- Home »
- Undang-Undang »
- 2002 » Undang-Undang Pengadilan Pajak (UU 14 thn 2002)
2002
Undang-Undang Pengadilan Pajak (UU 14 thn 2002)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak :
Silahkan download versi PDF nya sbb:
pengadilan_pajak_(uu_14_thn_2002)_14.pdf
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESI
NOMOR 14 TAHUN 2002
TENTANG
PENGADILAN PAJAK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, menjamin
perwujudan tata kehidupan negara dan bangsa yang adil dan sejahtera,
aman, tenteram dan tertib, serta menjamin kedudukan hukum yang sama
bagi warga masyarakat;
b. bahwa untuk mencapai tujuan dimaksud, pembangunan nasional yang
berkesinambungan dan berkelanjutan serta merata di seluruh tanah air
memerlukan dana yang memadai terutama dari sumber perpajakan;
c. bahwa dengan meningkatnya jumlah Wajib Pajak dan pemahaman akan
hak dan kewajibannya dalam melaksanakan peraturan perundang-
undangan perpajakan tidak dapat dihindarkan timbulnya Sengketa Pajak
yang memerlukan penyelesaian yang adil dengan prosedur dan proses
yang cepat, murah, dan sederhana;
d. bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan
peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung;
e. bahwa karenanya diperlukan suatu Pengadilan Pajak yang sesuai dengan
sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan
keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian Sengketa Pajak;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan dimaksud dalam huruf a, b, c, d, dan e,
tersebut di atas perlu dibentuk Undang-undang tentang Pengadilan Pajak;
: 1.
Mengingat Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 23A, Pasal 24 dan Pasal 25
Undang- Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan
Perubahan Ketiga Undang- Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun
1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3879);
3. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16
Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor
126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);
4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3985);
5. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3986);
6. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1994 Nomor 62 Tambahan Lembaran Negara Nomor
3569);
7. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3316);
8. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3612);
9. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3613);
10. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3685) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 246, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4048);
11. Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor
42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3686) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 29, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3987);
12. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997
Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3688) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3988);
Dengan Persetujuan Bersama:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
:
Menetapkan UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN PAJAK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Pengertian
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Pejabat yang berwenang adalah Direktur Jenderal Pajak,
1.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Gubernur, Bupati/Walikota,
atau pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
2. Pajak adalah semua jenis Pajak yang dipungut oleh
2.
Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk dan Cukai, dan Pajak
yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3. Peraturan perundang-undangan perpajakan adalah semua
3.
peraturan di bidang perpajakan.
4. Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang
4.
perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan dan
dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa.
5. Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang
5.
perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan
pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya
keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada
Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan
berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa.
6. Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh
6.
Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap suatu keputusan
yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakaan yang berlaku.
7. Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh
7.
Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap pelaksanaan
penagihan Pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan
Gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku.
8. Surat Uraian Banding adalah surat terbanding kepada
8.
Pengadilan Pajak yang berisi jawaban atas alasan Banding
yang diajukan oleh pemohon Banding.
9. Surat Tanggapan adalah surat dari tergugat kepada
9.
Pengadilan Pajak yang berisi jawaban atas Gugatan yang
diajukan oleh penggugat.
10. Surat Bantahan adalah surat dari pemohon Banding atau penggugat
kepada Pengadilan Pajak yang berisi bantahan atas surat uraian Banding
atau Surat Tanggapan.
11. Tanggal dikirim adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimile,
atau dalam hal disampaikan secara langsung adalah tanggal pada saat
surat, keputusan, atau putusan disampaikan secara langsung.
12. Tanggal diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal
faksimile, atau dalam hal diterima secara langsung adalah tanggal pada
saat surat, keputusan, atau putusan diterima secara langsung.
13. Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim adalah Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
pada Pengadilan Pajak.
14. Hakim Tunggal adalah Hakim yang ditunjuk oleh Ketua untuk memeriksa
dan memutus Sengketa Pajak dengan acara cepat.
15. Hakim Anggota adalah Hakim dalam suatu Majelis yang ditunjuk oleh
Ketua untuk menjadi anggota dalam Majelis.
16. Hakim Ketua adalah Hakim Anggota yang ditunjuk oleh Ketua untuk
memimpin sidang.
17. Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti adalah Sekretaris,
Wakil Sekkretaris, dan Sekretaris Pengganti pada Pengadilan Pajak .
18. Panitera, Wakil Panitera, dan Panitera Pengganti adalah Sekretaris, Wakil
Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti Pengadilan Pajak yang
melaksanakan fungsi kepaniteraan.
19. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Bagian Kedua
Kedudukan
Pasal 2
Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan
terhadap Sengketa Pajak.
Bagian Ketiga
Tempat Kedudukan
Pasal 3
Dengan Undang-undang ini dibentuk Pengadilan Pajak yang berkedudukan di
ibukota Negara.
Pasal 4
(1) (1) Sidang Pengadilan Pajak dilakukan di tempat kedudukannya dan
apabila dipandang perlu dapat dilakukan di tempat lain.
(2)
(2) Tempat sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
oleh Ketua.
Bagian Keempat
Pembinaan
Pasal 5
(1)
(1) Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh
Mahkamah Agung.
(2)
(2) Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi
Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
(3)
ayat (2) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam
memeriksa dan memutus Sengketa Pajak.
BAB II
SUSUNAN PENGADILAN PAJAK
Bagian Pertama
Umum
Pasal 6
Susunan Pengadilan Pajak terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Sekretaris,
dan Panitera.
Pasal 7
Pimpinan Pengadilan Pajak terdiri dari seorang Ketua dan paling banyak 5
(lima) orang Wakil Ketua.
Bagian Kedua
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
Pasal 8
(1) Hakim diangkat oleh Presiden dari daftar nama calon yang
(1)
diusulkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah
Agung.
(2) (2) Ketua dan Wakil Ketua diangkat oleh Presiden dari para Hakim
yang diusulkan Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua
Mahkamah Agung.
(3) Ketua, Wakil Ketua dan Hakim diangkat untuk masa
(3)
jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk
1 (satu) kali masa jabatan.
(4) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim adalah pejabat negara
(4)
yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman di bidang
Sengketa Pajak.
Pasal 9
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim, setiap calon harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. berumur paling rendah 45 (empat puluh lima) tahun;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
e. tidak pernah terlibat dalam kegiatan yang mengkhianati Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 atau terlibat organisasi terlarang;
f. mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijazah sarjana
hukum atau sarjana lain;
g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
h. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan;
dan
i. sehat jasmani dan rohani.
(2) (2) Dalam memeriksa dan memutus perkara Sengketa Pajak tertentu
yang memerlukan keahlian khusus, Ketua dapat menunjuk Hakim Ad
Hoc sebagai Hakim Anggota.
(3) (3) Untuk dapat ditunjuk sebagai Hakim Ad Hoc, seseorang harus
memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kecuali
huruf b dan huruf f.
(4) Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf f
(4)
tidak berlaku bagi Hakim Ad Hoc.
(5) (5) Tata cara penunjukan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Pajak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 10
(1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim harus
bersumpah atau berjanji menurut agamanya atau kepercayaannya,
yang berbunyi sebagai berikut:
" Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya,
untuk memangku jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung,
dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak
memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun
juga."
" Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima
langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau
pemberian."
" Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai pandangan
hidup bangsa, dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar
1945, dan segala undang-undang yang berlaku bagi Negara Republik
Indonesia."
" Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan
jabatan saya ini dengan jujur, saksama, dan tidak membeda-bedakan
orang dalam melaksanakan kewajiban saya dan akan berlaku sebaik-
baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Ketua/Wakil
Ketua/Hakim Pengadilan Pajak yang berbudi baik dan jujur dalam
menegakkan hukum dan keadilan."
(2) Ketua dan Wakil Ketua mengucapkan sumpah atau
(2)
janji di hadapan Ketua Mahkamah Agung.
(3)
(3) Hakim mengucapkan sumpah atau janji di hadapan Ketua.
Pasal 11
(1) Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim
(1)
dilakukan oleh Mahkamah Agung.
(2) Ketua melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
(2)
pelaksanaan tugas dan perilaku Wakil Ketua, Hakim, dan
Sekretaris/Panitera.
(3)
(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam
memeriksa dan memutus Sengketa Pajak.
Pasal 12
(1) Hakim tidak boleh merangkap menjadi:
a. pelaksana putusan Pengadilan Pajak;
b. wali, pengampu, atau pejabat yang berkaitan dengan suatu
Sengketa Pajak yang akan atau sedang diperiksa olehnya;
c. penasehat hukum;
d. konsultan Pajak;
e. akuntan publik; dan/atau
f. pengusaha.
(2) Selain jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jabatan lain yang
tidak boleh dirangkap oleh Hakim diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 13
(1)
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari
jabatannya oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat
persetujuan Ketua Mahkamah Agung karena :
a. a. permintaan sendiri;
b. b. sakit jasmani dan rohani terus menerus;
c. c. telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun; atau
d.
d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugas.
(2)
(2) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari
jabatannya oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat
persetujuan Ketua Mahkamah Agung karena tenaganya dibutuhkan
oleh negara untuk menjalankan tugas negara lainnya.
(3)
(3) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim yang meninggal dunia, dengan
sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya dengan
Keputusan Presiden.
Pasal 14
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari
jabatannya oleh Presiden atas usul Menteri, setelah mendapat persetujuan
Ketua Mahkamah Agung dengan alasan:
a.
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b.
b. melakukan perbuatan tercela;
c.
c. terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas
pekerjaannya;
d.
d. melanggar sumpah/janji jabatan; atau
e.
e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
Pasal 15
Usul pemberhentian dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (1) huruf d dan usul pemberhentian tidak dengan hormat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e diajukan
setelah yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela
diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.
Bagian Ketiga
Majelis Kehormatan Hakim
Pasal 16
(1)
(1) Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim
serta tata cara pembelaan diri Hakim ditetapkan dengan Keputusan
Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung dan Menteri.
(2)
(2) Majelis Kehormatan Hakim bertugas:
1. meneliti dan meminta keterangan Ketua, Wakil Ketua, atau Hakim
yang diusulkan untuk:
a. diberhentikan dengan hormat berdasarkan alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13;
b. diberhentikan tidak dengan hormat berdasarkan alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
2. mengusulkan pemberhentian sementara dari jabatan Ketua, Wakil
Ketua, atau Hakim karena diusulkan untuk diberhentikan tidak
dengan hormat.
Bagian Keempat
Pemberhentian Sementara Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
Pasal 17
(1)
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim sebelum diberhentikan tidak
dengan hormat, diberhentikan sementara oleh Presiden atas usul
Menteri dengan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
(2)
(2) Seorang Hakim yang diberhentikan dari jabatannya, tidak dengan
sendirinya diberhentikan dari statusnya sebagai pegawai negeri.
Pasal 18
(1)
(1) Apabila terhadap Ketua, Wakil Ketua, atau Hakim dikeluarkan
surat perintah penangkapan yang diikuti dengan penahanan, Ketua,
Wakil Ketua, atau Hakim dimaksud diberhentikan sementara
terlebih dahulu dari jabatannya.
(2) Apabila Ketua, Wakil Ketua, atau Hakim dituntut di muka
(2)
pengadilan dalam perkara pidana tanpa ditahan, Ketua, Wakil Ketua,
atau Hakim dimaksud diberhentikan sementara dari jabatannya.
Pasal 19
(1)
(1) Apabila dalam pemeriksaan terhadap Ketua, Wakil Ketua, atau
Hakim yang telah ditangkap dan ditahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (1) ternyata tidak terbukti melakukan tindak pidana,
Ketua, Wakil Ketua, atau Hakim dimaksud dikembalikan ke jabatan
semula.
(2) (2) Apabila tuntutan pidana terhadap Ketua, Wakil Ketua, atau Hakim
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) tidak terbukti
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, Ketua, Wakil Ketua, atau Hakim dimaksud dikembalikan
ke jabatan semula.
Pasal 20
(1) Ketua, Wakil Ketua, atau Hakim dapat ditangkap dan/atau ditahan
hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan
Presiden, kecuali dalam hal:
a. a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau
b. b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang
diancam dengan pidana mati, atau tindak pidana kejahatan
terhadap keamanan negara.
(2) Pelaksanaan penangkapan atau penahanan sebagaimana
(2)
dimaksud dalam ayat (1) paling lambat dalam waktu 2 (dua)
kali 24 (dua puluh empat) jam harus sudah dilaporkan
kepada Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 21
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian sementara,
pemberhentian dengan hormat, dan pemberhentian tidak dengan hormat
Ketua, Wakil Ketua, atau Hakim serta hak-haknya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kelima
Protokoler dan Tunjangan
Pasal 22
(1) (1) Kedudukan protokoler Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
(2)
(2) Tunjangan dan ketentuan lainnya bagi Ketua, Wakil Ketua,
Hakim, Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti diatur
dengan Keputusan Menteri.
Bagian Keenam
Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti
Pasal 23
Sekretaris memimpin sekretariat yang mempunyai tugas pelayanan di bidang
administrasi umum, dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris.
Pasal 24
Sebelum memangku jabatan, Sekretaris/Wakil Sekretaris/Sekretaris
Pengganti wajib diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua menurut agama
atau kepercayaannya yang berbunyi sebagai berikut :
Saya bersumpah/berjanji :
" bahwa saya, untuk diangkat menjadi Sekretaris/Wakil Sekretaris/Sekretaris
Pengganti akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang
Undang Dasar 1945, negara, dan Pemerintah";
" bahwa saya akan mentaati segala peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada
saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggungjawab";
" bahwa saya akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara,
Pemerintah, dan martabat Sekretaris/Wakil Sekretaris/Sekretaris
Pengganti, serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan negara
daripada kepentingan sendiri, seseorang atau golongan";
" bahwa saya akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau
menurut perintah harus saya rahasiakan";
" bahwa saya akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat
untuk kepentingan negara".
Pasal 25
(1) (1) Sekretaris/Wakil Sekretaris/Sekretaris Pengganti, dan pegawai
Sekretariat Pengadilan Pajak adalah pegawai negeri sipil dalam
lingkungan Departemen Keuangan.
(2)
(2) Sekretaris/Wakil Sekretaris/Sekretaris Pengganti dapat
merangkap tugas-tugas kepaniteraan.
Pasal 26
Untuk dapat diangkat menjadi Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris
Pengganti, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. a. Warga Negara Indonesia;
b.
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
d.
d. sehat jasmani dan rohani; dan
e.
e. berijazah Sarjana Hukum atau sarjana lain dan mempunyai
pengetahuan di bidang perpajakan.
Pasal 27
Kedudukan Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti diatur
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 28
(1) Tugas, tanggung jawab, dan susunan organisasi kesekretariatan
(1)
Pengadilan Pajak ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(2) (2) Tata kerja kesekretariatan Pengadilan Pajak ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.
(3) (3) Tata Tertib persidangan Pengadilan Pajak ditetapkan dengan
Keputusan Ketua.
Bagian Ketujuh
Panitera
Pasal 29
(1) (1) Pada Pengadilan Pajak ditetapkan adanya kepaniteraan yang
dipimpin oleh seorang Panitera.
(2) (2) Dalam melaksanakan tugasnya, Panitera Pengadilan Pajak
dibantu oleh seorang Wakil Panitera dan beberapa orang Panitera
Pengganti.
(3) (3) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan Undang-undang,
Panitera, Wakil Panitera, dan Panitera Pengganti tidak boleh
merangkap menjadi:
a. pelaksana putusan Pengadilan Pajak;
a.
b. wali, pengampu, atau pejabat yang berkaitan dengan
b.
suatu Sengketa Pajak yang akan atau sedang diperiksa
olehnya;
c. penasehat hukum;
c.
d. konsultan Pajak;
d.
e. e. akuntan publik; dan/atau
f.
f. pengusaha.
(4)
(4) Panitera, Wakil Panitera, dan Panitera Pengganti diangkat dan
diberhentikan dari jabatannya oleh Menteri.
(5)
(5) Pembinaan teknis Panitera dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Pasal 30
Sebelum memangku jabatannya, Panitera, Wakil Panitera, dan Panitera
Pengganti harus bersumpah atau berjanji menurut agama atau
kepercayaannya, yang berbunyi sebagai berikut :
" Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk
memangku jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan
menggunakan nama atau apa pun juga, tidak memberikan atau
menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun";
" Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima
langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau
pemberian";
" Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup
bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional, Undang-Undang Dasar 1945,
dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara
Republik Indonesia";
" Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, senantiasa akan menjalankan
jabatan saya ini dengan jujur, saksama dan dengan tidak membeda-
bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya
sebaik-baiknya dan seadil-seadilnya, seperti layaknya bagi seorang
Panitera, Wakil Panitera, dan Panitera Pengganti yang berbudi baik dan
jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
BAB III
KEKUASAAN PENGADILAN PAJAK
Pasal 31
(1)
(1) Pengadilan Pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa
dan memutus Sengketa Pajak.
(2)
(2) Pengadilan Pajak dalam hal Banding hanya memeriksa dan
memutus sengketa atas keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain
oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) (3) Pengadilan Pajak dalam hal Gugatan memeriksa dan memutus
sengketa atas pelaksanaan penagihan Pajak atau Keputusan
pembetulan atau Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16
Tahun 2000 dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku.
Pasal 32
(1)
(1) Selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31, Pengadilan Pajak mengawasi kuasa hukum yang memberikan
bantuan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam sidang-
sidang Pengadilan Pajak.
(2)
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Ketua.
Pasal 33
(1)
(1) Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan tingkat pertama dan
terakhir dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak.
(2) (2) Untuk keperluan pemeriksaan Sengketa Pajak, Pengadilan Pajak
dapat memanggil atau meminta data atau keterangan yang berkaitan
dengan Sengketa Pajak dari pihak ketiga sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB IV
HUKUM ACARA
Bagian Pertama
Kuasa Hukum
Pasal 34
(1) Para pihak yang bersengketa masing-masing dapat didampingi atau
diwakili oleh satu atau lebih kuasa hukum dengan Surat Kuasa Khusus.
(2) Untuk menjadi kuasa hukum harus dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a.
a. Warga Negara Indonesia;
b.
b. mempunyai pengetahuan yang luas dan keahlian tentang
peraturan perundang-undangan perpajakan;
c.
c. persyaratan lain yang ditetapkan oleh Menteri.
(3) Dalam hal kuasa hukum yang mendampingi atau mewakili pemohon
Banding atau penggugat adalah keluarga sedarah atau semenda
sampai dengan derajat kedua, pegawai, atau pengampu, persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak diperlukan.
Bagian Kedua
Banding
Pasal 35
(1)
(1) Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia
kepada Pengadilan Pajak.
(2)
(2) Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal
diterima Keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan.
(3)
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak
mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena
keadaan di luar kekuasaan pemohon Banding.
Pasal 36
(1) Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding.
(2) Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan
dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding.
(3) Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang dibanding.
(4) Selain dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) serta Pasal 35, dalam hal Banding diajukan terhadap
besarnya jumlah Pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan
apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50%
(lima puluh persen).
Pasal 37
(1)
(1) Banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya, seorang
pengurus, atau kuasa hukumnya.
(2)
(2) Apabila selama proses Banding, pemohon Banding meninggal
dunia, Banding dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari
ahli warisnya, atau pengampunya dalam hal pemohon Banding pailit.
(3)
(3) Apabila selama proses Banding pemohon Banding melakukan
penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau
likuidasi, permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang
menerima pertanggungjawaban karena penggabungan, peleburan,
pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi dimaksud.
Pasal 38
Pemohon Banding dapat melengkapi Surat Bandingnya untuk memenuhi
ketentuan yang berlaku sepanjang masih dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).
Pasal 39
(1)
(1) Terhadap Banding dapat diajukan surat pernyataan pencabutan
kepada Pengadilan Pajak.
(2)
(2) Banding yang dicabut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dihapus dari daftar sengketa dengan :
a. a. penetapan Ketua dalam hal surat pernyataan pencabutan
diajukan sebelum sidang dilaksanakan;
b. b. putusan Majelis/Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam hal
surat pernyataan pencabutan diajukan dalam sidang atas
persetujuan terbanding.
(3)
(3) Banding yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), tidak dapat diajukan kembali.
Bagian Ketiga
Gugatan
Pasal 40
(1)
(1) Gugatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada
Pengadilan Pajak.
(2)
(2) Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap pelaksanaan
penagihan Pajak adalah 14 (empat belas) hari sejak tanggal
pelaksanaan penagihan.
(3)
(3) Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap Keputusan
selain Gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah 30 (tiga
puluh) hari sejak tanggal diterima Keputusan yang digugat.
(4)
(4) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)
tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi
karena keadaan di luar kekuasaan penggugat.
(5)
(5) Perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4) adalah 14 (empat belas) hari terhitung sejak berakhirnya keadaan di
luar kekuasaan penggugat.
(6)
(6) Terhadap 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu)
Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Gugatan.
Pasal 41
(1)
(1) Gugatan dapat diajukan oleh penggugat, ahli warisnya, seorang
pengurus, atau kuasa hukumnya dengan disertai alasan-alasan yang
jelas, mencantumkan tanggal diterima, pelaksanaan penagihan, atau
Keputusan yang digugat dan dilampiri salinan dokumen yang digugat.
(2)
(2) Apabila selama proses Gugatan, penggugat meninggal dunia,
Gugatan dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli
warisnya, atau pengampunya dalam hal penggugat pailit.
(3)
(3) Apabila selama proses Gugatan, penggugat melakukan
penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau
likuidasi, permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang
menerima pertanggungjawaban karena penggabungan, peleburan,
pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi dimaksud.
Pasal 42
(1)
(1) Terhadap Gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat
(1), dapat diajukan surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan
Pajak.
(2)
(2) Gugatan yang dicabut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dihapus dari daftar sengketa dengan :
a. a. penetapan Ketua dalam hal surat pernyataan pencabutan
diajukan sebelum sidang;
b. b. putusan Majelis/Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam hal
surat pernyataan pencabutan diajukan setelah sidang atas
persetujuan tergugat.
(3)
(3) Gugatan yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan kembali.
Pasal 43
(1)
(1) Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya
penagihan Pajak atau kewajiban perpajakan.
(2) (2) Penggugat dapat mengajukan permohonan agar tindak lanjut
pelaksanaan penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditunda selama pemeriksaan Sengketa Pajak sedang berjalan, sampai
ada putusan Pengadilan Pajak.
(3) (3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat
diajukan sekaligus dalam Gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu
dari pokok sengketanya.
(4) (4) Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat
mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat
dirugikan jika pelaksanaan penagihan Pajak yang digugat itu
dilaksanakan.
Bagian Keempat
Persiapan Persidangan
Pasal 44
(1)
(1) Pengadilan Pajak meminta Surat Uraian Banding atau Surat
Tanggapan atas Surat Banding atau Surat Gugatan kepada terbanding
atau tergugat dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal
diterima Surat Banding atau Surat Gugatan.
(2) (2) Dalam hal pemohon Banding mengirimkan surat atau dokumen
susulan kepada Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
38, jangka waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dihitung sejak tanggal diterima surat atau dokumen susulan
dimaksud.
Pasal 45
(1)
(1) Terbanding atau tergugat menyerahkan Surat Uraian Banding
atau Surat Tanggapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dalam
jangka waktu:
a. a. 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim permintaan Surat Uraian
Banding; atau
b.
b. 1(satu) bulan sejak tanggal dikirim permintaan Surat
Tanggapan.
(2)
(2) Salinan Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh Pengadilan Pajak dikirim
kepada pemohon Banding atau penggugat dalam jangka waktu 14
(empat belas) hari sejak tanggal diterima.
(3) Pemohon Banding atau penggugat dapat menyerahkan Surat
(3)
Bantahan kepada Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)
hari sejak tanggal diterima salinan Surat Uraian Banding atau Surat
Tanggapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4)
(4) Salinan Surat Bantahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dikirimkan kepada terbanding atau tergugat, dalam jangka waktu 14
(empat belas) hari sejak tanggal diterima Surat Bantahan.
(5)
(5) Apabila terbanding atau tergugat, atau pemohon Banding atau
penggugat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) atau ayat (3), Pengadilan Pajak tetap melanjutkan pemeriksaan
Banding atau Gugatan.
Pasal 46
Pemohon Banding atau penggugat dapat memberitahukan kepada Ketua
untuk hadir dalam persidangan guna memberikan keterangan lisan.
Pasal 47
(1)
(1) Ketua menunjuk Majelis yang terdiri dari 3 (tiga) orang Hakim atau
Hakim Tunggal untuk memeriksa dan memutus Sengketa Pajak.
(2)
(2) Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh Majelis, Ketua menunjuk
salah seorang Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai
Hakim Ketua yang memimpin pemeriksaan Sengketa Pajak.
(3) (3) Majelis atau Hakim Tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
bersidang pada hari yang ditentukan dan memberitahukan hari sidang
dimaksud kepada pihak yang bersengketa.
Pasal 48
(1) Majelis/Hakim Tunggal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 sudah
mulai bersidang dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal
diterimanya Surat Banding.
(2) Dalam hal Gugatan, Majelis/Hakim Tunggal sudah memulai sidang
dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Surat
Gugatan.
Bagian Kelima
Pemeriksaan dengan Acara Biasa
Pasal 49
Pemeriksaan dengan acara biasa dilakukan oleh Majelis.
Pasal 50
(1)
(1) Untuk keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua membuka sidang dan
menyatakan terbuka untuk umum.
(2) Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Majelis
(2)
melakukan pemeriksaan mengenai kelengkapan dan/atau
kejelasan Banding atau Gugatan.
(3) Apabila Banding atau Gugatan tidak lengkap dan/atau tidak jelas
(3)
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sepanjang bukan merupakan
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), Pasal 36
ayat (1) dan ayat (4), dan Pasal 40 ayat (1) dan/atau ayat (6),
kelengkapan dan/atau kejelasan dimaksud dapat diberikan dalam
persidangan.
Pasal 51
(1)
(1) Hakim Ketua, Hakim Anggota, atau Panitera wajib mengundurkan
diri dari suatu persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah
atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami istri
meskipun telah bercerai dengan salah seorang Hakim atau Panitera
pada Majelis yang sama.
(2) Hakim Ketua, Hakim Anggota, atau Panitera wajib mengundurkan diri
dari suatu persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau
semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami istri meskipun
telah bercerai dengan pemohon Banding atau penggugat atau kuasa
hukum.
(3)
(2) Hakim Ketua, Hakim Anggota, atau Panitera sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus diganti, dan apabila tidak
mengundurkan diri sedangkan sengketa telah diputus, putusan
dimaksud tidak sah dan Ketua memerintahkan sengketa dimaksud
segera disidangkan kembali dengan susunan Majelis dan/atau Panitera
yang berbeda.
(4)
(3) Dalam hal hubungan keluarga sedarah, semenda, atau hubungan
suami istri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diketahui sebelum melewati jangka waktu 1 (satu) tahun setelah
sengketa diputus sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), sengketa
dimaksud disidangkan kembali dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
terhitung sejak diketahuinya hubungan dimaksud.
Pasal 52
(1) Hakim Ketua, Hakim Anggota, Panitera, Wakil Panitera, atau Panitera
Pengganti wajib mengundurkan diri dari suatu persidangan apabila
berkepentingan langsung atau tidak langsung atas satu sengketa yang
ditanganinya.
(2) Pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
dilakukan atas permintaan salah satu atau pihak-pihak yang
bersengketa.
(3) Ketua berwenang menetapkan pengunduran diri sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) apabila ada keraguan atau
perbedaan pendapat.
(4) Hakim Ketua, Hakim Anggota, Panitera, Wakil Panitera, atau Panitera
Pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diganti dan
apabila tidak diganti atau tidak mengundurkan diri sedangkan sengketa
telah diputus, putusan dimaksud tidak sah dan Ketua memerintahkan
sengketa dimaksud segera disidangkan kembali dengan susunan
Majelis dan Panitera, Wakil Panitera, atau Panitera Pengganti yang
berbeda, kecuali putusan dimaksud telah melampaui jangka waktu 1
(satu) tahun.
(5) Dalam hal kepentingan langsung atau tidak langsung sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diketahui sebelum melewati jangka waktu 1
(satu) tahun setelah sengketa diputus sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4), sengketa dimaksud disidangkan kembali dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan terhitung sejak diketahuinya kepentingan dimaksud.
Pasal 53
(1) Hakim Ketua memanggil terbanding atau tergugat dan
(1)
dapat memanggil pemohon Banding atau penggugat untuk
memberikan keterangan lisan.
(2)
(2) Dalam hal pemohon Banding atau penggugat memberitahukan
akan hadir dalam persidangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46,
Hakim Ketua memberitahukan tanggal dan hari sidang kepada
pemohon Banding atau penggugat.
Pasal 54
(1) Hakim Ketua menjelaskan masalah yang disengketakan kepada pihak-
pihak yang bersengketa.
(2) Majelis menanyakan kepada terbanding atau tergugat mengenai hal-hal
yang dikemukakan pemohon Banding atau penggugat dalam Surat
Banding atau Surat Gugatan dan dalam Surat Bantahan.
(3) Apabila Majelis memandang perlu dan dalam hal pemohon Banding
atau penggugat hadir dalam persidangan, Hakim Ketua dapat meminta
pemohon Banding atau penggugat untuk memberikan keterangan yang
diperlukan dalam penyelesaian Sengketa Pajak.
Pasal 55
(1) Atas permintaan salah satu pihak yang bersengketa, atau
karena jabatan, Hakim Ketua dapat memerintahkan saksi untuk hadir
dan didengar keterangannya dalam persidangan.
(2) Saksi yang diperintahkan oleh Hakim Ketua sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib datang di persidangan dan tidak diwakilkan.
(3) Dalam hal saksi tidak datang meskipun telah dipanggil dengan patut
dan Majelis dapat mengambil putusan tanpa mendengar keterangan
saksi, Hakim Ketua melanjutkan persidangan.
(4) Apabila saksi tidak datang tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan meskipun telah dipanggil dengan patut, dan
Majelis mempunyai alasan yang cukup untuk menyangka bahwa saksi
sengaja tidak datang, serta Majelis tidak dapat mengambil putusan
tanpa keterangan dari saksi dimaksud, Hakim Ketua dapat meminta
bantuan polisi untuk membawa saksi ke persidangan.
(5) Biaya untuk mendatangkan saksi ke persidangan yang diminta oleh
pihak yang bersangkutan menjadi beban dari pihak yang meminta.
Pasal 56
(1) (1) Saksi dipanggil ke persidangan seorang demi seorang.
(2)
(2) Hakim Ketua menanyakan kepada saksi nama lengkap, tempat
lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kewarganegaraan, tempat
tinggal, agama, pekerjaan, derajat hubungan keluarga, dan hubungan
kerja dengan pemohon Banding/penggugat atau dengan
terbanding/tergugat.
(3)
(3) Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah
atau janji menurut agama atau kepercayaannya.
Pasal 57
(1)
(1) Yang tidak boleh didengar keterangannya sebagai saksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 adalah:
a. a. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus
ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari salah satu pihak
yang bersengketa;
b. b. Istri atau suami dari pemohon Banding atau penggugat
meskipun sudah bercerai;
c. c. Anak yang belum berusia 17 (tujuh belas) tahun; atau
d. d. Orang sakit ingatan.
(2)
(2) Apabila dipandang perlu, Hakim Ketua dapat meminta pihak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c
untuk didengar keterangannya.
Pasal 58
Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) dapat menolak
permintaan Hakim Ketua untuk memberikan keterangan.
Pasal 59
Setiap orang yang karena pekerjaan atau jabatannya wajib merahasiakan
segala sesuatu sehubungan dengan pekerjaan atau jabatannya, untuk
keperluan persidangan kewajiban merahasiakan dimaksud ditiadakan.
Pasal 60
(1)
(1) Pertanyaan yang diajukan kepada saksi oleh salah satu pihak
disampaikan melalui Hakim Ketua.
(2)
(2) Apabila pertanyaan dimaksud menurut pertimbangan Hakim Ketua
tidak ada kaitannya dengan sengketa, pertanyaan itu ditolak.
Pasal 61
(1)
(1) Apabila pemohon Banding atau penggugat atau saksi tidak paham
Bahasa Indonesia, Hakim Ketua menunjuk ahli alih bahasa.
(2) Sebelum melaksanakan tugas mengalihbahasakan yang
(2)
dipahami oleh pemohon Banding atau penggugat atau saksi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ke dalam Bahasa
Indonesia dan sebaliknya, ahli alih bahasa dimaksud diambil
sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya.
(3)
(3) Orang yang menjadi saksi dalam sengketa tidak boleh ditunjuk
sebagai ahli alih bahasa dalam sengketa dimaksud.
Pasal 62
(1)
(1) Dalam hal pemohon Banding atau penggugat atau saksi, ternyata
bisu dan/atau tuli serta tidak dapat menulis, Hakim Ketua menunjuk
orang yang pandai bergaul dengan pemohon Banding atau penggugat
atau saksi, sebagai ahli alih bahasa.
(2)
(2) Sebelum melaksanakan tugasnya, ahli alih bahasa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diambil sumpah atau janji menurut agama
atau kepecayaannya.
(3)
(3) Dalam hal pemohon Banding atau penggugat atau saksi, ternyata
bisu dan/atau tuli tetapi dapat menulis, Hakim Ketua dapat
memerintahkan Panitera menuliskan pertanyaan atau teguran kepada
pemohon Banding atau penggugat atau saksi, dan
memerintahkan menyampaikan tulisan itu kepada pemohon Banding
atau penggugat atau saksi dimaksud, agar ia menuliskan jawabannya,
kemudian segala pertanyaan dan jawaban harus dibacakan.
Pasal 63
(1)
(1) Saksi diambil sumpah atau janji dan didengar keterangannya
dalam persidangan dengan dihadiri oleh terbanding atau tergugat.
(2) (2) Apabila terbanding atau tergugat telah dipanggil secara patut,
tetapi tidak dapat datang tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan, saksi diambil sumpah atau janji dan didengar
keterangannya tanpa dihadiri oleh terbanding atau tergugat.
(3)
(3) Dalam hal saksi yang akan didengar tidak dapat hadir di
persidangan karena halangan yang dapat dibenarkan oleh hukum,
Majelis dapat datang ke tempat tinggal saksi untuk mengambil sumpah
atau janji dan mendengar keterangan saksi dimaksud tanpa dihadiri
oleh terbanding atau tergugat.
Pasal 64
(1)
(1) Apabila suatu sengketa tidak dapat diselesaikan pada 1 (satu) hari
persidangan, pemeriksaan dilanjutkan pada hari persidangan
berikutnya yang ditetapkan.
(2)
(2) Hari persidangan berikutnya diberitahukan kepada terbanding atau
tergugat dan dapat diberitahukan kepada pemohon Banding atau
penggugat.
(3)
(3) Dalam hal terbanding atau tergugat tidak hadir pada persidangan
tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, sekalipun ia telah
diberi tahu secara patut, persidangan dapat dilanjutkan tanpa dihadiri
oleh terbanding atau tergugat.
Bagian Keenam
Pemeriksaan dengan Acara Cepat
Pasal 65
Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan oleh Majelis atau Hakim Tunggal.
Pasal 66
(1)
(1) Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan terhadap:
a.
a. Sengketa Pajak tertentu;
b. b. Gugatan yang tidak diputus dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2);
c.
c. tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 84 ayat (1) atau kesalahan tulis dan/atau kesalahan
hitung, dalam putusan Pengadilan Pajak;
d. d. sengketa yang berdasarkan pertimbangan hukum bukan
merupakan wewenang Pengadilan Pajak.
(2)
(2) Sengketa Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf a adalah Sengketa Pajak yang Banding atau Gugatannya tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 36 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 37 ayat (1), Pasal 40
ayat (1) dan/atau ayat (6).
Pasal 67
Pemeriksaan dengan acara cepat terhadap Sengketa Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) dilakukan tanpa Surat Uraian Banding atau
Surat Tanggapan dan tanpa Surat Bantahan.
Pasal 68
Semua ketentuan mengenai pemeriksaan dengan acara biasa berlaku juga
untuk pemeriksaan dengan acara cepat.
Bagian Ketujuh
Pembuktian
Pasal 69
(1)
(1) Alat bukti dapat berupa:
a.
a. surat atau tulisan;
b.
b. keterangan ahli;
c.
c. keterangan para saksi;
d.
d. pengakuan para pihak; dan/atau
e.
e. pengetahuan Hakim
(2)
(2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.
Pasal 70
Surat atau tulisan sebagai alat bukti terdiri dari :
a.
a. akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang
pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang
membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti
tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya;
b. b. akta di bawah tangan yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh
pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan
sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum
didalamnya;
c. c. surat keputusan atau surat ketetapan yang diterbitkan oleh Pejabat
yang berwenang;
d. d. surat-surat lain atau tulisan yang tidak termasuk huruf a, huruf b, dan
huruf c yang ada kaitannya dengan Banding atau Gugatan.
Pasal 71
(1)
(1) Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah
sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut
pengalaman dan pengetahuannya.
(2)
(2) Seorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) tidak boleh memberikan keterangan
ahli.
Pasal 72
(1)
(1) Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau
karena jabatannya, Hakim Ketua atau Hakim Tunggal dapat menunjuk
seorang atau beberapa orang ahli.
(2) (2) Seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik
tertulis maupun lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji
mengenai hal sebenarnya menurut pengalaman dan pengetahuannya.
Pasal 73
Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu
berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar sendiri oleh saksi.
Pasal 74
Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan
yang kuat dan dapat diterima oleh Majelis atau Hakim Tunggal.
Pasal 75
Pengetahuan Hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini
kebenarannya.
Pasal 76
Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta
penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit
2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1).
Bagian Kedelapan
Putusan
Pasal 77
(1)
(1) Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan
mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) (2) Pengadilan Pajak dapat mengeluarkan putusan sela atas Gugatan
berkenaan dengan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
43 ayat (2).
(3)
(3) Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan
kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung.
Pasal 78
Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian,
dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim.
Pasal 79
(1)
(1) Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh Majelis, putusan
Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 diambil
berdasarkan musyawarah yang dipimpin oleh Hakim Ketua dan apabila
dalam musyawarah tidak dapat dicapai kesepakatan, putusan diambil
dengan suara terbanyak.
(2) Apabila Majelis di dalam mengambil putusan dengan cara
(2)
musyawarah tidak dapat dicapai kesepakatan sehingga putusan diambil
dengan suara terbanyak, pendapat Hakim Anggota yang tidak sepakat
dengan putusan tersebut dinyatakan dalam putusan Pengadilan Pajak.
Pasal 80
(1) (1) Putusan Pengadilan Pajak dapat berupa:
a.
a. menolak;
b.
b. mengabulkan sebagian atau seluruhnya;
c.
c. menambah Pajak yang harus dibayar;
d.
d. tidak dapat diterima;
e.
e. membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung;
dan/atau
f.
f. membatalkan.
(2)
(2) Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
dapat lagi diajukan Gugatan, Banding, atau kasasi.
Pasal 81
(1)
(1) Putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas Banding diambil
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak Surat Banding diterima.
(2)
(2) Putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas Gugatan diambil
dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak Surat Gugatan diterima.
(3)
(3) Dalam hal-hal khusus, jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan.
(4)
(4) Dalam hal-hal khusus, jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan.
(5)
(5) Dalam hal Gugatan yang diajukan selain atas keputusan
pelaksanaan penagihan Pajak, tidak diputus dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pengadilan Pajak wajib
mengambil putusan melalui pemeriksaan dengan acara cepat dalam
jangka waktu 1 (satu) bulan sejak jangka waktu 6 (enam) bulan
dimaksud dilampaui.
Pasal 82
(1) (1) Putusan pemeriksaan dengan acara cepat terhadap Sengketa
Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2),
dinyatakan tidak dapat diterima, diambil dalam jangka waktu sebagai
berikut :
a. a. 30 (tiga puluh) hari sejak batas waktu pengajuan Banding atau
Gugatan dilampaui;
b.
b. 30 (tiga puluh) hari sejak Banding atau Gugatan diterima dalam
hal diajukan setelah batas waktu pengajuan dilampaui.
(2)
(2) Putusan/penetapan dengan acara cepat terhadap kekeliruan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf c berupa
membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung,
diambil dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak kekeliruan
dimaksud diketahui atau sejak permohonan salah satu pihak diterima.
(3)
(3) Putusan dengan acara cepat terhadap sengketa yang didasarkan
pertimbangan hukum bukan merupakan wewenang Pengadilan Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf d, berupa tidak
dapat diterima, diambil dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
Surat Banding atau Surat Gugatan diterima.
(4)
(4) Dalam hal putusan Pengadilan Pajak diambil terhadap Sengketa
Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), pemohon Banding atau
penggugat dapat mengajukan Gugatan kepada peradilan yang
berwenang.
Pasal 83
(1) (1) Putusan Pengadilan Pajak harus diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum.
(2) (2) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), putusan Pengadilan Pajak tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan
hukum dan karena itu putusan dimaksud harus diucapkan kembali
dalam sidang terbuka untuk umum.
Pasal 84
(1) Putusan Pengadilan Pajak harus memuat :
a.
a. kepala putusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b.
b. nama, tempat tinggal atau tempat kediaman, dan/atau identitas
lainnya dari pemohon Banding atau penggugat;
c. c. nama jabatan dan alamat terbanding atau tergugat;
d. d. hari, tanggal diterimanya Banding atau Gugatan;
e.
e. ringkasan Banding atau Gugatan, dan ringkasan Surat Uraian
Banding atau Surat Tanggapan, atau Surat Bantahan, yang jelas;
f. f. pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal
yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
g. g. pokok sengketa;
h. h. alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
i. i. amar putusan tentang sengketa; dan
j. j. hari, tanggal putusan, nama Hakim yang memutus, nama
Panitera, dan keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para
pihak.
(2)
(2) Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) menyebabkan putusan dimaksud tidak sah dan Ketua
memerintahkan sengketa dimaksud segera disidangkan kembali
dengan acara cepat, kecuali putusan dimaksud telah melampaui jangka
waktu 1 (satu) tahun.
(3)
(3) Ringkasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e tidak
diperlukan dalam hal putusan Pengadilan Pajak diambil terhadap
Sengketa Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf
c, huruf d, dan Pasal 66 ayat (2).
(4)
(4) Putusan Pengadilan Pajak harus ditandatangani oleh Hakim yang
memutus dan Panitera.
(5) (5) Apabila Hakim Ketua atau Hakim Tunggal yang menyidangkan
berhalangan menandatangani, putusan ditandatangani oleh Ketua
dengan menyatakan alasan berhalangannya Hakim Ketua atau Hakim
Tunggal.
(6)
(6)
(7) Apabila Hakim Anggota berhalangan menandatangani, putusan
ditandatangani oleh Hakim Ketua dengan menyatakan alasan
berhalangannya Hakim Anggota dimaksud.
Pasal 85
(1)
(1) Pada setiap pemeriksaan, Panitera harus membuat Berita Acara
Sidang yang memuat segala sesuatu yang terjadi dalam persidangan.
(2) (2) Berita Acara Sidang ditandatangani oleh Hakim Ketua atau Hakim
Tunggal dan Panitera dan apabila salah seorang dari mereka
berhalangan, alasan berhalangannya itu dinyatakan dalam Berita Acara
Sidang.
(3) (3) Apabila Hakim Ketua atau Hakim Tunggal dan Panitera
berhalangan menandatangani, Berita Acara Sidang ditandatangani oleh
Ketua bersama salah seorang Panitera dengan menyatakan alasan
berhalangannya Hakim Ketua atau Hakim Tunggal dan Panitera.
Bagian Kesembilan
Pelaksanaan Putusan
Pasal 86
Putusan Pengadilan Pajak langsung dapat dilaksanakan dengan tidak
memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan
perundang-undangan mengatur lain.
Pasal 87
Apabila putusan Pengadilan Pajak mengabulkan sebagian atau seluruh
Banding, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah
imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua
puluh empat) bulan, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku.
Pasal 88
(1)
(1) Salinan putusan atau salinan penetapan Pengadilan Pajak dikirim
kepada para pihak dengan surat oleh Sekretaris dalam jangka waktu
30 (tiga puluh) hari sejak tanggal putusan Pengadilan Pajak diucapkan,
atau dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal putusan sela
diucapkan.
(2) (2) Putusan Pengadilan Pajak harus dilaksanakan oleh Pejabat yang
berwenang dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal diterima putusan.
(3) (3) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan Pajak
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan
sanksi sesuai dengan ketentuan kepegawaian yang berlaku.
Bagian Kesepuluh
Pemeriksaan Peninjauan Kembali
Pasal 89
(1)
(1) Permohonan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 77 ayat (3) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah
Agung melalui Pengadilan Pajak.
(2)
(2) Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau
menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak.
(3) (3) Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut sebelum diputus, dan
dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali tersebut
tidak dapat diajukan lagi.
Pasal 90
Hukum acara yang berlaku pada pemeriksaan peninjauan kembali adalah
hukum acara pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
kecuali yang diatur secara khusus dalam Undang-undang ini.
Pasal 91
Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-
alasan sebagai berikut:
a.
a. Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu
kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah
perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh
hakim pidana dinyatakan palsu;
b. b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat
menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di
Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda;
c. c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari
pada yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1)
huruf b dan huruf c;
d. d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya; atau
e. e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 92
(1)
(1) Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf a dilakukan dalam
jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diketahuinya
kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim pengadilan
pidana memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) (2) Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf b dilakukan dalam
jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak ditemukan
surat-surat bukti yang hari dan tanggal ditemukannya harus dinyatakan
di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang.
(3) (3) Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf c, huruf d, dan huruf e
dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak
putusan dikirim.
Pasal 93
(1) Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan
kembali dengan ketentuan:
a. a. dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak permohonan
peninjauan kembali diterima oleh Mahkamah Agung telah
mengambil putusan, dalam hal Pengadilan Pajak mengambil
putusan melalui pemeriksaan acara biasa;
b. b. dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak permohonan
peninjauan kembali diterima oleh Mahkamah Agung telah
mengambil putusan, dalam hal Pengadilan Pajak mengambil
putusan melalui pemeriksaan acara cepat.
(2) Putusan atas permohonan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 94
Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku:
1.
1. Badan Penyelesaian Sengketa Pajak yang telah dibentuk
berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997, menjadi Pengadilan
Pajak berdasarkan Undang-undang ini.
2. 2. Pengadilan Pajak berdasarkan Undang-undang ini adalah kelanjutan
dari Badan Penyelesaian Sengketa Pajak sebagaimana dimaksud dalam
angka 1.
3. 3. Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 2,
Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Pajak,
menjadi Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada Pengadilan Pajak.
4. 4. Sekretaris Sidang pada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak menjadi
Panitera pada Pengadilan Pajak.
5. 5. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota pada Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak dapat menyelesaikan tugas sampai akhir masa jabatannya.
6. 6. Dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun setelah berlakunya Undang-
undang ini susunan organisasi, tugas, dan wewenangnya disesuaikan
dengan Undang-undang ini.
Pasal 95
(1) Banding atau Gugatan yang diajukan kepada Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak dan belum diputus, dalam hal:
a. a. tenggang waktu pengajuan Banding/Gugatannya telah berakhir
sebelum berlakunya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan Pajak berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun
1997;
b. b. tenggang waktu pengajuan Banding/Gugatannya belum berakhir
pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, diperiksa dan
diputus berdasarkan Undang-undang ini.
(2) Perkara Sengketa Pajak yang diperiksa sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf a dapat diajukan peninjauan kembali berdasarkan
Undang-undang ini.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 96
Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Undang-undang Nomor 17
Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3684) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 97
Undang-undang ini dinamakan Undang-undang Pengadilan Pajak.
Pasal 98
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 12 April 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 April 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 27
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum dan
Perundang-undangan,
Lambock V. Nahattands
Silahkan download versi PDF nya sbb:
pengadilan_pajak_(uu_14_thn_2002)_14.pdf
(ogi/Carapedia)
Pencarian Terbaru
Uu no 14 tahun 2002 pasal 69 tentang alat bukti dalam peradilan pajaka.
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)






