau.

                   Pasal 186

(1)   Pemerintah wajib memberikan pelayanan meteorologi
      meliputi antara lain:
      a. pemberian informasi mengenai keadaan cuaca dan
         laut serta prakiraannya;


                                               b. kalibrasi . . .
                     - 78 -

      b. kalibrasi dan sertifikasi perlengkapan pengamatan
         cuaca di kapal; dan
      c. bimbingan teknis pengamatan cuaca di laut kepada
         Awak Kapal tertentu untuk menunjang masukan data
         meteorologi.
(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan meteorologi
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
      peraturan pemerintah.

               Bagian Keempat
             Alur dan Perlintasan

                  Pasal 187

(1)   Alur dan perlintasan terdiri atas:
      a. alur-pelayaran di laut; dan
      b. alur-pelayaran sungai dan danau.
(2)   Alur-pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      dicantumkan dalam peta laut dan buku petunjuk-
      pelayaran serta diumumkan oleh instansi yang
      berwenang.
(3)   Pada alur-pelayaran sungai dan danau ditetapkan kriteria
      klasifikasi alur.
(4)   Penetapan kriteria klasifikasi alur-pelayaran sungai dan
      danau dilakukan dengan memperhatikan saran dan
      pertimbangan teknis dari Menteri yang terkait.

                   Pasal 188

(1)   Penyelenggaraan    alur-pelayaran     dilaksanakan   oleh
      Pemerintah.
(2)   Badan usaha dapat diikutsertakan         dalam   sebagian
      penyelenggaraan alur-pelayaran.
(3)   Untuk penyelenggaraan alur-pelayaran sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) Pemerintah wajib:
      a. menetapkan alur-pelayaran;
      b. menetapkan sistem rute;
      c. menetapkan tata cara berlalu lintas; dan
      d. menetapkan daerah labuh kapal sesuai dengan
         kepentingannya.

                                                 Pasal 189 . . .
                    - 79 -

                  Pasal 189

(1)   Untuk membangun dan memelihara alur-pelayaran dan
      kepentingan lainnya dilakukan pekerjaan pengerukan
      dengan memenuhi persyaratan teknis.
(2)   Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      meliputi:
      a. keselamatan berlayar;
      b. kelestarian lingkungan;
      c. tata ruang perairan; dan
      d. tata pengairan untuk pekerjaan di sungai dan danau.

                  Pasal 190

(1)   Untuk kepentingan keselamatan dan kelancaran berlayar
      pada perairan tertentu, Pemerintah menetapkan sistem
      rute yang meliputi:
      a. skema pemisah lalu lintas di laut;
      b. rute dua arah;
      c. garis haluan yang dianjurkan;
      d. rute air dalam;
      e. daerah yang harus dihindari;
      f. daerah lalu lintas pedalaman; dan
      g. daerah kewaspadaan.
(2) Penetapan sistem rute sebagaimana dimaksud pada ayat
    (1) didasarkan pada:
    a. kondisi alur-pelayaran; dan
    b. pertimbangan kepadatan lalu lintas.
(3)   Sistem rute sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
      dicantumkan dalam peta laut dan buku petunjuk-
      pelayaran dan diumumkan oleh instansi yang
      berwenang.

                  Pasal 191

Tata cara berlalu lintas di perairan dilakukan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

                  Pasal 192

Setiap alur-pelayaran wajib dilengkapi dengan Sarana Bantu
Navigasi-Pelayaran dan Telekomunikasi-Pelayaran.


                                               Pasal 193 . . .
                    - 80 -

                  Pasal 193

(1)   Selama berlayar Nakhoda wajib mematuhi ketentuan
      yang berkaitan dengan:
      a. tata cara berlalu lintas;
      b. alur-pelayaran;
      c. sistem rute;
      d. daerah-pelayaran lalu lintas kapal; dan
      e. Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran.
(2)   Nakhoda yang      berlayar di perairan Indonesia pada
      wilayah tertentu wajib melaporkan semua informasi
      melalui Stasiun Radio Pantai (SROP) terdekat.

                  Pasal 194

(1)   Pemerintah menetapkan Alur Laut Kepulauan Indonesia
      dan tata cara penggunaannya untuk perlintasan yang
      sifatnya terus menerus, langsung, dan secepatnya bagi
      kapal asing yang melalui perairan Indonesia.
(2)   Penetapan Alur Laut Kepulauan Indonesia sebagaimana
      dimaksud      pada     ayat    (1)  dilakukan    dengan
      memperhatikan:
      a. ketahanan nasional;
      b. keselamatan berlayar;
      c. eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam;
      d. jaringan kabel dan pipa dasar laut;
      e. konservasi sumber daya alam dan lingkungan;
      f. rute yang biasanya digunakan untuk pelayaran
         internasional;
      g. tata ruang laut; dan
      h. rekomendasi organisasi internasional yang berwenang.
(3)   Semua kapal asing yang menggunakan Alur Laut
      Kepulauan Indonesia dalam pelayarannya tidak boleh
      menyimpang kecuali dalam keadaan darurat.
(4)   Pemerintah mengawasi lalu lintas kapal asing yang
      melintasi Alur Laut Kepulauan Indonesia.
(5)   Pemerintah menetapkan lokasi Sarana Bantu Navigasi-
      Pelayaran    dan     Telekomunikasi-Pelayaran  untuk
      melakukan pemantauan terhadap lalu lintas kapal asing
      yang melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia.



                                                Pasal 195 . . .
                    - 81 -

                  Pasal 195

Untuk kepentingan      keselamatan   berlayar   di   perairan
Indonesia:
a. Pemerintah harus menetapkan dan mengumumkan zona
   keamanan dan zona keselamatan pada setiap lokasi
   kegiatan yang dapat mengganggu keselamatan berlayar;
b. setiap membangun, memindahkan, dan/atau membongkar
   bangunan atau instalasi harus memenuhi persyaratan
   keselamatan dan mendapatkan izin dari Pemerintah;
c. setiap bangunan atau instalasi dimaksud dalam huruf b,
   yang sudah tidak digunakan wajib dibongkar oleh pemilik
   bangunan atau instalasi;
d. pembongkaran sebagaimana dimaksud dalam huruf c
   dilaksanakan dengan ketentuan yang berlaku dan
   dilaporkan kepada Pemerintah untuk diumumkan; dan
e. pemilik atau operator yang akan mendirikan bangunan
   atau instalasi sebagaimana dimaksud dalam huruf c wajib
   memberikan jaminan.

                  Pasal 196

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan
penetapan alur dan perlintasan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

                Bagian Kelima
          Pengerukan dan Reklamasi

                  Pasal 197

(1)   Untuk    kepentingan   keselamatan  dan   keamanan
      pelayaran, desain dan pekerjaan pengerukan alur-
      pelayaran dan kolam pelabuhan, serta reklamasi wajib
      mendapat izin Pemerintah.
(2)   Pekerjaan pengerukan alur-pelayaran dan kolam
      pelabuhan serta reklamasi dilakukan oleh perusahaan
      yang mempunyai kemampuan dan kompetensi dan
      dibuktikan dengan sertifikat yang diterbitkan oleh
      instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan
      peraturan perundang-undangan.


                                         (3) Ketentuan . . .
                    - 82 -

(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai desain dan pekerjaan
      pengerukan alur-pelayaran, kolam pelabuhan, dan
      reklamasi serta sertifikasi pelaksana pekerjaan diatur
      dengan Peraturan Menteri.

                Bagian Keenam
                 Pemanduan

                   Pasal 198

(1)   Untuk kepentingan keselamatan dan keamanan berlayar,
      serta kelancaran berlalu lintas di perairan dan
      pelabuhan, Pemerintah menetapkan perairan tertentu
      sebagai perairan wajib pandu dan perairan pandu luar
      biasa.
(2)   Setiap kapal yang berlayar di perairan wajib pandu dan
      perairan pandu luar biasa menggunakan              jasa
      pemanduan.
(3)   Penyelenggaraan pemanduan dilakukan oleh Otoritas
      Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan dan dapat
      dilimpahkan kepada Badan Usaha Pelabuhan yang
      memenuhi persyaratan.
(4)   Penyelenggaraan pemanduan sebagaimana dimaksud
      pada ayat (3) dipungut biaya.
(5)   Dalam hal Pemerintah belum menyediakan jasa pandu di
      perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa,
      pengelolaan dan pengoperasian pemanduan dapat
      dilimpahkan kepada pengelola terminal khusus yang
      memenuhi persyaratan dan memperoleh izin dari
      Pemerintah.
(6)   Biaya pemanduan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
      dibebaskan bagi:
      a. kapal perang; dan
      b. kapal   negara    yang   digunakan    untuk     tugas
         pemerintahan.

                  Pasal 199

(1)   Petugas Pandu wajib memenuhi persyaratan kesehatan,
      keterampilan, serta pendidikan dan pelatihan yang
      dibuktikan dengan sertifikat.


                                              (2) Petugas . . .
                    - 83 -

(2)   Petugas Pandu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      wajib melaksanakan tugasnya berdasarkan pada standar
      keselamatan dan keamanan pelayaran.
(3)   Pemanduan terhadap kapal tidak mengurangi wewenang
      dan tanggung jawab Nakhoda.


                  Pasal 200

Pengelola terminal khusus atau Badan Usaha Pelabuhan yang
mengelola dan mengoperasikan pemanduan, wajib membayar
persentase dari pendapatan yang berasal dari jasa pemanduan
kepada Pemerintah sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak.

                  Pasal 201

Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan perairan pandu,
persyaratan   dan    kualifikasi petugas   pandu,    serta
penyelenggaraan pemanduan diatur dengan Peraturan
Menteri.

               Bagian Ketujuh
               Kerangka Kapal

                  Pasal 202

(1)   Pemilik kapal dan/atau Nakhoda wajib melaporkan
      kerangka kapalnya yang berada di perairan Indonesia
      kepada instansi yang berwenang.
(2)   Kerangka kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      yang posisinya mengganggu keselamatan berlayar, harus
      diberi Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran sebagai tanda
      dan diumumkan oleh instansi yang berwenang.


                  Pasal 203

(1)   Pemilik kapal wajib menyingkirkan kerangka kapal
      dan/atau muatannya yang mengganggu keselamatan dan
      keamanan pelayaran paling lama 180 (seratus delapan
      puluh) hari kalender sejak kapal tenggelam.


                                         (2) Pemerintah . . .
                    - 84 -

(2)   Pemerintah wajib mengangkat, menyingkirkan, atau
      menghancurkan seluruh atau sebagian dari kerangka
      kapal dan/atau muatannya atas biaya pemilik apabila
      dalam batas waktu yang ditetapkan Pemerintah, pemilik
      tidak melaksanakan tanggung jawab dan kewajibannya
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)   Pemilik kapal yang lalai melaksanakan kewajiban dalam
      batas waktu yang ditetapkan Pemerintah sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) sehingga mengakibatkan
      terjadinya kecelakaan pelayaran, wajib membayar ganti
      kerugian kepada pihak yang mengalami kecelakaan.
(4)   Pemerintah wajib mengangkat dan menguasai kerangka
      kapal dan/atau muatannya yang tidak diketahui
      pemiliknya dalam batas waktu yang telah ditentukan.
(5) Untuk menjamin kewajiban sebagaimana dimaksud pada
    ayat (1) dan ayat (2)         pemillik kapal wajib
    mengasuransikan kapalnya.
(6)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan
      persyaratan pengangkatan kerangka kapal dan/atau
      muatannya diatur dengan Peraturan Menteri.


              Bagian Kedelapan
      Salvage dan Pekerjaan Bawah Air

                  Pasal 204

(1)   Kegiatan salvage dilakukan terhadap kerangka kapal
      dan/atau muatannya yang mengalami kecelakaan atau
      tenggelam.
(2)   Setiap kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air harus
      memperoleh izin dan memenuhi persyaratan teknis
      keselamatan dan keamanan pelayaran dari Menteri.


                  Pasal 205

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan
salvage dan pekerjaan bawah air diatur dengan Peraturan
Menteri.


                                      Bagian Kesembilan . . .
                       - 85 -

               Bagian Kesembilan
              Sanksi Administratif


                   Pasal 206

(1)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 172 ayat (6), Pasal 178 ayat (5),
      Pasal 193 ayat (2), Pasal 198 ayat (2), atau Pasal 200
      dikenakan sanksi administratif, berupa:
      a. peringatan;
      b. pembekuan izin atau pembekuan sertifikat; atau
      c. pencabutan izin atau pencabutan sertifikat.

(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
      pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



                    BAB XI
                 SYAHBANDAR


               Bagian Kesatu
Fungsi, Tugas, dan Kewenangan Syahbandar


                   Pasal 207


(1)   Syahbandar melaksanakan fungsi keselamatan dan
      keamanan pelayaran yang mencakup, pelaksanaan,
      pengawasan dan penegakan hukum di bidang angkutan
      di   perairan,   kepelabuhanan,  dan  perlindungan
      lingkungan maritim di pelabuhan.
(2)   Selain melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) Syahbandar membantu pelaksanaan pencarian
      dan penyelamatan (Search and Rescue/SAR) di pelabuhan
      sesuai   dengan   ketentuan    peraturan  perundang-
      undangan.


                                           (3) Syahbandar . . .
                     - 86 -



(3)   Syahbandar diangkat oleh Menteri setelah memenuhi
      persyaratan kompetensi di bidang keselamatan dan
      keamanan pelayaran serta kesyahbandaran.


                   Pasal 208

(1)   Dalam melaksanakan fungsi keselamatan dan keamanan
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 ayat (1)
      Syahbandar mempunyai tugas:
      a. mengawasi  kelaiklautan     kapal,    keselamatan,
         keamanan dan ketertiban di pelabuhan;
      b. mengawasi tertib lalu lintas      kapal    di    perairan
         pelabuhan dan alur-pelayaran;
      c. mengawasi kegiatan alih muat di perairan pelabuhan;
      d. mengawasi kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air;
      e. mengawasi kegiatan penundaan kapal;
      f. mengawasi pemanduan;
      g. mengawasi bongkar muat barang berbahaya serta
         limbah bahan berbahaya dan beracun;
      h. mengawasi pengisian bahan bakar;
      i. mengawasi ketertiban      embarkasi   dan       debarkasi
         penumpang;
      j. mengawasi pengerukan dan reklamasi;
      k. mengawasi    kegiatan    pembangunan             fasilitas
         pelabuhan;
      l. melaksanakan bantuan pencarian dan penyelamatan;
      m. memimpin    penanggulangan     pencemaran     dan
         pemadaman kebakaran di pelabuhan; dan
      n. mengawasi pelaksanaan perlindungan lingkungan
         maritim.
(2)   Dalam melaksanakan penegakan hukum di bidang
      keselamatan dan keamanan sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 207 ayat (1) Syahbandar melaksanakan
      tugas sebagai Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai
      dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



                                                   Pasal 209 . . .
                    - 87 -

                  Pasal 209

Dalam melaksanakan fungsi dan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 207 dan Pasal 208 Syahbandar
mempunyai kewenangan:
a. mengkoordinasikan seluruh kegiatan pemerintahan di
   pelabuhan;
b. memeriksa dan menyimpan surat, dokumen, dan warta
   kapal;
c. menerbitkan persetujuan kegiatan kapal di pelabuhan;
d. melakukan pemeriksaan kapal;
e. menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar;
f. melakukan pemeriksaan kecelakaan kapal;
g. menahan kapal atas perintah pengadilan; dan
h. melaksanakan sijil Awak Kapal.


                  Pasal 210

(1)   Untuk melaksanakan fungsi keselamatan dan keamanan
      pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 ayat
      (1) dibentuk kelembagaan Syahbandar.
(2)   Ketentuan      lebih  lanjut   mengenai    pembentukan
      kelembagaan Syahbandar sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


                Bagian Kedua
       Koordinasi Kegiatan Pemerintahan
                 di Pelabuhan

                  Pasal 211

(1)   Syahbandar       memiliki   kewenangan     tertinggi
      melaksanakan     koordinasi  kegiatan  kepabeanan,
      keimigrasian, kekarantinaan, dan kegiatan institusi
      pemerintahan lainnya.
(2)   Koordinasi   yang  dilaksanakan   oleh Syahbandar
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka
      pengawasan    dan   penegakan   hukum  di  bidang
      keselamatan dan keamanan pelayaran.


                                               Pasal 212 . . .
                    - 88 -

                  Pasal 212

(1)   Dalam melaksanakan keamanan dan ketertiban di
      pelabuhan     sesuai  dengan     ketentuan   konvensi
      internasional, Syahbandar bertindak selaku komite
      keamanan pelabuhan (Port Security Commitee).
(2)   Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) Syahbandar dapat meminta bantuan kepada
      Kepolisian Republik Indonesia dan/atau Tentara Nasional
      Indonesia.
(3)   Bantuan keamanan dan ketertiban di pelabuhan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah koordinasi
      dalam kewenangan Syahbandar.
(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan
      keamanan dan ketertiban serta permintaan bantuan di
      pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
      ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


                 Bagian Ketiga
      Pemeriksaan dan Penyimpanan Surat,
          Dokumen, dan Warta Kapal

                  Pasal 213

(1)   Pemilik, Operator   Kapal, atau Nakhoda wajib
      memberitahukan kedatangan kapalnya di pelabuhan
      kepada Syahbandar.
(2)   Setiap   kapal  yang   memasuki    pelabuhan     wajib
      menyerahkan surat, dokumen, dan warta kapal kepada
      Syahbandar seketika pada saat kapal tiba di pelabuhan
      untuk dilakukan pemeriksaan.
(3)   Setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
      pada ayat (2) surat, dokumen, dan warta kapal disimpan
      oleh Syahbandar untuk diserahkan kembali bersamaan
      dengan diterbitkannya Surat Persetujuan Berlayar.
(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberitahuan
      kedatangan kapal, pemeriksaan, penyerahan, serta
      penyimpanan surat, dokumen, dan warta kapal
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
      (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

                                               Pasal 214 . . .
                    - 89 -

                  Pasal 214

Nakhoda wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan
warta kapal kepada Syahbandar berdasarkan format yang
telah ditentukan oleh Menteri.

                  Pasal 215

Setiap kapal yang memasuki pelabuhan, selama berada di
pelabuhan, dan pada saat meninggalkan pelabuhan wajib
mematuhi peraturan dan melaksanakan petunjuk serta
perintah Syahbandar untuk kelancaran lalu lintas kapal serta
kegiatan di pelabuhan.

              Bagian Keempat
  Persetujuan Kegiatan Kapal di Pelabuhan

                  Pasal 216

(1)   Kapal yang melakukan kegiatan perbaikan, percobaan
      berlayar, kegiatan alih muat di kolam pelabuhan,
      menunda, dan bongkar muat barang berbahaya wajib
      mendapat persetujuan dari Syahbandar.
(2)   Kegiatan salvage, pekerjaan bawah air, pengisian bahan
      bakar, pengerukan, reklamasi, dan pembangunan
      pelabuhan wajib dilaporkan kepada Syahbandar.
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh
      persetujuan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

                Bagian Kelima
              Pemeriksaan Kapal

                  Pasal 217

Syahbandar berwenang melakukan pemeriksaan kelaiklautan
dan keamanan kapal di pelabuhan.

                  Pasal 218

(1)   Dalam keadaan tertentu, Syahbandar berwenang
      melakukan   pemeriksaan    kelaiklautan    kapal  dan
      keamanan kapal berbendera Indonesia di pelabuhan.

                                         (2) Syahbandar . . .
                     - 90 -



(2)   Syahbandar     berwenang     melakukan   pemeriksaan
      kelaiklautan dan keamanan kapal asing di pelabuhan
      sesuai    dengan   ketentuan   peraturan  perundang-
      undangan.
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan
      kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
      diatur dengan Peraturan Menteri.

               Bagian Keenam
          Surat Persetujuan Berlayar

                   Pasal 219

(1)   Setiap kapal yang berlayar wajib memiliki Surat
      Persetujuan Berlayar yang dikeluarkan oleh Syahbandar.
(2)   Surat Persetujuan Berlayar tidak berlaku apabila kapal
      dalam waktu 24 (dua puluh empat) jam, setelah
      persetujuan berlayar diberikan, kapal tidak bertolak dari
      pelabuhan.
(3)   Surat Persetujuan Berlayar sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) tidak diberikan pada kapal atau dicabut apabila
      ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal
      117 ayat (2), Pasal 125 ayat (2), Pasal 130 ayat (1), Pasal
      134 ayat (1), Pasal 135, Pasal 149 ayat (2), Pasal 169 ayat
      (1), Pasal 213 ayat (2), atau Pasal 215 dilanggar.
(4)   Syahbandar dapat menunda keberangkatan kapal untuk
      berlayar    karena    tidak    memenuhi     persyaratan
      kelaiklautan kapal atau pertimbangan cuaca.
(5)   Ketentuan mengenai tata cara penerbitan Surat
      Persetujuan Berlayar sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

             Bagian Ketujuh
Pemeriksaan Pendahuluan Kecelakaan Kapal

                   Pasal 220

(1) Syahbandar melakukan pemeriksaan terhadap setiap
    kecelakaan kapal untuk mencari keterangan dan/atau
    bukti awal atas terjadinya kecelakaan kapal.

                                           (2) Pemeriksaan . . .
                     - 91 -

(2)   Pemeriksaan kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) merupakan pemeriksaan pendahuluan.

                  Pasal 221

(1)   Pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal berbendera
      Indonesia di wilayah perairan Indonesia dilakukan oleh
      Syahbandar atau pejabat pemerintah yang ditunjuk.
(2)   Pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal berbendera
      Indonesia di luar perairan Indonesia dilaksanakan oleh
      Syahbandar atau pejabat pemerintah yang ditunjuk
      setelah menerima laporan kecelakaan kapal dari
      Perwakilan Pemerintah Republik Indonesia dan/atau dari
      pejabat pemerintah negara setempat yang berwenang.
(3)   Hasil pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220 dapat
      diteruskan   kepada   Mahkamah  Pelayaran untuk
      dilakukan pemeriksaan lanjutan.


               Bagian Kedelapan
               Penahanan Kapal

                  Pasal 222

(1)   Syahbandar hanya dapat menahan kapal di pelabuhan
      atas perintah tertulis pengadilan.
(2)   Penahanan     kapal   berdasarkan     perintah  tertulis
      pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
      dilakukan berdasarkan alasan:
      a. kapal yang bersangkutan terkait dengan perkara
         pidana; atau
      b. kapal yang bersangkutan terkait dengan perkara
         perdata.

                   Pasal 223

(1)   Perintah penahanan kapal oleh pengadilan dalam perkara
      perdata berupa klaim-pelayaran dilakukan tanpa melalui
      proses gugatan.
(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penahanan
      kapal di pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      diatur dengan Peraturan Menteri.

                                       Bagian Kesembilan . . .
                    - 92 -


              Bagian Kesembilan
               Sijil Awak Kapal


                  Pasal 224


(1)   Setiap orang yang bekerja di kapal dalam jabatan apa
      pun harus memiliki kompetensi, dokumen pelaut, dan
      disijil oleh Syahbandar.

(2)   Sijil Awak Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      dilakukan dengan tahapan:
      a. penandatanganan perjanjian kerja laut yang dilakukan
         oleh pelaut dan perusahaan angkutan laut diketahui
         oleh Syahbandar; dan
      b. berdasarkan penandatanganan perjanjian kerja laut,
         Nakhoda memasukkan nama dan jabatan Awak Kapal
         sesuai dengan kompetensinya ke dalam buku sijil yang
         disahkan oleh Syahbandar.


              Bagian Kesepuluh
             Sanksi Administratif


                  Pasal 225

(1)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 213 ayat (1) atau ayat (2), Pasal
      214, atau Pasal 215 dikenakan sanksi administratif,
      berupa:
      a. peringatan;
      b. pembekuan izin atau pembekuan sertifikat; atau
      c. pencabutan izin.

(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
      pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



                                                 BAB XII . . .
                     - 93 -

               BAB XII
   PERLINDUNGAN LINGKUNGAN MARITIM


                Bagian Kesatu
Penyelenggara Perlindungan Lingkungan Maritim

                   Pasal 226

 (1)   Penyelenggaraan perlindungan     lingkungan    maritim
       dilakukan oleh Pemerintah.
 (2)   Penyelenggaraan perlindungan lingkungan maritim
       sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
       a. pencegahan dan penanggulangan pencemaran dari
          pengoperasian kapal; dan
       b. pencegahan dan penanggulangan pencemaran dari
          kegiatan kepelabuhanan.
 (3)   Selain pencegahan dan penanggulangan sebagaimana
       dimaksud pada ayat (2) perlindungan lingkungan maritim
       juga dilakukan terhadap:
       a. pembuangan limbah di perairan; dan
       b. penutuhan kapal.

                Bagian Kedua
 Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran
          dari Pengoperasian Kapal

                   Pasal 227

 Setiap Awak Kapal wajib mencegah dan menanggulangi
 terjadinya pencemaran lingkungan yang bersumber dari
 kapal.

                   Pasal 228

 (1)   Kapal dengan jenis dan ukuran tertentu yang
       dioperasikan wajib dilengkapi peralatan dan bahan
       penanggulangan pencemaran minyak dari kapal yang
       mendapat pengesahan dari Pemerintah.


                                                (2) Kapal . . .
                    - 94 -

(2)   Kapal dengan jenis dan ukuran tertentu yang
      dioperasikan wajib dilengkapi pola penanggulangan
      pencemaran minyak dari kapal yang mendapat
      pengesahan dari Pemerintah.


                  Pasal 229

(1)   Setiap kapal dilarang melakukan pembuangan limbah,
      air balas, kotoran, sampah, serta bahan kimia berbahaya
      dan beracun ke perairan.
(2)   Dalam hal jarak pembuangan, volume pembuangan, dan
      kualitas buangan telah sesuai dengan syarat yang
      ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-
      undangan, ketentuan pada ayat (1) dapat dikecualikan.
(3)   Setiap kapal dilarang mengeluarkan gas buang melebihi
      ambang batas sesuai      dengan ketentuan peraturan
      perundang-undangan.


                  Pasal 230

(1)   Setiap Nakhoda atau penanggung jawab unit kegiatan
      lain di perairan bertanggung jawab menanggulangi
      pencemaran yang bersumber dari kapal dan/atau
      kegiatannya.
(2)   Setiap Nakhoda atau penanggung jawab unit kegiatan
      lain di perairan wajib segera melaporkan kepada
      Syahbandar terdekat dan/atau unsur Pemerintah lain
      yang terdekat mengenai terjadinya pencemaran perairan
      yang disebabkan oleh kapalnya atau yang bersumber dari
      kegiatannya, apabila melihat adanya pencemaran dari
      kapal, dan/atau kegiatan lain di perairan.
(3)   Unsur Pemerintah lainnya yang telah menerima informasi
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib meneruskan
      laporan mengenai adanya pencemaran perairan kepada
      Syahbandar terdekat atau kepada institusi yang
      berwenang.
(4)   Syahbandar segera meneruskan laporan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (3) kepada institusi yang berwenang
      untuk penanganan lebih lanjut.


                                               Pasal 231 . . .
                    - 95 -

                  Pasal 231

(1)   Pemilik atau operator kapal bertanggung jawab terhadap
      pencemaran yang bersumber dari kapalnya.
(2)   Untuk memenuhi tanggung jawab sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) pemilik atau operator kapal wajib
      mengasuransikan tanggung jawabnya.


                  Pasal 232

Ketentuan    lebih   lanjut  mengenai pencegahan dan
penanggulangan pencemaran akibat pengoperasian kapal
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                  Pasal 233

(1)   Pengangkutan limbah bahan berbahaya dan beracun
      dengan kapal wajib memperhatikan spesifikasi kapal
      untuk pengangkutan limbah.
(2)   Spesifikasi kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      dan tata cara pengangkutan limbah bahan berbahaya dan
      beracun wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan
      oleh Menteri.
(3)   Kapal yang mengangkut limbah bahan berbahaya dan
      beracun wajib memiliki standar operasional dan prosedur
      tanggap darurat sesuai dengan ketentuan peraturan
      perundang-undangan.


               Bagian Ketiga
Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran
       dari Kegiatan Kepelabuhanan

                  Pasal 234

Pengoperasian pelabuhan wajib memenuhi persyaratan untuk
mencegah timbulnya pencemaran yang bersumber dari
kegiatan di pelabuhan.


                                               Pasal 235 . . .
                    - 96 -

                  Pasal 235

(1)   Setiap pelabuhan wajib memenuhi persyaratan peralatan
      penanggulangan pencemaran sesuai dengan besaran dan
      jenis kegiatan.
(2)   Setiap pelabuhan wajib memenuhi persyaratan bahan
      penanggulangan pencemaran sesuai dengan besaran dan
      jenis kegiatan.
(3)   Otoritas Pelabuhan wajib memiliki standar dan prosedur
      tanggap darurat penanggulan pencemaran.


                  Pasal 236

Otoritas Pelabuhan, Unit Penyelenggara Pelabuhan, Badan
Usaha Pelabuhan, dan pengelola terminal khusus wajib
menanggulangi     pencemaran   yang    diakibatkan  oleh
pengoperasian pelabuhan.

                  Pasal 237

(1)   Untuk menampung limbah yang berasal dari kapal di
      pelabuhan, Otoritas Pelabuhan, Unit Penyelenggara
      Pelabuhan, Badan Usaha Pelabuhan, dan Pengelola
      Terminal Khusus wajib dan bertanggung jawab
      menyediakan fasilitas penampungan limbah.
(2)   Manajemen pengelolaan limbah dilaksanakan sesuai
      dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)   Pengangkutan    limbah    ke   tempat    pengumpulan,
      pengolahan, dan pemusnahan akhir dilaksanakan
      berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri
      yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup.


                  Pasal 238

Ketentuan   lebih   lanjut mengenai pencegahan   dan
penanggulangan pencemaran di pelabuhan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.


                                         Bagian Keempat . . .
                    - 97 -

             Bagian Keempat
       Pembuangan Limbah di Perairan

                  Pasal 239

(1)   Pembuangan limbah di perairan hanya dapat dilakukan
      pada lokasi tertentu yang ditetapkan oleh Menteri dan
      memenuhi persyaratan tertentu.
(2)   Pembuangan limbah sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) wajib dilaporkan kepada institusi yang tugas dan
      fungsinya di bidang penjagaan laut dan pantai.

                  Pasal 240

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembuangan limbah di
perairan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                Bagian Kelima
               Penutuhan Kapal

                  Pasal 241

(1)   Penutuhan     kapal   wajib   memenuhi     persyaratan
      perlindungan lingkungan maritim.
(2)   Lokasi penutuhan kapal sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) ditentukan oleh Menteri.

                  Pasal 242

Persyaratan perlindungan lingkungan maritim untuk kegiatan
penutuhan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241
diatur dengan Peraturan Menteri.

               Bagian Keenam
             Sanksi Administratif

                  Pasal 243

(1)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 230 ayat (2), Pasal 233 ayat (3),
      Pasal 234, Pasal 235, atau Pasal 239 ayat (2) dikenakan
      sanksi administratif berupa:
      a. peringatan;
      b. denda administratif;

                                           c. pembekuan . . .
                          - 98 -

            c. pembekuan izin; atau
            d. pencabutan izin.
      (2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
            pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
            pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



                     BAB XIII
KECELAKAAN KAPAL SERTA PENCARIAN DAN PERTOLONGAN


                      Bagian Kesatu
                  Bahaya Terhadap Kapal

                        Pasal 244

      (1)   Bahaya terhadap kapal dan/atau orang merupakan
            kejadian  yang    dapat   menyebabkan    terancamnya
            keselamatan kapal dan/atau jiwa manusia.

      (2)   Setiap orang yang mengetahui kejadian sebagaimana
            dimaksud pada ayat (1) wajib segera melakukan upaya
            pencegahan, pencarian dan pertolongan serta melaporkan
            kejadian kepada pejabat berwenang terdekat atau pihak
            lain.

      (3)   Nakhoda wajib melakukan tindakan pencegahan dan
            penyebarluasan berita kepada pihak lain apabila
            mengetahui di kapalnya, kapal lain, atau adanya orang
            dalam keadaan bahaya.

      (4)   Nakhoda wajib melaporkan         bahaya   sebagaimana
            dimaksud pada ayat (3) kepada:
            a. Syahbandar pelabuhan terdekat apabila bahaya terjadi
               di wilayah perairan Indonesia; atau
            b. Pejabat Perwakilan Republik Indonesia terdekat dan
               pejabat pemerintah negara setempat yang berwenang
               apabila bahaya terjadi di luar wilayah perairan
               Indonesia.



                                                  Bagian Kedua . . .
                   - 99 -

              Bagian Kedua
             Kecelakaan Kapal

                 Pasal 245

Kecelakaan kapal merupakan kejadian yang dialami oleh
kapal yang dapat mengancam keselamatan kapal dan/atau
jiwa manusia berupa:
a. kapal tenggelam;
b. kapal terbakar;
c. kapal tubrukan; dan
d. kapal kandas.

                 Pasal 246

Dalam hal terjadi kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 245 setiap orang yang berada di atas kapal yang
mengetahui terjadi kecelakaan dalam batas kemampuannya
harus memberikan pertolongan dan melaporkan kecelakaan
tersebut kepada Nakhoda dan/atau Anak Buah Kapal.

                 Pasal 247

Nakhoda yang mengetahui kecelakaan kapalnya atau kapal
lain wajib mengambil tindakan penanggulangan, meminta
dan/atau memberikan pertolongan, dan menyebarluaskan
berita mengenai kecelakaan tersebut kepada pihak lain.

                 Pasal 248

Nakhoda yang mengetahui kecelakaan kapalnya atau kapal
lain wajib melaporkan kepada :
a. Syahbandar pelabuhan terdekat apabila kecelakaan kapal
   terjadi di dalam wilayah perairan Indonesia; atau
b. Pejabat Perwakilan Republik Indonesia terdekat dan
   pejabat pemerintah negara setempat yang berwenang
   apabila kecelakaan kapal terjadi di luar wilayah perairan
   Indonesia.

                 Pasal 249

Kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245
merupakan tanggung jawab Nakhoda kecuali dapat
dibuktikan lain.

                                           Bagian Ketiga . . .
                    - 100 -

                Bagian Ketiga
             Mahkamah Pelayaran

                  Pasal 250

(1)   Mahkamah Pelayaran      dibentuk oleh dan bertanggung
      jawab kepada Menteri.
(2)   Mahkamah Pelayaran memiliki susunan organisasi dan
      tata kerja yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

                  Pasal 251

Mahkamah Pelayaran         sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 250 memiliki fungsi untuk melaksanakan pemeriksaan
lanjutan atas kecelakaan kapal dan menegakkan kode etik
profesi dan kompetensi Nakhoda dan/atau perwira kapal
setelah   dilakukan    pemeriksaan    pendahuluan    oleh
Syahbandar.

                  Pasal 252

Mahkamah Pelayaran berwenang memeriksa tubrukan yang
terjadi antara kapal niaga dengan kapal niaga, kapal niaga
dengan kapal negara, dan kapal niaga dengan kapal perang.

                  Pasal 253

(1)   Dalam melaksanakan pemeriksaan lanjutan kecelakaan
      kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251
      Mahkamah Pelayaran bertugas:
      a. meneliti sebab kecelakaan kapal dan menentukan ada
         atau tidak adanya kesalahan atau kelalaian dalam
         penerapan standar profesi kepelautan yang dilakukan
         oleh Nakhoda dan/atau perwira kapal atas terjadinya
         kecelakaan kapal; dan
      b. merekomendasikan      kepada    Menteri   mengenai
         pengenaan sanksi administratif atas kesalahan atau
         kelalaian yang dilakukan oleh Nakhoda dan/atau
         perwira kapal.
(2)   Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      huruf b berupa:
      a. peringatan; atau
      b. pencabutan sementara Sertifikat Keahlian Pelaut.

                                               Pasal 254 . . .
                    - 101 -

                  Pasal 254

(1)   Dalam pemeriksaan lanjutan Mahkamah Pelayaran dapat
      menghadirkan pejabat pemerintah di bidang keselamatan
      dan keamanan pelayaran dan pihak terkait lainnya.
(2)   Dalam pemeriksaan lanjutan, pemilik, atau operator
      kapal wajib menghadirkan Nakhoda dan/atau Anak Buah
      Kapal.
(3)   Pemilik, atau operator kapal yang melanggar ketentuan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenakan sanksi
      berupa:
      a. peringatan;
      b. pembekuan izin; atau
      c. pencabutan izin.

                  Pasal 255

Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi, kewenangan, dan
tugas Mahkamah Pelayaran serta tata cara dan prosedur
pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan
Pemerintah.


                Bagian Keempat
         Investigasi Kecelakaan Kapal

                  Pasal 256

(1)   Investigasi kecelakaan kapal dilakukan oleh Komite
      Nasional Keselamatan Transportasi untuk mencari fakta
      guna mencegah terjadinya kecelakaan kapal dengan
      penyebab yang sama.
(2)   Investigasi sebagaimana dimaksud pada         ayat   (1)
      dilakukan terhadap setiap kecelakaan kapal.
(3)   Investigasi yang dilakukan oleh Komite Nasional
      Keselamatan Transportasi sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) tidak untuk menentukan kesalahan atau
      kelalaian atas terjadinya kecelakaan kapal.



                                              Pasal 257 . . .
                   - 102 -

                  Pasal 257

Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas Komite Nasional
Keselamatan Transportasi serta tata cara pemeriksaan dan
investigasi kecelakaan kapal diatur dengan Peraturan
Pemerintah.


               Bagian Kelima
          Pencarian dan Pertolongan

                 Pasal 258

(1)   Pemerintah bertanggung jawab melaksanakan pencarian
      dan pertolongan terhadap kecelakaan kapal dan/atau
      orang yang mengalami musibah di perairan Indonesia.
(2)   Kapal atau pesawat udara yang berada di dekat atau
      melintasi lokasi kecelakaan, wajib membantu usaha
      pencarian dan pertolongan terhadap setiap kapal
      dan/atau orang yang mengalami musibah di perairan
      Indonesia.
(3)   Setiap orang yang memiliki atau mengoperasikan kapal
      yang mengalami kecelakaan kapal, bertanggung jawab
      melaksanakan pencarian dan pertolongan terhadap
      kecelakaan kapalnya.


                  Pasal 259

Tanggung jawab pelaksanaan pencarian dan pertolongan oleh
Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 258 ayat (1)
dikoordinasikan  dan    dilakukan    oleh  institusi   yang
bertanggung jawab di bidang pencarian dan pertolongan.

                  Pasal 260

Ketentuan lebih lanjut mengenai pencarian dan pertolongan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.


                                              BAB XIV . . .
                    - 103 -

                BAB XIV
           SUMBER DAYA MANUSIA


                  Pasal 261

(1)   Penyelenggaraan dan pengembangan sumber daya
      manusia di bidang pelayaran dilaksanakan dengan
      tujuan tersedianya sumber daya manusia yang
      profesional, kompeten, disiplin, dan bertanggung jawab
      serta memenuhi standar nasional dan internasional.
(2)   Penyelenggaraan dan pengembangan sumber daya
      manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup
      perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan
      dan pelatihan, penempatan, pengembangan pasar kerja,
      dan perluasan kesempatan berusaha.
(3)   Penyelenggaraan dan pengembangan sumber daya
      manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
      terhadap aparatur Pemerintah dan masyarakat.
(4)   Sumber daya manusia di bidang pelayaran sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) meliputi:
      a. sumber daya manusia di bidang angkutan di perairan;
      b. sumber daya manusia di bidang kepelabuhanan;
      c. sumber daya manusia di bidang keselamatan dan
         keamanan pelayaran; dan
      d. sumber daya manusia di bidang perlindungan
         lingkungan maritim.

                  Pasal 262

(1)   Pendidikan    dan  pelatihan  di  bidang   pelayaran
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 261 ayat (2)
      diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
      atau masyarakat melalui jalur pendidikan formal dan
      nonformal.
(2)   Jalur pendidikan formal sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) diselenggarakan dalam jenjang pendidikan
      menengah dan perguruan tinggi sesuai dengan ketentuan
      peraturan perundang-undangan.
(3)   Jalur pendidikan nonformal merupakan lembaga
      pelatihan dalam bentuk balai pendidikan dan pelatihan di
      bidang pelayaran.

                                                Pasal 263 . . .
                   - 104 -

                  Pasal 263

(1)   Pendidikan   dan  pelatihan  di   bidang  pelayaran
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 261 ayat (2)
      merupakan tanggung jawab Pemerintah, pembinaannya
      dilakukan oleh Menteri dan menteri yang bertanggung
      jawab di bidang pendidikan nasional sesuai dengan
      kewenangannya.
(2)   Pemerintah dan pemerintah daerah mengarahkan,
      membimbing,       mengawasi,    dan      membantu
      penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan di bidang
      pelayaran   sesuai   dengan  ketentuan   peraturan
      perundang-undangan.
(3)   Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber
      daya dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
      pelayaran.

                  Pasal 264

(1)   Pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia di
      bidang pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
      261 ayat (2) disusun dalam model pendidikan dan
      pelatihan yang ditetapkan oleh Menteri.
(2)   Model pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) paling sedikit memuat:
      a. jenis dan jenjang pendidikan dan pelatihan;
      b. peserta pendidikan dan pelatihan;
      c. hak dan kewajiban pendidikan dan pelatihan;
      d. kurikulum dan metode pendidikan dan pelatihan;
      e. tenaga pendidik dan pelatih;
      f. prasarana dan sarana pendidikan dan pelatihan;
      g. standardisasi    penyelenggaraan    pendidikan dan
         pelatihan;
      h. pembiayaan pendidikan dan pelatihan; dan
      i. pengendalian dan pengawasan terhadap pendidikan
         dan pelatihan.

                  Pasal 265

Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan
layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya
pendidikan dan pelatihan di bidang pelayaran yang bermutu
bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.

                                              Pasal 266 . . .
                    - 105 -

                   Pasal 266

(1)   Perusahaan angkutan di perairan wajib menyediakan
      fasilitas praktik berlayar di kapal untuk meningkatkan
      kualitas sumber daya manusia di bidang angkutan
      perairan.
(2)   Perusahaan angkutan di perairan, Badan Usaha
      Pelabuhan, dan instansi terkait wajib menyediakan
      fasilitas praktik di pelabuhan atau di lokasi kegiatannya
      untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di
      bidang pelayaran.
(3)   Perusahaan angkutan di perairan, organisasi, dan badan
      usaha yang mendapatkan manfaat atas jasa profesi
      pelaut wajib memberikan kontribusi untuk menunjang
      tersedianya tenaga pelaut yang andal.
(4)   Kontribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa:
      a. memberikan beasiswa pendidikan;
      b. membangun lembaga pendidikan sesuai dengan
         standar internasional;
      c. melakukan kerja sama dengan lembaga pendidikan
         yang ada; dan/atau
      d. mengadakan perangkat simulator, buku pelajaran,
         dan terbitan maritim yang mutakhir.

                   Pasal 267

Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 266 ayat (1) atau ayat (3) dikenakan
sanksi administratif, berupa:
a. peringatan;
b. denda administratif;
c. pembekuan izin; atau
d. pencabutan izin.

                   Pasal 268

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan dan
pengembangan sumber daya manusia, tata cara dan prosedur
pengenaan sanksi administratif, serta besarnya denda
administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah.


                                                   BAB XV . . .
                    - 106 -

                 BAB XV
       SISTEM INFORMASI PELAYARAN


                  Pasal 269

(1)   Sistem informasi pelayaran mencakup pengumpulan,
      pengolahan, penganalisisan, penyimpanan, penyajian,
      serta penyebaran data dan informasi pelayaran untuk:
      a. mendukung operasional pelayaran;
      b. meningkatkan pelayanan kepada masyarakat atau
         publik; dan
      c. mendukung       perumusan kebijakan di bidang
         pelayaran.
(2)   Sistem informasi pelayaran sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah
      daerah.
(3)   Pemerintah daerah menyelenggarakan sistem informasi
      pelayaran sesuai dengan kewenangannya berdasarkan
      pedoman dan standar yang ditetapkan oleh Pemerintah.


                  Pasal 270

Sistem informasi pelayaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 269 mencakup:
a. sistem informasi angkutan di perairan paling sedikit
   memuat:
   1) usaha dan kegiatan angkutan di perairan;
   2) armada dan kapasitas ruang kapal nasional;
   3) muatan kapal dan pangsa muatan kapal nasional;
   4) usaha dan kegiatan jasa terkait dengan angkutan di
      perairan; dan
   5) trayek angkutan di perairan.
b. sistem informasi pelabuhan paling sedikit memuat:
   1) kedalaman alur dan kolam pelabuhan;
   2) kapasitas dan kondisi fasilitas pelabuhan;
   3) arus peti kemas, barang, dan penumpang di pelabuhan;
   4) arus lalu lintas kapal di pelabuhan;
   5) kinerja pelabuhan;
   6) operator terminal di pelabuhan;


                                                  7) tarif . . .
                     - 107 -

      7) tarif jasa kepelabuhanan; dan
      8) Rencana      Induk   Pelabuhan   dan/atau    rencana
         pembangunan pelabuhan.
c. sistem informasi keselamatan dan keamanan pelayaran
   paling sedikit memuat:
   1) kondisi angin, arus, gelombang, dan pasang surut;
   2) kapasitas      Sarana       Bantu   Navigasi-Pelayaran,
      Telekomunikasi-Pelayaran, serta alur dan perlintasan;
   3) kapal negara di bidang keselamatan dan keamanan
      pelayaran;
   4) sumber daya manusia bidang kepelautan;
   5) daftar kapal berbendera Indonesia;
   6) kerangka kapal di perairan Indonesia;
   7) kecelakaan kapal; dan
   8) lalu lintas kapal di perairan.
d. sistem informasi perlindungan lingkungan maritim paling
   sedikit memuat:
   1) keberadaan bangunan di bawah air (kabel laut dan pipa
      laut);
   2) lokasi pembuangan limbah; dan
   3) lokasi penutuhan kapal.
e. sistem informasi sumber daya manusia dan peran serta
   masyarakat di bidang pelayaran paling sedikit memuat:
   1) jumlah dan kompetensi sumber daya manusia di bidang
       pelayaran; dan
   2) kebijakan yang diterbitkan oleh Pemerintah di bidang
       pelayaran.

                    Pasal 271

Penyelenggaraan sistem informasi pelayaran dilakukan
dengan membangun dan mengembangkan jaringan informasi
secara efektif, efisien, dan terpadu yang melibatkan pihak
terkait dengan memanfaatkan perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi.

                    Pasal 272

(1)    Setiap orang yang melakukan kegiatan di bidang
       pelayaran wajib menyampaikan data dan informasi
       kegiatannya kepada Pemerintah dan/atau pemerintah
       daerah.

                                           (2) Pemerintah . . .
                    - 108 -

(2)   Pemerintah dan/atau pemerintah daerah melakukan
      pemutakhiran data dan informasi    pelayaran secara
      periodik untuk menghasilkan data dan informasi yang
      sesuai dengan kebutuhan, akurat, terkini, dan dapat
      dipertanggungjawabkan.
(3)   Data dan informasi pelayaran didokumentasikan dan
      dipublikasikan serta dapat diakses dan digunakan oleh
      masyarakat yang membutuhkan dengan memanfaatkan
      teknologi informasi dan komunikasi.
(4)   Pengelolaan sistem informasi pelayaran oleh Pemerintah
      dan pemerintah daerah dapat dilakukan melalui kerja
      sama dengan pihak lain.
(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian
      dan pengelolaan sistem informasi pelayaran diatur
      dengan Peraturan Menteri.


                  Pasal 273

(1)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 272 ayat (1) dapat dikenakan
      sanksi administratif, berupa:
      a. peringatan;
      b. pembekuan izin; atau
      c. pencabutan izin.
(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
      pengenaan sanksi administratif serta besarnya denda
      administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
      dengan Peraturan Pemerintah.



                 BAB XVI
         PERAN SERTA MASYARAKAT


                  Pasal 274

(1)   Dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan pelayaran
      secara optimal masyarakat memiliki kesempatan yang
      sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam
      kegiatan pelayaran.


                                               (2) Peran . . .
                    - 109 -



(2)   Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) berupa:
      a. memantau dan menjaga ketertiban penyelenggaraan
         kegiatan pelayaran;
      b. memberi      masukan    kepada  Pemerintah   dalam
         penyempurnaan peraturan, pedoman, dan standar
         teknis di bidang pelayaran;
      c. memberi masukan kepada Pemerintah, pemerintah
         daerah dalam rangka pembinaan, penyelenggaraan,
         dan pengawasan pelayaran;
      d. menyampaikan pendapat dan pertimbangan kepada
         pejabat     yang    berwenang  terhadap    kegiatan
         penyelenggaraan       kegiatan   pelayaran     yang
         mengakibatkan dampak penting terhadap lingkungan;
         dan/atau
      e. melaksanakan gugatan perwakilan terhadap kegiatan
         pelayaran yang mengganggu, merugikan, dan/atau
         membahayakan kepentingan umum.

(3)   Pemerintah mempertimbangkan dan menindaklanjuti
      terhadap masukan, pendapat, dan pertimbangan yang
      disampaikan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud
      pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d.

(4)   Dalam melaksanakan peran serta sebagaimana dimaksud
      pada ayat (2) masyarakat ikut bertanggung jawab
      menjaga ketertiban serta keselamatan dan keamanan
      pelayaran.

                  Pasal 275

(1)   Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 274 ayat (2) dapat dilakukan secara perseorangan,
      kelompok, organisasi profesi, badan usaha, atau
      organisasi kemasyarakatan lain sesuai dengan prinsip
      keterbukaan dan kemitraan.

(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
      Peraturan Menteri.



                                               BAB XVII . . .
                    - 110 -


                 BAB XVII
        PENJAGAAN LAUT DAN PANTAI
          (SEA AND COAST GUARD)


                   Pasal 276

(1)   Untuk menjamin terselenggaranya keselamatan dan
      keamanan di laut dilaksanakan fungsi penjagaan dan
      penegakan peraturan perundang-undangan di laut dan
      pantai.
(2)   Pelaksanaan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      dilakukan oleh penjaga laut dan pantai.
(3)   Penjaga laut dan pantai sebagaimana dimaksud pada
      ayat (2) dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden
      dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri.

                   Pasal 277

(1)   Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 276 ayat (1) penjaga laut dan pantai
      melaksanakan tugas:
      a. melakukan pengawasan keselamatan dan keamanan
         pelayaran;
      b. melakukan       pengawasan,     pencegahan,      dan
         penanggulangan pencemaran di laut;
      c. pengawasan dan penertiban kegiatan serta lalu lintas
         kapal;
      d. pengawasan dan penertiban kegiatan salvage,
         pekerjaan bawah air, serta eksplorasi dan eksploitasi
         kekayaan laut;
      e. pengamanan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran; dan
      f. mendukung pelaksanaan kegiatan pencarian dan
         pertolongan jiwa di laut.
(2)   Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 276 ayat (1) penjaga laut dan pantai
      melaksanakan koordinasi untuk:
      a. merumuskan dan menetapkan kebijakan umum
         penegakan hukum di laut;

                                             b. menyusun . . .
                    - 111 -

      b. menyusun kebijakan dan standar prosedur operasi
         penegakan hukum di laut secara terpadu;
      c. kegiatan penjagaan, pengawasan, pencegahan dan
         penindakan pelanggaran hukum serta pengamanan
         pelayaran dan pengamanan aktivitas masyarakat dan
         Pemerintah di wilayah perairan Indonesia; dan
      d. memberikan dukungan teknis administrasi di bidang
         penegakan hukum di laut secara terpadu.

                  Pasal 278

(1)   Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 277, penjaga laut dan pantai mempunyai
      kewenangan untuk:
      a. melaksanakan patroli laut;
      b. melakukan pengejaran seketika (hot pursuit);
      c. memberhentikan dan memeriksa kapal di laut; dan
      d. melakukan penyidikan.
(2)   Dalam    melaksanakan     kewenangan      sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) huruf d penjaga laut dan pantai
      melaksanakan tugas sebagai Pejabat Penyidik Pegawai
      Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan
      perundang-undangan.
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan penjaga
      laut dan pantai diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                  Pasal 279

(1)   Dalam rangka melaksanakan tugasnya penjaga laut dan
      pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 didukung
      oleh prasarana berupa pangkalan armada penjaga laut
      dan pantai yang berlokasi di seluruh wilayah Indonesia,
      dan dapat menggunakan kapal dan pesawat udara yang
      berstatus sebagai kapal negara atau pesawat udara
      negara.
(2)   Penjaga laut dan pantai wajib memiliki kualifikasi dan
      kompetensi   sesuai   dengan   ketentuan     peraturan
      perundang-undangan.


                                         (3) Pelaksanaan . . .
                    - 112 -

(3)   Pelaksanaan penjagaan dan penegakan hukum di laut
      oleh penjaga laut dan pantai sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) wajib menggunakan dan menunjukkan
      identitas yang jelas.
(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai identitas penjaga laut
      dan pantai diatur dengan Peraturan Pemerintah.


                   Pasal 280

Aparat penjagaan dan penegakan peraturan di bidang
pelayaran yang tidak menggunakan dan menunjukkan
identitas yang jelas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 279
ayat (3) dikenakan sanksi administratif sesuai dengan
ketentuan    peraturan    perundang-undangan   di  bidang
kepegawaian.

                   Pasal 281

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan serta
organisasi dan tata kerja penjaga laut dan pantai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 276 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.


                  BAB XVIII
                 PENYIDIKAN


                   Pasal 282

(1)   Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia
      dan penyidik lainnya, pejabat pegawai negeri sipil
      tertentu di lingkungan instansi yang lingkup tugas dan
      tanggung jawabnya di bidang pelayaran diberi wewenang
      khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam
      Undang-Undang ini.
(2)   Dalam pelaksanaan tugasnya pejabat pegawai negeri
      sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada
      di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik polisi
      Negara Republik Indonesia.



                                                Pasal 283 . . .
                    - 113 -

                  Pasal 283

(1)   Penyidik sebagaimana dimaksud       dalam Pasal 282
      berwenang melakukan penyidikan       tindak pidana di
      bidang pelayaran.
(2)   Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) berwenang:
      a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
         sehubungan dengan tindak pidana di bidang
         pelayaran;
      b. menerima laporan atau keterangan dari seseorang
         tentang adanya tindak pidana di bidang pelayaran;
      c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
         sebagai tersangka atau saksi;
      d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
         orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang
         pelayaran;
      e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga
         melakukan tindak pidana di bidang pelayaran;
      f. memotret     dan/atau    merekam     melalui   media
         audiovisual terhadap orang, barang, kapal atau apa
         saja yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana
         di bidang pelayaran;
      g. memeriksa catatan dan pembukuan yang diwajibkan
         menurut Undang-Undang ini dan pembukuan lainnya
         yang terkait dengan tindak pidana pelayaran;
      h. mengambil sidik jari;
      i. menggeledah kapal, tempat dan memeriksa barang
         yang terdapat di dalamnya apabila dicurigai adanya
         tindak pidana di bidang pelayaran;
      j. menyita benda-benda yang diduga keras merupakan
         barang yang digunakan untuk melakukan tindak
         pidana di bidang pelayaran;
      k. memberikan tanda pengaman dan mengamankan apa
         saja yang dapat dijadikan sebagai bukti sehubungan
         dengan tindak pidana di bidang pelayaran;
      l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
         hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
         pidana di bidang pelayaran;

                                           m. menyuruh . . .
                    - 114 -

      m. menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan
         tindak pidana di bidang pelayaran serta memeriksa
         tanda pengenal diri tersangka;
      n. mengadakan penghentian penyidikan; dan
      o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang
         bertanggung jawab.
(3)   Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada
      penuntut umum melalui pejabat penyidik polisi Negara
      Republik Indonesia.



                 BAB XIX
             KETENTUAN PIDANA


                  Pasal 284

Setiap orang yang mengoperasikan kapal asing untuk
mengangkut penumpang dan/atau barang antarpulau atau
antarpelabuhan di wilayah perairan Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

                  Pasal 285

Setiap orang yang melayani kegiatan angkutan laut khusus
yang mengangkut muatan barang milik pihak lain dan atau
mengangkut muatan atau barang milik pihak lain dan/atau
mengangkut muatan atau barang umum tanpa izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda
paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

                  Pasal 286

(1)   Nakhoda angkutan sungai dan danau yang melayarkan
      kapalnya ke laut tanpa izin dari Syahbandar sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 18 ayat (6) dipidana dengan
      pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda
      paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta
      rupiah).

                                                 (2) Jika . . .
                    - 115 -

(2)   Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      mengakibatkan kerugian harta benda dipidana dengan
      pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda
      paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3)   Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      mengakibatkan kematian seseorang, Nakhoda dipidana
      dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
      dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu
      milyar lima ratus juta rupiah).

                   Pasal 287

Setiap orang yang mengoperasikan kapal pada angkutan di
perairan tanpa izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).

                   Pasal 288

Setiap orang yang mengoperasikan kapal pada angkutan
sungai dan danau tanpa izin trayek sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

                   Pasal 289

Setiap orang yang mengoperasikan kapal pada angkutan
penyeberangan tanpa memiliki persetujuan pengoperasian
kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (6)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).

                   Pasal 290

Setiap orang yang menyelenggarakan usaha jasa terkait tanpa
memiliki izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).


                                                Pasal 291 . . .
                    - 116 -

                   Pasal 291

Setiap orang yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk
mengangkut penumpang dan/atau barang terutama angkutan
pos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda
paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

                   Pasal 292

Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

                   Pasal 293

Setiap orang yang tidak memberikan fasilitas khusus dan
kemudahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan
dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).

                   Pasal 294

(1)   Setiap orang yang mengangkut barang khusus dan
      barang berbahaya tidak sesuai dengan persyaratan
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dipidana dengan
      pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda
      paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta
      rupiah).
(2)   Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      mengakibatkan kerugian harta benda dipidana dengan
      pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda
      paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3)   Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      mengakibatkan kematian seseorang dan kerugian harta
      benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
      (sepuluh)   tahun    dan     denda     paling     banyak
      Rp1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).



                                                Pasal 295 . . .
                    - 117 -

                   Pasal 295

Setiap orang yang mengangkut barang berbahaya dan barang
khusus     yang    tidak   menyampaikan      pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

                   Pasal 296

Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

                   Pasal 297

(1)   Setiap orang yang membangun dan mengoperasikan
      pelabuhan sungai dan danau tanpa izin sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dipidana dengan
      pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda
      paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2)   Setiap orang yang memanfaatkan garis pantai untuk
      melakukan kegiatan tambat kapal dan bongkar muat
      barang atau menaikkan dan menurunkan penumpang
      untuk kepentingan sendiri di luar kegiatan di pelabuhan,
      terminal khusus dan terminal untuk kepentingan sendiri
      tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339
      dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
      tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga
      ratus juta rupiah).


                  Pasal 298

Setiap orang yang tidak memberikan jaminan atas
pelaksanaan tanggung jawab ganti rugi dalam melaksanakan
kegiatan di pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
100 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) bulan dan denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).


                                                Pasal 299 . . .
                    - 118 -

                  Pasal 299

Setiap orang yang membangun dan mengoperasikan terminal
khusus tanpa izin dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 104 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama    2   (dua)  tahun    atau    denda   paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

                  Pasal 300

Setiap orang yang menggunakan terminal khusus untuk
kepentingan umum tanpa memiliki izin dari Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling
banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

                   Pasal 301

Setiap orang yang mengoperasikan terminal khusus untuk
melayani perdagangan dari dan ke luar negeri tanpa
memenuhi     persyaratan  dan   belum    ada    penetapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (4) atau ayat (5)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).

                  Pasal 302

(1)   Nakhoda yang melayarkan kapalnya sedangkan yang
      bersangkutan mengetahui bahwa kapal tersebut tidak
      laik laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2)
      dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
      tahun atau denda paling banyak Rp400.000.000,00
      (empat ratus juta rupiah).
(2)   Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      mengakibatkan kerugian harta benda dipidana dengan
      pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda
      paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3)   Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      mengakibatkan kematian seseorang dan kerugian harta
      benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
      (sepuluh)   tahun    dan     denda      paling    banyak
      Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).


                                                Pasal 303 . . .
                    - 119 -


                   Pasal 303

(1)   Setiap orang yang mengoperasikan kapal dan pelabuhan
      tanpa    memenuhi    persyaratan   keselamatan   dan
      keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan
      maritim sebagaimana dimaksud dalam pasal 122
      dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
      tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga
      ratus juta rupiah).
(2)   Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      mengakibatkan kerugian harta benda dipidana dengan
      pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda
      paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3)   Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      mengakibatkan kematian seseorang, dipidana dengan
      pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
      paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus
      juta rupiah).

                  Pasal 304

Setiap orang yang tidak membantu pelaksanaan pemeriksaan
dan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
bulan atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).

                  Pasal 305

Setiap orang yang tidak memelihara kapalnya sehingga tidak
memenuhi      sesuai   persyaratan     keselamatan    kapal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

                  Pasal 306

Setiap orang yang mengoperasikan kapal yang tidak
memenuhi persyaratan perlengkapan navigasi dan/atau
navigasi elektronika kapal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 131 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama    2   (dua)   tahun    dan    denda  paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

                                                Pasal 307 . . .
                  - 120 -

                 Pasal 307

Setiap orang yang mengoperasikan kapal tanpa dilengkapi
dengan perangkat komunikasi radio dan kelengkapannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).


                 Pasal 308

Setiap orang yang mengoperasikan kapal tidak dilengkapi
dengan peralatan meteorologi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 132 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama   2   (dua)   tahun     dan    denda  paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

                Pasal 309

Nakhoda yang sedang berlayar dan mengetahui adanya cuaca
buruk yang membahayakan keselamatan berlayar namun
tidak menyebarluaskannya kepada pihak lain dan/atau
instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132
ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah).

                 Pasal 310

Setiap orang yang mempekerjakan Awak Kapal tanpa
memenuhi     persyaratan    kualifikasi   dan     kompetensi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 135 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling
banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

                 Pasal 311

Setiap orang yang menghalang-halangi keleluasaan Nakhoda
untuk melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 138 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).


                                               Pasal 312 . . .
                    - 121 -

                  Pasal 312

Setiap orang yang mempekerjakan seseorang di kapal dalam
jabatan apa pun tanpa disijil dan tanpa memiliki kompetensi
dan keterampilan serta dokumen pelaut yang dipersyaratkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling
banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

                   Pasal 313

Setiap orang yang menggunakan peti kemas sebagai bagian
dari alat angkut tanpa memenuhi persyaratan kelaikan peti
kemas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun
dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).

                   Pasal 314

Setiap orang yang tidak memasang tanda pendaftaran pada
kapal yang telah terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
158 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) bulan atau denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

                   Pasal 315

Nakhoda yang mengibarkan bendera negara lain sebagai
tanda kebangsaan dimaksud dalam Pasal 167 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda
paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

                  Pasal 316

(1)   Setiap orang yang dengan sengaja merusak atau
      melakukan       tindakan    yang   mengakibatkan   tidak
      berfungsinya Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dan
      fasilitas alur-pelayaran di laut, sungai dan danau serta
      Telekomunikasi-Pelayaran sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 174 dipidana dengan pidana:
      a. penjara paling lama 12 (dua belas) tahun jika hal itu
         dapat mengakibatkan bahaya bagi kapal berlayar atau
         denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar
         lima ratus juta rupiah);

                                               b. penjara . . .
                     - 122 -

      b. penjara paling lama 15 (lima belas) tahun, jika hal itu
         dapat mengakibatkan bahaya bagi kapal berlayar dan
         perbuatan     itu  berakibat   kapal tenggelam atau
         terdampar      dan/atau    denda     paling    banyak
         Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); atau
      c. penjara seumur hidup atau penjara untuk waktu
         tertentu paling lama 20 (dua puluh) tahun, jika hal itu
         dapat mengakibatkan bahaya bagi kapal berlayar dan
         berakibat matinya seseorang.
(2)   Setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan
      tidak berfungsinya Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dan
      fasilitas alur-pelayaran di laut, sungai dan danau dan
      Telekomunikasi-Pelayaran sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 174 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
      (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00
      (dua ratus juta rupiah) jika hal itu mengakibatkan
      bahaya bagi kapal berlayar.


                  Pasal 317

Nakhoda yang tidak mematuhi         ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 193 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

                  Pasal 318

Setiap orang yang melakukan pekerjaan pengerukan serta
reklamasi alur-pelayaran dan kolam pelabuhan tanpa izin
Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).

                   Pasal 319

Petugas pandu yang melakukan pemanduan tanpa memiliki
sertifikat sebagaimana dimaksud dalam pasal 199 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).


                                                  Pasal 320 . . .
                    - 123 -

                  Pasal 320

Pemilik kapal dan/atau Nakhoda yang tidak melaporkan
kerangka kapalnya yang berada di perairan Indonesia kepada
instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
202 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) bulan dan denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

                  Pasal 321

Pemilik kapal yang tidak menyingkirkan kerangka kapal
dan/atau muatannya yang mengganggu keselamatan dan
keamanan pelayaran dalam batas waktu yang ditetapkan
Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah)

                  Pasal 322

Nakhoda yang melakukan kegiatan perbaikan, percobaan
berlayar, kegiatan alih muat di kolam pelabuhan, menunda,
dan bongkar muat barang berbahaya tanpa persetujuan dari
Syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 216 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan
atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).

                   Pasal 323

(1)   Nakhoda yang berlayar tanpa memiliki Surat Persetujuan
      Berlayar yang dikeluarkan oleh Syahbandar sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 219 ayat (1) dipidana dengan
      pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
      paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta
      rupiah).
(2)   Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      mengakibatkan        kecelakaan      kapal      sehingga
      mengakibatkan kerugian harta benda dipidana dengan
      pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
      paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).


                                                 (3) Jika . . .
                    - 124 -

(3)   Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      mengakibatkan       kecelakaan       kapal    sehingga
      mengakibatkan kematian dipidana dengan pidana
      penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
      banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
      rupiah).

                  Pasal 324

Setiap Awak Kapal yang tidak melakukan pencegahan dan
penanggulangan terhadap terjadinya pencemaran lingkungan
yang bersumber dari kapal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 227 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah).

                  Pasal 325

(1)   Setiap orang yang melakukan pembuangan limbah air
      balas, kotoran, sampah atau bahan lain ke perairan di
      luar     ketentuan  peraturan   perundang-undangan
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) dipidana
      dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
      denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta
      rupiah).
(2)   Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup atau
      tercemarnya lingkungan hidup dipidana dengan pidana
      penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
      banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3)   Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      mengakibatkan kematian seseorang dipidana dengan
      pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
      denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar
      lima ratus juta rupiah).

                  Pasal 326

Setiap orang yang mengoperasikan kapalnya dengan
mengeluarkan gas buang melebihi ambang batas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

                                                Pasal 327 . . .
                  - 125 -


                 Pasal 327

Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (2) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

                Pasal 328

Setiap orang yang melakukan pengangkutan limbah bahan
berbahaya dan beracun tanpa memperhatikan spesifikasi
kapal sebagaimana dimaksud dalam pasal 233 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).

                 Pasal 329

Setiap orang yang melakukan penutuhan kapal dengan tidak
memenuhi persyaratan perlindungan lingkungan maritim
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).


                 Pasal 330

Nakhoda yang mengetahui adanya bahaya dan kecelakaan di
kapalnya, kapal lain, atau setiap orang yang ditemukan dalam
keadaan bahaya, yang tidak melakukan tindakan pencegahan
dan menyebarluaskan berita mengenai hal tersebut kepada
pihak lain, tidak melaporkan kepada Syahbandar atau Pejabat
Perwakilan RI terdekat dan pejabat pemerintah negara
setempat yang berwenang apabila bahaya dan kecelakaan
terjadi di luar wilayah perairan Indonesia serta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 244 ayat (3) atau ayat (4), Pasal 247
atau Pasal 248 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun atau denda paling banyak Rp400.000.000,00
(empat ratus juta rupiah).



                                              Pasal 331 . . .
                    - 126 -

                  Pasal 331

Setiap orang yang berada di atas kapal yang mengetahui
terjadi kecelakaan dalam batas kemampuannya tidak
memberikan pertolongan dan melaporkan kecelakaan kepada
Nakhoda dan/atau Anak Buah Kapal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 246 dipidana dengan pidana penjara paling lama
1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

                  Pasal 332

Setiap orang yang mengoperasikan kapal atau pesawat udara
yang tidak membantu usaha pencarian dan pertolongan
terhadap setiap orang yang mengalami musibah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 258 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

                  Pasal 333

(1)   Tindak pidana di bidang pelayaran dianggap dilakukan
      oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan
      oleh orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama
      korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik
      berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain,
      bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik
      sendiri maupun bersama-sama.

(2)   Dalam hal tindak pidana di bidang pelayaran dilakukan
      oleh suatu korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan
      dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.


                  Pasal 334

Dalam hal panggilan terhadap korporasi, maka pemanggilan
untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan
disampaikan kepada pengurus di tempat pengurus berkantor,
di tempat korporasi itu beroperasi, atau di tempat tinggal
pengurus.


                                                Pasal 335 . . .
                   - 127 -


                  Pasal 335

Dalam hal tindak pidana di bidang pelayaran dilakukan oleh
suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap
pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap
korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga)
kali dari pidana denda yang ditentukan dalam Bab ini.

                  Pasal 336

(1)   Setiap pejabat yang melanggar suatu kewajiban khusus
      dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak
      pidana menggunakan kekuasaan, kesempatan, atau
      sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan
      dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
      tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00
      (seratus juta rupiah).
(2)   Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa
      pemberhentian secara tidak dengan hormat dari
      jabatannya.



                BAB XX
           KETENTUAN LAIN-LAIN


                  Pasal 337

Ketentuan ketenagakerjaan di bidang pelayaran dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan.

                  Pasal 338

Ketentuan mengenai pendidikan dan pelatihan sumber daya
manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 dan Pasal
264 berlaku secara mutatis mutandis untuk bidang
transportasi.


                                             Pasal 339 . . .
                    - 128 -



                  Pasal 339

(1)   Setiap orang yang memanfaatkan garis pantai untuk
      membangun fasilitas dan/atau melakukan kegiatan
      tambat kapal dan bongkar muat barang atau menaikkan
      dan menurunkan penumpang untuk kepentingan sendiri
      di luar kegiatan di pelabuhan, terminal khusus, dan
      terminal untuk kepentingan sendiri wajib memiliki izin.

(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
      perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
      dengan Peraturan Menteri.


                  Pasal 340

Kewenangan penegakan hukum pada perairan Zona Ekonomi
Eksklusif dilaksanakan oleh Tentara Nasional Indonesia
Angkatan Laut sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.



                 BAB XXI
           KETENTUAN PERALIHAN



                  Pasal 341

Kapal asing yang saat ini masih melayani kegiatan angkutan
laut dalam negeri tetap dapat melakukan kegiatannya paling
lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

                  Pasal 342

Administrator Pelabuhan dan Kantor Pelabuhan tetap
melaksanakan tugas dan fungsinya sampai dengan
terbentuknya lembaga baru berdasarkan Undang-Undang ini.


                                                Pasal 343 . . .
                   - 129 -


                 Pasal 343

Pelabuhan umum, pelabuhan penyeberangan, pelabuhan
khusus, dan dermaga untuk kepentingan sendiri, yang telah
diselenggarakan    berdasarkan Undang-Undang Nomor 21
Tahun 1992 tentang Pelayaran kegiatannya tetap dapat
diselenggarakan dengan ketentuan peran, fungsi, jenis,
hierarki, dan statusnya wajib disesuaikan dengan Undang-
Undang ini paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang
ini berlaku.

                  Pasal 344

(1)   Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Pemerintah,
      pemerintah daerah, dan Badan Usaha Milik Negara yang
      menyelenggarakan pelabuhan tetap menyelenggarakan
      kegiatan pengusahaan di pelabuhan berdasarkan
      Undang-Undang ini.

(2)   Dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-
      Undang ini berlaku, kegiatan usaha pelabuhan yang
      dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan
      Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dimaksud pada
      ayat   (1)  wajib   disesuaikan   dengan    ketentuan
      sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

(3)   Kegiatan pengusahaan di pelabuhan yang telah
      diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara tetap
      diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara
      dimaksud.

                  Pasal 345

(1)   Perjanjian atau kerja sama di dalam Daerah Lingkungan
      Kerja antara Badan Usaha Milik Negara yang telah
      menyelenggarakan usaha pelabuhan dengan pihak ketiga
      tetap berlaku.

(2) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, perjanjian
    atau kerja sama Badan Usaha Milik Negara dengan pihak
    ketiga dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang ini.


                                              Pasal 346 . . .
                  - 130 -


                 Pasal 346

Penjagaan dan penegakan hukum di laut dan pantai serta
koordinasi keamanan di laut tetap dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sampai
dengan terbentuknya Penjagaan Laut dan Pantai.



                 BAB XXII
          KETENTUAN PENUTUP



                 Pasal 347

Peraturan Pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya
dari Undang-Undang ini ditetapkan paling lambat 1 (satu)
tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

                 Pasal 348

Otoritas Pelabuhan, Unit Penyelenggara Pelabuhan, dan
Syahbandar harus terbentuk paling lambat 1 (satu) tahun
sejak Undang-Undang ini berlaku.

                 Pasal 349

Rencana Induk Pelabuhan Nasional harus ditetapkan oleh
Pemerintah paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang
ini berlaku.

                 Pasal 350

Pelabuhan utama yang berfungsi sebagai pelabuhan hub
internasional harus ditetapkan oleh Pemerintah paling lambat
2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.


                                               Pasal 351 . . .
                    - 131 -


                  Pasal 351

(1)   Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan
      Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan
      yang telah ada sebelum Undang-Undang ini, harus selesai
      dievaluasi dan disesuaikan dengan Undang-Undang ini
      paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini
      berlaku.
(2)   Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan
      Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan
      yang belum ditetapkan berdasarkan Undang-Undang
      Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran harus sudah
      ditetapkan dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun
      sejak Undang-Undang ini berlaku.


                  Pasal 352

Penjagaan Laut dan Pantai harus sudah terbentuk paling
lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

                  Pasal 353

Pada saat Undang-Undang ini berlaku semua peraturan
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang
Pelayaran dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan atau belum diganti dengan yang      baru
berdasarkan Undang-Undang ini.

                  Pasal 354

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 98, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3493) dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.

                  Pasal 355

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


                                                     Agar . . .
                                - 132 -


               Agar   setiap  orang   mengetahuinya,     memerintahkan
               pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
               dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

                               Disahkan di Jakarta
                               pada tanggal 7 Mei 2008

                               PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


                                            ttd

                               DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO



Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Mei 2008

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
         REPUBLIK INDONESIA,

                  ttd


          ANDI MATTALATTA




LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 64
                           PENJELASAN
                                ATAS
               UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                        NOMOR 17 TAHUN 2008
                               TENTANG
                         PELAYARAN




I. UMUM

  Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Negara Kesatuan Republik Indonesia
  telah dianugerahi sebagai negara kepulauan yang terdiri atas beribu pulau,
  sepanjang garis khatulistiwa, di antara dua benua dan dua samudera
  sehingga mempunyai posisi dan peranan penting dan strategis dalam
  hubungan antarbangsa.
  Posisi strategis Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dimanfaatkan
  secara maksimal sebagai modal dasar pembangunan nasional berdasarkan
  Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
  1945 untuk mewujudkan Indonesia yang aman, damai, adil, dan
  demokratis, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat.
  Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional dan perwujudan
  Wawasan Nusantara, perlu disusun sistem transportasi nasional yang
  efektif dan efisien, dalam menunjang dan sekaligus menggerakkan dinamika
  pembangunan, meningkatkan mobilitas manusia, barang, dan jasa,
  membantu terciptanya pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis,
  serta mendukung pengembangan wilayah dan lebih memantapkan
  perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, turut
  mendukung pertahanan dan keamanan, serta peningkatan hubungan
  internasional.
  Transportasi merupakan sarana untuk memperlancar roda perekonomian,
  memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, dalam rangka
  memantapkan perwujudan Wawasan Nusantara, meningkatkan serta
  mendukung pertahanan dan keamanan negara, yang selanjutnya dapat
  mempererat hubungan antarbangsa.
  Pentingnya transportasi tersebut tercermin pada penyelenggaraannya yang
  mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa dan negara serta semakin
  meningkatnya kebutuhan jasa angkutan bagi mobilitas orang dan barang
  dalam negeri serta ke dan dari luar negeri.


                                                                      Di . . .
                                 -2-

Di samping itu, transportasi juga berperan sebagai penunjang, pendorong,
dan penggerak bagi pertumbuhan daerah yang memiliki potensi sumber
daya alam yang besar tetapi belum berkembang, dalam upaya peningkatan
dan pemerataan pembangunan serta hasil-hasilnya.
Menyadari pentingnya peran transportasi tersebut, angkutan laut sebagai
salah satu moda transportasi harus ditata dalam satu kesatuan sistem
transportasi nasional yang terpadu dan mampu mewujudkan penyediaan
jasa transportasi yang seimbang sesuai dengan tingkat kebutuhan dan
tersedianya pelayanan angkutan yang selamat, aksesibilitas tinggi, terpadu,
kapasitas mencukupi, teratur, lancar dan cepat, mudah dicapai, tepat
waktu, nyaman, tarif terjangkau, tertib, aman, polusi rendah, dan efisien.
Angkutan laut yang mempunyai karakteristik pengangkutan secara
nasional dan menjangkau seluruh wilayah melalui perairan perlu
dikembangkan potensi dan ditingkatkan peranannya sebagai penghubung
antarwilayah, baik nasional maupun internasional termasuk lintas batas,
karena digunakan sebagai sarana untuk menunjang, mendorong, dan
menggerakkan pembangunan nasional dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan rakyat serta menjadi perekat Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Mengingat penting dan strategisnya peranan angkutan laut yang menguasai
hajat hidup orang banyak maka keberadaannya dikuasai oleh negara yang
pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.
Dalam perjalanan waktu, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang
Pelayaran perlu dilakukan penyesuaian karena telah terjadi berbagai
perubahan paradigma dan lingkungan strategis, baik dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia seperti penerapan otonomi daerah atau adanya
kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selain itu, pengertian istilah "pelayaran" sebagai sebuah sistem pun telah
berubah dan terdiri dari angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan
dan keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan maritim, yang
selanjutnya    memerlukan       penyesuaian    dengan    kebutuhan    dan
perkembangan zaman serta ilmu pengetahuan dan teknologi agar dunia
pelayaran dapat berperan di dunia internasional.
Atas dasar hal tersebut di atas, maka disusunlah Undang-Undang tentang
Pelayaran yang merupakan penyempurnan dari Undang-Undang Nomor 21
Tahun 1992, sehingga penyelenggaraan pelayaran sebagai sebuah sistem
dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada seluruh rakyat,
bangsa dan negara, memupuk dan mengembangkan jiwa kebaharian,
dengan mengutamakan kepentingan umum, dan kelestarian lingkungan,
koordinasi antara pusat dan daerah, serta pertahanan keamanan negara.


                                                       Undang-Undang . . .
                                 -3-



Undang-Undang tentang Pelayaran yang memuat empat unsur utama yakni
angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan
pelayaran, serta perlindungan lingkungan maritim dapat diuraikan sebagai
berikut:

a. pengaturan untuk bidang angkutan di perairan memuat prinsip
   pelaksanaan asas cabotage dengan cara pemberdayaan angkutan laut
   nasional yang memberikan iklim kondusif guna memajukan industri
   angkutan di perairan, antara lain adanya kemudahan di bidang
   perpajakan, dan permodalan dalam pengadaan kapal serta adanya
   kontrak jangka panjang untuk angkutan;

  Dalam rangka pemberdayaan industri angkutan laut nasional, dalam
  Undang Undang ini diatur pula mengenai hipotek kapal. Pengaturan ini
  merupakan salah satu upaya untuk meyakinkan kreditor bahwa kapal
  Indonesia dapat dijadikan agunan berdasarkan peraturan perundang-
  undangan, sehingga diharapkan perusahaan angkutan laut nasional
  akan mudah memperoleh dana untuk pengembangan armadanya;

b. pengaturan untuk bidang kepelabuhanan memuat ketentuan mengenai
   penghapusan monopoli dalam penyelenggaraan pelabuhan, pemisahan
   antara fungsi regulator dan operator serta memberikan peran serta
   pemerintah daerah dan swasta secara proposional di dalam
   penyelenggaraan    kepelabuhanan;

c. pengaturan untuk bidang keselamatan dan keamanan pelayaran
   memuat ketentuan yang mengantisipasi kemajuan teknologi dengan
   mengacu pada konvensi internasional yang cenderung menggunakan
   peralatan mutakhir pada sarana dan prasarana keselamatan pelayaran,
   di samping mengakomodasi ketentuan mengenai sistem keamanan
   pelayaran yang termuat dalam "International Ship and Port Facility
   Security Code"; dan

d. pengaturan untuk bidang perlindungan lingkungan maritim memuat
   ketentuan mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran
   lingkungan laut yang bersumber dari pengoperasian kapal dan sarana
   sejenisnya dengan mengakomodasikan ketentuan internasional terkait
   seperti "International Convention for the Prevention of Pollution from
   Ships".


                                                               Selain . . .
                                   -4-

  Selain hal tersebut di atas, yang juga diatur secara tegas dan jelas dalam
  Undang-Undang ini adalah pembentukan institusi di bidang penjagaan laut
  dan pantai (Sea and Coast Guard) yang dibentuk dan bertanggung jawab
  kepada Presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri.
  Penjaga laut dan pantai memiliki fungsi komando dalam penegakan aturan
  di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran, dan fungsi koordinasi di
  bidang penegakan hukum di luar keselamatan pelayaran. Penjagaan laut
  dan pantai tersebut merupakan pemberdayaan Badan Koordinasi
  Keamanan Laut dan perkuatan Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai.
  Diharapkan dengan pengaturan ini penegakan aturan di bidang
  keselamatan dan keamanan pelayaran dapat dilaksanakan secara terpadu
  dan terkoordinasi dengan baik sehingga tidak terjadi tumpang tindih
  kewenangan penegakan hukum di laut yang dapat mengurangi citra
  Indonesia dalam pergaulan antarbangsa.
  Terhadap Badan Usaha Milik Negara yang selama ini telah
  menyelenggarakan kegiatan pengusahaan pelabuhan tetap dapat
  menyelenggarakan kegiatan yang sama dengan mendapatkan pelimpahan
  kewenangan Pemerintah, dalam upaya meningkatkan peran Badan Usaha
  Milik Negara guna mendukung pertumbuhan ekonomi.
  Dengan diundangkannya Undang-Undang tentang Pelayaran ini, berbagai
  ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lain yang
  berkaitan dengan pelayaran, antara lain Kitab Undang-Undang Hukum
  Dagang (Wet Borepublikek Van Koophandel), Ordonansi Laut Teritorial dan
  Lingkungan Maritim Tahun 1939, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973
  tentang Landas Kontinen Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983
  tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Undang-Undang Nomor 17
  Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
  tentang Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea,
  1982), Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia,
  Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
  Hidup, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dan
  sepanjang menyangkut aspek keselamatan dan keamanan pelayaran
  tunduk pada pengaturan Undang-Undang tentang Pelayaran ini.
  Dalam Undang-Undang ini diatur hal-hal yang bersifat pokok, sedangkan
  yang bersifat teknis dan operasional akan diatur dalam Peraturan
  Pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya.



II. PASAL DEMI PASAL

  Pasal 1
      Cukup jelas.

                                                                 Pasal 2 . . .
                               -5-


Pasal 2
    Huruf a
        Yang dimaksud "asas manfaat" adalah pelayaran harus dapat
        memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan,
        peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengembangan bagi warga
        negara, serta upaya peningkatan pertahanan dan keamanan
        negara.

    Huruf b
       Yang dimaksud "asas usaha bersama dan kekeluargaan" adalah
       penyelenggaraan usaha di bidang pelayaran dilaksanakan untuk
       mencapai tujuan nasional yang dalam kegiatannya dapat
       dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai oleh
       semangat kekeluargaan.

    Huruf c
       Yang dimaksud dengan "asas persaingan sehat" adalah
       penyelenggaraan angkutan perairan di dalam negeri harus
       mampu mengembangkan usahanya secara mandiri, kompetitif,
       dan profesional.

    Huruf d
       Yang dimaksud dengan "asas adil dan merata tanpa diskriminasi"
       adalah penyelenggaraan pelayaran harus dapat memberikan
       pelayanan yang adil dan merata kepada segenap          lapisan
       masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat tanpa
       membedakan suku, agama, dan keturunan serta tingkat ekonomi.

    Huruf e
       Yang dimaksud dengan "asas keseimbangan, keserasian, dan
       keselarasan" adalah pelayaran harus diselenggarakan sedemikian
       rupa    sehingga   terdapat   keseimbangan,    keserasian,   dan
       keselarasan antara sarana dan prasarana, antara kepentingan
       pengguna dan penyedia jasa, antara kepentingan individu dan
       masyarakat, serta antara kepentingan nasional dan international.

    Huruf f
       Yang dimaksud dengan "asas kepentingan umum" adalah
       penyelenggaraan pelayaran harus mengutamakan kepentingan
       masyarakat luas.


                                                            Huruf g . . .
                                -6-

    Huruf g
       Yang dimaksud dengan "asas keterpaduan" adalah pelayaran
       harus merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, terpadu, saling
       menunjang, dan saling mengisi baik intra-maupun antarmoda
       transportasi.

    Huruf h
       Yang dimaksud dengan "asas tegaknya hukum" adalah Undang-
       Undang ini mewajibkan kepada Pemerintah untuk menegakkan
       dan menjamin kepastian hukum serta mewajibkan kepada setiap
       warga negara Indonesia untuk selalu sadar dan taat kepada
       hukum dalam penyelenggaraan pelayaran.

    Huruf i
       Yang dimaksud dengan "asas kemandirian" adalah pelayaran
       harus bersendikan kepada kepribadian bangsa, berlandaskan pada
       kepercayaan     akan    kemampuan       dan   kekuatan   sendiri,
       mengutamakan kepentingan          nasional dalam pelayaran dan
       memperhatikan pangsa muatan yang wajar dalam angkutan di
       perairan dari dan ke luar negeri.

    Huruf j
       Yang dimaksud dengan "asas berwawasan lingkungan hidup"
       adalah penyelenggaraan pelayaran harus dilakukan berwawasan
       lingkungan.

    Huruf k
       Yang dimaksud dengan "asas kedaulatan negara" adalah
       penyelenggaraan pelayaran harus dapat menjaga keutuhan
       wilayah Negara Republik Indonesia.

    Huruf l
       Yang    dimaksud      dengan     "asas   kebangsaan"      adalah
       penyelenggaraan pelayaran harus dapat mencerminkan sifat dan
       watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan
       tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 3
    Cukup jelas.

Pasal 4
    Termasuk dalam perairan Indonesia adalah perairan daratan antara
    lain sungai, danau, waduk, kanal, dan terusan.


                                                               Yang . . .
                                -7-

    Yang dimaksud dengan "kapal" pada huruf b dan huruf c adalah:
    a. kapal yang digerakkan oleh angin adalah kapal layar;
    b. kapal yang digerakkan dengan tenaga mekanik adalah kapal yang
       mempunyai alat penggerak mesin, misalnya kapal motor, kapal uap,
       kapal dengan tenaga matahari, dan kapal nuklir;
    c. kapal yang ditunda atau ditarik adalah kapal yang bergerak dengan
       menggunakan alat penggerak kapal lain;
    d. kendaraan berdaya dukung dinamis adalah jenis kapal yang dapat
       dioperasikan di permukaan air atau di atas permukaan air dengan
       menggunakan daya dukung dinamis yang diakibatkan oleh
       kecepatan dan/atau rancang bangun kapal itu sendiri, misalnya jet
       foil, hidro foil, hovercraft, dan kapal-kapal cepat lainnya yang
       memenuhi kriteria tertentu;
    e. kendaraan di bawah permukaan air adalah jenis kapal yang mampu
       bergerak di bawah permukaan air; dan
    f. alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah
       adalah alat apung dan bangunan terapung yang tidak mempunyai
       alat penggerak sendiri, serta ditempatkan di suatu lokasi perairan
       tertentu dan tidak berpindah-pindah untuk waktu yang sama,
       misalnya hotel terapung, tongkang akomodasi (acomodation barge)
       untuk menunjang kegiatan lepas pantai dan tongkang penampung
       minyak (oil storage barge), serta unit pengeboran lepas pantai
       berpindah (mobile offshore drilling units/modu).

Pasal 5
    Ayat (1)
        Pengertian dikuasai oleh negara adalah bahwa negara mempunyai
        hak   penguasaan      atas   penyelenggaraan  pelayaran  yang
        perwujudannya meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan
        pengawasan.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

    Ayat (4)
        Cukup jelas.

    Ayat (5)
        Cukup jelas.


                                                              Ayat (6) . . .
                                 -8-

    Ayat (6)
        Cukup jelas.

    Ayat (7)
        Cukup jelas.

Pasal 6
    Cukup jelas.

Pasal 7
    Cukup jelas.

Pasal 8
    Ayat (1)
        Penggunaan kapal berbendera Indonesia oleh perusahaan
        angkutan laut nasional dimaksudkan dalam rangka pelaksanaan
        asas cabotage guna melindungi kedaulatan negara (sovereignity)
        dan mendukung perwujudan Wawasan Nusantara serta
        memberikan kesempatan berusaha yang seluas-luasnya bagi
        perusahaan angkutan laut nasional dalam memperoleh pangsa
        muatan.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

Pasal 9
    Ayat (1)
        Yang dimaksud dengan "intramoda" meliputi angkutan laut dalam
        negeri, angkutan laut luar negeri, angkutan laut khusus, dan
        angkutan pelayaran-rakyat.
        Yang dimaksud dengan "antarmoda" adalah keterpaduan
        transportasi darat, transportasi laut, dan transportasi udara.
        Intra dan antarmoda      tersebut   merupakan   satu     kesatuan
        transportasi nasional.

    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan "trayek tetap dan teratur (liner)" adalah
        pelayanan angkutan laut yang dilakukan secara tetap dan teratur
        dengan berjadwal dan menyebutkan pelabuhan singgah.
        Yang dimaksud dengan "trayek tidak tetap dan tidak teratur
        (tramper)" adalah pelayanan angkutan laut yang dilakukan secara
        tidak tetap dan tidak teratur.

                                                               Ayat (3) . . .
                               -9-

Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan "jaringan trayek" adalah kumpulan dari
    trayek yang menjadi satu kesatuan pelayanan angkutan
    penumpang dan/atau barang dari satu pelabuhan ke pelabuhan
    lainnya.

Ayat (4)
    Cukup jelas.

Ayat (5)
    Penyusunan jaringan trayek tetap dan teratur dimaksudkan untuk
    memberikan kepastian hukum dan usaha kepada pengguna jasa
    dan penyedia jasa angkutan laut.

Ayat (6)
    Cukup jelas.

Ayat (7)
    Huruf a
         Cukup jelas.

    Huruf b
       Cukup jelas.

    Huruf c
       Yang dimaksud dengan "keseimbangan permintaan dan
       tersedianya ruangan kapal (supply and demand)" adalah
       terwujudnya pelayanan pada suatu trayek yang dapat diukur
       dengan tingkat faktor muat (load factor) tertentu.
           Penyelenggaraan angkutan laut yang telah melakukan
           keperintisan dengan menempatkan kapalnya pada jaringan
           trayek tetap dan teratur perlu diberikan proteksi sampai batas
           waktu tertentu.

    Huruf d
       Cukup jelas.

    Huruf e
       Cukup jelas.

Ayat (8)
           Cukup jelas.


                                                            Pasal 10 . . .
                                 - 10 -

Pasal 10
    Cukup jelas.

Pasal 11
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan "pangsa muatan yang wajar" adalah bahwa
        wajar tidak selalu dalam arti memperoleh bagian yang sama (equal
        share), tetapi memperoleh pangsa sebagaimana ditetapkan dalam
        peraturan perundang-undangan, misalnya dalam perjanjian
        bilateral, konvensi internasional yang diratifikasi oleh Pemerintah
        Indonesia dan peraturan lainnya. Khusus untuk barang milik
        Pemerintah perlu diupayakan agar pengangkutannya dilaksanakan
        oleh perusahaan angkutan laut nasional.

        Perusahaan angkutan laut nasional dapat melakukan kerja sama
        dengan perusahaan angkutan laut asing untuk menetapkan
        perjanjian perolehan pangsa muatan (fair share agreement).


    Ayat (3)
        Cukup jelas.

    Ayat (4)
        Yang dimaksud dengan "perusahaan nasional" adalah perusahaan
        angkutan laut nasional dan badan usaha yang khusus didirikan
        untuk kegiatan keagenan yang memenuhi persyaratan yang telah
        ditentukan.

    Ayat (5)
        Yang dimaksud dengan "secara berkesinambungan" adalah bahwa
        kegiatan angkutan laut ke atau dari pelabuhan Indonesia yang
        terbuka untuk perdagangan luar negeri yang dilakukan oleh
        perusahaan angkutan laut asing secara terus menerus dan tidak
        terputus.

Pasal 12
    Cukup jelas.



                                                              Pasal 13 . . .
                                - 11 -

Pasal 13
    Ayat (1)
         Termasuk dalam kegiatan angkutan laut khusus antara lain
         kegiatan angkutan yang dilakukan oleh usaha bidang industri,
         pariwisata, pertambangan, pertanian serta kegiatan khusus seperti
         penelitian, pengerukan, kegiatan sosial, dan sebagainya, serta
         tidak melayani pihak lain dan tidak mengangkut barang umum.
        Angkutan laut khusus baik dalam negeri maupun luar negeri
        dapat diselenggarakan dalam rangka memenuhi kebutuhan yang
        karena sifat muatannya belum dapat diselenggarakan oleh
        penyedia jasa angkutan laut umum.

    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan izin operasi adalah izin yang diberikan
        kepada pelaksana kegiatan angkutan laut khusus berkaitan
        dengan pengoperasian kapalnya guna menunjang usaha
        pokoknya.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

    Ayat (4)
        Cukup jelas.

    Ayat (5)
        Cukup jelas.

    Ayat (6)
        Cukup jelas.

    Ayat (7)
        Cukup jelas.

Pasal 14
    Cukup jelas.

Pasal 15
    Ayat (1)
         Yang dimaksud "usaha masyarakat" adalah usaha yang dilakukan
         oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia
         dengan mendorong usaha-usaha yang bersifat kooperatif.

                                                                Usaha . . .
                                - 12 -

        Usaha masyarakat tersebut memiliki ciri dan sifat tradisional yaitu
        mengandung nilai-nilai budaya bangsa yang tidak hanya terdapat
        pada cara pengelolaan usaha serta pengelolanya misalnya
        mengenai hubungan kerja antarpemilik kapal dengan awak kapal,
        tetapi juga pada jenis dan bentuk kapal yang digunakan. Hal-hal
        tersebut    perlu   dilestarikan dan    dikembangkan       dengan
        memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

        Yang dimaksud dengan "karakteristik tersendiri" yaitu antara lain
        sebagai berikut :
        a. ukuran dan tipe kapal yang tertentu (pinisi, lambo, nade, dan
           lete);
        b. tenaga penggerak angin dengan menggunakan layar atau mesin
           dengan tenaga kurang dari 535 TK atau 535 TK X 0,736 =
           393,76 KW;
        c. pengawakan yang mempunyai kualifikasi berbeda dengan
           kualifikasi yang ditetapkan bagi kapal;
        d. lingkup operasinya dapat menjangkau daerah terpencil yang
           tidak memiliki fasilitas pelabuhan dan kedalaman air yang
           rendah serta negara yang berbatasan; dan
        e. Kegiatan bongkar muat dilakukan dengan tenaga manusia
           (padat karya).

    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan "orang perseorangan warga negara
        Indonesia" adalah orang perorangan (pribadi) yang memenuhi
        persyaratan untuk berusaha di bidang angkutan laut pelayaran-
        rakyat.
        Persyaratan tersebut antara lain Kartu Tanda Penduduk, surat laik
        kapal sungai dan danau, keterangan domisili, dll.

Pasal 16
    Ayat (1)
         Ketentuan ini dimaksudkan sebagai salah satu upaya memberikan
         pelindungan terhadap kelangsungan usaha angkutan laut
         pelayaran-rakyat, dan diarahkan untuk memenuhi tuntutan
         pasar, di samping melakukan kegiatan angkutan, dapat pula
         melakukan kegiatan bongkar muat dan kegiatan ekspedisi
         muatan, tanpa mengurangi pembinaan terhadap unsur angkutan
         lainnya di perairan.


                                                               Ayat (2) . . .
                                - 13 -

    Ayat (2)
        Pengembangan angkutan laut pelayaran-rakyat dapat dilakukan
        oleh Pemerintah dalam bentuk pengaturan, bimbingan, dan
        pelatihan dengan memanfaatkan karakteristiknya.
        Angkutan laut pelayaran-rakyat dapat melayari angkutan sungai
        dan danau sepanjang memenuhi persyaratan alur dan kedalaman
        sungai dan danau.
        Yang dimaksud dengan "meningkatkan kemampuannya sebagai
        lapangan usaha angkutan laut nasional dan lapangan kerja"
        adalah dengan memberikan kemudahan mendapatkan permodalan
        dari lembaga keuangan.

    Ayat (3)
        Kegiatan angkutan laut pelayaran-rakyat selain melakukan
        kegiatan angkutan pelayaran-rakyat di wilayah perairan Indonesia,
        juga dapat menyinggahi pelabuhan negara tetangga (lintas batas)
        yang berbatasan dalam rangka melakukan kegiatan perdagangan
        tradisional antarnegara.

Pasal 17
    Cukup jelas.

Pasal 18
    Ayat (1)
         Penggunaan kapal berbendera Indonesia oleh perusahaan
         angkutan sungai dan danau di dalam negeri dimaksudkan dalam
         rangka pelaksanaan asas cabotage guna melindungi kedaulatan
         negara (sovereignity) dan mendukung perwujudan Wawasan
         Nusantara di negara kepulauan Indonesia.
        Yang dimaksud dengan "orang perseorangan warga negara
        Indonesia" adalah orang perorangan (pribadi) yang memenuhi
        persyaratan untuk berusaha di bidang angkutan sungai dan
        danau.
        Persyaratan antara lain Kartu Tanda Penduduk, surat laik kapal
        sungai dan danau, dan keterangan domisili.

    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan "perjanjian antara Pemerintah Republik
        Indonesia dan pemerintah negara tetangga" adalah perjanjian yang
        telah disepakati antarnegara yang memuat antara lain persyaratan
        kapal, kuota kapal, dan persyaratan administrasi.


                                                              Ayat (3) . . .
                               - 14 -

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

    Ayat (4)
        Yang dimaksud dengan "intramoda" dalam kegiatan angkutan
        sungai dan danau adalah angkutan penyeberangan.
        Yang dimaksud dengan "antarmoda" adalah keterpaduan
        transportasi darat, transportasi laut, dan transportasi udara.
        Intra maupun antarmoda tersebut merupakan satu kesatuan
        transportasi nasional.

    Ayat (5)
        Yang dimaksud dengan "trayek tetap" adalah pelayanan angkutan
        sungai dan danau yang dilakukan secara tetap dan teratur dengan
        berjadwal dan menyebutkan pelabuhan singgah.

        Yang dimaksud dengan "trayek tidak tetap dan tidak teratur"
        adalah pelayanan angkutan sungai dan danau yang dilakukan
        secara tidak tetap dan tidak teratur.

    Ayat (6)
        Yang dimaksud dengan "izin dari Syahbandar" adalah persetujuan
        berlayar.

Pasal 19
    Cukup jelas.

Pasal 20
    Cukup jelas.

Pasal 21
    Ayat (1)
         Penggunaan kapal berbendera Indonesia oleh perusahaan
         angkutan penyeberangan di dalam negeri dimaksudkan dalam
         rangka pelaksanaan asas cabotage guna melindungi kedaulatan
         negara (sovereignity) dan mendukung perwujudan Wawasan
         Nusantara.

    Ayat (2)
        Kegiatan angkutan penyeberangan antara Negara Republik
        Indonesia dengan negara tetangga asing dilaksanakan menurut
        asas timbal balik (reciprocal).


                                                            Ayat (3) . . .
                              - 15 -

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

Pasal 22
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Huruf a
             Cukup jelas.

        Huruf b
           Cukup jelas.

        Huruf c
           Yang dimaksud dengan "jarak tertentu" adalah bahwa tidak
           semua daratan yang dipisahkan oleh perairan dihubungkan
           oleh angkutan penyeberangan,      tetapi  daratan yang
           dihubungkan merupakan pengembangan jaringan jalan
           dan/atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh
           perairan, dengan tetap memenuhi karakteristik angkutan
           penyeberangan.

         Huruf d
            Cukup jelas.

        Huruf e
           Cukup jelas.

        Huruf f
             Cukup jelas.
    Ayat (3)
        Cukup jelas.

Pasal 23
    Cukup jelas.

Pasal 24
    Ayat (1)
         Pelaksanaan angkutan ke dan dari wilayah terpencil biasanya
         secara komersial kurang menguntungkan sehingga pelaksana
         angkutan pada umumnya tidak tertarik untuk melayani rute
         demikian.


                                                            Oleh . . .
                               - 16 -

        Oleh sebab itu, guna mengembangkan daerah tersebut dan
        menembus isolasi, angkutan ke dan dari daerah terpencil dan
        belum berkembang dengan daerah yang sudah berkembang atau
        maju diselenggarakan oleh Pemerintah dengan mengikutsertakan
        pelaksana angkutan di perairan, baik swasta maupun koperasi.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

    Ayat (4)
        Cukup Jelas.

    Ayat (5)
        Yang dimaksud dengan "secara terpadu dengan lintas sektoral
        berdasarkan pendekatan pembangunan wilayah" adalah bahwa
        penyusunan usulan trayek angkutan laut perintis dikoordinasikan
        oleh pemerintah daerah dengan mengikutsertakan instansi terkait
        serta memperhatikan keterpaduan dengan program sektor lain
        seperti antara lain perdagangan, perkebunan, transmigrasi,
        perikanan, pariwisata, pendidikan, dan pertanian dalam rangka
        pengembangan potensi daerah.

    Ayat (6)
        Cukup jelas.

Pasal 25
    Yang dimaksud dengan "kontrak jangka panjang" adalah paling
    sedikit untuk jangka waktu lima tahun yang dimaksudkan untuk
    memberikan jaminan agar perusahaan angkutan laut yang
    menyelenggarakan pelayaran-perintis dapat melakukan peremajaan
    kapal.

Pasal 26
    Cukup jelas.

Pasal 27
    Kewajiban memiliki izin usaha dalam melakukan kegiatan angkutan di
    perairan dimaksudkan sebagai alat pembinaan, pengendalian, dan
    pengawasan angkutan di perairan untuk memberikan kepastian usaha
    dan perlindungan hukum bagi penyedia dan pengguna jasa.
                               - 17 -

                                                            Pasal 28 . . .
Pasal 28
    Cukup jelas.

Pasal 29
    Ayat (1)
         Yang dimaksud dengan "GT" adalah singkatan dari Gross Tonnage
         yang berarti, isi kotor kapal secara keseluruhan yang dihitung
         sesuai dengan ketentuan konvensi internasional tentang
         pengukuran kapal (International Tonnage Measurement of Ships)
         tahun 1969.
    Ayat (2)
        Dalam rangka mengembangkan industri pelayaran nasional
        dimungkinkan adanya investasi dari asing, sedangkan mengenai
        kepemilikan tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan
        di bidang penanaman modal.

Pasal 30
    Cukup jelas.

Pasal 31
    Cukup jelas.

Pasal 32
    Ayat (1)
         Cukup jelas.
    Ayat (2)
        Yang dimaksud "barang tertentu" adalah barang milik penumpang,
        barang curah cair yang dibongkar atau dimuat melalui pipa,
        barang curah kering yang dibongkar atau dimuat melalui conveyor
        atau sejenisnya, barang yang diangkut melalui kapal Ro-Ro, dan
        semua jenis barang di pelabuhan yang tidak terdapat perusahaan
        bongkar muat. Sementara itu, untuk bongkar muat barang selain
        yang disebutkan di atas harus dilakukan oleh perusahaan bongkar
        muat.
    Ayat (3)
        Cukup jelas.
    Ayat (4)
        Yang dimaksud dengan "cargodoring" adalah pekerjan melepaskan
        barang dari tali atau jala (ex tackle) di dermaga dan mengangkut
        dari dermaga ke gudang atau lapangan penumpukan selanjutnya
        menyusun di gudang atau lapangan penumpukan atau sebaliknya.
                               - 18 -

                                                               Yang . . .
        Yang dimaksud dengan "receiving/delivery" adalah pekerjaan
        memindahkan barang dari timbunan atau tempat penumpukan di
        gudang atau lapangan penumpukan dan menyerahkan sampai
        tersusun di atas kendaraan di pintu gudang atau lapangan
        penumpukan atau sebaliknya.
        Yang dimaksud dengan "stuffing" adalah pekerjaan penumpukan
        ke dalam peti kemas yang dilakukan di gudang atau lapangan
        penumpukan.
        Yang     dimaksud    dengan  "stripping" adalah   pekerjaan
        pembongkaran dari dalam peti kemas yang dilakukan di gudang
        atau di lapangan penumpukan.

Pasal 33
    Cukup jelas.

Pasal 34
    Cukup jelas.

Pasal 35
    Ayat (1)
       Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

     Ayat (4)
        Jenis tarif merupakan suatu pungutan atas setiap pelayanan yang
        diberikan oleh penyelenggara angkutan laut kepada pengguna jasa
        angkutan laut.
        Struktur tarif merupakan kerangka tarif yang dikaitkan dengan
        tatanan waktu dan satuan ukuran dari setiap jenis pelayanan jasa
        angkutan dalam satu paket angkutan.
        Golongan tarif merupakan penggolongan tarif yang ditetapkan
        berdasarkan jenis pelayanan, klasifikasi, dan fasilitas yang
        disediakan oleh penyelenggara angkutan.

Pasal 36
    Cukup jelas.
                               - 19 -

                                                            Pasal 37 . . .
Pasal 37
    Cukup jelas.

Pasal 38
    Ayat (1)
         Ketentuan ini dimaksudkan agar perusahaan angkutan tidak
         membedakan perlakuan terhadap pengguna jasa angkutan
         sepanjang yang bersangkutan telah memenuhi perjanjian
         pengangkutan yang disepakati.
        Perjanjian pengangkutan harus dilengkapi dengan dokumen
        pengangkutan     sebagaimana   ditetapkan  dalam   perjanjian
        internasional maupun peraturan perundang-undangan nasional.

    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan "dokumen muatan" adalah Bill of Lading
        atau Konosemen dan Manifest.

    Ayat (3)
        Yang dimaksud dalam "keadaan tertentu" adalah seperti bencana
        alam, kecelakaan di laut, kerusuhan sosial yang berdampak
        nasional, dan negara dalam keadaan bahaya setelah dinyatakan
        resmi oleh Pemerintah.

Pasal 39
    Cukup jelas.

Pasal 40
    Cukup jelas.

Pasal 41
    Ayat (1)
         Huruf a
             Yang dimaksud dengan "kematian atau lukanya penumpang
             yang diangkut" adalah matinya atau lukanya penumpang
             yang    diakibatkan   oleh    kecelakaan    selama   dalam
             pengangkutan dan terjadi di dalam kapal, dan/atau kecelakan
             pada saat naik ke atau turun dari kapal, sesuai dengan
             peraturan perundang-undangan.

        Huruf b
           Tanggung jawab tersebut        sesuai dengan perjanjian
           pengangkutan dan peraturan perundang-undangan.
                                - 20 -

                                                              Huruf c . . .
        Huruf c
           Tanggung jawab tersebut meliputi antara lain memberikan
           pelayanan kepada penumpang dalam batas kelayakan selama
           menunggu keberangkatan dalam hal terjadi keterlambatan
           pemberangkatan karena kelalaian perusahaan angkutan di
           perairan.

        Huruf d
           Yang dimaksud dengan "pihak ketiga" adalah orang
           perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum
           yang tidak ada kaitannya dengan pengoperasian kapal, tetapi
           meninggal atau luka atau menderita kerugian akibat
           pengoperasian kapal.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Yang dimaksud dengan "asuransi perlindungan dasar" adalah
        asuransi sebagaimana diatur di dalam ketentuan peraturan
        perundang-undangan di bidang perasuransian.

Pasal 42
    Ayat (1)
         Pelayanan khusus bagi penumpang yang menyandang cacat,
         wanita hamil, anak di bawah usia 5 (lima) tahun, orang sakit, dan
         orang lanjut usia dimaksudkan agar mereka juga dapat menikmati
         pelayanan angkutan dengan baik.
        Yang dimaksud dengan "fasilitas khusus" dapat berupa
        penyediaan jalan khusus di pelabuhan dan sarana khusus untuk
        naik ke atau turun dari kapal, atau penyediaan ruang yang
        disediakan khusus bagi penempatan kursi roda atau sarana bantu
        bagi orang sakit yang pengangkutannya mengharuskan dalam
        posisi tidur.
        Yang dimaksud dengan "cacat" misalnya penumpang yang
        menggunakan kursi roda karena lumpuh, cacat kaki, atau tuna
        netra dan sebagainya.
        Tidak termasuk dalam pengertian orang sakit dalam ketentuan ini
        adalah orang yang menderita penyakit menular sesuai dengan
        peraturan perundang-undangan.
        Yang dimaksud dengan "orang lanjut usia" adalah sesuai dengan
        peraturan perundang-undangan.
                              - 21 -

                                                         Ayat (2) . . .
    Ayat (2)
        Cukup jelas.

Pasal 43
    Cukup jelas.

Pasal 44
    Cukup jelas.

Pasal 45
    Cukup jelas.

Pasal 46
    Yang dimaksud dengan "kapal khusus yang mengangkut barang
    berbahaya" adalah kapal yang dirancang khusus untuk mengangkut
    barang berbahaya yang antara lain berupa gas, minyak bumi, bahan
    kimia (chemical), dan radioaktif.

Pasal 47
    Cukup jelas

Pasal 48
    Cukup jelas.

Pasal 49
    Cukup jelas.

Pasal 50
    Cukup jelas.

Pasal 51
    Cukup jelas.

Pasal 52
    Cukup jelas.

Pasal 53
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.
                               - 22 -

                                                               Ayat (3) . . .
    Ayat (3)
        Yang dimaksud dengan "tanggung jawab operator bersifat
        terbatas" adalah tanggung jawab operator transportasi multi-
        moda terhadap kerugian yang disebabkan oleh keterlambatan
        penyerahan adalah terbatas pada suatu jumlah yang sebanding
        dengan 2 (dua) setengah kali biaya angkut yang harus dibayar
        atas barang yang terlambat, tetapi tidak melebihi jumlah biaya
        angkut yang harus dibayar berdasarkan kontrak transportasi
        multimoda.
        Keseluruhan jumlah tanggung jawab yang menjadi beban
        operator transportasi multimoda tidak boleh melebihi batas
        tanggung jawab yang diakibatkan oleh kerugian total terhadap
        barang.

Pasal 54
    Cukup jelas.

Pasal 55
    Cukup jelas.

Pasal 56
    Cukup jelas.

Pasal 57
    Ayat (1)
         Huruf a
             Yang dimaksud dengan "pemberian       fasilitas   di   bidang
             pembiayaan dan perpajakan" adalah:
            a. mengembangkan lembaga keuangan nonbank khusus
               untuk pembiayaan pengadaan armada niaga nasional;
            b. memfasilitasi tersedianya pembiayaan bagi pengembangan
               armada niaga nasional baik yang berasal dari perbankan
               dan lembaga keuangan nonbank dengan kondisi pinjaman
               yang menarik; dan
            c. memberikan insentif fiskal bagi pengembangan             dan
               pengadaan armada angkutan perairan nasional.

        Huruf b
         Cukup jelas.
                              - 23 -

                                                          Huruf c . . .

        Huruf c
           Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Huruf a
             Yang dimaksud dengan "kawasan industri perkapalan
             terpadu" adalah pusat industri yang meliputi antara lain
             fasilitas pembangunan,     perawatan,  perbaikan,    dan
             pemeliharaan,    yang   terintegrasi  dengan     industri
             penunjangnya, seperti material kapal, permesinan, dan
             perlengkapan kapal.

        Huruf b
           Cukup jelas.

        Huruf c
           Cukup jelas.

        Huruf d
           Yang dimaksud "bahan baku dan komponen kapal" antara
           lain material, suku cadang, dan perlengkapan kapal.

        Huruf e
           Cukup jelas.

        Huruf f
           Cukup jelas.

        Huruf g
           Cukup jelas.

        Huruf h
           Cukup jelas.

Pasal 58
    Cukup jelas.

Pasal 59
    Cukup jelas.

Pasal 60
     Ayat (1)
         Cukup jelas.
                              - 24 -

                                                           Ayat (2) . . .

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

    Ayat (4)
        Yang dimaksud dengan "kekuatan eksekutorial" adalah pemegang
        hipotek dapat menggunakan grosse akta hipotek sebagai landasan
        hukum untuk melaksanakan eksekusi tanpa melalui proses
        gugatan di pengadilan.

    Ayat (5)
        Cukup jelas.

Pasal 61
    Cukup jelas.

Pasal 62
    Cukup jelas.

Pasal 63
    Cukup jelas.

Pasal 64
    Cukup jelas.

Pasal 65
    Cukup jelas.

Pasal 66
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

    Ayat (4)
        Biaya salvage diprioritaskan dari piutang-pelayaran yang
        didahulukan lainnya agar tidak mengganggu alur-pelayaran dan
        kolam pelabuhan yang dapat menghambat kelancaran lalu lintas
        kapal.
                               - 25 -

                                                         Pasal 67 . . .
Pasal 67
    Cukup jelas.

Pasal 68
    Huruf a
         Cukup jelas.

    Huruf b
       Yang dimaksud dengan "pintu gerbang kegiatan perekonomian"
       adalah sarana perkembangan perekonomian daerah, nasional, dan
       kegiatan perdagangan internasional.

    Huruf c
       Cukup jelas.

    Huruf d
       Cukup jelas.
    Huruf e
       Cukup jelas.

    Huruf f
       Cukup jelas.

Pasal 69
    Cukup jelas.
Pasal 70
    Ayat (1)
         Huruf a
             Yang dimaksud dengan "pelabuhan laut" adalah pelabuhan
             yang dapat digunakan untuk melayani angkutan laut
             dan/atau angkutan penyeberangan.

        Huruf b
             Cukup jelas
    Ayat (2)
        Huruf a
             Pelabuhan utama berfungsi sebagai:
             a. pelabuhan internasional; dan
             b. pelabuhan hub internasional.
             Yang dimaksud dengan "Pelabuhan internasional" adalah
             pelabuhan utama yang terbuka untuk perdagangan luar
             negeri.
                               - 26 -

                                                               Yang . . .


             Yang dimaksud dengan "Pelabuhan hub internasional" adalah
             pelabuhan utama yang terbuka untuk perdagangan luar
             negeri dan berfungsi sebagai pelabuhan alih muat
             (transhipment) barang antarnegara.

        Huruf b
           Cukup jelas.

        Huruf c
           Cukup jelas.

Pasal 71
    Cukup jelas.

Pasal 72
    Cukup jelas.

Pasal 73
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan "kelayakan teknis" antara lain mengenai
        kondisi perairan (gelombang, arus, kedalaman, dan pasang surut)
        dan kondisi lahan (kontur permukaan tanah).
        Yang dimaksud dengan "kelayakan lingkungan" adalah tempat
        yang akan digunakan untuk lokasi pelabuhan tidak menganggu
        lingkungan dan sesuai dengan peruntukannya.

Pasal 74
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Huruf a
             Yang dimaksud dengan "fasilitas pokok" antara lain dermaga,
             gudang, lapangan penumpukan, terminal penumpang,
             terminal peti kemas, terminal Ro-Ro, fasilitas penampungan
             dan pengolahan limbah, fasilitas bunker, fasilitas pemadam
             kebakaran,     fasilitas gudang untuk bahan atau barang
             berbahaya dan beracun, fasilitas pemeliharaan dan perbaikan
             peralatan, serta Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran.
                                 - 27 -


                                                               Huruf b . . .
        Huruf b
           Yang dimaksud dengan "fasilitas penunjang" antara lain
           kawasan perkantoran, fasilitas pos dan telekomunikasi,
           fasilitas pariwisata dan perhotelan, instalasi air bersih, listrik
           dan telekomunikasi, jaringan jalan dan rel kereta api, jaringan
           air limbah, drainase dan sampah, tempat tunggu kendaraan
           bermotor, kawasan perdagangan, kawasan industri, dan
           fasilitas umum lainnya (peribadatan, taman, tempat rekreasi,
           olahraga, jalur hijau, dan kesehatan).

    Ayat (3)
        Huruf a
             Yang dimaksud dengan "fasilitas pokok" antara lain alur-
             pelayaran, perairan tempat labuh, kolam pelabuhan untuk
             kebutuhan sandar dan olah gerak kapal, perairan tempat alih
             muat kapal, perairan untuk kapal yang mengangkut bahan
             atau barang berbahaya, perairan untuk kegiatan karantina,
             perairan alur penghubung intrapelabuhan, perairan pandu,
             dan perairan untuk kapal pemerintah.

        Huruf b
           Yang dimaksud dengan "fasilitas penunjang" antara lain
           perairan untuk fasilitas pembangunan dan pemeliharaan
           kapal, perairan tempat uji coba kapal (percobaan berlayar),
           perairan tempat kapal mati, perairan untuk keperluan
           darurat, dan perairan untuk kegiatan rekreasi (wisata air).

Pasal 75
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan "koordinat geografis" adalah koordinat
        yang ditentukan dengan lintang dan bujur.

     Ayat (3)
        Cukup jelas.

    Ayat (4)
        Cukup jelas.
                               - 28 -


                                                          Ayat (5) . . .
    Ayat (5)
        Yang dimaksud dengan "dikuasai oleh negara" adalah bahwa
        negara mempunyai hak penguasaan atas penyelenggaraan daratan
        dan/atau perairan yang ditetapkan sebagai Daerah Lingkungan
        Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan      pelabuhan yang
        perwujudannya meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan
        pengawasan.

    Ayat (6)
        Cukup jelas.

Pasal 76
    Ayat (1)
         Penetapan Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan
         Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan untuk pelabuhan laut
         pengumpan regional ditetapkan oleh gubernur, sedangkan
         pelabuhan pengumpan lokal ditetapkan oleh bupati/walikota.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

Pasal 77
    Cukup jelas.

Pasal 78
    Cukup jelas.

Pasal 79
    Cukup jelas.

Pasal 80
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan "kegiatan pemerintahan lainnya" antara
        lain kegiatan kehutanan dan pertambangan yang diselenggarakan
        oleh instansi yang berwenang dalam rangka mencegah
        pembalakan liar (illegal logging) dan penambangan liar (illegal
        mining) yang ke luar masuk melalui pelabuhan.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.
                              - 29 -

                                                          Ayat (4) . . .
    Ayat (4)
        Cukup jelas.

    Ayat (5)
        Cukup jelas.

Pasal 81
    Cukup jelas.

Pasal 82
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        1 (satu) Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan
        dapat membawahi beberapa pelabuhan (cluster).

    Ayat (4)
        Yang dimaksud dengan "bentuk lainnya"   antara lain persewaan
        lahan, pergudangan, dan penumpukan.
        Dalam perjanjian paling sedikit memuat hak dan kewajiban para
        pihak, kinerja yang harus dicapai oleh Badan Usaha Pelabuhan,
        dan jangka waktu konsesi.

    Ayat (5)
        Cukup jelas.

    Ayat (6)
        Cukup jelas.

Pasal 83
    Cukup jelas.

Pasal 84
    Cukup jelas.

Pasal 85
    Cukup jelas.

Pasal 86
    Cukup jelas.
                                 - 30 -

                                                              Pasal 87 . . .


Pasal 87
    Cukup jelas.

Pasal 88
    Cukup jelas.

Pasal 89
    Cukup jelas.

Pasal 90
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

    Ayat (4)
        Yang dimaksud dengan "kegiatan yang menunjang kelancaran
        operasional dan memberikan nilai tambah bagi pelabuhan" antara
        lain perkantoran, fasilitas pariwisata dan perhotelan, instalasi air
        bersih, listrik dan telekomunikasi, jaringan air limbah dan
        sampah, pelayanan bunker, dan tempat tunggu kendaraan
        bermotor.

Pasal 91
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

    Ayat (4)
        Yang dimaksud dengan "dalam keadaan tertentu" adalah apabila
        ternyata terdapat Badan Usaha Pelabuhan yang mampu
        memanfaatkan terminal dan fasilitas pelabuhan lainnya untuk
        melayani kegiatan yang memberikan manfaat komersial.
                               - 31 -

                                                             Ayat (5) . . .
    Ayat (5)
        Cukup jelas.

Pasal 92
    Cukup jelas.

Pasal 93
    Cukup jelas.

Pasal 94
    Cukup jelas.

Pasal 95
    Cukup jelas.

Pasar 96
    Ayat (1)
         Pada pelabuhan pengumpan regional izin diberikan oleh gubernur,
         sedangkan pada pelabuhan pengumpan lokal izin diberikan oleh
         bupati.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

Pasal 97
    Ayat (1)
         Yang dimaksud dengan "persyaratan operasional" adalah Standar
         Operasional    Pelabuhan,     sumber  daya    manusia    yang
         mengoperasikan, kesiapan instansi lain seperti karantina, bea
         cukai, dan imigrasi sesuai kebutuhan.

    Ayat (2)
        Pada pelabuhan pengumpan regional izin diberikan oleh gubernur,
        sedangkan pada pelabuhan pengumpan lokal izin diberikan oleh
        bupati.

Pasal 98
    Cukup jelas.

Pasal 99
    Cukup jelas.

Pasal 100
    Cukup jelas.
                               - 32 -

                                                          Pasal 101 . . .
Pasal 101
    Cukup jelas.

Pasal 102
    Ayat (1)
         Yang dimaksud dengan "kegiatan tertentu" adalah kegiatan untuk
         menunjang kegiatan usaha pokok yang tidak terlayani oleh
         pelabuhan karena sifat barang atau kegiatannya memerlukan
         pelayanan khusus atau karena lokasinya jauh dari pelabuhan.
        Kegiatan usaha pokok yang dimaksud antara lain adalah:
        a. pertambangan;
        b. energi;
        c. kehutanan;
        d. pertanian;
        e. perikanan;
        f. industri; dan
        g. dok dan galangan kapal.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

Pasal 103
    Cukup jelas.

Pasal 104
    Cukup jelas.

Pasal 105
    Cukup jelas.

Pasal 106
    Cukup jelas.

Pasal 107
    Cukup jelas.

Pasal 108
    Cukup jelas.

Pasal 109
    Cukup jelas.
                               - 33 -

                                                           Pasal 110 . . .
Pasal 110
    Cukup jelas.

Pasal 111
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

    Ayat (4)
        Huruf a
             Yang dimaksud dengan "aspek administrasi" adalah
             rekomendasi dari gubernur, bupati/walikota, dan Syahbandar
             setempat.

        Huruf b
           Yang dimaksud dengan "aspek ekonomi" adalah menunjang
           industri tertentu, dengan arus barang khusus bervolume
           besar.

        Huruf c
           Yang dimaksud dengan "aspek keselamatan dan keamanan
           pelayaran" adalah dipenuhinya kedalaman perairan dan
           kolam pelabuhan, Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran, stasiun
           radio pantai, termasuk sarana dan prasarana, serta sumber
           daya manusia.

        Huruf d
             Yang      dimaksud    dengan    "aspek   teknis   fasilitas
           kepelabuhanan" adalah fasilitas pokok, fasilitas penunjang,
           serta fasilitas pencegahan dan penanggulangan pencemaran.

        Huruf e
         Cukup jelas.

        Huruf f
         Cukup jelas.

    Ayat (5)
        Cukup jelas.
                             - 34 -

                                                      Pasal 112 . . .
Pasal 112
    Cukup jelas.

Pasal 113
    Cukup jelas.

Pasal 114
    Cukup jelas.

Pasal 115
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan "peraturan perundang-undangan" adalah
        peraturan mengenai pemerintahan daerah.

Pasal 116
    Cukup jelas.

Pasal 117
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Huruf a
             Cukup jelas.

        Huruf b
           Cukup jelas.

        Huruf c
           Cukup jelas.

        Huruf d
           Cukup jelas.

        Huruf e
           Cukup jelas.

        Huruf f
           Cukup jelas.
                                  - 35 -

                                                                Huruf g . . .
         Huruf g
            Yang dimaksud dengan "Manajemen Keselamatan dan
            Pencegahan Pencemaran dari kapal" adalah satu kesatuan
            sistem dan prosedur serta mekanisme yang tertulis dan
            terdokumentasi bagi perusahaan angkutan laut dan kapal
            niaga untuk pengaturan, pengelolaan, pengawasan, dan
            peninjauan ulang serta peningkatan terus menerus dalam
            rangka memastikan dan mempertahankan terpenuhinya
            seluruh kesesuaian terhadap standar keselamatan dan
            pencegahan    pencemaran    yang   dipersyaratkan dalam
            ketentuan internasional yang terkait dengan manajemen
            keselamatan kapal dan pencegahan pencemaran.

         Huruf h
            Yang dimaksud dengan "Manajemen Keamanan Kapal" adalah
            satu kesatuan sistem dan prosedur dan mekanisme yang
            tertulis dan terdokumentasi bagi perusahaan angkutan laut
            dan kapal niaga untuk pengaturan, pengelolaan, pengawasan,
            dan peninjauan ulang serta peningkatan terus menerus dalam
            rangka memastikan terpenuhinya seluruh kesesuaian
            terhadap kesiapan kapal menghadapi, mempertahankan, dan
            menjaga keamanan kapal dalam rangka meningkatkan
            keselamatan kapal.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

Pasal 118
    Cukup jelas.

Pasal 119
    Ayat (1)
         Yang dimaksud dengan "ketentuan internasional" adalah
         ketentuan yang diterbitkan oleh International           Authority of
         Lighthouse Association (IALA), antara lain yang mengatur
         standardisasi serta kecukupan dan keandalan Sarana Bantu
         Navigasi-Pelayaran (SBNP) dan International Telecommunication
         Union (ITU) dan International Maritime Pilotage Association (IMPA).

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

Pasal 120
    Cukup jelas.
                               - 36 -

                                                          Psal 121 . . .
Pasal 121
    Yang dimksud dengan "Sistem pengamanan fasilitas pelabuhan" adalah
    prosedur pengamanan di fasilitas pelabuhan pada semua tingkatan
    keamanan (security level).

    Huruf a
       Cukup jelas.

    Huruf b
       Sarana dan prasarana pengamanan fasilitas pelabuhan meliputi
       pagar pengaman, pos penjagaan, peralatan monitor, peralatan
       detektor, peralatan komunikasi, dan penerangan.

    Huruf c
       Yang dimaksud dengan "Sistem komunikasi" adalah tata cara
       berhubungan atau komunikasi internal fasilitas pelabuhan,
       komunikasi antara koordinator keamanan pelabuhan dengan
       fasilitas pelabuhan dan dengan instansi terkait.

    Huruf d
       Yang dimaksud dengan "Personel pengaman" adalah personel yang
       memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk melakukan
       pengamanan sesuai dengan manajemen pengamanan (International
       Ship and Port Facility Security Code/ISPS Code).

Pasal 122
         Cukup jelas.

Pasal 123
    Cukup jelas.

Pasal 124
    Ayat (1)
         Yang dimaksud dengan "pengadaan kapal" adalah kegiatan
         memasukkan kapal dari luar negeri, baik kapal bekas maupun
         kapal baru untuk didaftarkan dalam daftar kapal Indonesia.
        Yang dimaksud dengan "pembangunan kapal" adalah pembuatan
        kapal baru baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang
        langsung berbendera Indonesia.
        Yang dimaksud dengan "pengerjaan kapal" adalah tahapan
        pekerjaan dan kegiatan pada saat dilakukan perombakan,
        perbaikan, dan perawatan kapal.
                                - 37 -

                                                                Yang . . .


        Yang dimaksud dengan "perlengkapan kapal" adalah bagian yang
        termasuk dalam perlengkapan navigasi, alat penolong, penemu
        (smoke detector) dan pemadam kebakaran, radio dan elektronika
        kapal, dan peta-peta serta publikasi nautika, serta perlengkapan
        pengamatan meteorologi untuk kapal dengan ukuran dan daerah
        pelayaran tertentu.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

Pasal 125
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan "perombakan" adalah perombakan
        konstruksi dan memerlukan pengesahan gambar dan perhitungan
        konstruksi karena mengubah fungsi, stabilitas, struktur, dan
        dimensi kapal.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

Pasal 126
    Ayat (1)
         Sertifikat keselamatan diberikan kepada semua jenis kapal ukuran
         GT 7 (tujuh Gross Tonnage) atau lebih kecuali:
         a. kapal perang;
         b. kapal negara; dan
         c. kapal yang digunakan untuk keperluan olah raga.

    Ayat (2)
        Huruf a
             Jenis sertifikat kapal penumpang antara lain:
             1. Sertifikat Keselamatan Kapal Penumpang (meliputi
                keselamatan konstruksi, perlengkapan, dan radio kapal);
                dan
             2. Sertifikat Pembebasan (sertifikat yang memperbolehkan
                bebas dari beberapa persyaratan yang harus dipenuhi).
                                - 38 -


                                                             Huruf b . . .
        Huruf b
           Jenis-jenis sertifikat keselamatan kapal barang sesuai dengan
           SOLAS 1974 antara lain:
           1. Sertifikat Keselamatan Kapal Barang;
           2. Sertifikat Keselamatan Konstruksi Kapal Barang;
           3. Sertifikat Keselamatan Perlengkapan Kapal Barang;
           4. Sertifikat Keselamatan Radio Kapal Barang; dan
           5. Sertifikat Pembebasan (sertifikat yang memperbolehkan
               bebas dari beberapa persyaratan yang harus dipenuhi).

        Huruf c
           Sertifikat kelaikan dan pengawakan kapal penangkap ikan
           sebagai bukti terpenuhinya persyaratan keselamatan kapal
           dan pengawakan.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

    Ayat (4)
        Cukup jelas.

    Ayat (5)
        Yang dimaksud dengan "pejabat pemerintah" adalah pejabat
        pemeriksa keselamatan kapal yang mempunyai kualifikasi dan
        keahlian di bidang keselamatan yang diangkat oleh Menteri.

Pasal 127
    Cukup jelas.

Pasal 128
    Cukup jelas.

Pasal 129
    Cukup jelas.

Pasal 130
    Ayat (1)
       Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan "sewaktu waktu" adalah di luar jadwal
        yang ditentukan untuk perawatan berkala, karena adanya
        kebutuhan.
                                  - 39 -



                                                                Ayat (3) . . .
    Ayat (3)
        Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah diberikannya
        keringanan terhadap persyaratan keselamatan kapal dalam
        kondisi sebagai berikut:
        a. kapal yang melakukan percobaan berlayar;
        b. kapal yang digunakan dalam penanggulangan bencana;
        c. kapal berlayar dalam cuaca buruk dan/atau mengalami
             musibah     yang   mengakibatkan    rusak     atau    hilangnya
             perlengkapan kapal;
        d. kapal yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan pencarian
             dan pertolongan;
        e. kapal berlayar menuju galangan untuk perbaikan (docking);
             atau
        f. kapal dengan jenis, kategori, ukuran, konstruksi, atau bahan
             utamanya, dengan mempertimbangkan daerah-pelayarannya
             tidak   efisien  apabila   harus   memasang       perlengkapan
             keselamatan tertentu atau alat komunikasi tertentu.
        Sebagai contoh kapal dengan jenis, kategori, ukuran, konstruksi,
        atau bahan utamanya, harus memenuhi persyaratan sesuai
        dengan    ketentuan   internasional,  tetapi   karena   daerah-
        pelayarannya lokal dan dekat maka persyaratan peralatan
        keselamatannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

Pasal 131
    Cukup jelas.

Pasal 132
    Cukup jelas.

Pasal 133
    Cukup jelas.

Pasal 134
    Cukup jelas.

Pasal 135
    Cukup jelas.

Pasal 136
    Cukup jelas.

Pasal 137
    Cukup jelas.
                                - 40 -



                                                            Pasal 138 . . .
Pasal 138
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

    Ayat (4)
        Yang dimaksud dengan "operator kapal" adalah setiap orang yang
        berdasarkan   alas   hak  tertentu   dengan    pemilik   kapal
        mengoperasikan kapal.

Pasal 139
    Yang dimaksud dengan "menyimpang dari rute" adalah tindakan yang
    dilakukan oleh Nakhoda dalam rangka penyelamatan dalam hal
    terjadinya gangguan cuaca seperti badai tropis (tropical cyclone) atau
    taifun (hurricane).
    Yang dimaksud dengan "tindakan lainnya yang diperlukan" yaitu
    tindakan yang harus dilakukan Nakhoda untuk melakukan
    pertolongan setelah mendengar isyarat bahaya (distress signal) dari
    kapal lain yang menyatakan "I'm in danger and required immediate
    assitance" (Convention on the International Regulations for Preventing
    Collisions at Sea, 1972/COLREGs).

Pasal 140
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

    Ayat (4)
        Yang dimaksud dengan "dewan kapal" adalah dewan yang
        dibentuk di atas kapal yang terdiri atas perwira kapal dengan
        tugas membantu dan memberikan saran kepada pengganti
        sementara Nakhoda dalam menjalankan kewenangannya.

    Ayat (5)
                              - 41 -

        Cukup jelas.

                                                        Pasal 141 . . .
Pasal 141
    Ayat (1)
         Yang dimaksud dengan "buku harian kapal (log book)" adalah
         catatan yang memuat keterangan mengenai berbagai hal yang
         terkait dengan operasional kapal.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Yang dimaksud dengan "dapat dijadikan alat bukti" adalah buku
        harian kapal merupakan catatan otentik sehingga dapat
        digunakan untuk membuktikan terjadinya peristiwa atau
        keberadaan seseorang di kapal.

Pasal 142
    Cukup jelas.

Pasal 143
    Ayat (1)
         Huruf a
             Cukup jelas.

        Huruf b
           Cukup jelas.

        Huruf c
           Cukup jelas.

        Huruf d
           Cukup jelas.

        Huruf e
           Cukup jelas.

        Huruf f
           Yang dimaksud dengan "berperilaku yang tidak layak" antara
           lain:
           a. mempengaruhi orang lain untuk mogok kerja, terlambat
                melakukan dinas jaga dan/atau melawan perintah atasan;
           b. mengucapkan      kata-kata    yang   bersifat  menghina,
                memfitnah, dan/atau tidak santun;
           c. memiliki minuman keras, material pornografi, dan/atau
                               - 42 -

               obat terlarang; atau
            d. berjudi, mabuk, dan tindakan asusila.

                                                       Ayat (2) . . .
    Ayat (2)
        Cukup jelas.

Pasal 144
    Cukup jelas.

Pasal 145
    Cukup jelas.

Pasal 146
    Cukup jelas.

Pasal 147
    Cukup jelas.

Pasal 148
    Cukup jelas.

Pasal 149
    Cukup jelas.

Pasal 150
    Cukup jelas.

Pasal 151
    Cukup jelas.

Pasal 152
    Cukup jelas.

Pasal 153
    Cukup jelas.

Pasal 154
    Cukup jelas.

Pasal 155
                                - 43 -

    Ayat (1)
        Cukup jelas.



                                                             Ayat (2) . . .
    Ayat (2)
        Huruf a
             Yang dimaksud dengan "metode pengukuran dalam negeri"
             adalah metode pengukuran yang ditetapkan oleh Pemerintah
             Indonesia yang diterapkan pada kapal Indonesia yang tidak
             tunduk pada ketentuan Konvensi Internasional tentang
             Pengukuran Kapal (International on Tonnage Measurent of Ship
             1969/TMS 1969).
        Huruf b
           Yang dimaksud dengan "metode pengukuran internasional"
           adalah metode pengukuran yang ditetapkan oleh pemerintah
           Indonesia berdasarkan Konvensi Internasional tentang
           Pengukuran Kapal (International on Tonnage Measurent of Ship
           1969/TMS 1969).
        Huruf c
           Yang dimaksud dengan "metode pengukuran khusus"
           dipergunakan untuk pengukuran dan penentuan tonase kapal
           yang akan melewati terusan tertentu antara lain metode
           pengukuran terusan Suez dan metode pengukuran terusan
           Panama.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

    Ayat (4)
        Cukup jelas.

Pasal 156
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan "tanda selar" adalah rangkaian huruf dan
        angka yang terdiri dari GT, angka yang menunjukan besarnya
        tonase kotor, nomor surat ukur, dan kode pengukuran dari
        pelabuhan yang menerbitkan surat ukur.
        Contoh :

          GT 123 No 45/Ba
                                   - 44 -

        GT     :   Singkatan dari Gross Tonnage
        123    :   Angka tonase kotor kapal
        No.    :   Singkatan dari nomor
        45     :   Nomor surat ukur

                                                                 Ba . . .
        Ba     : Kode pengukuran dari pelabuhan yang menerbitkan surat
                 ukur (Ba adalah kode pengukuran dari pelabuhan Tanjung
                 Priok)

Pasal 157
    Cukup jelas.

Pasal 158
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Yang dimaksud dengan "pendaftaran kapal" adalah pendaftaran
        hak milik atas kapal sesuai dengan ketentuan peraturan
        perundang-undangan.

    Ayat (4)
        Yang dimaksud dengan "grosse akta pendaftaran" adalah salinan
        resmi dari minut (asli dari akta pendaftaran).
        Bukti hak milik atas kapal merupakan dokumen kepemilikan yang
        disampaikan oleh pemilik kapal pada saat mendaftarkan kapalnya
        antara lain berupa:
        1. Bagi kapal bangunan baru
           a) kontrak pembangunan kapal;
           b) berita acara serah terima kapal; dan
           c) surat keterangan galangan.

        2. Bagi kapal yang pernah didaftar di negara lain
           a) bill of sale; dan
           b) protocol of delivery and acceptance.

    Ayat (5)
                                 - 45 -

        Yang dimaksud dengan "tanda pendaftaran" merupakan rangkaian
        angka dan huruf yang terdiri atas angka tahun pendaftaran, kode
        pengukuran dari tempat kapal didaftar, nomor urut akta
        pendaftaran, dan kode kategori kapal.


                                                              Contoh : . . .
        Contoh :
           2008 Pst No. 49991L

        2008    :   Tahun pendaftaran kapal
        Pst     :   Kode pengukuran dari tempat kapal di daftar

        No.     :   Nomor
        4999    :   Nomor akta pendaftaran kapal
        L       :   Kode kategori kapal (L kode kategori untuk kapal laut,
                    N kode kategori untuk kapal nelayan, P kode kategori
                    untuk kapal pedalaman yaitu kapal yang berlayar di
                    sungai dan danau)

Pasal 159
    Cukup jelas.

Pasal 160
    Cukup jelas.

Pasal 161
    Cukup jelas.

Pasal 162
    Cukup jelas.

Pasal 163
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan "Surat Laut", "Pas Besar", dan "Pas Kecil"
        adalah Surat Tanda Kebangsaan Kapal yang diberikan sebagai
        legalitas untuk dapat mengibarkan bendera Indonesia sebagai
        bendera kebangsaan kapal termasuk kapal penangkap ikan.

    Ayat (3)
        Yang dimaksud "perairan sungai dan danau" meliputi         sungai,
        danau, waduk, kanal, terusan, dan rawa.
                               - 46 -

Pasal 164
    Cukup jelas.

Pasal 165
    Cukup jelas.

                                                         Pasal 166 . . .
Pasal 166
    Ayat (1)
         Yang dimaksud dengan "identitas kapal" adalah nama kapal dan
         pelabuhan tempat kapal didaftar yang dicantumkan pada badan
         kapal, bendera kebangsaan yang dikibarkan pada buritan kapal
         sesuai dengan Surat Tanda Kebangsaan yang diberikan oleh
         Pemerintah negara yang bersangkutan.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

Pasal 167
    Cukup jelas.

Pasal 168
    Cukup jelas.

Pasal 169
    Ayat (1)
         Yang dimaksud dengan "kapal untuk jenis dan ukuran tertentu"
         adalah kapal barang dengan ukuran GT 500 (lima ratus Gross
         Tonnage) atau lebih dan kapal penumpang semua ukuran yang
         melakukan pelayaran internasional, sedangkan untuk kapal yang
         berlayar di dalam negeri jenis dan ukurannya akan ditetapkan
         tersendiri.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

    Ayat (4)
        Yang dimaksud dengan "lembaga yang diberikan kewenangan oleh
        Pemerintah" adalah badan klasifikasi yang diakui Pemerintah.

    Ayat (5)
                               - 47 -

        Cukup jelas.

    Ayat (6)
        Cukup jelas.


                                                          Pasal 170 . . .
Pasal 170
    Ayat (1)
         Yang dimaksud dengan "ukuran tertentu" adalah kapal barang
         dengan ukuran GT 500 (lima ratus Gross Tonnage) atau lebih dan
         kapal penumpang semua ukuran yang melakukan pelayaran
         internasional, sedangkan untuk kapal yang berlayar di dalam
         negeri jenis dan ukurannya akan ditetapkan tersendiri.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Untuk kapal yang berlayar di dalam negeri pengaturan mengenai
        sertifikat ditetapkan tersendiri.

    Ayat (4)
        Cukup jelas.

    Ayat (5)
        Cukup jelas.

    Ayat (6)
        Cukup jelas.

Pasal 171
    Cukup jelas.

Pasal 172
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan "kepentingan tertentu lainnya" antara lain
        penandaan wilayah negara di pulau terluar antara lain berupa
        menara suar.

    Ayat (3)
                              - 48 -

        Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-
        undangan" adalah sesuai dengan ketentuan nasional dan
        memperhatikan ketentuan internasional.
        Ketentuan nasional yaitu Standar Nasional Indonesia yang
        berkaitan dengan Sistem Pelampungan "A" (standar navigasi yang
        mengacu pada standar Eropa).


                                                        Ketentuan . . .
        Ketentuan internasional yaitu:
        1) United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 82)
           yang berkaitan dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI);
        2) Safety of Life at Sea (SOLAS)         yang berkaitan dengan
           keselamatan navigasi (Safety of Navigation-Chapter V);
        3) Ketentuan yang dikeluarkan oleh International Maritime
           Organization (IMO) yang berkaitan dengan Resolusi tentang
           keselamatan navigasi (Safety of Navigation);
        4) Ketentuan yang dikeluarkan oleh International Hydrography
           Organization (IHO) yang berkaitan dengan hidrografi; dan
        5) Ketentuan yang dikeluarkan oleh International Association
           Marine Aids to Navigation and Lighthouse Authorities
           (IALA) yang berkaitan dengan rekomendasi Sarana Bantu
           Navigasi-Pelayaran.

    Ayat (4)
        Yang dimaksud dengan      "dalam keadaan tertentu" adalah
        apabila Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dipergunakan untuk
        mendukung kegiatan yang bukan untuk kepentingan umum
        antara lain anjungan minyak (oil platform), pengerukan,
        salvage, dan terminal khusus di lokasi tertentu.

    Ayat (5)
        Cukup jelas.

    Ayat (6)
        Cukup jelas.

Pasal 173
    Cukup jelas.

Pasal 174
    Cukup jelas.

Pasal 175
                               - 49 -

    Ayat (1)
        Yang dimaksud dengan "hambatan" adalah keadaan yang dapat
        mengganggu atau menghalangi lalu lintas angkutan di perairan
        antara lain kerangka kapal di alur-pelayaran.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

                                                             Ayat (3) . . .
    Ayat (3)
        Cukup jelas.

Pasal 176
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan "kapal tertentu" adalah kapal perang,
        kapal negara, kapal rumah sakit, kapal yang memasuki suatu
        pelabuhan khusus untuk keperluan meminta pertolongan atau
        kapal yang memberi pertolongan jiwa manusia, kapal yang
        melakukan percobaan berlayar, dan kapal swasta yang melakukan
        tugas pemerintahan.

Pasal 177
    Cukup jelas.

Pasal 178
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-
        undangan" adalah ketentuan nasional dan ketentuan
        internasional di bidang telekomunikasi, antara lain:
        1. Ketentuan nasional yaitu Undang-Undang Nomor 36 Tahun
           1999 tentang Telekomunikasi; dan
        2. Ketentuan internasional, yaitu International Telecommunication
           Union (ITU) yang telah diratifikasi terakhir dengan Keputusan
           Presiden Nomor 80 Tahun 2004 tentang Pengesahan
           Instruments Amending The Constitution and The Convention of
           The International Telecommunication Union, Marrakesh, 2002
           (Instrumen Perubahan Konstitusi dan Konvensi Perhimpunan
           Telekomunikasi      Internasional,    Marrakesh   2002)   dan
           International Maritime Organization (IMO).
                               - 50 -

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

    Ayat (4)
        Cukup jelas.

    Ayat (5)
        Cukup jelas.

                                                         Pasal 179 . . .
Pasal 179
    Cukup jelas.

Pasal 180
    Cukup jelas.

Pasal 181
    Ayat (1)
         Yang dimaksud dengan "hambatan" antara lain adalah adanya
         gangguan frekuensi yang penggunaannya tidak sesuai dengan
         peruntukannya.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

Pasal 182
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

Pasal 183
    Ayat (1)
         Yang dimaksud dengan "komunikasi marabahaya" adalah
         komunikasi yang menunjukkan adanya stasiun atau unit bergerak
         atau orang lain dalam keadaan benar-benar bahaya dan
         membutuhkan pertolongan segera (MAYDAY MAYDAY MAYDAY).
        Yang dimaksud dengan "komunikasi segera" adalah komunikasi
        yang berisikan informasi untuk meminta pertolongan terhadap
        orang yang sakit di atas kapal atau informasi untuk meminta
        pertolongan terhadap orang jatuh di laut (PAN PAN PAN).
                                - 51 -

        Yang dimaksud dengan "komunikasi            keselamatan"     adalah
        komunikasi yang berisi informasi tentang:
        a. adanya pergeseran posisi Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran;
        b. padamnya Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran;
        c. adanya pengeboran minyak pada suatu posisi di alur-pelayaran;
        d. munculnya sebuah karang;


                                                              e. adanya . . .
        e. adanya benda terapung yang membahayakan-pelayaran;
        f. dukungan untuk operasi pencarian dan pertolongan (Search
           and Rescue); atau
        g. pelaporan adanya kapal misterius (phantom ship).

        (SECURITY SECURITY SECURITY)
        Yang dimaksud dengan "siaran tanda waktu standar" adalah
        pancaran tanda waktu untuk kapal, stasiun pantai, dan pihak
        lain yang memerlukan informasi waktu dan mencocokkan
        kronometer.

    Ayat (2)
     Cukup jelas.

Pasal 184
    Cukup jelas.

Pasal 185
    Cukup jelas.

Pasal 186
    Ayat (1)
         Huruf a
           Cukup jelas.

        Huruf b
         Cukup jelas.

        Huruf c
         Yang dimaksud dengan "awak kapal tertentu" adalah perwira
         nautika yang bertanggung jawab terhadap keadaan cuaca.

    Ayat (2)
                              - 52 -

        Cukup jelas.

Pasal 187
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.


                                                           Ayat (3) . . .

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

    Ayat (4)
        Cukup jelas.

Pasal 188
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan "sebagian penyelenggaraan alur-pelayaran"
        adalah alur yang menuju ke terminal khusus.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

Pasal 189
    Ayat (1)
         Yang dimaksud dengan "kepentingan lainnya" antara lain
         pembangunan pelabuhan, penahan gelombang, penambangan,
         dan bangunan lainnya yang memerlukan pekerjaan pengerukan
         yang dapat mengakibatkan terganggunya alur-pelayaran.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

Pasal 190
    Cukup jelas.

Pasal 191
    Cukup jelas.

Pasal 192
                                 - 53 -

    Cukup jelas.

Pasal 193
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan "wilayah tertentu" antara lain perairan
        Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), jalur Traffic Separation
        Scheme (TSS), area Ship to Ship Transfer (STS), perairan yang telah
        ditetapkan Ship Reporting System (SRS).

                                                                 Yang . . .
        Yang dimaksud dengan "semua informasi" adalah informasi yang
        berkaitan dengan keselamatan dan keamanan pelayaran.

Pasal 194
    Ayat (1)
         Yang dimaksud dengan "terus menerus, langsung, dan secepatnya"
         adalah berlayar dari laut bebas melintas perairan Indonesia dan
         langsung menuju ke laut bebas lainnya sesuai dengan Undang-
         Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations
         Convention on the Law of the Sea 1982 (Konvensi Perserikatan
         Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut).

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Yang dimaksud dengan "keadaan darurat" adalah kapal yang
        mengalami musibah atau memberikan pertolongan kepada orang
        atau kapal yang sedang mengalami musibah.

    Ayat (4)
        Cukup jelas.

    Ayat (5)
        Cukup jelas.

Pasal 195
    Huruf a
         Cukup jelas.

    Huruf b
       Cukup jelas.
                              - 54 -

    Huruf c
       Cukup jelas.

    Huruf d
       Cukup jelas.

    Huruf e
       Yang dimaksud dengan "memberikan jaminan" adalah kewajiban
       bagi pemilik atau operator untuk memiliki jaminan asuransi atau
       menempatkan      sejumlah    uang     sebagai    jaminan untuk
       menggantikan biaya pembongkaran bangunan atau instalasi yang
       tidak digunakan lagi oleh pemilik atau operator.

                                                         Pasal 196 . . .
Pasal 196
    Cukup jelas.

Pasal 197
    Cukup jelas.

Pasal 198
    Ayat (1)
         Yang dimaksud dengan "perairan wajib pandu" adalah suatu
         wilayah perairan yang karena kondisinya wajib dilakukan
         pemanduan bagi kapal berukuran GT 500 (lima ratus Gross
         Tonnage) atau lebih.
        Yang dimaksud dengan "perairan pandu luar biasa" adalah suatu
        wilayah perairan yang karena kondisi perairannya tidak wajib
        dilakukan pemanduan tetapi apabila Nakhoda memerlukan dapat
        mengajukan permintaan jasa pemanduan.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Pelimpahan pemanduan kepada Badan Usaha Pelabuhan
        dilaksanakan pada pelabuhan yang diusahakan secara komersial
        atau terminal khusus.
        Yang dimaksud dengan "dapat dilimpahkan" adalah untuk
        memenuhi kebutuhan, sesuai persyaratan, dan ketentuan
        peraturan perundang-undangan serta dapat dicabut apabila
        pelaksanaan tugasnya tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.

    Ayat (4)
        Cukup jelas.
                               - 55 -


    Ayat (5)
        Cukup jelas.

    Ayat (6)
        Cukup jelas.

Pasal 199
    Cukup jelas.

Pasal 200
    Cukup jelas.

                                                         Pasal 201 . . .
Pasal 201
    Cukup jelas.

Pasal 202
    Cukup jelas.

Pasal 203
    Cukup jelas.

Pasal 204
    Cukup jelas.

Pasal 205
    Cukup jelas.

Pasal 206
    Cukup jelas.

Pasal 207
    Ayat (1)
         Pelaksanaan penegakan hukum di bidang keselamatan dan
         keamanan pelayaran oleh Syahbandar dilakukan di dalam wilayah
         Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Persyaratan kompetensi berlaku juga pada Syahbandar di
        pelabuhan perikanan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
        31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
                              - 56 -



Pasal 208
    Cukup jelas.

Pasal 209
    Huruf a
         Cukup jelas.

    Huruf b
       Cukup jelas.



                                                         Huruf c . . .
    Huruf c
       Yang dimaksud dengan "penerbitan persetujuan kegiatan kapal di
       pelabuhan" antara lain menerbitkan izin untuk kegiatan
       pengelasan, pembersihan tangki (tank cleaning), perpindahan
       sandar kapal, melarang atau mengizinkan orang naik ke atas
       kapal, dan alih muat barang.

    Huruf d
       Cukup jelas.

    Huruf e
       Cukup jelas.

    Huruf f
       Cukup jelas.

    Huruf g
       Cukup jelas.

    Huruf h
       Cukup jelas.

Pasal 210
    Cukup jelas.

Pasal 211
    Cukup jelas.

Pasal 212
    Ayat (1)
                               - 57 -

        Yang dimaksud dengan "ketentuan internasional" adalah mengenai
        sistem keamanan kapal dan fasilitas pelabuhan (International Ship
        and Port Facility Security Code/ISPS Code).
        Yang dimaksud dengan "Syahbandar bertindak selaku komite
        keamanan pelabuhan (port security commitee)" adalah Syahbandar
        atas nama Pemerintah selaku         Designated Authority (DA)
        berwenang menentukan tingkat keamanan di pelabuhan (security
        level).

    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan "dapat meminta bantuan" adalah
        Syahbandar berhak meminta dukungan dan bantuan apabila
        diperlukan antara lain jika terjadi tindak pidana atau kriminal.


                                                             Ayat (3) . . .
    Ayat (3)
        Cukup jelas.

    Ayat (4)
        Cukup jelas.

Pasal 213
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan "surat dan dokumen kapal" antara lain
        Surat Ukur, Surat Tanda Kebangsaan Kapal, Sertifikat
        Keselamatan, Sertifikat Garis Muat, Sertifikat Pengawakan Kapal,
        dan dokumen muatan.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

    Ayat (4)
        Cukup jelas.

Pasal 214
    Yang dimaksud dengan "warta kapal" adalah informasi tentang kondisi
    umum kapal dan muatannya (ship condition).

Pasal 215
                                 - 58 -

    Yang dimaksud dengan "petunjuk serta perintah Syahbandar" antara
    lain menolak kedatangan kapal, memerintahkan perpindahan kapal,
    dan menentukan tempat labuh jangkar.

Pasal 216
    Cukup jelas.

Pasal 217
    Cukup jelas

Pasal 218
    Ayat (1)
         Yang dimaksud dengan "dalam keadaan tertentu" adalah apabila
         Syahbandar mendapat laporan adanya indikasi bahwa kapal tidak
         memenuhi persyaratan kelaiklautan dan keamanan.


                                                          Ayat (2) . . .
    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-
        undangan" meliputi konvensi internasional yang mengatur
        mengenai port state control.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

Pasal 219
    Ayat (1)
         Surat Persetujuan Berlayar yang dalam kelaziman internasional
         disebut port clearance diterbitkan setelah dipenuhinya persyaratan
         kelaiklautan kapal dan kewajiban lainnya.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

    Ayat (4)
        Cukup jelas.

    Ayat (5)
        Cukup jelas.

Pasal 220
    Cukup jelas.
                                  - 59 -


Pasal 221
    Ayat (1)
         Cukup jelas

    Ayat (2)
        Cukup jelas

    Ayat (3)
        Yang dimaksud "dapat" adalah apabila dari hasil pemeriksaan
        pendahuluan terdapat keterangan dan/atau bukti awal mengenai
        kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh Nakhoda dan/atau
        perwira kapal.

Pasal 222
    Cukup jelas

                                                              Pasal 223 . . .
Pasal 223
    Ayat (1)
         Yang dimaksud dengan "klaim-pelayaran (maritime claim)" sesuai
         dengan ketentuan mengenai penahanan kapal (arrest of ships),
         timbul karena:
         a. kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh pengoperasian
             kapal;
         b. hilangnya nyawa atau luka parah yang terjadi baik di daratan
             atau perairan atau laut yang diakibatkan oleh pengoperasian
             kapal;
         c. kerusakan terhadap lingkungan, kapalnya, atau barang
             muatannya sebagai akibat kegiatan operasi salvage atau
             perjanjian tentang salvage;
         d. kerusakan atau ancaman kerusakan terhadap lingkungan,
             garis pantai atau kepentingan lainnya yang disebabkan oleh
             kapal, termasuk biaya yang diperlukan untuk mengambil
             langkah pencegahan kerusakan terhadap lingkungan, kapalnya,
             atau barang muatannya, serta untuk pemulihan lingkungan
             sebagai akibat terjadinya kerusakan yang timbul;
         e. biaya-biaya atau pengeluaran yang berkaitan dengan
             pengangkatan, pemindahan, perbaikan, atau terhadap kapal,
             termasuk juga biaya penyelamatan kapal dan awak kapal;
         f. biaya pemakaian atau pengoperasian atau penyewaan kapal
             yang tertuang dalam perjanjian pencarteran (charter party)
             atau lainnya;
                                     - 60 -

            g. biaya pengangkutan barang atau penumpang di atas kapal,
               yang tertuang dalam perjanjian pencarteran atau lainnya;
            h. kerugian atau kerusakan barang termasuk peti atau koper yang
               diangkut di atas kapal;
            i. kerugian dan kerusakan kapal dan barang karena terjadinya
               peristiwa kecelakaan di laut (general average);
            j. biaya penarikan kapal (towage);
            k. biaya pemanduan (pilotage);
            l. biaya barang, perlengkapan, kebutuhan kapal, Bahan Bakar
               Minyak atau bunker, peralatan kapal termasuk peti kemas yang
               disediakan untuk pelayanan dan kebutuhan kapal untuk
               pengoperasian, pengurusan, penyelamatan atau pemeliharaan
               kapal;
            m. biaya pembangunan, pembangunan ulang atau rekondisi,
               perbaikan, mengubah atau melengkapi kebutuhan kapal;
            n. biaya pelabuhan, kanal, galangan, bandar, alur pelayaran,
               dan/atau biaya pungutan lainnya;
                                                                    o. gaji . . .
            o. gaji dan lainnya yang terutang bagi Nakhoda, perwira dan Anak
               Buah Kapal serta lainnya yang dipekerjakan di atas kapal
               termasuk biaya untuk repatriasi, asuransi sosial untuk
               kepentingan mereka;
            p. pembiayaan atau disbursements yang dikeluarkan untuk
               kepentingan kapal atas nama pemilik kapal;
            q. premi asuransi (termasuk "mutual insurance call") kapal yang
               harus dibayar oleh pemilik kapal atau pencarter kapal tanpa
               Anak Buah Kapal atau bare boat (demise charterer);
            r. komisi, biaya, perantara atau broker atau keagenan yang harus
               dibayar berkaitan dengan kapal atas nama pemilik kapal tanpa
               Anak Buah Kapal (demise charterer);
            s. biaya sengketa berkenaan dengan status kepemilikan kapal;
            t. biaya sengketa yang terjadi di antara rekan pemilikan kapal (co-
               owner) berkenaan dengan pengoperasian dan penghasilan atau
               hasil tambang kapal;
            u. biaya gadai atau hipotek kapal atau pembebanan lain yang
               sifatnya sama atas kapal; dan
            v. biaya sengketa yang timbul dari perjanjian penjualan kapal.

       Ayat (2)
           Cukup jelas.
Pasal 224
       Ayat (1)
                               - 61 -

        Yang dimaksud dengan "dokumen pelaut" adalah dokumen
        identitas pelaut dan perjanjian kerja laut. Dokumen identitas
        pelaut antara lain terdiri atas Buku Pelaut dan Kartu Identitas
        Pelaut.
        Yang dimaksud dengan "disijil" adalah dimasukkan dalam buku
        daftar awak kapal yang disebut buku sijil yang berisi daftar awak
        kapal yang bekerja di atas kapal sesuai dengan jabatannya dan
        tanggal naik turunnya yang disahkan oleh Syahbandar.

    Ayat (2)
        Cukup jelas

Pasal 225
    Cukup jelas.

Pasal 226
    Cukup jelas.


                                                           Pasal 227 . . .
Pasal 227
    Cukup jelas.

Pasal 228
    Cukup jelas.

Pasal 229
    Cukup jelas

Pasal 230
    Ayat (1)
         Yang dimaksud dengan "penanggung jawab unit kegiatan lain di
         perairan" antara lain pengelola unit pengeboran minyak dan
         fasilitas penampungan minyak di perairan.

    Ayat (2)
        Cukup jelas

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

    Ayat (4)
        Yang dimaksud dengan "institusi yang berwenang untuk
        penanganan lebih lanjut" adalah institusi yang menangani
        pengendalian pencemaran secara nasional.
                               - 62 -

Pasal 231
    Cukup jelas.

Pasal 232
    Cukup jelas.

Pasal 233
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Yang dimaksud dengan limbah bahan berbahaya dan beracun
        termasuk juga limbah radioaktif.

Pasal 234
    Cukup jelas.

                                                         Pasal 235 . . .
Pasal 235
    Cukup jelas.

Pasal 236
    Cukup jelas.

Pasal 237
    Ayat (1)
         Yang dimaksud dengan "limbah" antara lain dapat berupa limbah
         minyak, bahan kimia, bahan berbahaya dan beracun, sampah,
         serta kotoran.
    Ayat (2)
        Cukup jelas.
    Ayat (3)
        Cukup jelas.

Pasal 238
    Cukup jelas.

Pasal 239
    Ayat (1)
         Yang dimaksud dengan "lokasi tertentu" adalah pembuangan
         limbah tidak boleh dilakukan pada alur-pelayaran, kawasan
         lindung, kawasan suaka alam, taman nasional, taman wisata
                                - 63 -

        alam, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan, sempadan
        pantai, kawasan terumbu karang, kawasan mangrove, kawasan
        perikanan dan budidaya, kawasan pemukiman, dan daerah
        sensitif terhadap pencemaran.
        Yang dimaksud dengan "pembuangan limbah" termasuk juga
        berupa kerangka kapal.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

Pasal 240
    Cukup jelas.

Pasal 241
    Ayat (1)
         Yang dimaksud "penutuhan kapal" adalah kegiatan pemotongan
         dan penghancuran kapal yang tidak digunakan lagi dengan aman
         dan berwawasan lingkungan (safe and environmentally sound
         manner).

                                                              Ayat (2) . . .
    Ayat (2)
        Cukup jelas.

Pasal 242
    Cukup jelas.

Pasal 243
    Cukup jelas.

Pasal 244
    Ayat (1)
         Yang dimaksud dengan "bahaya" adalah ancaman                 yang
         disebabkan oleh faktor eksternal dan internal dari kapal.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Yang dimaksud dengan "orang" termasuk juga orang yang
        berada di menara suar yang ditemukan dalam keadaan bahaya.

        Yang dimaksud dengan "pihak lain" antara lain Nakhoda kapal lain
        yang berada di sekitar lokasi bahaya, stasiun radio pantai dan
        pejabat berwenang terdekat yang memilki kewenangan untuk
        menindaklanjuti proses kecelakaan tersebut.
                                 - 64 -


    Ayat (4)
        Pelaporan oleh Nakhoda dilakukan untuk setiap bahaya bagi
        keselamatan kapal, baik yang terjadi di dalam maupun luar negeri,
        baik yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan kerusakan
        pada alur atau bangunan di perairan yang dapat mengganggu
        keselamatan berlayar maupun tidak.
        Yang dimaksud dengan "melaporkan" adalah menyampaikan berita
        bahaya bagi keselamatan kapal dengan cara sistem telekomunikasi
        antara lain melalui Stasiun Radio Pantai, Vessel Traffic Information
        System (VTIS), semaphore, morse serta sarana lain yang dapat
        digunakan untuk menyampaikan berita atau menarik perhatian
        bagi pihak lain.

Pasal 245
    Cukup jelas.

Pasal 246
    Cukup jelas.

                                                              Pasal 247 . . .
Pasal 247
    Yang dimaksud dengan "pihak lain" antara lain Nakhoda kapal lain
    yang berada di sekitar lokasi kecelakaan, stasiun radio pantai dan
    pejabat berwenang terdekat yang memiliki kewenangan untuk
    menindaklanjuti proses kecelakaan tersebut.

Pasal 248
    Yang dimaksud dengan "melaporkan" adalah menyampaikan berita
    kecelakaan kapal dengan cara sistem telekomunikasi antara lain
    melalui Stasiun Radio Pantai, Vessel Traffic Information System (VTIS),
    semaphore, morse serta sarana lain yang dapat digunakan untuk
    menyampaikan berita atau menarik perhatian bagi pihak lain.

Pasal 249
    Yang dimaksud dengan "dibuktikan lain" adalah berdasarkan
    pembuktian telah dilakukan upaya dan melaksanakan kewajiban
    berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 250
    Cukup jelas.

Pasal 251
    Cukup jelas.
                                - 65 -


Pasal 252
    Cukup jelas.

Pasal 253
    Cukup jelas.

Pasal 254
    Cukup jelas.

Pasal 255
    Cukup jelas.

Pasal 256
    Ayat (1)
         Yang dimaksud dengan Komite Nasional Keselamatan Transportasi
         adalah institusi yang diberi kewenangan untuk melakukan
         investigasi sebab terjadinya kecelakaan.


                                                             Ayat (2) . . .
    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Hasil investigasi yang dilakukan oleh Komite Nasional Keselamatan
        Transportasi disampaikan kepada Menteri yang disertai dengan
        rekomendasi untuk memperbaiki kebijakan yang terkait dengan
        sistem, sarana dan prasarana transportasi, serta sumber daya
        manusia.

Pasal 257
    Cukup jelas.

Pasal 258
    Cukup jelas.

Pasal 259
    Cukup jelas.

Pasal 260
    Cukup jelas.

Pasal 261
    Cukup jelas.
                               - 66 -


Pasal 262
    Cukup jelas.

Pasal 263
    Cukup jelas.

Pasal 264
    Cukup jelas.

Pasal 265
    Cukup jelas.

Pasal 266
    Cukup jelas.

Pasal 267
    Cukup jelas.


                                                         Pasal 268 . . .
Pasal 268
    Cukup jelas.

Pasal 269
    Ayat (1)
         Sistem informasi pelayaran bertujuan untuk memberikan
         informasi di bidang angkutan perairan dan kepelabuhanan serta
         terjaminnya keselamatan dan keamanan pelayaran dan
         memberikan perlindungan lingkungan maritim.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

Pasal 270
    Cukup jelas.

Pasal 271
    Cukup jelas.

Pasal 272
    Cukup jelas.
                               - 67 -

Pasal 273
    Cukup jelas.

Pasal 274
    Cukup jelas.

Pasal 275
    Cukup jelas.

Pasal 276
    Cukup jelas.

Pasal 277
    Cukup jelas.

Pasal 278
    Cukup jelas.

Pasal 279
    Cukup jelas.

                                                         Pasal 280 . . .
Pasal 280
    Cukup jelas.

Pasal 281
    Cukup jelas.

Pasal 282
    Ayat (1)
         Yang dimaksud dengan "penyidik lainnya" adalah penyidik sesuai
         dengan ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain
         Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

Pasal 283
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan " melakukan tindakan lain menurut
        hukum yang bertanggung jawab" adalah bahwa dalam
        melaksanakan tugasnya penyidik wajib menjunjung tinggi hukum
        yang berlaku.
                       - 68 -


    Ayat (3)
        Cukup jelas.

Pasal 284
    Cukup jelas.

Pasal 285
    Cukup jelas.

Pasal 286
    Cukup jelas.

Pasal 287
    Cukup jelas.

Pasal 288
    Cukup jelas.


                                Pasal 289 . . .


Pasal 289
    Cukup jelas.

Pasal 290
    Cukup jelas.

Pasal 291
    Cukup jelas.

Pasal 292
    Cukup jelas.

Pasal 293
    Cukup jelas.

Pasal 294
    Cukup jelas.

Pasal 295
    Cukup jelas.

Pasal 296
    Cukup jelas.
                   - 69 -


Pasal 297
    Cukup jelas.

Pasal 298
    Cukup jelas.

Pasal 299
    Cukup jelas.

Pasal 300
    Cukup jelas.

Pasal 301
    Cukup jelas.

Pasal 302
    Cukup jelas.


                            Pasal 303 . . .
Pasal 303
    Cukup jelas.

Pasal 304
    Cukup jelas.

Pasal 305
    Cukup jelas.

Pasal 306
    Cukup jelas.

Pasal 307
    Cukup jelas.

Pasal 308
    Cukup jelas.

Pasal 309
    Cukup jelas.

Pasal 310
    Cukup jelas.
                   - 70 -

Pasal 311
    Cukup jelas.

Pasal 312
    Cukup jelas.

Pasal 313
    Cukup jelas.

Pasal 314
    Cukup jelas.

Pasal 315
    Cukup jelas.

Pasal 316
    Cukup jelas.

Pasal 317
    Cukup jelas.

                            Pasal 318 . . .
Pasal 318
    Cukup jelas.

Pasal 319
    Cukup jelas.

Pasal 320
    Cukup jelas.

Pasal 321
    Cukup jelas.

Pasal 322
    Cukup jelas.

Pasal 323
    Cukup jelas.

Pasal 324
    Cukup jelas.

Pasal 325
    Cukup jelas.
                             - 71 -

Pasal 326
    Cukup jelas.

Pasal 327
    Cukup jelas.

Pasal 328
    Cukup jelas.

Pasal 329
    Cukup jelas.

Pasal 330
    Cukup jelas.

Pasal 331
    Cukup jelas.

Pasal 332
    Cukup jelas.

                                                       Pasal 333 . . .
Pasal 333
    Cukup jelas.

Pasal 334
    Cukup jelas.

Pasal 335
    Cukup jelas.

Pasal 336
    Cukup jelas.

Pasal 337
    Cukup jelas.

Pasal 338
    Cukup jelas.

Pasal 339
    Ayat (1)
         Yang dimaksud dengan "izin" adalah izin untuk membangun
         fasilitas yang diterbitkan oleh pemerintah daerah dan izin
         operasional yang tunduk pada Undang-Undang ini.
                                 - 72 -


    Ayat (2)
        Cukup jelas.

Pasal 340
    Cukup jelas.

Pasal 341
    Cukup jelas.

Pasal 342
    Cukup jelas.

Pasal 343
    Cukup jelas.

Pasal 344
    Ayat (1)
         Cukup jelas.


                                                                Ayat (2) . . .
    Ayat (2)
        Penentuan waktu 3 (tiga) tahun dalam ketentuan ini dimaksudkan
        untuk memberikan waktu yang cukup bagi Pemerintah
        merencanakan pengembangan pelabuhan dan Badan Usaha Milik
        Negara. Untuk keperluan pengembangan tersebut atas perintah
        Menteri dilakukan:
        a. evaluasi  aset   Badan     Usaha    Milik        Negara      yang
           menyelenggarakan usaha pelabuhan; dan
        e. audit secara menyeluruh terhadap aset Badan Usaha Milik
           Negara yang menyelenggarakan usaha pelabuhan.

    Ayat (3)
        Yang dimaksud dengan "tetap diselenggarakan oleh Badan Usaha
        Milik Negara" adalah Badan Usaha Milik Negara yang didirikan
        berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1991,
        Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1991, Peraturan
        Pemerintah Nomor 58 Tahun 1991, dan Peraturan Pemerintah
        Nomor 59 Tahun 1991, tetap menyelenggarakan kegiatan usaha di
        pelabuhan yang meliputi:
        a. kegiatan yang diatur dalam Pasal 90 ayat (1), ayat (2), ayat (3),
           dan ayat (4) Undang-Undang ini;
                              - 73 -

        b. penyediaan kolam pelabuhan sesuai dengan peruntukannya
           berdasarkan pelimpahan dari Pemerintah dan ketentuan
           peraturan perundang-undangan;
        c. pelayanan jasa pemanduan berdasarkan pelimpahan dari
           Pemerintah dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
           dan
        d. penyediaan dan pengusahaan tanah sesuai kebutuhan
           berdasarkan pelimpahan dari Pemerintah dan ketentuan
           peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.

Pasal 345
    Cukup jelas.

Pasal 346
    Cukup jelas.

Pasal 347
    Cukup jelas.


                                                       Pasal 348 . . .
Pasal 348
    Cukup jelas.

Pasal 349
    Cukup jelas.

Pasal 350
    Yang dimaksud dengan "harus ditetapkan" adalah menetapkan
    beberapa pelabuhan utama sebagai hub internasional termasuk juga
    mengevaluasi pelabuhan hub internasional yang telah ditetapkan
    sebelum Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 351
    Ayat (1)
         Yang dimaksud dengan "dievaluasi dan disesuaikan" termasuk
         keberadaan pelabuhan perikanan yang berada di dalam Daerah
         Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan
         pelabuhan.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

Pasal 352
                           - 74 -

      Cukup jelas.

  Pasal 353
      Cukup jelas.

  Pasal 354
      Cukup jelas.

  Pasal 355
      Cukup jelas.



TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4849


Silahkan download versi PDF nya sbb:
pelayaran_(uu_17_thn_2008)_17.pdf
(ogi/Carapedia)
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.