- Home »
- Undang-Undang »
- 1994 » Undang-Undang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 (UU 10 thn 1994)
1994
Undang-Undang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 (UU 10 thn 1994)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 :
Silahkan download versi PDF nya sbb:
perubahan_atas_undang_undang_nomor_7_tahun_1983_(_10.pdf
UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983
TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG
UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991
Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU)
Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor: 10 TAHUN 1994 (10/1994)
Tanggal: 9 NOPEMBER 1994 (JAKARTA)
Sumber: LN 1994/60; TLN NO. 3567
Tentang: PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983
TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa pelaksanaan pembangunan nasional telah
menghasilkan perkembangan yang pesat dalam kehidupan
nasional, khususnya di bidang perekonomian, termasuk
berkembangnya bentuk-bentuk dan praktek penyelenggaraan
kegiatan usaha yang belum tertampung dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991;
b. bahwa dalam upaya untuk selalu menjaga agar
perkembangan perekonomian seperti tersebut di atas dapat
tetap berjalan sesuai dengan kebijakan pembangunan yang
bertumpu pada Trilogi Pembangunan sebagaimana diamanatkan
dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, dan seiring dengan
itu dapat diciptakan kepastian hukum yang berkaitan dengan
aspek perpajakan bagi bentuk-bentuk dan praktek
penyelenggaraan kegiatan usaha yang terus berkembang,
diperlukan langkah-langkah penyesuaian yang memadai terhadap
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1991;
c. bahwa untuk mewujudkan hal-hal tersebut, dipandang
perlu mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991;
Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan
Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 ;
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262), sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994
(Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3566);
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Tahun 1991
Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA
TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991.
Pasal I
Mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991, sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai
berikut :
"Pasal 1
Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun
pajak."
2. Ketentuan Pasal 2 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 2
(1) Yang menjadi Subjek Pajak adalah:
a. 1) orang pribadi;
2) warisan yang belum terbagi sebagai satu
kesatuan, menggantikan yang berhak;
b. badan, terdiri dari perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara dan
badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk
apapun, persekutuan, perkumpulan, frma, kongsi, koperasi,
yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun,
dan bentuk badan usaha lainnya;
c. bentuk usaha tetap.
(2) Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam negeri
dan Subjek Pajak luar negeri.
(3) Yang dimaksud dengan Subjek Pajak dalam negeri adalah:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia
atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun
pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia;
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia;
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan,
menggantikan yang berhak.
(4) Yang dimaksud dengan Subjek Pajak luar negeri adalah:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
(5) Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk
usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang
dapat berupa:
*8681
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah
kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi
pertambangan;
h. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau
kehutanan;
i. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek
perakitan;
j. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai
atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60
(enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
k. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang
kedudukannya tidak bebas;
l. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di
Indonesia.
(6) Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan
badan ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut
keadaan yang sebenarnya."
3. Menambah ketentuan baru diantara Pasal 2 dan Pasal 3 yang
dijadikan Pasal 2A, yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 2A
(1) Kewajiban pajak subjektif orang pribadi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dimulai pada saat
orang pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau berniat
untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat
meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk
selama-lamanya.
(2) Kewajiban pajak subjektif badan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dimulai pada saat badan
tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan
berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat
kedudukan di Indonesia.
(3) Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a dimulai
pada saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (5) dan berakhir pada saat tidak lagi
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap.
(4) Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b dimulai
pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir pada saat
tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.
(5) Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 2)
dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi
tersebut dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai
dibagi.
(6) Apabila kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang
bertempat tinggal atau yang berada di Indonesia hanya
meliputi sebagian dari tahun pajak, maka bagian tahun pajak
tersebut menggantikan tahun pajak. "
*8682
4. Ketentuan Pasal 3 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 3
Tidak termasuk Subjek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 adalah:
a. badan perwakilan negara asing;
b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau
pejabat--pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang
yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan
warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau
memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya di Indonesia,
serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal
balik;
c. organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan di
Indonesia;
d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan syarat bukan
warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan di Indonesia."
5. Ketentuan Pasal 4 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 4
(1) Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu
setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan
pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk
gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk
lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan,
dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan
harta termasuk:
1) keuntungan karena pengalihan harta kepada
perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti
saham atau penyertaan modal;
2) keuntungan yang diperoleh perseroan,
persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada
pemegang saham, sekutu, atau anggota;
3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan,
peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha;
4) keuntungan karena pengalihan harta berupa
hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat,
dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial
atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara
pihak-pihak yang bersangkutan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang
*8683
telah dibebankan sebagai biaya;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan
karena jaminan pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun,
termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang
polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h. royalti;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang;
l. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan
dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, sepanjang iuran
tersebut ditentukan berdasarkan volume kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas anggotanya;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari
penghasilan yang belum dikenakan pajak.
(2) Atas penghasilan berupa bunga deposito dan
tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham
dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari
pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan serta
penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur
dengan peraturan pemerintah.
(3) Yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah :
a. 1) bantuan atau sumbangan;
2) harta hibahan yang diterima oleh keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh
badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau
pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan;
sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan;
b. warisan;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh
badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (I) huruf b
sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan
modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan
pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam
bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau
pemerintah;
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang
pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi
kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
bea siswa;
f. dividen atau bagian laba yang diterima atau
diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam
negeri, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis,
badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah,
dari penyertaan modal pada badan usaha yang
*8684
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun
yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang
dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai, dan penghasilan
dana pensiun tersebut dari modal yang ditanamkan dalam
bidang-bidang tertentu yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan;
h. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota
dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas
saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi;
i. bunga obligasi yang diterima atau diperoleh
perusahaan reksa dana;
j. penghasilan yang diterima atau diperoleh
perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan
pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau
kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha
tersebut:
1) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau
yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan
2) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek
di Indonesia."
6. Ketentuan Pasal 5 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 5
(1) Yang menjadi Objek Pajak bentuk usaha tetap adalah:
a. penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha
tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai;
b. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan,
penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang
sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh
bentuk usaha tetap di Indonesia;
c. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26
yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang
terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan
harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
(2) Biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c boleh
dikurangkan dari penghasilan bentuk usaha tetap.
(3) Dalam menentukan besarnya laba suatu bentuk usaha
tetap:
a. biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan
untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha
atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya ditetapkan
oleh Direktur Jenderal Pajak;
b. pembayaran kepada kantor pusat yang tidak
diperbolehkan dibebankan sebagai biaya adalah:
1) royalti atau imbalan lainnya sehubungan
dengan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya;
2) imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan
jasa lainnya;
3) bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan
usaha perbankan;
*8685 c. pembayaran sebagaimana tersebut pada huruf b
yang diterima atau diperoleh dari kantor pusat tidak
dianggap sebagai Objek Pajak, kecuali bunga yang berkenaan
dengan usaha perbankan."
7. Ketentuan Pasal 6 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 6
(1) Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam
negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan
penghasilan bruto dikurangi:
a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan
dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium,
bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam
bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya
pengolahan limbah, piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak
kecuali Pajak Penghasilan;
b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta
berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh
hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan
Pasal 11A;
c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan;
d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta
yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang
dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan;
e. kerugian karena selisih kurs mata uang asing;
f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang
dilakukan di Indonesia;
g. biaya bea siswa, magang, dan pelatihan.
(2) Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian, maka
kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai
tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima)
tahun.
(3) Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri
diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7."
8. Ketentuan Pasal 7 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 7
(1) Penghasilan Tidak Kena Pajak diberikan sebesar:
a. Rp 1.728.000,00 (satu juta tujuh ratus dua puluh
delapan ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp 864.000,00 (delapan ratus enam puluh empat ribu
rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp 1.728.000,00 (satu juta tujuh ratus dua puluh
delapan ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang
penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1);
d. Rp 864.000,00 (delapan, ratus enam puluh empat
ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah
dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak
angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3
(tiga) orang untuk setiap keluarga.
*8686 (2) Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada
awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak.
(3) Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak tersebut pada
ayat (1) akan disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian
yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan."
9. Ketentuan Pasal 8 disempurnakan dan ditambah dengan beberapa
ketentuan baru, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai
berikut:
"Pasal 8
(1) Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang
telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian
tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari
tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai
penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan
tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu)
pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan
ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada
hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau
anggota keluarga lainnya.
(2) Penghasilan suami-isteri dikenakan pajak secara
terpisah apabila:
a. suami-isteri telah hidup berpisah;
b. dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri
berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan.
(3) Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b dikenakan pajak berdasarkan penggabungan
penghasilan neto suami-isteri, dan besarnya pajak yang harus
dilunasi oleh masing--masing suami-isteri dihitung sesuai
dengan perbandingan penghasilan neto mereka.
(4) Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan
penghasilan orang tuanya, kecuali penghasilan dari pekerjaan
yang tidak ada hubungannya dengan usaha orang yang mempunyai
hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(4) huruf c."
10. Ketentuan Pasal 9 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 9
(1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi
Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh
dikurangkan:
a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun
seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian
sisa hasil usaha koperasi;
b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk
kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota;
c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali
cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna
usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan
cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang
ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan oleh Menteri
Keuangan;
d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa,
yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika
dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung
sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan
pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan
kenikmatan, kecuali penggantian atau imbalan dalam bentuk
natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan pemberian dalam
bentuk natura dan *8687 kenikmatan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan, yang ditetapkan dengan keputusan
Menteri Keuangan;
f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan
kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai
hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan yang dilakukan;
g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan
warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a
dan huruf b;
h. Pajak Penghasilan;
i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk
kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi
tanggungannya;
j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan,
firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi
atas saham;
k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan
kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan
dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)
tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan
dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11 A."
11. Ketentuan Pasal 10 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 10
(1) Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi
jual beli harta yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) adalah jumlah
yang sesungguhnya dikeluarkan atau diterima, sedangkan
apabila terdapat hubungan istimewa adalah jumlah yang
seharusnya dikeluarkan atau diterima.
(2) Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi
tukar-menukar harta adalah jumlah yang seharusnya
dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.
(3) Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan
dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah jumlah yang
seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga
pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
(4) Apabila terjadi pengalihan harta:
a. yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, maka dasar penilaian
bagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai sisa buku
dari pihak yang melakukan pengalihan atau nilai yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;
b. yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a, maka dasar penilaian bagi
yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar dari harta
tersebut.
(5) Apabila terjadi pengalihan harta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c, maka dasar penilaian harta
bagi badan yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar
dari harta tersebut.
(6) Persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan
harga pokok dinilai berdasarkan harga perolehan yang
dilakukan secara rata-rata atau dengan cara mendahulukan
persediaan yang diperoleh pertama."
12. Ketentuan Pasal 11 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 11
*8688
(1) Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian,
penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud,
kecuali tanah, yang dimiliki dan digunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan
dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang
telah ditentukan bagi harta tersebut.
(2) Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) selain bangunan, dapat juga dilakukan
dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang
dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai
sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku
disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat
asas.
(3) Penyusutan dimulai pada tahun dilakukannya pengeluaran,
kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan,
penyusutannya dimulai pada tahun selesainya pengerjaan harta
tersebut.
(4) Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak
diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada tahun harta
tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan atau pada tahun harta yang
bersangkutan mulai menghasilkan.
(5) Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva
berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19,
maka dasar penyusutan atas harta adalah nilai setelah
dilakukan penilaian kembali aktiva tersebut.
(6) Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif
penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut:
Kelompok
Harta
Berwujud
Masa Manfaat
Tarif Penyusutan
sebagaimana
dimaksud pada
Ayat (1)
Ayat (2)I. Bukan bangunan
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
II. Bangunan
Permanen
Tidak Permanen
4 tahun
8 tahun
16 tahun
20 tahun
20 tahun
10 tahun
25%
12,5%
6,25%
5%
5%
10%
50%
25%
12,5%
10%
-
-
(7) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana diatur pada ayat
(1), ketentuan tentang penyusutan atas harta berwujud yang
dimiliki dan digunakan dalam usaha tertentu, ditetapkan
dengan keputusan Menteri Keuangan.
(8) Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d atau
penarikan harta karena sebab lainnya, maka jumlah nilai sisa
buku harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah
harga jual atau penggantian asuransinya yang diterima atau
diperoleh dibukukan sebagai penghasilan pada tahun
terjadinya penarikan harta tersebut.
(9) Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima
jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa
kemudian, maka dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak
jumlah sebesar kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (8)
dibukukan sebagai beban masa kemudian tersebut.
(10) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan
huruf b, yang berupa harta berwujud, maka jumlah nilai sisa
buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian
bagi pihak yang mengalihkan.
*8689
(11) Kelompok harta berwujud sesuai dengan masa manfaat
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan dengan
keputusan Menteri Keuangan."
13. Menambah ketentuan baru diantara Pasal 11 dan Pasal 12 yang
dijadikan Pasal 11A, yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 11 A
(1) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak
berwujud dan pengeluaran lainnya yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 1 (satu) tahun yang digunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan, dilakukan dalam
bagian-bagian yang sama besar atau dalam bagian-bagian yang
menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara
menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau
atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat
diamortisasi sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat
asas.
(2) Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif
amortisasi ditetapkan sebagai berikut:
Kelompok Masa Manfaat Tarif Amortisasi
Harta Tak berdasarkan metode
Berwujud Garis Lurus Saldo Menurun
Kelompok 1. 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2. 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok 3. 16 tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4. 20 tahun 5% 10%
(3) Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan
modal suatu perusahaan dibebankan pada tahun terjadinya
pengeluaran atau diamortisasi sesuai dengan ayat (2).
(4) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan
pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi
dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi.
(5) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak
penambangan selain yang dimaksud pada ayat (4), hak
pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta
hasil alam lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan metode satuan
produksi setinggi-tingginya 20% (dua puluh persen) setahun.
(6) Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun,
dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi sesuai dengan ayat
(2).
(7) Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau
hak-hak seperti tersebut pada ayat (1), ayat (4), dan ayat
(5), maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut
dibebankan sebagai kerugian dan jumlah yang diterima sebagai
penggantian merupakan penghasilan pada tahun terjadinya
pengalihan tersebut.
(8) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan
huruf b, yang berupa harta tak berwujud, maka jumlah nilai
sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai
kerugian bagi pihak yang mengalihkan."
14. Ketentuan Pasal 12 dihapus.
15. Ketentuan Pasal 13 dihapus.
16. Ketentuan Pasal 14 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut :
"Pasal 14
(1) Norma Penghitungan Peredaran Bruto untuk menentukan
peredaran bruto dan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
untuk menentukan penghasilan neto, dibuat dan
*8690
disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pajak berdasarkan pegangan yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan.
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya dalam
satu tahun kurang dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah), boleh menghitung penghasilan neto dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dengan syarat memberitahukan kepada
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto, wajib menyelenggarakan
pencatatan sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto, dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan.
(5) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan,
termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
ayat (4), yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya
menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan peredaran bruto
atau tidak memperlihatkan pembukuan atau pencatatan
peredaran bruto atau bukti-bukti pendukungnya, sehingga
tidak diketahui besarnya peredaran bruto yang sebenarnya,
maka peredaran bruto dan penghasilan netonya dihitung
berdasarkan norma penghitungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(6) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan,
termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan
pembukuan, atau tidak memperlihatkan pembukuan atau
bukti-bukti pendukungnya tetapi dapat diketahui peredaran
bruto yang sebenarnya, maka penghasilan netonya dihitung
berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
(7) Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dapat diubah dengan keputusan Menteri Keuangan."
17. Ketentuan Pasal 15 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai
berikut:
"Pasal 15
Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan neto
dari Wajib Pajak tertentu yang tidak dapat dihitung
berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3)
ditetapkan Menteri Keuangan."
18. Ketentuan Pasal 16 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 16
(1) Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif
bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam suatu tahun pajak
dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dengan
pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 7 ayat (1), dan Pasal 9 ayat (1) huruf c,
huruf d, dan huruf e.
(2) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi
dan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dihitung
dengan menggunakan norma penghitungan sebagaimana dimaksud
dalam pasal tersebut, dan untuk Wajib Pajak orang pribadi
dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
(3) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu
bentuk usaha tetap di Indonesia dalam suatu tahun pajak
dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan
memperhatikan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dengan
pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan
ayat (3), Pasal 6 *8691 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal
9 ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf.
(4) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian tahun
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (6) dihitung
berdasarkan penghasilan neto yang diterima atau diperoleh
dalam bagian tahun pajak yang disetahunkan."
19. Ketentuan Pasal 17 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut :
"Pasal 17
(1) Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena
Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap
adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
sampai dengan Rp 25.000.000,00 10%
(dua puluh lima juta rupiah) (sepuluh
persen)
di atas Rp 25.000.000,00 15%
(dua puluh lima juta rupiah) s/d (lima belas
persen)
Rp 50.000.000,00 (lima puluh-
juta rupiah)
di atas Rp 50.000.000,00 30%
(lima puluh juta rupiah) (tiga puluh persen)
(2) Dengan Peraturan Pemerintah, tarif tertinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diturunkan menjadi
serendah-rendahnya 25% (dua puluh lima persen).
(3) Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diubah dengan keputusan Menteri
Keuangan.
(4) Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), jumlah Penghasilan Kena Pajak
dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.
(5) Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian tahun
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) dihitung
sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut
dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan dengan pajak
yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak.
(6) Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga
puluh) hari.
(7) Dengan peraturan pemerintah dapat ditetapkan tarif
pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak
tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1)."
20. Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 18
(1) Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan
mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal
perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan
Undang-undang ini.
(2) Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya
dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal
pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang
menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri
tersebut sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari
jumlah saham yang disetor; atau
*8692 b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam
negeri lainnya memiliki penyertaan modal sebesar 50% (lima
puluh persen) atau lebih dari jumlah saham yang disetor.
(3) Direktur Jenderal Pajak berwenang menentukan kembali
besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang
sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena
Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa
dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan
kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan
istimewa.
(4) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10
ayat (1) dianggap ada apabila:
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung
atau tidak langsung sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau
lebih pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib
Pajak dengan penyertaan 25% (dua puluh lima persen) atau
lebih pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula
hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut
terakhir; atau
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya, atau
dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang
sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun
semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu
derajat.
(5) Apabila Wajib Pajak badan dalam negeri memiliki
penyertaan modal langsung atau tidak langsung sebesar 25%
(dua puluh lima persen) atau lebih pada Wajib Pajak badan
dalam negeri lainnya, maka lapisan tarif rendah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 hanya diterapkan pada 1 (satu) Wajib
Pajak saja."
21. Ketentuan Pasal 19 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 19
(1) Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang
penilaian kembali aktiva dan faktor penyesuaian apabila
terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dengan
penghasilan karena perkembangan harga.
(2) Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri
dengan keputusan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi
tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (1)."
22. Ketentuan Pasal 20 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut :
"Pasal 20
(1) Pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun
pajak, dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan
melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain,
serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri.
(2) Pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk setiap bulan atau masa lain yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan.
(3) Pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap
Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang
bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan
pajaknya bersifat final."
23. Ketentuan Pasal 21 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 21
(1) Pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas
penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan
dengan nama dan *8693 dalam bentuk apapun yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, wajib
dilakukan oleh:
a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau
bukan pegawai;
b. bendaharawan pemerintah yang membayar gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain, sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
c. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang
pensiun dan pembayaran lain dengan nama apapun dalam rangka
pensiun;
d. badan yang membayar honorarium atau pembayaran
lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa
tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas;
e. perusahaan, badan, dan penyelenggara kegiatan yang
melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu
kegiatan.
(2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib
melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah:
a. badan perwakilan negara asing;
b. organisasi internasional yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan.
(3) Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong
pajak untuk setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto
setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun
yang besarnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, iuran
pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
(4) Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai
tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah
penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang
tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan oleh
Menteri Keuangan.
(5) Tarif pemotongan atas pembayaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah sama dengan tarif pajak sebagaimana
tersebut dalam Pasal 17.
(6) Pajak yang telah dipotong atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh sehubungan dengan pekerjaan dari 1
(satu) pemberi kerja sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), merupakan pelunasan
pajak yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan,
kecuali pegawai atau pensiunan tersebut menerima atau
memperoleh penghasilan lain yang bukan penghasilan yang
pajaknya telah dibayar atau dipotong dan bersifat final
menurut Undang-undang ini.
(7) Menteri Keuangan berwenang untuk menetapkan pemotongan
pajak yang bersifat final atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau
kegiatan tertentu.
(8) Petunjuk mengenai pelaksanaan pemotongan, penyetoran,
dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak."
24. Ketentuan Pasal 22 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 22
(1) Menteri Keuangan dapat menetapkan bendaharawan
pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran
atas penyerahan barang, dan badan-badan tertentu untuk
memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di
bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
*8694 (2) Ketentuan mengenai dasar pemungutan, sifat dan
besarnya pungutan, tata cara penyetoran, dan tata cara
pelaporan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri Keuangan."
25. Ketentuan Pasal 23 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 23
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan
dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan
pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau
bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib
membayarkan:
a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto
atas:
1) dividen;
2) bunga, termasuk premium, diskonto, dan
imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
3) royalti;
4) hadiah dan penghargaan selain yang telah
dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 ayat (1) huruf e;
b. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto
dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh
koperasi;
c. sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan
penghasilan neto atas:
1) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta;
2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa
manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain
selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(2) Besarnya perkiraan penghasilan neto dan jenis jasa lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
(3) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat
ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dilakukan atas:
a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada
bank;
b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan
dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(3) huruf f;
d. bunga obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf i;
e. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf j;
f. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh
koperasi kepada anggotanya;
g. bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dibayarkan oleh
koperasi kepada anggotanya."
*8695
26. Ketentuan Pasal 24 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 24
(1) Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas
penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak
yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun
pajak yang sama.
(2) Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau
terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi
penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang
ini.
(3) Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh
dikreditkan, penentuan sumber penghasilan adalah sebagai
berikut:
a. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya
adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau
sekuritas tersebut bertempat kedudukan;
b. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa
sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah negara
tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti,
atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada;
c. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan
penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat harta
tersebut terletak;
d. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa,
pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang
membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan
atau berada;
e. penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara
tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan.
(4) Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan prinsip yang
sama dengan prinsip yang dimaksud pada ayat tersebut.
(5) Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang
dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan,
maka pajak yang terutang menurut Undang-undang ini harus
ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun pengurangan atau
pengembalian itu dilakukan.
(6) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas
penghasilan dari luar negeri ditetapkan dengan keputusan
Menteri Keuangan."
27. Ketentuan Pasal 25 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 25
(1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang
harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan
adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang
lalu dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang dipotong
dan/atau dipungut serta Pajak Penghasilan yang dibayar atau
terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24,
dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian
tahun pajak.
(2) Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh
Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan,
sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir
dari tahun pajak yang lalu, sepanjang tidak kurang dari
rata-rata angsuran bulanan tahun pajak yang lalu.
*8696 (3) Apabila telah diterbitkan surat ketetapan pajak
untuk 2 (dua) tahun pajak sebelum tahun Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), yang menghasilkan angsuran pajak yang lebih besar dari
angsuran pajak berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tersebut, maka besarnya angsuran pajak dihitung
berdasarkan surat ketetapan pajak tahun pajak terakhir.
(4) Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat
ketetapan pajak untuk 2 (dua) tahun pajak sebelumnya yang
menghasilkan angsuran pajak yang lebih besar daripada
angsuran pajak bulan yang lalu, yang dihitung berdasarkan
ketentuan pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), maka
besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat
ketetapan pajak tahun pajak terakhir dan berlaku mulai bulan
berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.
(5) Apabila Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang
lalu Iebih kecil dari jumlah Pajak Penghasilan yang telah
dibayar, dipotong dan/atau dipungut selama tahun pajak yang
bersangkutan, maka besarnya angsuran pajak untuk setiap
bulan sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari
tahun pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) sampai dikeluarkannya keputusan Direktur
Jenderal Pajak, dan untuk bulan-bulan berikutnya angsuran
pajak dihitung berdasarkan jumlah pajak yang terutang
menurut keputusan tersebut.
(6) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan
penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak
berjalan dalam hal-hal tertentu, apabila:
a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang
ditentukan;
d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
e. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan
angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum
pembetulan;
f. terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan
Wajib Pajak.
(7) Penghitungan besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak
baru, bank, badan usaha milik negara, badan usaha milik
daerah, dan Wajib Pajak tertentu lainnya ditetapkan oleh
Menteri Keuangan.
(8) Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak ke luar
negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan
peraturan pemerintah."
28. Ketentuan Pasal 26 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 26
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan
dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang terutang oleh
badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain
bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20%
(dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib
membayarkan:
a. dividen;
b. bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan
sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
*8697 c. royalti, sewa, dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
(2) Atas penghasilan dari penjualan harta di Indonesia,
kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha
tetap di Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan
kepada perusahaan asuransi luar negeri, dipotong pajak
sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan
neto.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(4) Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari
suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenakan pajak
sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut
ditanamkan kembali di Indonesia yang ketentuannya ditetapkan
lebih lanjut dengan keputusan Menteri Keuangan.
(5) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (4) bersifat final, kecuali:
a. pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c;
b. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah
status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha
tetap."
29. Ketentuan Pasal 27 dihapus.
30. Judul Bab VI diubah, sehingga menjadi sebagai berikut:
"BAB VI
PERHITUNGAN PAJAK PADA AKHIR TAHUN"
31. Ketentuan Pasal 28 disempurnakan dan ditambah dengan
ketentuan baru, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai
berikut:
"Pasal 28
(1) Bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap,
pajak yang terutang dikurangi dengan kredit pajak untuk
tahun pajak yang bersangkutan, berupa:
a. pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan,
jasa, dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;
b. pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan di
bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22;
c. pemotongan pajak atas penghasilan berupa dividen,
bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, dan imbalan
jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23;
d. pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan
dari luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24;
e. pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;
f. pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5).
*8698 (2) Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan
kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan
dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan yang berlaku tidak boleh dikreditkan dengan pajak
yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)."
32. Menambah ketentuan baru diantara Pasal 28 dan Pasal 29 yang
dijadikan Pasal 28A, yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 28A
Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata
lebih kecil dari jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1), maka setelah dilakukan pemeriksaan,
kelebihan pembayaran pajak dikembalikan setelah
diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksi-sanksinya."
33. Ketentuan Pasal 29 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:
"Pasal 29
Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata
lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1), maka kekurangan pajak yang terutang harus
dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 (duapuluh lima) bulan
ke tiga setelah tahun pajak berakhir, sebelum Surat
Pemberitahuan Tahunan disampaikan."
34. Ketentuan Pasal 30 dihapus.
35. Ketentuan Pasal 31 dihapus.
36. Menambah ketentuan baru diantara Pasal 31 dan Pasal 32 yang
dijadikan Pasal 31A dalam Bab VII tentang Ketentuan
Lain-lain, yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 31A
Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di
bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah
tertentu dapat diberikan fasilitas perpajakan yang diatur
dengan peraturan pemerintah."
37. Ketentuan Pasal 32 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai
berikut:
"Pasal 32
Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan dengan
pelaksanaan Undang-undang ini dilakukan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan."
38. Menambah ketentuan baru diantara Pasal 33 dan Pasal 34 yang
dijadikan Pasal 33A dalam BAB VIII tentang Ketentuan
Peralihan, yang berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 33A
(1) Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal
30 Juni 1995 wajib menghitung pajaknya berdasarkan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang ini.
(2) Wajib Pajak yang memperoleh fasilitas perpajakan dan
telah mendapat keputusan tentang saat mulai berproduksi
sebelum tanggal 1 Januari 1995, maka fasilitas perpajakan
dimaksud dapat dinikmati sesuai dengan jangka waktu yang
ditentukan.
(3) Fasilitas perpajakan yang telah diberikan, berakhir
pada tanggal 31 Desember 1994, kecuali fasilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang
pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan
pertambangan lainnya berdasarkan kontrak bagi hasil, kontrak
karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan
*8699
pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya
Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan
dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian
kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan
berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud."
39. Ketentuan Pasal 34 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai
berikut:
"Pasal 34
Peraturan pelaksanaan di bidang Pajak Penghasilan yang masih
berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini dinyatakan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Undang-undang ini."
40. Ketentuan Pasal 35 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai
berikut:
"Pasal 35
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah."
Pasal II
Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Perubahan Kedua
Undang-undang Pajak Penghasilan 1984".
Pasal III
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 9 Nopember 1994
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 Nopember 1994
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1994 NOMOR 60
Salinan sesuai aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Hukum
dan Perundang-undangan
Plt
Lambock V. Nahattands, S.H.
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 1994
*8700 TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1991
UMUM
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak
dan kewajiban setiap orang, oleh karena itu menempatkan
perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan
dalam rangka kegotong-royongan nasional sebagai peran serta
masyarakat dalam pembiayaan negara dan pembangunan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945, ketentuan-ketentuan perpajakan yang merupakan landasan
pemungutan pajak harus ditetapkan dengan undang-undang.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka sebagai hasil reformasi
undang-undang perpajakan tahun 1983 telah diundangkan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,
sebagai landasan hukum pengenaan Pajak Penghasilan yang berlaku
sejak tahun 1984, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1991.
Dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil
pembangunan nasional dan globalisasi di berbagai bidang, disadari
bahwa banyak bentuk-bentuk dan praktek penyelenggaraan kegiatan
usaha yang aspek perpajakannya belum diatur atau belum cukup
diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991. Selain dari pada
itu, Undang-undang tersebut belum sepenuhnya menampung amanat
dalam Garis-garis Besar Haluan Negara 1993. Oleh karena itu,
dipandang sudah masanya untuk menyempurnakan Undang-undang Nomor
7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
7 Tahun 1991.
Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan,
dan kesederhanaan, maka arah dan tujuan penyempurnaan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 7 Tahun I991 adalah sebagai berikut:
a. Menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan
pembiayaan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari
penerimaan pajak;
b. Lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi
masyarakat dalam berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan
sesuai dengan kemampuannya;
c. Menunjang kebijaksanaan pemerintah dalam rangka
meningkatkan pertumbuhan, pemerataan pembangunan, dan
investasi di seluruh wilayah Republik Indonesia;
d. Menunjang usaha peningkatan ekspor, terutama ekspor
nonmigas, barang hasil olahan dan jasa jasa dalam rangka
meningkatkan perolehan devisa;
e. Menunjang usaha pengembangan usaha kecil untuk
mengoptimalkan pengembangan potensinya, dan dalam rangka
pengentasan kemiskinan;
f. Menunjang usaha pengembangan sumber daya manusia, ilmu
pengetahuan dan teknologi, pelestarian ekosistem, sumber
daya alam dan lingkungan hidup;
g. Menunjang usaha terciptanya aparat perpajakan yang makin
mampu dan makin bersih, peningkatan pelayanan kepada Wajib
Pajak termasuk penyederhanaan dan kemudahan prosedur dalam
pemenuhan kewajiban perpajakan, peningkatan pengawasan atas
pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut,
termasuk peningkatan penegakan pelaksanaan ketentuan hukum
yang berlaku.
Dengan berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut,
perlu dilakukan perubahan terhadap beberapa ketentuan dalam
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 se-bagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991, dengan pokok-pokok sebagai
berikut:
a. Dalam rangka meningkatkan kemandirian bangsa dalam
pembiayaan pembangunan nasional, diatur ketentuan-ketentuan
yang menunjang kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi
pengenaan pajak;
b. Ketentuan mengenai Subjek Pajak diatur secara lebih
luwes agar dapat mengikuti perkembangan sosial ekonomi dan
perkembangan bentuk-bentuk aktifitas bisnis yang timbul dan
berkembang di masyarakat;
c. Ketentuan mengenai Objek Pajak diatur dengan lebih rinci,
jelas dan tegas untuk lebih memberikan kepastian hukum dan
keadilan dalam pengenaan pajak;
d. Dalam rangka menunjang pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan
perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya;
e. Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia,
pengeluaran untuk biaya pelatihan, magang, dan bea siswa
dapat dibebankan sebagai biaya;
f. Dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk
meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan nasional
di segala bidang, dapat diberikan fasilitas perpajakan
kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di
bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah
tertentu;
g. Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun
tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun yang diatur
selaras dengan kebijakan pemerintah dalam rangka pemerataan
pembangunan nasional;
h. Untuk menunjang program pemerintah dalam pelestarian
ekosistem, sumber daya alam dan lingkungan hidup, ditegaskan
bahwa biaya pengolahan limbah boleh dibebankan sebagai biaya
dan diatur mengenai pembentukan atau pemupukan cadangan
untuk biaya reklamasi;
i. Untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak dalam hal
penghitungan penyusutan atas harta yang dimiliki dan
digunakan dalam usaha serta lebih menyelaraskan pembukuan
Wajib Pajak untuk kepentingan fiskal, maka kepada Wajib
Pajak diberikan kebebasan untuk memilih metode penyusutan
atas harta berwujud bukan bangunan;
j. Kebijaksanaan di bidang tarif pajak dilakukan dengan
mengatur kembali besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak dan
besarnya lapisan tarif pajak dengan tetap mempertahankan
progresivitas tarif yang diberlakukan terhadap Wajib Pajak
orang pribadi dan Wajib Pajak badan, dengan mempertimbangkan
kesempatan melakukan pengembangan kegiatan usaha dan
persaingan dunia usaha dalam era globalisasi;
k. Mencegah penghindaran pajak melalui penundaan pembagian laba
dalam waktu yang tidak ditentukan atas penanaman modal di
luar negeri;
l. Perluasan dalam sistem pemotongan dan pemungutan pajak untuk
meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, menggali potensi fiskal
yang tersedia, dan menunjang sistem "self assessment"
melalui pemanfaatan data yang lebih efektif dan efisien;
m. Dalam rangka kemudahan dan kesederhanaan pengenaan pajak
serta untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, diatur
pemungutan pajak yang bersifat final atas
penghasilan-penghasilan tertentu.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Undang-undang ini mengatur pengenaan pajak penghasilan
terhadap Subjek Pajak berkenaan dengan penghasilan yang
diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek Pajak
tersebut dikenakan pajak apabila menerima atau memperoleh
penghasilan. Subjek Pajak yang menerima atau memperoleh
penghasilan dalam Undang-undang ini disebut Wajib Pajak.
Wajib Pajak dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima
atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula
dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak,
apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir
dalam tahun pajak.
Yang dimaksud dengan tahun pajak dalam Undang-undang ini
adalah tahun takwim, namun Wajib Pajak dapat menggunakan
tahun buku yang tidak sama *8702 dengan tahun takwim,
sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12 (dua
belas) bulan.
Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)
Pengertian Subjek Pajak meliputi orang pribadi, warisan yang
belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan, dan bentuk usaha
tetap.
Huruf a
Orang pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal
atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan
yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek
Pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli
waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subjek
Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas
penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat
dilaksanakan.
Huruf b
Pengertian badan sebagai Subjek Pajak terdiri dari perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan
usaha milik negara dan badan usaha milik daerah,
persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan
atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun, dan
bentuk badan usaha lainnya.
Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah
merupakan Subjek Pajak tanpa memperhatikan nama dan
bentuknya, sehingga setiap unit tertentu dari badan
pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang
dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh
penghasilan merupakan Subjek Pajak.
Perkumpulan sebagai Subjek Pajak adalah perkumpulan yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh
penghasilan dan/atau memberikan jasa kepada anggota. Dalam
pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan,
perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai
kepentingan yang sama.
Huruf c
Lihat ketentuan pada ayat (5) dan penjelasannya.
Ayat (2)
Subjek Pajak dibedakan antara Subjek Pajak dalam negeri dan
Subjek Pajak luar negeri. Subjek Pajak dalam negeri menjadi
Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh
penghasilan, sedangkan Subjek Pajak luar negeri sekaligus
menjadi Wajib Pajak, sehubungan dengan penghasilan yang
diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau diperoleh
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan
lain Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah
memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.
Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan
Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban
pajaknya, antara lain:
a. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak atas
penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia
dan dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri
dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari
sumber penghasilan di Indonesia.
b. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak berdasarkan
penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak
luar negeri dikenakan pajak pada dasarnya berdasarkan
penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan.
c. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan sebagai sarana untuk menetapkan pajak
yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak
luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui
pemotongan pajak yang bersifat final.
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia,
pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan
pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri
sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini dan Undang-undang
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
*8703
Ayat (3)
Huruf a
Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi Subjek Pajak
dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal
atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang
pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka
yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di
Indonesia ditimbang menurut keadaan.
Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus
berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang
tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang
pribadi sebagai Subjek Pajak dalam negeri dianggap Subjek
Pajak dalam negeri dalam pengertian Undang-undang ini
mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan
kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan
kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut
telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya beralih kepada
ahli waris.
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang
pribadi sebagai Subjek Pajak luar negeri yang tidak
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu
bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai
Subjek Pajak pengganti karena pengenaan pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi
dimaksud melekat pada objeknya.
Ayat (4)
Huruf a dan huruf b
Subjek Pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan
yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar
Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia, baik melalui ataupun tanpa melalui bentuk
usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia, tetapi berada di Indonesia kurang dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, maka orang tersebut adalah Subjek Pajak luar
negeri. Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui
bentuk usaha tetap, maka terhadap orang pribadi atau badan
tersebut dikenakan pajak melalui bentuk usaha tetap, dan
orang pribadi atau badan tersebut statusnya tetap sebagai
Subjek Pajak luar negeri. Dengan demikian bentuk usaha tetap
tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai
Subjek Pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya di Indonesia.
Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa
melalui bentuk usaha tetap, maka pengenaan pajaknya
dilakukan langsung kepada Subjek Pajak luar negeri tersebut.
Ayat (5)
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu
tempat usaha ("place of business") yaitu fasilitas yang
dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan
peralatan.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi
yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi
atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang
bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang
tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di
Indonesia.
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di
Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen,
broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas,
asalkan agen atau perantara tersebut dalam
*8704
kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan
perusahaannya sendiri.
Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan
di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di
Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima
pembayaran premi asuransi di Indonesia atau menanggung
risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya
di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti
bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi
di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak
tertanggung bertempat tinggal, berada atau bertempat
kedudukan di Indonesia.
Ayat (6)
Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan
badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana
yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut.
Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat
kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya.
Dengan demikian penentuan tempat tinggal atau tempat
kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang
bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur
Jenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang
atau tempat kedudukan badan tersebut antara lain domisili,
alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat
menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu
dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan
kewajiban pajak.
Angka 3
Pasal 2A
Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang
kewajiban pajaknya melekat pada Subjek Pajak yang
bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan
untuk tidak dilimpahkan kepada Subjek Pajak lainnya. Oleh
karena itu dalam rangka memberikan kepastian hukum,
penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak
subjektif menjadi penting.
Ayat (1)
Kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempat
tinggal di Indonesia dimulai pada saat ia lahir di
Indonesia. Untuk orang pribadi yang berada di Indonesia
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, kewajiban pajak
subjektifnya dimulai sejak hari pertama ia berada di
Indonesia. Kewajiban pajak subjektif orang pribadi berakhir
pada saat ia meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia
untuk selama-lamanya.
Pengertian meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya harus
dikaitkan dengan hal-hal yang nyata pada saat orang pribadi
tersebut meninggalkan Indonesia. Apabila pada saat ia
meninggalkan Indonesia terdapat bukti--bukti yang nyata
mengenai niatnya untuk meninggalkan Indonesia untuk
selama-lamanya, maka pada saat itu ia tidak lagi menjadi
Subjek Pajak dalam negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bagi orang pribadi yang tidak bertempat tinggal dan berada
di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh
tiga) hari, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan di Indonesia melalui suatu bentuk
usaha tetap, kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat
bentuk usaha tetap tersebut berada di Indonesia dan berakhir
pada saat bentuk usaha tetap tersebut tidak lagi berada di
Indonesia.
Ayat (4)
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia,
adalah Subjek Pajak luar negeri sepanjang orang pribadi atau
badan tersebut mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia.
Hubungan ekonomis dengan Indonesia dianggap ada apabila
orang pribadi atau badan tersebut menerima atau
*8705
memperoleh penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan
di Indonesia.
Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan tersebut
dimulai pada saat orang pribadi atau badan mempunyai
hubungan ekonomis dengan Indonesia, yaitu menerima atau
memperoleh penghasilan dari sumber-sumber di Indonesia dan
berakhir pada saat orang pribadi atau badan tersebut tidak
lagi mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia.
Ayat (5)
Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi dimulai
pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut,
yaitu pada saat meninggalnya pewaris. Sejak saat itu
pemenuhan kewajiban perpajakannya melekat pada warisan
tersebut. Kewajiban pajak subjektif warisan berakhir pada
saat warisan tersebut dibagi kepada para ahli waris. Sejak
saat itu pemenuhan kewajiban perpajakannya beralih kepada
para ahli waris.
Ayat (6)
Dapat terjadi orang pribadi menjadi Subjek Pajak tidak untuk
jangka waktu satu tahun pajak penuh, misalnya orang pribadi
yang mulai menjadi Subjek Pajak pada pertengahan tahun
pajak, atau yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya
pada pertengahan tahun pajak. Jangka waktu yang kurang dari
satu tahun pajak tersebut dinamakan bagian tahun pajak yang
menggantikan tahun pajak.
Angka 4
Pasal 3
Huruf a dan hurufb
Sesuai dengan kelaziman internasional, badan perwakilan
negara asing beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik
dan konsulat serta pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan
sebagai Subjek Pajak di tempat mereka mewakili negaranya.
Pengecualian sebagai Subjek Pajak bagi pejabat-pejabat
tersebut tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan
lain di luar jabatannya atau mereka adalah warga negara
Indonesia.
Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara
asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar
jabatannya, maka. ia termasuk Subjek Pajak yang dapat
dikenakan pajak atas penghasilan lain tersebut.
Namun apabila negara asal pejabat tersebut memberikan
pembebasan pajak kepada pejabat perwakilan Indonesia atas
penghasilan lain di luar jabatannya, maka berlaku asas
timbal balik.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 4
Ayat (1)
Undang-undang ini menganut prinsip pemajakan atas
penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak
dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya
yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah
kekayaan Wajib Pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-undang ini tidak
memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu,
tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak
tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang
diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada
Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
- penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja
dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan
dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara,
dan sebagainya;
- penghasilan dari usaha dan kegiatan;
- penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak
ataupun harta tak gerak seperti bunga, dividen, royalti,
sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak
dipergunakan untuk usaha, dan lain sebagainya;
- penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang,
hadiah, dan lain sebagainya.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk
konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan
Wajib Pajak. Karena Undang-undang ini menganut pengertian
penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang
diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan
untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian,
bila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan
menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan
dengan penghasilan lainnya (kompensasi horizontal), kecuali
kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian,
apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif
yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka
penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan
penghasilan lain yang dikenakan tarif umum.
Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini
dimaksudkan untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan
yang luas yang tidak terbatas pada contoh-contoh dimaksud.
Huruf a
Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan,
seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, asuransi kesehatan
yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk
lainnya adalah Objek Pajak.
Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan
dalam bentuk natura yang pada hakekatnya merupakan
penghasilan.
Huruf b
Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian,
pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan,
hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya.
Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang
diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya
imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda
purbakala.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih
tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga
atau nilai perolehan, maka selisih harga tersebut merupakan
keuntungan. Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi
antara badan usaha dengan pemegang sahamnya, maka harga jual
yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan
dari penjualan tersebut adalah harga pasar.
Misalnya PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam
kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp
40.000.000,00. Mobil tersebut dijual sesuai dengan harga
pasar sebesar Rp 60.000.000,00. Dengan demikian keuntungan
PT S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalah
Rp 20.000.000,00. Apabila mobil tersebut dijual kepada salah
seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp 50.000.000, maka
nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga
pasar sebesar Rp 60.000.000,00. Selisih sebesar Rp
20.000.000,00 merupakan keuntungan bagi PT S, dan bagi
pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar
Rp 10.000.000,00 merupakan penghasilan.
Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan
harta, yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga
pasar dengan nilai sisa buku harta tersebut,
*8707
merupakan Objek Pajak. Demikian juga selisih lebih antara
harga pasar dengan nilai sisa buku dalam hal terjadi
penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan
pengambilalihan usaha merupakan penghasilan.
Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham
atau penyertaan modal maka keuntungan berupa selisih antara
harga pasar dari harta yang diserahkan dengan nilai bukunya
merupakan penghasilan.
Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dengan nilai
perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa
hibah, bantuan atau sumbangan dianggap sebagai penghasilan
bagi pihak yang mengalihkan, kecuali harta tersebut
dialihkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat, serta badan keagamaan atau badan
pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha
kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan.
Huruf e
Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada
saat menghitung Penghasilan Kena Pajak, merupakan Objek
Pajak.
Sebagai contoh Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar
dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab
dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut
merupakan penghasilan.
Huruf f
Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan
imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.
Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di
atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila
surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium
tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan
obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang
membeli obligasi.
Huruf g
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham
atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha
koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Termasuk dalam
pengertian dividen adalah:
1) pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak
langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
2) pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi
jumlah modal yang disetor;
3) pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran
kecuali saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio
saham baru dan revaluasi aktiva tetap;
4) pembagian laba dalam bentuk saham;
5) pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa
penyetoran;
6) jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang
diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian
kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan;
7) pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal
yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau
diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu
adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang
dilakukan secara sah;
8) pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk
yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;
9) bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
10) bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
11) pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota
koperasi;
12) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang
saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran
dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang
saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan
pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi
kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih
lebih antara bunga yang dibayarkan dengan tingkat bunga yang
berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga
yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh
dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.
Huruf h
Pada dasarnya imbalan berupa royalti terdiri dari tiga
kelompok, yaitu imbalan sehubungan dengan penggunaan:
1) hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang,
paten, merek dagang, formula, atau rahasia perusahaan;
2) hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat
industri, komersial, dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud
dengan alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan
adalah setiap peralatan yang mempunyai nilai intelektual,
misalnya peralatan-peralatan yang digunakan di beberapa
industri khusus seperti anjungan pengeboran minyak
("drilling rig"), dan sebagainya;
3) informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan
secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan, misalnya
pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha lainnya.
Ciri dari informasi dimaksud adalah bahwa informasi tersebut
telah tersedia sehingga pemiliknya tidak perlu lagi
melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut. Tidak
termasuk dalam pengertian informasi di sini adalah informasi
yang diberikan oleh misalnya akuntan publik, ahli hukum,
atau ahli teknik sesuai dengan bidang keahliannya, yang
dapat diberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar
belakang disiplin ilmu yang sama.
Huruf i
Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau
diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan
dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya
sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.
Huruf j
Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya "alimentasi"
atau tunjangan seumur hidup yang dibayar secara
berulang-ulang dalam waktu tertentu.
Huruf k
Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai
penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi
pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya.
Huruf i
Keuntungan karena selisih kurs dapat disebabkan fluktuasi
kurs mata uang asing atau adanya kebijaksanaan pemerintah di
bidang moneter. Atas keuntungan yang diperoleh karena
fluktuasi kurs mata uang asing, pengenaan pajaknya dikaitkan
dengan sistem pembukuan yang dianut oleh Wajib Pajak, dengan
syarat dilakukan secara taat asas.
Huruf m
Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 merupakan penghasilan.
Huruf n
Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.
Huruf o
Iuran yang dibayar oleh anggota kepada perkumpulan yang
dihitung berdasarkan volume kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas dari anggota tersebut, misalnya iuran yang besarnya
ditentukan berdasarkan volume *8709 ekspor, satuan produksi
atau satuan penjualan, adalah penghasilan bagi perkumpulan
tersebut.
Huruf p
Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi
penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan
Objek Pajak serta yang belum dikenakan pajak. Apabila
diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi
akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang
bukan Objek Pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut
merupakan penghasilan.
Ayat (2)
Sesuai dengan ketentuan pada ayat (1), penghasilan berupa
bunga deposito dan tabungan lainnya, penghasilan dari
transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek,
penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau
bangunan, serta penghasilan tertentu lainnya merupakan Objek
Pajak. Tabungan masyarakat yang disalurkan melalui perbaikan
dan bursa efek merupakan sumber dana bagi pelaksanaan
pembangunan, sehingga pengenaan pajak atas penghasilan yang
berasal dari tabungan masyarakat tersebut perlu diberikan
perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya.
Pertimbangan-pertimbangan yang mendasari diberikan perlakuan
tersendiri dimaksud antara lain adalah kesederhanaan dalam
pemungutan pajak, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan
pajaknya serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan
moneter. Pertimbangan tersebut juga mendasari perlunya
pemberian perlakuan tersendiri terhadap pengenaan pajak atas
penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau
bangunan, serta jenis jenis penghasilan tertentu lainnya.
Oleh karena itu pengenaan Pajak Penghasilan termasuk sifat,
besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan,
atau pemungutan atas jenis-jenis penghasilan tersebut diatur
tersendiri dengan peraturan pemerintah.
Dengan mempertimbangkan kemudahan dalam pelaksanaan
pengenaan serta agar tidak menambah beban administrasi baik
bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, maka
pengenaan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini dapat
bersifat final.
Ayat (3)
Huruf a
Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan
merupakan Objek Pajak sepanjang diterima tidak dalam rangka
hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau
hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima
dapat terjadi, misalnya PT A sebagai produsen suatu jenis
barang yang bahan baku utamanya diproduksi oleh PT B.
Apabila PT B memberikan sumbangan bahan baku kepada PT A,
maka sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT B merupakan
Objek Pajak. Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan
merupakan Objek Pajak apabila diterima oleh keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan
keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk
yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang diterima tidak
dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan
kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima
oleh badan merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi badan
tersebut. Namun karena harta tersebut diterima sebagai
pengganti saham atau penyertaan modal, maka berdasarkan
ketentuan ini, harta yang diterima tersebut bukan merupakan
Objek Pajak.
Huruf d
Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan
berkenaan dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang.
Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura seperti beras,
gula dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan
seperti penggunaan mobil, rumah, fasilitas pengobatan dan
lain sebagainya, bukan merupakan Objek Pajak.
*8710
Apabila yang memberi imbalan berupa natura atau kenikmatan
tersebut bukan Wajib Pajak, maka imbalan dalam bentuk natura
atau kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi yang
menerima atau memperolehnya. Misalnya, seorang Indonesia
menjadi pegawai pada suatu perwakilan diplomatik asing di
Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan menempati
rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau
kenikmatan-kenikmatan lainnya. Kenikmatan-kenikmatan
tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut, sebab
perwakilan diplomatik yang bersangkutan bukan merupakan
Wajib Pajak.
Huruf e
Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi
dari perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa, bukan merupakan Objek
Pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf d, yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar oleh
Wajib Pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya tidak
boleh dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak.
Huruf f
Berdasarkan ketentuan ini, dividen atau bagian laba yang
diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib
Pajak dalam negeri, koperasi, yayasan atau organisasi yang
sejenis, badan usaha milik negara atau badan usaha milik
daerah, dari penyertaannya pada badan usaha lainnya yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, tidak
termasuk Objek Pajak. Yang dimaksud dengan badan usaha milik
negara dan badan usaha milik daerah pada ayat ini antara
lain adalah perusahaan perseroan (Persero), bank pemerintah,
bank pembangunan daerah, dan Pertamina.
Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima dividen atau
bagian laba adalah Wajib Pajak selain badan-badan tersebut
di atas, seperti orang pribadi baik dalam negeri maupun luar
negeri, firma, perseroan komanditer dan sebagainya, maka
penghasilan berupa dividen atau bagian laba tersebut tetap
merupakan Objek Pajak.
Huruf g
Pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini
hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah
mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan
dari Objek Pajak adalah:
1) iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik atas
beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja. Pada
dasarnya iuran yang diterima oleh dana pensiun tersebut
merupakan dana milik dari peserta pensiun, yang akan
dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya. Pengenaan
pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para
peserta pensiun, dan oleh karena itu iuran tersebut
dikecualikan sebagai Objek Pajak.
2) penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang
tertentu berdasarkan keputusan Menteri Keuangan. Penanaman
modal oleh dana pensiun dimaksudkan untuk pengembangan dan
pemupukan dana untuk pembayaran kembali kepada peserta
pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman modal tersebut
perlu diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifat
spekulatif atau yang berisiko tinggi. Oleh karena itu
penentuan bidang-bidang tertentu dimaksud ditetapkan dengan
keputusan Menteri Keuangan.
Huruf h
Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana
disebut dalam ketentuan ini yang merupakan himpunan para
anggotanya dikenakan pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada
tingkat badan tersebut. Oleh karena itu, bagian laba yang
diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi
merupakan Objek Pajak.
Huruf i
Perusahaan reksa dana adalah perusahaan yang kegiatan
utamanya melakukan investasi, investasi kembali, atau jual
beli sekuritas. Bagi pemodal khususnya pemodal kecil,
perusahaan reksa dana merupakan salah satu pilihan yang aman
untuk menanamkan modalnya. Penghasilan yang diterima atau
diperoleh perusahaan reksa dana dari investasinya dapat
berupa dividen dan bunga obligasi. Karena
*8711
perusahaan reksa dana pada umumnya berbentuk perseroan
terbatas, sesuai dengan ketentuan pada ayat (3) huruf f
dividen tersebut bukan merupakan Objek Pajak. Agar tidak
mengurangi dana yang tersedia untuk dibagikan kepada para
pemodal, terutama pemodal kecil, bunga obligasi juga bukan
merupakan Objek Pajak bagi perusahaan reksa dana.
Huruf j
Perusahaan modal ventura adalah suatu perusahaan yang
kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan
usaha) dalam bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka
waktu tertentu. Berdasarkan ketentuan ini, bagian laba yang
diterima atau diperoleh dari perusahaan pasangan usaha tidak
termasuk sebagai Objek Pajak, dengan syarat perusahaan
pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan kecil,
menengah, atau yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan, dan saham perusahaan tersebut tidak
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f, maka
dividen yang diterima atau diperoleh perusahaan modal
ventura bukan merupakan Objek Pajak.
Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan
kepada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang memperoleh
prioritas untuk dikembangkan, misalnya untuk meningkatkan
ekspor nonmigas, maka usaha atau kegiatan dari perusahaan
pasangan usaha tersebut diatur oleh Menteri Keuangan.
Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternatif
pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal, maka penyertaan
modal yang akan dilakukan oleh perusahaan modal ventura
diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang belum mempunyai
akses ke bursa efek.
Angka 6
Pasal 5
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu
bentuk usaha tetap di Indonesia, dikenakan pajak di
Indonesia melalui bentuk usaha tetap tersebut.
Ayat (1)
Huruf a
Bentuk usaha tetap dikenakan pajak atas penghasilan yang
berasal dari usaha atau kegiatan dan dari harta yang
dimiliki atau dikuasainya. Dengan demikian semua penghasilan
tersebut dikenakan pajak di Indonesia.
Huruf b
Berdasarkan ketentuan ini penghasilan kantor pusat yang
berasal dari usaha atau kegiatan, penjualan barang dan
pemberian jasa, yang sejenis dengan yang dilakukan oleh
bentuk usaha tetap dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha
tetap, karena pada hakekatnya usaha atau kegiatan tersebut
termasuk dalam ruang lingkup usaha atau kegiatan dan dapat
dilakukan oleh bentuk usaha tetap.
Usaha atau kegiatan yang sejenis dengan usaha atau kegiatan
bentuk usaha tetap, misalnya terjadi apabila sebuah bank di
luar Indonesia yang mempunyai bentuk usaha tetap di
Indonesia, memberikan pinjaman secara langsung tanpa melalui
bentuk usaha tetapnya kepada perusahaan di Indonesia.
Penjualan barang yang sejenis dengan yang dijual oleh bentuk
usaha tetap, misalnya kantor pusat di luar negeri yang
mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia menjual produk
yang sama dengan produk yang dijual oleh bentuk usaha tetap
tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya
kepada pembeli di Indonesia. Pemberian jasa oleh kantor
pusat yang sejenis dengan jasa yang diberikan oleh bentuk
usaha tetap, misalnya kantor pusat perusahaan konsultan di
luar Indonesia memberikan konsultasi yang sama dengan jenis
jasa yang dilakukan bentuk usaha tetap tersebut secara
langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada klien di
Indonesia.
Huruf c
Penghasilan seperti dimaksud dalam Pasal 26 yang diterima
atau diperoleh kantor pusat dianggap sebagai penghasilan
bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila terdapat hubungan
efektif antara harta atau kegiatan yang *8712 memberikan
penghasilan dengan bentuk usaha tetap tersebut. Misalnya, X
Inc. menutup perjanjian lisensi dengan PT Y untuk
mempergunakan merek dagang X Inc. Atas penggunaan hak
tersebut X Inc. menerima imbalan berupa royalti dari PT Y.
Sehubungan dengan perjanjian tersebut X Inc. juga memberikan
jasa manajemen kepada PT Y melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia, dalam rangka pemasaran produk PT Y yang
mempergunakan merek dagang tersebut. Dalam hal demikian,
penggunaan merek dagang oleh PT Y mempunyai hubungan efektif
dengan bentuk usaha tetap di Indonesia, dan oleh karena itu
penghasilan X Inc. yang berupa royalti tersebut diperlakukan
sebagai penghasilan bentuk usaha tetap.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Biaya-biaya administrasi yang dikeluarkan oleh kantor pusat
sepanjang digunakan untuk menunjang usaha atau kegiatan
bentuk usaha tetap di Indonesia, boleh dikurangkan dari
penghasilan bentuk usaha tetap tersebut. Jenis serta
besarnya biaya yang boleh dikurangkan tersebut ditetapkan
oleh Direktur Jenderal Pajak.
Huruf b dan huruf c
Pada dasarnya bentuk usaha tetap merupakan satu kesatuan
dengan kantor pusatnya, sehingga pembayaran oleh bentuk
usaha tetap kepada kantor pusatnya, seperti royalti atas
penggunaan harta kantor pusat, merupakan perputaran dana
dalam satu perusahaan. Oleh karena itu, berdasarkan
ketentuan ini pembayaran bentuk usaha tetap kepada kantor
pusatnya berupa royalti, imbalan jasa, dan bunga tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bentuk usaha tetap. Namun
apabila kantor pusat dan bentuk usaha tetapnya bergerak
dalam bidang usaha perbankan, maka pembayaran berupa bunga
pinjaman dapat dibebankan sebagai biaya.
Sebagai konsekuensi dari perlakuan tersebut,
pembayaran-pembayaran yang sejenis yang diterima oleh bentuk
usaha tetap dari kantor pusatnya tidak dianggap sebagai
Objek Pajak, kecuali bunga yang diterima oleh bentuk usaha
tetap dari kantor pusatnya yang berkenaan dengan usaha
perbankan.
Angka 7
Pasal 6
Ayat (1)
Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu beban atau biaya
yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun
dan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.
Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu)
tahun merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya
gaji, biaya administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan
limbah, dan sebagainya. Sedangkan pengeluaran yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya
dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi.
Disamping itu, apabila dalam suatu tahun pajak didapat
kerugian karena penjualan harta atau karena selisih kurs,
maka kerugian-kerugian tersebut dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto.
Huruf a
Biaya-biaya yang dimaksud pada ayat ini lazim disebut biaya
sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran.
Untuk dapat dibebankan sebagai biaya,
pengeluaran-pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan
langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek
Pajak. Dengan demikian pengeluaran-pengeluaran untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan
merupakan Objek Pajak, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Contoh:
Dana Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat pengesahan
dari Menteri Keuangan memperoleh penghasilan bruto yang
terdiri dari:
a) penghasilan yang bukan
merupakan Objek Pajak sesuai
Pasal 4 ayat (3)
huruf g sebesar Rp 100.000.000,00
*8713 b) penghasilan bruto diluar
ad. a) sebesar Rp 300.000.000,00
___________________(+)
Jumlah penghasilan
bruto Rp 400.000.000,00
Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp 200.000.000,00 maka
biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan adalah sebesar 3/4 x Rp
200.000.000,00 = Rp 150.000.000,00.
Demikian pula bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk
membeli saham yang sudah beredar atau untuk melakukan
akuisisi saham milik pemegang saham pendiri atau lama tidak
dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang dividen yang
diterimanya tidak merupakan Objek Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f, kecuali bunga atas pinjaman
yang dipergunakan untuk melakukan penyertaan pada perusahaan
yang baru didirikan atau mengambil bagian dalam "right
issue" oleh perusahaan yang telah lama berdiri. Bunga
pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut dapat
dikapitalisasi.
Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan
upaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan, misalnya pengeluaran-pengeluaran untuk
keperluan pribadi pemegang saham, pembayaran bunga atas
pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan pribadi peminjam
serta pembayaran premi asuransi untuk kepentingan pribadi,
tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat
dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah
melakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir,
yaitu Wajib Pajak telah menyerahkan penagihan piutang
tersebut kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara
(BUPLN) atau telah mendapat keputusan Pengadilan.
Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk
kepentingan pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya
perusahaan, namun bagi pegawai yang bersangkutan premi
tersebut merupakan penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaran sehubungan dengan pekerjaan yang
boleh dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan
dalam bentuk uang. Pengeluaran yang dilakukan dalam bentuk
natura atau kenikmatan, misalnya fasilitas menempati rumah
dengan cuma-cuma, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan
bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan
penghasilan. Namun demikian, pengeluaran dalam bentuk natura
atau kenikmatan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9
ayat (1) huruf e, boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi
pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan
penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto harus dilakukan dalam batas-batas yang
wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik.
Dengan demikian apabila pengeluaran yang melampaui batas
kewajaran tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka
jumlah yang melampaui batas kewajaran tersebut tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto. Selanjutnya lihat
ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f dan Pasal 18
beserta penjelasannya.
Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka
usahanya selain Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), Pajak Pembangunan I
(PP.I), dapat dibebankan sebagai biaya.
Mengenai pengeluaran untuk promosi, perlu dibedakan antara
biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi dengan
biaya yang pada hakekatnya merupakan sumbangan. Biaya yang
benar-benar dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto.
Huruf b
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
harta tak berwujud serta pengeluaran lain yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya
dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi.
Selanjutnya lihat ketentuan Pasal 9 ayat (2), Pasal 11, dan
Pasal 11A beserta penjelasannya.
Pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan pembayaran di
muka, misalnya sewa untuk beberapa tahun yang dibayar
sekaligus, pembebanannya dapat dilakukan melalui alokasi.
*8714
Huruf c
Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya,
sedangkan iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun yang
pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Menteri Keuangan
tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Huruf d
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut
tujuannya semula tidak dimaksudkan untuk dijual atau
dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan
atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang
dimiliki tetapi tidak digunakan dalam perusahaan, atau yang
dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan, tidak boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto.
Huruf e
Kerugian karena selisih kurs mata uang asing dapat
disebabkan oleh adanya fluktuasi kurs yang terjadi
sehari-hari, atau oleh adanya kebijaksanaan pemerintah di
bidang moneter. Kerugian selisih kurs mata uang asing yang
disebabkan oleh fluktuasi kurs, pembebanannya dilakukan
berdasarkan sistem pembukuan yang dianut, dan harus
dilakukan secara taat asas. Apabila Wajib Pajak menggunakan
sistem pembukuan berdasarkan kurs tetap, pembebanan kerugian
selisih kurs dilakukan pada saat terjadinya realisasi atas
perkiraan mata uang asing tersebut. Apabila Wajib Pajak
menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tengah Bank
Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir
tahun, pembebanannya dilakukan pada setiap akhir tahun
berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang
sebenarnya berlaku pada akhir tahun.
Rugi selisih kurs karena kebijaksanaan pemerintah dibidang
moneter dibukukan dalam perkiraan sementara di neraca dan
pembebanannya dilakukan bertahap berdasarkan realisasi mata
uang asing tersebut.
Huruf f
Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan
di Indonesia dalam jumlah yang wajar untuk menemukan
teknologi atau sistem baru bagi pengembangan perusahaan
boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Huruf g
Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan bea siswa, magang dan
pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya
manusia dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan, dengan
memperhatikan kewajaran dan kepentingan perusahaan.
Ayat (2)
Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan berdasarkan
ketentuan pada ayat (1) setelah dikurangkan dari penghasilan
bruto didapat kerugian, maka kerugian tersebut
dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal
selama 5 (lima) tahun berturut-turut dimulai sejak tahun
berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut.
Contoh:
PT A dalam tahun 1995 menderita kerugian fiskal
sebesar Rp 1.200.000.000,00. Dalam 5 (lima) tahun berikutnya
rugi laba fiskal PT A sebagai berikut:
1996 : laba fiskal Rp 200.000.000,00
1997 : rugi fiskal (Rp 300.000.000,00)
1998 : laba fiskal Rp NIHIL
1999 : laba fiskal Rp 100.000.000,00
2000 : laba fiskal Rp 800.000.000,00
Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :
Rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.200.000.000,00)
Laba fiskal tahun 1996 Rp 200.000.000,00
________________________(+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 1997 (Rp 300.000.000,00)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 1998 Rp NIHIL
_________________________(+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 1999 Rp 100.000.000,00
_________________________(+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 900.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2000 Rp 800.000.000,00
_________________________(+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 100.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 1995 sebesar Rp 100.000.000,00 yang masih
tersisa pada akhir tahun 2000, tidak boleh dikompensasikan
lagi dengan laba fiskal tahun 2001, sedangkan rugi fiskal
1997 sebesar Rp 300.000.000,00 hanya boleh dikompensasikan
dengan laba fiskal tahun 2001 dan tahun 2002, karena jangka
waktu 5 tahun yang dimulai sejak tahun 1998 berakhir pada
akhir tahun 2002.
Ayat (3 )
Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri, kepadanya diberikan pengurangan berupa
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Angka 8
Pasal 7
Ayat (1)
Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri, penghasilan netonya
dikurangi dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Disamping untuk dirinya, kepada Wajib Pajak yang sudah kawin
diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Bagi Wajib Pajak yang isterinya menerima atau memperoleh
penghasilan yang digabung dengan penghasilannya, maka Wajib
Pajak tersebut mendapat tambahan Penghasilan Tidak Kena
Pajak untuk seorang isteri sebesar Rp 1.728.000,00.
Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan
semenda dalam garis keturunan lurus yang menjadi tanggungan
sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak kandung, anak
angkat, diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak
untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengan
anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya adalah
anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan
seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.
Contoh:
Wajib Pajak A mempunyai seorang isteri dengan tanggungan 4
(empat) orang anak. Apabila isterinya memperoleh penghasilan
dari satu pemberi kerja yang sudah dipotong Pajak
Penghasilan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada
hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga
lainnya, maka besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang
diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp
5.184.000,00 {Rp 1.728.000,00 + Rp 864.000,00 + (3 x Rp
864.000,00)}. Sedangkan untuk isterinya, pada saat
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh pemberi kerja,
diberikan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp
1.728.000,00. Apabila penghasilan isteri harus *8716
digabung dengan penghasilan suami, maka besarnya Penghasilan
Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah
sebesar Rp 6.912.000,00 (Rp 5.184.000,00 + Rp 1.728.000,00).
Ayat (2)
Penghitungan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan menurut
keadaan Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau pada awal
bagian tahun pajak.
Misalnya, pada tanggal 1 Januari 1995 Wajib Pajak B
berstatus kawin dengan tanggungan 1 (satu) orang anak.
Apabila anak yang kedua lahir setelah tanggal 1 Januari
1995, maka besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang
diberikan kepada Wajib Pajak B untuk tahun pajak 1995 tetap
dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak.
Ayat (3)
Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan diberikan
wewenang untuk mengubah besarnya Penghasilan Tidak Kena
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta
perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya.
Angka 9
Pasal 8
Sistem pengenaan pajak berdasarkan Undang-undang ini
menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya
penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga
digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenakan pajak dan
pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga.
Namun, dalam hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak
tersebut dilakukan secara terpisah.
Ayat (1)
Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada
awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak dianggap
sebagai penghasilan atau kerugian suaminya dan dikenakan
pajak sebagai satu kesatuan. Penggabungan tersebut tidak
dilakukan dalam hal penghasilan isteri diperoleh dari
pekerjaan sebagai pegawai yang telah dipotong pajak oleh
pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa:
a. penghasilan isteri tersebut semata-mata diperoleh dari
satu pemberi kerja, dan
b. penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang
tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas
suami atau anggota keluarga lainnya.
Contoh :
Wajib pajak A, yang memperoleh penghasilan dari usaha
sebesar Rp 100.000.000,00, mempunyai seorang isteri yang
menjadi pegawai dengan penghasilan sebesar Rp 50.000.000,00.
Apabila penghasilan isteri tersebut diperoleh dari satu
pemberi kerja dan telah dipotong pajak oleh pemberi kerja
dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha
suami atau anggota keluarga lainnya, maka penghasilan
sebesar Rp 50.000.000,00 tidak digabung dengan penghasilan A
dan pengenaan pajak atas penghasilan isteri tersebut
bersifat final.
Apabila selain menjadi pegawai, isteri A juga menjalankan
usaha, misalnya salon kecantikan dengan penghasilan sebesar
Rp 75.000.000,00, maka seluruh penghasilan isteri sebesar Rp
125.000.000,00 (Rp 50.000.000,00 + Rp 75.000.000,00)
digabungkan dengan penghasilan A. Dengan penggabungan
tersebut A dikenakan pajak atas penghasilan sebesar Rp
225.000.000,00 (Rp 100.000.000,00 + Rp 50.000.000,00 + Rp
75.000.000,00). Potongan pajak atas penghasilan isteri tidak
bersifat final, artinya dapat dikreditkan terhadap pajak
yang terutang atas penghasilan sebesar Rp 225.000.000,00
tersebut yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan suami.
Ayat (2) dan ayat (3)
Dalam hal suami-isteri telah hidup berpisah, penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan pengenaan pajaknya dilakukan
sendiri-sendiri. Namun, apabila suami-isteri mengadakan
perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis,
penghitungan pajaknya dilakukan berdasarkan penjumlahan
penghasilan neto suami-isteri dan masing-masing
memikul beban pajak sebanding dengan besarnya penghasilan
neto.
Contoh:
Penghitungan pajak bagi suami-isteri yang mengadakan
perjanjian pemisahan penghasilan secara tertulis adalah
sebagai berikut:
Dari contoh pada ayat (1), apabila isterinya menjalankan
usaha salon kecantikan, pengenaan pajaknya dihitung
berdasarkan jumlah penghasilan sebesar Rp 225.000.000,00.
Misalnya pajak yang terutang atas jumlah penghasilan
tersebut adalah sebesar Rp 56.250.000,00, maka untuk
masing-masing suami dan isteri pengenaan pajaknya dihitung
sebagai berikut:
- Suami:
100.000.000,00
------------x Rp 56.250.000,00 = Rp.25,000.000,00
225.000.000,00
- Isteri:
125.000.000,00
--------------x Rp 56.250.000,00 = Rp 31.250.000,00
225.000.000,00
Ayat (4)
Penghasilan anak yang belum dewasa yang tidak digabung
dengan penghasilan orang tuanya hanya penghasilan yang
berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan
usaha atau kegiatan dari orang yang mempunyai hubungan
istimewa dengan anak tersebut.
Yang dimaksud dengan anak yang belum dewasa adalah anak yang
belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah
menikah. Apabila seorang anak belum dewasa, yang orang
tuanya telah berpisah, menerima atau memperoleh penghasilan
maka pengenaan pajaknya digabungkan dengan penghasilan ayah
atau ibunya berdasarkan keadaan yang sebenarnya.
Angka 10
Pasal 9
Ayat (1)
Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat
dibedakan antara pengeluaran yang boleh dan yang tidak boleh
dibebankan sebagai biaya.
Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan
langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek
Pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun
pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran
tersebut. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang sifatnya adalah
pemakaian penghasilan, atau yang jumlahnya melebihi
kewajaran.
Huruf a
Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk
pembayaran dividen kepada pemilik modal, pembagian sisa
hasil usaha koperasi kepada anggotanya, dan pembayaran
dividen oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis,
tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang
membagikannya karena pembagian laba tersebut merupakan
bagian dari penghasilan badan tersebut yang akan dikenakan
pajak berdasarkan Undang-undang ini.
Huruf b
Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan
adalah biaya-biaya yang dikeluarkan atau dibebankan oleh
perusahaan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu
atau anggota, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya
perjalanan, biaya premi asuransi yang dibayar oleh
perusahaan untuk kepentingan pribadi para pemegang saham
atau keluarganya.
Huruf c
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan pada prinsipnya
tidak dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung
Penghasilan Kena Pajak. Namun untuk jenis jenis usaha
tertentu yang secara ekonomis memang diperlukan *8718
adanya cadangan untuk menutup beban atau kerugian yang akan
terjadi dikemudian hari, yang terbatas pada piutang tak
tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak
opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya
reklamasi untuk usaha pertambangan, maka perusahaan yang
bersangkutan dapat melakukan pembentukan dana cadangan yang
ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.
Huruf d
Premi untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak orang pribadi tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat orang
pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan
asuransi, penerimaan tersebut bukan merupakan Objek Pajak.
Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh
pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut
boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai yang
bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan Objek
Pajak.
Huruf e
Sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 ayat
(3) huruf d, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura
dan kenikmatan dianggap bukan merupakan Objek Pajak. Selaras
dengan hal tersebut maka dalam ketentuan ini, penggantian
atau imbalan dimaksud dianggap bukan merupakan pengeluaran
yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja.
Namun, dalam rangka menunjang kebijaksanaan pemerintah untuk
mendorong pembangunan di daerah tertentu yaitu daerah
terpencil, berdasarkan keputusan Menteri Keuangan,
penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan
yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di
daerah tersebut, boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
pemberi kerja.
Dalam hal pemberian kepada pegawai yang merupakan keharusan
dalam pelaksanaan pekerjaan, seperti pakaian dan peralatan
untuk keselamatan kerja, pakaian seragam, antar jemput
karyawan, penyediaan makanan dan minuman serta penginapan
untuk awak kapal, dan yang sejenisnya, pemberian tersebut
bukan merupakan imbalan tetapi boleh dibebankan sebagai
biaya bagi pemberi kerja.
Huruf f
Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi
pembayaran imbalan yang diberikan kepada pegawai yang juga
pemegang saham. Karena pada dasarnya pengeluaran untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto adalah pengeluaran yang
jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha, maka
berdasarkan ketentuan ini, jumlah yang melebihi kewajaran
tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Misalnya seorang tenaga ahli yang adalah pemegang saham dari
suatu badan, memberikan jasa kepada badan tersebut dengan
memperoleh imbalan sebesar Rp 5.000.000,00. Apabila untuk
jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang
setara hanya dibayar sebesar Rp 2.000.000,00, maka jumlah
sebesar Rp 3.000.000,00 tidak boleh dibebankan sebagai
biaya. Bagi tenaga ahli yang juga sebagai pemegang saham
tersebut, jumlah sebesar Rp 3.000.000,00 dimaksud dianggap
sebagai dividen.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan
ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak
yang bersangkutan.
Huruf i
Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang
menjadi tanggungannya, pada hakekatnya merupakan penggunaan
penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena
itu biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan
bruto perusahaan.
Huruf j
Anggota firma, persekutuan dan perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham diperlakukan sebagai satu
kesatuan, sehingga tidak ada imbalan sebagai gaji. Dengan
demikian gaji yang diterima oleh anggota persekutuan, firma,
atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi
atas saham, bukan merupakan pembayaran yang boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto badan tersebut.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sesuai dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang mempunyai
peranan terhadap penghasilan untuk beberapa tahun,
pembebanannya dilakukan sesuai dengan jumlah tahun lamanya
pengeluaran tersebut berperan terhadap penghasilan. Sejalan
dengan prinsip penyelarasan antara pengeluaran dengan
penghasilan, dalam ketentuan ini pengeluaran untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dapat
dikurangkan sebagai biaya perusahaan sekaligus pada tahun
pengeluaran, melainkan dibebankan melalui penyusutan dan
amortisasi selama masa manfaatnya sebagaimana diatur dalam
Pasal 11 dan Pasal 11A.
Angka 11
Pasal 10
Ketentuan ini mengatur tentang cara penilaian harta,
termasuk persediaan, dalam rangka menghitung penghasilan
sehubungan dengan penggunaan harta dalam perusahaan,
menghitung keuntungan atau kerugian apabila terjadi
penjualan atau pengalihan harta, dan penghitungan
penghasilan dari penjualan barang dagangan.
Ayat (1)
Pada umumnya dalam jual beli harta, harga perolehan harta
bagi pihak pembeli adalah harga yang sesungguhnya dibayar
dan harga penjualan bagi pihak penjual adalah harga yang
sesungguhnya diterima. Termasuk dalam harga perolehan adalah
harga beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka
memperoleh harta tersebut, seperti bea masuk, biaya
pengangkutan dan biaya pemasangan.
Dalam jual beli yang dipengaruhi hubungan istimewa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4), maka bagi
pihak pembeli nilai perolehannya adalah jumlah yang
seharusnya dibayar dan bagi pihak penjual nilai penjualannya
adalah jumlah yang seharusnya diterima. Adanya hubungan
istimewa antara pembeli dan penjual dapat menyebabkan harga,
perolehan menjadi lebih besar atau lebih kecil dibandingkan
dengan jika jual beli tersebut tidak dipengaruhi oleh
hubungan istimewa. Oleh karena itu dalam ketentuan ini
diatur bahwa nilai perolehan atau nilai penjualan harta bagi
pihak-pihak yang bersangkutan adalah jumlah yang seharusnya
dikeluarkan atau yang seharusnya diterima.
Ayat (2)
Harta yang diperoleh berdasarkan transaksi tukar-menukar
dengan harta lain, nilai perolehan atau nilai penjualannya
adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkanatau diterima
berdasarkan harga pasar.
Contoh:
PT A PT B (Harta X) (Harta Y)
Nilai sisa buku Rp 10.000.000,00 Rp
12.000.000,00
Harga Pasar Rp 20.000.000,00 Rp 20.000.000,00
Antara PT A dan PT B terjadi pertukaran harta. Walaupun
tidak terdapat realisasi pembayaran antara pihak-pihak yang
bersangkutan, namun karena harga pasar harta yang
dipertukarkan adalah Rp 20.000.000,00, maka jumlah sebesar
Rp 20.000.000,00 merupakan nilai perolehan yang seharusnya
dikeluarkan atau nilai penjualan yang seharusnya diterima.
Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang
dipertukarkan merupakan keuntungan yang dikenakan pajak. PT
A memperoleh keuntungan sebesar Rp 10.000.000,00 (Rp
20.000.000,00 - Rp 10.000.000,00) dan PT B memperoleh
keuntungan sebesar Rp 8.000.000,00 (Rp 20.000.000,00 - Rp
12.000.000,00).
Ayat (3)
Pada prinsipnya apabila terjadi pengalihan harta, penilaian
harta yang dialihkan dilakukan berdasarkan harga pasar.
Pengalihan harta tersebut dapat dilakukan dalam rangka
pengembangan usaha berupa penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha. Selain itu
pengalihan tersebut dapat dilakukan pula dalam rangka
likuidasi usaha atau sebab lainnya.
*8720 Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku
harta yang dialihkan merupakan penghasilan yang dikenakan
pajak.
Contoh:
PT A dan PT B melakukan peleburan dan membentuk badan baru,
yaitu PT C. Nilai sisa buku dan harga pasar harta dari kedua
badan tersebut adalah sebagai berikut:
PT A PT B
Nilai sisa buku Rp 200.000.000,00 Rp 300.000.000,00
Harga pasar Rp 300.000.000,00 Rp 450.000.000,00
Pada dasarnya, penilaian harta yang diserahkan oleh PT A dan
PT B dalam rangka peleburan menjadi PT C adalah harga pasar
dari harta. Dengan demikian, PT A mendapat keuntungan
sebesar Rp 100.000.000,00 (Rp 300.000.000,00 - Rp
200.000.000,00) dan PT B mendapat keuntungan sebesar Rp
150.000.000,00 (Rp 450.000.000,00 - Rp 300.000.000,00).
Sedangkan PT C membukukan semua harta tersebut dengan jumlah
Rp 750.000.000,00 (Rp 300.000.000,00 + Rp 450.000.000,00).
Namun dalam rangka menyelaraskan dengan kebijakan di bidang
sosial, ekonomi, investasi, moneter dan kebijakan lainnya,
Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan nilai lain
selain harga pasar, yaitu atas dasar nilai sisa buku
("pooling of interest"). Dalam hal demikian PT C membukukan
penerimaan harta dari PT A dan PT B tersebut sebesar Rp
500.000.000,00 (Rp 200.000.000,00 + Rp 300.000.000,00).
Ayat (4)
Dalam hal terjadi penyerahan harta karena hibah, bantuan,
sumbangan yang memenuhi syarat dalam Pasal 4 ayat (3) huruf
a atau warisan, maka nilai perolehan bagi pihak yang
menerima harta adalah nilai sisa buku harta dari pihak yang
melakukan penyerahan. Apabila Wajib Pajak tidak
menyelenggarakan pembukuan sehingga nilai sisa buku tidak
diketahui, maka nilai perolehan atas harta ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
Dalam hal terjadi penyerahan harta karena hibah, bantuan,
sumbangan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a, maka nilai perolehan bagi
pihak yang mengalihkan adalah harga pasar
Ayat (5)
Penyertaan Wajib Pajak dalam permodalan suatu badan dapat
dipenuhi dengan setoran tunai atau pengalihan harta.
Ketentuan ini mengatur tentang penilaian harta yang
diserahkan sebagai pengganti saham atau penyertaan modal
dimaksud, yaitu dinilai berdasarkan nilai pasar dari harta
yang dialihkan tersebut.
Contoh:
Wajib Pajak X menyerahkan 20 unit mesin bubut yang nilai
bukunya adalah Rp 25.000.000,00 kepada PT Y sebagai
pengganti penyertaan sahamnya dengan nilai nominal Rp
20.000.000,00. Harga pasar mesin-mesin bubut tersebut adalah
Rp 40.000.000,00. Dalam hal ini PT Y akan mencatat mesin
bubut tersebut sebagai aktiva dengan nilai Rp 40.000.000,00
dan sebesar nilai tersebut bukan merupakan penghasilan bagi
PT Y. Selisih antara nilai nominal saham dengan nilai pasar
harta, yaitu sebesar Rp 20.000.000,00 (Rp 40.000.000,00 - Rp
20.000.000,00) dibukukan sebagai agio. Bagi Wajib Pajak X
selisih sebesar Rp 15.000.000,00 (Rp 40.000.000,00 - Rp
25.000.000,00) merupakan Objek Pajak.
Ayat (6)
Pada umumnya terdapat 3 (tiga) golongan persediaan barang,
yaitu barang jadi atau barang dagangan, barang dalam proses
produksi, bahan baku dan bahan pembantu.
Ketentuan pada ayat ini mengatur bahwa penilaian persediaan
barang hanya boleh menggunakan harga perolehan. Penilaian
pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok hanya
boleh dilakukan dengan cara rata-rata atau dengan cara
mendahulukan persediaan yang didapat pertama ("first-in
first-out atau disingkat FIFO"). Sesuai dengan kelaziman,
cara penilaian tersebut juga diberlakukan terhadap
sekuritas.
Contoh:
1. Persediaan awal 100 satuan @Rp 9,00
*8721 2. Pembelian 100 satuan @Rp 12,00
3. Pembelian 100 satuan @Rp 11,25
4. Penjualan/dipakai 100 satuan
5. Penjualan/dipakai 100 satuan
Penghitungan harga pokok penjualan dan nilai persediaan
dengan menggunakan cara rata-rata misalnya sebagai berikut:
No Didapat Dipakai Sisa/persediaan
1. 100s@Rp9,00=Rp 900,00
2. 100s@Rp12,00=Rp1.200,00
200s@10,50=Rp2.100,00
3. 100s@Rp11,25=Rp1,125,00
300s@Rp10,75=Rp3.225,00
4. 100s@Rp10,75=Rp1.075,00
200s@Rp10,75=Rp2.150,00
5. 100sRp 10,75=Rp1.075,00
100s@Rp10,75=Rp1.075,00
Penghitungan harga pokok dan nilai persediaan dengan
menggunakan cara FIFO misalnya sebagai berikut:
No Didapat Dipakai Sisa/persediaan
1. 100s@Rp9,00=Rp900,00
2. 100s@Rp12,00=Rp1.200,00 100s@Rp9,00=Rp900,00
100s@Rp12,00=Rp1,200,00
3. 100s@11,25=Rp1.125,00 100@Rp9,00=Rp900,00
100s@Rp12,00=Rp1.200,00
100s@Rp11,25=Rp1.125,00
4. 100s@Rp9,00=Rp900,00
100s@Rp12,00=Rp1.200,00
100s@Rp11,25=Rp1.125,00
5. 100s@Rp12,00=Rp1,200,00
100s@Rp11,25=Rp1.125,00
Sekali Wajib Pajak memilih salah satu cara penilaian
pemakainan persediaan untuk penghitungan harga pokok
tersebtu, maka untuk tahun-tahun selanjutnya harus digunakan
cara yang sama.
Angka 12
Pasal 11
Ayat (1) dan ayat (2)
Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun harus dibebankan
sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut
selama masa manfaat harta tersebut melalui penyusutan. Tanah
tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut
dipergunakan dalam perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh
penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang
karena peng-gunaannya untuk memperoleh penghasilan, misalnya
tanah dipergunakan untuk perusahaan genteng, perusahaan
keramik atau perusahaan batu bata. Metode penyusutan yang
dibolehkan berdasarkan ketentuan ini adalah (a) dalam
bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang
ditetapkan bagi harta tersebut (metode garis lurus atau
"straight-line method"), atau (b) dalam bagian-bagian yang
menurun dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai
sisa buku (metode saldo menurun atau "declining balance
method"). Penggunaan metode penyusutan atas harta harus
dilakukan secara taat asas.
Untuk harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan
dengan metode garis lurus. Harta berwujud selain bangunan
dapat disusutkan dengan metode garis lurus atau metode saldo
menurun. Dalam hal Wajib Pajak memilih menggunakan metode
saldo menurun, nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus
disusutkan sekaligus.
Sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil ("small
tools") yang sama atau sejenis dapat disusutkan dalam satu
golongan.
Contoh penggunaan metode garis lurus :
Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp 100.000.000,00 dan
masa manfaatnya 20 (dua puluh) tahun, penyusutannya setiap
tahun adalah sebesar Rp 5.000.000,00 (Rp 100.000.000,00 :
20).
Contoh penggunaan metode saldo menurun :
Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan
Juni 1995 dengan harga perolehan sebesar Rp 150.000.000,00.
Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun.
Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh
persen), maka penghitungan penyusutannya adalah sebagai
berikut:
Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku
0 150.000.000,00
1 50% 75.000.000,00 75.000.000,00
2 50% 37.500.000,00 37.500.000,00
3 50% 18.750.000,00 18.750.000,00
4. disusutkan sekaligus 18.750.000,00 0
Ayat (3) dan ayat (4)
Ketentuan ini mengatur saat mulainya penyusutan, yaitu pada
tahun dilakukannya pengeluaran atau pada tahun selesainya
pengerjaan suatu harta. Namun berdasarkan persetujuan
Direktur Jenderal Pajak, saat mulainya penyusutan dapat
dilakukan pada tahun harta tersebut digunakan untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan atau pada
tahun harta tersebut mulai menghasilkan. Yang dimaksud
dengan mulai menghasilkan dalam ketentuan ini dikaitkan
dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan
saat diterima atau diperolehnya penghasilan.
Contoh 1.
Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar
Rp 100.000.000,00. Pembangunan dimulai pada bulan Oktober
1995 dan selesai untuk digunakan pada bulan Maret 1996.
Penyusutan atas harga perolehan bangunan gedung tersebut
dimulai pada tahun pajak 1996.
Contoh 2.
PT X yang bergerak di bidang perkebunan kopi membeli traktor
pada tahun 1999. Perkebunan tersebut mulai menghasilkan
(panen) pada tahun 2000. Dengan persetujuan Direktur
Jenderal Pajak, penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan
mulai tahun 2000.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dalam
melakukan penyusutan atas pengeluaran harta berwujud,
ketentuan ini mengatur kelompok masa manfaat harta dan tarif
penyusutan baik menurut metode garis lurus maupun saldo
menurun.
Yang dimaksud bangunan tidak permanen adalah bangunan yang
bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan
lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan, yang masa
manfaatnya tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun. Misalnya,
barak atau asrama yang dibuat dari kayu untuk karyawan.
Ayat (7)
Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang
usaha tertentu, seperti pertambangan minyak dan gas bumi,
perkebunan tanaman keras, perlu diberikan pengaturan
tersendiri untuk penyusutan harta berwujud yang digunakan
dalam usaha tersebut yang ketentuannya ditetapkan dengan
keputusan Menteri Keuangan.
Ayat (8) dan ayat (9)
Pada dasarnya keuntungan atau kerugian karena pengalihan
harta dikenakan pajak dalam tahun dilakukannya pengalihan
harta tersebut.
Apabila harta tersebut dijual atau terbakar, maka penerimaan
neto dari penjualan harta tersebut, yaitu selisih antara
harga penjualan dengan biaya yang dikeluarkan berkenaan
dengan penjualan tersebut, dan/atau penggantian asuransinya
dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya
penjualan atau pada tahun diterimanya penggantian asuransi,
dan nilai sisa buku dari harta tersebut dibebankan sebagai
kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Dalam hal penggantian asuransi yang diterima jumlahnya baru
dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, Wajib Pajak
dapat mengajukan permohonan kepada Direktur
*8723
Jenderal Pajak agar jumlah sebesar kerugian tersebut dapat
dibebankan dalam tahun penggantian asuransi tersebut.
Ayat (10)
Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(8), dalam hal pengalihan harta berwujud yang memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a
dan huruf b, nilai sisa bukunya tidak boleh dibebankan
sebagai kerugian oleh pihak yang mengalihkan.
Ayat (11)
Dalam rangka memberikan keseragaman kepada Wajib Pajak untuk
melakukan penyusutan, Menteri Keuangan diberi wewenang
menetapkan jenis jenis harta yang termasuk dalam setiap
kelompok masa manfaat yang harus dükuti oleh Wajib Pajak.
Angka 13
Pasal 11 A
Ayat (1)
Harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, diamortisasi
dengan metode (a) dalam bagian-bagian yang sama setiap tahun
selama masa manfaat, atau (b) dalam bagian-bagian yang
menurun setiap tahun dengan cara menerapkan tarif amortisasi
atas nilai sisa buku.
Khusus untuk amortisasi harta tak berwujud yang menggunakan
metode saldo menurun, pada akhir masa manfaat nilai sisa
buku harta tak berwujud atau hak-hak tersebut diamortisasi
sekaligus.
Ayat (2)
Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi atas pengeluaran
harta tak berwujud dimaksudkan untuk memberikan keseragaman
bagi Wajib Pajak dalam melakukan amortisasi. Wajib Pajak
dapat melakukan amortisasi sesuai dengan metode yang
dipilihnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan
masa manfaat yang sebenarnya dari tiap harta tak berwujud.
Tarif amortisasi yang diterapkan didasarkan pada kelompok
masa manfaat sebagaimana yang diatur dalam ketentuan ini.
Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak
tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada, maka Wajib
Pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat. Misalnya harta
tak berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya 6 (enam)
tahun dapat menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat)
tahun atau 8 (delapan) tahun. Dalam hal masa manfaat yang
sebenarnya 5 (lima) tahun, maka harta tak berwujud tersebut
diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4
(empat) tahun.
Ayat (3 )
Cukup jelas.
Ayat (4)
Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan
persentase tarif amortisasi yang besarnya setiap tahun sama
dengan persentase perbandingan antara realisasi penambangan
minyak dan gas bumi pada tahun yang bersangkutan dengan
taksiran jumlah seluruh kandungan minyak dan gas bumi di
lokasi tersebut yang dapat diproduksi.
Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil
dari yang diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa
pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain, maka
atas sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus
dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Ayat (5)
Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain minyak
dan gas bumi, hak pengusahaan hutan, atau hasil alam lainnya
seperti hak pengusahaan hasil laut diamortisasi berdasarkan
metode satuan produksi dengan jumlah setinggi-tingginya 20%
(dua puluh persen) setahun.
Contoh:
Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan, yang
mempunyai potensi 10.000.000 (sepuluh juta) ton kayu,
sebesar Rp 500.000.000,00 diamortisasi sesuai dengan
persentase satuan produksi yang direalisasikan dalam tahun
yang bersangkutan. Jika dalam satu tahun pajak ternyata
jumlah produksi *8724 mencapai 3.000.000 (tiga juta)
ton yang berarti 30% (tiga puluh persen) dari potensi yang
tersedia, maka walaupun jumlah produksi pada tahun tersebut
mencapai 30% (tiga puluh persen) dari jumlah potensi yang
tersedia, besarnya amortisasi yang diperkenankan untuk
dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun tersebut
adalah 20% (dua puluh persen) dari pengeluaran atau Rp
100.000.000,00.
Ayat (6)
Dalam pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi
komersial, adalah biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum
operasi komersial, misalnya biaya studi kelayakan dan biaya
produksi percobaan tetapi tidak termasuk biaya-biaya
operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya
rekening listrik dan telepon, dan biaya kantor lainnya.
Untuk pengeluaran operasional yang rutin ini tidak boleh
dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun
pengeluaran.
Ayat (7)
Contoh:
PT X mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan
minyak dan gas bumi di suatu lokasi sebesar Rp
500.000.000,00. Taksiran jumlah kandungan minyak di daerah
tersebut adalah sebanyak 200.000.000 (dua ratus juta) barel.
Setelah produksi minyak dan gas bumi mencapai 100.000.000
(seratus juta) barel, PT X menjual hak penambangan tersebut
kepada pihak lain dengan harga sebesar Rp 300.000.000,00.
Penghitungan penghasilan dan kerugian dari penjualan hak
tersebut adalah sebagai berikut:
Harga perolehan Rp 500.000.000,00
Amortisasi yang telah dilakukan 100.000.000/200.000.000
barel (50%)
Rp 250.000.000,00
Nilai buku harta Rp 250.000.000,00
Harga jual harta Rp 300.000.000,00
Dengan demikian jumlah nilai sisa buku sebesar Rp
250.000.000,00 dibebankan sebagai kerugian dan jumlah
sebesar Rp 300.000.000,00 dibukukan sebagai penghasilan.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 12
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 13
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 14
Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib
Pajak sangat penting untuk dapat mengenakan pajak yang adil
dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak.
Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak harus
menyelenggarakan pembukuan. Namun disadari bahwa tidak semua
Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan.
Semua Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan
menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi yang
menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan
jumlah peredaran tertentu, tidak diwajibkan untuk
menyelenggarakan pembukuan.
Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya
penghasilan neto bagi Wajib Pajak yang menjalankan usaha
atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu
tersebut, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma
penghitungan.
Ayat (1)
Norma penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya
peredaran bruto dan besarnya penghasilan neto yang
diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dengan berpedoman
pada suatu pegangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan
dan disempurnakan terus menerus. Penggunaan norma
penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal
:
a. tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih
baik, yaitu pembukuan atau catatan peredaran bruto yang
lengkap, atau
b. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak
ternyata diselenggarakan secara tidak benar.
Norma penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil
penelitian atau data lain, dan dengan memperhatikan
kewajaran.
Norma penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang
belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung
penghasilan neto.
Ayat (2), ayat (3) dan ayat (4)
Norma Penghitungan Penghasilan Neto hanya boleh digunakan
oleh Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya
kurang dari jumlah Rp 600.000.000,00. Untuk dapat
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut
Wajib Pajak orang pribadi harus memberitahukan kepada
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Wajib Pajak
orang pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto tersebut wajib menyelenggarakan pencatatan
sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan, tentang peredaran brutonya.
Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan
norma dalam menghitung penghasilan neto.
Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang berhak bermaksud
untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto,
tetapi tidak memberitahukannya kepada Direktur Jenderal
Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan, maka Wajib Pajak
tersebut dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
Ayat (5)
Ketentuan ini mengatur tentang penerapan Norma Penghitungan
Peredaran Bruto dan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
terhadap Wajib Pajak yang peredaran bruto sebenarnya tidak
dapat diketahui, yaitu Wajib Pajak yang:
a. wajib menyelenggarakan pembukuan tetapi tidak bersedia
memperlihatkan pembukuan atau catatan peredaran bruto atau
bukti--bukti pembukuan atau bukti-bukti pencatatan peredaran
bruto, sehingga peredaran bruto yang sebenarnya tidak dapat
diketahui;
b. dianggap menyelenggarakan pembukuan karena tidak
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak tentang
keinginannya untuk menghitung penghasilan neto dengan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto, namun ternyata tidak atau
tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan sehingga
peredaran bruto yang sebenarnya tidak dapat diketahui;
c. telah menyatakan keinginannya kepada Direktur Jenderal
Pajak untuk menghitung penghasilan netonya dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, namun
ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan
pencatatan mengenai peredaran brutonya, sehingga peredaran
bruto yang sebenarnya tidak dapat diketahui.
Ayat (6)
Ketentuan ini mengatur tentang penerapan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak yang
sebenarnya dapat diketahui namun penghasilan netonya tidak
dapat dihitung, yaitu terhadap Wajib Pajak yang:
a. wajib menyelenggarakan pembukuan tetapi tidak atau
tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak
memperlihatkan pembukuan atau bukti-buktinya, namun
peredaran bruto yang sebenarnya dapat diketahui;
b. dianggap menyelenggarakan pembukuan seperti dimaksud
pada ayat (4) tetapi tidak atau tidak sepenuhnya
menyelenggarakan pembukuan atau tidak memperlihatkan
pembukuan atau bukti-buktinya, namun peredaran bruto yang
sebenarnya dapat diketahui.
Ayat (7)
Menteri Keuangan dapat menyesuaikan besarnya batas peredaran
bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan
memperhatikan perkembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat
Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan.
*8726
Angka 17
Pasal 15
Ketentuan ini mengatur tentang Norma Penghitungan Khusus
untuk golongan Wajib Pajak tertentu, antara lain perusahaan
pelayaran atau penerbangan internasional, perusahaan
asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan
panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang
melakukan investasi dalam bentuk bangun-guna-serah ("build,
operate, and transfer").
Untuk menghindari kesukaran dalam menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi golongan Wajib Pajak tertentu
tersebut, berdasarkan pertimbangan praktis atau sesuai
dengan kelaziman pengenaan pajak dalam bidang-bidang usaha
tersebut, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan
Norma Penghitungan Khusus guna menghitung besarnya
penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu tersebut.
Angka 18
Pasal 16
Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar penghitungan untuk
menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang. Dalam
Undang-undang ini dikenal dua golongan Wajib Pajak, yaitu
Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri.
Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua
cara untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak, yaitu
penghitungan dengan cara biasa dan penghitungan dengan
menggunakan norma penghitungan.
Di samping itu terdapat cara penghitungan dengan
mempergunakan Norma Penghitungan Khusus, yang diperuntukkan
bagi Wajib Pajak tertentu berdasarkan keputusan Menteri
Keuangan.
Bagi Wajib Pajak luar negeri penentuan besarnya Penghasilan
Kena Pajak dibedakan antara :
(1) Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia;
(2) Wajib Pajak luar negeri lainnya.
Ayat (1)
Bagi Wajib Pajak dalam negeri yang menyelenggarakan
pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan
menggunakan cara penghitungan biasa dengan contoh sebagai
berikut:
- Peredaran bruto Rp 300.000.000,00
- Biaya untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara
penghasilan Rp 255.000.000,00
___________________ (-)
- Laba usaha
(penghasilan neto usaha) Rp 45.000.000,00
- Penghasilan lainnya Rp 5.000.000,00
- Biaya untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara
penghasilan lainnya
tersebut Rp 3.000.000,00
_________________ (-)
Rp 2.000.000,00
__________________
Jumlah seluruh penghasilan
neto Rp 47.000.000,00
- Kompensasi kerugian Rp 2.000.000,00
___________________(-)
- Penghasilan Kena Pajak
(bagi Wajib Pajak badan) Rp 45.000.000,00
- Pengurangan berupa
Penghasilan Tidak Kena Pajak
untuk Wajib Pajak orang pribadi
(isteri+3 anak) Rp 5.184.000,00
_________________(-)
- Penghasilan Kena Pajak
(bagi Wajib Pajak
*8727
orang pribadi) Rp 39. 816. 000,00
Ayat (2)
Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang berhak untuk tidak
menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya
dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto dengan contoh sebagai berikut :
- Peredaran bruto Rp 300 .000.000,00
- Penghasilan neto
(menurut Norma Penghitungan)
misalnya 20% Rp 60.000.000,00
- Penghasilan neto lainnya Rp 5.000.000,00
_________________(+)
- Jumlah seluruh
penghasilan neto Rp 65 .000.000,00
- Penghasilan Tidak Kena Pajak
(isteri + 3 anak) Rp 5.184.000,00
_________________ (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 59.816.000,00
Ayat (3)
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia, cara penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya pada
dasarnya sama dengan cara penghitungan Penghasilan Kena
Pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri. Oleh karena
bentuk usaha tetap berkewajiban untuk menyelenggarakan
pembukuan, maka Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan
cara penghitungan biasa.
Contoh :
- Peredaran bruto Rp 400.000.000,00
- Biaya untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan Rp 275.000.000,00
__________________(-)
Rp 125.000.000,00
- Penghasilan bunga Rp 5.000.000,00
- Penjualan langsung barang
oleh kantor pusat yang
sejenis dengan barang yang
dijual bentuk usaha tetap Rp 200.000.000,00
- Biaya untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan Rp 150.000.000,00
___________________(-)
Rp 50.000.000,00
- Dividen yang diterima atau
diperoleh kantor pusat yang
mempunyai hubungan efektif
dengan bentuk usaha tetap Rp 2.000.000,00
_________________ (+)
Rp 182.000.000,00
- Biaya-biaya menurut Pasal 5 ayat (3) Rp 7.000.000,00
__________________(-)
- Penghasilan Kena Pajak Rp 175.000.000,00
Ayat (4)
Contoh :
Misalnya orang pribadi tidak kawin yang kewajiban pajak
subjektifnya sebagai Subjek Pajak dalam negeri adalah 3
(tiga) bulan, dan dalam jangka waktu tersebut memperoleh
penghasilan sebesar Rp 10.000.000,00 maka penghitungan
Penghasilan Kena Pajaknya adalah sebagai berikut:
Penghasilan selama 3 (tiga) bulan Rp 10.000.000,00
Penghasilan setahun sebesar:
360/3x30x Rp 10.000.000,00 Rp 40.000.000,00
Penghasilan Tidak Kena Pajak
(isteri+3 anak) Rp 5.184.000,00
_________________(-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 34.816.000,00
Angka 19
Pasal 17
*8728 Ayat (1)
Contoh :
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 120.000.000,00
Pajak Penghasilan terutang :
1O% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 25.000.000,00 = Rp 3.750.000,00
30% x Rp 70.000.000,00 = Rp 21.000.000,00
__________________(+)
Rp 27.250.000,00
Tarif pajak bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia melalui suatu
bentuk usaha tetap di Indonesia, sama dengan tarif pajak
bagi Wajib Pajak dalam negeri.
Ayat (2)
Perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat ini akan
diberlakukan secara nasional, dimulai per 1 (satu) Januari
dan diumumkan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tarif
baru itu berlaku efektif, serta dikemukakan oleh Pemerintah
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, untuk
dibahas dalam rangka penyusunan Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
Ayat (3 )
Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tersebut akan disesuaikan dengan faktor
penyesuaian, antara lain tingkat inflasi. Menteri Keuangan
diberi wewenang mengeluarkan keputusan yang mengatur tentang
faktor penyesuaian tersebut.
Ayat (4)
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 5.050.900,00 untuk
penerapan tarif dibulatkan ke bawah menjadi Rp 5.050.000,00.
Ayat (5) dan ayat (6)
Contoh (berdasarkan contoh dalam Pasal 16 ayat (4)):
Penghasilan Kena Pajak Rp 34.816.000,00
Pajak Penghasilan setahun :
10% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 9.816.000,00 = Rp 1.472.400,00
_______________(+)
Rp 3.972.400,00
Pajak Penghasilan terutang dalam bagìan tahun pajak (3
bulan)
(3 x 30)/360 x Rp 3.972.400,00 = Rp 993.100,00
Ayat (7)
Ketentuan pada ayat ini memberi wewenang kepada Pemerintah
untuk menentukan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat
final atas jenis penghasilan tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak lebih tinggi dari
tarif pajak tertinggi sebagaimana diatur pada ayat (1).
Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut didasarkan atas
pertimbangan kesederhanaan, keadilan, pemerataan, dan
efektivitas dalam pengenaan pajak.
Angka 20
Pasal 18
Ayat (1)
Undang-undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan
untuk memberi keputusan tentang besarnya perbandingan antara
utang dan modal perusahaan yang dapat dibenarkan untuk
keperluan penghitungan pajak. Dalam dunia usaha terdapat
tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya
perbandingan antara utang dan modal ("debt-equity ratio").
Apabila perbandingan antara utang dan modal sangat besar
yang melebihi batas-batas kewajaran, maka pada umumnya
perusahaan tersebut dalam keadaan kurang sehat. Dalam hal
demikian untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak,
Undang-undang ini menentukan adanya modal terselubung.
Ayat (2)
Dengan semakin berkembangnya ekonomi dan perdagangan
internasional sejalan dengan era globalisasi, dapat terjadi
bahwa Wajib Pajak dalam negeri menanam modal di luar negeri.
Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak,
*8729
maka terhadap penanaman modal di luar negeri selain pada
badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, Menteri
Keuangan berwenang untuk menentukan saat diperolehnya
dividen.
Contoh:
PT A dan PT B masing-masing memiliki saham sebesar 40% dan
20% pada X Ltd. yang bertempat kedudukan di negara Q. Saham
X Ltd. tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek. Dalam
tahun 1995 X Ltd. memperoleh laba setelah pajak sejumlah Rp
100.000.000,00.
Dalam hal demikian, Menteri Keuangan berwenang menetapkan
saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya.
Ayat (3 )
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah
terjadinya penghindaran pajak, yang dapat terjadi karena
adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan
istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan
kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi
dari yang seharusnya. Dalam hal demikian, Direktur Jenderal
Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya
penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya
di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan
istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan
dan/atau biaya tersebut dapat dipakai beberapa pendekatan,
misalnya data pembanding, alokasi laba berdasar fungsi atau
peran serta dari Wajib Pajak yang mempunyai hubungan
istimewa dan indikasi serta data lainnya.
Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara
terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal tersebut
sebagai utang, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk
menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan.
Penentuan tersebut dapat dilakukan misalnya melalui indikasi
mengenai perbandingan antara modal dengan utang yang lazim
terjadi antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh
hubungan istimewa atau berdasar data atau indikasi lainnya.
Dengan demikian bunga yang dibayarkan sehubungan dengan
utang yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak
diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi pemegang
saham yang menerima atau memperolehnya dianggap sebagai
dividen yang dikenakan pajak.
Ayat (4)
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena
ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang
disebabkan karena:
a. kepemilikan atau penyertaan modal;
b. adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan
teknologi.
Selain karena hal-hal tersebut di atas, hubungan istimewa di
antara Wajib Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena
adanya hubungan darah atau karena perkawinan.
Huruf a
Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan
kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25% (dua
puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak
langsung. Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen)
saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan penyertaan
langsung.
Selanjutnya apabila PT B tersebut mempunyai 50% (lima puluh
persen) saham PT C, maka PT A sebagai pemegang saham PT B
secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C sebesar
25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian antara PT A,
PT B dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila
PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham PT D,
maka antara PT B, PT C, dan PT D dianggap terdapat hubungan
istimewa. Hubungan kepemilikan seperti tersebut di atas
dapat juga terjadi antara orang pribadi dan badan.
Huruf b
Hubungan istimewa antara Wajib Pajak dapat juga terjadi
karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan
teknologi, kendatipun tidak terdapat hubungan kepemilikan.
Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih
perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama. Demikian
juga *8730 hubungan antara beberapa perusahaan yang berada
dalam penguasaan yang sama tersebut.
Huruf c
Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat adalah ayah, ibu, dan anak,
sedangkan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke
samping satu derajat adalah saudara.
Yang dimaksud dengan keluarga semenda dalam garis keturunan
lurus satu derajat adalah mertua dan anak tiri, sedangkan
hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping
satu derajat adalah ipar.
Ayat (5)
Berdasarkan ketentuan ini, Wajib Pajak yang mempunyai
penyertaan modal langsung atau tidak langsung sebesar 25%
(dua puluh lima persen) atau lebih pada Wajib Pajak lainnya,
maka untuk penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang atas
Wajib Pajak-Wajib Pajak dimaksud penerapan lapisan tarif
rendah hanya diberikan satu kali saja yaitu terhadap Wajib
Pajak induknya. Sedangkan terhadap Wajib Pajak lainnya dalam
satu grup, Pajak Penghasilan yang terutang dihitung langsung
berdasarkan tarif yang lebih tinggi yang dikenakan terhadap
Wajib Pajak induk tersebut atau tarif tertinggi.
Yang dimaksud dengan lapisan tarif rendah adalah lapisan
tarif di bawah lapisan tarif tertinggi yang diterapkan
terhadap Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak induk
dimaksud.
Contoh :
PT A memiliki saham PT B sebesar 50% (lima puluh persen) dan
PT B memiliki saham PT C sebesar 60% (enam puluh persen).
Penghasilan Kena Pajak atau kerugian fiskal tahun 1995 untuk
masing-masing badan misalnya sebagai berikut :
PT A Penghasilan Kena Pajak : Rp 200.000.000,00
PT B Rugi fiskal : (Rp 40.000.000,00)
PT C Penghasilan Kena Pajak : Rp 70.000.000,00
Penghitungan pajak yang terutang :
PT A:
10% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 25.000.000,00 = Rp 3.750.000,00
30% x Rp 150.000.000,00 = Rp 45.000.000,00
________________(+)
Rp 51.250.000,00
PT B: Nihil.
Kerugian fiskal sebesar Rp 40.000.000,00 tidak boleh
diperhitungkan terhadap penghasilan neto PT A dan PT C.
PT C :
30% x Rp 70.000.000,00 = Rp 21.000.000,00
Atas Penghasilan Kena Pajak PT C sebesar Rp 70.000.000,00
langsung diterapkan tarif 30% (tiga puluh persen), karena
penerapan tarif rendah hanya dilakukan pada satu Wajib Pajak
saja, yaitu PT A.
Angka 21
Pasal 19
Ayat (1)
Adanya perkembangan harga yang mencolok atau perubahan
kebijakan di bidang moneter dapat menyebabkan
kekurangserasian antara biaya dan penghasilan, yang dapat
mengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang wajar. Dalam
keadaan demikian, Menteri Keuangan diberi wewenang
menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva tetap
(revaluasi) atau indeksasi biaya dan penghasilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 20
*8731
Ayat (1)
Agar pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan mendekati
jumlah pajak yang akan terutang untuk tahun pajak yang
bersangkutan, maka pelaksanaannya dilakukan melalui:
a. pemotongan pajak oleh pihak lain dalam hal diperoleh
penghasilan oleh Wajib Pajak dari pekerjaan, jasa atau
kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, pemungutan
pajak atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22, dan pemotongan pajak atas penghasilan dari modal,
jasa dan kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23.
b. pembayaran oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25.
Ayat (2)
Pada dasarnya pelunasan pajak dalam tahun berjalan dilakukan
untuk setiap bulan, namun Menteri Keuangan dapat menentukan
masa lain, seperti saat dilakukannya transaksi atau saat
diterima atau diperolehnya penghasilan, sehingga pelunasan
pajak dalam tahun berjalan dapat dilaksanakan dengan baik.
Ayat (3 )
Pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan merupakan
angsuran pembayaran pajak yang nantinya boleh diperhitungkan
dengan cara mengkreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang
terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Dengan pertimbangan kemudahan, kesederhanaan, kepastian,
pengenaan pajak yang tepat waktu, dan pertimbangan lainnya,
maka dapat diatur pelunasan pajak dalam tahun berjalan yang
bersifat final atas jenis jenis penghasilan tertentu seperti
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 21, Pasal 22, dan
Pasal 23. Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut
tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang
terutang.
Angka 23
Pasal 21
Ayat (1)
Ketentuan ini mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun
berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan. Pihak
yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan
pajak adalah pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana
pensiun, badan, perusahaan, dan penyelenggara kegiatan.
Huruf a
Pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran
dan pelaporan pajak adalah orang pribadi ataupun badan yang
merupakan induk, cabang, perwakilan atau unit perusahaan,
yang membayar atau terutang gaji, upah, tunjangan,
honorarium, dan pembayaran lain dengan nama apapun kepada
pengurus, pegawai atau bukan pegawai, sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang
dilakukan. Dalam pengertian pemberi kerja termasuk juga
organisasi internasional yang tidak dikecualikan dari
kewajiban memotong pajak.
Yang dimaksud dengan pembayaran lain adalah pembayaran
dengan nama apapun selain gaji, upah, tunjangan, dan
honorarium, dan pembayaran lain seperti bonus, gratifikasi,
tantiem.
Yang dimaksud dengan bukan pegawai adalah orang pribadi yang
menerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja
sehubungan dengan ikatan kerja tidak tetap, misalnya artis
yang menerima atau memperoleh honorarium dari pemberi kerja.
Huruf b
Bendaharawan pemerintah termasuk bendaharawan pada
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga
pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya dan Kedutaan
Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayar gaji,
upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.
Huruf c
Dana pensiun atau badan lain seperti badan
*8732
penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang membayarkan
uang pensiun, tunjangan hari tua, tabungan hari tua, dan
pembayaran lain yang sejenis dengan nama apapun.
Dalam pengertian uang pensiun atau pembayaran lain termasuk
tunjangan-tunjangan baik yang dibayarkan secara berkala
ataupun tidak, yang dibayarkan kepada penerima pensiun,
penerima tunjangan hari tua, penerima tabungan hari tua.
Huruf d
Dalam pengertian badan termasuk organisasi internasional
yang tidak dikecualikan berdasarkan ayat (2). Termasuk
tenaga ahli orang pribadi misalnya dokter, pengacara,
akuntan, yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk
dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama
persekutuannya.
Huruf e
Perusahaan, badan, atau penyelenggara kegiatan wajib
memotong pajak atas pembayaran hadiah atau penghargaan dalam
bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan. Dalam
pengertian badan termasuk badan pemerintah, organisasi
termasuk organisasi internasional, dan perkumpulan. Kegiatan
yang diselenggarakan misalnya kegiatan olahraga, keagamaan,
kesenian dan kegiatan lain.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3 )
Bagi pegawai tetap besarnya penghasilan yang dipotong pajak
adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan,
iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam
pengertian iuran pensiun termasuk juga iuran tunjangan hari
tua atau tabungan hari tua yang dibayar oleh pegawai.
Bagi pensiunan besarnya penghasilan yang dipotong pajak
adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya
pensiun dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam pengertian
pensiunan termasuk juga penerima tunjangan hari tua atau
tabungan hari tua.
Ayat (4)
Besarnya penghasilan yang dipotong pajak bagi pegawai
harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya adalah
jumlah penghasilan bruto dikurangi -dengan bagian
penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan memperhatikan
Penghasilan Tidak Kena Pajak yang berlaku.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Apabila pemberi kerja telah melakukan pemotongan dan
penyetoran pajak dengan benar, maka pada akhir tahun pajak
terhadap pegawai atau orang pribadi yang hanya menerima atau
memperoleh penghasilan dari 1 (satu) pemberi kerja, yang
pajaknya telah dipotong tidak lagi diwajibkan menyampaikan
Surat Pemberitahuan Tahunan, kecuali pegawai atau orang
pribadi tersebut memperoleh penghasilan lain yang bukan
penghasilan yang pajaknya telah dibayar atau dipotong dan
bersifat final menurut Undang-undang ini, misalnya
pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7).
Ayat (7)
Misalnya, penghasilan tertentu dari kegiatan seperti hadiah
olah raga dan undian.
Ayat (8)
Cukup jelas
Angka 24
Pasal 22
Ayat (1) dan ayat (2)
Berdasarkan ketentuan ini yang dapat ditunjuk sebagai
pemungut pajak adalah:
- bendaharawan pemerintah, termasuk bendaharawan
pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau
lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara
*8733
lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang;
- badan-badan tertentu, baik badan pemerintah
maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor,
atau kegiatan usaha di bidang lain.
Pemungutan pajak berdasarkan ketentuan ini, dimaksudkan
untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengumpulan
dana melalui sistem pembayaran pajak dan untuk tujuan
kesederhanaan, kemudahan, dan pengenaan pajak yang tepat
waktu.
Dalam hubungan ini Menteri Keuangan menetapkan besarnya
pungutan yang dapat bersifat final.
Pelaksanaan ketentuan ini ditetapkan oleh Menteri
Keuangan dengan mempertimbangkan antara lain:
- penunjukan pemungut pajak secara selektif, demi
pelaksanaan pemungutan pajak secara efektif dan efisien;
- tidak mengganggu kelancaran lalu lintas barang;
- prosedur pemungutan, penyetoran, dan pelaporan
yang sederhana sehingga mudah dilaksanakan.
Angka 25
Pasal 23
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini mengatur pemotongan pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam
negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal dari modal,
penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang
telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (1) huruf e, yang dibayarkan atau terutang oleh badan
pemerintah atau Subjek Pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya.
Dasar pemotongan pajak dalam ayat ini dibedakan antara
penghasilan bruto dan perkiraan penghasilan neto. Dasar
pemotongan pajak untuk pembayaran penghasilan dalam bentuk
dividen, bunga, royalti, hadiah, dan penghargaan adalah
jumlah penghasilan bruto. Dasar pemotongan untuk sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta adalah
perkiraan penghasilan neto.
Penghasilan berupa imbalan jasa yang wajib dilakukan
pemotongan pajak adalah jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak selain jasa yang telah dipotong Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Atas penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh
koperasi dipotong pajak sebesar 15% (lima belas persen) dan
bersifat final. Atas penghasilan berupa bunga simpanan
koperasi yang tidak melebihi batas yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan yang dibayarkan koperasi kepada anggotanya
tidak dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23.
Ayat (2)
Agar ketentuan ini dapat dilaksanakan dengan baik dan
dinamis sesuai dengan perkembangan dunia usaha, maka
Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk menetapkan
jenis-jenis jasa lain dan besarnya perkiraan penghasilan
neto. Dalam menetapkan besarnya perkiraan penghasilan neto,
Direktur Jenderal Pajak selain memanfaatkan data dan
informasi intern, dapat memperhatikan pendapat dan informasi
dari pihak-pihak yang terkait.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Angka 26
Pasal 24
Pada dasarnya Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas
seluruh penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari luar negeri. Untuk meringankan beban pajak
ganda yang dapat terjadi karena pengenaan pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri,
ketentuan ini mengatur tentang perhitungan besarnya pajak
atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri
yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang
*8734
terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri.
Ayat (1)
Pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar
negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang
di Indonesia hanyalah pajak yang langsung dikenakan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak.
Contoh:
PT A di Indonesia merupakan pemegang saham tunggal dari Z
Inc. di Negara X. Z Inc. tersebut dalam tahun 1995
memperoleh keuntungan sebesar US$ 100,000.00. Pajak
Penghasilan yang berlaku di negara X adalah 48% dan Pajak
Dividen adalah 38%. Penghitungan pajak atas dividen tersebut
sebagai berikut:
Keuntungan Z Inc. US$ 100,000.00
Pajak Penghasilan (Corporate
income tax) atas Z Inc. (48%) US$ 48,000.00
________________(-)
US$ 52,000.00
Pajak atas dividen (38%) US$ 19,760.00
Dividen yang dikirim ke Indonesia US$ 32,240.00
Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh
Pajak Penghasilan yang terutang atas PT A adalah pajak yang
langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh di luar negeri, dalam contoh di atas yaitu jumlah
sebesar US$ 19,760.00.
Pajak Penghasilan (Corporate income tax) atas Z Inc. sebesar
US$ 48,000.00 tidak dapat dikreditkan terhadap Pajak
Penghasilan yang terutang atas PT A, karena pajak sebesar
US$ 48,000.00 tersebut tidak dikenakan langsung atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh PT A dari luar
negeri, melainkan pajak yang dikenakan atas keuntungan Z
Inc. di negara X.
Ayat (2)
Untuk memberikan perlakuan pemajakan yang sama antara
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri
dengan penghasilan yang diterima atau diperolehIndonesia, maka besarnya pajak yang dibayar atau terutang di
luar negeri dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang
di Indonesia tetapi tidak boleh melebihi besarnya pajak yang
dihitung berdasarkan Undang-undang ini.
Cara penghitungan besarnya pajak yang dapat dikreditkan
ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan wewenang
sebagaimana diatur pada ayat (6).
Ayat (3) dan ayat (4)
Dalam perhitungan kredit pajak atas penghasilan yang dibayar
atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap
pajak yang terutang menurut Undang-undang ini, penentuan
sumber penghasilan menjadi sangat penting. Selanjutnya,
ketentuan ini mengatur tentang penentuan sumber penghasilan
untuk memperhitungkan kredit pajak luar negeri tersebut.
Mengingat Undang-undang ini menganut pengertian penghasilan
yang luas, maka sesuai dengan ketentuan pada ayat (4)
penentuan sumber dari penghasilan selain yang tersebut pada
ayat (3) dipergunakan prinsip yang sama dengan prinsip
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tersebut, misalnya A
sebagai Wajib Pajak dalam negeri memiliki sebuah rumah di
Singapura dan dalam tahun 1995 rumah tersebut dijual.
Keuntungan yang diperoleh dari penjualan rumah tersebut
merupakan penghasilan yang bersumber di Singapura, karena
rumah tersebut terletak di Singapura.
Ayat (5)
Apabila terjadi pengurangan atau pengembalian pajak atas
penghasilan yang dibayar di Iuar negeri, sehingga besarnya
pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia menjadi lebih
kecil dari besarnya perhitungan semula, maka selisihnya
ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terutang menurut
Undang-undang ini. Misalnya, dalam tahun 1996, Wajib Pajak
mendapat pengurangan pajak atas penghasilan luar negeri
tahun pajak 1995 sebesar Rp 5.000.000,00, yang semula telah
termasuk dalam jumlah pajak yang dikreditkan terhadap pajak
yang terutang untuk tahun pajak 1995, maka jumlah sebesar Rp
5.000.000,00, tersebut ditambahkan pada Pajak Penghasilan
yang terutang dalam tahun pajak 1996.
Ayat (6)
*8735 Cukup jelas
Angka 27
Pasal 25
Ketentuan ini mengatur tentang penghitungan besarnya
angsuran bulanan yang harus dibayar oleh Wajib Pajak sendiri
dalam tahun berjalan.
Ayat (1)
Contoh 1:
Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun 1994 Rp 50.000.000,00,
dikurangi:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong
pemberi kerja
(Pasal 21) Rp 15.000.000,00
b. Pajak Penghasilan yang
dipungut oleh pihak lain
(Pasal 22) Rp 10.000.000,00
c. Pajak Penghasilan yang
dipotong oleh pihak lain
(Pasal 23) Rp 2.500.000,00
d. Kredit Pajak Penghasilan
luar negeri
(Pasal 24) Rp 7.500.000,00
_________________(+)
Jumlah kredit pajak Rp 35.000.000,00
__________________ (-)
Selisih Rp 15.000.000,00
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap
bulan untuk tahun 1995 adalah sebesar Rp 1.250.000,00 (Rp
15.000.000,00 : 12).
Contoh 2:
Apabila Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam contoh
di atas berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau
diperoleh untuk bagian tahun pajak yang meliputi masa 6
(enam) bulan dalam tahun 1994, maka besarnya angsuran
bulanan yang harus dibayar sendiri setiap bulan dalam tahun
1995 adalah sebesar Rp 2.500.000,00 (Rp 15.000.000,00 : 6).
Ayat (2)
Mengingat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan adalah 3 (tiga) bulan setelah
tahun pajak berakhir, maka besarnya angsuran pajak yang
harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sebelum batas waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
belum dapat dihitung sesuai dengan ketentuan ayat (1).
Berdasarkan ketentuan ini, besarnya angsuran pajak untuk
bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tersebut adalah sama
dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak
yang lalu, tetapi tidak boleh lebih kecil dari rata-rata
angsuran bulanan tahun pajak yang lalu.
Contoh :
Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
disampaikan oleh Wajib Pajak pada bulan Maret 1995, maka
besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak untuk
bulan Januari dan Pebruari 1995 adalah sebesar angsuran
pajak bulan Desember 1994, misalnya sebesar Rp 1.000.000,00.
Namun, apabila dalam bulan September 1994 diterbitkan
keputusan pengurangan angsuran pajak menjadi nihil, sehingga
angsuran pajak sejak bulan Oktober sampai dengan Desember
1994 menjadi nihil, maka besarnya angsuran pajak yang harus
dibayar Wajib Pajak setiap bulan untuk bulan Januari dan
Pebruari 1995 adalah berdasarkan perhitungan rata-rata
angsuran bulanan tahun lalu, yaitu sebesar Rp 750.000,00 (9
x Rp 1.000.000.00 : 12).
Ayat (3) dan ayat (4)
Apabila telah diterbitkan surat ketetapan pajak untuk 2
(dua) tahun pajak sebelum tahun Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan yang menghasilkan angsuran pajak lebih
besar daripada angsuran pajak berdasarkan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang
lalu, maka angsuran bulanan dihitung menurut surat ketetapan
pajak terakhir.
Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan surat
ketetapan pajak untuk 2 (dua) tahun pajak sebelumnya yang
menghasilkan jumlah angsuran pajak yang lebih besar dari
jumlah angsuran pajak bulan sebelumnya, maka angsuran pajak
dihitung berdasarkan surat ketetapan pajak terakhir.
Perubahan angsuran pajak tersebut berlaku mulai bulan
berikutnya setelah bulan diterbitkannya surat ketetapan
pajak.
Contoh :
Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
1994 yang disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Maret 1995,
perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar
adalah sebesar Rp 1.250.000,00. Dalam bulan Juni 1994 telah
diterbitkan surat ketetapan pajak tahun pajak 1992 yang
menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan sebesar Rp
2.000.000,00. Selanjutnya dalam bulan Oktober 1994
diterbitkan surat ketetapan pajak tahun pajak 1993 yang
menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan sebesar Rp
1.500.000,00.
Berdasarkan ketentuan pada ayat (3), maka besarnya angsuran
pajak mulai bulan Maret 1995 adalah sebesar Rp 1.500.000,00
dengan perhitungan angsuran pajak berdasarkan surat
ketetapan pajak tahun 1993, sedangkan besarnya angsuran
pajak untuk bulan Januari dan Pebruari 1995 dihitung
berdasarkan ketentuan pada ayat (2).
Selanjutnya apabila dalam bulan Oktober 1995 diterbitkan
surat ketetapan pajak untuk tahun pajak 1994 yang
menghasilkan besarnya angsuran pajak untuk setiap bulan
sebesar Rp 1.750.000,00, maka berdasarkan ketentuan pada
ayat (4), besarnya angsuran pajak mulai bulan Nopember 1995
adalah sebesar Rp 1.750.000,00.
Ayat (5)
Apabila pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan yang disampaikan lebih kecil dari
pada pajak yang telah dibayar, dipotong, dan dipungut selama
tahun pajak yang bersangkutan, dan oleh karena itu Wajib
Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak atau permohonan untuk memperhitungkan
dengan utang pajak lain, sebelum Direktur Jenderal Pajak
memberikan keputusan mengenai pengembalian atau perhitungan
kelebihan pajak tersebut, besarnya angsuran bulanan adalah
sama dengan angsuran pajak bulan terakhir dari tahun pajak
yang lalu, tetapi tidak boleh lebih kecil dari rata-rata
angsuran bulanan tahun pajak yang lalu.
Setelah adanya keputusan Direktur Jenderal Pajak, maka
angsuran bulanan dari bulan berikutnya setelah tanggal
keputusan itu, dihitung berdasarkan keputusan tersebut.
Contoh :
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan 1994 yang
disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Maret 1995 menunjukkan
kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp 40.000.000,00,
sedangkan angsuran bulanan dalam tahun 1994 sebesar Rp
1.000.000,00.
Atas permohonan pengembalian pembayaran pajak tahun 1994
tersebut, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan pada
bulan Agustus 1995 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak
untuk setiap bulan menjadi nihil. Berdasarkan ketentuan ini,
besarnya angsuran pajak setiap bulan untuk bulan Januari
sampai dengan bulan Agustus 1995 sebesar Rp 1.000.000,00 dan
mulai bulan September 1995 adalah nihil.
Ayat (6)
Pada dasarnya besarnya pembayaran angsuran pajak oleh Wajib
Pajak sendiri dalam tahun berjalan sedapat mungkin
diupayakan mendekati jumlah pajak yang akan terutang pada
akhir tahun. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan ini,
dalam hal-hal tertentu Direktur Jenderal Pajak diberikan
wewenang untuk menyesuaikan penghitungan besarnya angsuran
pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam
tahun berjalan, apabila terdapat kompensasi kerugian, Wajib
Pajak menerima atau memperoleh penghasilan tidak teratur,
atau terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib
Pajak.
Contoh 1:
- Penghasilan PT X tahun 1994 Rp 120.000.000,00
- Sisa kerugian tahun sebelumnya
yang masih dapat dikompensasikan Rp 150.000.000,00
- Sisa kerugian yang belum
dikompensasikan tahun 1994 Rp 30.000.000,00
Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 1995 adalah:
- Penghasilan yang dipakai dasar penghitungan
angsuran Pajak Penghasilan
Pasal 25 = Rp 120.000.000,00 - Rp 30.000.000,00 = Rp
90.000.000,00
- Pajak Penghasilan terutang:
10% x Rp. 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp. 25.000.000,00 = Rp 3.750.000,00
30% x Rp. 40.000.000,00 = Rp 12.000.000,00
__________________(+)
Rp 18.250.000,00
- Apabila pada tahun 1994 tidak ada Pajak Penghasilan
yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain dan pajak yang
dibayar atau terutang di luar negeri sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 24, maka besarnya angsuran pajak bulanan PT X
tahun 1995 = 1/12 x Rp 18.250.000,00 -Rp 1.520.833,33
(dibulatkan Rp 1.520.833,00).
Contoh 2:
Penghasilan teratur Wajib Pajak A dari usaha dagang dalam
tahun 1994 Rp 48.000.000,00 dan penghasilan tidak teratur
dari mengontrakkan rumah selama 3 (tiga) tahun yang dibayar
sekaligus pada tahun 1994 sebesar Rp 72.000.000,00.
Mengingat penghasilan yang tidak teratur tersebut sekaligus
diterima pada tahun 1994, maka penghasilan yang dipakai
sebagai dasar penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 dari
Wajib Pajak A pada tahun 1995 adalah hanya dari penghasilan
teratur tersebut.
Contoh 3 :
Perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak dapat
terjadi karena penurunan atau peningkatan usaha. PT B yang
bergerak di bidang produksi benang dalam tahun 1995 membayar
angsuran bulanan sebesar Rp 15.000.000,00.
Dalam bulan Juni 1995 pabrik milik PT B terbakar, oleh
karena itu berdasarkan keputusan Direktur Jenderal Pajak
mulai bulan Juli 1995 angsuran bulanan PT B dapat
disesuaikan menjadi lebih kecil dari Rp 15.000.000,00.
Sebaliknya apabila PT B mengalami peningkatan usaha,
misalnya adanya peningkatan penjualan dan diperkirakan
Penghasilan Kena Pajaknya akan lebih besar dibandingkan
dengan tahun sebelumnya, maka kewajiban angsuran bulanan PT
B dapat disesuaikan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (7)
Pada prinsipnya penghitungan besarnya angsuran bulanan dalam
tahun berjalan didasarkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan tahun yang lalu. Namun berdasarkan
ketentuan ini, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk
menetapkan dasar penghitungan besarnya angsuran bulanan
selain berdasarkan prinsip tersebut dengan tujuan agar lebih
mendekati kewajaran berdasarkan data yang dapat dipakai
untuk menentukan besarnya pajak yang akan terutang pada
akhir tahun serta sebaga.i dasar penghitungan jumlah
(besarnya) angsuran pajak dalam tahun berjalan.
Bagi Wajib Pajak baru yang mulai menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan dalam tahun pajak berjalan, perlu diatur
untuk menentukan besarnya angsuran pajak, karena Wajib Pajak
belum memasukkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan.
Penentuan besarnya angsuran pajak didasarkan atas kenyataan
usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang perbankan, badan
usaha milik negara dan badan usaha milik daerah, terdapat
kewajiban menyampaikan kepada Pemerintah laporan yang
berkaitan dengan pengelolaan keuangan dalam suatu periode
tertentu, yang dapat dipakai sebagai dasar penghitungan
untuk menentukan besarnya angsuran pajak dalam tahun
berjalan.
Dalam perkembangan dunia usaha, kemungkinan terdapat bidang
usaha atau Wajib Pajak tertentu yang angsuran pajaknya dapat
dihitung berdasarkan data atau kenyataan yang ada, sehingga
mendekati kewajaran.
Ayat (8)
Pajak yang dibayar Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak
ke luar negeri merupakan pembayaran angsuran pajak dalam
tahun berjalan yang dapat dikreditkan dengan
*8738
jumlah Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun.
Berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya tugas negara,
pertimbangan sosial, budaya, pendidikan, keagamaan, dan
kelaziman internasional, dengan peraturan pemerintah diatur
tentang pengecualian dari kewajiban membayar pajak
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini.
Angka 28
Pasal 26
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
luar negeri dari Indonesia, Undang-undang ini menganut dua
sistem pengenaan pajak, yaitu pemenuhan sendiri kewajiban
perpajakannya bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha
tetap di Indonesia, dan pemotongan oleh pihak yang wajib
membayar bagi Wajib Pajak luar negeri lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan atas penghasilan
yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.
Ayat (1)
Pemotongan pajak berdasarkan ketentuan ini wajib dilakukan
oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya, yang melakukan pembayaran
kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di
Indonesia, dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) dari
jumlah bruto.
Jenis-jenis penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan
dapat digolongkan dalam:
1. penghasilan yang bersumber dari modal dalam bentuk
dividen, bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan
karena jaminan pengembalian utang, royalti, dan sewa serta
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
2. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan;
3. hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk
apapun;
4. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
Sesuai dengan ketentuan ini, misalnya suatu badan Subyek
Pajak dalam negeri membayarkan royalti sebesar Rp
100.000.000,00 kepada Wajib Pajak luar negeri, maka Subjek
Pajak dalam negeri tersebut berkewajiban untuk memotong
Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari Rp
100.000.000,00.
Sebagai contoh lain misalnya seorang atlit dari luar negeri
yang ikut mengambil bagian dalam perlombaan lari maraton di
Indonesia, dan kemudian merebut hadiah uang, maka atas
hadiah tersebut dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan
sebesar 20% (dua puluh persen).
Ayat (2) dan ayat (3)
Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar
negeri yang bersumber di Indonesia, selain dari penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu penghasilan dari
penjualan harta dan premi asuransi, termasuk premi
reasuransi. Atas penghasilan tersebut dipotong pajak sebesar
20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto dan
bersifat final. Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk
menetapkan besarnya perkiraan penghasilan neto dimaksud,
serta hal-hal lain dalam rangka pelaksanaan pemotongan pajak
tersebut. Ketentuan ini tidak diterapkan dalam hal Wajib
Pajak luar negeri tersebut menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, atau
apabila penghasilan dari penjualan harta tersebut telah
dikenakan pajak berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2).
Ayat (4)
Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari
bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20%
(dua puluh persen).
Contoh :
Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha tetap
di Indonesia Rp 17. 500.000.000,00
Pajak Penghasilan:
1O% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 25.000.000,00 = Rp 3.750.000,00
30% x Rp 17.450.000.000,00 = Rp 5.235.000.000,00
____________________(+)
Rp 5.241.250.000,00
_____________________ (-)
Penghasilan Kena Pajak setelah
dikurangi pajak Rp 12.258.750.000,00
PPh yang dipotong sebesar 20% Rp 2.451.750.000,00
Namun apabila penghasilan setelah dikurangi pajak tersebut
sebesar Rp 12.258.750.000,00 ditanamkan kembali dilndonesia
sesuai dengan keputusan Menteri Keuangan, maka atas
penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.
Ayat (5)
Pada prinsipnya pemotongan pajak atas Wajib Pajak luar
negeri adalah bersifat final, namun atas penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan
huruf c, dan atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau
badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak
dalam negeri atau bentuk usaha tetap, pemotongan pajaknya
tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat
dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan.
Contoh:
A sebagai tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian
kerja dengan PT B sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk
bekerja di Indonesia untuk jangka waktu 5 (lima) bulan
terhitung mulai tanggal I Januari 1995. Pada tanggal 20
April 1995 perjanjian kerja tersebut diperpanjang menjadi 8
(delapan) bulan sehingga akan berakhir pada tanggal 31
Agustus 1995. Jika perjanjian kerja tersebut tidak
diperpanjang maka status A adalah tetap sebagai Wajib Pajak
luar negeri. Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja
tersebut, maka status A berubah dari Wajib Pajak luar negeri
menjadi Wajib Pajak dalam negeri terhitung sejak tanggal 1
Januari 1995. Selama bulan Januari sampai dengan Maret 1995
atas penghasilan bruto A telah dipotong Pajak Penghasilan
Pasal 26 oleh PT B.
Berdasarkan ketentuan ini, maka untuk menghitung Pajak
Penghasilan yang terutang atas penghasilan A untuk masa
Januari sampai dengan Agustus 1995, Pajak Penghasilan Pasal
26 yang telah dipotong dan disetor PT B atas penghasilan A
sampai dengan Maret tersebut, dapat dikreditkan terhadap
pajak A sebagai Wajib Pajak dalam negeri.
Angka 29
Pasal 27
Cukup jelas
Angka 30
Judul Bab VI diganti menjadi "PERHITUNGAN PAJAK PADA AKHIR
TAHUN"
Angka 31
Pasal 28
Ayat (1)
Pajak yang telah dilunasi dalam tahun berjalan, baik yang
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ataupun yang dipotong serta
dipungut oleh pihak lain, dapat dikreditkan terhadap pajak
yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan.
Contoh :
Pajak Penghasilan yang
terutang Rp 80.000.000,00
Kredit pajak :
Pemotongan pajak dari
pekerjaan (Pasal 21) Rp 5.000.000,00
Pemungutan pajak oleh
pihak lain (Pasal 22) Rp 10.000.000,00
Pemotongan pajak
dari modal (Pasal 23) Rp 5.000.000,00
Kredit pajak luar
negeri (Pasal 24) Rp 15.000.000,00
Dibayar sendiri oleh
*8740 Wajib Pajak (Pasal 25) Rp 10.000.000,00
_________________ (+)
Jumlah Pajak Penghasilan
yang dapat dikreditkan Rp 45.000.000,00
_________________(-)
Pajak Penghasilan yang
masih harus dibayar Rp 35.000.000,00
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 32
Pasal 28A
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17 B ayat (1)
Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang
ditunjuk berwenang untuk mengadakan pemeriksaan sebelum
dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak.
Hal-hal yang harus menjadi pertimbangan sebelum dilakukan
pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak adalah:
a. kebenaran materiil tentang besarnya Pajak Penghasilan
yang terutang;
b. keabsahan bukti-bukti pungutan dan bukti-bukti
potongan pajak serta bukti pembayaran pajak oleh Wajib Pajak
sendiri selama dan untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Oleh karena itu untuk kepentingan pemeriksaan, Direktur
Jenderal Pajak atau pejabat lain yang ditunjuk diberi
wewenang untuk mengadakan pemeriksaan atas laporan keuangan,
buku-buku, dan catatan lainnya serta pemeriksaan lain yang
berkaitan dengan penentuan besarnya Pajak Penghasilan yang
terutang, kebenaran jumlah pajak dan jumlah pajak yang telah
dikreditkan dan untuk menentukan besarnya kelebihan
pembayaran pajak yang harus dikembalikan. Maksud pemeriksaan
ini untuk memastikan bahwa uang yang akan dibayar kembali
kepada Wajib Pajak sebagai restitusi itu adalah benar
merupakan hak Wajib Pajak.
Angka 33
Pasal 29
Ketentuan Pasal ini mewajibkan Wajib Pajak untuk melunasi
kekurangan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan
Undang-undang ini sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan disampaikan. Apabila tahun buku sama dengan
tahun takwim maka kekurangan pajak tersebut wajib dilunasi
selambat-lambatnya tanggal 25 Maret setelah tahun pajak
berakhir, sedangkan apabila tahun buku tidak sama dengan
tahun takwim, misalnya dimulai tanggal 1 Juli sampai dengan
30 Juni, maka kekurangan pajak wajib dilunasi
selambat-lambatnya tanggal 25 September.
Angka 34
Pasal 30
Cukup jelas
Angka 35
Pasal 31
Cukup jelas
Angka 36
Pasal 31A
Salah satu prinsip yang perlu dipegang teguh di dalam
undang-undang perpajakan adalah diberlakukan dan
diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak
atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang
hakekatnya sama, dengan berpegang pada ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Karena itu setiap kemudahan
dalam bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus
mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam
penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan
diberikannya kemudahan tersebut.
Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakekatnya
terutama untuk berhasilnya sektor-sektor kegiatan ekonomi
yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, khususnya
penggalakan ekspor. Selain itu kemudahan ini dapat pula
diberikan untuk mendorong perkembangan daerah yang
terpencil, seperti yang banyak terdapat di kawasan timur
Indonesia, dalam rangka pemerataan pembangunan.
*8741 Kemudahan yang diberikan terbatas dalam bentuk :
a. penyusutan dan amortisasi yang lebih dipercepat;
b. kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih
dari 10 (sepuluh) tahun;
c. pengurangan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26.
Demikian pula ketentuan ini dapat digunakan untuk menampung
kemungkinan perjanjian dengan negara atau negara-negara lain
dalam bidang perdagangan, investasi, dan bidang lainnya.
Angka 37
Pasal 32
Cukup jelas
Angka 38
Pasal 33A
Ayat (1)
Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang berakhir
tanggal 30 Juni 1995 atau sebelumnya (tidak sama dengan
tahun takwim), maka tahun buku tersebut adalah tahun pajak
1994. Pajak yang terutang dalam tahun tersebut tetap
dihitung berdasar Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1991. Sedangkan bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir
setelah tanggal 30 Juni 1995, wajib menghitung pajaknya
mulai tahun pajak 1995 berdasarkan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang ini.
Ayat (2) dan ayat (3)
Wajib Pajak yang telah memperoleh Keputusan Menteri Keuangan
mengenai fasilitas perpajakan tentang saat mulai berproduksi
yang diterbitkan sebelum tanggal 1 Januari 1995 dapat
menikmati fasilitas perpajakan yang diberikan sampai dengan
jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan yang
bersangkutan. Dengan demikian sejak 1 Januari 1995 keputusan
tentang saat mulai berproduksi tidak diterbitkan lagi.
Ayat (4)
Ketentuan pajak dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya,
atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan yang
masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini,
dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak
bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama
pengusahaan pertambangan tersebut. Walaupun Undang-undang
ini sudah mulai berlaku, namun kewajiban pajak bagi Wajib
Pajak yang terikat dengan kontrak bagi hasil, kontrak karya
atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tetap
dihitung berdasar kontrak atau perjanjian dimaksud.
Dengan demikian, ketentuan Undang-undang ini baru
diberlakukan untuk pengenaan pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak di bidang pengusahaan
pertambangan minyak dan gas bumi dan pengusahaan
pertambangan umum lainnya yang dilakukan dalam bentuk
kontrak karya, kontrak bagi hasil, atau perjanjian kerjasama
pengusahaan pertambangan, yang ditandatangani setelah
berlakunya Undang-undang ini.
Angka 39
Pasal 34
Cukup jelas.
Angka 40
Pasal 35
Dengan Peraturan Pemerintah diatur lebih lanjut hal-hal yang
belum cukup diatur dalam Undang-undang ini, yaitu semua
peraturan yang diperlukan agar Undang-undang ini dapat
dilaksanakan dengann sebaik-baiknya, termasuk pula peraturan
peralihan.
Pasal II
Cukup jelas
Pasal III
Cukup jelas
*8742
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3567
--------------------------------
CATATAN
Kutipan: LEMBAR LEPAS 1994
Silahkan download versi PDF nya sbb:
perubahan_atas_undang_undang_nomor_7_tahun_1983_(_10.pdf
(ogi/Carapedia)
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)






