- Home »
- Undang-Undang »
- 2000 » Undang-Undang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (UU 16 thn 2000)
2000
Undang-Undang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (UU 16 thn 2000)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan :
Silahkan download versi PDF nya sbb:
perubahan_kedua_atas__nomor_6_tahun_1983_tentang_16.pdf
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam upaya untuk lebih memberikan keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak serta agar lebih dapat diciptakan kepastian hukum, perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama Tahun 1999; 2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566); Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 1 Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan: 1. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. 2. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya. 3. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean. 4. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha sebagaimana dimaksud pada angka 3 yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak 5. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. 6. Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim atau jangka waktu lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan takwim. 7. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim. 8. Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak. 9. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak atau dalam Bagian Tahun Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 10. Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak dan atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 11. Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak. 12. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak. 13. Surat Setoran Pajak adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau bank badan usaha milik Negara atau bank badan usaha milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. 14. Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil. 15. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar. 16. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. 17. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang. 18. Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. 19. Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda. 20. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. 21. Kredit pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yang terutang. 22. Kredit pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak yang terutang. 23. Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja. 24. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 25. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 26. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap Tahun Pajak berakhir. 27. Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya. 28. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya. 29. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar, atau Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. 30. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak. 31. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak. 32. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib Pajak tertentu." 2. Judul BAB II diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: "BAB II NOMOR POKOK WAJIB PAJAK, PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK, SURAT PEMBERITAHUAN, DAN TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK" 3. Ketentuan Pasal 2 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 2 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 2 (1) Setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak. (2) Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang- undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. (3) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan: a. tempat pendaftaran dan atau tempat pelaporan usaha selain yang ditetapkan dalam ayat (1) dan ayat (2); b. tempat pendaftaran pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan, di samping tempat mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu. (4) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan, apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan atau ayat (2). (5) Jangka waktu pendaftaran dan pelaporan serta tata cara pendaftaran dan pengukuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) termasuk penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak." 4. Ketentuan Pasal 3 diubah, dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (1a), serta di antara ayat (5) dan ayat (6) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (5a), sehingga keseluruhan Pasal 3 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 3 (1) Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan. (1a) Bagi Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dan mata uang selain Rupiah yang diizinkan, yang pelaksanaannya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. (2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (1a) harus mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. (3) Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah: a. untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak; b. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak. (4) Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b untuk paling lama 6 (enam) bulan. (5) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diajukan secara tertulis disertai Surat Pernyataan mengenai penghitungan sementara pajak terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang. (5a) Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), diterbitkan Surat Teguran. (6) Bentuk dan isi Surat Pemberitahuan serta keterangan dan atau dokumen yang harus dilampirkan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. (7) Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan apabila tidak ditandatangani sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan atau dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (6). (8) Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan." 5. Ketentuan Pasal 4 ayat (4) diubah, dan ditambah 1 (satu) ayat yaitu ayat (5), sehingga keseluruhan Pasal 4 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 4 (1) Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas, dan menandatanganinya. (2) Dalam hal Wajib Pajak adalah badan, Surat Pemberitahuan harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi. (3) Dalam hal Surat Pemberitahuan diisi dan ditandatangani oleh orang lain bukan Wajib Pajak, harus dilampiri surat kuasa khusus. (4) Pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan oleh Wajib Pajak yang wajib melakukan pembukuan harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. (5) Tata cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan." 6. Ketentuan Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 6 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 6 (1) Surat Pemberitahuan yang disampaikan langsung oleh Wajib Pajak ke kantor Direktorat Jenderal Pajak harus diberi tanggal penerimaan oleh pejabat yang ditunjuk untuk itu, sedangkan untuk Surat Pemberitahuan Tahunan harus diberikan juga bukti penerimaan. (2) Penyampaian Surat Pemberitahuan dapat dikirimkan melalui Kantor Pos secara tercatat atau dengan cara lain yang diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. (3) Tanda bukti dan tanggal pengiriman untuk penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sepanjang Surat Pemberitahuan tersebut telah lengkap dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan." 7. Ketentuan Pasal 7 diubah dan dijadikan ayat (1), dan ditambah 1 (satu) ayat yaitu ayat (2), sehingga keseluruhan Pasal 7 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 7 (1) Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa dan sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan. (2) Pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilakukan terhadap Wajib Pajak tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan." 8. Ketentuan Pasal 8 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, dan ditambah 1 (satu) ayat yaitu ayat (6), sehingga keseluruhan Pasal 8 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 8 (1) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. (2) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan Surat Pemberitahuan itu. (3) Sekalipun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi sepanjang belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 (dua) kali jumlah pajak yang kurang dibayar. (4) Sekalipun jangka waktu pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah berakhir, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan, yang mengakibatkan: a. pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar; atau b. rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil; atau c. jumlah harta menjadi lebih besar; atau d. jumlah modal menjadi lebih besar. (5) Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi sendiri oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan. (6) Sekalipun jangka waktu pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah berakhir, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan, Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima Keputusan Keberatan atau Putusan Banding mengenai surat ketetapan pajak tahun pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dari ketetapan pajak yang diajukan keberatan atau Keputusan Keberatan yang diajukan banding, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima Keputusan Keberatan atau Putusan Banding tersebut." 9. Ketentuan Pasal 9 diubah, dan di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (2a), sehingga keseluruhan Pasal 9 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 9 (1) Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling lambat 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau Masa Pajak berakhir. (2) Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan harus dibayar lunas paling lambat tanggal dua puluh lima bulan ketiga setelah Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan itu disampaikan. (2a) Apabila pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), atau ayat (2) dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung dari jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. (3) Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan. (4) Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) paling lama 12 (dua belas) bulan, yang pelaksanaannya ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak." 10. Ketentuan Pasal 10 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 10 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 10 (1) Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang di kas negara melalui Kantor Pos dan atau bank badan usaha milik Negara atau bank badan usaha milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. (2) Tata cara pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporannya serta tata cara mengangsur dan menunda pembayaran pajak diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. " 11. Ketentuan Pasal 11 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 11 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 11 (1) Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 17B, atau Pasal 17C dikembalikan, namun apabila ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut. (2) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sehubungan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, atau sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C. (3) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu 1 (satu) bulan, Pemerintah memberikan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas kelambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak, dihitung dari saat berlakunya batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sampai dengan saat dilakukan pembayaran kelebihan. (4) Tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. " 12. Ketentuan Pasal 12 diubah dan dijadikan ayat (1), dan ditambah 2 (dua) ayat yaitu ayat (2) dan ayat (3), sehingga keseluruhan Pasal 12 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 12 (1) Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. (2) Jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan. (3) Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti bahwa jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak benar, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak terutang yang semestinya." 13. Ketentuan Pasal 14 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 14 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 14 (1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila: a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar; b. Dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung; c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga; d. Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; e. Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi membuat Faktur Pajak; f. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak membuat atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak. (2) Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak. (3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak. (4) Terhadap Pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f, masing-masing dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak." 14. Ketentuan Pasal 15 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 15 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 15 (1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sesudah saat pajak terutang, berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang. (2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut. (3) Kenaikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dikenakan apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. (4) Apabila jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak setelah jangka waktu 10 (sepuluh) tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap." 15. Ketentuan Pasal 16 diubah dan dijadikan ayat (1), dan ditambah 2 (dua) ayat yaitu ayat (2) dan ayat (3) sehingga keseluruhan Pasal 16 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 16 (1) Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar, atau Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. (2) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal permohonan diterima, harus memberi keputusan atas permohonan pembetulan yang diajukan. (3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) telah lewat, Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka permohonan pembetulan yang diajukan tersebut dianggap diterima. " 16. Ketentuan Pasal 17B diubah, sehingga keseluruhan Pasal 17B berbunyi sebagai berikut: "Pasal 17B (1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima, kecuali untuk kegiatan tertentu ditetapkan lain dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. (2) Apabila setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir. (3) Apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar." 17. Di antara Pasal 17B dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) Pasal yaitu Pasal 17C, yang berbunyi sebagai berikut: "Pasal 17C (1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lambat 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima untuk Pajak Penghasilan dan paling lambat 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima untuk Pajak Pertambahan Nilai. (2) Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. (3) Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. (4) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan menerbitkan surat ketetapan pajak, setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. (5) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak." 18. Ayat (2) Pasal 18 dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 18 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 18 (1) Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak. (2) dihapus." 19. Ketentuan Pasal 19 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 19 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 19 (1) Apabila atas pajak yang terutang menurut Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan tambahan jumlah pajak yang harus dibayar berdasarkan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, pada saat jatuh tempo pembayaran tidak atau kurang dibayar, maka atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pembayaran atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. (2) Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak, juga dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. (3) Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat Pemberitahuan dan ternyata penghitungan sementara pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang, maka atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung dari saat berakhirnya kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan." 20. Ketentuan Pasal 20 diubah dan dijadikan ayat (2), dan ditambah 2 (dua) ayat yaitu ayat (1) dan ayat (3), sehingga keseluruhan Pasal 20 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 20 (1) Jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ditagih dengan Surat Paksa. (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penagihan seketika dan sekaligus dilakukan dalam hal: a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu; b. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia; c. terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya, atau menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya; d. badan usaha akan dibubarkan oleh Negara; atau e. terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda- tanda kepailitan. (3) Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku." 21. Ketentuan Pasal 21 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 21 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 21 (1) Negara mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak. (2) Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak. (3) Hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap: a. biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak; b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; c. biaya perkara, yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan. (4) Hak mendahulu itu hilang setelah lampau waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, kecuali apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut, Surat Paksa untuk membayar itu diberitahukan secara resmi, atau diberikan penundaan pembayaran. (5) Dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi, jangka waktu 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dihitung sejak tanggal pemberitahuan Surat Paksa, atau dalam hal diberikan penundaan pembayaran jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut ditambah dengan jangka waktu penundaan pembayaran." 22. Ketentuan Pasal 22 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 22 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 22 (1) Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang bersangkutan. (2) Daluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tertangguh apabila: a. diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa; b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung; c. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4)." 23. Ketentuan Pasal 23 ayat (2) diubah, dan ayat (1) dan ayat (3) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 23 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 23 (1) dihapus. (2) Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap: a. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang; b. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; c. Keputusan pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 yang berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak; d. Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak; hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak. (3) dihapus." 24. Ketentuan Pasal 24 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 24 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 24 Tata cara penghapusan piutang pajak dan penetapan besarnya penghapusan diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan." 25. Ketentuan Pasal 25 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 25 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 25 (1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu: a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar; b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan; c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; d. Surat Ketetapan Pajak Nihil; e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. (2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas. (3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. (4) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak dianggap sebagai surat keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan. (5) Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman surat keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan. (6) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, pemotongan atau pemungutan pajak. (7) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak." 26. Ketentuan Pasal 27 ayat (2), ayat (3), dan ayat (6) diubah, dan ayat (4) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 27 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 27 (1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. (2) Putusan badan peradilan pajak bukan merupakan keputusan tata usaha negara. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan tersebut. (4) dihapus. (5) Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak. (6) Badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan Pasal 23 ayat (2) diatur dengan undang-undang." 27. Ketentuan Pasal 27A diubah dan dijadikan ayat (1), dan ditambah 2 (dua) ayat yaitu ayat (2) dan ayat (3), sehingga keseluruhan Pasal 27A berbunyi sebagai berikut: "Pasal 27A (1) Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding diterima sebagian atau seluruhnya, sepanjang utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan telah dibayar yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, maka kelebihan pembayaran dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding. (2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga diberikan atas pembayaran lebih sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) dan atau bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) berdasarkan Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, sebagai akibat diterbitkan Keputusan Keberatan atau Putusan Banding yang menerima sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak. (3) Tata cara penghitungan pengembalian kelebihan bayar dan pemberian imbalan bunga diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan." 28. Ketentuan Pasal 28 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 28 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 28 (1) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan. (2) Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetapi wajib melakukan pencatatan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. (3) Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya. (4) Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan. (5) Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas. (6) Perubahan terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku, harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. (7) Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. (8) Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan. (9) Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan atau yang dikenakan pajak yang bersifat final. (10) Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan dan melakukan pencatatan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. (11) Buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau di tempat tinggal bagi Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan bagi Wajib Pajak badan. (12) Bentuk dan tata cara pencatatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak." 29. Ketentuan Pasal 29 ayat (2) dan ayat (4) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 29 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 29 (1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. (2) Untuk keperluan pemeriksaan petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa. (3) Wajib Pajak yang diperiksa wajib: a. memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak; b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; c. memberikan keterangan yang diperlukan. (4) Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)." 30. Ketentuan Pasal 31 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 31 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 31 Tata cara pemeriksaan diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan." 31. Ketentuan Pasal 32 ayat (2) dan ayat (4) diubah, dan di antara ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (3a), sehingga keseluruhan Pasal 32 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 32 (1) Dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili, dalam hal: a. badan oleh pengurus; b. badan dalam pembubaran atau pailit oleh orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan; c. suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; d. anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya. (2) Wakil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggungjawab secara pribadi dan atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak, bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut. (3) Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. (3a) Kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. (4) Termasuk dalam pengertian pengurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan." 32. Ketentuan Pasal 33 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 33 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 33 Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya bertanggungjawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar." 33. Ketentuan Pasal 34 diubah, dan di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (2a), sehingga keseluruhan Pasal 34 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 34 (1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. (2) Larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. (2a) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) adalah : a. Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan. b. Pejabat dan tenaga ahli yang memberikan keterangan kepada pihak lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. (3) Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan tenaga-tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) supaya memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuknya. (4) Untuk kepentingan pemeriksaan di Pengadilan dalam perkara pidana atau perdata atas permintaan Hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Menteri Keuangan dapat memberi izin tertulis untuk meminta kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya. (5) Permintaan Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan-keterangan yang diminta serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta tersebut." 34. Ketentuan Pasal 36 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 36 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 36 (1) Direktur Jenderal Pajak dapat: a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya; b. mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar. (2) Tata cara pengurangan, penghapusan, atau pembatalan utang pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan." 35. Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 1 (satu) Pasal yaitu Pasal 36A, yang berbunyi sebagai berikut: "Pasal 36A Apabila petugas pajak dalam menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan yang berlaku sehingga merugikan negara, maka petugas pajak yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku." 36. Ketentuan Pasal 37 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 37 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 37 Perubahan besarnya imbalan bunga dan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan, diatur dengan Peraturan Pemerintah." 37. Ketentuan Pasal 38 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 38 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 38 Setiap orang yang karena kealpaannya: a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar." 38. Ketentuan Pasal 39 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 39 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 39 (1) Setiap orang yang dengan sengaja: a. tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; atau b. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau c. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau d. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; atau e. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau f. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau g. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. (2) Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilipatkan 2 (dua) apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan. (3) Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohon dan atau kompensasi yang dilakukan oleh Wajib Pajak." 39. Ketentuan Pasal 41 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 41 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 41 (1) Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah). (2) Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar." 40. Ketentuan Pasal 41A diubah, sehingga keseluruhan Pasal 41A berbunyi sebagai berikut: "Pasal 41A Setiap orang yang menurut Pasal 35 Undang-undang ini wajib memberi keterangan atau bukti yang diminta tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)." 41. Ketentuan Pasal 41B diubah, sehingga keseluruhan Pasal 41B berbunyi sebagai berikut: "Pasal 41B Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)." 42. Ketentuan Pasal 44 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 44 berbunyi sebagai berikut: "Pasal 44 (1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku. (2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah: a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas; b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan; d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan; e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut; f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; g. menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e; h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan; i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; j. menghentikan penyidikan; k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan menurut hukum yang bertanggungjawab. (3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku." 43. Di antara Pasal 47 dan BAB XI disisipkan 1 (satu) Pasal yaitu Pasal 47A, yang berbunyi sebagai berikut: "Pasal 47A Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan yang belum diselesaikan, diberlakukan ketentuan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994." Pasal II Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan". Pasal III Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 2 Agustus 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd ABDURRAHMAN WAHID Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Agustus 2000 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd DJOHAN EFFENDI LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 126
Silahkan download versi PDF nya sbb:
perubahan_kedua_atas__nomor_6_tahun_1983_tentang_16.pdf
(ogi/Carapedia)
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)