- Home »
- Undang-Undang »
- 1992 » Undang-Undang Usaha Perasuransian (UU 2 thn 1992)
1992
Undang-Undang Usaha Perasuransian (UU 2 thn 1992)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian :
Silahkan download versi PDF nya sbb:
usaha_perasuransian_(uu_2_thn_1992)_2.pdf
UU 2/1992, USAHA PERASURANSIAN
Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU)
Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor: 2 TAHUN 1992 (2/1992)
Tanggal: 11 PEBRUARI 1992 (JAKARTA)
Sumber: LN 1992/13; TLN NO. 3467
Tentang: USAHA PERASURANSIAN
Indeks: EKONOMI. ASURANSI. Uang.
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang:
a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
pembangunan di segala bidang perlu dilaksanakan secara
berkesinambungan;
b. bahwa dalam pelaksanaan pembangunan dapat terjadi berbagai
ragam dan jenis risiko yang perlu ditanggulangi oleh
masyarakat;
c. bahwa usaha perasuransian yang sehat merupakan salah satu
upaya untuk menanggulangi risiko yang dihadapi anggota
masyarakat dan sekaligus merupakan salah satu lembaga
penghimpun dana masyarakat, sehingga memiliki kedudukan
strategis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian,
dalam upaya memajukan kesejahteraan umum;
d. bahwa dalam rangka meningkatkan peranan usaha perasuransian
dalam pembangunan, perlu diberikan kesempatan yang lebih
luas bagi pihak-pihak yang ingin berusaha di bidang
perasuransian, dengan tidak mengabaikan prinsip usaha yang
sehat dan bertanggung jawab, yang sekaligus dapat mendorong
kegiatan perekonomian pada umumnya;
e. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut dipandang perlu
untuk menetapkan Undang-undang tentang Usaha Perasuransian;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat
(1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Staatsblad Tahun 1847
Nomor 23);
3. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Staatsblad Tahun 1847
Nomor 23) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir
dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1971 tentang Perubahan
dan Penambahan atas Ketentuan Pasal 54 Kitab Undang-undang
Hukum Dagang (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 20, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2959);
4. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok
Per-koperasian(Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 23, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2832);
5. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1969
tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara (Lembaran Negara Tahun
1969 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2890) Menjadi
Undang-undang (Lembaran NegaraTahun 1969 Nomor 40,Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2904);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG USAHA PERASURANSIAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan
1. Asuransi atau Pertanggungan adalah perjaniian antara dua
pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan
diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi,
untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena
kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga
yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari
suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan
suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau
hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
2. Obyek Asuransi adalah benda dan jasa, jiwa dan raga,
kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, serta semua
kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan atau
berkurang nilainya.
3. Program Asuransi Sosial adalah program asuransi yang
diselenggarakan secara wajib berdasarkan suatu
Undang-undang, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan
dasar bagi kesejahteraan masyarakat.
4. Perusahaan Perasuransian adalah Perusahaan Asuransi
Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa, Perusahaan Reasuransi,
Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi,
Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dan
Perusahaan Konsultan Akturia,
5. Perusahaan Asuransi Kerugian adalah perusahaan yang
memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian,
kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak
ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.
6. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan yang
memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan
dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang
dipertanggungkan.
7. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa
dalam pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh
Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi
Jiwa.
8. Perusahaan Pialang Asuransi adalah perusahaan yang
memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan
penanganan penyelesaian ganti rugi Asuransi dengan bertindak
untuk kepentingan tertanggung.
9. Perusahaan Pialang Reasuransi adalah perusahaan yang
memberikan jasa keperantaraan dalam penempatan reasuransi
dan penanganan penyelesaian ganti rugi reasuransi dengan
bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi.
10. Agen Asuransi adalah sescorang atau badan hukum yang
kegiatannya memberikan jasa dalam memasarkan jasa asuransi
untuk dan atas nama penanggung.
11. Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi adalah perusahaan yang
memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada obyek
asuransi yang dipertanggungkan.
12. Perusahaan Konsultan Akturia adalah perusahaan yang
memberikan jasa akturia kepada perusahaan asuransi dan dana
pensiun dalam rangka pembentukan dan pengelolaan suatu
program asuransi dan atau program pensiun.
13. Afiliasi adalah hubungan antara seseorang atau badan hukum
dengan satu orang atau lebih, atau badan hukum lain,
sedemikian rupa sehingga salah satu dari mereka dapat
mempengaruhi pengelolaan atau kebijaksanaan orang yang lain
atau badan hukum yang lain, atau sebaliknya dengan
memanfaatkan adanya kebersamaan kepemilikan saham atau
kebersamaan pengelolaan perusahaan. 14. Menteri adalah
Menteri Keuangan Republik Indonesia.
BAB II
BIDANG USAHA PERASURANSIAN
Pasal 2
Usaha perasuransian merupakan kegiatan usaha yang bergerak di
bidang:
a. Usaha asuransi, yaitu usaha jasa keuangan yang dengan
menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi
asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat
pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya
kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau
terhadap hidup atau meninggalnya seseorang.
b. Usaha penunjang usaha asuransi, yang menyelenggarakan jasa
keperantaraan, penilaian kerugian asuransi dan jasa akturia.
BAB III
JENIS USAHA PERASURANSIAN
*7802 Pasal 3
Jenis usaha perasuransian meliputi:
a. Usaha asuransi terdiri dari:
1. Usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam
penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari
peristiwa yang tidak pasti;
2. Usaha asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam
penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau
meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan.
3. Usaha reasuransi yang memberikan jasa dalam
pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh
Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi
Jiwa.
b. Usaha penunjang usaha asuransi terdiri dari:
1. Usaha pialang asuransi yang memberikan jasa
keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan
penyelesaian ganti rugi asuransi dengan bertindak untuk
kepentingan tertanggung;
2. Usaha pialang reasuransi yang memberikan jasa
keperantaraan dalam penempatan reasuransi dan penanganan
penyelesaian ganti rugi reasuransi dengan bertindak untuk
kepentingan perusahaan asuransi;
3. Usaha penilai kerugian asuransi yang memberikan jasa
penilaian terhadap kerugian pada obyek asuransi yang
dipertanggungkan;
4. Usaha konsultan akturia yang memberikan jasa konsultasi
akturia;
5. Usaha Agen Asuransi yang memberikan jasa keperantaraan
dalam rangka pemasaran jasa asuransi untuk dan atas nama
penanggung.
BAB IV
RUANG LINGKUP USAHA
PERUSAHAAN PERASURANSIAN
Pasal 4
Usaha asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a hanya
dapat dilakukan oleh perusahaan perasuransian, dengan ruang
lingkup kegiatan sebagai berikut:
a. Perusahaan Asuransi Kerugian hanya dapat menyelenggarakan
usaha dalam bidang asuransi kerugian, termasuk reasuransi;
b. Perusahaan Asuransi Jiwa hanya dapat menyelenggarakan usaha
dalam bidang asuransi jiwa, dan asuransi keschatan, asuransi
kecelakaan diri, dan usaha anuitas, serta menjadi pendiri
dan pengurus dana pensiun sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dana pensiun yang berlaku;
c. Perusahaan Reasuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha
pertanggungan ulang.
Pasal 5
Usaha penunjang usaha asuransi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf b hanya dapat dilakukan oleh perusahaan
perasuransian dengan ruang lingkup kegiatan usaha sebagai
berikut:
a. Perusahaan Pialang Asuransi hanya dapat menyclenggarakan
usaha dengan bertindak mewakili tertanggung dalam rangka
transaksi yang berkaitan dengan kontrak asuransi;
b. Perusahaan Pialang Reasuransi hanya dapat menyelenggarakan
usaha dengan bertindak mewakili perusahaan asuransi dalam
rangka transaksi yang berkaitan dengan kontrak reasuransi;
c. Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi hanya dapat
menyelenggarakan usaha jasa penilaian kerugian atas
kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada obyek asuransi
kerugian;
d. Perusahaan Konsultan Akturia hanya dapat menyelenggarakan
usaha jasa di bidang akturia;
e. Perusahaan Agen Asuransi hanya dapat memberikan jasa
pemasaran asuransi bagi satu perusahaan asuransi yang
memiliki izin usaha dari Menteri.
BAB V
PENUTUPAN OBYEK ASURANSI
Pasal 6
(1) Penutupan asuransi atas obyek asuransi harus didasarkan pada
kebebasan memilih penanggung, kecuali bagi Program Asuransi
Sosial.
(2) Penutupan obyek asuransi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus dilakukan dengan memperhatikan daya tampung perusahaan
asuransi dan perusahaan reasuransi di dalam negeri.
(3) Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
BENTUK HUKUM USAHA PERASURANSIAN
Pasal 7
(1) Usaha perasuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum
yang berbentuk:
a. Perusahaan Perseroan (PERSERO);
b. Koperasi;
c. Usaha Bersama (Mutual).
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat(l),usaha konsultan akturia dan usaha agen asuransi
dapat dilakukan olch perusahaan perorangan.
(3) Ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha
Bersama (Mutual) diatur lebih lanjut dengan Undang-undang.
BAB VII
KEPEMILIKAN PERUSAHAAN PERASURANSIAN
Pasal 8
(1) Perusahaan Perasuransian hanya dapat didirikan oleh:
a. Warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia
yang sepenuhnya dimiliki warga negara Indonesia dan atau
badan hukum Indonesia;
b. Perusahaan perasuransian yang pemiliknya sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, dengan perusahaan perasuransian yang
tunduk pada hukum asing.
(2) Perusahaan perasuransian yang didirikan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b harus merupakan:
a. Perusahaan perasuransian yang mempunyai kegiatan usaha
sejenis dengan kegiatan usaha dari Perusahaan perasuransian
yang mendirikan atau memilikinya;
b. Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan
Reasuransi, yang para pendiri atau pemilik perusahaan
tersebut adalah Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau
Perusahaan Reasuransi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kepemilikan Perusahaan
Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
PERIZINAN USAHA
Pasal 9
(1) Setiap pihak yang melakukan usaha perasuransian wajib
mendapat izin usaha dari Menteri, kecuali bagi perusahaan
yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial.
(2) Untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) harus dipenuhi persyaratan mengenai:
a. Anggaran dasar;
b. Susunan organisasi;
c. Permodalan;
d. Kepemilikan;
e. Keahlian di bidang perasuransian;
f. Kelayakan rencana kerja;
g. Hal-hal lain yang diperlukan untuk mendukung
pertumbuhan usaha perasuransian secara sehat.
(3) Dalam hal terdapat kepemilikan pihak asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b, maka untuk
memperolch izin usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib dipenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) serta ketentuan mengenai batas kepemilikan dan
kepengurusan pihak asing.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 10
Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perasuransian dilakukan
oleh Menteri.
*7805
Pasal 11
(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perasuransian
meliputi
a. Kesehatan keuangan bagi Perusahaan Asuransi Kerugian,
Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Reasuransi, yang
terdiri dari:
1. Batas tingkat solvabilitas;
2. Retensi sendiri;
3. Reasuransi;
4. Investasi;
5. Cadangan teknis; dan
6. Ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan dengan
kesehatan keuangan;
b. Penyelenggaraan usaha, yang terdiri dari:
1. Syarat-syarat polis asuransi;
2. tingkat premi;
3. Penyelesaian klaim;
4. Persyaratan keahlian di bidang perasuransian; dan
5. Ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan dengan
penyelenggaraan usaha.
(2) Setiap Perusahaan Perasuransian wajib memelihara kesehatan
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
serta wajib melakukan usaha sesuai dengan prinsip-prinsip
asuransi yang sehat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kesehatan keuangan darl
penyelenggaraan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
Perusahaan Pialang Asuransi dilarang menempatkan penutupan
asuransi pada perusahaan asuransi yang tidak mempunyai izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
Pasal 13
(1) Perusahaan Pialang Asuransi dilarang menempatkan penutupan
asuransi kepada suatu perusahaan asuransi yang merupakan
Afiliasi dari Perusahaan Pialang Asuransi yang bersangkutan,
kecuali apabila calon tertanggung telah terlebih dahulu
diberitahu secara tertulis dan menyetujui mengenai adanya
Afiliasi tersebut.
(2) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dilarang melakukan
penilaian kerugian atas obyek asuransi yang diasuransikan
kepada Perusahaan Asuransi Kerugian yang merupakan Afiliasi
dari Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi yang bersangkutan.
(3) Perusahaan Konsultan Aktuaria dilarang memberikan jasa
kepada Perusahaan Asuransi Jiwa atau dana pensiun yang
merupakan Afiliasi dari Perusahaan Konsultan Aktuaria yang
bersangkutan.
(4) Agen Asuransi dilarang bertindak sebagai agen dari
perusahaan asuransi yang tidak mempunyai izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
Pasal 14
(1) Program Asuransi Sosial hanya dapat diselenggarakan oleh
Badan Usaha Milik Negara.
(2) Terhadap perusahaan yang menyelenggarakan Program Asuransi
Sosial sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku ketentuan
mengenai pembinaan dan pengawasan dalam Undang-undang ini.
Pasal 15
(1) Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan, Menteri melakukan
pemeriksaan berkala atau setiap waktu apabila diperlukan
terhadap usaha perasuransian.
(2) Setiap perusahaan perasuransian wajib memperlihatkan buku,
catatan, dokumen, dan laporan-laporan, serta memberikan
keterangan yang diperlukan dalam rangka pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 16
(1) Setiap Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi
Jiwa, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Pialang Asuransi dan
Perusahaan Pialang Reasuransi wajib menyampaikan neraca dan
perhitungan laba rugi perusahaan beserta penjelasannya
kepada Menteri.
(2) Setiap perusahaan perasuransian wajib menyampaikan laporan
operasional kepada Menteri.
(3) Setiap Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi
Jiwa, dan Perusahaan Reasuransi wajib mengumumkan neraca dan
perhitungan laba rugi perusahaan dalam surat kabar harian di
Indonesia yang memiliki peredaran yang luas.
(4) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), dan ayat(3), setiap Perusahaan Asuransi Jiwa wajib
menyampaikan laporan investasi kepada Menteri.
(5) Bentuk, susunan dan jadwal penyampaian laporan serta
pengumuman neraca dan perhitungan laba rugi perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 17
(1) Dalam hal terdapat pelanggaran terhadap ketentuan dalam
Undang-undang ini atau peraturan pelaksanaannya, Menteri
dapat melakukan tindakan berupa pemberian peringatan,
pembatasan kegiatan usaha, atau pencabutan izin usaha.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterapkan
dengan tahapan pelaksanaan sebagai berikut:
a. Pemberian peringatan;
b. Pembatasan kegiatan usaha;
c. Pencabutan izin usaha.
(3) Sebelum pencabutan izin usaha, Menteri dapat
memerintahkan perusahaan yang bersangkutan untuk menyusun
rencana dalam rangka mengatasi penyebab dari pembatasan
kegiatan usahanya.
(4) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) serta jangka waktu bagi perusahaan dalam memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
(1) Dalam hal tindakan untuk memenuhi rencana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) telah dilaksanakan dan
apabila dari pelaksanaan tersebut dapat disimpulkan bahwa
perusahaan yang bersangkutan tidak mampu atau tidak bersedia
menghilangkan hal-hal yang menyebabkan pembatasan termaksud,
maka Menteri mencabut izin usaha perusahaan.
(2) Pencabutan izin usaha diumumkan oleh Menteri dalam surat
kabar harian di Indonesia yang memiliki peredaran yang luas.
Pasal 19
Dalam ha] perusahaan telah berhasil melakukan tindakan dalam
rangka mengatasi penyebab dari pembatasan kegiatan usahanya dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4), maka
perusahaan yang bersangkutan dapat melakukan usahanya kembali.
BAB X
KEPAILITAN DAN LIKUIDASI
Pasal 20
(1) Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Peraturan
Kepailitan, dalam hal terdapat pencabutan izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, maka Menteri,
berdasarkan kepentingan umum dapat memintakan kepada
Pengadilan agar perusahaan yang bersangkutan dinyatakan
pailit.
(2) Hak pemegang polis atas pembagian harta kekayaan Perusahaan
Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa yang
dilikuidasi merupakan hak utama.
BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 21
(1) Barang siapa menjalankan atau menyuruh menjalankan kegiatan
usaha perasuransian tanpa izin usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9, diancam dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp
2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah).
(2) Barang siapa menggelapkan premi asuransi diancam dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling banyak Rp 2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta
rupiah).
(3) Barang siapa menggelapkan dengan cara mengalihkan,
menjaminkan, dan atau mengagunkan tanpa hak, kekayaan
Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Asuransi Kerugian
atau Perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp
2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah).
(4) Barang siapa menerima, menadah, membeli, atau mengagunkan,
atau menjual kembali kekayaan perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) yang diketahuinya atau patut
diketahuinya bahwa barang- barang tersebut adalah kekayaan
Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa
atau Perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp
500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
(5) Barang siapa secara sendiri-sendiri atau bersama-sama
melakukan pemalsuan atas dokumen Perusahaan Asuransi
Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan
Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp 250.000.000,- (dua
ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 22
Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21, terhadap perusahaan perasuransian yang tidak
memenuhi ketentuan Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya
dapat dikenakan sanksi administratip, ganti rugi, atau denda,
yang ketentuannya lebih lanjut akan ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 23
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 adalah
kejahatan.
Pasal 24
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
dilakukan oleh atau atas nama suatau badan hukum atau badan usaha
yang bukan merupakan badan hukum, maka tuntutan pidana dilakukan
terhadap badan tersebut atau terhadap mereka yang memberikan
perintah untuk melakukan tindak pidana itu atau yang bertindak
sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana itu maupun
terhadap kedua-duanya.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 25
(1) Perusahaan Perasuransian yang telah mendapat izin usaha
dari Menteri pada saat ditetapkannya Undang-undang ini,
dinyatakan telah mendapat izin usaha berdasarkan
Undang-undang ini.
(2) Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diwajibkan menyesuaikan diri dengan ketentuan dalam
Undang-undang ini.
(3) Ketentuan tentang penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) serta jangka waktunya ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 26
Peraturan perundang-undangan mengenai usaha perasuransian yang
telah ada pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, sepanjang
tidak bertentangan dengan Undang-undang ini, dinyatakan tetap
berlaku sampai peraturan perundang-undangan yang menggantikannya
berdasarkan Undang-undang ini ditetapkan.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
Dengan berlakunya Undang-undang ini maka Ordonnanntie ophet
Levensverzekeringbedrijf (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 101)
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 28
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 11 Pebruari 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Pebruari 1992
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
MOERDIONO
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 1992
TENTANG
USAHA PERASURANSIAN
*7810
UMUM
Sasaran utama pembangunan jangka panjang sebagaimana tertera
dalam Garis-garis Besar Haluan Negara adalah terciptanya landasan
yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas
kekuatannya sendiri menuju masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan
ekonomi memerlukan dukungan investasi dalam jumlah yang memadai
yang pelaksanaannya harus berdasarkan kemampuan sendiri dan oleh
karena itu diperlukan usaha yang sungguh-sungguh untuk
mengerahkan dana investasi, khususnya yang bersumber dari
tabungan masyarakat. Usaha perasuransian sebagai salah satu
lembaga keuangan menjadi penting peranannya, karena dari kegiatan
usaha ini diharapkan dapat semakin meningkat lagi pengerahan dana
masyarakat untuk pembiayaan pembangunan.
Dalam pada itu, pembangunan tidak luput dari berbagai risiko
yang dapat mengganggu hasil pembangunan yang telah dicapai.
Sehubungan dengan itu dibutuhkan hadirnya usaha Perasuransian
yang tangguh, yang dapat menampung kerugian yang dapat timbul
oleh adanya berbagai risiko. Kebutuhan akan jasa usaha
perasuransian juga merupakan salah satu sarana finansial dalam
tata kehidupan ekonomi rumah tangga, baik dalam menghadapi risiko
finansial yang timbul sebagai akibat dari risiko yang paling
mendasar, yaitu risiko alamiah datangnya kematian, maupun dalam
menghadapi berbagai risiko atas harta benda yang dimiliki.
Kebutuhan akan hadirnya usaha perasuransian juga dirasakan oleh
dunia usaha mengingat di satu pihak terdapat berbagai risiko yang
secara sadar dan rasional dirasakan dapat mengganggu
kesinambungan kegiatan usahanya, di lain pihak dunia usaha sering
kali tidak dapat menghindarkan diri dari suatu sistim yang
memaksanya untuk menggunakan jasa usaha perasuransian.
Usaha perasuransian telah cukup lama hadir dalam
perekonomian Indonesia dan berperan dalam perjalanan sejarah
bangsa berdampingan dengan sektor kegiatan lainnya. Sejauh ini
kehadiran usaha perasuransian hanya didasarkan pada Kitab
Undang-undang Hukum Dagang (KUH Dagang) yang mengatur asuransi
sebagai suatu perjanjian. Sementara itu usaha asuransi merupakan
usaha yang menjanjikan perlindungan kepada pihak tertanggung dan
sekaligus usaha ini juga menyangkut dana masyarakat. Dengan kedua
peranan usaha asuransi tersebut, dalam perkembangan pembangunan
ekonomi yang semakin meningkat maka semakin terasa kebutuhan akan
hadirnya industri perasuransian yang kuat dan dapat diandalkan.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut maka usaha perasuransian
merupakan bidang usaha yang memerlukan pembinaan dan pengawasan
secara berkesinambungan dari Pemerintah, dalam rangka pengamanan
kepentingan masyarakat. Untuk itu diperlukan perangkat peraturan
dalam bentuk Undang-undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum
yang lebih kokoh, yang dapat merupakan landasan,baik bagi gerak
usaha dari perusahaan-perusahaan di bidang ini maupun bagi
Pemerintah dalam rangka melaksanakan pembinaan dan pengawasan.
Undang-undang ini pada dasarnya menganut azas spesialisasi
usaha dalam jenis-jenis usaha di bidang perasuransian. Hal ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa usaha perasuransian merupakan
usaha yang memerlukan keahlian serta ketrampilan teknis
yang khusus dalam penyelenggaraannya.
Undang-undang ini juga menegaskan adanya kebebasan pada
tertanggung dalam memilih perusahaan asuransi. Dalam rangka
perlindungan atas hak tertanggung, Undang-undang ini juga
menetapkan ketentuan yang menjadi pedoman tentang penyelenggaraan
usaha, dengan mengupayakan agar praktek usaha yang dapat
menimbulkan konflik kepentingan sejauh mungkin dapat dihindarkan,
serta mengupayakan agar jasa yang ditawarkan dapat terselenggara
atas dasar pertimbangan obyektif yang tidak merugikan pemakai
jasa.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Pengelompokan jenis usaha perasuransian dalam Pasal ini
didasarkan pada pengertian bahwa perusahaan yang melakukan
usaha asuransi adalah perusahaan yang menanggung risiko
asuransi. Di samping itu, di bidang perasuransian terdapat
pula perusahaan-perusahaan yang kegiatan usahanya tidak
menanggung risiko asuransi, yang dalam Pasal ini kegiatannya
dikelompokkan sebagai usaha penunjang usaha asuransi.
Walaupun demikian sebagai sesama penyedia jasa di bidang
perasuransian, perusahaan di bidang usaha asuransi dan
perusahaan di bidang usaha penunjang usaha asuransi
merupakan mitra usaha yang saling membutuhkan dan saling
melengkapi, yang secara bersama-sama perlu memberikan
kontribusi bagi kemajuan sektor perasuransian di Indonesia.
Selain pengelompokan menurut jenis usaha, usaha asuransi
dapat pula dibagi berdasarkan sifat dari penyelenggaraan
usahanya menjadi dua kelompok, yaitu yang bersifat sosial
dan yang bersifat komersial. Usaha asuransi yang bersifat
sosial adalah dalam rangka penyelenggaraan Program Asuransi
Sosial, yang bersifat wajib berdasarkan Undang-undang dan
memberikan perlindungan dasar untuk kepentingan masyarakat.
Pasal 4
Berdasarkan ketentuan ini setiap perusahaan perasuransian
hanya dapat pula menjalankan jenis usaha yang telah
ditetapkan. Dengan demikian tidak dimungkinkan adanya sebuah
perusahaan asuransi yang sekaligus menjalankan usaha
asuransi kerugian dan asuransi jiwa.
*7812 Selanjutnya dalam ketentuan Pasal ini pengertian dana
pensiun terbatas pada dana pensiun lembaga keuangan.
Pasal 5
Jasa yang dapat diberikan oleh Perusahaan Konsultan Akturia
mencakup antara lain konsultasi tentang hal-hal yang
berkaitan dengan analisis dan penghitungan cadangan,
penyusunan laporan akturia, penilaian kemungkinan terjadinya
risiko dan perancangan produk asuransi jiwa.
Pasal 6
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi hak
tertanggung agar dapat secara bebas memilih perusahaan
asuransi sebagai penanggungnya. Hal ini dipandang perlu
mengingat tertanggung adalah pihak yang paling
berkepentingan atas obyek yang dipertanggungkannya sehingga
sudah sewajarnya apabila mereka secara bebas tanpa adanya
pengaruh dan tekanan dari pihak manapun dapat menentukan
sendiri perusahaan asuransi yang akan menjadi penanggungnya.
Ayat (2)
Dalam asas kebebasan untuk memilih pananggung ini
terkandung maksud bahwa tertanggung bebas untuk menempatkan
penutupan obyek asuransinya pada Perusahaan Asuransi Jiwa
dan Perusahaan Asuransi Kerugian yang memperoleh izin usaha
di Indonesia.
Ayat (3)
Agar pelaksanaan dari ketentuan ini dapat disesuaikan
dengan perkembangan usaha perasuransian di Indonesia, maka
ketentuan lebih lanjut mengenai penutupan asuransi dan atau
penempatan reasuransinya diatur dalam peraturan pelaksanaan
dari Undang-undang ini.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Mengingat Undang-undang mengenai bentuk hukum Usaha
Bersama (Mutual) belum ada, maka untuk sementara ketentuan
tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha
*7813
Bersama (Mutual) akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 8
Ayat (1)
Dalam ayat ini ditentukan bahwa warga negara Indonesia dan
atau badan hukum Indonesia dapat menjadi pendiri perusahaan
perasuransian, baik dengan pemilikan sepenuhnya maupun
dengan membentuk usaha patungan dengan pihak asing. Termasuk
dalam pengertian badan hukum Indonesia antara lain adalah
Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah,
Koperasi, dan Badan Usaha Milik Swasta.
Ayat (2)
Perusahaan perasuransian yang didirikan atau dimiliki oleh
perusahaan perasuransian dalam negeri dan perusahaan
perasuransian asing yang mempunyai kegiatan usaha sejenis
dimaksudkan untuk menumbuhkan penyelenggaraan kegiatan usaha
perasuransian yang lebih profesional.Selain itu kerjasama
perusahaan perasuransian yang sejenis juga dimaksudkan untuk
lebih memungkinkan terjadinya proses alih teknologi.
Sesuai dengan tujuan dari ketentuan ini yang dimaksudkan
untuk lebih menumbuhkan profesionalisme dalam pengelolaan
usaha, maka kepemilikan bersama atas perusahaan
perasuransian oleh Perusahaan Asuransi Kerugian atau
Perusahaan Reasuransi dalam negeri dengan Perusahaan
Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi luar negeri
harus tetap didasarkan pada jenis usaha masing-masing
partner dalam kepemilikan tersebut.
Contoh mengenai hal tersebut adalah sebegai berikut:
a. Perusahaan Reasuransi luar negeri dengan
Perusahaan Asuransi Kerugian dalam negeri dapat mendirikan
Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi.
b. Perusahaan Asuransi Kerugian luar negeri dengan
Perusahaan Reasuransi dalam negeri dapat mendirikan
Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
*7814 Khusus bagi Badan Usaha Milik Negara yang
menyelenggarakan Program Asuransi Sosial, fungsi dan tugas
sebagai penyelenggara program tersebut dituangkan dalam
Peraturan Pemerintah.
Hal ini berarti bahwa Pemerintah memang menugaskan
Badan Usaha Milik Negara yang bersangkutan untuk
melaksanakan suatu Program Asuransi Sosial yang telah
diputuskan untuk dilaksanakan oleh Pemerintah. Dengan
demikian bagi Badan Usha Milik Negara termaksud tidak
diperlukan adanya izin usaha dari Menteri.
Ayat (2)
Untuk mendukung suatu kegiatan usaha perasuransian yang
bertanggungjawab, perlu adanya anggaran dasar, susunan
organisasi yang baik, Jumlah modal yang memadai, status
kepemilikan yang jelas, tenaga ahli asuransi yang diperlukan
sesuai dengan bidangnya, rencana kerja yang layak sesuai
dengan kondisi, dan hal-hal lain yang dikemudian hari
diperkirakan dapat mendukung pertumbuhan usaha perasuransian
secara sehat.
Yang dimaksud dengan keahlian di bidang perasuransian dalam
ketentuan ini mencakup antara lain keahlian di bidang
aktuaria, underwriting, manajemen risiko. penilai kerugian
asuransi, dan sebagainya, sesuai dengan kegiatan usaha
perasuransian yang dijalankan.
Ayat (3)
Dalam pengertian istilah ketentuan mengenai batas
kepemilikan dan kepengurusan pihak asing, termasuk pula
pengertian tentang proses Indonesianisasi. Dengan adanya
ketentuan ini diharapkan industri perasuransian nasional
semakin dapat bertumpu pada kekuatan sendiri.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Batas tingkat solvabilitas (Solvency Margin) merupakan tolok
ukur kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi. Batas tingkat solvabilitas ini merupakan selisih
antara kekayaan terhadap kewajiban, yang perhitungannya
didasarkan pada cara perhitungan tertentu sesuai dengan
sifat usaha asuransi. Retensi sendiri dalam hal ini
merupakan bagian pertanggungan yang menjadi beban atau
tanggung jawab sendiri sesuai dengan tingkat
*7815
kemampuan keuangan perusahaan asuransi atau Perusahaan
Reasuransi yang bersangkutan.
Reasuransi merupakan bagian pertanggungan yang
dipertanggungkan ulang pada perusahaan asuransi lain dan
atau Perusahaan Reasuransi.
Dalam hubungannya dengan investasi, yang akan diatur
adalah kebijaksanaan investasi Perusahaan Asuransi Kerugian,
Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Reasuransi dalam
menentukan investasinya pada jenis investasi yang aman dan
produktif.
Sesuai dengan sifat usaha asuransi di mana timbulnya
beban kewajiban tidak menentu, maka Perusahaan Asuransi
Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa, dan Perusahaan
Reasuransi perlu membentuk dan memelihara cadangan yang
diperhitungkan berdasarkan pertimbangan teknis asuransi dan
dimaksudkan untuk menjaga agar perusahaan yang bersangkutan
dapat memenuhi kewajibannya kepada pemegang polis.
Asuransi adalah perjanjian atau kontrak yang dituangkan
dalam bentuk polis. Sebagai suatu perjanjian atau kontrak
maka ketentuan-ketentuan yang diatur didalamnya tidak boleh
merugikan kepentingan pemegang polis.
Untuk melindungi kepentingan masyarakat luas, penetapan
tingkat premi harus tidak memberatkan tertanggung, tidak
mengancam kelangsungan usaha penanggung, dan tidak bersifat
diskriminatif.
Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, peraturan
pelaksanaan yang mencakup masalah penyelesaian klaim akan
menetapkan batas waktu maksimum antara saat adanya kepastian
mengenai jumlah klaim yang harus dibayar dengan saat
pembayaran klaim tersebut oleh penanggung.
Salah satu ketentuan yang berhubungan dengan
penyelenggaraan usaha adalah mengenai pembayaran premi
asuransi kepada penanggung atas risiko yang ditutupnya,
sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
*7816 Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Perusahaan yang menyelenggarakan Program Asuransi
Sosisal sebenarnya menyelenggarakan salah satu jenis
asuransi, yaitu asuransi jiwa atau asuransi kerugian atau
kombinasi antara keduanya. Oleh karena itu, terlepas dari
peraturan perundang-undangan yang membentuknya, Menteri
sebagai pembina dan pengawas usaha perasuransian berwenang
dan berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap perusahaan yang menyelenggarakan usaha asuransi
sosial tersebut, sedangkan mengenai pembinaan dan pengawasan
terhadap Program Asuransi Sosial dilakukan oleh Menteri
teknis yang bersangkutan berdasarkan Undang-undang yang
mengatur Program Asuransi Sosial dimaksud.
Pasal 15
Ayat (1)
Pemeriksaan dimaksudkan untuk meneliti secara langsung
kebenaran laporan yang disampaikan perusahaan, baik
kesehatan keuangan maupun praktek penyelenggaraan usaha,
sesuai dengan ketentuan Undang-undang. Pemeriksaan dimaksud
dapat dilakukan secara berkala maupun setiap saat apabila
dipandang perlu dengan tujuan agar perlindungan terhadap
masyarakat dapat dijamin dan penyimpangan yang terjadi pada
perusahaan dapat diketahui sedini mungkin.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
*7817
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Keputusan mengenai pemberian peringatan, pembatasan kegiatan
usaha, dan pencabutan izin usaha merupakan tahapan tindakan
yang dapat diberlakukan pada perusahaan yang melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang ini. Dalam hal
tertentu Menteri dapat mendengar pendapat pihak-pihak yang
diperlukan.
Ayat (2)
Tahapan tindakan yang diperlukan merupakan urutan yang harus
dilalui sebelum dilakukan pencabutan izin usaha. Namun
demikian terhadap Badan Usaha Milik Negara yang
menyelenggarakan Program Asuransi Sosial, ketentuan Pasal 17
ayat (2) huruf b dan huruf c tidak dapat diterapkan. Hal ini
mengingat bahwa apabila terjadi hal-hal yang dapat menganggu
kelangsungan usaha dari Badan Usaha Milik Negara tersebut,
maka tindak lanjutnya didasarkan pada peraturan
perundang-undangan mengenai Program Asuransi Sosial tersebut
serta peraturan perundang-undangan tentang pembentukan Badan
Usaha Milik Negara yang bersangkutan.
Ayat (3)
Tergantung pada tingkat dan jenis pelanggaran yang
dilakukan, Menteri dapat memberikan kesempatan bagi
perusahaan untuk melakukan upaya pembenahan dengan
memerintahkan dilakukannya tindakan yang dianggap perlu yang
diikuti perkembangannya secara terus-menerus, tanpa
mengorbankan perlindungan terhadap perusahaan ataupun
tertanggung.
Dalam peraturan pelaksanaan yang mengatur tata cara
pengenaan sanksi, akan ditetapkan batas waktu maksimum yang
disediakan bagi perusahaan yang bersangkutan untuk menyusun
rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat ini untuk
diajukan kepada Menteri. Batas waktu tersebut tidak dapat
melebihi 4 bulan sejak dimulainya masa pembatasan kegiatan
usaha. Rencana kerja yang telah diajukan selanjutnya akan
dipergunakan sebagai salah *7818 satu pertimbangan dalam
menetapkan tindak lanjut pengenaan sanksi.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Dalam hal Menteri mempertimbangkan bahwa upaya yang
dilakukan tidak menunjukkan perbaikan atau dalam hal
perusahaan tidak melakukan usaha untuk mengupayakan
perbaikan, maka Menteri akan mencabut izin usaha perusahaan
yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Apabila suatu perusahaan asuransi telah dicabut izin
usahanya, maka kekayaan perusahaan tersebut perlu dilindungi
agar para pemegang polis tetap dapat memperoleh haknya
secara proporsional. Untuk melindungi kepentingan para
pemegang polis tersebut, Menteri diberi wewenang berdasarkan
Undang-undang ini untuk meminta Pengadilan agar perusahaan
asuransi yang bersangkutan dinyatakan pailit, sehingga
kekayaan perusahaan tidak dipergunakan untuk kepentingan
pengurus atau pemilik perusahaan tanpa mengindahkan
kepentingan para pemegang polis.
Selain itu, dengan adanya kewenangan untuk mengajukan
permintaan pailit tersebut, maka Menteri dapat mencegah
berlangsungnya kegiatan tidak sah dari perusahaan yang telah
dicabut izin usahanya, sehingga kemungkinan terjadinya
kerugian yang lebih luas pada masyarakat dapat dihindarkan.
Ayat (2)
Hak utama dalam ayat ini mengandung pengertian bahwa dalam
hal kepailitan, hak pemegang polis mempunyai kedudukan yang
lebih tinggi daripada hak pihak-pihak lainnya, kecuali dalam
hal kewajiban untuk negara, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Jangka waktu yang diperlukan untuk mengadakan
penyesuaian berdasarkan ketentuan ayat ini adalah 1 (satu)
tahun.
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
*7820
--------------------------------
CATATAN
Kutipan: LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1992
Silahkan download versi PDF nya sbb:
usaha_perasuransian_(uu_2_thn_1992)_2.pdf
(ogi/Carapedia)
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)






