- Home »
- Undang-Undang »
- 1992 » Undang-Undang Penerbangan (UU 15 thn 1992)
1992
Undang-Undang Penerbangan (UU 15 thn 1992)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan :
Silahkan download versi PDF nya sbb:
penerbangan_(uu_15_thn_1992)_15.pdf
UU 15/1992, PENERBANGAN
Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU)
Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor: 15 TAHUN 1992 (15/1992)
Tanggal: 25 MEI 1992 (JAKARTA)
Sumber: LN 1992/53; TLN NO. 3481
Tentang: PENERBANGAN
Indeks: ADMINISTRASI. PERHUBUNGAN. Udara.
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis
untuk memantapkan perwujudan wawasan nusantara, memperkukuh
ketahanan nasional, dan mempererat hubungan antar bangsa
dalam usaha mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa penerbangan sebagai salah satu moda transportasi tidak
dapat dipisahkan dari moda-moda transportasi lain yang
ditata dalam sistem transportasi nasional, yang dinamis dan
mampu mengadaptasi kemajuan dimasa depan, mempunyai
karakteristik mampu mencapai tujuan dalam waktu cepat,
berteknologi tinggi dan memerlukan tingkat keselamatan
tinggi, perlu lebih dikembangkan potensinya dan ditingkatkan
peranannya sebagai penghubung wilayah baik nasional maupun
internasional, sebagai penunjang, pendorong, dan penggerak
pembangunan nasional demi peningkatan kesejahteraan rakyat;
c. bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur penerbangan
yang ada pada saat ini tidak sesuai lagi dengan kebutuhan
dan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. bahwa untuk meningkatkan pembinaan dan penyelenggaraan
penerbangan sesuai dengan perkembangan kehidupan rakyat dan
bangsa Indonesia serta agar lebih berhasil guna dan
berdayaguna dipandang perlu menetapkan ketentuan mengenai
penerbangan dalam Undang-undang;
Mengingat :
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENERBANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Penerbangan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan
penggunaan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara,
angkutan udara, keamanan dan keselamatan penerbangan, serta
kegiatan dan fasilitas penunjang lain yang terkait;
2. Wilayah udara adalah ruang udara di atas wilayah daratan dan
perairan Republik Indonesia;
3. Pesawat udara adalah setiap alat yang dapat terbang di
atmosfer karena daya angkat dari reaksi udara;
4. Pesawat udara Indonesia adalah pesawat udara yang
didaftarkan dan mempunyai tanda pendaftaran Indonesia;
5. Pesawat terbang adalah pesawat udara yang lebih berat dari
udara, bersayap tetap, dan dapat terbang dengan tenaganya
sendiri;
6. Helikopter adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara,
dapat terbang dengan sayap berputar, dan bergerak dengan
tenaganya sendiri;
7. Pesawat udara negara adalah pesawat udara yang dipergunakan
oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan pesawat
udara instansi Pemerintah tertentu yang diberi fungsi dan
kewenangan untuk menegakkan hukum sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
8. Pesawat udara sipil adalah pesawat udara selain pesawat
udara negara;
9. Pesawat udara sipil asing adalah pesawat udara yang
didaftarkan dan/atau mempunyai tanda pendaftaran negara
bukan Indonesia;
10. Pesawat udara Angkatan Bersenjata Republik Indonesia adalah
pesawat udara negara yang dipergunakan dalam dinas Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia;
11. Bandar udara adalah lapangan terbang yang dipergunakan untuk
mendarat dan lepas landas pesawat udara, naik turun
penumpang, dan/atau bongkar muat kargo dan/atau pos, serta
dilengkapi dengan fasilitas keselamatan penerbangan dan
sebagai tempat perpindahan antar moda transportasi;
12. Pangkalan udara adalah kawasan di daratan dan/atau di
perairan dalam wilayah Republik Indonesia yang dipergunakan
untuk kegiatan penerbangan Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia;
13. Angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan
pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos
untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke
bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara;
14. Angkutan udara niaga adalah angkutan udara untuk umum
dengan memungut pembayaran;
15. Kelaikan udara adalah terpenuhinya persyaratan minimum
kondisi pesawat udara dan/atau komponen-komponennya untuk
menjamin keselamatan penerbangan dan mencegah
*8178
terjadinya pencemaran lingkungan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Penerbangan diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, usaha
bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan,
kepentingan umum, keterpaduan, kesadaran hukum, dan percaya pada
diri sendiri.
Pasal 3
Tujuan penerbangan adalah untuk mewujudkan penyelenggaraan
penerbangan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan
teratur, nyaman dan berdayaguna, dengan biaya yang terjangkau
oleh daya beli masyarakat, dengan mengutamakan dan melindungi
penerbangan nasional, menunjang pemerataan, pertumbuhan dan
stabilitas, sebagai pendorong, penggerak, dan penunjang
pembangunan nasional serta mempererat hubungan antar bangsa.
BAB III
KEDAULATAN ATAS WILAYAH UDARA
Pasal 4
Negara Republik Indonesia berdaulat penuh dan utuh atas wilayah
udara Republik Indonesia.
Pasal 5
Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara
Republik Indonesia, Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung
jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan pertahanan dan
keamanan negara, penerbangan, dan ekonomi nasional.
Pasal 6
(1) Untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara serta
keselamatan penerbangan, Pemerintah menetapkan kawasan udara
terlarang.
(2) Pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing dilarang
terbang melalui kawasan udara terlarang, dan terhadap
pesawat udara yang melanggar larangan dimaksud dapat dipaksa
untuk mendarat di pangkalan udara atau bandar udara di dalam
wilayah Republik Indonesia.
(3) Ketentuan mengenai penetapan kawasan udara terlarang dan
tindakan pemaksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PEMBINAAN
Pasal 7
(1) Penerbangan dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan
oleh Pemerintah.
(2) Penyelenggaraan penerbangan dilaksanakan berdasarkan
ketentuan dalam Undang-undang ini.
(3) Pembinaan penerbangan diarahkan untuk meningkatkan
penyelenggaraan penerbangan dalam keseluruhan moda
transportasi secara terpadu, terwujudnya sarana dan
prasarana penerbangan yang andal, sumber daya manusia yang
profesional serta didukung industri pesawat terbang nasional
yang tangguh, dengan memperhatikan seluruh aspek kehidupan
masyarakat untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3.
(4) Pembinaan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3),
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 8
Prasarana dan sarana penerbangan yang dioperasikan wajib
mempunyai keandalan dan memenuhi persyaratan keamanan dan
keselamatan penerbangan.
BAB V
PENDAFTARAN DAN KEBANGSAAN PESAWAT UDARA
SERTA PENGGUNAANNYA SEBAGAI JAMINAN
Pasal 9
(1) Pesawat udara yang dioperasikan di Indonesia wajib mempunyai
tanda pendaftaran.
(2) Pesawat udara sipil yang dapat memperoleh tanda pendaftaran
Indonesia adalah pesawat udara yang tidak didaftarkan di
negara lain dan memenuhi salah satu ketentuan sebagai
berikut :
a. dimiliki oleh warga negara Indonesia atau dimiliki
oleh badan hukum Indonesia;
b. dimiliki oleh warga negara asing atau badan hukum
asing dan dioperasikan oleh warga negara Indonesia atau
badan hukum Indonesia untuk jangka waktu pemakaiannya
minimal dua tahun secara terus menerus berdasarkan suatu
perjanjian sewa beli, sewa guna usaha atau bentuk perjanjian
lainnya;
c. dimiliki oleh instansi Pemerintah;
d. dimiliki oleh lembaga tertentu yang diizinkan
Pemerintah.
(3) Ketentuan mengenai pendaftaran pesawat udara sipil
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan pendaftaran pesawat
udara Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 10
(1) Selain tanda pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1), pesawat terbang dan helikopter yang dioperasikan
di Indonesia wajib mempunyai tanda kebangsaan.
(2) Tanda kebangsaan Indonesia hanya diberikan kepada pesawat
terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda
pendaftaran Indonesia.
(3) Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh dan mencabut
tanda kebangsaan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat
*8180 (2) dan jenis-jenis pesawat terbang dan helikopter
tertentu yang dapat dibebaskan dari kewajiban memiliki tanda
kebangsaan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) Dilarang memberi atau mengubah tanda-tanda pada pesawat
udara sipil sedemikian rupa sehingga menyerupai pesawat
udara negara.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya berlaku
terhadap pesawat terbang dan helikopter.
Pasal 12
(1) Pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda
pendaftaran dan kebangsaan Indonesia dapat dibebani hipotek.
(2) Pembebanan hipotek pada pesawat terbang dan helikopter
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didaftarkan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PENGGUNAAN PESAWAT UDARA
Pasal 13
(1) Pesawat udara yang dapat digunakan di wilayah Republik
Indonesia hanya pesawat udara Indonesia.
(2) Penggunaan pesawat udara sipil asing dari dan ke atau
melalui wilayah Republik Indonesia, hanya dapat dilakukan
berdasarkan perjanjian bilateral atau perjanjian
multilateral atau izin khusus Pemerintah.
(3) Penggunaan pesawat udara negara asing dari dan ke atau
melalui wilayah Republik Indonesia, hanya dapat dilakukan
berdasarkan izin khusus Pemerintah.
(4) Izin khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
Jenis dan penggunaan pesawat udara sipil dan pesawat udara negara
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemernitah.
Pasal 15
(1) Setiap pesawat udara sipil Indonesia atau asing yang tiba di
atau berangkat dari Indonesia, hanya dapat mendarat di atau
tinggal landas dari bandar udara yang ditetapkan untuk itu.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku
dalam keadaan darurat.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 16
Dilarang menerbangkan pesawat udara yang dapat membahayakan
keselamatan pesawat udara, penumpang dan barang, dan/atau *8181
penduduk atau mengganggu keamanan dan ketertiban umum atau
merugikan harta benda milik orang lain.
Pasal 17
(1) Dilarang melakukan perekaman dari udara dengan menggunakan
pesawat udara kecuali atas izin Pemerintah.
(2) Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh izin sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB VII
KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN
Pasal 18
(1) Setiap personil penerbangan wajib memiliki sertifikat
kecakapan.
(2) Sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan.
(3) Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh sertifikat
kecakapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
(1) Setiap pesawat udara yang dipergunakan untuk terbang wajib
memiliki sertifikat kelaikan udara.
(2) Untuk memperoleh sertifikat kelaikan udara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pemeriksaan dan pengujian.
(3) Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh sertifikat
kelaikan udara serta ketentuan mengenai pemeriksaan dan
pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 20
Setiap fasilitas dan/atau peralatan penunjang penerbangan wajib
memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangan.
Pasal 21
(1) Persyaratan keselamatan penerbangan dalam kegiatan rancang
bangun, pembuatan, perakitan, perawatan, dan penyimpanan
pesawat udara termasuk komponen-komponen, dan suku cadangnya
ditetapkan oleh Pemerintah.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya berlaku
terhadap pesawat terbang dan helikopter.
Pasal 22
(1) Dalam rangka keselamatan penerbangan, pesawat udara yang
terbang di wilayah Republik Indonesia diberikan pelayanan
navigasi penerbangan.
(2) Pemberian pelayanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dikenakan biaya.
(3) Persyaratan dan tata cara pemberian pelayanan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
*8182
Pasal 23
(1) Selama terbang, kapten penerbang pesawat udara yang
bersangkutan mempunyai wewenang mengambil tindakan untuk
keamanan dan keselamatan penerbangan.
(2) Jenis dan bentuk tindakan yang dapat diambil untuk keamanan
dan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 24
Pencegahan dan penanggulangan tindakan yang dapat menimbulkan
gangguan terhadap keamanan penerbangan termasuk yang membahayakan
pertahanan dan keamanan negara diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB VIII
BANDAR UDARA
Pasal 25
(1) Pemerintah menetapkan bagian wilayah darat dan/atau perairan
Republik Indonesia untuk dipergunakan sebagai bandar udara.
(2) Penentuan lokasi, pembuatan rancang bangun, perencanaan, dan
pembangunan bandar udara termasuk kawasan di sekelilingnya
wajib memperhatikan ketentuan keamanan penerbangan,
keselamatan penerbangan, dan kelestarian lingkungan kawasan
bandar udara.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
(1) Penyelenggaraan bandar udara untuk umum dan pelayanan
navigasi penerbangan dilakukan oleh Pemerintah dan
pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada badan usaha milik
negara yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Badan hukum Indonesia dapat diikutsertakan dalam
penyelenggaraan bandar udara untuk umum sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) atas dasar kerja sama dengan badan usaha
milik negara yang melaksanakan penyelenggaraan bandar udara
untuk umum.
(3) Pengadaan, pengoperasian, dan perawatan fasilitas penunjang
bandar udara untuk umum dapat dilakukan oleh Pemerintah atau
badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 27
(1) Dalam rangka menunjang kegiatan tertentu dapat
diselenggarakan bandar udara khusus.
(2) Pembangunan dan/atau pengoperasian bandar udara khusus
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan berdasarkan
izin Pemerintah.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2), perawatan dan pengoperasian serta pelayanan navigasi
penerbangan di bandar udara khusus diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
Dilarang berada di bandar udara, mendirikan bangunan atau
melakukan kegiatan-kegiatan lain di dalam maupun di sekitar
bandar udara yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan
penerbangan.
Pasal 29
Ketentuan mengenai status, kelas, dan penggunaan bandar udara
untuk keperluan penerbangan internasional dan/atau domestik
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 30
(1) Penyelenggara bander udara bertanggung jawab terhadap
keamanan dan keselamatan penerbangan serta kelancaran
pelayanannya.
(2) Tanggung jawab terhadap keamanan dan keselamatan penerbangan
sebagaimana dimaksud dalam ayal (1) yang wajib diasuransikan
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31
Struktur dan golongan tarif penggunaan fasilitas dan jasa yang
diberikan di bandar udara ditetapkan oleh Pemerintah.
BAB IX
PENCARIAN DAN PERTOLONGAN KECELAKAAN
SERTA PENELITIAN SEBAB-SEBAB KECELAKAAN
PESAWAT UDARA
Pasal 32
Pemerintah wajib melakukan pencarian dan pertolongan terhadap
setiap pesawat udara yang mengalami kecelakaan di wilayah
Republik Indonesia.
Pasal 33
(1) Setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan pesawat
udara wajib membantu usaha pencarian dan pertolongan
terhadap kecelakaan pesawat udara.
(2) Pengaturan mengenai pencarian dan pertolongan terhadap
pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 34
(1) Pemerintah melakukan penelitian mengenai penyebab setiap
kecelakaan pesawat udara yang terjadi di wilayah Republik
Indonesia.
(2) Setiap orang dilarang merusak atau menghilangkan
bukti-bukti, mengubah letak pesawat udara, mengambil bagian
pesawat udara atau barang lainnya yang tersisa akibat dari
*8184 kecelakaan pesawat udara sebelum dilakukan penelitian
terhadap penyebab kecelakaan tersebut.
(3) Ketentuan mengenai penelitian sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
Dalam hal pesawat udara asing mengalami kecelakaan di wilayah
Republik Indonesia, wakil pemerintah tempat pesawat udara
didaftarkan, wakil perusahaan angkutan udara yang bersangkutan,
dan wakil pabrik pesawat udara yang bersangkutan dapat disertakan
sebagai peninjau dalam penelitian.
BAB X
ANGKUTAN UDARA
Pasal 36
(1) Kegiatan angkutan udara niaga yang melayani angkutan di
dalam negeri atau ke luar negeri hanya dapat diusahakan oleh
badan hukum Indonesia yang telah mendapat izin.
(2) Kegiatan angkutan udara bukan niaga dapat dilakukan oleh
Pemerintah atau badan hukum Indonesia, lembaga tertentu atau
perorangan warga negara Indonesia yang telah mendapat izin.
(3) Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh izin sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 37
(1) Usaha angkutan udara niaga dilakukan secara berjadwal dan
tidak berjadwal.
(2) Ketentuan mengenai penetapan jaringan dan rute penerbangan
dalam negeri untuk angkutan udara niaga berjadwal
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan mempertimbangkan
keterpaduan antar moda angkutan diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
(3) Penetapan jaringan dan rute penerbangan international diatur
oleh Pemerintah berdasarkan perjanjian antar negara.
Pasal 38
(1) Pemerintah menyelenggarakan angkutan udara perintis untuk
melayani jaringan dan rute penerbangan yang menghubungkan
daerah-daerah terpencil dan pedalaman atau yang sukar
terhubungi oleh moda transportasi lain.
(2) Penyelenggaraan angkutan udara perintis sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 39
Perusahaan angkutan udara asing dilarang melakukan angkutan udara
niaga di dalam negeri.
Pasal 40
Struktur dan golongan tarif angkutan udara niaga, ditetapkan oleh
Pemerintah.
*8185 Pasal 41
(1) Perusahaan angkutan udara niaga, wajib mengangkut orang
dan/atau barang, setelah disepakati perjanjian pengangkutan.
(2) Tiket penumpang atau tiket bagasi merupakan tanda bukti
telah disepakati perjanjian pengangkutan dan pembayaran
biaya angkutan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 42
(1) Penyandang cacat dan orang sakit berhak memperoleh pelayanan
berupa perlakuan khusus dalam angkutan udara niaga.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 43
(1) Perusahaan angkutan udara yang melakukan kegiatan angkutan
udara niaga bertanggungjawab atas :
a. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;
b. musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut;
c. keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang
diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan
pengangkut.
(2) Batas jumlah ganti rugi terhadap tanggung jawab pengangkut
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 44
(1) Setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan pesawat
udara bertanggungjawab terhadap kerugian yang diderita oleh
pihak ketiga yang diakibatkan oleh pengoperasian pesawat
udara atau kecelakaan pesawat udara atau jatuhnya
benda-benda lain dari pesawat udara yang dioperasikan.
(2) Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh ganti rugi dan
batas jumlah ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemernitah.
Pasal 45
Pengangkutan udara yang dilakukan berturut-turut oleh beberapa
perusahaan angkutan udara, dianggap sebagai satu pengangkutan
udara, apabila oleh pihak-pihak yang bersangkutan diperjanjikan
sebagai satu perjanjian pengangkutan udara.
Pasal 46
Dalam pengangkutan campuran yang sebagian dilaksanakan melalui
angkutan udara dan sebagian melalui moda angkutan lainnya,
ketentuan dalam Undang-undang ini hanya berlaku untuk tanggung
jawab dalam rangka pengangkutan udara.
Pasal 47
Setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan pesawat udara
wajib mengasuransikan tanggungjawabnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 43 dan Pasal 44 ayat (1).
*8186
Pasal 48
Setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan pesawat udara
wajib mengasuransikan awak pesawat udara yang dipekerjakannya.
Pasal 49
(1) Dalam keadaan tertentu pesawat udara Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia dapat dipergunakan untuk keperluan
angkutan udara sipil dan sebaliknya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
DAMPAK LINGKUNGAN
Pasal 50
(1) Untuk mencegah terganggunya kelestarian lingkungan hidup,
setiap pesawat udara wajib memenuhi persyaratan ambang batas
tingkat kebisingan.
(2) Setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan pesawat
udara wajib mencegah terganggunya kelestarian lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal .51
Standar mengenai tingkat kebisingan pesawat udara di bandar udara
dan sekitarnya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XII
PENYIDIKAN
Pasal 52
(1) Selain pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang penerbangan,
dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana
di bidang penerbangan, kecuali tindak pidana yang diancam
hukuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang
untuk:
a. melakukan,pemeriksaan atas kebenaran laporan, pengaduan
atau keterangan tentang adanya tindak pidana;
b. memanggil dan memeriksa saksi dan/atau tersangka;
c. melakukan penggeledahan, penyegelan dan/atau penyitaan
alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
d. melakukan pemeriksaan tempat yang diduga digunakan
untuk melakukan tindak pidana;
e. meminta keterangan kepada saksi-saksi dan mengumpulkan
barang bukti dari orang dan/atau badan hukum sehubungan
dengan tindak pidana;
*8187 f. membuat dan menandatangani berita acara
pemeriksaan;
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup
bukti tentang adanya tindak pidana.
(3) Pelaksanaan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2), dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 53
Penyidikan terhadap pelanggaran wilayah udara termasuk kawasan
udara terlarang yang mengakibatkan tindakan pemaksaan mendarat
oleh pesawat udara Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Udara, dan penyelesaian hukumnya
di-lakukan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana.
BAB XIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 54
Barangsiapa mengoperasikan pesawat udara melalui kawasan udara
terlarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda
setinggi-tingginya Rp. 72.000.000,- (tujuh puluh dua juta
rupiah).
Pasal 55
Barangsiapa mengoperasikan pesawat udara yang tidak mempunyai
tanda pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1),
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau
denda setinggi-tingginya Rp. 36.000.000,- (tiga puluh enam juta
rupiah).
Pasal 56
Barangsiapa mengoperasikan pesawat terbang dan helikopter yang
tidak mempunyai tanda kebangsaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 36.000.000,- (tiga
puluh enam juta rupiah).
Pasal 57
Barangsiapa memberi atau mengubah tanda-tanda pada pesawat udara
sipil sedemikian rupa sehingga menyerupai pesawat udara negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 18.000.000,- (delapan belas juta rupiah).
Pasal 58
Barangsiapa mengoperasikan pesawat udara asing dari, ke atau
melalui wilayah Republik Indonesia dengan melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
setinggi-tingginya Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).
*8188 Pasal 59
Barangsiapa melakukan pendaratan atau tinggal landas dengan
menggunakan pesawat udara tidak di atau dari bandar udara yang
ditetapkan untuk itu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat
(1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
atau denda setinggi-tingginya Rp. 36.000.000,- (tiga puluh enam
juta rupiah).
Pasal 60
Barangsiapa menerbangkan pesawat udara yang dapat membahayakan
keselamatan pesawat udara, penumpang dan barang, dan/atau
penduduk, atau mengganggu keamanan dan ketertiban umum atau
merugikan harta benda milik orang lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 60.000.000,- (enam puluh
juta rupiah).
Pasal 61
Barangsiapa tanpa izin Pemerintah melakukan perekaman dari udara
dengan menggunakan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima )
tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 60.000.000,- (enam puluh
juta rupiah).
Pasal 62
Barangsiapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 36.000.000,- (tiga puluh
enam juta rupiah).
Pasal 63
Barangsiapa mengoperasikan pesawat udara yang tidak memiliki
sertifikat kelaikan udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 36.000.000,- (tiga puluh
enam juta rupiah).
Pasal 64
Barangsiapa mengoperasikan fasilitas dan/atau peralatan penunjang
penerbangan yang tidak memenuhi persyaratan keamanan dan
keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau
denda setinggi-tingginya Rp. 18.000.000,- (delapan belas juta
rupiah).
Pasal 65
Barangsiapa membangun dan/atau mengoperasikan bandar udara khusus
tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda
setinggi-tingginya Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
Pasal 66
Barangsiapa tanpa hak berada di tempat-tempat tertentu di bandar
udara, mendirikan bangunan atau melakukan kegiatan lain di dalam
atau di sekitar bandar udara yang dapat membahayakan
keamanan dan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam)
bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 18.000.000,- (delapan
belas juta rupiah).
Pasal 67
Barangsiapa tidak membantu usaha pencarian dan pertolongan
terhadap pesawat udara yang mengalami kecelakaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) walaupun telah diberitahukan
secara patut oleh pejabat yang berwenang, dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya
Rp. 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 68
(1) Barangsiapa tanpa hak merusak atau menghilangkan bukti-bukti
atau mengubah letak pesawat udara, atau mengambil bagian
pesawat udara atau barang lainnya yang tersisa akibat dari
kecelakaan pesawat udara, sebelum dilakukan penelitian
terhadap penyebab kecelakaan tersebut sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.
18.000.000,- (delapan belas juta rupiah).
(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan bukti-bukti
mengenai penyebab kecelakaan, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp.
60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).
Pasal 69
Barangsiapa melakukan kegiatan angkutan udara niaga atau bukan
niaga tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dan
ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam)
bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 18.000.000.- (delapan
belas juta rupiah).
Pasal 70
Barangsiapa mengoperasikan pesawat udara dan tidak
mengasuransikan tanggungjawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
47, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
atau denda setinggi-tingginya Rp. 36.000.000,- .(tiga puluh enam
juta rupiah).
Pasal 71
Barangsiapa tidak mengasuransikan awak pesawat udara yang
dipekerjakannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 terhadap
resiko terjadinya kecelakaan pesawat udara, dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda
setinggi-tingginya Rp. 36.000.000,- (tiga puluh enam juta
rupiah).
Pasal 72
Barangsiapa mengoperasikan pesawat udara yang tidak memenuhi
persyaratan ambang batas tingkat kebisingan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp.
36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 73
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal
58, Pasal 60, Pasal 61, dan Pasal 68 ayat (2) adalah
kejahatan.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, Pasal 56.
Pasal 57, Pasal 59, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65,
Pasal 66, Pasal 67, Pasal 69 ayat (1). Pasal 69, Pasal 70,
Pasal 71, dan Pasal 72 adalah pelanggaran.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 74
Dengan berlakunya Undang-undang ini maka :
a. Ordonansi Pengangkutan Udara (Luchtvervoer Ordonnantie
Staatsblad Tahun, 1939 Nomor 100) dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini atau
belum diganti dengan Undang-undang yang baru;
b. semua peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 93 Tahun
1958 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor
159, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1687) dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti
dengan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.
BAB XV
PENUTUP
Pasal 75
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang
Nomor 83 Tahun 1958 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Tahun
1958 Nomor 159, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1687), dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 76
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 17 September 1992.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 25 Mei 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Mei 1992
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
MOERDIONO
PENJELASA
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 1992
TENTANG
PENERBANGAN
UMUM
Bahwa berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa Negara Republik
Indonesia telah dianugerahi sebagai negara kepulauan yang terdiri
dari beribu pulau, terletak memanjang di garis khatulistiwa, di
antara dua benua dan dua samudera, oleh karena itu mempunyai
posisi dan peranan yang sangat penting dan strategis dalam
hubungan antar bangsa.
Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional sebagai
pengamalan Pancasila, transportasi memiliki posisi yang penting
dan strategis dalam pembangunan bangsa yang berwawasan lingkungan
dan hal ini harus tercermin pada kebutuhan mobilitas seluruh
sektor dan wilayah.
Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan
strategis dalam memperlancar roda perekonomian, memperkukuh
persatuan dan kesatuan, mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa
dan negara serta mempererat hubungan antar bangsa.
Pentingnya transportasi tersebut tercermin pada semakin
meningkatnya kebutuhan jasa angkutan bagi mobilitas orang serta
barang dari dan ke seluruh pelosok tanah air, bahkan dari dan ke
luar negeri.
Di samping itu, transportasi juga berperan sebagai
penunjang, pendorong, dan penggerak bagi pertumbuhan daerah yang
berpotensi namun belum berkembang, dalam upaya peningkatan dan
pemerataan pembangunan serta hasil-hasilnya.
Menyadari peranan transportasi, maka penyelenggaraan
penerbangan harus ditata dalam satu kesatuan sistem transportasi
nasional secara terpadu dan mampu mewujudkan penyediaan jasa
transportasi yang seimbang dengan tingkat kebutuhan dan
tersedianya pelayanan angkutan yang selamat, aman, cepat, lancar,
tertib, teratur, nyaman, dan efisien dengan biaya yang wajar
serta terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Penerbangan yang mempunyai karakteristik dan keunggulan
tersendiri perlu dikembangkan dengan memperhatikan sifatnya yang
padat modal sehingga mampu meningkatkan pelayanan yang lebih luas
baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.
Pengembangan penerbangan yang ditata dalam satu kesatuan
sistem, dilakukan dengan mengintegrasikan dan mendinamisasikan
unsur-unsurnya yang terdiri dari prasarana dan sarana
penerbangan, peraturan-peraturan, prosedur dan metoda sedemikian
rupa sehingga terwujud suatu totalitas yang utuh, berdayaguna,
berhasilguna serta dapat diterapkan.
Mengingat penting dan strategisnya peranan penerbangan yang
menguasai hajat hidup orang banyak, maka penerbangan dikuasai
oleh negara yang pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.
*8192 Penyelenggaraan penerbangan perlu diselenggarakan
secara berkesinambungan dan terus ditingkatkan agar lebih luas
daya jangkau dan pelayanannya kepada masyarakat dengan
memperhatikan sebesar-besar kepentingan umum dan kemampuan
masyarakat, kelestarian lingkungan, koordinasi antar wewenang
pusat dan daerah serta antar instansi, sektor, dan antar unsur
terkait serta pertahanan dan keamanan negara, sekaligus dalam
rangka mewujudkan sistem transportasi nasional yang andal dan
terpadu.
Keseluruhan hal tersebut perlu dicerminkan dalam satu
Undang-undang yang utuh.
Dalam Undang-undang ini juga diatur mengenai hak, kewajiban
serta tanggung jawab para penyedia jasa dan para pengguna jasa,
dan tanggung jawab penyedia jasa terhadap kerugian pihak ketiga
sebagai akibat dari penyelenggaraan penerbangan serta pembebanan
hipotek terhadap pesawat terbang dan helikopter yang telah
memperoleh tanda pendaftaran Indonesia.
Di samping itu dalam rangka pembangunan hukum nasional serta
untuk lebih memantapkan perwujudan kepastian hukum, Undang-undang
Nomor 83 Tahun 1958 tentang Penerbangan, perlu diganti dengan
Undang-undang ini, karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan belum tertata
dalam satu kesatuan sistem yang merupakan bagian dari
transportasi secara keseluruhan.
Mengingat Indonesia sebagai salah satu negara anggota
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil
Aviation Organization, disingkat ICAO), maka ketentuan-ketentuan
penerbangan internasional sebagaimana tercantum dalam Konvensi
Chicago 1944 beserta Annexes dan dokumen-dokumen teknis
operasionalnya serta konvensi-konvensi internasional terkait
lainnya, merupakan ketentuan-ketentuan yang harus ditaati sesuai
dengan kepentingan nasional.
Dalam Undang-undang ini diatur hal-hal yang bersifat pokok,
sedangkan yang bersifat teknis dan operasional diatur dalam
Peraturan Pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Tidak termasuk pengertian pesawat udara adalah
alat-alat yang dapat terbang bukan oleh daya angkat dari
reaksi udara, melainkan karena reaksi udara terhadap
permukaan bumi, misalnya roket.
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
*8193 Cukup jelas
Angka 8
Cukup jelas
Angka 9
Cukup jelas
Angka 10
Cukup jelas
Angka 11
Yang dimaksud dengan lapangan terbang dalam ketentuan
ini adalah kawasan di daratan atau perairan yang
dipergunakan untuk lepas landas dan/atau pendaratan pesawat
udara.
Angka 12
Cukup jelas
Angka 13
Cukup jelas
Angka 14
Cukup jelas
Angka 15
Cukup jelas
Pasal 2
Dalam ketentuan pasal ini yang dimaksud dengan :
a. asas manfaat yaitu, bahwa penerbangan harus dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan,
peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengembangan
perikehidupan yang berkeseimbangan bagi warga negara, serta
upaya peningkatan pertahanan dan keamanan negara;
b. asas usaha bersama dan kekeluargaan yaitu, bahwa
penyelenggaraan usaha di bidang penerbangan dilaksanakan
untuk mencapai cita-cita dan aspirasi bangsa yang dalam
kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat
dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan;
c. asas adil dan merata yaitu, bahwa penyelenggaraan
penerbangan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan
merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang
terjangkau oleh masyarakat;
d. asas keseimbangan yaitu, bahwa penerbangan harus
diselenggarakan sedemikian rupa sehingga terdapat
keseimbangan yang serasi antara sarana dan prasarana, antara
kepentingan pengguna dan penyedia jasa, antara kepentingan
individu dan masyarakat, serta antara kepentingan nasional
dan internasional;
e. asas kepentingan umum yaitu, bahwa penyelenggaraan
penerbangan harus mengutamakan kepentingan pelayanan umum
bagi masyarakat luas;
f. asas keterpaduan yaitu, bahwa penerbangan harus
merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, terpadu, saling
menunjang, dan saling mengisi baik intra maupun antar moda
transportasi;
*8194 g. asas kesadaran hukum yaitu, bahwa mewajibkan
kepada pemerintah untuk menegakkan dan menjamin kepastian
hukum serta mewajibkan kepada setiap warga negara Indonesia
untuk selalu sadar dan taat kepada hukum dalam
penyelenggaraan penerbangan;
h. asas percaya pada diri sendiri yaitu, bahwa penerbangan
harus berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan
kekuatan sendiri, serta bersendikan kepada kepribadian
bangsa.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Sebagai negara berdaulat, Republik Indonesia memiliki
kedaulatan penuh dan utuh di wilayah udara Republik
Indonesia, sesuai dengan ketentuan Konvensi Chicago 1944
tentang Penerbangan Sipil Internasional.
Ketentuan dalam pasal ini hanya menegaskan mengenai
kewenangan dan tanggung jawab negara Republik Indonesia
untuk mengatur penggunaan wilayah udara yang merupakan
bagian dari wilayah dirgantara Indonesia, sedangkan mengenai
kedaulatan atas wilayah Republik Indonesia secara menyeluruh
tetap berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok
Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia.
Pasal 5
Wilayah udara yang berupa ruang udara di atas wilayah
daratan dan perairan Republik Indonesia merupakan kekayaan
nasional sehingga harus dimanfaatkan bagi sebesar-besar
kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.
Pasal 6
Ayat (1)
Kewenangan menetapkan kawasan udara terlarang merupakan
kewenangan dari setiap negara berdaulat untuk mengatur
penggunaan wilayah udaranya, dalam rangka pertahanan
keamanan negara dan keselamatan penerbangan.
Kawasan udara terlarang dalam ketentuan ini mengandung
dua pengertian yaitu :
a. kawasan udara terlarang yang larangannya bersifat
tetap (prohibited area) karena pertimbangan pertahanan dan
keamanan negara serta keselamatan penerbangan;
b. kawasan udara terlarang yang larangannya bersifat
terbatas (restricted area) karena pertimbangan pertahanan
dan keamanan atau keselamatan penerbangan atau kepentingan
umum misalnya pembatasan ketinggian terbang, pembatasan
waktu operasi, dan lain-lain.
Ayat (2)
*8195 Penegakan hukum terhadap ketentuan ini dilakukan
dengan menggunakan pesawat udara Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia oleh instansi yang bertanggung jawab di
bidang pertahanan dan keamanan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Pengertian dikuasai oleh negara adalah bahwa negara
mempunyai hak penguasaan atas penyelenggaraan penerbangan
yang perwujudannya meliputi aspek-aspek pengaturan,
pengendalian, dan pengawasan.
Dalam aspek pengaturan, tercakup perumusan dan
penentuan kebijaksanaan umum maupun teknis yang antara lain
berupa persyaratan keselamatan dan perizinan.
Aspek pengendalian dilakukan baik di bidang pembangunan
maupun operasi berupa pengarahan dan bimbingan. Sedangkan
aspek pengawasan dilakukan terhadap penyelenggaraan
penerbangan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam pengertian memperhatikan seluruh aspek kehidupan
masyarakat yang meliputi aspek politik, ekonomi, sosial
budaya, pertahanan dan keamanan, termasuk memperhatikan
lingkungan hidup, tata ruang, energi, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, hubungan internasional, serta
pengembangan potensi yang ada dalam masyarakat dalam rangka
meningkatkan kemampuan penerbangan nasional yang lebih luas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 8
Yang dimaksud dengan mempunyai keandalan adalah kondisi
prasarana yang siap pakai dan secara teknis laik untuk
dioperasikan serta sarana yang laik udara.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tanda pendaftaran dalam ketentuan
ini adalah tanda pendaftaran Indonesia atau asing.
Pengertian dioperasikan dalam ayat ini adalah dipakai
untuk terbang.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Sepanjang kebutuhan angkutan udara di Indonesia
belum terpenuhi, pesawat udara yang dimiliki oleh warga
negara asing atau badan hukum asing, dapat didaftarkan di
Indonesia apabila memenuhi ketentuan dalam ayat ini.
*8196 Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan lembaga tertentu antara lain
lembaga sosial, keagamaan, pendidikan, dan olah raga.
Sedangkan yang dimaksud dengan izin Pemerintah adalah izin
untuk melakukan kegiatan tertentu di Indonesia dan izin
untuk dapat menggunakan pesawat udara dalam rangka menunjang
kegiatannya.
Ayat (3)
Sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan keadaan, dalam
Peraturan Pemerintah dapat diatur mengenai bentuk-bentuk
perjanjian lainnya yang dapat dipergunakan sebagai dasar
untuk mendaftarkan di Indonesia, pesawat udara milik warga
negara asing atau badan hukum asing, dengan tetap
memperhatikan ketentuan dalam Undang-undang ini.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan jenis-jenis pesawat terbang
tertentu yang merupakan hasil pengembangan teknologi antara
lain adalah pesawat terbang sangat ringan (ultra light).
Mengingat pengoperasian ultra light sangat terbatas dan
terhadap ultra light tidak berlaku ketentuan Konvensi
Chicago 1944, maka tidak diwajibkan untuk memiliki tanda
kebangsaan.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Berdasarkan pertimbangan keamanan dan ketertiban,
ketentuan dalam pasal ini diberlakukan pula terhadap
jenis-jenis pesawat udara tertentu yang ditetapkan oleh
Pemerintah.
Pasal 12
Ayat (1)
Terhadap hipotek pesawat terbang dan helikopter
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini berlaku
ketentuan-ketentuan hipotek dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata Indonesia.
Ketentuan dalam pasal ini tidak menutup pembebanan
pesawat terbang dan helikopter dengan hak jaminan lain
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
*8197 Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kata digunakan dalam ketentuan ini
adalah dioperasikan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 14
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencapai optimalisasi dalam
pengoperasian pesawat udara, melalui pengaturan jenis dan
penggunaan pesawat udara pada rute atau daerah operasi
tertentu, dengan memperhatikan perkembangan industri pesawat
udara dalam negeri dan perkembangan angkutan udara nasional.
Dalam Peraturan Pemerintah diatur jenis dan penggunaan
pesawat udara sipil untuk angkutan udara niaga dan bukan
niaga, serta jenis dan penggunaan pesawat udara negara untuk
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Bea dan Cukai, dan
lain-lain instansi.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dalam keadaan darurat adalah suatu
keadaan yang memaksa, sehingga harus dilakukan pendaratan di
luar bandar udara yang telah ditetapkan, misalnya karena
terjadi kerusakan mesin atau kehabisan bahan bakar atau
cuaca buruk yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan
apabila penerbangan tetap dilanjutkan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 16
Kegiatan yang membahayakan tersebut antara lain terbang di
luar jalur yang ditentukan, terbang tidak membawa peralatan
keselamatan, terbang di atas kawasan udara terlarang, dan
juga dapat membahayakan kelestarian lingkungan hidup.
Pasal 17
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah dilakukannya
kegiatan perekaman dengan menggunakan pesawat udara yang
dilengkapi dengan alat-alat perekam dalam bentuk *8198
apapun, sehingga dapat membahayakan kepentingan pertahanan
dan keamanan negara.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan personil penerbangan adalah orang
yang mempunyai kecakapan tertentu yang tugasnya secara
langsung mempengaruhi keselamatan penerbangan.
Ayat (2)
Berdasarkan pertimbangan keselamatan penerbangan,
sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
ini ditetapkan batas waktunya, dan untuk memperoleh
perpanjangan masa berlakunya dilakukan kegiatan antara lain
pengujian kecakapan dan pengujian kesehatan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 20
Fasilitas penerbangan ialah peralatan-peralatan yang
dibutuhkan langsung untuk navigasi penerbangan antara lain
peralatan sistem pendaratan, sistem komunikasi, meteorologi
sedangkan peralatan penunjang berupa peralatan yang tidak
secara langsung mempengaruhi keamanan dan keselamatan
penerbangan antara lain peralatan perbengkelan.
Pasal 21
Ayat (1)
Ketentuan ini merupakan persyaratan yang harus
diperhatikan dalam rangka keselamatan penerbangan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Pelayanan navigasi penerbangan (air navigation) dalam
ketentuan ini antara lain terdiri dari pelayanan lalu lintas
udara, meteorologi, komunikasi penerbangan, dan fasilitas
bantu navigasi penerbangan.
Ayat (2)
Pendapatan yang diperoleh sebagai hasil pemberian
pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan ini, dikelola sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
*8199 Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan selama terbang dalam ketentuan ini
adalah sejak saat semua pintu luar pesawat udara ditutup
setelah naiknya penumpang (embarkasi) sampai saat pintu
dibuka untuk penurunan penumpang (debarkasi).
Kewenangan yang diatur dalam Undang-undang ini untuk
memberi landasan hukum bagi tindakan yang diambil oleh
kapten penerbang dalam rangka keamanan dan keselamatan
penerbangan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Penyelenggaraan bandar udara sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan ini meliputi kegiatan perencanaan, pembangunan,
pengoperasian, perawatan, dan pengawasan serta pengendalian.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Fasilitas penunjang bandar udara adalah fasilitas yang
diperlukan untuk memperlancar arus lalu lintas penumpang,
kargo, dan pos di bandar udara, antara lain hotel, jasaboga,
toko, gudang, hanggar, parkir, dan jasa perawatan pada
umumnya.
Ayat (4)
Dalam Peraturan Pemerintah diatur pula ketentuan
mengenai penggunaan bersama suatu bandar udara atau
pangkalan udara untuk penerbangan sipil dan penerbangan
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (enclave sipil dan
enclave militer).
Pasal 27
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan bandar udara khusus adalah bandar
udara yang penggunaannya hanya untuk menunjang kegiatan
tertentu dan tidak dipergunakan untuk umum.
*8200 Ayat (2)
Pengawasan dan pengendalian terhadap.bandar udara
khusus tetap dilaksanakan oleh Pemerintah.
Ayat (3)
Dalam Peraturan Pemerintah diatur pula ketentuan
mengenai kemungkinan penggunaan bandar udara khusus untuk
umum.
Pasal 28
Pengertian berada di bandar udara dalam ketentuan ini adalah
berada tanpa izin di daerah-daerah tertentu di bandar udara
yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan
penerbangan.
Yang dimaksud dengan bangunan antara lain adalah bangunan
yang secara pisik membahayakan operasi lalu lintas udara,
yang dapat berupa gedung, tumpukan tanah, tumpukan bahan
bangunan, atau benda-benda galian baik bersifat sementara
ataupun bersifat tetap.
Ketentuan ini juga berlaku terhadap bangunan yang sebelumnya
telah didirikan atau tanaman yang kemudian ternyata dapat
membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan.
Yang dimaksud dengan kegiatan-kegiatan lain dalam ketentuan
ini antara lain adalah kegiatan yang dapat mengganggu
komunikasi penerbangan dan navigasi penerbangan.
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Tanggung jawab terhadap keamanan dan keselamatan
penerbangan serta kelancaran pelayanan termasuk keamanan dan
keselamatan calon penumpang dan penumpang selama berada di
sisi udara dari bandar udara yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 31
Dengan berpedoman pada struktur dan golongan tarif yang
ditetapkan oleh Pemerintah. penyelenggara bandar udara
menetapkan tarif dengan memperhatikan kelangsungan dan
pengembangan usaha penyelenggara bandar udara dalam rangka
meningkatkan mutu pelayanan.
Pasal 32
Pengertian pencarian dan pertolongan (search and rescue)
dalam ketentuan ini adalah pencarian terhadap pesawat udara
dan manusia yang menjadi korban, sedangkan pertolongan hanya
terhadap manusia.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas
*8201 Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Penelitian mengenai penyebab kecelakaan sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan ini, dilakukan oleh suatu panitia
yang anggotanya terdiri dari para ahli di bidang penerbangan
dan bidang-bidang lain sesuai kebutuhan.
Semua keterangan atau data yang ditemukan dari kegiatan
penelitian tidak dimaksudkan untuk mempertanggungjawabkan
kesalahan pada pihak-pihak yang terkait, melainkan untuk
mencegah jangan sampai terjadi lagi kecelakaan pesawat udara
dengan penyebab yang sama.
Ayat (2)
Untuk keperluan penyelamatan para korban dan
keselamatan penerbangan serta keselamatan umum yang
disebabkan oleh kecelakaan dimaksud para petugas yang
berwenang dapat melakukan tindakan merusak, mengubah letak
pesawat udara atau mengambil bagian pesawat udara dan
lain-lain sebelum dilakukan penelitian penyebab kecelakaan
pesawat udara tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 35
Kata dapat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini
mengandung pengertian bahwa bukan merupakan suatu kewajiban
untuk mengikutsertakan wakil pemerintah tempat pesawat udara
didaftarkan dan/atau wakil perusahaan angkutan udara
dan/atau wakil pabrik pesawat udara yang bersangkutan
sebagai peninjau dalam penelitian.
Pengertian peninjau dalam ketentuan ini adalah pengamat
(observer) dalam pelaksanaan penelitian.
Pasal 36
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan badan hukum Indonesia adalah badan
usaha milik negara, badan usaha milik swasta, dan koperasi.
Ayat (2)
Kegiatan angkutan udara bukan niaga yang dilaksanakan
oleh badan hukum Indonesia atau perorangan adalah yang
kegiatan pokoknya bukan usaha angkutan udara dan hanya untuk
mendukung kegiatan pokok tersebut, misalnya perusahaan
perkebunan, perusahaan minyak, dan lain sebagainya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1)
*8202 Yang dimaksud dengan secara berjadwal adalah
pelayanan angkutan udara niaga dalam rute penerbangan yang
dilakukan secara tetap dan teratur, sedangkan yang dimaksud
dengan secara tidak berjadwal adalah pelayanan angkutan
udara niaga yang tidak terikat pada rute serta jadwal
penerbangan yang tetap dan teratur.
Ayat (2)
Penetapan jaringan dan rute penerbangan bertujuan di
samping untuk kepentingan kelangsungan hidup perusahaan
angkutan udara juga untuk menjamin tersedianya jasa angkutan
udara yang diperlukan oleh pengguna jasa ke seluruh pelosok
wilayah Republik Indonesia, termasuk jaringan dan rute
angkutan udara perintis.
Ayat (3)
Penentuan jaringan dan rute penerbangan internasional
dibicarakan dalam negosiasi perjanjian antar negara dengan
memanfaatkan wilayah udara nasional bagi sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Delegasi Indonesia dalam negosiasi terdiri dari
instansi pemerintah yang terkait dan perusahaan angkutan
udara yang akan melayani rute tersebut.
Pasal 38
Ayat (1)
Guna membuka isolasi dan mengembangkan semua daerah dan
pulau terpencil, angkutan udara perintis diselenggarakan
oleh pemerintah dengan mengikutsertakan angkutan udara niaga
nasional yang dapat diberi kemudahan tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Dalam penetapan struktur dan golongan tarif angkutan udara
niaga domestik, Pemerintah memperhatikan kepentingan
masyarakat dan kepentingan penyelenggara angkutan udara
niaga.
Pemerintah menetapkan tarif yang berorientasi kepada
kepentingan dan kemampuan masyarakat luas, termasuk tarif
untuk angkutan udara perintis.
Dengan berpedoman pada struktur dan golongan tarif tersebut
penyelenggara angkutan udara niaga menetapkan tarif yang
berorientasi kepada kelangsungan dan pengembangan usaha
angkutan udara niaga dalam rangka meningkatkan mutu
pelayanan.
Tarif angkutan udara niaga internasional ditetapkan
berdasarkan perjanjian internasional.
Pasal 41
Ayat (1)
*8203 Ketentuan wajib angkut ini dimaksudkan agar
perusahaan angkutan udara niaga tidak melakukan perbedaan
perlakuan terhadap pengguna jasa angkutan, sepanjang yang
bersangkutan telah memenuhi persyaratan sesuai perjanjian
pengangkutan yang disepakati.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 42
Ayat (1)
Pelayanan khusus bagi penumpang yang menyandang cacat
atau orang sakit dimaksudkan agar mereka juga dapat
menikmati pelayanan angkutan udara dengan baik.
Yang dimaksud pelayanan khusus dalam ketentuan ini
dapat berupa pembuatan jalan khusus di bandar udara dan
sarana khusus untuk naik ke atau turun dari pesawat udara,
atau penyediaan ruang yang disediakan khusus bagi penempatan
kursi roda atau sarana bantu bagi orang sakit yang
pengangkutannya mengharuskan dalam posisi tidur.
Yang dimaksud dengan cacat dalam ketentuan ini misalnya
penumpang yang menggunakan kursi roda karena lumpuh, cacat
kaki, tuna netra, dan sebagainya.
Tidak termasuk dalam pengertian orang sakit dalam
ketentuan ini adalah orang yang menderita penyakit menular
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 43
Ayat (1)
Huruf a
Tanggung jawab perusahaan angkutan udara
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah apabila
kematian atau lukanya penumpang diakibatkan karena
kecelakaan selama dalam pengangkutan udara dan terjadi di
dalam pesawat udara atau kecelakaan pada saat naik ke atau
turun dari pesawat udara.
Termasuk dalam pengertian lukanya penumpang adalah
cacat fisik dan/atau cacat mental.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyempurnakan balas
ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 30 Ordonansi
Pengangkutan Udara (Luchtvervoer Ordonnantie Staatsblad 1939
No. 100).
*8204 Besarnya ganti rugi harus selalu disesuaikan
dengan perkembangan nilai mata uang.
Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud pihak ketiga adalah orang atau badan
hukum yang tidak ada kaitannya dengan pengoperasian pesawat
udara tetapi meninggal atau luka atau menderita kerugian
akibat pengoperasian pesawat udara.
Ayat (2)
Penetapan batas ganti rugi harus selalu disesuaikan
dengan perkembangan nilai mata uang.
Pasal 45
Dalam hal pengangkutan udara dilakukan sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan ini, maka perusahaan angkutan udara yang
melakukan perjanjian angkutan dengan pengguna jasa,
bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh
pengguna jasa, meskipun pelaksanaannya dilakukan oleh
beberapa perusahaan angkutan udara.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan
pengguna jasa angkutan udara.
Pasal 46
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan bahwa
dalam hal pengangkutan campuran, Undang-undang ini hanya
mengatur ketentuan mengenai tanggung jawab pengangkut udara,
apabila kegiatan angkutan tersebut dilakukan dalam satu
dokumen angkutan udara, sedangkan ketentuan mengenai
tanggung jawab yang menyangkut moda angkutan lainnya diatur
berdasarkan ketentuan mengenai tanggungjawab sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Ayat (1)
Yang dimaksud keadaan tertentu yaitu apabila Pemerintah
memerlukan transportasi untuk angkutan udara, sedangkan yang
tersedia hanya pesawat udara Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia, maka Pemerintah dapat mengubah pesawat udara
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menjadi pesawat udara
sipil sesuai dengan persyaratan pesawat udara sipil.
Begitu juga sebaliknya apabila Pemerintah memerlukan
pesawat udara untuk transportasi angkutan udara Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, sedangkan yang tersedia hanya
pesawat udara sipil maka pesawat udara sipil dapat diubah
menjadi pesawat udara Angkatan Bersenjata
*8205
Republik Indonesia sesuai dengan persyaratan pesawat udara
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan angkutan udara sipil
adalah angkutan udara niaga atau bukan niaga.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 51
Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah atau setidak-tidaknya
mengurangi sejauh mungkin gangguan yang diderita oleh
masyarakat yang ditimbulkan oleh kebisingan bunyi mesin
pesawat udara, baik pada waktu terbang, mendarat, tinggal
landas maupun pada saat menghidupkan mesinnya di bandar
udara.
Pasal 52
Ayat (1)
Penyidikan pelanggaran terhadap Undang-undang
Penerbangan memerlukan keahlian dalam bidang penerbangan
sehingga perlu adanya petugas khusus untuk melakukan
penyidikan di samping pegawai yang biasa bertugas menyidik
tindak pidana.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
*8206 Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan merusak atau menghilangkan
bukti-bukti, mengubah letak pesawat udara, mengambil bagian
pesawat udara atau barang lainnya yang tersisa akibat
kecelakaan pesawat udara adalah setiap tindakan yang
mengakibatkan sulitnya penelitian terhadap penyebab
kecelakaan pesawat udara.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
*8207
Pasal 74
Huruf a
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa
ordonansi Pengangkutan Udara (Luchtvervoer Ordonnantie
Staatsblad 1939 No. 100) tetap berlaku.
Dalam Undang-undang ini telah dilakukan penyempurnaan
terhadap Pasal 3, Pasal 30, dan Pasal 38 Ordonansi
Pengangkutan Udara (Luchtvervoer Ordonnantie Staatsblad 1939
No. 100) yang materinya telah dituangkan di dalam Pasal 43,
Pasal 45, dan Pasal 46.
Dalam rangka mengantisipasi perkembangan angkutan udara
yang semakin meningkat, baik di dalam negeri maupun
internasional, perlu segera diambil langkah-langkah
perubahan dan penyempurnaan terhadap Ordonansi Pengangkutan
Udara (Luchtvervoer Ordonnantie Staatsblad 1939 No. 100)
dalam bentuk Undang-undang tersendiri.
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
--------------------------------
CATATAN
Kutipan: LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1992
Silahkan download versi PDF nya sbb:
penerbangan_(uu_15_thn_1992)_15.pdf
(ogi/Carapedia)
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)






