- Home »
- Undang-Undang »
- 1990 » Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (UU 5 thn 1990)
1990
Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (UU 5 thn 1990)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya :
Silahkan download versi PDF nya sbb:
konservasi_sumber_daya_alam_hayati_ekosistemnya_(_5.pdf
UU 5/1990, KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA
Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU)
Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor: 5 TAHUN 1990 (5/1990)
Tanggal: 10 AGUSTUS 1990 (JAKARTA)
Sumber: LN 1990/49; TLN NO. 3419
Tentang: KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA
Indeks: ENERGI. PEMBANGUNAN. Konservasi. Kehutanan.
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang:
a. bahwa sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya
yang mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi
kehidupan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena
itu perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras,
serasi dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia
pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik masa kini
maupun masa depan;
b. bahwa pembangunan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
pada hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan
nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;
c. bahwa unsur-unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
pada dasarnya saling tergantung antara satu dengan yang
lainnya dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan
kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya
ekosistem;
d. bahwa untuk menjaga agar pemanfaatan sumber daya alam hayati
dapat berlangsung dengan cara sebaik-baiknya, maka
diperlukan langkah-langkah konservasi schingga sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya selalu terpelihara dan mampu
mewujudkan keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu
sendiri;
e. bahwa peraturan perundang-undangan yang ada dan masih
berlaku merupakan produk hukum warisan pemerintah kolonial
yang bersifat parsial, sehingga perlu dicabut karena sudah
tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan kepentingan
nasional;
f. bahwa peraturan perundang-undangan produk hukum nasional
yang ada belum menampung dan mengatur secara menyeluruh
mengenai konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya;
g. bahwa sehubungan dengan hal-hal di atas, dipandang perlu
menetapkan ketentuan mengenai konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya dalam suatu Undang-undang;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823);
3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun
1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
4. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara
Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988 (Lembaran
Negara Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3368);
5. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran
Negara Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3299);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA
ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam
yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan
sumber daya alam hewani
(satwa) yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya
secara keseluruhan membentuk ekosistem.
2. Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber
daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara
bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan
tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman
dan nilainya.
3. Ekosistem sumber daya alam hayati adalah sistem hubungan
timbal balik antara unsur dalam alam, baik hayati maupun
nonhayati yang saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi.
4. Tumbuhan adalah semua jenis sumber daya alam nabati, baik
yang hidup di darat maupun di air.
5. Satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup
di darat dan/atau di air, dan/atau di udara.
6. Tumbuhan liar adalah tumbuhan yang hidup di alam bebas
dan/atau dipelihara, yang masih mempunyai kemurnian
jenisnya.
7. Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat,
dan/atau di air, dan/atau di udara yang masih mempunyai
sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang
dipelihara oleh manusia.
8. Habitat adalah lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat
hidup dan berkembang secara alami.
9. Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu,
baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah
sistem penyangga kehidupan.
10. Cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan
alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya
atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan
perkembangannya berlangsung secara alami.
11. Suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai
ciri khas berupa keanekaragaman dan/atau keunikan jenis
satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan
pembinaan terhadap habitatnya.
12. Cagar biosfer adalah suatu kawasan yang terdiri dari
ekosistem asli, ekosistem unik, dan/atau ekosistem yang
telah mengalami degradasi yang keseluruhan unsur alamnya
dilindungi dan dilestarikan bagi kepentingan penelitian dan
pendidikan.
13. Kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas
tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai
fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan
secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
14. Taman national adalah kawasan pelestarian alam yang
mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang
dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
15. Taman hutan raya adalah kawasan pelestarian alam untuk
tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau
buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan
bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi.
16. Taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang
terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.
Pasal 2
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan
pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati
dalam ekosistemnya secara serasi dan seimbang.
Pasal 3
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan
mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati
serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih
mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu
kehidupan manusia.
Pasal 4
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan
tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat.
Pasal 5
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan
melalui kegiatan :
a. perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya;
c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alami hayati dan
ekosistemnya.
BAB II
PERLINDUNGAN SISTEM PENYANGGA KEHIDUPAN
Pasal 6
Sistem penyangga kehidupan merupakan satu proses alami dari
berbagai unsur hayati dan nonhayati yang menjamin kelangsungan
kehidupan makhluk.
Pasal 7
Perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi
terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan
kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu
kehidupan manusia.
Pasal 8
(1) Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7,
Pemerintah menetapkan :
a. wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem
penyangga kehidupan;
b. pola dasar pembinaan wilayah perlindungan sistem
penyangga kehidupan;
c. pengaturan cara pemanfaatan wilayah perlindungan sistem
penyangga kehidupan.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
(1) Setiap pemegang hak atas tanah dan hak pengusahaan di
perairan dalam wilayah sistem penyangga kehidupan wajib
menjaga kelangsungan fungsi perlindungan wilayah tersebut.
(2) Dalam rangka pelaksanaan perlindungan sistem penyangga
kehidupan, Pemerintah mengatur serta melakukan tindakan
penertiban terhadap penggunaan dan pengelolaan tanah dan hak
pengusahaan di perairan yang terletak dalam wilayah
perlindungan sistem penyangga kehidupan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8.
(3) Tindakan penertiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 10
Wilayah sistem penyangga kehidupan yang mengalami kerusakan
secara alami dan/atau oleh karena peinanfaatannya serta oleh
sebab-sebab lainnya diikuti dengan upaya rehabilitasi secara
berencana dan berkesinambungan.
BAB III
PENGAWETAN KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN
DAN SATWA BESERTA EKOSISTEMNYA
Pasal 11
Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya, dilaksanakan melalui kegiatan :
a. pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya;
b. pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.
Pasal 12
Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya, dilaksanakan dengan menjaga keutuhan kawasan suaka
alam agar tetap dalam keadaan asli.
Pasal 13
(1) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilaksanakan di dalam
dan di luar kawasan suaka alam.
(2) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di dalam kawasan suaka
alam dilakukan dengan membiarkan agar populasi semua jenis
tumbuhan dan satwa tetap seimbang menurut proses alami di
habitatnya.
(3) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di luar kawasan suaka
alam dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakkan jenis
tumbuhan dan satwa untuk menghindari bahaya kepunahan.
BAB IV
KAWASAN SUAKA ALAM
Pasal 14
Kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
terdiri dari:
a. cagar alam;
b. suaka margasatwa.
Pasal 15
Kawasan suaka alam selain mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan
pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya, juga berfungsi sebagai wilayah perlindungan sistem
penyangga kehidupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
Pasal 16
(1) Pengelolaan kawasan suaka alam dilaksanakan oleh Pemerintah
sebagai upaya pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
beserta ekosistemnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penetapan dan
pemanfaatan suatu wilayah sebagai kawasan suaka alam dan
penetapan wilayah yang berbatasan dengannya sebagai daerah
penyangga diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
(1) Di dalam cagar alam dapat dilakukan kegiatan untuk
kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan,
pendidikan, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya.
(2) Di dalam suaka margasatwa dapat dilakukan kegiatan untuk
kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan,
pendidikan, wisata terbatas, dan kegiatan lainnya yang
menunjang budidaya.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemeritah.
Pasal 18
(1) Dalam rangka kerja saina konservasi internasional, khususnya
dalam kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, kawasan
suaka alam dan kawasan tertentu lainnya dapat ditetapkan
sebagai cagar biosfer.
(2) Penetapan suatu kawasan suaka alam dan kawasan tertentu
lainnya sebagai cagai biosfer diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
(1) Setiap orang dilarang melakukatn kegiatan yang dapat
mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka
alam.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1) tidak
termasuk kegiat an pembinaan Habitat untuk kepentingan satwa
di dalam suaka marga satwa.
(3) Perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan
*7623 fungsi dan luas kawasan suaka alam, serta menambah
jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.
BAB V
PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA
Pasal 20
(1) Tumbuhan dan satwa digolongkan dalam jenis:
a. tumbuhan dan satwa yang dilindungi;
b. tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi.
(2) Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) digolongkan dalam :
a. tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan;
b. tumbuhan dan satwa yang populasinya jarang.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
1) Setiap orang dilarang untuk :
a. mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan,
memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang
dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau
mati;
b. mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau
bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu
tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar
Indonesia.
(2) Setiap orang dilarang untuk :
a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki,
memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang
dilindungi dalam keadaan hidup;
b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan
meperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di
Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh
atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau
barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut
atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke
tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan,
menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang
dilindungi.
Pasal 22
(1) Pengecualian dari larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 hanya dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu
*7624 pengetahuan, dan/atau penyelamatan jenis tumbuhan dan
satwa yang bersangkutan.
(2) Termasuk dalam penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) adalah pemberian atau penukaran jenis tumbuhan dan satwa
kepada pihak lain di luar negeri dengan izin Pemerintah.
(3) Pengecualian dari larangan menangkap, melukai, dan membunuh
satwa yang dilindungi dapat pula dilakukan dalam hal oleh
karena suatu sebab satwa yang dilindungi membahayakan
kehidupan manusia.
(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana diinaksud dalam ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
(1) Apabila diperlukan, dapat dilakukan pemasukan tumbuhan dan
satwa liar dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Republik
Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 24
(1) Apabila terjadi pelanggaran terhadap larangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21, tumbuhan dan satwa tersebut
dirampas untuk negara.
(2) Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi atau
bagian-bagiannya yang dirampas untuk negara dikembalikan ke
habitatnya atau diserahkan kepada lembaga-lembaga yang
bergerak di bidang konservasi tumbuhan dari satwa, kecuali
apabila keadaannya sudah tidak memungkinkan untuk
dimanfaatkan sehingga dinilai lebih baik dimusnahkan.
Pasal 25
(1) Pengawasan jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi hanya
dapat dilakukan dalam bentuk pemeliharaan atau
pengembangbiakan oleh lembaga-lembaga yang dibentuk untuk
itu.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PEMANFAATAN SECARA LESTARI
SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA
Pasal 26
Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan :
a. pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam;
b. pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.
Pasal 27
*7625
Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan
dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan.
Pasal 28
Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan
memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar.
BAB VII
KAWASAN PELESTARIAN ALAM
Pasal 29
(1) Kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 13 terdiri dari :
a. taman nasional;
b. taman hutan raya;
c. taman wisata alam.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan suatu wilayah
sebagai kawasan pelestarian alam dan penetapan wilayah yang
berbatasan dengannya sebagai daerah penyangga diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 30
Kawasan pelestarian alam mempunyai fungsi perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya.
Pasal 31
(1) Di dalam taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata
alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian,
ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya,
dan wisata alam.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan
tanpa mengurangi fungsi pokok masing-masing kawasan.
Pasal 32
Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri
dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan
keperluan.
Pasal 33
(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman
nasional.
(2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi,
menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional,
serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak
asli.
(3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai
dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman
nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.
Pasal 34
(1) Pengelolaan taman nasional, taman hutan raya, dan taman
wisata alam dilaksanakan oleh Pemerintah.
(2) Di dalam zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya,
dan taman wisata alam dapat dibangun sarana kepariwisataan
berdasarkan rencana pengelolaan.
(3) Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, Pemerintah dapat
memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman
nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dengan
mengikutsertakan rakyat.
(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 35
Dalam keadaan tertentu dan sangat diperlukan untuk mempertahankan
atau memulihkan kelestarian sumber daya alam hayati beserta
ekosistemnya, Pemerintah dapat menghentikan kegiatan pemanfaatan
dan menutup taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata
alam sebagian atau seluruhnya untuk selama waktu tertentu.
BAB VIII
PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR
Pasal 36
(1) Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilaksanakan
dalam bentuk :
a. pengkajian, penelitian dan pengembangan;
b. penangkaran;
c. perburuan;
d. perdagangan;
e. peragaan;
f. pertukaran;
g. budidaya tanaman obat-obatan;
h. pemeliharaan untuk kesenangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
PERANSERTA RAKYAT
*7627 Pasal 37
(1) Peranserta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah
melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil
guna.
(2) Dalam mengembangkan peranserta rakyat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), Pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan
sadar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di
kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
PENYERAHAN URUSAN DAN TUGAS PEMBANTUAN
Pasal 38
(1) Dalam rangka pelaksanaan konservasi sumberdaya alam hayati
dan ekosistemnya, Pemerintah dapat menyerahkan sebagian
urusan di bidang tersebut kepada Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
PENYIDIKAN
Pasal 39
(1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia, juga pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya meliputi pembinaan konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnva, diberi wewenang khusus sebagai
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya.
(2) Kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
tidak mengurangi kewenangan penyidik sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985
tentang Perikanan.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwenang
untuk:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
*7628 b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga
melakukan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya;
c. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam
kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam;
d. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti
tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya;
e. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau
badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
f. membuat dan menandatangani berita acara;
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup
bukti tentang adanya tindak pidana di bidang konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan
dimulainya penyidikan dan melaporkan hasil penyidikannya
kepada Penuntut Umum melalui Pejabat Penyidik Kepolisian
Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 107
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 40
(1) Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan
Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan
ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp 100.000.000,00(seratusjuta rupiah).
(3) Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(1) dan Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (seratusjuta rupiah).
(4) Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(5) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dan ayat (4) adalah pelanggaran.
BAB XIII
*7629 KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 41
Hutan suaka alam dan taman wisata yang telah ditunjuk dan
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
sebelum berlakunya Undang-undang ini dianggap telah ditetapkan
sebagai kawasan suaka alam dan taman wisata alam berdasarkan
Undang-undang ini.
Pasal 42
Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di
bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang
telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini,
tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan
yang barti berdasarkan Undang-undang ini.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 43
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini maka:
1. Ordonansi Perburuan (Jachtordonnantie 1931 Staatsblad 1931
Nummer 133);
2. Ordonansi Perlindungan Binatang-binatang Liar
(Dierenbeschermingsordonnantie 1931 Staatsblad 1931 Nummer
134);
3. Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura (Jachtcrdonnantie Java
en Madoera 1940 Staatsblad 1939 Nummer 733);
4. Ordonansi Perlindungan Alam (Natuurbeschermingsordonnantie
1941 Staatsblad 1941 Nummer 167);
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 44
Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Konservasi Hayati.
Pasal 45
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 10 Agustus 1990
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
*7630
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 Agustus 1990
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
MOERDIONO
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1990
TENTANG
KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA
UMUM
Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan
berupa sumber daya alam yang berlimpah, baik di darat, di
perairan maupun di udara yang merupakan modal dasar pembangunan
nasional di segala bidang. Modal dasar sumber daya alam tersebut
harus dilindungi, dipelihara, dilestarikan, dan dimanfaatkan
secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada
khususnya dan mutu kehidupan manusia pada umumnya menurut cara
yang menjamin keserasian, keselarasan dan keseimbangan, baik
antara manusia dengan Tuhan penciptanya, antara manusia dengan
masyarakat maupun antara manusia dengan ekosistemnya. Oleh karena
itu, pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagai
bagian dari modal dasar tersebut pada hakikatnya merupakan bagian
integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai
pengamalan Pancasila.
Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan bagian
terpenting dari sumber daya alam yang terdiri dari alam hewani,
alam nabati ataupun berupa fenomena alam, baik secara
masing-masing maupun bersama-sama mempunyai fungsi dan manfaat
sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak
dapat diganti. Mengingat sifatnya yang tidak dapat diganti dan
mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan manusia,
maka upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
adalah menjadi kewajiban mutlak dari tiap generasi. Tindakan yang
tidak bertanggung jawab yang dapat menimbulkan kerusakan pada
kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam ataupun tindakan
yang melanggar ketentuan tentang perlindungan tumbuhan dan satwa
yang dilindungi, diancam dengan pidana yang berat berupa pidana
badan dan denda. Pidana yang berat tersebut dipandang perlu
karena kerusakan atau kepunahan salah satu unsur sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya akan mengakibatkan kerugian besar bagi
masyarakat yang tidak dapat dinilai dengan materi, sedangkan
pemulihannya kepada keadaan semula tidak mungkin lagi.
Oleh karena sifatnya yang luas dan menyangkut kepentingan
masyarakat secara keseluruhan, maka upaya konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan
kewajiban Pemerintah serta masyarakat. Peranserta rakyat akan
diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui kegiatan yang
berdaya guna dan berhasil guna. Untuk itu, Pemerintah
berkewajiban meningkatkan pendidikan dan penyuluhan bagi
masyarakat dalam rangka sadar konservasi.
Berhasilnya konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya berkaitan erat dengan tercapainya tiga sasaran
konservasi, yaitu :
1. menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang
sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan
kesejahteraan manusia (perlindungan sistem penyangga
kehidupan);
2. menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan
tipe-tipe ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan,
ilmu pengetahuan, dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan
kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati
bagi kesejahteraan (pengawetan sumber plasma nutfah);
3. mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati
sehingga terjamin kelestariannya. Akibat sampingan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang kurang bijaksana, belum
harmonisnya penggunaan dan peruntukan tanah serta belum
berhasilnya sasaran konservasi secara optimal, baik di darat
maupun di perairan dapat mengakibatkan timbulnya gejala
erosi genetik, polusi, dan penurunan potensi sumber daya
alam hayati (pemanfaatan secara lestari).
Mengingat Negara Republik Indonesia adalah negara berdasar
atas hukum, maka pengelolaan konservasi sumber daya alam hayati
beserta ekosistemnya perlu diberi dasar hukum yang jelas, tegas,
dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi usaha
pengelolaan tersebut.
Dewasa ini kenyataan menunjukkan bahwa peraturan
perundang-undangan yang mengatur konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya yang bersifat nasional belum ada.
Peraturan perundang-undangan warisan pemerintah kolonial yang
beranekaragam coraknya, sudah tidak sesuai lagi dengan tingkat
perkembangan hukum dan kebutuhan bangsa Indonesia.
Perubahan-perubahan yang menyangkut aspek-aspek
pemerintahan, perkembangan kependudukan, ilmu pengetahuan, dan
tuntutan keberhasilan pembangunan pada saat ini menghendaki
peraturan perundang-undangan di bidang konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya yang bersifat nasional sesuai dengan
aspirasi bangsa Indonesia.
Upaya pemanfaatan secara lestari sebagai salah satu aspek
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistenmya, belum
sepenuhnya dikembangkan sesuai dengan kebutuhan. Demikian pula
pengelolaan kawasan pelestarian alam dalam bentuk taman nasional,
taman hutan raya, dan taman wisata alam, yang menyatukan fungsi
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan
pemanfaatan secara lestari.
Peraturan perundang-undangan yang bersifat nasional yang ada
kaitannya dengan konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya seperti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang
ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, Undang-undang Nomor 4 Tahun
1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup, Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang *7632
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1988, dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang
Perikanan belum mengatur secara lengkap dan belum sepenuhnya
dapat dipakai sebagai dasar hukum untuk pengaturan lebih lanjut.
Undang-undang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya yang bersifat nasional dan menyeluruh sangat
diperlukan sebagai dasar hukum untuk mengatur perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya agar dapat menjamin
pemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat dan peningkatan mutu
kehidupan manusia.
Undang-undang ini memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat
pokok dan mencakup semua segi di bidang konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya, sedangkan pelaksanaannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Ikan dan ternak tidak termasuk di dalam pengertian
satwa liar, tetapi termasuk di dalam pengertian satwa.
Angka 8
Cukup jelas
Angka 9
Cukup jelas
Angka 10
Cukup jelas
Angka 11
Cukup jelas
Angka 12
Cukup jelas
Angka 13
Cukup jelas
Angka 14
Cukup jelas
Angka 15
Cukup jelas
Angka 16
*7633 Cukup jelas
Pasal 2
Pada dasarnya semua sumber daya alam termasuk sumber daya
alam hayati harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan
masyarakat dan umat manusia sesuai dengan kemampuan dan
fungsinya.
Namun, pemanfaatannya harus sedemikian rupa sesuai dengan
Undangundang ini sehingga dapat berlangsung secara lestari
untuk masa kini dan masa depan.
Pemanfaatan dan pelestarian seperti tersebut di atas harus
dilaksanakan secara serasi dan seimbang sebagai perwujudan
dari asas konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
Pasal 3
Sumber daya alam hayati merupakan unsur ekosistem yang dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
mutu kehidupan manusia. Namun, keseimbangan ekosistem harus
tetap terjamin.
Pasal 4
Mengingat pentingnya konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
mutu kehidupan manusia, maka masyarakat juga mempunyai
kewajiban dan tanggung jawab dalam kegiatan konservasi.
Pasal 5
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
dilakukan melalui tiga kegiatan :
a. Perlindungan sistem penyangga kehidupan. Kehidupan
adalah merupakan suatu sistem yang terdiri dari proses yang
berkait satu dengan lainnya dan saling mempengaruhi, yang
apabila terputus akan mempengaruhi kehidupan. Agar manusia
tidak dihadapkan pada perubahan yang tidak diduga yang akan
mempengaruhi kemampuan pemanfaatan sumber daya alam hayati,
maka proses ekologis yang mengandung kehidupan itu perlu
dijaga dan dilindungi.
Perlindungan sistem penyangga kehidupan ini meliputi
usaha-usaha dan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan
perlindungan mata air, tebing, tepian sungai, danau, dan
jurang, pemeliharaan fungsi hidrologi hutan, perlindungan
pantai, pengelolaan daerah aliran sungai; perlindungan
terhadap gejala keunikan dan keindahan alam, dan lain-lain.
b. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa
beserta ekosistemnya.
Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya terdiri dari
unsur-unsur hayati dan nonhayati (baik fisik maupun
nonfisik).
Semua unsur ini sangat berkait dan pengaruh mempengaruhi.
Punahnya salah satu unsur tidak dapat diganti dengan unsur
yang lain. Usaha dan tindakan konservasi untuk menjamin
keanekaragaman jenis meliputi penjagaan agar unsur-unsur
tersebut tidak punah dengan tujuan agar masing-masing unsur
dapat berfungsi dalam alam dan agar
*7634
senantiasa siap untuk sewaktu-waktu dimanfaatkan bagi
kesejahteraan manusia.
Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dapat dilaksanakan di
dalam kawasan (konservasi in-situ) ataupun di luar kawasan
(konservasi exsitu).
c. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya. Usaha pemanfaatan secara lestari sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya pada hakikatnya merupakan usaha
pengendalian/pembatasan dalam pemanfaatan sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya sehingga pemanfaatan tersebut dapat
dilaksanakan secara terus menerus pada masa mendatang.
Pasal 6
Unsur hayati adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia,
tumbuhan, satwa, dan jasad renik. Unsur nonhayati terdiri
dari sinar matahari, air, udara, dan tanah. Hubungan antara
unsur hayati dan nonhayati harus berlangsung dalam keadaan
seimbang sebagai suatu sistem penyangga kehidupan dan karena
itu perlu dilindungi.
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Perlindungan sistem penyangga kehidupan dilaksanakan dengan
cara menetapkan suatu wilayah tertentu sebagai wilayah
perlindungan. Guna pengaturannya Pemerintah menetapkan pola
dasar pembinaan pemanfaatan wilayah tersebut sehingga fungsi
perlindungan dan pelestariannya tetap terjamin.
Wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan ini meliputi
antara lain hutan lindung, daerah aliran sungai, areal tepi
sungai, daerah pantai, bagian tertentu dari zona ekonomi
eksklusif Indonesia, daerah pasang surut, jurang, dan areal
berpolusi berat. Pemanfaatan areal atau wilayah tersebut
tetap pada subyek yang diberi hak, tetapi pemanfaatan itu
harus mematuhi ketentuan yang ditetapkan Pemerintah.
Dalam menetapkan wilayah tertentu sebagai wilayah sistem
penyangga kehidupan, perlu diadakan penelitian dan
inventarisasi, baik terhadap wilayah yang sudah ditetapkan
maupun yang akan ditetapkan.
Ayat (2)
Dalam Peraturan Pemerintah ini perlu diperhatikan
kepentingan yang serasi antara kepentingan pemegang hak
dengan kepentingan perlindungan sistem penyangga kehidupan.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan hak pengusahaan di perairan adalah hak
yang diberikan oleh Pemerintah untuk memanfaatkan sumber
daya alam yang ada di perairan, baik yang bersifat ekstratif
maupun nonekstratif, bukan hak penguasaan atas wilayah
perairan tersebut. Yang dimaksud dengan
*7635
perairan adalah perairan Indonesia yang meliputi perairan
pedalaman (sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air
lainnya), laut wilayah Indonesia, dan zona ekonomi eksklusif
Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Termasuk dalam pengertian penertiban terhadap
penggunaan dan pengelolaan tanah dan hak pengusahaan di
perairan meliputi pencabutan hak atas tanah dan hak
pengusahaan di perairan yang pelaksanaannya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal
penertiban tersebut berupa pencabutan hak atas tanah, maka
kepada pemegang hak diberikan ganti rugi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 10
Wilayah sistem penyangga kehidupan yang mengalami kerusakan
karena bencana alam seperti longsor, erosi, kebakaran, dan
gempa bumi, atau karena pemanfaatannya yang tidak tepat
serta oleh sebab-sebab lainnya perlu segera direhabilitasi
agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Rehabilitasi ini
perlu mengikutsertakan masyarakat, khususnya mereka yang
berhak di atas wilayah tersebut.
Pasal 11
Yang dimaksud dengan pengawetan disini adalah usaha untuk
menjaga agar keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya tidak punah. Pengawetan diluar kawasan meliputi
pengaturan mengenai pembatasan tindakan-tindakan yang dapat
dilakukan terhadap tumbuhan dan satwa sebagaimana diatur
dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 25 Undang-undang ini.
Pengaturan diluar kawasan berupa pengawetan jenis (spesies)
tumbuhan dan satwa. Pengawetan di dalam kawasan dilakukan
dalam bentuk kawasan suaka alam dan zona inti taman
nasional.
Pasal 12
Upaya pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa berupa
kawasan suaka alam yang karena fungsi pokoknya adalah
pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya, maka keutuhan dan keaslian dari kawasan suaka
alam tersebut perlu dijaga dari gangguan agar prosesnya
berjalan secara alami.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
*7636 Ayat (1)
Pengelolaan kawasan suaka alam merupakan kewajiban
Pemerintah sebagai konsekuensi penguasaan oleh negara atas
sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan daerah penyangga adalah wilayah
yang berada di luar kawasan suaka alam, baik sebagai kawasan
hutan lain, tanah negara bebas maupun tanah yang dibebani
hak yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan kawasan suaka
alam. Pengelolaan atas daerah penyangga tetap berada di
tangan yang berhak, sedangkan cara-cara pengelolaan harus
mengikuti ketentuan- ketentuan yang ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
Ayat (1)
Fungsi penunjang budidaya dapat dilaksanakan dalam
bentuk penggunaan plasma nutfah yang terdapat dalam cagar
alam yang bersangkutan untuk keperluan permuliaan jenis dan
penangkaran. Plasma nutfah adalah unsur-unsur gen yang
menentukan sifat kebakaan suatu jenis.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan wisata terbatas adalah suatu
kegiatan untuk mengunjungi, melihat, dan menikmati keindahan
alam di suaka margasatwa dengan persyaratan tertentu.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Adanya cagar biosfer dimaksudkan sebagai tempat
penelitian, ilmu pengetahuan, dan pendidikan, serta
mengamati dan mengevaluasi perubahan-perubahan yang terjadi
pada kawasan yang bersangkutan. Dengan ditentukannya suatu
kawasan suaka alam dan kawasan tertentu lainnya sebagai
cagar biosfer, maka kawasan yang bersangkutan menjadi bagian
dari pada jaringan konservasi internasional. Namun,
kewenangan penentuan kegiatan penelitian, ilmu pengetahuan
dan pendidikan, serta mengamati dan mengevaluasi perubahan-
perubahan di dalam cagar biosfer sepenuhnya berada di tangan
Pemerintah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan perubahan terhadap keutuhan suaka
alam adalah melakukan perusakan terhadap keutuhan kawasan
dan ekosistemnya, perburuan satwa yang berada dalam kawasan,
dan memasukkan jenis-jenis bukan asli.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pembinaan habitat satwa adalah
kegiatan yang dilakukan di dalam kawasan dengan tujuan
*7637 agar satwa dapat hidup dan berkembang secara alami.
Contoh kegiatan tersebut antara lain pembuatan padang rumput
untuk makanan satwa, pembuatan fasilitas air minum, dan
sebagainya.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan jenis tumbuhan dan satwa yang
tidak asli adalah jenis tumbuhan dan jenis satwa yang tidak
pernah terdapat di dalam kawasan.
Pasal 20
Ayat (1)
Dalam rangka mengawetkan jenis, maka ditetapkan
jenis-jenis tumbuhan satwa yang dilindungi.
Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dimaksudkan untuk
melindungi spesies tumbuhan dan satwa agar jenis tumbuhan
dan satwa tersebut tidak mengalami kepunahan.
Penetapan ini dapat diubah sewaktu-waktu tergantung dari
tingkat keperluannya yang ditentukan oleh tingkat bahaya
kepunahan yang mengancam jenis bersangkutan.
Ayat (2)
Jenis tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan
meliputi jenis tumbuhan dan satwa yang dalam keadaan bahaya
nyaris punah dan menuju kepunahan. Tumbuhan dan satwa yang
endemik adalah tumbuhan dan satwa yang terbatas
penyebarannya, sedangkan jenis yang terancam punah adalah
karena populasinya sudah sangat kecil serta mempunyai
tingkat perkembangbiakan yang sangat lambat, baik karena
pengaruh habitat maupun ekosistemnya. Jenis tumbuhan dan
satwa yang populasinya jarang dalam arti populasinya kecil
atau jarang sehingga pembiakannya sangat sulit.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penyelamatan jenis tumbuhan dan
satwa adalah suatu upaya penyelamatan yang harus dilakukan
apabila dalam keadaan tertentu tumbuhan dan satwa terancam
hidupnya bila tetap berada dihabitatnya dalam bentuk
pengembangbiakan dan pengobatan, baik di dalam maupun di
luar negeri.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pemberian atau penukaran jenis
tumbuhan dan satwa kepada pihak lain di luar negeri adalah
untuk keperluan tukar menukar antar lembaga-lembaga yang
bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan satwa dan hadiah
Pemerintah.
Ayat (3)
Membahayakan di sini berarti tidak hanya mengancam jiwa
manusia melainkan juga menimbulkan gangguan atau *7638
keresahan terhadap ketenteraman hidup manusia, atau kerugian
materi seperti rusaknya lahan atau tanaman atau hasil
pertanian.
Ayat (4)
Dalam Peraturan Pemerintah tersebut antara lain diatur
cara-cara mengatasi bahaya, cara melakukan penangkapan
hidup-hidup, penggiringan dan pemindahan satwa yang
bersangkutan, sedangkan pemusnahan hanya dilaksanakan kalau
cara lain ternyata tidak memberi hasil efektif.
Pasal 23
Ayat ( 1)
Yang dimaksud dengan apabila diperlukan adalah untuk
koleksi tumbuhan dan satwa untuk kebun binatang, taman
safari, dan untuk permuliaan jenis tumbuhan dan satwa.
Pemasukan jenis tumbuhan dan satwa liar ke dalam wilayah
Republik Indonesia perlu diatur untuk mencegah terjadinya
polusi genetik dan menjaga kemantapan ekosistem yang ada,
guna pemanfaatan optimal bagi bangsa Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan dirampas untuk negara adalah bahwa
di samping dirampas sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, juga memberikan kewenangan kepada
pejabat yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk menguasai dan
menyelamatkan tumbuhan dan satwa sebelum proses pengadilan
dilaksanakan.
Ayat (2)
Tumbuhan dan satwa yang dilindungi harus dipertahankan
agar tetap berada di habitatnya. Oleh karena itu, tumbuhan
dan satwa yang dirampas harus dikembalikan ke habitatnya.
Kalau tidak mungkin dikembalikan ke habitatnya karena
dinilai tidak dapat beradaptasi dengan habitatnya dan/atau
untuk dijadikan barang bukti di pengadilan, maka tumbuhan
dan satwa tersebut diserahkan atau dititipkan kepada lembaga
yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan satwa.
Apabila keadaan sudah tidak memungkinkan karena rusak,
cacat, dan tidak memungkinkan hidup, lebih baik dimusnahkan.
Lembaga yang dimaksud dalam ayat ini dapat berupa lembaga
pemerintah dan lembaga non pemerintah, misalnya kebun
binatang, kebun botani, museum biologic herbarium, taman
safari dan sebagainya yang ditunjuk dan ditetapkan oleh
Pemerintah.
Pasal 25
Ayat (1)
Lihat penjelasan Pasal 24 ayat (2)
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 26
*7639 Yang dimaksud dengan kondisi lingkungan adalah potensi
kawasan berupa ekosistem, keadaan iklim, fenomena alam,
kekhasan jenis tumbuhan dan satwa, dan peninggalan budaya
yang berada dalam kawasan tersebut.
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Wilayah taman nasional, taman hutan raya, dan taman
wisata alam meliputi areal daratan dan perairan.
Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 16 ayat (2)
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 32
Yang dimaksud dengan zona inti adalah bagian kawasan taman
nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan
adanya perubahan apa pun oleh aktivitas manusia.
Yang dimaksud dengan zona pemanfaatan adalah bagian dari
kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan
kunjungan wisata. Yang dimaksud dengan zona lain adalah zona
di luar kedua zona tersebut karena fungsi dan kondisinya
ditetapkan sebagai zona tertentu seperti zona rimba, zona
pemanfaatan traditional zona rehabilitasi, dan sebagainya.
Pasal 33
Ayat (1)
Lihat penjelasan Pasal 19 ayat ( 1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Pada dasarnya pengelolaan kawasan pelestarian alam
merupakan kewajiban dari Pemerintah sebagai konsekuensi
penguasaan oleh negara atas sumber daya alam sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan atas zona
pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman
wisata alam, Pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan
kepada koperasi, badan usaha milik negara, perusahaan swasta
dan perorangan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
*7640 Pengertian mengikutsertakan rakyat di sini adalah
memberi kesempatan kepada rakyat sekitarnya untuk ikut
berperan dalam usaha di kawasan tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 35
Yang dimaksud dengan dalam keadaan tertentu dan sangat
diperlukan adalah keadaan dan situasi yang terjadi di
kawasan pelestarian alam karena bencana alam (gunung
meletus, keluar gas beracun, bahaya kebakaran),dan kerusakan
akibat pemanfaatan terus menerus yang dapat membahayakan
pengunjung atau kehidupan tumbuhan dan satwa.
Pasal 36
Ayat (1)
Dalam pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar harus
dilakukan dengan tetap menjaga keseimbangan populasi dengan
habitatnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Peranserta rakyat dapat berupa perorangan dan kelompok
masyarakat baik yang terorganisasi maupun tidak. Agar rakyat
dapat berperan secara aktif dalam kegiatan konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya, maka melalui kegiatan
penyuluhan, Pemerintah perlu mengarahkan dan menggerakkan
rakyat dengan mengikutsertakan kelompok-kelompok masyarakat.
Ayat (2)
Dalam upaya menumbuhkan dan meningkatkan sadar
konservasi di kalangan rakyat, maka perlu ditanamkan
pengertian dan motivasi tentang konservasi sejak dini
melalui jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Selain Pemerintah Pusat dapat menyerahkan sebagian
urusan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya kepada Pemerintah Daerah, juga Pemerintah Pusat
dapat menugaskan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I untuk
melaksanakan urusan tersebut sebagai tugas pembantuan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
*7641 Cukup jelas
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 41
Berdasarkan Ordonansi Perlindungan Alam Tahun 1941 Stbl.
1941 Nomor 167 (Natuurbeschermingsordonnantie 1941
Staatsblad 1941 Nummer 167) dan Undang-undang Nomor 5 Tahun
1967 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Kehutanan telah
ditetapkan hutan suaka alam dan taman wisata.
Dengan ditetapkannya Undang-undang ini, maka hutan suaka
alam dan taman wisata dianggap telah ditetapkan sebagai
kawasan suaka alam dan taman wisata alam.
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas.
--------------------------------
CATATAN
Kutipan: LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1990
Silahkan download versi PDF nya sbb:
konservasi_sumber_daya_alam_hayati_ekosistemnya_(_5.pdf
(ogi/Carapedia)
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)






