Previous
Next

2000

Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU 26 thn 2000)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia :
                       UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                             NOMOR 26 TAHUN 2000

                                        TENTANG

                           PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

                      DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                           PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

   a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri
      manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,
      dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;
   b. bahwa untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak
      asasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman
      kepada perorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk suatu Pengadilan Hak
      Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai
      dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
      Hak Asasi Manusia;
   c. bahwa pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran
      hak asasi manusia yang berat telah diupayakan oleh Pemerintah berdasarkan Peraturan
      Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak
      Asasi Manusia yang dinilai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh Dewan
      Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi undang-undang, dan oleh karena itu
      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut perlu dicabut;
   d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c perlu
      dibentuk Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia;

Mengingat :

   1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
   2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
      Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan
      Lembaran Negara Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
      Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
      tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
      Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3879);
   3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara
      Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327 );
   4. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara
      Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
                             Dengan persetujuan bersama antara

                   DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

                                             dan

                             PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

                                       MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA.

                                            BAB I

                                    KETENTUAN UMUM

                                           Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

   1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
        manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
        wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan
        setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
   2.   Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran hak asasi manusia
        sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.
   3.   Pengadilan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Pengadilan HAM adalah
        pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
   4.   Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, baik sipil, militer, maupun
        polisi yang bertanggung jawab secara individual.
   5.   Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan
        ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia
        yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur
        dalam Undang-undang ini.

                                            BAB II

                         KEDUDUKAN DAN TEMPAT KEDUDUKAN
                                 PENGADILAN HAM

                                        Bagian Kesatu
                                         Kedudukan

                                           Pasal 2

Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum.

                                       Bagian Kedua
                                     Tempat Kedudukan

                                           Pasal 3
(1) Pengadilan HAM berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah
hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

(2) Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan HAM berkedudukan di setiap wilayah
Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

                                            BAB III

                                   LINGKUP KEWENANGAN

                                            Pasal 4

Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak
asasi manusia yang berat.

                                            Pasal 5

Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi
manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia
oleh warga negara Indonesia.

                                            Pasal 6

Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi
manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas)
tahun pada saat kejahatan dilakukan.

                                            Pasal 7

Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi:

a. kejahatan genosida;

b. kejahatan terhadap kemanusiaan.

                                            Pasal 8

Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian
kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:

    a. membunuh anggota kelompok;
    b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota
        kelompok;
    c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan
        secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
    d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok;
        atau
    e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

                                            Pasal 9
Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah
satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil,
berupa:

           a. pembunuhan;
           b. pemusnahan;
           c. perbudakan;
           d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
           e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
              sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
              internasional;
           f. penyiksaan;
           g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan
              kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk
              kekerasan seksual lain yang setara;
           h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
              persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin
              atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang
              menurut hukum internasional;
           i. penghilangan orang secara paksa; atau
           j. kejahatan apartheid.

                                          BAB IV

                                      HUKUM ACARA

                                       Bagian Kesatu
                                          Umum

                                          Pasal 10

Dalam hal tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini, hukum acara atas perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara
pidana.

                                       Bagian Kedua
                                       Penangkapan

                                          Pasal 11

(1) Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk kepentingan
penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia
yang berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

(2) Pelaksanaan tugas penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh
penyidik dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan kepada tersangka surat perintah
penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dengan menyebutkan alasan
penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat perkara pelanggaran hak asasi
manusia yang berat yang dipersangkakan.
(3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus
diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.

(4) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah dengan ketentuan
bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada
penyidik.

(5) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan untuk paling lama 1 (satu)
hari.

(6) Masa penangkapan dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan.




                                        Bagian Ketiga
                                         Penahanan

                                           Pasal 12

(1) Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan.

(2) Hakim Pengadilan HAM dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan untuk
kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan.

(3) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa
yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti
yang cukup, dalam hal terdapat keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau
terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi
pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

                                           Pasal 13

(1) Penahanan untuk kepentingan penyidikan dapat dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh)
hari.

(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling
lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.

(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penyidikan belum
dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh
Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.

                                           Pasal 14

(1) Penahanan untuk kepentingan penuntutan dapat dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari.

(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling
lama 20 (dua puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penuntutan belum
dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) hari oleh
Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.

                                          Pasal 15

(1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang Pengadilan HAM dapat dilakukan
paling lama 90 (sembilan puluh) hari.

(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.

                                          Pasal 16

(1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi dapat dilakukan
paling lama 60 (enam puluh) hari.

(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan daerah hukumnya.

                                          Pasal 17

(1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung dapat dilakukan
paling lama 60 (enam puluh) hari.

(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Mahkamah Agung.

                                      Bagian Keempat
                                       Penyelidikan

                                          Pasal 18

(1) Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia.

(2) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia dan unsur masyarakat.

                                          Pasal 19

(1) Dalam melaksanakan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, penyelidik
berwenang:

   a. melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam
      masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran
      hak asasi manusia yang berat;
   b. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang
      terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan dan
      barang bukti;
    c. memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan
       didengar keterangannya;
    d. memanggil saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya;
    e. meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang
       dianggap perlu;
    f. memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan
       dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya;
    g. atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:

1) pemeriksaan surat;

2) penggeledahan dan penyitaan;

3) pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya
yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu;

4) mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.

(2) Dalam hal penyelidik mulai melakukan penyelidikan suatu peristiwa yang diduga merupakan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat penyelidik memberitahukan hal itu kepada penyidik.

                                            Pasal 20

(1) Dalam hal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan
yang cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka kesimpulan
hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik.

(2) Paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan, Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia menyerahkan seluruh hasil penyelidikan kepada penyidik.

(3) Dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut
kepada penyelidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
tanggal diterimanya hasil penyelidikan, penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut.

                                         Bagian Kelima
                                          Penyidikan

                                            Pasal 21

(1) Penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung.

(2) Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk kewenangan menerima
laporan atau pengaduan.

(3) Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Jaksa Agung dapat
mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat.

(4) Sebelum melaksanakan tugasnya, penyidik ad hoc mengucapkan sumpah atau janji menurut
agamanya masing-masing.

(5) Untuk dapat diangkat menjadi penyidik ad hoc harus memenuhi syarat :
    a. warga negara Republik Indonesia;
    b. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh
         lima) tahun;
    c. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang
         hukum;
    d.   sehat jasmani dan rohani;
    e.   berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
    f.   setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
    g.   memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.

                                            Pasal 22

(1) Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan (3) wajib diselesaikan paling
lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan
dinyatakan lengkap oleh penyidik.

(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling
lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.

(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penyidikan belum
dapat diselesaikan, penyidikan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua
Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.

(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
dari hasil penyidikan tidak diperoleh bukti yang cukup, maka wajib dikeluarkan surat perintah
penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung.

(5) Setelah surat perintah penghentian penyidikan dikeluarkan, penyidikan hanya dapat dibuka
kembali dan dilanjutkan apabila terdapat alasan dan bukti lain yang melengkapi hasil penyidikan
untuk dilakukan penuntutan.

(6) Dalam hal penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak dapat
diterima oleh korban atau keluarganya, maka korban, keluarga sedarah atau semenda dalam
garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga, berhak mengajukan
praperadilan kepada Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya dan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

                                        Bagian Keenam
                                          Penuntutan

                                            Pasal 23

(1) Penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung.

(2) Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Jaksa Agung dapat
mengangkat penuntut umum ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat.

(3) Sebelum melaksanakan tugasnya penuntut umum ad hoc mengucapkan sumpah atau janji
menurut agamanya masing-masing.

(4) Untuk dapat diangkat menjadi penuntut umum ad hoc harus memenuhi syarat :
    a. warga negara Republik Indonesia;
    b. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh
        lima) tahun;
    c. berpendidikan sarjana hukum dan berpengalaman sebagai penuntut umum;
    d. sehat jasmani dan rohani;
    e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;

    f. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan

    g. memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.

                                            Pasal 24

Penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) wajib dilaksanakan
paling lambat 70 (tujuh puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyidikan diterima.

                                            Pasal 25

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sewaktu-waktu dapat meminta keterangan secara tertulis
kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran
hak asasi manusia yang berat.

                                        Bagian Ketujuh
                                          Sumpah

                                            Pasal 26

Sumpah penyidik dan Jaksa Penuntut Umum ad hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (4) dan Pasal 23 ayat (3), lafalnya berbunyi sebagai berikut :

"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini,
langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak
memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga".

"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu
janji atau pemberian".

"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia".

"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan jujur,
seksama, dan obyektif dengan tidak membeda-bedakan orang, dan akan menjunjung tinggi etika
profesi dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya
seperti layaknya bagi seorang petugas yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum
dan keadilan".

                                      Bagian Kedelapan
                               Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
                                          Paragraf 1
                                           Umum

                                           Pasal 27

(1) Perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan
HAM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

(2) Pemeriksaan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan HAM yang berjumlah 5 (lima) orang,
terdiri atas 2 (dua) orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang
hakim ad hoc.

(3) Majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diketuai oleh hakim dari Pengadilan
HAM yang bersangkutan.

                                           Pasal 28

(1) Hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul
Ketua Mahkamah Agung.

(2) Jumlah hakim ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya 12 (dua
belas) orang.

(3) Hakim ad hoc diangkat untuk selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu)
kali masa jabatan.

                                         Paragraf 2
                             Syarat Pengangkatan Hakim Ad Hoc

                                           Pasal 29

Untuk dapat diangkat menjadi Hakim ad hoc harus memenuhi syarat:

   1. warga negara Republik Indonesia;
   2. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
   3. berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun dan paling tinggi 65 (enam
        puluh lima) tahun;
   4.   berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang
        hukum;
   5.   sehat jasmani dan rohani;
   6.   berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
   7.   setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
   8.   memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.

                                           Pasal 30

Hakim ad hoc yang diangkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) sebelum
melaksanakan tugasnya wajib mengucapkan sumpah sesuai dengan agamanya masing-masing
yang lafalnya berbunyi sebagai berikut :
"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini,
langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak akan
memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga".

"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu
janji atau pemberian".

"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar 1945, serta peraturan
perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia".

"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan jujur,
seksama, dan obyektif dengan tidak mem-beda-bedakan orang, dan akan menjunjung tinggi etika
profesi dalam

melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya
bagi seorang petugas yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".

                                           Paragraf 3

                                      Acara Pemeriksaan

                                            Pasal 31

Perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM
dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke
Pengadilan HAM.

                                            Pasal 32

(1) Dalam hal perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimohonkan banding ke
Pengadilan Tinggi, maka perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90
(sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi.

(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim
berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Tinggi yang
bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.

(3) Jumlah hakim ad hoc di Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-
kurangnya 12 (dua belas) orang.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 29, dan Pasal
30 juga berlaku bagi pengangkatan hakim ad hoc pada Pengadilan Tinggi.

                                            Pasal 33

(1) Dalam hal perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimohonkan kasasi ke
Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 (sembilan
puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Mahkamah Agung.
(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim
yang berjumlah 5 (lima) orang terdiri atas 2 (dua) orang Hakim Agung dan 3 (tiga) orang hakim
ad hoc.

(3) Jumlah hakim ad hoc di Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-
kurangnya 3 (tiga) orang.

(4) Hakim ad hoc di Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usulan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

(5) Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diangkat untuk satu kali masa jabatan
selama 5 (lima) tahun.

(6) Untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc pada Mahkamah Agung harus memenuhi syarat :

    a. warga negara Republik Indonesia;
    b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
    c. berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun;
    d. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang
       hukum;
    e. sehat jasmani dan rohani;
    f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
    g. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
    h. memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.

                                            BAB V

                           PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSI

                                           Pasal 34

(1) Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas
perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak
manapun.

(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan oleh aparat penegak
hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma.

(3) Ketentuan mengenai tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.

                                            BAB VI

                       KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN REHABILITASI

                                           Pasal 35

(1) Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat
memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.
(2) Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan
dalam amar putusan Pengadilan HAM.

(3) Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.

                                             BAB VII

                                     KETENTUAN PIDANA

                                            Pasal 36

Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, b, c, d,
atau e dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.

                                            Pasal 37

Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, b, d, e,
atau j dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.

                                            Pasal 38

Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun.

                                            Pasal 39

Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf f, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun.

                                            Pasal 40

Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g, h, atau i
dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 10
(sepuluh) tahun.

                                            Pasal 41

Percobaan, permufakatan jahat, atau pembantuan untuk melakukan pelanggaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9 dipidana dengan pidana yang sama dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.

                                            Pasal 42

(1) Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer
dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi
Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan
pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan
tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara
patut, yaitu :
   a. komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu
      seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja
      melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
   b. komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan
      diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan
      perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk
      dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

(2) Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana terhadap
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di
bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan
pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni :

   a. atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas
      menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan
      pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
   b. atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang
      lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau
      menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan,
      penyidikan, dan penuntutan.

(3) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diancam dengan pidana yang
sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.

                                           BAB VIII

                                 PENGADILAN HAM AD HOC

                                           Pasal 43

(1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-
undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.

(2) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan
Presiden.

(3) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di lingkungan
Peradilan Umum.

                                           Pasal 44

Pemeriksaan di Pengadilan HAM ad hoc dan upaya hukumnya dilakukan sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-undang ini.




                                         BAB IX
                                  KETENTUAN PERALIHAN

                                           Pasal 45
(1) Untuk pertama kali pada saat Undang-undang ini mulai berlaku Pengadilan HAM
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan, dan
Makassar.

(2) Daerah hukum Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada pada
Pengadilan Negeri di:

   a. Jakarta Pusat yang meliputi wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Jawa
      Barat, Banten, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan
      Kalimantan Tengah;
   b. Surabaya yang meliputi Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa
      Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan
      Nusa Tenggara Timur;
   c. Makassar yang meliputi Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
      Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, dan Irian Jaya;
   d. Medan yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Daerah Istimewa Aceh, Riau, Jambi, dan
      Sumatera Barat.

                                           BAB X

                                  KETENTUAN PENUTUP

                                          Pasal 46

Untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang ini tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa.

                                          Pasal 47

(1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang
ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi.

(2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan
Undang-undang.

                                          Pasal 48

Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
sudah atau sedang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-undang ini.

                                          Pasal 49

Ketentuan mengenai kewenangan Atasan Yang Berhak Menghukum dan Perwira Penyerah
Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dan Pasal 123 Undang-undang Nomor 31
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dinyatakan tidak berlaku dalam pemeriksaan pelanggaran
hak asasi manusia yang berat menurut Undang-undang ini.

                                          Pasal 50
Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 191, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3911) dengan ini
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

                                         Pasal 51

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 23 Nopember 2000

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ABDURRAHMAN WAHID

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Nopember 2000

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DJOHAN EFFENDI




          LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 208


Silahkan download versi PDF nya sbb:
pengadilan_hak_asasi_manusia_(uu_26_thn_2000)_26.pdf
(ogi/Carapedia)
Pencarian Terbaru

Pengwrtian pengadilan ham ad hoc fan siapa yang membentuknya. Pengwrtian surat rahasia.

Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.