Previous
Next
  • Home
  • »
  • Undang-Undang
  • »
  • 2007
  • » Undang-Undang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (UU 28 thn 2007)

2007

Undang-Undang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (UU 28 thn 2007)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan :
                 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                        NOMOR 28 TAHUN 2007
                               TENTANG
   PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983
       TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN


               DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka untuk lebih memberikan keadilan dan
               meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dan untuk
               lebih memberikan kepastian hukum serta mengantisipasi
               perkembangan     di    bidang   teknologi  informasi dan
               perkembangan yang terjadi dalam ketentuan-ketentuan
               material di bidang perpajakan perlu dilakukan perubahan
               terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
               Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
               telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
               Nomor 16 Tahun 2000;

              b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
                 dalam huruf a, perlu membentuk Undang-Undang tentang
                 Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun
                 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;


Mengingat   : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-Undang
                 Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

              2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
                 Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara
                 Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
                 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262)
                 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
                 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara
                 Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan
                 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984);



                                                             Dengan . . .
                                   -2-


                       Dengan Persetujuan Bersama
          DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
                                    dan
                     PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

                              MEMUTUSKAN:

Menetapkan:   UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS
              UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG
              KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN.


                                  Pasal I
              Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun
              1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
              (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49,
              Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262)
              yang telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang:
              a. Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia
                 Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
                 Republik Indonesia Nomor 3566);
              b. Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik
                 Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran
                 Negara Republik Indonesia Nomor 3984),
              diubah sebagai berikut:

              1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai
                 berikut:

                                  Pasal 1

                 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
                 1. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang
                    terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
                    memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
                    mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
                    untuk keperluan     negara    bagi  sebesar-besarnya
                    kemakmuran rakyat.


                                                             2. Wajib . . .
                 -3-


2. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi
   pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak,
   yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai
   dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
   perpajakan.
3. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang
   merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha
   maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
   perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
   lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha
   milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
   firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
   perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi
   sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan
   bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi
   kolektif dan bentuk usaha tetap.
4. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam
   bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau
   pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
   mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan,
   memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah
   pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan
   jasa dari luar daerah pabean.
5. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang
   melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
   penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak
   berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
   1984 dan perubahannya.
6. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan
   kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi
   perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal
   diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak
   dan kewajiban perpajakannya.
7. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar
   bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan
   melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka
   waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-
   Undang ini.
8. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun
   kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun
   buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

                                           9. Bagian . . .
                 -4-


9. Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1
   (satu) Tahun Pajak.
10. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar
    pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun
    Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan
    ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
11. Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib
    Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan
    dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau
    bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban
    sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
    undangan perpajakan.
12. Surat    Pemberitahuan    Masa     adalah         Surat
    Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.
13. Surat   Pemberitahuan   Tahunan    adalah   Surat
    Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian
    Tahun Pajak.
14. Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau
    penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan
    menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan
    cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran
    yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
15. Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang
    meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
    Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat
    Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih
    Bayar.
16. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat
    ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah
    pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan
    pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi,
    dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
17. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah
    surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas
    jumlah pajak yang telah ditetapkan.
18. Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan
    pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama
    besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak
    terutang dan tidak ada kredit pajak.


                                             19. Surat . . .
                 -5-


19. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat
    ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan
    pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih
    besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya
    tidak terutang.
20. Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan
    tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa
    bunga dan/atau denda.
21. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang
    pajak dan biaya penagihan pajak.
22. Kredit Pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang
    dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ditambah dengan
    pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak
    karena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak
    atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang
    dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas
    penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri,
    dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan
    pajak, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
23. Kredit Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah
    Pajak Masukan yang dapat dikreditkan setelah
    dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan
    pajak atau setelah dikurangi dengan pajak yang telah
    dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yang
    terutang.
24. Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh
    orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai
    usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak
    terikat oleh suatu hubungan kerja.
25. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun
    dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang
    dilaksanakan      secara  objektif   dan    profesional
    berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji
    kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau
    untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
    ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
26. Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau
    bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang
    dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat
    bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di
    bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang
    dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

                                      27. Pemeriksaan . . .
                  -6-


27. Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang
    dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan
    tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di
    bidang perpajakan.
28. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan
    yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak,
    termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi
    kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan
    peraturan perundang-undangan perpajakan.
29. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang
    dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data
    dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban,
    modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga
    perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang
    ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa
    neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun
    Pajak tersebut.
30. Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
    untuk     menilai    kelengkapan    pengisian    Surat
    Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk
    penilaian    tentang    kebenaran    penulisan    dan
    penghitungannya.
31. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah
    serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik
    untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
    bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang
    perpajakan     yang    terjadi   serta   menemukan
    tersangkanya.
32. Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di
    lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi
    wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan
    penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai
    dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
33. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan
    yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung,
    dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu
    dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang
    terdapat dalam surat ketetapan pajak, Surat Tagihan
    Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan


                                             Keberatan, . . .
                 -7-


   Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi
   Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi
   Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan
   Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak,
   Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
   Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan
   Bunga.
34. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan
    atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau
    terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak
    ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
35. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan
    pajak atas banding terhadap Surat Keputusan
    Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
36. Putusan Gugatan adalah putusan badan peradilan
    pajak atas gugatan terhadap hal-hal yang berdasarkan
    ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
    dapat diajukan gugatan.
37. Putusan    Peninjauan     Kembali   adalah   putusan
    Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan
    kembali yang diajukan oleh Wajib Pajak atau oleh
    Direktur Jenderal Pajak terhadap Putusan Banding atau
    Putusan Gugatan dari badan peradilan pajak.
38. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
    Pajak adalah surat keputusan yang menentukan jumlah
    pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk
    Wajib Pajak tertentu.
39. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga adalah
    surat keputusan yang menentukan jumlah imbalan
    bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak.
40. Tanggal dikirim adalah tanggal stempel pos pengiriman,
    tanggal faksimili, atau dalam hal disampaikan secara
    langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan,
    atau putusan disampaikan secara langsung.
41. Tanggal   diterima   adalah    tanggal   stempel   pos
    pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal diterima
    secara langsung adalah tanggal pada saat surat,
    keputusan, atau putusan diterima secara langsung.



                                         2. Ketentuan . . .
                      -8-


2. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai
   berikut:

                     Pasal 2

   (1)   Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan
         subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan
         peraturan perundang-undangan perpajakan wajib
         mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal
         Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal
         atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya
         diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
   (2)   Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai
         pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan
         Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan
         usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang
         wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat
         kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha
         dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena
         Pajak.
   (3)   Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan:
         a. tempat pendaftaran dan/atau tempat pelaporan
            usaha selain yang ditetapkan pada ayat (1) dan ayat
            (2); dan/atau
         b. tempat pendaftaran pada kantor Direktorat
            Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
            tempat tinggal dan kantor Direktorat Jenderal
            Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
            kegiatan usaha dilakukan, bagi Wajib Pajak orang
            pribadi pengusaha tertentu.
   (4)   Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok
         Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan Pengusaha Kena
         Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau
         Pengusaha    Kena    Pajak  tidak   melaksanakan
         kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
         dan/atau ayat (2).
   (4a) Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang
        diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang
        dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara
        jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai
        sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif


                                               dan obyektif . . .
                   -9-


      dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan
      perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima)
      tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib
      Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha
      Kena Pajak.
(5)   Jangka waktu pendaftaran dan pelaporan serta tata
      cara pendaftaran dan pengukuhan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
      termasuk penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak
      dan/atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena
      Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
      Menteri Keuangan.
(6)   Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh
      Direktur Jenderal Pajak apabila:
      a. diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok
         Wajib Pajak oleh Wajib Pajak dan/atau ahli
         warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak
         memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif
         sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
         undangan perpajakan;
      b. Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian
         atau penggabungan usaha;
      c.   Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan
           kegiatan usahanya di Indonesia; atau
      d. dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk
         menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari
         Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi
         persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai
         dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
         perpajakan.
(7)   Direktur    Jenderal   Pajak   setelah   melakukan
      pemeriksaan harus memberikan keputusan atas
      permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak
      dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk Wajib Pajak
      orang pribadi atau 12 (dua belas) bulan untuk Wajib
      Pajak badan, sejak tanggal permohonan diterima
      secara lengkap.
(8)   Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas
      permohonan Wajib Pajak dapat melakukan pencabutan
      pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.


                                              (9) Direktur . . .
                     - 10 -


   (9)   Direktur   Jenderal    Pajak   setelah    melakukan
         pemeriksaan harus memberikan keputusan atas
         permohonan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena
         Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal
         permohonan diterima secara lengkap.

3. Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu) pasal,
   yakni Pasal 2A yang berbunyi sebagai berikut:

                    Pasal 2A

   Masa Pajak sama dengan 1 (satu) bulan kalender atau
   jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Menteri
   Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan kalender.

4. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai
   berikut:

                    Pasal 3

   (1)   Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan
         dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa
         Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka
         Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani
         serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal
         Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan
         atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur
         Jenderal Pajak.
   (1a) Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri
        Keuangan     untuk   menyelenggarakan pembukuan
        dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang
        selain    Rupiah,   wajib   menyampaikan    Surat
        Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan
        menggunakan satuan mata uang selain Rupiah yang
        diizinkan, yang pelaksanaannya diatur dengan atau
        berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
   (1b) Penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
        dapat dilakukan secara biasa, dengan tanda tangan
        stempel, atau tanda tangan elektronik atau digital,
        yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang
        sama, yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan
        atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.


                                                 (2) Wajib . . .
                  - 11 -


(2)   Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
      ayat (1a) mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di
      tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak
      atau mengambil dengan cara lain yang tata cara
      pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan
      Peraturan Menteri Keuangan.
(3)   Batas     waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
      adalah:
      a. untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20
         (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak;
      b. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
         Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama
         3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak; atau
      c. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
         Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4
         (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
(3a) Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dapat melaporkan
     beberapa Masa Pajak dalam 1 (satu) Surat
     Pemberitahuan Masa.
(3b) Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dan tata cara
     pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) diatur
     dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(3c) Batas waktu dan tata cara pelaporan atas pemotongan
     dan pemungutan pajak yang dilakukan oleh bendahara
     pemerintah dan badan tertentu diatur dengan atau
     berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(4)   Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu
      penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
      Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
      untuk paling lama 2 (dua) bulan dengan cara
      menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau
      dengan cara lain kepada Direktur Jenderal Pajak yang
      ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
      Peraturan Menteri Keuangan.
(5)   Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
      harus disertai dengan penghitungan sementara pajak
      yang terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan Surat
      Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan
      pembayaran pajak yang terutang, yang ketentuannya
      diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
      Keuangan.

                                            (5a) Apabila . . .
                     - 12 -


   (5a) Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan sesuai
        batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau
        batas waktu perpanjangan penyampaian Surat
        Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada
        ayat (4), dapat diterbitkan Surat Teguran.
   (6)   Bentuk dan isi Surat Pemberitahuan serta keterangan
         dan/atau dokumen yang harus dilampirkan, dan cara
         yang    digunakan    untuk   menyampaikan      Surat
         Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan
         Peraturan Menteri Keuangan.
   (7)   Surat Pemberitahuan    dianggap   tidak   disampaikan
         apabila:
         a. Surat   Pemberitahuan    tidak      ditandatangani
            sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
         b. Surat Pemberitahuan tidak sepenuhnya dilampiri
            keterangan  dan/atau    dokumen   sebagaimana
            dimaksud pada ayat (6);
         c. Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar
            disampaikan setelah 3 (tiga) tahun sesudah
            berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau
            Tahun Pajak, dan Wajib Pajak telah ditegur secara
            tertulis; atau
         d. Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur
            Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau
            menerbitkan surat ketetapan pajak.
   (7a) Apabila   Surat    Pemberitahuan   dianggap    tidak
        disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7),
        Direktur Jenderal Pajak wajib memberitahukan kepada
        Wajib Pajak.
   (8)   Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud
         pada ayat (1) adalah Wajib Pajak Pajak Penghasilan
         tertentu yang diatur dengan atau berdasarkan
         Peraturan Menteri Keuangan.

5. Ketentuan Pasal      4 diubah sehingga berbunyi sebagai
   berikut:

                    Pasal 4

   (1)   Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat
         Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas, dan
         menandatanganinya.

                                                   (2) Surat . . .
                     - 13 -


   (2)   Surat Pemberitahuan Wajib Pajak badan           harus
         ditandatangani oleh pengurus atau direksi.
   (3)   Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa
         dengan surat kuasa khusus untuk mengisi dan
         menandatangani Surat Pemberitahuan, surat kuasa
         khusus tersebut harus dilampirkan pada Surat
         Pemberitahuan.
   (4)   Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
         Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan
         harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa
         neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain
         yang   diperlukan    untuk   menghitung   besarnya
         Penghasilan Kena Pajak.
   (4a) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat
        (4) adalah laporan keuangan dari masing-masing Wajib
        Pajak.
   (4b) Dalam hal laporan keuangan sebagaimana dimaksud
        pada ayat (4a) diaudit oleh Akuntan Publik tetapi tidak
        dilampirkan pada Surat Pemberitahuan, Surat
        Pemberitahuan dianggap tidak lengkap dan tidak jelas,
        sehingga    Surat   Pemberitahuan    dianggap     tidak
        disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
        ayat (7) huruf b.
   (5)   Tata cara penerimaan dan          pengolahan Surat
         Pemberitahuan diatur dengan       atau berdasarkan
         Peraturan Menteri Keuangan.

6. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai
   berikut:

                    Pasal 6

   (1)   Surat Pemberitahuan yang disampaikan langsung oleh
         Wajib Pajak ke kantor Direktorat Jenderal Pajak harus
         diberi tanggal penerimaan oleh pejabat yang ditunjuk
         dan kepada Wajib Pajak diberikan bukti penerimaan.
   (2)   Penyampaian Surat Pemberitahuan dapat dikirimkan
         melalui pos dengan tanda bukti pengiriman surat atau
         dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan
         Peraturan Menteri Keuangan.


                                                 (3) Tanda . . .
                     - 14 -


   (3)   Tanda bukti dan tanggal pengiriman surat untuk
         penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana
         dimaksud pada ayat (2) dianggap sebagai tanda bukti
         dan    tanggal    penerimaan      sepanjang   Surat
         Pemberitahuan tersebut telah lengkap.

7. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai
   berikut:

                    Pasal 7

   (1)   Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam
         jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
         ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian
         Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam
         Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa
         denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)
         untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
         Nilai, Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat
         Pemberitahuan      Masa    lainnya,    dan    sebesar
         Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Surat
         Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib
         Pajak badan serta sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu
         rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
         Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi.
   (2)   Pengenaan   sanksi  administrasi   berupa    denda
         sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan
         terhadap:
         a. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal
            dunia;
         b. Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak
            melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas;
         c. Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai
            warga negara asing yang tidak tinggal lagi di
            Indonesia;
         d. Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan
            lagi di Indonesia;
         e. Wajib Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan
            usaha lagi tetapi belum dibubarkan sesuai dengan
            ketentuan yang berlaku;


                                              f. Bendahara . . .
                     - 15 -


         f. Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi;
         g. Wajib   Pajak  yang  terkena bencana,  yang
            ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri
            Keuangan; atau
         h. Wajib Pajak lain yang diatur dengan           atau
            berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.


8. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai
   berikut:

                    Pasal 8

   (1)   Wajib     Pajak  dengan     kemauan    sendiri  dapat
         membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah
         disampaikan     dengan    menyampaikan     pernyataan
         tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum
         melakukan tindakan pemeriksaan.
   (1a) Dalam    hal   pembetulan    Surat    Pemberitahuan
        sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi
        atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan
        harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum
        daluwarsa penetapan.
   (2)   Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat
         Pemberitahuan Tahunan yang mengakibatkan utang
         pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi
         administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per
         bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung
         sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir
         sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari
         bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
   (2a) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat
        Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang pajak
        menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi
        administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per
        bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung
        sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal
        pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1
        (satu) bulan.




                                             (3) Walaupun . . .
                  - 16 -


(3)   Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan,
      tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai
      adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap
      ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak
      akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak
      dengan       kemauan       sendiri    mengungkapkan
      ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai
      pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang
      sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi
      berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh
      persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
(4)   Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan
      pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak
      belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak
      dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan
      dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran
      pengisian      Surat    Pemberitahuan   yang     telah
      disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang
      dapat mengakibatkan:
      a. pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih
         besar atau lebih kecil;
      b. rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi
         lebih kecil atau lebih besar;
      c. jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil;
         atau
      d. jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil
      dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan.
(5)   Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat
      dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat
      Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
      beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar
      50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang
      dibayar, harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum
      laporan tersendiri dimaksud disampaikan.
(6)   Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan
      Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib
      Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat
      Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan,
      Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali


                                                  Tahun . . .
                     - 17 -


         Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak
         sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda
         dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam
         Surat Pemberitahuan Tahunan yang akan dibetulkan
         tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah
         menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan
         Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan
         Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, dengan
         syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan
         tindakan pemeriksaan.

9. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai
   berikut:

                    Pasal 9

   (1)   Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo
         pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang
         untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing
         jenis pajak, paling lama 15 (lima belas) hari setelah
         saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.
   (2)   Kekurangan   pembayaran     pajak   yang   terutang
         berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
         Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat
         Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan.
   (2a) Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana
        dimaksud pada ayat (1), yang dilakukan setelah tanggal
        jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak,
        dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%
        (dua persen) per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh
        tempo     pembayaran     sampai     dengan     tanggal
        pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1
        (satu) bulan.
   (2b) Atas pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana
        dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan setelah tanggal
        jatuh tempo penyampaian Surat Pemberitahuan
        Tahunan, dikenai sanksi administrasi berupa bunga
        sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung mulai
        dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat
        Pemberitahuan Tahunan sampai dengan tanggal
        pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1
        (satu) bulan.


                                                  (3) Surat . . .
                    - 18 -


   (3)   Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang
         Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
         Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat
         Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta
         Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan
         jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus
         dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak
         tanggal diterbitkan.
   (3a) Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah
        tertentu, jangka waktu pelunasan sebagaimana
        dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang paling lama
        menjadi 2 (dua) bulan yang ketentuannya diatur
        dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
   (4)   Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak
         dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur
         atau    menunda     pembayaran    pajak  termasuk
         kekurangan pembayaran sebagaimana dimaksud pada
         ayat (2) paling lama 12 (dua belas) bulan, yang
         pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan
         Peraturan Menteri Keuangan.

10. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                   Pasal 10

   (1)   Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang
         terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke
         kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur
         dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
   (1a) Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
        (1) berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila
        telah disahkan oleh Pejabat kantor penerima
        pembayaran yang berwenang atau apabila telah
        mendapatkan validasi, yang ketentuannya diatur
        dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
   (2)   Tata cara pembayaran, penyetoran pajak, dan
         pelaporannya serta tata cara mengangsur dan
         menunda pembayaran pajak diatur dengan atau
         berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.



                                           11. Ketentuan . . .
                     - 19 -


11. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                    Pasal 11

   (1)   Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran
         pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal
         17B, Pasal 17C, atau Pasal 17D dikembalikan, dengan
         ketentuan bahwa apabila ternyata Wajib Pajak
         mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan
         untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut.
   (1a) Kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat adanya
        Surat Keputusan       Keberatan,   Surat Keputusan
        Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi
        Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi
        Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan
        Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak,
        dan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan
        Kembali, serta Surat Keputusan Pemberian Imbalan
        Bunga dikembalikan kepada Wajib Pajak dengan
        ketentuan jika ternyata Wajib Pajak mempunyai utang
        pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi
        terlebih dahulu utang pajak tersebut.
   (2)   Pengembalian      kelebihan     pembayaran     pajak
         sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a)
         dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak
         permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
         pajak diterima sehubungan dengan diterbitkannya
         Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana
         dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), atau sejak
         diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
         sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan
         Pasal 17B, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan
         Pengembalian     Pendahuluan       Kelebihan   Pajak
         sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C atau Pasal
         17D, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan
         Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat
         Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat
         Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat
         Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat
         Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atau Surat
         Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, atau sejak
         diterimanya   Putusan      Banding    atau   Putusan
         Peninjauan Kembali, yang menyebabkan kelebihan
         pembayaran pajak.

                                              (3) Apabila . . .
                     - 20 -


   (3)   Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak
         dilakukan setelah jangka waktu 1 (satu) bulan,
         Pemerintah memberikan imbalan bunga sebesar 2%
         (dua    persen)  per   bulan   atas  keterlambatan
         pengembalian kelebihan pembayaran pajak, dihitung
         sejak batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
         berakhir sampai dengan saat dilakukan pengembalian
         kelebihan.
   (4)   Tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan
         pembayaran pajak diatur dengan atau berdasarkan
         Peraturan Menteri Keuangan.

12. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                    Pasal 12

   (1)   Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang
         terutang  sesuai  dengan    ketentuan    peraturan
         perundang-undangan   perpajakan,    dengan    tidak
         menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.
   (2)   Jumlah    Pajak   yang   terutang menurut    Surat
         Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak
         adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan
         ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
   (3)   Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti
         jumlah   pajak    yang   terutang menurut   Surat
         Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
         tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan
         jumlah pajak yang terutang.

13. Ketentuan Pasal 13 diubah, dan ditambah 1 (satu) ayat,
    yakni ayat (6) sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut:

                    Pasal 13

   (1)   Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat
         terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak,
         bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur
         Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan
         Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut:


                                                a. apabila . . .
                  - 21 -


      a. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau
         keterangan lain pajak yang terutang tidak atau
         kurang dibayar;
      b. apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan
         dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
         Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis
         tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana
         ditentukan dalam Surat Teguran;
      c. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau
         keterangan lain mengenai Pajak Pertambahan Nilai
         dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata
         tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih
         pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol
         persen);
      d. apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
         Pasal 28 atau Pasal 29 tidak dipenuhi sehingga
         tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang;
         atau
      e. apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor
         Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai
         Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana
         dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a).
(2)   Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat
      Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) huruf a dan huruf e ditambah dengan
      sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua
      persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat)
      bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau
      berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau
      Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat
      Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
(3)   Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang
      Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
      huruf c, dan huruf d ditambah dengan sanksi
      administrasi berupa kenaikan sebesar:
      a. 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan
         yang tidak atau kurang dibayar dalam satu Tahun
         Pajak;
      b. 100% (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang
         tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang
         dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong
         atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor; atau

                                                c. 100% . . .
                     - 22 -


         c. 100% (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai
            Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang
            Mewah yang tidak atau kurang dibayar.
   (4)   Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh
         Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan menjadi pasti
         sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
         undangan perpajakan apabila dalam jangka waktu 5
         (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
         setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa
         Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak tidak
         diterbitkan surat ketetapan pajak.
   (5)   Walaupun jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana
         dimaksud pada ayat (1) telah lewat, Surat Ketetapan
         Pajak Kurang Bayar tetap dapat diterbitkan ditambah
         sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat
         puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak
         atau kurang dibayar, apabila Wajib Pajak setelah
         jangka waktu tersebut dipidana karena melakukan
         tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana
         lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada
         pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan
         yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
   (6)   Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang
         Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur
         dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

14. Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 1 (satu) pasal,
    yakni Pasal 13A yang berbunyi sebagai berikut:

                   Pasal 13A

   Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan
   Surat    Pemberitahuan    atau     menyampaikan     Surat
   Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak
   lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak
   benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
   pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila
   kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak
   dan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan
   pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi
   administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus
   persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang
   ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak
   Kurang Bayar.

                                           15. Ketentuan . . .
                     - 23 -


15. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                    Pasal 14

   (1)   Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat
         Tagihan Pajak apabila:
         a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau
            kurang dibayar;
         b. dari  hasil   penelitian terdapat      kekurangan
            pembayaran pajak sebagai akibat        salah tulis
            dan/atau salah hitung;
         c. Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa
            denda dan/atau bunga;
         d. pengusaha    yang  telah    dikukuhkan      sebagai
            Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur
            pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat
            waktu;
         e. pengusaha     yang   telah   dikukuhkan  sebagai
            Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi faktur
            pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam
            Pasal   13    ayat   (5)   Undang-Undang   Pajak
            Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, selain:
           1. identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam
              Pasal 13 ayat (5) huruf b Undang-Undang Pajak
              Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya; atau
           2. identitas pembeli serta nama dan tandatangan
              sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5)
              huruf b dan huruf g Undang-Undang Pajak
              Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya,
              dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha
              Kena Pajak pedagang eceran;
         f. Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak
            tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak;
            atau
         g. Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan
            telah diberikan pengembalian Pajak Masukan
            sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6a)
            Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan
            perubahannya.

                                                  (2) Surat . . .
                     - 24 -


   (2)   Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
         (1) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan
         surat ketetapan pajak.
   (3)   Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat
         Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
         huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi
         administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per
         bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan,
         dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya
         Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak
         sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.
   (4)   Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak
         sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e,
         atau huruf f masing-masing, selain wajib menyetor
         pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi
         berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar
         Pengenaan Pajak.
   (5)   Terhadap Pengusaha        Kena Pajak     sebagaimana
         dimaksud pada ayat (1) huruf g dikenai sanksi
         administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per
         bulan dari jumlah pajak yang ditagih kembali, dihitung
         dari tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengembalian
         Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan tanggal
         penerbitan Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan
         dihitung penuh 1 (satu) bulan.
   (6)   Tata cara penerbitan Surat Tagihan Pajak diatur
         dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

16. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                    Pasal 15

   (1)   Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat
         Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam
         jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya
         pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun
         Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru
         yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang
         terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan
         dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak
         Kurang Bayar Tambahan.

                                               (2) Jumlah . . .
                     - 25 -


   (2)   Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat
         Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah
         dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar
         100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak
         tersebut.
   (3)   Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
         dikenakan apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang
         Bayar    Tambahan     itu   diterbitkan  berdasarkan
         keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak
         sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum
         mulai melakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka
         penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
         Tambahan.
   (4)   Apabila jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana
         dimaksud pada ayat (1) telah lewat, Surat Ketetapan
         Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan
         ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar
         48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak
         yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak
         setelah jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dipidana
         karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
         atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan
         kerugian pada pendapatan negara berdasarkan
         putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
         hukum tetap.
   (5)   Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang
         Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
         diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
         Keuangan.

17. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                    Pasal 16

   (1)   Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya,
         Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan surat
         ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat
         Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
         Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi,
         Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi,
         Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat
         Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat
         Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
         Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan

                                                   Bunga . . .
                     - 26 -


         Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan
         tulis, kesalahan   hitung,  dan/atau     kekeliruan
         penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan
         perundang-undangan perpajakan.
   (2)   Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling
         lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan
         pembetulan diterima, harus memberi keputusan atas
         permohonan pembetulan yang diajukan Wajib Pajak
         sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
   (3)   Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
         ayat (2) telah lewat, tetapi Direktur Jenderal Pajak
         tidak   memberi    suatu    keputusan,    permohonan
         pembetulan    yang    diajukan    tersebut   dianggap
         dikabulkan.
   (4)   Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal
         Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis
         mengenai hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak
         atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak
         sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

18. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                    Pasal 17

   (1)   Direktur    Jenderal   Pajak,   setelah   melakukan
         pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
         Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah
         pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak
         yang terutang.
   (2)   Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur
         Jenderal Pajak, setelah meneliti kebenaran pembayaran
         pajak, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
         apabila terdapat pembayaran pajak yang seharusnya
         tidak terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau
         berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
   (3)   Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih dapat
         diterbitkan lagi apabila berdasarkan hasil pemeriksaan
         dan/atau data baru ternyata pajak yang lebih dibayar
         jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran
         pajak yang telah ditetapkan.


                                            19. Ketentuan . . .
                     - 27 -


19. Ketentuan Pasal 17A diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                    Pasal 17A

   (1)   Direktur    Jenderal   Pajak,   setelah   melakukan
         pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil
         apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang
         dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau
         pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau
         tidak ada pembayaran pajak.
   (2)   Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Nihil diatur
         dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

20. Ketentuan Pasal 17B diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                    Pasal 17B

   (1)   Direktur    Jenderal   Pajak    setelah    melakukan
         pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan
         pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian
         kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak
         sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib
         Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D, harus
         menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua
         belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara
         lengkap.
   (1a) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
        berlaku terhadap Wajib Pajak yang sedang dilakukan
        pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang
        perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan atau
        berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
   (2)   Apabila setelah melampaui jangka waktu sebagaimana
         dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal Pajak tidak
         memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian
         kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan
         Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan
         paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu
         tersebut berakhir.




                                                 (3) Apabila . . .
                     - 28 -


   (3)   Apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat
         diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
         kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar
         2% (dua persen) per bulan dihitung sejak berakhirnya
         jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
         sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak
         Lebih Bayar.
   (4)   Apabila pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di
         bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat
         (1a) tidak dilanjutkan dengan penyidikan; dilanjutkan
         dengan penyidikan, tetapi tidak dilanjutkan dengan
         penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan; atau
         dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan tindak
         pidana di bidang perpajakan, tetapi diputus bebas atau
         lepas dari segala tuntutan hukum berdasarkan
         putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
         hukum tetap, dan dalam hal kepada Wajib Pajak
         diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, kepada
         Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua
         persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh
         empat) bulan, dihitung sejak berakhirnya jangka waktu
         12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat
         (1) sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan
         Pajak Lebih Bayar, dan bagian dari bulan dihitung
         penuh 1 (satu) bulan.

21. Ketentuan Pasal 17C diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                   Pasal 17C

   (1)   Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian
         atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
         pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu,
         menerbitkan     Surat    Keputusan     Pengembalian
         Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga)
         bulan sejak permohonan diterima secara lengkap
         untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu)
         bulan sejak permohonan diterima secara lengkap
         untuk Pajak Pertambahan Nilai.
   (2)   Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
         meliputi:
         a. tepat   waktu      dalam   menyampaikan       Surat
            Pemberitahuan;

                                                   b. tidak . . .
                     - 29 -


      b. tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua
         jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah
         memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda
         pembayaran pajak;
      c. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau
         lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan
         pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga)
         tahun berturut-turut; dan
      d. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak
         pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan
         pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
         tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
(3)   Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan
      Direktur Jenderal Pajak.
(4)   Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan
      terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1), dan menerbitkan surat ketetapan pajak,
      setelah   melakukan     pengembalian   pendahuluan
      kelebihan pajak.
(5)   Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal Pajak
      menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
      jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi
      administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus
      persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.
(6)   Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
      dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan
      pembayaran pajak apabila:
      a. terhadap Wajib Pajak tersebut dilakukan tindakan
         penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
      b. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan
         Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 2 (dua) Masa
         Pajak berturut-turut;
      c. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan
         Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 3 (tiga) Masa
         Pajak dalam 1 (satu) tahun kalender; atau
      d. terlambat    menyampaikan   Surat    Pemberitahuan
         Tahunan.


                                             (7) Tata cara . . .
                     - 30 -


   (7)   Tata cara penetapan Wajib Pajak dengan kriteria
         tertentu diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
         Menteri Keuangan.

22. Di antara Pasal 17C dan Pasal 18 disisipkan 2 (dua) pasal,
    yakni Pasal 17D dan Pasal 17E yang berbunyi sebagai
    berikut:

                   Pasal 17D

   (1)   Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian
         atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
         pajak dari Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan
         tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian
         Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga)
         bulan sejak permohonan diterima secara lengkap
         untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu)
         bulan sejak permohonan diterima secara lengkap
         untuk Pajak Pertambahan Nilai.
   (2)   Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
         dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan
         pembayaran pajak adalah:
         a. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan
            usaha atau pekerjaan bebas;
         b. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha
            atau pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran
            usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan
            jumlah tertentu;
         c. Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha
            dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah
            tertentu; atau
         d. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat
            Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
            dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar
            sampai dengan jumlah tertentu.
   (3)   Batasan jumlah peredaran usaha, jumlah penyerahan,
         dan jumlah lebih bayar sebagaimana dimaksud pada
         ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
         Menteri Keuangan.


                                               (4) Direktur . . .
                     - 31 -


   (4)   Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan
         terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada
         ayat (1) dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah
         melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan
         pajak.
   (5)   Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana
         dimaksud pada ayat (4) Direktur Jenderal Pajak
         menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
         jumlah pajak yang kurang dibayar ditambah dengan
         sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%
         (seratus persen).

                    Pasal 17E

   Orang pribadi yang bukan subjek pajak dalam negeri yang
   melakukan pembelian Barang Kena Pajak di dalam daerah
   pabean yang tidak dikonsumsi di daerah pabean dapat
   diberikan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai yang telah
   dibayar,   yang   ketentuannya    diatur  dengan     atau
   berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

23. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                    Pasal 18

   (1)   Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang
         Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
         Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat
         Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan
         Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak
         yang masih harus dibayar bertambah, merupakan
         dasar penagihan pajak.
   (2)   Dihapus.

24. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                    Pasal 19

   (1)   Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau
         Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta
         Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
         Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan
         Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih

                                                    harus . . .
                     - 32 -


         harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo
         pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah
         pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai
         sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua
         persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung
         dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal
         pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan
         Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu)
         bulan.
   (2)   Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau
         menunda pembayaran pajak juga dikenai sanksi
         administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per
         bulan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan
         bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
   (3)   Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda
         penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan dan
         ternyata penghitungan sementara pajak yang terutang
         sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) kurang
         dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang atas
         kekurangan pembayaran pajak tersebut, dikenai bunga
         sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari
         saat berakhirnya batas waktu penyampaian Surat
         Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam
         Pasal 3 ayat (3) huruf b dan huruf c sampai dengan
         tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut
         dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

25. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                    Pasal 20

   (1)   Atas jumlah pajak yang masih harus dibayar, yang
         berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan
         Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak
         Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan
         Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
         Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang
         menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar
         bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak
         sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud
         dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) dilaksanakan
         penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan
         ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

                                          (2) Dikecualikan . . .
                     - 33 -


   (2)   Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
         pada ayat (1), penagihan seketika dan sekaligus
         dilakukan apabila:
         a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia
            untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
         b. Penanggung Pajak memindahtangankan barang
            yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka
            menghentikan     atau   mengecilkan    kegiatan
            perusahaan atau pekerjaan yang dilakukannya di
            Indonesia;
         c. terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak
            akan     membubarkan   badan    usaha      atau
            menggabungkan atau memekarkan usaha, atau
            memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau
            yang dikuasainya, atau melakukan perubahan
            bentuk lainnya;
         d. badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
         e. terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak
            oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda
            kepailitan.
   (3)   Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan
         sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
         undangan perpajakan.

26. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                    Pasal 21

   (1)   Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak
         atas barang-barang milik Penanggung Pajak.
   (2)   Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana
         dimaksud pada ayat (1) meliputi pokok pajak, sanksi
         administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan
         biaya penagihan pajak.
   (3)   Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak
         mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
         a. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu
            penghukuman untuk melelang suatu barang
            bergerak dan/atau barang tidak bergerak;

                                                b. biaya . . .
                     - 34 -


         b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan
            barang dimaksud; dan/atau
         c. biaya perkara, yang hanya disebabkan           oleh
            pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
   (3a) Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau
        dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau orang atau
        badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan
        dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit,
        pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham
        atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta
        tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak
        tersebut.
   (4)   Hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5
         (lima) tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan
         Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
         Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat
         Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
         Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali
         yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
         bertambah.
   (5)   Perhitungan jangka waktu hak mendahulu ditetapkan
         sebagai berikut:
         a. dalam    hal    Surat  Paksa   untuk    membayar
            diberitahukan secara resmi maka jangka waktu 5
            (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
            dihitung sejak pemberitahuan Surat Paksa; atau
         b. dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau
            persetujuan angsuran pembayaran maka jangka
            waktu 5 (lima) tahun tersebut dihitung sejak batas
            akhir penundaan diberikan.

27. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                    Pasal 22

   (1)   Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk
         bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak,
         daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun
         terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat
         Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan
         Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan
         Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
         Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.

                                             (2) Daluwarsa . . .
                     - 35 -


   (2)   Daluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud
         pada ayat (1) tertangguh apabila:
         a. diterbitkan Surat Paksa;
         b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik
            langsung maupun tidak langsung;
         c. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
            sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5),
            atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
            Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
            ayat (4); atau
         d. dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang
            perpajakan.

28. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                    Pasal 23

   (1)   Dihapus.
   (2)   Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:
         a. pelaksanaan  Surat   Paksa,   Surat  Perintah
            Melaksanakan  Penyitaan,  atau   Pengumuman
            Lelang;
         b. keputusan pencegahan dalam rangka penagihan
            pajak;
         c. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan
            keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan
            dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
         d. penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat
            Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya
            tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang
            telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
            undangan perpajakan
         hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak.
   (3)   Dihapus.



                                           29. Ketentuan . . .
                     - 36 -


29. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                    Pasal 24

   Tata cara penghapusan piutang pajak dan penetapan
   besarnya penghapusan diatur dengan atau berdasarkan
   Peraturan Menteri Keuangan.

30. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                    Pasal 25

   (1)   Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan          hanya
         kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
         a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
         b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
         c. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
         d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
         e. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak
            ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
            undangan perpajakan.
   (2)   Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa
         Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang
         terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut,
         atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak
         dengan    disertai  alasan  yang    menjadi   dasar
         penghitungan.
   (3)   Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga)
         bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau
         sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak
         sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali apabila
         Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu
         tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar
         kekuasaannya.
   (3a) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas
        surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib melunasi
        pajak yang masih harus dibayar paling sedikit
        sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam
        pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat
        keberatan disampaikan.


                                             (4) Keberatan . . .
                  - 37 -


(4)   Keberatan    yang     tidak memenuhi     persyaratan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
      atau ayat (3a) bukan merupakan surat keberatan
      sehingga tidak dipertimbangkan.
(5)   Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh
      pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk
      menerima surat keberatan atau tanda pengiriman surat
      keberatan melalui pos dengan bukti pengiriman surat,
      atau melalui cara lain yang diatur dengan atau
      berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan menjadi
      tanda bukti penerimaan surat keberatan.
(6)   Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan
      pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib
      memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang
      menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi,
      atau pemotongan atau pemungutan pajak.
(7)   Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka
      waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah pajak yang
      belum dibayar pada saat pengajuan keberatan,
      tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal
      penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
(8)   Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan
      permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (7) tidak termasuk sebagai utang pajak
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan
      ayat (1a).
(9)   Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau
      dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi
      administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh
      persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan
      keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar
      sebelum mengajukan keberatan.
(10) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan
     banding, sanksi administrasi berupa denda sebesar
     50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada
     ayat (9) tidak dikenakan.




                                          31. Ketentuan . . .
                     - 38 -


31. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                    Pasal 26

   (1)   Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling
         lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat
         keberatan diterima harus memberi keputusan atas
         keberatan yang diajukan.
   (2)   Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak
         dapat    menyampaikan  alasan    tambahan   atau
         penjelasan tertulis.
   (3)   Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan
         dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian,
         menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang
         masih harus dibayar.
   (4)   Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas
         surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam
         Pasal 13 ayat (1) huruf b dan huruf d, Wajib Pajak yang
         bersangkutan        harus      dapat     membuktikan
         ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.
   (5)   Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
         ayat (1) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak
         tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang
         diajukan tersebut dianggap dikabulkan.

32. Di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal,
    yakni Pasal 26A yang berbunyi sebagai berikut:

                    Pasal 26A

   (1)   Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan diatur
         dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
   (2)   Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan
         sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain,
         mengatur tentang pemberian hak kepada Wajib Pajak
         untuk hadir memberikan keterangan atau memperoleh
         penjelasan mengenai keberatannya.
   (3)   Apabila Wajib Pajak tidak menggunakan hak
         sebagaimana dimaksud pada ayat (2), proses keberatan
         tetap dapat diselesaikan.


                                                  (4) Wajib . . .
                     - 39 -


   (4)   Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan,
         catatan, data, informasi, atau keterangan lain dalam
         proses keberatan yang tidak diberikan pada saat
         pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat
         pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak
         ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau
         keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan
         dalam penyelesaian keberatannya.

33. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                    Pasal 27

   (1)   Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding
         hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat
         Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam
         Pasal 26 ayat (1).
   (2)   Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan
         pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha
         negara.
   (3)   Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
         diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
         dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan
         sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan
         dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan
         tersebut.
   (4)   Dihapus.
   (4a) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan
        pengajuan permohonan banding, Direktur Jenderal
        Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-
        hal yang menjadi dasar Surat Keputusan Keberatan
        yang diterbitkan.
   (5)   Dihapus.
   (5a) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka
        waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam
        Pasal 9 ayat (3), ayat (3a), atau Pasal 25 ayat (7), atas
        jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan
        keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan
        sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.


                                               (5b) Jumlah . . .
                    - 40 -


   (5b) Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan
        permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada
        ayat (5a) tidak termasuk sebagai utang pajak
        sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan
        ayat (1a).
   (5c) Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan
        permohonan banding belum merupakan pajak yang
        terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan.
   (5d) Dalam hal permohonan banding ditolak atau
        dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi
        administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus
        persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan
        Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang
        telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
   (6)   Badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada
         ayat (1) dan dalam Pasal 23 ayat (2) diatur dengan
         undang-undang.

34. Ketentuan Pasal 27A diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                   Pasal 27A

   (1)   Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding,
         atau permohonan peninjauan kembali dikabulkan
         sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih
         harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Surat
         Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak
         Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil,
         dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang telah
         dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak,
         kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan
         ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per
         bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan
         dengan ketentuan sebagai berikut:
         a. untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan
            Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
            dihitung    sejak  tanggal   pembayaran    yang
            menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai
            dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan,
            Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan
            Kembali; atau

                                                b. untuk . . .
                  - 41 -


      b. untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat
         Ketetapan Pajak Lebih Bayar dihitung sejak tanggal
         penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan
         diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan
         Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
(1a) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
     juga diberikan atas Surat Keputusan Pembetulan,
     Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau
     Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak yang
     dikabulkan sebagian atau seluruhnya menyebabkan
     kelebihan pembayaran pajak dengan ketentuan sebagai
     berikut:
      a. untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan
         Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
         dihitung   sejak    tanggal   pembayaran    yang
         menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai
         dengan     diterbitkannya     Surat    Keputusan
         Pembetulan,    Surat    Keputusan    Pengurangan
         Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan
         Ketetapan Pajak;
      b. untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat
         Ketetapan Pajak Lebih Bayar dihitung sejak tanggal
         penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan
         diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat
         Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau
         Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; atau
      c. untuk Surat Tagihan Pajak dihitung sejak tanggal
         pembayaran    yang    menyebabkan      kelebihan
         pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya
         Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
         Pengurangan   Ketetapan    Pajak,  atau    Surat
         Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.
(2)   Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      juga diberikan atas pembayaran lebih sanksi
      administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 14 ayat (4) dan/atau bunga sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) berdasarkan Surat
      Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau
      Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi
      sebagai akibat diterbitkan Surat Keputusan Keberatan,
      Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali
      yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan
      Wajib Pajak.

                                           (3) Tata cara . . .
                     - 42 -


   (3)   Tata cara penghitungan pengembalian kelebihan
         pembayaran pajak dan pemberian imbalan bunga
         diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
         Keuangan.

35. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                    Pasal 28

   (1)   Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan
         usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di
         Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.
   (2)   Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban
         menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud
         pada ayat (1), tetapi wajib melakukan pencatatan,
         adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan
         kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai
         dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
         perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan
         neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
         Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang
         tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
   (3)   Pembukuan      atau  pencatatan  tersebut   harus
         diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik
         dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang
         sebenarnya.
   (4)   Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di
         Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka
         Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam
         bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang
         diizinkan oleh Menteri Keuangan.
   (5)   Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas
         dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.
   (6)   Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau
         tahun buku harus mendapat persetujuan dari Direktur
         Jenderal Pajak.
   (7)   Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan
         mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan
         biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat
         dihitung besarnya pajak yang terutang.


                                           (8) Pembukuan . . .
                     - 43 -


   (8)   Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan
         mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh
         Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan.
   (9)   Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri
         atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang
         peredaran     atau   penerimaan  bruto    dan/atau
         penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung
         jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan
         yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak
         yang bersifat final.
   (10) Dihapus.
   (11) Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar
        pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain
        termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang
        dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi
        on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di
        Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal
        Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan
        Wajib Pajak badan.
   (12) Bentuk dan tata cara pencatatan sebagaimana
        dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau
        berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

36. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                    Pasal 29

   (1)   Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan
         pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
         kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan
         lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
         perundang-undangan perpajakan.
   (2)   Untuk keperluan pemeriksaan, petugas pemeriksa
         harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan
         dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan serta
         memperlihatkannya   kepada     Wajib Pajak   yang
         diperiksa.




                                                  (3) Wajib . . .
                     - 44 -


   (3)   Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
         a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau
            catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan
            dokumen      lain yang   berhubungan   dengan
            penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha,
            pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang
            terutang pajak;
         b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat
            atau ruang yang dipandang perlu dan memberi
            bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
         c. memberikan keterangan lain yang diperlukan.
   (3a) Buku, catatan, dan dokumen, serta data, informasi,
        dan keterangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat
        (3) wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak paling lama 1 (satu)
        bulan sejak permintaan disampaikan.
   (3b) Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan
        kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tidak memenuhi
        ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
        sehingga tidak dapat dihitung besarnya penghasilan
        kena pajak, penghasilan kena pajak tersebut dapat
        dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan
        peraturan perundang-undangan perpajakan.
   (4)   Apabila    dalam    mengungkapkan     pembukuan,
         pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang
         diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban
         untuk merahasiakannya, maka kewajiban untuk
         merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk
         keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
         ayat (1).

37. Di antara Pasal 29 dan Pasal 30 disisipkan 1 (satu) pasal,
    yakni Pasal 29A yang berbunyi sebagai berikut:

                    Pasal 29A

   Terhadap Wajib Pajak badan yang pernyataan pendaftaran
   emisi sahamnya telah dinyatakan efektif oleh badan
   pengawas pasar modal dan menyampaikan Surat
   Pemberitahuan dengan dilampiri Laporan Keuangan yang
   telah diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat Wajar
   Tanpa Pengecualian yang:


                                                   a. Surat . . .
                      - 45 -


   a.    Surat    Pemberitahuan    Tahunan    Wajib   Pajak
         menyatakan lebih bayar sebagaimana dimaksud dalam
         Pasal 17B; atau
   b.    terpilih untuk diperiksa berdasarkan analisis risiko
   dapat dilakukan pemeriksaan melalui Pemeriksaan Kantor.

38. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                     Pasal 30

   (1)   Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan
         penyegelan tempat atau ruangan tertentu serta barang
         bergerak dan/atau tidak bergerak apabila Wajib Pajak
         tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud
         dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b.
   (2)   Tata cara penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat
         (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
         Keuangan.

39. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                     Pasal 31

   (1)   Tata cara pemeriksaan diatur dengan atau berdasarkan
         Peraturan Menteri Keuangan.
   (2)   Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
         ayat (1) di antaranya mengatur tentang pemeriksaan
         ulang,   jangka    waktu    pemeriksaan,    kewajiban
         menyampaikan        surat    pemberitahuan      hasil
         pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak
         untuk    hadir   dalam    pembahasan     akhir  hasil
         pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.
   (3)   Apabila dalam pelaksanaan pemeriksaan Wajib Pajak
         tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud
         dalam Pasal 29 ayat (3) sehingga penghitungan
         penghasilan kena pajak dilakukan secara jabatan,
         Direktur Jenderal Pajak wajib menyampaikan surat
         pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak
         dan memberikan hak kepada Wajib Pajak untuk hadir
         dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam
         batas waktu yang ditentukan.

                                               40. Ketentuan . . .
                     - 46 -


40. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                    Pasal 32

   (1)   Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan
         ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
         Wajib Pajak diwakili dalam hal:
         a. badan oleh pengurus;
         b. badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
         c. badan dalam pembubaran oleh orang atau badan
            yang ditugasi untuk melakukan pemberesan;
         d. badan dalam likuidasi oleh likuidator;
         e. suatu warisan yang belum terbagi oleh salah
            seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau
            yang mengurus harta peninggalannya; atau
         f. anak yang belum dewasa atau orang yang berada
            dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya.
   (2)   Wakil   sebagaimana     dimaksud     pada ayat   (1)
         bertanggungjawab secara pribadi dan/atau secara
         renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali
         apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur
         Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya
         benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung
         jawab atas pajak yang terutang tersebut.
   (3)   Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang
         kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan
         hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan
         peraturan perundang-undangan perpajakan.
   (3a) Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban
        kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
        dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
   (4)   Termasuk dalam pengertian pengurus sebagaimana
         dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah orang yang
         nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan
         kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam
         menjalankan perusahaan.

41. Ketentuan Pasal 33 dihapus.

                    Pasal 33

   Dihapus.

                                            42. Ketentuan . . .
                     - 47 -


42. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                    Pasal 34

   (1)   Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak
         lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan
         kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau
         pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan
         perundang-undangan perpajakan.
   (2)   Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
         juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur
         Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan
         ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
   (2a) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
        pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
         a. pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai
            saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan; atau
         b. pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan
            Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan
            kepada pejabat lembaga negara atau instansi
            Pemerintah     yang    berwenang     melakukan
            pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.
   (3)   Untuk     kepentingan   negara,  Menteri  Keuangan
         berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat
         sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli
         sebagaimana dimaksud pada ayat (2) supaya
         memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti
         tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak
         yang ditunjuk.
   (4)   Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam
         perkara pidana atau perdata, atas permintaan Hakim
         sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara
         Perdata, Menteri Keuangan dapat memberi izin tertulis
         kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
         dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
         untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis
         dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
   (5)   Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat
         (4) harus menyebutkan nama tersangka atau nama
         tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara
         perkara pidana atau perdata yang bersangkutan
         dengan keterangan yang diminta.

                                            43. Ketentuan . . .
                     - 48 -



43. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                    Pasal 35

   (1)   Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan
         perundang-undangan        perpajakan      diperlukan
         keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik,
         notaris,  konsultan   pajak,   kantor   administrasi,
         dan/atau pihak ketiga lainnya, yang mempunyai
         hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan
         pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan
         tindak pidana di bidang perpajakan, atas permintaan
         tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak
         tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang
         diminta.
   (2)   Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada
         ayat (1) terikat oleh kewajiban merahasiakan, untuk
         keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau
         penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan,
         kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan, kecuali
         untuk bank, kewajiban merahasiakan ditiadakan atas
         permintaan tertulis dari Menteri Keuangan.
   (3)   Tata cara permintaan keterangan atau bukti dari
         pihak-pihak yang terikat oleh kewajiban merahasiakan
         sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
         atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.


44. Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal,
    yakni Pasal 35A yang berbunyi sebagai berikut:

                   Pasal 35A

   (1)   Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan
         pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang
         berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat
         Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan
         Peraturan    Pemerintah    dengan    memperhatikan
         ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat
         (2).


                                                (2) Dalam . . .
                     - 49 -


   (2)   Dalam hal data dan informasi sebagaimana dimaksud
         pada ayat (1) tidak mencukupi, Direktur Jenderal Pajak
         berwenang menghimpun data dan informasi untuk
         kepentingan penerimaan negara yang ketentuannya
         diatur   dengan     Peraturan   Pemerintah     dengan
         memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud
         dalam Pasal 35 ayat (2).

45. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai
   berikut:

                    Pasal 36

   (1)   Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas
         permohonan Wajib Pajak dapat:
         a. mengurangkan     atau    menghapuskan     sanksi
            administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan
            yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
            perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi
            tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak
            atau bukan karena kesalahannya;
         b. mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan
            pajak yang tidak benar;
         c. mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan
            Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang
            tidak benar; atau
         d. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat
            ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang
            dilaksanakan tanpa:
           1. penyampaian     surat     pemberitahuan       hasil
              pemeriksaan; atau
           2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan
              Wajib Pajak.
   (1a) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
        huruf a, huruf b, dan    huruf c hanya dapat diajukan
        oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali.
   (1b) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
        huruf d hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak 1 (satu)
        kali.


                                               (1c) Direktur . . .
                     - 50 -


   (1c) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling
        lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan
        sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, harus
        memberi keputusan atas permohonan yang diajukan.
   (1d) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
        ayat (1c) telah lewat tetapi Direktur Jenderal Pajak
        tidak memberi suatu keputusan, permohonan Wajib
        Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap
        dikabulkan.
   (1e) Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal
        Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-
        hal yang menjadi dasar untuk menolak atau
        mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak
        sebagaimana dimaksud pada ayat (1c).
   (2)   Ketentuan pelaksanaan ayat (1), ayat (1a), ayat (1b),
         ayat (1c), ayat (1d), dan ayat (1e) diatur dengan atau
         berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

46. Ketentuan Pasal 36A diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                   Pasal 36A

   (1)   Pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau dengan
         sengaja menghitung atau menetapkan pajak tidak
         sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan
         dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
         perundang-undangan.
   (2)   Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya dengan
         sengaja bertindak di luar kewenangannya yang diatur
         dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
         perpajakan, dapat diadukan ke unit internal
         Departemen Keuangan yang berwenang melakukan
         pemeriksaan dan investigasi dan apabila terbukti
         melakukannya dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
         peraturan perundang-undangan.
   (3)   Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya
         terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman
         kepada Wajib Pajak untuk menguntungkan diri sendiri
         secara melawan hukum diancam dengan pidana
         sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 Kitab Undang-
         Undang Hukum Pidana.
                                               (4) Pegawai . . .
                      - 51 -


    (4)   Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan
          diri  sendiri  secara   melawan     hukum    dengan
          menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang
          untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau
          menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan
          sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana
          sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-
          Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
          Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya.
    (5)   Pegawai pajak tidak dapat dituntut, baik secara
          perdata maupun pidana, apabila dalam melaksanakan
          tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai
          dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
          perpajakan.

47. Di antara Pasal 36A dan Pasal 37 disisipkan 3 (tiga) pasal,
    yakni Pasal 36B, Pasal 36C, dan Pasal 36D yang berbunyi
    sebagai berikut:

                    Pasal 36B

    (1)   Menteri Keuangan berkewajiban untuk membuat kode
          etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
    (2)   Pegawai Direktorat Jenderal Pajak wajib mematuhi
          kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
    (3)   Pengawasan     pelaksanaan    dan   penampungan
          pengaduan pelanggaran kode etik pegawai Direktorat
          Jenderal Pajak dilaksanakan oleh Komite Kode Etik
          yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
          Peraturan Menteri Keuangan.

                  Pasal 36C
    Menteri   Keuangan    membentuk     komite  pengawas
    perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
    Menteri Keuangan.

                    Pasal 36D

    (1)   Direktorat Jenderal Pajak dapat diberi insentif atas
          dasar pencapaian kinerja tertentu.
    (2)   Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat
          (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan
          Belanja Negara.
                                               (3) Tata cara . . .
                     - 52 -


   (3)   Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif
         sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
         Peraturan Menteri Keuangan.

48. Di antara Pasal 37 dan Pasal 38 disisipkan 1 (satu) pasal,
    yakni Pasal 37A yang berbunyi sebagai berikut:

                   Pasal 37A

   (1)   Wajib Pajak yang menyampaikan pembetulan Surat
         Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum
         Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang
         masih harus dibayar menjadi lebih besar dan
         dilakukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu)
         tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, dapat
         diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi
         administrasi berupa bunga atas keterlambatan
         pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang
         ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
         Peraturan Menteri Keuangan.
   (2)   Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela
         mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok
         Wajib Pajak paling lama 1 (satu) tahun setelah
         berlakunya Undang-Undang ini diberikan penghapusan
         sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang
         dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor
         Pokok Wajib Pajak dan tidak dilakukan pemeriksaan
         pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang
         menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan yang
         disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan
         lebih bayar.

49. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                    Pasal 38

   Setiap orang yang karena kealpaannya:
   a.    tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
   b.    menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya
         tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan
         keterangan yang isinya tidak benar


                                                 sehingga . . .
                     - 53 -


   sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
   negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan
   setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana
   dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu)
   kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar
   dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang
   tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling
   singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.

50. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                    Pasal 39

   (1)   Setiap orang yang dengan sengaja:
         a. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor
            Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya
            untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
         b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak
            Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan
            Pengusaha Kena Pajak;
         c. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
         d. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau
            keterangan yang isinya tidak benar atau tidak
            lengkap;
         e. menolak     untuk     dilakukan      pemeriksaan
            sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
         f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau
            dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-
            olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan
            yang sebenarnya;
         g. tidak    menyelenggarakan      pembukuan      atau
            pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau
            tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen
            lain;
         h. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen
            yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan
            dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data
            dari pembukuan yang dikelola secara elektronik
            atau diselenggarakan secara program aplikasi on-
            line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
            Pasal 28 ayat (11); atau
         i. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau
            dipungut
                                                 sehingga . . .
                     - 54 -


         sehingga    dapat    menimbulkan      kerugian    pada
         pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara
         paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam)
         tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah
         pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan
         paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang
         yang tidak atau kurang dibayar.
   (2)   Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
         ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi
         pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana
         di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun,
         terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara
         yang dijatuhkan.
   (3)   Setiap orang yang melakukan percobaan untuk
         melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau
         menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak
         atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
         dimaksud pada ayat (1) huruf b, atau menyampaikan
         Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya
         tidak benar atau tidak lengkap, sebagaimana dimaksud
         pada ayat (1) huruf d, dalam rangka mengajukan
         permohonan restitusi atau melakukan kompensasi
         pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana
         penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama
         2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali
         jumlah    restitusi   yang    dimohonkan    dan/atau
         kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan
         paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang
         dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan
         yang dilakukan.

51. Di antara Pasal 39 dan Pasal 40 disisipkan 1 (satu) pasal,
    yakni Pasal 39A yang berbunyi sebagai berikut:

                   Pasal 39A

   Setiap orang yang dengan sengaja:
   a.    menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak,
         bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak,
         dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan
         transaksi yang sebenarnya; atau
   b.    menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan
         sebagai Pengusaha Kena Pajak
                                                  dipidana . . .
                     - 55 -


   dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
   tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling
   sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti
   pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau
   bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah
   pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
   pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

52. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                    Pasal 41

   (1)   Pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi
         kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud
         dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan
         paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
         Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
   (2)   Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi
         kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak
         dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud
         dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling
         lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
         Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
   (3)   Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana
         dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan
         atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.

53. Ketentuan Pasal 41A diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                   Pasal 41A

   Setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti
   yang diminta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tetapi
   dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau
   memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana
   dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan
   denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta
   rupiah).

54. Ketentuan Pasal 41B diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:


                                                Pasal 41B . . .
                     - 56 -


                    Pasal 41B

   Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau
   mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
   dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
   dan denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh
   lima juta rupiah).

55. Di antara Pasal 41B dan Pasal 42 disisipkan 1 (satu) pasal,
    yakni Pasal 41C yang berbunyi sebagai berikut:

                    Pasal 41C

   (1)   Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi
         kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A
         ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama
         1    (satu)   tahun   atau   denda    paling  banyak
         Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
   (2)   Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak
         terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain
         sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1)
         dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10
         (sepuluh)   bulan   atau   denda     paling   banyak
         Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
   (3)   Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan
         data dan informasi yang diminta oleh Direktur Jenderal
         Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (2)
         dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10
         (sepuluh)   bulan    atau   denda     paling   banyak
         Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
   (4)   Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan
         data dan informasi perpajakan sehingga menimbulkan
         kerugian kepada negara dipidana dengan pidana
         kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
         banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

56. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                    Pasal 43

   (1)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan
         Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari
         Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh
         melakukan, yang turut serta melakukan, yang

                                            menganjurkan, . . .
                     - 57 -


         menganjurkan, atau yang membantu           melakukan
         tindak pidana di bidang perpajakan.
   (2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A
         dan Pasal 41B berlaku juga bagi yang menyuruh
         melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu
         melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

57. Sebelum Pasal 44 dalam BAB IX disisipkan 1 (satu) pasal,
    yakni Pasal 43A yang berbunyi sebagai berikut:

                   Pasal 43A

   (1)   Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data,
         laporan, dan pengaduan berwenang melakukan
         pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan
         penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
   (2)   Dalam hal terdapat indikasi tindak pidana di bidang
         perpajakan yang menyangkut petugas Direktorat
         Jenderal Pajak, Menteri Keuangan dapat menugasi unit
         pemeriksa    internal   di  lingkungan  Departemen
         Keuangan untuk melakukan pemeriksaan bukti
         permulaan.
   (3)   Apabila dari bukti permulaan ditemukan unsur tindak
         pidana korupsi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang
         tersangkut wajib diproses menurut ketentuan hukum
         Tindak Pidana Korupsi.
   (4)   Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana
         di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat
         (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan
         Peraturan Menteri Keuangan.

58. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                    Pasal 44

   (1)   Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya
         dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil
         tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang
         diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak
         pidana di bidang perpajakan.
   (2)   Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat
         (1) adalah:
                                           a. menerima . . .
                  - 58 -


      a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti
         keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak
         pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau
         laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
      b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
         mengenai orang pribadi atau badan tentang
         kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan
         dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
      c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang
         pribadi atau badan sehubungan dengan tindak
         pidana di bidang perpajakan;
      d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain
         berkenaan dengan tindak pidana di bidang
         perpajakan;
      e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan
         bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen
         lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan
         bukti tersebut;
      f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka
         pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
         bidang perpajakan;
      g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang
         meninggalkan ruangan atau tempat pada saat
         pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa
         identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang
         dibawa;
      h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak
         pidana di bidang perpajakan;
      i. memanggil orang untuk didengar keterangannya
         dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
      j. menghentikan penyidikan; dan/atau
      k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk
         kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang
         perpajakan   menurut     ketentuan  peraturan
         perundang-undangan.
(3)   Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      memberitahukan      dimulainya    penyidikan    dan
      menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut
      umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik
      Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
      Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
                                             (4) Dalam . . .
                      - 59 -


   (4)   Dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan
         sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyidik dapat
         meminta bantuan aparat penegak hukum lain.

59. Ketentuan Pasal 44B diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                    Pasal 44B

   (1)   Untuk     kepentingan    penerimaan   negara,  atas
         permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat
         menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang
         perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam)
         bulan sejak tanggal surat permintaan.
   (2)   Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang
         perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
         dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak
         yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak
         seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi
         administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali
         jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau
         yang tidak seharusnya dikembalikan.


                     Pasal II

   1.    Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun
         Pajak 2001 sampai dengan Tahun Pajak 2007 yang
         belum diselesaikan, diberlakukan ketentuan Undang-
         Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
         Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah
         beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
         Nomor 16 Tahun 2000.
   2.    Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
         pada angka 1, daluwarsa penetapan untuk Masa Pajak,
         Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan
         sebelumnya, selain penetapan sebagaimana dimaksud
         dalam Pasal 13 ayat (5) atau Pasal 15 ayat (4), berakhir
         paling lama pada akhir Tahun Pajak 2013.
   3.    Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1
         Januari 2008.


                                                       Agar . . .
                                - 60 -



              Agar    setiap  orang    mengetahuinya,   memerintahkan
              pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
              dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


                                 Disahkan di Jakarta
                                 pada tanggal 17 Juli 2007

                                 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,




                                 DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Juli 2007

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
        REPUBLIK INDONESIA,




            ANDI MATTALATTA



    LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 85


Silahkan download versi PDF nya sbb:
perubahan_ketiga_atas__nomor_6_tahun_1983_tentang_28.pdf
(ogi/Carapedia)
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.
FIND US ON FACEEBOOK