Previous
Next

1996

Undang-Undang Pangan (UU 7 thn 1996)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan :
               UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                          NOMOR 7 TAHUN 1996
                                 TENTANG
                                  PANGAN




               DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


                     PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


Menimbang :

a. bahwa      pangan    merupakan      kebutuhan    dasar     manusia    yang
   pemenuhannya menjadi hak            asasi setiap rakyat Indonesia dalam
   mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan
   pembangunan nasional;

b. bahwa pangan yang aman, bermutu, bergizi, beragam, dan tersedia
   secara cukup merupakan persyaratan utama yang harus dipenuhi dalam
   upaya   terselenggaranya    suatu    sistem   pangan     yang   memberikan
   perlindungan bagi kepentingan kesehatan serta makin berperan dalam
   meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat;

c. bahwa pangan sebagai komoditas dagang memerlukan dukungan sistem
   perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab sehingga tersedia
   pangan yang terjangkau oleh daya beli masyarakat serta turut berperan
   dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional;

d. bahwa sehubungan dengan pertimbangan pada butir a, butir b, dan butir
   c, serta untuk mewujudkan sistem pengaturan, pembinaan, dan
   pengawasan yang efektif di bidang pangan, maka perlu dibentuk Undang-
   undang tentang Pangan.


Mengingat :
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33 Undang-
undang Dasar 1945.
                           Dengan Persetujuan :

                DEWAN PERWAKILAN RAKYAT INDONESIA


                              MEMUTUSKAN :
Menetapkan :      UNDANG-UNDANG TENTANG PANGAN


                                    BAB I
                            KETENTUAN UMUM
                                    Pasal 1


Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1.   Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air,
     baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai
     makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan
     tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang
     digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan
     makanan atau minuman.
2.   Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan
     cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.
3.   Sistem pangan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
     pengaturan, pembinaan, dan atau pengawasan terhadap kegiatan atau
     proses produksi pangan dan peredaran pangan sampai dengan siap
     dikonsumsi manusia.
4.   Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk
     mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan
     benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan
     kesehatan manusia.
5.   Produksi   pangan     adalah   kegiatan   atau   proses   menghasilkan,
     menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas kembali,
     dan atau mengubah bentuk pangan.
6.   Pengangkutan pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian
     kegiatan dalam rangka memindahkan pangan dari satu tempat ke
     tempat lain dengan cara atau sarana angkutan apa pun dalam rangka
     produksi, peredaran, dan atau perdagangan pangan.
7.   Peredaran pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan
     dalam rangka penyaluran pangan kepada masyarakat, baik untuk
     diperdagangkan maupun tidak.
8.   Perdagangan pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan
     dalam rangka penjualan dan atau pembelian pangan, termasuk
     penawaran untuk menjual pangan, dan kegaitan lain yang berkenaan
     dengan pemindahtanganan pangan dengan memperoleh imbalan.
9.   Sanitasi pangan adalah upaya pencegahan terhadap kemungkinan
     bertumbuh dan berkembangbiaknya jasad renik pembusuk dan patogen
     dalam makanan, minuman, peralatan, dan bangunan yang dapat
     merusak pangan dan membahayakan manusia.
10. Kemasan pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dana
     atau membungkus pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan
     pangan maupun tidak.
11   Iradiasai pangan adalah metode penyinaran terhadap pangan baik
     dengan   menggunakan     zat   radioaktif   maupun   akselerator   untuk
     mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan serta membebaskan
     pangan dari jasad renik patogen.
12. Rekayasa genetika pangan adalah suatu proses yang melibatkan
     pemindahan gen (pembawa sifat) dari suatu jenis hayati ke jenis hayati
     lain yang berbeda atau sama untuk mendapatkan jenis baru yang
     mampu menghasilkan produk pangan yang lebih unggul.
13. Mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kreteria keamanan
     pangan, kandungan gizi, dan standar perdagangan terhadap bahan
     makanan, dan minuman.
14. Gizi pangan adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam pangan yang
     terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral serta
     turunannya yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia.
15. Label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang
     berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lainnya
    yang disertakan pada apangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan
    pada, atau merupakan bagian kemasan pangan.
16. Iklan pangan adalah setiap keterangan atau pernyataan mengenai
    pangan dalam bentuk gambar, tulisan, atau bentuk lain yang dilakuikan
    dengan berbagai cara untuk pemasaran dan atau perdagangan pangan.
17. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah
    tangga yang tercermin dari tersedinya pangan yang cukup, baik jumlah
    maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
18. Setiap orang adalah orang perorangan atau badan usaha, baik yang
    berbentuk badan hukum maupun tidak.


                                 Pasal 2
Pembangunan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan dasar
manusia yang memberikan manfaat secara adil dan merata berdasarkan
kemandirian dan tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat.


                                 Pasal 3
Tujuan pengaturan, pembinaan, dan pengawsan pangan adalah :
a. Tersediannya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan
   gizi bagi kepentingan kesehatan manusia.
b. Terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab; dan
c. Terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan
   terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat.




                                 BAB II
                          KEMANAN PANGAN

                    Bagian PertamaSanitasi Pangan

                                 Pasal 4

(1). Pemerintah menetapkan persyaratan sanitasi dalam kegaitan atau
    proses produksi,   penyimpanan, pengangkutan , dan atau peredaran
    pangan.
(2). Persyaratan     sebagaimana      dimaksud     pada    ayat      (1)   merupakan
       persyaratan minimal yang wajib dipenuhi dan ditetapkan serta diterapkan
       secara bertahap dengan memperhatikan kesiapan dan kebutuhan
       siatem pangan.




                                      Pasal 5

(1)    Sarana dana atau prasarana yang digunakan secara langsung atau tidak
       langsung   dalam    kegiatan    atau     proses   produksi,     penyimpanan,
       pengangkutan,    dan    atau   peredaran      pangan    wajib       memenuhi
       persyaratan sanitasi.

(2)    Penyelenggaraaan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan,
       pengangkutan, dan atau peredaran pangan serta penggunaan sarana
       dan prasarana, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan sesuai
       dengan persyaratan sanitasi.




                                      Pasal 6

Setiap orang bertanggung kjawab dalam penyelenggaraan kegiatan atau
proses produksi penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan
wajib :

a. memenuhi persyaratan sanitasi, keamanan, dan atau keselamatan
      manusia;

b. menyelenggarakan program pemantauan sanitasi secara berkala ; dan

c. menyelenggarakan pengawasan atas pemenuhan persyaratan sanitasi.




                                      Pasal 7

Orang perseorangan yang menangani secara langsung dan atau berada
langsung dalam lingkungan kegitan atau proses produksi, penyimpnana,
pengangkutan, dan atau peredaran pangan wajib memenuhi persyaratan
sanitasi.


                                    Pasal 8

Setiap orang dilarang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi,
penyimpanan, pengangkutan dan atau peredaran pangan dalam keadaan
yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi.


                                    Pasal 9

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan
Pasal 7 ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.




                                 Bagian Kedua
                          Bahan Tamabahan Pangan
                                    Pasal 10

(1)   Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang
      menggunakan bahan apa pun sebagai bahan tambahan pangan yang
      dinyatakan    terlarang   melampaui     ambang   batas   maksimal   yang
      ditetapkan.

(2)   Pemerintah menetapkan lebih lanjut bahan yang dilarang dan atau dapat
      digunakan sebagai bahan tambahan pangan dalam kegiatan atau
      proses produksi pangan serta ambang batas maksimal sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1).




                                    Pasal 11

Bahan yang akan digunakan sebagai bahan tamabahan pangan, tetapi belum
diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia, wajib terlebih dahulu diperiksa
keamanannya, dan penggunaannya dalam kegiatan atau proses produksi
pangan   untuk    diedarkan   dilakukan   setelah   memperoleh      persetujuan
Pemerintah.


                                  Pasal 12

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11 ditetapkan
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.




                                Bagian Ketiga
                  Rekayasa Genetika dan Iradiasi Pangan

                                  Pasal 13

(1). Setiap orang yang memproduksi pangan atau menggunakan bahan
    baku, bahan      tambahan pangan dan atau bahan bantu lain dalam
    kegiatan atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses
    rekayasa genetika wajib terlebih dahulu memeriksakan keamanan
    pangan bagi kesehatan manusia sebelum diedarkan.

(2). Pemerintah     menetapkan     persyaratan      dan   prinsip    penelitian,
    pengembangan, dan         pemanfaatan metode rekayasa genetika dalam
    kegiatan atau proses produksi pangan, serta menetapkan persyaratan
    bagi pengujian pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika.


                                  Pasal 14

(1). Iradiasi dalam kegiatan atau proses produksi pangan dilakukan
    berdasrkan izin Pemerintah.

(2). Proses perizinan, penyelenggaraan kegiatan dan atau proses produksi
    pangan yang dilakukan dengan menggunakan teknik dan atau metode
    iradiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi
    persyaratan kesehtan, penanganan limbah dan penanggulangan bahaya
    bahan radioaktif untuk menjamin keamanan pangan, keselamatan kerja,
    dan kelestarian lingkungan.
                                 Pasal 15

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 ditetapkan
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                             Bagian Keempat
                            Kemasan Pangan

                                 Pasal 16

(1). Setiap   orang   memproduksi    pangan    untuk   diedarkan    dilarang
    menggunakan bahan apa pun sebagai kemasan pangan yang
    dinyatakan terlarang dan atau yang dapat melepaskan cemaran yang
    merugikan atau membahayakan kesehatan manusia.

(2). Pengemasan pangan yang diedarkan dilakukan melalui tata cara yang
    dapat menghindarkan terjadinya kerusakan dan atau pencemaran.

(3). Pemerintah menetapkan bahan yang dilarang digunakan sebagai
    kemasan pangan dan tata cara pengemasan pangan tertentu yang
    diperdagangkan.


                                 Pasal 17

Bahan yang akan digunakan sebagai kemasan pangan, tetapi belum
diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia, wajib terlebih dahulu diperiksa
keamanannya, dan penggunaannya bagi pangan yang diedarkan dilakukan
setelah memperoleh persetujuan Pemerintah.




                                 Pasal 18

(1). Setiap orang dilarang membuka kemasan akhir pangan untuk dikemas
    kembali dan diperdagangkan.

(2). Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap
    pangan yang pengadaannya dalam jumlah besar dan lazim dikemas
    kembali dalam jumlah kecil untuk diperdagangkan lebih lanjut.
                                     Pasal 19

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasl 16, Pasal 17, dan Pasal 18
ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.


                                 Bagian Kelima
           Jaminan Mutu Pangan dan Pemeriksaan Laboratorium

                                     Pasal 20

(1)    Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan wajib
       menyelenggarakan sistem jaminan mutu, sesuai dengan jenis pangan
       yang diproduksi.

(2)    Terhadap pangan tertentu yang diperdagangkan, Pemerintah dapat
       menetapkan persyaratan agar pangan tersebut terselih dahulu diuji
       secara laboratoris sebelum peredarannya.

(3)    Pengujian seecara laboratoris, sebagaimana dimaksud ayat (2),
       dilakukan di Laboratorium yang ditunjuk oleh dan atau telah memperoleh
       akreditasi dari Pemerintah.

(4)    Sistem jaminan mutu serta persyaratan pengujian secara laboratoris,
       sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dan
       diterapkan secara bertahap dengan        memperhatikan kesiapan dan
       kebutuhan sistem pangan.

(5)    Ketentuan sebagaiamana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
       ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.


                                Bagian Keenam
                               Pangan Tercemar

                                     Pasal 21

Setiap orang dilarang mengedarkan :
a. Pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya, atau yang dapat
      merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia.
b. Pangan yang mengandungcemaran yang melampaui ambang batas
   maksimal yang ditetapkan.
c. Pangan yang mengandung bahan yang dilarang digunkan dalam kegiatan
   atau proses produksi pangan;
d. Pangan yang mengandung bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai, atau
   mengandung bahan nabati atau hewani yang berpenyakit atau berasal
   dari bangkai sehinggga menjadikan pangan tidak layak dikonsumsi
   manusia;
e. Pangan yang sudah kadaluwarsa.


                                  Pasal 22
Untuk mengawasi dan mencegah tercemarnya pangan, Pemerintah :
a. Menetapkan bahan yang dilarang digunakan dalam kegaitan atau proses
   produksi    pangan serta ambang batas maksimal cemaran yang
   diperbolehkan;
b. Mengatur dan atau menetapkan persyaratan bagi penggunaan cara,
   metode, dan atau bahan tertentu dalam kegiatan atau proses produksi,
   pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan
   yang dapat memiliki risiko yang merugikan dan atau membahayakan
   kesehatan manusia;
c. Menetapkan bahan yang dilarang digunakan dalam memproduksi
   peralatan pengolahan, penyiapan, pemasaran, dan atau penyajian
   pangan.


                                  Pasal 23

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22 ditetapkan
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.




                                  BAB III

                        MUTU DAN GIZI PANGAN
                             Bagian Pertama
                              Mutu Pangan

                                   Pasal 24

(1). Pemerintah menetapkan standar mutu pangan.

(2). Terhadap pangan tertentu yang diperdagangkan, Pemerintah dapat
    memberlakukan dan mewajibkan pemenuhan standar mutu pangan yang
    ditetapkan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
    (1).


                                   Pasal 25

(1). Pemerintah menetapkan persyaratan sertifikasi mutu pangan yang
    diperdagangnkan.

(2). Persyaratan sertifikasi mutu pangan, sebgaiaman dimaksud pada ayat
    (1), diterapkan    secara bertahap berdasarkan jenis pangan dengan
    memperhatikan kesiapan dan kebutuhan sistem pangan.


                                   Pasal 26

Setiap orang dilarang memperdagangkan :
a. pangan tertentu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2), apabila
   tidak   memenuhi      standar   mutu   yang   ditetapkan   sesuai   denan
   peruntukannya;
b. pangan yang mutunya berbeda atau tidak sama dengan mutu pangan
   yang dijanjikan;
c. pangan yang tidak memenuhi persyaratan sertifikasi mutu pangan,
   sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.


                              Bagian Kedua
                               Gizi Pangan

                                   Pasal 27
(1). Pemerintah menetapkan dan menyelenggarakan kebijakan di bidang gizi
    bagi perbaikan status gizi masyarakat.

(2). Untuk meningkatkan kandungan gizi pangan olahan tertentu yang
    diperdagangkan, Pemerintah dapat menetapkan persyaratan khusus,
    mengenai komposisi pangan.

(3). Dalam hal terjadinya kekurangan dan atau penurunan status gizi
    masyarakat, Pemerintah dapat menetapkan persyaratan bagi perbaikan
    atau pengayaan gizi pangan tertentu yang diedarkan.

(4). Setiap orang memproduksi pangan, sebagaimana dimaksud pada ayat
    (2) dan ayat (3), wajib        memenuhi persyaratan tentang gizi yang
    ditetapkan.


                                    Pasal 28


(1). Setiap   orang     memproduksi         pangan     olahan    tertentu     untuk
    diperdagangkan wajib menyelenggarakan tata cara pengolahan pangan
    yang dapat menghambat proses penurunan atau kehilangan kandungan
    gizi bahan baku pangan yang digunakan.

(2). Pangan    olahan   tertentu    serta    tata    cara   pengolahan      pangan,
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut oleh
    Pemerintah.


                                    Pasal 29

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27, dan
Pasal 28 ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.




                                    BAB IV
                        LABEL DAN IKLAN PANGAN

                                    Pasal 30
(1). Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah
      Indonesia pangan         yang dikemas untuk diperdagangkan wajib
      mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan.

(2). Label, sebagaiaman dimaksud pada ayat (1), memuat sekurang-
      kurangnya keterangan mengenai :
      a. nama produk;
      b. daftar bahan yang digunakan ;
      c. berat bersih atau isi bersih;
      d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan
         pangan ke dalam wilayah Indoensia.
      e. keterangan tentang halal; dan
      f. tangal, bulan, dan tahun kadaluwarsa.

(3). Selain ketrangan sebagaiaman dimaksud pada ayat (2), Pemerintah
      dapat menetapkan keterangan lain yang wajib atau dilarang untuk
      dicantumkan pada label pangan.




                                    Pasal 31

(1)   Keterangan pada label, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, ditulis
      atau dicetak atau ditampilkan secara tegas dan jelas sehingga dapat
      mudah dimengerti oleh masyarakat.

2)    Keterangan pada label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditulis
      atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka Arab, dan
      huruf Latin.

(3)   Penggunaan istilah asing, selain dimaksud pada ayat (2), dapat
      dilakukan sepanjang tidak ada padanannya, tidak dapat diciptakan
      padanannya, atau digunakan untuk kepentingan perdagangan pangan
      ke luar negeri.
                                   Pasal 32

Setiap orang dilarang mengganti, melabel kembali, atau menukar tanggal,
bulan, dan tahun kadaluwarsa pangan yang diedarkan.




                                   Pasal 33

(1)   Setiap label dan atau iklan tentang pangan yang diperdagangkan harus
      memuat keterangan mengenai pangan dengan benar dan tidak
      menyesatkan.

(2)   Setiap orang dilarang memberikan keterangan atau pernyataan tentang
      pangan yang diperdagangkan melalui, dalam, dan atau dengan label
      atau iklan apabila keterangan atau pernyataan tersebut tidak benar dan
      atau menyesatkan.

(3)   Pemerintah mengatur, mengawasi, dan melakukan tindakan yang
      diperlukan agar iklan tentang pangan yang diperdagangkan tidak
      memuat keterangan yang dapat menyesatkan.




                                   Pasal 34

(1)   Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan
      yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau
      kepercayaan tertentu bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan
      berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut.

2)    Label tentang pangan olahan tertentu yang diperdagangkan untuk bayi,
      anak berumur dibawah lima tahun, dan ibu yang sedang hamil atau
      menyusui   wajib    memuat   keterangan   tentang   peruntukan,   cara
      penggunaan, dan atau keterangan lain yang perlu diketahui mengenai
      dampak pangan terhadap kesehatan manusia.
                                     Pasal 35

Ketentuan sebagai mana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 33, dan
Pasal 34 ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.


                                     BAB V
                PEMASUKAN DAN PENGELUARAN PANGAN
                KE DALAM DAN DARI WILAYAH INDONESIA


                                     Pasal 36

(1)    Setiap pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk
       diedarkan wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
       Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya.

(2)    Setiap orang dilarang memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia
       dan atau mengedarkan di dalam wilayah Indonesia pangan yang
       dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia apabila pangan tersebut tidak
       memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini
       dan peraturan pelaksanaannya.


                                     Pasal 37

Terhadap      pangan   yang   dimasukkan        ke    dalam    wilayah   Indonesia,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pemerintah dapat menetapkan
persyaratan bahwa :
a. pangan telah diuji dan atau diperiksan serta dinyatakan lulus dari segi
      keamanan, mutu, dan atau gizi oleh instansi yang berwenang di negara
      asal;
b. pangan      dilengkapi   dengan    dokumen        hasil   pengujian   dan   atau
      pemeriksaan, sebagaimana dimaksud pada huruf a ; dan atau
c. pangan terlebih dahulu diuji dan atau diperiksa di Indonesia dari segi
      keamanan, mutu, dan atau gizi sebelum peredarannya.
                                 Pasal 38

Setiap orang yang memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk
diedarkan bertanggung jawab atas keamanan, mutu, dan gizi pangan.


                                 Pasal 39

Pemerintah dapat menetapkan persyaratan agar pangan yang dikeluarkan
dari wilayah Indonesia untuk diedarkan terlebih dahulu diuji dan atau
diperiksakan dari segi keamanan, mutu, persyaratan label, dan atau gizi
pangan.


                                 Pasal 40

Ketentuan sebagaiaman dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39
ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.




                                  BAB VI
                 TANGGUNG JAWAB INDUSTRI PANGAN

                                 Pasal 41

(1)   Badan usaha yang memproduksi pangan olahan untuk diedarkan dana
      atau orang perseorangan dalam badan usaha yang diberi tanggung
      jawab terhadap jalannya usaha tersebut bertanggung jawab atas
      keamanan pangan yang diproduksinya terhadap kesehatan orang lain
      yang mengkonsumsi pangan tersebut.

(2)   Orang perseorangan yang kesehatannya terganggu atau ahli waris dari
      orang yang meninggal sebagai akibat langsung karena mengkonsumsi
      pangan olahan yang diedarkan berhak mengajukan gugatan ganti rugi
      terhadap badan usaha dan atau orang perseorangan dalam badan
      usaha, sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)   Dalam hal terbukti bahwa pangan olahan yang diedarkan dan
      dikonsumsi tersebut mengandung bahan yang dapat merugikan dan
      atau membahayakan kesehatan manusia atau bahan lain yang dilarang,
      maka badan usaha dan atau orang perseorang dalam badan usaha,
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengganti segala kerugian
      yang secara nyata ditimbulkan.

(4)   Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam hal badan
      usaha dan atau orang perseorang dalam badan usaha dapat
      membuktikan bahwa hal tersebut     bukan diakibatkan kesalahan atau
      kelaliannya, maka badan usaha dana atau orang perseorangan dalam
      badan usaha tidak wajib mengganti kerugian.

(5)   Besarnya ganti rugi, sebagaimana dimaksud pada ayat (3), setinggi-
      tingginya sebesar Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk
      setiap orang yang dirugikan kesehatannya atau kematiaan yang
      ditimbulkan.




                                  Pasal 42

Dalam hal pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) tidak
diketahui atau tidak berdomisili di Indonesia, ketentuan dalam Pasal 41 ayat
(3) dana ayat (5) diberlakukan terhadap orang yang mengedarkan dana atau
memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia.




                                  Pasal 43

(1)   Dalam hal kerugian yang ditimbulkan melibatkan jumlah kerugian materi
      yang besar dan atau korban yang tidak sedikit, Pemerintah berwenang
      mengajukan gugatan ganti rugi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
      ayat (2).

(2)   Gugatan ganti rugi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan
      untuk kepentingan orang yang mengalami kerugian dan atau musibah.
                                    Pasal 44

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43 ditetapkan
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.



                                    BAB VIII

                            KETAHANAN PANGAN

                                    Pasal 45

(1)    Pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk mewujudkan
       ketahanan pangan.

(2)    Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, sebagaimana dimaksud
       pada ayat (1), Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan,
       pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang
       cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata,
       dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.


                                    Pasal 46


Dalam pelaksanaan ketentuan sebagaiaman dimaksud dalam Pasal 45,
Pemerintah :
a. menyelenggarakan, membina, dan atau mengkoordinasikan segala upaya
      atau kegiatan untuk mewujudkan cadangan pangan nasional;
b. menyelenggarakan, mengatur dan atau mengkoordinasikan segala upaya
      atau kegiatan dalam rangka penyediaan, pengadaan, dan atau penyaluran
      pangan tertentu yang bersifat pokok;

c. menetapkan dan menyelenggarakan kebijakan mutu pangan nasional dan
      penganekaragaman pangan;d. mengambil tindakan untuk mencegah dan
      atau menanggulangi gejala kekurangan pangan, keadaan darurat, dan
      atau spekulasi atau manipulasi dalam pengadaan dan peredaran pangan.


                                     Pasal 47

(1)    Cadangan pangan nasional, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
       huruf a, terdiri atas :
       a. cadangan pangan Pemerintah;
       b. cadangan pangan masyarakat.

(2)    Cadangan pangan Pemerintah ditetapkan secara berkala dengan
       memperhitungkan tingkat kebutuhan nyata pangan masyarakat dan
       ketersediaan      pangan,   serta   dengan   mengantisipasi   terjadinya
       kekurangan pangan dan atau keadaan darurat.

(3)    Dalam uapaya mewujudkan cadangan pangan nasional, sebagaimana
       dimaksud pada ayat (1), Pemerintah :
       a. mengembangkan, membina, dan atau membantu penyelenggaraan
          cadangan pangan masyarakat dan Pemerintah di tingkat pedesaan,
          perkotaan, propinsi, dan nasional;
       b. mengembangkan, menunjang, dan memberikan kesempatan seluas-
          luasnya bagi peran koperasi dan swasta dalam mewujudkan
          cadangan pangan setempat dan atau nasional.


                                     Pasal 48

Untuk mencegah dan atau menanggulangi gejolak harga pangan tertentu
yang dapat merugikan ketahanan pangan, Pemerintah mengambil tindakan
yang diperlukan dalam rangka mengendalikan harga pangan tersebut.


                                     Pasal 49

(1)    Pemerintah melakukan pembinaan yang meliputi upaya :

       a. pengembangan sumber daya manusia di bidang pangan melalui
          kegiatan pendidikan dan pelatihan, terutama usaha kecil;
      b. untuk mendorong dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam
         kegiatan   pengembangan     sumber     daya   manusia,   peningkatan
         kemampuan usaha kecil, penyuluhan di bidang pangan, serta
         penganekaragamanan pangan;

      c. untuk mendorong dan mengarahkan peran serta asosiasi dan
         organisasi profesi di bidang pangan;

      d. untuk mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dana atau
         pengembangan teknologi di bidang pangan;

      e. penyebarluasan pengetahuan dan penyuluhan di bidang pangan;

      f. pembinaan kerja sama internasional di bidang pangan, sesuai
         dengan kepentingan nasional;
      g. untuk mendorong dan meningkatkan kegiatan penganekaragaman
         pangan yang dikonsumsi masyarakat serta pemantapan mutu
         pangan tradisional.

(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh
      Pemerintah.




                                  Pasal 50

Ketentuan sebagaiaman dimaksud dalam Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal
48, dan Pasal 49 ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.




                                  BAB VIII

                       PERAN SERTA MASYARAKAT

                                  Pasal 51

Masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan seluas-luasnya dalam
mewujudkan perlindungan bagi orang perseorangan yang mengkonsumsi
pangan, sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini dan peraturan
pelaksananaanya serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.




                                  Pasal 52

Dalam rangka penyempurnaan dan peningkatan sistem pangan, masyarakat
dapat menyampaikan permasalahan, masukan, dan atau cara pemecahan
mengenai hal-hal di bidang pangan.


                                  BAB IX

                                PENGAWASAN

                                  Pasal 53

(1)   Untuk   mengawasi     pemenuhan      ketentuan   Undang-undang    ini,
      Pemerintah berwenang melakukan pemeriksaan dalam hal terdapat
      dugaan terjadinya pelanggaran hukum di bidang pangan.

2)    Dalam melaksanakan fungsi pemeriksaan, sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1), Pemerintah berwenang :
      a. memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan atau
         proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan perdagangan
         pangan untuk memeriksa, meneliti, dan mengambil contoh pangan
         dan segala sesuatu yang diduga digunakan dalam kegiatan produksi,
         penyimpanan, pengangkutan, dan atau perdagangan pangan;
      b. menghentikan, memeriksa, dan mencegah setiap sarana angkutan
         yang diduga atau patut diduga yang digunakan dalam pengangkutan
         pangan serta mengambil dan memeriksa contoh pangan;
      c. membuka dan meneliti setiap kemasan pangan;
      d. memeriksa setiap buku, dokumen, atau catatan lain yang diduga
         memuat keterangan mengaenai kegiatan produksi, penyimpanan,
         pengangkutan,    dan    atau    perdagangan    pangan,   termasuk
         mengadakan atau mengutip keterangan tersebut;
      e. memerintahkan untuk memeprhatikan izin usaha atau dokumen lain
         sejenis.

(3)   Pejabat     pemeriksan    untuk    melakukan   pemeriksaan,sebagaimana
      dimaksud ayat (2), dilengkapi dengan surat perintah.

(4)   Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan, sebagaimana dimaksud pada
      ayat (2), patut diduga merupakan tindak pidanan di bidang pangan,
      segera dilakukan tindakan penyidikan oleh penyidik berdasarkan
      peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(5)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
      ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.


                                       Pasal 54

(1)   Dalam melaksanakan fungsi pengawasan, sebagaimana dimaksud
      dalam      Pasal   53,   Pemerintah    berwenang   mengambil   tindakan
      administratif terhadap pelanggaran ketentuan Undang-undang ini.

(2)   Tindakan adminstratif, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
      berupa :
      a. peringatan secara tertulis;
      b. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah
         untuk menarik produk pangan dari peredaran apabila terdapat risiko
         tercemarnya pangan atau pangan tidak aman bagi kesehatan
         manusia;
      c. pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan
         jiwa manusia;
      d. penghentian produksi untuk sementara waktu;
      e. pengenaan denda paling tinggi Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
         rupiah); dan atau
      f. pencabutan izin produksi atau izin usaha.

(3)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2)
      ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
                                   BAB X
                           KETENTUAN PIDANA


                                   Pasal 55

Barang siapa dengan sengaja :
a. menyelenggarakan     kegiatan    atau   proses   produksi,   penyimpanan,
   pengangkutan, dan atau peredaran pangan dalam keadaan yang tidak
   memenuhi persyaratan sanitasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8;
b. menggunakan bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tamabahan
   pangan atau menggunakan bahan tamabahan pangan secara melampaui
   ambang batas maksimal yang ditetapkan, sebagaimana dimaksud dalam
   Pasal 10 ayat (1);
c. menggunakan bahan yang dilarang digunakan sebagai kemasan pangan
   dan atau bahan apa pun yang dapat melepaskan cemaran yang
   merugikan atau membahayakan kesehatan manusia, sebagaimana
   dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1);
d. mengedarkan pangan yang dilarang untuk diedarkan, sebagaimana
   dimaksud dalam Pasal 21 huruf a, huruf b, huruf, c, huruf d, dan huruf e;
e. memperdagangkan pangan yang tidak memenuhi standar mutu yang
   diwajibkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a;
f. memperdagangkan pangan yang mutunya berbeda atau tidak sama
   dengan mutu pangan yang dijanjikan, sebagaimana dimaksud dalam
   Pasal 26 huruf b;
g. memperdagangkan pangan yang tidak memenuhi persyaratan sertifikasi
   mutu pangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c;
h. mengganti, melebel kembali, atau menukar tanggal, bulan, dan tahun
   kadaluwarsa pangan yang diedarkan sebagaiaman dimaksud dalam Pasal
   32;
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dana atau denda
paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
                                   Pasal 56

Barang siapa :
a. menyelenggarakan     kegiatan    atau   proses   produksi,   penyimpanan,
   pengangkutan, dan atau peredaran pangan dalam keadaan yang tidak
   memenuhi persyaratan sanitasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8;
b. menggunakan bahan yang dilarang digunakan sebagaimana bahan
   tambahan pangan atau menggunakan bahan tambahan pangan secara
   melampaui ambang batas maksimal yang             ditetapkan, sebagaimana
   dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1);
c. menggunakan bahan yang dilarang digunakan sebagai kemasan pangan
   dan atau bahan apa pun yang dapat melepaskan cemaran yang
   merugikan atau membahayakan kesehatan manusia, sebagaimana
   dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1);
d. mengedarkan pangan yang dilarang untuk diedarkan sebagaimana
   dimaksud dalam Pasal 21 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e;
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda
paling banyak Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah).


                                   Pasal 57

Ancaman pidana atas pelanggaran, sebagaiaman dimaksud dalam Pasal 55
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d serta Pasal 56, ditambah seperempat
apabila menimbulkan kerugian terhadap kesehatan manusia atau ditamabah
sepertiga apabila menimbulkan kematian.


                                   Pasal 58

Barangsiapa :
a. menggunakan suatu bahan sebagai bahan tamabahan pangan dan
   mengedarkan pangan tersebut secara bertentangan dengan ketentuan
   dalam Pasal 11;
b. mengedarkan pangan yang diproduksi atau menggunakan bahan baku,
   bahan tamabahan pangan, dan atau bahan bantu lain dalam kegiatan atau
   proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika,
   tanpa lebih dahulu memeriksakan keamanan pangan, sebagaimana
   dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1);
c. menggunakan Iridiasi dalam kegiatan atau proses produksi pangan tanpa
   izin, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1);
d. menggunakan suatu bahan sebagi kemasan pangan untuk diedarkan
   secara bertentangan dalam ketentuan Pasal 17.e. membuka kemasan
   akhir pangan untuk dikemas kembali dan memerdagangkanya, sebagai
   mana yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1)
f. mengedarkan pangan tertentu yang diperdagangkan terlebihdahulu tanpa
   di uji secara labolatoris,sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 20 ayat
   (2)
g. memproduksi pangan tanpa memenuhi persyaratantentang gizi pangan
   yang ditetapkan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4)
h. memproduksi atau memasukan kedalam wilayah indnesia pangan yang
   dikemas untuk diperdagangkan tanpa mencantumkan label,sebagimana
   yang dimaksud dalam Pasal 30 atau Pasal 31
i. memberikan keterangan atau pernyataan secara tidak benar dalam iklan
   atau label bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai menurut
   persyaratan agama atau      kepercayaan tertentu,sebagimana dimaksud
   dalam Pasal 34 ayat(1)
k. memasukan pangan kedalam wilayah indonesia dan atau mengedarkan
   didalam wilayah indonesia pangan yang tiak memenuhi ketentuan
   Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya, sebagimana dimaksud
   dalam pasal 36 ayat (2)
l. menghambat kelancaran proses pemeriksaan, sebagimana dimaksud
   dalam Pasal 53
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda
paling banyak Rp. 360.000.000,00 (tiga ratus enam puluh juta rupiah).
                                     Pasal 59
Barang siapa :
a. tidak menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, menyimpan,
   pengangkutan dan atau peredaran pangan yang memenuhi persyaratan
   sanitasi,   keamanan,     dan     atau keselamatan manusia,       atau   tidak
   menyelenggarakan program pemantauan sanitasi secara berkala, atau
   tidak melaksanakan pengawasan atas pemenuhan persyaratan sanitasi,
   sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6.
b. tidak memenuhi persyaratan sanitasi, sebagaimana dimaksud dalam
   Pasal 7.
c. tidak melaksanakan tata cara pengemasan pangan yang ditetapkan,
   sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3).
d. tidak menyelengarakan sistem jaminan mutu yang ditetapkan dalam
   kegiatan      atau   proses     produksi   pangan    untuk   diperdagangkan,
   sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1).
e. tidak   memuat       keterangan    yang    wajib   dicantumkan   pada    label,
   sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) meskipun telah
   diperingatkan secara tertulis oleh pemerintah,
dipidana dengan pedana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda
paling banyak Rp.480.000.000,00 (empat ratus delapan puluh juta rupiah).


                                      BAB XI
                         PENYERAHAN URUSAN DAN
                            TUGAS PEMBANTUAN

                                     Pasal 60

(1). Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan dibidang pangan
     kepada Pemerintah Daerah, sesuai dengan peraturan perundang-
     undangan yang berlaku.

(2). Pemerintah dapat menugaskan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan
     tugas pembantu dibidang pangan.
(3). Ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih
    lanjut dengan Peraturan Pemerintah.




                                BAB XII
                        KETENTUAN LAIN-LAIN

                                Pasal 61

(1). Dalam hal terjadi kekurangan pangan yang sangat mendesak,
    Pemerintah dapat mengesampingkan untuk sementara waktu ketentuan
    Undang-undang ini tentang persyaratan keamanan pangan, label, mutu,
    dan atau persyaratan gizi pangan.

(2). Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan
    tetap   memperhatikan    keselamatan   dan    terjaminnya    kesehatan
    masyarakat.


                                Pasal 62

Bilamana dipandang perlu, Pemerintah dapat menunjuk instansi untuk
mengkoordinasi terlaksananya Undang-undang ini.



                                Pasal 63

Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaanya tidak berlaku bagi pangan
yang diproduksi dan dikonsumsi oleh kalangan rumah tangga.




                                BAB XIII
                       KETENTUAN PERALIHAN

                                Pasal 64

Pada saat mulai berlakukanya Undang-undang ini semua peraturan
perundang-undangan tentang pangan yang telah ada dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
                                 BAB XIV
                         KETENTUAN PENUTUP
                                 Pasal 65


Undang-undang ini mulai berlaku pada tangal ditetapkan.




Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.




                                            Disahkan di Jakarta
                                            pada tanggal 4 November 1996
                                            Presiden Republik Indonesia

                                                       TTD

                                                     Soeharto


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 November 1996
MENTERI NEGERA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

                   TTD

               MOERDIONO


 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1996 NOMOR 99
                                PENJELASAN
                                       ATAS
                UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                           NOMOR 7 TAHUN 1996
                                  TENTANG
                                  PANGAN



I. UMUM

Pembangunan nasional merupakan pencerminan kehendak untuk terus-
menerus meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia
secara adil dan merata dalam segala aspek kehidupan serta diselenggarakan
secara terpadu, terarah, dan berkesinambungan dalam rangka mewujudkan
suatu masyarakat yang adil dan makmur, baik materi maupun spiritual,
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pangan sebagai
kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya merupakan hak asasi setiap
rakyat Indonesia harus senantiasa tersedia cukup setiap waktu, aman,
bermutu, bergizi, dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli
masyarakat. Untuk mencapai semua itu, perlu diselenggarakan suatu sistem
pangan yang memberikan perlindungan, baik bagi pihak yang memproduksi
maupun yang mengkonsumsi pangan, serta tidak bertentangan dengan
keyakinan masyarakat. Sumber daya manusia yang berkualitas selain unsur
terpenting yang perlu memperoleh prioritas dalam pembangunan, juga
sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan. Peningkatan
kualitas sumber daya manusia sangat ditentukan, antara lain, oleh kualitas
pangan yang dikonsumsinya.

Kegiatan atau proses produksi pangan untuk diedarkan atau diperdagangkan
harus memenuhi ketentuan tentang sanitasi pangan, bahan tambahan
pangan, residu cemaran, dan kemasan pangan. Hal lain yang patut
diperhatikan   oleh   setiap   orang    yang   memproduksi   pangan   adalah
penggunaan metode tertentu dalam kegiatan atau proses produksi pangan
yang memiliki kemungkinan timbulnya risiko yang dapat merugikan atau
membahayakan kesehatan manusia, seperti rekayasa genetika atau iradiasi,
harus dilakukan berdasarkan persyaratan tertentu.

Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan perlu
memperhatikan ketentuan mengenai mutu dan gizi pangan yang ditetapkan.
Pangan tertentu yang diperdagangkan dapat diwajibkan untuk terlebih dahulu
diperiksa di laboratorium sebelum diedarkan. Dalam upaya meningkatkan
kandungan gizi pangan olahan tertentu, Pemerintah berwenang untuk
menetapkan persyaratan tentang komposisi pangan tersebut.

Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan perlu dibebani
tanggung jawab, terutama apabila pangan yang diproduksinya menyebabkan
baik kerugian pada kesehatan manusia maupun kematian orang yang
mengkonsumsi pangan tersebut. Dalam hal itu, Undang-undang ini secara
spesifik mengatur tanggung jawab industri pangan untuk memberikan ganti
rugi kepada pihak yang dirugikan. Di samping tanggung jawab untuk
memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud di atas, Undang-undang ini
juga menetapkan ketentuan sanksi lainnya, baik yang bersifat administratif
maupun pidana terhadap para pelanggarnya.

Dalam kegiatan perdagangan pangan, masyarakat yang mengkonsumsi perlu
diberikan sarana yang memadai agar memperoleh informasi yang benar dan
tidak menyesatkan. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu ditetapkan
ketentuan mengenai label dan iklan tentang pangan. Dengan demikian,
masyarakat yang mengkonsumsi pangan dapat mengambil keputusan
berdasarkan informasi yang akurat sehingga tercipta perdagangan pangan
yang jujur dan bertanggung jawab, yang pada gilirannya menumbuhkan
persaingan yang sehat di kalangan para pengusaha pangan. Khusus
menyangkut label atau iklan tentang pangan yang mencantumkan pernyataan
bahwa pangan telah sesuai dengan dengan persyaratan atau kepercayaan
tertentu, maka orang yang membuat pernyataan tersebut bertanggung jawab
terhadap kebenaran pernyataan dimaksud.

Pengusaha kecil di bidang pangan pada tahap-tahap awal mungkin
mengalami kesulitan untuk memenuhi keseluruhan persyaratan yang
ditetapkan oleh Undang-undang ini. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan
pembinaan secara berkesinambungan agar pengusaha kecil tersebut dapat
memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi pangan. Berkenaan dengan
itu, pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut dilakukan secara bertahap.
Ketentuan mengenai keamanan, mutu dan gizi pangan, serta label dan iklan
pangan tidak hanya berlaku bagi pangan yang diproduksi dan atau diedarkan
di wilayah Indonesia, tetapi juga bagi pangan yang dimasukkan ke dalam
wilayah Indonesia. Dalam hal-hal tertentu bagi produksi pangan nasional
yang akan diedarkan di luar negeri, diberlakukan ketentuan yang sama.

Sebagai komoditas dagang, pangan memiliki peranan yang sangat besar
dalam peningkatan citra pangan nasional di dunia internasional dan sekaligus
penghasil devisa. Oleh karena itu, produksi pangan nasional harus mampu
memenuhi standar yang berlaku secara internasional dan memerlukan
dukungan perdagangan yang dapat memberi peluang bagi pengusaha di
bidang pangan, baik yang besar, menengah maupun kecil, untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi. Pengaturan mengenai pangan juga diarahkan untuk
mewujudkan ketahanan pangan yang mencakup ketersediaan dan cadangan
pangan, serta terjangkau sesuai dengan kebutuhan konsumsi masyarakat.
Pemerintah bersama masyarakat perlu memelihara cadangan pangan
nasional. Di samping itu, Pemerintah dapat mengendalikan harga pangan
tertentu, baik untuk tujuan stabilitasi harga maupun untuk mengatasi keadaan
apabila terjadi kekurangan pangan atau keadaan darurat lainnya. Undang-
undang tentang Pangan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi
pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap kegiatan atau proses
produksi, peredaran, dan atau perdagangan pangan. Sebagai landasan
hukum di bidang pangan.

Undang-undang ini dimaksudkan menjadi acuan dari berbagai peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pangan, baik yang sudah ada
maupun yang akan dibentuk. Pada saat Undang-undang ini diberlakukan,
telah terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan pangan, antara lain :
1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
  Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun
  1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2824);
2. Undang-undang    Nomor   5    Tahun   1974   tentang   Pokok-pokok
  Pemerintahan Di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38,
  Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
  Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982
  Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
4. Undang-undang    Nomor   5    Tahun   1984   tentang   Perindustrian
  (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran
  Negara Nomor 3274);
5. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Periklanan (Lembaran
  Negara Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor
  3299);
6. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya
  Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan
  Lembaran Negara Nomor 3478);
7. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan
  dna Tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan
  Lembaran Negara Nomor 3482);
8. Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran
  Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor
  3495);
9. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
  (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran
  Negara Nomor 3502);
10. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil (Lembaran
  Negara Tahun 1995 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor
  3611);
11. Undang-undang   Nomor   10   Tahun   1995   tentang   Kepabeanan
  (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran
  Negara Nomor 3612).
Berdasarkan pemikiran-pemikiran sebagaimana yang diuraikan, Undang-
undang tentang Pangan memuat pokok-pokok :
a. persyaratan teknis tentang pangan, yang meliputi ketentuan keamanan
   pangan, ketentuan mutu dan gizi pangan, serta ketentuan label dan iklan
   pangan, sebagai suatu sistem standarisasi pangan yang bersifat
   menyeluruh;
b. tanggung      jawab    setiap   orang   yang   memproduksi,      menyimpan,
   mengangkut, dan atau mengedarkan pangan, serta sanksi hukum yang
   sesuai agar mendorong pemenuhan atas ketentuan-ketentuan yang
   ditetapkan;
c. peranan     Pemerintah    dan   masyarakat     dalam    mewujudkan      tingkat
   kecukupan pangan di dalam negeri dan penganekaragaman pangan yang
   dikonsumsi secara tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat;
d. tugas Pemerintah untuk membina serta mengembangkan industri pangan
   nasional, terutama dalam upaya peningkatan citra pangan nasional dan
   ekspor. Pengaturan, pembinaan, dan atau pengawasan terhadap kegiatan
   atau proses produksi, peredaran, dan atau perdagangan pangan dalam
   Undang-undang ini bersifat pokok-pokok, sedangkan penjabarannya lebih
   lanjut ditetapkan oleh Pemerintah secara menyeluruh dan terkoordinasi.
Semuanya itu diselenggarakan dengan tetap memperhatikan kesiapan dan
kebutuhan sistem pangan nasional, serta perkembangan yang terkadi baik
secara regional maupun internasional.




II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1

Angka 1

Pengertian "pangan", termasuk permen karet atau sejenisnya, tetapi tidak
mencakup      kosmetik,   tembakau,    hasil   tembakau,    atau   bahan    yang
diperuntukkan sebagai obat. Yang dimaksud dengan "bahan lain" adalah
bahan yang digunakan dalam proses penyiapan, pengelolaan, dan atau
pembuatan makanan atau minuman di luar bahan tambahan pangan dan
bahan bantu pangan, misalnya, bahan-bahan katalisator seperti enzim
pencernaan.


Angka 2

Pengertian "pangan olahan" (pocessed foods) dalam ketentuan ini mencakup
baik pangan olahan yang siap untuk dikonsumsi manusia maupun pangan
olahan setengah jadi, yang digunakan selanjutnya sebagai bahan baku
pangan.
Dengan ketentuan ini, pengertian "pangan yang tidak diolah" adalah makanan
atau minuman yang secara langsung dapat dikonsumsi oleh manusia tanpa
diolah lebih dahulu.


Angka 3
Cukup jelas


Angka 4
Cukup jelas


Angka 5
Cukup jelas


Angka 6
Cukup jelas


Angka 7
Cukup jelas


Angka 8
Yang dimaksud dengan "penawaran untuk menjual pangan" adalah kegiatan
yang lazim dilakukan sebelum terjadinya tindakan pembelian dan atau
penjulan pangan, misalnya, pemberian secara cuma-cuma sampel produk
pangan dalam rangka promosi.
Angka 9
Cukup jelas


Angka 10
Cukup jelas
Angka 11
Cukup jelas


Angka 12
Cukup jelas


Angka 13
Cukup jelas


Angka 14
Cukup jelas


Angka 15
Cukup jelas


Angka 16
Cukup jelas


Angka 17
Cukup jelas


Angka 18
Cukup jelas


Pasal 2
Pembangunan     di   bidang   pangan   harus   memberikan    manfaat   bagi
kemanusiaan dan kesejahteraan masyarakat, baik lahir maupun batin, karena
manfaat tersebut dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat secara adil
dan merata dengan tetap bersandarkan pada daya dan potensi yang
berkembang di dalam negeri.


Pasal 3
Perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab merupakan
prasyarat terjadinya persaingan yang sehat bagi terbentuknya harga yang
wajar bagi pihak yang menghasilkan dan mengkonsumsi pangan, sedangkan
"terjangkau" dimaksudkan sebagai jaminan ketersediaan pangan, baik fisik
maupun kemampuan ekonomi pihak yang mengkonsumsi pangan.


Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "persyaratan sanitasi" adalah standar kebersihan dan
kesehatan yang harus dipenuhi sebagai upaya mematikan atau mencegah
hidupnya jasad renik patogen dan mengurangi jumlah jasad renik lainnya
agar pangan yang dihasilkan dan dikonsumsi tidak membahayakan
kesehatan dan jiwa manusia.
Dalam pengertian "persyaratan sanitasi" sudah tercakup pula pengertian
persyaratan higienis.
Ayat (2)
Dengan ketentuan ini setiap orang yang memproduksi, menyimpan,
mengangkut,    dan      atau   mengedarkan     pangan     diperkenankan   untuk
menerapkan standar sanitasi yang lebih tinggi.
Persyaratan sanitasi dimaksud ditetapkan secara berjenjang, sesuai dengan
jenis kegiatan yang dilakukan, karena kebutuhan sanitasi dari setiap kegiatan
tersebut berbeda. Penetapan dan penerapan persyaratan sanitasi dilakukan
secara bertahap dan disesuaikan dengan jenis kegiatan yang dilakukan,
misalnya,   untuk    proses    produksi,   penyimpanan,    dan   pengangkutan.
Penerapan persyaratan juga dilakukan secara bertahap, sesuai dengan
perkembangan sistem pangan serta kesiapan peraturan pelaksanaan yang
dikaitkan dengan pelaksanaan pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah
untuk meningkatkan kemampuan, khususnya pengusaha menengah dan
kecil, termasuk pengusaha pangan olahan informal dan tradisional.
Yang dimaksud dengan "persyaratan minimal" adalah persyaratan yang
sekurang-kurangnya wajib dipenuhi dalam menjaga keamanan pangan dalam
rangka melindungi kesehatan dan jiwa manusia.


Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud "sarana dan atau prasarana" dalam ketentuan ini, antara lain,
meliputi kelaikan desain dan konstruksi, peralatan dan infalasi, fasilitas
pembuangan limbah, dan fasilitas lainnya yang secara langsung atau tidak
langsung digunakan dalam kegiatan atau proses produksi, penyimpanan,
pengangkutan, dan atau peredaran pangan.


Ayat (2)
Kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau
peredaran pangan senantiasa dilakukan dengan memperhatikan standar
kebersihan dan kesehatan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan dalam
Pasal 4 agar pangan yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi langsung atau
dijadikan bahan baku pangan. Meskipun sarana dan prasarana sudah
memenuhi persyaratan sanitasi, apabila pada saat digunakan tidak dilakukan
secara benar sesuai dengan persyaratan kebersihan dan kesehatan, maka
pangan yang diproduksi untuk diedarkan tersebut masih memiliki risiko
tercemar   bahan   asing   atau   beracun   yang   dapat   merugikan   atau
membahayakan kesehatan manusia.


Pasal 6
Yang dimaksud dengan "setiap orang yang bertanggung jawab" dalam
ketentuan ini adalah setiap orang yang melakukan, berkepentingan, atau
memperoleh manfaat dari kegiatan atau proses produksi, penyimpanan,
pengangkutan, dan atau peredaran pangan, misalnya, produsen, penyedia
tempat penyimpanan, pengangkut, dan atau pengedar pangan, baik milik
sendiri maupun menyewa sarana dan prasarana yang diperlukan.
Ketentuan ini juga berlaku bagi mereka yang diberi tanggung jawab atau
bertanggung jawab di bidang sanitasi dalam kegiatan atau proses produksi,
penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan, baik melalui ikatan
kerja, kontrak, maupun kesepakatan yang lain.


Huruf a
Ketentuan ini menegaskan bahwa kewajiban untuk selalu menjaga tingkat
kebersihan    dan     kesehatan   dalam   kegiatan     atau   proses     produksi,
penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan tidak hanya
terbatas    pada    pemenuhan     persyaratan   yang    ditetapkan     Pemerintah
berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4, tetapi juga dalam arti yang lebih luas
sehingga mencakup pula persyaratan keamanan dan atau keselamatan
manusia dengan batasan yang objektif, faktual, dan berdasarkan akal sehat.


Huruf b
Ketentuan ini dimaksudkan agar setiap orang yang melakukan kegiatan atau
proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan
menyusun dan melaksanakan program pemantauan sanitasi secara teratur,
sesuai dengan keperluan, untuk menjamin keamanan dan atau keselamatan
manusia.
Huruf c
Cukup jelas


Pasal 7
Yang dimaksud dengan "orang perseorangan" dalam ketentuan ini adalah
mereka yang secara langsung menangani atau terlibat dalam kegiatan atau
proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan.
Ketentuan ini diperlukan karena risiko pencemaran pangan tidak jarang
diakibatkan oleh kelalaian orang perseorangan tersebut. Ketentuan ini juga
berlaku bagi mereka yang, meskipun tidak menangani langsung, tetapi
berada     langsung   dalam   lingkungan kegiatan      atau   proses     produksi,
penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan, seperti mandor,
satuan pengamanan, atau pengunjung produsen/pabrik pangan.
Persyaratan sanitasi dalam kaitannya dengan "orang perseorangan" ini tidak
hanya terbatas pada pola atau standar perilaku yang memenuhi persyaratan
sanitasi, tetapi juga termasuk kesehatan orang perseorangan tersebut karena
tidak jarang penyakit manusia ditularkan melalui pangan yang diedarkan.


Pasal 8
Cukup jelas


Pasal 9
Cukup jelas


Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "bahan tambahan pangan" adalah bahan yang
ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk
pangan, atara lain, bahan pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal,
pemucat, dan pengental.


Ayat (2)
Penggunaan bahan tambahan pangan dalam produk pangan yang tidak
mempunyai risiko terhadap kesehatan manusia dapat dibenarkan karena hal
tersebut memang lazim dilakukan. Namun, penggunaan bahan yang dilarang
sebagai bahan tambahan pangan atau penggunaan bahan tambahan pangan
secara berlebihan sehingga melampaui ambang batas maksimal tidak
dibenarkan karena dapat merugikan atau membahayakan kesehatan manusia
yang mengkonsumsi pangan tersebut.
Bahan tambahan pangan yang dilarang antara lain asam borat (boric acid)
dan senyawanya, sedangkan bahan tambahan pangan yang dibolehkan
dengan ambang batas maksimal, antara lain, siklamat.


Pasal 11
Pemeriksaan tersebut dimaksudkan untuk mengetahui apakah bahan
tersebut maan bagi atau tidak merugikan atau membahayakan kesehatan
manusia. Selain itu, juga diperiksa dosis penggunaan untuk menentukan
ambang batas maksimal penggunaan bahan tersebut sehingga dapat
dinyatakan aman dan tidak merugikan atau membahayakan kesehatan
manusia.


Pasal 12
Cukup jelas


Pasal 13
Ayat (1)
"Bahan baku" adalah bahan utama yang dipakai dalam kegiatan atau proses
produksi pangan. Bahan baku dapat berupa bahan mentah, bahan setengah
jadi, atau bahan jadi.
"Bahan bantu lain" adalah bahan yang tidak termasuk dalam pengertian baik
bahan baku maupun bahan tambahan pangan dan berfungsi untuk membantu
mempercepat atau memperlambat proses rekayasa genetika.


Ayat (2)
Prinsip penelitian dalam ruang lingkup rekayasa genetika merupakan hal
yang sangat spesifik dan mempunyai dampak terhadap keselamatan
manusia, etika, moral, dan keyakinan masyarakat sehingga perlu pengaturan
oleh Pemerintah untuk mencegah terjadinya pelanggaran yang mungkin
merugikan masyarakat.


Pasal 14
Ayat (1)
Iradiasi dalam kegiatan atau proses produksi dan penyimpanan pangan
hanya dapat diselenggarakan berdasarkan izin Pemerintah karena dampak
iradiasi pangan dapat membahayakan kesehatan dan jiwa manusia.


Ayat (2)
Mekanisme perizinan yang akan dijabarkan lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah, antara lain, mencakup persyaratan :
a) pemberian izin yang menyangkut sarana dan prasarana serta manajemen
   dan mekanisme pengawasan;
b) kesehatan dan keamanan karyawan;
c) pelestarian lingkungan;
d) pengangkutan bahan-bahan yang mengandung zat radioaktif;
e) pembuangan dan pengelolaan limbah yang mengandung zat radioaktif;
   dan
f) mekanisme penanggulangan bencana.


Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16


Ayat (1)
Cukup jelas


Ayat (2)
Ketentuan ini mewajibkan setiap orang yang memproduksi pangan yang akan
diedarkan untuk melakukan pengemasan atau melaksanakan tata cara
pengemasan secara benar sehingga dapat dihindari terjadinya pencemaran
terhadap pangan.
Benar tidaknya pengemasan yang dilakukan atau tata cara pengemasan yang
dilaksanakan, antara lain, dapat diukur dari tingkat kehati-hatian yang
diterapkan pada saat melakukan pengemasan, jenis komoditas pangan yang
dikemas, perlakuan khusus yang diperlukan bagi pangan tersebut, serta
kebutuhan untuk melindungi kemungkinan tercemarnya pangan sejak proses
produksi sampai dengan siap dikonsumsi.


Ayat (3)
Terhadap      pangan   tertentu   yang   diperdagangkan,   Pemerintah   dapat
menetapkan dan berwenang memberlakukan serta mewajibkan pemenuhan
persyaratan atau tata cara tertentu dalam rangka pengemasan pangan
tersebut. Misalnya, pangan yang memiliki kadar lemak tinggi dan bersuhu
tinggi tidak boleh dikemas dengan menggunakan kemasan plastik karena
dapat memberikan peluang lepasnya monomer plastik yang bersifat
karsinogenik ke dalam pangan dan mencemarinya.
Pasal 17
Cukup jelas


Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kemasan akhir pangan" adalah kemasan final
terhadap produk pangan yang lazim dilakukan pada tahap akhir proses atau
kegiatan produksi yang siap diperdagangkan bagi konsumsi manusia.
Ketentuan ini bersifat preventif karena tidak jarang suatu produk pangan
tercemar oleh bahan yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan
manusia karena tindakan pengemasan kembali tersebut.


Ayat (2)
Pengadaan pangan dalam jumlah besar yang lazimnya tidak dikemas secara
final dan dimaksudkan untuk diperdagangkan (diecer) lebih lanjut dalam
kemasan yang lebih kecil tidak tunduk pada ketentuan ayat (1). Kelaziman
tersebut disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku bagi komoditas pangan
yang bersangkutan atau kebiasaan masyarakat setempat.


Pasal 19
Cukup jelas


Pasal 20
Ayat (1)
Sistem jaminan mutu merupakan uapay pencegahan yang perlu diperhatikan
dan atau dilaksanakan dalam rangka menghasilkan pangan yang aman bagi
kesehatan manusia dan bermutu, yang lazimnya diselenggarakan sejak awal
kegiatan produksi pangan sampai dengan siap untuk diperdagangkan, dan
merupakan sistem pengawasan dan pengendalian mutu yang selalu
berkembang menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.


Ayat (2)
Di samping sistem jaminan mutu yang diselenggarakan oleh setiap orang
yang memproduksi pangan, maka upaya mewujudkan ketersediaan pangan
yang aman dapat ditempuh melalui pengujian secara laboratoris atas pangan
yang diproduksi. Persyaratan pemeriksaan laboratorium                  ini    terutama
diperuntukkan bagi pangan tertentu yang diperdagangkan, yang akan diatur
lebih lanjut oleh Pemerintah.


Ayat (3)
Laboratorium yang melaksanakan pengujian dimaksud harus memenuhi
persyaratan    teknis     yang     ditetapkan    dan     melaksanakan         pengujian
berdasarkan tata cara yang telah dibakukan. Ketentuan ini memberi
kemungkinan bagi laboratorium-laboratorium yang bukan milik Pemerintah
untuk melakukan pengujian itu. Misalnya, laboratorium milik setiap orang
yang memproduksi pangan, atau yang merupakan bagian dari sistem jaminan
mutu yang diterapkan, atau laboratorium milik pihak ketiga selama
laboratorium   tersebut    telah    diperiksa    kelainkannya    dan    memperoleh
akreditasi dari instansi Pemerintah yang bertanggung jawab, baik secara
teknis perlengkapan laboratorium tersebut maupun berkenaan dengan
pemenuhan persyaratan lain berdasarkan Undang-undang ini dan peraturan
pelaksanaannya.


Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "ditetapkan dan diterapkan secara bertahap" adalah
pelaksanaan persyaratan jaminan mutu dan pengujian secara laboratoris
disesuaikan dengan jenis kegiatan yang dilakukan, antara lain, untuk proses
produksi, penyimpanan, dan pengangkutan. Penerapan persyaratan ini
dilakukan secara bertahap, sesuai dengan perkembangan sistem pangan
serta   kesiapan   peraturan       pelaksanaan    yang     dikaitkan   pula     dengan
pelaksanaan     pembinaan        yang    dilakukan       oleh   Pemerintah       untuk
meningkatkan kemampuan, khususnya pengusaha menengah dan kecil,
termasuk pengusaha pangan olahan informal dan tradisional.


Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 21
Huruf a
Yang dimaksud dengan "merugikan kesehatan' adalah dampak yang timbul
akibat adanya bahan beracun atau bahan lain dalam tubuh yang dapat
mengganggu penyerapan senyawa atau zat gizi ke dalam darah, tetapi tidak
membahayakan      kesehatan.     Yang   dimaksud   dengan   "membahayakan
kesehatan" adalah dampak yang timbul akibat adanya bahan beracun atau
berbahaya seperti residu pestisida, mikotoksin, logam berat, hormon, dan
obat-obatan hewan.


Huruf b
Cukup jelas


Huruf c
Cukup jelas


Huruf d
Yang dimaksud dengan :
a) "bahan yang kotor" adalah bahan yang bercampur dengan kotoran seperti
   tanah, pasir, atau bahan lain;
b) "bahan yang busuk" adalah bahan yang bentuk, rupa, atau baunya sudah
   tidak sesuai dengan keadaan normal bahan tersebut.
c) "bahan yang tengik" adalah bahan yang bau atau aromanya sudah
   berbeda dari bau atau aroma normal yang antara lain disebabkan oleh
   terjadinya proses oksidasi;
d) "bahan yang terurai" adalah bahan yang rupa atau bentuknya telah
   berubah dari keadaan normal;
e) "bahan yang mengandung bahan nabati atau hewani yang berpenyakit"
   adala bahan nabati atau hewani yang mengandung penyakit yang dapat
   menular kepada manusia, misalnya, ikan atau udang yang mengandung
   bibit penyakit kolera atau daging yang mengandung cacing;
f) "bangkai" adalah bahan hewani yang mati secara alamiah atau matinya
   tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi sebagai pangan, misalnya, ayam
   yang mati bukan karena sengaja dipotong untuk dikonsumsi sebagai
   pangan.
Pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan ini harus senantiasa memperhatikan
fakta yang ditemukan, tolok ukur objektif dalam menentukan tingkat
kelayakan pangan sebagai makanan atau minuman yang dikonsumsi
manusia, dan keamanan terhadap kesehatan dan jiwa manusia yang
mengkonsumsi pangan tersebut.


Huruf e
Pelaksanaan dalam ketentuan ini diselenggarakan berdasarkan ketentuan
yang mengatur jangka waktu atau masa kelayakan untuk dikonsumsi.


Pasal 22
Huruf a
Cukup jelas


Huruf b
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan ilmu
pengetahuan   dan   teknologi   dalam   kegiatan   produksi,   penyimpanan,
pengangkutan, dan atau peredaran pangan.


Huruf c
yang dimaksud dengan "peralatan" dalam ketentuan ini, antara lain, piring,
gelas, sendok, garpu, alat masak, dan tempat peragaan pangan.


Pasal 23
Cukup jelas


Pasal 24
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "standar mutu pangan" dalam ketentuan ini adalah
spesifikasi atau persyaratan teknis yang dibakukan tentang mutu pangan,
misalnya, dari segi bentuk, warna, atau komposisi yang disusun berdasarkan
kriteria tertentu yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta aspek lain yang terkait.
Standar mutu pangan tersebut mencakup baik pangan olahan maupun
pangan yang tidak diolah.
Dalam pengertian yang lebih luas, standar yang berlaku bagi pangan
mencakup berbagai persyaratan keamanan pangan, gizi, mutu, dan
persyaratan lain dalam rangka menciptakan perdagangan pangan yang jujur,
misalnya, persyaratan tentang label dan iklan. Berbagai standar tersebut tidak
bertentangan satu sama lain atau berdiri sendiri, tetapi justru merupakan satu
kesatuan yang bulat, yang penjabarannya lebih lanjut diatur oleh Pemerintah.


Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "pangan tertentu yang diperdagangkan" pada ayat ini
adalah produk pangan yang atas pertimbangan manfaat, nilai gizi, dan aspek
perdagangan harus memenuhi standar mutu tertentu. Penetapan standar
mutu pangan oleh Pemerintah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
merupakan upaya standarisasi mutu pangan yang diedarkan, dan terutama
berguna sebagai suatu tolok ukur yang objektif bagi pangan yang diedarkan.
Hal ini tidak berarti bahwa standar mutu yang ditetapkan oleh kalangan yang
berkepentingan di bidang pangan tidak diakui keberadaannya, misalnya, yang
ditetapkan oleh asosiasi di bidang pangan, terutama apabila standar mutu
tersebut lebih tinggi daripada standar mutu yang ditetapkan Pemerintah. Di
sisi lain, Pemerintah perlu diberikan kewenangan untuk mewajibkan
pemenuhan standar mutu yang ditetapkan bagi produksi pangan tertentu
yang diperdagangkan, terutama dalam rangka mewujudkan perdagangan
pangan yang jujur dan bertanggung jawab. Dalam melaksanakan ketentuan
ini Pemerintah memperhatikan masukan, saran, atau pertimbangan dari
masyarakat. Hal ini penting, mengingat masyarakat adalah pihak yang
merasakan langsung akibat dari diberlakukannya aturan hukum di bidang
pangan, baik masyarakat yang memproduksi pangan maupun yang
mengkonsumsi pangan.
Pasal 25
Ayat (1)
Sertifikasi    adalah      syarat-syarat    yang    harus   dipenuhi   dalam     proses
pengawasan mutu pangan, yang penyelenggaranya dapat dilakukan secara
laboratoris atau cara lain sesuai dengan perkembangan teknologi. Sertifikasi
mutu diberlakukan untuk lebih memberikan jaminan kepada masyarakat
bahwa pangan yang dibeli telah memenuhi standar mutu tertentu, tanpa
mengurangi tanggung jawab pihak yang memproduksi pangan untuk
memenuhi ketentuan Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya.


Ayat (2)
Cukup jelas


Pasal 26
Huruf a
Apabila terhadap suatu pangan tertentu yang diperdagangkan telah
diberlakukan standar mutu tertentu berdasarkan ketentuan dalam Pasal 24
ayat (2) dan apabila tidak memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan,
maka pangan tersebut tidak dapat diperdagangkan. Misalnya, terhadap suatu
pangan tertentu telah ditetapkan standar mutu berdasarkan peruntukannya
bagi konsumsi langsung manusia dan ternyata tidak memenuhi standar, maka
pangan tersebut tidak dapat diperdagangkan untuk dikonsumsi langsung.
Namun,        hal   ini   tidak   berarti   bhawa   pangan    tersebut   tidak   dapat
diperdagangkan untuk tujuan lain, misalnya, untuk digunakan lebih lanjut
sebagai bahan baku pangan dengan tetap memperhatikan standar mutu yang
mungkin berlaku dan ditetapkan berdasarkan peruntukkannya sebagai bahan
baku pangan.


Huruf b
Ketentuan ini berlaku terutama apabila terdapat janji dari pihak yang
memproduksi          pangan       untuk     diperdagangkan      atau     pihak    yang
memperdagangkan bahwa pangan yang bersangkutan memenuhi suatu
standar mutu tertentu, tetapi ternyata tidak memenuhi standar mutu yang
dijanjikan tersebut. Apabila menyangkut perdagangan pangan yang wajib
memenuhi standar mutu tertentu, yang ditetapkan berdasarkan ketentuan
dalam Pasal 24 ayat (2) tetapi tidak ada perjanjian tersendiri mengenai mutu
pangan tadi, maka janji dimaksud dianggap telah terjadi sekurang-kurangnya
sama dengan standar mutu tersebut. Suatu pangan dapat menjadi tidak
memenuhi standar mutu yang dijanjikan, misalnya, karena telah tercampur
atau sengaja dicampur dengan bahan lain sehingga satu atau lebih komposisi
pangan menjadi hilang, berkurang, atau bertambah secara berlebihan
sehingga tidak murni lagi dam mutunya tidak sama dengan standar mutu
yang berlaku atau yang dijanjikan.


Huruf c
Cukup jelas


Pasal 27
Ayat (1)
Perbaikan status gizi masyarakat pada ayat ini sudah termasuk di dalamnya
pengertian peningkatan status dan mutu gizi masyarakat.


Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "pangan olahan tertentu" pada ayat ini adalah
pangan olahan untuk konsumsi bagi kelompok tertentu, misalnya, susu
formula untuk bayi, pangan yang diperuntukkan bagi ibu hamil atau menyusui,
pangan khusus bagi penderita penyakit tertentu, atau pangan lain sejenis
yang      mempunyai   pengaruh     besar   terhadap   perkembangan   kualitas
kesehatan manusia. Yang dimaksud dengan "komposisi" adalah kandungan
zat-zat serta jumlahnya, yang harus terdapat di dalam pangan tersebut, baik
berupa zat gizi maupun non-gizi.


Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menanggulangi keadaan kekurangan dan
atau penurunan status gizi masyarakat, yang lazimnya dilakukan untuk
sementara waktu dan atau di wilayah tertentu sampai keadaan tersebut dapat
ditanggulangi.   Pangan    yang      banyak   dikonsumsi   oleh   masyarakat
kemungkinan besar dapat digunakan sebagai sarana untuk memperbaiki
status gizi masyarakat dengan cara menambahkan zat gizi yang diperlukan
dalam jenis pangan tersebut.


Ayat (4)
Kandungan gizi dalam pangan, sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3), merupakan salah satu faktor penentu dalam proses
pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu,
peranan setiap orang yang memproduksi pangan tersebut dalam rangka
perbaikan status gizi masyarakat menjadi sangat penting.
Apabila dalam rangka pelaksanaan ketentuan pada ayat (2) dan ayat (3)
Pemerintah menetapkan persyaratan tertentu bagi peningkatan kandungan
gizi suatu produk pangan, maka pihak yang memproduksi pangan tersebut
wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan.


Pasal 28
Ayat (1)
Kandungan gizi bahan baku pangan yang digunakan dalam kegiatan atau
proses pangan sangat menentukan mutu gizi pangan yang dihasilkan.
Namun, pada dasarnya kandungan gizi bahan baku pangan dapat mengalami
penurunan     dalam    proses   pengelolaan     pangan    yang   pada    akhirnya
mempengaruhi      kandungan     gizi   pangan    yang    dihasilkan.   Penurunan
kandungan gizi tidak dapat dihindarkan, tetapi hal tersebut dapat ditekan
seminimal mungkin melalui pola pengelolaan pangan yang tepat. Tata cara
tersebut dimulai sejak pemilihan bahan baku, penyiapan, penyimpanan,
pembuatan dan kegiatan atau proses lain sehingga menjadi produk jadi yang
siap diperdagangkan. Bagi pangan tertentu yang diproduksi secara masal
yang       mempunyai    jangkauan      yang   luas   Pemerintah        mewajibkan
penyelenggaraan tata cara pengelolaan yang dimaksud di atas.


Ayat (2)
Cukup jelas


Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Tujuan pemberian label pada pangan yang dikemas adalah agar masyarakat
yang membeli dan atau mengkonsumsi pangan memperoleh informasi yang
benar dan jelas tentang setiap produk pangan yang dikemas, baik
menyangkut asal, keamanan, mutu, kandungan gizi, maupun keterangan lain
yang      diperlukan   sebelum   memutuskan    akan    membeli   dan   atau
mengkonsumsi pangan tersebut. Ketentuan ini berlaku bagi pangan yang
telah melalui proses pengemasan akhir dan siap untuk diperdagangkan (pre-
packaged), tetapi tidak berlaku bagi perdagangan pangan yang dibungkus di
hadapan pembeli. Penggunaan label dalam kemasan selalu berkaitan dengan
aspek perdagangan.


Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas


Huruf b
Cukup jelas


Huruf c
Cukup jelas


Huruf d
Cukup jelas


Huruf e
Keterangan halal untuk suatu produk pangan sangat penting bagi masyarakat
Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam. Namun, pencantumannya
pada label pangan baru merupakan kewajiban apabila setiap orang yang
memproduksi pangan dan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah
Indonesia     untuk    diperdagangkan   menyatakan    bahwa   pangan   yang
bersangkutan adalah halal bagi umat Islam. Adapun keterangan tentang halal
dimaksudkan agar masyarakat terhindar dari mengkonsumsi pangan yang
tidak halal (haram).
Dengan pencantuman halal pada label pangan, dianggap telah terjadi
pernyataan dimaksud dan setiap orang yang membuat pernyataan tersebut
bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan itu.


Huruf f
Cukup jelas


Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "keterangan lain" adalah keterangan-keterangan
selain yang dimaksud pada ayat (2), misalnya, keterangan mengenai tata
cara penggunaan, kandungan gizi pangan, ataupun efek samping pangan
bagi kelompok masyarakat tertentu, seperti lanjut usia, pengidap penyakit
tertentu, atau mereka yang sedang menjalani program diet. Di samping itu,
Pemerintah dapat melarang pencantuman gambar atau tulisan pada label
yang dapat memberikan gambaran yang menyesatkan atau tidak benar,
misalnya, mencantumkan gambar buah jeruk segar pada minuman yang tidak
menggunakan jeruk sebagai bahan baku atau mencantumkan tulisan bahwa
susu formula dapat menggantikan fungsi air susu ibu (ASI).


Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas


Ayat (2)
Cukup jelas


Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "istilah asing" adalah bahasa, angka atau huruf selain
bahasa Indonesia, angka Arab atau huruf Latin, serta istilah teknis atau
ilmiah, misalnya, rumus kimia untuk menyebutkan suatu jenis bahan yang
digunakan dalam komposisi pangan.
Pasal 32
Yang dimaksud dengan "mengganti" dalam ketentuan ini adalah kegiatan
menghapus, mencabut, menutup, atau mengganti label, baik sebagian
maupun seluruhnya.


Pasal 33
Ayat (1)
Suatu "keterangan dianggap tidak benar" apabila keterangan tersebut
bertentangan dengan kenyataan sebenarnya atau tidak memuat keterangan
yang diperlukan agar keterangan tersebut dapat memberikan gambaran atau
kesan yang sebenarnya tentang pangan.
Yang dimaksud dengan "keterangan yang menyesatkan" adalah pernyataan
yang berkaitan dengan hal-hal seperti sifat, harga, bahan, mutu, komposisi,
manfaat, atau keamanan pangan yang meskipun benar, dapat menimbulkan
gambaran      yang   menyesatkan   pemahaman    mengenai    pangan    yang
bersangkutan.


Ayat (2)
Cukup jelas


Ayat (3)
Cukup jelas


Pasal 34
Ayat (1)
Dalam ketentuan ini, benar tidaknya suatu pernyataan halal dalam label atau
iklan tentang pangan tidak hanya dapat dibuktikan dari segi bahan baku
pangan, bahan tambahan pangan, atau bahan bantu lain yang dipergunakan
dalam memproduksi pangan, tetapi mencakup pula proses pembuatannya.


Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas


Pasal 36
Ayat (1)
Selain Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya, pemasukan
pangan ke dalam wilayah Indonesia harus tetap memperhatikan peraturan
perundang-undangan lain yang berlaku, misalnya, peraturan perundang-
undangan di bidang kepabeanan dan di bidang karantina hewan, iklan dan
tumbuhan.
Ayat (2)
Cukup jelas


Pasal 37
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi situasi atau keadaan
tertentu yang terjadi di negara asal pangan, yang diperkirakan dapat
mengurangi pemenuhan ketentuan tentang keamanan, mutu, dan atau gizi
pangan yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang ini.


Huruf a
Dasar pengujian dan atau pemeriksaan dimaksud sekurang-kurangnya
adalah     standar   pengujian     dan   atau   pemeriksaan   atas   pemenuhan
persyaratan keamanan, mutu, dan gizi, serta label pangan yang berlaku di
Indonesia.


Huruf b
Cukup jelas


Huruf c
Dalam hal pengujian atau pemeriksaan tersebut dilakukan di Indonesia,
penyelenggaraannya dapat dilakukan melalui sistem terpilih atau sistem lain
yang      dianggap   efisien,    tanpa   mengurangi   pemenuhan      persyaratan
keamanan, mutu, dan gizi, serta label tentang pangan yang berlaku.
Pasal 38
Cukup jelas


Pasal 39
Ketentuan ini dimaksudkan agar Pemerintah dapat mengawasi pangan yang
akan dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia, terutama untuk
pemenuhan persyaratan secara internasional. Hal ini penting agar citra
pangan nasional dapat diterima oleh pasar di luar negeri.


Pasal 40
Cukup jelas


Pasal 41
Ayat (1)
Tanggung jawab dimaksud tidak hanya berlaku bagi badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun tidak, tetapi juga bagi orang perseorangan
yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut, khususnya
mereka yang bertanggung jawab di bidang pengawasan keamanan pangan
pada badan usaha yang bersangkutan, baik berdasarkan kontrak kerja
maupun kesepakatan lain.


Ayat (2)
Persyaratan utama yang harus dibuktikan oleh penggugat atau ahli waris
adalah bahwa yang bersangkutan mengalami kerugian kesehatan atau
mengalami musibah kematian, dan hal tersebut merupakan akibat langsung
dari mengkonsumsi pangan olahan yang diproduksi oleh tergugat. Ahli waris
dalam mengajukan gugatan perlu melengkapi diri dengan bukti-bukti yang
sah secara hukum mengenai statusnya sebagai ahli waris dari orang yang
meninggal karena mengkonsumsi pangan olahan yang diproduksi oleh
tergugat.
Ayat (3)
Pembuktian di sini terutama dilakukan secara laboratoris, tetapi tidak
menutup penggunaan cara pembuktian lain dengan tetap melindungi
kepentingan pihak yang beritikad baik.


Ayat (4)
Tergugat mempunyai hak untuk membuktikan bahwa yang bersangkutan
tidak bersalah, atau bahwa alasan yang mendasari gugatan bukan
disebabkan oleh kesalahan atau kelalaiannya, atau bahwa kerugian yang
diderita penggugat diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaian pihak lain.


Ayat (5)
Cukup jelas


Pasal 42
Cukup jelas


Pasal 43
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kerugian materi" adalah kerugian yang bersifat
kebendaan yang dapat dinilai dengan uang. Sementara itu, yang dimaksud
dengan "korban manusia" adalah kerugian yang tidak dapat langsung dinilai
dengan uang seperti gangguan kesehatan, cacat badan dan atau psikis, baik
yang segera dapat diidentifikasi maupun yang tidak, serta kematian. Peranan
Pemerintah dalam hal ini semata-mata bersifat pelayanan dan dalam rangka
perlindungan kepentingan masyarakat yang mengkonsumsi pangan. Oleh
karena itu, hal ini harus dilaksanakan dengan itikad baik, terutama dalam hal
kerugian materi dan atau korban manusia yang terjadi secara nyata tidak
memungkinkan diajukannya gugatan secara individual atau terpisah. Dalam
hal Pemerintah melaksanakan kewenangannya berdasarkan ketentuan ini,
hak untuk mengajukan gugatan dari setiap korban tidak menjadi hilang.
Dalam kasus seperti ini hakim berwenang untuk menggabungkan atau
memeriksa secara terpisah gugatan yang diajukan berdasarkan fakta awal
yang ditemukan.
Ayat (2)
Dengan ketentuan ini segala bentuk penyelesaian atau keputusan yang
menguntungkan sehubungan dengan gugatan yang diajukan oleh Pemerintah
harus diserahkan kepada dan menjadi hak dari para korban atau ahli waris
korban.


Pasal 44
Cukup jelas


Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas


Ayat (2)
Cukup jelas


Pasal 46
Huruf a
Cadangan pangan nasional adalah persediaan pangan di seluruh pelosok
wilayah Indonesia untuk konsumsi manusia, bahan baku industri, dan untuk
menghadapi keadaan darurat.
Cadangan pangan nasional diupayakan berada di dalam negeri dan harus
senantiasa cukup untuk mengatasi masalah kekurangan pangan, atau
terjadinya berbagai kebutuhan yang mendadak akibat bencana, atau
pengaruh fluktuasi harga. Berbagai kekuatan ekonomi seperti pengusaha,
pedagang, atau koperasi didorong untuk mengelola cadangan pangan agar
pemenuhan kebutuhan pangan rakyat Indonesia senantiasa dapat dipenuhi.


Huruf b
Cukup jelas


Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Untuk mencegah timbulnya atau menanggulangi gejala kekurangan pangan,
Pemerintah dapat mengupayakan berbagai bentuk bantuan, antara lain,
bantuan pangan darurat, bantuan pangan dengan harga khusus, dan atau
bentuk bantuan lainnya. Selain itu, Pemerintah juga dapat mengambil
tindakan yang diperlukan untuk menanggulangi tindakan spekulasi atau
manipulasi dalam pengadaan dan peredaran pangan, yang secara langsung
atau tidak langsung mengganggu sistem pangan, termasuk mengganggu
ketersediaan pangan dengan harga yang terjangkau secara memadai.


Pasal 47
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "cadangan pangan Pemerintah" dalam ketentuan ini
adalah cadangan pangan yang dikelola atau dikuasai oleh Pemerintah.


Huruf b
Yang dimaksud dengan "cadangan pangan masyarakat" dalam ketentuan ini
adalah cadangan pangan yang dikelola atau dikuasai oleh masyarakat,
termasuk petani, koperasi, pedagang, dan industri rumah tangga.


Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "keadaan darurat" dalam ketentuan ini adalah
terjadinya peristiwa bencana alam, paceklik yang hebat, dan sebagainya yang
terjadi di luar kemampuan manusia untuk mencegah atau menghindarinya
meskipun dapat diperkirakan.


Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas


Huruf b
Cukup jelas
Pasal 48
Yang      dimaksud   dengan   "tindakan    yang       diperlukan   dalam    rangka
mengendalikan harga pangan tersebut" menurut ketentuan ini, antara lain,
berupa tindakan dalam rangka stabilisasi harga pangan yang dilakukan untuk
mencegah fluktuasi harga, baik yang dilakukan melalui mekanisme pasar
maupun melalui intervensi pasar, secara langsung ataupun tidak langsung.
Tindakan stabilisasi harga pangan juga merupakan upaya untuk menjamin
terciptanya harga yang wajar, baik dari sisi pihak yang memproduksi maupun
dari sisi masyarakat yang mengkonsumsi pangan. Untuk menunjang upaya
terciptanya harga pangan yang terkendali, Pemerintah perlu memelihara
cadangan pangan yang cukup di dalam negeri yang senantiasa dapat
dimanfaatkan untuk mengatasi fluktuasi harga atau kekurangan pangan yang
terjadi secara mendadak, baik akibat spekulasi, manipulai, maupun sebab lain
yang terjadi di dalam ataupun di luar negeri.


Pasal 49
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas


Huruf b
Peran serta masyarakat dalam upaya peningkatan kemampuan usaha kecil
akan didorong dan ditingkatkan dalam rangka pemberdayaan usaha kecil di
bidang pangan sehingga secara bertahap dapat memenuhi berbagai
ketentuan Undang-undang ini. Baik Pemerintah maupun masyarakat
menyelenggarakan      upaya    pembinaan        dan   pemasyarakatan       berbagai
ketentuan Undang-undang ini sehingga usaha kecil di bidang pangan dapat
tumbuh dan berkembang serta memenuhi berbagai persyaratan keamanan
pangan yang dapat menjamin kesehatan manusia.


Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas


Huruf e
Cukup jelas


Huruf f
Kerja sama dimaksud tidak hanya terbataspada tingkat kebijakan yang
bersifat umum, tetapi mencakup pula hal-hal yang konkret seperti pemberian
bantuan pangan kepada negara tetangga atau dalam rangka mewujudkan
cadangan pangan nasional. Misalnya, apabila produksi atau cadangan
pangan di dalam negeri jauh lebih besar daripada yang dibutuhkan dan untuk
membina hubungan baik antara Indonesia dan negara lain, maka kelebihan
itu dapat dipakai untuk membantu negara lain yang sedang mengalami
kelaparan atau kekurangan pangan.
Bantuan kepada negara sahabat ini dapat dilakukan selama tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional. Dengan demikian, dalam
melakukan kerja sama internasional untuk memperoleh bantuan pangan,
Pemerintah    harus   waspada   agar   semua    tawaran    tersebut   tidak
mengakibatkan keterikatan yang merugikan kepentingan nasional.


Huruf g
Cukup jelas


Ayat (2)
Cukup jelas


Pasal 50
Cukup jelas


Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Masyarakat dapat menyampaikan permasalahan, masukan, dan atau
pemecahan masalah dalam rangka penyempurnaan dan peningkatan sistem
pangan kepada Pemerintah, baik langsung maupun tidak langsung antara lain
melalui media cetak, media elektronik, atau seminar, baik secara individu,
kelompok, maupun organisasi profesi dan organisasi kemasyarakatan
lainnya. Khusus yang menyangkut perlindungan anggota masyarakat yang
dirugikan dan yang ingin mengajukan gugatan dapat dilakukan oleh orang
perseorangan, lembaga, atau organisasi bantuan hukum dengan surat kuasa
dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.


Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas


Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas


Huruf b
Yang dimaksud dengan "menghentikan" adalah perbuatan mencegah
keberangkatan dan atau membuat menjadi berhenti setiap sarana angkutan
yang dimaksud dlaam ketentuan ini, dan dilakukan oleh pejabat yang
berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Huruf c
Cukup jelas


Huruf d
Cukup jelas


Huruf e
Cukup jelas
Ayat (3)
Persyaratan surat perintah dalam ketentuan ini dimaksudkan agar tercipta
tertib pelaksanaan kewenangan pemeriksaan tersebut, sehingga memberikan
rasa aman terhadap pihak yang beritikad baik.


Ayat (4)
Ayat ini merujuk pada penyidikan sebagai tindak lanjut dari pemeriksaan,
karena tindakan penyidikan sudah diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku, antara lain, Undang-undang tentang Hukum Acara
Pidana,    Undang-undang    tentang   Kesehatan,   Undang-undang   tentang
Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, serta Undang-undang tentang Sistem
Budaya Tanaman.


Ayat (5)
Cukup jelas


Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas


Ayat (2)
Apabila dipandang perlu, Pemerintah dapat mengumumkan tindakan
administratif yang telah dikenakan.


Ayat (3)
Cukup jelas


Pasal 55
Cukup jelas


Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas


Pasal 58
Cukup jelas


Pasal 59
Cukup jelas


Pasal 60
Cukup jelas


Pasal 61
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kekurangan pangan yang sangat mendesak" adalah
keadaan     sangat   darurat   yang   ditandai   oleh   timbulnya   kelangkaan
ketersediaan pangan akibat bencana alam, wabah penyakit, kegagalan
panen, terjadinya perang, dan kelangkaan pasokan pangan di pasar dunia.
Yang dimaksud dengan "mengesampingkan" adalah langkah atau tindakan
untuk tidak mengikuti sebagian atau seluruh persyaratan yang dimaksud pada
ayat ini.


Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "memperhatikan keselamatan dan terjaminnya
kesehatan masyarakat" adalah langkah atau tindakan yang perlu dilakukan
agar tidak terjadi gangguan kesehatan masyarakat secara umum, misalnya,
menyebarnya wabah penyakit menular dan kekurangan pangan (busung
lapar) dengan selalu tetap memberikan prioritas bagi terjaminnya kecukupan
pangan bagi golongan rawan.


Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Kalangan rumah tangga perlu dikecualikan dari pelaksanaan Undang-undang
ini. Kata "diproduksi dan dikonsumsi" dalam pasal ini dimaksudkan sebagai
pengolahan    pangan   untuk   dikonsumsi   sendiri   oleh   keluarga   yang
bersangkutan. Adapun terhadap peredaran pangan olahan hasil usaha kecil,
baik informal maupun tradisional, Pemerintah akan melakukan pembinaan
dan pengaturan secara bertahap.


Pasal 64
Cukup jelas


Pasal 65
Cukup jelas


 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3656


Silahkan download versi PDF nya sbb:
pangan_(uu_7_thn_1996)_7.pdf
(ogi/Carapedia)
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.