- Home »
- Undang-Undang »
- 2006 » Undang-Undang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UU 3 thn 2006)
2006
Undang-Undang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UU 3 thn 2006)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama :
Silahkan download versi PDF nya sbb:
perubahan_atas__nomor_7_tahun_1989_tentang_peradi_3.pdf
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa, negara, dan masyarakat yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan; b. bahwa Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; c. bahwa Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359); 3. Undang-Undang . . . -2- 3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400); 4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4338); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG- UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. 2. Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan pasal baru yakni Pasal 3A, yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 3A Di lingkungan Peradilan Agama dapat diadakan pengkhususan pengadilan yang diatur dengan Undang- Undang. 3. Ketentuan . . . -3- 3. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 (1) Pengadilan agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. (2) Pengadilan tinggi agama berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. 4. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi, dan finansial pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. 5. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 (1) Hakim pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman. (2) Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian, serta pelaksanaan tugas hakim ditetapkan dalam Undang-Undang ini. 6. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12 (1) Pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung. (2) Pembinaan dan pengawasan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. 7. Ketentuan . . . -4- 7. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 (1) Untuk dapat diangkat sebagai calon hakim pengadilan agama, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. warga negara Indonesia; b. beragama Islam; c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; e. sarjana syariah dan/atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam; f. sehat jasmani dan rohani; g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan h. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia. (2) Untuk dapat diangkat menjadi hakim harus pegawai negeri yang berasal dari calon hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berumur paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun. (3) Untuk dapat diangkat menjadi ketua atau wakil ketua pengadilan agama harus berpengalaman paling singkat 10 (sepuluh) tahun sebagai hakim pengadilan agama. 8. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 (1) Untuk dapat diangkat menjadi hakim pengadilan tinggi agama, seorang hakim harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf g, dan huruf h; b. berumur paling rendah 40 (empat puluh) tahun; c. pengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai ketua, wakil ketua, pengadilan agama, atau 15 (lima belas) tahun sebagai hakim pengadilan agama; dan -5- d. lulus eksaminasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. (2) Untuk dapat diangkat menjadi ketua pengadilan tinggi agama harus berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai hakim pengadilan tinggi agama atau 3 (tiga) tahun bagi hakim pengadilan tinggi agama yang pernah menjabat ketua pengadilan agama. (3) Untuk dapat diangkat menjadi wakil ketua pengadilan tinggi agama harus berpengalaman paling singkat 4 (empat) tahun sebagai hakim pengadilan tinggi agama atau 2 (dua) tahun bagi hakim pengadilan tinggi agama yang pernah menjabat ketua pengadilan agama. 9. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 (1) Hakim pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. (2) Ketua dan wakil ketua pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung. 10. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1) Sebelum memangku jabatannya, ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan wajib mengucapkan sumpah menurut agama Islam. (2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut : "Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa". (3) Wakil ketua dan hakim pengadilan agama mengucapkan sumpah di hadapan ketua pengadilan agama. -6- (4) Wakil ketua dan hakim pengadilan tinggi agama serta ketua pengadilan agama mengucapkan sumpah di hadapan ketua pengadilan tinggi agama. (5) Ketua pengadilan tinggi agama mengucapkan sumpah di hadapan Ketua Mahkamah Agung. 11. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 (1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang- undang, hakim tidak boleh merangkap menjadi: a. pelaksana putusan pengadilan; b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang diperiksa olehnya; atau c. pengusaha. (2) Hakim tidak boleh merangkap menjadi advokat. (3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh hakim selain jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 12. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 (1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: a. permintaan sendiri; b. sakit jasmani atau rohani terus-menerus; c. telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan agama, dan 65 (enam puluh lima) tahun bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan tinggi agama; atau d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya. (2) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan yang meninggal dunia dengan sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden. 13. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 . . . -7- Pasal 19 (1) Ketua, wakil ketua, dan hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan: a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan; b. melakukan perbuatan tercela; c. terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya; d. melanggar sumpah jabatan; atau e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17. (2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim. (3) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim, serta tata cara pembelaan diri diatur lebih lanjut oleh Ketua Mahkamah Agung. 14. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 Seorang hakim yang diberhentikan dari jabatannya dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri. 15. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21 (1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan sebelum diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Ketua Mahkamah Agung. (2) Terhadap pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2). (3) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 6 (enam) bulan. 16. Ketentuan . . . -8- 16. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25 Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan dapat ditangkap atau ditahan atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung, kecuali dalam hal: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati; atau c. disangka telah melakukan kejahatan terhadap kemanan negara. 17. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27 Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengadilan agama, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. warga negara Indonesia; b. beragama Islam; c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; e. berijazah serendah-rendahnya sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam; f. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera, 5 (lima) tahun sebagai panitera muda pengadilan agama, atau menjabat wakil panitera pengadilan tinggi agama; dan g. sehat jasmani dan rohani. 18. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengadilan tinggi agama, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf g; b. berijazah serendah-rendahnya sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam; c. berpengalaman . . . -9- c. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera, 5 (lima) tahun sebagai panitera muda pengadilan tinggi agama, atau 3 (tiga) tahun sebagai panitera pengadilan agama. 19. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29 Untuk dapat diangkat menjadi wakil panitera pengadilan agama, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g; dan b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai panitera muda atau 4 (empat) tahun sebagai panitera pengganti pengadilan agama. 20. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 Untuk dapat diangkat menjadi wakil panitera pengadilan tinggi agama, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf g; b. berijazah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam; dan c. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai panitera muda pengadilan tinggi agama, 5 (lima) tahun sebagai panitera muda pengadilan tinggi agama, atau 3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera pengadilan agama, atau menjabat sebagai panitera pengadilan agama. 21. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31 Untuk dapat diangkat menjadi panitera muda pengadilan agama, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g; dan b. berpengalaman . . . - 10 - b. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai panitera pengganti pengadilan agama. 22. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 Untuk dapat diangkat menjadi panitera muda pengadilan tinggi agama, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g; dan b. berpangalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai panitera pengganti pengadilan tinggi agama, 3 (tiga) tahun sebagai panitera muda, 5 (lima) tahun sebagai panitera pengganti pengadilan agama, atau menjabat sebagai wakil panitera pengadilan agama. 23. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33 Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengganti pengadilan agama, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. syarat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g; dan b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai pegawai negeri pada pengadilan agama. 24. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34 Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengganti pengadilan tinggi agama, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. syarat sebagaimana dimaksud Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf g; dan b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai panitera pengganti pengadilan agama atau 8 (delapan) tahun sebagai pegawai negeri pada pengadilan tinggi agama. 25. Ketentuan . . . - 11 - 25. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 (1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang- undang, panitera tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia bertindak sebagai Panitera. (2) Panitera tidak boleh merangkap menjadi advokat. (3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh panitera selain jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung. 26. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36 Panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh Mahkamah Agung. 27. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37 (1) Sebelum memangku jabatannya, panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti mengucapkan sumpah menurut agama Islam di hadapan ketua pengadilan yang bersangkutan. (2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut: "Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga." "Saya bersumpah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian. "Saya bersumpah bahwa saya, akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar . . . - 12 - Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan segala undang-undang serta peraturan perundang- undangan lainnya yang berlaku bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia". "Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik- baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang panitera, wakil panitera, panitera muda, panitera pengganti, yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan." 28. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39 (1) Untuk dapat diangkat menjadi jurusita, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. warga negara Indonesia; b. beragama Islam; c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; e. berijazah paling rendah Sekolah Menengah Umum atau yang sederajat; f. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai jurusita pengganti; dan g. sehat jasmani dan rohani. (2) Untuk dapat diangkat menjadi jurusita pengganti, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. syarat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g, dan; b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai pegawai negeri pada pengadilan agama. 29. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40 . . . - 13 - Pasal 40 (1) Jurusita pengadilan agama diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung atas usul ketua pengadilan yang bersangkutan. (2) Jurusita pengganti diangkat dan diberhentikan oleh ketua pengadilan yang bersangkutan. 30. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41 (1) Sebelum memangku jabatannya, jurusita atau jurusita pengganti wajib mengucapkan sumpah menurut agama Islam di hadapan ketua pengadilan yang bersangkutan. (2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut: "Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga". "Saya bersumpah, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian". "Saya bersumpah bahwa saya, akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan segala undang-undang serta peraturan perundang- undangan lainnya yang berlaku bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia". "Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik- baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang jurusita atau jurusita pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan". 31. Ketentuan . . . - 14 - 31. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42 (1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang- undang, jurusita tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia sendiri berkepentingan. (2) Jurusita tidak boleh merangkap advokat. (3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh jurusita selain jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung. 32. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44 Panitera pengadilan tidak merangkap sekretaris pengadilan. 33. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45 Untuk dapat diangkat menjadi sekretaris, wakil sekretaris pengadilan agama, dan pengadilan tinggi agama seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. warga negara Indonesia; b. beragama Islam; c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; e. berijazah paling rendah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam; f. berpengalaman di bidang administrasi peradilan; dan g. sehat jasmani dan rohani. 34. Ketentuan Pasal 46 dihapus. 35. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47 Sekretaris dan wakil sekretaris pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung. 36. Ketentuan . . . - 15 - 36. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48 (1) Sebelum memangku jabatannya, sekretaris, dan wakil sekretaris mengucapkan sumpah menurut agama Islam di hadapan ketua pengadilan yang bersangkutan. (2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut: "Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk diangkat menjadi sekretaris/wakil sekretaris akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara, dan pemerintah. "Saya bersumpah bahwa saya, akan menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab". "Saya bersumpah bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah, martabat sekretaris/wakil sekretaris serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan". "Saya bersumpah bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau perintah harus saya rahasiakan". "Saya bersumpah bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara". 37. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49 Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan . . . - 16 - a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah. 38. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50 (1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. (2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49. 39. Di antara Pasal 52 dan Pasal 53 disisipkan satu pasal baru yakni Pasal 52A, yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 52A Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah. 40. Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 90 (1) Biaya perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, meliputi: a. biaya . . . - 17 - a. biaya kepaniteraan dan biaya meterai yang diperlukan untuk perkara tersebut; b. biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan biaya pengambilan sumpah yang diperlukan dalam perkara tersebut; c. biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan setempat dan tindakan-tindakan lain yang diperlukan pengadilan dalam perkara tersebut; dan d. biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah pengadilan yang berkenaan dengan perkara tersebut. (2) Besarnya biaya perkara diatur oleh Mahkamah Agung. 41. Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 105 (1) Sekretaris pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi umum pengadilan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja sekretariat diatur oleh Mahkamah Agung. 42. Di antara Pasal 106 dan BAB VII disisipkan satu pasal baru yakni Pasal 106A, yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 106A Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku peraturan perundang-undangan pelaksana Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini. Pasal II Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar . . . - 18 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 20 Maret 2006 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 20 Maret 2006 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd HAMID AWALUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 22 Salinan sesuai dengan aslinya DEPUTI MENTERI SEKRETARIS NEGARA BIDANG PERUNDANG-UNDANGAN, ABDUL WAHID PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan dalam Pasal 24 ayat (2) bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung bersama badan peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah. Dengan penegasan kewenangan Peradilan Agama tersebut dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum kepada pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara tertentu tersebut, termasuk pelanggaran atas Undang-Undang tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya serta memperkuat landasan hukum Mahkamah Syar'iyah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan qanun. Dalam Undang-Undang ini kewenangan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syari'ah. Dalam kaitannya dengan perubahan Undang-Undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: "Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan", dinyatakan dihapus. Dalam . . . -2- Dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum, telah dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana terakhir telah diganti menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Demikian pula halnya telah dilakukan perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan adanya pengadilan khusus yang dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan dengan undang-undang. Oleh karena itu, keberadaan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama perlu diatur pula dalam Undang-Undang ini. Penggantian dan perubahan kedua Undang-Undang tersebut secara tegas telah mengatur pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dari semua lingkungan peradilan ke Mahkamah Agung. Dengan demikian, organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang sebelumnya masih berada di bawah Departemen Agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama perlu disesuaikan. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pengalihan ke Mahkamah Agung telah dilakukan. Untuk memenuhi ketentuan dimaksud perlu pula diadakan perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 2 Yang dimaksud dengan "rakyat pencari keadilan" adalah setiap orang baik warga negara Indonesia maupun orang asing yang mencari keadilan pada pengadilan di Indonesia. Angka 2 . . . -3- Angka 2 Pasal 3 A Pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama adalah pengadilan syari'ah Islam yang diatur dengan Undang-Undang. Mahkamah Syar'iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 15 ayat (2) disebutkan bahwa: "Peradilan Syari'ah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangan-nya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan Peradilan Umum". Angka 3 Pasal 4 Ayat (1) Pada dasarnya tempat kedudukan pengadilan agama berada di ibukota kabupaten dan kota, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten atau kota, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 5 Cukup jelas. Angka 5 Pasal 11 Cukup jelas. Angka 6 Pasal 12 Cukup jelas. Angka 7 Pasal 13 Cukup jelas. Angka 8 . . . -4- Angka 8 Pasal 14 Cukup jelas. Angka 9 Pasal 15 Cukup jelas. Angka 10 Pasal 16 Cukup jelas. Angka 11 Pasal 17 Cukup jelas. Angka 12 Pasal 18 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "sakit jasmani atau rohani terus-menerus" adalah sakit yang menyebabkan yang bersangkutan ternyata tidak mampu lagi melakukan tugas kewajibannya dengan baik. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan "tidak cakap" adalah misalnya yang bersangkutan banyak melakukan kesalahan besar dalam menjalankan tugasnya. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 13 Pasal 19 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "tindak pidana kejahatan" adalah tindak pidana yang ancaman pidananya paling singkat 1 (satu) tahun. Huruf b . . . -5- Huruf b Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan tercela" adalah apabila hakim yang bersangkutan karena sikap, perbuatan, dan tindakannya baik di dalam maupun di luar pengadilan merendahkan martabat hakim. Huruf c Yang dimaksud dengan "tugas pekerjaannya" adalah semua tugas yang dibebankan kepada yang bersangkutan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Dalam hal pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan dipidana karena melakukan tindakan pidana kejahatan, yang bersangkutan tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 14 Pasal 20 Cukup jelas. Angka 15 Pasal 21 Cukup jelas. Angka 16 Pasal 25 Cukup jelas. Angka 17 Pasal 27 Cukup jelas. Angka 18 Pasal 28 Cukup jelas. Angka 19 Pasal 29 Cukup jelas. Angka 20 . . . -6- Angka 20 Pasal 30 Cukup jelas. Angka 21 Pasal 31 Cukup jelas. Angka 22 Pasal 32 Cukup jelas. Angka 23 Pasal 33 Cukup jelas. Angka 24 Pasal 34 Cukup jelas. Angka 25 Pasal 35 Ketentuan ini berlaku juga bagi wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti. Angka 26 Pasal 36 Cukup jelas. Angka 27 Pasal 37 Cukup jelas. Angka 28 Pasal 39 Cukup jelas. Angka 29 Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 30 Pasal 41 Cukup jelas. Angka 31 . . . -7- Angka 31 Pasal 42 Cukup jelas. Angka 32 Pasal 44 Cukup jelas. Angka 33 Pasal 45 Cukup jelas. Angka 34 Pasal 46 Cukup jelas. Angka 35 Pasal 47 Cukup jelas. Angka 36 Pasal 48 Cukup jelas. Angka 37 Pasal 49 Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari'ah, melainkan juga di bidang ekonomi syari'ah lainnya. Yang dimaksud dengan "antara orang-orang yang beragama Islam" adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal- hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini. Huruf a Yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari'ah, antara lain: 1. izin beristri lebih dari seorang; 2. izin . . . -8- 2. izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat; 3. dispensasi kawin; 4. pencegahan perkawinan; 5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah; 6. pembatalan perkawinan; 7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri; 8. perceraian karena talak; 9. gugatan perceraian; 10. penyelesaian harta bersama; 11. penguasaan anak-anak; 12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya; 13. penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri; 14. putusan tentang sah tidaknya seorang anak; 15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; 16. pencabutan kekuasaan wali; 17. penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut; 18. penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya; 19. pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya; 20. penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam; 21. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran; 22. pernyataan . . . -9- 22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain. Huruf b Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris. Huruf c Yang dimaksud dengan "wasiat" adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia. Huruf d Yang dimaksud dengan "hibah" adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki. Huruf e Yang dimaksud dengan "wakaf" adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari'ah. Huruf f Yang dimaksud dengan "zakat" adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari'ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Huruf g . . . - 10 - Huruf g Yang dimaksud dengan "infaq" adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata'ala. Huruf h Yang dimaksud dengan "shadaqah" adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata'ala dan pahala semata. Huruf i Yang dimaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain meliputi: a. bank syari'ah; b. lembaga keuangan mikro syari'ah. c. asuransi syari'ah; d. reasuransi syari'ah; e. reksa dana syari'ah; f. obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah; g. sekuritas syari'ah; h. pembiayaan syari'ah; i. pegadaian syari'ah; j. dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan k. bisnis syari'ah. Angka 38 Pasal 50 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Ketentuan ini memberi wewenang kepada pengadilan agama untuk sekaligus memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan objek sengketa yang diatur dalam Pasal 49 apabila subjek sengketa antara orang- orang yang beragama Islam. Hal ini . . . - 11 - Hal ini menghindari upaya memperlambat atau mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa milik atau keperdataan lainnya tersebut sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan dengan adanya gugatan di pengadilan agama. Sebaliknya apabila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau keperdataan lain tersebut bukan yang menjadi subjek bersengketa di pengadilan agama, sengketa di pengadilan agama ditunda untuk menunggu putusan gugatan yang diajukan ke pengadilan di lingkungan Peradilan Umum. Penangguhan dimaksud hanya dilakukan jika pihak yang berkeberatan telah mengajukan bukti ke pengadilan agama bahwa telah didaftarkan gugatan di pengadilan negeri terhadap objek sengketa yang sama dengan sengketa di pengadilan agama. Dalam hal objek sengketa lebih dari satu objek dan yang tidak terkait dengan objek sengketa yang diajukan keberatannya, pengadilan agama tidak perlu menangguhkan putusannya, terhadap objek sengketa yang tidak terkait dimaksud. Angka 39 Pasal 52A Selama ini pengadilan agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan 1 (satu) Ramadhan dan 1 (satu) Syawal. Pengadilan agama dapat memberikan keterangan atau nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat. Angka 40 Pasal 90 Cukup jelas. Angka 41 . . . - 12 - Angka 41 Pasal 105 Cukup jelas. Angka 42 Pasal 106A Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4611
Silahkan download versi PDF nya sbb:
perubahan_atas__nomor_7_tahun_1989_tentang_peradi_3.pdf
(ogi/Carapedia)
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)