Previous
Next

1987

Undang-Undang Telekomunikasi (UU 8 thn 1987)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1987 Tentang Telekomunikasi :
UU 3/1989, TELEKOMUNIKASI

Oleh:         PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor:        3 TAHUN 1989 (3/1989)

Tanggal:      1 APRIL 1989 (JAKARTA)

Sumber:       LN 1989/11; TLN NO. 3391

Tentang:      TELEKOMUNIKASI

Indeks:       PERHUBUNGAN. TELEKOMUNIKASI. Prasarana.

                   DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                     Presiden Republik Indonesia,

Menimbang :

a.      bahwa tujuan pembangunan nasional adalah memajukan
        kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa guna
        mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material
        dan spiritual berdasarkan Pancasila;

b.      bahwa telekomunikasi merupakan cabang produksi yang penting
        bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
        sehingga perlu dikuasai oleh Negara demi terwujudnya tujuan
        pembangunan nasional;

c.      bahwa penyelenggaraan telekomunikasi mempunyai arti
        strategis dalam upaya memperkuat dan meningkatkan persatuan
        dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan umum dan
        kemakmuran rakyat, memperlancar kegiatan pemerintahan dan
        pemerataan pembangunan, mendorong pertumbuhan ekonomi,
        memantapkan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis,
        serta mempererat hubungan antarbangsa dan, oleh karena itu,
        penyediaan, pemanfaatan, dan pengelolaannya perlu
        ditingkatkan;

d.      bahwa dalam rangka peningkatan penyelenggaraan
        telekomunikasi diperlukan upaya yang berkelanjutan serta
        andal dan peran serta masyarakat guna menjamin penyediaan
        jasa telekomunikasi secara optimal bagi masyarakat dan
        selalu mampu mengikuti perkembangan teknologi;

e.      bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas dan dalam usaha
        memberikan landasan yang lebih kukuh bagi perwujudan
        cita-cita dimaksud, maka Undang-undang Nomor 5 Tahun 1964
        tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
        Undang-undang Nomor 6 Tahun 1963 tentang Telekomunikasi
        menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 59,
        Tambahan Lembaran Negara Nomor 2657) dipandang tidak sesuai
     lagi dengan kemajuan teknologi dan tuntutan kebutuhan
     masyarakat sehingga perlu disusun Undang-undang yang baru;

Mengingat :

Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945,

                          Dengan persetujuan
              DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

                             MEMUTUSKAN:
Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG TELEKOMUNIKASI

                                 BAB I
                            KETENTUAN UMUM

                               Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1.   Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, atau
     penerimaan tiap jenis tanda, gambar, suara, dan informasi
     dalam bentuk apa pun melalui sistem kawat, optik, radio,
     atau sistem elektromagnetik lainnya;

2.   Alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang
     digunakan dalam bertelekomunikasi;

3.   Perangkat telekomunikasi adalah sekelompok alat
     telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi;

4.   Pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang menggunakan
     dan memancarkan gelombang radio;

5.   Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat
     telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam
     rangka bertelekomunikasi;

6.   Penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan
     dan pelayanan sarana dan/atau fasilitas telekomunikasi
     sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;

7.   Penyelenggaraan jasa telekomunasi adalah penyelenggaraan
     telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat;

8.   Penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan khusus adalah
     penyelenggaraan telekomunikasi yang dilakukan oleh instansi
     pemerintah tertentu, perseorangan, atau badan hukum untuk
     keperluan khusus atau untuk keperluan sendiri;
9.    Jasa telekomunikasi adalah jasa yang disediakan oleh badan
      penyelenggara atau badan lain bagi masyarakat untuk memenuhi
      kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan fasilitas
      telekomunikasi; 10. Badan penyelenggara adalah badan usaha
      milik negara yang bentuk usahanya sesuai dengan peraturan
      perundang-undangan yang berlaku, yang bertindak sebagai
      pemegang kuasa penyelenggaraan jasa telekomunikasi;

11.   Badan lain adalah badan hukum di luar badan penyelenggara
      berbentuk koperasi, badan usaha milik daerah, dan badan
      usaha swasta nasional, yang berusaha dalam penyelenggaraan
      jasa telekomunikasi; 12. Menteri adalah menteri yang
      bertanggung jawab di bidang telekomunikasi.

                              BAB II
            TUJUAN ASAS PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI

                              Pasal 2

Penyelenggaraan telekomunikasi bertujuan untuk mendukung
persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan
ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan
antarbangsa.

                              Pasal 3

Penyelenggaraan telekomunikasi dilakukan dengan berlandaskan asas
manfaat, asas adil dan merata, dan asas kepercayaan pada diri
sendiri.

                              BAB III
                     PEMBINAAN TELEKOMUNIKASI

                              Pasal 4

(1)   Telekomunikasi dikuasai oleh Negara dan pembinaannya
      dilakukan oleh Pemerintah.

(2)   Tata cara pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 5

(1)   Pemerintah menetapkan kebijaksanaan di bidang telekomunikasi
      secara menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan pemikiran
      dan pandangan yang hidup dalam masyarakat.

(2)   Kebijaksanaan di bidang telekomunikasi sebagaimana dimaksud
      dalam ayat (1) meliputi kegiatan pengaturan, pengarahan, dan
      pembinaan berbagai sarana, prasarana, dan jenis
      penyelenggaraan telekomunikasi yang saling menunjang untuk
      menjamin kelancaran dan kesinambungan penyelenggaraan jasa
      telekomunikasi sehingga tercapai satu keterpaduan.

                              Pasal 6

Menteri bertindak sebagai penanggung jawab administrasi
telekomunikasi Indonesia.

                              Pasal 7

Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit geostasioner yang
merupakan sumber daya alam yang terbatas dalam penyelenggaraan
telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 8

(1)   Penggunaan perangkat telekomunikasi yang menggunakan
      gelombang radio dan gelombang elektromagnetik lainnya
      dilakukan berdasarkan prinsip tidak saling mengganggu dan
      sesuai dengan peruntukannya.

(2)   Dalam rangka pengendalian penggunaan gelombang radio dan
      gelombang elektromagnetik lainnya, perangkat telekomunikasi
      harus memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan oleh
      Menteri.

(3)   Perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan, dibuat,
      dirakit, dan dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia harus
      memperhatikan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam
      ayat (2).

(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, syarat-syarat,
      dan perizinan tentang penggunaan perangkat telekomunikasi
      termasuk pengusahaan, pemilikan, dan pemasangan yang
      menggunakan gelombang radio dan gelombang elektromagnetik
      lainnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 9

Pemberian izin penggunaan perangkat telekomunikasi yang
menggunakan gelombang radio dan gelombang elektromagnetik lainnya
untuk perwakilan diplomatik di Indonesia dilakukan dengan
memperhatikan asas timbal balik.

                             Pasal 10

(1)   Kapal atau kendaraan air berbendera asing yang berada di
      wilayah perairan Indonesia tidak diwajibkan memenuhi
      persyaratan teknis yang ditetapkan oleh Menteri bagi
      perangkat telekomunikasi yang digunakannya, kecuali apabila
      kapal atau kendaraan air tersebut diusahakan di wilayah
      perairan Indonesia, maka ketentuan sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 8 diberlakukan.
(2)   Kapal atau kendaraan air berbendera nasional dan yang
      berbendera asing yang ada di daerah perairan pelabuhan
      dilarang menggunakan pemancar radio atau gelombang
      elektromagnetik lainnya, kecuali bila pemancar tersebut :

      a.   digunakan untuk kepentingan dan keselamatan negara,
      keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana alam,
      keadaan marabahaya, wabah, dan keamanan lalu lintas
      pelayaran; atau

      b.   disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang
      dioperasikan oleh badan penyelenggara; atau

      c.   merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang
      penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalain
      penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak pelayaran.

(3)   Ketentuan lebih lanjut tentang penggunaan gelombang radio
      dan gelombang elektromagnetik sebagaimana dimaksud dalam
      ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                             Pasal 11

(1)   Pesawat udara asing yang berada di wilayah Indonesia tidak
      diwajibkan mengikuti persyaratan teknis yang ditetapkan
      Menteri untuk perangkat telekomunikasi yang digunakannya.

(2)   Pesawat udara sipil Indonesia dan pesawat udara asing selama
      berada di wilayah Indonesia dilarang menggunakan pemancar
      radio atau gelombang elektromagnetik lainnya, kecuali bila
      pemancar tersebut :

      a.   digunakan untuk navigasi dan pengamanan lalu lintas
      udara; atau
      b.   disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang
      dioperasikan oleh badan penyelenggara; atau
      c.   merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang
      penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam
      penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak penerbangan.

(3)   Ketentuan lebih lanjut tentang penggunaan gelombang radio
      dan gelombang elektromagnetik lainnya sebagaimana dimaksud
      dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
      Pemerintah.

                              BAB IV
                  PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI

                             Pasal 12

(1)   Penyelenggaraan telekomunikasi dilaksanakan oleh pemerintah,
      yang selanjutnya untuk penyelenggaraan jasa telekomunikasi
      dapat dilimpahkan kepada badan penyelenggara.
(2)   Badan lain selain badan penyelenggara sebagaimana dimaksud
      dalam ayat (1) dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi
      dasar atas dasar kerja sama dengan badan penyelenggara,
      sedangkan untuk menyelenggarakan jasa telekomunikasi bukan
      dasar badan lain dapat melaksanakannya tanpa kerja sama
      dengan badan penyelenggara,

(3)   Penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan khusus dapat
      dilakukan oleh instansi pemerintah tertentu, perseorangan,
      atau badan hukum selain badan penyelenggara dan badan lain
      sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).

                             Pasal 13

(1)   Penyelenggaraan jasa telekomunikasi oleh badan lain selain
      badan penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat
      (2) dan penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan
      khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3)
      dilaksanakan berdasarkan izin.

(2)   Persyaratan dan tata cara permintaan izin sebagaimana
      dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
      Pemerintah.

                             Pasal 14

Dengan tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan dengan persetujuan Menteri, badan penyelenggara dan
badan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat
(2) dapat mengadakan perjanjian baik dengan organisasi
internasional maupun dengan penyelenggara telekomunikasi negara
lain.

                             Pasal 15

(1)   Penyelenggaraan telekomunikasi bagi keperluan pertahanan
      keamanan negara dapat menggunakan dan memanfaatkan jasa
      telekomunikasi yang disediakan badan penyelenggara dan badan
      lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat
      (2).

(2)   Alokasi frekuensi radio untuk keperluan penyelenggaraan
      telekomunikasi bagi pertahanan keamanan negara ditetapkan
      oleh Menteri.

(3)   Ketentuan mengenai persyaratan teknis perangkat
      telekomunikasi dan penyelenggaraan telekomunikasi untuk
      keperluan pertahanan keamanan negara diatur tersendiri
      dengan Peraturan Pemerintah.

                             Pasal 16
(1)   Dalam hal penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang
      dilaksanakan oleh badan penyelenggara sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 12 ayat (1) atau badan lain sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 12 ayat (2) belum dapat menjangkau wilayah
      tertentu, maka penyelenggara telekomunikasi untuk keperluan
      khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dengan
      izin Menteri dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi
      untuk kepentingan umum.

(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penyelenggaraan
      jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                             Pasal 17

Susunan tarif jasa telekomunikasi diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

                             Pasal 18

(1)   Badan penyelenggara dan badan lain, instansi pemerintah
      tertentu, perseorangan, dan badan hukum sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 12 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) wajib
      memberikan prioritas pengiriman, penyaluran, dan penyampaian
      berita yang menyangkut :

      a.   kepentingan dan keselamatan negara;
      b.   keselamatan jiwa manusia dan harta benda;
      c.   bencana alam;
      d.   marabahaya,
      e.   wabah.

(2)   Penetapan lebih lanjut prioritas pengiriman, penyaluran, dan
      penyampaian berita selain berita sebagaimana dimaksud dalam
      ayat (1) dilakukan oleh Menteri.

                             Pasal 19

(1)   Untuk kepentingan umum, badan penyelenggara dan badan lain
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2)
      dalam melaksanakan usaha penyelenggaraan jasa telekomunikasi
      diberi kewenangan memasang jaringan telekomunikasi dengan :

      a.   melintasi sungai atau danau baik di atas maupun di
      bawah permukaan;
      b.   melintasi laut baik di atas maupun di bawah permukaan;
      c.   melintasi jalan umum, tempat umum, dan jalan kereta
      api.

(2)   Sepanjang tidak bertentangan dan dengan memperhatikan
      peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam
      melaksanakan usaha untuk kepentingan umum, badan
      penyelenggara dan badan lain sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) diberi kewenangan untuk :

      a.   masuk ke tempat umum atau perseorangan dan
      menggunakannya untuk sementara waktu;
      b.   menggunakan tanah, melintas di atas atau di dalam
      tanah;
      c.   melintas di atas atau di bawah bangunan yang dibangun
      di atas atau di dalam tanah;
      d.   menebang atau memotong tumbuh-tumbuhan yang
      menghalanginya.

(3)   Dalam melaksanakan usaha penyediaan dan peningkatan
      pelayanan jasa telekomunikasi, badan penyelenggara dan badan
      lain sebagaimana di- maksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat
      (2) diberi kewenangan untuk memasukkan, menguasai, dan
      memiliki alat telekomunikasi untuk dipakai dalam
      penyelenggaraan jasa telekomunikasi.

                             Pasal 20

(1)   Untuk kepentingan umum, pihak yang berhak atas tanah,
      bangunan, dan tumbuh-tumbuhan wajib mengizinkan badan
      penyelenggara dan badan lain sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) untuk melaksanakan kewenangan
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dengan
      mendapatkan pembayaran ganti rugi yang layak apabila hal
      tersebut mengakibatkan pemindahan bangunan dan pencabutan
      hak atas tanah dan benda yang ada diatasnya.

(2)   Pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      tidak berlaku untuk tanah yang langsung dikuasai oleh
      negara.

(3)   Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibebankan
      kepada badan penyelenggara dan badan lain sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2).

(4)   Badan penyelenggara dan badan lain sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) tidak diperkenankan
      melakukan pekerjaannya sebelum ganti rugi sebagaimana
      dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan.

                             Pasal 21

Penetapan dan tata cara pembayaran ganti rugi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 dilakukan sesuai dengan dan dengan
memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

                             Pasal 22

Kewajiban untuk memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 tidak berlaku terhadap mereka yang mendirikan bangunan,
menanam tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain dengan tujuan untuk
memperoleh ganti rugi di atas tanah yang sudah dibebaskan untuk
usaha penyelenggaraan jasa telekomunikasi.

                               BAB V
               PENCEGAHAN GANGGUAN, PERLINDUNGAN, DAN
             PENGAMANAN PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI

                             Pasal 23

Perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan
elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi dilarang.

                             Pasal 24

(1)   Sarana dan prasarana telekomunikasi untuk penyelenggaraan
      telekomunikasi mendapat perlindungan dan pengamanan.

(2)   Bentuk dan tata cara perlindungan dan pengamanan sebagaimana
      dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                               BAB VI
          HUBUNGAN ANTARA BADAN PENYELENGGARA, BADAN LAIN
                DAN MASYARAKAT DALAM PENYELENGGARAAN
                        JASA TELEKOMUNIKASI

                             Pasal 25

(1)   Badan penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat
      (1) adalah pemegang kuasa penyelenggaraan jasa
      telekomunikasi.

(2)   Badan lain di luar badan penyelenggara sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 12 ayat (2) dan perseorangan atau badan hukum
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) adalah mitra
      usaha badan penyelenggara.

                             Pasal 26

Badan penyelenggara dan badan lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) wajib menjamin kelancaran
penyelenggaraan jasa telekomunikasi dengan menyediakan fasilitas
telekomunikasi yang baik dan dapat diandalkan, serta memberikan
pelayanan yang sebaik-baiknya.

                             Pasal 27

Badan penyelenggara dan badan lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) dalam menyelenggarakan jasa
telekomunikasi wajib memberikan pelayanan dan perlakuan yang sama
kepada setiap pemakai dan calon pemakai jasa telekomunikasi.

                             Pasal 28
Setiap orang, badan negara, dan instansi pemerintah atau pun
swasta pada dasarnya mempunyai hak yang sama untuk menggunakan
jasa telekomunikasi dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

                             Pasal 29

Dalam rangka pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas
telekomunikasi, badan penyelenggara dan badan lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) atas permintaan
pemakai jasa telekomunikasi yang bersangkutan wajib melakukan
perekaman pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh
pemakai jasa telekomunikasi, dan dapat melakukan perekaman berita
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

                             Pasal 30

(1)   Pemakai jasa telekomunikasi berhak mengajukan tuntutan ganti
      rugi yang layak atas kerugian dari penggunaan jasa
      telekomunikasi sepanjang dapat dibuktikan bahwa kerugian
      tersebut disebabkan oleh kesalahan badan penyelenggara dan
      badan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan
      ayat (2).

(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku
      terhadap kerugian yang timbul karena sebab di luar kemampuan
      badan penyelenggara dan badan lain sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2).

(3)   Tata cara pengajuan dan penyelesaian ganti rugi sebagaimana
      dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                              BAB VII
                          RAHASIA BERITA

                             Pasal 31

Badan penyelenggara dan badan lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) wajib menjamin kerahasiaan berita
yang dikirim dan diterima dengan menggunakan jasa telekomunikasi.

                             Pasal 32

Penyampaian rekaman berita oleh badan penyelenggara dan badan
lain kepada pemakai jasa telekomunikasi untuk keperluan
pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 tidak merupakan
pelanggaran ketentuan Pasal 31.

                              BAB VIII
                 BADAN PERTIMBANGAN TELEKOMUNIKASI

                             Pasal 33
(1)   Dalam rangka pelaksanaan Undang-undang ini dan sejalan
      dengan perkembangan teknologi di bidang telekomunikasi serta
      dinamika masyarakat, dengan Keputusan Presiden dibentuk
      Badan Pertimbangan Telekomunikasi.

(2)   Badan Pertimbangan Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam
      ayat (1) merupakan forum koordinasi yang bertugas memberikan
      pertimbangan, saran, dan pendapat untuk merumuskan
      kebijaksanaan di bidang telekomunikasi serta membahas
      masalah telekomunikasi yang sifatnya strategis.

                             Pasal 34

Susunan, pengangkatan, dan pemberhentian anggota Badan
Pertimbangan Telekomunikasi ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

                              BAB IX
                         KETENTUAN PIDANA

                             Pasal 35

Setiap perbuatan yang dilakukan tanpa hak dan dengan sengaja
untuk mengubah jaringan telekomunikasi dan/atau memanipulasi
penyelenggaraan telekomunikasi sehingga menimbulkan kerugian pada
penyelenggara atau pun pemakai jasa telekomunikasi merupakan
tindak pidana.

                             Pasal 36

(1)   Barangsiapa dengan sengaja melanggar ketentuan mengenai
      penggunaan perangkat telekomunikasi yang menggunakan
      gelombang radio dan gelombang elektromagnetik lainnya
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 13
      ayat (1) diancam dengan pidana penjara selamalamanya 4
      (empat) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp
      40.000.000,-(empat puluh juta rupiah).

(2)   Barangsiapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang
      mengakibatkan gangguan penyelenggaraan telekomunikasi
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 diancam dengan pidana
      penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun atau denda
      sctinggi-tingginya Rp 40.000.000,- (empat puluh juta
      rupiah).

(3)   Apabila tindak pidana sebagaitnana dimaksud dalam ayat (1)
      dan ayat (2) mengakibatkan matinya seseorang, diancam dengan
      pidana penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun.

(4)   Barangsiapa karena kelalaiannya mengakibatkan gangguan
      penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 23 diancam dengan pidana penjara
      selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya
      Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).

(5)   Apabila kelalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
      mengakibatkan matinya seseorang, diancam dengan pidana
      penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun.

                             Pasal 37

(1)   Barangsiapa melanggar ketentuan mengenai pengusahaan,
      pemilikan, atau pemasangan pemancar radio sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) diancam dengan pidana
      penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda
      setinggi-tingginya Rp 10.000.000,. (sepuluh juta rupiah).

(2)   Barangsiapa memasukkan pemancar radio ke dalam wilayah
      Indonesia, memperdagangkan, membuat, atau merakit pemancar
      radio yang akan digunakan di dalam negeri tidak memenuhi
      persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
      (3) diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu)
      tahun atau denda setinggi-tingginya Rp 10.000.000,- (sepuluh
      juta rupiah).

(3)   Barangsiapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (2) diancam dengan
      pidana penjara selamalamanya 1 (satu) tahun atau denda
      setinggi-tingginya Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).

                             Pasal 38

Barangsiapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31 diancam pidana sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana.

                             Pasal 39

(1)   Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35,
      Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 dilakukan oleh atau atas
      tanggung jawab suatu badan hukum, penuntutan dilakukan dan
      pidana dijatuhkan terhadap pengurus atau penanggung jawab
      kecuali apabila pengurus atau penanggung jawab tersebut
      dapat membuktikan bahwa hal tersebut tidak karena
      kesalahannya.

(2)   Semua alat telekomunikasi dan barang-barang lainnya yang
      digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 dapat
      disita dan dirampas untuk negara dan diserahkan kepada
      Departemen yang bertanggung jawab di bidang telekomunikasi
      untuk keperluan negara atau segera dimusnahkan.

(3)   Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36,
      Pasal 37, dan Pasal 38 adalah kejahatan.
                              BAB X
                            PENYIDIKAN

                             Pasal 40

(1)   Selain oleh pejabat penyidik umum yang bertugas menyidik
      tindak pidana, penyidikan atas tindak pidana yang
      dimaksudkan dalam Undang-undang ini serta peraturan
      pelaksanaannya dapat juga dilakukan oleh pejabat pegawai
      negeri sipil tertentu sesuai dengan peraturan
      perundang-undangan yang berlaku.

(2)   Dalam melaksanakan tugas penyidikan, penyidik pegawai negeri
      sipil berwenang antara lain :

      a.   menghentikan penggunaan peralatan telekomunikasi yang
      menyimpang dari ketentuan yang berlaku;
      b.   memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
      saksi atau tersangka;
      c.   melakukan pemeriksaan prasarana telekomunikasi;
      d.   menggeledah tempat yang diduga digunakan melakukan
      tindak pidana;
      e.   menyegel dan/atau menyita alat-alat telekomunikasi yang
      digunakan untuk melakukan tindak pidana.

(3)   Pelaksanaan kewenangan dimaksud dalam ayat (2) dilakukan
      sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

                               BAB XI
                        KETENTUAN PERALIHAN

                             Pasal 41

Segala peraturan pelaksanaan yang berlaku berdasarkan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1964 dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan atau belum diadakan yang baru
berdasarkan Undang-undang ini.

                              BAB XII
                         KETENTUAN PENUTUP

                             Pasal 42

Dengan berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 5 Tahun
1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1963 tentang Telekomunikasi (Lembaran
Negara Tahun 1963 Nomor 66) menjadi Undang-undang (Lembaran
Negara Tahun 1964 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2657)
dinyatakan tidak berlaku.

                             Pasal 43

Undang-undang ini disebut Undang-undang Telekomunikasi dan mulai
berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 April 1989
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 April 1989
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

MOERDIONO

                           PENJELASAN
                               ATAS
                UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                       NOMOR 3 TAHUN 1989
                             TENTANG
                         TELEKOMUNIKASI

I.   UMUM

     Pembangunan nasional sebagaimana diarahkan dalam Garis-garis
     Besar Haluan Negara dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan
     nasional seperti termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang
     Dasar 1945, yaitu untuk mewujudkan masyarakat adil dan
     makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan
     Pancasila.
     Pembangunan dan penyelenggaraan telekomunikasi, di samping
     memiliki arti penting dan strategis, juga sebagai salah satu
     faktor yang dapat menunjang dan mendorong kegiatan
     perekonomian, memantapkan pertahanan keamanan, mencerdaskan
     kehidupan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan,
     meningkatkan hubungan antar bangsa, memperkuat persatuan dan
     kesatuan bangsa dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara,
     dan memantapkan ketahanan nasional.
     Dalam rangka penyelenggaraan telekomunikasi, terkait sumber
     daya alam yang terkandung di dalam udara atau ruang angkasa,
     penggunaan tanah-tanah tertentu, dan masalah yang menyangkut
     ganti rugi sehingga sepatutnya apabila Undang-undang Nomor 5
     Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
     dijadikan sebagai salah satu landasan dalam penyusunan
     Undang-undang ini.
     Penyelenggaraan telekomunikasi mempunyai kaitan yang sangat
     erat dengan ruang angkasa dimana didalammya terdapat unsur
     spektrum frekuensi radio dan orbit geostasioner yang
     merupakan sumber daya alam terbatas. Oleh karena itu,
penyelenggaraan telekomunikasi sebagai upaya pemanfaatan
sumber daya alam yang terbatas tersebut merupakan cabang
produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak sehingga perlu dikuasai oleh Negara.
Penguasaan oleh Negara tersebut pada garis besarnya berarti
kewenangan untuk :
a.        mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, penyediaan, dan pemeliharaannya;
b.        menentukan dan mengatur hak-hak;
c.        menentukan dan mengatur hubungan hukum dan
perbuatan-perbuatan hukum berkenaan dengan telekomunikasi.
Sesuai dengan kerangka pemikiran tersebut di atas dan dengan
memperhatikan arti penting penyelenggaraan telekomunikasi
dimana penyelenggaraan jasa telekomunikasi memberikan
sumbangan yang cukup besar bagi pembangunan ekonomi, maka
menjadi kewajiban bagi Pemerintah untuk melakukan pembinaan
secara aktif di bidang telekomunikasi. Pembinaan tersebut
dilakukan dan dituangkan dalam bentuk kebijaksanaan,
pengaturan, pengendalian, dan pengawasan penyelenggaraannya.
Bersamaan dengan itu Pemerintah juga berkewajiban untuk
senantiasa menjamin agar penyelenggaraan telekomunikasi
selalu dapat berlangsung secara andal baik dalam arti
keseimbangan, efektivitas, pengelolaan maupun kualitasnya.
Keseimbangan tersebut antara lain adalah terwujudnya suatu
keadaan dimana berbagai sarana telekomunikasi, misalnya
sarana sistem transmisi terestrial dan transmisi satelit,
saling melengkapi.
Dengan memperhatikan peranan dan arti penting telekomunikasi
bagi perwujudan tujuan nasional sebagaimana tersebut di
atas, dan keinginan untuk mewujudkan terselenggaranya
pelayanan di bidang telekomunikasi ini secara andal dengan
tetap memperhatikan keadaan yang meliputi
penyelenggaraannya, maka sepantasnyalah apabila pada tingkat
pertama Pemerintah bertindak sebagai penyelenggara di bidang
telekomunikasi yang kemudian untuk penyelenggaraan jasa
telekomunikasi dilimpahkan kepada badan penyelenggara yang
berbentuk badan usaha milik negara. Berhasilnya pembangunan
nasional tergantung dari partisipasi seluruh rakyat, maka
sejak awal disadari pula perlunya mendorong keikutsertaan
masyarakat dalam penyelenggaraan jasa telekomunikasi.
Pengikutsertaan masyarakat ini penting karena selain
bertitik tolak pada pandangan tersebut di atas, pada
dasarnya juga perlu diwujudkan pemerataan kesempatan
berusaha di bidang telekomunikasi. Pengikutsertaan ini dapat
berlangsung di berbagai tingkat atau tahapan dalam
penyelenggaraan telekomunikasi sehingga selain badan
penyelenggara tersebut di atas, maka badan lain, yakni badan
hukum yang berbentuk koperasi, badan usaha milik daerah, dan
badan usaha swasta nasional dapat ikut serta
menyelenggarakan jasa telekomunikasi yang dituangkan dalam
bentuk usaha bersama atau kegiatan yang mandiri.
Segi lain yang juga menjadi pusat perhatian dalam
Undang-undang ini adalah beberapa penegasan yang menyangkut
      hubungan antara penyelenggara dan pemakai jasa
      telekomunikasi. Pengaturan masalah ini mempunyai dua sasaran
      pokok:
      Pertama, sebagai upaya perwujudan cita-cita kesejahteraan
      dengan menampilkan kewajiban dan hak yang seimbang antara
      penyelenggara dan rakyat sebagai pemakai jasa.
      Kedua, meningkatkan mutu penyelenggaraan jasa telekomunikasi
      itu sendiri.
      Selain hal-hal tersebut di atas, pengaturan dalam
      Undang-undang ini juga diarahkan untuk memberikan
      perlindungan terhadap sarana dan prasarana telekomunikasi
      dengan tetap mengharapkan adanya peran serta masyarakat.
      Karena vitalnya telekomunikasi, maka dalam Undang-undang ini
      diatur tentang perlindungan dan pengamanan terhadap
      penyelenggaraan telekomunikasi. Dalam pada itu, mengingat
      telekomunikasi mempunyai sifat yang strategis, maka perlu
      juga dipertimbangkan kadar penjatuhan pidana atas semua
      jenis tindak pidana terhadap perangkat dan penyelenggaraan
      telekomunikasi untuk keperluan pertahanan keamanan negara,
      yang tidak secara khusus diatur di dalam Undang-undang ini.
      Indonesia sebagai anggota beberapa organisasi internasional
      terikat kepada ketentuan-ketentuan internasional yang
      berlaku antara lain :
      a.        konvensi Telekomunikasi Internasional Nairobi
      1982, yang pada saat ditetapkan Undang-undang ini telah
      diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1985
      beserta peraturan-peraturan yang menyertainya, yakni
      Peraturan Radio dan Peraturan Telegrap dan Telepon.
      b.        Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum
      Laut yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 17
      Tahun 1985 yang antara lain mengatur perlindungan atas
      jaringan telekomunikasi sistem kabel laut.
      Bertitik tolak pada pemikiran sebagaimana tersebut di atas,
      Undang-undang ini disusun untuk mengganti Undang-undang yang
      ada. Dengan Undang-undang ini diharapkan penyelenggaraan
      telekomunikasi dapat memiliki landasan yang lebih mantap
      dalam menjawab tantangan di masa yang akan datang, baik dari
      segi penyelenggaraannya, pemakaian jasa telekomunikasi
      maupun penyesuaiannya terhadap kemajuan teknologi
      telekomunikasi yang berlangsung dengan sangat cepat dan
      tuntutan kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat.

II.   PASAL DEMI PASAL

      Pasal 1
      Dalam pasal ini dimuat pengertian dan istilah teknis yang
      digunakan dalam Undang-undang ini, antara lain mengenai
      telekomunikasi, perangkat telekomunikasi, pemancar radio,
      dan sebagainya.
      Yang termasuk dalam pengertian "tiap jenis tanda" dalam
      pengertian telekomunikasi adalah isyarat, tulisan, dan
      berita lainnya. Pengertian "sistem elektromagnetik lainnya"
      mencakup perkembangan teknologi telekomunikasi.
Yang dimaksud dengan "penyediaan" dalam penyelenggaraan
telekomunikasi antara lain meliputi kegiatan perencanaan,
pembangunan sarana, pengadaan fasilitas telekomunikasi
termasuk sumber daya manusia. Sedangkan yang dimaksud dengan
"pelayanan" meliputi antara lain pengoperasian,
pemeliharaan, penelitian dan pengembangan sarana dan/atau
fasilitas telekomunikasi, pendidikan dan latihan.
Pasal 2
Telekomunikasi merupakan cabang produksi yang penting bagi
negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Oleh karena
itu, penyelenggaraan telekomunikasi juga bertujuan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan Wawasan Nusantara
dan ketahanan nasional.
Pasal 3
Penyelenggaraan telekomunikasi tetap memperhatikan dengan
sungguh-sungguh asas pembangunan nasional dengan
mengutamakan asas manfaat, asas adil dan merata, dan asas
kepercayaan pada diri sendiri.
Asas manfaat adalah bahwa pelaksanaan penyelenggaraan
telekomunikasi harus dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya
bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Asas adil dan merata adalah bahwa hasil-hasil
penyelenggaraan telekomunikasi harus dapat dinikmati secara
merata oleh seluruh rakyat. Asas kepercayaan pada diri
sendiri adalah bahwa segala usaha dan kegiatan
penyelenggaraan telekomunikasi harus mampu membangkitkan
kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan diri sendiri.
Pasal 4
Ayat (1)
Pembinaan adalah kegiatan pengaturan, pengendalian, dan
pengawasan. Dalam kegiatan pengaturan, tercakup perumusan
dan penentuan kebijaksanaan umum maupun teknis, dan
pengaturan teknis operasional yang antara lain tercermin
dalam pengaturan perizinan dan persyaratan dalam
penyelenggaraan telekomunikasi.
Kegiatan pengendalian dilakukan baik di bidang pembangunan
maupun operasi berupa pengarahan dan bimbingan terhadap
penyelenggaraan telekomunikasi.
Yang dimaksudkan dengan pengawasan adalah pengawasan
terhadap penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk pengawasan
terhadap penyelenggaraan jasa telekomunikasi, pengawasan
terhadap penguasaan, pengusahaan, pemasukan, perakitan, dan
penggunaan perangkat telekomunikasi yang menggunakan
gelombang radio dan elektromagnetik lainnya.
Ayat (2)
Dalam Peraturan Pemerintah akan diatur secara lebih rinci
dan jelas hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan,
pengendalian, dan pengawasan penyelenggaraan telekomunikasi
antara lain dengan mengatur hal-hal yang diuraikan di dalam
penjelasan ayat (1) di atas.
Pasal 5
Ayat (1)
Dalam rangka penetapan kebijaksanaan di bidang
telekomunikasi, Pemerintah akan memperhatikan dengan
sungguh-sungguh pemikiran dan pandangan yang hidup dalam
masyarakat.
Ayat (2)
Sarana telekomunikasi meliputi jaringan komunikasi satelit,
kabel laut, optik, gelombang radio, dan elektromagnetik
lainnya, sedangkan jenis penyelenggaraan telekomunikasi
adalah penyelenggaraan jasa telekomunikasi dan
penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan khusus antara
lain telekomunikasi untuk keperluan Badan Meteorologi dan
Geofisika, Televisi Republik Indonesia (TVRI), Radio
Republik Indonesia (RRI), Direktorat Jenderal Perhubungan
Laut, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, amatir radio,
komunikasi radio antarpenduduk, radio siaran non-RRI, dan
perusahaan pertambangan.
Pasal 6
Pengertian administrasi telekomunikasi, sesuai dengan
ketentuan internasional, ialah departemen atau
instansi/badan pemerintah yang bertanggungjawab untuk
melaksanakan kewajiban yang tercantum dalam konvensi
telekomunikasi internasional dan peraturan yang menyertainya
serta peraturan internasional lainnya di bidang
telekomunikasi seperti konvensi Inmarsat (International
Maritime Satellite Organization) dan Perjanjian Intelsat
(International Telecommunication Satellite Organization)
serta perjanjian internasional lainnya yang akan
diratifikasi Indonesia.
Berdasarkan pengertian di atas, sudah selayaknya apabila
Menteri yang bertanggung jawab di bidang telekomunikasi juga
bertindak sebagai penanggung jawab administrasi
telekomunikasi Indonesia.
Pasal 7
Ketentuan ini dimaksudkan sebagai sarana untuk mengawasi
penggunaan dan pemanfaatan frekuensi radio dan orbit
geostasioner bagi keperluan penyelenggaraan telekomunikasi
dalam negeri sesuai dengan alokasi yang telah ditentukan
oleh organisasi telekomunikasi internasional atau atas
persetujuan internasional yang juga mengikat pihak
Indonesia.
Spektrum frekuensi radio merupakan pita gelombang radio yang
dapat dimanfaatkan untuk komunikasi radio mulai dari yang
terendah, sekitar 10 Khz, sampai dengan yang tertinggi 3.000
Ghz.

Pasal 8
Ayat (1)
Prinsip yang diakui secara internasional dalam hal
penggunaan perangkat telekomunikasi yang menggunakan
gelombang radio dan gelombang elektromagnetik lainnya adalah
prinsip tidak boleh saling menganggu dan harus sesuai dengan
peruntukannya. Penggunaan perangkat telekomunikasi yang
menggunakan gelombang radio dan gelombang elektromagnetik
yang dapat menimbulkan gangguan, antara lain, adalah :
     a.                  penggunaannya yang tidak sesuai dengan
     persyaratan teknis yang ditentukan, misalnya penggunaan daya
     pancar yang melebihi ketentuan yang diizinkan;
     b.                  penggunaan frekuensi radio yang tidak
     sesuai dengan peruntukannya, misalnya penggunaan frekuensi
     yang disediakan untuk dinas pelayanan atau navigasi oleh
     siaran radio.
     Frekuensi radio sebagai sumber daya alam yang terbatas
     memerlukan pengaturan penggunaannya agar tidak melampaui
     kapasitas yang akan mengakibatkan terjadinya saling
     mengganggu di antara para penggunanya.
     Ayat (2)
     Penggunaan pemancar radio atau perangkat telekomunikasi yang
     menggunakan gelombang elektromagnetik lainnya yang tidak
     dikendalikan dengan baik dan tidak memenuhi persyaratan
     teknis yang berlaku dapat menimbulkan gangguan
     elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi pada
     umumnya yang dapat mempunyai dampak negatif terhadap
     penyelenggaraan telekomunikasi dan peralatan telekomunikasi
     untuk pertahanan keamanan.
     Gangguan elektromagnetik tersebut dapat berupa gangguan
     terhadap pelayanan navigasi radio, penetapan posisi secara
     elektronik, keselamatan pelayaran serta penerbangan, dan
     gangguan lain yang secara nyata menurunkan mutu dan
     menimbulkan gangguan terus-menerus atas pemancar radio dan/
     atau perangkat telekomunikasi yang menggunakan gelombang
     elektromagnetik lainnya.
     Penetapan persyaratan teknis yang dilakukan dengan
     memperhatikan ketentuan yang berlaku di bidang perdagangan,
     keuangan, dan ketentuan di bidang perindustrian khususnya
     yang menyangkut usaha pengembangan industri dalam negeri.
     Ayat (3)
     Cukup jelas
     Ayat (4)
     Cukup jelas
     Pasal 9
     Dengan ketentuan ini, maka penggunaan perangkat
     telekomunikasi bagi perwakilan diplomatik dalam rangka
     kelancaran pelaksanaan tugas mereka tetap dilaksanakan
     berdasarkan izin.
     Yang dimaksud dengan perwakilan diplomatik adalah perwakilan
     diplomatik negara asing atau organisasi internasional
     tertentu lainnya.
     Pemberian izin tersebut dilakukan dengan memperhatikan asas
     timbal balik (resiprositas) dalam arti pemberian perlakuan
     yang sama seperti perlakuan mereka terhadap perwakilan
     Indonesia di luar negeri.

Pasal 10
     Ayat (1)
     Yang dimaksud dengan wilayah perairan Indonesia adalah
     wilayah teritorial dimana perairan dalam menurut Wawasan
     Nusantara termasuk di dalamnya. Dengan demikian, pengertian
     ini menjangkau konsepsi negara kepulauan sebagaimana diakui
     dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum laut
     yang selanjutnya telah disahkan dengan Undang-undang Nomor
     17 Tahun 1985.
     Karena kapal atau kendaraan air asing tersebut telah
     dilengkapi dengan perangkat telekomunikasi yang tentunya
     baik pemasangan maupun pengoperasiannya telah mengikuti
     ketentuan yang berlaku dinegaranya, maka ketentuan tentang
     persyaratan teknis yang ditetapkan Menteri tidak dapat
     diterapkan kepadanya. Namun, penggunaan perangkat
     telekomunikasi tersebut di perairan Indonesia tetap harus
     mengikuti ketentuan internasional yang berlaku, yakni
     prinsip tidak saling mengganggu dan sesuai dengan
     peruntukannya.
     Yang dimaksud dengan diusahakan di wilayah perairan
     Indonesia adalah dimiliki atau dioperasikan oleh perusahaan
     pelayaran Indonesia, atau digunakan berdasarkan izin untuk
     keperluan tertentu di wilayah perairan Indonesia untuk
     jangka waktu tertentu, misalnya untuk survei, penelitian,
     pemasangan kabel laut, eksplorasi, dan eksploitasi.
     Ayat (2)
     Larangan menggunakan pemancar radio atau gelombang
     elektromagnetik lainnya di daerah perairan pelabuhan
     dimaksudkan untuk melindungi keamanan negara dan untuk
     mencegah dirugikannya penyelenggaraan jasa telekomunikasi
     untuk umum.
     Dinas bergerak pelayaran (maritime mobile service) adalah
     telekomunikasi antara stasiun-stasiun pantai dan
     stasiun-stasiun kapal atau antarstasiun kapal atau
     antarstasiun komunikasi pelengkap di kapal.
     Stasiun-stasiun kendaraan penyelamat dan stasiun-stasiun
     rambu radio penunjuk posisi dapat juga beroperasi dalam
     dinas ini. Ketentuan ini hanya berlaku untuk kapal atau
     kendaraan air sipil dan tidak diberlakukan bagi kapal atau
     kendaraan air milik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
     Ayat (3)
     Cukup jelas
Pasal 11
     Ayat (1)
     Ketentuan teknis tentang perangkat telekomunikasi yang
     ditetapkan Menteri tidak dapat diterapkan kepada pesawat
     udara asing tersebut karena pesawat udara asing tersebut
     tentunya telah mengikuti ketentuan yang berlaku di
     negaranya. Namun, penggunaan perangkat telekomunikasi
     tersebut tetap harus mengikuti ketentuan internasional yang
     berlaku, yakni prinsip tidak saling mengganggu dan sesuai
     dengan peruntukannya.
     Ayat (2)
     Dinas bergerak penerbangan (aeronautical mobile service)
     adalah telekomunikasi antara stasiun-stasiun penerbangan dan
     stasiun-stasiun pesawat udara atau antarstasiun pesawat
     udara yang juga dapat mencakup stasiun-stasiun kendaraan
     penyelamat dan stasiun-stasiun rambu radio penunjuk posisi
     darurat. Dinas ini beroperasi pada frekuensi-frekuensi yang
     ditentukan untuk marabahaya dan keadaan darurat.
     Ayat (3)
     Cukup jelas
Pasal 12
     Ayat (1)
     Badan penyelenggara yang dimaksud adalah yang sesuai dengan
     ketentuan Pasal 1, yakni badan usaha milik negara yang
     bentuk usahanya pada saat ditetapkannya Undang-undang ini
     sesuai dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang
     Bentuk- bentuk Usaha Negara.
     Dengan memperhatikan sifat usaha penyelenggaraan jasa
     telekomunikasi, maka sudah pada tempatnya apabila kepada
     badan penyelenggara diberikan pengarahan mengenai
     pengelolaan dan pengembangan usahanya yang disertai dengan
     sistem pengawasan dan pertanggungjawaban yang jelas.
     Ayat (2)
     Badan lain yang dimaksud adalah yang sesuai dengan ketentuan
     dalam Pasal 1.
     Yang dimaksud dengan jasa telekomunikasi dasar adalah jasa
     telekomunikasi yang menyampaikan informasi secara murni
     dimana isi dan pesan informasi yang dikirim dan diterima
     bersifat tetap, netral, dan transparan terhadap fasilitas
     telekomunikasi yang digunakan. Jasa telekomunikasi dasar
     meliputi antara lain telepon, telex, telegram, dan sirkit
     sewa.
     Yang dimaksud dengan jasa telekomunikasi bukan dasar adalah
     jasa telekomunikasi di luar jasa telekomunikasi dasar yang
     timbul karena peningkatan karakteristik dan kemampuan sarana
     telekomunikasi dengan menggunakan komputer atau perangkat
     lain sebagai terminal untuk mengolah dan menyimpan data dan
     informasi.
     Peran serta badan lain dalam penyelenggaraan jasa tersebut
     ditetapkan oleh Menteri.
     Ayat (3)
     Selain badan penyelenggara dan badan lain yang
     menyelenggarakan jasa telekomunikasi, instansi pemerintah
     tertentu, perseorangan, atau badan hukum dapat
     menyelenggarakan telekomunikasi untuk keperluan khusus yang
     mempunyai sifat tertentu seperti kerahasiaan, jangkauan,
     atau yang pengoperasiannya mengikuti tata cara dan bentuk
     tersendiri.
     Penyelenggaraan telekomunikasi dimaksud adalah :
     a.             telekomunikasi untuk pelaksanaan tugas khusus
     instansi pemerintah tertentu, misalnya untuk Badan
     Meteorologi dan Geofisika, Televisi Republik Indonesia,
     Radio Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perhubungan
     Laut, dan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara;
     b.             telekomunikasi yang diselenggarakan
     perseorangan, misalnya amatir radio dan komunikasi radio
     antarpenduduk;
     c.             telekomunikasi yang diselenggarakan oleh
     badan hukum, misalnya radio siaran non-RRI, telekomunikasi
     untuk pertambangan, dan telekomunikasi untuk pengusahaan
     hutan.
Pasal 13
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Cukup jelas

Pasal 14
     Dengan persetujuan Menteri, badan penyelenggara dan badan
     lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat
     (2) secara konsepsional dan rasional dapat mengadakan
     perjanjian dengan organisasi internasional atau dengan badan
     penyelenggara telekomunikasi negara lain dan/atau organisasi
     lain baik yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri
     untuk kepentingan peningkatan kemampuan penyelenggaraan jasa
     telekomunikasi, pendidikan, penelitian, dan pengembangan
     pertelekomunikasian.
     Kerja sama dengan pihak luar negeri harus mempertimbangkan
     kepentingan nasional dan ketentuan perundang-undangan yang
     berlaku antara lain di bidang moneter.

Pasal 15
     Ayat (1)
     Untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara, fasilitas
     telekomunikasi yang dimiliki oleh badan penyelenggara dan
     badan lain dapat dimanfaatkan, misalnya dapat menggunakan
     transponder dari satelit telekomunikasi.
     Ayat (2 )
     Cukup jelas
     Ayat (3)
     Dengan ditetapkannya persyaratan teknis untuk perangkat
     telekomunikasi bagi keperluan penyelenggaraan telekomunikasi
     pertahanan keamanan negara, maka   persyaratan teknis
     perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
     ayat (2) tidak diberlakukan.

Pasal 16
     Ayat (1)
     Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah kebutuhan
     jasa telekomunikasi di suatu daerah yang karena keadaan
     tertentu belum dapat dijangkau oleh jasa telekomunikasi yang
     diselenggarakan oleh badan penyelenggara dan badan lain.
     Oleh karena itu, Undang-undang ini memandang perlu
     memberikan kemungkinan kepada penyelenggara telekomunikasi
     yang sebenarnya hanya bergerak untuk keperluan khusus guna
     memberikan pelayanan jasa telekomunikasi kepada masyarakat
     yang bertempat tinggal di wilayah seperti itu. Dalam rangka
     penyelenggaraan jasa telekomunikasi ini, sudah selayaknya
     apabila pihak penyelenggara tersebut juga mempunyai
     kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 26, Pasal
     27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32.
     Ayat (2)
     Dalam Peraturan Pemerintah tersebut akan diatur antara lain
     hak dan kewajiban penyelenggara telekomunikasi untuk
     keperluan khusus, tata cara, dan kerja sama dalam rangka
     penyelenggaraan jasa telekomunikasi.
Pasal 17
     Susunan tarif jasa telekomunikasi berisikan struktur dan
     komponen tarif yang penetapannya diatur lebih lanjut dengan
     Peraturan Pemerintah, sedangkan mengenai besarnya tarif
     ditetapkan oleh Menteri sebagai pelaksanaannya dengan
     memperhatikan pemikiran, pandangan yang hidup, dan
     kepentingan masyarakat, kepentingan pemerintah, badan
     penyelenggara, dan/atau badan lain.

Pasal 18
     Ayat (1)
     Pengiriman berita adalah tahap awal dari proses
     bertelekomunikasi, yang dilanjutkan dengan kegiatan
     penyaluran sebagai proses antara, dan diakhiri dengan
     kegiatan penyampaian berita untuk penerimaan pihak yang
     dituju.
     Ayat (2)
     Prioritas pengiriman, penyaluran, dan penyampaian berita
     yang akan ditetapkan oleh Menteri antara lain berita tentang
     musibah keluarga.

Pasal 19
     Ayat (1)
     Jasa telekomunikasi diselenggarakan untuk kepentingan
     masyarakat dan mengingat pentingnya jasa telekomunikasi
     tersebut, sudah selayaknya kepada penyelenggara jasa
     telekomunikasi diberikan berbagai kewenangan untuk
     memudahkan pengembangan dan peningkatan pelayanannya.
     Berbagai kewenangan tersebut juga diberikan kepada
     penyelenggara telekomunikasi khusus, yang berdasarkan izin
     Menteri, menyelenggarakan jasa telekomunikasi di
     daerah-daerah yang belum terjangkau jaringan telekomunikasi
     badan penyelenggara. Kewenangan ini hanya diberikan bila
     nyata-nyata untuk penyelenggaraan jasa telekomunikasi
     tersebut diperlukan penambahan jaringan telekomunikasi yang
     untuk pelaksanaannya memerlukan berbagai kewenangan
     tersebut.
     Ayat (2)
     Penyelenggara jasa telekomunikasi dalam melaksanakan
     kewenangannya wajib menunjukkan surat tugas kepada mereka
     yang berhak atas tanah, bangunan, dan tumbuh-tumbuhan dengan
     memberitahukan maksud dan tempat-tempat pekerjaan yang akan
     dilakukan.

     Ayat (3)
     Kewenangan untuk memasukkan, menguasai, dan memiliki alat
     telekomunikasi tidak dimaksudkan untuk memberikan monopoli
     kepada badan penyelenggara dan/atau badan lain. Kewenangan
     seperti ini perlu diberikan semata-mata untuk memberikan
     dukungan yang wajar sehingga badan penyelenggara dan badan
     lain dapat melaksanakan fungsi mereka sebagaimana mestinya.
     Oleh karena itu, pelaksanaan kewenangan ini pun harus tetap
     berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku antara
     lain di bidang ekspor-impor dan tata niaga di dalam negeri.

Pasal 20
     Ayat (1)
     Pengertian layak adalah yang sesuai dengan kepatutan dan
     dengan sungguh-sungguh memperhatikan peraturan
     perundang-undangan yang berlaku. Ganti rugi yang layak juga
     berlaku untuk kerusakan yang ditimbulkan akibat pelaksanaan
     kewenangan tersebut.
     Ayat (2)
     Tanah yang langsung dikuasai Negara ialah yang pengertiannya
     sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
     yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
     Dasar Pokok-pokok Agraria serta Peraturan Pelaksanaannya
     khususnya tentang hak-hak atas tanah.
     Ayat (3)
     Cukup jelas
     Ayat (4)
     Yang dimaksud dengan "diselesaikan" ialah bahwa ganti rugi
     dengan harga yang layak telah dibayar lunas atau telah
     mendapatkan penggantian dalam bentuk lain, misalnya bila
     ditukar dengan tanah di tempat lain yang sama nilainya.

Pasal 21
     Cukup jelas

Pasal 22
     Orang-orang yang bertujuan memperoleh ganti rugi, dengan
     mendirikan bangunan atau menanam tumbuh-tumbuhan di atas
     tanah yang sudah dibebaskan untuk usaha telekomunikasi tidak
     diberikan ganti rugi.
     Untuk mencegah terjadinya hal demikian, sepatutnya bila
     badan penyelenggara dan/atau badan lain perlu segera
     mengambil langkah-langkah pengamanan atas tanah yang
     dibebaskan, misalnya dengan memberikan tanda atau batas yang
     jelas atau dengan cara memberikan pagar dan memanfaatkan
     tanah tersebut sesuai dengan peruntukannya.
Pasal 23
     Perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap
     penyelenggaraan telekomunikasi dapat berupa :
     a.        tindakan fisik yang menimbulkan kerusakan suatu
     jaringan telekomunikasi sehingga jaringan tersebut tidak
     dapat berfungsi sebagaimana mestinya;
     b.        tindakan fisik yang mengakibatkan hubungan
     telekomunikasi tidak berjalan sebagaimana mestinya;
     c.        penggunaan alat telekomunikasi yang tidak sesuai
     dengan persyaratan teknis yang berlaku;
     d.        penggunaan alat telekomunikasi yang bekerja dengan
     gelombang radio yang tidak sebagaimana mestinya sehingga
     menimbulkan gangguan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi
     lainnya;
     e.        penggunaan alat bukan telekomunikasi yang tidak
     sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan pengaruh teknis
     yang tidak dikehendaki terhadap suatu penyelenggaraan
     telekomunikasi.
Pasal 24
     Ayat (1)
     Ketentuan ini dimaksudkan agar pihak yang berwenang
     memberikan perlindungan dan pengamanan atas fasilitas
     telekomunikasi dari setiap perbuatan yang dapat menimbulkan
     gangguan atau kerusakan atau tidak berfungsinya alat
     tersebut atau tindakan lain dengan cara menguasai untuk
     maksud apapun. Selain daripada itu pihak yang berwenang
     memberikan perlindungan terhadap jalur bebas (koridor) untuk
     gelombang radio dan elektromagnetik lainnya, kabel udara,
     kabel tanah, kabel laut, perangkat dan-kelengkapan
     telekomunikasi lainnya.
     Ayat (2)
     Dalam Peraturan Pemerintah tersebut antara lain akan diatur
     ketentuan tentang pengumuman letak jaringan dan/atau
     fasilitas telekomunikasi yang perlu mendapat perlindungan.
Pasal 25
     Ayat (1)
     Telekomunikasi mempunyai peranan yang sangat penting dan
     strategis dalam rangka pembangunan negara dan bangsa
     seutuhnya. Oleh karena itu, penyediaan jasa telekomunikasi
     harus dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia dan
     oleh karena itu pula, penyelenggaraan jasa telekomunikasi
     harus dilaksanakan oleh Pemerintah.
     Pelaksanaan penyelenggaraan tersebut oleh Pemerintah
     dilimpahkan kepada badan penyelenggara.
     Ayat (2 )
     Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan tentang
     kedudukan dan peranan badan lain yang melakukan kerja sama
     dengan badan penyelenggara dalam kegiatan penyelenggaraan
     jasa telekomunikasi dasar. Dalam penyelenggaraan jasa
     telekomunikasi bukan dasar, sekalipun badan lain di luar
     badan penyelenggara diberi kesempatan untuk melakukan
     kegiatan secara mandiri, tetapi hal itu tetap merupakan
     pelengkap bagi badan penyelenggara dalam penyelenggaraan
     jasa telekomunikasi pada umumnya. Badan lain yang
     menyelenggarakan baik jasa telekomunikasi dasar maupun bukan
     dasar diwajibkan menggunakan jaringan telekomunikasi milik
     badan penyelenggara.
     Lingkup kerja sama dapat meliputi bidang pembangunan,
     pengadaan, dan pengoperasian sarana telekomunikasi.
Pasal 26
     Pelaksanaan kewajiban ini antara lain adalah penyediaan
     fasilitas telekomunikasi yang baik dan dapat diandalkan
     dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan
     penyelenggara jasa telekomunikasi.
     Termasuk dalam pengertian memberikan pelayanan yang sebaik-
     baiknya antara lain adalah penerapan prosedur pembayaran dan
     penyediaan sarana telekomunikasi dengan mudah, dan
     penyediaan fasilitas pengaduan, misalnya penyediaan kotak
     pengaduan.
Pasal 27
     Meskipun penyelenggara jasa telekomunikasi berkewajiban
     memberikan pelayanan dan perlakuan yang sama kepada setiap
     pemakai dan calon pemakai jasa telekomunikasi, namun sesuai
     dengan ketentuan internasional yang berlaku, penyelenggara
     jasa telekomunikasi berhak menghentikan pengiriman,
     penyaluran, dan penyampaian berita yang diketahui secara
     pasti bahwa isi berita tersebut akan membahayakan keamanan
     negara, atau bertentangan dengan ketertiban umum atau norma
     kesusilaan.
Pasal 28
     Cukup jelas
Pasal 29
     Dalam hal terjadi perselisihan mengenai besarnya biaya yang
     harus dibayar oleh pemakai jasa telekomunikasi yang
     ditetapkan oleh badan penyelenggara dan/atau badan lain,
     maka salah satu upaya untuk membuktikan kebenaran pemakaian
     fasilitas telekomunikasi adalah memberikan kesempatan kepada
     pemakai jasa telekomunikasi yang bersangkutan agar badan
     penyelenggara melakukan perekaman pemakaian fasilitas yang
     digunakan oleh pemakai jasa untuk kurun waktu berikutnya.
     Perekaman penggunaan fasilitas telekomunikasi untuk
     membuktikan kebenaran pemakaiannya oleh penyelenggara jasa
     telekomunikasi merupakan kewajiban, namun pelaksanaannya
     disesuaikan dengan kemampuan, sedangkan perekaman isi berita
     atas permintaan pemakai jasa telekomunikasi harus mengikuti
     peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain
     ketentuan mengenai kewajiban merahasiakan berita.
     Selanjutnya lihat ketentuan Pasal 30.
Pasal 30
     Ayat (1)
     Pengertian layak dalam pasal ini adalah yang sesuai dengan
     kelaziman dan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan
     jasa telekomunikasi.
     Yang dimaksudkan dengan kelaziman dalam Pasal ini antara
     lain adalah bahwa kerugian tidak langsung karena penggunaan
     jasa telekomunikasi (consequential damages) tidak dapat
     dibebankan kepada penyelenggara jasa telekomunikasi.
     Kerugian yang dapat ditanggung oleh penyelenggara jasa
     telekomunikasi adalah sebesar biaya yang dikeluarkan oleh
     pemakai jasa telekomunikasi untuk penggunaan jasa
     telekomunikasi tersebut.
     Dalam hal jasa berupa sirkit sewa, maka ganti rugi yang
     dapat diberikan adalah pengembalian biaya yang seharusnya
     dibayar oleh pemakai jasa telekomunikasi selama terjadinya
     gangguan atau tidak berfungsinya sirkit yang disewa tersebut
     dengan minimum lama gangguan 24 jam secara terus menerus.
     Ayat (2)
     Yang dimaksud dengan di luar kemampuan (force majeure)
     adalah bencana alam dan semua kejadian yang tidak dapat
     dihindarkan oleh badan penyelenggara dan/atau badan lain.
     Ayat (3)
     Dalam Peraturan Pemerintah ini juga akan diatur tentang tata
     cara pembuktian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan
     memperhatikan kepentingan masyarakat pemakai jasa
     telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi, dan
     Pemerintah.
Pasal 31
     Badan penyelenggara dan badan lain wajib menjamin
     kerahasiaan berita yang dikirimkan atau diterima dengan
     menggunakan jasa telekomunikasi, kecuali apabila secara
     teknis operasional tidak mungkin dilaksanakan dengan maksud
     melindungi salah satu hak warga negara. Pembukaan terhadap
     rahasia berita hanya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan
     Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, sedangkan pembukaan
     terhadap rahasia berita tanpa hak diancam dengan pidana
     sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.
Pasal 32
     Penyampaian rekaman berita selain kepada pemakai jasa
     telekomunikasi yang meminta perekaman pemakaian fasilitas
     telekomunikasi yang dimilikinya terkena ketentuan Pasal 30.
Pasal 33
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Ketua Badan Pertimbangan Telekomunikasi dijabat oleh Menteri
     selaku penanggung jawab di bidang telekomunikasi, yang
     bertindak untuk dan atas nama badan tersebut bertanggung
     jawab langsung kepada Presiden.

Pasal 34
     Susunan keanggotaan Badan Pertimbangan Telekomunikasi
     terdiri dari :
     a.        pejabat departemen tertentu dan lembaga pemerintah
     yang terkait;
     b.        pakar di bidang tertentu antara lain teknologi,
     ekonomi, sosial budaya, dan hukum.
Pasal 35
     Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi penyelenggaraan
     jasa telekomunikasi dan pemakai jasa telekomunikasi dari
     perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian baik
     yang dilakukan oleh penyelenggara jasa telekomunikasi,
     pemakai jasa, atau pun pihak-pihak lainnya seperti
     pencantolan sambungan telepon, pemasangan nomor ganda,
     memanipulasi pulsa, dan lain-lainnya. Penggunaan sarana
     telekomunikasi oleh siapa pun yang menyimpang dari ketentuan
     yang berlaku merupakan tanggungjawab sepenuhnya dari pihak
     yang menggunakannya.
Pasal 36
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Cukup jelas
     Ayat (3)
     Cukup jelas
     Ayat (4)
     Cukup jelas
     Ayat (5)
     Cukup jelas
Pasal 37
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Cukup jelas
     Ayat (3)
     Cukup jelas
Pasal 38
     Cukup jelas
Pasal 39
     Ayat (1)
     Cukup jelas
     Ayat (2)
     Cukup jelas
     Ayat (3)
     Cukup jelas

Pasal 40
     Ayat (1)
     Penyidikan pelanggaran terhadap Undang-undang Telekomunikasi
     memerlukan keahlian dalam bidang telekomunikasi sehingga
     perlu adanya petugas khusus untuk melakukan penyidikan di
     samping pegawai yang biasa bertugas menyidik tindak pidana.
     Petugas yang dimaksud adalah pegawai negeri sipil di
     lingkungan Departemen yang membawahi bidang telekomunikasi.
     Ayat (2)
     Cukup jelas
     Ayat (3)
     Cukup jelas
Pasal 41
     Cukup jelas
Pasal 42
     Cukup jelas
Pasal 43
     Cukup jelas

                   --------------------------------

                               CATATAN

Kutipan:   LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1989


Silahkan download versi PDF nya sbb:
telekomunikasi_(uu_8_thn_1987)_8.pdf
(ogi/Carapedia)
Pencarian Terbaru

Uu yang mengatur hak pemasangan pemancar telekomunikasi.

Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.