- Home »
- Undang-Undang »
- 2009 » Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 27 thn 2009)
2009
Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 27 thn 2009)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah :
Silahkan download versi PDF nya sbb:
majelis_permusyawaratan_rakyat,_dewan_perwakilan_27.pdf
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, perlu mewujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara; b. bahwa untuk mewujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menata Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; c. bahwa untuk mengembangkan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, perlu mewujudkan lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai penyelenggara pemerintahan daerah bersama-sama dengan pemerintah daerah yang mampu mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. bahwa dalam rangka peningkatan peran dan tanggung jawab lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, lembaga perwakilan daerah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah perlu diganti; e. bahwa . . . -2- e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Mengingat: Pasal 1 ayat (2), Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 ayat (1), Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 13, Pasal 18 ayat (3), Pasal 19, Pasal 20 ayat (1), Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22B, Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal 22E ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 23E, Pasal 23F, Pasal 24C ayat (2), dan Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Majelis Permusyawaratan Rakyat, selanjutnya disingkat MPR, adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disingkat DPR, adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Dewan . . . -3- 3. Dewan Perwakilan Daerah, selanjutnya disingkat DPD, adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disingkat DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 5. Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum provinsi, dan Komisi Pemilihan Umum kabupaten/kota, selanjutnya disingkat KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota adalah KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam undang- undang mengenai penyelenggara pemilihan umum. 6. Badan Pemeriksa Keuangan, selanjutnya disingkat BPK, adalah lembaga negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disingkat APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang ditetapkan dengan undang- undang. 8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disingkat APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah. 9. Hari adalah hari kerja. BAB II MPR Bagian Kesatu Susunan dan Kedudukan Pasal 2 MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Pasal 3 MPR merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Bagian Kedua . . . -4- Bagian Kedua Tugas dan Wewenang Pasal 4 MPR mempunyai tugas dan wewenang: a. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil pemilihan umum; c. memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden; d. melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya; e. memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya; dan f. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya. Pasal 5 (1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, MPR menyusun anggaran yang dituangkan dalam program dan kegiatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Dalam . . . -5- (2) Dalam menyusun program dan kegiatan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk memenuhi kebutuhannya, MPR dapat menyusun standar biaya khusus dan mengajukannya kepada Pemerintah untuk dibahas bersama. (3) Pengelolaan anggaran MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal MPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (4) MPR menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran MPR dalam peraturan MPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) MPR melaporkan pengelolaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melalui Sekretariat Jenderal MPR kepada publik pada akhir tahun anggaran. Bagian Ketiga Keanggotaan Pasal 6 (1) Keanggotaan MPR diresmikan dengan keputusan Presiden. (2) Masa jabatan anggota MPR adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji. Pasal 7 (1) Anggota MPR sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam sidang paripurna MPR. (2) Anggota MPR yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan MPR. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan MPR tentang tata tertib. Pasal 8 . . . -6- Pasal 8 Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sebagai berikut: "Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji: bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan; bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia." Bagian Keempat Hak dan Kewajiban Anggota Paragraf 1 Hak Anggota Pasal 9 Anggota MPR mempunyai hak: a. mengajukan usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan; c. memilih dan dipilih; d. membela diri; e. imunitas; f. protokoler; dan g. keuangan dan administratif. Paragraf 2 . . . -7- Paragraf 2 Kewajiban Anggota Pasal 10 Anggota MPR mempunyai kewajiban: a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila; b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang- undangan; c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan; dan e. melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah. Bagian Kelima Fraksi dan Kelompok Anggota MPR Paragraf 1 Fraksi Pasal 11 (1) Fraksi adalah pengelompokan anggota MPR yang mencerminkan konfigurasi partai politik. (2) Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR. (3) Setiap anggota MPR yang berasal dari anggota DPR harus menjadi anggota salah satu fraksi. (4) Fraksi dibentuk untuk mengoptimalkan kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat. (5) Pengaturan internal fraksi sepenuhnya menjadi urusan fraksi masing-masing. (6) MPR menyediakan sarana bagi kelancaran tugas fraksi. Paragraf 2 . . . -8- Paragraf 2 Kelompok Anggota Pasal 12 (1) Kelompok Anggota adalah pengelompokan anggota MPR yang berasal dari seluruh anggota DPD. (2) Kelompok Anggota dibentuk untuk meningkatkan optimalisasi dan efektivitas kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil daerah. (3) Pengaturan internal Kelompok Anggota sepenuhnya menjadi urusan Kelompok Anggota. (4) MPR menyediakan sarana bagi kelancaran tugas Kelompok Anggota. Bagian Keenam Alat Kelengkapan Pasal 13 Alat kelengkapan MPR terdiri atas: a. pimpinan; dan b. panitia ad hoc MPR. Paragraf 1 Pimpinan Pasal 14 (1) Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang berasal dari anggota DPR dan 4 (empat) orang wakil ketua yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD, yang ditetapkan dalam sidang paripurna MPR. (2) Pimpinan MPR yang berasal dari DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR. (3) Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, pimpinan MPR yang berasal dari DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR. (4) Pimpinan . . . -9- (4) Pimpinan MPR yang berasal dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam sidang paripurna DPD. (5) Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak tercapai, pimpinan MPR yang berasal dari DPD dipilih dari dan oleh anggota DPD serta ditetapkan dalam sidang paripurna DPD. (6) Selama pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, sidang MPR pertama kali untuk menetapkan pimpinan MPR dipimpin oleh pimpinan sementara MPR. (7) Pimpinan sementara MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (6) adalah Ketua DPR sebagai Ketua Sementara MPR dan Ketua DPD sebagai Wakil Ketua Sementara MPR. (8) Pimpinan MPR ditetapkan dengan keputusan MPR. Pasal 15 (1) Pimpinan MPR bertugas: a. memimpin sidang MPR dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan; b. menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil ketua; c. menjadi juru bicara MPR; d. melaksanakan putusan MPR; e. mengoordinasikan anggota MPR untuk memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; f. mewakili MPR di pengadilan; g. menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran MPR; dan h. menyampaikan laporan kinerja pimpinan dalam sidang paripurna MPR pada akhir masa jabatan. (2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan MPR tentang tata tertib. Pasal 16 . . . - 10 - Pasal 16 (1) Pimpinan MPR berhenti dari jabatannya karena: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri; atau c. diberhentikan. (2) Pimpinan MPR diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila: a. diberhentikan sebagai anggota DPR atau anggota DPD; atau b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai pimpinan MPR. (3) Dalam hal pimpinan MPR berhenti dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan MPR diganti oleh anggota yang berasal dari DPR atau DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak pimpinan MPR berhenti dari jabatannya. (4) Penggantian pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan keputusan pimpinan MPR dan dilaporkan dalam sidang paripurna MPR berikutnya atau diberitahukan secara tertulis kepada anggota MPR. Pasal 17 (1) Dalam hal salah seorang pimpinan MPR atau lebih berhenti dari jabatannya, pimpinan MPR lainnya mengadakan musyawarah untuk menentukan pelaksana tugas sementara sampai terpilihnya pengganti definitif. (2) Dalam hal pimpinan MPR dinyatakan sebagai terdakwa karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, pimpinan MPR yang bersangkutan tidak boleh melaksanakan tugasnya. (3) Dalam hal pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh . . . - 11 - memperoleh kekuatan hukum tetap, pimpinan MPR yang bersangkutan melaksanakan tugasnya kembali sebagai pimpinan MPR. Pasal 18 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dan penggantian pimpinan MPR diatur dengan peraturan MPR tentang tata tertib. Paragraf 2 Panitia Ad Hoc MPR Pasal 19 (1) Panitia ad hoc MPR terdiri atas pimpinan MPR dan paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah anggota dan paling banyak 10% (sepuluh persen) dari jumlah anggota yang susunannya mencerminkan unsur DPR dan unsur DPD secara proporsional dari setiap fraksi dan Kelompok Anggota MPR. (2) Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh unsur DPR dan unsur DPD dari setiap fraksi dan Kelompok Anggota MPR. Pasal 20 (1) Panitia ad hoc MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) melaksanakan tugas yang diberikan oleh MPR. (2) Setelah terbentuk, panitia ad hoc MPR segera menyelenggarakan rapat untuk membahas dan memusyawarahkan tugas yang diberikan oleh MPR. Pasal 21 (1) Panitia ad hoc MPR bertugas: a. mempersiapkan bahan sidang MPR; dan b. menyusun rancangan putusan MPR. (2) Panitia . . . - 12 - (2) Panitia ad hoc MPR melaporkan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam sidang paripurna MPR. (3) Panitia ad hoc MPR dibubarkan setelah tugasnya selesai. Pasal 22 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, dan tugas panitia ad hoc MPR diatur dengan peraturan MPR tentang tata tertib. Bagian Ketujuh Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Paragraf 1 Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 23 (1) MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (2) Dalam mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota MPR tidak dapat mengusulkan pengubahan terhadap Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 24 (1) Usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan oleh sekurang- kurangnya 1/3 (satu pertiga) dari jumlah anggota MPR. (2) Setiap usul pengubahan diajukan secara tertulis dengan menunjukkan secara jelas pasal yang diusulkan diubah beserta alasannya. Pasal 25 . . . - 13 - Pasal 25 (1) Usul pengubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan kepada pimpinan MPR. (2) Setelah menerima usul pengubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan MPR memeriksa kelengkapan persyaratannya yang meliputi: a. jumlah pengusul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1); dan b. pasal yang diusulkan diubah dan alasan pengubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2). (3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak usul pengubahan diterima. Pasal 26 Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3), pimpinan MPR mengadakan rapat dengan pimpinan fraksi dan pimpinan Kelompok Anggota MPR untuk membahas kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2). Pasal 27 (1) Dalam hal usul pengubahan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2), pimpinan MPR memberitahukan penolakan usul pengubahan secara tertulis kepada pihak pengusul beserta alasannya. (2) Dalam hal usul pengubahan dinyatakan oleh pimpinan MPR memenuhi kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2), pimpinan MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR paling lambat 60 (enam puluh) hari. (3) Anggota MPR menerima salinan usul pengubahan yang telah memenuhi kelengkapan persyaratan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum dilaksanakan sidang paripurna MPR. Pasal 28 . . . - 14 - Pasal 28 Dalam sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dilakukan kegiatan sebagai berikut: a. pengusul menjelaskan usulan yang diajukan beserta alasannya; b. fraksi dan Kelompok Anggota MPR memberikan pemandangan umum terhadap usul pengubahan; dan c. membentuk panitia ad hoc untuk mengkaji usul pengubahan dari pihak pengusul. Pasal 29 (1) Dalam sidang paripurna MPR berikutnya panitia ad hoc melaporkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf c. (2) Fraksi dan Kelompok Anggota MPR menyampaikan pemandangan umum terhadap hasil kajian panitia ad hoc. Pasal 30 (1) Sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota MPR. (2) Sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memutuskan pengubahan pasal Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota ditambah 1 (satu) anggota. Pasal 31 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan terhadap usul pengubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 diatur dengan peraturan MPR tentang tata tertib. Paragraf 2 . . . - 15 - Paragraf 2 Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Hasil Pemilihan Umum Pasal 32 MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum dalam sidang paripurna MPR. Pasal 33 (1) Pimpinan MPR mengundang anggota MPR untuk menghadiri sidang paripurna MPR dalam rangka pelantikan Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum. (2) Pimpinan MPR mengundang pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden dalam sidang paripurna MPR. (3) Dalam sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, pimpinan MPR membacakan keputusan KPU mengenai penetapan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. (4) Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan dengan bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan sidang paripurna MPR. (5) Dalam hal MPR tidak dapat menyelenggarakan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR. (6) Dalam hal DPR tidak dapat menyelenggarakan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung. (7) Berita Acara Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden ditandatangani oleh Presiden dan Wakil Presiden serta pimpinan MPR. (8) Setelah . . . - 16 - (8) Setelah mengucapkan sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden, Presiden menyampaikan pidato awal masa jabatan. Pasal 34 Sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 sebagai berikut: Sumpah Presiden (Wakil Presiden): "Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus- lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa." Janji Presiden (Wakil Presiden): "Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa." Paragraf 3 Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Masa Jabatannya Pasal 35 (1) MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (2) Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh DPR. Pasal 36 (1) MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk memutuskan usul DPR mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada masa jabatannya paling . . . - 17 - paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak MPR menerima usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2). (2) Usul DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) harus dilengkapi dengan putusan Mahkamah Konstitusi bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pasal 37 (1) Pimpinan MPR mengundang Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk menyampaikan penjelasan yang berkaitan dengan usulan pemberhentiannya dalam sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1). (2) Apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak hadir untuk menyampaikan penjelasan, MPR tetap mengambil keputusan terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1). (3) Keputusan MPR terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota yang hadir. Pasal 38 (1) Dalam hal MPR memutuskan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden atas usul DPR, Presiden dan/atau Wakil Presiden berhenti dari jabatannya. (2) Dalam hal MPR memutuskan tidak memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden atas usul DPR, Presiden dan/atau Wakil Presiden melaksanakan tugas dan kewajibannya sampai berakhir masa jabatannya. (3) Keputusan . . . - 18 - (3) Keputusan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan ketetapan MPR. Pasal 39 Dalam hal Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri sebelum diambil keputusan MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3), sidang paripurna sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) tidak dilanjutkan. Paragraf 4 Pelantikan Wakil Presiden Menjadi Presiden Pasal 40 Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai berakhir masa jabatannya. Pasal 41 (1) Jika terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR segera menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk melantik Wakil Presiden menjadi Presiden. (2) Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR. (3) Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung. Pasal 42 Sumpah/janji Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 sebagai berikut: Sumpah Presiden: "Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan . . . - 19 - dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa." Janji Presiden: "Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang- Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa." Pasal 43 Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) ditetapkan dengan ketetapan MPR. Pasal 44 Setelah mengucapkan sumpah/janji, Presiden menyampaikan pidato pelantikan. Paragraf 5 Pemilihan dan Pelantikan Wakil Presiden Pasal 45 (1) Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, MPR menyelenggarakan sidang paripurna dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari untuk memilih Wakil Presiden. (2) Presiden mengusulkan 2 (dua) calon wakil presiden beserta kelengkapan persyaratan kepada pimpinan MPR paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum penyelenggaraan sidang paripurna MPR. (3) Dalam sidang paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (1), MPR memilih satu di antara 2 (dua) calon wakil presiden yang diusulkan oleh Presiden. (4) Dua calon wakil presiden yang diusulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan pernyataan kesiapan pencalonan dalam sidang paripurna MPR sebelum dilakukan pemilihan. (5) Calon . . . - 20 - (5) Calon wakil presiden yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan di sidang paripurna MPR ditetapkan sebagai Wakil Presiden. (6) Dalam hal suara yang diperoleh tiap-tiap calon sama banyak, pemilihan diulang 1 (satu) kali lagi. (7) Dalam hal pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) hasilnya tetap sama, Presiden memilih salah satu di antara calon wakil presiden. Pasal 46 (1) MPR melantik Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (5) atau ayat (7) dalam sidang paripurna MPR dengan bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan sidang paripurna MPR. (2) Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR. (3) Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung. Pasal 47 Sumpah/janji Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 sebagai berikut: Sumpah Wakil Presiden: "Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Wakil Presiden Republik Indonesia dengan sebaik- baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa." Janji Wakil Presiden: "Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Wakil Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang . . . - 21 - Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang- undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa." Pasal 48 Wakil Presiden terpilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ditetapkan dengan ketetapan MPR. Paragraf 6 Pemilihan dan Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Pasal 49 Dalam hal Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Pasal 50 (1) Apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, MPR menyelenggarakan sidang paripurna paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan. (2) Paling lama 3 (tiga) kali 24 (dua puluh empat) jam sejak Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan MPR memberitahukan kepada partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. (3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat pemberitahuan dari pimpinan MPR, partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) . . . - 22 - ayat (2) menyampaikan calon presiden dan wakil presidennya kepada pimpinan MPR. (4) Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), menyampaikan kesediaannya secara tertulis yang tidak dapat ditarik kembali. (5) Calon presiden dan wakil presiden yang diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai pemilihan umum presiden dan wakil presiden. (6) Ketentuan mengenai tata cara verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen administrasi pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diajukan diatur dengan peraturan MPR tentang tata tertib. Pasal 51 (1) Pemilihan 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dilakukan dengan pemungutan suara. (2) Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang memperoleh suara terbanyak dalam sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih. (3) Dalam hal suara yang diperoleh setiap pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sama banyak, pemungutan suara diulangi 1 (satu) kali lagi. (4) Dalam hal hasil pemungutan suara ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetap sama, MPR memutuskan untuk mengembalikan kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden kepada partai politik atau gabungan partai politik pengusul untuk dilakukan pemilihan ulang oleh MPR. (5) Dalam . . . - 23 - (5) Dalam hal MPR memutuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6). Pasal 52 (1) MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) dalam sidang paripurna MPR dengan bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan sidang paripurna MPR. (2) Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR. (3) Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung. Pasal 53 Sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 sebagai berikut: Sumpah Presiden (Wakil Presiden): "Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden (Wakil Presiden) Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang- undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa." Janji Presiden (Wakil Presiden): "Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden (Wakil Presiden) Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus- lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa." Pasal 54 . . . - 24 - Pasal 54 Presiden dan Wakil Presiden terpilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ditetapkan dengan ketetapan MPR. Pasal 55 Setelah mengucapkan sumpah/janji, Presiden menyampaikan pidato pelantikan. Bagian Kedelapan Pelaksanaan Hak Anggota Paragraf 1 Hak Imunitas Pasal 56 (1) Anggota MPR mempunyai hak imunitas. (2) Anggota MPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam sidang atau rapat MPR ataupun di luar sidang atau rapat MPR yang berkaitan dengan tugas dan wewenang MPR. (3) Anggota MPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam sidang atau rapat MPR maupun di luar sidang atau rapat MPR yang berkaitan dengan tugas dan wewenang MPR. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 2 Hak Protokoler Pasal 57 (1) Pimpinan dan anggota MPR mempunyai hak protokoler. (2) Ketentuan . . . - 25 - (2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan perundang-undangan. Paragraf 3 Hak Keuangan dan Administratif Pasal 58 (1) Pimpinan dan anggota MPR mempunyai hak keuangan dan administratif. (2) Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh pimpinan MPR dan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 59 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak anggota MPR diatur dengan peraturan MPR tentang tata tertib. Bagian Kesembilan Persidangan dan Pengambilan Keputusan Paragraf 1 Persidangan Pasal 60 (1) MPR bersidang sedikitnya sekali dalam 5 (lima) tahun di ibu kota negara. (2) Persidangan MPR diselenggarakan untuk melaksanakan tugas dan wewenang MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Pasal 61 Ketentuan mengenai tata cara persidangan diatur dengan peraturan MPR tentang tata tertib. Paragraf 2 . . . - 26 - Paragraf 2 Pengambilan Keputusan Pasal 62 Sidang MPR dapat mengambil keputusan apabila: a. dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota MPR dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) ditambah 1 (satu) anggota dari seluruh anggota MPR untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota MPR dan disetujui oleh sekurang- kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota MPR yang hadir untuk memutuskan usul DPR tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden; c. dihadiri sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota MPR ditambah 1 (satu) anggota MPR dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota ditambah 1 (satu) anggota MPR yang hadir untuk sidang selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b. Pasal 63 (1) Pengambilan keputusan dalam sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 terlebih dahulu diupayakan dengan cara musyawarah untuk mufakat. (2) Dalam hal cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil melalui pemungutan suara. (3) Dalam hal keputusan berdasarkan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, dilakukan pemungutan suara ulang. (4) Dalam hal pemungutan suara ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hasilnya masih belum memenuhi ketentuan . . . - 27 - ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berlaku ketentuan: a. pengambilan keputusan ditangguhkan sampai sidang berikutnya; atau b. usul yang bersangkutan ditolak. Pasal 64 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan sidang MPR diatur dengan peraturan MPR tentang tata tertib. Bagian Kesepuluh Penggantian Antarwaktu Pasal 65 (1) Penggantian antarwaktu anggota MPR dilakukan apabila terjadi penggantian antarwaktu anggota DPR atau anggota DPD. (2) Pemberhentian dan pengangkatan sebagai akibat penggantian antarwaktu anggota MPR diresmikan dengan keputusan Presiden. Bagian Kesebelas Penyidikan Pasal 66 (1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota MPR yang disangka melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden. (2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota MPR: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; b. disangka . . . - 28 - b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau c. disangka melakukan tindak pidana khusus. BAB III DPR Bagian Kesatu Susunan dan Kedudukan Pasal 67 DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum. Pasal 68 DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Bagian Kedua Fungsi Pasal 69 (1) DPR mempunyai fungsi: a. legislasi; b. anggaran; dan c. pengawasan. (2) Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat. Pasal 70 (1) Fungsi legislasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk undang- undang. (2) Fungsi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan . . . - 29 - persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. (3) Fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN. Bagian Ketiga Tugas dan Wewenang Pasal 71 DPR mempunyai tugas dan wewenang: a. membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama; b. memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang; c. menerima rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPD berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; d. membahas rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam huruf c bersama Presiden dan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden; e. membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden; f. memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang- undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; g. membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan . . . - 30 - rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden; h. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang- undang dan APBN; i. membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang- undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama; j. memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, serta membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang; k. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi; l. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar negara lain; m. memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD; n. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan oleh BPK; o. memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial; p. memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden; q. memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden untuk diresmikan dengan keputusan Presiden; r. memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terhadap perjanjian yang berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan . . . - 31 - kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara; s. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat; dan t. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam undang-undang. Pasal 72 (1) DPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang suatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan bangsa dan negara. (2) Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat wajib memenuhi permintaan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan panggilan paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Dalam hal panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama 15 (lima belas) hari sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (5) Dalam hal pejabat yang disandera sebagaimana dimaksud pada ayat (4) habis masa jabatannya atau berhenti dari jabatannya, yang bersangkutan dilepas dari penyanderaan demi hukum. Pasal 73 (1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, DPR menyusun anggaran yang dituangkan dalam program dan kegiatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Dalam . . . - 32 - (2) Dalam menyusun program dan kegiatan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk memenuhi kebutuhannya, DPR dapat menyusun standar biaya khusus dan mengajukannya kepada Pemerintah untuk dibahas bersama. (3) Pengelolaan anggaran DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal DPR di bawah pengawasan Badan Urusan Rumah Tangga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) DPR menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran DPR dalam peraturan DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) DPR melaporkan pengelolaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada publik dalam laporan kinerja tahunan. Bagian Keempat Keanggotaan Pasal 74 (1) Anggota DPR berjumlah 560 (lima ratus enam puluh) orang. (2) Keanggotaan DPR diresmikan dengan keputusan Presiden. (3) Anggota DPR berdomisili di ibu kota Negara Republik Indonesia. (4) Masa jabatan anggota DPR adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji. Pasal 75 (1) Anggota DPR sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam rapat paripurna DPR. (2) Anggota . . . - 33 - (2) Anggota DPR yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan DPR. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib. Pasal 76 Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 sebagai berikut: "Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji: bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan; bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia." Bagian Kelima Hak DPR Pasal 77 (1) DPR mempunyai hak: a. interpelasi; b. angket; dan c. menyatakan pendapat. (2) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting . . . - 34 - penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (3) Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. (4) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas: a. kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional; b. tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau c. dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Bagian Keenam Hak dan Kewajiban Anggota Paragraf 1 Hak Anggota Pasal 78 Anggota DPR mempunyai hak: a. mengajukan usul rancangan undang-undang; b. mengajukan pertanyaan; c. menyampaikan usul dan pendapat; d. memilih dan dipilih; e. membela diri; f. imunitas; g. protokoler . . . - 35 - g. protokoler; dan h. keuangan dan administratif. Paragraf 2 Kewajiban Anggota Pasal 79 Anggota DPR mempunyai kewajiban: a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila; b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang- undangan; c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan; e. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat; f. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara; g. menaati tata tertib dan kode etik; h. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain; i. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala; j. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan k. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya. Bagian Ketujuh Fraksi Pasal 80 (1) Untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPR, serta hak dan kewajiban anggota DPR, dibentuk fraksi sebagai wadah berhimpun anggota DPR. (2) Dalam . . . - 36 - (2) Dalam mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPR, serta hak dan kewajiban anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), fraksi melakukan evaluasi terhadap kinerja anggota fraksinya dan melaporkan kepada publik. (3) Setiap anggota DPR harus menjadi anggota salah satu fraksi. (4) Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR. (5) Fraksi mempunyai sekretariat. (6) Sekretariat Jenderal DPR menyediakan sarana, anggaran, dan tenaga ahli guna kelancaran pelaksanaan tugas fraksi. Bagian Kedelapan Alat Kelengkapan Pasal 81 (1) Alat kelengkapan DPR terdiri atas: a. pimpinan; b. Badan Musyawarah; c. komisi; d. Badan Legislasi; e. Badan Anggaran; f. Badan Akuntabilitas Keuangan Negara; g. Badan Kehormatan; h. Badan Kerja Sama Antar-Parlemen; i. Badan Urusan Rumah Tangga; j. panitia khusus; dan k. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna. (2) Dalam menjalankan tugasnya, alat kelengkapan dibantu oleh unit pendukung yang tugasnya diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib. Paragraf 1 . . . - 37 - Paragraf 1 Pimpinan Pasal 82 (1) Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPR. (2) Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR. (3) Wakil Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua, ketiga, keempat, dan kelima. (4) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditentukan berdasarkan urutan hasil perolehan suara terbanyak dalam pemilihan umum. (5) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh suara sama, ketua dan wakil ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditentukan berdasarkan persebaran perolehan suara. Pasal 83 (1) Dalam hal pimpinan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) belum terbentuk, DPR dipimpin oleh pimpinan sementara DPR. (2) Pimpinan sementara DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 1 (satu) orang wakil ketua yang berasal dari 2 (dua) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama dan kedua di DPR. (3) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua sementara DPR ditentukan secara musyawarah oleh wakil partai politik bersangkutan yang ada di DPR. (4) Ketua . . . - 38 - (4) Ketua dan wakil ketua DPR diresmikan dengan keputusan DPR. (5) Pimpinan DPR sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji yang teksnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan pimpinan DPR diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib. Pasal 84 (1) Pimpinan DPR bertugas: a. memimpin sidang DPR dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan; b. menyusun rencana kerja pimpinan; c. melakukan koordinasi dalam upaya menyinergikan pelaksanaan agenda dan materi kegiatan dari alat kelengkapan DPR; d. menjadi juru bicara DPR; e. melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPR; f. mewakili DPR dalam berhubungan dengan lembaga negara lainnya; g. mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya sesuai dengan keputusan DPR; h. mewakili DPR di pengadilan; i. melaksanakan keputusan DPR berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; j. menyusun rencana anggaran DPR bersama Badan Urusan Rumah Tangga yang pengesahannya dilakukan dalam rapat paripurna; dan k. menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna DPR yang khusus diadakan untuk itu. (2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib. Pasal 85 . . . - 39 - Pasal 85 (1) Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) berhenti dari jabatannya karena: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri; atau c. diberhentikan. (2) Pimpinan DPR diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila: a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun; b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR berdasarkan keputusan rapat paripurna setelah dilakukan pemeriksaan oleh Badan Kehormatan DPR; c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; d. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; e. ditarik keanggotaannya sebagai anggota DPR oleh partai politiknya; f. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini; atau g. diberhentikan sebagai anggota partai politik berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Dalam hal salah seorang pimpinan DPR berhenti dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota pimpinan lainnya menetapkan salah seorang di antara pimpinan untuk melaksanakan tugas pimpinan yang berhenti sampai dengan ditetapkannya pimpinan yang definitif. (4) Dalam . . . - 40 - (4) Dalam hal salah seorang pimpinan DPR berhenti dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penggantinya berasal dari partai politik yang sama. (5) Pimpinan DPR diberhentikan sementara dari jabatannya apabila dinyatakan sebagai terdakwa karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. (6) Dalam hal pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pimpinan DPR yang bersangkutan melaksanakan kembali tugasnya sebagai pimpinan DPR. Pasal 86 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dan penggantian pimpinan DPR diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib. Paragraf 2 Badan Musyawarah Pasal 87 Badan Musyawarah dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. Pasal 88 (1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Musyawarah pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. (2) Anggota Badan Musyawarah berjumlah paling banyak 1/10 (satu persepuluh) dari jumlah anggota DPR berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi yang ditetapkan oleh rapat paripurna. Pasal 89 . . . - 41 - Pasal 89 Pimpinan DPR karena jabatannya juga sebagai pimpinan Badan Musyawarah. Pasal 90 (1) Badan Musyawarah bertugas: a. menetapkan agenda DPR untuk 1 (satu) tahun sidang, 1 (satu) masa persidangan, atau sebagian dari suatu masa sidang, perkiraan waktu penyelesaian suatu masalah, dan jangka waktu penyelesaian rancangan undang-undang, dengan tidak mengurangi kewenangan rapat paripurna untuk mengubahnya; b. memberikan pendapat kepada pimpinan DPR dalam menentukan garis kebijakan yang menyangkut pelaksanaan tugas dan wewenang DPR; c. meminta dan/atau memberikan kesempatan kepada alat kelengkapan DPR yang lain untuk memberikan keterangan/penjelasan mengenai pelaksanaan tugas masing-masing; d. mengatur lebih lanjut penanganan suatu masalah dalam hal undang-undang mengharuskan Pemerintah atau pihak lainnya melakukan konsultasi dan koordinasi dengan DPR; e. menentukan penanganan suatu rancangan undang- undang atau pelaksanaan tugas DPR lainnya oleh alat kelengkapan DPR; f. mengusulkan kepada rapat paripurna mengenai jumlah komisi, ruang lingkup tugas komisi, dan mitra kerja komisi yang telah dibahas dalam konsultasi pada awal masa keanggotaan DPR; dan g. melaksanakan tugas lain yang diserahkan oleh rapat paripurna kepada Badan Musyawarah. (2) Badan Musyawarah menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga. Pasal 91 . . . - 42 - Pasal 91 Badan Musyawarah tidak dapat mengubah keputusan atas suatu rancangan undang-undang atau pelaksanaan tugas DPR lainnya oleh alat kelengkapan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) huruf a. Pasal 92 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, wewenang dan mekanisme kerja Badan Musyawarah diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib. Paragraf 3 Komisi Pasal 93 Komisi dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. Pasal 94 (1) DPR menetapkan jumlah komisi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. (2) Jumlah anggota komisi ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang. Pasal 95 (1) Pimpinan komisi merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. (2) Pimpinan komisi terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota komisi berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. (3) Pemilihan . . . - 43 - (3) Pemilihan pimpinan komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat komisi yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan komisi. Pasal 96 (1) Tugas komisi dalam pembentukan undang-undang adalah mengadakan persiapan, penyusunan, pembahasan, dan penyempurnaan rancangan undang- undang. (2) Tugas komisi di bidang anggaran adalah: a. mengadakan pembicaraan pendahuluan mengenai penyusunan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan Pemerintah; b. mengadakan pembahasan dan mengajukan usul penyempurnaan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan Pemerintah; c. membahas dan menetapkan alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga yang menjadi mitra kerja komisi; d. mengadakan pembahasan laporan keuangan negara dan pelaksanaan APBN termasuk hasil pemeriksaan BPK yang berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya; e. menyampaikan hasil pembicaraan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, huruf c, dan huruf d, kepada Badan Anggaran untuk sinkronisasi; f. menyempurnakan hasil sinkronisasi Badan Anggaran berdasarkan penyampaian usul komisi sebagaimana dimaksud dalam huruf e; dan g. menyerahkan kembali kepada Badan Anggaran hasil pembahasan komisi sebagaimana dimaksud dalam huruf f untuk bahan akhir penetapan APBN. (3) Tugas komisi di bidang pengawasan adalah: a. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, termasuk APBN, serta peraturan pelaksanaannya . . . - 44 - pelaksanaannya yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya; b. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK yang berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya; c. melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah; dan d. membahas dan menindaklanjuti usulan DPD. (4) Komisi dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dapat mengadakan: a. rapat kerja dengan Pemerintah yang diwakili oleh menteri/pimpinan lembaga; b. konsultasi dengan DPD; c. rapat dengar pendapat dengan pejabat Pemerintah yang mewakili instansinya; d. rapat dengar pendapat umum, baik atas permintaan komisi maupun atas permintaan pihak lain; e. rapat kerja dengan menteri atau rapat dengar pendapat dengan pejabat Pemerintah yang mewakili instansinya yang tidak termasuk dalam ruang lingkup tugasnya apabila diperlukan; dan/atau f. kunjungan kerja. (5) Komisi menentukan tindak lanjut hasil pelaksanaan tugas komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). (6) Keputusan dan/atau kesimpulan hasil rapat kerja komisi atau rapat kerja gabungan komisi bersifat mengikat antara DPR dan Pemerintah. (7) Komisi membuat laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan DPR, baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat digunakan sebagai bahan oleh komisi pada masa keanggotaan berikutnya. (8) Komisi menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga. Pasal 97 . . . - 45 - Pasal 97 Jumlah, ruang lingkup tugas, dan mitra kerja komisi ditetapkan dengan keputusan DPR. Pasal 98 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, wewenang dan mekanisme kerja komisi diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib. Paragraf 4 Badan Legislasi Pasal 99 Badan Legislasi dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. Pasal 100 (1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Legislasi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. (2) Jumlah anggota Badan Legislasi ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang. Pasal 101 (1) Pimpinan Badan Legislasi merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. (2) Pimpinan Badan Legislasi terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Legislasi berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. (3) Pemilihan . . . - 46 - (3) Pemilihan pimpinan Badan Legislasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat Badan Legislasi yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan Badan Legislasi. Pasal 102 (1) Badan Legislasi bertugas: a. menyusun rancangan program legislasi nasional yang memuat daftar urutan dan prioritas rancangan undang-undang beserta alasannya untuk 1 (satu) masa keanggotaan dan untuk setiap tahun anggaran di lingkungan DPR dengan mempertimbangkan masukan dari DPD; b. mengoordinasi penyusunan program legislasi nasional antara DPR dan Pemerintah; c. menyiapkan rancangan undang-undang usul DPR berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan; d. melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang diajukan anggota, komisi, gabungan komisi, atau DPD sebelum rancangan undang-undang tersebut disampaikan kepada pimpinan DPR; e. memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang yang diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau DPD di luar prioritas rancangan undang-undang tahun berjalan atau di luar rancangan undang-undang yang terdaftar dalam program legislasi nasional; f. melakukan pembahasan, pengubahan, dan/atau penyempurnaan rancangan undang-undang yang secara khusus ditugaskan oleh Badan Musyawarah; g. mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap pembahasan materi muatan rancangan undang-undang melalui koordinasi dengan komisi dan/atau panitia khusus; h. memberikan masukan kepada pimpinan DPR atas rancangan undang-undang usul DPD yang ditugaskan oleh Badan Musyawarah; dan i. membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah di bidang perundang-undangan pada akhir masa keanggotaan . . . - 47 - keanggotaan DPR untuk dapat digunakan oleh Badan Legislasi pada masa keanggotaan berikutnya. (2) Badan Legislasi menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga. Pasal 103 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, wewenang dan mekanisme kerja Badan Legislasi diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib. Paragraf 5 Badan Anggaran Pasal 104 Badan Anggaran dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. Pasal 105 (1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang. (2) Susunan dan keanggotaan Badan Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas anggota dari tiap-tiap komisi yang dipilih oleh komisi dengan memperhatikan perimbangan jumlah anggota dan usulan fraksi. Pasal 106 (1) Pimpinan Badan Anggaran merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. (2) Pimpinan Badan Anggaran terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Anggaran berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional . . . - 48 - proporsional dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap- tiap fraksi. (3) Pemilihan pimpinan Badan Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat Badan Anggaran yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran. Pasal 107 (1) Badan Anggaran bertugas: a. membahas bersama Pemerintah yang diwakili oleh menteri untuk menentukan pokok-pokok kebijakan fiskal secara umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian/lembaga dalam menyusun usulan anggaran; b. menetapkan pendapatan negara bersama Pemerintah dengan mengacu pada usulan komisi terkait; c. membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga; d. melakukan sinkronisasi terhadap hasil pembahasan di komisi mengenai rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga; e. membahas laporan realisasi dan prognosis yang berkaitan dengan APBN; dan f. membahas pokok-pokok penjelasan atas rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. (2) Badan Anggaran hanya membahas alokasi anggaran yang sudah diputuskan oleh komisi. (3) Anggota komisi dalam Badan Anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2) harus mengupayakan alokasi anggaran yang diputuskan komisi dan menyampaikan hasil pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada komisi. Pasal 108 . . . - 49 - Pasal 108 Badan Anggaran menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga. Pasal 109 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, wewenang dan mekanisme kerja Badan Anggaran diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib. Paragraf 6 Badan Akuntabilitas Keuangan Negara Pasal 110 Badan Akuntabilitas Keuangan Negara, yang selanjutnya disingkat BAKN, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. Pasal 111 (1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan BAKN pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. (2) Anggota BAKN berjumlah paling sedikit 7 (tujuh) orang dan paling banyak 9 (sembilan) orang atas usul fraksi DPR yang ditetapkan dalam rapat paripurna pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Pasal 112 (1) Pimpinan BAKN merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. (2) Pimpinan BAKN terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 1 (satu) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota BAKN berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. (3) Pemilihan . . . - 50 - (3) Pemilihan pimpinan BAKN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat BAKN yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan BAKN. Pasal 113 (1) BAKN bertugas: a. melakukan penelaahan terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK yang disampaikan kepada DPR; b. menyampaikan hasil penelaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada komisi; c. menindaklanjuti hasil pembahasan komisi terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK atas permintaan komisi; dan d. memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemeriksaan tahunan, hambatan pemeriksaan, serta penyajian dan kualitas laporan. (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, BAKN dapat meminta penjelasan dari BPK, Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, badan usaha milik negara, badan layanan umum, badan usaha milik daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. (3) BAKN dapat mengusulkan kepada komisi agar BPK melakukan pemeriksaan lanjutan. (4) Hasil kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf d disampaikan kepada pimpinan DPR dalam rapat paripurna secara berkala. Pasal 114 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1), BAKN dapat dibantu oleh akuntan, ahli, analis keuangan, dan/atau peneliti. Pasal 115 BAKN menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga. Pasal 116 . . . - 51 - Pasal 116 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, wewenang dan mekanisme kerja BAKN diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib. Paragraf 7 Badan Kerja Sama Antar-Parlemen Pasal 117 Badan Kerja Sama Antar-Parlemen, yang selanjutnya disingkat BKSAP, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. Pasal 118 (1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan BKSAP pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. (2) Jumlah anggota BKSAP ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang. Pasal 119 (1) Pimpinan BKSAP merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. (2) Pimpinan BKSAP terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota BKSAP berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. (3) Pemilihan pimpinan BKSAP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat BKSAP yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan BKSAP. Pasal 120 . . . - 52 - Pasal 120 (1) BKSAP bertugas: a. membina, mengembangkan, dan meningkatkan hubungan persahabatan dan kerja sama antara DPR dan parlemen negara lain, baik secara bilateral maupun multilateral, termasuk organisasi internasional yang menghimpun parlemen dan/atau anggota parlemen negara lain; b. menerima kunjungan delegasi parlemen negara lain yang menjadi tamu DPR; c. mengoordinasikan kunjungan kerja alat kelengkapan DPR ke luar negeri; dan d. memberikan saran atau usul kepada pimpinan DPR tentang masalah kerja sama antarparlemen. (2) BKSAP membuat laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat digunakan sebagai bahan oleh BKSAP pada masa keanggotaan berikutnya. Pasal 121 BKSAP menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan, yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga. Pasal 122 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, wewenang dan mekanisme kerja BKSAP diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib. Paragraf 8 Badan Kehormatan Pasal 123 Badan Kehormatan dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. Pasal 124 . . . - 53 - Pasal 124 (1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Kehormatan dengan memperhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. (2) Anggota Badan Kehormatan berjumlah 11 (sebelas) orang dan ditetapkan dalam rapat paripurna pada permulaan masa keanggotan DPR dan pada permulaan tahun sidang. Pasal 125 (1) Pimpinan Badan Kehormatan merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. (2) Pimpinan Badan Kehormatan terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Kehormatan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. (3) Pemilihan pimpinan Badan Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat Badan Kehormatan yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan Badan Kehormatan. Pasal 126 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan Badan Kehormatan diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib. Pasal 127 (1) Badan Kehormatan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota karena: a. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79; b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) . . . - 54 - 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun; c. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; d. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan/atau e. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. (2) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Kehormatan melakukan evaluasi dan penyempurnaan peraturan DPR tentang kode etik DPR. (3) Badan Kehormatan berwenang memanggil pihak terkait dan melakukan kerja sama dengan lembaga lain. (4) Badan Kehormatan membuat laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan. Pasal 128 Badan Kehormatan menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan, yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga. Pasal 129 Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pelaksanaan tugas dan wewenang Badan Kehormatan diatur dengan peraturan DPR tentang tata beracara Badan Kehormatan. Paragraf 9 Badan Urusan Rumah Tangga Pasal 130 Badan Urusan Rumah Tangga, yang selanjutnya disingkat BURT, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. Pasal 131 . . . - 55 - Pasal 131 (1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan BURT pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. (2) Jumlah anggota BURT ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang. Pasal 132 (1) Pimpinan BURT merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. (2) Pimpinan BURT terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang dijabat oleh Ketua DPR dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota BURT berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap- tiap fraksi. (3) Pemilihan pimpinan BURT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat BURT yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan BURT. Pasal 133 BURT bertugas: a. menetapkan kebijakan kerumahtanggaan DPR; b. melakukan pengawasan terhadap Sekretariat Jenderal DPR dalam pelaksanaan kebijakan kerumahtanggaan DPR sebagaimana dimaksud dalam huruf a, termasuk pelaksanaan dan pengelolaan anggaran DPR; c. melakukan koordinasi dengan alat kelengkapan DPD dan alat kelengkapan MPR yang berhubungan dengan masalah kerumahtanggaan DPR, DPD, dan MPR yang ditugaskan oleh pimpinan DPR berdasarkan hasil rapat Badan Musyawarah; d. menyampaikan . . . - 56 - d. menyampaikan hasil keputusan dan kebijakan BURT kepada setiap anggota DPR; dan e. menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna DPR yang khusus diadakan untuk itu. Pasal 134 BURT menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan. Pasal 135 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, wewenang dan mekanisme kerja BURT diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib. Paragraf 10 Panitia Khusus Pasal 136 Panitia khusus dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat sementara. Pasal 137 (1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan panitia khusus berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. (2) Jumlah anggota panitia khusus ditetapkan oleh rapat paripurna paling banyak 30 (tiga puluh) orang. Pasal 138 (1) Pimpinan panitia khusus merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. (2) Pimpinan panitia khusus terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota panitia khusus berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan . . . - 57 - memperhatikan jumlah panitia khusus yang ada serta keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. (3) Pemilihan pimpinan panitia khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat panitia khusus yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan panitia khusus. Pasal 139 (1) Panitia khusus bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh rapat paripurna. (2) Panitia khusus bertanggung jawab kepada DPR. (3) Panitia khusus dibubarkan oleh DPR setelah jangka waktu penugasannya berakhir atau karena tugasnya dinyatakan selesai. (4) Rapat paripurna menetapkan tindak lanjut hasil kerja panitia khusus. Pasal 140 Panitia khusus menggunakan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang diajukan kepada pimpinan DPR. Pasal 141 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, wewenang dan mekanisme kerja panitia khusus diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib. Bagian Kesembilan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Paragraf 1 Pembentukan Undang-Undang Pasal 142 (1) Rancangan undang-undang dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD. (2) Rancangan . . . - 58 - (2) Rancangan undang-undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD disertai penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik. Pasal 143 (1) Usul rancangan undang-undang dapat diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi. (2) Usul rancangan undang-undang disampaikan secara tertulis oleh anggota DPR, pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, atau pimpinan Badan Legislasi kepada pimpinan DPR disertai daftar nama dan tanda tangan pengusul. (3) DPR memutuskan usul rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam rapat paripurna, berupa: a. persetujuan; b. persetujuan dengan pengubahan; atau c. penolakan. (4) Dalam hal persetujuan dengan pengubahan, DPR menugasi komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus untuk menyempurnakan rancangan undang-undang tersebut. (5) Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden. Pasal 144 Rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR. Pasal 145 (1) Pengajuan peraturan pemerintah pengganti undang- undang dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang. (2) Pembahasan . . . - 59 - (2) Pembahasan rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang- undang menjadi undang-undang dilakukan melalui tingkat pembicaraan di DPR. Pasal 146 (1) Rancangan undang-undang beserta penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR. (2) Penyebarluasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal DPD. Pasal 147 (1) Pimpinan DPR setelah menerima rancangan undang- undang dari DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1) memberitahukan adanya usul rancangan undang-undang tersebut kepada anggota DPR dan membagikannya kepada seluruh anggota DPR dalam rapat paripurna. (2) DPR memutuskan usul rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rapat paripurna berikutnya, berupa: a. persetujuan; b. persetujuan dengan pengubahan; atau c. penolakan. (3) Dalam hal rapat paripurna memutuskan memberi persetujuan terhadap usul rancangan undang-undang yang berasal dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, rancangan undang-undang tersebut menjadi rancangan undang-undang usul dari DPR. (4) Dalam hal rapat paripurna memutuskan memberi persetujuan dengan pengubahan terhadap usul rancangan undang-undang yang berasal dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, rancangan undang-undang tersebut menjadi rancangan undang- undang usul dari DPR dan untuk selanjutnya DPR menugaskan . . . - 60 - menugaskan penyempurnaan rancangan undang-undang tersebut kepada komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus. (5) Dalam hal rapat paripurna memutuskan menolak usul rancangan undang-undang yang berasal dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pimpinan DPR menyampaikan keputusan mengenai penolakan tersebut kepada pimpinan DPD. (6) Pimpinan DPR menyampaikan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau rancangan undang-undang yang telah disempurnakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Presiden dan Pimpinan DPD, dengan permintaan kepada Presiden untuk menunjuk menteri yang akan mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan rancangan undang-undang serta kepada DPD untuk menunjuk alat kelengkapan DPD yang akan membahas rancangan undang-undang tersebut. (7) Apabila dalam waktu 60 (enam puluh) hari DPD belum menunjuk alat kelengkapan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (6), pembahasan rancangan undang-undang tetap dilaksanakan. Pasal 148 Tindak lanjut pembahasan rancangan undang-undang yang berasal dari DPR atau Presiden dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan. Pasal 149 Dua tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 adalah: a. Tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus. b. Tingkat II dalam rapat paripurna. Pasal 150 (1) Pembicaraan Tingkat I dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut: a. pengantar musyawarah; b. pembahasan . . . - 61 - b. pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan c. penyampaian pendapat mini. (2) Dalam pengantar musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a: a. DPR memberikan penjelasan dan Presiden menyampaikan pandangan apabila rancangan undang-undang berasal dari DPR; b. DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan DPD menyampaikan pandangan apabila rancangan undang-undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf e berasal dari DPR; c. Presiden memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan apabila rancangan undang- undang berasal dari Presiden; atau d. Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD menyampaikan pandangan apabila rancangan undang-undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf e berasal dari Presiden. (3) Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh: a. Presiden, apabila rancangan undang-undang berasal dari DPR. b. DPR, apabila rancangan undang-undang berasal dari Presiden. (4) Penyampaian pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disampaikan pada akhir Pembicaraan Tingkat I oleh: a. fraksi; b. DPD, apabila rancangan undang-undang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf e; dan c. Presiden. (5) Dalam hal DPD tidak memberikan pandangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf d, dan/atau pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, Pembicaraan Tingkat I tetap dilaksanakan. (6) Dalam . . . - 62 - (6) Dalam Pembicaraan Tingkat I dapat diundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain apabila materi rancangan undang-undang berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga lain. Pasal 151 (1) Pembicaraan Tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna dengan kegiatan: a. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat I; b. pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap- tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan c. pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya. (2) Dalam hal persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak. (3) Dalam hal rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, rancangan undang-undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu. Pasal 152 Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib. Pasal 153 (1) Dalam penyiapan dan pembahasan rancangan undang- undang, termasuk pembahasan rancangan undang- undang tentang APBN, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis kepada DPR melalui pimpinan DPR dan/atau alat kelengkapan DPR lainnya. (2) Anggota . . . - 63 - (2) Anggota atau alat kelengkapan DPR yang menyiapkan atau membahas rancangan undang-undang dapat melakukan kegiatan untuk mendapat masukan dari masyarakat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerimaan masukan dan penyerapan aspirasi dari masyarakat dalam penyiapan dan pembahasan rancangan undang-undang diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib. Paragraf 2 Penerimaan Pertimbangan DPD terhadap Rancangan Undang-Undang Pasal 154 (1) DPR menerima dan menindaklanjuti pertimbangan tertulis terhadap rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama yang disampaikan oleh DPD sebelum memasuki tahap pembahasan antara DPR dan Presiden. (2) Apabila rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari Presiden, pimpinan DPR setelah menerima surat Presiden menyampaikan surat kepada pimpinan DPD agar DPD memberikan pertimbangannya. (3) Apabila rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari DPR, Pimpinan DPR menyampaikan surat kepada pimpinan DPD agar DPD memberikan pertimbangannya. (4) Pertimbangan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) disampaikan secara tertulis melalui pimpinan DPR paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya surat dari pimpinan DPR, kecuali rancangan undang- undang tentang APBN disampaikan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. (5) Pada rapat paripurna berikutnya, pimpinan DPR memberitahukan kepada anggota DPR perihal diterimanya pertimbangan DPD atas rancangan undang- undang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan meneruskannya . . . - 64 - meneruskannya kepada Badan Musyawarah untuk diteruskan kepada alat kelengkapan yang akan membahasnya. Paragraf 3 Penetapan APBN Pasal 155 (1) Penyusunan rancangan APBN berpedoman pada rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. (2) Rancangan rencana kerja Pemerintah disusun oleh Pemerintah untuk dibahas dan disepakati bersama dengan DPR. (3) Rencana kerja Pemerintah yang telah dibahas dan disepakati bersama dengan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi pedoman bagi penyusunan rancangan APBN untuk selanjutnya ditetapkan menjadi satu kesatuan dengan APBN, dan menjadi acuan kerja Pemerintah yang ditetapkan dengan keputusan Presiden. Pasal 156 Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf g, DPR menyelenggarakan kegiatan sebagai berikut: a. pembicaraan pendahuluan dengan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam rangka menyusun rancangan APBN; b. pembahasan dan penetapan APBN yang didahului dengan penyampaian rancangan undang-undang tentang APBN beserta nota keuangannya oleh Presiden; c. pembahasan: 1. laporan realisasi semester pertama dan prognosis 6 (enam) bulan berikutnya; 2. penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan . . . - 65 - perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi: a) perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN; b) perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal; c) keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja; dan/atau d) keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan; d. pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang perubahan atas undang-undang tentang APBN; dan e. pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. Pasal 157 (1) Pembicaraan pendahuluan dalam rangka penyusunan rancangan APBN dilakukan segera setelah Pemerintah menyampaikan bahan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal pada pertengahan bulan Mei, yang meliputi: a. kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal tahun anggaran berikutnya; b. kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran; dan c. rincian unit organisasi, fungsi, program, dan kegiatan. (2) Pemerintah menyampaikan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal kepada DPR pada tanggal 20 Mei tahun sebelumnya atau sehari sebelumnya apabila tanggal tersebut jatuh pada hari libur. (3) Komisi dengan kementerian/lembaga melakukan rapat kerja dan/atau rapat dengar pendapat untuk membahas rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga tersebut. (4) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Badan Anggaran. Pasal 158 . . . - 66 - Pasal 158 Kegiatan dalam tahap pembicaraan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 meliputi: a. rapat kerja yang diadakan oleh komisi dengan Pemerintah untuk membahas alokasi anggaran menurut fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga; dan b. rapat kerja yang diadakan oleh Badan Anggaran dengan Pemerintah dan Bank Indonesia untuk penyelesaian akhir kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, dengan memperhatikan pemandangan umum fraksi, jawaban Pemerintah, saran dan pendapat Badan Musyawarah, keputusan rapat kerja komisi dengan Pemerintah mengenai alokasi anggaran menurut fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga. Pasal 159 (1) Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen pendukungnya kepada DPR pada bulan Agustus tahun sebelumnya. (2) Pembahasan rancangan undang-undang tentang APBN dilakukan sesuai dengan tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148, Pasal 149, Pasal 150, dan Pasal 151. (3) DPR dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam rancangan undang-undang tentang APBN. (4) Pengambilan keputusan oleh DPR mengenai rancangan undang-undang tentang APBN dilakukan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. (5) APBN yang disetujui oleh DPR terperinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. (6) Dalam hal DPR tidak menyetujui rancangan undang- undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat melakukan pengeluaran paling tinggi sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya. Pasal 160 . . . - 67 - Pasal 160 Badan Anggaran mengadakan pembahasan dengan Pemerintah dan Bank Indonesia pada triwulan ketiga setiap tahun anggaran tentang laporan realisasi semester pertama APBN dan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya yang disampaikan Pemerintah kepada DPR paling lambat pada akhir bulan Juli tahun anggaran yang bersangkutan. Pasal 161 (1) Dalam hal terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan, Pemerintah mengajukan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN tahun anggaran yang bersangkutan. (2) Perubahan asumsi ekonomi makro yang sangat signifikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa prognosis: a. penurunan pertumbuhan ekonomi, minimal 1% (satu persen) di bawah asumsi yang telah ditetapkan; dan/atau b. deviasi asumsi ekonomi makro lainnya minimal 10% (sepuluh persen) dari asumsi yang telah ditetapkan. (3) Perubahan postur APBN yang sangat signifikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa prognosis: a. penurunan penerimaan perpajakan minimal 10% (sepuluh persen) dari pagu yang telah ditetapkan; b. kenaikan atau penurunan belanja kementerian/lembaga minimal 10% (sepuluh persen) dari pagu yang telah ditetapkan; c. kebutuhan belanja yang bersifat mendesak dan belum tersedia pagu anggarannya; dan/atau d. kenaikan defisit minimal 10% (sepuluh persen) dari rasio defisit APBN terhadap produk domestik bruto (PDB) yang telah ditetapkan. (4) Pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan Badan Anggaran dan komisi terkait dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan dalam masa sidang, setelah rancangan . . . - 68 - rancangan undang-undang tentang perubahan APBN diajukan oleh Pemerintah kepada DPR. (5) Dalam hal tidak terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), pembahasan perubahan APBN dilakukan dalam rapat Badan Anggaran dan pelaksanaannya disampaikan dalam laporan keuangan Pemerintah. Pasal 162 Pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dilakukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah disampaikannya bahan hasil pemeriksaan laporan keuangan Pemerintah oleh BPK ke DPR. Pasal 163 (1) Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir. (2) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi realisasi APBN, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan yang dilampiri dengan laporan keuangan kementerian/lembaga. Paragraf 4 Pengajuan Calon dan Pemberian Persetujuan atau Pertimbangan atas Calon Pasal 164 (1) DPR mengajukan calon untuk mengisi suatu jabatan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan melalui rapat paripurna. (2) DPR memberikan persetujuan atau pertimbangan atas calon untuk mengisi suatu jabatan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan melalui rapat paripurna. (3) Rapat . . . - 69 - (3) Rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menugasi Badan Musyawarah untuk menjadwalkan dan menugaskan pembahasannya kepada alat kelengkapan terkait. (4) Pembahasan oleh alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 165 DPR memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat duta besar untuk negara lain dan menerima penempatan duta besar dari negara lain. Pasal 166 (1) Dalam hal pimpinan DPR menerima pemberitahuan dari Presiden mengenai penempatan calon duta besar untuk negara lain, pimpinan DPR menyampaikan pemberitahuan tersebut dalam rapat paripurna. (2) Rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menugasi alat kelengkapan terkait untuk membahasnya secara rahasia. Pasal 167 (1) Dalam hal pimpinan DPR menerima pemberitahuan dari Presiden mengenai penempatan calon duta besar negara lain untuk Republik Indonesia, pimpinan DPR menyampaikan pemberitahuan tersebut dalam rapat paripurna tanpa menyebut nama calon duta besar. (2) Dalam hal permintaan pertimbangan terhadap calon duta besar negara lain untuk Republik Indonesia disampaikan pada masa reses, permintaan tersebut dibahas dalam pertemuan konsultasi antara pimpinan DPR, pimpinan komisi terkait, dan pimpinan fraksi. Pasal 168 Pertimbangan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden secara rahasia. Pasal 169 . . . - 70 - Pasal 169 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan calon dan pemberian persetujuan atau pertimbangan atas calon diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib. Paragraf 5 Pemilihan Anggota BPK Pasal 170 DPR memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Pasal 171 (1) Kepada pimpinan DPD, pimpinan DPR memberitahukan rencana pemilihan anggota BPK dengan disertai dokumen kelengkapan persyaratan calon anggota BPK sebagai bahan DPD untuk memberikan pertimbangan atas calon anggota BPK, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum alat kelengkapan DPR memproses pelaksanaan pemilihan anggota BPK. (2) Pertimbangan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPR paling lambat 3 (tiga) hari sebelum pelaksanaan pemilihan, yang selanjutnya segera disampaikan kepada alat kelengkapan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan. (3) Dalam hal pertimbangan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak disampaikan, pemilihan anggota BPK tetap dilaksanakan. (4) Nama calon terpilih anggota BPK disampaikan oleh DPR kepada Presiden paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum masa jabatan anggota BPK berakhir. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan anggota BPK dan penerimaan pertimbangan dari DPD diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib. Pasal 172 . . . - 71 - Pasal 172 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib. Bagian Kesepuluh Pelaksanaan Hak DPR Paragraf 1 Hak Interpelasi Pasal 173 (1) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf a diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR dan lebih dari 1 (satu) fraksi. (2) Pengusulan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan dokumen yang memuat sekurang- kurangnya: a. materi kebijakan dan/atau pelaksanaan kebijakan Pemerintah yang akan dimintakan keterangan; dan b. alasan permintaan keterangan. (3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak interpelasi DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR yang hadir. Pasal 174 (1) Dalam hal rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (3) menyetujui usul interpelasi sebagai hak interpelasi DPR, Presiden dapat hadir untuk memberikan penjelasan tertulis terhadap materi interpelasi dalam rapat paripurna berikutnya. (2) Apabila . . . - 72 - (2) Apabila Presiden tidak dapat hadir untuk memberikan penjelasan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden menugasi menteri/pejabat terkait untuk mewakilinya. Pasal 175 (1) DPR memutuskan menerima atau menolak keterangan dan jawaban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (1) dan ayat (2). (2) Dalam hal DPR menerima keterangan dan jawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul hak interpelasi dinyatakan selesai dan materi interpelasi tersebut tidak dapat diusulkan kembali. (3) Dalam hal DPR menolak keterangan dan jawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPR dapat menggunakan hak DPR lainnya. (4) Keputusan untuk menerima atau menolak keterangan dan jawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR dan putusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR yang hadir. Pasal 176 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak interpelasi diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib. Paragraf 2 Hak Angket Pasal 177 (1) Hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf b diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR dan lebih dari 1 (satu) fraksi. (2) Pengusulan . . . - 73 - (2) Pengusulan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan dokumen yang memuat sekurang- kurangnya: a. materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang- undang yang akan diselidiki; dan b. alasan penyelidikan. (3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR yang hadir. Pasal 178 (1) DPR memutuskan menerima atau menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 ayat (1). (2) Dalam hal DPR menerima usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPR membentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPR dengan keputusan DPR. (3) Dalam hal DPR menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul tersebut tidak dapat diajukan kembali. Pasal 179 Panitia angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (2), dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3), selain meminta keterangan dari Pemerintah, dapat juga meminta keterangan dari saksi, pakar, organisasi profesi, dan/atau pihak terkait lainnya. Pasal 180 (1) Dalam melaksanakan tugasnya, panitia angket dapat memanggil warga negara Indonesia dan/atau orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia untuk memberikan keterangan. (2) Warga . . . - 74 - (2) Warga negara Indonesia dan/atau orang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi panggilan panitia angket. (3) Dalam hal warga negara Indonesia dan/atau orang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memenuhi panggilan setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, panitia angket dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 181 (1) Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia angket. (2) Rapat paripurna DPR mengambil keputusan terhadap laporan panitia angket. Pasal 182 (1) Apabila rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 ayat (2) memutuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, DPR dapat menggunakan hak menyatakan pendapat. (2) Apabila rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 ayat (2) memutuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, usul hak angket dinyatakan selesai dan materi angket tersebut tidak dapat diajukan kembali. (3) Keputusan . . . - 75 - (3) Keputusan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR dan putusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR yang hadir. Pasal 183 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak angket diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib. Paragraf 3 Hak Menyatakan Pendapat Pasal 184 (1) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf c diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR. (2) Pengusulan hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan dokumen yang memuat sekurang-kurangnya: a. materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4) huruf a dan alasan pengajuan usul pernyataan pendapat; b. materi hasil pelaksanaan hak interpelasi atau hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4) huruf b; atau c. materi dan bukti yang sah atas dugaan adanya tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4) huruf c atau materi dan bukti yang sah atas dugaan tidak dipenuhinya syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4) huruf c. (4) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak menyatakan pendapat DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR yang hadir. Pasal 185 . . . - 76 - Pasal 185 (1) DPR memutuskan menerima atau menolak usul hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1). (2) Dalam hal DPR menerima usul hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPR membentuk panitia khusus yang terdiri atas semua unsur fraksi DPR dengan keputusan DPR. (3) Dalam hal DPR menolak usul hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul tersebut tidak dapat diajukan kembali. Pasal 186 (1) Panitia khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 ayat (2) melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia khusus. (2) Rapat paripurna DPR mengambil keputusan terhadap laporan panitia khusus. Pasal 187 (1) Dalam hal rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 186 ayat (2) memutuskan menerima laporan panitia khusus terhadap materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4) huruf a dan huruf b, DPR menyatakan pendapatnya kepada Pemerintah. (2) Dalam hal rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 186 ayat (2) memutuskan menerima laporan panitia khusus yang menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, ataupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyampaikan keputusan tentang hak menyatakan pendapat kepada Mahkamah Konstitusi. (3) Dalam . . . - 77 - (3) Dalam hal rapat paripurna DPR menolak laporan panitia khusus terhadap materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4), hak menyatakan pendapat tersebut dinyatakan selesai dan tidak dapat diajukan kembali. (4) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPR yang hadir. Pasal 188 (1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pendapat DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 ayat (2) terbukti, DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR. (2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pendapat DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 ayat (2) tidak terbukti, usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dilanjutkan. Pasal 189 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak menyatakan pendapat diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib. Bagian Kesebelas Pelaksanaan Hak Anggota Paragraf 1 Hak Mengajukan Usul Rancangan Undang-Undang Pasal 190 (1) Anggota DPR mempunyai hak mengajukan usul rancangan undang-undang. (2) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan usul rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib. Paragraf 2 . . . - 78 - Paragraf 2 Hak Mengajukan Pertanyaan Pasal 191 (1) Anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan. (2) Dalam hal pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Presiden, pertanyaan tersebut disusun secara tertulis, singkat, dan jelas serta disampaikan kepada pimpinan DPR. (3) Apabila diperlukan, pimpinan DPR dapat meminta penjelasan kepada anggota DPR yang mengajukan pertanyaan. (4) Pimpinan DPR meneruskan pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Presiden dan meminta agar Presiden memberikan jawaban. (5) Sebelum disampaikan kepada Presiden, pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diumumkan. Pasal 192 (1) Jawaban terhadap pertanyaan anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (2) disampaikan secara lisan atau tertulis oleh Presiden. (2) Penyampaian jawaban oleh Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwakilkan kepada menteri atau pejabat yang ditunjuk. Paragraf 3 Hak Menyampaikan Usul dan Pendapat Pasal 193 (1) Anggota DPR berhak menyampaikan usul dan pendapat mengenai suatu hal, baik yang sedang dibicarakan maupun yang tidak dibicarakan dalam rapat. (2) Tata cara penyampaian usul dan pendapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai hak mengajukan pertanyaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191. (3) Ketentuan . . . - 79 - (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian usul dan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib. Paragraf 4 Hak Memilih dan Dipilih Pasal 194 (1) Anggota DPR mempunyai hak memilih dan dipilih untuk menduduki jabatan tertentu pada alat kelengkapan DPR. (2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak memilih dan dipilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib. Paragraf 5 Hak Membela Diri Pasal 195 (1) Anggota DPR yang diduga melakukan pelanggaran sumpah/janji, kode etik, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota diberi kesempatan untuk membela diri dan/atau memberikan keterangan kepada Badan Kehormatan. (2) Ketentuan mengenai tata cara membela diri dan/atau memberikan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan DPR tentang tata beracara Badan Kehormatan. Paragraf 6 Hak Imunitas Pasal 196 (1) Anggota DPR mempunyai hak imunitas. (2) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPR. (3) Anggota . . . - 80 - (3) Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPR. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 7 Hak Protokoler Pasal 197 (1) Pimpinan dan anggota DPR mempunyai hak protokoler. (2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan perundang-undangan. Paragraf 8 Hak Keuangan dan Administratif Pasal 198 (1) Pimpinan dan anggota DPR mempunyai hak keuangan dan administratif. (2) Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh pimpinan DPR dan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Belas Persidangan dan Pengambilan Keputusan Paragraf 1 Persidangan Pasal 199 (1) Tahun sidang DPR dimulai pada tanggal 16 Agustus dan diakhiri pada tanggal 15 Agustus tahun berikutnya dan apabila . . . - 81 - apabila tanggal 16 Agustus jatuh pada hari libur, pembukaan tahun sidang dilakukan pada hari kerja sebelumnya. (2) Khusus pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun sidang DPR dimulai pada saat pengucapan sumpah/janji anggota. (3) Tahun sidang dibagi dalam 4 (empat) masa persidangan. (4) Masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses, kecuali pada persidangan terakhir dari satu periode keanggotaan DPR, masa reses ditiadakan. (5) Sebelum pembukaan tahun sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota DPR dan anggota DPD mendengarkan pidato kenegaraan Presiden dalam sidang bersama yang diselenggarakan oleh DPR atau DPD secara bergantian. Pasal 200 Semua rapat di DPR pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup. Pasal 201 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persidangan dan rapat diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib. Paragraf 2 Pengambilan Keputusan Pasal 202 (1) Pengambilan keputusan dalam rapat DPR pada dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat. (2) Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Pasal 203 . . . - 82 - Pasal 203 (1) Setiap rapat atau sidang DPR dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum. (2) Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota rapat dan terdiri atas lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah fraksi, kecuali dalam rapat pengambilan keputusan terhadap pelaksanaan hak menyatakan pendapat. (3) Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi, rapat ditunda paling banyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 24 (dua puluh empat) jam. (4) Setelah 2 (dua) kali penundaan, kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum juga terpenuhi, cara penyelesaiannya diserahkan kepada pimpinan DPR. Pasal 204 Setiap keputusan rapat DPR, baik berdasarkan musyawarah untuk mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak bersifat mengikat bagi semua pihak yang terkait dalam pengambilan keputusan. Pasal 205 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib. Bagian Ketiga Belas Tata Tertib dan Kode Etik Paragraf 1 Tata Tertib Pasal 206 (1) Tata tertib DPR ditetapkan oleh DPR dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. (2) Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPR. (3) Tata . . . - 83 - (3) Tata tertib DPR paling sedikit memuat ketentuan tentang: a. pengucapan sumpah/janji; b. penetapan pimpinan; c. pemberhentian dan penggantian pimpinan; d. jenis dan penyelenggaraan persidangan atau rapat; e. pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang lembaga, serta hak dan kewajiban anggota; f. pembentukan, susunan, serta tugas dan wewenang alat kelengkapan; g. penggantian antarwaktu anggota; h. pengambilan keputusan; i. pelaksanaan konsultasi antara legislatif dan eksekutif; j. penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat; k. pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli; dan l. mekanisme keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Paragraf 2 Kode Etik Pasal 207 DPR menyusun kode etik yang berisi norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPR. Bagian Keempat Belas Larangan dan Sanksi Paragraf 1 Larangan Pasal 208 (1) Anggota DPR dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya; b. hakim pada badan peradilan; atau c. pegawai . . . - 84 - c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD. (2) Anggota DPR dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas dan wewenang DPR serta hak sebagai anggota DPR. (3) Anggota DPR dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dilarang menerima gratifikasi. Paragraf 2 Sanksi Pasal 209 (1) Anggota DPR yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dikenai sanksi berdasarkan keputusan Badan Kehormatan. (2) Anggota DPR yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPR. (3) Anggota DPR yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (3) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPR. Pasal 210 Jenis sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 ayat (1) berupa: a. teguran lisan; b. teguran tertulis; dan/atau c. diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan. Pasal 211 . . . - 85 - Pasal 211 Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan pengaduan kepada Badan Kehormatan DPR dalam hal memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat anggota DPR yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208. Pasal 212 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan masyarakat dan penjatuhan sanksi diatur dengan peraturan DPR tentang tata beracara Badan Kehormatan. Bagian Kelima Belas Pemberhentian Antarwaktu, Penggantian Antarwaktu, dan Pemberhentian Sementara Paragraf 1 Pemberhentian Antarwaktu Pasal 213 (1) Anggota DPR berhenti antarwaktu karena: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri; atau c. diberhentikan. (2) Anggota DPR diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila: a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun; b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR; c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; d. tidak . . . - 86 - d. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; e. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; f. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD; g. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini; h. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau i. menjadi anggota partai politik lain. Pasal 214 (1) Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf e, huruf h, dan huruf i diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden. (2) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usulan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPR menyampaikan usul pemberhentian anggota DPR kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian. (3) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPR dari pimpinan DPR. Pasal 215 (1) Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, dan huruf g, dilakukan setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam keputusan Badan Kehormatan DPR atas pengaduan dari pimpinan DPR, masyarakat, dan/atau pemilih. (2) Keputusan . . . - 87 - (2) Keputusan Badan Kehormatan DPR mengenai pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Badan Kehormatan kepada rapat paripurna. (3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan Badan Kehormatan DPR yang telah dilaporkan dalam rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pimpinan DPR menyampaikan keputusan Badan Kehormatan DPR kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan. (4) Pimpinan partai politik yang bersangkutan menyampaikan keputusan tentang pemberhentian anggotanya kepada pimpinan DPR, paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya keputusan Badan Kehormatan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dari pimpinan DPR. (5) Dalam hal pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak memberikan keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPR meneruskan keputusan Badan Kehormatan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian. (6) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keputusan Badan Kehormatan DPR atau keputusan pimpinan partai politik tentang pemberhentian anggotanya dari pimpinan DPR. Pasal 216 (1) Dalam hal pelaksanaan penyelidikan dan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (1), Badan Kehormatan DPR dapat meminta bantuan dari ahli independen. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelidikan, verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh Badan Kehormatan DPR diatur dengan peraturan DPR tentang tata beracara Badan Kehormatan. Paragraf 2 . . . - 88 - Paragraf 2 Penggantian Antarwaktu Pasal 217 (1) Anggota DPR yang berhenti antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 214 ayat (1) dan Pasal 215 ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama. (2) Dalam hal calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR, anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama. (3) Masa jabatan anggota DPR pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPR yang digantikannya. Pasal 218 (1) Pimpinan DPR menyampaikan nama anggota DPR yang diberhentikan antarwaktu dan meminta nama calon pengganti antarwaktu kepada KPU. (2) KPU menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) dan ayat (2) kepada pimpinan DPR paling lambat 5 (lima) hari sejak diterimanya surat pimpinan DPR. (3) Paling lambat 7 (tujuh) hari sejak menerima nama calon pengganti antarwaktu dari KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pimpinan DPR menyampaikan nama anggota DPR yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada Presiden. (4) Paling . . . - 89 - (4) Paling lambat 14 (empat belas) hari sejak menerima nama anggota DPR yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu dari pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Presiden meresmikan pemberhentian dan pengangkatannya dengan keputusan Presiden. (5) Sebelum memangku jabatannya, anggota DPR pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan DPR, dengan tata cara dan teks sumpah/janji sebagaimana diatur dalam Pasal 75 dan Pasal 76. (6) Penggantian antarwaktu anggota DPR tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota DPR yang digantikan kurang dari 6 (enam) bulan. Paragraf 3 Pemberhentian Sementara Pasal 219 (1) Anggota DPR diberhentikan sementara karena: a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; atau b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus. (2) Dalam hal anggota DPR dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPR yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPR. (3) Dalam hal anggota DPR dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPR yang bersangkutan diaktifkan. (4) Anggota DPR yang diberhentikan sementara, tetap mendapatkan hak keuangan tertentu. (5) Ketentuan . . . - 90 - (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian sementara diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib. Bagian Keenam Belas Penyidikan Pasal 220 (1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden. (2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau c. disangka melakukan tindak pidana khusus. BAB IV DPD Bagian Kesatu Susunan dan Kedudukan Pasal 221 DPD terdiri atas wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum. Pasal 222 . . . - 91 - Pasal 222 DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Bagian Kedua Fungsi Pasal 223 (1) DPD mempunyai fungsi: a. pengajuan usul kepada DPR mengenai rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; b. ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; c. pemberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; dan d. pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama. (2) Fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka perwakilan daerah. Bagian Ketiga . . . - 92 - Bagian Ketiga Tugas dan Wewenang Pasal 224 (1) DPD mempunyai tugas dan wewenang: a. dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang- undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; b. ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c. ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR, yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a; d. memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; e. dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama; f. menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti; g. menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN; h. memberikan . . . - 93 - h. memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK; dan i. ikut serta dalam penyusunan program legislasi nasional yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. (2) Dalam menjalankan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, anggota DPD dapat melakukan rapat dengan pemerintah daerah, DPRD, dan unsur masyarakat di daerah pemilihannya. Pasal 225 (1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224, DPD menyusun anggaran yang dituangkan dalam program dan kegiatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Dalam menyusun program dan kegiatan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk memenuhi kebutuhannya, DPD dapat menyusun standar biaya khusus dan mengajukannya kepada Pemerintah untuk dibahas bersama. (3) Pengelolaan anggaran DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal DPD di bawah pengawasan Panitia Urusan Rumah Tangga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) DPD menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran DPD dalam peraturan DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) DPD melaporkan pengelolaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada publik dalam laporan kinerja tahunan. Pasal 226 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib. Bagian Keempat . . . - 94 - Bagian Keempat Keanggotaan Pasal 227 (1) Anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan sebanyak 4 (empat) orang. (2) Jumlah anggota DPD tidak lebih dari 1/3 (satu pertiga) jumlah anggota DPR. (3) Keanggotaan DPD diresmikan dengan keputusan Presiden. (4) Anggota DPD dalam menjalankan tugasnya berdomisili di daerah pemilihannya dan mempunyai kantor di ibu kota provinsi daerah pemilihannya. (5) Masa jabatan anggota DPD adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPD yang baru mengucapkan sumpah/janji. Pasal 228 (1) Anggota DPD sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam sidang paripurna DPD. (2) Anggota DPD yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan DPD. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib. Pasal 229 Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 228 sebagai berikut: "Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji: bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan . . . - 95 - perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan daerah daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan; bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi daerah yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 230 (1) Di provinsi yang dibentuk setelah pelaksanaan pemilihan umum tidak diadakan pemilihan anggota DPD sampai dengan pemilihan umum berikutnya. (2) Anggota DPD di provinsi induk juga mewakili provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum. Bagian Kelima Hak DPD Pasal 231 DPD mempunyai hak: a. mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; b. ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; c. memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pembahasan rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang . . . - 96 - undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; d. melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang- undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama. Bagian Keenam Hak dan Kewajiban Anggota Paragraf 1 Hak Anggota Pasal 232 Anggota DPD mempunyai hak: a. bertanya; b. menyampaikan usul dan pendapat; c. memilih dan dipilih; d. membela diri; e. imunitas; f. protokoler; dan dan g. keuangan dan administratif. Paragraf 2 Kewajiban Anggota Pasal 233 Anggota DPD mempunyai kewajiban: a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila; b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan; c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. mendahulukan . . . - 97 - d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, golongan, dan daerah; e. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara; f. menaati tata tertib dan kode etik; g. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain; h. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan i. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada masyarakat di daerah yang diwakilinya. Bagian Ketujuh Alat Kelengkapan Pasal 234 (1) Alat kelengkapan DPD terdiri atas: a. pimpinan; b. Panitia Musyawarah; c. panitia kerja; d. Panitia Perancang Undang-Undang; e. Panitia Urusan Rumah Tangga; f. Badan Kehormatan; dan g. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, serta tugas dan wewenang alat kelengkapan DPD diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib. Paragraf 1 Pimpinan Pasal 235 (1) Pimpinan DPD terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPD dalam sidang paripurna DPD. (2) Dalam . . . - 98 - (2) Dalam hal pimpinan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, DPD dipimpin oleh pimpinan sementara DPD. (3) Pimpinan sementara DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas 1 (satu) orang ketua sementara dan 1 (satu) orang wakil ketua sementara yang merupakan anggota tertua dan anggota termuda usianya. (4) Dalam hal anggota tertua dan/atau anggota termuda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berhalangan, sebagai penggantinya adalah anggota tertua dan/atau anggota termuda berikutnya. (5) Ketua dan wakil ketua DPD diresmikan dengan keputusan DPD. (6) Pimpinan DPD sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji yang teksnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan DPD diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib. Pasal 236 (1) Pimpinan DPD bertugas: a. memimpin sidang DPD dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan; b. menyusun rencana kerja pimpinan; c. menjadi juru bicara DPD; d. melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPD; e. mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya sesuai dengan keputusan DPD; f. mewakili DPD di pengadilan; g. melaksanakan keputusan DPD berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; h. menetapkan . . . - 99 - h. menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran DPD; dan i. menyampaikan laporan kinerja dalam sidang paripurna DPD yang khusus diadakan untuk itu. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib. Paragraf 2 Panitia Musyawarah Pasal 237 Panitia Musyawarah dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap. Pasal 238 (1) Panitia Musyawarah bertugas menetapkan jadwal dan acara persidangan. (2) Apabila Panitia Musyawarah tidak dapat mengadakan rapat untuk menetapkan jadwal dan acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPD dapat menetapkan jadwal dan acara tersebut. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan mekanisme kerja Panitia Musyawarah diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib. Disetujui, Timus 24 Juni 2009 Paragraf 3 Panitia Kerja Pasal 239 (1) Panitia kerja dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap. (2) Keanggotaan panitia kerja ditetapkan oleh sidang paripurna DPD pada permulaan masa kegiatan DPD dan pada setiap permulaan tahun sidang, kecuali pada permulaan tahun sidang terakhir dari masa keanggotaan DPD. (3) Panitia kerja dipimpin oleh pimpinan panitia kerja. Pasal 240 . . . - 100 - Pasal 240 (1) Tugas panitia kerja dalam pengajuan rancangan undang- undang adalah mengadakan persiapan dan pembahasan rancangan undang-undang tertentu. (2) Tugas panitia kerja dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berasal dari DPR atau Presiden adalah melakukan pembahasan serta menyusun pandangan dan pendapat DPD. (3) Tugas panitia kerja dalam pemberian pertimbangan adalah: a. melakukan pembahasan dan penyusunan pertimbangan DPD mengenai rancangan undang- undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama; dan b. menyusun pertimbangan DPD terhadap calon anggota BPK yang diajukan DPR. (4) Tugas panitia kerja di bidang pengawasan adalah: a. melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang- undang bidang tertentu; dan b. membahas hasil pemeriksaan BPK. Pasal 241 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan mekanisme kerja panitia kerja diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib. Paragraf 4 Panitia Perancang Undang-Undang Pasal 242 (1) Panitia Perancang Undang-Undang dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap. (2) Keanggotaan Panitia Perancang Undang-Undang ditetapkan oleh sidang paripurna DPD pada permulaan masa keanggotaan DPD dan pada setiap permulaan tahun sidang, kecuali pada permulaan tahun sidang terakhir masa keanggotaan DPD. (3) Panitia . . . - 101 - (3) Panitia Perancang Undang-Undang dipimpin oleh pimpinan Panitia Perancang Undang-Undang. Pasal 243 Panitia Perancang Undang-Undang bertugas: a. merencanakan dan menyusun program serta urutan prioritas pembahasan usul rancangan undang-undang untuk 1 (satu) masa keanggotaan DPD dan setiap tahun anggaran; b. membahas usul rancangan undang-undang berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan; c. melakukan kegiatan pembahasan, harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi usul rancangan undang-undang yang disiapkan oleh DPD; d. melakukan pembahasan, pengubahan, dan/atau penyempurnaan rancangan undang-undang yang secara khusus ditugaskan oleh Panitia Musyawarah dan/atau sidang paripurna; e. melakukan koordinasi, konsultasi, dan evaluasi dalam rangka mengikuti perkembangan materi usul rancangan undang-undang yang sedang dibahas oleh panitia kerja; f. melakukan evaluasi terhadap program penyusunan usul rancangan undang-undang; dan g. membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah, baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat dipergunakan sebagai bahan oleh Panitia Perancang Undang-Undang pada masa keanggotaan berikutnya. Pasal 244 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan mekanisme kerja Panitia Perancang Undang-Undang diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib. Paragraf 5 Badan Kehormatan Pasal 245 (1) Badan Kehormatan dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap. (2) Ketentuan . . . - 102 - (2) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan Badan Kehormatan diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib. Pasal 246 (1) Badan Kehormatan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota karena: a. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233; b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPD selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun; c. tidak menghadiri sidang paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPD yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; d. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPD sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan/atau e. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. (2) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Kehormatan melakukan evaluasi dan penyempurnaan peraturan DPD tentang tata tertib dan kode etik DPD. (3) Badan Kehormatan berwenang memanggil pihak terkait dan melakukan kerja sama dengan lembaga lain. (4) Badan Kehormatan membuat laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan. Pasal 247 Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pelaksanaan tugas dan wewenang Badan Kehormatan diatur dengan peraturan DPD tentang tata beracara Badan Kehormatan. Paragraf 6 . . . - 103 - Paragraf 6 Panitia Urusan Rumah Tangga Pasal 248 (1) Panitia Urusan Rumah Tangga dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap. (2) Keanggotaan Panitia Urusan Rumah Tangga ditetapkan oleh sidang paripurna DPD pada permulaan masa kegiatan DPD dan pada setiap permulaan tahun sidang, kecuali pada permulaan tahun sidang terakhir dari masa keanggotaan DPD. (3) Panitia Urusan Rumah Tangga dipimpin oleh pimpinan Panitia Urusan Rumah Tangga. Pasal 249 (1) Panitia Urusan Rumah Tangga bertugas: a. membantu pimpinan DPD dalam menentukan kebijakan kerumahtanggaan DPD, termasuk kesejahteraan anggota dan pegawai Sekretariat Jenderal DPD; b. membantu pimpinan DPD dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan kewajiban yang dilakukan oleh Sekretariat Jenderal DPD; c. membantu pimpinan DPD dalam merencanakan dan menyusun kebijakan anggaran DPD; d. melaksanakan tugas lain yang berhubungan dengan masalah kerumahtanggaan DPD yang ditugaskan oleh pimpinan DPD berdasarkan hasil rapat Panitia Musyawarah; dan e. menyampaikan laporan kinerja dalam sidang paripurna DPD yang khusus diadakan untuk itu. (2) Panitia Urusan Rumah Tangga dapat meminta penjelasan dan data yang diperlukan kepada Sekretariat Jenderal DPD. (3) Panitia . . . - 104 - (3) Panitia Urusan Rumah Tangga membuat inventarisasi masalah, baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat digunakan sebagai bahan oleh Panitia Urusan Rumah Tangga pada masa keanggotaan berikutnya. Pasal 250 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan mekanisme kerja Panitia Urusan Rumah Tangga diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib. Bagian Kedelapan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang DPD Paragraf 1 Pengajuan dan Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pasal 251 (1) DPD dapat mengajukan rancangan undang-undang berdasarkan program legislasi nasional. (2) Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik dapat diusulkan oleh Panitia Perancang Undang-Undang dan/atau panitia kerja. (3) Usul rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diputuskan menjadi rancangan undang-undang yang berasal dari DPD dalam sidang paripurna DPD. Pasal 252 (1) Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 ayat (3) beserta penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik, disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPR dengan surat pengantar dari pimpinan DPD. (2) Surat pengantar pimpinan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebut juga Panitia Perancang Undang- Undang dan/atau panitia kerja yang mewakili DPD dalam melakukan pembahasan rancangan undang-undang tersebut. Pasal 253 . . . - 105 - Pasal 253 (1) DPD ikut serta membahas rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (1) huruf a bersama DPR dan Presiden. (2) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan Pasal 148, Pasal 149 huruf a, Pasal 150 ayat (1), Pasal 150 ayat (2) huruf b dan huruf d, serta Pasal 150 ayat (4) huruf b. Pasal 254 Dalam hal DPD ikut membahas rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (1) huruf b dan huruf c, DPD menyampaikan pendapat dan pandangannya dalam Pembicaraan Tingkat I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (1), Pasal 150 ayat (2) huruf b dan huruf d, serta Pasal 150 ayat (4) huruf b. Pasal 255 Ketentuan lebih lanjut mengenai keikutsertaan DPD dalam pembahasan rancangan undang-undang diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib. Paragraf 2 Pemberian Pertimbangan terhadap Rancangan Undang-Undang Pasal 256 DPD memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang- undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (1) huruf d kepada pimpinan DPR. Pasal 257 (1) Terhadap rancangan undang-undang tentang APBN, DPD memberikan pertimbangan kepada DPR paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. (2) Terhadap . . . - 106 - (2) Terhadap rancangan undang-undang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, DPD memberikan pertimbangan kepada DPR paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya surat dari pimpinan DPR. (3) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada DPR setelah diputuskan dalam sidang paripurna DPD. (4) Dalam pemberian pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berlaku ketentuan Pasal 154. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian pertimbangan diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib. Paragraf 3 Pemberian Pertimbangan terhadap Calon Anggota BPK Pasal 258 (1) DPD memberikan pertimbangan kepada DPR mengenai calon anggota BPK. (2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan dalam sidang paripurna DPD. (3) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR paling lambat 3 (tiga) hari sebelum pelaksanaan pemilihan anggota BPK. (4) Dalam pemberian pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berlaku ketentuan Pasal 171. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian pertimbangan diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib. Paragraf 4 Penyampaian Hasil Pengawasan Pasal 259 (1) DPD menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (1) huruf f kepada DPR sebagai bahan pertimbangan. (2) Hasil . . . - 107 - (2) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan dalam sidang paripurna DPD. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib. Paragraf 5 Pembahasan Hasil Pemeriksaan BPK Pasal 260 (1) DPD menerima hasil pemeriksaan keuangan negara yang disampaikan oleh pimpinan BPK kepada pimpinan DPD dalam acara yang khusus diadakan untuk itu. (2) DPD menugasi panitia kerja untuk membahas hasil pemeriksaan keuangan negara oleh BPK setelah BPK menyampaikan penjelasan. (3) Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diputuskan dalam sidang paripurna DPD. (4) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada DPR dengan surat pengantar dari pimpinan DPD untuk dijadikan bahan pertimbangan bagi DPR. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembahasan hasil pemeriksaan keuangan negara oleh BPK diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib. Bagian Kesembilan Pelaksanaan Hak Anggota Paragraf 1 Hak Bertanya Pasal 261 (1) Anggota DPD mempunyai hak bertanya. (2) Hak bertanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam sidang dan/atau rapat sesuai dengan tugas dan wewenang DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (1) huruf e. (3) Ketentuan . . . - 108 - (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak bertanya diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib. Paragraf 2 Hak Menyampaikan Usul dan Pendapat Pasal 262 (1) Anggota DPD berhak menyampaikan usul dan pendapat mengenai suatu hal, baik yang sedang dibicarakan maupun yang tidak dibicarakan dalam rapat. (2) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian usul dan pendapat diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib. Paragraf 3 Hak Memilih dan Dipilih Pasal 263 (1) Anggota DPD mempunyai hak memilih dan dipilih untuk menduduki jabatan tertentu pada alat kelengkapan DPD. (2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak memilih dan dipilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib. Paragraf 4 Hak Membela Diri Pasal 264 (1) Anggota DPD yang diduga melakukan pelanggaran sumpah/janji, kode etik, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota diberi kesempatan untuk membela diri dan/atau memberikan keterangan kepada Badan Kehormatan. (2) Ketentuan mengenai tata cara membela diri dan/atau memberikan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan DPD tentang tata beracara Badan Kehormatan. Paragraf 5 . . . - 109 - Paragraf 5 Hak Imunitas Pasal 265 (1) Anggota DPD mempunyai hak imunitas. (2) Anggota DPD tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPD ataupun di luar rapat DPD yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPD. (3) Anggota DPD tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPD maupun di luar rapat DPD yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPD. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 6 Hak Protokoler Pasal 266 (1) Pimpinan dan anggota DPD mempunyai hak protokoler. (2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan perundang-undangan. Paragraf 7 Hak Keuangan dan Administratif Pasal 267 (1) Pimpinan dan anggota DPD mempunyai hak keuangan dan administratif. (2) Hak . . . - 110 - (2) Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh pimpinan DPD dan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Disetujui, Timus 18 Juni 2009 Bagian Kesepuluh Persidangan dan Pengambilan Keputusan Paragraf 1 Persidangan Pasal 268 (1) Tahun sidang DPD dimulai pada tanggal 16 Agustus dan diakhiri pada tanggal 15 Agustus tahun berikutnya, dan apabila tanggal 16 Agustus jatuh pada hari libur, pembukaan tahun sidang dilakukan pada hari kerja sebelumnya. (2) Khusus pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun sidang DPD dimulai pada saat pengucapan sumpah/janji anggota. (3) Kegiatan DPD meliputi sidang DPD di ibu kota negara serta rapat di daerah dan tempat lain sesuai dengan penugasan DPD. (4) Sidang DPD di ibu kota negara dalam hal pengajuan dan pembahasan rancangan undang-undang mengikuti masa sidang DPR. (5) Sebelum pembukaan tahun sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota DPD dan anggota DPR mendengarkan pidato kenegaraan Presiden dalam sidang bersama yang diselenggarakan oleh DPD atau DPR secara bergantian. Pasal 269 Semua rapat di DPD pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup. Pasal 270 . . . - 111 - Pasal 270 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persidangan dan rapat DPD diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib. Paragraf 2 Pengambilan Keputusan Pasal 271 (1) Pengambilan keputusan dalam rapat/sidang DPD pada dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat. (2) Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Pasal 272 (1) Setiap rapat atau sidang DPD dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum. (2) Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota rapat atau sidang. (3) Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi, rapat atau sidang ditunda paling banyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 24 (dua puluh empat) jam. (4) Setelah 2 (dua) kali penundaan, kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum juga terpenuhi, cara penyelesaiannya diserahkan kepada pimpinan DPD. Pasal 273 Setiap keputusan rapat DPD, baik berdasarkan musyawarah untuk mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak, menjadi perhatian semua pihak yang terkait. Pasal 274 . . . - 112 - Pasal 274 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib. Bagian Kesebelas Tata Tertib dan Kode Etik Paragraf 1 Tata Tertib Pasal 275 (1) Tata tertib DPD ditetapkan oleh DPD dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPD. (3) Tata tertib DPD paling sedikit memuat ketentuan tentang: a. pengucapan sumpah/janji; b. pemilihan dan penetapan pimpinan; c. pemberhentian dan penggantian pimpinan; d. jenis dan penyelenggaraan persidangan atau rapat; e. pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang lembaga, serta hak dan kewajiban anggota; f. penggantian antarwaktu anggota; g. pembentukan, susunan, tugas dan wewenang alat kelengkapan; h. pengambilan keputusan; i. pelaksanaan konsultasi antara legislatif dan eksekutif; j. penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat; k. pengaturan protokoler; l. pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli; dan m. mekanisme keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Paragraf 2 . . . - 113 - Paragraf 2 Kode Etik Pasal 276 DPD menyusun kode etik yang berisi norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPD. Bagian Kedua Belas Larangan dan Sanksi Paragraf 1 Larangan Pasal 277 (1) Anggota DPD dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya; b. hakim pada badan peradilan; atau c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD. (2) Anggota DPD dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas dan wewenang DPD serta hak sebagai anggota DPD. (3) Anggota DPD dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dilarang menerima gratifikasi. Paragraf 2 . . . - 114 - Paragraf 2 Sanksi Pasal 278 (1) Anggota DPD yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233 dikenai sanksi berdasarkan keputusan Badan Kehormatan. (2) Anggota DPD yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPD. (3) Anggota DPD yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 ayat (3) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPD. Pasal 279 Jenis sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (1) berupa: a. teguran lisan; b. teguran tertulis; dan/atau c. diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan. Pasal 280 Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan pengaduan kepada Badan Kehormatan DPD dalam hal memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat anggota DPD yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233 dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277. Pasal 281 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan masyarakat dan penjatuhan sanksi diatur dengan peraturan DPD tentang tata beracara Badan Kehormatan. Bagian Ketiga Belas . . . - 115 - Bagian Ketiga Belas Pemberhentian Antarwaktu, Penggantian Antarwaktu, dan Pemberhentian Sementara Paragraf 1 Pemberhentian Antarwaktu Pasal 282 (1) Anggota DPD berhenti antarwaktu karena: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri; atau c. diberhentikan. (2) Anggota DPD diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila: a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPD selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun; b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPD; c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; d. tidak menghadiri sidang paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPD yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; e. tidak memenuhi syarat sebagai calon anggota DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD; atau f. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Pasal 283 (1) Pemberhentian anggota DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c diusulkan oleh pimpinan DPD yang diumumkan dalam sidang paripurna. (2) Paling . . . - 116 - (2) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak usul pimpinan DPD diumumkan dalam sidang paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPD menyampaikan usul pemberhentian anggota DPD kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian. (3) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPD dari pimpinan DPD. Pasal 284 (1) Pemberhentian anggota DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, dan huruf f, dilakukan setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam keputusan Badan Kehormatan DPD atas pengaduan dari pimpinan DPD, masyarakat, dan/atau pemilih. (2) Keputusan Badan Kehormatan DPD mengenai pemberhentian anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Badan Kehormatan DPD kepada sidang paripurna. (3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan Badan Kehormatan DPD yang telah dilaporkan dalam sidang paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pimpinan DPD menyampaikan keputusan Badan Kehormatan DPD kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian. (4) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usulan pemberhentian anggota DPD dari pimpinan DPD. Pasal 285 (1) Dalam hal pelaksanaan penyelidikan dan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (1), Badan Kehormatan DPD dapat meminta bantuan dari ahli independen. (2) Ketentuan . . . - 117 - (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelidikan, verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh Badan Kehormatan DPD diatur dengan peraturan DPD tentang tata beracara Badan Kehormatan. Paragraf 2 Penggantian Antarwaktu Pasal 286 (1) Anggota DPD yang berhenti antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 283 ayat (1) dan Pasal 284 ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara calon anggota DPD dari provinsi yang sama. (2) Dalam hal calon anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara calon anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPD, anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya. (3) Masa jabatan anggota DPD pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPD yang digantikannya. Pasal 287 (1) Pimpinan DPD menyampaikan nama anggota DPD yang diberhentikan antarwaktu dan meminta nama calon pengganti antarwaktu kepada KPU. (2) KPU menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 286 ayat (1) dan ayat (2) kepada pimpinan DPD paling lambat 5 (lima) hari sejak diterimanya surat pimpinan DPD. (3) Paling lambat 7 (tujuh) hari sejak menerima nama calon pengganti antarwaktu dari KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pimpinan DPD menyampaikan nama anggota DPD yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada Presiden. (4) Paling . . . - 118 - (4) Paling lambat 14 (empat belas) hari sejak menerima nama anggota DPD yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu dari pimpinan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Presiden meresmikan pemberhentian dan pengangkatannya dengan keputusan Presiden. (5) Sebelum memangku jabatannya, anggota DPD pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengucapkan sumpah/janji yang pengucapannya dipandu oleh pimpinan DPD, dengan tata cara dan teks sumpah/janji sebagaimana diatur dalam Pasal 228 dan Pasal 229. (6) Penggantian antarwaktu anggota DPD tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota DPD yang digantikan kurang dari 6 (enam) bulan. Paragraf 3 Pemberhentian Sementara Pasal 288 (1) Anggota DPD diberhentikan sementara karena: a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; atau b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus. (2) Dalam hal anggota DPD dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPD yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPD. (3) Dalam hal anggota DPD dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPD yang bersangkutan diaktifkan. (4) Anggota DPD yang diberhentikan sementara, tetap mendapatkan hak keuangan tertentu. (5) Ketentuan . . . - 119 - (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian sementara diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib. Bagian Keempat Belas Penyidikan Pasal 289 (1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPD yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden. (2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPD: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau c. disangka melakukan tindak pidana khusus. BAB V DPRD PROVINSI Bagian Kesatu Susunan dan Kedudukan Pasal 290 DPRD provinsi terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum. Pasal 291 . . . - 120 - Pasal 291 DPRD provinsi merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah provinsi. Bagian Kedua Fungsi Pasal 292 (1) DPRD provinsi mempunyai fungsi: a. legislasi; b. anggaran; dan c. pengawasan. (2) Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat di provinsi. Bagian Ketiga Tugas dan Wewenang Pasal 293 (1) DPRD provinsi mempunyai tugas dan wewenang: a. membentuk peraturan daerah provinsi bersama gubernur; b. membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi yang diajukan oleh gubernur; c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi; d. mengusulkan pengangkatan dan/atau pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian; e. memilih . . . - 121 - e. memilih wakil gubernur dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil gubernur; f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah provinsi terhadap rencana perjanjian internasional di daerah; g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi; h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi; i. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah; j. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan k. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib. Bagian Keempat Keanggotaan Pasal 294 (1) Anggota DPRD provinsi berjumlah paling sedikit 35 (tiga puluh lima) orang dan paling banyak 100 (seratus) orang. (2) Keanggotaan DPRD provinsi diresmikan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri. (3) Anggota DPRD provinsi berdomisili di ibu kota provinsi yang bersangkutan. (4) Masa jabatan anggota DPRD provinsi adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPRD provinsi yang baru mengucapkan sumpah/janji. Pasal 295 . . . - 122 - Pasal 295 (1) Anggota DPRD provinsi sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh ketua pengadilan tinggi dalam rapat paripurna DPRD provinsi. (2) Anggota DPRD provinsi yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan DPRD provinsi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib. Pasal 296 Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 sebagai berikut: "Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji: bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan; bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia." Pasal 297 . . . - 123 - Pasal 297 (1) Dalam hal dilakukan pembentukan provinsi setelah pemilihan umum, pengisian anggota DPRD provinsi di provinsi induk dan provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum dilakukan dengan cara: a. menetapkan jumlah kursi DPRD provinsi induk dan provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum berdasarkan jumlah penduduk sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD; b. menetapkan perolehan suara partai politik dan calon anggota DPRD provinsi berdasarkan hasil pemilihan umum di daerah pemilihan provinsi induk dan provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum; c. menentukan bilangan pembagi pemilih berdasarkan hasil pemilihan umum di daerah pemilihan provinsi induk dan provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum; d. menentukan perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum berdasarkan hasil pemilihan umum di daerah pemilihan provinsi induk dan provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum; e. menetapkan calon terpilih dari daftar calon tetap untuk mengisi kursi sebagaimana dimaksud pada huruf d berdasarkan suara terbanyak. (2) Pengisian anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh KPU provinsi induk. (3) Pengisian anggota DPRD provinsi tidak dilakukan bagi provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum yang dibentuk 12 (dua belas) bulan sebelum pelaksanaan pemilihan umum. (4) Masa jabatan anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir pada saat anggota DPRD provinsi hasil pemilihan umum berikutnya mengucapkan sumpah/janji. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jumlah dan tata cara pengisian keanggotaan DPRD provinsi induk dan provinsi yang dibentuk setelah pemilihan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan KPU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kelima . . . - 124 - Bagian Kelima Hak DPRD Provinsi Pasal 298 (1) DPRD provinsi mempunyai hak: a. interpelasi; b. angket; dan c. menyatakan pendapat. (2) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hak DPRD provinsi untuk meminta keterangan kepada gubernur mengenai kebijakan pemerintah provinsi yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. (3) Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPRD provinsi untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah provinsi yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (4) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak DPRD provinsi untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan gubernur atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket. Bagian Keenam Hak dan Kewajiban Anggota Paragraf 1 Hak Anggota Pasal 299 Anggota DPRD provinsi mempunyai hak: a. mengajukan rancangan peraturan daerah provinsi; b. mengajukan pertanyaan; c. menyampaikan . . . - 125 - c. menyampaikan usul dan pendapat; d. memilih dan dipilih; e. membela diri; f. imunitas; g. mengikuti orientasi dan pendalaman tugas; h. protokoler; dan i. keuangan dan administratif. Paragraf 2 Kewajiban Anggota Pasal 300 Anggota DPRD provinsi mempunyai kewajiban: a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila; b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang- undangan; c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan; e. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat; f. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; g. menaati tata tertib dan kode etik; h. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi; i. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala; j. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan k. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya. Bagian Ketujuh . . . - 126 - Bagian Ketujuh Fraksi Pasal 301 (1) Untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPRD provinsi, serta hak dan kewajiban anggota DPRD provinsi, dibentuk fraksi sebagai wadah berhimpun anggota DPRD provinsi. (2) Setiap anggota DPRD provinsi harus menjadi anggota salah satu fraksi. (3) Setiap fraksi di DPRD provinsi beranggotakan paling sedikit sama dengan jumlah komisi di DPRD provinsi. (4) Partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD provinsi mencapai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau lebih dapat membentuk 1 (satu) fraksi. (5) Dalam hal partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD provinsi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), anggotanya dapat bergabung dengan fraksi yang ada atau membentuk fraksi gabungan. (6) Dalam hal tidak ada satu partai politik yang memenuhi persyaratan untuk membentuk fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka dibentuk fraksi gabungan. (7) Jumlah fraksi gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) paling banyak 2 (dua) fraksi. (8) Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) harus mendudukkan anggotanya dalam 1 (satu) fraksi. (9) Fraksi mempunyai sekretariat. (10) Sekretariat DPRD provinsi menyediakan sarana, anggaran, dan tenaga ahli guna kelancaran pelaksanaan tugas fraksi sesuai dengan kebutuhan dan dengan memperhatikan kemampuan APBD. Bagian Kedelapan . . . - 127 - Bagian Kedelapan Alat Kelengkapan DPRD Provinsi Pasal 302 (1) Alat kelengkapan DPRD provinsi terdiri atas: a. pimpinan; b. Badan Musyawarah; c. komisi; d. Badan Legislasi Daerah; e. Badan Anggaran; f. Badan Kehormatan; dan g. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna. (2) Dalam menjalankan tugasnya, alat kelengkapan dibantu oleh sekretariat. (3) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, susunan, serta tugas dan wewenang alat kelengkapan DPRD provinsi diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib. Pasal 303 (1) Pimpinan DPRD provinsi terdiri atas: a. 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 85 (delapan puluh lima) sampai dengan 100 (seratus) orang; b. 1 (satu) orang ketua dan 3 (tiga) orang wakil ketua untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 45 (empat puluh lima) sampai dengan 84 (delapan puluh empat) orang; c. 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) sampai dengan 44 (empat puluh empat) orang. (2) Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD provinsi. (3) Ketua . . . - 128 - (3) Ketua DPRD provinsi ialah anggota DPRD provinsi yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPRD provinsi. (4) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ketua DPRD provinsi ialah anggota DPRD provinsi yang berasal dari partai politik yang memperoleh suara terbanyak. (5) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh suara terbanyak sama sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penentuan ketua DPRD provinsi dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara partai politik yang lebih luas secara berjenjang. (6) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wakil ketua DPRD provinsi ialah anggota DPRD provinsi yang berasal dari partai politik yang memperoleh suara terbanyak kedua, ketiga, dan/atau keempat. (7) Apabila masih terdapat kursi wakil ketua DPRD provinsi yang belum terisi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), maka kursi wakil ketua diisi oleh anggota DPRD provinsi yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua. (8) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua sama, wakil ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditentukan berdasarkan urutan hasil perolehan suara terbanyak. (9) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (7), penentuan wakil ketua DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara partai politik yang lebih luas secara berjenjang. Pasal 304 (1) Dalam hal pimpinan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 303 ayat (1) belum terbentuk, DPRD provinsi dipimpin oleh pimpinan sementara DPRD provinsi. (2) Pimpinan . . . - 129 - (2) Pimpinan sementara DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 1 (satu) orang wakil ketua yang berasal dari 2 (dua) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama dan kedua di DPRD provinsi. (3) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua sementara DPRD provinsi ditentukan secara musyawarah oleh wakil partai politik bersangkutan yang ada di DPRD provinsi. (4) Ketua dan wakil ketua DPRD provinsi diresmikan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri. Disetujui, Timus 24 Juni 2009 (5) Pimpinan DPRD provinsi sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji yang teksnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 296 yang dipandu oleh ketua pengadilan tinggi. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan pimpinan DPRD provinsi diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib. Pasal 305 Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 302 ayat (1) huruf c dibentuk dengan ketentuan: a. DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) sampai dengan 55 (lima puluh lima) orang membentuk 4 (empat) komisi; b. DPRD provinsi yang beranggotakan lebih dari 55 (lima puluh lima) orang membentuk 5 (lima) komisi. Bagian Kesembilan Pelaksanaan Hak DPRD Provinsi Paragraf 1 Hak Interpelasi Pasal 306 (1) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 298 ayat (1) huruf a diusulkan oleh: a. paling sedikit 10 (sepuluh) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi . . . - 130 - provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) orang; b. paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan di atas 75 (tujuh puluh lima) orang. (2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD provinsi. (3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak interpelasi DPRD provinsi apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD provinsi yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPRD provinsi dan putusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir. Pasal 307 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak interpelasi diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib. Paragraf 2 Hak Angket Pasal 308 (1) Hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 298 ayat (1) huruf b diusulkan oleh: a. paling sedikit 10 (sepuluh) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) orang; b. paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan di atas 75 (tujuh puluh lima) orang. (2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD provinsi. (3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak angket DPRD provinsi apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD provinsi yang dihadiri sekurang- kurangnya . . . - 131 - kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD provinsi dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir. Pasal 309 (1) DPRD provinsi memutuskan menerima atau menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 308 ayat (1). (2) Dalam hal DPRD provinsi menerima usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD provinsi membentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD provinsi dengan keputusan DPRD provinsi. (3) Dalam hal DPRD provinsi menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul tersebut tidak dapat diajukan kembali. Pasal 310 (1) Panitia angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 309 ayat (2), dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 298 ayat (3), dapat memanggil pejabat pemerintah provinsi, badan hukum, atau warga masyarakat di provinsi yang dianggap mengetahui atau patut mengetahui masalah yang diselidiki untuk memberikan keterangan serta untuk meminta menunjukkan surat atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki. (2) Pejabat pemerintah provinsi, badan hukum, atau warga masyarakat di provinsi yang dipanggil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi panggilan DPRD provinsi, kecuali ada alasan yang sah menurut peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal pejabat pemerintah provinsi, badan hukum, atau warga masyarakat di provinsi telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), DPRD provinsi dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 311 . . . - 132 - Pasal 311 Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPRD provinsi paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia angket. Pasal 312 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak angket diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib. Paragraf 3 Hak Menyatakan Pendapat Pasal 313 (1) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 298 ayat (1) huruf c diusulkan oleh: a. paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) orang; b. paling sedikit 20 (dua puluh) orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD provinsi yang beranggotakan di atas 75 (tujuh puluh lima) orang. (2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD provinsi. (3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak menyatakan pendapat DPRD provinsi apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD provinsi yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD provinsi dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir. Pasal 314 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak menyatakan pendapat diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib. Bagian Kesepuluh . . . - 133 - Bagian Kesepuluh Pelaksanaan Hak Anggota Paragraf 1 Hak Imunitas Pasal 315 (1) Anggota DPRD provinsi mempunyai hak imunitas. (2) Anggota DPRD provinsi tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPRD provinsi ataupun di luar rapat DPRD provinsi yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD provinsi. (3) Anggota DPRD provinsi tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPRD provinsi maupun di luar rapat DPRD provinsi yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD provinsi. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 2 Hak Protokoler Pasal 316 (1) Pimpinan dan anggota DPRD provinsi mempunyai hak protokoler. (2) Hak protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah. Paragraf 3 . . . - 134 - Paragraf 3 Hak Keuangan dan Administratif Pasal 317 (1) Pimpinan dan anggota DPRD provinsi mempunyai hak keuangan dan administratif. (2) Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. (3) Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, pimpinan dan anggota DPRD provinsi berhak memperoleh tunjangan yang besarannya disesuaikan dengan kemampuan daerah. (4) Pengelolaan keuangan dan tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilaksanakan oleh sekretariat DPRD provinsi sesuai dengan peraturan pemerintah. Bagian Kesebelas Persidangan dan Pengambilan Keputusan Paragraf 1 Persidangan Pasal 318 (1) Pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun sidang DPRD provinsi dimulai pada saat pengucapan sumpah/janji anggota. (2) Tahun sidang dibagi dalam 3 (tiga) masa persidangan. (3) Masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses, kecuali pada persidangan terakhir dari satu periode keanggotaan DPRD provinsi, masa reses ditiadakan. Pasal 319 Semua rapat di DPRD provinsi pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup. Pasal 320 . . . - 135 - Pasal 320 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persidangan dan rapat DPRD provinsi diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib. Paragraf 2 Pengambilan Keputusan Pasal 321 (1) Pengambilan keputusan dalam rapat DPRD provinsi pada dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat. (2) Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Pasal 322 (1) Setiap rapat DPRD provinsi dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum. (2) Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila: a. rapat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD provinsi untuk mengambil persetujuan atas pelaksanaan hak angket dan hak menyatakan pendapat serta untuk mengambil keputusan mengenai usul pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur; b. rapat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD provinsi untuk memberhentikan pimpinan DPRD provinsi serta untuk menetapkan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah; c. rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPRD provinsi untuk rapat paripurna DPRD provinsi selain rapat sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b. (3) Keputusan . . . - 136 - (3) Keputusan rapat dinyatakan sah apabila: a. disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a; b. disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b; c. disetujui dengan suara terbanyak, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c. (4) Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, rapat ditunda paling banyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 1 (satu) jam. (5) Apabila pada akhir waktu penundaan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kuorum belum juga terpenuhi, pimpinan dapat menunda rapat paling lama 3 (tiga) hari atau sampai waktu yang ditetapkan oleh Badan Musyawarah. (6) Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, rapat tidak dapat mengambil keputusan. (7) Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, cara penyelesaiannya diserahkan kepada pimpinan DPRD provinsi dan pimpinan fraksi. Pasal 323 Setiap keputusan rapat DPRD provinsi, baik berdasarkan musyawarah untuk mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak, merupakan kesepakatan untuk ditindaklanjuti oleh semua pihak yang terkait dalam pengambilan keputusan. Pasal 324 . . . - 137 - Pasal 324 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib. Bagian Kedua Belas Tata Tertib dan Kode Etik Paragraf 1 Tata Tertib Pasal 325 (1) Tata tertib DPRD provinsi ditetapkan oleh DPRD provinsi dengan berpedoman pada peraturan perundang- undangan. (2) Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPRD provinsi. (3) Tata tertib DPRD provinsi paling sedikit memuat ketentuan tentang: a. pengucapan sumpah/janji; b. penetapan pimpinan; c. pemberhentian dan penggantian pimpinan; d. jenis dan penyelenggaraan rapat; e. pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang lembaga, serta hak dan kewajiban anggota; f. pembentukan, susunan, serta tugas dan wewenang alat kelengkapan; g. penggantian antarwaktu anggota; h. pembuatan pengambilan keputusan; i. pelaksanaan konsultasi antara DPRD provinsi dan pemerintah daerah provinsi; j. penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat; k. pengaturan protokoler; dan l. pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli. Paragraf 2 . . . - 138 - Paragraf 2 Kode Etik Pasal 326 DPRD provinsi menyusun kode etik yang berisi norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPRD provinsi. Bagian Ketiga Belas Larangan dan Sanksi Paragraf 1 Larangan Pasal 327 (1) Anggota DPRD provinsi dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara atau pejabat daerah lainnya; b. hakim pada badan peradilan; atau c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD. (2) Anggota DPRD provinsi dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas dan wewenang DPRD provinsi serta hak sebagai anggota DPRD provinsi. (3) Anggota DPRD provinsi dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dilarang menerima gratifikasi. mu s 24 Juni 20 Paragraf 2 Sanksi Pasal 328 (1) Anggota DPRD provinsi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 300 dikenai sanksi berdasarkan keputusan Badan Kehormatan. (2) Anggota . . . - 139 - (2) Anggota DPRD provinsi yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 327 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD provinsi. (3) Anggota DPRD provinsi yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 327 ayat (3) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD provinsi. Pasal 329 Jenis sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 328 ayat (1) berupa: a. teguran lisan; b. teguran tertulis; dan/atau c. diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan. Pasal 330 Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan pengaduan kepada Badan Kehormatan DPRD provinsi dalam hal memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat anggota DPRD provinsi yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 300 dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 327. Pasal 331 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan masyarakat dan penjatuhan sanksi diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata beracara badan kehormatan. Bagian Keempat Belas . . . - 140 - Bagian Keempat Belas Pemberhentian Antarwaktu, Penggantian Antarwaktu, dan Pemberhentian Sementara Paragraf 1 Pemberhentian Antarwaktu Pasal 332 (1) Anggota DPRD provinsi berhenti antarwaktu karena: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri; atau c. diberhentikan. (2) Anggota DPRD provinsi diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila: a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPRD provinsi selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun; b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD provinsi; c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; d. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPRD provinsi yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; e. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; f. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPRD provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum; g. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini; h. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau i. menjadi anggota partai politik lain. Pasal 333 . . . - 141 - Pasal 333 (1) Pemberhentian anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 332 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf e, huruf h, dan huruf i diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPRD provinsi dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri. (2) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPRD provinsi menyampaikan usul pemberhentian anggota DPRD provinsi kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk memperoleh peresmian pemberhentian. (3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), gubernur menyampaikan usul tersebut kepada Menteri Dalam Negeri. (4) Menteri Dalam Negeri meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usulan pemberhentian anggota DPRD provinsi dari gubernur. Pasal 334 (1) Pemberhentian anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 332 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, dan huruf g, dilakukan setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam keputusan badan kehormatan DPRD provinsi atas pengaduan dari pimpinan DPRD provinsi, masyarakat, dan/atau pemilih. (2) Keputusan badan kehormatan DPRD provinsi mengenai pemberhentian anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh badan kehormatan DPRD provinsi kepada rapat paripurna. (3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan badan kehormatan DPRD provinsi yang telah dilaporkan dalam rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pimpinan DPRD provinsi menyampaikan keputusan badan kehormatan DPRD provinsi kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan. (4) Pimpinan . . . - 142 - (4) Pimpinan partai politik yang bersangkutan menyampaikan keputusan tentang pemberhentian anggotanya kepada pimpinan DPRD provinsi, paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya keputusan badan kehormatan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dari pimpinan DPRD provinsi. (5) Dalam hal pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak memberikan keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPRD provinsi paling lama 7 (tujuh) hari meneruskan keputusan badan kehormatan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk memperoleh peresmian pemberhentian. (6) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (5), gubernur menyampaikan keputusan tersebut kepada Menteri Dalam Negeri. (7) Menteri Dalam Negeri meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keputusan badan kehormatan DPRD provinsi atau keputusan pimpinan partai politik tentang pemberhentian anggotanya dari gubernur. Pasal 335 (1) Dalam hal pelaksanaan penyelidikan dan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 334 ayat (1), badan kehormatan DPRD provinsi dapat meminta bantuan dari ahli independen. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelidikan, verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh badan kehormatan DPRD provinsi diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata beracara badan kehormatan. Paragraf 2 Penggantian Antarwaktu Pasal 336 (1) Anggota DPRD provinsi yang berhenti antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 333 ayat (1) dan Pasal 334 . . . - 143 - Pasal 334 ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPRD provinsi yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama. (2) Dalam hal calon anggota DPRD provinsi yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengundurkan diri, meninggal dunia, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPRD provinsi, anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPRD provinsi yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama. (3) Masa jabatan anggota DPRD provinsi pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPRD provinsi yang digantikannya. Pasal 337 (1) Pimpinan DPRD provinsi menyampaikan nama anggota DPRD provinsi yang diberhentikan antarwaktu dan meminta nama calon pengganti antarwaktu kepada KPU provinsi. (2) KPU provinsi menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 336 ayat (1) dan ayat (2) kepada pimpinan DPRD provinsi paling lambat 5 (lima) hari sejak diterimanya surat pimpinan DPRD provinsi. (3) Paling lambat 7 (tujuh) hari sejak menerima nama calon pengganti antarwaktu dari KPU provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pimpinan DPRD provinsi menyampaikan nama anggota DPRD provinsi yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur. (4) Paling lambat 7 (tujuh) hari sejak menerima nama anggota DPRD provinsi yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), gubernur menyampaikan nama anggota DPRD provinsi yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada Menteri Dalam Negeri. (5) Paling . . . - 144 - (5) Paling lambat 14 (empat belas) hari sejak menerima nama anggota DPRD provinsi yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu dari gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri Dalam Negeri meresmikan pemberhentian dan pengangkatannya dengan keputusan Menteri Dalam Negeri. (6) Sebelum memangku jabatannya, anggota DPRD provinsi pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengucapkan sumpah/janji yang pengucapannya dipandu oleh pimpinan DPRD provinsi, dengan tata cara dan teks sumpah/janji sebagaimana diatur dalam Pasal 295 dan Pasal 296. (7) Penggantian antarwaktu anggota DPRD provinsi tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota DPRD provinsi yang digantikan kurang dari 6 (enam) bulan. Pasal 338 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan penggantian antarwaktu, verifikasi terhadap persyaratan calon pengganti antarwaktu, dan peresmian calon pengganti antarwaktu anggota DPRD provinsi diatur dengan peraturan pemerintah. Paragraf 3 Pemberhentian Sementara Pasal 339 (1) Anggota DPRD provinsi diberhentikan sementara karena: a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; atau b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus. (2) Dalam hal anggota DPRD provinsi dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPRD provinsi yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPRD provinsi. (3) Dalam . . . - 145 - (3) Dalam hal anggota DPRD provinsi dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPRD provinsi yang bersangkutan diaktifkan. (4) Anggota DPRD provinsi yang diberhentikan sementara, tetap mendapatkan hak keuangan tertentu. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian sementara diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib. Bagian Kelima Belas Penyidikan Pasal 340 (1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPRD provinsi yang disangka melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri. (2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Menteri Dalam Negeri dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPRD provinsi: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau c. disangka melakukan tindak pidana khusus. BAB VI . . . - 146 - BAB VI DPRD KABUPATEN/KOTA Bagian Kesatu Susunan dan Kedudukan Pasal 341 DPRD kabupaten/kota terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum. Pasal 342 DPRD kabupaten/kota merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota. Bagian Kedua Fungsi Pasal 343 (1) DPRD kabupaten/kota mempunyai fungsi: a. legislasi; b. anggaran; dan c. pengawasan. (2) Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat di kabupaten/kota. Bagian Ketiga Tugas dan Wewenang Pasal 344 (1) DPRD kabupaten/kota mempunyai tugas dan wewenang: a. membentuk peraturan daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota; b. membahas . . . - 147 - b. membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/walikota; c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota; d. mengusulkan pengangkatan dan/atau pemberhentian bupati/walikota dan/atau wakil bupati/wakil walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian; e. memilih wakil bupati/wakil walikota dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil bupati/wakil walikota; f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota terhadap rencana perjanjian internasional di daerah; g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota; h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota; i. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah; j. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan k. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib. Bagian Keempat Keanggotaan Pasal 345 (1) Anggota DPRD kabupaten/kota berjumlah paling sedikit 20 (dua puluh) orang dan paling banyak 50 (lima puluh) orang. (2) Keanggotaan . . . - 148 - (2) Keanggotaan DPRD kabupaten/kota diresmikan dengan keputusan gubernur. (3) Anggota DPRD kabupaten/kota berdomisili di ibu kota kabupaten/kota yang bersangkutan. (4) Masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPRD kabupaten/kota yang baru mengucapkan sumpah/janji. Pasal 346 (1) Anggota DPRD kabupaten/kota sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama- sama yang dipandu oleh ketua pengadilan negeri dalam rapat paripurna DPRD kabupaten/kota. (2) Anggota DPRD kabupaten/kota yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan DPRD kabupaten/kota. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib. Pasal 347 Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346 sebagai berikut: "Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji: bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan; bahwa . . . - 149 - bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia." Pasal 348 (1) Dalam hal dilakukan pembentukan kabupaten/kota setelah pemilihan umum, pengisian anggota DPRD kabupaten/kota di kabupaten/kota induk dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum dilakukan dengan cara: a. menetapkan jumlah kursi DPRD kabupaten/kota induk dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum berdasarkan jumlah penduduk sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD; b. menetapkan perolehan suara partai politik dan calon anggota DPRD kabupaten/kota berdasarkan hasil pemilihan umum di daerah pemilihan kabupaten/kota induk dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum; c. menentukan bilangan pembagi pemilih berdasarkan hasil pemilihan umum di daerah pemilihan kabupaten/kota induk dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum; d. menentukan perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum berdasarkan hasil pemilihan umum di daerah pemilihan kabupaten/kota induk dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum; e. menetapkan calon terpilih dari daftar calon tetap untuk mengisi kursi sebagaimana dimaksud pada huruf d berdasarkan suara terbanyak. (2) Pengisian anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh KPU kabupaten/kota induk. (3) Pengisian anggota DPRD provinsi tidak dilakukan bagi kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum yang dibentuk 12 (dua belas) bulan sebelum pelaksanaan pemilihan umum. (4) Masa . . . - 150 - (4) Masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir pada saat anggota DPRD kabupaten/kota hasil pemilihan umum berikutnya mengucapkan sumpah/janji. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jumlah dan tata cara pengisian keanggotaan DPRD kabupaten/kota induk dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan KPU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kelima Hak DPRD Kabupaten/Kota Pasal 349 (1) DPRD kabupaten/kota mempunyai hak: a. interpelasi; b. angket; dan c. menyatakan pendapat. (2) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk meminta keterangan kepada bupati/walikota mengenai kebijakan pemerintah kabupaten/kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. (3) Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah kabupaten/kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan bupati/walikota atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket. Bagian Keenam . . . - 151 - Bagian Keenam Hak dan Kewajiban Anggota Paragraf 1 Hak Anggota Pasal 350 Anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai hak: a. mengajukan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota; b. mengajukan pertanyaan; c. menyampaikan usul dan pendapat; d. memilih dan dipilih; e. membela diri; f. imunitas; g. mengikuti orientasi dan pendalaman tugas; h. protokoler; dan i. keuangan dan administratif. Paragraf 2 Kewajiban Anggota Pasal 351 Anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai kewajiban: a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila; b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang- undangan; c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan; e. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat; f. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; g. menaati tata tertib dan kode etik; h. menjaga . . . - 152 - h. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota; i. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala; j. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan k. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya. Bagian Ketujuh Fraksi Pasal 352 (1) Untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota serta hak dan kewajiban anggota DPRD kabupaten/kota, dibentuk fraksi sebagai wadah berhimpun anggota DPRD kabupaten/kota. (2) Setiap anggota DPRD kabupaten/kota harus menjadi anggota salah satu fraksi. (3) Setiap fraksi di DPRD kabupaten/kota beranggotakan paling sedikit sama dengan jumlah komisi di DPRD kabupaten/kota. (4) Partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD kabupaten/kota mencapai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau lebih dapat membentuk 1 (satu) fraksi. (5) Dalam hal partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD kabupaten/kota tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), anggotanya dapat bergabung dengan fraksi yang ada atau membentuk fraksi gabungan. (6) Dalam hal tidak ada 1 (satu) partai politik yang memenuhi persyaratan untuk membentuk fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka dibentuk fraksi gabungan. (7) Jumlah fraksi gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) paling banyak 2 (dua) fraksi. (8) Partai . . . - 153 - (8) Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) harus mendudukkan anggotanya dalam 1 (satu) fraksi. (9) Fraksi mempunyai sekretariat. (10) Sekretariat DPRD kabupaten/kota menyediakan sarana, anggaran, dan tenaga ahli guna kelancaran pelaksanaan tugas fraksi sesuai dengan kebutuhan dan dengan memperhatikan kemampuan APBD. Bagian Kedelapan Alat Kelengkapan Pasal 353 (1) Alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota terdiri atas: a. pimpinan; b. Badan Musyawarah; c. komisi; d. Badan Legislasi Daerah; e. Badan Anggaran; f. Badan Kehormatan; dan g. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna. (2) Dalam menjalankan tugasnya, alat kelengkapan dibantu oleh sekretariat. (3) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, susunan, serta tugas dan wewenang alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib. Pasal 354 (1) Pimpinan DPRD kabupaten/kota terdiri atas: a. 1 (satu) orang ketua dan 3 (tiga) orang wakil ketua untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 45 (empat puluh lima) sampai dengan 50 (lima puluh) orang; b. 1 (satu) . . . - 154 - b. 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 44 (empat puluh empat) orang. (2) Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD kabupaten/kota. (3) Ketua DPRD kabupaten/kota ialah anggota DPRD kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPRD kabupaten/kota. (4) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ketua DPRD kabupaten/kota ialah anggota DPRD kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang memperoleh suara terbanyak. (5) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh suara terbanyak sama sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penentuan ketua DPRD kabupaten/kota dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara partai politik yang lebih luas secara berjenjang. (6) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wakil ketua DPRD kabupaten/kota ialah anggota DPRD kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang memperoleh suara terbanyak kedua, ketiga, dan/atau keempat. (7) Apabila masih terdapat kursi wakil ketua DPRD kabupaten/kota yang belum terisi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), maka kursi wakil ketua diisi oleh anggota DPRD kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua. (8) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua sama, wakil ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditentukan berdasarkan urutan hasil perolehan suara terbanyak. (9) Dalam . . . - 155 - (9) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (7), penentuan wakil ketua DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara partai politik yang lebih luas secara berjenjang. Pasal 355 (1) Dalam hal pimpinan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 354 ayat (1) belum terbentuk, DPRD kabupaten/kota dipimpin oleh pimpinan sementara DPRD kabupaten/kota. (2) Pimpinan sementara DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 1 (satu) orang wakil ketua yang berasal dari 2 (dua) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama dan kedua di DPRD kabupaten/kota. (3) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua sementara DPRD kabupaten/kota ditentukan secara musyawarah oleh wakil partai politik bersangkutan yang ada di DPRD kabupaten/kota. (4) Ketua dan wakil ketua DPRD kabupaten/kota diresmikan dengan keputusan gubernur. (5) Pimpinan DPRD kabupaten/kota sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji yang teksnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 347 yang dipandu oleh ketua pengadilan negeri. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan pimpinan DPRD kabupaten/kota diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib. Pasal 356 Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 353 ayat (1) huruf c dibentuk dengan ketentuan: a. DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang membentuk 3 (tiga) komisi; b. DPRD . . . - 156 - b. DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan lebih dari 35 (tiga puluh lima) orang membentuk 4 (empat) komisi. Bagian Kesembilan Pelaksanaan Hak DPRD Kabupaten/Kota Paragraf 1 Hak Interpelasi Pasal 357 (1) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 349 ayat (1) huruf a diusulkan oleh: a. paling sedikit 5 (lima) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang; b. paling sedikit 7 (tujuh) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan di atas 35 (tiga puluh lima) orang. (2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota. (3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak interpelasi DPRD kabupaten/kota apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD kabupaten/kota yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota dan putusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir. Pasal 358 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak interpelasi diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib. Paragraf 2 . . . - 157 - Paragraf 2 Hak Angket Pasal 359 (1) Hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 349 ayat (1) huruf b diusulkan oleh: a. paling sedikit 5 (lima) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang; b. paling sedikit 7 (tujuh) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan di atas 35 (tiga puluh lima) orang. (2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota. (3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak angket DPRD kabupaten/kota apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD kabupaten/kota yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir. Pasal 360 (1) DPRD kabupaten/kota memutuskan menerima atau menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 359 ayat (1). (2) Dalam hal DPRD kabupaten/kota menerima usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD kabupaten/kota membentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD kabupaten/kota dengan keputusan DPRD kabupaten/kota. (3) Dalam hal DPRD kabupaten/kota menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul tersebut tidak dapat diajukan kembali. Pasal 361 . . . - 158 - Pasal 361 (1) Panitia angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 ayat (2), dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 349 ayat (3), dapat memanggil pejabat pemerintah kabupaten/kota, badan hukum, atau warga masyarakat di kabupaten/kota yang dianggap mengetahui atau patut mengetahui masalah yang diselidiki untuk memberikan keterangan dan untuk meminta menunjukkan surat atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki. (2) Pejabat pemerintah kabupaten/kota, badan hukum, atau warga masyarakat di kabupaten/kota yang dipanggil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi panggilan DPRD kabupaten/kota kecuali ada alasan yang sah menurut peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal pejabat pemerintah kabupaten/kota, badan hukum, atau warga masyarakat di kabupaten/kota telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), DPRD kabupaten/kota dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 362 Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPRD kabupaten/kota paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia angket. Pasal 363 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak angket diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib. Paragraf 3 . . . - 159 - Paragraf 3 Hak Menyatakan Pendapat Pasal 364 (1) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 349 ayat (1) huruf c diusulkan oleh: a. paling sedikit 8 (delapan) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang; b. paling sedikit 10 (sepuluh) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan di atas 35 (tiga puluh lima) orang. (2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota. (3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak menyatakan pendapat DPRD kabupaten/kota apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD kabupaten/kota yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir. Pasal 365 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak menyatakan pendapat diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib. Bagian Kesepuluh Pelaksanaan Hak Anggota Paragraf 1 Hak Imunitas Pasal 366 (1) Anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai hak imunitas. (2) Anggota . . . - 160 - (2) Anggota DPRD kabupaten/kota tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPRD kabupaten/kota ataupun di luar rapat DPRD kabupaten/kota yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota. (3) Anggota DPRD kabupaten/kota tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPRD kabupaten/kota maupun di luar rapat DPRD kabupaten/kota yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 2 Hak Protokoler Pasal 367 (1) Pimpinan dan anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai hak protokoler. (2) Hak protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah. Paragraf 3 Hak Keuangan dan Administratif Pasal 368 (1) Pimpinan dan anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai hak keuangan dan administratif. (2) Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. (3) Dalam . . . - 161 - (3) Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, pimpinan dan anggota DPRD kabupaten/kota berhak memperoleh tunjangan yang besarannya disesuaikan dengan kemampuan daerah. (4) Pengelolaan keuangan dan tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilaksanakan oleh sekretariat DPRD kabupaten/kota sesuai dengan peraturan pemerintah. Bagian Kesebelas Persidangan dan Pengambilan Keputusan Paragraf 1 Persidangan Pasal 369 (1) Pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun sidang DPRD kabupaten/kota dimulai pada saat pengucapan sumpah/janji anggota. (2) Tahun sidang dibagi dalam 3 (tiga) masa persidangan. (3) Masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses, kecuali pada persidangan terakhir dari satu periode keanggotaan DPRD kabupaten/kota, masa reses ditiadakan. Pasal 370 Semua rapat di DPRD kabupaten/kota pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup. Pasal 371 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persidangan dan rapat diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib. Paragraf 2 . . . - 162 - Paragraf 2 Pengambilan Keputusan Pasal 372 (1) Pengambilan keputusan dalam rapat DPRD kabupaten/kota pada dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat. (2) Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Pasal 373 (1) Setiap rapat DPRD kabupaten/kota dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum. (2) Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila: a. rapat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota untuk mengambil persetujuan atas pelaksanaan hak angket dan hak menyatakan pendapat serta untuk mengambil keputusan mengenai usul pemberhentian bupati/walikota dan/atau wakil bupati/wakil walikota; b. rapat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota untuk memberhentikan pimpinan DPRD kabupaten/kota serta untuk menetapkan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah; c. rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPRD kabupaten/kota untuk rapat paripurna DPRD kabupaten/kota selain rapat sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b. (3) Keputusan rapat dinyatakan sah apabila: a. disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a; b. disetujui . . . - 163 - b. disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b; c. disetujui dengan suara terbanyak, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c. (4) Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, rapat ditunda paling banyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 1 (satu) jam. (5) Apabila pada akhir waktu penundaan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kuorum belum juga terpenuhi, pimpinan dapat menunda rapat paling lama 3 (tiga) hari atau sampai waktu yang ditetapkan oleh Badan Musyawarah. (6) Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, rapat tidak dapat mengambil keputusan. (7) Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, cara penyelesaiannya diserahkan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota dan pimpinan fraksi. Pasal 374 Setiap keputusan rapat DPRD kabupaten/kota, baik berdasarkan musyawarah untuk mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak, merupakan kesepakatan untuk ditindaklanjuti oleh semua pihak yang terkait dalam pengambilan keputusan. Pasal 375 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib. Bagian Kedua Belas . . . - 164 - Bagian Kedua Belas Tata Tertib dan Kode Etik Paragraf 1 Tata Tertib Pasal 376 (1) Tata tertib DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh DPRD kabupaten/kota dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. (2) Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPRD kabupaten/kota. (3) Tata tertib DPRD kabupaten/kota paling sedikit memuat ketentuan tentang: a. pengucapan sumpah/janji; b. penetapan pimpinan; c. pemberhentian dan penggantian pimpinan; d. jenis dan penyelenggaraan rapat; e. pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang lembaga, serta hak dan kewajiban anggota; f. pembentukan, susunan, serta tugas dan wewenang alat kelengkapan; g. penggantian antarwaktu anggota; h. pembuatan pengambilan keputusan; i. pelaksanaan konsultasi antara DPRD kabupaten/kota dan pemerintah daerah kabupaten/kota; j. penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat; k. pengaturan protokoler; dan l. pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli. Paragraf 2 Kode Etik Pasal 377 DPRD kabupaten/kota menyusun kode etik yang berisi norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPRD kabupaten/kota. Bagian Ketiga Belas . . . - 165 - Bagian Ketiga Belas Larangan dan Sanksi Paragraf 1 Larangan Pasal 378 (1) Anggota DPRD kabupaten/kota dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara atau pejabat daerah lainnya; b. hakim pada badan peradilan; atau c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD. (2) Anggota DPRD kabupaten/kota dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota serta hak sebagai anggota DPRD kabupaten/kota. (3) Anggota DPRD kabupaten/kota dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta dilarang menerima gratifikasi. Paragraf 2 Sanksi Pasal 379 (1) Anggota DPRD kabupaten/kota yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 dikenai sanksi berdasarkan keputusan Badan Kehormatan. (2) Anggota DPRD kabupaten/kota yang dinyatakan terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD kabupaten/kota. (3) Anggota . . . - 166 - (3) Anggota DPRD kabupaten/kota yang dinyatakan terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 ayat (3) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD kabupaten/kota. Pasal 380 Jenis sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 379 ayat (1) berupa: a. teguran lisan; b. teguran tertulis; dan/atau c. diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan. Pasal 381 Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan pengaduan kepada Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota dalam hal memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat anggota DPRD kabupaten/kota yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378. Pasal 382 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan masyarakat dan penjatuhan sanksi diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata beracara badan kehormatan. Bagian Keempat Belas Pemberhentian Antarwaktu, Penggantian Antarwaktu, dan Pemberhentian Sementara Paragraf 1 Pemberhentian Antarwaktu Pasal 383 (1) Anggota DPRD kabupaten/kota berhenti antarwaktu karena: a. meninggal dunia; b. mengundurkan . . . - 167 - b. mengundurkan diri; atau c. diberhentikan. (2) Anggota DPRD kabupaten/kota diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila: a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPRD kabupaten/kota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun; b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD kabupaten/kota; c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun penjara atau lebih; d. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; e. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; f. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPRD kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum; g. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini; h. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau i. menjadi anggota partai politik lain. Pasal 384 (1) Pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 383 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf e, huruf h, dan huruf i diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota dengan tembusan kepada gubernur. (2) Paling . . . - 168 - (2) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan usul pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota kepada gubernur melalui bupati/walikota untuk memperoleh peresmian pemberhentian. (3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bupati/walikota menyampaikan usul tersebut kepada gubernur. (4) Gubernur meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota dari bupati/walikota. Pasal 385 (1) Pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 383 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, dan huruf g, dilakukan setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam keputusan badan kehormatan DPRD kabupaten/kota atas pengaduan dari pimpinan DPRD kabupaten/kota, masyarakat, dan/atau pemilih. (2) Keputusan badan kehormatan DPRD kabupaten/kota mengenai pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh badan kehormatan DPRD kabupaten/kota kepada rapat paripurna. (3) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan badan kehormatan DPRD kabupaten/kota yang telah dilaporkan dalam rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan keputusan badan kehormatan DPRD kabupaten/kota kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan. (4) Pimpinan partai politik yang bersangkutan menyampaikan keputusan tentang pemberhentian anggotanya kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota, paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya keputusan badan kehormatan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dari pimpinan DPRD kabupaten/kota. (5) Dalam . . . - 169 - (5) Dalam hal pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak memberikan keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPRD kabupaten/kota meneruskan keputusan badan kehormatan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada gubernur melalui bupati/walikota untuk memperoleh peresmian pemberhentian. (6) Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (5), bupati/walikota menyampaikan keputusan tersebut kepada gubernur. (7) Gubernur meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keputusan badan kehormatan DPRD kabupaten/kota atau keputusan pimpinan partai politik tentang pemberhentian anggotanya dari bupati/walikota. Pasal 386 (1) Dalam hal pelaksanaan penyelidikan dan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 385 ayat (1), badan kehormatan DPRD kabupaten/kota dapat meminta bantuan dari ahli independen. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelidikan, verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh badan kehormatan DPRD kabupaten/kota diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata beracara badan kehormatan. Paragraf 2 Penggantian Antarwaktu Pasal 387 (1) Anggota DPRD kabupaten/kota yang berhenti antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 384 ayat (1) dan Pasal 385 ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPRD kabupaten/kota yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama. (2) Dalam . . . - 170 - (2) Dalam hal calon anggota DPRD kabupaten/kota yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota, anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPRD kabupaten/kota yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama. (3) Masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota yang digantikannya. Pasal 388 (1) Pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan nama anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan antarwaktu dan meminta nama calon pengganti antarwaktu kepada KPU kabupaten/kota. (2) KPU kabupaten/kota menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 387 ayat (1) dan ayat (2) kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota paling lambat 5 (lima) hari sejak diterimanya surat pimpinan DPRD kabupaten/kota. (3) Paling lambat 7 (tujuh) hari sejak menerima nama calon pengganti antarwaktu dari KPU kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan nama anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada gubernur melalui bupati/walikota. (4) Paling lambat 7 (tujuh) hari sejak menerima nama anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), bupati/walikota menyampaikan nama anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada gubernur. (5) Paling . . . - 171 - (5) Paling lambat 14 (empat belas) hari sejak menerima nama anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu dari bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (4), gubernur meresmikan pemberhentian dan pengangkatannya dengan keputusan gubernur. (6) Sebelum memangku jabatannya, anggota DPRD kabupaten/kota pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengucapkan sumpah/janji yang pengucapannya dipandu oleh pimpinan DPRD kabupaten/kota, dengan tata cara dan teks sumpah/janji sebagaimana diatur dalam Pasal 346 dan Pasal 347. (7) Penggantian antarwaktu anggota DPRD kabupaten/kota tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota yang digantikan kurang dari 6 (enam) bulan. Pasal 389 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan penggantian antarwaktu, verifikasi terhadap persyaratan calon pengganti antarwaktu, dan peresmian calon pengganti antarwaktu anggota DPRD kabupaten/kota diatur dengan peraturan pemerintah. Paragraf 3 Pemberhentian Sementara Pasal 390 (1) Anggota DPRD kabupaten/kota diberhentikan sementara karena: a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; atau b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus. (2) Dalam . . . - 172 - (2) Dalam hal anggota DPRD kabupaten/kota dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPRD kabupaten/kota yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPRD kabupaten/kota. (3) Dalam hal anggota DPRD kabupaten/kota dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPRD kabupaten/kota yang bersangkutan diaktifkan. (4) Anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan sementara, tetap mendapatkan hak keuangan tertentu. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian sementara diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib. Bagian Kelima Belas Penyidikan Pasal 391 (1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPRD kabupaten/kota yang disangka melakukan perbuatan pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari gubernur. (2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh gubernur dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPRD kabupaten/kota: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; b. disangka . . . - 173 - b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau c. disangka melakukan tindak pidana khusus. BAB VII SISTEM PENDUKUNG Bagian Kesatu Sistem Pendukung MPR, DPR, dan DPD Paragraf 1 Organisasi Pasal 392 (1) Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang MPR, DPR, dan DPD, dibentuk Sekretariat Jenderal MPR, Sekretariat Jenderal DPR, dan Sekretariat Jenderal DPD yang susunan organisasi dan tata kerjanya diatur dengan peraturan Presiden atas usul lembaga masing-masing. (2) Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang DPR, dibentuk badan fungsional/keahlian yang ditetapkan dengan peraturan DPR setelah dikonsultasikan dengan Pemerintah. (3) Badan fungsional/keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara fungsional bertanggung jawab kepada DPR dan secara administratif berada di bawah Sekretariat Jenderal DPR. (4) Pimpinan MPR, pimpinan DPR, dan pimpinan DPD melalui alat kelengkapan melakukan koordinasi dalam rangka pengelolaan sarana dan prasarana dalam kawasan gedung perkantoran MPR, DPR, dan DPD. Paragraf 2 . . . - 174 - Paragraf 2 Pimpinan Organisasi Pasal 393 (1) Sekretariat Jenderal MPR, Sekretariat Jenderal DPR, dan Sekretariat Jenderal DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 392, masing-masing dipimpin oleh seorang sekretaris jenderal yang diusulkan oleh pimpinan lembaga masing-masing sebanyak 3 (tiga) orang kepada Presiden. (2) Sekretaris jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada dasarnya berasal dari pegawai negeri sipil profesional yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Sebelum mengajukan usul nama calon sekretaris jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pimpinan lembaga masing-masing harus berkonsultasi dengan Pemerintah. (4) Usul nama calon Sekretaris Jenderal MPR, Sekretaris Jenderal DPR, dan Sekretaris Jenderal DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan keputusan pimpinan lembaga masing-masing untuk diangkat dengan keputusan Presiden. (5) Dalam melaksanakan tugasnya, Sekretaris Jenderal MPR, Sekretaris Jenderal DPR, dan Sekretaris Jenderal DPD bertanggung jawab kepada pimpinan lembaga masing- masing. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan dan tata cara pertanggungjawaban sekretaris jenderal diatur dengan peraturan lembaga masing-masing. Paragraf 3 Pegawai Pasal 394 (1) Pegawai Sekretariat Jenderal MPR, Sekretariat Jenderal DPR dan badan fungsional/keahlian DPR, serta Sekretariat Jenderal DPD terdiri atas pegawai negeri sipil dan pegawai tidak tetap. (2) Ketentuan . . . - 175 - (2) Ketentuan mengenai manajemen kepegawaian MPR, DPR, dan DPD diatur dengan peraturan lembaga masing- masing yang dibahas bersama dengan Pemerintah untuk ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Paragraf 4 Kelompok Pakar atau Tim Ahli Pasal 395 (1) Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang DPR dan DPD dibentuk kelompok pakar atau tim ahli yang diperbantukan terutama kepada anggota. (2) Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan dengan keputusan Sekretaris Jenderal DPR atau Sekretaris Jenderal DPD sesuai dengan kebutuhan atas usul anggota. Bagian Kedua Sistem Pendukung DPRD Provinsi Paragraf 1 Sekretariat Pasal 396 (1) Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang DPRD provinsi, dibentuk sekretariat DPRD provinsi yang susunan organisasi dan tata kerjanya ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Sekretariat DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris DPRD provinsi yang diangkat dan diberhentikan dengan keputusan gubernur atas persetujuan pimpinan DPRD provinsi. (3) Sekretaris DPRD provinsi dan pegawai sekretariat DPRD provinsi berasal dari pegawai negeri sipil. Paragraf 2 . . . - 176 - Paragraf 2 Kelompok Pakar atau Tim Ahli Pasal 397 (1) Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang DPRD provinsi, dibentuk kelompok pakar atau tim ahli. (2) Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan dengan keputusan sekretaris DPRD provinsi sesuai dengan kebutuhan atas usul anggota dan kemampuan daerah. (3) Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bekerja sesuai dengan pengelompokan tugas dan wewenang DPRD provinsi yang tercermin dalam alat kelengkapan DPRD provinsi. Bagian Ketiga Sistem Pendukung DPRD Kabupaten/Kota Paragraf 1 Sekretariat Pasal 398 (1) Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota, dibentuk sekretariat DPRD kabupaten/kota yang susunan organisasi dan tata kerjanya ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Sekretariat DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris DPRD kabupaten/kota yang diangkat dan diberhentikan dengan keputusan bupati/walikota atas persetujuan pimpinan DPRD kabupaten/kota. (3) Sekretaris DPRD kabupaten/kota dan pegawai sekretariat DPRD kabupaten/kota berasal dari pegawai negeri sipil. Paragraf 2 Kelompok Pakar atau Tim Ahli Pasal 399 (1) Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota, dibentuk kelompok pakar atau tim ahli. (2) Kelompok . . . - 177 - (2) Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan dengan keputusan sekretaris DPRD kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan atas usul anggota dan kemampuan daerah. (3) Kelompok pakar atau tim ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bekerja sesuai dengan pengelompokan tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota yang tercermin dalam alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota. BAB VIII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 400 Undang-Undang ini berlaku juga bagi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), dewan perwakilan rakyat kabupaten/kota (DPRK) di Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) di Provinsi Papua, dan DPRD Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur khusus dalam undang-undang tersendiri. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 401 Penyampaian rincian unit organisasi, fungsi, program, dan kegiatan untuk pembicaraan pendahuluan dalam rangka penyusunan rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (1) huruf c mulai dilaksanakan tahun 2012 untuk penyusunan APBN Tahun 2013. Pasal 402 Penyediaan kantor DPD di setiap ibu kota provinsi untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 ayat (4) dilakukan secara bertahap oleh Pemerintah paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. [[[[[[ Pasal 403 Bagi kabupaten/kota yang dibentuk sebelum pemilihan umum tahun 2009 dan belum terbentuk DPRD kabupaten/kota, pengisian keanggotaannya berlaku ketentuan Pasal 348 Undang-Undang ini. Pasal 404 . . . - 178 - Pasal 404 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4310) tetap berlaku bagi MPR, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota hasil Pemilihan Umum Tahun 2004 sampai dengan pengucapan sumpah/janji anggota MPR, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota hasil pemilihan umum berikutnya. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 405 Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 406 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai MPR, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dan ketentuan undang-undang lainnya dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini atau tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini. Pasal 407 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4310), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 408 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar . . . - 179 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 29 Agustus 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Agustus 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 123 Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat, Wisnu Setiawan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat yang dalam pelaksanaannya menganut prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat berdasarkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, perlu diwujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah yang mampu mengejewantahkan nilai-nilai demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat, termasuk kepentingan daerah, agar sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejalan dengan perkembangan kehidupan ketatanegaraan dan politik bangsa, termasuk perkembangan dalam lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah, dan lembaga perwakilan rakyat daerah telah dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dimaksudkan sebagai upaya penataan susunan dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam rangka mewujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah, serta lembaga perwakilan rakyat daerah. Untuk mengembangkan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, perlu diwujudkan lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai penyelenggara pemerintahan daerah bersama dengan pemerintah daerah sehingga mampu mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk . . . -2- Untuk mewujudkan lembaga permusyawaratan/perwakilan yang lebih mampu mengejawantahkan nilai-nilai demokratis dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara, perlu penataan kembali kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam membentuk undang-undang yang mengatur secara komprehensif tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, terjadi pengubahan judul, dengan menghapus frasa "Susunan dan Kedudukan" yang tercantum dalam judul Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003. Penghapusan tersebut dimaksudkan untuk tidak membatasi pengaturan yang hanya terbatas pada materi muatan susunan dan kedudukan lembaga, tetapi juga mengatur hal- hal lain yang lebih bersifat komprehensif. Berkaitan dengan penguatan dan pengefektifan kelembagaan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, terdapat penambahan, pengubahan penamaan (nomenklatur), dan penghapusan alat kelengkapan dalam rangka mendukung fungsi serta tugas dan wewenang kelembagaan tersebut. Di MPR, alat kelengkapan Badan Kehormatan dihapus karena dipandang alat kelengkapan tersebut telah ada di lembaga DPR dan DPD yang anggotanya sebagai unsur MPR. Di DPR dibentuk alat kelengkapan baru, yaitu Badan Akuntabilitas Keuangan Negara sebagai alat kelengkapan yang bersifat tetap yang berfungsi untuk menindaklanjuti laporan hasil pemeriksaan BPK dalam hal pengawasan penggunaan keuangan negara sehingga diharapkan keberadaan alat kelengkapan ini berkontribusi positif dalam pelaksanaan transparansi dan akuntabilitas penggunaan keuangan negara. Selanjutnya, terdapat pula alat kelengkapan di DPR yang mengalami pengubahan nomenklatur yaitu Panitia Anggaran diubah menjadi Badan Anggaran, yang bermaksud untuk menegaskan alat kelengkapan tersebut bersifat permanen. Di DPD pengubahan terjadi pada nomenklatur panitia ad hoc yang diubah menjadi panitia kerja, serta menghapus alat kelengkapan Panitia Kerja Sama Lembaga Perwakilan. Di DPRD terdapat penggantian nomenklatur panitia menjadi badan agar lebih jelas keberadaan kelembagaan politiknya, yaitu Panitia Musyawarah menjadi Badan Musyawarah dan Panitia Anggaran menjadi Badan Anggaran. Berkaitan dengan alat kelengkapan di MPR, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, perlu memperhatikan keterwakilan perempuan sebagai pimpinan alat kelengkapan. Dalam rangka penguatan fungsi legislasi DPR sebagai suatu pelaksanaan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu pula diatur lebih lanjut mengenai penguatan peran DPR dalam proses perancangan, pembentukan, dan sekaligus pembahasan rancangan undang- undang. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjawab kritik bahwa DPR kurang maksimal dalam menjalankan fungsi legislasi. Artinya adalah bahwa di . . . -3- di satu sisi kinerja DPR yang berkaitan dengan legislasi diusahakan seoptimal mungkin, tetapi di sisi lain secara individual juga dituntut tanggung jawab untuk menghasilkan produk legislasi yang benar-benar berkualitas serta benar-benar berorientasi pada kebutuhan rakyat dan bangsa. Berkaitan dengan pelaksanaan fungsi legislasi, kedudukan DPD perlu ditempatkan secara tepat dalam proses pembahasan rancangan undang- undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedudukan DPD dalam proses pembahasan rancangan undang-undang tersebut sampai pada pembahasan tingkat pertama dan tidak turut serta dalam proses pengambilan keputusan. Konteks penguatan DPRD dimaksudkan agar hubungannya dengan pemerintah daerah dapat berjalan secara serasi dan tidak saling mendominasi satu sama lain. Konteks penguatan ini secara kelembagaan dilaksanakan melalui keseimbangan antara mengelola dinamika politik di satu pihak dan tetap menjaga stabilitas pemerintahan daerah di pihak lain sehingga pola keseimbangan pengelolaan pemerintahan daerah yang dilakukan dapat memberikan manfaat secara signifikan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah tersebut sehingga secara agregatif akan berkontribusi terhadap pembangunan nasional dan fundamental integrasi bangsa secara keseluruhan. Hal penting lainnya yang menjadi perhatian adalah keberadaan sistem pendukung yang menunjang fungsi serta tugas dan wewenang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Perlunya dukungan yang kuat, tidak terbatas pada dukungan sarana, prasarana, dan anggaran, tetapi juga pada dukungan keahlian. Dengan demikian, perlu penataan kelembagaan sekretariat jenderal di MPR, DPR, dan DPD, serta sekretariat di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Hal itu diwujudkan dalam pengadaan sumber daya manusia, alokasi anggaran, dan sekaligus pertanggungjawaban publik unit pendukung dalam menjalankan tugasnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam rangka meningkatkan peran dan tanggung jawab lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah untuk mengembangkan kehidupan demokrasi, menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan wewenang lembaga, serta mengembangkan mekanisme checks and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif, serta meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kinerja anggota . . . -4- anggota lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Pengusulan 2 (dua) calon wakil presiden kepada MPR merupakan prakarsa Presiden. Dua calon wakil presiden tersebut berasal dari 1 (satu) partai politik atau gabungan partai politik yang mengajukan pasangan calon tersebut dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Huruf f Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Untuk mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan wewenang MPR perlu disediakan anggaran yang mencukupi sesuai dengan kemampuan keuangan negara. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "pertanggungjawaban pengelolaan anggaran MPR" adalah format dan prosedur pengelolaan anggaran. Ayat (5) . . . -5- Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai frasa tertentu sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut agama Islam didahului dengan frasa "Demi Allah", untuk penganut agama Protestan dan Katolik diakhiri dengan frasa "Semoga Tuhan menolong saya", untuk penganut agama Budha didahului dengan frasa "Demi Hyang Adi Budha", dan untuk penganut agama Hindu didahului dengan frasa "Om Atah Paramawisesa". Pada hakikatnya, sumpah/janji merupakan tekad untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya, memegang teguh Pancasila, menegakkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan peraturan perundang- undangan yang mengandung konsekuensi berupa kewajiban dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota MPR. Pasal 9 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan" adalah dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang MPR. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan "hak protokoler" adalah hak anggota MPR untuk memperoleh penghormatan berkenaan dengan jabatannya baik dalam acara kenegaraan atau dalam acara resmi maupun dalam melaksanakan tugasnya. Huruf g Cukup jelas. Pasal 10 . . . -6- Pasal 10 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Kepentingan kelompok dan golongan dalam ketentuan ini termasuk kepentingan partai politik, daerah, suku, agama, dan ras. Huruf e Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "mengoordinasikan" adalah mempersiapkan anggota MPR untuk memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada saat menjalankan tugas dan wewenangnya pada lembaga masing-masing. Ketentuan ini tidak menutup kesempatan bagi Pemerintah dan masyarakat untuk memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Huruf f Dalam mewakili MPR di pengadilan, pimpinan dapat menunjuk kuasa hukum. Huruf g . . . -7- Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Huruf a Pernyataan meninggal dunia dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan/atau pejabat yang berwenang. Huruf b Pernyataan mengundurkan diri dibuat secara tertulis di atas kertas yang bermeterai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap" adalah menderita sakit yang mengakibatkan baik fisik maupun mental tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang berwenang dan/atau tidak diketahui keberadaannya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 . . . -8- Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) . . . -9- Ayat (7) Dalam hal pelantikan Presiden dan Wakil Presiden di hadapan rapat paripurna DPR, Berita Acara Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden ditandatangani oleh pimpinan MPR. Ayat (8) Pidato awal masa jabatan disampaikan oleh Presiden: a. dalam sidang paripurna MPR apabila pengucapan sumpah/janji di hadapan sidang paripurna MPR; b. dalam rapat paripurna DPR apabila pengucapan sumpah/janji di hadapan rapat paripurna DPR; atau c. di hadapan pimpinan MPR dan pimpinan Mahkamah Agung apabila pengucapan sumpah/janji dilakukan di hadapan pimpinan MPR dan pimpinan Mahkamah Agung. Pasal 34 Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai frasa tertentu sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut agama Islam didahului dengan frasa "Demi Allah", untuk penganut agama Protestan dan Katolik diakhiri dengan frasa "Semoga Tuhan menolong saya", untuk penganut agama Budha didahului dengan frasa "Demi Hyang Adi Budha", dan untuk penganut agama Hindu didahului dengan frasa "Om Atah Paramawisesa". Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 . . . - 10 - Pasal 42 Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai frasa tertentu sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut agama Islam didahului dengan frasa "Demi Allah", untuk penganut agama Protestan dan Katolik diakhiri dengan frasa "Semoga Tuhan menolong saya", untuk penganut agama Budha didahului dengan frasa "Demi Hyang Adi Budha", dan untuk penganut agama Hindu didahului dengan frasa "Om Atah Paramawisesa". Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai frasa tertentu sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut agama Islam didahului dengan frasa "Demi Allah", untuk penganut agama Protestan dan Katolik diakhiri dengan frasa "Semoga Tuhan menolong saya", untuk penganut agama Budha didahului dengan frasa "Demi Hyang Adi Budha", dan untuk penganut agama Hindu didahului dengan frasa "Om Atah Paramawisesa". Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 . . . - 11 - Pasal 53 Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai frasa tertentu sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut agama Islam didahului dengan frasa "Demi Allah", untuk penganut agama Protestan dan Katolik diakhiri dengan frasa "Semoga Tuhan menolong saya", untuk penganut agama Budha didahului dengan frasa "Demi Hyang Adi Budha", dan untuk penganut agama Hindu didahului dengan frasa "Om Atah Paramawisesa". Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Pidato pelantikan disampaikan oleh Presiden: a. dalam sidang paripurna MPR apabila pengucapan sumpah/janji di hadapan sidang paripurna MPR; b. dalam rapat paripurna DPR apabila pengucapan sumpah/janji di hadapan rapat paripurna DPR; atau c. di hadapan pimpinan MPR dan pimpinan Mahkamah Agung apabila pengucapan sumpah/janji dilakukan di hadapan pimpinan MPR dan pimpinan Mahkamah Agung. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c . . . - 12 - Huruf c Ketentuan ini harus mencerminkan unsur anggota DPR dan anggota DPD. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pelaksanaan fungsi DPR terhadap kerangka representasi rakyat dilakukan antara lain melalui pembukaan ruang partisipasi publik, transparansi pelaksanaan fungsi, dan pertanggungjawaban kerja DPR kepada rakyat. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Ayat (1) Untuk mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan wewenang DPR, perlu disediakan anggaran yang mencukupi sesuai dengan kemampuan keuangan negara. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) . . . - 13 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "pertanggungjawaban pengelolaan anggaran DPR" adalah format dan prosedur pengelolaan anggaran. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 74 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Selama menjadi anggota DPR, yang bersangkutan harus berdomisili di ibu kota Negara Republik Indonesia untuk menjamin kelancaran pelaksanaan tugas penuh waktu. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai frasa tertentu sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut agama Islam didahului dengan frasa "Demi Allah", untuk penganut agama Protestan dan Katolik diakhiri dengan frasa "Semoga Tuhan menolong saya", untuk penganut agama Budha didahului dengan frasa "Demi Hyang Adi Budha", dan untuk penganut agama Hindu didahului dengan frasa "Om Atah Paramawisesa". Pada hakikatnya, sumpah/janji merupakan tekad untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya, memegang teguh Pancasila, menegakkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan peraturan perundang- undangan yang mengandung konsekuensi berupa kewajiban dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota DPR. Pasal 77 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) . . . - 14 - Ayat (3) Pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 78 Huruf a Hak ini dimaksudkan untuk mendorong anggota DPR menyikapi dan menyalurkan serta menindaklanjuti aspirasi rakyat yang diwakilinya dalam bentuk pengajuan usul rancangan undang-undang. Huruf b Hak anggota DPR untuk mengajukan pertanyaan baik secara lisan maupun tertulis kepada Pemerintah sesuai dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPR. Huruf c Hak anggota DPR untuk menyampaikan usul dan pendapat secara leluasa baik kepada Pemerintah maupun kepada DPR sendiri sehingga ada jaminan kemandirian sesuai dengan panggilan hati nurani serta kredibilitasnya. Oleh karena itu, setiap anggota DPR tidak dapat diarahkan oleh siapa pun di dalam proses pengambilan keputusan. Namun, tata cara penyampaian usul dan pendapat dimaksud tetap memperhatikan tata krama, etika, moral, sopan santun, dan kepatutan sebagai wakil rakyat. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan "hak protokoler" adalah hak anggota DPR untuk memperoleh penghormatan berkenaan dengan jabatannya, baik dalam acara kenegaraan atau dalam acara resmi maupun dalam melaksanakan tugasnya. Huruf h Cukup jelas. Pasal 79 Huruf a Cukup jelas. Huruf b . . . - 15 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Kepentingan kelompok dan golongan dalam ketentuan ini termasuk kepentingan partai politik, daerah, agama, ras, dan suku. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Yang dimaksud dengan "kunjungan kerja secara berkala" adalah kewajiban anggota DPR untuk bertemu dengan konstituennya secara rutin pada setiap masa reses, yang hasil pertemuannya dengan konstituen dilaporkan secara tertulis kepada partai politik melalui fraksinya di DPR. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Pemberian pertanggungjawaban secara moral dan politis disampaikan kepada pemilih di daerah pemilihannya pada setiap masa reses dan masa sidang melalui perjuangan politik yang menyangkut aspirasi pemilihnya. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g . . . - 16 - Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Panitia khusus dibentuk untuk melaksanakan fungsi legislasi dan/atau fungsi pengawasan, termasuk menangani masalah/urusan yang bersifat mendesak atau memerlukan penanganan segera. Huruf k Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Ayat (1) Partai politik yang urutan perolehan kursinya terbanyak di DPR dan berhak mengisi kursi pimpinan DPR, melalui pimpinan partai politik mengajukan anggota DPR yang akan ditetapkan menjadi pimpinan DPR kepada pimpinan sementara DPR. Berdasarkan pengajuan tersebut, pimpinan sementara DPR mengumumkan dalam rapat paripurna adanya usulan pimpinan partai politik tersebut untuk ditetapkan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 84 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d . . . - 17 - Huruf d Cukup jelas. Huruf e Dalam memasyarakatkan keputusan DPR, pimpinan dapat menugasi anggota DPR. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Dalam mewakili DPR di pengadilan, pimpinan dapat menunjuk kuasa hukum. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 85 Ayat (1) Huruf a Pernyataan meninggal dunia dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan/atau pejabat yang berwenang. Huruf b Pernyataan mengundurkan diri dibuat secara tertulis di atas kertas yang bermeterai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap" adalah menderita sakit yang mengakibatkan baik fisik maupun mental tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang berwenang, tidak diketahui keberadaannya, dan/atau tidak hadir dalam rapat tanpa keterangan apa pun selama 3 (tiga) bulan berturut-turut. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d . . . - 18 - Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Cukup jelas. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 . . . - 19 - Pasal 96 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2 ) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Yang dimaksud dengan "bersifat mengikat" adalah kesepakatan untuk ditindaklanjuti. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 97 Jumlah komisi disesuaikan dengan jumlah institusi pemerintah yang meliputi kementerian negara, lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau sekretariat lembaga negara. Ruang lingkup tugas komisi disesuaikan dengan ruang lingkup kementerian negara, lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau sekretariat lembaga negara, dengan mempertimbangkan keefektifan tugas DPR. Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 . . . - 20 - Pasal 105 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Jumlah anggota Badan Anggaran memberikan alokasi yang lebih banyak terhadap komisi yang menangani urusan keuangan negara. Pasal 106 Cukup jelas. Pasal 107 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "prognosis" adalah perkiraan realisasi APBN. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 108 Cukup jelas. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Cukup jelas. Pasal 111 Cukup jelas. Pasal 112 Cukup jelas. Pasal 113 . . . - 21 - Pasal 113 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, badan usaha milik negara, badan layanan umum, badan usaha milik daerah, dalam ketentuan ini diwakili oleh pejabat teknis di bawah menteri/ketua lembaga/gubernur/bupati/walikota dan/atau direktur/manajer teknis badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah. Lembaga atau badan lain dalam ketentuan ini antara lain badan hukum milik negara, yayasan yang mendapat fasilitas negara, komisi yang dibentuk dengan undang-undang, dan badan swasta yang menerima dan/atau mengelola keuangan negara. Ayat (3) Pemeriksaan lanjutan berupa pemeriksaan hal-hal yang berkaitan dengan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Cukup jelas. Pasal 116 Cukup jelas. Pasal 117 Cukup jelas. Pasal 118 Cukup jelas. Pasal 119 Cukup jelas. Pasal 120 Cukup jelas. Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 122 . . . - 22 - Pasal 122 Cukup jelas. Pasal 123 Cukup jelas. Pasal 124 Cukup jelas. Pasal 125 Cukup jelas. Pasal 126 Cukup jelas. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Cukup jelas. Pasal 129 Cukup jelas. Pasal 130 Cukup jelas. Pasal 131 Cukup jelas. Pasal 132 Cukup jelas. Pasal 133 Cukup jelas. Pasal 134 Cukup jelas. Pasal 135 Cukup jelas. Pasal 136 Cukup jelas. Pasal 137 Cukup jelas. Pasal 138 . . . - 23 - Pasal 138 Cukup jelas. Pasal 139 Cukup jelas. Pasal 140 Cukup jelas. Pasal 141 Cukup jelas. Pasal 142 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pada prinsipnya semua naskah rancangan undang-undang harus disertai naskah akademik, tetapi beberapa rancangan undang-undang seperti rancangan undang-undang tentang APBN, rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang, rancangan undang-undang tentang pengesahan perjanjian internasional, atau rancangan undang-undang yang hanya terbatas mengubah beberapa materi yang sudah memiliki naskah akademik sebelumnya dapat disertai atau tidak disertai naskah akademik. Pasal 143 Cukup jelas. Pasal 144 Cukup jelas. Pasal 145 Cukup jelas. Pasal 146 Cukup jelas. Pasal 147 Cukup jelas. Pasal 148 Cukup jelas. Pasal 149 Cukup jelas. Pasal 150 . . . - 24 - Pasal 150 Cukup jelas. Pasal 151 Ayat (1) Huruf a Pendapat mini DPD hanya disampaikan terhadap rancangan undang-undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 152 Cukup jelas. Pasal 153 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam menyiapkan atau membahas rancangan undang-undang anggota dapat melakukan kegiatan dalam kerangka kegiatan alat kelengkapan DPR, antara lain rapat dengar pendapat, rapat dengar pendapat umum, seminar, lokakarya, dan kunjungan kerja. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 154 Cukup jelas. Pasal 155 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam pembahasan rencana kerja Pemerintah, DPR mendapat masukan dari masyarakat. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 156 Cukup jelas. Pasal 157 . . . - 25 - Pasal 157 Cukup jelas. Pasal 158 Cukup jelas. Pasal 159 Cukup jelas. Pasal 160 Cukup jelas. Pasal 161 Cukup jelas. Pasal 162 Cukup jelas. Pasal 163 Cukup jelas. Pasal 164 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pembahasan dilakukan antara lain dengan: a. penelitian administrasi; b. penyampaian visi dan misi; c. uji kepatutan dan kelayakan; dan/atau d. memperhatikan keterwakilan perempuan. Pasal 165 Cukup jelas. Pasal 166 Cukup jelas. Pasal 167 Cukup jelas. Pasal 168 Cukup jelas. Pasal 169 . . . - 26 - Pasal 169 Cukup jelas. Pasal 170 Cukup jelas. Pasal 171 Cukup jelas. Pasal 172 Cukup jelas. Pasal 173 Cukup jelas. Pasal 174 Cukup jelas. Pasal 175 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "menerima keterangan dan jawaban Presiden" adalah menerima tanpa catatan atau menerima dengan catatan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 176 Cukup jelas. Pasal 177 Cukup jelas. Pasal 178 Cukup jelas. Pasal 179 Cukup jelas. Pasal 180 Cukup jelas. Pasal 181 Cukup jelas. Pasal 182 . . . - 27 - Pasal 182 Cukup jelas. Pasal 183 Cukup jelas. Pasal 184 Cukup jelas. Pasal 185 Cukup jelas. Pasal 186 Cukup jelas. Pasal 187 Cukup jelas. Pasal 188 Cukup jelas. Pasal 189 Cukup jelas. Pasal 190 Cukup jelas. Pasal 191 Cukup jelas. Pasal 192 Cukup jelas. Pasal 193 Cukup jelas. Pasal 194 Cukup jelas. Pasal 195 Cukup jelas. Pasal 196 Cukup jelas. Pasal 197 Cukup jelas. Pasal 198 . . . - 28 - Pasal 198 Cukup jelas. Pasal 199 Cukup jelas. Pasal 200 Cukup jelas. Pasal 201 Cukup jelas. Pasal 202 Cukup jelas. Pasal 203 Cukup jelas. Pasal 204 Cukup jelas. Pasal 205 Cukup jelas. Pasal 206 Cukup jelas. Pasal 207 Cukup jelas. Pasal 208 Cukup jelas. Pasal 209 Cukup jelas. Pasal 210 Cukup jelas. Pasal 211 Cukup jelas. Pasal 212 Cukup jelas. Pasal 213 . . . - 29 - Pasal 213 Ayat (1) Huruf a Pernyataan meninggal dunia dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan/atau pejabat yang berwenang. Huruf b Pernyataan mengundurkan diri dibuat secara tertulis di atas kertas yang bermeterai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap" adalah menderita sakit yang mengakibatkan baik fisik maupun mental tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang berwenang, tidak diketahui keberadaannya, dan/atau tidak hadir dalam rapat tanpa keterangan apa pun selama 3 (tiga) bulan berturut-turut. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Dalam hal anggota partai politik diberhentikan oleh partai politiknya dan yang bersangkutan mengajukan keberatan melalui pengadilan, pemberhentiannya sah setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Huruf i Ketentuan ini dikecualikan terhadap anggota partai politik lokal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pasal 214 . . . - 30 - Pasal 214 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pimpinan partai politik" adalah ketua umum atau sebutan lain yang sejenis sesuai dengan anggaran dasar/anggaran rumah tangga partai politik masing-masing. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 215 Cukup jelas. Pasal 216 Cukup jelas. Pasal 217 Cukup jelas. Pasal 218 Cukup jelas. Pasal 219 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "hak keuangan tertentu" adalah hak keuangan yang meliputi gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan pangan, tunjangan jabatan, dan uang paket. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 220 Cukup jelas. Pasal 221 Cukup jelas. Pasal 222 Cukup jelas. Pasal 223 Cukup jelas. Pasal 224 . . . - 31 - Pasal 224 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Yang dimaksud dengan "ikut serta" adalah memberikan masukan secara aktif dengan mengajukan daftar rancangan undang-undang dan membahasnya dengan Badan Legislasi DPR. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 225 Ayat (1) Untuk mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan wewenangnya kepada DPD, perlu disediakan anggaran yang mencukupi sesuai dengan kemampuan keuangan negara. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "pertanggungjawaban pengelolaan anggaran DPD" adalah format dan prosedur pengelolaan anggaran. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 226 Cukup jelas. Pasal 227 Cukup jelas. Pasal 228 . . . - 32 - Pasal 228 Cukup jelas. Pasal 229 Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai frasa tertentu sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut agama Islam didahului dengan frasa "Demi Allah", untuk penganut agama Protestan dan Katolik diakhiri dengan frasa "Semoga Tuhan menolong saya", untuk penganut agama Budha didahului dengan frasa "Demi Hyang Adi Budha", dan untuk penganut agama Hindu didahului dengan frasa "Om Atah Paramawisesa". Pada hakikatnya, sumpah/janji adalah tekad untuk memperjuangkan aspirasi daerah yang diwakilinya dengan memegang teguh Pancasila dan menegakkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan yang mengandung konsekuensi berupa kewajiban dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota DPD. Pasal 230 Cukup jelas. Pasal 231 Cukup jelas. Pasal 232 Huruf a Hak bertanya anggota DPD tidak bermakna sama dengan hak mengajukan pertanyaan anggota DPR. Huruf b Hak anggota DPD untuk mendapatkan keleluasaan menyampaikan usul dan pendapat baik kepada pemerintah maupun kepada DPD sehingga ada jaminan kemandirian sesuai dengan panggilan hati nurani serta kredibilitasnya. Oleh karena itu, setiap anggota DPD tidak dapat diarahkan oleh siapa pun di dalam proses pengambilan keputusan. Tata cara penyampaian usul dan pendapat dimaksud dilakukan dengan tetap memperhatikan tata krama, etika, moral, sopan santun, dan kepatutan sebagai wakil daerah. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f . . . - 33 - Huruf f Yang dimaksud dengan "hak protokoler" adalah hak anggota DPD untuk memperoleh penghormatan berkenaan dengan jabatannya baik dalam acara kenegaraan atau dalam acara resmi maupun dalam melaksanakan tugasnya. Huruf g Cukup jelas. Pasal 233 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Kepentingan kelompok, golongan, dan daerah dalam ketentuan ini termasuk kepentingan daerah yang diwakili, agama, ras, dan suku. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Pemberian pertanggungjawaban secara moral dan politis disampaikan kepada masyarakat dan pemilih di daerah yang diwakilinya pada masa sidang melalui perjuangan politik yang menyangkut kepentingan daerah yang diwakilinya, serta di luar masa sidang melalui pertemuan-pertemuan dengan konstituen dan masyarakat di daerah yang diwakilinya. Pasal 234 Cukup jelas. Pasal 235 Cukup jelas. Pasal 236 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c . . . - 34 - Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Dalam mewakili DPD di pengadilan, pimpinan dapat menunjuk kuasa hukum. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 237 Cukup jelas. Pasal 238 Cukup jelas. Pasal 239 Cukup jelas. Pasal 240 Cukup jelas. Pasal 241 Cukup jelas. Pasal 242 Cukup jelas. Pasal 243 Cukup jelas. Pasal 244 Cukup jelas. Pasal 245 Cukup jelas. Pasal 246 Cukup jelas. Pasal 247 . . . - 35 - Pasal 247 Cukup jelas. Pasal 248 Cukup jelas. Pasal 249 Cukup jelas. Pasal 250 Cukup jelas. Pasal 251 Cukup jelas. Pasal 252 Cukup jelas. Pasal 253 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan rancangan undang- undang yang terkait dengan kewenangan DPD, DPD hanya dapat menyampaikan pandangan/pendapat, tetapi tidak dapat mengajukan daftar inventarisasi masalah (DIM) secara tertulis dan tidak ikut dalam pengambilan keputusan. Pasal 254 Cukup jelas. Pasal 255 Cukup jelas. Pasal 256 Cukup jelas. Pasal 257 Cukup jelas. Pasal 258 Cukup jelas. Pasal 259 Cukup jelas. Pasal 260 . . . - 36 - Pasal 260 Ayat (1) Hasil pemeriksaan BPK meliputi hasil pemeriksaan laporan keuangan, hasil pemeriksaan kinerja, hasil pemeriksaan dengan tujuan, dan ikhtisar pemeriksaan semester. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 261 Cukup jelas. Pasal 262 Cukup jelas. Pasal 263 Cukup jelas. Pasal 264 Cukup jelas. Pasal 265 Cukup jelas. Pasal 266 Cukup jelas. Pasal 267 Cukup jelas. Pasal 268 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Sidang DPD di ibu kota negara dilakukan pada waktu tertentu dalam rangka pelaksanaan fungsi serta tugas dan wewenang DPD. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) . . . - 37 - Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 269 Cukup jelas. Pasal 270 Cukup jelas. Pasal 271 Cukup jelas. Pasal 272 Cukup jelas. Pasal 273 Cukup jelas. Pasal 274 Cukup jelas. Pasal 275 Cukup jelas. Pasal 276 Cukup jelas. Pasal 277 Cukup jelas. Pasal 278 Cukup jelas. Pasal 279 Cukup jelas. Pasal 280 Cukup jelas. Pasal 281 Cukup jelas. Pasal 282 Ayat (1) Huruf a Pernyataan meninggal dunia dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan/atau pejabat yang berwenang. Huruf b . . . - 38 - Huruf b Pernyataan mengundurkan diri dibuat secara tertulis di atas kertas yang bermeterai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap" adalah menderita sakit yang mengakibatkan baik fisik maupun mental tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang berwenang, tidak diketahui keberadaannya, dan/atau tidak hadir dalam rapat tanpa keterangan apa pun selama 3 (tiga) bulan berturut-turut. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Pasal 283 Cukup jelas. Pasal 284 Cukup jelas. Pasal 285 Cukup jelas. Pasal 286 Cukup jelas. Pasal 287 Cukup jelas. Pasal 288 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) . . . - 39 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "hak keuangan tertentu" adalah hak keuangan yang meliputi gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan pangan, tunjangan jabatan, dan uang paket. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 289 Cukup jelas. Pasal 290 Cukup jelas. Pasal 291 Cukup jelas. Pasal 292 Cukup jelas. Pasal 293 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Pemilihan wakil gubernur oleh DPRD provinsi, dilakukan apabila masa jabatannya masih tersisa 18 (delapan belas) bulan atau lebih. Huruf f Yang dimaksud dengan "perjanjian internasional" dalam ketentuan ini adalah perjanjian antara Pemerintah dan pihak luar negeri yang berkaitan dengan kepentingan daerah. Huruf g Yang dimaksud dengan "kerja sama internasional" dalam ketentuan ini adalah kerja sama antara pemerintah daerah provinsi dan pihak luar negeri yang meliputi kerja sama provinsi "kembar", kerja sama teknik termasuk bantuan kemanusiaan . . . - 40 - kemanusiaan, kerja sama penerusan pinjaman/hibah, kerja sama penyertaan modal, dan kerja sama lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-perundangan. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 294 Ayat (1) Penentuan jumlah anggota DPRD provinsi untuk setiap provinsi didasarkan pada jumlah penduduk provinsi yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Ayat (2) Nama anggota DPRD provinsi terpilih berdasarkan hasil pemilihan umum secara administratif dilakukan oleh KPU provinsi dan dilaporkan kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur dan tembusannya kepada KPU. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 295 Cukup jelas. Pasal 296 Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai frasa tertentu sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut agama Islam didahului dengan frasa "Demi Allah", untuk penganut agama Protestan dan Katolik diakhiri dengan frasa "Semoga Tuhan menolong saya", untuk penganut agama Budha didahului dengan frasa "Demi Hyang Adi Budha", dan untuk penganut agama Hindu didahului dengan frasa "Om Atah Paramawisesa". Pada hakikatnya, sumpah/janji merupakan tekad untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya, memegang teguh Pancasila, menegakkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia . . . - 41 - Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan peraturan perundang- undangan yang mengandung konsekuensi berupa kewajiban dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota DPRD provinsi. Pasal 297 Cukup jelas. Pasal 298 Cukup jelas. Pasal 299 Huruf a Hak mengajukan rancangan peraturan daerah provinsi dimaksudkan untuk mendorong anggota DPRD provinsi dalam menyikapi serta menyalurkan dan menindaklanjuti aspirasi rakyat yang diwakilinya dalam bentuk pengajuan usul rancangan peraturan daerah provinsi. Huruf b Hak anggota DPRD provinsi untuk mengajukan pertanyaan baik secara lisan maupun tertulis kepada pemerintah daerah sesuai dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD provinsi. Huruf c Hak anggota DPRD provinsi untuk menyampaikan suatu usul dan pendapat secara leluasa baik kepada pemerintah daerah maupun kepada DPRD provinsi sehingga ada jaminan kemandirian sesuai dengan panggilan hati nurani serta kredibilitasnya. Oleh karena itu, setiap anggota DPRD provinsi tidak dapat diarahkan oleh siapa pun di dalam proses pengambilan keputusan. Namun, tata cara penyampaian usul dan pendapat dimaksud tetap memperhatikan tata krama, etika, moral, sopan santun, dan kepatutan sebagai wakil rakyat. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Penyelenggaraan orientasi dapat dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah setempat, sekretariat DPRD provinsi, partai politik, atau perguruan tinggi. Huruf h Yang dimaksud dengan "hak protokoler" adalah hak anggota DPRD provinsi untuk memperoleh penghormatan berkenaan dengan jabatannya baik dalam acara kenegaraan atau dalam acara resmi maupun dalam melaksanakan tugasnya. Huruf i . . . - 42 - Huruf i Cukup jelas. Pasal 300 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Kepentingan kelompok dan golongan dalam ketentuan ini termasuk kepentingan partai politik, daerah, ras, agama, dan suku. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Yang dimaksud dengan "kunjungan kerja secara berkala" adalah kewajiban anggota DPRD provinsi untuk bertemu dengan konstituennya secara rutin pada setiap masa reses, yang hasil pertemuannya dengan konstituen dilaporkan secara tertulis kepada partai politik melalui fraksinya di DPRD provinsi. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Pemberian pertanggungjawaban secara moral dan politis disampaikan pada setiap masa reses kepada pemilih di daerah pemilihannya. Pasal 301 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) . . . - 43 - Ayat (6) Yang dimaksud dengan "fraksi gabungan" adalah fraksi yang dibentuk dari gabungan anggota partai politik yang tidak dapat memenuhi syarat pembentukan 1 (satu) fraksi. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Pasal 302 Cukup jelas. Pasal 303 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Partai politik yang urutan perolehan kursinya terbanyak di DPRD provinsi dan berhak mengisi kursi pimpinan DPRD provinsi, melalui pimpinan partai politik setempat mengajukan anggota DPRD provinsi yang akan ditetapkan menjadi pimpinan DPRD provinsi kepada pimpinan sementara DPRD provinsi. Berdasarkan pengajuan tersebut, pimpinan sementara DPRD provinsi mengumumkan dalam rapat paripurna adanya usulan pimpinan partai politik tersebut untuk ditetapkan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 304 Cukup jelas. Pasal 305 . . . - 44 - Pasal 305 Cukup jelas. Pasal 306 Cukup jelas. Pasal 307 Cukup jelas. Pasal 308 Cukup jelas. Pasal 309 Cukup jelas. Pasal 310 Cukup jelas. Pasal 311 Cukup jelas. Pasal 312 Cukup jelas. Pasal 313 Cukup jelas. Pasal 314 Cukup jelas. Pasal 315 Cukup jelas. Pasal 316 Cukup jelas. Pasal 317 Cukup jelas. Pasal 318 Cukup jelas. Pasal 319 Cukup jelas. Pasal 320 Cukup jelas. Pasal 321 . . . - 45 - Pasal 321 Cukup jelas. Pasal 322 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Penyelesaian diserahkan kepada pimpinan DPRD provinsi dan pimpinan fraksi yang dilakukan dalam bentuk rapat konsultasi. Pasal 323 Yang dimaksud dengan "keputusan rapat" adalah kesepakatan bersama yang dituangkan secara tertulis dan ditandatangani oleh semua pihak terkait dalam pengambilan keputusan. Pasal 324 Cukup jelas. Pasal 325 Cukup jelas. Pasal 326 Cukup jelas. Pasal 327 Cukup jelas. Pasal 328 Cukup jelas. Pasal 329 Cukup jelas. Pasal 330 Cukup jelas. Pasal 331 . . . - 46 - Pasal 331 Cukup jelas. Pasal 332 Ayat (1) Huruf a Pernyataan meninggal dunia dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan/atau pejabat yang berwenang. Huruf b Pernyataan mengundurkan diri dibuat secara tertulis di atas kertas yang bermeterai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap" adalah menderita sakit yang mengakibatkan baik fisik maupun mental tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang berwenang, tidak diketahui keberadaannya, dan/atau tidak hadir dalam rapat tanpa keterangan apa pun selama 3 (tiga) bulan berturut-turut. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Dalam hal anggota partai politik diberhentikan oleh partai politiknya dan yang bersangkutan mengajukan keberatan melalui pengadilan, pemberhentiannya sah setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Huruf i Ketentuan ini dikecualikan terhadap anggota partai politik lokal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pasal 333 . . . - 47 - Pasal 333 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pimpinan partai politik" adalah ketua atau sebutan lain yang sejenis atau yang diberi kewenangan untuk melaksanakan hal tersebut sesuai dengan anggaran dasar/anggaran rumah tangga partai politik masing-masing. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 334 Cukup jelas. Pasal 335 Cukup jelas. Pasal 336 Cukup jelas. Pasal 337 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Yang dimaksud dengan "6 (enam) bulan" adalah sejak proses awal pengajuan pemberhentian antarwaktu di DPRD provinsi. Pasal 338 Cukup jelas. Pasal 339 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) . . . - 48 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "hak keuangan tertentu" adalah hak keuangan yang meliputi uang representasi, uang paket, tunjangan keluarga dan tunjangan beras serta tunjangan pemeliharaan kesehatan sesuai dengan ketentuan perundang- undangan. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 340 Cukup jelas. Pasal 341 Cukup jelas. Pasal 342 Cukup jelas. Pasal 343 Cukup jelas. Pasal 344 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Pemilihan wakil bupati/wakil walikota oleh DPRD kabupaten/kota dilakukan apabila masa jabatannya masih tersisa 18 (delapan belas) bulan atau lebih. Huruf f Yang dimaksud dengan "perjanjian internasional" dalam ketentuan ini adalah perjanjian antara Pemerintah dan pihak luar negeri yang berkaitan dengan kepentingan daerah. Huruf g Yang dimaksud dengan "kerja sama internasional" dalam ketentuan ini adalah kerja sama daerah antara pemerintah daerah kabupaten/kota dan pihak luar negeri yang meliputi kerja sama kabupaten/kota "kembar", kerja sama teknik termasuk . . . - 49 - termasuk bantuan kemanusiaan, kerja sama penerusan pinjaman/hibah, kerja sama penyertaan modal, dan kerja sama lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 345 Ayat (1) Penentuan jumlah anggota DPRD kabupaten/kota untuk setiap provinsi didasarkan pada jumlah penduduk kabupaten/kota yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Ayat (2) Nama anggota DPRD kabupaten/kota terpilih berdasarkan hasil pemilihan umum secara administratif dilakukan oleh KPU kabupaten/kota dan dilaporkan kepada gubernur melalui bupati/walikota dan tembusannya kepada KPU. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 346 Cukup jelas. Pasal 347 Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai frasa tertentu sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut agama Islam didahului dengan frasa "Demi Allah", untuk penganut agama Protestan dan Katolik diakhiri dengan frasa "Semoga Tuhan menolong saya", untuk penganut agama Budha didahului dengan frasa "Demi Hyang Adi Budha", dan untuk penganut agama Hindu didahului dengan frasa "Om Atah Paramawisesa". Pada hakikatnya, sumpah/janji merupakan tekad untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya, memegang teguh Pancasila . . . - 50 - Pancasila, menegakkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan peraturan perundang- undangan yang mengandung konsekuensi berupa kewajiban dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota DPRD kabupaten/kota. Pasal 348 Cukup jelas. Pasal 349 Cukup jelas. Pasal 350 Huruf a Hak ini dimaksudkan untuk mendorong anggota DPRD kabupaten/kota dalam menyikapi serta menyalurkan dan menindaklanjuti aspirasi rakyat yang diwakilinya dalam bentuk pengajuan usul rancangan peraturan daerah kabupaten/kota. Huruf b Hak anggota DPRD kabupaten/kota untuk mengajukan pertanyaan baik secara lisan maupun tertulis kepada pemerintah daerah sesuai dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota. Huruf c Hak anggota DPRD kabupaten/kota untuk menyampaikan usul dan pendapat secara leluasa baik kepada pemerintah daerah maupun kepada DPRD kabupaten/kota sehingga ada jaminan kemandirian sesuai dengan panggilan hati nurani serta kredibilitasnya. Oleh karena itu, setiap anggota DPRD kabupaten/kota tidak dapat diarahkan oleh siapa pun di dalam proses pengambilan keputusan. Namun, tata cara penyampaian usul dan pendapat dimaksud tetap memperhatikan tata krama, etika, moral, sopan santun, dan kepatutan sebagai wakil rakyat. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Penyelenggaraan orientasi dapat dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah setempat, sekretariat DPRD kabupaten/kota, partai politik, atau perguruan tinggi. Huruf h Yang dimaksud dengan "hak protokoler" adalah hak anggota DPRD kabupaten/kota untuk memperoleh penghormatan berkenaan . . . - 51 - berkenaan dengan jabatannya baik dalam acara kenegaraan atau acara resmi maupun dalam melaksanakan tugasnya. Huruf i Cukup jelas. Pasal 351 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Kepentingan kelompok dan golongan dalam ketentuan ini termasuk kepentingan partai politik, daerah, ras, agama, dan suku. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Yang dimaksud dengan "kunjungan kerja secara berkala" adalah kewajiban anggota DPRD kabupaten/kota untuk bertemu dengan konstituennya secara rutin pada setiap masa reses, yang hasil pertemuannya dengan konstituen dilaporkan secara tertulis kepada partai politik melalui fraksinya di DPRD kabupaten/kota. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Pemberian pertanggungjawaban secara moral dan politis disampaikan pada setiap masa reses kepada pemilih di daerah pemilihannya. Pasal 352 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) . . . - 52 - Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Yang dimaksud dengan "fraksi gabungan" adalah fraksi yang dibentuk dari gabungan anggota partai politik yang tidak dapat memenuhi syarat pembentukan 1 (satu) fraksi. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Pasal 353 Cukup jelas. Pasal 354 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Partai politik yang urutan perolehan kursinya terbanyak di DPRD kabupaten/kota dan berhak mengisi kursi pimpinan DPRD kabupaten/kota, melalui pimpinan partai politik setempat mengajukan anggota DPRD kabupaten/kota yang akan ditetapkan menjadi pimpinan DPRD kabupaten/kota kepada pimpinan sementara DPRD kabupaten/kota. Berdasarkan pengajuan tersebut, pimpinan sementara DPRD kabupaten/kota mengumumkan dalam rapat paripurna adanya usulan pimpinan partai politik tersebut untuk ditetapkan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 355 Cukup jelas. Pasal 356 . . . - 53 - Pasal 356 Cukup jelas. Pasal 357 Cukup jelas. Pasal 358 Cukup jelas. Pasal 359 Cukup jelas. Pasal 360 Cukup jelas. Pasal 361 Cukup jelas. Pasal 362 Cukup jelas. Pasal 363 Cukup jelas. Pasal 364 Cukup jelas. Pasal 365 Cukup jelas. Pasal 366 Cukup jelas. Pasal 367 Cukup jelas. Pasal 368 Cukup jelas. Pasal 369 Cukup jelas. Pasal 370 Cukup jelas. Pasal 371 Cukup jelas. Pasal 372 . . . - 54 - Pasal 372 Cukup jelas. Pasal 373 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Penyelesaian diserahkan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota dan pimpinan fraksi yang dilakukan dalam bentuk rapat konsultasi. Pasal 374 Yang dimaksud dengan "keputusan rapat" adalah kesepakatan bersama yang dituangkan secara tertulis dan ditandatangani oleh semua pihak terkait dalam pengambilan keputusan. Pasal 375 Cukup jelas. Pasal 376 Cukup jelas. Pasal 377 Cukup jelas. Pasal 378 Cukup jelas. Pasal 379 Cukup jelas. Pasal 380 Cukup jelas. Pasal 381 Cukup jelas. Pasal 382 . . . - 55 - Pasal 382 Cukup jelas. Pasal 383 Ayat (1) Huruf a Pernyataan meninggal dunia dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan/atau pejabat yang berwenang. Huruf b Pernyataan mengundurkan diri dibuat secara tertulis di atas kertas yang bermeterai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap" adalah menderita sakit yang mengakibatkan baik fisik maupun mental tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang berwenang, tidak diketahui keberadaannya, dan/atau tidak hadir dalam rapat tanpa keterangan apa pun selama 3 (tiga) bulan berturut-turut. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Dalam hal anggota partai politik diberhentikan oleh partai politiknya dan yang bersangkutan mengajukan keberatan melalui pengadilan, pemberhentiannya sah setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Huruf i Ketentuan ini dikecualikan terhadap anggota partai politik lokal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pasal 384 . . . - 56 - Pasal 384 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pimpinan partai politik" adalah ketua atau sebutan lain yang sejenis atau yang diberi kewenangan untuk melaksanakan hal tersebut sesuai dengan anggaran dasar/anggaran rumah tangga partai politik masing-masing. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 385 Cukup jelas. Pasal 386 Cukup jelas. Pasal 387 Cukup jelas. Pasal 388 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Yang dimaksud dengan "6 (enam) bulan" adalah sejak proses awal pengajuan pemberhentian antarwaktu di DPRD provinsi. Pasal 389 Cukup jelas. Pasal 390 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) . . . - 57 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "hak keuangan tertentu" adalah hak keuangan yang meliputi uang representasi, uang paket, tunjangan keluarga dan tunjangan beras serta tunjangan pemeliharaan kesehatan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 391 Cukup jelas. Pasal 392 Cukup jelas. Pasal 393 Ayat (1) Masing-masing lembaga menetapkan 3 (tiga) orang nama setelah melakukan penyeleksian terhadap beberapa calon. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 394 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "manajemen kepegawaian" adalah keseluruhan upaya untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan derajat profesionalisme penyelenggaraan tugas, fungsi, dan kewajiban pegawai, yang meliputi perencanaan, pengadaan, pengembangan kualitas, penempatan, promosi, penggajian, kesejahteraan, dan pemberhentian. Pasal 395 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "kelompok pakar atau tim ahli" adalah sekelompok orang yang mempunyai kemampuan dalam disiplin ilmu . . . - 58 - ilmu tertentu untuk membantu anggota dalam pelaksanaan fungsi serta tugas dan wewenang DPR/DPD. Kelompok pakar atau tim ahli bertugas mengumpulkan data dan menganalisis berbagai masalah yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPR/DPD. Penugasan kelompok pakar atau tim ahli disesuaikan dengan kebutuhan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 396 Ayat (1) Organisasi sekretariat DPRD provinsi dibentuk untuk mendukung pelaksanaan fungsi dan tugas pokok DPRD provinsi dalam rangka meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kinerja lembaga perwakilan rakyat daerah, dengan memperhatikan pedoman penyusunan organisasi perangkat daerah. Ayat (2) Sekretaris DPRD provinsi adalah jabatan karier pegawai negeri sipil sehingga dalam pengusulan pengangkatan dan pemberhentiannya mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan bidang kepegawaian. Dalam pengusulan pengangkatannya, gubernur mengajukan 3 (tiga) orang calon kepada pimpinan DPRD provinsi untuk mendapat persetujuan dengan memperhatikan jenjang kepangkatan, kemampuan, dan pengalaman. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 397 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "kelompok pakar atau tim ahli" adalah sekelompok orang yang mempunyai kemampuan dalam disiplin ilmu tertentu untuk membantu alat kelengkapan dalam pelaksanaan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD provinsi. Kelompok pakar atau tim ahli bertugas mengumpulkan data dan menganalisis berbagai masalah yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD provinsi. Penugasan kelompok pakar atau tim ahli disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan daerah provinsi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 398 . . . - 59 - Pasal 398 Ayat (1) Organisasi sekretariat DPRD kabupaten/kota dibentuk untuk mendukung pelaksanaan fungsi dan tugas pokok DPRD kabupaten/kota dalam rangka meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kinerja lembaga perwakilan rakyat daerah, dengan memperhatikan pedoman penyusunan organisasi perangkat daerah. Ayat (2) Sekretaris DPRD kabupaten/kota adalah jabatan karier pegawai negeri sipil sehingga dalam pengusulan pengangkatan dan pemberhentiannya mengikuti ketentuan peraturan perundang- undangan bidang kepegawaian. Dalam pengusulan pengangkatannya, bupati/walikota mengajukan 3 (tiga) orang calon kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota untuk mendapat persetujuan dengan memperhatikan jenjang kepangkatan, kemampuan, dan pengalaman. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 399 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "kelompok pakar atau tim ahli" adalah sekelompok orang yang mempunyai kemampuan dalam disiplin ilmu tertentu untuk membantu alat kelengkapan dalam pelaksanaan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota. Kelompok pakar atau tim ahli bertugas mengumpulkan data dan menganalisis berbagai masalah yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota. Penugasan kelompok pakar atau tim ahli disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan daerah kabupaten/kota. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 400 Cukup jelas. Pasal 401 Cukup jelas. Pasal 402 Cukup jelas. Pasal 403 . . . - 60 - Pasal 403 Cukup jelas. Pasal 404 Cukup jelas. Pasal 405 Cukup jelas. Pasal 406 Cukup jelas. Pasal 407 Cukup jelas. Pasal 408 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5043
Silahkan download versi PDF nya sbb:
majelis_permusyawaratan_rakyat,_dewan_perwakilan_27.pdf
(ogi/Carapedia)
Pencarian Terbaru
1dpd mewakili berapa ratus orang.
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)