- Home »
- Undang-Undang »
- 1997 » Undang-Undang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (UU 18 thn 1997)
1997
Undang-Undang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (UU 18 thn 1997)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah :
Silahkan download versi PDF nya sbb:
pajak_daerah_retribusi_daerah_(uu_18_thn_1997)_18.pdf
UU 18/1997, PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
*9801 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU)
NOMOR 18 TAHUN 1997 (18/1997)
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang:
a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, dalam
perkembangannya telah menghasilkan pembangunan yang pesat
dalam kehidupan nasional, yang perlu dilanjutkan dengan
dukungan pemerintah dan seluruh potensi masyarakat, karena
itu menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan
kewajiban kenegaraan yang merupakan sarana peran serta dalam
pembiayaan negara dan pembangunan nasional;
b. bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber
pendapatan daerah yang penting guna membiayai
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah
untuk memantapkan otonomi daerah yang nyata, dinamis,
serasi, dan bertanggung jawab dengan titik berat pada Daerah
Tingkat II;
c. bahwa Undang-undang Nomor 11 Drt. Tahun 1957 tentang
Peraturan umum Pajak Daerah dan Undang-undang Nomor 12 Drt.
Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah serta
peratuan perundang-undangan di bidang perpajakan daerah dan
retribusi daerah yang lama sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keadaan, oleh karena itu perlu diadakan
pembaharuan sistem perpajakan daerah dan retribusi daerah
yang mengarah pada sistem yang sederhana, adil, efektif dan
efisien, yang dapat menggerakkan peran serta masyarakat
dalam pembiayaan pembangunan daerah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, huruf
b, dan huruf c perlu dibentuk Undang-undang tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 23
ayat (2) Undang-undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
BAB I
*9802 KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang
berhak, berwenang, dan berkewajiban mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
2. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah;
3. Kepala Daerah adalah Kepala Daerah Tingkat I atau Kepala
Daerah Tingkat II;
4. Pajabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang
perpajakan daerah dan atau retribusi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
5. Peraturan Daerah adalah peraturan yang ditetapkan oleh
Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah;
6. Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran
wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada
Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat
dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang digunakan untuk membiayai menyelenggarakan
pemerintahan daerah dan pembangunan daerah;
7. Badan adalah suatu bentuk badan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam
bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi,
koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga,
dana pensiun, bentuk usaha tetap serta bentuk badan usaha
lainnya;
8. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat
dikenakan pajak daerah;
9. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah diwajibkan
untuk melakukan pembayaran pajak yang terutang, termasuk
pemungut atau pemotong pajak tertentu;
10. Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan satu
bulan takwin kecuali ditentukan lain;
11. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya satu tahun
takwin kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang
tidak sama dengan tahun takwin;
12. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar oleh
Wajib Pajak pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun
Pajak atau dalam bagian Tahun Pajak menurut peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah;
13. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari
penghimpunan data objek dan subjek pajak atau retribusi,
penentuan besarnya pajak atau retribusi yang terutang sampai
kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada Wajib Pajak
atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya;
14. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang dapat disingkat
SPTPD, adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk
melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang
menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah;
15. Surat Setoran Daerah, yang dapat disingkat SSPD, adalah
surat yang digunakan Wajib Pajak untuk melakukan pembayaran
atau penyetoran pajak yang terutang ke Kas Daerah atau
ketempat lain yang ditetapkan oleh Kepala Daerah;
16. Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang dapat disingkat SKPD,
adalah surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak
yang terutang;
17. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang dapat
disingkat SKPDKB, adalah surat keputusan yang menentukan
besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kredit Pajak,
jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi
administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar;
18. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, yang
dapat disingkat SKPDKBT, adalah surat keputusan yang
menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan;
19. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang dapat
disingkat SKPDLB, adalah surat keputusan yang menentukan
jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit lebih
besar dari pajak yang terutang atau tidak seharusnya
terutang;
20. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, yang dapat disingkat
SKPDN, adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pajak
yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak, atau
pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak;
21. Surat Tagihan Pajak Daerah, yang dapat disingkat STPD,
adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi
administrasi berupa bunga dan atau denda.
22. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk
membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung dan atau
kekeliruan dalam penerapan peraturan perundang-undangan
perpajakan daerah yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak
Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan,
Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Ketetapan
Pajak Daerah Nihil atau Surat Tagihan Pajak Daerah;
23. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas
keberatan terhadap Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat
Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak
Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah
Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil atau tahadap
potongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan
olej Wajib Pajak;
24. Putusan Banding adalah putusan Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang
diajukan oleh Wajib Pajak;
25. Pembukuan adalan suatu proses pencatatan yang dilakukan
secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi yang
meliputi keadaan harta, kewajiban atau utang, modal,
penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan
penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun
laporan keuangan berupa neraca dan perhitungan rugi laba
*9804 pada setiap Tahun Pajak berakhir;
26. Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut retribusi, adalah
pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian
izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh
Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau
badan;
27. Jasa adalah kegiatan Pemerintah Daerah berupa usaha dan
pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas, atau
kemanfaatan lainnya yang dapat dinikmati oleh orang pribadi
atau badan;
28. Jasa Umum adalah yang disediakan atau diberikan oleh
Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan
umur serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan;
29. Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan oleh Pemerintah
Daerah dengan mengatur prinsip komersial karena pada
dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta;
30. Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah
Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau
badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan,
pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan
ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana,
sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan
umum dan menjaga kelestarian lingkungan;
31. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut
peraturan perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk
melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau
pemotong retribusi tertentu;
32. Masa Retribusi adalah suatu jangka waktu tertentu yang
merupakan batas waktu Wajib Retribusi untuk memanfaatkan
jasa dan perizinan tertentu dari Pemerintah Daerah yang
bersangkutan;
33. Surat Setoran Retribusi Daerah, yang dapat disingkat SSRD,
adalah surat yan digunakan oleh Wajib Retribusi untuk
melakukan pembayaran atau penyetoran retribusi yang terutang
ke Kas Daerah atau ke tempat pembayaran lain yang ditetapkan
oleh Kepala Daerah;
34. Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang dapat disingkat SKRD,
adalah surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah
retribusi yang terutang;
35. Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar, yang dapat
disingkat SKRDLB, adalah surat keputusan yang menentukan
jumlah kelebihan pembayaran retribusi karena jumlah kredit
retribusi lebih bayar daripada retribusi yang terutang;
36. Surat Tagihan Retribusi Daerah, yang disingkat STRD, adalah
surat untuk melakukan tagihan retribusi dan atau sanksi
administrasi berupa bunga dan atau denda;
37. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari,
mengumpulkan, dan mengolah data dan atau keterangan lainnya
dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan daerah dan retribusi berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah dan retribusi;
38. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan
retribusi adalah serangkaian tindakan dilakukan oleh
Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya disebut
*9805 penyidik, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan
daerah dan retribusi yang terjadi serta menentukan
tersangkanya.
BAB II
PAJAK
Bagian Pertama
Jenis, Bagi Hasil, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
Pasal 2
(1) Jenis Pajak Daerah Tingkat I terdiri dari:
a. Pajak Kendaraan Bermotor;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
(2) Jenis Pajak Daerah Tingkat II terdiri dari:
a. Pajak Hotel dan Restoran;
b. Pajak Hiburan;
c. Pajak Reklame;
d. Pajak Penerangan Jalan;
e. Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan
C;
f. Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan;
(3) Dengan Peraturan pemerintah dapat ditetapkan jenis pajak
selain yang ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2) yang
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. bersifat sebagai pajak dan bukan retribusi;
b. objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan
dengan kepentingan umum;
c. potensinya memadai;
d. tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;
e. memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat;
f. menjaga keslestarian lingkungan.
(4) Ketentuan tentang objek, subjek, dan dasar pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
(5) Hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
diserahkan kepada Daerah Tingkat II setelah dikurangi 10%
(sepuluh persen) yuntuk Daerah Tingkat I yang bersangkutan.
(6) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 3
(1) Tarif pajak ditetapkan paling tinggi sebesar:
a. Pajak Kendaraan Bermotor 5% (lima persen);
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor 10% (sepuluh persen);
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 5% (lima persen);
d. Pajak Hotel dan Restoran 10% (sepuluh persen);
e. Pajak Hiburan 35% (tiga puluh lima persen);
f. Pajak Reklame 25% (dua puluh lima persen);
g. Pajak Penerangan Jalan 10% (sepuluh persen);
h. Pajak Pengambilan dan Pengelolaan Bahan Galian Golongan
C 20% (dua puluh persen);
*9806 i. Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan 20% (dua puluh persen).
(2) Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
huruf b, dan huruf c ditetapkan seragam di seluruh Indonesia
dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf i ditetapkan
dengan Peraturan Daerah.
(4) Besarnya pajak yang terutang dengan mengalikan tarif pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan dasar pengenaan
pajak.
Bagian Kedua
Peraturan Daerah Tentang Pajak
Pasal 4
(1) Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(2) Peraturan Daerah tentang Pajak tidak dapat berlaku surut.
(3) Peraturan Daerah tentang Pajak sekurang-kurangnya mengatur
ketentuan mengenai:
a. nama, objek dan subjek pajak;
b. dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;
c. wilayah pemungutan;
d. masa pajak;
e. penetapan;
f. tata cara pembayaran dan penagihan;
g. kedaluarsa;
h. sanksi administrasi;
i. tanggal mulai berlakunya.
(4) Peraturan Daerah tentang Pajak dapat mengatur ketentuan
mengenai:
a. pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam
hal-hal tertentu atas pokok pajak dan atau sanksinya;
b. tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluarsa;
c. asas timbal balik.
Pasal 5
(1) Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan
mengesahkan, menolak untuk mengesahkan, atau meminta
penyempurnaan terlebih dahulu Peraturan Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
(2) Pengesahan, penolakan untuk pengesahan, atau permintaan
untuk penyempurnaan terlebih dahulu Peraturan Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka
waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak diterimanya Peraturan
Daerah dimaksud.
(3) Jangka Waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) hanya dapat diperpanjang 3 (tiga) bulan lagi, dengan
memberitahukan kepada Pemerintah Daerah yang bersangkutan
sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berakhir.
(4) Apabila setelah jangka waktu 6 (enam) bulan sejak
diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) atau jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) telah lewat, menteri Dalam Negeri tidak mengambil
keputusan, Peraturan Daerah tersebut dianggap telah
disahkan, berlaku, dan dapat dilaksanakan.
(5) Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan
dapat membatalkan atau meminta untuk menyempurnakan
Peraturan Daerah yang telah atau dianggap telah disahkan
apabila Peraturan Daerah tersebut di kemudian hari ternyata
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi;
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengesahan, penolakan untuk
pengesahan, permintaan untuk penyempurnaan, dan pembatalan
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat
(4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan pemerintah.
Bagian Ketiga
Tata Cara Pemungutan
Pasal 6
Pemungutan pajak tidak diborongkan.
Pasal 7
(1) Pajak dipungut berdasarkan penentapan Kepala Daerah atau
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak.
(2) Wajib Pajak memenuhi kewajiban pajak yang dipungut dengan
menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah atau dokumen lain
yang dipersamakan.
(3) Wajib Pajak memenuhi kewajiban pajak yang dibayar sendiri
dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, Surat
Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar dan atau Surat Ketetapan
Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan.
(4) Terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) dapat diterbitkan Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat
keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan
Banding sebagai dasar pemungutan dan penyetoran pajak.
Pasal 8
(1) Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah atau
Dokumen lain yang dipersamakan, Surat Tagihan Pajak Daerah,
Surat Keputusan Pembetulan, dan Surat Keputusan Keberatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dan ayat (4)
diatur dengan Keputusan Kepala Daerah.
(2) Tata cara pengisian dan penyampaian Surat Pemberitahuan
Pajak Daerah, penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang
Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar
Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) diatur
dengan keputusan Kepala Daerah.
Pasal 9
(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat
*9808
terutangnya pajak, Kepala Daerah dapat menerbitkan:
a. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar dalam hal:
1) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau
keterangan lain, pajak yang terutang tidak atau kurang
bayar;
2) apabila Surat Pemberitahuan Pajak Daerah tidak
disampaikan kepada kepala Daerah dalam jangka waktu tertentu
dan telah ditegur secara tertulis;
3) apabila kewajiban mengisi Surat Pemberitahuan
Pajak Daerah tidak dipenuhi, pajak yang terutang secara
jabatan.
b. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan
apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum
terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang
terutang.
c. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil apabila jumlah pajak
yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau
pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan
Daerah Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a angka 1) dan angka 2) dikenakan sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebelum dihitung dari
pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dirhitung sejak saat
terutangnya pajak.
(3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Keputusan
Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah
kekurangan pajak tersebut.
(4) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan
apabila Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan
tindakan pemeriksaan.
(5) Jumlah pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak
Daerah kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a angka 3) dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak
ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua
persen) sebelum dihitung dari pajak yang kurang atau
terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua
puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
Pasal 10
(1) Kepala Daerah dapat memberikan Surat Tagihan Pajak Daerah
apabila:
a. pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang bayar;
b. dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan Pajak Daerah
terdapatkekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis dan
atau salah hitung;
c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga
dan atau denda.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat
Tagihan Pajak Daerah sebgaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dan huruf b ditambah dengan sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama
15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya pajak.
(3) Surat Ketetapan Pajak Daerah yang tidak atau kurang dibayar
setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, dan ditagih
melalui Surat Tagihan Pajak Daerah.
Bagian Keempat
Tata Cara Pembayaran dan Penagihan
Pasal 11
(1) Kepala Daerah menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan
penyetoran pajak yang terutang paling lama 30 (tiga puluh)
hari setelah saat terutangnya pajak.
(2) Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah
Kurang Bayar Tambahan, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan
Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1
(satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
(3) Kepala Daerah atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi
persyaratan yang ditentukan dapat memberikan persetujuan
kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran
pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen)
sebulan.
(4) Tata Cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran pajak
diatur dengan keputusan Kepala Daerah.
Pasal 12
(1) Pajak yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak
Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Taguhan
Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang bayar
dengan Surat Paksa.
(2) Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kelima
Keberatan dan Banding
Pasal 13
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Kepala
Daerah atau pejabat yang ditunjuk atas suatu:
a. Surat Ketetapan Pajak Daerah;
b. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar;
c. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan;
d. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar;
*9810 e. Surat ketetapan Pajak Daerah Nihil;
f. potongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang berlaku.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
(3) Dalam Wajib Pajak mengajukan keberatan atas ketetapan pajak
secara secara jabatan, Wajib Pajak harus dapat membuktikan
ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.
(4) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3
(tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau
pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali
apabila Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu itu
tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(5) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dianggap sebagai
Surat Keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.
(6) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak
dan pelaksanaan penagihan pajak sesuai ketentuan yang
berlaku.
Pasal 14
(1) Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas)
bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi
keputusan atas keberatan yang diajukan.
(2) Keputusan Kepala Daerah atas keberatan dapat berupa menerima
seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya
pajak yang terutang.
(3) Apabila jangka waktu sebagimana dimaksud pada ayat (1) telah
lewat dan Kepala Daerah tidak memberi suatu keputusan,
keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
Pasal 15
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada
Badan Penyelesaian Sengketa Pajak terhadap keputusan
mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Kepala Daerah.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang
jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan
diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan tersebut.
(3) Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban
membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
Pasal 16
Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan
sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan
dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan
untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Bagian Keenam
Pembetulan, Pembatalan , Pengurangan Ketetapan,
*9811 dan Penghapusan atau Pengurangan Sanksi Aministrasi
Pasal 17
(1) Kepala Daerah karena jabatan atau atas permohonan Wajib
Pajak dapat membetulkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang
Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar
Tambahan atau Surat Tagihan Pajak Daerah yang dalam
penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung dan
atau kekeliruan dalam penerapan peraturan perundang-undangan
perpajakan daerah.
(2) Kepala Daerah dapat:
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi
berupa bunga, denda, dan kenaikan pajak yang terutang
menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah,
dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib
Pajak atau bukan karena kesalahannya;
b. mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang
tidak benar.
(3) Tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi
dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Kepala
Daerah.
BAB III
RETRIBUSI
Bagian Pertama
Objek dan Golongan Retribusi
Pasal 18
(1) Objek retribusi terdiri dari:
a. Jasa Umum;
b. Jasa Usaha;
c. Perizinan Tertentu.
(2) Retribusi dibagi atas tiga golongan:
a. Retribusi Jasa Umum;
b. Retribusi Jasa Usaha;
c. Retribusi Perizinan Tertentu.
(3) Jenis-jenis retribusi yang termasuk golongan Retribusi Jasa
Umum, Retribusi Jasa Usaha dan Retribusi Perizinan Tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Jasa yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Daerah bukan
merupakan objek retribusi.
Bagian Kedua
Cara Penghitungan Retribusi
Pasal 20
Besarnya retribusi yang terutang dihitung berdasarkan:
a. Tingkat penggunaan jasa;
b. Tarif retribusi.
Pasal 21
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif ditentukan sebagai
berikut:
a. Untuk Retribusi Jasa Umum, ditetapkan berdasarkan
kebijaksanaan Daerah dengan mempertimbangan biaya penyediaan
jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, dan aspek
keadilan;
b. untuk Retribusi Jasa Usaha, berdasarkan pada tujuan untuk
memperoleh keuntungan yang layak;
c. untuk Retribusi Perizinan Tertentu, didasarkan pada tujuan
untuk menutup sebagian atau sama dengan biaya
penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
Pasal 22
Cara perhitungan besarnya retribusi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 serta prinsip dan sasaran penetapan tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
Tarif retribusi ditinjau kembali secara berkala dengan
memperhatikan prinsip dan sasaran penetapan tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21.
Bagian Ketiga
Perturan Daerah tentang Retribusi
Pasal 24
(1) Retribusi ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(2) Peraturan Daerah tentang Retribusi tidak dapat berlaku
surut.
(3) Peraturan Daerah tentang Retribusi sekurang-kurangnya
mengatur ketentuan mengenai:
a. nama, objek, dan subjek retribusi;
b. golongan retribusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 18
ayat (2);
c. cara mengukur tingkat penggunaan jasa yang
bersangkutan.
d. prinsip yang dianut dalam penetapan struktur dan
besarnya tarif retribusi;
e. struktur dan besarnya tarif retribusi;
f. wilayah pemungutan;
g. tata cara pemungutan;
h. sanksi administrasi;
i. tata cara penagihan;
j. tanggal mulai berlakunya.
(4) Peraturan Daerah tentang Retribusi dapat mengatur ketentuan
*9813 mengenai:
a. masa retribusi;
b. pemberian keringanan, pengurangan, dan pembebasan dalam
hal-hal tertentu atas pokok retribusi dan atau sanksinya;
c. tata cara penghapusan piutang retribusi yang
kedaluarsa.
Pasal 25
(1) Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan
mengesahkan, menolak untuk mengesahkan, atau meminta
penyempurnaan terlebih dahulu Peraturan Daerah sebagaimana
dimaksud dalam pasal 24 ayat (1).
(2) Pengesahan, penolakan untuk pengesahan, atau permintaan
untuk penyempurnaan terlebih dahulu Peraturan Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka
waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak diterimanya Peraturan
Daerah dimaksud.
(3) Jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) hanya dapat diperpanjang 3 (tiga) bulan lagi, dengan
memberitahukan kepada Pemerintah Daerah yang bersangkutan
sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berakhir.
(4) Apabila setelah jangka waktu 6 (enam) bulan sejak
diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) atau jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) telah lewat, Menteri Dalam Negeri tidak mengambil
keputusan, Peraturan daerah tersebut dianggap telah
disahkan, berlaku, dan dapat dilaksanakan.
(5) Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri keuangan
dapat membatalkan atau meminta untuk menyempurnakan
Peraturan daerah yang telah atau dianggap telah disahkan
apabila Peraturan Daerah tersebut di kemudian hari ternyata
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengesahan, penolakan untuk
pengesahan, permintaan untuk penyempurnaan, dan pembatalan
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat
(4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Tata Cara Pemungutan
Pasal 26
Pemungutan retribusi tidak dapat diborongkan.
Pasal 27
(1) Retribusi dipungut dengan menggunakan Surat Ketetapan
Retribusi Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan.
(2) Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada
waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi administrasi
*9814 berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap
bulan dari retribusi yang terutang yang tidak atau kurang
dibayar dan ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan
Retribusi Daerah.
Bagian Kelima
Keberatan
Pasal 28
(1) Wajib Retribusi tertentu dapat mengajukan keberatan hanya
kepada Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atas Surat
Ketetapan Retribusi Daerah atau dokumen lain yang
dipersamakan.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 2
(dua) bulan sejak tanggal Surat Ketetapan Retribusi Daerah
diterbitkan, kecuali apabila Wajib Retribusi tertentu dapat
menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi
karena keadaan di luar kekuasaannya.
(4) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar
retribusi dan pelaksanaan penagihan retribusi;
Pasal 29
(1) Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan
sejak tanggal Surat keberatan diterima harus memberi
keputusan atas keberatan yang diajukan.
(2) Keputusan Kepala Daerah atas keberatan dapat berupa menerima
seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya
retribusi yang terutang.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
telah lewat dan Kepala Daerah tidak memberi suatu keputusan,
keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
BAB IV
PENGAMBILAN KELEBIHAN PEMBAYARAN
Pasal 30
(1) Atas kelebihan pembayaran pajak atau retribusi, Wajib Pajak
atau Wajib Retribusi dapat mengajukan permohonan
pengembalian kepada Kepala Daerah.
(2) Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas)
bulan sejak diterimanya permohonan kelebihan pembayaran
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan
keputusan.
(3) Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 6(enam) bulan
sejak diterimanya permohonan kelebihan pembayaran retribusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan
keputusan.
(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) telah dilampaui dan Kepala Daerah tidak memberikan
suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran pajak
*9815 atau retribusi dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan
Pajak Daerah Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Retribusi
Daerah Lebih Bayar harus diterbitkan dalam jangka waktu
paling lama 1 (satu) bulan.
(5) Apabila Wajib Pajak atau Wajib Retribusi mempunyai utang
pajak atau utang retribusi lainnya, kelebihan pembayaran
pajak atau retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
langsung diperhitungakan untuk melunasi terlebih dahulu
utang pajak atau utang retribusi tersebut.
(6) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau retribusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka
waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya Surat
ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar atau Surat Ketetapan
Retribusi Daerah Lebih Bayar.
(7) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau
retribusi dilakukan setelah lewat jangka waktu 2 (dua)
bulan, Kepala Daerah memberikan imbalan bunga sebesar 2%
(dua persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan
pembayaran pajak atau retribusi.
(8) Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau
retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (10 diatur dengan
Peraturan Daerah.
BAB V
KEDALUARSA PENAGIHAN
Pasal 31
(1) Hak untuk melakukan penagihan pajak, kedaluwarsa setelah
melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat
terurangnya pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan
tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
(2) Kedaluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tertangguh apabila:
a. diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa, atau;
b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik
langsung maupun tidak langsung.
Pasal 32
(1) Hak untuk melakukan penagihan retribusi, kedaluwarsa setelah
melampaui jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat
terutangnya retribusi, kecuali apabila Wajib Retribusi
melakukan tindak pidana di bidang retribusi melakukan tindak
pidana di bidang retribusi.
(2) Kedaluwarsa penagihan retribusi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tertangguh apabila:
a. diterbitkan Surat Teguran, atau;
b. ada pengakuan utang retribusi dari Wajib Retribusi baik
langsung maupun tidak langsung.
Pasal 33
Pedoman tata cara penghapusan piutang pajak dan retribusi yang
kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PEMBUKUAN PEMERIKSAAN
Pasal 34
(1) Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu wajib
menyelenggarakan pembukuan.
(2) Kriteria Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
tata cara pembukuan diatur oleh Menteri Dalam Negeri.
Pasal 35
(1) Kepala Daerah berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan
kewajiban retribusi dalam rangka melaksanakan peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah dan retribusi.
(2) Wajib Pajak atau Wajib Retribusi yang diperiksa wajib:
a. memperlihatkan dan atau meminjamkan buku catatan,
dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang
berhubungan dengan objek pajak atau objek retribusi yang
terutang;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau
ruangan yang dianggap perlu dan memberi bantuan guna
kelancaran pemeriksaan;
c. memberikan keterangan yang diperlukan.
(3) Tata cara pemeriksaan pajak dan retribusi diatur oleh
Menteri Dalam Negeri.
BAB VII
KETENTUAN KHUSUS
Pasal 36
(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain
yang tidak berhak, segala sesuatu yang diketahui atau
diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka
jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan peraturan
perundang-udangan perpajakan daerah, kecuali sebagai saksi
atau saksi ahli dalam sidang pengadilan.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga
terhadap ahli-ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah untuk
membantu dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan
perpajakan daerah, kecuali sebagai saksi ahli dalam sidang
pengadilan.
(3) Untuk kepentingan Daerah, Kepala Daerah berwenang memberi
izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan tenaga-tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), supaya memberikan keterangan, memperlihatkan bukti
tertulis dari atau tentang Wajib pajak kepada pihak yang
ditunjuknya.
(4) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara
pidana atau perdata atas permintaan hakim sesuai dengan
*9817 Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Kepala
Daerah dapat memberi izin tertulis untuk meminta kepada
pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bukti tertulis dan
keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
(5) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus
menyebutkan nama terdakwa atau nama tergugat,
keterangan-keterangan yang diminta serta kaitan antara
perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan dengan
keterangan yang diminta tersebut.
BAB VIII
KETETUAN PIDANA
Pasal 37
(1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat
Pemberitahuan Pajak Daerah atau mengisi dengan tidak benar
atau tidak langkap atau melampirkan keterangan yang tidak
benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau
denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak yang terutang.
(2) Wajib yang dengan sengaja tidak menyampaikan Surat
Pemberitahuan Pajak Daerah atau mengisi dengan tidak benar
sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidna kurungan
paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak 2
(dua) kali jumlah yang terutang.
Pasal 38
Tindak pidana di bidang perpajakan daerah tidak dituntut setelah
melampaui jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak saat terutangnya
pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau berakhirnya Bagian Tahun
Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
Pasal 39
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga
merugikan keuangan daerah diancam pidana kurungan paling lama 6
(enam) bulan atau denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah
retribusi yang terutang.
Pasal 40
(1) Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban
merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat
(1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp.
2.000.000,00 (dua juta rupuah).
(2) Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau
seorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2),
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (20 hanya dilakukan atas pengaduan
orang yang kerahasiaannya dilanggar.
(4) Besarnya denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dapat ditinjau kembali dengan Peraturan
pemerintah.
Pasal 41
Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 40
ayat (1) dan ayat (2) merupakan penerimaan negara.
BAB IX
PENYIDIKAN
Pasal 42
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan
Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidikan
untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan daerah atau retribusi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
(2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti
keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di
bidang perpajakan daerah dan retribusi agar keterangan atau
laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai
orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang
dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan daerah
dan retribusi;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi
atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan daerah dan retribusi;
d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan
dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di
bidang perpajakan daerah dan retribusi;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti
pembukuan, pencatatan, dan dokumen dokumen lain, serta
melakukan penyitaan terhadap barang bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan
tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah
dan retribusi;
g. menyuruh berhenti melarang seseorang meninggalkan
ruangan atau tempat rapat pada saat pemeriksaan sedang
berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen
yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana
perpajakan daerah dan retribusi;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan
diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan;
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran
*9819 penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah
dan retribusi menurut hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan;
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan
dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya
kepada Penuntut Umum, sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 43
(1) Peraturan Daerah tentang Pajak yang telah ada dan yang
terkait dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan
Daerah tentang Retribusi yang telah ada dan terkait dengan
pasal 18 ayat (3), masih tetap berlaku sebelum berlakunnya
Peraturan Daerah yang baru berdasarkan Undang-undang ini.
(2) Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sepanjang yang terkait dengan Pasal 2
ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 18 ayat (2) huruf c yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (3) dinyatakan berlaku paling lama 3
(tiga) tahun sejak berlakunya Undang-undang ini.
(3) Peraturan Daerah tentang Retribusi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sepanjang yang terkait dengan Pasal 18 ayat (2)
huruf a dan huruf b dan yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3)
dinyatakan berlaku paling lama 5 (lima) tahun sejak
berlakunya Undang-undang ini.
(4) Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan tetap berlaku
selama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undnag-undang ini.
Pasal 44
Pajak dan retribusi yang masih terutang berdasarkan Peraturan
Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) dan ayat (3)
sepanjang tidak diatur dalam Peraturan Daerah yang bersangkutan
masih dapat ditagih dalam jangka waktu selama 5 (lima) tahun
terhitung sejak saat terutang.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 45
Dengan berlakunya Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku :
1. Ordinansi Pajak Kendaraan Bermotor 1934 (Staatsblad Tahun
1934 Nomor 718 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad
Tahun 1939 Nomor 226 dan Staatsblad Tahun 1949 Nomor 376,
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 8 Tahun
*9820 1959 dalam Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 101,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1857);
2. Ordonansi Pajak Potong 1936 (Staasblad Tahun 1936 Nomor 671)
sebagaimana telah ditambahkan dan diubah, terakhir dengan
Staatsblad Tahun 1949 Nomor 317;
3. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1947 tentang Pajak Radio
sebagaimana telah ditambah dan diubah, terakhir dengan
Undang-undang Nomor 27 Drt. Tahun 1957 (Lembaran Negara
Tahun 1957 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Tahun 1959
1402);
4. Undang-undang Nomor 14 tahun 1947 tentang Pajak Pembangunan
I sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Undang-undang
Nomor 27 Drt. Tahun 1957 (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor
84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1402);
5. Pasal 3 ayat (1) huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h
Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan
Keuangan antara Negara dan Daerah-Derah yang berhak Mengurus
Rumah Tangganya Sendiri (Lembaran Nagara Tahun 1956 Nomor
77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1442);
6. Undang-undang Nomor 11 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan
Umum Pajak Daerah (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 56,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1287);
7. Undang-undang Nomor 12 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan
Umum Retribusi Daerah (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1288);
8. Undang-undang Nomor 74 tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing
(Lembaran Nagara Tahun 1958 Nomor 128, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 1345) sebagaimana telah diubah dan ditambah
dengan Undang-undang Nomor 87 Tahun 1958 (Lembaran Negara
Tahun 1958 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1692);
9. Undang-undng Nomor 27 Prp. Tahun 1959 tentang Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 144,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 911);
10. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1968 tentang Penyerahan
Pajak-Pajak Negara, bea balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak
Bangsa Asing dan Pajak Radio Kepada Daerah (Lembaran Nagara
Tahun 1968 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2861);
Pasal 46
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundanga
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 23 Mei 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Mei 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MOERDIONO
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 21997
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
UMUM
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 yang menempatkan perpajakan
sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan, dalam
penjelasan Pasal 23 ayat (2) ditegaskan bahwa penetapan belanja
mengenai hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, maka
segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat, seperti
pajak dan lain-lainnya, harus ditetapkan dengan undang-undang,
yaitu dengan persetujuan Dewan Perwakilan rakyat, oleh karena itu
pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah harus didasarkan
pada Undang-undang.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, pajak dan retribusi merupakan
sumber pendapatan derah agar Daerah dapat melaksanakan
Otonominya, yaitu mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri, di samping penerimaan yang berasal dari Pemerintah
berupa subsidi/bantuan dan bagi hasil pajak bukan pajak. Sumber
pendapatan daerah tersebut diharapkan menjadi sumber pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk
meningkatkan dan meratakan kesejahteraan masyarakat. Sejalan
degan tujuan yang ingin dicapai dengan pembentukan Undang-undang
ini, maka Undang-undang ini menetapkan ketentuan-ketentuan pokok
yang memberikan pedoman kebijaksanaan dan arahan bagi Daerah
dalam pelaksanaan pemungutan pajak dan retribusi, sekaligus
menetapkan pengaturan yang cukup rinci untuk menjamin penerapan
prosedur umum perpajakan daerah dan retribusi.
Undang-undang Nomor 11 Drt. Tahun 1957 tentang Peeraturan Umum
Pajak Daerah yang selama ini berlaku trelah menyebabkan Daerah
berpeluang untuk memungut banyak jenis pajak, beberapa
diantaranya mempunyai biaya administrasi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan hasilnya dan atau hasilnya tidak memadai. Di
samping itu, terdapat beberapa jenis pajak yang tidak memadai
untuk dipungut Daerah karena tumpang tindih dengan pajak lain
dalam arti terdapat pajak lain untuk jenis objek yang sama,
menghambat efisiensi alokasi sumber elonomi, bersifat tidak adil,
atau tidak benar-benar bersifat pajak, tetapi bersifat retribusi.
Pungutan retribusi yang berkembang selama ini didasarkan
pada Undang-undang Nomor 12 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan
Umum Retribusi Daerah menunjukkan beberapa kelemahan, seperti :
a. hasilnya kurang memadai jika dibandingkan dengan biaya
penyediaan jasa oleh Daerah;
b. biaya pemungutannya relatif tinggi;
c. kurang kuatnya prinsip dasar retribusi terutama dalam hal
pengenaan, penetapan, struktur, dan besarnya tarif;
d. adanya beberapa jenis retribusi yang ada hakekatnya bersifat
pajak karena pemungutannya tidak dikaitkan secara langsung
dengan pelayanan pemerintah daerah kepada pembayaran
retribusi;
e. adanya jenis retribusi perizinan yang tidak efektif dalam
usaha untuk melindungi kepentingan umum dan kelestarian
lingkungan;
f. adanya jenis retribusi yang mempunyai dasar pengenaan atau
objek yang sama.
Untuk itu, jenis-jenis perlu diklasifikasikan dengan kriteria
tertentu, agar memudahkan penerapan prinsip dasar retribusi
sehingga mencerminkan hubungan yang jelas antara tarif retribusi
dengan pelayanan yang diberikan Pemerintah Daerah.
Dewasa ini besarnya penerimaan Daerah Tingkat I yang berasal dari
pajak dan retribusi cukup memadai, sedangkan penerimaan Daerah
Tingkat II dari pajak dan retribusi masih relatif kecil. Keadaan
ini kurang mendukung perkembangan otonomi daerah yang nyata dan
bertanggung jawab dengan titik berat pada Daerah Tingkat II. Oleh
karena itu, perlu usaha peningkatan penerimaan daerah yang
berasal dari sumber pajak dan retribusi yang potensial dan yang
mencerminkan kegiatan ekonomi daerah. Sebagai salah satu upaya
dalam meningkatkan penerimaan Daerah Tingkat II tersebut,
diperkenalkan adanya jenis pajak baru, yaitu Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor yang dibagihasilkan dengan Daerah Tingkat I
dengan imbangan sebagian besar untuk Daerah Tingkat II. Pajak ini
dinggap sangat baik ditinjau dari segi potensinya karena komsumsi
bahan bakar keandaraan bermotor cukup besar dan setiap tahun
selalu meningkat. Konsumsi bahan bakar kendaraan bermotor
tersebut mencerminkan kegiatan ekonomi daerah dan erat kaitannya
dengan produk domestik regional bruto, pembangunan dan
pemeliharaan jalan sehubungan dengan banyaknya kendaraan bermotor
pengguna jalan.
Dalam rangka menata kembali beberapa jenis retribusi yang ada
hakekatnya bersifat pajak serta untuk lebih memberi perhatian
pada pelestarian lingkungan, maka dalam Undang-undang ini
Retribusi Pengambilan Pengolahan Bahan Galian Golongan C dan
Retribusi Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan dinyatakan masing-masing menjadi Pajak Pengambiln dan
Pengelolaan Bahan Galian Golongan C dan Pajak Pemanfaatan Air
Bawah Tanah dan Air Permukaan. Kedua jenis pajak tersebut
merupakan pajak Daerah Tingkat II, dengan pertimbangan untuk
lebih memperkuat upaya peningkatan penerimaan Daerah Tingkat II
dan mendukung perkembangan otonomi daerah yang nyata dan *9823
bertanggung jawab dengan titik berat pada Daerah Tingkat II.
Dewasa ini pengatministrasian beberapa jenis pajak dan retribusi
belum dilakukan dengan baik sehingga realisasi penerimaannya
lebih kecil dari yang semestinya. Dalam Undang-undang ini usaha
perbaikan administrasi guna peningkatan efektivitas dan efisiensi
pemungutan dalam rangka peningkatan penerimaan daerah cukup
mendapat perhatian.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, Undang-undang ini
bertujuan untuk menyederhanakan dan memperbaiki jenis dan
struktur perpajakan daerah, meningkatkan pendapatan daerah,
memperbaiki sistem administrasi perpajakan daerah dan retribusi
sejalan dengan sistem administrasi perpajakan nasional,
mengklasifikasikan retribusi, dan menyederhanakan tarif pajak dan
retibusi.
Dalam rangka penyederhanaan jenis pajak dan retribusi,
Undang-undang ini memantapkan jenis-jenis pajak dan retribusi
yang dapat dipungut Daerah. Penyederhanaan tersebut diharapkan
dapat meningkatkan penerimaan daerah dari sumber pajak dan
retribusi, mengingat penetapan pajak dan retribusi yang dapat
dipungut Daerah berdasarkan Undang-undang ini didasarkan, antara
lain, pada potensinya yang cukup besar. Dengan penyederhanaan
ini, sekaligus Daerah diharapkan mampu menutup hilangnya
penerimaan yang berasal dari pajak dan retribusi yang kurang
potensial, tetapi saat ini masih dipungut oleh Daerah. Oleh
karena itu Pemerintah Daerah diharapkan untuk menitikberatkan
perhatiannya pada jenis-jenis pajak dan retribusi yang potensinya
besar.
Pajak daerah dan pajak nasional merupakan satu sistem perpajakan
Indonesia, yang pada dasarnya merupakan beban masyarakat sehingga
perlu dijaga agar kebijaksanaan perpajakan tersebut dapat
memberikan beban yang adil. Sejalan dengan perpajakan nasional,
maka pembinaan pajak daerah harus dilakukan secara terpadu dengan
pajak nasional. Pembinaan ini harus dilakukan secara
terus-menerus, terutama mengenai objek dan tarif pajaknya supaya
antara pajak pusat dan pajak daerah tersebut saling melengkapi.
Dalam sistem dan struktur perpajakan daerah dan retribusi yang
lama, dasar hukum pemungutanya diatur dalam berbagai
undang-undang/ordonansi, antara lain:
a. Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor 1934;
b. Ordonansi Pajak Potong 1936;
c. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1947 tentang Pajak Radio;
d. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1947 tentang Pajak Pembangunan
I;
e. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan
Keuangan antara Negara dan Daerah-Daerah yang Berhak
Mengurus Rumah Tangganya sendiri;
f. Undang-undang Nomor 11 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan
Umum Pajak Daerah;
g. Undang-undang Nomor 12 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan
*9824 Umum Retribusi Daerah;
h. Undang-undang Nomor 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa
Asing;
i. Undang-undang Nomor 27 Prp. Tahun 1959 tentang Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor;
j. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1968 tentang Penyerahan
Pajak-Pajak Negara, Bea Balik Nama Kendaraan bermotor, Pajak
Bangsa Asing, dan Pajak Radio kepada Daerah.
Peraturan perundang-undangan yang lama tersebut didasarkan pada
situasi dan kondisi pada waktu itu yang sudah sangat berbeda
dengan keadaan sekarang, dengan kemajuan di berbagai bidang dan
lebih-lebih bagi peraturan perundang-undangan tersebut tidak
mungkin dapat menampung maupun mengantisipasi perkembangan sosial
dan ekonomi masyarakat pada masa yang akan datang.
Penyederhanaan ini juga dimaksudkan untuk mempermudah masyarakat
memahami dan mematuhi peraturan perundang-undangan sehingga pada
akhirnya tumbuh kesadaran untuk memenuhi kewajiban perpajakan dan
retribusi.
Dalam pembentukan Undang-undang tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah ini, diperhatikan, diacu, dan dikaitkan dengan
undang-undang lainnya, yaitu:
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3209);
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran
Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3566);;
3. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 40,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3684);
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Pasal ini memuat pengertian istilah yang dipergunakan dalam
Undang-undang ini. Dengan adanya pengertian tentang istilah
tersebut dimaksudkan untuk mencegah timbulnya salah tafsir
dan salah pengertian dalam memahami da melaksanakan
pasal-pasal yang bersangkutan sehingga baik Wajib Pajak
maupun Wajib Retribusi dan aparatur dalam menjalankan hak
dan kewajibannya dapat berjalan dengan lancar dan akhirnya
dapat dicapai tertib administrasi. Pengertian ini diperlukan
karena istilah-istilah tersebut mengandung pengertian yang
baku dan teknis dalam bidang perpajakan daerah dan
retribusi.
Pasal 2
*9825 Ayat (1)
Jenis-jenis pajak Daerah Tingkat I ditetapkan sebanyak
3 (tiga) jenis pajak, Walaupun demikian Daerah Tingkat I
dapat tidak memungut salah satua atau beberapa jenis pajak
yang dapat ditetapkan bagi Daerah Tingkat I tersebut,
apabila potensi pajak di daerah tersebut dipandangkurang
memadai. Khusus untuk daerah yang setingkat dengan Daerah
Tingkat I tetapi tidak terbagi dalam Daerah Tingkat II,
seperti Daerah Khusus Ibukota Jakarta, maka jenis pajak yang
dapat dipungut merupakan gabungan dari pajak untuk Daerah
Tingkat I dan pajak untuk Daerah Tingkat II.
Huruf a
Pajak Kendaraan bermotor adalah pajak atas kepemilikan
dan atau penguasaan kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor
adalah semua kendaraan beroda dua atau lebih beserta
gandengannya yang digunakan di jalan umum, dan digerakkan
oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya
yang berfungsi untuk mengubah suatu kendaraan bermotor yang
bersangkutan, tidak termasuk alat-alat besar.
huruf b
Bea Balik Nama Kendaraan bermotor adalah pajak atas
penyerahak hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat
perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan
yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah,
warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
Huruf c
Pajak Bahan Bakar kendaraan bermotor adalah pajak atas
bahan bakar yang disediakan atau dianggap digunakan untuk
kendaraan bermotor.
Ayat (2)
Jenis-jenis Daerah Tingkat II ditetapkan sebanyak 6
(enam) jenis paja. Walaupun demikian Daerah Tingkat II dapat
tidak memungut salah satu atau beberapa jenis pajak yang
telah ditetepkan bagi Daerah Tingkat II tersebut, apabila
potensi pajak di daerah tersebut dipandang kurang memadai.
Huruf a
Pajak Hotel dan Restoran adalah pajak atas pelayanan
hotel dan restoran.
Hotel adalah bangunan yang khusus disediakan bagi orang
untuk dapat menginap/istirahat, memperoleh pelayanan, dan
atau fasilitas lainnya dengan dipungut bayaran, termasuk
bangunan lainnya yang menyatu, dikelola dan dimiliki oleh
pihak yang sama, kecuali untuk pertokoan dan perkantoran.
Restoran atau rumah makan adalah tempat menyantap
makanan dan atau minuman yang disediakan dengan dipungut
bayaran, tidak termasuk usaha jasa boga atau katering.
Huruf b
Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan
hiburan.
Hiburan adalah semua jenis pertunjukan,
*9826
permainan, dan atau keramarin dengan nama dan bentuk apapun,
yang ditonton atau dinikmati oleh setiap orang dengan
dipungut bayaran, tidak termasuk penggunaan fasilitas untuk
berolah raga.
Huruf c
Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan
reklame.
Reklame adalam benda, alat, perbuatan atau media yang
menurut bentuk susunan dan corak ragamnya untuk tujuan
komersial, dipergunakan untuk memperkenalkan menganjurkan
atau memujikan suatu barang, jasa atau orang, ataupun untuk
menarik perhatian umum kepada suatu barang, jasa atau orang
yang ditempatkan atau dapat dilihat, dibaca, dan atau
didengar dari suatu tempat oleh umum, kecuali yang dilakukan
oleh Pemerintah.
Huruf d
Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan
tenaga listrik, dengan ketentuan bahwa daerah tersebut
tersedia penerangan jalan, yang rekeningnya dibayar oleh
Pemerintah Daerah.
Huruf e
Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan
C adalah pajak atas kegiatan eksploitasi bahan galian
golongan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Huruf f
Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan
adalah pajak atas pengambilan air bawah tanah dan atau air
permukaan untuk digunakan bagi orang pribadi atau badan,
kecuali untuk keperluan dasar rumah tangga dan pertanian
rakyat.
Air bawah tanah adalah air yang ada di perut bumi,
termasuk mata air yang muncul secara alamiah di atas
permukaan tanah. Air permukaan adalah air yang berada di
atas permukaan bumi, tidak termasuk air laut.
Oleh karena sumber daya air bawah tanah dan air
permukaan dikelola berdasarkan atas wilayah yang biasanya
meliputi beberapa Daerah Tingkat II, maka baik Pemerintah
Daerah Tingkat I maupun Pemerintah Pusat tetap berwenang
mengatur koordinasi pengelolaannya, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3)
Undang-undang ini menetapkan jenis-jenis pajak
sebagaimana yang ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2) dan
menetapkan kriteria-kriteria untuk jenis pajak selain yang
ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2). Ayat (3) ini
dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan perekonomian
daerah di masa mendatang yang mengakibatkan pergeseran
potensi pajak dengan tetap memperhatikan kesederhanaan jenis
pajak dan aspirasi daerah. Jenis pajak baru yang ditetapkan
dengan *9827 Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud
pada ayat ini dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam rangka
pelaksanaan otonomi daerah.
Huruf a
Yang dimaksud dengan kriteria bersifat pajak dan bukan
retribusi adalah bahwa pajak yang ditetapkan harus sesuai
dengan pengertian pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 6.
Huruf b
Yang dimaksud dengan kriteria objek dan dasar pengenaan
pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum berarti
pajak tersebut dimaksudkan untuk kepentingan bersama yang
lebih luas antara pemerintah dan masyarakat dengan
memperhatikan aspek ketenteraman, dan kestabilan politik,
ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan kriteria potensinya memadai
berarti bahwa hasil pajak cukup besar sebagai salah satu
sumber pendapatan daerah dan laju pertumbuhannya
diperkirakan sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi daerah.
Huruf d
Yang dimaksud dengan kriteria tidak memberikan dampak
ekonomi yang negatif berarti pajak tidak mengganggu alokasi
sumber-sumber ekonomi secara efisien dan tidak merintangi
arus sumber daya ekonomi antar daerah maupun kegiatan
ekspor-impor.
Hurut e
Yang dimaksud dengan kriteria aspek keadilan antara
lain adalah Objek dan Subjek Pajak harus jelas sehingga
dapat diawasi pemungutannya, jumlah pembayaran pajak dapat
diperkirakan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan, dan tarif
pajak ditetapkan dengan memperhatikan keadaan Wajib Pajak.
Yang dimaksud dengan kriteria kemampuan masyarakat
adalah kemampuan Subjek Pajak untuk memikul tambahan beban
pajak.
Huruf f
Yang dimaksud dengan kriteria menjaga kelestarian
lingkungan adalah bahwa pajak harus bersifat netral terhadap
lingkungan, yang berarti bahwa pengenaan pajak tidak
memberikan peluang kepada Pemerintah Daerah dan masyarakat
untuk merusak lingkungan yang akan menjadi beban bagi
Pemerintah dan masyarakat.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
sebesar 10% (sepuluh persen) merupakan penerimaan Daerah
Tingkat I dan 90% (sembilah puluh persen) merupakan
penerimaan Daerah Tingkat II yang dipergunakan untuk
pemerataan dan merangsang pembangunan Daerah
*9828
Tingkat II.
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Pasal ini mengatur tentang tarif pajak yang paling
tinggi yang dapat dipungut oleh Daerah untuk setiap jenis
pajak. Penetapan tarif paling tinggi tersebut bertujuan
memberi perlindungan kepada masyarakat dari penetapan tarif
yang terlalu membebani, sedangkan tarif paling rendah tidak
ditetapkan untuk memberi peluang kepada Pemerintah Daerah
untuk mengatur sendiri besarnya tarif yang sesuai dengan
kondisi masyarakat di daerahnya, termasuk membebaskan pajak
bagi masyarakat yang tidak mempu.
Huruf a
Tarif Pajak Kendaraan Bermotor dikenakan atas nilai
jual kendaraan bermotor serta faktor-faktor penyesuaian yang
mencerminkan biaya ekonomis yang diakibatkan oleh penggunaan
kendaraan bermotor, misalnya kerusakan jalan.
Huruf b
Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dikenakan atas
nilai jual kendaraan bermotor.
Huruf c
Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dikenakan
atas nilai jual bahan bakar kendaraan bermotor.
Huruf d
Tarif Pajak Hotel dan Restoran dikenakan atas jumlah
pembayaran yang dilakukan kepada Hotel dan atau Restoran.
Huruf e
Tarif Pajak Hiburan dikenakan atas jumlah pembayaran
atau yang seharusnya dibayar untuk menonton dan atau
menikmati hiburan.
Huruf f
Tarif Pajak Reklame dikenakan atas nilai sewa Reklame,
yang didasarkan atas nilai jual objek pajak reklame dan
nilai strategis pemasangan reklame.
Huruf g
Tarif Pajak Penerangan Jalan dikenakan atas nilai jual
tenaga listrik yang dipakai.
Huruf h
Tarif Pajak Pengambilan dan Pengelolaan Bahan Galian
Golongan C dikenakan atas nilai jual hasil ekspoitasi bahan
galian golongan C.
Huruf i
Tarif Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan dikenakan atas nilai perolehan air yang
dimanfaatkan, antara lain berdasarkan jenis, volume,
kualitas, dan lokasi sumber air.
Ayat (2)
Penetapan tarif yang seragam untuk jenis-jenis pajak
*9829 sebagaimana diatur pada ayat ini dimaksudkan agar
dalam pelaksanaannya bersifat netral terhadap Wajib Pajak,
sehingga dapat dihindarkan praktek pemanfaatan pengenaan
tarif pajak yang lebih rendah pada suatu daerah tertentu.
Contoh:
Tarif Pajak Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta sama
dengan tarif Pajak Kendaraan Bermotor di Jawa Barat dan
seluruh daerah lainnya. Dalam hal demikian Wajib Pajak tidak
mendapat keuntungan apakah akan mendaftarkan kendaraan
bermotor di DKI Jakarta, Jawa Barat atau daerah lainnya.
Ayat (3)
Dengan memperhatikan kondisi masing-masing Daerah
Tingkat II, tarif untuk jenis-jenis pajak sebagaimana diatur
dalam ayat ini dapat ditetapkan tidak seragam. Hal ini,
antara lain, dengan mempertimbangkan bahwa tarif yang
berbeda untuk jenis-jenis pajak yang diatur dalam ayat ini,
tidak akan mempengaruhi pilihan lokasi Wajib Pajak untuk
melakukan kegiatan yang dikenakan pajak.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Huruf a
Pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak
dapat diberikan dengan mempertimbangkan, antara lain,
kemampuan membayar Wajib Pajak.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Sesuai kelaziman internasional, Peraturan Daerah dapat
memberikan pengurangan, keringanan, dan pembebasaan pajak,
misalnya bagi korps diplomatik.
Pasal 5
Ayat (1)
Pertimabngan Menteri Keuangan diperlukan mengingat
bahwa Pajak Daerah merupakan bagian dari sistem perpajakan
nasional yang memerlukan pembinaan secara terpadu.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
*9830 Ayat ini memberikan kepastian hukum kepada
Pemerintah Daerah untuk menjalankan Peraturan Daerah yang
belum mendapat pengesahan Menteri Dalam Negeri dalam batas
waktu yang ditetapkan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Peraturan Pemerintah tentang ketentuan lebih lanjut
mengenai pengesahan, penolakan untuk pengesahan, permintaan
untuk penyempurnaan, dan pembatalan Peraturan Daerah yang
juga perlu memperhatikan dan mengatur prosedur yang
diperlukan, khususnya demi kepentingan nasional yang
dihadapi.
Pasal 6
Yang dimaksud dengan tidak dapat diborongkan adalah bahwa
seluruh proses kegiatan pemungutan pajak tidak dapat
diserahkan kepada pihak ketiga. Namun, dimungkinkan adanya
kerja sama dengan pihak ketiga dalam rangka proses
pemungutan pajak, antara lain, pencetakan formulir
perpajakan, pengiriman surat-surat kepada Wajib Pajak, atau
penghimpunan data Objek dan Subjek Pajak. Kegiatan yang
tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga adalah
kegiatan penghitungan besarnya pajak yang terutang,
pengawasan penyetoran pajak, dan penagihan pajak.
Pasal 7
Ayat (1)
Ayat ini mengatur tata cara pengenaan pajak, yaitu
ditetapkan oleh kepala Daerah atau dibayar sendiri oleh
Wajib Pajak.
Cara pertama, pajak dibayar oleh Wajib Pajak setelah
terlebih dahulu ditetapkan oleh Kepala Daerah melalui Surat
Ketetapan Pajak Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan.
Cara kedua, pajak dibayar sendiri adalah pengenaan
pajak yang memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk
menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan
sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan Surat
Pemberitahuan Pajak Daerah.
Ayat (2)
Bagi Wajib Pajak yang jumlah pajaknya ditetapkan oleh
Kepala Daerah, pembayarannya menggunakan Surat Ketetapan
Pajak Daerah, atau dokumen lain yang dipersamakan yang
ditetapkan oleh Kepala Daerah.
Yang dimaksud dokumen lain yang dipersamakan antara
lain berupa karcis, nota perhitungan.
Ayat (3)
Bagi Wajib Pajak yang memenuhi kewajibannya dengan cara
membayar sendiri, diwajibkan melaporkan pajak yang terutang
dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah.
Apabila Wajib Pajak yang diberi kepercayaan menghitung,
memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak
*9831 yang terutang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana
mestinya, dapat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah
Kurang Bayar dan atau Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang
Bayar Tambahan yang menjadi sarana penagihan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Pasal ini mengatur tentang penerbitan surat ketetapan pajak
atas pajak yang dibayar sendiri. Penerbitan surat ketetapan
pajak ditujukan kepada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan
oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat Pemberitahuan
Pajak Daerah atau karena ditemukannya data fiskal tidak
dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Ayat (1)
Ketentuan ayat ini memberi kewenangan kepada Kepala
Daerah untuk dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar
Tambahan atau Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil hanya
terhadap kasus-kasus tertentu seperti tersebut dalam ayat
ini, dengan perkataan lain hanya terhadap Wajib Pajak
tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan
tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban material.
Contoh:
1. Seorang Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat
Pemberitahuan Pajak Daerah pada tahun pajak 1998. Setelah
ditegur dalam jangka waktu tertentu juga belum menyampaikan
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, maka dalam jangka waktu
paling lama 5 (lima) tahun Kepala Daerah dapat menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar atas pajak yang
terutang.
2. Seorang Wajib Pajak menyampaikan Surat
Pemberitahuan Pajak Daerah pada tahun pajak 1998. Dalam
jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun, ternyata dari hasil
pemeriksaan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang
disampaikan tidak benar. Atas pajak yang terutang yang
kurang bayar tersebut, Kepala Daerah dapat menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar ditambah dengan sanksi
administrasi.
3. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam contoh yang
telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar,
apabila dalam janbgka waktu paling lama 5 (lima) tahun
sesudah pajak yang terutang ditemukan data baru dan atau
data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan
jumlah pajak yang terutang, maka Kepala Daerah dapat
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar
Tambahan.
4. Wajib Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan Kepala
ternyata jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan
jumlah kredit pajak atau pajak terutang dan tidak ada kredit
pajak, maka Kepala Daerah dapat menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Daerah Nihil.
Huruf a
Angka 1)
Cukup jelas
Angka 2)
Cukup jelas
Angka 3)
Yang dimaksud dengan penetapan pajak secara
jabatan adalah penetapan besarnya pajak terutang yang
dilakukan oleh Kapala Daerah atau pejabat yang ditunjuk
berdasarkan data yang ada atau keterangan lain yang dimiliki
oleh Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Ayat ini mengatur sanksi terhadap Wajib Pajak yang
tidak memenuhi kewajiban perpajakannya yaitu mengenakan
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen)
sebulan dari pajak yang tidak atau terlambat dibayar untuk
jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan atas
pajak yang tidak atau terlambat dibayar. Sanksi administrasi
berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai
dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang
Bayar.
Ayat (3)
Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban
perpajakannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
yaitu dengan diketemukannya data baru dan atau data yang
semula belum terungkap yang berasal dari hasil pemeriksaan
sehingga pajak yang terutang bertambah, maka terhadap Wajib
Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan 100%
(seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak. Sanksi
administrasi ini tidak dikenakan apabila Wajib Pajak
melaporkannya sebelum diadakan tindakan pemeriksaan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban
perpajakannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
angka 3), yaitu Wajib Pajak tidak mengisi Surat
Pemberitahuan Pajak Daerah yang seharusnya dilakukannya,
maka dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan pajak
sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok
*9833
pajak yang terutang. Dalam kasus ini, maka Kepala Daerah
menetapkan pajak yang terutang secara jabatan melalui
penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar. Selain
sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh
lima persen) dari pokok pajak yang terutang juga dikenakan
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen)
sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat
dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan. Sanksi administrasi berupa bunga dihitung sejak saat
terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya Surat
Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar.
Pasal 10
Ayat (1)
Surat Tagihan Pajak Daerah diterbitkan baik terhadap
Wajib Pajak yang melakukan kewajiban pajak yang dibayar
sendiri maupun terhadap Wajib Pajak yang melaksanakan
kewajiban pajak yang dipungut. Sanksi administrasi berupa
bunga dikenakan kepada Wajib Pajak yang tidak atau kurang
membayar pajak yang terutang, sedangkan sanksi administrasi
berupa denda dikenakan karena tidak dipenuhinya ketentuan
formal, misalnya, tidak atau terlambat menyampaikan Surat
Pemberitahuan Pajak Daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ayat ini mengatur pengenaan bunga atas pajak yang tidak
atau kurang dibayar pada saat jatuh tempo pembayaran atau
terlambat dibayar.
Pasal 11
Ayat (1)
Kepala Daerah menentukan jatuh tempo pembayaran atas
jenis-jenis pajak, namun tidak melebihi 30 (tiga puluh)
hari setelah saat terutangnya pajak. Keterlambatan dalam
pembayaran masa tersebut berakibat dikenakannya sanksi
administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Contoh:
Kepala Daerah dapat menentukan jatuh tempo
pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor satu hari setelah
tanggal berakhirnya Pajak Kendaraan Bermotor atas suatu
kendaraan bermotor.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
*9834 Cukup jelas
Ayat (2)
Dasar hukum pelaksanaan Surat Paksa didasarkan pada
peraturan perundang-undangan perpajakan di bidang penagihan
pajak.
Pasal 13
Ayat (1)
Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah pajak
dalam surat ketetapan pajak dan pemungutan tidak
sebagaimana mestinya, maka Wajib Pajak dapat mengajukan
keberatan hanya kepada Kepala Daerah yang menerbitkan surat
ketetapan pajak.
Keberatan yang diajukan adalah terhadap materi atau isi
dari ketetapan dengan membuat perrhitungan jumlah yang
seharusnya dibayar menurut perhitungan Wajib Pajak.
Satu keberatan harus diajukan terhadap satu jenis pajak
dan satu tahun pajak.
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Yang dimaksud dengan pihak ketiga adalah orang
pribadi/badan yang ditunjuk oleh Kepala Daerah sebagai
pemotong/pemungut pajak.
Ayat (2)
Alasan-alasan yang jelas di sini adalah mengemukakan
dengan data atau bukti bahwa jumlah pajak yang terutang atau
pajak lebih bayar yang ditetapkan oleh fiskus tidak benar.
Ayat (3)
Yang ini mengharuskan Wajib Pajak membuktikan
ketidakbenaran ketetapan pajak, dalam Wajib Pajak mengajukan
keberatan terhadap pajak-pajak yang ditetapkan secara
jabatan, Surat Ketetapan Pajak secara jabatan tersebut
diterbitkan karena Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat
Pemberitahuan Pajak Daerah meskipun telah ditegur secara
tertulis. Apabila Wajib Pajak tidak membuktikan
ketidakbenaran Surat Ketetapan Pajak secara jabatan itu,
maka keberatannya ditolak..
Ayat (4)
Yang dimeksud dengan keadaan di luar kekuasaannya
adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak/kekuasaan
Wajib Pajak, misalnya, karena Wajib Pajak sakit atau terkena
musibah bencana alam.
Ayat (5)
Cukup jelas
*9835 Ayat (6)
Ketentuan ini perlu dicantumkan dengan maksud agar
Wajib Pajak tidak menghindarkan kewajiban untuk membayar
pajak yang telah ditetapkan dengan dalih mengajukan
keberatan, sehingga dapat dicegah terganggunya penerimaan
daerah.
Pasal 14
Ayat (1)
Ayat ini memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak
meupun fiskus dan dalam rangka tertib administrasi, oleh
karena itu keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak harus
diberi keputusan oleh Kepala Daerah dalam jangka waktu
paling lama 12 (dua belas) bulan sejak Surat Keberatan
diterima.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Imbalan bunga dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan
diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Kepala Daerah karena jabatannya, dan berlandaskan unsur
keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak
yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak
pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan
formal (memasukkan Surat Kebertan tidak ada waktunya)
meskipun persyaratan material terpenuhi.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Objek retribusi adalah sebagai jenis jasa tertentu yang
disediakan oleh Pemerintah Daerah. Tidak semua jasa yang
diberikan oleh Pemerintah Daerah dapat dipungut
retribusinya, namun hanya jenis-jenis jasa tertentu yang
menurut pertimbangan sosial-ekonomi layak untuk dijadikan
sebagai objek retribusi. Jasa tertentu tersebut dikelompokan
dalam tiga golongan, yaitu Jasa Umum, Jasa Usaha, dan
Perizinan Tertentu.
Huruf a.
*9836 Jasa Umum, antara lain, pelayanan kesehatan dan
pelayanan persampahan. Yang tidak termasuk Jasa Umum adalah
jasa urusan umum pemerintahan.
Huruf b
Jasa Usaha, antara lain, penyewaan aset yang
dimiliki/dikuasai oleh Pemerintah Daerah, penyediaan tempat
penginapan, usaha bengkel kendaraan, tempat pencucian
mobil, dan penjualan bibit.
Huruf c
Mengingat fungsi perizinan dimaksudkan untuk mengadakan
pembinaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan, maka
pada dasarnya pemberian izin oleh Pemerintah Daerah tidak
harus dipungut retribusi, Akan tetapi untuk melaksanakan
fungsi tersebut, Pemerintah Daerah mungkin masih kekurangan
biaya yang tidak selalu dapat dicukupi dari sumber-sumber
penerimaan daerah, sehingga terhadap perizinan tertentu
masih dipungut retribusi. Perizinan tertentu yang dapat
dipungut retribusi, antara lain, Izin Mendirikan Bangunan,
Izin Peruntukan Penggunaan Tanah. Pengajuan izin tertentu
oleh Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah
tetap dikenakan retribusi, karena badan-badan tersebut
merupakan kekayaan negara atau kekayaan daerah yang telah
dipisahkan. Pengajuan izin oleh Pemerintah baik Pemerintah
Pusat maupun Pemerintah Daerah tidak dikenakan retribusi
Perizinan Tertentu.
Ayat (2)
Penggolongan jenis retribusi ini dimaksudkan guna
menetapkan kebijaksanaan umum tentang prinsip dan sasaran
dalam penetapan tarif retribusi yang ditentukan dalam Pasal
21.
Ayat (3)
Penetapan jenis-jenis Retribusi Jasa Umum dan Jasa
Usaha dengan Peraturan Pemerintah dimaksudkan agar tercipta
ketertiban dalam penerapannya, sehingga dapat memberikan
kepastian bagi masyarakat dan disesuaikan dengan kebutuhan
nyata daerah yang bersangkutan. Penetapan jenis-jenis
Retribusi Perizinan Tertentu dengan Peraturan Pemerintah
karena perizinan tersebut walaupun merupakan kewenangan
Pemerintah Daerah, tetap memerlukan koordinasi dengan
instansi-instansi teknis terkait. Sebagai contoh, Izin
Mendirikan Bangunan memerlukan koordinasi dengan Departemen
Pekerjaan Umum dan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Dalam menetapkan jenis-jenis retribusi ke dalam
golongan Retribusi Jasa Umum digunakan kriteria sebagai
berikut:
a. jasa tersebut termasuk dalam kelompok urusan
pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka
pelaksanaan asas desentralisasi;
b. selain melayani kepentingan dan kemanfaatan umum,
jasa tersebut memberi manfaat khusus bagi orang pribadi atau
badan yang diharuskan membayar retribusi, misalnya pelayanan
pemungutan dan *9837 pembuangan sampah memenuhi kriteria
dimaksud, sedangkan pelayanan kebersihan jalan umum tidak
memenuhi kriteria tersebut;
c. dianggap layak apabila jasa tersebut hanya
disediakan atau diberikan kepada orang pribadi atau badan
yang membayar retribusi, contoh pelayanan kesehatan untuk
perseorangan adalah layak untuk dikenai retribusi dengan
syarat orang yang tidak mampu membayar retribusi diberikan
keringanan, sedangkan pelayanan pendidikan dasar tidak layak
untuk dikenai retribusi;
d. retribusi atas jasa tersebut tidak bertentangan
dengan kebijaksanaan nasional mengenai penyelenggaraan jasa
tersebut;
e. retribusi tersebut dapat dipungut secara efektif
dan efisien, serta merupakan salah satu sumber pendapatan
daerah yang potensial;
f. memungkinkan penyediaan jasa tersebut dengan
tingkat dan atau kualitas pelayanan yang memadai.
Dalam menetapkan jenis-jenis retribusi ke dalam
golongan Retribusi Jasa Usaha digunakan kriteria sebagai
berikut:
a. jasa tersebut adalah jasa yang bersifat komersial
yang seyogyanya disediakan oleh sektor swasta tetapi belum
memadai, misalnya sarana pasar dan apotik; atau
b. terdapatnya harta yang dimiliki/dikuasai Daerah
yang belum dimanfaatkan secara penuh oleh Pemerintah Daerah,
misalnya tanah, bangunan, dan alat-alat berat.
Dalam menetapkan jenis-jenis retribusi ke dalam
golongan Retribusi Perizinan Tertentu digunakan kriteria
sebagai berikut :
a. perizinan tersebut termasuk urusan pemerintahan
yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka asas
desentralisasi;
b. perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna
melindungi kepentingan umum;
c. perizinan tidak bertentangan atau tumpang tindih
dengan perizinan yang diselenggarakan oleh tingkat
pemerintah yang lebih tinggi;
d. biaya yang menjadi beban Daerah dalam
penyelenggaraan perizinan tersebut cukup besar sehingga
layak dibiayai sebagian atau seluruhnya dari retribusi
perizinan.
Pasal 19
Jasa yang telah dikelola secara khusus oleh suatu Badan
Usaha Milik Daerah tidak merupakan objek retribusi, tetapi
sebagai penerimaan Badan Usaha Milik Daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila Badan Usaha Miluk Daerah memanfaatkan jasa atau
perizinan tertentu yang diberikan oleh Pemerintah Daerah,
maka Badan Usaha Milik Daerah wajib membayar retribusi.
Pasal 20
Besarnya retribusi yang harus dibayar oleh orang pribadi
atau badan yang menggunakan jasa yang bersangkutan dihitung
dari perkalian antara tingkat penggunaan jasa dan tarif
retribusi.
Huruf a
Tingkat penggunaan jasa dapat dinyatakan sebagai
kuantitas penggunaan jasa sebagai dasar alokasi beban biaya
yang dipikul daerah untuk penyelenggaraan jasa yang
bersangkutan, misalnya beberapa kali masuk tempat rekreasi,
berapa kali/berapa jam parkir kendaraan.
Akan tetapi ada pula penggunaan jasa yang tidak dapat
dengan mudah diukur. Dalam hal ini tingkat penggunaan jasa
mungkin perlu ditaksir berdasarkan rumus, Misalnya mengenai
izin bangunan, tingkat penggunaan jasa dapat ditaksir dengan
rumus yang didasarkan atas luas tanah, luas lantai bangunan,
jumlah tingkat bangunan, dan rencana penggunaan bangunan.
Huruf b
Tarif retribusi adalah nilai rupiah atau persentase
tertentu yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi
yang terutang.
Tarif dapat ditentukan seragam atau dapat diadakan
pembedaan mengenai golongan tarif sesuai dengan prinsip dan
sasaran tarif tertentu, misalnya pembedaan retribusi tempat
rekreasi antara anak dan dewasa, retribusi parkir antara
sepeda motor dan mobil, retribusi pasar antara kios dan los,
retribusi sampah antara rumah tangga dan industri, Besarnya
tarif dapat dinyatakan dalam rupiah per unit tingkat
penggunaan jasa.
Pasal 21
Huruf a
Penetapan tarif Retribusi Jasa Umum pada dasarnya
disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
mengenai jenis-jenis retribusi yang berhubungan dengan
kepentingan nasional. Disamping itu tetap memperhatikan
aspek keadilan dan kemampuan masyarakat.
Huruf b
Tarif Retribusi Jasa Usaha ditetapkan oleh Daerah
sehingga dapat tercapai keuntungan yang layak, yaitu
keuntungan yang dapat dianggap memadai jika jasa yang
bersangkutan diselenggarakan oleh swasta.
Huruf c
Tarif Retribusi Perizinan Tertentu ditetapkan
sedemikian rupa sehingga hasil retribusi dapat menutup
sebagian atau sama dengan perkiraan biaya yang diperlukan
untuk menyediakan jasa yang bersangkutan. Untuk pemberian
izin bangunan, misalnya, dapat diperhitungkan biaya
pengecekan dan pengukuran lokasi, biaya pemetaan, dan biaya
pengawasan.
Pasal 22
*9839 Cukup jelas
Pasal 23
Kewenangan Daerah untuk meninjau kembali tarif secara
berkala dan jangka waktunya, dimaksudkan untuk
mengantisipasi perkembangan perekonomian daerah dari objek
retribusi yang bersangkutan.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a sampai dengan Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Ketentuan dalam huruf d ini ditujukan agar Pemerintah
Daerah menyatakan kebijaksanaan yang dianut dalam menetapkan
tarif sehingga kebijaksanaan tersebut dapat diketahui oleh
masyarakat. Mengenai jenis-jenis retribusi yang prinsip
tarifnya telah ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan, maka Peraturan Daerah yang bersangkutan
mencantumkan prinsip tersebut. Terhadap jenis-jenis
retribusi lainnya, Peraturan Daerah menyatakan prinsip dan
sasaran tarif sesuai dengan kebijaksanaan daerah.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Ketentuan dalam huruf g ini termasuk mengatur tentang
penentuan pembayaran, tempat pembayaran, angsuran, dan
penundaan pembayaran.
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Dasar pemberian pengurangan dan keringanan dikaitkan
dengan kemampuan Wajib Retribusi, sedangkan pembebasan
retribusi dikaitkan dengan fungsi objek retribusi. Misalnya,
retribusi tempat rekreasi diberikan keringanan untuk orang
jompo, cacat, dan anak sekolah. Untuk pembebasan retribusi,
misalnya, pelayanan kesehatan bagi korban bencana alam.
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 25
*9840
Ayat (1)
Pertimbangan Menteri Keuangan diperlukan mengingat
bahwa retribusi merupakan bagian dari sistem fiskal dan
moneter yang memerlukan pembinaan secara terpadu.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Ayat ini memberikan kepastian hukum kepada Pemerintah
Daerah untuk menjalankan Peraturan Daerah yang belum
mendapat pengesahan Menteri Dalam Negeri dalam batas waktu
yang ditetapkan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Peraturan Pemerintah tentang ketentuan lebih lanjut
mengenai pengesahan, penolakan untuk pengesahan, permintaan
untuk penyempurnaan, dan pembatalan Peraturan Daerah juga
perlu memperhatikan dan mengatur prosedur yang diperlukan,
khususnya demi kepentingan nasional yang dihadapi.
Pasal 26
Yang dimaksud dengan tidak dapat diborongkan adalah bahwa
seluruh proses kegiatan pemungutan retribusi tidak dapat
diserahkan kepada pihak ketiga. Namun, dalam pengertian ini
bukan berarti bahwa Pemerintah Daerah tidak boleh bekerja
sama dengan pihak ketiga. Dengan sangat selektif dalam
proses pemungutan retribusi, Pemerintah Daerah dapat
mengajak beker jasama badan-badan tertentu yang karena
profesionalismenya layak dipercaya untuk ikut melaksanakan
sebagian tugas pemungutan jenis retribusi secara lebih
efisien. Kegiatan pemungutan retribusi yang tidak dapat
dikerjasamakan dengan pihak ketiga adalah kegiatan
penghitungan besarnya retribusi yang terutang, pengawasan
penyetoran retribusi, dan penagihan retribusi.
Pasal 27
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan dokumen lain yang dipersamakan,
antara lain, berupa karcis masuk, kupon, kartu langganan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan keadaan di luar kekuasaannya
adalah suatu keadaan yang terjadi di luar
*9841
kehendak/kekuasaan Wajib Retribusi, misalnya, karena Wajib
Retribusi sakit atau terkena musibah bencana alam.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Ayat ini mencerminkan adanya kepastian hukum bagi Wajib
Retribusi, bahwa keberatan yang diajukan harus diberi
keputusan oleh Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama
6 (enam) bulan sejak Surat Keberatan diterima.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ayat ini memberi suatu kepastian hukum kepada Wajib
Retribusi bahwa dalam jangka waktu paling lama 6 (enam)
bulan sejak Surat Keberatan diterima harus sudah ada
keputusan.
Di sisi lain bahwa kepada kepela Daerah diberi semacam
"hukuman" apabila tidak menyelesaikan tugasnya dalam batas
waktu yang ditentukan.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kepala Daerah sebelum memberikan keputusan dalam hal
kelebihan pembayaran pajak harus melakukan pemeriksaan
terlebih dahulu.
Ayat (3)
Kepala Daerah sebelum memberikan keputusan dalam hal
kelebihan pembayaran retribusi harus melakukan pemeriksaan
terlebih dahulu.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Besarnya imbalan bunga atas keterlambatan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak atau retribusi dihitung dari
batas waktu 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya Surat
Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar atau Surat Ketetapan
Retribusi Daerah Lebih Bayar sampai dengan saat dilakukannya
pembayaran kelebihan.
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Saat kedaluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan
*9842 untuk memberi kepastian hukum kapan utang pajak
tersebut tidak dapat ditagih lagi.
Ayat (2)
Huruf a
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa,
kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian
Surat Paksa tersebut.
Huruf b
Yang dimaksud dengan pengakuan utang pajak secara
langsung adalah Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan
masih mempunyai utang pajak dan belum melunasinya kepada
Pemerintah Daerah.
Yang dimaksud dengan pengakuan utang secara tidak
langsung adalah Wajib Pajak tidak secara nyata-nyata
langsung menyatakan bahwa ia mengakui mempunyai utang pajak
kepada Pemerintah Daerah.
Contoh:
- Wajib Pajak mengajukan permohonan
angsuran/penundaan pembayaran;
- Wajib Pajak mengajukan permohonan keberatan.
Pasal 32
Ayat (1)
Saat kedaluwarsa penagihan retribusi ini perlu
ditetapkan untuk memberi kepastian hukum kapan utang
retribusi tersebut tidak dapat ditagih lagi.
Ayat (2)
Huruf a
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran, kedaluwarsa
penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Teguran
tersebut.
Huruf b
Yang dimaksud dengan pengakuan utang retribusi secara
langsung adalah Wajib Retribusi dengan kesadarannya
menyatakan masih mempunyai utang retribusi dan belum
melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
Yang dimaksud dengan pengakuan utang secara tidak
langsung adalah Wajib Retribusi tidak secara nyata-nyata
langsung menyatakan bahwa ia mengakui mempunyai utang
retribusi kepada Pemerintah Daerah.
Contoh:
- Wajib Retribusi mengajukan permohonan
angsuran/penundaan pembayaran;
- Wajib Retribusi mengajukan permohonan keberatan.
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kriteria tertentu adalah Wajib
Pajak melakukan usaha yang berupa, antara lain, jasa, dengan
omzet di atas Rp. 300.000.000,00 (tiga juta rupiah) per
tahun.
*9843 Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Kepala Daerah dalam rangka pengawasan berwenang
melakukan pemeriksaan untuk :
a. menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
daerah atau retribusi;
b. tujuan lain dalam rangka melaksanakan peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah dan retribusi.
Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor atau di tempat
Wajib Pajak atau Wajib Retribusi yang lingkup pemeriksaannya
dapat meliputi tahun-tahun yang lalu maupun tahun berjalan.
Ayat (2)
Apabila Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak dapat
memenuhi kewajibannya yang berkaitan dengan pemeriksaan
pajak atau retribusi, maka dikenakan penetapan secara
jabatan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Setiap pejabat baik petugas pajak maupun mereka yang
melakukan tugas di bidang perpajakan daerah dilarang
mengungkapkan kerahsiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah
perpajakan daerah. Masalah kerahasiaan tersebut perlu
mendapat perlindungan untuk mencegah disalahgunakannya bahan
keterangan Wajib Pajak dalam usaha persaingan dagang atau
mengungkapkan keadaan asal-usul kekayaan dari Wajib Pajak
yang dapat dikatagorikan sebagai rahasia pribadi berdasarkan
asas hukum pajak.
Ayat (2)
Para ahli dalam ayat ini adalah seperti akuntan,
pengacara, dan sebagainya yang ditunjuk oleh Kepala Daerah
untuk membantu pelaksanaan Undang-undang perpajakan daerah.
Ayat (3)
Untuk kepentingan daerah, misalnya dalam rangka kerja
sama dengan instansi lain, keterangan atau bukti tertulis
tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan
kepada pihak tertentu yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
Dalam surat izin yang diterbitkan Kepala Daerah harus
dicantumkan nama Wajib Pajak, pihak yang ditunjuk, pejabat,
ahli atau tenaga ahli.
Pemberian izin tersebut dilakukan secara terbatas dalam
hal-hal yang dipandang perlu oleh Kepala daerah.
Ayat (4)
Untuk melaksanakan pemeriksaan di sidang pengadilan
*9844 dalam rangka pidana atau perdata yang berhubungan
dengan masalah perpajakan daerah, demi kepentingan peradilan
Kepala Daerah memberikan izin pembebasan atas kewajiban
kerahasiaan kepada pejabat pajak, termasuk pejabat pajak
yang ditugaskan dalam Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dan
para ahli, atas permintaan tertulis Hakim Ketua Sidang.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Dengan adanya sanksi pidana, diharapkan timbulnya
kesadaran Wajib Pajak untuk memenuhi kewajibannya.
Yang dimaksud kealpaan berarti tidak sengaja, lalai,
tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajibannya
sehingga perbuatan tersebut menimbulkan kerugian keuangan
daerah.
Ayat (2)
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat
ini yang dilakukan dengan sengaja, dikenakan sanksi yang
lebih berat daripada alpa, mengingat pentingnya penerimaan
pajak bagi Daerah.
Pasal 38
Ketentuan ini dimaksudkan guna memberikan suatu kepastian
hukum bagi Wajib Pajak, Penuntut Umum, dan Hakim.
Pasal 39
Pengajuan tuntutan ke pengadilan pidana terhadap Wajib
Retribusi dilakukan dengan penuh kearifan serta
memperhatikan kemampuan Wajib Retribusi dan besarnya
retribusi yang terutang yang mengakibatkan kerugian keuangan
daerah.
Pasal 40
Ayat (1)
Ketentuan ini untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai
perpajakan daerah tidak akan diberitahukan kepada pihak
lain, juga agar supaya Wajib Pajak dalam memberikan data dan
keterangan kepada pejabat mengenai perpajakan daerah tidak
ragu-ragu.
Ayat (2)
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat
ini yang dilakukan dengan sengaja, dikenakan sanksi yang
lebih berat.
Ayat (3)
Tututan pidana pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai
sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang
atau badan selaku Wajib Pajak atau Wajib Retribusi, karena
itu dijadikan tindak pidana pengaduan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Ayat (1)
Penyidik di bidang perpajakan daerah dan retribusi
adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan
Pemerintah Daerah yang diangkat oleh Menteri Kehakiman
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah
dan retribusi dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana dan peraturan pelaksanaanya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 43
Ayat (1)
Untuk mencegah kevakuman penerimaan daerah akibat
diberlakukannya Undang-undang ini karena Peraturan Daerah
yang mengatur pajak atau retribusi berdasarkan Undang-undang
ini belum diberlakukan, maka Peraturan Daerah yang lama
masih tetap berlaku sampai Peraturan Daerah yang baru
diberlakukan.
Ayat (2) dan Ayat (3)
Pemberlakuan Peraturan Daerah yang lama tentang Pajak
dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang
yang terkait dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dan
Retribusi Perizinan Tertentu yang diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah
Silahkan download versi PDF nya sbb:
pajak_daerah_retribusi_daerah_(uu_18_thn_1997)_18.pdf
(ogi/Carapedia)
Pencarian Terbaru
Lapor dan stor sptpd dki jakarta. Contoh surat permohonan keringanan hukuman.
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)






