- Home »
- Undang-Undang »
- 1986 » Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (UU 5 thn 1986)
1986
Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (UU 5 thn 1986)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara :
Silahkan download versi PDF nya sbb:
peradilan_tata_usaha_negara_(uu_5_thn_1986)_5.pdf
Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU)
Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor: 5 TAHUN 1986 (5/1986)
Tanggal: 29 DESEMBER 1986 (JAKARTA)
Sumber: LN 1986/77
Tentang: PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Indeks: ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. PEGAWAI NEGERI. Aparatur. Warga Negara.
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
a. bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata
kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, serta
tertib, yang menjamin persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum,
dan yang menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta
selaras antara aparatur di bidang Tata Usaha Negara dengan para warga
masyarakat;
b. bahwa dalam mewujudkan tata kehidupan tersebut, dengan jalan mengisi
kemerdekaan melalui pembangunan nasional secara bertahap, diusahakan
untuk membina, menyempurnakan, dan menertibkan aparatur di bidang Tata
Usaha Negara, agar mampu menjadi alat yang efisien, efektit, bersih,
serta berwibawa, dan yang dalam melaksanakan tugasnya selalu
berdasarkan hukum dengan dilandasi semangat dan sikap pengabdian untuk
masyarakat;
c. bahwa meskipun pembangunan nasional hendak menciptakan suatu kondisi
sehingga setiap warga masyarakat dapat menikmati suasana serta iklim
ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan, dalam
pelaksanaannya ada kemungkinan timbul benturan kepentingan,
perselisilian, atau sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara dengan warga masyarakat yang dapat merugikan atau menghambat
jalannya pembangunan nasional;
d. bahwa untuk menyelesaikan sengketa tersebut diperlukan adanya Peradilan
Tata Usaha Negara yang mampu menegakkan keadilan, kebenaran,
ketertiban, dan kepastian hukum, sehingga dapat memberikan pengayoman
kepada masyarakat, khususnya dalam hubungan antara Badan atau Pejabat
Tata Usaba Negara dengan masyarakat;
e. bahwa sehubungan dengan pertimbangan tersebut, dan sesuai pula dengan
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, perlu dibentuk Undang-undang tentang Peradilan
Tata Usaha. Negara;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-
Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
IV/MPR/1978 dihubungkan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan
Negara;
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2951);
4. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran
Negara Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3316);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Pengertian
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Tata Usaha Negara adalah Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi
untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di
daerah;
2. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang
melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
3. Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi
tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final,
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata;
4. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang
Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai
akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5. Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapatkan
putusan;
6. Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan
keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan
kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata;
7. Pengadilan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara dan/atau Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara;
8. Hakim adalah Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara dan/atau Hakim
pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Pasal 2
Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-
undang ini :
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat
umum;
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum
pidana;
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil
pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia;
g. Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai
hasil pemilihan umum.
Pasal 3
(1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan
keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut
disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
(2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan
keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan
data peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan
keputusan yang dimaksud.
(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak
menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka
setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimnya permohonan,
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah
mengeluarkan keputusan penolakan.
Bagian Kedua
Kedudukan
Pasal 4
Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara.
Pasal 5
(1) Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
dilaksanakan oleh :
a. Pengadilan Tata Usaha Negara;
b. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
(2) Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara berpuncak
pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
Bagian Ketiga
Tempat Kedudukan
Pasal 6
(1) Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di kotamadya atau ibukota
kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau
kabupaten.
(2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota propinsi,
dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi.
Bagian Keempat
Pembinaan
Pasal 7
(1) Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan dilakukan oleh Mahkamah
Agung.
(2) Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan dilakukan
oleh Departemen Kehakiman.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak boleh
mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa Tata
Usaha Negara.
BAB II
SUSUNAN PENGADILAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 8
Pengadilan terdiri atas :
a. Pengadilan Tata Usaha Negara, yang merupakan pengadilan tingkat
pertama;
b. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, yang merupakan pengadilan tingkat
banding.
Pasal 9
Pengadilan Tata Usaha Negara dibentuk dengan Keputusan Presiden.
Pasal 10
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dibentuk dengan undang-undang.
Pasal 11
(1) Susunan Pengadilan terdiri atas Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, dan
Sekretaris.
(2) Pimpinan Pengadilan terdiri atas seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua.
(3) Hakim anggota pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara adalah Hakim
Tinggi.
Bagian Kedua
Ketua, Wakil Ketua, Hakim, dan Panitera Pengadilan
Paragraf 1
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
Pasal 12
(1) Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.
(2) Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian, serta pelaksanaan
tugas Hakim ditetapkan dalam Undang-undang ini.
Pasal 13
(1) Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim sebagai pegawai negeri,
dilakukan oleh Menteri Kehakiman.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak
boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa
Tata Usaha Negara.
Pasal 14
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
d. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis
Indonesia, termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang
terlibat langsung ataupun tak langsung dalam "Gerakan Kontra
Revolusi G.30.S/PKI" atau organisasi terlarang lainnya;
e. pegawai negeri;
f. sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian di bidang
Tata Usaha Negara;
g. berumur serendah-rendahnya dua puluh lima tahun;
h. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Tata
Usaha Negara diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya sepuluh tahun
sebagai Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 15
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), huruf
a huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf h;
b. berumur serendah-rendahnya empat puluh tahun;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya lima tahun sebagai Ketua atau
Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara, atau sekurang-kurangnya
lima belas tahun sebagai Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya sepuluh tahun sebagai Hakim
pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau sekurang-kurangnya lima
tahun bagi Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang pernah
menjabat Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya delapan tahun sebagai
Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau sekurang-kurangnya
tiga tahun bagi Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang
pernah menjabat Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 16
(1) Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara
atas usul Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah
Agung.
(2) Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 17
(1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan
wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaan;
bunyi sumpah atau janji itu adalah sebagai berikut :
"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk
memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan
menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau
menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima
langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau
pemberian".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup
bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional: Undang-Undang Dasar 1945,
dan segala undang-undang, serta peraturan lain yang berlaku bagi negara
Republik Indonesia".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan
saya ini dengan jujur, seksama dan dengan tidak membeda-bedakan orang
dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya ini sebaik-baiknya
dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Ketua/Wakil
Ketua/Hakim yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan
keadilan".
(2) Wakil Ketua dan Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara diambil sumpah
atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara.
(3) Wakil Ketua dan Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara serta
Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara diambil sumpah atau janjinya oleh
Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
(4) Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara diambil sumpah atau janjinya
oleh Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 18
(1) Kecual ditentuakan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Hakim
tidak boleh merangkap menjadi :
a. pelaksana putusan pengadilan;
b. wali pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara
yang diperiksan olehnya;
c. pengusaha.
(2) Hakim tidak boleh merangkap menjadi penasihat hukum.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim selain jabatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari
jabatannya karena :
a. permintaan sendiri;
b. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
c. telah berumur enam puluh tahun bagi Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
pada Pengadilan Tata Usaha Negara dan enam puluh tiga tahun bagi
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara;
d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
(2) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim yang meninggal dunia dengan sendirinya
diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala
Negara.
Pasal 20
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari
jabatannya dengan alasan :
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas
pekerjaannya;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan;
e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e dilakukan setelah
yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri di hadapan
Majelis Kehormatan Hakim.
(3) Pembentukan, susunan, dan tata keda Majelis Kehormatan Hakim serta tata
cara pembelaan diri ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung bersama-sama
Menteri Kehakiman.
Pasal 21
Seorang Hakim yang diberhentikan dari jabatannya tidak dengan sendirinya
diberhentikan sebagai pegawai negeri.
Pasal 22
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan hormat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), dapat diberhentikan
sementara dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul
Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
(2) Terhadap pengusulan pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), berlaku juga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (2).
Pasal 23
(1) Apabila terhadap seorang Hakim ada perintah penangkapan yang diikuti
dengan penahanan, dengan sendirinya Hakim tersebut diberhentikan
sementara dari jabatannya.
(2) Apabila seorang Hakim dituntut di muka Pengadilan Negari dalam perkara
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tanpa ditahan, maka ia dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya.
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentain dengan hormat,
pemberhentian tidak dengan hormat, dan pemberhentaian sementara, serta hak-
hak pejabat yang terhadapnya dikenakan pemberhentian, diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 25
(1) Kedudukan protokol Hakim diatur dengan Keputusan Presiden.
(2) Tunjangan dan ketentuan lainnya bagi Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 26
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim dapat ditangkap atau ditahan hanya atas
perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan dari Ketua Mahkamah
Agung dan Menteri Kehakiman.
(2) Dalam hal :
a. Tertangkap tangan melakukan tindak Pidana kejahatan, atau
b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam
dengan pidana mati, atau
c. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap
keamanan negara.
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim dapat ditangkap tanpa perintah dan
persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Paragraf 2
Panitera
Pasal 27
(1) Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya kepaniteraan yang dipimpin
oleh seorang Panitera.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan dibantu oleh seorang
Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, dan beberapa orang
Panitera Pengganti.
Pasal 28
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
d. serendah-rendahnya berijazah sarjana muda hukum;
e. berpengalaman sekurang-kurangnya empat tahun sebagai Wakil Panitera
atau tujuh tahun sebagai Panitera Muda Pengaditan Tata Usaha Negara,
atau menjabat sebagai Wakil Panitera Pangadilan Tinggi Tata Usaha
Negara.
Pasal 29
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, dan
huruf c
b. berijazah sarjana hukum;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya empat tahun sebagai Wakil Panitera
atau delapan tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara, atau empat tahun sebagai Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 30
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya empat tahun sebagai Panitera Muda atau
enam tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 31
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, dan
huruf c;
b. berijazah sarjana hukum;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya empat tahun sebagai Panitera Muda atau
tujuh tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara atau empat tahun sebagai Wakil Panitera Pengadilan Tata Usaha
Negara, atau menjabat sebagai Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 32
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Tata Usaha Negara,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya tiga tahun sebagai Panitera Pengganti
Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 33
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya tiga tahun sebagai Panitera Pengganti
Penpdilan Tinggi Tata Usaha Negara atau empat tahun sebagai Panitera
Muda atau delapan tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Tata
Usaha Negara, atau menjabat sebagai Wakil Panitera Pengadilan Tata
Usaha Negara.
Pasal 34
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Tata Usaha Negara,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya lima tahun sebagai pegawai negeri pada
Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 35
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara, seorang, calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, dan
huruf d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya lima tahun sebagai Panitera Pengganti
Pengadilan Tata Usaha Negara atau sepuluh tahun sebagai pegawai negeri
pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Pasal 36
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Panitera
tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang
berkairan dengan perkara yang di dalamnya ia bertindak sebagai
Panitera.
(2) Panitera tidak boleh merangkap menjadi penasihat hukum.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Panitera selain jabatan
sebagaimana dimaksud dalam rayat (1), dan ayat (2) diatur lebih lanjut
oleh Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 37
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti diangkat dari
diberhentikan dari jabatannya oleh Menteri Kehakiman.
Pasal 38
Sebelum memangku jabatannya, Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan
Panitera Pengganti diambil sumpah atau janjinya menurut agama atau
kepercayaannya oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan; bunyi sumpah atau
janji itu adalah sebagai berikut:
"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memperoleh
jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau
cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada
siapa pun".
"Saya bersumpah/belanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-sekali akan menerima langsung atau
tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan
serta mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar negara, dan
ideologi nasional; Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta
peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya
ini dengan jujur, saksama dan dengan tidak membedakan orang dan akan berlaku
dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, seperti
layaknya bagi seorang Panitera/Wakil Panitera/Panitera Muda/Panitera
Pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
Pasal 39
Tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja keparliteraan
Pengadilan diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.
Bagian Ketiga
Sekretaris
Pasal 40
Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya sekretariat yang dipimpin oleh
seorang Sekretaris dan dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris.
Pasal 41
Jabatan Sekretaris Pengadilan dirangkap oleh Panitera.
Pasal 42
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Tata Usaha Negara,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
d. serendah-rendahnya berijazah sadana muda hukum atau sarjana muda
administrasi;
e. berpengalaman di bidang administrasi peradilan.
Pasal 43
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf e;
b. berijazah sadana hukum atau sarjana administrasi.
Pasal 44
Wakil Sekretaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kehakiman.
Pasal 45
Sebelum memangku jabatannya, Sekretaris, Wakil Sekretaris diambil sumpah atau
janjinya menurut agama atau kepercayaannya oleh Ketua Pengadilan yang
bersangkutan; bunyi sumpah atau janji itu adalah sebagai berikut Saya
bersumpah/berjanji :
"bahwa saya, untuk diangkat menjadi Sekretaris/Wakil Sekretaris, akan setia
dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, negara, dan
pemerintah".
"bahwa saya akan menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh
pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab."
"bahwa saya akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah,
dan martabat Sekretaris/Wakil Sekretaris, serta akan senantiasa mengutamakan
kepentingan negara daripada kepentingan sendiri, seseorang atau golongan".
"bahwa saya akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut
perintah harus saya rahasiakan".
"bahwa saya akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk
kepentingan negara".
Pasal 46
(1) Sekretaris Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi umum
Pengadilan.
(2) Tugas serta tanggung jawab, susanan organisasi, dan tata kerja
sekretariat diatur lebih lanjut oleh Menteri Kehakiman.
BAB III
KEKUASAAN PENGADILAN
Pasal 47
Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara.
Pasal 48
(1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang
oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan
secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka batal
atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi
dan/administratif yang tersedia.
(2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika
seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.
Pasal 49
Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa
Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu
dikeluarkan :
a. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan
luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
b. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 50
Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat pertama.
Pasal 51
(1) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa
dan memutus sengketa Tata Usaha Negara di tingkat banding.
(2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa
kewenangan mengadili antara Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam
daerah hukumnya.
(3) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Ngara bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa Tata Usaha
Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.
(4) Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dapat diajukan permohonan kasasi.
Pasal 52
(1) Ketua Pengadilan melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan
tingkah laku Hakim, Panitera, dan Sekretaris di daerah hukumnya.
(2) Selain tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Ketua Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara di daerah hukumnya melakukan pengawasan
terhadap jalannya peradilan di tingkat Pengadilan Tata Usaha Negara dan
menjaga agar peradilan diselenggarakan dengan saksama dan sewajarnya.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) Ketua Pengadilan dapat memberikan petunjuk, teguran, dan
peringatan yang dipandang perlu.
(4) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksaa dan memutus
sengketa Tata Usaha Negara.
BAB IV
HUKUM ACARA
Bagian Pertama
Gugatan
Pasal 53
(1) Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan
oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan
tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal
atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan gati rugi dan/atau
rehabilitasi.
(2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah :
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan
keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan
wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang
tersebut;
c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau
tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan
keputsan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak
pengambilan keputusan tersebut.
Pasal 54
(1) Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang
berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
(2) Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan, gugatan
diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
(3) Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah hukum
Pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke
Pengadilan yang daerah hukummnya meliputi tempat kediaman penggugat
untuk selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.
(4) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara
yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan
dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman penggugat.
(5) Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri,
gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.
(6) Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat di luar
negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan
tergugat.
Pasal 55
Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari
terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara.
Pasal 56
(1) Gugatan harus memuat :
a. nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat,
atau kuasanya;
b. nama, jabatan, dan tempat kedudukan tergugat;
c. dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh
Pengadilan.
(2) Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa penggugat,
maka gugatan harus disertai surat kuasa yang sah.
(3) Gugatan sedapat mungkin juga disertai Keputusan Tata Usaha Negara. yang
disengketakan oleh penggugat.
Pasal 57
(1) Para pihak yang bersengketa masing-masing dapat didampingi atau
diwakili oleh seorang atau beberapa orang kuasa.
(2) Pemberian kuasa dapat dilakukan dengan surat kuasa khusus atau dapat
dilakukan secara lisan di persidangan.
(3) Surat kuasa yang dibuat di luar negeri bentuknya harus memenuhi
persyaratan di negara yang bersangkutan dan diketahui oleh Perwakilan
Republik Indonesia di negara tersebut, serta kemudian diterjemaahkan ke
dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi.
Pasal 58
Apabila dipandang perlu Hakim berwenang memerintahkan kedua belah pihak yang
bersengketa datang menghadap sendiri ke persidangan, sekalipun sudah diwakili
oleh seorang kuasa.
Pasal 59
(1) Untuk mengajukan gugatan, penggugat membayar uang muka biaya perkara,
yang besarnya ditaksir oleh Panitera Pengadilan.
(2) Setelah penggugat membayar uang muka biaya perkara, gugatan dicatat
dalam daftar perkara oleh Panitera Pengadilan.
(3) Selambat-lambatnya dalam jangka waktu tiga puluh hari sesudah gugatan
dicatat, Hakim menentukan hari, jam, dan tempat persidangan, dan
menyuruh memanggil kedua belah pihak untuk hadir pada waktu dan tempat
yang ditentukan.
(4) Surat panggilan kepada tergugat disertai sehelai salinan gugatan dengan
pemberitahuan bahwa gugatan itu dapat dijawab dengan tertulis.
Pasal 60
(1) Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan untuk
bersengeketa dengan cuma-cuma.
(2) Permohonan diajukan pada waktu penggugat mengajukan gugatannya disertai
dengan surat keterangan tidak mampu dari kepala desa atau lurah di
tempat kediaman pemohon.
(3) Dalam keterangan tersebut harus dinyatkan bahwa pemohon itu betul-betul
tidak mampu membayar biaya perkara.
Pasal 61
(1) Permohonan gebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 harus diperiksa dan
ditetapkan oleh Pengadilan sebelum pokok sengketa diperiksa.
(2) Penetapan ini diambil di tingkat pertama dan terakhir.
(3) Penetapan Pengadilan yang telah mengabulkan permohonan penggugat untuk
bersengketa dengan cuma-cuma di tingkat pertama, juga berlaku di
tingkat banding dan kasasi.
Pasal 62
(1) Dalam rapat permusyawaratan, Ketua Pengadilan berwenang memutuskan
dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan
bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak
berdasar, dalam hal :
a. pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang
Pengadilan;
b. syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak
dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberi tahu dan
diperringatkan;
c. gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak;
d. apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat;
e. gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.
(2) a. Penetapan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) diucapkan dalam rapat
permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan dengan memanggil
kedua belah pihak untuk mendengarkannya;
b. Pemanggilan kedua belah pihak dilakukan dengan surat tercatat
oleh Panitera Pengadilan atas perintah Ketua Pengadilan.
(3) a. Terhadap penetapan sebgaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam tenggang waktu empat
belas hari setelah diucapkan;
b. Perlawanan tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56.
(4) Perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diperiksa dan diputus
oleh Pengadilan dengan acara singkat.
(5) Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan, maka
penetapan sebgaimana dimaksud dalmn ayat (1) gugur demi hukum dan pokok
gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa.
(6) Terhadap putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya
hukum.
Pasal 63
(1) Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib mengadakan
pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas.
(2) Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Hakim:
a. wajib memberi nasihar kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan
dan melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu
tiga puluh hari;
b. dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang bersangkutan.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a
penggugat belum menyempurnakan gugatan, maka Hakim menyatakan dengan
putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima.
(4). Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat
digunakan upaya hukum, tetapi dapat diajukan gugatan baru.
Pasal 64
(1) Dalam menentukan hari sidang, Hakim harus mempertimbangkan jauh
dekatnya tempat tinggal kedua belah pihak dari tempat persidangan.
(2) Jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari
enam hari, kecuali dalam hal sengketa tersebut harus diperiksa dengan
acara cepat sebagaimana diatur dalam Bagian Kedua Paragraf 2.
Pasal 65
Panggilan terhadap pihak yang bersangkutan dianggap sah, apabila masing-
masing telah menerima surat panggilan yang dikirimkan dengan surat tercatat.
Pasal 66
(1) Dalam hal salah satu pihak berkedudukan atau berada di luar wilayah
Republik Indonesia, Ketua Pengadilan yang bersangkutan melakukan
pemanggilan dengan cara meneruskan surat penetapan hari sidang beserta
salinan gugatan tersebut kepada Departemen Luar Negeri Republik
Indonesia.
(2) Departemen Luar Negeri segera menyampaikan surat penetapan hari sidang
beserta salinan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melalui
Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dalain wilayah tempat yang
bersangkutan berkedudukan atau berada.
(3) Petugas Perwakilan Republik Indonesia dalam jangka waktu tujuh hari
sejak dilakukan pemanggilan tersebut, wajib memberi laporan kepada
Pengadilan yang bersangkutan.
Pasal 67
(1) Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang digugat.
(2) Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan Keputusan Tata
Usaha Negara itu ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara
sedang berjalan, sampai ada putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan
hukum tetap.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diajukan sekaligus
dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketanya.
(4) Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) :
a. dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat
mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat
dirugikan jika Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tetap
dilaksanakan;
b. tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka
pembangunan mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut.
Bagian Kedua
Pemeriksaan di Tingkat Pertama
Paragraf 1
Pemeriksaan Dengan Acara Biasa
Pasal 68
(1) Pengadilan memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara dengan tiga
orang Hakim.
(2) Pengadilan bersidang pada hari yang ditentukan dalam surat panggilan.
(3) Pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dalam persidangan dipimpin oleh
Hakim Ketua Sidang.
(4) Hakim Ketua Sidang wajib menjaga supaya tata tertib dalam persidangan
tetap ditaati setiap orang dan segala perintahnya dilaksanakan dengan
baik.
Pasal 69
(1) Dalam ruang sidang setiap orang wajib menunjukkan sikap, perbuatan,
tingkah laku, dan ucapan yang menjungjung tinggi wibawa, martabat, dan
kehormatan Pengadilan dengan menaati tata tertib persidangan.
(2) Setiap orang yang tidak menaati tata tertib persidangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), setelah mendapat peringatan dari dan atas
perintah Hakim Ketua Sidang, dikeluarkan dari ruang sidang.
(3) Tindakan Hakim Ketua Sidang terhadap pelanggaran tata tertib
sebagaimana ditnaksud dalam ayat (2), tidak mengurangi kemungkinan
dflakukan penuntutan, jika pelanggaran itu merupakan tindak pidana.
Pasal 70
(1) Untuk keperluan pemeriksaan, Hakiin Ketua Sidang membuka sidang dan
menyatakannya terbuka uuntuk umum.
(2) Apabila Majehs Hakim memandang bahwa sengketa yang disidangkan
menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan dapat
dinyatakan tertutup untuk umum.
(3) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
menyebabkan batalnya putusan demi hukum.
Pasal 71
(1) Dalam hal penggugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan pada hari
pertama dan pada hari yang ditentukan dalam panggilan yang kedua tanpa
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, meskipun setiap kali dipanggil
dengan patut, gugatan dinyatakan gugur dan penggugat harus membayar
biaya perkara.
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penggugat berhak
memasukkan gugatannya sekali lagi sesudah membayar uang muka biaya
perkara.
Pasal 72
(1) Dalam hal tergugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan dua kali
sidang berturut-turut dan/atau tidak menanggapi gugatan tanpa alasan
yang dapat dipertanggujawabkan meskipun setiap kali telah dipanggil
dengan patut, maka Hakim Ketua Sidang dengan Surat penetapan meminta
atasan tergugat memerintahkan tergugat badir dan/atau menanggapi
gugatan.
(2) Dalam hal setelah lewat dua bulan sesudah dikirimkan dengan Surat
tercatat penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diterima
berita, baik dari atasan tergugat maupun dari tergugat, maka Hakim
Ketua Sidang menetapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan sengketa
dilanjutkan menurut acara biasa, tanpa hadirnya tergugat.
(3) Putusan terhadap pokok gugatan dapat dijatuhkan hanya setelah
pemeriksaan mengenai segi pembuktiannya dilakukan secara tuntas.
Pasal 73
(1) Dalam hal terdapat lebih dari seorang tergugat dan seorang atau lebih
di antara mereka atau kuasanya tidak hadir di persidangan tanpa alasan
yang dapat dipertanggungjawabkan, pemeriksaan sengketa itu dapat
ditunda sampai hari sidang yang ditentukan Hakim Ketua Sidang.
(2) Penundaan sidang itu diberitahukan kepada pihak yang hadir, sedang
terhadap pihak yang tidak hadir oleh Hakim Ketua Sidang diperintahkan
untuk dipanggil sekali lagi.
(3) Apabila pada hari penundaan sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
tergugat atau kuasanya masih ada yang tidak hadir, sidang dilanjutkan
tanpa kehadirannya.
Pasal 74
(1) Pemeriksaan sengketa dimulai dengan membacakan isi gugatan dan surat
yang memuat jawabannya oleh Hakim Ketua Sidang, dan jika tidak ada
surat jawaban, pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan
jawabannya.
(2) Hakim Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk
menjelaskan seperlunya hal yang diajukan oleh mereka masing-masing.
Pasal 75
(1) Penggugat dapat mengubah alasan yang mendasari gugatan hanya sampai
dengan replik, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan
kepentingan tergugat, dan hal tersebut harus saksaina oleh Hakim.
(2) Tergugat dapat mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya sampai
dengan duplik, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan
kepentingan penggugat dan hal tersebut harus dipertimbangkan dengan
saksama oleh Hakim.
Pasal 76
(1) Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat
memberikan jawaban.
(2) Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan
gugatan,oleh penggugat akan dikabulkan oleh Pangadilan hanya apabila
disetujui tergugat.
Pasal 77
(1) Eksepsi tentang kewenangan absolut Pengadilan dapat diajukan setiap
waktu selama pemeriksaan, dan meskipun tidak ada eksepsi tentang
kewenangan absolut Pengadilan apabila Hakim mengetahui hal itu, ia
karena jabatannya wajib menyatakan bahwa Pangadilan tidak berwenang
mengadili sengketa yang bersangkutan.
(2) Eksepsi tentang kewenangan relatif Pengadilan diajukan sebelum
disampaikan jawaban atas pokok sengketa, dan eksepsi tersebut harus
diputus sebelum pokok sengketa diperiksa.
(3) Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan Pengadilan hanya dapat
diputus bersama dengan pokok sengketa.
Pasal 78
(1) Seorang Hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat
hubungan keluarga sedarah, atau semenda sampai derajat ketiga, atau
hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai, dengan salah
seorang Hakim Anggota atau Panitera.
(2) Seorang Hakim atau Panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan
apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semanda sampai derajat
ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai dengan
tergugat, penggugat atau penasihat hukum.
(3) Hakim atau Panitera sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
harus diganti, dan apabila tidak diganti atau tidak mengundurkan diri
sedangkan sengketa telah diputus, maka sengketa tersebut wajib segera
diadili ulang dengan susunan yang lain.
Pasal 79
(1) Seorang Hakim atau Panitera wajib mengundurkan diri apabila ia
berkepentingan langsung atau tidak langsung atas suatu sengketa.
(2) Pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan
atas kehendak Hakim atau Panitera, atau atas permintaan salah satu atau
pihak-pihak yang bersengketa.
(3) Apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat mengenai hal sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) maka pejabat Pengadilan yang berwenang yang
menetapkan.
(4) Hakim atau Panitera sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
harus diganti dan apabila tidak diganti atau tidak mengundurkan diri
sedangkan sengketa telah diputus, maka sengketa tersebut wajib segera
diadili ulang dengan susunan yang lain.
Pasal 80
Demi kelancaran pemeriksaan sengketa, Hakim Ketua Sidang berhak di dalam
sidang memberikan petunjuk kepada para pihak yang bersengketa mengenai upaya
hukum dan alat bukti yang dapat digunakan oleh mereka dalam sengketa.
Pasal 81
Dengan izin Ketua Pengadilan, penggugat, tergugat, dan penasihat hukum dapat
mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di
kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya.
Pasal 82
Para pihak yang bersangkutan dapat membuat atau menyuruh membuat salinan atau
petikan segala surat pemeriksaan perkaranya, dengan biaya sendiri setelah
memperoleh izin Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
Pasal 83
(1) Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam
sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas
prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa
Hakim, dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak
sebagai :
a. pihak yang membela haknya; atau
b. peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikabulkan atau
ditolak oleh Pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam berita
acara sidang.
(3) Permohonan banding terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) tidak dapat diajukan tersendiri, tetapi harus bersama-
sama dengan permohonan banding terhadap putusan akhir dalam pokok
sengketa.
Pasal 84
(1) Apabila dalam persidangan seorang kuasa melakukan tindakan yang
melampaui batas wewenangnya, pemberi kuasa dapat mengajukan sangkalan
secara tertutis disertai tuntutan agar tindakan kuasa tersebut
dinyatakan batal oleh Pengadilan.
(2) Apabila sangkalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, maka
Hakim wajib menetapkan dalam putusan yang dimuat dalam berita acara
sidang bahwa tindakan kuasa itu dinyatakan batal dan selanjutnya
dihapus dari berita acara pemeriksaan.
(3) Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibacakan dan/atau
diberitahukan kepada para pihak yang bersangkutan.
Pasal 85
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan dan apabila Hakim Ketua Sidang memandang
perlu ia dapat memerintahkan pemeriksaan terhadap surat yang dipegang
oleh Pejabat Tata Usaha Negara, atau pejabat lain yang menyimpan surat,
atau meminta penjelasan dan keterangan tentang sesuatu yang
bersangkutan dengan sengketa.
(2) Selain hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Hakim Ketua Sidang dapat
memerintahkan pula supaya surat tersebut diperlihatkan kepada
Pengadilan dalam persidangan yang akan ditentukan untuk keperluan itu.
(3) Apabila surat itu merupakan bagian dari sebuah daftar, sebelum
diperlihatkan oleh penyimpannya, dibuat salinan surat itu sebagai ganti
yang asli selama surat yang asli belum diterima kembali dari
Pengadilan.
(4) Jika pemeriksaan tentang benarnya suatu surat menimbulkan persangkaan
terhadap orang yang masih hidup bahwa surat itu dipalsukan olehnya,
Hakim Ketua Sidang dapat mengirimkan surat yang bersangkutan ini kepada
penyidik yang berwenang, dan pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara
dapat ditunda dahulu sampai putusan perkara pidananya dijatuhkan.
Pasal 86
(1) atas permintaan salah satu pihak, atau karena jabatannya, Hakim Ketua
Sidang dapat memerintahkan seorang saksi untuk didengar dalam
persidangan.
(2) Apabila saksi tidak datang tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan meskipun telah dipanggil dengan patut dan Hakim
cukup mempunyai alasan untuk menyangka bahwa saksi sengaja tidak
datang, Hakim Ketua Sidang dapat memberi perintah supaya Saki dibawa
oleh polisi ke persidangan.
(3) Seorang saksi yang tidak bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan
yang bersangkutan tidak diwajibkan datang di Pangadilan tersebut,
tetapi pemeriksaan saksi itu dapat diserahkan kepada Pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman saksi.
Pasal 87
(1) Saksi dipanggil ke persidangan seorang demi seorang.
(2) Hakim Ketua Sidang menanyakan kepada saksi nama lengkap, tempat lahir,
umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kewarganegaraan, tempat
tinggal, agama atau kepercayaannya, pekerjaan, derajat hubungan
keluarga, dan hubungan kerja dengan penggugat atau tergugat.
(3) Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji
menurut agama atau kepercayaannya.
Pasal 88
Yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah :
a. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas
atau ke bawah sampai derajat ke dua dari salah satu pihak yang
bersengketa;
b. isteri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah
bercerai;
c. anak yang belum berusia tujuh belas tahun;
d. orang sakit ingatan.
Pasal 89
(1) Orang yang dapat minta pengunduran diri dari kewajiban untuk memberikan
kesaksian ialah :
a. saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan
salah satu pihak;
b. setiap orang yang karena martabat, pekerjaan, atau jabatannya
diwajibkan merahasikan segala sesuatu yang berhubungan dengan
martabat, pekerjaan, atau jabatannya itu.
(2) Ada atau tidak adanya dasar kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, diserahkan kepada
pertimbangan Hakim.
Pasal 90
(1) Pertanyaan yang diajukan kepada saksi oleh salah satu pihak disampaikan
melalui Hakim Ketua Sidang.
(2) Apabila pertanyaan tersebut menurut pertimbangan Hakim Ketua Sidang
tidak ada kaitannya dengan sengketa, pertanyaan itu ditolak.
Pasal 91
(1) Apabila penggugat atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, Hakim Ketua
Sidang dapat mengangkat seorang ahli alih bahasa.
(2) Sebelum melaksanakan tugasnya ahli alih bahasa tersebut wajib
mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya untuk
mengalihkan bahasa yang dipahami oleh penggugat atau saksi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ke dalam bahasa Indonesia dan sebaliknya dengan
sebaik-baiknya.
(3) Orang yang menjadi saksi dalam sengketa tidak boleh ditunjuk sebagai
ahli alih bahasa dalam sengketa tersebut.
Pasal 92
(1) Dalam hal penggugat atau saksi bisu, dan/atau tuli dan tidak dapat
menulis, Hakim Ketua Sidang dapat mengangkat orang yang pandai bergaul
dengan penggugat atau saksi sebagai juru bahasa.
(2) Sebelum melaksanakan tugasnya juru bahasa sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau
kepercayaannya.
(3) Dalam hal penggugat atau saksi bisu dan/atau tuli tetapi pandai
menulis, Hakim Ketua Sidang dapat menyuruh menuliskan pertanyaan atau
teguran kepadanya, dan menyuruh menyampaikan tulisan itu kepada
penggugat atau saksi tersebut dengan perintah agar ia menuliskan
jawabannya, kemudian segala pertanyaan dan jawaban harus dibacakan.
Pasal 93
Pejabat yang dipanggil sebagai saksi wajib datang sendiri di persidangan.
Pasal 94
(1) Saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji dan di dengar dalam
persidangan Pengadilan dengan dihadiri oleh para pihak yang
bersengketa.
(2) Apabila yang bersengketa telah dipanggil secara patut, tetapi tidak
datang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka saksi dapat
di dengar keterangannya tanpa hadirnya pihak yang bersengketa.
(3) Dalam hal saksi yang akan didengar tidak dapat hadir di persidangan
karena halangan yang dapat dibenarkan oleh hukum, Hakim dibantu oleh
Panitera datang di tempat kediaman saksi untuk mengambil sumpah atau
janjinya dan mendengar saksi tersebut.
Pasal 95
(1) Apabila suatu sengketa tidak dapat diselesaikan pada suatu hari
persidangan, pemerficsaan dflanjutkan pada hari persidangan berikutnya.
(2) Lanjutan sidang harus diberitahukan kepada kedua belah pihak, dan bagi
mereka pemberitahuan ini disamakan dengan panggilan.
(3) Dalam hal salah satu pihak yang datang pada hari persidangan pertama
ternyata tidak datang pada hari persidangan selanjutnya Hakim Ketua
Sidang menyuruh memberitahukan kepada pihak tersebut waktu, hari, dan
tanggal persidangan berikutnya.
(4) Dalam hal pihak sebagaimana dalam ayat (3) tetap tidak hadir tanpa
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan sekalipun ia telah diberitahu
secara patut, maka pemeriksaan dapat dilanjutkan tanpa kehadirannya.
Pasal 96
Dalam hal selama pemeriksaan sengketa ada tindakan yang harus dilakukan dan
memerlukan biaya, biaya tersebut harus dibayar dahulu oleh pihak yang
mengajukan permohonan untuk dilakukannya tindakan tersebut.
Pasal 97
(1) Dalam hal pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan, kedua belah pihak
diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat yang terakhir berupa
kesimpulan masing-masing.
(2) Setelah kedua belah pihak mengemukakan kesimpulan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), maka Hakim Ketua Sidang menyatakan bahwa sidang ditunda
untuk memberikan kesempatan kepada Majelis Hakim bermusyawarah dalam
ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan
sengketa tersebut.
(3) Putusan dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis
merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali jika setelah diusahakan
dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakatan bulat, putusan
diambil dengan suara terbanyak.
(4) Apabila musyawarah majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak
dapat menghasilkan putusan, permusyawaratan ditunda sampai musyawarah
majelis berikutanya.
(5) Apabil dalam musyawarah majelis berikutnya tidak dapat diambil suara
terbanyak, maka suara terakhir Hakim Ketua Majelis yang menentukan.
(6) Putusan Pengadilan dapat dijatuhkan pada hari itu juga dalam sidang
yang terbuka untuk umum, atau ditunda pada hari lain yang harus
diberitahukan kepada kedua belah pihak.
(7) Putusan Pengadilan dapat berupa :
a. gugatan ditolak;
b. gugatan dikabulkan;
c. gugatan tidak diterima;
d. gugatan gugur.
(8) Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan Pengadilan tersebut
dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara.
(9) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) berupa :
a. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan; atau
b. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau
c. penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan
didasarkan pada Pasal 3.
(10) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat disertai pembebanan
ganti rugi.
(11) Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8)
menyangkut kepegawaian, maka di samping kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam ayat (9) dan ayat (10), dapat disertai pemberian rehabilitasi.
Paragraf 2
Pemeriksaan Dengan Acara Cepat
Pasal 98
(1) Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus
dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya, penggugat dalam
gugatannya dapat memohon kepada Pengadilan supaya pemeriksaan sengketa
dipercepat.
(2) Ketua Pengadilan dalam jangka waktu empat belas hari setelah
diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengeluarkan
penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan
tersebut.
(3) Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat
digunakan upaya hukum.
Pasal 99
(1) Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan dengan Hakim Tunggal.
(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1)
dikabulkan, Ketua Pengadilan dalam jangka waktu tujuh hari setelah
dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat
(2)menentukan hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur
pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63.
(3) Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak,
masing-masing ditentukan tidak melebihi empat belas hari.
Bagian Ketiga
Pembuktian
Pasal 100
(1) Alat bukti ialah :
a. surat atau tulisan;
b. keterangan ahli;
c. keterangan saksi;
d. pengakuan para pihak;
e. pengetahuan Hakim.
(2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.
Pasal 101
Surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis ialah :
a. akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang
pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang
membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti
tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya;
b. akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh
pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai
alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di
dalamnya;
c. surat-surat lainnya yang bukan akta.
Pasal 102
(1) Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah
dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan
pengetahuannya.
(2) Seseorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi berdasarkan Pasal 88
tidak boleh memberikan keterangan ahli.
Pasal 103
(1) Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena
jabatannya Hakim Ketua Sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa
orang ahli.
(2) Seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik dengan
surat maupun dengan lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji
menurut kebenaran sepanjang pengetahuannya yang sebaik-baiknya.
Pasal 104
Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan
dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar oleh saksi sendiri.
Pasal 105
Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan
yang kuat dan dapat diterima oleh Hakim.
Pasal 106
Pengetahuan Hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini
kebenarannya.
Pasal 107
Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta
penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-
kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim.
Bagian Keempat
Putusan Pengadilan
Pasal 108
(1) Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
(2) Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu
putusan Pengadilan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua Sidang salinan
putusan itu disampaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan.
(3) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berakibat putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan
hukum.
Pasal 109
(1) Putusan Pengadilan harus memuat :
a. Kepala putusan yang berbunyi : "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat
kedudukan para pihak yang bersengketa;
c. ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
d. pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal
yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e. alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara;
g. hari, tanggal putusan, nama Hakim yang memutus, nama Panitera,
serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
(2) Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat menyebabkan batalnya putusan Pengadilan.
(3) Selambat-lambatnya tiga puluh hari sesudah putusan Pengadilan
diucapkan, putusan itu harus ditandatangani oleh Hakim yang memutus dan
Panitera yang turut bersidang.
(4) Apabila Hakim Ketua Majelis atau dalam hal pemeriksaan dengan acara
cepat Hakim Ketua Sidang berhalangan menandatangani, maka putusan
Pengadilan ditandatangani oleh Ketua Pengadilan dengan menyatakan
berhalangannya Hakim Ketua Majelis atau Hakim Ketua Sidang tersebut.
(5) Apabila Hakim Anggota Majelis berhalangan menandatangani, maka putusan
Pangadilan ditandatangani oleh Hakim Ketua Majelis dengan menyatakan
berhalangannya Hakim Anggota Majelis tersebut.
Pasal 110
Pihak yang dikalahkan untuk seluruhnya atau sebagian dihukum membayar biaya
perkara.
Pasal 111
Yang termasuk dalam biaya perkara ialah :
a. biaya kepaniteraan dan biaya meterai;
b. biaya saksi, ahli, dan alih bahasa dengan catatan bahwa pihak yang
meminta pemeriksaan lebih dari lima orang saksi harus membayar biaya
untuk saksi yang lebih itu meskipun pihak tersebut dimenangkan;
c. biaya pemeriksaan di tempat lain dari ruangan sidang dan biaya lain
yang diperlukan bagi pemutusan sengketa atas perintah Hakim Ketua
Sidang.
Pasal 112
Jumlah baiya perkara yang harus dibayar oleh penggugat dan/atau tergugat
disebut dalam amar putusan akhir Pengadilan.
Pasal 113
(1) Putusan Pengadilan yang bukan putusan akhir meskipun diucapkan dalam
sidang, tidak dibuat sebagai putusan tersendiri melainkan hanya
dicantumkan dalam berita acara sidang.
(2) Pihak yang berkepentingan langsung dengan putusan Pengadilan dapat
meminta supaya diberikan kepadanya salinan resmi putusan itu dengan
membayar biaya salinan.
Pasal 114
(1) Pada setiap pemeriksaan, Panitera harus membuat berita acara sidang
yang memuat segala sesuatu yang terjadi dalam sidang.
(2) Berita acara sidang ditandatangani oleh Hakim Ketua Sidang dan
Panitera; apabila salah seorang dari mereka berhalangan, maka hal itu
dinyatakan dalam berita acara tersebut.
(3) Apabila Hakim Ketua Sidang dan panitera berhalangan menandatangani,
maka berita acara ditandatangani oleh Ketua Pengadilan dengan
menyatakan berhalangannya Hakim Ketua Sidang dan Panitera tersebut.
Bagian Kelima Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Pasal 115
Hanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang
dapat dilaksanakan.
Pasal 116
(1) Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera
Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya
dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari.
(2) Dalam hal empat bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan
tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 97 ayat (9) huruf a, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan
kemudian setelah tiga bulan ternyata kewajiban tersebut tidak
dilaksanakannya, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua
Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), agar Pengadilan
memerintahkan tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
(4) Jika tergugat masih tetap tidak mau melaksanakannya, Ketua Pengadilan
mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan.
(5) Instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dalam waktu dua
bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah
memerintahkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) melaksanakan
putusan Pengadilan tersebut.
(6) Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak
mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), maka Ketua
Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang
kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut
melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
Pasal 117
(1) Sepanjang mengenai kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat
(11) apabila tergugat tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna
malaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap disebabkan oleh berubahnya keadaan yang terjadi setelah putusan
Pengadilan dijatuhkan dan/atau memperoleh kekautan hukum tetap, ia
wajib memberitahukan hal itu kepada Ketua Pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) dan penggugat.
(2) Dalam waktu tiga puluh hari setelah menerima pemberitahuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) penggugat dapat mengajukan permohonan kepada
Ketua Pengadilan yang telah mengirimkan putusan. Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut agar tergugat dibebani
kewajiban membayar sejumlah uang atau kompensasi lain yang
diinginkannya.
(3) Ketua Pengadilan setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) memerintahkan memanggil kedua belah pihak untuk mengusahakan
tercapainya persetujuan tentang jumlah uang atau kompensasi lain yang
harus dibebankan kepada tergugat.
(4) Apabila setelah diusahakan untuk mencapai persetujuan tetatapi tidak
dapat diperoleh kata sepakat mengenai jumlah uang atau kompensasi lain
tersebut, Ketua Pengadilan dengan penetapan yang disertai pertimbangan
yang cukup menentukan jumlah uang atau kompensasi lain yang dimaksud.
(5) Penetapan Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dapat
diajukan baik oleh penggugat maupun oleh tergugat kepada Mahkamah Agung
untuk ditetapkan kembali.
(6) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), wajib
ditaati kedua belah pihak.
Pasal 118
(1) Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat
(1) berisi kewajiban bagi tergugat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97
ayat (9), ayat (10), dan ayat (11), pihak ketiga yang belum pernah ikut
serta atau diikutsertakan selama waktu pemeriksaan sengketa yang
bersangkutan menurut ketentuan Pasal 83 dan ia khawatir kepentingannya
akan dirugikan dengan dilaksanakannya putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap itu dapat mengajukan gugatan perlawanan terhadap
pelaksanaan putusan Pengadilan tersebut kepada Pengadilan yang
mengadili sengketa itu pada tingkat pertama.
(2) Gugatan perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya dapat
diajukan pada saat sebelum putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap itu dilaksanakan dengan memuat alasan-alasan
tentang permohonannya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 56; terhadap permohonan perlawanan itu berlaku ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dan Pasal 63.
(3) Gugatan perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dengan
sendirinya mengakibatkan ditundanya pelaksanaan putusan Pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut.
Pasal 119
Ketua Pengadilan wajib mengawasi pelaksanaan putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Bagian Keenam
Ganti Rugi
Pasal 120
(1) Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi
dikirimkan kepada penggugat dan tergugat dalam waktu tiga hari setelah
putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikirimkan pula oleh Pengadilan
kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani kewajiban
membayar ganti rugi tersebut dalam waktu tiga hari setelah putusan
Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Besarnya ganti rugi beserta tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 ayat (10) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Ketujuh
Rehabilitasi
Pasal 121
(1) Dalam hal gugatan yang berkaitan dengan bidang kepegawaian dikabulkan
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (11),
salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban tentang rehabilitasi
dikirimkan kepada penggugat dan tergugat dalam waktu tiga hari setelah
putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban tentang rehabilitasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikirimkan pula oleh Pengadilan
kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani kewajiban
melaksanakan rehabilitasi tersebut dalam waktu tiga hari setelah
putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap.
Bagian Kedelapan
Pemeriksaan di Tingkat Banding
Pasal 122
Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dimintakan pemeriksaan
banding oleh penggugat atau tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara.
Pasal 123
(1) Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon
atau kuasanya yang khusus dikuasakan untuk itu kepada Pengadilan Tata
Usaha Negara yang menjatuhkan putusan tersebut dalam tenggang waktu
empat belas hari setelah putusan Pengadilan itu diberitahukan kepadanya
secara sah.
(2) Permohonan pemeriksaan banding disertai pembayaran uang muka biaya
perkara banding lebih dahulu, yang besarnya ditaksir oleh Panitera.
Pasal 124
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bukan putusan akhir hanya dapat
dimohonkan pemeriksaan banding bersama-sama dengan putusan akhir.
Pasal 125
(1) Permohonan pemeriksaan banding dicatat oleh Panitera dalam daftar
perkara.
(2) Panitera memberitahukan hal tersebut kepada pihak terbanding.
Pasal 126
(1) Selambat-lambatnya tiga puluh hari sesudah permohonan pemeriksaan
banding dicatat, Panitera memberitahukan kepada kedua belah pihakbahwa
mereka dapat melihat berkas perkara di kantor Pengadilan Tata Usaha
Negara dalam tenggang waktu tiga puluh hari setelah mereka menerima
pemberitahuan tersebut.
(2) Salinan putusan, berita acara, dan surat lain yang bersangkutan harus
dikirimkan kepada Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
selambat-lambatnya enam puluh hari sesudah pernyataan permohonan
pemeriksaan banding.
(3) Para pihak dapat menyerahkan memori banding dan/atau kontra memori
banding serta surat keterangan dan bukti kepada Panitera Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara dengan ketentuan bahwa salinan memori dan/atau
kontra memori diberikan kepada pihak lainnya dengan perantaraan
Penitera Pengadilan.
Pasal 127
(1) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara memeriksa dan memutus perkara
banding dengan sekurang-kurangnya tiga orang Hakim.
(2) Apabila Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berpendapat bahwa
pemeriksaan Pengadilan Tata Usaha Negara kurang lengkap, maka
Pengadilan Tinggi tersebut dapat mengadakan sidang sendiri untuk
mengadakan pemeriksaan tambahan atau memerintahkan Pengadilan Tata
Usaha Negara yang bersangkutan melaksanakan pemeriksaan tambahan itu.
(3) Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang menyatakan tidak
berwenang memeriksa perkara yang diajukan kepadanya, sedang Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara berpendapat lain, Pengadilan Tinggi tersebut
dapat memeriksa dan memutus sendiri perkara itu atau memerintahkan
Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan memeriksa dan
memutusnya.
(4) Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam waktu tiga puluh
hari mengirimkan salinan putusan Pengadilan Tinggi beserta surat
pemeriksaan dan surat lain kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang
memutus dalam pemeriksaan tingkat pertama.
Pasal 128
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dan Pasal 79 berlaku juga
bagi pemeriksaan di tingkat banding.
(2) Ketentuan tentang hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78
ayat (1) berlaku juga antara Hakim dan/atau Panitera di tingkat banding
dengan Hakim atau Panitera di tingkat pertama yang telah memeriksa dan
memutus perkara yang sama.
(3) Apabila seorang Hakim yang memutus di tingkat pertama kemudian menjadi
Hakim pada Pengadilan Tinggi, maka Hakim tersebut dilarang memeriksa
perkara yang sama di tingkat banding.
Pasal 129
Sebelum permohonan pemeriksaan banding diputus oleh Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh pemohon, dan
dalam hal permohonan pemeriksaan banding telah dicabut, tidak dapat diajukan
lagi meskipun jangka waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding
belum lampau.
Pasal 130
Dalam hal salah satu pihak sudah menerima baik putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara, ia tidak dapat mencabut kembali pernyataan tersebut meskipun jangka
waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum lampau.
Bagian Kesembilan
Pemeriksaan di Tingkat Kasasi
Pasal 131
(1) Terhadap putusan tingkat terakhir Pengadilan dapat dimohonkan
pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung.
(2) Acara pemeriksaan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Bagian Kesepuluh
Pemeriksaan Peninjauan Kembali
Pasal 132
(1) Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
(2) Acara pemeriksaan peninjauan kembah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat
(1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
BAB V
KETENTUAN LAIN
Pasal 133
Ketua Pengadilan mengatur pembagian tugas para hakim
Pasal 134
Ketua Pengadilan membagikan semua berkas dan/atau surat lainnya yang
berhubungan dengan sengketa yang diajukan ke Pengadilan kepada Majelis Hakim
untuk diselesaikan.
Pasal 135
(1) Dalam hal Pengadilan memeriksa dan memutus perkara Tata Usaha Negara
tertentu yang memerlukan kealdian khusus, maka Ketua Pengadilan dapat
menunjuk seorang Hakim Ad Hoc sebagai Anggota Majelis.
(2) Untuk dapat ditunjuk sebagai Hakim Ad Hoc seseorang harus memenuhi
syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) kecuali
huruf e dan huruf f.
(3) Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c tidak
berlaku bagi Hakim Ad Hoc.
(4) Tata cara penunjukkan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dengan peraturan Pemerintah.
Pasal 136
Ketua Pengadilan menetapkan perkara yang harus diperiksa dan diputus
berdasarkan nomor urut, tetapi apabila terdapat perkara tertentu yang
menyangkut kepentingan umum dan yang harus segera diperiksa, maka pemeriksaan
perkara itu didahulukan.
Pasal 137
Panitera Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi perkara dan
mengatur tugas Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti.
Pasal 138
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti bertugas
membantu Hakim untuk mengikuti dan mencatat jalannya sidang Pengadilan.
Pasal 139
(1) Panitera wajib membuat daftar semua perkara yang diterima kepaniteraan.
(2) Dalam daftar perkara tersebut setiap perkara diberi nomor urut dan
dibubuhi catatan singkat tentang isinya.
Pasal 140
Panitera membuat sarnan putusan Pengadilan menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 141
(1) Panitera bertanggung jawab atas pengurusan berkas perkara, putusan,
dokumen, akta, buku daftar, biaya perkara, uang titipan pihak ketiga,
surat-surat berharga, barang bukti, dan surat-surat lainnya yang
disimpan di kepaniteraan.
(2) Semua daftar, catatan, risalah, berita acara, serta berkas perkara
tidak boleh dibawa ke luar ruang kerja kepaniteraan, kecuali atas izin
Ketua Pengadilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 142
(1) Sengketa Tata Usaha Negara yang pada saat terbentuknya Pengadilan
menurut Undang-undang ini belum diputus oleh Pengadilan di lingkungan
Peradilan Umum tetap diperiksa dan diputus oleh Pengadilan di
lingkungan Peradilan Umum.
(2) Sengketa Tata Usaha Negara yang pada saat terbentuknya Pengadilan
menurut Undang-undang ini sudah diajukan kepada Pengadilan di
lingkungan Peradilan Umum tetapi belum diperiksa, dilimpahkan kepada
Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Pasal 143
(1) Untuk pertama kali pada saat Undang-undang ini mulai berlaku Menteri
Kehakiman setelah mendengan pendapat Ketua Mahkamah Augng mengatur
pengisian jabatan Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Panitera, Wakil Panitera,
Panitera Muda, Panitera Pengganti, dan Wakil Sekretaris pada Pengadilan
di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
(2) Pengangkatan dalam jabatan Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Panitera, Wakil
Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti, dan Wakil Sekretaris
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menyimpang dari persyaratan
yang ditentukan dalam Undang-undang ini.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 144
Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Peradilan Administrasi
Negara".
Pasal 145
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan penerapannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah selambat-lambatnya lima tahun sejak
Undang-undang ini diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 1986
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 1986
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
SUDHARMONO, S.H.
--------------------------------
CATATAN
Kutipan: LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1986 YANG TELAH
DICETAK ULANG
Silahkan download versi PDF nya sbb:
peradilan_tata_usaha_negara_(uu_5_thn_1986)_5.pdf
(ogi/Carapedia)
Pencarian Terbaru
Putusan pengadilan tun menurut pasal 109 uu no 5 thn1986. Saksi dalam uu no.86 tentang ptun mengatur orang orang yang tidak boleh di dengar kesaksiannya.
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)






