- Home »
- Undang-Undang »
- 1981 » Undang-Undang Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan (UU 7 thn 1981)
1981
Undang-Undang Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan (UU 7 thn 1981)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1981 Tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan :
Silahkan download versi PDF nya sbb:
wajib_lapor_ketenagakerjaan_di_perusahaan_(uu_7_t_7.pdf
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1981 TENTANG WAJIB LAPOR KETENAGAKERJAAN DI PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam melaksanakan kebijaksanaan di bidang perluasan kesempatan kerja dan perlindungan tenaga kerja, sebagai kebijaksanaan pokok yang bersifat menyeluruh, diperlukan data yang dapat memberikan gambaran mengenai ketenaga kerjaan di perusahaan; b. bahwa untuk mendapatkan data tersebut, setiap pengusaha atau pengurus perlu melaporkan mengenai ketenaga kerjaan di perusahaannya masing-masing; c. bahwa Undang-undang Nomor 23 Tahun 1953 tentang Kewajiban Melaporkan Perusahaan sudah tidak sesuai lagi dengan lajunya usaha-usaha pembangunan, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi serta digunakannya teknologi modern dewasa ini; d. bahwa oleh karena itu Undang-undang Nomor 23 Tahun 1953 perlu diganti. Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Nomor 23 Tahun 1948 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 4); 3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912). Dengan Persetujuan: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN: Dengan mencabut Undang-undang Nomor 23 Tahun 1953 tentang Kewajiban Melaporkan Perusahaan (Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 471); Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG WAJIB LAPOR KETENAGA KERJAAN DI PERUSAHAAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: a. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang mempekerjakan buruh dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak, baik milik swasta maupun milik Negara. b. Pengusaha adalah: 1. Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan sesuatu perusahaan milik sendiri. 2. Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya. 3. Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2, yang berkedudukan di luar Indonesia. c. Pengurus adalah orang yang ditunjuk untuk memimpin suatu perusahaan; d. Buruh adalah tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan dengan menerima upah; e. Mendirikan perusahaan adalah sejak perusahaan itu melakukan kegiatan fisik perusahaan dan atau memperol eh izin; f. Menghentikan perusahaan adalah menghentikan kegiatan usaha perusahaan tidak lebih dari satu tahun akan tetapi bukan bermaksud untuk membubarkan baik karena kemauan sendiri maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; g. Menjalankan kembali perusahaan adalah mulai menjalankan kembali kegiatan perusahaan setelah dihentikan sebelumnya; h. Memindahkan perusahaan adalah memindahkan tempat kedudukan dan atau lokasi perusahaan, atau mengal ihkan pemiliknya; i. Membubarkan perusahaan adalah menghentikan kegiatan perusahaan untuk selama- lamanya; j. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang ketenaga kerjaan. Pasal 2 Usaha sosial dan usaha-usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan diperlakukan sama dengan perusahaan apabila mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain sebagaimana layaknya perusahaan mempekerjakan buruh. BAB II MAKSUD DAN TUJUAN Pasal 3 Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 8 ayat (2) merupakan bahan informasi resmi bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijaksanaan di bidang ketenaga kerjaan. BAB III KEWAJIBAN MELAPORKAN DAN SYARAT-SYARATNYA Pasal 4 (1) Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis setiap mendirikan, menghentikan, menjalankan kembali, memindahkan atau membubarkan perusahaan kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2) Jika suatu perusahaan mempunyai kantor cabang atau bagian yang berdiri sendiri, kewajiban yang ditetapkan dalam ayat (1) berlaku terhadap masing-masing kantor cabang atau bagian yang berdiri sendiri itu. Pasal 5 Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4, Menteri mengatur lebih lanjut tentang penahapan perusahaan-perusahaan yang dikenakan wajib lapor. Pasal 6 (1) Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mendirikan, menjalankan kembali atau memindahkan perusahaan. (2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat keterangan: a. identitas perusahaan; b. hubungan ketenaga kerjaan; c. perlindungan tenaga kerja; d. kesempatan kerja. (3) Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat mengatur lebih lanjut perincian keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). Pasal 7 (1) Setelah menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, pengusaha atau pengurus wajib melaporkan setiap tahun secara tertulis mengenai ketenaga kerjaan kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2) Ketentuan Pasal 6 ayat (2) berlaku pula untuk laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 8 (1) Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum memindahkan, menghentikan atau membubarkan perusahaan. (2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat keterangan: a. nama dan alamat perusahaan atau bagian perusahaan; b. nama dan alamat pengusaha; c. nama dan alamat pengurus perusahaan; d. tanggal memindahkan, menghentikan atau membubarkan perusahaan; e. alasan-alasan pemindahan, penghentian atau pembubaran perusahaan; f. Kewajiban-kewajiban yang telah dan akan dilaksanakan terhadap buruhnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian kerja, perjanjian perburuhan dan k ebiasaan-kebiasaan setempat; g. jumlah buruh yang akan diberhentikan. BAB IV TATA CARA PELAPORAN Pasal 9 Menteri mengatur tatacara laporan dan menetapkan bentuk laporan yang memuat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dan Pasal 8 ayat (2). BAB V KETENTUAN PIDANA Pasal 10 (1) Pengusaha atau pengurus yang tidak memenuhi kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 13 diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi- tingginya Rp. 1.000.000,- .(satu juta rupiah). (2) Dalam pengulangan pelanggaran untuk kedua kali atau lebih setelah putusan yang terakhir tidak dapat diubah lagi, maka pelanggaran tersebut hanya dijatuhkan pidana kurungan. (3) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan pel anggaran. Pasal 11 (1) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilakukan oleh suatu persekutuan atau suatu badan hukum, maka tuntutan pidana dilakukan dan pidana dijatuhkan terhadap pengurus dari persekutuan atau pengurus badan hukum itu. (2) Ketentuan ayat (1) berlaku pula terhadap persekutuan atau badan hukum lain yang bertindak sebagai pengurus dari suatu persekutuan atau badan hukum l ain itu. (3) Jika pengusaha atau pengurus perusahaan sebagaimana disebut dalam ayat (1) dan ayat (2) berkedudukan di luar wilayah Indonesia, maka tuntutan pidana dilakukan dan pidana dijatuhkan terhadap wakilnya di Indonesia. Pasal 12 Selain dari pegawai penyidik umum, maka kepada pegawai pengawas perburuhan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Nomor 23 Tahun 1948, diberikan juga wewenang untuk melakukan penyidikan atas pelanggaran terhadap ketentuan dalam Undang- undang ini dan peraturan pelaksanaannya. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 13 (1) Perusahaan yang telah dilaporkan dan perusahaan yang belum dikenakan wajib lapor berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1953, pengusaha atau pengurus wajib melaporkan keadaan ketenagakerjaan di perusahaannya selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak mulai berlakunya Undang-undang ini. (2) Perusahaan yang telah didirikan tetapi belum dilaporkan berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1953, pengusaha atau pengurus wajib melaporkan keadaan ketenaga kerjaan di perusahaannya selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak mulai berlakunya Undang-undang ini. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 14 Dengan diundangkannya Undang-undang ini, semua peraturan pelaksanaan dari Undang- undang Nomor 23 Tahun 1953 tentang Kewajiban Melaporkan Perusahaan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 15 Undang-undang ini mulai berlaku pada hari ke 60 (enam puluh) sesudah hari pengundangannya. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dal am Lembaran N egara Republik Indonesia. Ditetapkan Di Jakarta, Pada Tanggal 31 Juli 1981 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd. SOEHARTO Diundangkan Di Jakarta, Pada Tanggal 31 Juli 1981 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. SUDHARMONO, SH. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1981 NOMOR 39 PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1981 TENTANG WAJIB LAPOR KETENAGA KERJAAN DI PERUSAHAAN I. UMUM Disadari bahwa Undang-undang Nomor 23 Tahun 1953 tentang Kewajiban Melaporkan Perusahaan pada saat ini sudah tidak sesuai lagi baik ditinjau dari segi tuntutan perk embangan pembangunan maupun maksud menempatkan masalah ketenega kerjaan dalam kedudukan yang lebih strategis serta lebih manusiawi. Ketenaga kerjaan adalah hal ihwal mengenai keadaan tenaga kerja yang merupakan faktor penting bagi terselenggaranya pembangunan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1953 tidak meletakkan dasar kewajiban yang sama bagi setiap perusahaan, hal ini tersirat dalam Pasal 5 yang mengecualikan jenis perusahaan lain untuk tidak melapor. Dari segi tuntutan pembangunan ketenaga kerjaan umumnya adanya pengecualian tidak memungkinkan diperolehnya data yang dapat memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai ketenaga kerjaan yang semakin kompleks, sehingga mempersulit penanganan masalah ketenaga kerjaan baik preventif maupun represif. Demikian pula kewajiban melaporkan satu kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang- undang Nomor 23 Tahun 1953 kurang memberi jaminan kesinambungan gambaran kebenaran atas perkembangan keadaan tenaga kerja, kurang memberikan gambaran tentang kemungkinan perluasan kesempatan kerja maupun upaya peningkatan produktivitas kerja dalam perusahaan, karena pada tahun-tahun berikutnya tentu telah banyak terjadi perubahan keadaan di perusahaan bersangkutan yang tidak terjangkau lagi oleh pelaksanaan Undang- undang Nomor 23 Tahun 1953 tersebut. Sehubungan dengan itu maka diperlukan suatu pengaturan pelaporan yang lebih sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945, khususnya mengenai persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (1). Di samping itu dalam rangka pembangunan hukum maka penggantian Undang-undang Nomor 23 Tahun 1953 lebih diarahkan agar mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan di segala bidang sehingga dapat diciptakan kepastian hukum dalam memperlancar pelaksanaan pembangunan terutama di bidang hubungan ketenaga kerjaan, perlindungan tenaga kerja dan kesempatan kerja, dengan demikian akan lebih menjamin kemantapan dan keterbukaan serta hubungan yang serasi antar para pelaku proses produksi barang dan jasa sesuai dengan tujuan pembudayaan Hubungan Perburuhan berdasarkan Pancasila, sehingga dapat tercapai kehidupan yang layak, khususnya bagi tenaga kerja masyarakat pada umumnya seperti yang diamanatkan oleh Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945. Untuk dapat melaksanakan kebijaksanaan tersebut Pemerintah memerlukan data ketenaga kerjaan dari semua perusahaan yang mencakup semua sektor melalui wajib lapor ketenaga kerjaan secara berkala. Untuk itu diperlukan suatu pengaturan yang materi nya meliputi antara lain: 1. Kewajiban melaporkan keadaan ketenagakerjaan bagi semua perusahaan; 2. Kewajiban melaporkan tidak dilakukan hanya sekali akan tetapi dilakukan secara berkala atau setiap tahun, sehingga dapat diperoleh data keadaan tenaga kerja secara terus- menerus; 3. Data yang wajib dilaporkan yang lebih diperluas antara lain mengenai identitas perusahaan, hubungan ketenagakerjaan, perlindungan tenaga kerja dan kesempatan kerja; 4. Peningkatan sanksi pidana baik secara kuantitatif, yaitu jumlah denda maupun kualitatif yaitu penerapan pidana kurungan. Dengan adanya pengaturan sebagaimana tersebut di atas maka akan diperolehnya data yang sesuai dengan perkembangan tentang keadaan tenaga kerja pada setiap perusahaan yang merupakan bahan informasi bagi Pemerintah untuk selanjutnya diolah sebagai bahan menetapkan k ebijaksanaan di bidang ketenagakerjaan. II. PASAL DEMI PASAL PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Yang dimaksud dengan usaha sosial dan usaha-usaha lain yang diperlakukan sama dengan perusahaan adalah yayasan, badan-badan lembaga-lembaga ilmiah serta badan usaha l ainnya dengan nama apapun yang mempunyai dan mempekerjakan buruh. Pasal 3 Laporan yang diperoleh diolah sebagai bahan bagi Pemerintah untuk menetapkan kebijaksanaan dalam peningkatan perluasan kesempatan kerja, pembinaan hubungan ketenaga kerjaan dan perlindungan tenaga kerja. Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri adalah pejabat yang diserahi tugas pengawasan di bidang ketenaga kerjaan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Penahapan perusahaan-perusahaan yang wajib lapor, dilaksanakan dengan mengingat kemampuan dan sifat perusahaan. Pasal 6 Ayat (1) Jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung dari tanggal tertera pada stempel pos. Ayat (2) Yang dimaksud dalam ayat ini adalah keterangan yang berhubungan dengan antara lain nama perusahaan, alamat perusahaan, kepengurusan perusahaan, permodalan perusahaan, proses produksi, hubungan ketenaga kerjaan, syarat kerja, kondisi kerja, rencana perluasan dan pengurangan kesempatan kerja serta rencana latihan kejuruan bagi tenaga kerja. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 7 Laporan berkala setiap tahun ini terhitung mulai perusahaan itu dilaporkan pada laporan pertama; contoh apabila perusahaan itu dilaporkan pada bulan Juli maka bulan Juli pada tahun berikutnya laporan berkala itu disampaikan lagi, dan seterusnya. Pasal 8 Ayat (1) Jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung dari tanggal tertera pada stempel pos. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1953 yang dinyatakan tidak berlaku lagi adalah: a. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1953 tentang Kewajiban Melaporkan Perusahaan; b. Surat Keputusan Kepala Jawatan Pengawasan Perburuhan Nomor 3/I/Und/1953. Pasal 15 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3201
Silahkan download versi PDF nya sbb:
wajib_lapor_ketenagakerjaan_di_perusahaan_(uu_7_t_7.pdf
(ogi/Carapedia)
Pencarian Terbaru
Fungsi wajib lapor ketenagakerjaan. Contoh surat laporan ketenagakerjaan. Contoh surat permohonan wajib lapor ketenagakerjaan.
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (3)
14 Apr 2015 19:24
syamsurizal.SKM,M.KKK
kapan sanksi hukumnya bisa diperbahrui (yg berlaku msh lemah).nuntuk pertanyaan a.n Desiana Pratino...harap melaporkan k Dinas yg membidangi Ketenagakerjaan setempat..khususnya pd Pengawas Ketenagakerjaan..tq
12 Apr 2015 14:00
desiana pratikjo
sekarang banyak perusahaan yng memberlakukan krj dgn gajian harian, tak ada libur jk libur potong gaji. tak ada surat pengangkatan krj, lalu jk terjd suatu mslh bisakah kary buru harian lepas mendapatkan perlindungan hukum, dan kemana kami hrs mengadu
12 Apr 2015 13:57
desiana pratikjo
apakah ada kekuatan hukum bagi buruhan harian lepas