Previous
Next
  • Home
  • »
  • Undang-Undang
  • »
  • 2008
  • » Undang-Undang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (UU 36 thn 2008)

2008

Undang-Undang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (UU 36 thn 2008)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan :
                UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                        NOMOR 36 TAHUN 2008
                               TENTANG
             PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG
          NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN


               DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


                    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang : a. bahwa dalam upaya mengamankan penerimaan negara yang
               semakin meningkat, mewujudkan sistem perpajakan yang
               netral, sederhana, stabil, lebih memberikan keadilan, dan
               lebih   dapat   menciptakan      kepastian hukum     serta
               transparansi perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-
               Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
               sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
               Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan
               Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
               Pajak Penghasilan;
             b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
                dalam huruf a, perlu membentuk Undang-Undang tentang
                Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
                1983 tentang Pajak Penghasilan;


Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-Undang
               Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
             2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
                Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara
                Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
                Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262)
                sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
                Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan
                Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
                Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
                Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85,
                Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
                4740);



                                                     3. Undang-Undang ...
                              -2-

          3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
             Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
             1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik
             Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali
             diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
             2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor
             7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
             Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan
             Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);


                   Dengan Persetujuan Bersama

        DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
                               dan
                 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

                          MEMUTUSKAN:


Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS
            UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
            PENGHASILAN.



                              Pasal I

         Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
         1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
         Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
         Republik Indonesia Nomor 3263) yang telah beberapa kali diubah
         dengan Undang-Undang:
         a. Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Republik Indonesia
            Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara
            Republik Indonesia Nomor 3459);
         b. Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia
            Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara
            Republik Indonesia Nomor 3567);
         c. Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia
            Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara
            Republik Indonesia Nomor 3985);


                                                            diubah ...
                        -3-

diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 substansi tetap dan Penjelasannya diubah
   sehingga rumusan Penjelasan Pasal 1 adalah sebagaimana
   tercantum dalam Penjelasan Pasal demi Pasal Angka 1
   Undang-Undang ini.

2. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) sampai dengan ayat (5) diubah dan
   di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni
   ayat (1a) sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:


                       Pasal 2

   (1)   Yang menjadi subjek pajak adalah:
         a. 1. orang pribadi;
              2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
                 menggantikan yang berhak;
         b. badan; dan
         c. bentuk usaha tetap.
   (1a) Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang
        perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek
        pajak badan.
   (2)   Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam
         negeri dan subjek pajak luar negeri.
   (3)   Subjek pajak dalam negeri adalah:
         a.    orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia,
               orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari
               183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
               waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi
               yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia
               dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di
               Indonesia;
         b.    badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
               Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan
               pemerintah yang memenuhi kriteria:
               1. pembentukannya      berdasarkan    ketentuan
                  peraturan perundang-undangan;
               2. pembiayaannya    bersumber    dari  Anggaran
                  Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
                  Pendapatan dan Belanja Daerah;


                                             3. penerimaannya ...
                   -4-

           3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran
              Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
           4. pembukuannya         diperiksa  oleh     aparat
              pengawasan fungsional negara; dan
      c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
           menggantikan yang berhak.
(4)   Subjek pajak luar negeri adalah:
      a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
           Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia
           tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
           hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan
           badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
           kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha
           atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
           tetap di Indonesia; dan
      b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
           Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia
           tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
           hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan
           badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
           kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima
           atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak
           dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
           melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
(5)   Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang
      dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat
      tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
      Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh
      tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan
      badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
      kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
      melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
      a. tempat kedudukan manajemen;
      b. cabang perusahaan;
      c. kantor perwakilan;
      d. gedung kantor;
      e. pabrik;
      f.   bengkel;
      g. gudang;
      h. ruang untuk promosi dan penjualan;
      i.   pertambangan dan penggalian sumber alam;
      j.   wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;


                                            k. perikanan, ...
                      -5-

         k.  perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,
             atau kehutanan;
         l.  proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
         m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai
             atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60
             (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua
             belas) bulan;
         n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang
             kedudukannya tidak bebas;
         o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang
             tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
             Indonesia yang menerima premi asuransi atau
             menanggung risiko di Indonesia; dan
         p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis
             yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh
             penyelenggara     transaksi      elektronik   untuk
             menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
   (6)   Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan
         badan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut
         keadaan yang sebenarnya.

3. Ketentuan Pasal 3 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni
   ayat (2) sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:


                      Pasal 3

   (1)   Yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana
         dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
         a. kantor perwakilan negara asing;
         b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat
             atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan
             orang-orang yang diperbantukan kepada mereka
             yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-
             sama mereka dengan syarat bukan warga negara
             Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau
             memperoleh penghasilan di luar jabatan atau
             pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan
             memberikan perlakuan timbal balik;
         c. organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
             1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
                dan


                                                      2. tidak ...
                      -6-

              2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain
                 untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia
                 selain memberikan pinjaman kepada pemerintah
                 yang dananya berasal dari iuran para anggota;
         d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional
              sebagaimana dimaksud pada huruf c, dengan
              syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak
              menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain
              untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
   (2)   Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek
         pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
         ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

4. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf h, huruf l,
   dan Penjelasan huruf k diubah dan ditambah 3 (tiga) huruf,
   yakni huruf q sampai dengan huruf s, ayat (2) diubah, ayat
   (3) huruf a, huruf d, huruf f, huruf i, dan huruf k diubah,
   huruf j dihapus, dan ditambah 3 (tiga) huruf, yakni huruf l,
   huruf m, dan huruf n sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai
   berikut:

                      Pasal 4

   (1)   Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu
         setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima
         atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
         Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
         dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
         kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama
         dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
         a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan
              pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
              termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,
              komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau
              imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan
              lain dalam Undang-undang ini;
         b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan,
              dan penghargaan;
         c. laba usaha;
         d. keuntungan karena penjualan atau karena
              pengalihan harta termasuk:
              1. keuntungan karena pengalihan harta kepada
                  perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
                  sebagai pengganti saham atau penyertaan
                  modal;

                                               2. keuntungan ...
             -7-

    2.  keuntungan karena pengalihan harta kepada
        pemegang saham, sekutu, atau anggota yang
        diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan
        lainnya;
   3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan,
        peleburan,       pemekaran,        pemecahan,
        pengambilalihan usaha, atau reorganisasi
        dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
   4. keuntungan karena pengalihan harta berupa
        hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang
        diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
        keturunan lurus satu derajat dan badan
        keagamaan, badan pendidikan, badan sosial
        termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi
        yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
        ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
        Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak
        ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
        kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-
        pihak yang bersangkutan; dan
   5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan
        sebagian atau seluruh hak penambangan,
        tanda turut serta dalam pembiayaan, atau
        permodalan dalam perusahaan pertambangan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah
   dibebankan sebagai biaya dan pembayaran
   tambahan pengembalian pajak;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan
   karena jaminan pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun,
   termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada
   pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
   koperasi;
h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
   penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali
   sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan
   dengan Peraturan Pemerintah;
l. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi;
                                           o. iuran ...
                   -8-

      o.   iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan
           dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang
           menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
      p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari
           penghasilan yang belum dikenakan pajak;
      q. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
      r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam
           Undang-Undang       yang      mengatur     mengenai
           ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
      s. surplus Bank Indonesia.
(2)   Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat
      final:
      a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan
           lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara,
           dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh
           koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
      b. penghasilan berupa hadiah undian;
      c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas
           lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di
           bursa, dan transaksi penjualan saham atau
           pengalihan penyertaan modal pada perusahaan
           pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal
           ventura;
      d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa
           tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi,
           usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau
           bangunan; dan
      e. penghasilan tertentu lainnya,
      yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
      Pemerintah.
(3)   Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
      a. 1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang
               diterima oleh badan amil zakat atau lembaga
               amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
               pemerintah dan yang diterima oleh penerima
               zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan
               yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
               diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga
               keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh
               pemerintah dan yang diterima oleh penerima
               sumbangan yang berhak, yang ketentuannya
               diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
               Pemerintah; dan

                                                   2. harta ...
              -9-

     2.  harta hibahan yang diterima oleh keluarga
         sedarah dalam garis keturunan lurus satu
         derajat, badan keagamaan, badan pendidikan,
         badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau
         orang pribadi yang menjalankan usaha mikro
         dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan
         atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,
     sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
     pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara
     pihak-pihak yang bersangkutan;
b.   warisan;
c.   harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh
     badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
     (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai
     pengganti penyertaan modal;
d.   penggantian atau imbalan sehubungan dengan
     pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
     dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari
     Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang
     diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang
     dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang
     menggunakan       norma    penghitungan    khusus
     (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
     15;
e.   pembayaran dari perusahaan asuransi kepada
     orang pribadi sehubungan dengan asuransi
     kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,
     asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f.   dividen atau bagian laba yang diterima atau
     diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak
     dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara,
     atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan
     modal pada badan usaha yang didirikan dan
     bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
     1. dividen berasal dari cadangan laba yang
         ditahan; dan
     2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik
         negara dan badan usaha milik daerah yang
         menerima dividen, kepemilikan saham pada
         badan yang memberikan dividen paling rendah
         25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal
         yang disetor;


                                           g. iuran ...
             - 10 -

g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun
   yang     pendiriannya     telah   disahkan     Menteri
   Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja
   maupun pegawai;
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana
   pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g,
   dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan
   dengan Keputusan Menteri Keuangan;
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota
   dari perseroan komanditer yang modalnya tidak
   terbagi     atas     saham-saham,       persekutuan,
   perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk
   pemegang unit penyertaan kontrak investasi
   kolektif;
j. dihapus;
k. penghasilan      yang    diterima    atau    diperoleh
   perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari
   badan pasangan usaha yang didirikan dan
   menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia,
   dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
   1. merupakan          perusahaan      mikro,     kecil,
        menengah, atau yang menjalankan kegiatan
        dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan
        atau     berdasarkan       Peraturan      Menteri
        Keuangan; dan
   2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek
        di Indonesia;
l. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu
   yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
   berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
m. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau
   lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang
   pendidikan dan/atau bidang penelitian dan
   pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi
   yang membidanginya, yang ditanamkan kembali
   dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan
   pendidikan         dan/atau       penelitian      dan
   pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4
   (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih
   tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
   dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
   Keuangan; dan

                                          n. bantuan ...
                      - 11 -

         n.   bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh
              Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib
              Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih
              lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
              Keuangan.

5. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, huruf e, huruf g, dan
   huruf h diubah dan ditambah 5 (lima) huruf, yakni huruf i
   sampai dengan huruf m, serta ayat (2) diubah sehingga Pasal
   6 berbunyi sebagai berikut:

                      Pasal 6

   (1)   Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
         dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan
         berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk
         mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan,
         termasuk:
         a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung
             berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain:
             1. biaya pembelian bahan;
             2. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
                  termasuk upah, gaji, honorarium, bonus,
                  gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan
                  dalam bentuk uang;
             3. bunga, sewa, dan royalti;
             4. biaya perjalanan;
             5. biaya pengolahan limbah;
             6. premi asuransi;
             7. biaya promosi dan penjualan yang diatur
                  dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
                  Keuangan;
             8. biaya administrasi; dan
             9. pajak kecuali Pajak Penghasilan;
         b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh
             harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran
             untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang
             mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
             sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal
             11A;
         c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya
             telah disahkan oleh Menteri Keuangan;


                                               d. kerugian ...
             - 12 -

d.   kerugian karena penjualan atau pengalihan harta
     yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan
     atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih,
     dan memelihara penghasilan;
e.   kerugian selisih kurs mata uang asing;
f.   biaya penelitian dan pengembangan perusahaan
     yang dilakukan di Indonesia;
g.   biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
h.   piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
     dengan syarat:
     1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan
          laba rugi komersial;
     2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang
          yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat
          Jenderal Pajak; dan
     3. telah     diserahkan     perkara    penagihannya
          kepada Pengadilan Negeri atau instansi
          pemerintah yang menangani piutang negara;
          atau adanya perjanjian tertulis mengenai
          penghapusan      piutang/pembebasan       utang
          antara     kreditur     dan     debitur    yang
          bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam
          penerbitan umum atau khusus; atau adanya
          pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah
          dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
     4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3
          tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak
          tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud
          dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k;
     yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan
     atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
i.   sumbangan       dalam     rangka     penanggulangan
     bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan
     Peraturan Pemerintah;
j.   sumbangan       dalam     rangka    penelitian   dan
     pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang
     ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
k.   biaya pembangunan infrastruktur sosial yang
     ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
l.   sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya
     diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan

                                     m. sumbangan ...
                     - 13 -

         m. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga
             yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
             Pemerintah.
   (2)   Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan
         sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian,
         kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan
         mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai
         dengan 5 (lima) tahun.
   (3)   Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri
         diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena
         Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

6. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai
   berikut:

                     Pasal 7

   (1)   Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan
         paling sedikit sebesar:
         a. Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus
              empat puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak
              orang pribadi;
         b. Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh
              ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang
              kawin;
         c. Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus
              empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang
              isteri yang penghasilannya digabung dengan
              penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam
              Pasal 8 ayat (1); dan
         d. Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh
              ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota
              keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam
              garis keturunan lurus serta anak angkat, yang
              menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3
              (tiga) orang untuk setiap keluarga.
   (2)   Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
         (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau
         awal bagian tahun pajak.
   (3)   Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak
         sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
         Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan
         dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

                                              7. Ketentuan ...
                      - 14 -

7. Ketentuan Pasal 8 ayat (2) sampai dengan ayat (4) dan
   Penjelasan ayat (1) diubah sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai
   berikut:

                      Pasal 8

   (1)   Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang
         telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal
         bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang
         berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum
         dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
         ayat (2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian
         suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata
         diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang
         telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21
         dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan
         usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota
         keluarga lainnya.
   (2)   Penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara terpisah
         apabila:
         a. suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan
              putusan hakim;
         b. dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri
              berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan
              penghasilan; atau
         c. dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk
              menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya
              sendiri.
   (3)   Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud
         pada ayat (2) huruf b dan huruf c dikenai pajak
         berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami-
         isteri dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh
         masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan
         perbandingan penghasilan neto mereka.
   (4)   Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan
         penghasilan orang tuanya.

8. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf e, dan huruf g serta
   Penjelasan huruf f diubah sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai
   berikut:


                                                     Pasal 9 ...
                   - 15 -

                   Pasal 9


(1)   Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak
      bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap
      tidak boleh dikurangkan:
      a.   pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk
           apapun seperti dividen, termasuk dividen yang
           dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada
           pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
           koperasi;
      b.   biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk
           kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau
           anggota;
      c.   pembentukan atau pemupukan dana cadangan,
           kecuali:
           1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha
               bank dan badan usaha lain yang menyalurkan
               kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi,
               perusahaan pembiayaan konsumen, dan
               perusahaan anjak piutang;
           2.   cadangan untuk usaha asuransi termasuk
                cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh
                Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
           3.   cadangan    penjaminan untuk  Lembaga
                Penjamin Simpanan;
           4.   cadangan biaya reklamasi untuk usaha
                pertambangan;
           5.   cadangan biaya penanaman kembali untuk
                usaha kehutanan; dan
           6.   cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan
                tempat pembuangan limbah industri untuk
                usaha pengolahan limbah industri,
           yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan
           atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
      d.   premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
           asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea
           siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi,
           kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi
           tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib
           Pajak yang bersangkutan;


                                             e. penggantian ...
                  - 16 -

      e.  penggantian atau imbalan sehubungan dengan
          pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk
          natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan
          makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta
          penggantian atau imbalan dalam bentuk natura
          dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang
          berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang
          diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
          Keuangan;
      f.  jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan
          kepada pemegang saham atau kepada pihak yang
          mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan
          sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
      g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan,
          dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
          ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan
          sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
          huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang
          diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil
          zakat    yang    dibentuk    atau  disahkan   oleh
          pemerintah atau sumbangan keagamaan yang
          sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di
          Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan
          yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah,
          yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
          Peraturan Pemerintah;
      h. Pajak Penghasilan;
      i.  biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk
          kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang
          menjadi tanggungannya;
      j.  gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan,
          firma, atau perseroan komanditer yang modalnya
          tidak terbagi atas saham;
      k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan
          kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang
          berkenaan      dengan    pelaksanaan    perundang-
          undangan di bidang perpajakan.
(2)   Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan
      memelihara penghasilan yang mempunyai masa
      manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan
      untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan
      melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A.


                                           9. Ketentuan ...
                      - 17 -

9. Ketentuan Pasal 11 ayat (7) dan ayat (11) serta Penjelasan
   ayat (1) sampai dengan ayat (4) diubah sehingga Pasal 11
   berbunyi sebagai berikut:

                     Pasal 11

   (1)   Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian,
         pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan
         harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik,
         hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai,
         yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan,
         menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai
         masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam
         bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat
         yang telah ditentukan bagi harta tersebut.
   (2)   Penyusutan    atas   pengeluaran    harta    berwujud
         sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain bangunan,
         dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang
         menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan
         cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku,
         dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku
         disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara
         taat asas.
   (3)   Penyusutan     dimulai   pada     bulan dilakukannya
         pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam
         proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan
         selesainya pengerjaan harta tersebut.
   (4)   Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib
         Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai
         pada   bulan   harta tersebut  digunakan    untuk
         mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
         atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai
         menghasilkan.
   (5)   Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva
         berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
         Pasal 19, maka dasar penyusutan atas harta adalah
         nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva
         tersebut.
   (6)   Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif
         penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut:

                                                      Kelompok ...
                    - 18 -

                                        Tarif Penyusutan sebagaimana
        Kelompok Harta        Masa
                                                dimaksud dalam
           Berwujud          Manfaat
                                          Ayat (1)         Ayat (2)
       I. Bukan bangunan
          Kelompok 1         4 tahun        25%             50%
          Kelompok 2         8 tahun       12,5%            25%
          Kelompok 3         16 tahun      6,25%           12,5%
          Kelompok 4         20 tahun       5%              10%
      II. Bangunan
          Permanen           20 tahun       5%
          Tidak Permanen     10 tahun       10%



(7)   Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusutan atas harta
      berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam bidang
      usaha tertentu diatur dengan Peraturan Menteri
      Keuangan.
(8)   Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d
      atau penarikan harta karena sebab lainnya, maka
      jumlah nilai sisa buku harta tersebut dibebankan
      sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau
      penggantian asuransinya yang diterima atau diperoleh
      dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya
      penarikan harta tersebut.
(9)   Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima
      jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa
      kemudian, maka dengan persetujuan Direktur Jenderal
      Pajak jumlah sebesar kerugian sebagaimana dimaksud
      pada ayat (8) dibukukan sebagai beban masa kemudian
      tersebut.
(10) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat
     sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a
     dan huruf b, yang berupa harta berwujud, maka jumlah
     nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan
     sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelompok harta
     berwujud sesuai dengan masa manfaat sebagaimana
     dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan
     Menteri Keuangan.


                                                   10. Ketentuan ...
                        - 19 -

10. Ketentuan Pasal 11A ayat (1) dan Penjelasan ayat (5) diubah
    serta di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat,
    yakni ayat (1a) sehingga Pasal 11A berbunyi sebagai berikut:

                       Pasal 11A

    (1)  Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta
         tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya
         perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha,
         hak pakai, dan muhibah (goodwill) yang mempunyai
         masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang
         dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
         memelihara penghasilan dilakukan dalam bagian-
         bagian yang sama besar atau dalam bagian-bagian yang
         menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan
         cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran
         tersebut atau atas nilai sisa buku dan pada akhir masa
         manfaat    diamortisasi     sekaligus    dengan    syarat
         dilakukan secara taat asas.
    (1a) Amortisasi    dimulai     pada     bulan    dilakukannya
         pengeluaran, kecuali untuk bidang usaha tertentu yang
         diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
         Keuangan.
    (2) Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif
         amortisasi ditetapkan sebagai berikut:

                                            Tarif Amortisasi berdasarkan
                                                       metode
           Kelompok Harta
                            Masa Manfaat
            Tak Berwujud                      Garis          Saldo
                                              Lurus         Menurun
          Kelompok 1             4 tahun         25%              50%
          Kelompok 2              8 tahun      12,5%              25%
          Kelompok 3             16 tahun      6,25%            12,5%
          Kelompok 4             20 tahun         5%              10%

    (3)   Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya
          perluasan modal suatu perusahaan dibebankan pada
          tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasi sesuai
          dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
          (2).
    (4)   Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak
          dan pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat
          lebih dari 1 (satu) tahun di bidang penambangan
          minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan
          metode satuan produksi.

                                                    (5) Amortisasi ...
                      - 20 -

    (5)   Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak
          penambangan selain yang dimaksud pada ayat (4), hak
          pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber
          alam serta hasil alam lainnya yang mempunyai masa
          manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan
          menggunakan metode satuan produksi setinggi-
          tingginya 20% (dua puluh persen) setahun.
    (6)   Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial
          yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)
          tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi sesuai
          dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
          (2).
    (7)   Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau
          hak-hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
          (4), dan ayat (5), maka nilai sisa buku harta atau hak-
          hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah
          yang diterima sebagai penggantian merupakan
          penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan tersebut.
    (8)   Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat
          sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a
          dan huruf b, yang berupa harta tak berwujud, maka
          jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh
          dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang
          mengalihkan.

11. Ketentuan Pasal 14 ayat (2), ayat (3), ayat (5), dan ayat (7)
    serta Penjelasan ayat (4) diubah sehingga Pasal 14 berbunyi
    sebagai berikut:

                     Pasal 14

    (1)   Norma     Penghitungan    Penghasilan    Neto   untuk
          menentukan      penghasilan     neto,    dibuat   dan
          disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh
          Direktur Jenderal Pajak.
    (2)   Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan
          usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya
          dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00
          (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh
          menghitung penghasilan neto dengan menggunakan
          Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana
          dimaksud     pada     ayat    (1),    dengan    syarat
          memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak
          dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun
          pajak yang bersangkutan.
                                                    (3) Wajib ...
                      - 21 -

    (3)   Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
          menghitung       penghasilan     netonya      dengan
          menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
          wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana
          dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
          mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
    (4)   Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
          tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak
          untuk    menghitung     penghasilan    neto   dengan
          menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto,
          dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
    (5)   Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan
          atau pencatatan, termasuk Wajib Pajak sebagaimana
          dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), yang ternyata
          tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan
          pencatatan     atau     pembukuan       atau     tidak
          memperlihatkan      pencatatan    atau     bukti-bukti
          pendukungnya maka penghasilan netonya dihitung
          berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
          dan peredaran brutonya dihitung dengan cara lain
          yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
          Menteri Keuangan.
    (6)   Dihapus.
    (7)   Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud
          pada ayat (2) dapat diubah dengan Peraturan Menteri
          Keuangan.

12. Ketentuan Pasal 16 ayat (1) sampai dengan ayat (3) dan
    Penjelasan ayat (4) diubah sehingga Pasal 16 berbunyi
    sebagai berikut:


                     Pasal 16


    (1)   Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif
          bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam suatu tahun
          pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari
          penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
          ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud
          dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1),
          serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan
          huruf g.

                                               (2) Penghasilan ...
                       - 22 -

    (2)   Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi
          dan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
          dihitung dengan menggunakan norma penghitungan
          sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan untuk
          Wajib Pajak orang pribadi dikurangi dengan
          Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud
          dalam Pasal 7 ayat (1).
    (3)   Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri
          yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
          melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dalam
          suatu     tahun     pajak    dihitung     dengan     cara
          mengurangkan        dari   penghasilan      sebagaimana
          dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dengan memerhatikan
          ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan
          sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat
          (3), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 9 ayat (1)
          huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g.
    (4)   Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi
          dalam negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian
          tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A
          ayat (6) dihitung berdasarkan penghasilan neto yang
          diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang
          disetahunkan.

13. Ketentuan Pasal 17 ayat (1) sampai dengan ayat (3) dan
    Penjelasan ayat (5) sampai dengan ayat (7) diubah serta di
    antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 4 (empat) ayat, yakni
    ayat (2a) sampai dengan ayat (2d) sehingga Pasal 17
    berbunyi sebagai berikut:

                      Pasal 17

    (1)   Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena
          Pajak bagi:
          a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah
               sebagai berikut:

                  Lapisan Penghasilan Kena Pajak          Tarif Pajak
                sampai dengan Rp50.000.000,00                5%
                (lima puluh juta rupiah)                (lima persen)
                di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh          15%
                juta rupiah) sampai dengan            (lima belas persen)
                Rp250.000.000,00 (dua ratus lima
                puluh juta rupiah)


                                                                di atas ...
                   - 23 -

              Lapisan Penghasilan Kena Pajak           Tarif Pajak
            di atas Rp250.000.000,00 (dua ratus           25%
            lima puluh juta rupiah) sampai          (dua puluh lima
            dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus         persen)
            juta rupiah)
            di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus           30%
            juta rupiah)                           (tiga puluh persen)

       b.   Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk
            usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh
            delapan persen).
(2)    Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
       huruf a dapat diturunkan menjadi paling rendah 25%
       (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan
       Pemerintah.
(2a)   Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
       menjadi 25% (dua puluh lima persen) yang mulai
       berlaku sejak tahun pajak 2010.
(2b)   Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk
       perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat
       puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang
       disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan
       memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat
       memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih
       rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada
       ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang diatur dengan atau
       berdasarkan Peraturan Pemerintah.
(2c)   Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen
       yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi
       dalam negeri adalah paling tinggi sebesar 10%
       (sepuluh persen) dan bersifat final.
(2d)   Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif
       sebagaimana dimaksud pada ayat (2c) diatur dengan
       Peraturan Pemerintah.
(3)    Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana
       dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diubah dengan
       Keputusan Menteri Keuangan.
(4)    Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana
       dimaksud pada ayat (1), jumlah Penghasilan Kena
       Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah
       penuh.

                                                   (5) Besarnya ...
                      - 24 -

    (5)   Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang
          pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian
          tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
          ayat (4), dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian
          tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam
          puluh) dikalikan dengan pajak yang terutang untuk 1
          (satu) tahun pajak.
    (6)   Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana
          dimaksud pada ayat (5), tiap bulan yang penuh
          dihitung 30 (tiga puluh) hari.
    (7)   Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif
          pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana
          dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak
          melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut
          pada ayat (1).

14. Ketentuan Pasal 18 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan Penjelasan
    ayat (1) diubah serta di antara ayat (3a) dan ayat (4)
    disisipkan 4 (empat) ayat, yakni ayat (3b) sampai dengan
    ayat (3e) sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:


                      Pasal 18


    (1)   Menteri   Keuangan      berwenang   mengeluarkan
          keputusan mengenai besarnya perbandingan antara
          utang dan modal perusahaan untuk keperluan
          penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
    (2)   Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat
          diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri
          atas penyertaan modal pada badan usaha di luar
          negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di
          bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:
          a.   besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam
               negeri tersebut paling rendah 50% (lima puluh
               persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
          b.   secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam
               negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling
               rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah
               saham yang disetor.

                                                  (3) Direktur ...
                  - 25 -

(3)    Direktur    Jenderal   Pajak   berwenang    untuk
       menentukan kembali besarnya penghasilan dan
       pengurangan serta menentukan utang sebagai modal
       untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak
       bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa
       dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran
       dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh
       hubungan istimewa dengan menggunakan metode
       perbandingan harga antara pihak yang independen,
       metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus,
       atau metode lainnya.
(3a)   Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan
       perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama
       dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk
       menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang
       mempunyai       hubungan   istimewa    sebagaimana
       dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu
       periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta
       melakukan renegosiasi setelah periode tertentu
       tersebut berakhir.
(3b)   Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau
       aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang
       dibentuk untuk maksud demikian (special purpose
       company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang
       sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang
       Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan
       istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan
       terdapat ketidakwajaran penetapan harga.
(3c)   Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara
       (conduit company atau special purpose company) yang
       didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang
       memberikan perlindungan pajak (tax haven country)
       yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan
       yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
       atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan
       sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang
       didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau
       bentuk usaha tetap di Indonesia.


                                          (3d) Besarnya ...
                     - 26 -

   (3d)   Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak
          orang pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yang
          memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain
          yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
          di Indonesia dapat ditentukan kembali, dalam hal
          pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian
          penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
          tersebut ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran
          lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang
          tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
          Indonesia tersebut.
   (3e)   Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
          ayat (3b), ayat (3c), dan ayat (3d) diatur lebih lanjut
          dengan     atau   berdasarkan     Peraturan     Menteri
          Keuangan.
   (4)    Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat
          (3) sampai dengan ayat (3d), Pasal 9 ayat (1) huruf f,
          dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:
          a.   Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal
               langsung atau tidak langsung paling rendah 25%
               (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain;
               hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan
               paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada
               dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di
               antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut
               terakhir;
          b.   Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau
               dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah
               penguasaan yang sama baik langsung maupun
               tidak langsung; atau
          c.   terdapat hubungan keluarga baik sedarah
               maupun semenda dalam garis keturunan lurus
               dan/atau ke samping satu derajat.
   (5)    Dihapus.

15. Ketentuan Pasal 19 ayat (2) diubah sehingga Pasal 19
    berbunyi sebagai berikut:


                                                    Pasal 19 ...
                      - 27 -

                     Pasal 19

    (1)    Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan
           tentang penilaian kembali aktiva dan faktor
           penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara
           unsur-unsur biaya dengan penghasilan karena
           perkembangan harga.
     (2)   Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana
           dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak
           tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan
           sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi
           sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).

16. Ketentuan Pasal 21 ayat (1) sampai dengan ayat (5), dan ayat
    (8) diubah, serta di antara ayat (5) dan ayat (6) disisipkan 1
    (satu) ayat, yakni ayat (5a) sehingga Pasal 21 berbunyi
    sebagai berikut:

                     Pasal 21

    (1)    Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan
           dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama
           dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau
           diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib
           dilakukan oleh:
           a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah,
                honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
                sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan
                yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
           b. bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah,
                honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
                sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau
                kegiatan;
           c. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan
                uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama
                apa pun dalam rangka pensiun;
           d. badan       yang  membayar      honorarium    atau
                pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
                dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang
                melakukan pekerjaan bebas; dan
           e. penyelenggara      kegiatan    yang     melakukan
                pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan
                suatu kegiatan.
                                                      (2) Tidak ...
                      - 28 -

    (2)    Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib
           melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud
           pada ayat (1) huruf a adalah kantor perwakilan negara
           asing   dan      organisasi-organisasi  internasional
           sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
    (3)    Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang
           dipotong pajak untuk setiap bulan adalah jumlah
           penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya
           jabatan atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan
           dengan Peraturan Menteri Keuangan, iuran pensiun,
           dan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
    (4)    Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai
           tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah
           penghasilan     bruto   setelah    dikurangi    bagian
           penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang
           besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri
           Keuangan.
    (5)    Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana
           dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak
           sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf
           a, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan
           Pemerintah.
    (5a)   Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
           yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak
           memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 20%
           (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan
           terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor
           Pokok Wajib Pajak.
    (6)    Dihapus.
    (7)    Dihapus.
    (8)    Ketentuan     mengenai     petunjuk     pelaksanaan
           pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan
           dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan diatur dengan
           atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

17. Ketentuan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) diubah, serta
    ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga Pasal 22
    berbunyi sebagai berikut:

                                                    Pasal 22 ...
                     - 29 -

                    Pasal 22

    (1)   Menteri Keuangan dapat menetapkan:
          a. bendahara pemerintah untuk memungut pajak
               sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan
               barang;
          b. badan-badan tertentu untuk memungut pajak
               dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di
               bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain;
               dan
          c. Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut
               pajak dari pembeli atas penjualan barang yang
               tergolong sangat mewah.
    (2)   Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat,
          dan besarnya pungutan pajak sebagaimana dimaksud
          pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan
          Peraturan Menteri Keuangan.
    (3)   Besarnya pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat
          (2) yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak
          memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100%
          (seratus persen) daripada tarif yang diterapkan
          terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor
          Pokok Wajib Pajak.

18. Ketentuan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) huruf c
    diubah, ayat (4) huruf d dan huruf g dihapus dan ditambah
    1 (satu) huruf, yakni huruf h, serta di antara ayat (1) dan
    ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga
    Pasal 23 berbunyi sebagai berikut:

                    Pasal 23

    (1)   Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama
          dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan,
          disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo
          pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak
          badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk
          usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri
          lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk
          usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib
          membayarkan:
          a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto
               atas:

                                                 1. dividen ...
                   - 30 -

            1.   dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
                 ayat (1) huruf g;
            2.   bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
                 ayat (1) huruf f;
            3.  royalti; dan
            4.  hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya
                selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan
                sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
                (1) huruf e;
       b.   dihapus;
       c.   sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
            1.   sewa dan penghasilan lain sehubungan
                 dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan
                 penghasilan      lain  sehubungan     dengan
                 penggunaan harta yang telah dikenai Pajak
                 Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
                 Pasal 4 ayat (2); dan
            2.   imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa
                 manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan,
                 dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong
                 Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
                 dalam Pasal 21.
(1a)   Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau
       memperoleh penghasilan sebagaimana dimaksud pada
       ayat (1) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak,
       besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100%
       (seratus persen) daripada tarif sebagaimana dimaksud
       pada ayat (1).
(2)    Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain
       sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2
       diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
       Keuangan.
(3)    Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat
       ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk
       memotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4)    Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
       (1) tidak dilakukan atas:
       a.   penghasilan yang dibayar atau terutang kepada
            bank;
       b.   sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan
            dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;


                                                  c. dividen ...
                     - 31 -

          c.   dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
               ayat (3) huruf f dan dividen yang diterima oleh
               orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
               17 ayat (2c);
          d.   dihapus;
          e.   bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
               ayat (3) huruf i;
          f.   sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh
               koperasi kepada anggotanya;
          g.   dihapus; dan
          h.   penghasilan yang dibayar atau terutang kepada
               badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi
               sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan
               yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

19. Ketentuan Pasal 24 ayat (3) dan ayat (6) diubah sehingga
    Pasal 24 berbunyi sebagai berikut:

                     Pasal 24

    (1)   Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas
          penghasilan dari luar negeri yang diterima atau
          diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan
          terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-
          undang ini dalam tahun pajak yang sama.
    (2)   Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada
          ayat (1) adalah sebesar pajak penghasilan yang
          dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh
          melebihi     penghitungan    pajak    yang     terutang
          berdasarkan Undang-undang ini.
    (3)   Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh
          dikreditkan, sumber penghasilan ditentukan sebagai
          berikut:
          a. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya
               serta keuntungan dari pengalihan saham dan
               sekuritas lainnya adalah negara tempat badan
               yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut
               didirikan atau bertempat kedudukan;
          b. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa
               sehubungan dengan penggunaan harta gerak
               adalah negara tempat pihak yang membayar atau
               dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut
               bertempat kedudukan atau berada;

                                              c. penghasilan ...
                      - 32 -

          c.   penghasilan berupa sewa sehubungan dengan
               penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat
               harta tersebut terletak;
          d.   penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan
               jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara
               tempat pihak yang membayar atau dibebani
               imbalan tersebut bertempat kedudukan atau
               berada;
          e.   penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara
               tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan
               usaha atau melakukan kegiatan;
          f.   penghasilan dari pengalihan sebagian atau
               seluruh hak penambangan atau tanda turut serta
               dalam pembiayaan atau permodalan dalam
               perusahaan pertambangan adalah negara tempat
               lokasi penambangan berada;
          g.   keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah
               negara tempat harta tetap berada; dan
          h.   keuntungan karena pengalihan harta yang
               menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap
               adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.
    (4)   Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan
          sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan
          prinsip yang sama dengan prinsip yang dimaksud
          pada ayat tersebut.
    (5)   Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang
          dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau
          dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut
          Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah
          tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian
          itu dilakukan.
    (6)   Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak
          atas penghasilan dari luar negeri diatur dengan atau
          berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

20. Ketentuan Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (6), ayat
    (7), dan ayat (8) diubah, ayat (9) dihapus, serta di antara
    ayat (8) dan ayat (9) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (8a)
    sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:


                                                      Pasal 25 ...
                 - 33 -

                 Pasal 25

(1)   Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan
      yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk
      setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang
      terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan
      Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi
      dengan:
      a.   Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana
           dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta
           Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana
           dimaksud dalam Pasal 22; dan
      b.   Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di
           luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana
           dimaksud dalam Pasal 24,
      dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam
      bagian tahun pajak.
(2)   Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri
      oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat
      Pemberitahuan      Tahunan    Pajak    Penghasilan
      disampaikan sebelum batas waktu penyampaian Surat
      Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sama
      dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir
      tahun pajak yang lalu.
(3)   Dihapus.
(4)   Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat
      ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu,
      besarnya    angsuran     pajak    dihitung   kembali
      berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut dan
      berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan
      penerbitan surat ketetapan pajak.
(5)   Dihapus.
(6)   Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan
      penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun
      pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, sebagai berikut:
      a.   Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
      b.   Wajib Pajak      memperoleh   penghasilan    tidak
           teratur;

                                                c. Surat ...
                         - 34 -

             c.   Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
                  tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas
                  waktu yang ditentukan;
             d.   Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu
                  penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
                  Pajak Penghasilan;
             e.   Wajib    Pajak   membetulkan    sendiri  Surat
                  Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang
                  mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar
                  dari angsuran bulanan sebelum pembetulan; dan
             f.   terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan
                  Wajib Pajak.
      (7)    Menteri   Keuangan     menetapkan        penghitungan
             besarnya angsuran pajak bagi:
             a.   Wajib Pajak baru;
             b.   bank, badan usaha milik negara, badan usaha
                  milik daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan
                  Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan
                  peraturan perundang-undangan harus membuat
                  laporan keuangan berkala; dan
             c.   Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu
                  dengan tarif paling tinggi 0,75% (nol koma tujuh
                  puluh lima persen) dari peredaran bruto.
      (8)    Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak
             memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia
             21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak ke luar negeri
             wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur
             dengan Peraturan Pemerintah.
      (8a)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8)
             berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2010.
      (9)    Dihapus.

21.   Ketentuan Pasal 26 ayat (1) diubah dan ditambah 2 (dua)
      huruf, yakni huruf g dan huruf h, ayat (2) sampai dengan
      ayat (5) diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1
      (satu) ayat, yakni ayat (1a), serta di antara ayat (2) dan ayat
      (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2a) sehingga Pasal 26
      berbunyi sebagai berikut:

                                                       Pasal 26 ...
                   - 35 -

                  Pasal 26


(1)    Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama
       dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan,
       disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo
       pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak
       dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha
       tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
       kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha
       tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua
       puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib
       membayarkan:
       a.   dividen;
       b.   bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan
            sehubungan dengan jaminan pengembalian
            utang;
       c.   royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan
            dengan penggunaan harta;
       d.   imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
            kegiatan;
       e.   hadiah dan penghargaan;
       f.   pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
       g.   premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya;
            dan/atau
       h.   keuntungan karena pembebasan utang.
(1a)   Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain
       yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
       usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
       sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah negara
       tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak
       luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari
       penghasilan tersebut (beneficial owner).
(2)    Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta
       di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat
       (2), yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar
       negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dan
       premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan
       asuransi luar negeri dipotong pajak 20% (dua puluh
       persen) dari perkiraan penghasilan neto.

                                               (2a) Atas ...
                     - 36 -

   (2a)   Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan
          saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
          (3c) dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen)
          dari perkiraan penghasilan neto.
   (3)    Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
          ayat (2) dan ayat (2a) diatur dengan atau berdasarkan
          Peraturan Menteri Keuangan.
   (4)    Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari
          suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak
          sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan
          tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang
          ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
          berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
   (5)    Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
          (1), ayat (2), ayat (2a), dan ayat (4) bersifat final,
          kecuali:
          a.   pemotongan atas penghasilan sebagaimana
               dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan
               huruf c; dan
          b.   pemotongan atas penghasilan yang diterima atau
               diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri
               yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam
               negeri atau bentuk usaha tetap.


22. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:


                     Pasal 29


   Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak
   ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana
   dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), kekurangan pembayaran
   pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat
   Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.


23. Ketentuan Pasal 31A diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                                                  Pasal 31A ...
                      - 37 -

                     Pasal 31A

    (1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal
        di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-
        daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam
        skala nasional dapat diberikan fasilitas perpajakan
        dalam bentuk:
        a. pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30%
             (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman yang
             dilakukan;
        b. penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
        c. kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak
             lebih dari 10 (sepuluh) tahun; dan
        d. pengenaan        Pajak   Penghasilan   atas    dividen
             sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sebesar
             10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut
             perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan
             lebih rendah.
    (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang-bidang usaha
        tertentu dan/atau daerah-daerah tertentu yang
        mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional serta
        pemberian fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud
        pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

24. Pasal 31B dihapus.

25. Ketentuan Pasal 31C ayat (2) dihapus sehingga Pasal 31C
    berbunyi sebagai berikut:

                     Pasal 31C

    (1)   Penerimaan negara dari Pajak Penghasilan orang pribadi
          dalam negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang
          dipotong oleh pemberi kerja dibagi dengan imbangan
          80% untuk Pemerintah Pusat dan 20% untuk
          Pemerintah Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar.
    (2)   Dihapus.

26. Di antara Pasal 31C dan Pasal 32 disisipkan 2 (dua) pasal,
    yakni Pasal 31D dan Pasal 31E sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                                                  Pasal 31D ...
                      - 38 -

                    Pasal 31D

    Ketentuan mengenai perpajakan bagi bidang usaha
    pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas
    bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk
    batubara, dan bidang usaha berbasis syariah diatur dengan
    atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

                    Pasal 31E


    (1)   Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran
          bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh
          miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan
          tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif
          sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b
          dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena
          Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan
          Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
          rupiah).
    (2)   Besarnya bagian peredaran bruto sebagaimana
          dimaksud pada ayat (1) dapat dinaikkan dengan
          Peraturan Menteri Keuangan.


27. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:


                     Pasal 32


    Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan
    dengan pelaksanaan Undang-Undang ini dilakukan sesuai
    dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
    Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
    telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
    Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas
    Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
    Umum dan Tata Cara Perpajakan.


28. Di antara Pasal 32A dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal,
    yakni Pasal 32B sehingga berbunyi sebagai berikut:

                                                  Pasal 32B ...
                      - 39 -

                    Pasal 32B


     Ketentuan mengenai pengenaan pajak atas bunga atau
     diskonto Obligasi Negara yang diperdagangkan di negara lain
     berdasarkan perjanjian perlakuan timbal balik dengan
     negara lain tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah.


29. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:


                     Pasal 35


     Hal-hal yang belum cukup diatur dalam rangka pelaksanaan
     Undang-Undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan
     Pemerintah.



                      Pasal II


Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
1.   Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30
     Juni 2001 wajib menghitung pajaknya berdasarkan
     ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
     Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
     sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
     Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan
     Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
     Pajak Penghasilan.
2.   Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30
     Juni 2009 wajib menghitung pajaknya berdasarkan
     ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
     Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali
     diubah terakhir dengan Undang-Undang ini.

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.


                                                        Agar ...
                                         - 40 -

                Agar    setiap  orang     mengetahuinya,        memerintahkan
                pengundangan Undang-Undang ini dengan           penempatannya
                dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




                                         Disahkan di Jakarta
                                         pada tanggal 23 September 2008
                                         PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

                                                   ttd

                                         DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO




   Diundangkan di Jakarta
   pada tanggal 23 September 2008
   MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
            REPUBLIK INDONESIA,

                     ttd

               ANDI MATTALATTA




      LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 133




      Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA
 Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
     Bidang Perekonomian dan Industri,




         SETIO SAPTO NUGROHO


Silahkan download versi PDF nya sbb:
perubahan_keempat_atas__nomor_7_tahun_1983_tentan_36.pdf
(ogi/Carapedia)
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.