- Home »
- Undang-Undang »
- 1986 » Undang-Undang Peradilan Umum (UU 2 thn 1986)
1986
Undang-Undang Peradilan Umum (UU 2 thn 1986)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum :
Silahkan download versi PDF nya sbb:
peradilan_umum_(uu_2_thn_1986)_2.pdf
Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU)
Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor: 2 TAHUN 1986 (2/1986)
Tanggal: 8 MARET 1986 (JAKARTA)
Sumber: LN 1986/20; TLN NO. 3327
Tentang: PERADILAN UMUM
Indeks: ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. KUHP. Warganegara.
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
a. bahwa negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, bertujuan mewujudkan tata
kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, dan tertib;
b. bahwa dalam mewujudkan tata kehidupan tersebut dan menjamin persamaan
kedudukan warga negara dalam hukutn diperlukan upaya untuk menegakkan
ketertiban, keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum yang mampu
memberikan pengayoman kepada masyarakat;
c. bahwa dalam rangka upaya di atas, pengaturan susunan dan kekuasaan
Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum yang selama ini masih
didasarkan pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965 ternyata tidak sesuai
lagi dengan jiwa dan semangat Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970;
d. bahwa selain itu, dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1969, Undang-
undang Nomor 13 Tahun 1965 telah dinyatakan tidak berlaku, tetapi saat
tidak berlakunya ditetapkan pada saat undang-undang yang
menggantikannya mulai berlaku;
e. bahwa untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, dipandang
perlu menetapkan undang-undang yang mengatur susunan dan kekuasaan
Peradilan Umum;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-
Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2951);
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran
Negara Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3316);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERADILAN UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Pengertian
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Undang-undang ini dengan:
1. Pengadilan adalah Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di lingkungan
Peradilan Umum.
2. Hakim adalah Hakim pada Pengadilan Negeri dan Hakim pada, Pengadilan
Tinggi.
Bagian Kedua
Kedudukan
Pasal 2
Peradilan Umum adalah salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan pada umumnya.
Pasal 3
(1) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh :
a. Pengadilan Negeri;
b. Pengadilan Tinggi.
(2) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum berpuncak pada
Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
Bagian Ketiga
Tempat Kedudukan
Pasal 4
(1) Pengadilan Negeri berkedudukan di Kotamadya atau di ibu kota Kabupaten,
dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kotamadya atau Kabupaten.
(2) Pengadilan Tinggi berkedudukan di ibu kota Propinsi, dan daerah
hukumnya meliputi wilayah Propinsi.
Bagian Keempat
Pembinaan
Pasal 5
(1) Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan dilakukan oleh Mahkamah
Agung.
(2) Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan dilakukan
oleh Menteri Kehakiman.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud data ayat (1) dan ayat (2) tidak boleh
mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
BAB II
SUSUNAN PENGADILAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 6
Pengadilan terdiri dari :
a. Pengadilan Negeri yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama;
b. Pengadilan Tinggi, yang merupakan Pengadilan Tingkat Banding.
Pasal 7
Pengadilan Negeri dibentuk dengan Keputusan Presiden.
Pasal 8
Di lingkungan Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan
undang-undang.
Pasal 9
Pengadilan Tinggi dibentuk dengan undang-undang.
Pasal 10
(1) Susunan Pengadilan Negeri terdiri dari Pimpinan, Hakirn Anggota,
Panitera, Sekretaris, dan Jurusita.
(2) Susunan Pengadilan Tinggi terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota,
Panitera, dan Sekretaris.
Pasal 11
(1) Pimpinan Pengadilan Negeri terdiri dari seorang Ketua dan seorang Wakil
Ketua.
(2) Pimpinan Pengadilan Tinggi terdiri dari seorang Ketua dan seorang Wakil
Ketua.
(3) Hakim Anggota Pengadilan Tinggi adalah Hakim Tinggi.
Bagian Kedua
Ketua, Wakil Ketua, Hakim,
Panitera, dan Jurusita Pengadilan
Paragraf 1
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
Pasal 12
(1) Hakim Pengadilan adalah pejabat yang melaksanakan tugas Kekuasaan
Kehakiman.
(2) Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian serta pelaksanaan
tugas Hakim ditetapkan dalam undang-undang ini.
Pasal 13
(1) Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim sebagai pegawai negeri
dilakukan oleh Menteri Kehakiman.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
Pasal 14
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Pengadilan Negeri, seorang calon
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
d. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis
Indonesia, termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang
terlibat lanpung ataupun tak langsung dalam "Gerakan Kontra
Revolusi G30.S./PKI" atau organisasi terlarang lainnya;
e. pegawai negeri;
f. sarjana hukum;
g. berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun;
h. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri
diperlukan pengalunan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun sebagai
Hakim Pengadilan Negeri.
Pasal 15
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Pengadilan Tinggi, seorang calon
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf,
a, b, c, d, e, f, dan h;
b. berumur serendah-rendahnya 40 (empat puluh) tahun;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Ketua
atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri atau 15 (lima belas) tahun
sebagai Hakim Pengadilan Negeri.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua Pengadilan Tinggi diperlukan
pengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun sebagai Hakim
Pengadilan Tinggi atau sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun bagi Hakim
Pengadilan Tinggi yang pernah menjabat Ketua Pengadilan Negeri.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi diperlukan
pengalaman sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun sebagai Hakim
Pengadilan Tinggi atau sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun bagi Hakim
Pengadilan Tinggi yang pernah menjabat Ketua Pengadilan Negeri.
Pasal 16
(1) Hakim Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala
Negara atas usul Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua
Mahkamah Agung.
(2) Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 17
(1) Sebelum memangku jabatannya Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan
wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya;
bunyi sumpah atau janji adalah sebagai berikut : "Saya
bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memperoleh
jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama
atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang
sesuatu kepada siapa pun juga". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya,
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak
sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun
juga suatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi
negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta
peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia". "Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya
ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membedabedakan orang dan
akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Ketua, Wakil Ketua, Hakim
Pengadilan yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan
keadilan".
(2) Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Negeri diambil sumpah atau janjinya
oleh Ketua Pengadilan Negeri.
(3) Wakil ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi serta Ketua Pengadilan Negeri
diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Tinggi.
(4) Ketua Pengadilan Tinggi diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua
Mahkamah Agung.
Pasal 18
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, hakim
tidak boleh merangkap menjadi :
a. pelaksana putusan Pengadilan;
b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaftan dengan suatu perkara
yang diperiksa olehnya;
c. pengusaha.
(2) Hakim tidak boleh merangkap menjadi penasihat hukum.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim selain jabatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan diberhentikan dengan hormat
dari jabatannya karena :
a. permintaan sendiri;
b. sakit jasmani atau rohani terus menerus;,
c. telah berumur 60 (enam puluh) tahun bagi Ketua, Wakil Ketua, dan
Hakim Pengadilan Negeri, dan 63 (enam puluh tiga) tahun bagi
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan Tinggi;
c. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
(2) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan yang meninggal dunia dengan
sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden
selaku Kepala Negara.
Pasal 20
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan diberhentikan tidak dengan
hormat dari jabatannya dengan alasan :
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas
pekerjaannya;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan;
e. melanggar larangan yang dimaksudkan Pasal 18.
(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan tersebut
ayat (1) huruf b s/d e dilakukan setelah yang bersangkutan diberi
kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan
Hakim.
(3) Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta
tata cara pembelaan diri ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung bersama-
sama Menteri Kehakiman.
Pasal 21
Seorang Hakim yang diberhentikan dari jabatannya, tidak dengan sendirinya
diberhentikan sebagai pegawai negeri.
Pasal 22
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan sebelum diberhentikan tidak
dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala
Negara atas usul Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua
Mahkamah Agung.
(2) Terhadap pengusulan pemberhentian sementara dimaksud dalam ayat (1)
berlaku juga ketentuan sebagaimana dimaksudkan Pasal 20 ayat (2).
Pasal 23
(1) Apabila terhadap seorang Hakim ada perintah penangkapan yang diikuti
dengan penahanan, dengan sendirinya Hakim tersebut diberhentikan
sementara dari jabatannya.
(2) Apabila seorang Hakim dituntut di muka Pengadilan dalam perkara pidana
seperti tercantum dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981, tanpa ditahan, maka ia dapat diberhentikan sementara dari
jabatannya.
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dengan hormat,
pemberhentian tidak dengan hormat, dan pemberhentian sementara serta hak-hak
pejabat yang dikenakan pemberhentian, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 25
(1) Kedudukan Protokol Hakim Pengadilan diatur dengan Keputusan Presiden.
(2) Tunjangan dan ketentuan-ketentuan lainnya bagi Ketua, Wakil Ketua, dan
Hakim Pengadilan diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 26
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan dapat ditangkap atau ditahan hanya
atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung
dan Menteri Kehakiman, kecuali dalam hal :
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau
b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
pidana mati, atau
c. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan
negara.
Paragraf 2
Panitera
Pasal 27
(1) Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya Kepaniteraan yang dipimpin
oleh seorang Panitera.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Negeri dibantu oleh
seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, beberapa orang
Panitera Pengganti, dan beberapa orang Jurusita.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Tinggi dibantu oleh
seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panftera Muda, dan beberapa
orang Panitera Pengganti.
Pasal 28
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Negeri seorang calon harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
d. berijazah serendah-rendahnya sarjana muda hukum;
e. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai Wakil Panitera
atau 7 (tujuh) tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan Negeri, atau
menjabat sebagai Wakil Panitera Pengadilan Tinggi.
Pasal 29
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Tinggi, seorang calon harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, b, dan c;
b. berijazah sarjana hukum;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai Wakil Panitera
atau 8 (delapan) tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan Tinggi, atau 4
(empat) tahun sebagai Panitera Pengadilan Negeri.
Pasal 30
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Negeri, seorang calon
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 28 huruf a, b, c, dan
d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai Panitera Muda
atau 6 (enam) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Negeri.
Pasal 31
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Tinggi, seorang calon
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, b, dan c;
b. berijazah sarjana hukum;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai Panitera Muda
atau 7 (tujuh) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi, atau
4 (empat) tahun sebagai Wakil Panitera Pengadilan Negeri, atau menjabat
sebagai Panitera Pengadilan Negeri.
Pasal 32
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Negeri, seorang calon
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, b, c, dan d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Panitera
Pengganti Pengadilan Negeri.
Pasal 33
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Tinggi, seorang calon
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, b, c, dan d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Panitera
Pengganti Pengadilan Tinggi atau 4 (empat) tahun sebagai Panitera Muda
atau 8 (delapan) tahun sebapi Panitera Pengganti Pengadilan Negeri,
atau menjabat sebagai Wakil Panitera Pengadilan Negeri.
Pasal 34
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Negeri, seorang
calon harus memenuhi syatat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud data Pasal 28 huruf a, b, c, dan d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai pegawai negeri
pada Pengadilan Negeri.
Pasal 35
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, b, c, dan d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Panitera
Pengganti Pengadilan Negeri atau 10 (sepuluh) tahun sebagai pegawai
negeri pada Pengadilan Tinggi.
Pasal 36
(1). Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Panitera
tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang
berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia bertindak sebagai
Panitera.
(2) Panitera tidak boleh merangkap menjadi penasihat hukum.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Panitera selain jabatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
oleh Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 37
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pengadilan
diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh Menteri Kehakiman.
Pasal 38
Sebelum memangku jabatannya Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan
Panitera Pengganti diambil sumpah atau janjinya menurut agama atau
kepercayaannya oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan; bunyi sumpah atau
janji adalah sebagai berikut :
"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memperoleh
jabatan saya ini, langsung, atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau
cara apa pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada
siapa pun juga".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatan ini, tiada sekali-kali akan menerima langsung atau
tidak langsung dari siapa pun juga sesuatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan
serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang
Dasar 1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi
Negara Republik Indonesia".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya
ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan
berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya
seperti layaknya bagi seorang Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda,
Panitera Pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan
keadilan".
Paragraf 3
Jurusita
Pasal 39
Pada setiap Pengadilan Negeri ditetapkan adanya Jurusita dan Jurusita
Pengganti.
Pasal 40
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Jurusita, seorang calon harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
d. berijazah serendah-rendahnya Sekolah Menengah Tingkat Atas;
e. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Jurusita
Pengganti.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Jurusita Pengganti, seorang calon harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, b, c,
dan d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai pegawai
negeri pada Pengadilan Negeri.
Pasal 41
(1) Jurusita Pengadilan Negeri diangkat dan diberhentikan oleh Menteri
Kehakiman atas usul Ketua Pengadilan Negeri.
(2) Jurusita Pengganti diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Pengadilan
Negeri.
Pasal 42
Sebelum memangku jabatannya Jurusita dan Jurusita Pengganti diambil sumpah
atau janjinya menurut agama atau kepercayaannya oleh Ketua Pengadilan Negeri;
bunyi sumpah atau janji adalah sebagai berikut :
"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memperoleh
jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau
cara apa pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada
siapa pun juga".
"Saya bersumpahlberjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatan ini, tiada sekali-kali akan menerima langsung atau
tidak langsung dari siapa pun juga sesuatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan
serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang
Dasar 1945, dan serta undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi
Negara Republik Indonesia".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya
ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan
berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya
seperti layaknya bagi seorang Jurusita, Jurusita Pengganti yang berbudi baik
dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
Pasal 43
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Jurusita
tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang
berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia sendiri berkepentingan.
(2) Jurusita tidak boleh merangkap menjadi penasihat hukum.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Jurusita selain jabatan sebagai
mana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut oteh
Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Bagian Ketiga
Sekretaris
Pasal 44
Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya Sekretariat yang dipimpin oleh
seorang Sekretaris dan dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris.
Pasal 45
Panitera Pengadilan merangkap Sekretaris Pengadilan.
Pasal 46
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Negeri, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
d. berijazah serendah-rendahnya sarjana muda hukum atau sarjana muda
administrasi;
e. berpengalaman di bidang administrasi peradilan.
Pasal 47
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Tinggi, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf a, b, c, dan e;
b. berijazah sarjana hukum.
Pasal 48
Wakil Sekretaris Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Menteri
Kehakiman.
Pasal 49
Sebelum memangku jabatannya Wakil Sekretaris diambil sumpah atau janjinya
menurut agama atau kepercayaannya oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan;
bunyi sumpah atau janji adalah sebagai berikut:
Saya bersumpah/berjanji :
"bahwa saya, untuk diangkat menjadi Wakil Sekretaris, akan setia dan taat
sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan
Pemerintah";
"bahwa saya, akan menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh
pengabdian, kesadaran, dan tanggungjawab";
"bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah,
dan martabat Wakil Sekretaris serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan
negara dari pada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan" ;
"bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut
perintah harus saya rahasiakan";
"bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk
kepentingan negara".
BAB III
KEKUASAAN PENGADILAN
Pasal 50
Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.
Pasal 51
(1) Pengadilan Tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan
perkara perdata di tingkat banding.
(2) Pengadilan Tinggi juga bertugas dan berwenang mengadili di tingkat
pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan
Negeri di daerah hukumnya.
Pasal 52
(1) Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat
tentang hukum kepada instansi Pemerintah di daerahnya, apabila diminta.
(2) Selain tugas dan kewenangan tersebut dalam Pasal 50 dan Pasal 51,
Pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau
berdasarkan undang-undang.
Pasal 53
(1) Ketua Pengadilan mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan
tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, dan Jurusita di daerah
hukumnya.
(2) Selain tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan
Tinggi di daerah hukumnya melakukan pengawasan terhadap jalannya
peradilan di tingkat Pengadilan Negeri dan menjaga agar peradilan
diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2), Ketua Pengadilan dapat memberikan petunjuk, tegoran, dan
peringatan yang dipandang perlu.
(4) Pengawasan tersebut dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), tidak boleh
mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
Pasal 54
(1) Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan atas pekerjaan penasihat
hukum dan notaris di daerah hukumnya, dan melaporkan hasil
pengawasannya kepada Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Mahkamah Agung dan
Menteri Kehakiman.
(2) Berdasarkan hasil laporan tersebut dalam ayat (1), Menteri Kehakiman
dapat melakukan penindakan terhadap penasihat hukum dan notaris yang
melanggar peraturan perundang-undangan yang mengatur jabatan yang
bersangkutan, setelah mendengar usul/pendapat Ketua Mahkamah Agung dan
orpnisasi profesi yang bersangkutan.
(3) Sebelum Menteri Kehakiman melakukan penindakan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), kepada yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk
mengadakan pembelaan diri.
(4) Tata cara pengawasan dan penindakan serta pembelaan diri sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), diatur lebih lanjut
oleh Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman berdasarkan undang-
undang.
BAB IV
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Pasal 55
Ketua Pengadilan mengatur pembagian tugas para hakim.
Pasal 56
Ketua Pengadilan membagikan semua berkas perkara dan atau surat-surat lainnya
yang berhubungan denpn perkara yang diajukan ke Pengadilan kepada Majelis
Hakim untuk diselesaikan.
Pasal 57
Ketua Pengadilan menetapkan perkara yang harus diadili berdasarkan nomor
urut, tetapi apabila terdapat perkara tertentu yang karena menyangkut
kepentingan umum harus segera diadili, maka perkara itu didahulukan.
Pasal 58
Panitera Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi perkara dan
mengatur tugas Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti.
Pasal 59
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti bertugas
membantu Hakim dengan mengikuti dan mencatat jalannya sidang Pengadilan.
Pasal 60
Dalam perkara perdata, Panitera Pengadilan Negeri bertugas melaksanakan
putusan Pengadilan.
Pasal 61
(1) Panitera wajib membuat daftar semua perkara perdata dan pidana yang
diterima di Kepaniteraan.
(2) Dalam daftar perkara tersebut, tiap perkara diberi nomor urut dan
dibubuhi catatan singkat tentang isinya.
Pasal 62
Panitera membuat salinan putusan menurut ketentuan undang-undang yang
berlaku.
Pasal 63
(1) Panitera bertanggung jawab atas pengurusan berkas perkara, putusan,
dokumen, akta, buku daftar, biaya perkara, uang titipan pihak ketiga,
Surat-surat berharga, barang bukti, dan surat-surat lainnya yang
disimpan di Kepaniteraan.
(2) Semua daftar, catatan, risalah, berita acara serta berkas perkara tidak
boleh dibawa ke luar dari ruang Kepaniteraan, kecuali atas izin Ketua
Pengadilan berdasarkan ketentuan undang-undang.
(3) Tata cara pengeluaran surat asli, salinan putusan, risalah, berita
acara, dan akta serta surat-surat lainnya diatur oleh Mahkamah Agung.
Pasal 64
Tugas dan tanggung jawab serta tata keta Kepaniteraan Pengadilan diatur lebih
lanjut oleh Mahkamah Agung.
Pasal 65
(1) Jurusita bertugas :
a. melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Ketua Sidang;.
b. menyampaikan pengumuman-pengumuman, tegoran-tegoran, protes-
protes, dan pemberitahuan putusan Pengadilan menurut cara-cara
berdasarkan ketentuan undang-undang;
c. Melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri;
d. membuat berita acara penyitaan, yang salinannya diserahkan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan.
(2) Jurusita berwenang melakukan tugasya di daerah hukum Pengadilan yang
bersangkutan.
Pasal 66
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas Jurusita diatur oleh
Mahkamah Agung.
Pasal 67
(1) Sekretaris Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi umum
Pengadilan.
(2) Tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja
Sekretariat diatur lebih lanjut oleh Menteri Kehakiman.
Pasal 68
Ketentuan-ketentuan mengenai hukum acara yang berlaku bagi Peradilan Umum
diatur dengan undang-undang tersendiri.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 69
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, semua peraturan Pelaksanaan
yang telah ada mengenai Peradilan Umum dinyatakan tetap berlaku selama
ketentuan baru berdasarkan undang-undang ini belum dikeluarkan dan sepanjang
peraturan itu tidak bertentangan dengan undang-undang ini.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 70
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 13
Tahun 1965 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah
Agung dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 71
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-
undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 8 Maret 1986
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Maret 1986
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
SUDHARMONO, S.H.
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 1986
TENTANG
PERADILAN UMUM
I. UMUM
1. Di negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 keadilan,
kebenaran, kepastian hukum, dan ketertiban penyelenggaraan sistem
hukum merupakan hal-hal pokok untuk menjamin kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Lebih dari itu, hal pokok tersebut merupakan masalah yang sangat
penting dalam usaha mewujudkan suasana perikehidupan yang
sejahtera, aman, tenteram, dan tertib seperti yang diamanatkan
oleh Garis-garis Besar Haluan Negara. Oleh karena itu untuk
mewujudkannya dibutuhkan adanya lembaga yang bertugas
menyelenggarakan keadilan dengan baik. Salah satu lembaga untuk
menegakkan kebenaran data mencapai keadilan, ketertiban, dan
kepastian hukum adalah badan-badan peradilan sebagaimana
dimaksudkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasan Kehakiman, yang masing-masing mempunyai
lingkup kewenangan mengadili perkara atau sengketa di bidang
tertentu. Untuk terwujudnya peradilan yang sederhana, cepat,
tepat, adil, dan dengan biaya ringan sebagaimana ditegaskan oleh
Undang- undang Nomor 14 Tahun 1970, maka dasar yang selama ini
berlandaskan pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965 mengenai
kedudukan, susunan organisasi, kekuasaan tata kerja, dan
administrasi pengadilan di lingkungan Peradilan Umum, perlu
diganti dan disesuaikan dengan ketentuan Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970.
Dengan demikian, Undang-undang tentang Peradilan Umum ini
merupakan pelaksanaan ketentuan-ketentuan dan asas-asas yang
tercantum data Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 (Lembaran Negara
Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951).
2. Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dalam Undang-
undang ini dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Tinggi yang berpuncak pada Mahkamah Agung, sesuai dengan prinsip-
prinsip yang ditentukan oleh Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.
Dalam Undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, dan kedudukan
Hakim serta tata kerja administrasi pada Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi.
Pengadilan Negeri merupakan Pengadilan Tingkat Pertama untuk
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata
bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya, kecuali undang-undang
menentukan lain.
Pengadilan Tinggi merupakan Pengadilan Tingkat Banding terhadap
perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri, dan
merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir mengenai
sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah
hukumnya. Di samping itu sesuai dengan prinsip diferensiasi" yang
dicantumkan data Pasal 10 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, maka
Pengadilan dilingkungan Peradilan Umum sekaligus merupakan
Pengadilan untuk perkara tindak pidana ekonomi, perkara tindak
pidana anak, perkara pelanggaran lalu lintas jalan, dan perkara
lainnya yang ditetapkan dengan undang-undang. Mahkamah Agung
sebagai Pengadilan Negara Tertinggi diatur dengan undang-undang
tersendiri.
3. Mengingat luas lingkup tugas dan berat beban pekerjaan yang harus
dilaksanakan oleh Pengadilan, maka perlu adanya perhatian yang
besar terhadap tata cara dan pelaksanaan pengelolaan administrasi
Pengadilan.
Hal ini sangat penting, karena bukan saja menyangkut aspek
ketertiban dalam penyelenggaraan administrasi baik di bidang
perkara maupun di bidang kepegawaian, gaji, kepangkatan,
peralatan kantor, dan lain-lainnya, melainkan juga akan
mempengaruhi kelancaran penyelenggaraan peradilan itu sendiri.
Oleh karenanya, penyelenggaraan administrasi Pengadilan dalam
undang-undang ini dibedakan menurut jenisnya dan dipisahkan
penanganannya, walaupun dalam rangka koordinasi pertanggung-
jawaban tetap dibebankan kepada seorang pejabat, yaitu Panitera
yang merangkap sebagai Sekretaris.
Selaku Panitera ia menangani administrasi perkara dan hal-hal
administrasi lain yang bersifat teknis peradilan (yustisial).
Dalam pelaksanaan tugas ini Panitera dibantu oleh seorang Wakil
Panitera dan beberapa orang Panitera Muda.
Selaku Sekretaris ia menangani administrasi umum seperti
administrasi kepegawaian dan lain sebagainya, sedang dalam
pelaksanaan tugasnya ia dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris.
Dengan demikian staf kepaniteraan dapat lebih memusatkan
perhatian terhadap tugas dan fungsinya membantu Hakim dalam
bidang peradilan, sedangkan tugas administrasi lainnya dapat
dilaksanakan oleh staf sekretariat.
4. Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku. Kepala
Negara atas usul Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua
Mahkamah Agung.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar
1945 beserta penjelasannya, serta Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970, Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, dan demi terselenggara nya negara
hukum Republik Indonesia
Agar Pengadilan bebas dalam memberikan putusannya, perlu ada
jaminan bahwa baik Pengadilan maupun Hakim dalam melaksanakan
tugas terlepas dari pengaruh Pemerintah dan pengaruh lainnnya.
Dalam setiap pengangkatan, pemberhentian, mutasi, kenaikan
pangkat atau tindakan/hukuman administratif terhadap Hakim
Peradilan Umum perlu adanya kerjasama, konsultasi, dan koordinasi
antara Mahkamah Agung dengan Pemerintah.
Di samping itu perlu adanya pengaturan tersendiri mengenai
tunjangan dan ketentuan lain bagi para pejabat peradilan
khususnya para Hakim; demikian pula pangkat dan gaji diatur
tersendiri berdasarkan peraturan yang berlaku, sehingga para
pejabat peradilan tidak mudah dipengaruhi baik moril maupun
materiil.
Untuk lebih meneguhkan kehormatan dan kewibawaan Hakim serta
Pengadilan, maka perlu juga dijaga mutu (keahlian) para Hakim,
dengan diadakannya syarat-syarat tertentu untuk menjadi Hakim
yang diatur dalam undang-undang ini, dan diperlukan pembinaan
sebaik-baiknya dengan tidak mengurangi kebebasan Hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara.
Selain itu diadakan juga larangan bagi para Hakim merangkap
jabatan penasehat hukum, pelaksana putusan Pengadilan, wali,
pengampu, pengusaha, dan setiap jabatan yang bersangkutan dengan
suatu perkara yang akan atau sedang diadili olehnya. Selanjutnya
diadakan pula larangan rangkapan jabatan bagi Panitera dan
Jurusita.
Agar peradilan dapat berjalan dengan efektif, maka Pengadilan
Tinggi diberi tugas pengawasan terhadap Pengadilan Negeri di
daerah hukumnya.
Hal ini akan meningkatkan koordinasi antar Pengadilan Negeri di
daerah hukum suatu Pengadilan Tinggi yang bermanfaat bagi rakyat
pencari keadilan, karena Pengadilan Tinggi dalam melakukan
pengawasan tersebut dapat memberikan petunjuk, tegoran, dan
peringatan.
Selain itu pekerjaan dan kewajiban Hakim secara langsung dapat
diawasi sehingga jalannya peradilan yang sederhana, cepat, tepat,
adil, dan dengan biaya ringan akan lebih terjamin.
Petunjuk-petunjuk yang menimbulkan persangkaan keras, bahwa
seorang Hakim telah melakukan perbuatan tercela dipandang dari
sudut kesopanan dan kesusilaan, atau telah melakukan kejahatan,
atau kelalaian yang berulang kali dalam pekerjaannya, dapat
mengakibatkan bahwa ia diberhentikan tidak dengan hormat oleh
Presiden selaku Kepala Negara, setelah ia diberi kesempatan
membela diri. Hal ini dicantumkan dengan tegas dalam undang-
undang ini, mengingat luhur dan mulianya tugas Hakim; sedangkan
apabila ia melakukan perbuatan tercela dalam kedudukannya sebagai
pegawai negeri, baginya tetap berlaku ancaman yang ditetapkan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30. Tahun 1980 tentang Peraturan
Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
II.PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Di samping peradilan yang berlaku bagi rakyat pencari keadilan pada
umumnya mengenai perkara perdata dan pidana, ada pelaksana Kekuasaan
Kehakiman lain yang merupakan peradilan khusus bagi golongan rakyat
tertentu atau perkara tertentu yaitu Peradilan Agama, Peradilan
Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Yang dimaksud dengan rakyat
pencari keadilan ialah setiap orang, warga negara Indonesia atau bukan,
yang mencari keadilan pada Pengadilan di Indonesia.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Negeri ada di Kotamadya
atau di Ibukota Kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah
Kotamadya/Kabupaten, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan
adanya pengecualian.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Usul pembentukan Pengadilan Negeri diajukan oleh Menteri Kehakiman
berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 8
Yang dimaksud dengan "diadakan pengkhususan" ialah adanya
diferensiasi/spesialisasi di lingkungan Peradilan Umum, misalnya
Pengadilan Lalu lintas Jalan, Pengadilan Anak, Pengadilan Ekonomi,
sedangkan yang dimaksud dengan "yang diatur dengan undang-undang"
adalah susunan, kekuasaan, dan hukum acaranya.
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Hakim adalah pegawai negeri sehingga baginya berlaku Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Oleh
karena itu Menteri Kehakiman wajib melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap Hakim dalam rangka mencapai daya guna dan
hasil guna sebagaimana lazimnya bagi pegawai negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Pada waktu pengambilan sumpah/janji diucapkan kata-kata tertentu
sesuai dengan Agama masing-masing, misalnya untuk penganut Agama
Islam "Demi Allah" sebelum lafal sumpah dan untuk Agama
Kristen/Katolik kata-kata 'Kiranya Tuhan akan menolong saya"
sesudah lafal sumpah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Pemberhentian dengan hormat Hakim Pengadilan atas permintaan
sendiri, mencakup pengertian pengunduran diri dengan alasan Hakim
yang bersangkutan tidak berhasil menegakkan hukum data lingkungan
rumah tagganya sendiri. Pada hakekatnya situasi, kondisi,
suasana, dan keteraturan hidup di rumah tangga setiap Hakim
Pengadilan merupakan salah satu faktor yang penting peranannya
dalam usaha membantu meningkatkan citra dan wibawa seorang Hakim
itu sendiri. Yang dimaksud dengan "sakit jasmani atau rohani
terus menerus" ialah yang menyebabkan si penderita ternyata tidak
mampu lagi melakukan tugas kewajibannya dengan baik. Yang
dimaksud dengan "tidak cakap" ialah misalnya yang bersangkutan
banyak melakukan kesalahan besar dalam menjalankan tugasnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "dipidana" ialah dipidana dengan pidana
penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan. Yang dimaksud dengan
"melakukan perbuatan tercela" ialah apabila Hakim yang
bersangkutan karena sikap, perbuatan, dan tindakannya baik di
dalam maupun di luar Pengadilan merendahkan martabat Hakim. Yang
dimaksud dengan "tugas pekerjaan" ialah semua tugas yang
dibebankan kepada yang bersangkutan.
Ayat (2)
Dalam hal pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan
dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan, yang
bersangkutan tidak diberi kesempatan untuk membela diri, kecuali
apabila dipidana penjara yang dijatuhkan kepadanya itu kurang
dari 3 (tiga) bulan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 21
Seorang Hakim tidak boleh diberhentikan dari kedudukannya sebagai
pegawai negeri sebelum diberhentikan dari jabatannya sebagai Hakim.
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian, Hakim
bukan jabatan dalam bidang eksekutif. Oleh sebab itu pemberhentiannya
harus tidak sama dengan pegawai negeri lainnya.
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pangkat dan gaji Hakim diatur tersendiri berdasarkan peraturan
yang berlaku. Yang dimaksud dengan ketentuan lain adalah hal-hal
yang antara lain menyangkut kesejahteraan seperti rumah dinas,
dan kendaraan dinas.
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Yang dimaksud dengan "Sarjana Muda Hukum" termasuk mereka yang telah
mencapai tingkat pendidikan hukum sederajat dengan sarjana muda, dan
dianggap cakap untuk jabatan itu. Masa pengalaman disesuaikan dengan
eselon, pangkat, dan syarat- syarat lain yang berkaitan. Alih jabatan
dari Pengadilan Tinggi ke Pengadilan Negeri atau sebaliknya
dimungkinkan dalam eselon yang sama.
Pasal 29
Sama dengan penjelasan tentang masa pengalaman pada Pasal 28.
Pasal 30
Sama dengan penjelasan Pasal 29
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Ketentuan ini berlaku juga bagi Wakil Panitera, Panitera Muda, dan
Panitera Pengganti.
Pasal 37
Pengangkatan atau pemberhentian Panitera, Wakil Panitera, Panitera
Muda, dan Panitera Pengganti dapat juga dilakukan berdasarkan usul
Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
Pasal 38
Sama dengan penjelasan Pasal 17 ayat (1)
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Sama dengan penjelasan Pasal 17 ayat (1)
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Pengangkatan atau pemberhentian Wakil Sekretaris Pengadilan dapat juga
dilakukan berdasarkan usul Ketua Pengadilan atau Kepala Kantor Wilayah
Departemen Kehakiman yang bersangkutan.
Pasal 49
Sama dengan penjelasan Pasal 17 ayat (1)
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Ayat (1)
Pemberian keterangan, pertimbangan, dan nasihat tentang hukum,
dikecualikan dalam hal-hal yang berhubungan dengan perkara yang
sedang atau akan diperiksa di Pengadilan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "seksama dan sewajarnya" ialah antara lain
bahwa penyelenggaraan peradilan harus dilakukan sesuai dengan
ketentuan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yaitu dilakukan
dengan cepat, sederhana, dan dengan biaya
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Yang berwenang menentukan bahwa suatu perkara menyangkut kepentingan
umum adalah Ketua Pengadilan.
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Berdasarkan catatan Panitera disusun berita acara persidangan.
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "dibawa keluar" meliputi segala bentuk dan
cara apapun juga yang memindahkan isi daftar, catatan, risalah,
berita acara serta berkas perkara, agar tidak jatuh ketangan
pihak yang tidak berhak.
--------------------------------
CATATAN
Kutipan: LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1986 YANG
TELAH DICETAK ULANG
Silahkan download versi PDF nya sbb:
peradilan_umum_(uu_2_thn_1986)_2.pdf
(ogi/Carapedia)
Pencarian Terbaru
Uud no 2/1986 tugas dan wewenang... Syatat dan ketentuan pindah sekolah. antar propinsi. Psl 52 ayat 2 bab kekuasaan pengadilan uu no.2/1986).
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)






