- Home »
- Undang-Undang »
- 1974 » Undang-Undang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah (UU 5 thn 1974)
1974
Undang-Undang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah (UU 5 thn 1974)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah :
Silahkan download versi PDF nya sbb:
pokokpokok_pemerintahan_di_daerah_(uu_5_thn_1974)_5.pdf
UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1974 TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DI DAERAH DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Undang-undang nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2778), tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti; b. bahwa Undang-Undang Dasar 1945 adalah sumber hukum bagi seluruh perangkat Negara; c. bahwa sesuai dengan sifat Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka kedudukan Pemerintah Daerah sejauh mungkin diseragamkan; d. bahwa untuk menjamin terselenggaranya tertib pemerintah, Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu dibagi atas daerah besar dan daerah kecil, baik yang bersifat otonom maupun yang bersifat administratif; e. bahwa dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar diseluruh pelosok Negara dan dalam membina kestabilan politik serta kesatuan Bangsa, maka hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah atas dasar keutuhan Negara Kesatuan, diarahkan pada pelaksanaan Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggung jawab yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan Daerah dan dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi; f. bahwa penyelenggaraan pemerintah di daerah, selain didasarkan pada asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi juga dapat diselenggarakan berdasarkan asas tugas pembantuan; g. bahwa untuk mengatur yang dimaksud di atas, perlu ditetapkan Undang-Undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Mengingat: 1. Pasal-pasal 5 ayat (1), 18 dan 20 ayat (1) Undang-Undang dasar 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara; 3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-produk yang berupa Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia; 4. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1964 tentang Pernyataan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya tetap sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2671); 5. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan tidak berlakunya berbagai Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2901); 6. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1915). Dengan Persetujuan: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DI DAERAH BAB I PENGERTIAN-PENGERTIAN Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: a. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta pembantu-pembantunya; b. Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya; c. Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. Tugas Pembantuan adalah tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya; e. Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam Ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; f. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat -pejabat di daerah; g. Wilayah Administratif, selanjutnya disebut Wilayah adalah lingkungan kerja perangkat Pemerintah yang menyelenggarakan pelaksanaan tugas pemerintah umum di daerah; h. Instansi Vertikal adalah perangkat dari Departemen-departemen atau Lembaga-lembaga Pemerintah bukan Departemen yang mempunyai lingkungan kerja di Wilayah yang bersangkutan; i. Pejabat yang berwenang adalah pejabat yang berwenang mensahkan, membatalkan dan menangguhkan Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah, yaitu Menteri Dalam Negeri bagi Daerah Tingkat I dan Gubernur Kepala Daerah bagi Daerah Tingkat II, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; j. Urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang meliputi bidang-bidang ketenteraman dan ketertiban, politik, koordinasi, pengawasan dan urusan pemerintahan lainnya yang tidak termasuk dalam tugas sesuatu Instansi dan tidak termasuk urusan rumah tangga Daerah; k. Polisi Pamong Praja adalah perangkat Wilayah yang bertugas membantu Kepala Wilayah dalam menyelenggarakan pemerintahan khususnya dalam melaksanakan wewenang, tugas dan kewajiban di bidang pemerintah umum. BAB II PEMBAGIAN WILAYAH Pasal 2 Dalam menyelenggarakan pemerintahan, Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Daerah-daerah Otonom dan Wilayah-wilayah Administratif. BAB III DAERAH OTONOM Bagian Pertama Pembentukan dan Susunan Pasal 3 (1) Dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi dibentuk dan disusun daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II. (2) Perkembangan dan pengembangan otonomi selanjutnya didasarkan pada kondisi politik, ekonomi, sosial budaya serta pertahanan dan keamanan Nasional Pasal 4 (1) Daerah dibentuk dengan memperhatikan syarat-syarat kemampuan ekonomi, jumlah penduduk, luas daerah, pertahanan dan keamanan Nasional dan syarat-syarat lain yang memungkinkan Daerah melaksanakan pembangunan, pembinaan kestabilan politik dan kesatuan Bangsa dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggung jawab. (2) Pembentukan, nama, batas, ibukota, hak dan wewenang urusan serta modal pangkal Daerah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, ditetapkan dengan Undang-undang. (3) Perubahan batas yang tidak mengakibatkan penghapusan suatu Daerah, perubahan nama Daerah, serta perubahan nama dan pemindahan ibukotanya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 5 Dengan Undang-undang, suatu Daerah dapat dihapus apabila ternyata syarat-syarat dimaksud pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini sudah tidak terpenuhi lagi sehingga tidak mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Pasal 6 Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta, mengingat pertumbuhan dan perkembangannya dapat mempunyai dalam wilayahnya susunan pemerintahan dalam bentuk lain yang sejauh mungkin disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini, yang pengaturannya ditetapkan dengan Undang-undang. Bagian Kedua Otonomi Daerah Pasal 7 Daerah berhak, berwewenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Pasal 8 (1) Penambahan penyerahan urusan pemerintahan kepada Daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (2) Penambahan penyerahan urusan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini disertai perangkat, alat perlengkapan dan sumber pembiayaannya. Pasal 9 Sesuatu urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada Daerah dapat ditarik kembali dengan peraturan perundang-undangan yang setingkat. Pasal 10 (1) Untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada Presiden tentang hal-hal yang dimaksud dalam pasal-pasal 4, 5, 8 dan 9 Undang-undang ini dibentuk Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. (2) Pengaturan mengenai Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 11 (1) Titik berat Otonomi Daerah diletakkan pada Daerah Tingkat II. (2) Pelaksanaan ketentuan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Tugas Pembantuan Pasal 12 (1) Dengan peraturan perundang-undangan, Pemerintah dapat menugaskan kepada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan urusan tugas pembantuan. (2) Dengan Peraturan Daerah, Pemerintah Daerah Tingkat I dapat menugaskan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II untuk melaksanakan urusan tugas pembantuan. (3) Pemberian urusan tugas pembantuan yang dimaksud dalam ayat-ayat (1) dan (2) pasal ini, disertai dengan pembiayaannya. Bagian Keempat Pemerintah Daerah Pasal 13 (1) Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (2) Dalam menyelenggarakan pemerintahan Daerah dibentuk Sekretariat Daerah dan Dinas- dinas Daerah. Bagian Kelima Kepala Daerah Paragraf 1 Pengangkatan dan Pemberhentian Pasal 14 Yang dapat diangkat menjadi Kepala Daerah ialah Warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. setia dan taat kepada PANCASILA dan Undang-undang Dasar 1945. c. setia dan taat kepada Negara dan Pemerintah; d. tidak pernah terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam setiap kegiatan yang mengkhianati Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan PANCASILA dan Undang-undang Dasar 1945, seperti gerakan G-30-S/PKI dan atau Organisasi terlarang lainnya; e. mempunyai rasa pengabdian terhadap Nusa dan Bangsa; f. mempunyai kepribadian dan kepemimpinan; g. berwibawa h. jujur i. cerdas, kemampuan dan terampil j. adil; k. tidak dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan pasti; l. sehat jasmani dan rohani; m. berumur sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun bagi Kepala Daerah Tingkat I dan 30 (tiga puluh) tahun bagi Kepala Daerah Tingkat II; n. mempunyai kecakapan dan pengalaman pekerjaan yang cukup dibidang pemerintahan; o. berpengetahuan yang sederajat dengan Perguruan Tinggi atau sekurang-kurangnya berpendidikan yang dapat dipersamakan dengan Sarjana Muda bagi Kepala Daerah Tingkat I dan berpengetahuan yang sederajat dengan Akademi atau sekurang-kurangnya berpendidikan yang dapat dipersamakan dengan Sekolah Lanjutan Atas bagi Kepala Daerah Tingkat II. Pasal 15 (1) Kepala Daerah Tingkat I dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri. (2) Hasil pemilihan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri sedikit-dikitnya dua (2) orang untuk diangkat salah seorang diantaranya. (3) Tatacara pelaksanaan ketentuan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Pasal 16 (1) Kepala Daerah Tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-Fraksi dengan Gubernur Kepala Daerah. (2) Hasil pemilihan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Kepala Daerah sedikit-dikitnya 2 (dua) orang untuk diangkat salah seorang diantaranya. (3) Tatacara pelaksanaan ketentuan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Pasal 17 (1) Kepala Daerah diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun terhitung mulai tanggal pelantikannya dan dapat diangkat kembali, untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. (2) Kepala Daerah adalah Pejabat Negara. Pasal 18 (1) Sebelum memangku jabatannya Kepala Daerah diambil sumpahnya/janjinya dan dilantik oleh: a. Presiden bagi Kepala Daerah Tingkat I; b. Menteri Dalam Negeri bagi Kepala Daerah Tingkat II (2) Presiden dapat menunjuk Menteri Dalam Negeri untuk mengambil sumpah/janji dan melantik Kepala Daerah Tingkat I atas nama Presiden. (3) Menteri Dalam Negeri dapat menunjuk Gubernur Kepala Daerah untuk mengambil sumpah/janji dan melantik Kepala Daerah Tingkat II atas nama Menteri Dalam Negeri. (4) Susunan kata-kata sumpah/janji yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, adalah sebagai berikut: "Saya bersumpah/berjanji, bahwa saya untuk diangkat menjadi Kepala Daerah, langsung atau tidak langsung dengan nama atau dalih apapun, tidak memberikan atau menjanjikan atau akan memberikan sesuatu kepada siapapun juga. Saya bersumpah/berjanji, bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung maupun tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian. Saya bersumpah/berjanji, bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai Kepala Daerah dengan sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya, bahwa saya akan taat dan akan mempertahankan PANCASILA sebagai dasar dan ideologi Negara, bahwa saya senantiasa akan menegakkan Undang-undang Dasar 1945 dan segala peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia. Saya bersumpah/berjanji, bahwa saya dalam menjalankan jabatan atau pekerjaan saya, senantiasa akan lebih mengutamakan kepentingan Negara dan Daerah daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau sesuatu golongan dan akan menjunjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah, Daerah dan martabat Pejabat Negara. Saya bersumpah/berjanji, bahwa saya dalam menjalankan jabatan atau pekerjaan saya, senantiasa akan lebih mengutamakan kepentingan Negara dan Daerah daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau sesuatu golongan dan akan menjunjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah, Daerah dan martabat Pejabat Negara. Saya bersumpah/berjanji, baha saya akan berusaha sekuat tenaga membantu memajukan kesejahteraan Rakyat Indonesia pada umumnya dan memajukan kesejahteraan Rakyat Indonesia di Daerah pada khususnya dan akan setia kepada Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia" (5) Tatacara pengambilan sumpah/janji dan pelantikan bagi Kepala Daerah diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 19 Kedudukan, kedudukan keuangan dan hak kepegawaian lainnya bagi Kepala Daerah, diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 20 Kepala Daerah dilarang: a. Dengan sengaja melakukan kegiatan-kegiatan yang merugikan kepentingan Negara, Pemerintah dan atau rakyat; b. Turut serta dalam suatu perusahaan; c. Melakukan pekerjaan-pekerjaan lain yang memberikan keuntungan baginya dalam hal- hal yang berhubungan langsung dengan Daerah yang bersangkutan; d. Menjadi advokat atau kuasa dalam perkara di muka Pengadilan. Pasal 21 Kepala Daerah berhenti atau diberhentikan oleh pejabat yang berhak mengangkat, karena: a. meninggal dunia; b. atas permintaan sendiri: c. berakhir masa jabatannya dan telah dilantik Kepala Daerah yang baru: d. melanggar sumpah/janji yang dimaksud dalam pasal 18 ayat (4) Undang-undang ini; e. tidak lagi memenuhi sesuatu syarat yang dimaksud dalam pasal 14 Undang- undang ini; f. melanggar ketentuan yang dimaksud dalam pasal 20 Undang-undang ini; g. sebab-sebab lain. Paragraf 2 Hak, Wewenang dan Kewajiban Pasal 22 (1) Kepala Daerah menjalankan hak, wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintah Daerah. (2) Dalam menjalankan hak, wewenang dan kewajiban pemerintah Daerah, Kepala Daerah menurut hirarki bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. (3) Dalam menjalankan hak, wewenang hak kewajiban pemerintah Daerah, Kepala Daerah berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. (4) Pedoman tentang pemberian keterangan pertanggungjawaban yang dimaksud dalam ayat (3) pasal ini, ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Pasal 23 (1) Kepala Daerah mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan. (2) Apabila dipandang perlu Kepala Daerah dapat menunjuk seorang kuasa atau lebih untuk mewakilinya. Bagian Keenam Wakil Kepala Daerah Pasal 24 (1) Wakil Kepala Daerah Tingkat I diangkat oleh Presiden dari Pegawai Negeri yang memenuhi persyaratan. (2) Dengan memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tanpa melalui pemilihan, Gubernur Kepala Daerah mengajikan calon Wakil Kepala Daerah Tingkat I kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. (3) Wakil Kepala Daerah Tingkat II diangkat oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden dari Pegawai Negeri yang memenuhi persyaratan. (4) Dengan memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tanpa melalui pemilihan Bupati/Walikotamadya Kepala daerah mengajukan calon Wakil Kepala Daerah Tingkat II kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Kepala Daerah. (5) Pengisian jabatan Wakil Kepala Daerah dilakukan menurut kebutuhan. (6) Wakil Kepala Daerah adalah Pejabat Negara. (7) Ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal-pasal 14, 19, 20 dan 21 Undang- undang ini berlaku juga untuk Wakil Kepala Daerah. (8) Wakil Kepala Daerah diambil sumpahnya/janjinya dan dilantik oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden bagi Wakil Kepala Daerah Tingkat I dan oleh Gubernur Kepala Daerah atas nama Menteri Dalam Negeri bagi Wakil Kepala Daerah Tingkat II. (9) Tatacara pelaksanaan ketentuan yang dimaksud dalam ayat-ayat (2) dan (4) pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Pasal 25 (1) Wakil Kepala Daerah membantu Kepala Daerah dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sehari-hari sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. (2) Apabila Kepala Daerah berhalangan, Wakil Kepala Daerah menjalankan tugas dan wewenang Kepala Daerah sehari-hari. Pasal 26 Dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri diatur tentang pejabat yang mewakili Kepala Daerah dalam hal Kepala Daerah dan Wakil kepala Daerah berhalangan. Bagian Ketujuh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Paragraf 1 Umum Pasal 27 Susunan, keanggotaan dan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, begitu juga sumpah/janji, masa keanggotaan dan larangan rangkapan jabatan bagi Anggota-anggotanya diatur dengan Undang-undang. Pasal 28 (1) Kedudukan keuangan Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat daerah diatur dengan Peraturan Daerah. (2) Kedudukan protokoler Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diatur dengan Peraturan Daerah. (3) Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat-ayat (1) dan (2) pasal ini dibuat sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. (4) Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat-ayat (1) dan (2) pasal ini, berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang. Paragraf 2 Hak dan Kewajiban Pasal 29 (1) Untuk dapat melaksanakan fungsinya, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mempunyai hak: a. anggaran; b. mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; c. meminta keterangan; d. mengadakan perubahan; e. mengajukan pernyataan pendapat; f. prakarsa; g. penyelidikan. (2) Cara pelaksanaan ketentuan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a sampai dengan huruf f pasal ini, diatur dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. (3) Cara pelaksanaan hak penyelidikan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf g pasal ini, diatur dengan Undang-undang. Pasal 30 Kewajiban Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah: a. mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan PANCASILA dan Undang- undang Dasar 1945; b. menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; d. Memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah. Paragraf 3 Sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 31 (1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersidang sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam setahun. (2) Kecuali yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, atas permintaan sekurang-kurangnya seperlima jumlah Anggota atau atas permintaan Kepala Daerah, Ketua memanggil anggota-anggotanya untuk bersidang dalam waktu 1 (satu) bulan setelah permintaan itu diterima. (3) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersidang atas panggilan Ketua. (4) Pelaksanaan ketentuan yang dimaksud dalam ayat-ayat (1), (2) dan (3) pasal ini diatur dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal 32 (1) Rapat-rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada dasarnya bersifat terbuka untuk umum. (2) Atas permintaan Kepala Daerah, atau atas permintaan sekurang-kurangnya seperlima jumlah Anggota atau apabila dipandang perlu oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dapat diadakan rapat tertutup. (3) Rapat tertutup dapat mengambil keputusan, kecuali mengenai: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta perhitungannya; b. Penetapan, perubahan dan penghapusan pajak dan retribusi; c. Hutang piutang dan penanggung pinjaman; d. Perusahaan Daerah; e. Pemborongan pekerjaan, jual beli barang-barang dan pemborongan pengangkutan tanpa mengadakan penawaran umum; f. Penghapusan tagihan sebagian atau seluruhnya; g. Persetujuan penyelesaian perkara perdata secara damai; h. Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua dan pelantikan Anggota baru Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. (4) Semua yang hadir dalam rapat tertutup wajib merahasiakan segala hal yang dibicarakan dan kewajiban itu berlangsung terus baik bagi Anggota maupun pegawai/pekerja yang mengetahui halnya dengan jalan apapun, sampai Dewan membebaskannya. Pasal 33 (1) Anggota Dewan perwakilan Rakyat Daerah tidak dapat dituntut dimuka Pengadilan karena pernyataan-pernyataan yang dikemukakan dalam rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik dalam rapat terbuka maupun dalam rapat tertutup, yang diajukan secara lisan maupun tertulis kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Kepala Daerah atau Pemerintah, kecuali jika dengan pernyataan itu ia membocorkan apa yang disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal-hal yang dimaksud oleh ketentuan-ketentuan mengenai pengumuman rahasia Negara dalam BUKU KEDUA BAB I Kitab Undang-undang Hukum Pidana. (2) Tatacara tindakan kepolisian terhadap Anggota-anggota Dewan perwakilan Rakyat daerah diatur dengan Undang-undang. Pasal 34 (1) Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diatur dengan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. (2) Peraturan Tata Tertib yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang. Paragraf 4 Ketentuan Apabila Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tidak Dapat Menjalankan Fungsi dan Kewajibannya Pasal 35 (1) Apabila ternyata Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I melakukan atau karena sesuatu hal tidak dapat menjalankan fungsi dan kewajibannya sehingga dapat merugikan Daerah atau Negara, setelah mendengar pertimbangan Gubernur Kepala Daerah, Menteri Dalam Negeri menentukan cara bagaimana hak, wewenang dan kewajiban Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dijalankan. (2) Bagi Daerah Tingkat II penentuan cara yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, dilakukan oleh Gubernur Kepala Daerah setelah mendengar pertimbangan Bupati/Kotamadya Kepala Daerah yang bersangkutan. Paragraf 5 Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 36 (1) Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah unsur staf yang membantu Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam menyelenggarakan tugas dan kewajibannya. (2) Pembentukan, susunan organisasi dan formasi Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diatur dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. (3) Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (2 pasal ini, berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang. Pasal 37 (1) Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipimpin oleh seorang Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. (2) Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dan Pegawai Negeri yang memenuhi persyaratan. (3) Dengan memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tanpa melalui pemilihan, Gubernur Kepala Daerah mengajukan calon Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I kepada Menteri Dalam Negeri. (4) Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II diangkat oleh Gubernur Kepala Daerah atas nama Menteri dalam Negeri dari Pegawai Negeri yang memenuhi persyaratan. (5) Dengan memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tanpa melalui pemilihan. Bupati/Walikotamadya Kepala daerah mengajukan calon Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II kepada Gubernur Kepala daerah. (6) Persyaratan dan tatacara pelaksanaan ketentuan yang dimaksud dalam ayat-ayat (2), (3), (4) dan (5) pasal ini, diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Bagian Kedelapan Peraturan Daerah Pasal 38 Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menetapkan Peraturan Daerah. Pasal 39 (1) Peraturan Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan atau Peraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya. (2) Peraturan Daerah tidak boleh mengatur sesuatu hal yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan atau Peraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya. (3) Peraturan Daerah tidak boleh mengatur sesuatu hal yang termasuk urusan rumah tangga Daerah tingkat bawahnya. Pasal 40 (1) Peraturan Daerah diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah yang bersangkutan. (2) Peraturan Daerah mempunyai kekuatan hukum dan mengikat setelah diundangkan dalam Lembaran Daerah yang bersangkutan. (3) Peraturan Daerah yang tidak memerlukan pengesahan mulai berlaku pada tanggal yang ditentukan dalam Peraturan Daerah yang bersangkutan. (4) Peraturan Daerah yang memerlukan pengesahan mulai berlaku pada tanggal pengundangannya atau pada tanggal yang ditentukan dalam Peraturan Daerah yang bersangkutan. (5) Peraturan Daerah yang memerlukan pengesahan tidak boleh diundangkan sebelum pengesahan itu diperoleh atau sebelum jangka waktu yang ditentukan untuk pengesahannya berakhir. Pasal 41 (1) Peraturan Daerah Tingkat I dan Peraturan Daerah Tingkat II dapat memuat ketentuan ancaman pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda sebanyak- banyaknya Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah), dengan atau tidak dengan merampas barang-barang tertentu untuk Negara, kecuali jika ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan. (2) Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang. (3) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini adalah pelanggaran Pasal 42 (1) Peraturan Daerah dapat memuat ketentuan-ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar. (2) Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang. Pasal 43 (1) Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran atas ketentuan-ketentuan Peraturan Daerah, dilakukan oleh alat-alat penyidik dan penuntut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Dengan Peraturan Daerah dapat ditunjuk Pegawai-pegawai Daerah yang diberi tugas untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran atas ketentuan-ketentuan Peraturan Daerah. Pasal 44 (1) Bentuk Peraturan Daerah ditentukan oleh Menteri Dalam Negeri. (2) Peraturan Daerah ditandatangani oleh Kepala Daerah dan ditandatangani serta oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal 45 Kepala Daerah dapat menetapkan Keputusan Kepala Daerah untuk melaksanakan Peraturan Daerah atau urusan-urusan dalam rangka tugas pembantuan. Bagian Kesembilan Badan Pertimbangan Daerah Pasal 46 (1) Di Daerah dibentuk Badan Pertimbangan Daerah yang keanggotaannya terdiri dari Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan unsur Fraksi-fraksi yang belum terwakili dalam Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. (2) Badan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini bertugas untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada Kepala Daerah. (3) Pembentukan, jumlah Anggota dan tata kerja Badan yang dimaksud dalam ayat-ayat (1) dan (2) pasal ini diatur dengan Peraturan Menteri dalam Negeri. Bagian Kesepuluh Sekretaris Daerah Pasal 47 (1) Sekretaris Daerah adalah unsur staf yang membantu Kepala Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan Daerah. (2) Pembentukan, susunan organisasi dan formasi Sekretariat Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. (3) Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang. Pasal 48 (1) Sekretariat Daerah dipimpin oleh seorang Sekretaris Daerah. (2) Sekretaris Daerah Tingkat I diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dari Pegawai Negeri yang memenuhi persyaratan atau usul Gubernur Kepala Daerah setelah mendengar pertimbangan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. (3) Sekretaris Daerah Tingkat II diangkat oleh Gubernur Kepala Daerah atas nama Menteri Dalam Negeri dari Pegawai Negeri yang memenuhi persyaratan atas usul Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah setelah mendengar pertimbangan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. (4) Persyaratan dan tatacara pelaksanaan ketentuan yang dimaksud dalam ayat-ayat (2) dan (3) pasal ini diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. (5) Apabila Sekretaris Daerah berhalangan menjalankan tugasnya, maka tugas Sekretaris Daerah dijalankan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. Bagian Kesebelas Dinas Daerah Pasal 49 (1) Dinas Daerah adalah unsur pelaksana Pemerintah Daerah. (2) Pembentukan, susunan organisasi dan formasi Dinas Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. (3) Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang. Bagian Kedua belas Kepegawaian Pasal 50 (1) Pengangkatan, pemberhentian, pemberhentian sementara, gaji, pensiun, uang tunggu dan hal-hal lain mengenai kedudukan hukum Pegawai Daerah, diatur dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. (2) Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang. Pasal 51 (1) Pegawai Negeri dari sesuatu Departemen dapat diperbantukan atau dipekerjakan kepada Daerah, dengan Keputusan Menteri atas permintaan Kepala Daerah yang bersangkutan. (2) Dalam Keputusan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, diatur syarat dan hubungan kerja Pegawai Negeri yang bersangkutan dengan perangkat Daerah sepanjang diperlukan. Pasal 52 (1) Pegawai Daerah Tingkat I dapat diperbantukan atau dipekerjakan kepada Daerah Tingkat II dengan Keputusan Kepala Daerah Tingkat I, atas permintaan Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan. (2) Dalam Keputusan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, diatur syarat dan hubungan kerja Pegawai Daerah yang bersangkutan dengan perangkat Daerah Tingkat II sepanjang diperlukan. Pasal 53 Semua pegawai, baik Pegawai Negeri maupun Pegawai Daerah, yang diperbantukan atau dipekerjakan kepada sesuatu Daerah berada di bawah pimpinan Kepala Daerah yang bersangkutan. Pasal 54 (1) Pembinaan kepegawaian terhadap Pegawai Daerah diatur oleh Kepala Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Pembinaan kepegawaian terhadap Pegawai Negeri yang diperbantukan atau dipekerjakan kepada Daerah diatur dengan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketiga belas Keuangan Daerah Paragraf 1 Pendapatan Daerah Pasal 55 Sumber pendapatan Daerah adalah: a. pendapatan Asli Daerah sendiri, yang terdiri dari: 1. hasil Pajak Daerah; 2. hasil Retribusi Daerah; 3. hasil Perusahaan Daerah; 4. lain-lain hasil usaha Daerah yang sah. b. pendapatan berasal dari pemberian Pemerintah yang terdiri dari: 1. sumbangan dari Pemerintah; 2. sumbangan-sumbangan lain, yang diatur dengan peraturan perundang-undangan. c. lain-lain pendapatan yang sah. Pasal 56 Dengan Undang-undang sesuatu pajak Negara dapat diserahkan kepada Daerah Pasal 57 Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Daerah diatur dengan Undang-undang. Pasal 58 (1) Dengan Undang-undang ditetapkan ketentuan pokok tentang pajak dan retribusi Daerah. (2) Dengan Peraturan Daerah ditetapkan pungutan pajak dan retribusi Daerah. (3) Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang, menurut cara yang diatur dalam Undang-undang dan tidak boleh berlaku surut. (4) Pengembalian atau pembebasan Pajak Daerah dan atau Retribusi Daerah hanya dapat dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah. Pasal 59 (1) Pemerintah Daerah dapat mengadakan Perusahaan Daerah yang penyelenggaraan dan pembinaannya dilakukan berdasarkan asas ekonomi perusahaan. (2) Dengan Undang-undang ditetapkan ketentuan pokok tentang Perusahaan Daerah. Pasal 60 (1) Dengan Peraturan Daerah dapat diadakan usaha-usaha sebagai sumber pendapatan Daerah. (2) Peraturan Daerah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang. Pasal 61 (1) Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat membuat keputusan untuk mengadakan hutang-piutang atau menanggung pinjaman bagi kepentingan dan atas beban Daerah. (2) Dalam Keputusan Kepala Daerah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, ditetapkan juga sumber pembayaran bunga dan angsuran pinjaman itu serta cara pembayarannya. (3) Keputusan yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, berlaku sesudah ada pengesahan Menteri Dalam Negeri. Paragraf 2 Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan serta Barang Milik Daerah Pasal 62 (1) Kepala Daerah menyelenggarakan pengurusan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan Daerah berdasarkan Peraturan Daerah dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. (2) Uang Daerah disimpan pada Kas Daerah atau bank Pembangunan Daerah selama belum ada Kas Daerah atau Bank Pembangunan Daerah, atas permintaan Pemerintah Daerah, Menteri Keuangan dapat menugaskan Kas Negara atau Bank Pemerintah tertentu untuk melaksanakan pekerjaan mengenai penerimaan, penyimpanan, pembayaran atau penyerahan uang, surat bernilai uang dan atau barang untuk kepentingan Daerah Pasal 63 (1) Barang milik Daerah yang dapat dipergunakan untuk melayani kepentingan umum tidak dapat dijual, diserahkan haknya kepada pihak lain, dijadikan tanggungan atau digadaikan, kecuali dengan Keputusan Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. (2) Penjualan dan penyerahan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, hanya dapat dilakukan di muka umum, kecuali apabila ditentukan lain dalam Keputusan Kepala Daerah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini. (3) Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Daerah, Kepala Daerah dapat menetapkan Keputusan tentang: a. penghapusan tagihan Daerah sebagian atau seluruhnya; b. persetujuan penyelesaian perkara perdata secara damai; c. tindakan hukum lain, mengenai barang milik atau hak Daerah. (4) Keputusan yang dimaksud dalam ayat-ayat (1), (2) dan (3) pasal ini, berlaku sesudah ada pengesahan Menteri Dalam Negeri. Pasal 64 (1) Tahun anggaran Daerah adalah sama dengan tahun anggaran negara. (2) Dengan Peraturan Daerah, tiap tahun, selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah ditetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk tahun anggaran tertentu, ditetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. (3) Dengan Peraturan Daerah, tiap tahun, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah ditetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk tahun anggaran tertentu, ditetapkan perhitungan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun anggaran sebelumnya. (4) Apabila Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada permulaan tahun anggaran yang bersangkutan belum mendapat pengesahan dari pejabat yang berwenang dan belum diundangkan, maka Pemerintah daerah menggunakan anggaran tahun sebelumnya sebagai dasar pengurusan keuangannya. (5) Pemerintah Daerah wajib berusaha mencukupi anggaran belanja rutin dengan pendapatan sendiri. (6) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta perubahannya, sepanjang tidak dikuasakan sendiri oleh Anggaran itu, dilaksanakan sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang. (7) Pengesahan atau penolakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah oleh Pejabat yang berwenang dapat dilakukan pos demi pos atau secara keseluruhan. (8) Dengan Peraturan Pemerintah diatur ketentuan-ketentuan tentang cara a. penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; b. pengurusan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah; c. penyusunan perhitungan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. (9) Dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri diatur lebih lanjut cara melaksanakan ketentuan yang dimaksud dalam ayat (8) pasal ini. Bagian Keempat-belas Kerja sama dan Perselisihan Antar Daerah Pasal 65 (1) Beberapa Pemerintah Daerah dapat menetapkan Peraturan Bersama untuk mengatur kepentingan Daerahnya secara bersama-sama. (2) Peraturan Bersama yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, demikian pula mengenai perubahan dan pencabutannya, berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang. (3) Dalam hal tidak tercapainya kata sepakat mengenai perubahan dan atau pencabutan yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, maka pejabat yang berwenang mengambil keputusan. (4) Menteri Dalam Negeri menetapkan Peraturan untuk melancarkan pelaksanaan kerja sama antar Pemerintah Daerah. Pasal 66 (1) Perselisihan antar Pemerintah Daerah Tingkat I dan antara Pemerintah Daerah Tingkat I dengan Pemerintah Daerah Tingkat II dan perselisihan antar Pemerintah Daerah Tingkat II yang tidak terletak dalam Daerah Tingkat I yang sama diselesaikan oleh Menteri Dalam Negeri. (2) Perselisihan antar Pemerintah Daerah Tingkat II yang terletak dalam Daerah Tingkat I yang sama, diselesaikan oleh Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan. Bagian Kelima belas Pembinaan Pasal 67 Menteri Dalam Negeri melaksanakan pembinaan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Daerah untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya, baik mengenai urusan rumah tangga Daerah maupun mengenai urusan tugas pembantuan. Bagian Keenam belas Pengawasan Paragraf 1 Pengawasan Prepentip Pasal 68 Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditentukan bahwa Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah mengenai hal-hal tertentu, baru berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang. Pasal 69 (1) Peraturan Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah yang memerlukan pengesahan, dapat dijalankan sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang, atau apabila setelah 3 (tiga) bulan sejak diterimanya Peraturan Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah tersebut, pejabat yang berwenang tidak mengambil suatu keputusan. (2) Jangka waktu 3 (tiga) bulan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, oleh pejabat yang berwenang dapat diperpanjang 3 (tiga) bulan lagi, dengan memberitahukannya kepada Pemerintah Daerah yang bersangkutan sebelum jangka waktu yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berakhir. (3) Penolakan Pengesahan Peraturan Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, oleh pejabat yang berwenang diberitahukan kepada Pemerintah Daerah yang bersangkutan disertai alasan-alasannya. (4) Terhadap penolakan pengesahan yang dimaksud dalam ayat (3) pasal ini, Daerah yang bersangkutan dalam waktu (1) bulan terhitung mulai saat pemberitahuan penolakan pengesahan itu diterima, dapat mengajukan keberatan kepada pejabat setingkat lebih atas dari pejabat yang menolak. Paragraf 2 Pengawasan Represip Pasal 70 (1) Peraturan Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan atau Peraturan Daerah tingkat atasnya ditangguhkan berlakunya atau dibatalkan oleh pejabat yang berwenang. (2) Apabila Gubernur Kepala Daerah tidak menjalankan haknya untuk menangguhkan atau membatalkan Peraturan Daerah Tingkat II dan atau Keputusan Kepala Daerah Tingkat II sesuai dengan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, maka penangguhannya dan atau pembatalannya dapat dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. (3) Pembatalan Peraturan Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah yang dimaksud dalam ayat-ayat (1) dan (2) pasal ini, karena bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan atau Peraturan Daerah Tingkat atasnya, mengakibatkan batalnya semua akibat dari Peraturan Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah yang dimaksud,, sepanjang masih dapat dibatalkan. (4) Keputusan penangguhan atau pembatalan yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini, disertai alasan-alasannya diberitahukan kepada Kepala Daerah yang bersangkutan dalam jangka waktu (dua) Minggu sesudah tanggal keputusan itu. (5) Lamanya penangguhan yang dinyatakan dalam Keputusan yang dimaksud dalam ayat (4) pasal ini, tidak boleh melebihi 6 (enam) bulan dan sejak saat penangguhannya, Peraturan Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah yang bersangkutan kehilangan kekuatan berlakunya. (6) Jika dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah peneguhan itu tidak disusul dengan keputusan pembatalannya, maka Peraturan Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah itu memperoleh kembali kekuatan berlakunya. (7) Keputusan mengenai pembatalan yang dimaksud dalam ayat-ayat (4) dan (6) pasal ini, diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan atau Lembaran Daerah yang bersangkutan. Paragraf 3 Pengawasan Umum Pasal 71 (1) Menteri Dalam Negeri melakukan pengawasan umum atas jalannya pemerintahan daerah. (2) Menteri Dalam Negeri atau pejabat yang ditunjuk olehnya, mengadakan penyelidikan dan pemeriksaan tentang segala hal mengenai pekerjaan Pemerintah Daerah, baik mengenai urusan rumah tangga Daerah maupun mengenai urusan tugas pembantuan. (3) Ketentuan yang dimaksud dalam ayat-ayat (1) dan (2) pasal ini, berlaku juga bagi Gubernur Kepala Daerah terhadap Pemerintah Daerah Tingkat II. (4) Untuk kepentingan pengawasan umum, Pemerintah Daerah wajib memberikan keterangan yang dimaksud oleh para pejabat yang dimaksud dalam ayat-ayat (2) dan (3) pasal ini. (5) Terhadap penolakan untuk memberikan keterangan yang dimaksud dalam ayat (4) pasal ini, Menteri Dalam Negeri atau Gubernur Kepala Daerah dapat mengambil tindakan yang dianggap perlu. (6) Cara pengawasan umum yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. BAB IV WILAYAH ADMINISTRATIP Bagian Pertama Pembentukan dan Pembagian Pasal 72 (1) Dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi, Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Wilayah-wilayah Propinsi dan Ibukota Negara. (2) Wilayah Propinsi dibagi dalam Wilayah-wilayah Kabupaten dan Kotamadya. (3) Wilayah Kabupaten dan Kotamadya dibagi dalam Wilayah-wilayah Kecamatan. (4) Apabila dipandang perlu sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya, dalam Wilayah Kabupaten dapat dibentuk Kota Administratif yang pengaturannya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 73 Apabila dipandang perlu, Menteri Dalam Negeri dapat menunjuk Pembantu Gubernur, pembantu Bupati atau Pembantu Walikotamadya yang mempunyai wilayah kerja tertentu dalam rangka dekonsentrasi. Pasal 74 (1) Nama dan batas daerah Tingkat I adalah sama dengan nama dan batas Wilayah Propinsi dan Ibukota Negara. (2) Nama dan batas Daerah Tingkat II adalah sama dengan nama dan batas Wilayah Kabupaten atau Kotamadya. (3) Ibukota Daerah Tingkat I adalah Ibukota Wilayah Propinsi. (4) Ibukota Daerah Tingkat II adalah Ibukota Wilayah Kabupaten. Pasal 75 Dengan tidak mengurangi ketentuan yang dimaksud dalam pasal 74 Undang-undang ini, maka pembentukan, nama, batas, sebutan, ibukota dan penghapusan Wilayah lainnya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Kepala Wilayah Pasal 76 Setiap Wilayah dipimpin oleh seorang Kepala Wilayah. Pasal 77 Kepala Wilayah: a. Propinsi dan Ibukota Negara disebut Gubernur; b. Kabupaten disebut Bupati; c. Kotamadya disebut Walikotamadya; d. Kota Administratif disebut Walikota; e. Kecamatan disebut Camat. Pasal 78 Dalam menjalankan tugasnya, Kepala Wilayah: a. Kecamatan bertanggung jawab kepada Kepala Wilayah Kabupaten atau Kotamadya atau Kota Administratif yang bersangkutan. b. Kota Administratif bertanggung jawab kepada Kepala Wilayah Kabupaten yang bersangkutan; c. Kabupaten atau Kotamadya bertanggung jawab kepada Kepala Wilayah Propinsi yang bersangkutan; d. Propinsi atau Ibukota Negara bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri Pasal 79 (1) Kepala Daerah Tingkat I karena jabatannya adalah Kepala Wilayah Propinsi atau Ibukota Negara. (2) Kepala Daerah Tingkat II karena jabatannya adalah Kepala Wilayah Kabupaten atau Kotamadya. (3) Ketentuan tentang pengangkatan dan pemberhentian Kepala Wilayah Kota Administratif dan Kepala Wilayah Kecamatan diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Pasal 80 Kepala Wilayah sebagai Wakil Pemerintah adalah Penguasa Tunggal dibidang pemerintahan dalam wilayahnya dalam arti memimpin pemerintahan mengkoordinasikan pembangunan dan membina kehidupan masyarakat di segala bidang. Pasal 81 Wewenang, tugas dan kewajiban Kepala Wilayah adalah: a. membina ketenteraman dan ketertiban di wilayahnya sesuai dengan kebijaksanaan ketenteraman dan ketertiban yang ditetapkan oleh Pemerintah; b. melaksanakan segala usaha dan kegiatan di bidang pembinaan ideologi, Negara dan politik dalam negeri serta pembinaan kesatuan Bangsa sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Pemerintah; c. menyelenggarakan koordinasi atas kegiatan-kegiatan Instansi-instansi Vertikal dan antara Instansi-instansi Vertikal dengan Dinas-Dinas Daerah, baik dalam perencanaan maupun dalam pelaksanaan untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar- besarnya; d. membimbing dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan Daerah; e. mengusahakan secara terus menerus agar segala peraturan perundang-undangan dan Peraturan Daerah dijalankan oleh Instansi-instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta pejabat-pejabat yang ditugaskan untuk itu serta mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintah; f. melaksanakan segala tugas pemerintahan yang dengan atau berdasarkan peraturan perundang-undangan diberikan kepadanya; g. melaksanakan segala tugas pemerintah yang tidak termasuk dalam tugas sesuatu Instansi lainnya. Pasal 82 (1) Wakil Kepala Daerah Tingkat I karena jabatannya adalah Wakil Kepala Wilayah Propinsi atau Ibukota Negara dan disebut Wakil Gubernur. (2) Wakil Kepada Daerah Tingkat II karena jabatannya adalah Wakil Kepala Wilayah Kabupaten atau Kotamadya dan disebut Wakil Bupati atau Wakil Walikotamadya. Pasal 83 (1) Tindakan kepolisian terhadap Kepala Wilayah Propinsi/Ibukota Negara hanya dapat dilakukan atas persetujuan Presiden. (2) Hal-hal yang dikecualikan terhadap ketentuan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini adalah: a. tertangkap tangan melakukan sesuatu tindak pidana; b. dituduh telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman mati; c. dituduh telah melakukan tindak pidana kejahatan yang termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana BUKU KEDUA BAB I. (3) Tindakan kepolisian yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini selambat-lambatnya dalam waktu 2 (dua) kali 24 (duapuluh empat) jam sesudahnya harus dilaporkan kepada Jaksa Agung atau Kepada Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata, yang pada gilirannya harus melaporkan kepada Presiden selambat-lambatnya dalam waktu 2 (dua) kali 24 (duapuluh empat) jam. (4) Tindakan kepolisian terhadap Kepala Wilayah lainnya dilakukan dengan memberitahukan sebelumnya kepada Kepala Wilayah atasan dari yang bersangkutan. (5) Tindakan kepolisian yang dimaksud dalam ayat (4) pasal ini diberitahukan selambat- lambatnya 2 (dua) kali 24 (duapuluh empat) jam sesudahnya kepada Kepala Wilayah atasannya dari yang bersangkutan, apabila menyangkut hal-hal yang dimaksud dalam ayat 2) pasal ini. Bagian Ketiga Sekretaris Wilayah Pasal 84 (1) Sekretaris Daerah adalah Sekretaris Wilayah. (2) Sekretaris Daerah karena jabatannya adalah Sekretaris Wilayah. (3) Dengan tidak mengurangi ketentuan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, susunan organisasi dan formasi Sekretariat Wilayah lainnya serta pengangkatan dan pemberhentian pejabatnya diatur oleh Menteri Dalam Negeri. Bagian Keempat Instansi Vertikal Pasal 85 (1) Dalam menjalankan tugasnya, Kepala Instansi Vertikal berada di bawah koordinasi Kepala Wilayah yang bersangkutan. (2) Pelaksanaan ketentuan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah. Polisi Pamong Praja (1) Untuk membantu Kepala Wilayah dalam menyelenggarakan pemerintahan umum diadakan satuan Polisi Pamong Praja. (2) Kedudukan, tugas, hak dan wewenang Polisi Pamong Praja yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah. (3) Susunan organisasi dan formasi satuan Polisi Pamong Praja yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Bagian Keenam Pembiayaan Pasal 87 (1) Pembiayaan kegiatan Kepala Wilayah, Sekretariat Wilayah dan Polisi Pamong Praja dibebankan pada anggaran belanja Departemen Dalam Negeri. (2) Sekretariat Wilayah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, adalah Sekretariat Wilayah yang dimaksud dalam pasal 84 ayat (3) Undang-undang ini. BAB V PEMERINTAHAN DESA Pasal 88 Peraturan tentang Pemerintahan Desa ditetapkan dengan Undang-undang. BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 89 Ketentuan-ketentuan pokok tentang organisasi dan hubungan kerja perangkat Pemerintah di daerah diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 90 Pasal organisasi Pemerintah Daerah dan Wilayah ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. BAB VII ATURAN PERALIHAN Pasal 91 Pada saat berlakunya undang-undang ini: a. Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 Tentang Pokok- pokok Pemerintahan Daerah, adalah Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II yang dimaksud dalam pasal 3 Undang-undang ini; b. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut Undang-undang ini dengan sebutan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya; c. Segala peraturan pelaksanaan yang telah ditetapkan atau dinyatakan berlaku berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, yang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini, tetap berlaku selama belum dicabut atau diganti berdasarkan Undang-undang; d. Selama belum ditetapkan peraturan pelaksanaan berdasarkan Undang-undang ini dan belum diatur pula dalam peraturan pelaksanaan dimaksud dalam huruf c pasal ini, maka diikuti instruksi, petunjuk atau pedoman yang ada atau yang akan diadakan oleh Menteri Dalam Negeri sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini; e. Kepala Daerah beserta perangkatnya yang ada pada saat mulai berlakunya Undang- undang ini, tetap menjalankan tugasnya kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang- undang ini. Pasal 92 Dengan tidak mengurangi ketentuan yang dimaksud dalam pasal 91 huruf a Undang-undang ini: a. nama dan batas Daerah Tingkat I yang dimaksud dalam Undang-undang nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, adalah pula nama dan batas Wilayah Kabupaten atau Kotamadya yang dimaksud dalam pasal 74 ayat (1) Undang- undang ini; b. nama dan batas Daerah Tingkat II yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, adalah pula nama dan batas Wilayah Kabupaten atau Kotamadya yang dimaksud dalam pasal 74 ayat 2) Undang- undang ini; c. ibukota Daerah Tingkat I yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, adalah pula Ibukota Wilayah Kabupaten yang dimaksud dalam pasal 74 ayat (4) Undang-undang ini. d. Kecamatan yang ada sekarang, adalah Kecamatan yang dimaksud dalam pasal 72 ayat (3) Undang-undang ini. BAB VIII PENUTUP Pasal 93 Pada saat berlakunya Undang-undang ini, tidak berlaku lagi: a. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2778). b. Segala ketentuan yang bertentangan dan atau tidak sesuai dengan Undang-undang ini yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain. Pasal 94 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang- undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan Di Jakarta, Pada Tanggal 23 Juli 1974 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd. SOEHARTO JENDERAL TNI Diundangkan Di Jakarta, Pada Tanggal 23 Juli 1974 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. SUDHARMONO S.H. MAYOR JENDERAL TNI LEMBARAN NEGARA NOMOR 38 PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1974 TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DI DAERAH PENJELASAN UMUM 1. Dasar Pemikiran a. Undang-undang ini disebut "Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah", oleh karena dalam Undang-undang ini diatur tentang Pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan Daerah Otonom dan pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas Pemerintah Pusat di daerah, yang berarti bahwa dalam Undang-undang ini diatur pokok-pokok penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan asas tugas pembangunan di daerah. b. Sebagaimana telah diketahui, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara telah ditugaskan untuk meninjau kembali Undang-undang nomor 18 tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Penugasan tersebut tercantum di dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXI/MPRS/1966 tentang Pemberian Otonomi Seluas-luasnya kepada Daerah. Sebagai pelaksanaan dari penugasan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara tersebut, Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong telah berhasil mengeluarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan tidak berlakunya berbagai Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, antara lain Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965. Di dalam Undang-undang nomor 6 Tahun 1969 itu ditentukan bahwa Undang- undang Nomor 18 Tahun 1965 termasuk dalam Lampiran III, yaitu Undang-undang yang dinyatakan tidak berlaku tetapi pernyataan tidak berlakunya Undang-undang yang bersangkutan ditetapkan pada saat Undang-undang yang menggantikannya mulai berlaku. c. Dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-produk yang berupa ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXI/MPRS/1966 tentang Pemberian Otonom seluas-luasnya kepada Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi karena materinya sudah tertampung dalam Garis-garis Besar Haluan Negara. d. Di dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1966 tantang Garis-garis Besar Haluan Negara, telah digariskan prinsip-prinsip pokok tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah sebagai berikut: "Dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok Negara, dan dalam membina kestabilan politik serta kesatuan Bangsa maka hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah atas dasar keutuhan Negara Kesatuan, diarahkan pada pelaksanaan Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggung jawab yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan Daerah, dan dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi". Dari prinsip-prinsip pokok yang telah digariskan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut dapat ditarik beberapa intisari sebagai pedoman untuk menyusun Undang-undang ini, yaitu diantaranya ialah: (1) prinsip Otonomi Daerah; (2) tujuan pemberian otonomi kepada Daerah; (3) pengarahan-pengarahan dalam pemberian otonomi kepada Daerah. (4) pelaksanaan pemberian otonomi bersama-sama dengan dekonsentrasi. e. Prinsip yang dipakai bukan lagi "Otonomi yang riil dan seluas-luasnya" tetapi "Otonomi yang nyata dan bertanggung jawab". Dengan demikian prinsip Otonomi yang riil atau nyata tetap merupakan prinsip yang harus melandasi pelaksanaan pemberian otonomi kepada Daerah. Sedang istilah "seluas-luasnya" tidak lagi dipergunakan karena berdasarkan pengalaman selama ini istilah tersebut ternyata dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada Daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan di dalam Garis-garis Besar Haluan Negara. Istilah "nyata" dan "bertanggung jawab" kiranya akan lebih menjadi jelas di dalam penjelasan-penjelasan selanjutnya. f. Maksud dan tujuan pemberian otonom kepada Daerah sudah ditegaskan di dalam garis-garis Besar Haluan Negara yang berorientasi pada pembangunan. Yang dimaksud dengan pembangunan di sini adalah pembangunan dalam arti yang luas, yang meliputi segala segi kehidupan dan penghidupan. Jadi pada hakekatnya Otonomi Daerah itu lebih merupakan kewajiban dari pada hak, yaitu kewajiban Daerah untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan Rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. g. Garis-garis Besar Haluan Negara dengan tegas telah memberikan pengarahan- pengarahan yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggung jawab. Pengarahan-pengarahan tersebut mencakup hal- hal sebagai berikut: (1) harus serasi dengan pembinaan politik dan Kesatuan Bangsa; (2) harus dapat menjamin hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah atas dasar keutuhan Negara Kesatuan; (3) harus dapat menjamin perkembangan dan pembangunan Daerah. Dari pengarahan-pengarahan tersebut tampak dengan jelas perwujudan dari prinsip Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggung jawab. Nyata, dalam arti bahwa pemberian otonomi kepada Daerah haruslah didasarkan pada faktor-faktor, perhitungan-perhitungan dan tindakan-tindakan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang benar-benar dapat menjamin daerah yang bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangga sendiri. Bertanggung jawab, dalam arti bahwa pemberian otonomi itu benar-benar sejalan dengan tujuannya, yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar diseluruh pelosok Negara dan serasi atau tidak bertentangan dengan pengarahan-pengarahan yang telah diberikan, serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan Bangsa, menjamin hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan daerah serta dapat menjamin perkembangan dan pembangunan Daerah. Kiranya dapat dimengerti bahwa istilah "Otonomi yang seluas-luasnya" adalah tidak sesuai dengan jiwa pengarahan-pengarahan tersebut, terutama ditinjau dari segi kesatuan Bangsa dan keutuhan Negara Kesatuan. h. Intisari keempat adalah bahwa pemberian otonomi kepada Daerah, dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi. Rumusan ini adalah sangat tepat dan secara prinsipiil berbeda dengan rumusan yang terkandung dalam penjelasan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXI/MPRS/1966, dimana dekonsentrasi dinyatakan sebagai komplemen saja sekalipun dalam predikat "vital". Dengan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab asas desentralisasi bukan sekedar komplemen atau pelengkap terhadap asas desentralisasi, akan tetapi sama pentingnya dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Apakah sesuatu urusan pemerintahan di daerah akan tetap diselenggarakan oleh perangkat Pemerintah (atas dasar asas dekonsentrasi) ataukah diserahkan kepada Daerah menjadi urusan otonomi (atas dasar asas desentralisasi) terutama didasarkan pada hasil guna dan daya guna penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Oleh karena menurut Undang-undang Dasar 1945 Negara kita adalah Negara Kesatuan, maka dalam penyusunan Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan di daerah dan dalam melaksanakan usaha-usaha dan kegiatan- kegiatan apapun dalam rangka kenegaraan harus tetap dalam Ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. i. Dari uraian-uraian diatas jelaslah kiranya bahwa penyelenggaraan pemerintah di daerah menurut Undang-undang ini dilaksanakan berdasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) pelaksanaan pemberian otonomi kepada Daerah harus menunjang aspirasi perjuangan Rakyat, yakni memperkokoh Negara Kesatuan dan mempertinggi tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia seluruhnya; (2) pemberian otonomi kepada Daerah harus merupakan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab; (3) asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi, dengan memberikan kemungkinan pula bagi pelaksanaan asas tugas pembantuan; (4) pemberian otonomi kepada Daerah mengutamakan aspek keserasian dengan tujuan di samping aspek pendemokrasian; (5) tujuan pemberian otonomi kepada Daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan Bangsa. 2. Pembagian Wilayah a. Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 menentukan tentang pembagian wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 18 itu antara lain berbunyi: "Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang". Penjelasan pasal 18 itu antara lain berbunyi: "Oleh karena Negara Kesatuan Indonesia itu suatu "eenheidsstaat", maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat "Staat" juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi, dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat otonom (Streek dan Locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat administratif belaka, semuanya menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-undang". b. Dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut diatas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi dibidang ketatanegaraan. Sebagai konsekuensi dari prinsip tersebut diatas maka dalam Undang-undang ini dengan tegas dinyatakan adanya Daerah Otonom dan Wilayah Administratif. c. Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi disebut Daerah Otonom yang selanjutnya disebut "Daerah", yang dalam Undang-undang ini dikenal adanya Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II. Sedang Wilayah yang dibentuk berdasar asas dekonsentrasi disebut Wilayah Administratif yang dalam Undang-undang ini selanjutnya disebut "Wilayah". Wilayah-wilayah disusun secara vertikal dan merupakan lingkungan kerja perangkat Pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di daerah. Pembentukan Wilayah-wilayah dalam susunan vertikal adalah untuk meningkatkan pengendalian dalam rangka menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan. 3. Asas-asas Penyelenggaraan Pemerintahan a. Umum. Dimuka telah dijelaskan bahwa sebagai konsekuensi dari pasal 18 Undang- undang Dasar 1945 yang kemudian diperjelas dalam Garis Besar Haluan Negara, Pemerintah diwajibkan melaksanakan asas desentralisasi dan dekonsentrasi dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah. Tetapi di samping asas desentralisasi dan dekonsentrasi Undang-undang ini juga memberikan dasar-dasar bagi penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan di daerah menurut asas tugas pembantuan. b. Desentralisasi. Urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada Daerah dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi pada dasarnya menjadi wewenang dan tanggung jawab Daerah sepenuhnya. Dalam hal ini prakarsa sepenuhnya diserahkan kepada Daerah, baik yang menyangkut penentuan kebijaksanaan, perencanaan, pelaksanaan, maupun yang menyangkut segi-segi pembiayaannya. Demikian pula perangkat pelaksanaannya adalah perangkat Daerah itu sendiri, yaitu: c. Dekonsentrasi. Oleh karena tidak semua urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada Daerah menurut azas desentralisasi, maka penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh perangkat Pemerintah di daerah berdasarkan asas dekonsentrasi. Urusan-urusan yang dilimpahkan oleh Pemerintah kepada pejabat-pejabatnya di daerah menurut asas dekonsentrasi ini tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat baik mengenai perencanaan, pelaksanaan maupun pembiayaannya. Unsur pelaksananya adalah terutama Instansi-instansi Vertikal, yang dikoordinasikan oleh Kepala Daerah dalam kedudukannya selaku perangkat Pemerintah Pusat, tetapi kebijaksanaan terhadap pelaksanaan urusan dekonsentrasi tersebut sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah Pusat. d. Tugas Pembantuan. Di muka telah disebutkan bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya. Jadi beberapa urusan pemerintahan masih tetap merupakan Pemerintah Pusat. Akan tetapi adalah berat sekali bagi Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan seluruh urusan pemerintahan di daerah yang masih menjadi wewenang dan tanggung jawabnya itu atas dasar dekonsentrasi, mengingat terbatasnya kemampuan perangkat Pemerintah Pusat di daerah. Dan juga ditinjau dari segi daya guna dan hasil guna adalah kurang dapat dipertanggungjawabkan apabila semua urusan Pemerintah Pusat di daerah harus dilaksanakan sendiri oleh perangkatnya di daerah karena hal itu akan memerlukan tenaga dan biaya yang sangat besar jumlahnya. Lagi pula, mengingat sifatnya, berbagai urusan sulit untuk dapat dilaksanakan dengan baik tanpa ikut sertanya Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut maka Undang- undang ini memberikan kemungkinan untuk dilaksanakannya berbagai urusan pemerintahan di daerah menurut asas tugas pembantuan. 4. Daerah Otonom a. Otonomi Daerah: (1) Tujuan pemberian otonomi kepada Daerah adalah untuk memungkinkan Daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Untuk dapat melaksanakan tujuan tersebut maka kepada Daerah perlu diberikan wewenang-wewenang untuk melaksanakan berbagai urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya. (2) Dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan, maka Undang-undang ini meletakkan titik berat otonomi pada Daerah Tingkat II, dengan pertimbangan bahwa Daerah Tingkat II yang lebih langsung berhubungan dengan masyarakat sehingga diharapkan dapat lebih mengerti dan memenuhi aspirasi-aspirasi masyarakat tersebut. (3) Penyerahan urusan-urusan pemerintahan kepada Daerah dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan Daerah yang bersangkutan. Dengan demikian maka isi otonomi itu berbeda antara Daerah yang satu dengan lainnya. (4) Meskipun berbagai urusan telah diserahkan kepada Daerah sebagai pelaksanaan asas desentralisasi tetapi tanggung jawab terakhir terhadap urusan-urusan tersebut tetap berada di tangan Pemerintah. Oleh karena itu maka urusan-urusan yang telah diserahkan menjadi urusan rumah tangga Daerah itu apabila diperlukan dapat ditarik kembali menjadi urusan Pemerintah. Misalnya apabila urusan tersebut telah berkembang sedemikian rupa sehingga menyangkut kepentingan yang lebih luas, dan lebih tepat diurus langsung oleh Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya. (5) Sebagai konsekuensi prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, Undang-undang ini membuka kemungkinan untuk penghapusan Daerah Otonom. Di muka telah diterangkan bahwa pemberian otonomi kepada Daerah yang dimaksud untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Apabila setelah dibina dan dibimbing serta diberi kesempatan seluas- luasnya ternyata suatu Daerah tidak mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan hanya menggantungkan hidupnya dari subsidi Pemerintah maka adalah sewajarnya apabila daerah yang sedemikian itu dihapuskan. (6) Sebagai konsekuensi dari Negara Kesatuan dan untuk memudahkan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan Daerah maka Undang- undang ini mengusahakan sejauh mungkin adanya keseragaman dalam hal pengaturan mengenai Pemerintah Daerah. b. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah: (1) Urusan Otonomi Daerah tidaklah statis, tetapi berkembang dan berubah. Hal ini terutama adalah disebabkan oleh keadaan yang timbul dan berkembang di dalam masyarakat itu sendiri. Berhubung dengan itu, sebagaimana telah dikemukakan diatas undang-undang ini memberikan kemungkinan untuk secara bertahap menambah penyerahan urusan-urusan kepada Daerah tetapi sebaliknya dimungkinkan pula penarikan kembali sesuatu urusan yang semula telah diserahkan menjadi urusan rumah tangga Daerah. Bahkan dimungkinkan pula penghapusan sesuatu Daerah dan pembentukan Daerah-daerah baru. (2) Untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan dan saran-saran kepada Presiden tentang hal-hal tersebut di atas, maka undang-undang ini menentukan adanya Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, yang terdiri dari beberapa orang Menteri dan diketuai oleh Menteri Dalam Negeri. (3) Dalam hal-hal yang menyangkut pasal-pasal 4 dan 5 Undang-undang ini kekuatan-kekuatan sosial politik diundang untuk didengar pendapatnya. c. Keuangan Daerah: Agar supaya Daerah dapat mengurus rumah tangganya sendiri dengan sebaik- baiknya, maka kepadanya perlu diberikan sumber-sumber pembiayaan yang cukup. Tetapi mengingat bahwa tidak semua sumber pembiayaan dapat diberikan kepada Daerah maka kepada daerah diwajibkan untuk menggali segala sumber- sumber keuangannya sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. d. Pemerintah Daerah: (1) Dalam Undang-undang ini ditetapkan bahwa Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Konstruksi yang demikian ini menjamin adanya kerja sama yang serasi antara Kepala Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk mencapai tertib pemerintahan di Daerah. (2) Dengan demikian maka dalam menyelenggarakan pemerintahan Daerah, ada pembagian tugas yang jelas dan dalam kedudukannya yang sama tinggi antara Kepala Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yaitu Kepala Daerah memimpin bidang eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bergerak dalam bidang legislatif. Menurut undang-undang ini pembuatan Peraturan Daerah dilakukan bersama-sama oleh Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peraturan Daerah yang telah dibuat bersama-sama dan telah mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut ditetapkan dan ditandatangani oleh Kepada Daerah dan ditandatangani serta oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. (3) Kiranya perlu ditegaskan di sini, bahwa walaupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah unsur Pemerintah Daerah, tetapi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak boleh mencampuri bidang eksekutif tanpa mengurangi hak- haknya sesuai dengan undang-undang ini. Bidang eksekutif adalah wewenang dan tanggung jawab Kepala Daerah sepenuhnya. e. Kepala Daerah: (1) Dalam diri Kepala Daerah terdapat dua fungsi, yaitu fungsi sebagai Kepala Daerah otonom yang memimpin penyelenggaraan dan bertanggung jawab sepenuhnya tentang jalannya pemerintahan daerah dan fungsi sebagai Kepala Wilayah yang memimpin penyelenggaraan urusan pemerintahan umum yang menjadi tugas Pemerintah Pusat di daerah. Dari uraian ini jelaslah kiranya, betapa penting dan luasnya tugas seorang Kepala Daerah; dalam pengangkatan seorang Kepala Daerah, haruslah dipertimbangkan dengan seksama, sehingga memenuhi persyaratan untuk kedua fungsi itu. Sebagai Kepala Wilayah, maka ia harus mempunyai kecakapan di bidang pemerintahan dan dipercaya sepenuhnya oleh Pemerintah. Dan sebagai Kepala Daerah Otonom, maka ia perlu mendapat dukungan dari rakyat yang dipimpinnya. (2) Tatacara pencalonan, pemilihan dan pengangkatan Kepala Daerah yang ditetapkan dalam pasal-pasal 15 dan 16 Undang-undang ini dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan dari kedua fungsi Kepala Daerah tersebut. (3) Sejalan dengan konstruksi yang demikian ini maka undang-undang ini menetapkan bahwa Kepala Daerah menurut hirarki bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Hal ini adalah sesuai dengan kedudukan Presiden sebagai penanggung jawab tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan diseluruh wilayah negara. Dan ditinjau dari segi prinsip-prinsip organisasi dan ketatalaksanaan, adalah tepat sekali jika Kepala Daerah hanya mengenal satu garis pertanggungjawaban, oleh karena itu Kepala Daerah tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Namun demikian, Kepala Daerah berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang pelaksanaan pemerintahan Daerah yang dipimpinnya, agar supaya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai salah satu unsur Pemerintah Daerah dapat selalu mengikuti dan mengawasi jalannya Pemerintahan Daerah. Dalam memberikan keterangan pertanggungjawaban tersebut Kepala Daerah perlu memperhatikan ketentuan-ketentuan pasal-pasal 62, 63 dan 64 undang-undang ini. Dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat memberikan tanggapan- tanggapannya sesuai dengan hak-haknya sebagaimana tercantum dalam pasal 29 undang-undang ini. (4) Telah jelas, bahwa Kepala Daerah menurut hirarki bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Istilah "melalui" di sini bukanlah berarti bahwa Menteri Dalam Negeri hanya meneruskan bahan- bahan pertanggungjawaban Kepala Daerah, mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu sesuai dengan wewenangnya dan melaporkan kepada Presiden mengenai hal-hal yang prinsipi dan penting. f. Wakil Kepala Daerah: Mengingat luasnya tugas-tugas yang dihadapi oleh Kepala Daerah baik dalam fungsinya sebagai Kepala Wilayah Administratif maupun sebagai Kepala Daerah Otonom, maka pada dasarnya dipandang perlu adanya jabatan Wakil Kepala Daerah. mengingat kondisi Daerah yang berbeda-beda maka pelaksanaan pengisian jabatan Wakil Kepala Daerah tersebut akan diadakan menurut kebutuhan. Wakil Kepala Daerah diangkat dari Pegawai Negeri berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku. g. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah: (1) Untuk dapat melaksanakan fungsinya sebagai Wakil Rakyat, maka kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diberikan hak-hak tertentu, yaitu: (a) anggaran; (b) mengajukan pertanyaan bagi masing-masing anggota; (c) meminta keterangan; (d) mengadakan perubahan; (e) mengajukan pernyataan pendapat; (f) prakarsa; (g) mengadakan penyelidikan; (2) Hak-hak dimaksud di atas adalah untuk memungkinkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melaksanakan fungsinya. Untuk menghindarkan kesimpangsiuran penafsiran, maka cara-cara penggunaan hak-hak tersebut di atas diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Khusus mengenai cara penggunaan hak mengadakan penyelidikan diatur dengan undang-undang. Hal ini dipandang perlu, karena penggunaan hak mengadakan penyelidikan itu mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang luas. Dengan diberikannya hak prakarsa kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maka rancangan-rancangan peraturan daerah tidak hanya dibuat oleh kepala daerah tetapi dapat pula dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. h. Sekretariat Daerah. (1) Sekretariat Daerah Tingkat I diintegrasikan dengan Sekretariat Wilayah Propinsi atau Ibukota Negara dan Sekretariat Daerah Tingkat II diintegrasikan dengan Sekretariat Wilayah Kabupaten atau Kotamadya. Dengan demikian maka Sekretariat Daerah adalah Sekretariat yang membantu Kepala Daerah dan Kepala Wilayah. Dengan pengintegrasian Sekretariat ini, maka dapatlah diharapkan daya guna dan hasil guna dalam penyelenggaraan pekerjaan dan dapat pula dicegah kesimpangsiuran yang tidak perlu. (2) Sekretariat Daerah adalah unsur staf. Sebagai unsur staf, maka Sekretariat Daerah menyelenggarakan tugas-tugas umum staf. Mengingat betapa luas dan banyaknya segi-segi tugas staf, maka untuk menyelenggarakannya diperlukan kecakapan, keahlian, pengalaman dan rasa pengabdian yang tinggi. Jabatan staf adalah jabatan karier, oleh sebab itu pegawai yang ditempatkan pada jabatan staf haruslah pegawai yang benar-benar dapat diandalkan dan memenuhi syarat-syarat serta mempunyai kualifikasi- kualifikasi tertentu berdasarkan peraturan kepegawaian yang berlaku. Karena jabatan staf adalah jabatan karier, maka Sekretariat Daerah pun adalah jabatan karier. Dengan perkataan lain, Sekretariat Daerah tidak dipilih, tetapi diangkat dari Pegawai Negeri yang memenuhi syarat-syarat setelah mendengar pertimbangan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Yang dimaksud dengan "setelah mendengar pertimbangan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah" ialah bahwa Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut menyampaikan pertimbangan kepada Kepala Daerah setelah mendengar/meminta pendapat Fraksi-fraksi. i. Dinas Daerah: (1) Dinas-dinas Daerah adalah unsur pelaksana Pemerintah Daerah. Urusan- urusan yang diselenggarakan oleh Dinas-dinas Daerah adalah urusan- urusan yang telah menjadi urusan rumah tangga Daerah. Pembentukan Dinas Daerah untuk melaksanakan urusan-urusan yang masih menjadi wewenang Pemerintah Pusat dan belum diserahkan kepada Daerah dengan sesuatu Undang-undang atau Peraturan Pemerintah menjadi urusan rumah tangganya, tidak dibenarkan. (2) Dalam menjalankan tugasnya, Dinas-dinas Daerah itu berada sepenuhnya dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. j. Perusahaan Daerah. Perusahaan Daerah adalah suatu badan usaha yang dibentuk oleh Daerah untuk memperkembangkan perekonomian Daerah dan untuk menambah penghasilan Daerah. Berhubung dengan itu, maka Perusahaan Daerah harus didasarkan atas asas-asas ekonomi perusahaan yang sehat, atau dengan perkataan lain, Perusahaan Daerah harus melakukan kegiatannya secara berdaya guna dan berhasil guna. Dalam hal ini perlu dicegah adanya kecenderungan-kecenderungan ke arah sistem serba negara (etatisme) dan monopoli sebagaimana telah digariskan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara. 5. Wilayah Administratif a. Umum Untuk merealisasikan ketentuan tentang "daerah administrasi belaka" yang dimaksud dalam penjelasan pasal 18 Undang-undang Dasar 1945, maka Undang- undang ini mengatur secara jelas hal-hal yang berhubungan dengan Wilayah Administratif. b. Kepala Wilayah (1) Kepala Wilayah dalam semua tingkat sebagai wakil Pemerintah Pusat adalah Penguasa Tunggal di bidang pemerintahan di daerah, kecuali bidang pertahanan dan keamanan, bidang peradilan, bidang luar negeri dan bidang moneter dalam arti mencetak uang, menentukan nilai mata uang dan sebagainya. Ia berkewajiban untuk memimpin penyelenggaraan pemerintahan, mengkoordinasikan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta membina kehidupan masyarakat dalam segala bidang. Dengan perkataan lain, Penguasa Tunggal adalah Administrator Kemasyarakatan. Sebagai wakil Pemerintah dan Penguasa Tunggal, maka Kepala Wilayah adalah pejabat tertinggi di Wilayahnya di bidang Pemerintahan, lepas dari persoalan pangkat. (2) Wewenang, tugas dan kewajiban Kepala Wilayah adalah: (a) Pembinaan ketenteraman dan ketertiban Wilayah: I. Ketenteraman dan ketertiban adalah suatu keadaan di mana Pemerintah dan rakyat dapat melakukan kegiatan secara aman, tertib dan teratur. Ketenteraman dan ketertiban ini dapat terganggu oleh pelbagai sebab dan keadaan, diantaranya ialah: Pelanggaran hukum yang menyebabkan terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat; bencana-bencana, baik bencana alam maupun bencana yang ditimbulkan oleh manusia; faktor-faktor yang terletak di bidang ekonomi dan keuangan. II. Pembinaan serta pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban ini menuju ke arah ketertiban masyarakat adalah tugas kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah. Oleh sebab itu Pemerintah menetapkan kebijaksanaan pembinaan serta pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban yang berlaku di dalam seluruh Wilayah Negara, termasuk di dalamnya pengerahan alat-alat keamanan. III. Berhubung dengan luasnya Wilayah Negara dan untuk menjamin tindakan yang cepat serta tepat pada waktunya, maka dalam rangka pelaksanaan kebijaksanaan pembinaan serta pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban itu, dalam keadaan biasa, kepada Kepala Wilayah perlu diberikan beberapa wewenang pembinaan ketenteraman dan ketertiban di wilayahnya yang meliput: Wewenang pengaturan untuk mendorong terciptanya - ketenteraman dan ketertiban masyarakat; Wewenang pengaturan kegiatan-kegiatan - penanggulangan bencana-bencana; Wewenang pengaturan kegiatan-kegiatan di bidang - politik; ekonomi dan sosial budaya. IV. Apabila terjadi atau diperkirakan akan terjadi gangguan ketenteraman dan ketertiban di wilayahnya, maka sesuai dengan sifat, hakekat dan bentuk gangguan tersebut Kepala Wilayah menentukan kebijaksanaan untuk meniadakan atau mencegah gangguan itu. Kebijaksanaan ini dapat bersifat Prepentip dan dapat pula bersifat represif. Yang bersifat Prepentip misalnya kalau ada atau akan ada kegiatan tertentu (pasar malam, perselisihan golongan dan lain- lain) yang diperkirakan akan menimbulkan gangguan terhadap ketenteraman dan ketertiban masyarakat, Kepala Wilayah menentukan kebijaksanaan untuk meniadakan sebab-sebab yang mungkin menimbulkan gangguan itu. Yang bersifat represif, misalnya kalau terjadi bencana alam, bagaimana memberikan perlindungan serta penyelamatan penduduk yang tertimpa bencana itu (apakah penduduk itu perlu dipindahkan atau tidak dan sebagainya), bagaimana penyelamatan harta bendanya, pemberian perawatan dan lain-lain. V. Sebelum Kepala Wilayah menentukan kebijaksanaannya, ia diwajibkan untuk mengadakan musyawarah dengan Pimpinan Badan-badan/Alat-alat Keamanan yang ada diwilayahinya untuk bersama-sama menilai keadaan. Untuk keperluan tersebut dibentuk Badan tersendiri, yang diketuai oleh Kepala Wilayah dan beranggotakan Panglima/Komandan kepala ABRI yang bertugas diwilayahi itu. VI. Kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh Kepala Wilayah wajib diamankan pelaksanaannya oleh alat-alat Negara. Pelaksanaan pengamanan kebijaksanaan tersebut harus berdasarkan ketentuan/peraturan dan Doktrin Pelaksanaan Tugas yang berlaku baginya dan yang bersangkutan menyampaikan laporan kepada Kepala Wilayah selaku pemegang kebijaksanaan pembinaan ketenteraman dan ketertiban di wilayahnya. (b) Pembinaan Ideologi Negara, politik dalam negeri dan kesatuan bangsa. I. Bangsa Indonesia telah mempunyai falsafah dan ideologi PANCASILA, tetapi pengalaman kita selama ini telah membuktikan, bahwa ada golongan yang selalu berusaha merongrong dan menyelewengkan PANCASILA dan Undang- undang Dasar 1945 itu. Walaupun demikian, berkat kebenaran dan keampuhan falsafah dan ideologi PANCASILA itu, segala rongrongan dan penyelewengan terhadap PANCASILA itu akhirnya dapat dipatahkan. Berhubung dengan itu maka adalah menjadi tugas dan kewajiban seluruh perangkat Negara dalam semua tingkat untuk mengamankan dan mengamalkan PANCASILA dan Undang-undang Dasar 1945. II. Masyarakat adil dan makmur berdasarkan PANCASILA sebagai tersebut dalam pembukaan undang-undang Dasar 1945 hanyalah dapat dicapai dengan melaksanakan pembangunan secara berencana dalam segala bidang, sedang pembangunan baru dapat dilaksanakan dengan baik apabila sudah tercipta politik dalam negeri yang stabil dan mantap. Menciptakan kestabilan dan kemantapan politik adalah salah satu tugas Pemerintah yang penting. III. Berhubung dengan keadaan Bangsa Indonesia yang bersifat Bhinneka Tunggal Ika, maka usaha-usaha pembinaan kesatuan Bangsa mutlak perlu direncanakan dengan sebaik-baiknya dan dilaksanakan secara bertahap dan terus menerus. IV. Pelaksanaan pembinaan ideologi Negara, politik dalam negeri dan kesatuan Bangsa di daerah-daerah adalah menjadi tugas, kewajiban dan tanggung jawab Kepala Wilayah, sesuai dengan kebijaksanaan yang digariskan oleh Pemerintah. (c) Penyelenggaraan koordinasi terhadap Instansi-instansi Vertikal. I. Instansi-instansi Vertikal adalah perangkat Departemen- departemen atau Lembaga-lembaga Pemerintah Non Departemen yang ditempatkan di daerah untuk melaksanakan sebagian urusan Departemen-departemen atau Lembaga- lembaga Pemerintah Non Departemen yang bersangkutan. II. Dalam prakteknya antara urusan-urusan yang diselenggarakan oleh masing-masing Instansi Vertikal begitu jua antara urusan- urusan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dan Instansi-instansi Vertikal, sangat erat hubungannya satu dan yang lain. Maka untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya, sangat perlu penyelenggaraan urusan- urusan itu dikoordinasikan dengan sebaik-baiknya. Pejabat yang berwenang dan berkewajiban untuk menyelenggarakan koordinasi tersebut adalah Kepala Wilayah. Berhubung dengan itu, maka dalam melaksanakan tugasnya Instansi-instansi Vertikal berada di bawah koordinasi Kepala Wilayah sebagai wakil Pemerintah. Berhubung dengan itu, maka Instansi- instansi Vertikal wajib melaporkan segala rencana dan kegiatan, memberikan keterangan-keterangan yang diminta dan mematuhi petunjuk-petunjuk umum yang diberikan oleh Kepala Wilayah. III. Dalam mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan Instansi-instansi Vertikal, begitu juga antara Instansi-instansi Vertikal dengan Pemerintah Daerah, Kepala Wilayah harus selalu memperhatikan dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (d) Bimbingan dan pengawasan terhadap Pemerintah Daerah. I. Bimbingan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan Daerah disamping menjadi tugas Pemerintah adalah juga menjadi tugas Kepala Wilayah. II. Bimbingan dan pengawasan itu harus selalu dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. (e) Pembinaan tertib pemerintahan. Peraturan perundang-undangan dan Peraturan daerah harus selalu diusahakan agar ditaati bukan saja oleh Rakyat tetapi juga oleh Instansi-instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta pejabat- pejabat yang bersangkutan. Tugas ini adalah tugas Kepala Wilayah dalam semua tingkat. Dalam hubungan ini Kepala Wilayah dapat mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu sesuai dengan wewenang yang ada padanya. (f) Pelaksanaan tugas-tugas lain. Selain tugas-tugas sebagai tersebut diatas, maka Kepala Wilayah melaksanakan tugas-tugas pemerintahan yang dengan atau berdasarkan peraturan perundang-undangan ditugaskan kepadanya dan juga tugas-tugas lain yang tidak menjadi tugas sesuatu Instansi Pemerintah ataupun Pemerintah Daerah. (3) Tindakan Kepolisian Berhubung dengan pentingnya kedudukan Kepala Wilayah Propinsi maka untuk menjamin kewibawaannya, tatacara tindakan kepolisian terhadap Kepala Wilayah Propinsi tersebut diatur secara khusus. c. Sekretariat Wilayah. (1) Mengenai Sekretariat Wilayah Propinsi, Ibukota Negara, Kabupaten dan Kotamadya, lihat penjelasan Sekretariat Daerah. (2) Sekretariat Wilayah Kecamatan dan Kota Administratif diatur oleh Menteri Dalam Negeri. 6. Pengawasan a. Umum Dalam segi organisasi, terutama dalam organisasi pemerintahan, fungsi pengawasan adalah sangat penting, karena pengawasan itu adalah suatu usaha untuk menjamin adanya keserasian antara penyelenggaraan tugas pemerintahan oleh Daerah-daerah dan oleh Pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna. b. Pengawasan Umum Pengawasan Umum adalah suatu jenis pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap segala kegiatan Pemerintah Daerah untuk menjamin penyelenggaraan pemerintahan Daerah dengan baik. Pengawasan Umum terhadap pemerintahan Daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah sebagai wakil Pemerintah di daerah bersangkutan. c. Pengawasan Prepentip, (1) Pengawasan Prepentip mengandung prinsip bahwa Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah mengenai pokok tertentu baru berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang, yaitu: (a) Menteri Dalam Negeri bagi Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah Tingkat I; (b) Gubernur Kepala Daerah bagi Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah Tingkat II. (2) Pada pokoknya Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah yang untuk berlakunya memerlukan pengesahan adalah yang: (a) menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengikat Rakyat ketentuan- ketentuan yang mengandung perintah, larangan, keharusan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dan lain-lain yang ditujukan langsung kepada Rakyat; (b) mengadakan ancaman pidana berupa denda atau kurungan atas pelanggaran ketentuan tertentu yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah; (c) memberikan beban kepada Rakyat, misalnya pajak atau retribusi Daerah; (d) menentukan segala sesuatu yang perlu diketahui oleh umum, karena menyangkut kepentingan Rakyat, misalnya: mengadakan hutang-piutang, menanggung pinjaman, mengadakan Perusahaan Daerah, menetapkan dan mengubah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, menetapkan perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, mengatur gaji pegawai dan lain-lain; (e) Pengawasan Represif. (1) Pengawasan Represip dilakukan terhadap semua Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah. (2) Pengawasan Represif berwujud penangguhan atau pembatalan Peraturan Daerah atau Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Penangguhan atau pembatalan itu dilakukan oleh pejabat yang berwenang. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Pasal ini menegaskan arti beberapa istilah yang digunakan dalam undang-undang ini, dengan maksud untuk menyamakan pengertian tentang istilah-istilah itu, sehingga dengan demikian dapat dihindari kesalahpahaman dalam penafsirannya. Yang dimaksud dengan Pembantu-pembantu Presiden dalam huruf a pasal ini adalah Pembantu Presiden sebagai mana yang di maksud dalam pasal 4 ayat (2) dan pasal 17 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945. Pasal 2 Yang dimaksud dengan kata "wilayah" ("w" kecil) dalam pasal ini adalah "teritorial" yang dimaksud dalam penjelasan pasal 18 Undang-undang Dasar 1945. Pasal 3 ayat (1) Cukup jelas ayat (2) Yang dimaksud dengan perkembangan dan pengembangan selanjutnya ialah perkembangan dan pengembangan otonomi baik mengenai jumlah maupun tingkatnya dalam arti dapat berkembang kesamping, ke atas dan ke bawah. Pasal 4 Untuk menentukan batas yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini maka setiap Undang-undang pembentukan Daerah dilengkapi dengan peta yang sejauh mungkin dapat menunjukkan dengan tepat letak geografis Daerah yang bersangkutan. Demikian pula mengenai perubahan batas Daerah dan pembentukan atau perubahan batas Wilayah. Pasal 5 Lihat penjelasan umum Pasal 6 Jakarta sebagai Ibu kota Negara republik Indonesia yang ditatapkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1964 (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 78) mempunyai ciri-ciri dan kebutuhan yang berbeda dengan Daerah Tingkat I lainnya. Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat menghendaki adanya susunan pemerintahan yang lebih menjamin daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya. Oleh karena itu pasal ini memberikan kemungkinan bahwa Jakarta sebagai Ibukota Negara, dalam wilayahnya dapat mempunyai susunan pemerintahan yang berlainan dengan Daerah Tingkat I lainnya, yang sejauh mungkin disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini, yang pengaturannya ditetapkan dengan Undang-undang tersendiri. Pasal 7 Lihat Penjelasan Umum Pasal 8 ayat (1) Lihat Penjelasan Umum ayat (2) Penambahan penyerahan urusan pemerintahan kepada Daerah haruslah disertai perangkat, alat perlengkapan dan sumber pembiayaan, sehingga dengan demikian urusan pemerintahan yang diserahkan itu dapat diselenggarakan dengan sebaik-baiknya. Dalam pada itu perlu dikemukakan, bahwa penambahan penyerahan urusan pemerintahan kepada Daerah ada kalanya tidak perlu disertai dengan penyerahan perangkatnya, yaitu apabila Daerah yang bersangkutan telah mempunyai perangkat tersebut atau perangkat itu sebelumnya telah diserahkan kepadanya. Sebagai contoh, berbagai urusan di bidang pertanian telah diserahkan kepada Daerah untuk menjadi urusan rumah tangganya. Pada waktu penyerahan itu disertai pula penyerahan perangkatnya, yaitu Dinas Pertanian Rakyat. Jika di kemudian hari terjadi penambahan penyerahan urusan di bidang Pertanian, maka dalam hal ini dengan sendirinya tidak perlu disertai penyerahan perangkatnya lagi, karena perangkat itu telah ada pada Daerah. Pasal-pasal 9 sampai dengan 13 Lihat Penjelasan Umum Pasal 14 Cukup Jelas Pasal 15 Presiden dalam mengangkat Kepala Daerah dari antara calon-calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tidak terikat pada jumlah suara yang diperoleh masing-masing calon, karena hal ini adalah merupakan hak prerogatif Presiden. Pasal 16 Menteri Dalam Negeri, yang dalam hal ini bertindak atas nama Presiden dalam mengangkat Kepala Daerah Tingkat II tidak terikat pada jumlah suara yang diperoleh masing-masing calon. Pasal 17 Masa jabatan seorang Kepala Daerah adalah 5 lima (lima) tahun, dihitung mulai tanggal pelantikannya. Apabila masa jabatan ini berakhir, maka ia dapat diangkat kembali sebagai Kepala Daerah untuk masa jabatan 5 (lima) tahun berikutnya. Apabila masa jabatan kedua ini telah berakhir, ia tidak boleh diangkat lagi sebagai Kepala Daerah untuk masa jabatan ketiga kalinya di daerah tersebut. Pasal 18 Pengucapan sumpah bagi penganut-penganut agama tertentu dapat diketahui dengan kata- kata penyebutan Tuhan Yang Maha Esa menurut agamanya masing-masing. Misalnya untuk penganut agama Islam didahului dengan kata-kata "Demi Allah". Pasal 19 Cukup Jelas Pasal 20 Maksud diadakan larangan-larangan bagi Kepala Daerah yang dimuat di dalam pasal ini ialah untuk menghilangkan kemungkinan yang dapat mendorong Kepala Daerah berbuat hal-hal yang menyalahi tugas dan tanggung jawabnya sebagai Kepala Daerah. Pasal 21 Cukup Jelas Pasal 22 Lihat penjelasan Umum Pasal 23 ayat (1) Sebagai pimpinan dan penanggung jawab tertinggi di dalam Daerahnya. Maka selayaknyalah apabila Kepala Daerah bertindak mewakili Daerahnya dalam segala persoalan yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan pemerintahan yang dipimpinnya, baik di dalam maupun di luar Pengadilan. ayat (2) Berhubung dengan banyaknya tugas Kepala Daerah, maka apabila dipandang perlu, Kepala Daerah dapat menunjuk seorang kuasa atau lebih untuk mewakilinya dalam hal- hal tertentu di luar dan di dalam Pengadilan. Penunjukan seseorang kuasa harus dilakukan dengan resmi menurut prosedur yang berlaku. Pasal 24 dan 25 Lihat Penjelasan Umum pasal 26 Untuk mencegah kekosongan pimpinan pemerintah Daerah, baik bagi Daerah yang mempunyai Wakil Kepala Daerah maupun yang tidak mempunyai Wakil Kepala Daerah, maka pasal ini menugaskan kepada Menteri Dalam Negeri untuk mengatur tentang pejabat yang mewakili Kepala Daerah dalam hal Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berhalangan. Pasal 27 Yang dimaksud dengan Undang-undang dalam pasal ini adalah Undang-undang Nomor 16 Tahun 1969 selama belum diubah atau diganti. Pasal-pasal 28 sampai dengan 31 Cukup Jelas pasal 32 ayat (1) Sifat terbuka rapat-rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah sesuai dengan cita- cita Demokrasi PANCASILA, oleh karena dengan demikian Rakyat dapat mengikuti secara langsung tentang hal-hal yang dibicarakan dalam rapat-rapat itu. ayat (2) Rapat tertutup dapat diadakan apabila masalah yang akan dibicarakan bersifat rahasia. ayat (3) Cukup Jelas ayat (4) Mereka yang hadir dalam rapat-rapat tertutup yang sengaja membocorkan hal-hal yang dibicarakan dalam rapat tersebut sebelum Dewan membebaskannya, dapat dituntut di muka Pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 33 Pasal ini mengatur kebebasan mengeluarkan pendapat yang obyektif dan bermanfaat yang memang seyogyanya harus dijamin dalam Negara Demokrasi PANCASILA. Namun demikian para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib memegang teguh kode etik yang mengandung prinsip bahwa sesuatu hal yang harus dirahasiakan tidak boleh dibocorkan. ayat (2) Lihat Penjelasan Pasal 83 Pasal 34 Cukup Jelas Pasal 35 Dalam menjalankan pemerintahan Daerah perlu dijaga jangan sampai Negara atau Daerah yang bersangkutan menderita kerugian. Yang menjalankan pemerintahan Daerah adalah pemerintah Daerah, yakni Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Apabila Kepala Daerah melalaikan tugasnya sehingga dapat merugikan Negara atau Daerah, maka terhadapnya dapat dilakukan tindakan administratif. Jika yang melalaikan itu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tindakan demikian itu tidak dapat dijalankan. Karena itu untuk mengatasi perlu ditentukan cara bagaimana hak dan wewenang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah itu harus dijalankan. Pasal 36 Cukup Jelas Pasal 37 Pengangkatan Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari pegawai Negeri dengan memperhatikan peraturan kepegawaian yang berlaku dan termasuk formasi pegawai Sekretariat daerah Pasal-pasal 38 dan 39 Cukup Jelas. Pasal 40 Pengundangan Peraturan Daerah yang dilakukan menurut cara yang sah, merupakan keharusan agar Peraturan Daerah itu mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Cara pengundangan yang sah adalah pengundangan yang dilakukan oleh Sekretaris Daerah dengan penempatan Peraturan Daerah itu dalam Lembaran Daerah, dengan ketentuan bahwa Peraturan Daerah yang berlakunya memerlukan pengesahan lebih dahulu dari pejabat yang berwenang, baru dapat diundangkan setelah Peraturan Daerah itu disahkan. Penempatan Peraturan Daerah di dalam surat kabar atau pengumuman dengan cara lain, seperti melalui radio dan televisi, tidak merupakan pengundangan yang sah melainkan suatu pengumuman biasa, sehingga belum mempunyai kekuatan hukum dan belum mengikat. Pasal 41 Cukup Jelas. Pasal 42 Pelaksanaan yang dilakukan oleh penguasa eksekutif untuk menegakkan hukum dalam Undang-undang ini disebut "pelaksanaan penegakan hukum" atau "paksaan pemeliharaan hukum". Paksaan penegakan hukum dianggap telah tersimpul dalam hak penguasa eksekutif dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan dan Peraturan Daerah, sehingga tidak perlu lagi untuk memberikan dasar hukum tertulis mengenai hak penguasa eksekutif untuk melakukan paksaan yang dianggapnya perlu dalam menjalankan Peraturan Daerah. karena itu di dalam pasal ini hal itu tidak perlu diatur lagi. Yang diatur hanyalah mengenai pembebanan kepada pelanggar dengan biaya seluruhnya atau sebagian, yang telah dikeluarkan oleh Daerah untuk melakukan paksaan penegakan hukum itu. Paksaan penegakan hukum itu pada umumnya berwujud mengambil atau meniadakan, mencegah, melakukan atau memperbaiki segala sesuatu yang telah dibuat, diadakan, dijalankan, dialpakan atau ditiadakan yang bertentangan dengan hukum. Kiranya perlu ditegaskan, bahwa paksaan penegakan hukum hanya sah jika paksaan itu digunakan untuk menegakkan hukum. Paksaan itu harus langsung tertuju pada pemulihan sesuatu keadaan yang sah atau pencegahan terjadinya sesuatu keadaan yang tidak sah. Paksaan itu harus didahului oleh suatu perintah tertulis oleh penguasa eksekutif kepada pelanggar. Apabila pelanggar tidak memperdulikannya, barulah dijalankan suatu tindakan yang memaksa. Pejabat yang menjalankan paksaan penegakan hukum terhadap pelanggar, harus dengan tegas diserahi tugas itu. Oleh karena paksaan penegakan hukum itu pada umumnya dapat menimbulkan kerugian atau penderitaan, maka paksaan penegakan hukum itu hendaknya hanyalah dilakukan dalam hal yang sangat perlu saja dengan cara yang seimbang dengan beratnya pelanggaran. Pasal 43 dan 44 Cukup Jelas Pasal 45 Oleh karena Kepala Daerah adalah penguasa eksekutif, maka pelaksanaan Peraturan Daerah dilakukan oleh Kepala Daerah apabila Peraturan Daerah itu tidak menunjuk pelaksana lain. Kepala Daerah juga melaksanakan tugas pembantuan yang ditugaskan kepada Daerah. Untuk melaksanakan tugas pembantuan itu dapat dibuat Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah. Pasal 46 Badan Pertimbangan Daerah yang dimaksud dalam pasal ini ialah suatu Badan yang baik diminta maupun tidak, bertugas untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada Kepala Daerah mengenai segala hal ikhwal tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah. Agar supaya Badan tersebut dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan yang bermanfaat bagi Kepala Daerah, maka Badan tersebut dapat senantiasa mengikuti perkembangan pemerintahan Daerah, dalam arti tidak turut campur secara langsung dalam soal-soal pelaksanaan pemerintahan. Kiranya cukup jelas bahwa Badan tersebut tidak mempunyai kedudukan dan wewenang seperti Badan Pemerintah Harian atau Dewan Pemerintah Daerah yang pernah ada. Pasal 47 Cukup Jelas. Pasal 48 Yang dimaksud dengan "setelah mendengar pertimbangan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah" ialah bahwa Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut menyampaikan pertimbangannya kepada Kepala Daerah setelah mendengar/meminta pendapat Fraksi-fraksi. Pasal 49 Cukup Jelas Pasal-pasal 50 sampai dengan 54 Pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal 50 sampai dengan 54 ini harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 55 Sumber pendapatan Daerah dibagi dalam 3 (tiga) golongan yakni: a. pendapatan asli Daerah sendiri; b. pendapatan berasal dari pemberian Pemerintah; c. lain-lain pendapatan yang sah. Mengenai "lain-lain pendapatan yang sah" dapat ditugaskan, bahwa yang termasuk dalam golongan ini adalah pendapatan Daerah yang berasal dari sumber lain daripada yang tersebut dalam huruf a dan b misalnya sumbangan dari pihak ketiga kepada Daerah dan lain-lain. Pasal-pasal 56 sampai dengan 60 Cukup Jelas. Pasal 61 Yang berwenang mengadakan hutang piutang dan menanggung pinjaman adalah Kepala Daerah, yang menetapkan dengan suatu Keputusan Kepala Daerah. Keputusan Kepala Daerah tersebut harus lebih dahulu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dituangkan dalam bentuk Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Keputusan Kepala Daerah tersebut bagi Daerah Tingkat I maupun bagi daerah tingkat II, untuk dapat berlaku memerlukan pengesahan dari Menteri Dalam Negeri. Ditentukannya Keputusan Kepala Daerah tersebut dibawah pengawasan Prepentip langsung oleh Menteri Dalam Negeri adalah terutama karena mengadakan hutang piutang dan menanggung pinjaman itu sangat penting artinya dan besar pula akibatnya, karena dapat merupakan beban Rakyat, tidak saja untuk satu generasi, bahkan mungkin pula untuk beberapa generasi. Di dalam Keputusan Kepala Daerah itu harus pula ditetapkan sumber-sumber untuk memenuhi kewajiban membayar bunga dan angsuran-angsurannya, demikian pula cara pembayarannya, sehingga menurut keputusan dalam pasal 32 ayat (3) Undang-undang ini, keputusan untuk mengadakan hutang piutang dan menanggung pinjaman itu tidak boleh diambil dalam rapat tertutup dari Dewan perwakilan Rakyat. Pasal 62 Cukup Jelas. Pasal 63 Cukup Jelas. Pasal 64 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah suatu hal yang sangat penting, karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah itu; a. Menentukan jumlah pajak yang dibebankan kepada Rakyat Daerah yang bersangkutan; b. Merupakan suatu sarana untuk mewujudkan Otonomi yang nyata dan bertanggung jawab; c. Memberi isi dan arti kepada tanggung jawab Pemerintah Daerah umumnya dan kepala Daerah khususnya, karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah itu menggambarkan seluruh kebijaksanaan Pemerintah Daerah; d. Merupakan suatu sarana untuk melaksanakan pengawasan terhadap Daerah dengan cara yang lebih mudah dan berhasil guna; e. Merupakan suatu pemberian kuasa kepada Kepala Daerah untuk melakukan penyelenggaraan keuangan Daerah di dalam batas-batas tertentu. Berhubung dengan itu maka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah haruslah disusun dengan baik dan dipertimbangkan dengan seksama dengan memperhatikan skala prioritas dan dalam pelaksanaannya harus terarah pada sasaran dengan cara berdaya guna dan berhasil guna. Oleh karena tahun anggaran Negara dengan tahun anggaran Daerah adalah sama dan Daerah baru dapat menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerahnya sesudah diketahui besarnya subsidi yang akan diterimanya, maka dalam praktek proses penyusunan dan pengesahan serta pengundangan Anggaran Pendapatan dan belanja Daerah itu baru dapat diselesaikan beberapa bulan setelah permulaan tahun anggaran. Namun demikian persiapan-persiapan sudah dapat dimulai sebelumnya. Selama proses itu berlangsung, kegiatan Pemerintah Daerah yang memerlukan pembiayaan berlangsung terus. Untuk itu diperlukan adanya ketentuan pasal ini. Pasal 65 Cukup Jelas, Pasal 66 Sudah sewajarnya bahwa Instansi yang lebih tinggi bertindak dan mengambil keputusan untuk mengatasi perselisihan yang timbul antara Instansi-instansi yang berada di bawah pengawasannya. Perselisihan itu dapat terjadi antara: a. Daerah Tingkat I dengan Daerah Tingkat I lainnya; b. Daerah Tingkat I dengan Daerah Tingkat II di dalam Wilayah Daerah Tingkat I tersebut. c. Daerah Tingkat I dengan Daerah Tingkat II di dalam Daerah Tingkat I lain; d. Daerah Tingkat II dengan Daerah Tingkat II di dalam satu daerah Tingkat I; e. Daerah Tingkat II dengan Daerah Tingkat II yang tidak termasuk di dalam satu Daerah Tingkat I. Perselisihan yang dimaksud dalam huruf a, b, c dan d diputuskan oleh Menteri Dalam Negeri, sedang perselisihan yang dimaksud dalam huruf d diputuskan oleh Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan. Perselisihan yang dimaksud dalam pasal ini sudah tentu hanya mengenai perselisihan mengenai pemerintahan, jadi yang bersifat hukum publik, sebab perselisihan yang bersifat hukum perdata sudah jelas menjadi kompetensi Pengadilan. Pasal 67 Cukup Jelas. Pasal-pasal 68 sampai dengan 72 Lihat Penjelasan Umum. Pasal 73 Mengingat hanya tugas-tugas yang dihadapi oleh Kepala Wilayah dalam menyelenggarakan urusan pemerintah umum, terutama dalam hal pengawasan terhadap jalannya pemerintahan Daerah maka Menteri Dalam Negeri dapat menunjuk Pembantu Gubernur, Pembantu Bupati atau Pembantu Walikotamadya dalam rangka dekonsentrasi. Pasal 74 Maksud pasal ini adalah untuk menegaskan, bahwa wilayah Daerah Tingkat I adalah juga wilayah Propinsi atau Ibukota Negara. Oleh sebab itu nama dan batas Daerah Tingkat I adalah juga nama dan batas Propinsi atau Ibukota Negara. Sehubungan dengan itu maka ibukota Daerah Tingkat I adalah juga ibukota Propinsi. Pengertian ini berlaku juga untuk Daerah Tingkat II. Pasal 75 Yang dimaksud dengan "sebutan" dalam pasal ini ialah sebutan Wilayah lainnya, yaitu Wilayah- wilayah yang tidak termasuk dalam pasal 74 misalnya Kecamatan dan Kota Administratif. Pasal-pasal 76 sampai dengan 79 Cukup Jelas. Pasal-pasal 80 dan 81 Lihat Penjelasan Umum. Pasal 82 Cukup Jelas. Pasal 83 Yang dimaksud dengan tindakan-tindakan kepolisian adalah pemanggilan sehubungan dengan tindakan pidana yang menyangkut Kepala Wilayah Propinsi/Ibukota Negara, meminta keterangan tentang tindak pidana, penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Pengaturan tatacara tindakan kepolisian terhadap Kepala Wilayah Propinsi/Ibukota Negara memiliki hak kekebalan terhadap tuntutan hukum. Pasal 84 dan 85 Cukup Jelas. Pasal 86 ayat (1) Cukup Jelas. ayat (2) Cukup Jelas. ayat (3) Susunan organisasi dan formasi satuan Polisi Pamong Praja ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah mendengar pertimbangan Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata. Pasal-pasal 87 dan 88 Cukup Jelas. Pasal 89 Pasal ini menentukan, bahwa pokok-pokok susunan organisasi dan hubungan kerja antara perangkat Pemerintah di daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Hal ini dianggap penting, karena pada hakekatnya tugas dan wewenang perangkat Pemerintah di daerah itu sangat erat hubungannya satu dengan yang lain. Dengan adanya peraturan ini, maka dapatlah dihindarkan persentuhan wewenang dan kesimpangsiuran dalam pelaksanaan tugas. Pasal 90 Untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna serta dalam rangka usaha untuk sejauh mungkin menyeragamkan organisasi, maka perlu ditetapkan pola organisasi Pemerintah Daerah dan perangkat Pemerintah yang menyelenggarakan pemerintahan umum di daerah. Pola organisasi ini ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan memperhatikan keadaan Daerah yang berbeda-beda. Pasal 91 dan 92 Cukup Jelas. Pasal 93 Meskipun Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 telah dicabut, akan tetapi sebutan "Daerah Istimewa Aceh" masih tetap berlaku, dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Propinsi Daerah Istimewa Aceh tersebut sama dengan penyelenggaraan pemerintahan di Daerah Tingkat I lainnya, dengan wewenang mengurus urusan rumah tangganya sesuai dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1965 yakni meliputi urusan-urusan pemerintahan sebagai berikut: a. Hal penguburan mayat, b. Hal sumur bor, c. Hal Undang-undang gangguan, d. Hal pembikinan dan penjualan es dan barang cair yang mengandung zat arang. e. Hal penangkapan ikan di pantai, f. Hal perhubungan dan lalu-lintas jalan, g. Hal pengambilan benda-benda tambang tidak disebut dalam pasal 1 "Indische mijnwet" h. Hal kehutanan. Disamping itu dengan berbagai Peraturan Pemerintah telah diserahkan pula urusan-urusan pemerintahan sebagai berikut: a. Pertanian Rakyat - PP. No. 47/1951 jo UU. No. 24/1956 b. Peternakan/Kehewanan - PP. No. 48/1951 jo UU. No. 24/1956 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NOMOR 3037
Silahkan download versi PDF nya sbb:
pokokpokok_pemerintahan_di_daerah_(uu_5_thn_1974)_5.pdf
(ogi/Carapedia)
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)