- Home »
- Undang-Undang »
- 1981 » Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU 8 thn 1981)
1981
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU 8 thn 1981)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana :
Silahkan download versi PDF nya sbb:
hukum_acara_pidana_(uu_8_thn_1981)_8.pdf
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 1981
TENTANG
HUKUM ACARA PIDANA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang
menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya;
b. bahwa demi pembangunan di bidang hukum sebagaimana termaktub dalam Garis-garis
Besar Haluan Negara (Ketetapan Majelis Permusyawaratan. Rakyat Republik Indonesia
Nomor IV/MPR/1978) perlu mengadakan usaha peningkatan dan penyempurnaan
pembinaan hukum nasional dengan mengadakan pembaharuan kodifikasi serta unifikasi
hukum dalam rangkuman pelaksanaan secara nyata dari Wawasan Nusantara;
c. bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana
adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan
pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang
masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat
dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara
hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945;
d. bahwa hukum acara pidana sebagai yang termuat dalam Het Herziene Inlandsch
Reglement (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) dihubungkan dengan dan Undang-
undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 81) serta semua peraturan pelaksanaannya dan ketentuan
yang diatur dalam perundang-undangan lainnya sepanjang hal itu mengenai hukum
acara pidana, perlu dicabut, karena sudah tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional;
e. bahwa - oleh karena itu perlu mengadakan undang-undang tentang hukum acara pidana
untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan
Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta kewajiban bagi mereka yang ada dalam
proses pidana, sehingga dengan demikian dasar utama negara hukum dapat
ditegakkan.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1978;
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketent uan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran N egara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2951).
Dengan Persetujuan:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN:
Dengan mencabut:
1. Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) dihubungkan
dengan dan Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951
Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81) beserta semua peraturan
pelaksanaannya;
2. Ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain; dengan ketentuan
bahwa yang tersebut dalam angka 1 dan angka 2, sepanjang hal itu mengenai hukum
acara pidana.
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG HUKUM ACARA PIDANA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam undang-undang ini dengan:
1. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri
sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan;
2. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya;
3. Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena
diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-
undang ini;
4. Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan;
5. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini;
6. a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak
sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
7. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di
sidang pengadilan;
8. Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk mengadili;
9. Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus
perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini;
10. Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau
pihak lain atas kuasanya yang perkaranya ti dak diajukan ke pengadilan.
11. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan
terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini;
12. Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan
pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk
mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini;
13. Penasihat hukum adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau
berdasar undang-undang untuk memberi bantuan hukum;
14. Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan
bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana;
15. Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang
pengadilan;
16. Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau
menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud
atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan
peradilan;
17. Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal
dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan
dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini;
18. Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan
dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang didup keras ada pada badannya
atau dibawanya serta, untuk disita;
19. Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak
pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau
sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau
apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah
pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu;
20. Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu
kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan
penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini;
21. Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh
penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini;
22. Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang
berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya
atau hukum yang diterapkan menurut c ara yang diatur dalam undang-undang ini;
23. Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan,
kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan,
penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya
atau hukum yang diterapkan menurut c ara yang diatur dalam undang- undang ini;
24. Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau
kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah
atau sedang atau diduga akan terj adinya peristiwa pidana;
25. Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan
kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah
melakukan tindak pidana aduan yang merugi kannya;
26. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri dan ia alami sendiri;
27. Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa
keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu;
28. Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian
khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan;
29. Keterangan anak adalah keterangan yang diberikan oleh seorang anak tentang hal yang
diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini;
30. Keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan darah sampai derajat tertentu atau
hubungan perkawinan dengan mereka yang terlibat dalam suatu proses pidana
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini;
31. Satu hari adalah dua puluh empat jam dan satu bul an adalah waktu tiga puluh hari;
32. Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
BAB II
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG
Pasal 2
Undang-undang ini berlaku untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan
peradilan umum pada semua tingkat peradilan.
BAB III
DASAR PERADILAN
Pasal 3
Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
BAB IV
PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM
Bagian Kesatu
Penyelidik dan Penyidik
Pasal 4
Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia.
Pasal 5
(1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4:
a. karena kewajibannya mempunyai wewenang:
1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana;
2. mencari keterangan dan barang bukti;
3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang ber tanggung jawab.
b. atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan
penahanan;
2. pemeriksaan dan penyitaan surat;
3. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
4. membawa dan menghadapk an seorang pada penyidik.
(2) Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan
sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penyidik.
Pasal 6
(1) Penyidik adalah:
a. pejabat polisi negara Republik Indonesia;
b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-
undang.
(2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih
lanjut dalam peraturan pemerintah.
Pasal 7
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya
mempunyai wewenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau sak si;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang
sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan
dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik
tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a;
(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2),
penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
Pasal 8
(1) Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 75 dengan tidak mengurangi ketentuan lain dalam undang-undang ini;
(2) Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
(3) Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan:
a. pada tahap pert ama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;
b. dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung
jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.
Pasal 9
Penyelidik dan penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a mempunyai
wewenang melakukan tugas masing-masing pada umumnya di seluruh wilayah Indonesia,
khususnya di daerah hukum masing-masing di mana ia diangkat sesuai dengan ketentuan
undang-undang.
Bagian Kedua
Penyidik Pembantu
Pasal 10
(1) Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang diangkat
oleh Kepala Kepolisian negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan
dalam ayat (2) pasal ini;
(2) Syarat kepangkatan sebagaimana tersebut pada ayat (1) diatur dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 11
Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali
mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik.
Pasal 12
Penyidik pembantu membuat berita acara dan, menyerahkan berkas perkara kepada penyidik,
kecuali perkara dengan acara pemeriksaan singkat yang dapat langsung diserahkan kepada
penuntut umum.
Bagian Ketiga
Penuntut Umum
Pasal 13
Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Pasal 14
Penuntut umum mempunyai wewenang:
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik
pembantu;
b. mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk
dalam rangka penyempurnaan pen yidikan dari penyidik;
c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan
dan atau mengubah st atus tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d. membuat surat dakwaan;
e. melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu
perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun
kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
g. melakukan penuntutan;
h. menutup perkara demi kepentingan hukum;
i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut
umum menurut ketentuan undang-undang ini;
j. melaksanakan penetapan hakim.
Pasal 15
Penuntut umum menuntut perkara tindak pidana yang terjadi dalam daerah hukumnya menuru t
ketentuan undang-undang.
BAB V
PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKAN RUMAH,
PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT
Bagian Kesatu
Penangkapan
Pasal 16
(1) Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang
melakukan penangkapan;
(2) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan
penangkapan.
Pasal 17
Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak
pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Pasal 18
(1) Pelaksanaan tugas penangkapan. dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik
Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka
surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan
alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta
tempat ia diperiksa;
(2) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan
ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang
bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat;
(3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
Pasal 19
(1) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan untuk paling
lama satu hari;
(2) Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal
ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa
alasan yang sah.
Bagian Kedua
Penahanan
Pasal 20
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan;
(2) Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau
penahanan l anjutan;
(3) Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya
berwenang melakukan penahanan.
Pasal 21
(1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka
atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang
cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka
atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau
mengulangi tindak pidana;
(2) Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum
terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau
penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan
menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang
dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan;
(3) Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya;
(4) Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang
melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak
pidana tersebut dal am hal:
a. tindak pidana itu diancam dengan pi dana penjara lima tahun atau lebih;
b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal
335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal
379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnanti e
(pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan
Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-
undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955,
Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42,
Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang
Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3086).
Pasal 22
(1) Jenis penahanan dapat berupa:
a. penahanan rumah t ahanan negara;
b. penahanan rumah;
c. penahanan kota.
(2) Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman
tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk
menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan,
penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan;
(3) Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka
atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu
yang ditentukan;
(4) Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang
dijatuhkan;
(5) Untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima dari jumlah lamanya waktu
penahanan sedangkan untuk penahanan rumah sepertiga dari jumlah lamanya waktu
penahanan.
Pasal 23
(1) Penyidik atau penuntut umum atau hakim berwenang untuk mengalihkan jenis
penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22;
(2) Pengalihan jenis penahanan dinyatakan secara tersendiri dengan surat perintah dari
penyidik atau penuntut umum atau penetapan hakim yang tembusannya diberikan
kepada tersangka atau terdakwa serta keluarganya dan kepada instansi yang
berkepentingan.
Pasal 24
(1) Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari;
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang
berwenang untuk paling lama empat puluh hari;
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika
kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi;
(4) Setelah waktu enam puluh hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka
dari tahanan demi hukum.
Pasal 25
(1) Perintah penahanan yang diberikan oleh penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari;
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang
berwenang untuk paling lama tiga puluh hari;
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika
kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi;
(4) Setelah waktu lima puluh hari tersebut, penuntut umum harus sudah mengeluarkan
tersangka dari tahanan demi hukum.
Pasal 26
(1) Hakim pengadilan negeri yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
84, guna kepentingan pemeriksaan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan
untuk paling lama tiga puluh hari;
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang
bersangkutan untuk paling lama enam pul uh hari;
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika
kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi;
(4) Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa
harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Pasal 27
(1) Hakim pengadilan tinggi yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
87, guna kepentingan pemeriksaan banding berwenang mengeluarkan surat perintah
penahanan unt uk paling lama tiga puluh hari;
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan tinggi yang
bersangkutan untuk paling lama enam pul uh hari;
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika
kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi;
(4) Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa
harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Pasal 28
(1) Hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
88, guna kepentingan pemeriksaan kasasi berwenang mengeluarkan surat perintah
penahanan unt uk paling lama puluh hari;
(2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung
untuk paling lama enam puluh hari;
(3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika
kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi;
(4) Setelah waktu seratus sepuluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa
harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Pasal 29
(1) Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal
25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan
terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasar alasan yang patut dan
tidak dapat dihindarkan karena:
a. tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang
dibuktikan dengan surat keterangan dokter; atau
b. perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun
atau lebih.
(2) Perpanjangan tersebut pada ayat (1) diberikan untuk paling lama tiga puluh hari dan
dalam hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling
lama tiga puluh hari;
(3) Perpanjangan penahanan tersebut atas dasar permintaan dan laporan pemeriksaan
dalam tingkat:
a. penyidikan dan penuntutan diberikan oleh ketua pengadilan negeri;
b. pemeriksaan di pengadilan negeri diberikan oleh ketua pengadilan tinggi;
c. pemeriksaan banding diberikan oleh Mahkamah Agung;
d. pemeriksaan kasasi diberikan oleh Ketua Mahkamah Agung.
(4) Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat tersebut pada ayat (3)
dilakukan secara bertahap dan dengan penuh tanggun g jawab;
(5) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya tersangka atau terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu
penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah dipenuhi;
(6) Setelah waktu enam puluh hari, walaupun perkara tersebut belum selesai diperiksa atau
belum diputus, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi
hukum;
(7) Terhadap perpanjangan penahanan tersebut pada ayat (2) tersangka atau terdakwa
dapat mengajukan keberatan dalam tingkat:
a. penyidikan dan penuntutan kepada ketua pengadilan tinggi;
b. pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding kepada Ketua
Mahkamah Agung.
Pasal 30
Apabila tenggang waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26,
Pasal 27 dan Pasal 28 atau perpanjangan penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 29
ternyata tidak sah, tersangka atau terdakwa berhak minta ganti kerugian sesuai dengan
ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 95 dan Pasal 96.
Pasal 31
(1) Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim,
sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan
penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat
yang ditentukan;
(2) Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu-waktu dapat
mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar
syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Bagian Ketiga
Penggeledahan
Pasal 32
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau
penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam
undang-undang ini.
Pasal 33
(1) Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan
penyidikan dapat mengadakan penggeledahan yang diperlukan;
(2) Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian negara
Republik Indonesia dapat memasuk i rumah;
(3) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka
atau penghuni menyetujuinya;
(4) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan
dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir;
(5) Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau -menggeledah rumah, harus dibuat
suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah
yang bersangkutan.
Pasal 34
(1) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera
bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak
mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan:
a. pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang
ada di atasnya;
b. pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada;
c. di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya;
d. di tempat penginapan dan tempat umum lainnya.
(2) Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan seperti dimaksud dalam ayat (1) penyidik
tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak
merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali
benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan atau yang diduga
telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera
melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh
persetujuannya.
Pasal 35
Kecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan memasuki:
a. ruang di mana sedang berlangsung sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
b. tempat di mana sedang berlangsung ibadah dan atau upac ara keagamaan;
c. ruang dimana sedang berlangsung sidang pengadilan.
Pasal 36
Dalam hal penyidik harus melakukan penggeledahan rumah di luar daerah hukumnya, dengan
tidak mengurangi ketentuan tersebut dalam Pasal 33, maka penggeledahan tersebut harus
diketahui oleh ketua pengadilan negeri dan didampingi oleh penyidik dari daerah hukum di
mana penggeledahan itu dilakukan.
Pasal 37
(1) Pada waktu menangkap tersangka, penyelidik hanya berwenang menggeledah pakaian
termasuk benda yang dibawanya serta, apabila terdapat dugaan keras dengan alasan
yang cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang dapat disita;
(2) Pada waktu menangkap tersangka atau dalam hal tersangka sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dibawa kepada penyidik, penyidik berwenang menggeledah pakaian dan
atau menggeledah badan tersangka.
Bagian Keempat
Penyitaan
Pasal 38
(1) Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan
negeri setempat;
(2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera
bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa
mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda
bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri
setempat guna memperol eh persetujuannya.
Pasal 39
(1) Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga
diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana
atau untuk mempersiapkannya;
c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang
dilakukan.
(2) Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata' atau karena pailit dapat juga
disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana,
sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).
Pasal 40
Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang
patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat
dipakai sebagai barang bukti.
Pasal 41
Dalam hal tertangkap tangan penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang
pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan
atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut
diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal daripadanya dan untuk itu kepada tersangka
dan atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi
atau pengangkutan yang bersangkutan, harus diberikan surat tanda penerimaan.
Pasal 42
(1) Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat
disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan
kepada yang menyerahk an benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan;
(2) Surat atau tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk diserahkan kepada penyidik jika
surat atau tulisan itu berasal dari tersangka atau terdakwa atau ditujukan kepadanya
atau kepunyaannya atau diperuntukkan baginya atau jikalau benda tersebut merupakan
alat untuk melakukan tindak pidana.
Pasal 43
Penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang
untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan
atas persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua pengadilan negeri setempat kecuali
undang-undang menentukan lain.
Pasal 44
(1) Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara;
(2) Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab
atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam
proses peradilan dan benda tersebut di larang untuk dipergunakan oleh siapapun juga.
Pasal 45
(1) Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang
membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan
terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya
penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan
persetujuan tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut:
a. apabila perkara masih ada di tangan penyidik atau penuntut umum, benda
tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau penuntut
umum, dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya;
b. apabila perkara sudah ada di tangan pengadilan, maka benda tersebut dapat
diamankan atau dijual lelang oleh penuntut umum atas izin hakim yang
menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya.
(2) Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai barang
bukti;
(3) Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian dari benda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1);
(4) Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi
kepentingan negara atau untuk dimusnahkan.
Pasal 46
(1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari
siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak
apabila:
a. kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
b. perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak
merupakan tindak pidana;
c. perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut
ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana
atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
(2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan
kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika
menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau
untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau, jika benda tersebut masih
diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.
Bagian Kelima
Pemeriksaan Surat
Pasal 47
(1) Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat lain yang dikirim melalui kantor
pos dan. telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan jika
benda tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat mempunyai hubungan dengan
perkara pidana yang sedang diperiksa, dengan izin khusus yang diberikan untuk itu dari
ketua pengadilan negeri;
(2) Untuk kepentingan tersebut penyidik dapat meminta kepada kepala kantor pos dan
telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain
untuk menyerahkan kepadanya surat yang dimaksud dan untuk itu harus diberikan surat
tanda penerimaan;
(3) Hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) pasal ini, dapat dilakukan pada
semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan menurut ketentuan yang diatur
dalam ayat tersebut.
Pasal 48
(1) Apabila sesudah dibuka dan diperiksa, ternyata bahwa surat itu ada hubungannya
dengan perkara ya ng sedang diperiksa, surat tersebut dilampirkan pada berkas perkara;
(2) Apabila sesudah diperiksa ternyata surat itu tidak ada hubungannya dengan perkara
tersebut, surat itu ditutup rapi dan segera diserahkan kembali kepada kantor pos dan
telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain setelah
dibubuhi cap yang berbunyi "telah dibuka oleh penyidik" dengan dibubuhi tanggal, tanda
tangan beserta identitas penyidik;
(3) Penyidik dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan
wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan isi surat
yang dikembalikan itu.
Pasal 49
(1) Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
48 dan Pasal 75;
(2) Turunan berita acara tersebut oleh penyidik dikirimkan kepada kepala kantor pos dan
telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang
bersangkutan.
BAB VI
TERSANGKA DAN TERDAKWA
Pasal 50
(1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat
diajukan kepada penuntut umum;
(2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum;
(3) Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan.
Pasal 51
Untuk mempersiapkan pembelaan:
a. tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti
olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai;
b. terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti
olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya.
Pasal 52
Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak
memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.
Pasal 53
(1) Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa
berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 177;
(2) Dalam hal tersangka atau terdakwa bisu dan atau tuli diberlakukan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178.
Pasal 54
Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari
seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat
pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 55
Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam Pasal 54, tersangka atau terdakwa
berhak memilih sendiri penasihat hukumnya.
Pasal 56
(1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih
atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih
yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada
semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum
bagi mereka;
(2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.
Pasal 57
(1) Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi penasihat
hukumnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini;
(2) Tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan penahanan
berhak menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya dalam menghadapi
proses perkaranya.
Pasal 58
Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan menerima
kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya
dengan proses perkara maupun tidak.
Pasal 59
Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan tentang
penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan dalam
proses peradilan, kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau
terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa untuk
mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya.
Pasal 60
Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang
mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau terdakwa guna
mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan
bantuan hukum.
Pasal 61
Tersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat
hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak
ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau
untuk kepentingan kekeluargaan.
Pasal 62
(1) Tersangka atau terdakwa berhak mengirim surat kepada penasihat hukumnya, dan
menerima surat dari penasihat hukumnya dan sanak keluarga setiap kali yang
diperlukan olehnya, untuk keperluan itu bagi tersangka atau terdakwa disediakan alat
tulis menulis;
(2) Surat menyurat antara tersangka atau terdakwa dengan penasihat hukumnya atau
sanak keluarganya tidak diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat
rumah tahanan negara kecuali jika terdapat cukup alasan untuk diduga bahwa surat
menyurat itu disalahgunakan;
(3) Dalam hal surat untuk tersangka atau terdakwa itu ditilik atau diperiksa oleh penyidik,
penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara, hal itu diberitahukan kepada
tersangka atau terdakwa dan surat tersebut dikirim kembali kepada pengirimnya setelah
dibubuhi cap yang berbunyi "telah ditilik".
Pasal 63
Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniwan.
Pasal 64
Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.
Pasal 65
Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau
seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan
bagi dirinya.
Pasal 66
Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.
Pasal 67
Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan
tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang
menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara
cepat.
Pasal 68
Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur
dalam Pasal 95 dan selanjutnya.
BAB VII
BANTUAN HUKUM
Pasal 69
Penasihat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada
semua tingkat pemeriksaan menurut t ata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 70
(1) Penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 berhak menghubungi dan
berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk
kepentingan pembelaan perkaranya;
(2) Jika terdapat bukti bahwa penasihat hukum tersebut menyalahgunakan haknya dalam
pembicaraan dengan tersangka maka sesuai dengan tingkat pemeriksaan, penyidik,
penuntut umum atau petugas lembaga pemasyarakatan membeli peringatan kepada
penasihat hukum;
(3) Apabila peringatan tersebut tidak diindahkan, maka hubungan tersebut diawasi oleh
pejabat yang tersebut pada ayat (2);
(4) Apabila setelah diawasi, haknya masih disalahgunakan, maka hubungan tersebut
disaksikan oleh pejabat tersebut pada ayat (2) dan apabila setelah itu tetap dilanggar
maka hubungan selanjutnya dilarang.
Pasal 71
(1) Penasihat hukum, sesuai dengan tingkat pemeriksaan, dalam berhubungan dengan
tersangka diawasi oleh penyidik, penuntut umum atau petugas lembaga
pemasyarakatan tanpa mendengar isi pembicaraan;
(2) Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara, pejabat tersebut pada ayat (1) dapat
mendengar isi pembicaraan.
Pasal 72
Atas permintaan tersangka atau penasihat hukumnya pejabat yang bersangkutan memberikan
turunan berita acara pemeriksaan untuk kepentingan pembelaannya.
Pasal 73
Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka setiap kali dikehendaki
olehnya.
Pasal 74
Pengurangan kebebasan hubungan antara penasihat hukum dan tersangka sebagaimana
tersebut pada Pasal 70 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 71 dilarang, setelah perkara
dilimpahkan oleh penuntut umum k epada pengadilan negeri untuk disidangkan, yang tembusan
suratnya disampaikan kepada tersangka atau penasihat hukumnya serta pihak lain dalam
proses.
BAB VIII
BERITA ACARA
Pasal 75
(1) Berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang:
a. pemeriksaan tersangka;
b. penangkapan;
c. penahanan;
d. penggeledahan;
e. pemasukan rumah;
f. penyitaan benda;
g. pemeriksaan surat;
h. pemeriksaan saksi;
i. pemeriksaan di tempat kejadian;
j. pelaksanaan penetapan dan put usan pengadilan;
k. pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dal am undang-undang ini.
(2) Berita acara dibuat oleh pejabat yang bersangkutan dalam melakukan tindakan tersebut
pada ayat (1) dan dibuat atas kekuatan sumpah jabatan;
(3) Berita acara tersebut selain ditandatangani oleh pejabat tersebut pada ayat (2)
ditandatangani pula oleh semua pihak yang terlibat dalam tindakan tersebut pada ayat
(1).
BAB IX
SUMPAH ATAU JANJI
Pasal 76
(1) Dalam hal yang berdasarkan ketentuan dalam undang-undang ini diharuskan adanya
pengambilan sumpah atau janji, maka untuk keperluan tersebut dipakai peraturan
perundang-undangan tentang sumpah atau janji yang berlaku, baik mengenai isinya
maupun mengenai tatacaranya;
(2) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi, maka sumpah
atau janji tersebut batal menurut hukum.
BAB X
WEWENANG PENGADILAN UNTUK MENGADILI
Bagian Kesatu
Praperadilan
Pasal 77
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam undang-undang ini tentang:
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan
pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Pasal 78
(1) Yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
77 adalah praperadilan;
(2) Pra Peradilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri
dan dibantu oleh seorang panitera.
Pasal 79
Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan
diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebutkan alasannya.
Pasal 80
Permintaan untuk memeriksa sah atau ti daknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan
dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan
kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
Pasal 81
Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau
penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh
tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebut alasannya.
Pasal 82
(1) Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79,
Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut:
a. dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan , hakim yang ditunjuk
menetapkan hari sidang;
b. dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau
penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan,
permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan
atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada
benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar
keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang
berwenang;
c. pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari
hakim harus sudah menjatuhkan putusannya;
d. dalam hal suatu perkara sudah mulai. diperiksa oleh pengadilan negeri,
sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan belum
selesai, maka permintaan tersebut gugur;
e. putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk
mengadakan pemeriksaan, praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh
penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru.
(2) Putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan mengenai hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81, harus memuat dengan jelas dasar
dan alasannya;
(3) Isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga
memuat hal sebagai berikut:
a. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan
tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan
masing-masing harus segera membebaskan tersangka;
b. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau
penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib
dilanjutkan;
c. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak
sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan
rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan
atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dal am putusan
dicantumkan rehabilitasinya;
d. dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang ti dak termasuk
alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus
segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.
(4) Ganti kerugian dapat diminta, yang meliputi hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77
dan Pasal 95.
Pasal 83
(1) Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79,
Pasal 80 dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding;
(2) Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan
tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan
putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.
Bagian Kedua
Pengadilan Negeri
Pasal 84
(1) Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang
dilakukan dalam daerah hukumnya;
(2) Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam
terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara
terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih
dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri
yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan;
(3) Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam daerah hukum
pelbagai pengadilan negeri, maka tiap pengadilan negeri itu masing-masing berwenang
mengadili perkara pidana itu;
(4) Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut pautnya dan
dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum pelbagai pengadilan negeri, diadili oleh
masing-masing pengadilan negeri dengan ketentuan dibuka kemungkinan
penggabungan perk ara tersebut.
Pasal 85
Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri untuk mengadili suatu
perkara, maka atas usul ketua pengadilan negeri atau kepala` kejaksaan negeri yang
bersangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan
atau menunjuk pengadilan negeri lain daripada yang tersebut pada Pasal 84 untuk mengadili
perkara yang dimaksud.
Pasal 86
Apabila seorang melakukan tindak pidana di luar negeri yang dapat diadili menurut hukum
Republik Indonesia, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengadilinya.
Bagian Ketiga
Pengadilan Tinggi
Pasal 87
Pengadilan tinggi berwenang mengadili perkara yang diputus oleh pengadilan negeri dalam
daerah hukumnya yang dimintakan banding.
Bagian Keempat
Mahkamah Agung
Pasal 88
Mahkamah A gung berwenang mengadili semua perkara pidana yang dimintakan kasasi.
BAB XI
KONEKSITAS
Pasal 89
(1) Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan
peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan
dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan
diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer;
(2) Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh
suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan
polisi militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan oditur militer atau oditur militer
tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku
untuk penyidikan perkara pidana;
(3) Tim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk dengan surat keputusan bersama
Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Ment eri Kehakiman.
Pasal 90
(1) Untuk menetapkan apakah pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang akan mengadili perkara pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), diadakan penelitian bersama oleh
jaksa atau jaksa tinggi dan oditur militer atau oditur militer tinggi atas dasar hasil
penyidikan tim tersebut pada Pasal 89 ayat (2);
(2) Pendapat dari penelitian bersama tersebut dituangkan dalam berita acara yang
ditandatangani oleh para pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1);
(3) Jika dalam penelitian bersama itu terdapat persesuaian pendapat tentang pengadilan
yang berwenang mengadili perkara tersebut, maka hal itu dilaporkan oleh jaksa atau
jaksa tinggi kepada Jaksa Agung dan oleh oditur militer atau oditur militer tinggi kepada
Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Pasal 91
(1) Jika menurut pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) titik berat
kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan umum
dan karenanya perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum, maka perwira penyerah perkara segera membuat surat keputusan
penyerahan perkara yang diserahkan melalui oditur militer atau oditur militer tinggi
kepada penuntut umum, untuk dijadikan dasar mengajukan perkara tersebut kepada
pengadilan negeri yang berwenang;
(2) Apabila menurut pendapat itu titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana
tersebut terletak pada kepentingan militer sehingga perkara pidana itu harus diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, maka pendapat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 90 ayat (3) dijadikan dasar bagi Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia untuk mengusulkan kepada Menteri Pertahanan dan Keamanan,
agar dengan persetujuan Menteri Kehakiman dikeluarkan keputusan Menteri Pertahanan
dan Keamanan yang menetapkan, bahwa perkara pidana tersebut diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer;
(3) Surat keputusan tersebut pada ayat (2) dijadikan dasar bagi perwira penyerah perkara
dan jaksa atau jaksa tinggi untuk menyerahkan perkara tersebut kepada mahkamah
militer atau mahkamah militer tinggi.
Pasal 92
(1) Apabila perkara diajukan kepada pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
91 ayat (1), maka berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh tim sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 89 ayat (2) dibubuhi catatan oleh penuntut umum yang mengajukan
perkara, bahw a berita acara tersebut telah diambil alih olehnya;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga bagi oditur militer atau
oditur militer tinggi apabila perkara tersebut akan diajukan kepada pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer.
Pasal 93
(1) Apabila dalam penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) terdapat
perbedaan pendapat antara penuntut umum dan oditur militer atau oditur militer tinggi,
mereka masing-masing melaporkan tentang perbedaan pendapat itu secara tertulis,
dengan disertai berkas perkara yang bersangkutan melalui jaksa tinggi, kepada Jaksa
Agung dan kepada Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;
(2) Jaksa Agung dan Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
bermusyawarah untuk mengambil keputusan guna mengakhiri perbedaan pendapat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1);
(3) Dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara Jaksa Agung dan Oditur Jenderal
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, pendapat Jaksa Agung yang menentukan.
Pasal 94
(1) Dalam hal perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau lingkungan peradilan militer, yang
mengadili perkara tersebut adalah majelis hakim yang terdiri dari sekurang-kurangnya
tiga orang hakim;
(2) Dalam hal pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang mengadili perkara pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), majelis hakim terdiri dari hakim ketua
dari lingkungan peradilan umum dan hakim anggota masing-masing ditetapkan dari
peradilan umum dan peradilan militer secara berimbang;
(3) Dalam hal pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang mengadili perkara pidana
tersebut pada Pasal 89 ayat (1), majelis hakim terdiri dari, hakim ketua dari lingkungan
peradilan militer dan hakim anggota secara berimbang dari masing-masing lingkungan
peradilan militer dan dari peradilan umum yang diberi pangkat militer tituler;
(4) Ketentuan tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi pengadilan tingkat
banding;
(5) Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan dan Keamanan secara timbal balik
mengusulkan pengangkatan hakim anggota sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat
(3) dan ayat (4) dan hakim perwira sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4).
BAB XII
GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI
Bagian Kesatu
Ganti Kerugian
Pasal 95
(1) Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap,
ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan
undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkan;
(2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau
penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau
karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang
praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77;
(3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka,
terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili
perkara yang bersangkutan;
(4) Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1)
ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili
perkara pidana yang bersangkutan;
(5) Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti
acara praperadilan.
Pasal 96
(1) Putusan pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan;
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat dengan lengkap semua hal
yang dipertimbangkan sebagai alasan bagi putusan tersebut.
Bagian Kedua
Rehabilitasi
Pasal 97
(1) Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau
diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan
hukum tetap;
(2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1);
(3) Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang
diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam
Pasal 77.
BAB XIII
PENGGABUNGAN PERKARA GUGATAN GANTI KERUGIAN
Pasal 98
(1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara
pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka haki m ketua
sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara
gugatan ganti kerugian kepada perkara pi dana itu;
(2) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan selambat-
lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut
umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim
menjatuhkan putusan.
Pasal 99
(1) Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang
tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar
gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak
yang dirugikan tersebut;
(2) Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima,
putusan hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang
telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan;
(3) Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan tetap, apabila
putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum t etap.
Pasal 100
(1) Apabila terjadi penggabungan antara perkara perdata dan perkara pidana, maka
penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding;
(2) Apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, maka
permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan.
Pasal 101
Ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang
dalam undang-undang ini tidak diatur lain.
BAB XIV
PENYIDIKAN
Bagian Kesatu
Penyelidikan
Pasal 102
(1) Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya
suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan
tindakan penyelidikan yang diperlukan;
(2) Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera
melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut
pada Pasal 5 ayat (1) huruf b;
(3) Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) penyelidik wajib
membuat ber ita acara dan melaporkannya kepada penyidik sedaerah hukum.
Pasal 103
(1) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh
pelapor atau pengadu;
(2) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan
ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyelidik;
(3) Dalam hal pelapor atau pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus disebutkan sebagai
catatan dalam laporan atau pengaduan tersebut.
Pasal 104
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik, wajib menunjukkan tanda pengenalnya.
Pasal 105
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk
oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.
Bagian Kedua
Penyidikan
Pasal 106
Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu
peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan
penyidikan yang diperlukan.
Pasal 107
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a
memberikan petunjuk kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan
memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan;
(2) Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana sedang dalam
penyidikan oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan kemudian ditemukan
bukti yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum, penyidik tersebut pada Pasal 6
ayat (1) huruf b melaporkan hal itu kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf
a;
(3) Dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1)
huruf b, ia segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui
penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.
Pasal 108
(1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa
yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan
kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis;
(2) Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik
wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik;
(3) Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang
terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu
kepada penyelidik atau penyidik;
(4) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh
pelapor atau pengadu;
(5) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyidik dan
ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik;
(6) Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan
surat tanda peneri maan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan.
Pasal 109
(1) Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan
tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum;
(2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau
peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan
demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka
atau keluarganya;
(3) Dalam hal penghentian tersebut pada ayat (2) dilakukan oleh penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, pemberitahuan mengenai hal itu segera
disampaikan kepada penyidik dan penuntut umum.
Pasal 110
(1) Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera
menyerahkan berkas perkara i tu kepada penuntut umum ;
(2) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih
kurang lengkap, penuntut umum segera mengembal ikan berkas perkara itu kepada
penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi;
(3) Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik
wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut
umum;
(4) Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum
tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut
berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.
Pasal 111
(1) Dalam hal tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang
mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketenteraman dan keamanan umum
wajib, menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada
penyelidik atau penyidik;
(2) Setelah menerima penyerahan tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
penyelidik atau penyidik wajib segera melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam
rangka penyidikan;
(3) Penyelidik dan penyidik yang telah menerima laporan tersebut segera datang ke tempat
kejadian dapat melarang setiap orang untuk meninggalkan tempat itu selama
pemeriksaan di situ belum selesai;
(4) Pelanggar larangan tersebut dapat dipaksa tinggal di tempat itu sampai pemeriksaan
dimaksud di atas selesai.
Pasal 112
(1) Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan
secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk
diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu
yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi
panggilan tersebut;
(2) Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik
memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.
Pasal 113
Jika seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar bahwa
ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan, penyidik itu datang ke
tempat kediamannya.
Pasal 114
Dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan
oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan
bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasihat hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.
Pasal 115
(1) Dalam hal penyidik sedang melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, penasihat
hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat serta mendengar
pemeriksaan;
(2) Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara penasihat hukum dapat hadir dengan
cara melihat tetapi tidak dapat mendengar pemeri ksaan terhadap tersangka.
Pasal 116
(1) Saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila ada cukup alasan untuk diduga
bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan;
(2) Saksi diperiksa secara tersendiri, tetapi boleh dipertemukan yang satu dengan yang lain
dan mereka wajib memberikan keterangan yang sebenarnya;
(3) Dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki didengarnya saksi yang
dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita
acara;
(4) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) penyidik wajib memanggil dan
memeriksa saksi tersebut.
Pasal 117
(1) Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari
siapa pun dan atau dal am bentuk apapun;
(2) Dalam hal tersangka memberi keterangan tentang apa yang sebenarnya ia telah lakukan
sehubungan dengan tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya, penyidik mencatat
dalam berita acara seteliti-telitinya sesuai dengan kata yang dipergunakan oleh
tersangka sendiri.
Pasal 118
(1) Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang ditandatangani
oleh penyidik dan oleh yang memberi keterangan itu setelah mereka menyetujui isinya;
(2) Dalam hal tersangka dan atau saksi tidak mau membubuhkan tanda tangann ya, penyidik
mencatat hal itu dalam berita acara dengan menyebut alasannya.
Pasal 119
Dalam hal tersangka dan atau saksi yang harus didengar keterangannya berdiam atau
bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik yang menjalankan penyidikan, pemeriksaan
terhadap tersangka dan atau saksi dapat dibebankan kepada penyidik di tempat kediaman
atau tempat tinggal tersangka dan atau saksi tersebut.
Pasal 120
(1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang
yang memiliki keahlian khusus;
(2) Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik bahwa ia
akan memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila
disebabkan karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan
ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.
Pasal 121
Penyidik atas kekuatan sumpah jabatannya segera membuat berita acara yang diberi tanggal
dan memuat tindak pidana yang dipersangkakan, dengan menyebut waktu, tempat dan
keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, nama dan tempat tinggal dari tersangka dan
atau saksi, keterangan mereka, catatan mengenai. akta dan atau benda serta segala sesuatu
yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara.
Pasal 122
Dalam hal tersangka ditahan dalam waktu satu hari setelah perintah penahanan itu dijalankan,
ia harus mulai diperiksa oleh penyidik.
Pasal 123
(1) Tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan keberatan atas
penahanan atau jenis penahanan tersangka kepada penyidik yang melakukan
penahanan i tu;
(2) Untuk itu penyidik dapat mengabulkan permintaan tersebut dengan mempertimbangkan
tentang perlu atau tidaknya tersangka itu tetap ditahan atau tetap ada dalam jenis
penahanan tertentu;
(3) Apabila dalam waktu tiga hari permintaan tersebut belum dikabulkan oleh penyidik,
tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada atasan
penyidik;
(4) Untuk itu atasan penyidik dapat mengabulkan permintaan tersebut dengan
mempertimbangkan tentang perlu atau tidaknya tersangka itu tetap ditahan atau tetap
ada dalam jenis tahanan tertentu;
(5) Penyidik atau atasan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat tersebut di atas dapat
mengabulkan permintaan dengan atau tanpa sy arat.
Pasal 124
Dalam hal apakah sesuatu penahanan sah atau tidak sah menurut hukum, tersangka, keluarga
atau penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada pengadilan negeri setempat untuk
diadakan praperadilan guna memperoleh putusan apakah penahanan atas diri tersangka
tersebut sah atau tidak sah menurut undang-undang ini.
Pasal 125
Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan rumah terlebih dahulu menunjukkan tanda
pengenalnya kepada tersangka atau keluarganya, selanjutnya berlaku ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34.
Pasal 126
(1) Penyidik membuat berita acara tentang jalannya dan hasil penggeledahan rumah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (5);
(2) Penyidik membacakan lebih dahulu berita acara tentang penggeledahan rumah kepada
yang bersangkutan, kemudian diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun
tersangka atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua
orang saksi;
(3) Dalam hal tersangka atau keluarganya tidak mau membubuhkan tanda tangannya, hal
itu dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya.
Pasal 127
(1) Untuk keamanan dan ketertiban penggeledahan rumah, penyidik dapat mengadakan
penjagaan atau penutupan tempat yang bersangkutan;
(2) Dalam hal ini penyidik berhak memerintahkan setiap orang yang dianggap perlu tidak
meninggalkan tempat tersebut selama penggeledahan berlangsung.
Pasal 128
Dalam hal penyidik melakukan penyitaan, terlebih dahulu ia menunjukkan tanda pengenalnya
kepada orang dari mana benda itu disita.
Pasal 129
(1) Penyidik memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang dari mana benda itu
akan disita atau kepada keluarganya dan dapat minta keterangan tentang benda yang
akan disita itu dengan disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua
orang saksi;
(2) Penyidik membuat berita acara penyitaan yang dibacakan terlebih dahulu kepada orang
dari mana benda itu disita atau keluarganya dengan diberi tanggal dan ditandatangani
oleh penyidik maupun orang atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua
lingkungan dengan dua orang saksi;
(3) Dalam hal orang dari mana benda itu disita atau keluarganya tidak mau membubuhkan
tanda tangannya hal itu dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya;
(4) Turunan dari berita acara itu disampaikan oleh penyidik kepada atasannya, orang dari
mana benda itu disita atau keluarganya dan kepala desa.
Pasal 130
(1) Benda sitaan sebelum dibungkus, dicatat berat dan/atau jumlah menurut jenis masing-
masing, ciri maupun sifat khas, tempat, hari dan tanggal penyitaan, identitas orang dari
mana benda itu disita dan lain-lainnya yang kemudian diberi lak dan cap jabatan dan
ditandatangani oleh penyidik;
(2) Dalam hal benda sitaan tidak mungkin dibungkus, penyidik memberi catatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang ditulis di atas label yang ditempelkan dan
atau dikaitkan pada benda tersebut.
Pasal 131
(1) Dalam hal sesuatu tindak pidana sedemikian rupa sifatnya sehingga ada dugaan kuat
dapat diperoleh keterangan dari berbagai surat, buku atau kitab, daftar dan sebagainya,
penyidik segera pergi ke tempat yang dipersangkakan untuk menggeledah, memeriksa
surat, buku atau kitab, daftar dan sebagainya dan jika perlu menyitanya;
(2) Penyitaan tersebut dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal
129 undang-undang ini.
Pasal 132
(1) Dalam hal diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu atau dipalsukan
atau diduga palsu oleh penyidik, maka untuk kepentingan penyidikan, oleh penyidik
dapat dimintakan keterangan mengenai hal itu dari orang ahli;
(2) Dalam hal timbul dugaan kuat bahwa ada surat palsu atau yang dipalsukan, penyidik
dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat dapat datang atau dapat minta
kepada pejabat penyimpan umum yang wajib dipenuhi, supaya ia mengirimkan surat asli
yang disimpannya itu kepadanya untuk dipergunakan sebagai bahan perbandingan;
(3) Dalam hal suatu surat yang dipandang perlu untuk pemeriksaan, menjadi bagian serta
tidak dapat dipisahkan dari daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131, penyidik
dapat minta supaya daftar itu seluruhnya selama waktu yang ditentukan dalam surat
permintaan dikirimkan kepadanya untuk diperiksa, dengan menyerahkan tanda
penerimaan;
(4) Dalam hal surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menjadi bagian dari suatu
daftar, penyimpan membuat salinan sebagai penggantinya sampai surat yang asli
diterima kembali yang di bagian bawah dari salinan itu penyimpan mencatat apa sebab
salinan itu dibuat;
(5) Dalam hal surat atau daftar itu tidak dikirimkan dalam waktu yang ditentukan dalam surat
permintaan, tanpa alasan yang sah, penyidik berwenang mengambilnya;
(6) Semua pengeluaran untuk penyelesaian hal tersebut dalam pasal ini dibebankan pada
dan sebagai biaya perkara.
Pasal 133
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupak an tindak pidana, ia
berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman
atau dokter dan atau ahli lainnya;
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara
tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeri ksaan bedah mayat;
(3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit
harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut
dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang
dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
Pasal 134
(1) Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak
mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga
korban;
(2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya
tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut;
(3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak
yang perlu diberitahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (3)undang-undang ini.
Pasal 135
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian mayat,
dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (2) dan Pasal
134 ayat (1) undang-undang ini.
Pasal 136
Semua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
Bagian Kedua Bab XIV ditanggung oleh negara.
BAB XV
PENUNTUTAN
Pasal 137
Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa
melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan' melimpahkan perkara ke
pengadilan yang berwenang mengadili.
Pasal 138
(1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari
dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik
apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum;
(2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan
berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk
dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik
harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.
Pasal 139
Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari
penyidik, ia segera, menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan
untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.
Pasal 140
(1) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan
penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan;
(2) a. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak
terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana
atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam
surat ketetapan;
b. Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib
segera dibebaskan;
c. Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau
penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim;
d. Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan
penuntutan terhadap tersangka.
Pasal 141
Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat
dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa
berkas perkara dalam hal:
a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan
pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya;
b. beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang l ain;
c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi
yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan
tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.
Pasal 142
Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak
pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan
Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa
secara terpisah.
Pasal 143
(1) Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar.
segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan;
(2) Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta
berisi:
a. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pek erjaan tersangka;
b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang
didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
(3) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
huruf b batal demi hukum;
(4) Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada
tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang
bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan
negeri.
Pasal 144
(1) Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari
sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan
penuntutannya;
(2) Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-
lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai;
(3) Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan turunannya
kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik.
BAB XVI
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Bagian Kesatu
Panggilan dan Dakwaan
Pasal 145
(1) Pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan dilakukan secara sah, apabila
disampaikan dengan surat panggilan kepada terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau
apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir;
(2) Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau di tempat kediaman terakhir, surat
panggilan disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah hukum tempat tinggal
terdakwa atau tempat kediaman terakhir;
(3) Dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampaikan kepadanya melalui
pejabat rumah tahanan negara;
(4) Penerimaan surat panggilan oleh terdakwa sendiri ataupun oleh orang lain atau melalui
orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan;
(5) Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, surat panggilan
ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung pengadilan yang berwenang
mengadili perkaranya.
Pasal 146
(1) Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa yang memuat tanggal,
hari, serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus sudah diterima oleh
yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai;
(2) Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada saksi yang memuat tanggal,
hari serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus sudah diterima oleh
yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai.
Bagian Kedua
Memutus Sengketa mengenai Wewenang Mengadili
Pasal 147
Setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum, ketua
mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya.
Pasal 148
(1) Dalam hal ketua pengadilan negeri berpendapat, bahwa perkara pidana itu tidak
termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya, tetapi termasuk wewenang
pengadilan negeri lain, ia menyerahkan surat pelimpahan perkara tersebut kepada
pengadilan negeri lain yang dianggap berwenang mengadilinya dengan surat penetapan
yang memuat alasannya;
(2) Surat pelimpahan perkara tersebut diserahkan kembali kepada penuntut umum
selanjutnya kejaksaan negeri yang bersangkutan menyampaikannya kepada kejaksaan
negeri di tempat pengadilan negeri yang tercantum dalam surat penetapan;
(3) Turunan surat penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada
terdakwa atau penasihat hukum dan penyi dik.
Pasal 149
(1) Dalam hal penuntut umum berkeberatan terhadap surat penetapan pengadilan negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148, maka:
a. Ia mengajukan perlawanan kepada Pengadilan tinggi yang bersangkutan dalam
waktu tujuh hari setelah penetapan tersebut di terima;
b. tidak dipenuhinya tenggang waktu tersebut di atas mengakibatkan batalnya
perlawanan;
c. perlawanan tersebut disampaikan kepada ketua pengadilan negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 148 dan hal itu dicatat dalam buku daftar panitera;
d. dalam waktu tujuh hari pengadilan negeri wajib meneruskan perlawanan tersebut
kepada pengadilan tinggi yang bersangkutan.
(2) Pengadilan tinggi dalam waktu paling lama empat belas hari setelah menerima
perlawanan tersebut dapat menguatkan atau menolak perlawanan itu dengan surat
penetapan;
(3) Dalam hal pengadilan tinggi menguatkan perlawanan penuntut umum, maka dengan
surat penetapan diperintahkan kepada pengadilan negeri yang bersangkutan untuk
menyidangkan perkara tersebut;
(4) Jika pengadilan tinggi menguatkan pendapat pengadilan negeri, pengadilan tinggi
mengirimkan berkas perkara pidana tersebut kepada pengadilan negeri yang
bersangkutan;
(5) Tembusan surat penetapan pengadilan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dan ayat (4) di sampaikan kepada penuntut umum.
Pasal 150
Sengketa tentang wewenang mengadili terjadi:
a. jika dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya berwenang mengadili atas perkara
yang sama;
b. jika dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara
yang sama.
Pasal 151
(1) Pengadilan tinggi memutus sengketa wewenang mengadili antara dua pengadilan negeri
atau lebih yang berkedudukan dalam daerah hukumnya;
(2) Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang
wewenang mengadili:
a. antara pengadilan dari satu lingkungan peradilan dengan pengadilan dari
lingkungan peradilan yang lain;
b. antara dua pengadilan negeri yang berkedudukan dalam daerah hukum
pengadilan tinggi yang berlainan;
c. antara dua pengadilan tinggi atau lebih.
Bagian Ketiga
Acara Pemeriksaan Biasa
Pasal 152
(1) Dalam hal pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dan berpendapat
bahwa perkara itu termasuk wewenangnya, ketua pengadilan menunjuk hakim yang
akan menyidangkan perkara tersebut dan hakim yang ditunjuk itu menetapkan hari
sidang;
(2) Hakim dalam menetapkan hari sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
memerintahkan kepada penuntut umum supaya memanggil terdakwa dan saksi untuk
datang di sidang pengadilan.
Pasal 153
(1) Pada hari yang ditentukan menurut Pasal 152 pengadilan bersidang;
(2) a. Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan
secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi;
b. Ia wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang
mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas.
(3) Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan
terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-
anak;
(4) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya
putusan demi hukum;
(5) Hakim ketua sidang dapat menentukan bahwa anak yang belum mencapai umur tujuh
belas tahun tidak diperkenankan menghadi ri sidang.
Pasal 154
(1) Hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam
tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas;
(2) Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak ditahan tidak hadir pada hari
sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang meneliti apakah terdakwa sudah
dipanggil secara sah;
(3) Jika terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang menunda persidangan dan
memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya;
(4) Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa
alasan yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim
ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi;
(5) Jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak semua terdakwa
hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat
dilangsungkan;
(6) Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang
sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada
sidang pertama beri kutnya;
(7) Panitera mencatat laporan dari penuntut umum tentang pelaksanaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (6) dan menyampaikannya kepada hakim ketua
sidang.
Pasal 155
(1) Pada permulaan sidang, hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa tentang
nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat
tinggal, agama dan pekerjaannya serta mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan
segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang;
(2) a. Sesudah itu hakim ketua sidang minta kepada penuntut umum untuk membacakan
surat dakwaan;
b. Selanjutnya hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa apakah ia sudah
benar-benar mengerti, apabila terdakwa ternyata tidak mengerti, penuntut umum atas
permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan yang diperlukan.
Pasal 156
(1) Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan
tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat
dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum
untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk
selanjutnya mengambi l keputusan;
(2) Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa
lebih lanjut, sebaiknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru
dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilakukan;
(3) Dalam hal penuntut umum berkeberatan terhadap keputusan tersebut, maka ia dapat
mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri yang
bersangkutan;
(4) Dalam hal perlawanan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya diterima
olah pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat belas hari, pengadilan tinggi dengan
surat penetapannya membatalkan putusan pengadilan negeri dan memerintahkan
pengadilan negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara itu;
(5) a. Dalam hal perlawanan diajukan bersama-sama dengan permintaan banding oleh
terdakwa atau penasihat hukumnya kepada pengadilan tinggi, maka dalam waktu
empat belas hari sejak ia menerima perkara dan membenarkan perlawanan
terdakwa, pengadilan tinggi dengan keputusan membatalkan keputusan pengadilan
negeri yang bersangkutan dan menunjuk pengadilan negeri yang berwenang;
b. Pengadilan tinggi menyampaikan salinan keputusan tersebut kepada pengadilan
negeri yang berwenang dan kepada pengadilan negeri yang semula mengadili
perkara yang bersangkutan dengan disertai berkas perkara untuk diteruskan kepada
kejaksaan negeri yang telah melimpahkan perkara itu.
(6) Apabila pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (5)
berkedudukan di daerah hukum pengadilan tinggi lain maka kejaksaan negeri
mengirimkan perkara tersebut kepada kejaksaan negeri dalam daerah hukum pengadilan
negeri yang berwenang di tempat itu;
(7) Hakim ketua sidang karena jabatannya walaupun tidak ada perlawanan, setelah
mendengar pendapat penuntut umum dan terdakwa dengan surat penetapan yang
memuat alasannya dapat menyatakan pengadilan tidak berwenang.
Pasal 157
(1) Seorang hakim wajib mengundurkan di ri dari mengadili perkara tertentu apabila ia terikat
hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, hubungan suami atau
isteri meskipun sudah bercerai dengan hakim ketua sidang, salah seorang hakim
anggota, penuntut umum atau panitera;
(2) Hakim ketua sidang, hakim anggota, penuntut umum atau panitera wajib mengundurkan
diri dari menangani perkara apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda
sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun sudah bercerai dengan
terdakwa atau dengan penasihat hukum;
(3) Jika dipenuhi ketentuan ayat (1) dan ayat (2) mereka yang mengundurk an diri harus
diganti dan apabila tidak dipenuhi atau tidak diganti sedangkan perkara telah diputus,
maka perkara wajib segera diadili ulang dengan susunan yang lain.
Pasal 158
Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan penyataan di sidang tentang keyakinan
mengenai salah atau tidaknya terdakwa.
Pasal 159
(1) Hakim ketua sidang selanjutnya meneliti apakah semua saksi yang dipanggil telah hadir
dan memberi perintah untuk mencegah jangan sampai saksi berhubungan satu dengan
yang lain sebelum memberi keterangan di sidang;
(2) Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua
sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau
hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut
dihadapkan ke persidangan.
Pasal 160
(1) a. Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang
dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat
penuntut umum, terdak wa atau penasihat hukum;
b. Yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi;
c. Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan
terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta
oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya
sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar
keterangan saksi tersebut.
(2) Hakim ketua sidang menanyakan kepada saksi keterangan tentang nama lengkap,
tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama
dan pekerjaan, selanjutnya apakah ia kenal terdakwa sebelum terdakwa melakukan
perbuatan yang menjadi dasar dakwaan serta apakah ia berkeluarga sedarah atau
semenda dan sampai derajat keberapa dengan terdakwa, atau apakah ia suami atau
isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau terikat hubungan kerja dengannya;
(3) Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara
agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan
tidak lain daripada yang sebenarnya;
(4) Jika pengadilan menganggap perlu, seorang saksi atau ahli wajib bersumpah atau
berjanji sesudah saksi atau ahli itu selesai memberi keterangan.
Pasal 161
(1) Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan
terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang
dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama empat belas hari;
(2) Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau dan saksi atau ahli
tetap tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan yang telah
diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatk an keyakinan hakim.
Pasal 162
(1) Jika saksi sesudah memberi keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena
halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat
kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan
kepentingan negara, maka keterangan yang telah diberikannya itu dibacakan;
(2) Jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan di bawah sumpah, maka keterangan itu
disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di
sidang.
Pasal 163
Jika keterangan saksi di sidang berbeda dengan keterangannya yang terdapat dalam berita
acara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta minta keterangan
mengenai perbedaan yang ada dan di catat dalam berita acara pemeriksaan sidang.
Pasal 164
(1) Setiap kali seorang saksi selesai memberikan keterangan, hakim ketua sidang
menanyakan kepada terdakwa bagaimana pendapatnya tentang keterangan tersebut;
(2) Penuntut umum atau penasihat hukum dengan perantaraan hakim ketua sidang diberi
kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi dan terdakwa;
(3) Hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh penuntut umum atau
penasihat hukum kepada saksi atau terdakwa dengan memberikan alasannya.
Pasal 165
(1) Hakim ketua sidang dan hakim anggota dapat minta kepada saksi segala keterangan
yang dipandang perlu untuk mendapatkan kebenaran;
(2) Penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum dengan perantaraan hakim ketua
sidang diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi;
(3) Hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh penuntut umum,
terdakwa atau penasihat hukum kepada saksi dengan memberi kan alasannya;
(4) Hakim dan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan perantaraan
hakim ketua sidang, dapat saling menghadapkan saksi untuk menguji kebenaran
keterangan mereka masing-masing.
Pasal 166
Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik kepada terdakwa maupun kepada
saksi.
Pasal 167
(1) Setelah saksi memberi keterangan, ia tetap hadir di sidang kecuali hakim ketua sidang
memberi izin untuk meninggalkannya;
(2) Izin itu tidak diberikan jika penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum
mengajukan permintaan supaya saksi itu tetap menghadiri sidang;
(3) Para saksi selama sidang dilarang saling bercakap-cakap.
Pasal 168
Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya
dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:
a. keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat
ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
b. saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau
saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-
anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
c. suami atau isteri terdakwa maupun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa.
Pasal 169
(1) Dalam hal mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 menghendakinya dan
penuntut umum serta terdakwa secara tegas menyetuj uinya dapat memberi keterangan
di bawah sumpah;
(2) Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mereka diperbolehkan
memberikan keterangan tanpa sumpah.
Pasal 170
(1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan
rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai
saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka;
(2) Hakim menentukan sah atau ti daknya segala alasan untuk permintaan tersebut.
Pasal 171
Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah i alah:
a. anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;
b. orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.
Pasal 172
(1) Satelah saksi memberi keterangan maka terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut
umum dapat mengajukan permintaan kepada hakim ketua sidang, agar di antara saksi
tersebut yang tidak mereka kehendaki kehadirannya, dikeluarkan dari ruang sidang,
supaya saksi lainnya di panggil masuk oleh hakim ketua sidang untuk didengar
keterangannya, baik seorang demi seorang maupun bersama-sama tanpa hadirnya
saksi yang dikeluarkan tersebut;
(2) Apabila dipandang perlu hakim karena jabatannya dapat minta supaya saksi yang telah
didengar keterangannya ke luar dari ruang sidang untuk selanjutnya mendengar
keterangan saksi yang lain.
Pasal 173
Hakim ketua sidang dapat mendengar keterangan saksi mengenai hal tertentu tanpa hadirnya
terdakwa, untuk itu ia minta terdakwa ke luar dari ruang sidang akan tetapi sesudah itu
pemeriksaan perkara tidak boleh diteruskan sebelum kepada terdakwa diberitahukan semua
hal pada waktu ia tidak hadir.
Pasal 174
(1) Apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperi ngatkan
dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya
dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap
memberikan keterangan palsu;
(2) Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau
atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu
ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah pal su;
(3) Dalam hal yang demikian oleh panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan sidang
yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa
keterangan saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim
ketua sidang serta panitera dan segera diserahkan kepada penuntut umum untuk
diselesaikan menurut ketentuan undang-undang ini;
(4) Jika perlu hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai
pemeriksaan perkara pidana terhadap sak si itu selesai.
Pasal 175
Jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan
kepadanya, hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan
dilanjutkan.
Pasal 176
(1) Jika terdakwa bertingkah laku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban sidang,
hakim ketua sidang menegurnya dan jika teguran itu tidak diindahkan ia memerintahkan
supaya terdakwa dikeluarkan dari ruang sidang, kemudian pemeriksaan perkara pada
waktu itu dilanjutkan tanpa hadirnya terdakwa;
(2) Dalam hal terdakwa secara terus menerus bertingkah laku yang tidak patut sehingga
mengganggu ketertiban sidang, hakim ketua sidang mengusahakan upaya sedemikian
rupa sehingga putusan tetap dapat dijatuhkan dengan hadi rnya terdakwa.
Pasal 177
(1) Jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, hakim ketua sidang menunjuk
seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menerjemahkan dengan benar
semua yang harus diterjemahkan;
(2) Dalam hal seorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara ia tidak boleh pula
menjadi juru bahasa dalam perkara itu.
Pasal 178
(1) Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat menul is, hakim ketua sidang
mengangkat sebagai penerjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau
saksi itu;
(2) Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua sidang
menyampaikan semua pertanyaan atau teguran kepadanya secara tertulis dan kepada
terdakwa atau saksi tersebut diperintahkan untuk menulis jawabannya dan selanjutnya
semua pertanyaan serta jawaban harus dibacakan.
Pasal 179
(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter
atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan;
(2) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang
memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah
atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya
menurut pengetahuan dal am bidang keahliannya.
Pasal 180
(1) Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang
pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar
diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan;
(2) Dalam hal timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hukum
terhadap hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hakim
memerintahkan agar hal itu dilakukan penelitian ulang;
(3) Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan untuk dilakukan penelitian ulang
sebagaimana tersebut pada ayat (2);
(4) Penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh instansi
semula dengan komposisi personil yang berbeda dan instansi lain yang mempunyai
wewenang untuk itu.
Pasal 181
(1) Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan
menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu dengan memperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 undang-undang ini;
(2) Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada saksi;
(3) Apabila dianggap perlu untuk pembuktian, hakim ketua sidang membacakan atau
memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan selanjutnya
minta keterangan seperlunya tentang hal itu.
Pasal 182
(1) a. Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan
pidana;
b. Selanjutnya terdakwa dan atau penasihat hukum mengajukan pembelaannya yang
dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau
penasihat hukum selalu mendapat giliran terakhir;
c. Tuntutan, pembelaan dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara tertulis dan
setelah dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunannya
kepada pihak yang berkepentingan.
(2) Jika acara tersebut pada ayat (1) telah selesai, hakim ketua sidang menyatakan bahwa
pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat membukanya sekali lagi, baik
atas kewenangan hakim - ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan
penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan memberi kan alasannya;
(3) Sesudah itu hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan
apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum,
penuntut umum dan hadirin meninggalkan ruangan sidang;
(4) Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala
sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang;
(5) Dalam musyawarah tersebut, hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari
hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan
pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai
pertimbangan beserta alasannya;
(6) Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat
kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai,
maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. putusan diambil dengan suara terbanyak;
b. jika ketentuan tersebut huruf a tidak juga dapat diperoleh putusan yang dipilih adalah
pendapat haki m yang paling menguntungkan bagi terdakwa.
(7) Pelaksanaan pengambilan putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dicatat dalam
buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut
sifatnya rahasia;
(8) Putusan pengadilan negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga atau pada
hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan kepada penuntut umum, terdakwa atau
penasihat hukum.
Bagian keempat
Pembuktian dan Putusan Dalam Acara Pemeriksaa n Biasa
Pasal 183
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-
benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Pasal 184
(1) Alat bukti yang sah ialah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Pasal 185
(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan;
(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa
bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya;
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan
suatu alat bukti yang sah lainnya;
(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau
keadaan dapat di gunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu
ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat
membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu;
(5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan
merupakan keterangan ahli;
(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-
sungguh memperhati kan:
a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang
tertentu;
d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat
mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain,
tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari
saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
Pasal 186
Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.
Pasal 187
Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau
dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian
atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan
yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang
dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi
tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu
keadaan;
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain.
Pasal 188
(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik
antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya;
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:
a. keterangan saksi;
b. surat;
c. keterangan terdakwa.
(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu
dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan
dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berda sarkan hati nuraninya.
Pasal 189
(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan
yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri;
(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu
menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang
sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya;
(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri;
(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang di dakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang
lain.
Pasal 190
a. Selama pemeriksaan di sidang, jika terdakwa tidak ditahan, pengadilan dapat
memerintahkan dengan surat penetapannya untuk menahan terdakwa apabila dipenuhi
ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan cukup untuk itu;
b. Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dapat memerintahkan dengan surat
penetapannya untuk membebaskan terdakwa, jika terdapat alasan cukup untuk itu
dengan mengingat ketentuan Pasal 30.
Pasal 191
(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan
terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas;
(2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa
terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa
diputus lepas dari segala tuntutan hukum;
(3) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), terdakwa yang ada
dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali karena
ada alasan lain yang sah, terdakwa perlu ditahan.
Pasal 192
(1) Perintah untuk membebaskan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat
(3) segera dilaksanakan oleh jaksa sesudah putusan diucapkan;
(2) Laporan tertulis mengenai pelaksanaan perintah tersebut yang dilampiri surat
penglepasan, disampaikan kepada ketua pengadilan yang bersangkutan selambat-
lambatnya dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam.
Pasal 193
(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya, maka pengadi lan menjatuhkan pidana;
(2) a. Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat
memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal
21 dan terdapat alasan, cukup untuk itu;
b. Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusannya, dapat
menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila
terdapat alasan cukup untuk itu.
Pasal 194
(1) Dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,
pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang
paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut
kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk
kepentingan negara atau dimusnahkan atau di rusak sehingga tidak dapat dipergunakan
lagi;
(2) Kecuali apabila terdapat alasan yang sah, pengadilan menetapkan supaya barang bukti
diserahkan segera sesudah sidang selesai;
(3) Perintah penyerahan barang bukti dilakukan tanpa disertai sesuatu syarat apapun
kecuali dalam hal putusan pengadilan belum mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 195
Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di
sidang terbuka untuk umum.
Pasal 196
(1) Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-
undang ini menentukan lain;
(2) Dalam hal terdapat lebih dari seorang terdakwa dalam satu perkara, putusan dapat
diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada;
(3) Segera sesudah putusan pemidanaan diucapkan, bahwa hakim ketua sidang wajib
memberitahukan kepada terdakwa tentang segala apa yang menj adi haknya, yaitu:
a. hak segera meneri ma atau segera menolak putusan;
b. hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan,
dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini;
c. hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang
ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia
menerima putusan;
d. hak. minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu
yang ditentukan oleh undang-undang ini, dalam hal ia menolak putusan;
e. hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam tenggang
waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini.
Pasal 197
(1) Surat putusan pemidanaan memuat:
a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi: "DEMI KEADILAN BERDASARIKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pek erjaan terdakwa;
c. dakwaan, sebagaimana terdapat dal am surat dakwaan;
d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta
alat-pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar
penentuan kesalahan terdakwa;
e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dal am surat tuntutan;
f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau
tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum
dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan
terdakwa;
g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara
diperiksa oleh hakim tunggal;
h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam
rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau
tindakan yang dijatuhkan;
i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan
jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya
kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam'tahanan atau dibebaskan;
l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan
nama panitera;
(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, i, j, k dan I pasal ini
mengakibatkan putusan batal demi hukum;
(3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang ini.
Pasal 198
(1) Dalam hal seorang hakim atau penuntut umum berhalangan, maka ketua pengadilan
atau pejabat kejaksaan yang berwenang wajib segera menunjuk pengganti pejabat yang
berhalangan tersebut;
(2) Dalam hal penasihat hukum berhalangan, ia menunjuk penggantinya dan apabila
pengganti ternyata tidak ada atau juga berhalangan, maka sidang berjalan terus.
Pasal 199
(1) Surat putusan bukan pemidanaan memuat:
a. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) kecuali huruf e, f dan
h;
b. pernyataan bahw a terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,
dengan menyebutkan alasan dan pasal peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar putusan;
c. perintah supaya terdakwa segera dibebaskan jika ia ditahan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga
bagi pasal ini.
Pasal 200
Surat putusan ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan itu diucapkan.
Pasal 201
(1) Dalam hal terdapat surat palsu atau dipalsukan, maka panitera melekatkan petikan
putusan yang ditandatanganinya pada surat tersebut yang memuat keterangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) huruf j dan surat palsu atau yang
dipalsukan tersebut diberi catatan dengan menunjuk pada petikan putusan itu;
(2) Tidak akan diberikan salinan pertama atau salinan dari surat asli palsu atau yang
dipalsukan kecuali panitera sudah membubuhi catatan pada catatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan salinan petikan putusan.
Pasal 202
(1) Panitera membuat berita acara sidang, dengan memperhatikan persyaratan yang
diperlukan dan memuat segala kejadian di sidang yang berhubungan dengan
pemeriksaan itu;
(2) Berita acara sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat juga hal yang
penting dari keterangan saksi, terdakwa dan ahli kecuali jika hakim ketua sidang
menyatakan bahwa untuk ini cukup ditunjuk kepada keterangan dalam berita acara
pemeriksaan dengan menyebut perbedaan yang terdapat antara yang satu dengan
lainnya;
(3) Atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, hakim ketua sidang
wajib memerintahkan kepada panitera supaya dibuat catatan secara khusus tentang
suatu keadaan atau keterangan;
(4) Berita acara sidang ditandatangani oleh hakim ketua sidang dan panitera kecuali apabila
salah seorang dari mereka berhalangan, maka hal itu dinyatakan dalam berita acara
tersebut.
Bagian Kelima
Acara Pemeriksaan Singkat
Pasal 203
(1) Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau
pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 dan yang menurut penunt ut umum
pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana;
(2) Dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penuntut umum menghadapkan
terdakwa beserta saksi, ahli, juru bahasa dan barang bukti yang diperlukan;
(3) Dalam acara ini berlaku ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian Kedua dan Bagian
Ketiga Bab ini sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan ketentuan di bawah ini:
a. 1. penuntut umum dengan segera setelah terdakwa di sidang menjawab segala
pertanyaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (1) memberitahukan
dengan lisan dari catatannya kepada terdakwa tentang tindak pidana yang
didakwakan kepadanya dengan menerangkan waktu, tempat dan keadaan pada
waktu tindak pidana itu dilakukan;
2. pemberitahuan ini dicatat dalam berita acara sidang dan merupakan pengganti
surat dakwaan;
b. dalam hal hakim memandang perlu pemeriksaan tambahan, supaya diadakan
pemeriksaan tambahan dalam waktu paling lama empat belas hari dan bilamana
dalam waktu tersebut penuntut umum belum juga dapat menyelesaikan pemeriksaan
tambahan, maka hakim memerintahkan perkara itu diajukan ke sidang pengadilan
dengan cara biasa;
c. guna kepentingan pembelaan, maka atas permintaan terdakwa dan atau penasihat
hukum, hakim dapat menunda pemeriksaan paling lama tujuh hari;
d. putusan tidak dibuat secara khusus, tetapi dicatat dalam berita acara sidang;
e. hakim memberikan surat yang memuat amar putusan tersebut;
f. isi surat tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti putusan pengadilan
dalam acara biasa.
Pasal 204
Jika dari pemeriksaan di sidang sesuatu perkara yang diperiksa dengan acara singkat ternyata
sifatnya jelas dan ringan, yang seharusnya diperiksa dengan acara cepat, maka hakim dengan
persetujuan terdakwa dapat melanjutkan pemeriksaan tersebut.
Bagian Keenam
Acara Pemeriksaan Cepat
Paragraf 1
Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan
Pasal 205
(1) Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang
diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda
sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang
ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini;
(2) Dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyidik atas kuasa penuntut
umum, dalam waktu tiga hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat,
menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli dan atau juru bahasa ke
sidang pengadilan;
(3) Dalam acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengadilan mengadili
dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan
pidana perampasan kemerdekaan terdakwa dapat minta banding.
Pasal 206
Pengadilan menetapkan hari tertentu dalam tujuh hari untuk mengadili perkara dengan acara
pemeriksaan tindak pidana ringan.
Pasal 207
(1) a. Penyidik memberitahukan secara tertulis kepada terdakwa tentang hari, tanggal, jam
dan tempat ia harus menghadap sidang pengadilan. dan hal tersebut dicatat dengan
baik oleh penyidik, selanjutnya catatan bersama berkas dikirim ke pengadilan;
b. Perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan yang diterima harus segera
disidangkan pada hari sidang itu juga.
(2) a. Hakim yang bersangkutan memerintahkan panitera mencatat dalam buku register
semua perkara yang diterimanya;
b. Dalam buku register dimuat nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis
kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa serta apa yang
didakwakan kepadanya.
Pasal 208
Saksi dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan tidak mengucapkan sumpah atau janji
kecuali hakim menganggap perlu.
Pasal 209
(1) Putusan dicatat oleh hakim dalam daftar catatan perkara dan selanjutnya oleh panitera
dicatat dalam buku register serta ditandatangani oleh hakim yang bersangkutan dan
panitera;
(2) Berita acara pemeriksaan sidang tidak dibuat kecuali jika dalam pemeriksaan tersebut
ternyata ada hal yang tidak sesuai dengan berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh
penyidik.
Pasal 210
Ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian Kedua dan Bagian Ketiga Bab ini tetap berlaku
sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan Paragraf ini.
Paragraf 2
Acara Pemeriksaan Perkara Pelang garan Lalu Lint as Jalan
Pasal 211
Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan pada Paragraf ini ialah perkara pelanggaran
tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan.
Pasal 212
Untuk perkara pelanggaran lalu lintas jalan tidak diperlukan berita acara pemeriksaan, oleh
karena itu catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 ayat (1) huruf a segera diserahkan
kepada pengadilan selambat-lambatnya pada kesempatan hari sidang pertama beri kutnya.
Pasal 213
Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya di sidang.
Pasal 214
(1) Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara dilanjutkan;
(2) Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat amar putusan segera
disampaikan kepada terpidana;
(3) Bukti bahwa surat amar putusan telah disampaikan oleh penyidik kepada terpidana,
diserahkan kepada panitera untuk dicatat dalam buku register;
(4) Dalam hal putusan dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa dan putusan itu berupa pidana
perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat mengajukan perlawanan;
(5) Dalam waktu tujuh hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa, ia
dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan itu;
(6) Dengan perlawanan itu putusan di luar hadirnya terdakwa menjadi gugur;
(7) Setelah panitera memberitahukan kepada penyidik tentang perlawanan itu hakim
menetapkan h ari sidang untuk memeriksa kembali perkara itu;
(8) Jika putusan setelah diajukannya perlawanan tetap berupa pidana sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4), terhadap putusan tersebut terdakwa dapat mengajukan
banding.
Pasal 215
Pengembalian benda sitaan dilakukan tanpa syarat kepada yang paling berhak, segera setelah
putusan dijatuhkan jika terpidana telah memenuhi isi amar putusan.
Pasal 216
Ketentuan dalam Pasal 210 tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan
Paragraf ini.
Bagian Ketujuh
Pelbagai Ketentuan
Pasal 217
(1) Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan dan memelihara tata tertib di persidangan;
(2) Segala sesuatu yang diperintahkan oleh hakim ketua sidang untuk memelihara tata t ertib
di persidangan wajib dilaksanakan dengan segera dan cermat.
Pasal 218
(1) Dalam ruang sidang siapa pun wajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan;
(2) Siapa pun yang di sidang pengadilan bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan
dan tidak menaati tata tertib setelah mendapat peringatan dari hakim ketua sidang, atas
perintahnya yang bersangkutan dikeluarkan dari ruang sidang;
(3) Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bersifat suatu
tindak pidana, tidak mengurangi kemungkinan dilakukan penuntutan terhadap
pelakunya.
Pasal 219
(1) Siapa pun dilarang membawa senjata api, senjata tajam, bahan peledak atau alat
maupun benda yang dapat membahayakan keamanan sidang dan siapa yang
membawanya wajib menitipkan di tempat yang khusus disediakan untuk itu;
(2) Tanpa surat perintah, petugas keamanan pengadilan karena tugas jabatannya dapat
mengadakan penggeledahan badan untuk menjamin bahwa kehadiran seorang di ruang
sidang tidak membawa senjata, bahan atau alat maupun benda sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan apabila terdapat maka petugas mempersilakan yang bersangkutan
untuk menitipkannya;
(3) Apabila yang bersangkutan bermaksud meninggalkan ruang sidang maka petugas wajib
menyerahkan kembali benda titipannya;
(4) Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) tidak mengurangi kemungkinan untuk dilakukan
penuntutan bila ternyata bahwa penguasaan atas benda tersebut bersifat suatu tindak
pidana.
Pasal 220
(1) Tiada seorang hakim pun diperkenankan mengadili suatu perkara yang ia sendiri
berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung;
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hakim yang bersangkutan, wajib
mengundurkan di ri baik atas kehendak sendiri maupun atas permintaan penuntut umum,
terdakwa atau penasihat hukumnya;
(3) Apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat mengenai hal sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), maka pejabat pengadilan yang berwenang yang menetapkannya;
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam makna ayat tersebut di atas berlaku bagi
penuntut umum.
Pasal 221
Bila dipandang perlu hakim di sidang atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan
terdakwa atau penasihat hukumnya dapat memberi penjelasan tentang hukum yang berlaku.
Pasal 222
(1) Siapa pun yang diputus pidana dibebani membayar biaya perkara dan dalam hal
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, biaya perkara dibebankan pada
negara;
(2) Dalam hal terdakwa sebelumnya telah mengajukan permohonan pembebasan dari
pembayaran biaya perkara berdasarkan syarat tertentu dengan persetujuan pengadilan,
biaya perkara dibebankan pada negara.
Pasal 223
(1) Jika hakim memberi perintah kepada seorang untuk mengucapkan sumpah atau janji di
luar sidang, hakim dapat menunda pemeriksaan perkara sampai pada hari sidang yang
lain;
(2) Dalam hal sumpah atau janji dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hakim
menunjuk panitera untuk menghadiri pengucapan sumpah atau janji tersebut dan
membuat ber ita acaranya.
Pasal 224
Semua surat putusan pengadilan disimpan dalam arsip pengadilan yang mengadili perkara itu
pada tingkat pertama tidak dibolehkan dipindahkan kecuali undang-undang menentukan lain.
Pasal 225
(1) Panitera menyelenggarakan buku daf tar untuk semua perkara;
(2) Dalam daftar itu dicatat nama dan identitas terdakwa, tindak pidana yang didakwakan,
tanggal penerimaan perkara, tanggal terdakwa mulai ditahan apabila ia ada di dalam
tahanan, tanggal dan isi putusan secara singkat, tanggal penerimaan permintaan dan
putusan banding atau kasasi, dan lain hal yang erat hubungannya dengan proses
perkara.
Pasal 226
(1) Petikan surat putusan pengadilan diberikan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya
segera setelah putusan diucapkan;
(2) Salinan surat putusan pengadilan diberikan kepada penuntut umum dan penyidik,
sedangkan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya diberikan atas permintaan;
(3) Salinan surat putusan pengadilan hanya boleh diberikan kepada orang lain dengan
seizin ketua pengadilan setelah mempertimbangkan kepentingan dari permintaan
tersebut.
Pasal 227
(1) Semua jenis pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang berwenang dalam semua
tingkat pemeriksaan kepada terdakwa, saksi atau ahli disampaikan selambat-lambatnya
tiga hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan, di tempat tinggal mereka atau di tempat
kediaman mereka terakhir;
(2) Petugas yang melaksanakan panggilan tersebut harus bertemu sendiri dan berbicara
langsung dengan orang yang dipanggil dan membuat catatan bahwa panggilan telah
diterima oleh yang bersangkutan dengan membubuhkan tanggal serta tanda tangan,
baik oleh petugas maupun orang yang dipanggil dan apabila yang dipanggil tidak
menandatangani maka petugas harus mencatat alasannya;
(3) Dalam hal orang yang dipanggil tidak terdapat di salah satu tempat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), surat panggilan disampaikan melalui kepala desa atau pejabat
dan jika di luar negeri melalui perwakilan Republik Indonesia di tempat di mana orang
yang dipanggil biasa berdiam dan apabila masih belum juga disampaikan, maka surat
panggilan ditempelkan di tempat pengumuman kantor pejabat yang mengeluarkan
panggilan tersebut.
Pasal 228
Jangka atau tenggang waktu menurut undang-undang ini mulai diperhitungkan pada hari
berikutnya.
Pasal 229
(1) Saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan
keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat pengga ntian biaya menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(2) Pejabat yang melakukan pemanggilan wajib memberitahukan kepada saksi atau ahli
tentang haknya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 230
(1) Sidang pengadilan dilangsungkan di gedung penga dilan dalam ruang sidang;
(2) Dalam ruang sidang, hakim, penuntut umum, penasihat hukum dan panitera
mengenakan pakaian sidang dan atribut masing-masing;
(3) Ruang sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditata menurut ketentuan sebagai
berikut:
a. tempat meja dan kursi hakim terletak lebih tinggi dari empat penuntut umum,
terdakwa, penasihat hukum dan pengunjung;
b. tempat panitera terletak di belakang sisi kanan tempat hakim ketua sidang;
c. tempat penuntut umum terletak di sisi kanan depan tempat hakim;
d. tempat terdakwa dan penasihat hukum terletak di sebelah kiri depan dari tempat
hakim dan tempat terdakwa di sebelah kanan tempat penasihat hukum;
e. tempat kursi pemeriksaan terdakwa dan saksi terletak di depan tempat hakim;
f. tempat saksi atau ahli yang telah didengar terletak di belakang kursi pemeriksaan;
g. tempat pengunjung terletak di belakang tempat saksi yang telah didengar;
h. bendera Nasional ditempatkan di sebelah kanan meja hakim dan panji
Pengayoman ditempatkan di sebelah kiri meja hakim sedangkan lambang Negara
di tempatkan pada dinding bagian atas di belakang meja hakim;
i. tempat rohaniwan terletak di sebelah kiri tempat panitera;
j. tempat sebagaimana dimaksud huruf a sampai huruf i diberi tanda pengenal;
k. tempat petugas keamanan di bagian dalam pintu masuk utama ruang sidang dan
di tempat lain yang dianggap perlu.
(4) Apabila sidang pengadilan dilangsungkan di luar gedung pengadilan, maka tata tempat
sejauh mungkin disesuaikan dengan ketentuan ayat (3) tersebut di atas;
(5) Dalam hal ketentuan ayat (3) tidak mungkin dipenuhi maka sekurang-kurangnya bendera
Nasional harus ada.
Pasal 231
(1) Jenis, bentuk dan warna pakaian sidang serta atribut dan hal yang berhubungan d engan
perangkat kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 230 ayat (2) dan ayat (3)
diatur dengan perat uran pemerintah;
(2) Pengaturan lebih lanjut tata tertib persidangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217
ditetapkan dengan keputusan Menteri Kehakiman.
Pasal 232
(1) Sebelum sidang dimulai, panitera, penuntut umum, penasihat hukum dan pengunjung
yang sudah ada, duduk di tempatnya masing-masing dalam ruang sidang;
(2) Pada saat hakim memasuki dan meninggalkan ruang sidang semua yang hadir berdiri
untuk menghormat;
(3) Selama sidang berlangsung setiap orang yang ke luar masuk ruang sidang diwajibkan
memberi hormat.
BAB XVII
UPAYA HUKUM BIASA
Bagian Kesatu
Pemeriksaan Tingkat Banding
Pasal 233
(1) Permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dapat diajukan ke
pengadilan tinggi oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu atau penuntut
umum;
(2) Hanya pemintaan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 'boleh diterima oleh
panitera pengadilan negeri dalam waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau
setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 196 ayat (2);
(3) Tentang permintaan itu oleh panitera dibuat sebuah surat keterangan yang
ditandatangani olehnya dan juga oleh pemohon serta tembusannya diberikan kepada
pemohon yang ber sangkutan;
(4) Dalam hal pemohon tidak dapat menghadap, hal ini harus dicatat oleh panitera dengan
disertai alasannya dan catatan harus dilampirkan dalam berkas perkara serta juga ditulis
dalam daftar perkara pidana;
(5) Dalam hal pengadilan negeri menerima permintaan banding, baik yang diajukan oleh
penuntut umum atau terdakwa maupun yang diajukan oleh penuntut umum dan
terdakwa sekaligus, maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang
satu kepada pihak yang lain.
Pasal 234
(1) Apabila tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233 ayat (2) telah lewat
tanpa diajukan permintaan banding oleh yang bersangkutan, maka yang bersangkutan
dianggap meneri ma putusan;
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka panitera mencatat dan
membuat ak ta mengenai hal itu serta melekatkan akta tersebut pada berkas perkara.
Pasal 235
(1) Selama perkara banding belum diputus oleh pengadilan tinggi, permintaan banding
dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam
perkara itu tidak boleh diajukan lagi;
(2) Apabila perkara telah mulai diperiksa akan tetapi belum diputus sedangkan sementara
itu pemohon mencabut permintaan bandingnya, maka pemohon dibebani membayar
biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh pengadilan tinggi hingga saat pencabutannya.
Pasal 236
(1) Selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari sejak permintaan banding
diajukan,panitera mengirimkan salinan putusan pengadilan negeri dan berkas perkara
serta surat bukti kepada pengadilan tinggi;
(2) Selama tujuh hari sebelum pengiriman berkas perkara kepada pengadilan tinggi,
pemohon banding wajib diberi kesempatan untuk mempelajari berkas perkara tersebut di
pengadilan negeri;
(3) Dalam hal pemohon banding yang dengan jelas menyatakan secara tertulis bahwa ia
akan mempelajari berkas tersebut di pengadilan tinggi, maka kepadanya wajib diberi
kesempatan untuk itu secepatnya tujuh hari setelah berkas perkara diterima oleh
pengadilan tinggi;
(4) Kepada setiap pemohon banding wajib diberi kesempatan untuk sewaktu-waktu meneliti
keaslian berkas perkaranya yang sudah ada di pengadilan tinggi.
Pasal 237
Selama pengadilan tinggi belum mulai memeriksa suatu perkara dalam tingkat banding, baik
terdakwa atau kuasanya maupun penuntut umum dapat menyerahkan memori banding atau
kontra memori banding kepada pengadilan tinggi.
Pasal 238
(1) Pemeriksaan dalam tingkat banding dilakukan oleh pengadilan tinggi dengan sekurang-
kurangnya tiga orang hakim atas dasar berkas perkara yang diterima dari pengadilan
negeri yang terdiri dari berita acara pemeriksaan dari penyidik, berita acara pemeri ksaan
di sidang pengadilan negeri, beserta semua surat yang timbul di sidang yang
berhubungan dengan perkara itu dan putusan pengadilan negeri;
(2) Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke pengadilan tinggi sejak saat
diajukannya permintaan banding;
(3) Dalam waktu tiga hari sejak menerima berkas perkara banding dari pengadilan negeri,
pengadilan tinggi wajib mempelajarinya untuk menetapkan apakah terdakwa perlu tetap
ditahan atau tidak, baik karena wewenang jabatannya maupun atas permintaan
terdakwa;
(4) Jika dipandang perlu pengadilan tinggi mendengar sendiri keterangan terdakwa atau
saksi atau penuntut umum dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan
kepada mereka tentang apa yang ingin diketahuinya.
Pasal 239
(1) Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 157 dan Pasal 220 ayat (l), ayat (2) dan ayat
(3) berlaku juga bagi pemeriksaan perkara dalam tingkat banding;
(2) Hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (1) berlaku juga
antara hakim dan atau panitera tingkat banding, dengan hakim atau panitera tingkat
pertama yang t elah mengadili perkara yang sama;
(3) Jika seorang hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama kemudian telah
menjadi hakim pada pengadilan tinggi, maka hakim tersebut dilarang memeri ksa perkara
yang sama dalam tingkat banding.
Pasal 240
(1) Jika pengadilan tinggi berpendapat bahwa dalam pemeriksaan tingkat pertama ternyata
ada kelalaian dalam penerapan hukum acara atau kekeliruan atau ada yang kurang
lengkap, maka pengadilan tinggi dengan suatu keputusan dapat memerintahkan
pengadilan negeri untuk memperbaiki hal itu atau pengadilan tinggi melakukannya
sendiri;
(2) Jika perlu pengadilan tinggi dengan keputusan dapat membatalkan penetapan dari
pengadilan negeri sebelum putusan pengadilan tinggi dijatuhkan.
Pasal 241
(1) Setelah semua hal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut di atas
dipertimbangkan dan dilaksanakan, pengadilan tinggi memutuskan, menguatkan atau
mengubah atau dalam hal membatalkan putusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi
mengadakan putusan sendiri;
(2) Dalam hal pembatalan tersebut terjadi atas putusan pengadilan negeri karena ia tidak
berwenang memeriksa perkara itu, maka berlaku ketentuan tersebut pada Pasal 148.
Pasal 242
Jika dalam pemeriksaan tingkat banding terdakwa yang dipidana itu ada dalam tahanan, maka
pengadilan tinggi dalam putusannya memerintahkan supaya terdakwa perlu tetap ditahan atau
dibebaskan.
Pasal 243
(1) Salinan surat putusan pengadilan tinggi beserta berkas perkara dalam waktu tujuh hari
setelah putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada pengadilan negeri yang memutus
pada tingkat pertama;
(2) Isi surat putusan setelah dicatat dalam buku register segera diberitahukan kepada
terdakwa dan penuntut umum oleh panitera pengadilan negeri dan selanjutnya
pemberitahuan tersebut dicatat dalam salinan surat putusan pengadilan tinggi;
(3) Ketentuan mengenai putusan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud Pasal 226
berlaku juga bagi putusan pengadilan tinggi;
(4) Dalam hal terdakwa bertempat tinggal di luar daerah hukum pengadilan negeri tersebut
panitera minta bantuan kepada panitera pengadilan negeri yang dalam daerah
hukumnya terdakwa bertempat tinggal untuk memberitahukan isi surat putusan itu
kepadanya;
(5) Dalam hal terdakwa tidak diketahui tempat tinggalnya atau bertempat tinggal di luar
negeri, maka isi surat putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan
melalui kepala desa atau pejabat atau melalui perwakilan Republik Indonesia, di mana
terdakwa biasa berdiam dan apabila masih belum juga berhasil disampaikan, terdakwa
dipanggil dua kali berturut-turut melalui dua buah surat kabar yang terbit dalam daerah
hukum pengadilan negeri itu sendiri atau daerah yang berdekatan dengan daerah i tu.
Bagian Kedua
Pemeriksaan Untuk Kasasi
Pasal 244
Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain
selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan
permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.
Pasal 245
(1) Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang telah
memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu empat belas hari sesudah
putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa;
(2) Permintaan tersebut oleh panitera ditulis dalam sebuah surat keterangan yang
ditandatangani oleh panitera serta pemohon, dan dicatat dalam daftar yang dilampirkan
pada berkas perkara;
(3) Dalam hal pengadilan negeri menerima permohonan kasasi, baik yang diajukan oleh
penuntut umum, atau terdakwa maupun yang diajukan oleh penuntut umum dan
terdakwa sekaligus, maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang
satu kepada pihak yang lain.
Pasal 246
(1) Apabila tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (1) telah lewat
tanpa diajukan permohonan kasasi oleh yang bersangkutan, maka yang bersangkutan
dianggap meneri ma putusan;
(2) Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemohon
terlambat mengajukan permohonan k asasi maka hak untuk itu gugur;
(3) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2), maka panitera,
mencatat dan membuat akta mengenai hal itu serta melekatkan akta tersebut pada
berkas perkara.
Pasal 247
(1) Selama perkara permohonan kasasi belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan
kasasi dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permohonan kasasi
dalam perkara itu tidak dapat diajukan lagi;
(2) Jika pencabutan dilakukan sebelum berkas perkara dikirim ke Mahkamah Agung, berka s
tersebut tidak jadi dikirimkan;
(3) Apabila perkara telah mulai diperiksa akan tetapi belum diputus, sedangkan sementara
itu pemohon mencabut permohonan kasasinya, maka pemohon dibebani membayar
biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung hingga saat
pencabutannya;
(4) Permohonan kasasi hanya dapat dilakukan satu kali.
Pasal 248
(1) Pemohon kasasi wajib mengajukan memori kasasi yang memuat alasan permohonan
kasasinya dan dalam waktu empat belas hari setelah mengajukan permohonan tersebut,
harus sudah menyerahkannya kepada panitera yang untuk itu ia memberikan surat
tanda terima;
(2) Dalam hal pemohon kasasi adalah terdakwa yang kurang memahami hukum, panitera
pada waktu menerima permohonan kasasi wajib menanyakan apakah alasan ia
mengajukan permohonan tersebut dan untuk itu panitera membuatkan memori
kasasinya;
(3) Alasan yang tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) adalah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 253 ayat (l) undang-undang ini;
(4) Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemohon
terlambat menyerahkan memori kasasi maka hak untuk mengajukan permohonan kasasi
gugur;
(5) Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 246 ayat (3) berlaku juga untuk ayat (4)
pasal ini;
(6) Tembusan memori kasasi yang diajukan oleh salah satu pihak, oleh panitera
disampaikan kepada pihak lainnya dan pihak lain itu berhak mengajukan kontra memori
kasasi;
(7) Dalam tenggang waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1), panitera menyampaikan
tembusan kontra memori kasasi kepada pihak yang semula mengajukan memori kasasi.
Pasal 249
(1) Dalam hal salah satu pihak berpendapat masih ada sesuatu yang perlu ditambahkan
dalam memori kasasi atau kontra memori kasasi, kepadanya diberikan kesempatan
untuk mengajukan tambahan itu dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 248 ayat (1);
(2) Tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas diserahkan ke pada panitera
pengadilan;
(3) Selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari setelah tenggang waktu tersebut
dalam ayat (1), permohonan kasasi tersebut selengkapnya oleh panitera pengadilan
segera disampaikan kepada Mahkamah A gung.
Pasal 250
(1) Setelah panitera, pengadilan negeri menerima memori dan atau kontra memori
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1) dan ayat (4), ia wajib segera mengirim
berkas perkara kepada Mahkamah Agung;
(2) Setelah panitera Mahkamah Agung menerima berkas perkara tersebut ia seketika
mencatatnya dalam buku agenda surat, buku register perkara dan pada kartu penunjuk;
(3) Buku register perkara tersebut pada ayat (2) w ajib dikerjakan, ditutup dan ditandatangani
oleh panitera pada setiap hari kerja dan untuk diketahui ditandatangani juga karena
jabatannya oleh Ketua Mahkamah Agung;
(4) Dalam hal Ketua Mahkamah Agung berhalangan, maka penandatanganan dilakukan
oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung dan jika keduanya berhalangan maka dengan surat
keputusan Ketua Mahk amah Agung ditunjuk hakim anggota yang tertua dalam jabatan;
(5) Selanjutnya panitera Mahkamah Agung mengeluarkan surat bukti penerimaan yang
aslinya dikirimkan kepada panitera pengadilan negeri yang bersangkutan, sedangkan
kepada para pihak dikirimkan tembusannya.
Pasal 251
(1) Ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 157 berlaku juga bagi pemeriksaan perkara
dalam tingkat kasasi;
(2) Hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (1) berlaku juga
antara hakim dan atau panitera tingkat kasasi dengan hakim dan atau panitera tingkat
banding serta tingkat pertama, yang tel ah mengadili perkara yang sama;
(3) Jika seorang hakim yang mengadili perkara dalam tingkat pertama atau tingkat banding,
kemudian telah menjadi hakim atau panitera pada Mahkamah Agung, mereka dilarang
bertindak sebagai hakim atau panitera untuk perkara yang sama dalam tingkat kasasi.
Pasal 252
(1) Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 220 ayat (1) dan ayat (21) berlaku juga bagi
pemeriksaan perkara dalam tingkat kasasi;
(2) Apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat mengenai hal sebagaimana tersebut
pada ayat (1), maka dalam tingkat kasasi:
a. Ketua Mahkamah Agung karena jabatannya bertindak sebagai pejabat yang
berwenang menetapkan;
b. dalam hal menyangkut Ketua Mahkamah Agung sendiri, yang berwenang
menetapkannya adalah suatu panitia yang terdiri dari tiga orang yang dipilih oleh
dan antar hakim anggota yang seorang di antaranya harus hakim anggota yang
tertua dalam jabatan.
Pasal 253
(1) Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan
para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 249 guna menentukan:
a. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak
sebagaimana mestinya;
b. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang;
c. apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
(2) Pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dilakukan dengan sekurang-kurangnya
tiga orang hakim atas dasar berkas perkara yang diterima dari pengadilan lain dari pada
Mahkamah Agung, yang terdiri dari berita acara pemeriksaan dari penyidik, berita acara
pemeriksaan di sidang, semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan dengan
perkara itu beserta putusan pengadilan tingkat pertama dan atau tingkat terakhir;
(3) Jika dipandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat
(1), Mahkamah Agung dapat mendengar sendiri keterangan terdakwa atau saksi atau
penuntut umum, dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan kepada
mereka tentang apa yang ingin diketahuinya atau Mahkamah Agung dapat pula
memerintahkan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk mendengar
keterangan mereka, dengan cara pemanggilan yang sama;
(4) Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke Mahkamah Agung sejak diajukan
permohonan kasasi;
(5) a. Dalam waktu tiga hari sejak menerima berkas perkara kasasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) Mahkamah Agung wajib mempelajarinya untuk menetapkan
apakah terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak, baik karena wewenang jabatannya
maupun atas permintaan terdakwa;
b. Dalam hal terdakwa tetap ditahan, maka dalam waktu empat belas hari, sejak
penetapan penah anan Mahkamah Agung wajib memeriksa perkara tersebut.
Pasal 254
Dalam hal Mahkamah Agung memeriksa permohonan kasasi karena telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal245, Pasal246,. dan Pasal 247. mengenai
hukumnya Mahkamah Agung dapat memut us menolak atau mengabulkan permohonan kasasi.
Pasal 255
(1) Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena peraturan hukum tidak diterapkan atau
diterapkan tidak sebagaimana mestinya, Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara
tersebut;
(2) Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
ketentuan undang-undang, Mahkamah Agung menetapkan disertai petunjuk agar
pengadilan yang memutus perkara yang bersangkutan memeriksanya . lagi mengenai.
bagian yang dibatalkan, atau berdasarkan alasan tertentu Mahkamah Agung dapat
menetapkan perk ara tersebut diperiksa oleh pengadilan setingkat yang lain;
(3) Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena pengadilan atau hakim yang bersangkutan
tidak berwenang mengadili perkara tersebut, Mahkamah Agung menetapkan pengadilan
atau hakim lain mengadili perkara tersebut.
Pasal 256
Jika Mahkamah Agung mengabul kan permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
254, Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan yang dimintakan kasasi dan dalam
hal itu berlaku ketentuan Pasal 255.
Pasal 257
Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 226 dan Pasal 243 berlaku juga bagi putusan
kasasi Mahkamah'Agung, kecuali tenggang waktu tentang pengiriman salinan putusan beserta
berkas perkaranya kepada pengadilan yang memutus pada tingkat pertama dalam waktu tujuh
hari.
Pasal 258
Ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 244 sampai dengan Pasal 257 berlaku bagi
acara permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
BAB XVIII
UPAYA HUKUM LUAR BIASA
Bagian Kesatu
Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepenting an Hukum
Pasal 259
(1) Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu
kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung;
(2) Putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang
berkepentingan.
Pasal 260
(1) Permohonan kasasi demi kepentingan hukum disampaikan secara tertulis oleh Jaksa
Agung kepada Mahkamah Agung melalui panitera pengadilan yang telah memutus
perkara dalam tingkat pertama, disertai risalah yang memuat al asan permintaan itu;
(2) Salinan risalah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh panitera segera disampaikan
kepada pihak yang berkepentingan;
(3) Ketua pengadilan yang bersangkutan segera meneruskan permintaan itu kepada
Mahkamah Agung.
Pasal 261
(1) Salinan putusan kasasi demi kepentingan hukum oleh Mahkamah Agung disampaikan
kepada Jaksa Agung dan kepada pengadilan yang bersangkutan dengan disertai berkas
perkara;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 ayat (2) dan ayat (4) berlaku juga
dalam hal ini.
Pasal 262
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259, Pasal 260 dan Pasal 261 berlaku bagi
acara permohonan kasasi demi kepentingan hukum terhadap putusan pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer.
Bagian Kedua
Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum
Tetap
Pasal 263
(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya
dapat mengajukan permintaan peninjauan. kembali kepada Mahkamah Agung;
(2) Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:
a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika
keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan
berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau
tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan
ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah
terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang
dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau
suatu kekeliruan yang nyata.
(3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan
permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang
didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.
Pasal 264
(1) Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263
ayat (1) diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam
tingkat pertama dengan menyebutk an secara jelas alasannya;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (2) berlaku juga bagi
permintaan peninjauan kembali;
(3) Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu;
(4) Dalam hal pemohon peninjauan kembali adalah terpidana yang kurang memahami
hukum, panitera pada waktu menerima permintaan peninjauan kembali wajib
menanyakan apakah alasan ia mengajukan permintaan tersebut dan untuk itu panitera
membuatkan surat permintaan peninjauan kembali;
(5) Ketua pengadilan segera mengirimkan surat permintaan peninjauan kembali beserta
berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung, di sertai suatu catatan penjelasan.
Pasal 265
(1) Ketua pengadilan setelah menerima permintaan peninjauan kembali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara
semula yang dimintakan peninjauan kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan
peninjauan kembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263
ayat (2);
(2) Dalam pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1), pemohon dan jaksa ikut hadir
dan dapat menyampaikan pendapatnya;
(3) Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh
hakim, jaksa, pemohon dan pani tera dan berdasarkan berita acara itu dibuat berita acara
pendapat yang ditandatangani oleh hakim dan panitera;
(4) Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan peninjauan kembali yang dilampiri
berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada
Mahkamah Agung yang tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon
dan jaksa;
(5) Dalam hal suatu perkara yang dimintakan peninjauan kembali adalah putusan
pengadilan banding, maka tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri tembusan
berita acara pemeriksaan serta berita acara pendapat dan disampaikan kepada
pengadilan banding yang bersangkutan.
Pasal 266
(1) Dalam hal permintaan peninjauan kembali tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
tersebut pada Pasal 263 ayat (2), Mahkamah Agung menyatakan bahwa permintaan
peninjauan kembali tidak dapat diterima dengan disertai dasar alasannya;
(2) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembali dapat
diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon, Mahkamah
Agung menolak permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa
putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dasar
pertimbangannya;
b. apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung
membatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dan menjatuhkan
putusan yang dapat berupa:
1. putusan bebas;
2. putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
3. putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;
4. putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
(3) Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana
yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.
Pasal 267
(1) Salinan putusan Mahkamah Agung tentang peninjauan kembali beserta berkas
perkaranya dalam waktu tujuh hari setelah putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada
pengadilan yang melanjutkan permintaan peninjauan kembali;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat
(5) berlaku juga bagi putusan Mahkamah Agung mengenai peninjauan kembali.
Pasal 268
(1) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun
menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut;
(2) Apabila suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima oleh Mahkamah Agung
dan sementara itu pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau tidaknya
peninjauan kembali tersebut diserahkan kepada kehendak ahli warisnya;
(3) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja.
Pasal 269
Ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 263 sampai dengan Pasal 268 berlaku bagi
acara permintaan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer.
BAB XIX
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
Pasal 270
Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan
oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.
Pasal 271
Dalam hal pidana mati pelaksanaannya dilakukan tidak di muka umum dan menurut ketentuan
undang-undang.
Pasal 272
Jika terpidana dipidana penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi pidana yang sejenis
sebelum ia menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, maka pidana itu dijalankan berturut-
turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan lebih dahulu.
Pasal 273
(1) Jika putusan pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada terpidana diberikan jangka
waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut kecuali dalam putusan acara
pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi;
(2) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) dapat
diperpanjang untuk paling lama satu bulan;
(3) Jika putusan pengadilan juga menetapkan bahwa barang bukti dirampas untuk negara,
selain pengecualian sebagaimana tersebut pada Pasal 46, jaksa menguasakan benda
tersebut kepada kantor lelang negara dan dalam waktu tiga bulan untuk dijual lelang,
yang hasilnya dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama j aksa;
(4) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (3) dapat diperpanjang untuk paling lama
satu bulan.
Pasal 274
Dalam hal pengadilan menjatuhkan juga putusan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 99, maka pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara putusan perdata.
Pasal 275
Apabila lebih dari satu orang dipidana dalam satu perkara, maka biaya perkara dan atau ganti
kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274 dibebankan kepada mereka bersama-sama
secara berimbang.
Pasal 276
Dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana bersyarat, maka pelaksanaannya dilakukan dengan
pengawasan serta pengamatan yang sungguh-sungguh dan menurut ketentuan undang-
undang.
BAB XX
PENGAWASAN DAN PENGAMATAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
Pasal 277
(1) Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu
ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan
yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan;
(2) Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disebut hakim pengawas dan
pengamat, ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk paling lama dua tahun.
Pasal 278
Jaksa mengirimkan tembusan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan yang
ditandatangani olehnya, kepala lembaga pemasyarakatan dan terpidana kepada pengadilan
yang memutus perkara pada tingkat pertama dan panitera mencatatnya dalam register
pengawasan dan pengamatan.
Pasal 279
Register pengawasan dan pengamatan sebagaimana tersebut pada Pasal278 wajib dikerjakan,
ditutup dan ditandatangani oleh panitera pada setiap hari kerja dan untuk diketahui
ditandatangani juga oleh hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277.
Pasal 280
(1) Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian
bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya;
(2) Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengamatan untuk bahan penelitian demi
ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan, yang diperoleh dari perilaku narapidana
atau pembinaan lembaga pemasyarakatan serta pengaruh timbal balik terhadap nara
pidana selama menjalani pidananya;
(3) Pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tetap dilaksanakan setelah
terpidana selesai menjalani pidananya;
(4) Pengawas dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 berlaku pula bagi
pemidanaan bersyarat.
Pasal 281
Atas permintaan hakim pengawas dan pengamat, kepala lembaga pemasyarakatan
menyampaikan informasi secara berkala atau sewaktu-waktu tentang perilaku narapidana
tertentu yang ada dalam pengamatan hakim tersebut.
Pasal 282
Jika dipandang perlu demi pendayagunaan pengamatan, hakim pengawas dan pengamat
dapat membicarakan dengan kepala lembaga pemasyarakatan tentang cara pembinaan
narapidana tertentu.
Pasal 283
Hasil pengawasan dan pengamatan dilaporkan oleh hakim pengawas dan pengamat kepada
ketua pengadilan secara berkala.
BAB XXI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 284
(1) Terhadap perkara yang ada sebelum undang-undang ini diundangkan, sejauh mungkin
diberlakukan ketentuan undang-undang ini;
(2) Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua
perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk
sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada
undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.
BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 285
Undang-undang ini disebut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Pasal 286
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini
dengan penempatannya dal am Lembaran N egara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 31 Desember 1981
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
SOEHARTO
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 31 Desember 1981
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
SUDHARMONO, SH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1981 NOMOR 76
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 1981
TENTANG
HUKUM ACARA PIDANA
PENJELASAN UMUM
1. Peraturan yang menjadi dasar bagi pelaksanaan hukum acara pidana dalam lingkungan
peradilan umum sebelum undang-undang ini berlaku adalah "Reglemen Indonesia yang
dibaharui atau yang terkenal dengan nama "Het Herziene Inlandsch Reglement" atau
H.I.R. (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44), Yang berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-
undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951, seberapa mungkin harus diambil sebagai pedoman
tentang acara perkara pidana sipil oleh semua pengadilan dan kejaksaan negeri dalam
wilayah Republik Indonesia, kecuali atas beberapa perubahan dan tambahannya.
Dengan Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 itu dimaksudkan untuk mengadakan
unifikasi hukum acara pidana, yang sebelumnya terdiri dari hukum acara pidana bagi
landraad dan hukum acara pidana bagi raad van justitie.
Adanya dua macam hukum acara pidana itu, merupakan akibat semata dari perbedaan
peradilan bagi golongan penduduk Bumiputera dan peradilan bagi golongan bangsa
Eropa di Jaman Hindia Belanda yang masih tetap dipertahankan, walaupun Reglemen
Indonesia yang lama (Staatsblad Tahun 1848 Nomor 16) telah diperbaharui dengan
Reglemen Indonesia yang dibaharui (R.I.B.), karena tujuan dari pembaharuan itu
bukanlah dimaksudkan untuk mencapai satu kesatuan hukum acara pidana, tetapi justru
ingin meningkatkan hukum acara pidana bagi raad van justitie.
Meskipun Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 telah menetapkan bahwa hanya
ada satu hukum acara pidana yang berlaku untuk seluruh Indonesia, yaitu R.I.B, akan
tetapi ketentuan yang tercantum di dalamnya ternyata belum memberikan jaminan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia, perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia sebagaimana wajarnya dimiliki oleh suatu negara hukum. Khususnya mengenai
bantuan hukum di dalam pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum tidak diatur
dalam R.I.B., sedangkan mengenai hak pemberian ganti kerugian juga tidak terdapat
ketentuannya.
Oleh karena itu demi pembangunan dalam bidang hukum dan sehubungan dengan hal
sebagaimana telah dijelaskan di muka, maka "Het Herziene Inlandsch Reglement"
(Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) berhubungan dengan dan Undang-undang Nomor 1
Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 81) serta semua peraturan pelaksanaannya dan ketentuan yang diatur
dalam peraturan perundang -undangan lainnya, sepanjang hal itu mengenai hukum acara
pidana, perlu dicabut karena tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional dan diganti
dengan undang-undang hukum acara pidana baru yang mempunyai ciri kondifikatif dan
unifikatif berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan dengan tegas, bahwa Negara Indonesia
berdasarkan atas hukum (rechtsstaat),tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka
(machtsstaat). Hal itu berarti bahwa Republik Indonesia ialah negara hukum yang
demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menjunjung tinggi
hak asasi manusia dan menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum dan Pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.
Jelaslah bahwa penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan hak asasi manusia maupun
hak serta kewajiban warganegara untuk menegakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan
oleh setiap warganegara, setiap penyelenggara negara , setiap lembaga kenegaraan dan
lembaga kemasyarakatan baik di pusat maupun di daerah yang perlu terwujud pula
dalam dan dengan adanya huk um acara pi dana ini.
Selanjutnya sebagaimana tercantum dalam Garis-garis Besar Haluan Negara
(Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1978),
maka wawasan untuk mencapai tujuan pembangunan nasional adalah Wawasan
Nusantara yang dalam bidang hukum menyatakan bahwa seluruh kepulauan Nusantara
ini sebagai satu kesatuan hukum dalam arti bahwa hanya ada satu hukum nasional yang
mengabdi pada kepentingan nasional.
Untuk itu perlu diadakan pembangunan serta pembaharuan hukum dengan
menyempurnakan perundang-undangan serta dilanjutkan dan ditingkatkan usaha
kodifikasi dan unifikasi hukum dalam bidang tertentu dengan memperhatikan kesadaran
hukum dalam masyarakat yang berkembang ke arah modernisasi menurut tingkatan
kemajuan pembangunan di segala bidang.
Pembangunan yang sedemikian itu di bidang hukum acara pidana bertujuan, agar
masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya dan agar dapat dicapai serta
ditingkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan
wewenang masing-masing ke arah tegak mantapnya hukum, keadilan dan perlindungan
yang merupakan pengayoman terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia,
ketertiban dan kepastian hukum demi tegaknya Republik Indonesia sebagai negara
hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
3. Oleh karena itu undang-undang ini yang mengatur tentang hukum acara pidana
nasional, wajib didasarkan pada falsafah/pandangan hidup bangsa dan dasar negara,
maka sudah seharusnyalah di dalam ketentuan materi pasal atau ayat tercermin
perlindungan terhadap hak asasi manusia serta kewajiban warganegara seperti telah
diuraikan di muka, maupun asas yang akan disebutkan selanjutnya.
Asas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia
yang telah diletakkan di dalam Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, yaitu Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 harus ditegakkan
dalam dan dengan undan g-undang ini.
Adapun asas tersebut antara lain adalah:
a. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak
mengadakan pembedaan per lakuan;
b. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan
berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-
undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-
undang;
c. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di
muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum
tetap;
d. Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi
sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum, yang dengan sengaja
atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut,
dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi;
e. Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta
bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh
tingkat peradilan;
f. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh
bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan
pembelaan atas dirinya;
g. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau
penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwa,
kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi
dan minta bantuan penasihat hukum;
h. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa;
i. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal
yang diatur dalam undang-undang;
j. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana ditetapkan
oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan.
4. Dengan landasan sebagaimana telah diuraikan di muka dalam kebulatannya yang utuh
serta menyeluruh, diadakanlah pembaharuan atas hukum acara pidana yang sekaligus
dimaksudkan sebagai suatu upaya untuk menghimpun ketentuan acara pidana, yang
dengan ini masih terdapat dalam berbagai undang-undang ke dalam satu undang-
undang hukum acara pidana nasional sesuai dengan tujuan kodifikasi dan unifikasi itu.
Atas pertimbangan yang sedemikian itulah, undang-undang hukum acara pidana ini
disebut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, disingkat K.U.H.A.P.
Kitab Undang-undang ini tidak saja memuat ketentuan tentang tatacara dari suatu
proses pidana, tetapi kitab inipun juga memuat hak dan kewajiban dari mereka yang
ada dalam suatu proses pidana dan memuat pula hukum acara pidana Mahkamah
Agung setelah dicabutnya Undang- undang Mahkamah Agung (Undang-undang Nomor
1 Tahun 1950) oleh Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
a. Ruang lingkup undang-undang ini mengikuti asas-asas yang dianut oleh hukum pidana
Indonesia;
b. Yang dimaksud dengan "peradilan umum" termasuk pengkhususannya sebagaimana
tercantum dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) alinea terakhir Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1 s/d 3
Cukup jelas.
Angka 4
Yang dimaksud dengan "tindakan lain" adalah tindakan dari penyelidik
untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat:
a) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya
tindakan jabatan;
c) tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam
lingkungan jabatannya;
d) atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa;
e) menghormati hak asasi manusia.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kedudukan dan kepangkatan penyidik yang diatur dalam peraturan pemerintah
diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut umum
dan hakim peradilan umum.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a s/d h
Cukup jelas.
Huruf i
Lihat Pasal 109 ayat (2).
Huruf j
Lihat penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "penyidik dalam ayat ini" adalah misalnya pejabat bea dan
cukai, pejabat imigrasi dan pejabat kehutanan, yang melakukan tugas penyidikan sesuai
dengan wewenang khusus yang diberikan oleh undang-undang yang menjadi dasar
hukumnya masing-masing.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Dalam keadaan yang mendesak dan perlu, untuk tugas tertentu demi kepentingan
penyelidikan, atas perintah tertulis Menteri Kehakiman pejabat imigrasi dapat melakukan
tugasnya sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pejabat kepolisian negara Republik Indonesia" termasuk
pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkungan kepolisian negara Republik Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Pelimpahan wewenang penahanan kepada penyidik pembantu hanya diberikan apabila
perintah dari penyidik tidak dimungkinkan karena hal dan dalam keadaan yang sangat
diperlukan atau di mana terdapat hambatan perhubungan di daerah terpencil atau di tempat
yang belum ada petugas penyidik dan atau dalam hal lain yang dapat diterima menurut
kewajaran.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Huruf a s/d h.
Cukup jelas.
Huruf i
Yang dimaksud dengan "tindakan lain" ialah antara lain meneliti identitas; tersangka,
barang bukti dengan memperhatikan secara tegas batas wewenang dan fungsi antara
penyidik, penuntut umum dan pengadilan.
Huruf j
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dengan "atas perintah penyidik" termasuk juga penyidik pembantu sebagaimana
dimaksud dalam penjelasan Pasal 11. Perintah yang dimaksud berupa suatu surat
perintah yang dibuat secara tersendiri, dikeluarkan sebelum penangkapan dilakukan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Yang dimaksud dengan "bukti permulaan yang cukup" ialah bukti permulaan untuk menduga
adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14. Pasal ini menentukan bahwa
perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan
kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.
Pasal 18
Ayat (1)
Surat perintah penangkapan dikeluarkan oleh pejabat kepolisian negara Republik
Indonesia yang berwenang dalam melakukan penyidikan di daerah hukumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Tersangka atau terdakwa pecandu narkotika sejauh mungkin ditahan di tempat
tertentu yang sekaligus merupakan tempat perawatan.
Pasal 22
Ayat (1)
Selama belum ada rumah tahanan negara di tempat yang bersangkutan, penahanan
dapat dilakukan di kantor kepolisian negara, di kantor kejaksaan negeri, di lembaga
pemasyarakatan, di rumah sakit dan dalam keadaan yang memaksa di tempat lain.
Ayat (2) dan ayat (3)
Tersangka atau terdakwa hanya boleh keluar rumah atau kota dengan izin dari penyidik,
penuntut umum atau hakim yang memberi perintah penahanan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Setiap perpanjangan penahanan hanya dapat diberikan oleh pejabat yang berwenang
untuk itu atas dasar alasan dan resume hasil pemeriksaan yang diajukan kepadanya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Setiap perpanjangan penahanan hanya dapat diberikan oleh pejabat yang berwenang
untuk itu atas dasar alasan dan resume hasil pemeriksaan yang diajukan kepadanya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kepentingan pemeriksaan" ialah pemeriksaan yang belum
dapat diselesaikan dalam waktu penahanan yang ditentukan. Yang dimaksud dengan
"gangguan fisik atau mental yang berat" ialah keadaan tersangka atau terdakwa yang
tidak memungkinkan untuk diperiksa karena alasan fisik atau mental.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
a. Walaupun berkas perkara belum dilimpahkan ke pengadilan negeri keberatan
terhadap sah atau tidaknya penahanan pada tingkat penyidikan atau penuntutan
yang diperpanjang berdasarkan Pasal 29, diajukan kepada ketua pengadilan
tinggi untuk diperiksa dan diputus;
b. Terhadap perpanjangan penahan dalam tingkat pemeriksaan kasasi sebagaimana
tersebut pada ayat (2) dan ayat (3), tidak dapat diajukan keberatan karena
Mahkamah Agung merupakan peradilan tingkat terakhir dan yang melakukan
pengawasan tertinggi terhadap perbuatan pengadilan.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Yang dimaksud dengan "syarat yang ditentukan" ialah wajib lapor, tidak keluar rumah atau
kota. Masa penangguhan penahanan dari seorang tersangka atau terdakwa tidak termasuk
masa status tahanan.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Penyidik untuk melakukan penggeledahan rumah harus ada surat izin ketua pengadilan
negeri guna menjamin hak asasi seorang atas rumah kediamannya.
Ayat (2)
Jika yang melakukan penggeledahan rumah itu bukan penyidik sendiri, maka petugas
kepolisian lainnya harus dapat menunjukkan selain surat izin ketua pengadilan negeri
juga surat perintah tertulis dari penyidik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "dua orang saksi" adalah warga dari lingkungan yang
bersangkutan. Yang dimaksud dengan "ketua lingkungan" adalah ketua atau wakil ketua
rukun kampung, ketua atau wakil ketua rukun tetangga, ketua atau wakil ketua rukun
warga, ketua atau wakil ketua lembaga yang sederajat.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
"keadaan yang sangat perlu dan mendesak" ialah bilamana di tempat patut
dikhawatirkan segera melarikan diri atau mengulangi tindak pidana atau benda yang
dapat disita dikhawatirkan segera dimusnahkan atau dipindahkan sedangkan surat izin
dari ketua pengadilan negeri tidak mungkin diperoleh dengan cara yang layak dan dalam
waktu yang singkat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Penggeledahan badan meliputi pemeriksaan rongga badan, yang wanita dilakukan oleh
pejabat wanita. Dalam hal penyidik berpendapat perlu dilakukan pemeriksaan rongga badan,
penyidik minta bantuan kepada pejabat kesehatan.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Yang dimaksud dengan "surat" termasuk surat kawat, surat teleks dan lain sejenisnya yang
mengandung suatu berita.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Selama belum ada rumah penyimpanan benda sitaan negara di tempat yang
bersangkutan, penyimpanan benda sitaan tersebut dapat dilakukan di kantor kepolisian
negara Republik Indonesia, di kantor kejaksaan negeri, di kantor pengadilan negeri, di
gedung bank pemerintah, dan dalam keadaan memaksa di tempat penyimpanan lain
atau tetap di tempat semula benda itu disita.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan benda yang dapat diamankan antara lain ialah benda yang
mudah terbakar, mudah meledak, yang untuk itu harus dijaga serta diberi tanda khusus
atau benda yang dapat membahayakan kesehatan orang dan lingkungan. Pelaksanaan
lelang dilakukan oleh kantor lelang negara setelah diadakan konsultasi dengan pihak
penyidik atau penuntut umum setempat atau hakim yang bersangkutan sesuai dengan
tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan lembaga yang ahli dalam menentukan
sifat benda yang mudah rusak .
Ayat (2) dan ayat (3)
Benda untuk pembuktian yang menurut sifatnya lekas rusak dapat di jual lelang dan
uang hasil pelelangan dipakai sebagai ganti untuk diajukan di sidang pengadilan
sedangkan sebagian kecil dari benda itu disisihkan untuk dijadikan barang bukti.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "benda yang dirampas untuk negara" ialah benda yang harus
diserahkan kepada departemen yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 46
Ayat (1)
Benda yang dikenakan penyitaan diperlukan bagi pemeriksaan sebagai barang bukti.
Selama pemeriksaan berlangsung, dapat diketahui benda itu masih diperlukan atau
tidak. Dalam hal penyidik atau penuntut umum berpendapat, benda yang disita itu tidak
diperlukan lagi untuk pembuktian, maka benda tersebut dapat dikembalikan kepada
yang berkepentingan atau pemiliknya. Dalam pengembalian benda sitaan hendaknya
sejauh mungkin diperhatikan segi kemanusiaan, dengan mengutamakan pengembalian
benda yang menjadi sumber kehidupan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "surat lain" adalah surat yang tidak langsung mempunyai
hubungan dengan tindak pidana yang diperiksa akan tetapi dicurigai dengan alasan
yang kuat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Diberikannya hak kepada tersangka atau terdakwa dalam pasal ini adalah untuk menjauhkan
kemungkinan terkatung-katungnya nasib seorang yang disangka melakukan tindak pidana
terutama mereka yang dikenakan penahanan, jangan sampai lama tidak mendapat
pemeriksaan. sehingga dirasakan tidak adanya kepastian hukum, adanya perlakuan
sewenang-wenang dan ti dak wajar. Selain itu juga untuk mewujudkan peradilan yang dilakukan
dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.
Pasal 51
Huruf a
Dengan diketahui serta dimengerti oleh orang yang disangka melakukan tindak pidana
tentang perbuatan apa yang sebenarnya disangka telah dilakukan olehnya, maka ia
akan merasa terjamin kepentingannya untuk mengadakan persiapan dalam usaha
pembelaan. Dengan demikian ia akan mengetahui berat ringannya sangkaan terhadap
dirinya sehingga selanjutnya ia akan dapat mempertimbangkan tingkat atau pembelaan
yang dibutuhkan, misalnya perlu atau tidaknya ia mengusahakan bantuan hukum untuk
pembelaan tersebut.
Huruf b
Untuk menghindari kemungkinan bahwa seorang terdakwa diperiksa serta diadili di
sidang pengadilan atas suatu tindakan yang didakwakan atas dirinya tidak dimengerti
olehnya dan karena sidang pengadilan adalah tempat yang terpenting bagi terdakwa
untuk pembelaan diri, sebab disanalah ia dengan bebas akan dapat mengemukakan
segala sesuatu yang dibutuhkannya bagi pembelaan, maka untuk keperluan tersebut
pengadilan menyediakan juru bahasa bagi terdakwa yang berkebangsaan asing atau
yang tidak bisa menguasai bahasa Indonesia.
Pasal 52
Supaya pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya
maka tersangka atau terdakwa harus dijauhkan. dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah
adanya paksaan atau tekanan t erhadap tersangka atau terdakwa.
Pasal 53
Tidak semua tersangka atau terdakwa mengerti bahasa Indonesia dengan baik, terutama
orang asing, sehingga mereka tidak mengerti apa yang sebenarnya disangkakan atau
didakwakan. Oleh karena itu mereka berhak mendapat bantuan juru bahasa.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Menyadari asas peradilan yang wajib dilaksanakan secara sederhana, cepat dan dengan
biaya ringan serta dengan pertimbangan bahwa mereka yang diancam dengan pidana
kurang dari lima tahun tidak dikenakan penahanan kecuali tindak pidana tersebut dalam
pasal 21 ayat (4) huruf b, maka untuk itu bagi mereka yang diancam dengan pidana lima
tahun atau lebih, tetapi kurang dari lima belas tahun, penunjukan penasihat hukumnya
disesuaikan dengan perkembangan dan keadaan tersedianya tenaga penasihat hukum
di tempat itu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ketentuan ini adalah penjelmaan dari asas "praduga tak bersalah".
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Yang dimaksud dengan "untuk kepentingan pembelaannya" ialah bahwa mereka wajib
menyimpan isi berita acara tersebut untuk diri sendiri. Yang dimaksud dengan "turunan" ialah
dapat berupa foto copy. Yang dimaksud dengan "pemeriksaan" dalam pasal ini ialah
pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, hanya untuk pemeriksaan tersangka. Dalam tingkat
penuntutan ialah semua berkas perkara termasuk surat - dakwaan. Pemeriksaan di tingkat
pengadilan adalah seluruh berkas perkara termasuk putusan hakim.
Pasal 73
Apabila terbukti ada penyalahgunaan dalam pasal ini diberikan ketentuan Pasal 70 ayat (2),
ayat (3) dan ayat (4).
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Yang dimaksud dengan "penghentian penuntutan" tidak termasuk penyampingan perkara
untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Pasal ini bermaksud untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana
pengawasan secara horizontal.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Yang dimaksud dengan "keadaan daerah tidak mengizinkan" ialah antara lain tidak amannya
daerah atau adany a bencana alam.
Pasal 86
Kitab Undang-undang Hukum Pidana kita menganut asas personalitas aktif dan asas
personalitas pasif, yang membuka kemungkinan tindak pidana yang dilakukan di luar negeri
dapat diadili menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana Republik Indonesia. Dengan
maksud agar jalannya peradilan terhadap perkara pidana tersebut dapat mudah dan lancar,
maka ditunjuk Pengadilan Negeri Jakarta- Pusat yang berwenang mengadilinya.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kerugian karena dikenakan tindakan lain" ialah kerugian yang
ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah
menurut hukum. Termasuk penahanan tanpa alasan ialah penahanan yang lebih lama
daripada pidana yang dijatuhkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Ayat (1)
Maksud Penggabungan perkara gugatan pada perkara pidana ini adalah supaya perkara
gugatan tersebut pada suatu ketika yang sama diperiksa serta diputus sekaligus dengan
perkara pidana yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan "kerugian bagi orang lain"
termasuk kerugian pihak korban.
Ayat (2)
Tidak hadirnya penuntut umum adalah dalam hal acara pemeriksaan cepat.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Ayat (1)
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, diminta, atau tidak
diminta berdasarkan tanggung jawabnya wajib memberikan bantuan penyidikan kepada
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b. Untuk itu penyidik
sebagaimana tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b sejak awal wajib memberitahukan
tentang penyidikan itu kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.
Ayat (2)
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dalam melakukan
penyidikan suatu perkara pidana wajib melaporkan hal. itu kepada penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a. Hal ini diperlukan dalam rangka
koordinasi dan pengawasan.
Ayat (3)
Laporan dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal. 6 ayat (1) huruf b kepada
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a disertai dengan berita
acara pemeriksaan yang dikirim kepada penuntut umum. Demikian juga halnya apabila
perkara pidana itu tidak diserahkan kepada penuntut umum.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Dalam hal pemberitahuan oleh penyidik sebagaimana tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b
dilakukan melalui penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Ayat (1)
Pemanggilan tersebut harus dilakukan dengan surat panggilan yang sah, artinya, surat
panggilan yang ditandatangani oleh pejabat penyidik yang berwenang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia, maka sejak dalam taraf penyidikan kepada
tersangka sudah dijelaskan bahwa tersangka berhak didampingi penasihat hukum pada
pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pasal 115
Ayat (1)
Penasihat hukum mengikuti jalannya pemeriksaan secara pasif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 116
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan saksi yang dapat menguntungkan tersangka antara lain adalah
saksi a decharge.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal saksi tidak mau menandatangani berita acara ia harus memberi alasan yang
kuat.
Pasal 119
Apabila penyidikan di luar daerah hukum itu dilakukan oleh penyidik semula, maka ia wajib
didampingi oleh penyidik dari daerah hukum di mana penyidikan itu dilakukan.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Ayat (1)
Atas penahanan tersangka oleh penyidik maka tersangka, keluarga atau penasihat
hukumnya dapat menyatakan keberatannya terhadap penahanan tersebut kepada
penyidik, maupun kepada instansi yang bersangkutan, dengan disertai alasannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Pasal ini untuk menghindari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan terhadap seorang.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Pasal ini untuk mencegah kekeliruan dengan benda lain yang tidak ada hubungannya dengan
perkara yang bersangkutan untuk penyitaan benda tersebut telah dilakukan.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pejabat penyimpan umum antara lain adalah pejabat yang
berwenang dari arsip negara, catatan sipil, balai harta peninggalan, notaris sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 133
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli;
sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan " kedokteran kehakiman
disebut keterangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Yang dimaksud dengan "penggalian mayat" termasuk pengambilan mayat dari semua jenis
tempat dan cara penguburan.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Yang dimaksud dengan "meneliti" adalah tindakan penuntut umum dalam mempersiapkan
penuntutan apakah orang dan atau benda yang tersebut dalam hasil penyidikan telah sesuai
ataukah telah memenuhi syarat pembuktian yang dilakukan dalam rangka pemberian petunjuk
kepada penyidik.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Alasan baru tersebut diperoleh penuntut umum dari penyidik yang berasal dari
keterangan tersangka, saksi, benda atau, petunjuk yang baru kemudian diketahui
atau didapat.
Pasal 141
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "tindak pidana dianggap mempunyai sangkut paut satu dengan
yang lain"apabila tindak pidana tersebut dilakukan dilakukan:
1. oleh lebih dari seorang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat yang
bersamaan;
2. oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda, akan tetapi
merupakan pelaksanaan dari permufakatan jahat yang dibuat oleh mereka
sebelumnya;
3. oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapatkan alat yang akan
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana lain atau menghindarkan diri dari
pemidanaan karena tindak pidana lain.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Yang dimaksud dengan "surat pelimpahan perkara" adalah surat pelimpahan perkara itu
sendiri lengkap beserta surat dakwaan dan berkas perkara.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "orang lain" ialah keluarga atau penasihat hukum.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 146
Cukup jelas.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal kejaksaan negeri yang menerima surat pelimpahan perkara yang dimaksud
dari kejaksaan negeri semula, ia membuat surat pelimpahan baru untuk disampaikan ke
pengadilan negeri yang tercantum dalam surat ketetapan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 149
Cukup jelas.
Pasal 150
Cukup jelas.
Pasal 151
Cukup jelas.
Pasal 152
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "hakim yang ditunjuk" ialah majelis hakim atau hakim tunggal.
Ayat (2)
Pemanggilan terdakwa dan saksi dilakukan dengan surat panggilan oleh penuntut umum
secara sah dan harus telah diterima oleh terdakwa dalam jangka waktu sekurang-
kurangnya tiga hari sebelum sidang dimulai.
Pasal 153
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Jaminan yang diatur dalam ayat (3) di atas diperkuat berlakunya, terbukti dengan
timbulnya akibat hukum jika asas peradilan terbuka tidak dipenuhi.
Ayat (5)
Untuk menjaga supaya jiwa anak yang masih di bawah umur tidak terpengaruh oleh
perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa, lebih. lebih dalam perkara kejahatan berat,
maka hakim dapat menentukan bahwa anak di bawah umur tujuh belas tahun, kecuali
yang telah atau pernah kawin, tidak dibolehkan mengikuti sidang.
Pasal 154
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "keadaan bebas" adalah keadaan tidak dibelenggu tanpa
mengurangi pengawalan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kehadiran terdakwa di sidang merupakan kewajiban dari terdakwa, bukan merupakan
haknya, jadi terdakwa harus hadir di sidang pengadilan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Dalam hal terdakwa setelah diupayakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat
dihadirkan dengan baik, maka terdakwa dapat dihadirkan dengan paksa.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 155
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Untuk menjamin terlindungnya hak terdakwa guna memberikan pembelaannya, maka
penuntut umum memberikan penjelasan atas dakwaan tetapi penjelasan ini hanya dapat
dilaksanakan pada permulaan sidang.
Pasal 156
Cukup jelas.
Pasal 157
Cukup jelas.
Pasal 158
Cukup jelas.
Pasal 159
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ayat ini adalah untuk mencegah jangan sampai terjadi saling
mempengaruhi di antara para saksi, sehingga keterangan saksi tidak dapat diberikan
secara bebas.
Ayat (2)
Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi
setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi
dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan
undang-undang yang berlaku. Demikian pula halnya dengan ahli.
Pasal 160
Cukup jelas.
Pasal 161
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji, tidak dapat
dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan keterangan yang
dapat menguat kan keyakinan hakim.
Pasal 162
Cukup jelas.
Pasal 163
Cukup jelas.
Pasal 164
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Hakim berwenang untuk memperingatkan baik kepada penuntut umum maupun kepada
penasihat hukum, apabila pertanyaan yang diajukan itu tidak ada kaitannya dengan
perkara.
Pasal 165
Cukup jelas.
Pasal 166
Jika dalam salah satu pertanyaan disebutkan suatu tindak pidana yang tidak diakui telah
dilakukan oleh terdakwa atau tidak dinyatakan oleh saksi, tetapi dianggap seolah-olah diakui
atau dinyatakan, maka pertanyaan yang sedemikian itu dianggap sebagai pertanyaan yang
bersifat menjerat. Pasal ini penting karena pertanyaan yang bersifat menjerat itu tidak hanya
tidak boleh diajukan kepada terdakwa, akan tetapi juga tidak boleh diajukan kepada saksi. Ini
sesuai dengan prinsip bahwa keterangan terdakwa atau saksi harus diberikan secara bebas di
semua tingkat pemeriksaan. Dalam pemeriksaan penyidik atau penuntut umum tidak boleh
mengadakan tekanan yang bagaimanapun caranya, lebih-lebih di dalam pemeriksaan di sidang
pengadilan. Tekanan. itu, misalnya ancaman dan sebagainya yang menyebabkan terdakwa
atau saksi menerangkan hal yang berlainan daripada hal yang dapat dianggap sebagai
pernyataan pikirannya yang bebas.
Pasal 167
Ayat (1)
Untuk melancarkan jalannya pemeriksaan saksi, maka ada kalanya hakim ketua sidang
menganggap bahwa saksi yang sudah didengar keterangannya mungkin akan
merugikan saksi berikutnya yang akan memberikan keterangan, sehingga perlu saksi
pertama tersebut untuk sementara ke luar dari ruang sidang selama masih didengar
keterangannya.
Ayat (2)
Ada kalanya terdakwa atau penuntut umum berkeberatan terhadap dikeluarkannya saksi
dari ruang sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), misalnya diperlukan kehadiran
saksi tersebut, agar supaya ia dapat ikut mendengarkan keterangan yang diberikan oleh
saksi yang didengar berikutnya demi kesempurnaan hasil keterangan saksi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 168
Cukup jelas.
Pasal 169
Cukup jelas.
Pasal 170
Ayat (1)
Pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban untuk menyimpan rahasia
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Jika tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang j abatan
atau pekerjaan yang dimaksud, maka seperti yang ditentukan oleh ayat ini, hakim yang
menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapatkan
kebebasan tersebut.
Pasal 171
Mengingat bahwa anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit
ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun hanya kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit
jiwa disebut psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna
dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan
keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja.
Pasal 172
Cukup jelas.
Pasal 173
Apabila menurut pendapat hakim seorang saksi itu akan merasa tertekan atau tidak bebas
dalam memberikan keterangan apabila terdakwa hadir di sidang, maka untuk menjaga hal
yang tidak diinginkan hakim dapat menyuruh terdakwa ke luar untuk sementara dari
persidangan selama hakim mengajukan pertanyaan kepada saksi
Pasal 174
Cukup jelas.
Pasal 175
Cukup jelas.
Pasal 176
Cukup jelas.
Pasal 177
Cukup jelas.
Pasal 178
Cukup jelas.
Pasal 179
Cukup jelas.
Pasal 180
Cukup jelas.
Pasal 181
Cukup jelas.
Pasal 182
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam hal terdakwa tidak dapat menulis, panitera mencatat pembelaannya.
Ayat (2)
Sidang dibuka kembali dimaksudkan untuk menampung data tambahan sebagai bahan
untuk musyawarah hakim.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Apabila tidak terdapat mufakat bulat, pendapat lain dari salah seorang hakim majelis
dicatat dalam berita acara sidang majelis yang sifatnya rahasia.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 183
Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi
seorang.
Pasal 184
Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah.
Pasal 185
Ayat (1)
Dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau
testimonium de auditu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan ayat ini ialah untuk mengingatkan hakim agar memperhatikan
keterangan saksi harus benar-benar diberikan secara bebas, jujur dan obyektif.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 186
Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau
penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat
sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu
pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang, diminta
untuk memberikan keterangan dan, dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan
tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim.
Pasal 187
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan surat yang dibuat oleh pejabat, termasuk surat yang dikeluarkan
oleh suatu majelis yang berwenang untuk itu.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 188
Cukup jelas.
Pasal 189
Cukup jelas.
Pasal 190
Cukup jelas.
Pasal 191
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan
meyakinkan" adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar
pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana ini.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Jika terdakwa tetap dikenakan penahanan atas dasar alasan lain yang sah, maka alasan
tersebut secara jelas diberitahukan kepada ketua pengadilan negeri sebagai pengawas
dan pengamat terhadap pelaksanaan putusan pengadilan.
Pasal 192
Cukup jelas.
Pasal 193
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Perintah penahanan terdakwa yang dimaksud adalah bilamana hakim pengadilan
tingkat pertama yang memberi putusan berpendapat perlu dilakukannya
penahanan tersebut karena dikhawatirkan bahwa selama putusan belum
memperoleh kekuatan hukum tetap, terdakwa akan melarikan diri, merusak atau
menghilangkan barang bukti ataupun mengulangi tindak pidana lagi.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 194
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penetapan mengenai penyerahan barang tersebut misalnya sangat diperlukan untuk
mencari nafkah, seperti kendaraan, alat pertanian dan lain-lain.
Ayat (3)
Penyerahan barang bukti tersebut dapat dilakukan meskipun putusan belum mempunyai
kekuatan hukum tetap, akan tetapi harus disertai dengan syarat tertentu, antara lain
barang tersebut seti ap waktu dapat dihadapkan ke pengadilan dalam keadaan utuh.
Pasal 195
Cukup jelas.
Pasal 196
Ayat (1)
Ayat ini diambil dari asas yang termaktub dalam Pasal 16 Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970. Oleh karena ketentuan mengenai "pemeriksaan" sudah diatur terlebih
dahulu, maka dalam ayat ini hanya diatur mengenai segi "memutus perkara".
Ayat (2)
Setelah diucapkan putusan tersebut berlaku baik bagi terdakwa yang hadir maupun yang
tidak hadir. Ayat ini bermaksud melindungi kepentingan terdakwa yang hadir dan
menjamin kepastian hukum secara k eseluruhan dalam
Ayat (3)
Dengan pemberitahuan ini dimaksudkan supaya terdakwa mengetahui haknya.
Pasal 197
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "f akta dan keadaan di sini" ialah segala apa yang ada dan
apa yang diketemukan di sidang oleh pihak dalam proses, antara lain penuntut
umum, saksi, ahli,terdakwa, penasihat hukum dan saksi korban.
Ayat (2)
Kecuali yang tersebut pada huruf a, e, f dan h, apabila terjadi kekhilafan dan atau
kekeliruan dalam penulisan, maka kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau
pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 198
Cukup jelas.
Pasal 199
Cukup jelas.
Pasal 200
Ketentuan ini untuk memberi kepastian bagi terdakwa agar tidak berlarut-larut waktunya untuk
mendapatkan surat putusan tersebut, dalam rangka ia akan menggunakan upaya hukum.
Pasal 201 Ketentuan ini adalah memberikan suatu kepastian untuk membuka kemungkinan
surat palsu atau yang dipalsukan itu dipakai sebagai barang bukti, dalam hal dipergunakan
upaya hukum. Di samping itu ketentuan tersebut ditujukan sebagai jaminan ketelitian panitera
dalam berkas perkara.
Pasal 201
Ketentuan ini adalah memberikan suatu kepastian untuk membuka kemungkinan surat palsu
atau yang dipalsukan itu sebagai barang bukti, dalam hal dipergunakan upaya hukum.
Di samping itu ketentuan tersebut ditujukan sebagai jaminan ketelitian panitera dalam berkas
perkara.
Pasal 202
Cukup jelas.
Pasal 203
Cukup jelas.
Pasal 204
Cukup jelas.
Pasal 205
Ayat (1)
Tindak pidana "penghinaan ringan" ikut digolongkan di sini dengan disebut tersendiri,
karena sifatnya ringan sekalipun ancaman, pidana penjara paling lama empat bulan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "atas kuasa" dari penuntut umum kepada penyidik adalah demi
hukum. Dalam hal penuntut umum hadir, tidak mengurangi nilai "atas kuasa" tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 206
Cukup jelas.
Pasal 207
Ayat (1)
Huruf a
Pemberitahuan tersebut dimaksudkan agar terdakwa dapat memenuhi
kewajibannya untuk datang ke sidang pengadilan pada hari, tanggal, jam dan
tempat yang ditentukan.
Huruf b
Sesuai dengan acara pemeriksaan cepat, maka pemeriksaan dilakukan hari itu
juga.
Ayat (2)
Huruf a
Oleh karena penyelesaiannya yang cepat maka perkara yang diadili menurut
acara pemeriksaan cepat sekaligus dimuat dalam buku register dengan masing-
masing diberi nomor untuk dapat diselesaikan secara berurutan.
Huruf b
Ketentuan ini memberikan kepastian di dalam mengadili menurut acara
pemeriksaan cepat tersebut tidak diperlukan surat dakwaan yang dibuat oleh
penuntut umum seperti untuk pemeriksaan dengan acara biasa, melainkan tindak
pidana yang didakwakan cukup ditulis dalam buku register tersebut pada huruf a.
Pasal 208
Cukup jelas.
Pasal 209
Ketentuan pasal ini dimaksudkan untuk mempercepat penyelesaian perkara, meskipun
demikian dilakukan dengan penuh ketelitian.
Pasal 210
Cukup jelas.
Pasal 211
Yang dimaksud dengan "perkara pelanggaran tertent u" adalah:
a. mempergunakan jalan dengan cara yang dapat merintangi, membahayakan ketertiban
atau keamanan lalu lintas atau yang mungkin menimbulkan kerusakan pada jalan;
b. mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak dapat memperlihatkan surat izin
mengemudi (SIM), surat tanda nomor kendaraan, surat tanda uji kendaraan yang sah
atau tanda bukti lainnya yang diwajibkan menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan lalu lintas jalan atau ia dapat memperlihatkannya tetapi masa berlakunya
sudah kadaluwarsa;
c. membiarkan atau memperkenankan kendaraan bermotor dikemudikan oleh orang yang
tidak memiliki surat izin mengemudi;
d. tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan tentang
penomoran, penerangan, peralatan, perlengkapan, pemuatan kendaraan dan syarat
penggandengan dengan kendaraan lain;
e. membiarkan kendaraan bermotor yang ada di jalan tanpa dilengkapi plat tanda nomor
kendaraan yang sah, sesuai dengan surat tanda nomor k endaraan yang bersangkutan;
f. pelanggaran terhadap perintah yang diberikan oleh petugas pengatur lalu lintas jalan
dan atau isyarat alat pengatur lalu lintas jalan, rambu-rambu atau tanda yang ada
dipermukaan jalan;
g. pelanggaran terhadap ketentuan tentang ukuran dan muatan yang diizinkan, cara
menaikkan dan menurunkan penumpang dan atau cara memuat dan membongkar
barang.
h. pelanggaran terhadap izin trayek, jenis kendaraan yang diperbolehkan beroperasi di
jalan yang ditentukan.
Pasal 212
Cukup jelas.
Pasal 213
Berbeda dengan pemeriksaan menurut acara biasa, maka pemeriksaan menurut acara
pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan, terdakwa boleh mewakilkan di sidang.
Pasal 214
Cukup jelas.
Pasal 215
Sesuai dengan makna yang terkandung dalam acara pemeriksaan cepat, segala sesuatu
berjalan dengan cepat dan tuntas, maka benda sitaan dikembalikan kepada yang paling berhak
pada saat amar putusan tel ah dipenuhi.
Pasal 216
Cukup jelas.
Pasal 217
Cukup jelas.
Pasal 218
Tugas pengadilan luhur sifatnya, oleh karena tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum,
sesama manusia dan dirinya, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya
setiap orang wajib menghormati martabat lembaga ini, khususnya bagi mereka yang berada di
ruang sidang sewaktu persidangan sedang berlangsung bersikap hormat secara wajar dan
sopan serta tingkah laku yang tidak menyebabkan kegaduhan atau terhalangnya persidangan.
Pasal 219
Yang dimaksud dengan "petugas keamanan dalam pasal ini" ialah pejabat kepolisian negara
Republik Indonesia dan tanpa mengurangi wewenangnya dalam melakukan tugasnya wajib
melaksanakan petunjuk ketua pengadilan negeri yang bersangkutan.
Pasal 220
Cukup jelas.
Pasal 221
Cukup jelas.
Pasal 222
Cukup jelas.
Pasal 223
Cukup jelas.
Pasal 224
Penyimpanan surat putusan pengadilan meliputi seluruh berkas mengenai perkara yang
bersangkutan.
Pasal 225
Cukup jelas.
Pasal 226
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Salinan surat putusan dapat diberikan dengan cuma-cuma.
Ayat (3)
Pelaksanaan Ayat ini tidak boleh sedemikian rupa sifatnya sehingga akan merupakan
pidana tambahan sebagaimana dimaksud di dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana.
Pasal 227
Cukup jelas.
Pasal 228
Tiap jangka waktu yang ditentukan dalam undang-undang ini, selalu dihitung hari berikutnya
setelah hari pengumuman, perintah atau penet apan dikeluarkan.
Pasal 229
Cukup jelas.
Pasal 230
Cukup jelas.
Pasal 231
Cukup jelas.
Pasal 232
Cukup jelas.
Pasal 233
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dengan memperhatikan pasal 233 ayat (1) dan pasal 234 ayat (1) panitera dilarang
menerima permintaan banding perkara yang tidak dapat dibanding atau permintaan
banding yang diajukan setelah tenggang waktu yang ditentukan berakhir.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 234
Cukup jelas.
Pasal 235
Cukup jelas.
Pasal 236
Ayat (1)
Maksud pemberian batas waktu empat belas hari ialah agar perkara banding tersebut
tidak tertumpuk di pengadilan negeri dan segera diteruskan ke pengadilan tinggi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 237
Cukup jelas.
Pasal 238
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Apabila dalam perkara pidana terdakwa menurut undang-undang dapat ditahan, maka
sejak permintaan banding diajukan, pengadilan tinggi yang menentukan ditahan atau
tidaknya. Jika penahanan yang dikenakan kepada pembanding mencapai jangka waktu
yang sama dengan pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri kepadanya, ia harus
dibebaskan seketika itu.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 239
Cukup jelas.
Pasal 240
Ayat (1)
Perbaikan pemeriksaan dalam hal ada kelalaian dalam penerapan hukum acara harus
dilakukan sendiri oleh pengadilan negeri yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 241
Cukup jelas.
Pasal 242
Cukup jelas.
Pasal 243
Cukup jelas.
Pasal 244
Cukup jelas.
Pasal 245
Cukup jelas.
Pasal 246
Cukup jelas.
Pasal 247
Cukup jelas.
Pasal 248
Cukup jelas.
Pasal 249
Cukup jelas.
Pasal 250
Cukup jelas.
Pasal 251
Cukup jelas.
Pasal 252
Cukup jelas.
Pasal 253
Cukup jelas.
Pasal 254
Cukup jelas.
Pasal 255
Cukup jelas.
Pasal 256
Cukup jelas.
Pasal 257
Cukup jelas.
Pasal 258
Cukup jelas.
Pasal 259
Cukup jelas.
Pasal 260
Cukup jelas.
Pasal 261
Cukup jelas.
Pasal 262
Cukup jelas.
Pasal 263
Pasal ini memuat alasan secara limitatif untuk dapat dipergunakan meminta peninjauan
kembali suatu putus" perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 264
Cukup jelas.
Pasal 265
Cukup jelas.
Pasal 266
Cukup jelas.
Pasal 267
Cukup jelas.
Pasal 268
Cukup jelas.
Pasal 269
Cukup jelas.
Pasal 270
Cukup jelas.
Pasal 271
Cukup jelas.
Pasal 272
Ketentuan yang dimaksud dalam pasal ini ialah bahwa pidana yang dijatuhkan berturut-turut itu
ditetapkan untuk dijalani oleh terpidana berturut-turut secara berkesinambungan di antara
menjalani pidana yang satu dengan yang lain.
Pasal 273
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Jangka waktu tiga bulan dalam ayat ini dimaksudkan untuk memperhatikan hal yang
tidak mungkin diatasi pengaturannya dalam waktu singkat.
Ayat (4)
Perpanjangan waktu sebagaimana tersebut pada ayat ini tetap dijaga agar pelaksanaan
lelang itu tidak tertunda.
Pasal 274
Cukup jelas.
Pasal 275
Karena terdakwa dalam hal yang dimaksud dalam pasal ini bersama-sama dijatuhi pidana
karena dipersalahkan melakukan tindak pidana dalam satu perkara, maka wajar bilamana
biaya perkara dan atau ganti kerugian ditanggung bersama secara berimbang.
Pasal 276
Cukup jelas.
Pasal 277
Cukup jelas.
Pasal 278
Cukup jelas.
Pasal 279
Cukup jelas.
Pasal 280
Cukup jelas.
Pasal 281
Informasi yang dimaksud dalam pasal ini dituangkan dalam bentuk yang telah ditentukan.
Pasal 282
Cukup jelas.
Pasal 283
Cukup jelas.
Pasal 284
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
a. Yang dimaksud dengan semua perkara adalah perkara yang telah dilimpahkan ke
pengadilan;
b. Yang dimaksud dengan "ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut
pada undang-undang tertentu" ialah ketentuan khusus acara pidana sebagaimana
tersebut pada, antara lain:
1. Undang-undang tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak
pidana ekonomi (Undang-undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955);
2. Undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (Undang-
undang Nomor 3 tahun 1971); dengan catatan bahwa semua ketentuan
khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu
akan ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya.
Pasal 285
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ini disingkat "K.U.H.A.P."
Pasal 286
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3209
Silahkan download versi PDF nya sbb:
hukum_acara_pidana_(uu_8_thn_1981)_8.pdf
(ogi/Carapedia)
Pencarian Terbaru
Perubahan atas undang nomor 31thn1999 tentang pemberantasan dan tidak pidana korupsi diperbaharui dgn. Perbedaan menutup perkara demi kepentingan hukum dan menutup perkara demi hukumi hukum.
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)






