- Home »
- Undang-Undang »
- 1997 » Undang-Undang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (UU 19 thn 1997)
1997
Undang-Undang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (UU 19 thn 1997)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa :
Silahkan download versi PDF nya sbb:
penagihan_pajak_dengan_surat_paksa_(uu_19_thn_199_19.pdf
UU 19/1997, PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA
*9846 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU)
NOMOR 19 TAHUN 1997 (19/1997)
TENTANG
PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
bertujuan mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang
adil dan sejahtera, aman, tenteram, dan tertib, serta
menjamin kedudukan hukum yang sama bagi warga masyarakat;
b. bahwa untuk mencapai tujuan dimaksud, pembangunan nasional
yang dilaksanakan secara berkesinambungan dan berkelanjutan
serta merata di seluruh tanah air memerlukan biaya besar
yang harus digali terutama dari sumber kemampuan sendiri;
c. bahwa dalam rangka kemandirian dimaksud, peran masyarakat
dalam pemenuhan kewajiban di bidang perpajakan perlu terus
ditingkatkan dengan mendorong kesadaran, pemahaman, dan
penghayatan bahwa pajak adalah sumber utama pembiayaan
negara dan pembangunan nasional serta merupakan salah satu
kewajiban kenegaraan sehingga setiap anggota masyarakat
wajib berperan aktif dalam melaksanakan sendiri kewajiban
perpajakannya;
d. bahwa dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan
perpajakan sering terdapat utang pajak yang tidak dilunasi
oleh Wajib Pajak sebagaimana mestinya sehingga memerlukan
tindakan penagihan yang mempunyai kekuatan hukum yang
memaksa;
c. bahwa Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan
Pajak Negara Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Tahun 1959
Nomor 63 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 1850) tidak
dapat sepenuhnya mendukung pelaksanaan Undang-undang
perpajakan yang berlaku sehubungan dengan adanya
perkembangan sistem hukum nasional dan kehidupan masyarakat
yang dinamis sehingga diperlukan Undang-undang penagihan
pajak yang mampu memberi kepastian hukum dan keadilan serta
dapat mendorong peningkatan kesadaran dan kepatuhan
masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan dimaksud pada huruf a, huruf
b, huruf c, huruf d, dan huruf e, Undang-undang Nomor 19
Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara Dengan Surat Paksa
(Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 63 dan Tambahan Lembaran
Negara Nomor 1850) dipandang perlu diganti;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945;
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49,
*9847 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262), sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994
(Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3566);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESI
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah
Pusat, termasuk Bea Masuk dan Cukai, dan pajak yang dipungut
oleh Pemerintah Daerah, menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku'
2. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut
peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk
melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau
pemotong pajak tertentu;
3. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang
bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang
menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut
peraturan perundang-undangan perpajakan;
4. Badan adalah suatu bentuk badan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam
bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma,kongsi
koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga,
dana pensiun, bentuk usaha tetap, serta bentuk badan usaha
lainnya;
5. Pejabat adalah pejabat yang berwenang mengangkat dan
memberhentikan Jurusita Pajak, menerbitkan Surat Perintah
Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Pencabutan Sita,
Pengumuman Lelang, Pembatalan Lelang, Surat Perintah
Penyanderaan dan surat lain yang diperlukan untuk penagihan
pajak sehubungan dengan Penanggung Pajak tidak melunasi
sebagian atau seluruh utang pajak menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
6. Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak
yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus,
pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan;
7. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah
hukumnya meliputi tempat tindakan penagihan pajak
dilaksanakan;
8. Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk
sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang
tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan;
9. Penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan
penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada
Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo
pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua
jenis pajak, masa pajak, dan tahun pajak;
10. Penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan penagihan
pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita ajak kepada Penanggung
Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pemayaran yang
meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, masa
pajak, dan tahun pajak;
11. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan
biaya penagihan pajak;
12. Biaya penagihan pajak adalah biaya pelaksanaan Surat Paksa,
Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman Lelang,
Pembatalan Lelang dan biaya lainnya sehubungan dengan
penagihan pajak;
13. Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai
barang Penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan untuk
melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
14. Objek sita adalah barang Penanggung Pajak yang dapat
dijadikan jaminan utang pajak;
15. Lelang adalah setiap penjualan barang di muka umum dengan
cara penawaran harga secara lisan dan atau tertulis melalui
usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli;
16. Kantor lelang adalah kantor yang berwenang melaksanakan
penjualan secara lelang;
17. Risalah Lelang adalah Berita Acara Pelaksanaan Lelang yang
dibuat oleh Pejabat Lelang atau kuasanya dalam bentuk yang
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan lelang yang
berlaku;
18. Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap
Penanggung Pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Negara
Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
19. Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan
Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu;
20. Gugatan adalah upaya hukum terhadap pelaksanaan penagihan
pajak dan kepemilikan barang sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan;
21. Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung
Pajak melunasi utang pajak dan biaya penangihan pajak dengan
menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika
dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan
pencegahan, melaksanaan penyitaan, melaksanakan
penyanderaan, menjual barang yang telah disita;
22. Barang adalah tiap benda atau hak yang dapat dijadikan objek
sita;
23. Kepala Daerah adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I,
Bupati atau Walikota Madya Kepala Daerah Tingkat II;
24. Pemerintah Daerah adalah pemerintah daerah yang wilayah
hukumnya meliputi tempat tindakan penagihan pajak
dilaksanakan;
25. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
*9849 BAB II
PEJABAT DAN JURUSITA PAJAK
Pasal 2
(1) Menteri berwenang menunjuk Pajabat untuk penagihan pajak
pusat.
(2) Kepala Daerah berwenang menunjuk Pajabat untuk penagihan
pajak daerah.
(3) Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
berwenang:
a. mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak;
b. menerbitkan:
1) Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;
2) Surat Paksa;
3) Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan;
4) Surat Perintah Penyanderaan;
5) Surat Pencabutan Sita;
6) Pengumuman Lelang;
7) Pembatalan Lelang; dan
8) surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan
penagihan pajak.
Pasal 3
(1) Jurusita Pajak diangkat dan diberhentikan oleh Pejabat.
(2) Syarat-syarat, tata cara pengangkatan dan pemberhentian
sebagai Jurusita Pajak ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 4
Sebelum memangku jabatannya, Jurusita Pajak diambil sumpah atau
janji menurut agama atau kepercayaan oleh Pejabat yang berbunyi
sebagai berikut:
Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk
memangku jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan
menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau
menjanjikan barang sesuatu kepada siapaun juga".
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatan saya ini, tiada sekali-kali akan
menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu
janji atau pemberian".
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan
ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala
Undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara
Republik Indonesia".
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan
jabatan saya ini dengan jujur, saksama dan dengan tidak
membeda-bedakan orang dalam melaksanakan kewajiban saya dan akan
berlaku sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi
seorang Jurusita Pajak yang berbudi baik dan jujur, menegakkan
hukum dan *9850 keadilan",
Pasal 5
(1) Jurusita Pajak bertugas:
a. melaksanakan Surat Perintah Penagihan Seketika dan
Sekaligus;
b. memberitahukan Surat Paksa;
c. melaksanakan penyitaan atas barang Penanggung Pajak
berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan; dan
d. melaksanakan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah
Penyanderaan.
(2) Jurusita Pajak dalam melaksanakan tugasnya harus dilengkapi
dengan kartu tanda pengenal Jurusita Pajak dan harus
diperlihatkan kepada Penanggung Pajak.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya, Jurusita Pajak berwenang
memasuki dan memeriksa semua ruangan termasuk membuka
lemari, laci, dan tempat lain untuk menemukan objek sita di
tempat usaha dan melakukan penyitaan di tempat kedudukan,
atau di tempat tinggal Penanggung Pajak, atau di tempat lain
yang dapat diduga sebagai tempat penyimpanan objek sita.
(4) Dalam melaksanakan tugasnya, Jurusita Pajak dapat meminta
bantuan Kepolisian, Kejaksaan, Departemen Kehakiman,
Pemerintah Daerah setempat, Badan Pertanahan Nasional,
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Pengadilan Negeri,
Bank atau pihak lain dalam rangka melaksanakan penagihan
pajak.
(5) Jurusita Pajak menjalankan tugas di wilayah kerja Pejabat
yang mengangkatnya, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri
atau Kepala Daerah.
Pasal 6
(1) Jurusita Pajak melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus
tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran berdasarkan
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus yang
diterbitkan oleh Pejabat apabila:
a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk
selama-lamanya atau berniat untuk itu;
b. Penanggung Pajak menghentikan atau secara nyata
mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang
dilakukannya di Indonesia, ataupun memindahtangankan barang
yang dimiliki atau dikuasainya;
c. terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan
membubarkan badan usahanya atau berniat untuk itu;
d. badan usaha akan dibubarkan oleh Negara; atau
e. terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh
pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
(2) Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus
sekurang-kurangnya memuat:
a. nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung
Pajak;
b. besarnya uang pajak;
c. perintah untuk membayar; dan
d. saat pelunasan utang pajak.
(3) Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus
diterbitkan sebelum penerbitan Surat Paksa.
BAB III
SURAT PAKSA
Pasal 7
(1) Surat Paksa berkepala kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA", mempunyai kekuatan eksekutorial
dan kedudukn hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Surat Paksa sekurang-kurangnya harus memuat:
a. nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung
Pajak;
b. besarnya utang pajak; dan
c. perintah untuk membayar.
Pasal 8
Surat Paksa diterbitkan apabila:
a. Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak sampai dengan
tanggal jatuh tempo pembayaran dan kepadanya telah
diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat
lain yang sejenis;
b. terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan
seketika dan sekaligus; atau
c. Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagimana
tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau
penundaan pembayaran pajak.
Pasal 9
(1) Dalam hal terjadi keadaan di luar kekuasaan Pejabat, Surat
Paksa pengganti dapat diterbitkan oleh Pejabat karena
jabatan.
(2) Surat Paksa pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang
sama dengan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1).
Pasal 10
(1) Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan
pernyataan dan penyerahan Surat Paksa kepada Penanggung
Pajak.
(2) Pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dituangkan dalam Berita Acara yang sekurang-kurangnya memuat
hari dan tanggal pemberitahuan Surat Paksa, nama Jurusita
Pajak, nama yang menerima, dan tempat pemberitahuan Surat
Paksa.
(3) Surat Paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh
Jurusita Pajak kepada:
a. Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat usaha atau
di tempat lain yang memungkinkan;
b. orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun
yang *9852 bekerja di tempat usaha Penanggung Pajak,
apabila Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak dapat
dijumpai;
c. salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau
yang mengurus harta peninggalannya, apabila Wajib Pajak
telah meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi; atau
d. para ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal
dunia dan harta warisan telah dibagi.
(4) Surat Paksa terhadap badan diberitahukan oleh Jurusita Pajak
kepada:
a. pengurus, pemegang saham, dan pemilik modal baik di
tempat kedudukan badan yang bersangkutan, di tempat tinggal
mereka maupun di tempat lain yang memungkinkan; atau
b. pegawai tingkat pimpinan di tempat kedudukan atau
tempat usaha badan yang bersangkutan apabila Jurusita Pajak
tidak dapat menjumpai salah seorang sebagimana dimaksud pada
huruf a.
(5) Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, Surat Paksa
diberitahukan kepada Hakim Komisaris atau Balai Harta
Peninggalan, dan dalam hal Wajib Pajak dinyatakan bubar atau
dalam likuidasi, Surat Paksa diberitahukan kepada orang atau
badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan, atau
likuidator.
(6) Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat
kuasa khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan,
Surat Paksa dapat diberitahukan kepada penerima kuasa
dimaksud.
(7) Apabila pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dan ayat (4) tidak dapat dilaksanakan, Surat Paksa
disampaikan melalui Perintah Daerah setempat.
(8) Dalam hal Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak diketahui
tempat tinggalnya, tempat usaha, atau tempat kedudukannya,
penyampaian Surat Paksa dilaksanakan dengan cara menempelkan
Surat Paksa pada papan pengumuman kantor Pejabat yang
menerbitkannya, mengumumkan melalui media massa, atau cara
lain yang ditetapkan oleh Menteri atau Kepala Daerah.
(9) Dalam hal Surat Paksa harus dilaksanakan di luar wilayah
kerja Pejabat, Pejabat dimaksud meminta bantuan kepada
Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat pelaksana
Surat Paksa, kecuali ditempat lain oleh Menteri atau kepala
Daerah.
(10) Pejabat yang diminta bantuan sebagimana dimaksud pada
ayat (9) wajib membantu dan memberitahukan tindakan yang
telah dilaksanakannya kepada Pejabat yang meminta bantuan.
(11) Dalam hal Penanggung Pajak menolak untuk menerima Surat
Paksa, Jurusita Pajak meninggalkan Surat Paksa dimaksud dan
mencatatnya dalam Berita Acara bahwa Penanggung Pajak tidak
mau menerima Surat Paksa, dan Surat Paksa dianggap telah
diberitahukan.
Pasal 11
Pelaksanaan Surat Paksa tidak dapat dilanjutkan dengan penyitaan
sebelum lewat waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam setelah
Surat Paksa diberitahukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
*9853
BAB IV
PENYITAAN
Pasal 12
(1) Apabila utang pajak tidak dilunasi oleh Penanggung Pajak
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,
Pejabat menerbitkan Surat Perintah melaksanakan Penyitaan.
(2) Penyitaan dilaksanakan oleh Jurusita Pajak dengan disaksikan
oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa,
penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita Pajak, dan dapat
dipercaya.
(3) Setiap melaksanakan penyitaan, jurusita Pajak membuat Berita
Acara Pelaksanaan Sita yang ditandatangani oleh Jurusita
Pajak, Penanggung Pajak dan saksi-saksi.
(4) Walaupun Penanggung Pajak tidak hadir, penyitaan tetap dapat
dilaksanakan dengan syarat seorang saksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), berasal dari Pemerintah Daerah
setempat.
(5) Dalam hal penyitaan dilaksanakan tidak dihadiri oleh
Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Berita
Acara Pelaksanaan Sita ditandatangani Jurusita Pajak dan
saksi-saksi.
(6) Berita Acara Pelaksanaan Sita tetap mempunyai kekuatan
mengikat, meskipun Penanggung Pajak menolak menandatangani
Berita Acara Pelaksanaan Sita sebagaimana dimaksud pada ayat
(3).
(7) Salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita dapat ditempelkan pada
barang bergerak atau barang tidak bergerak yang disita, atau
di tempat barang bergerak atau barang tidak bergerak yang
disita berada, dan atau di tempat-tempat umum.
(8) Atas barang yang disita dapat ditempel atau diberi segel
sita.
Pasal 13
Pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak tidak mengakibatkan
penundaan pelaksanaan penyitaan.
Pasal 14
(1) Penyitaan dapat dilaksanakan terhadap milik Penanggung Pajak
yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat
kedudukan, atau di tempat lain, termasuk yang penguasaannya
berada di tangan pihak lain atau yang dibebani dengan hak
tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu berupa:
a. barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai,
dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran,
giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu,
obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan
penyertaaan modal pada perusahaan lain; dan atau
b. barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan
kapal dengan isi kotor tertentu.
(2) Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sampai dengan nilai barang yang disita diperkirakan cukup
untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak.
(3) Hak lainnya yang dapat disita selain sebagaimana dimaksud
pada *9854 ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
(1) Barang bergerak milik Penanggung Pajak yang dikecualikan
dari penyitaan adalah:
a. pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang
digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi
tanggungannya;
b. persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu
bulan beserta peralatan memasak yang berada di rumah;
c. perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas;
d. buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan
Penanggung Pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk
pendidikan, kebudayaan dan keilmuan;
e. peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan
untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan
jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp. 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah); dan
f. peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh
Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya.
(2) Perubahan besarnya nilai peralatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf e ditetapkan oleh Menteri.
(3) Penambahan jenis barang bergerak yang dikecualikan dari
penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf
b, huruf c, huruf d, dan huruf f diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 16
Barang yang telah disita dititipkan kepada Penanggung Pajak,
kecuali apabila menurut Jurusita Pajak barang dimaksud perlu
disimpan di kantor Pejabat atau di tempat lain.
Pasal 17
(1) Penyitaan terhadap deposito berjangka, tabungan, saldo
rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih dahulu.
(2) Dalam hal penyitaan dilaksanakan terhadap barang yang
kepemilikannya terdaftar, salinan Berita Acara Pelaksanaan
Sita diserahkan kepada instansi tempat kepemilikan barang
dimaksud terdaftar.
(3) Dalam hal penyitaan dilaksanakan terhadap barang tidak
bergerak yang kepemilikannya belum terdaftar, Jurusita Pajak
menyampaikan salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita kepada
Pemerintah Daerah dan Pengadilan Negeri setempat untuk
diumumkan menurut cara yang lazim di tempat itu.
Pasal 18
(1) Terhadap barang yang telah disita oleh Kejaksaan atau
Kepolisian sebagai barang bukti dalam kasus pidana, Jurusita
Pajak menyampaikan Surat Paksa dengan dilampiri surat
*9855 pemberitahuan yang menyatakan bahwa barang dimaksud
akan disita apabila proses pembuktian telah selesai dan
diputuskan bahwa barang bukti dikembalikan kepada Penanggung
Pajak.
(2) Kejaksanaan atau Kepolisian segera memberitahukan kepada
Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa agar segera
melaksanakan penyitaan sebelum barang dimaksud dikembalikan
kepada Penanggung Pajak.
(3) Dalam hal barang yang disita oleh Kejaksanaan atau
Kepolisian telah dikembalikan kepada Penanggung Pajak tanpa
pemberitahuan kepada Pejabat, penyitaan terhadap barang
dimaksud tetap dapat dilaksanakan.
Pasal 19
(1) Penyitaan tidak dapat dilaksanakan terhadap barang yang
telah disita oleh Pengadilan Negeri atau instansi lain yang
berwenang.
(2) Terhadap barang yang telah disita sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Jurusita Pajak menyampaikan Surat Paksa kepada
Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang.
(3) Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam
sidang berikutnya menetapkan barang yang telah disita
dimaksud sebagai jaminan pelunasan utang pajak.
(4) Instansi lain yang berwenang sebagiamana dimaksud pada ayat
(2), setelah menerima Surat Paksa menjadikan barang yang
telah disita dimaksud sebagai jaminan pelunasan utang pajak.
(5) Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang
menentukan pembagian hasil penjualan barang dimaksud
berdasarkan ketentuan hak mendahulu negara untuk tagihan
pajak.
(6) Hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak
mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
a. biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh suatu
penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak maupun
barang tidak bergerak;
b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang
dimaksud; dan
c. biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh
pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
(7) Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap segera
disampaikan oleh Pengadilan Negeri kepada Kantor Lelang
untuk dipergunakan sebagai dasar pembagian hasil lelang.
Pasal 20
(1) Dalam hal objek sita berada di luar wilayah kerja Pejabat
yang menerbitkan Surat Paksa, Pejabat meminta bantuan kepada
Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat objek sita
berada untuk menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan terhadap objek sita dimaksud, kecuali ditetapkan
lain oleh Menteri atau Kepala Daerah.
(2) Dalam hal objek sita letaknya berjauhan dengan tempat
kedudukan Pejabat tetapi masih dalam wilayah kerjanya,
Pejabat dimaksud dapat meminta bantuan kepada Pejabat yang
wilayah kerjanya juga meliputi tempat objek sita berada
untuk *9856 menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan.
(3) Pejabat yang diminta bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) memberitahukan pelaksanaan Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan dimaksud kepada Pejabat yang meminta
bantuan segera setelah penyitaan dilaksanakan dengan
mengirimkan Berita Acara Pelaksanaan Sita.
Pasal 21
Penyitaan tambahan dapat dilaksanakan apabila hasil lelang barang
yang telah disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan
pajak dan utang pajak.
Pasal 22
(1) Pencabutan sita silaksankan apabila Penanggung Pajak telah
melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak atau
berdasarkan putusan pengadlan atau putusan Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak atau ditetapkan lain oleh
Menteri atau Kepala Daerah.
(2) Pencabutan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakasanakan berdasarkan Surat Pencabutan Sita yang
diterbitkan oleh Pejabat.
Pasal 23.
(1) Penanggung Pajak dilarang:
a. memindahkan hak, memindahtangankan, menyewakan,
meminjamkan, atau merusak barang yang telah disita;
b. membebani barang yang telah disita dengan hak jaminan
untuk pelunasan utang tertentu;
c. merusak, mencabut, atau menghilangkan salinan Berita
Acara Pelaksanaan Sita atau segel sita yang telah ditempel
pada barang sitaan.
(1) Penanggung Pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi pidana sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 24
Ketentuan mengenai tata cara penyitaan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 25
(1) Apabila utang pajak dan atau biaya penagihan pajak tidak
dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan, Pejabat berwenang
melaksanakan penjualan secara lelang terhadap barang yang
disita melalui Kantar Lelang.
(2) Barang yang disita berupa uang tunai, deposito berjangka,
tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya
yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau surat
berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada
perusahaan lain, dikecualikan dari penjualan secara lelang
sebagaimana dimaksud *9857 pada ayat (1).
(3) Barang yang disita sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
digunakan untuk membayar biaya penagihan pajak dan utang
pajak dengan cara:
a. uang tunai disetor ke kas Negara atau Kas Daerah;
b. deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran,
giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu,
dipindahbukukan ke rekening Kas Negara atau Kas Daerah atas
permintaan Pejabat kepada Bank yang bersangkutan;
c. obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang
diperdagangkan di bursa efek dijual di bursa efek atas
permintaan Pejabat;
d. obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang tidak
diperdagangkan di bursa efek segera dijual oleh Pejabat;
e. piutang dibuatkan berita acara persetujuan tentang
pengalihan hak menagih dari Penanggung Pajak kepada Pejabat;
f. penyertaan modal pada perusahaan lain dibuatkan akte
persetujuan pengalihan hak menjual dari Penanggung Pajak
kepada Pejabat.
(4) Apabila pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf
b, huruf c, huruf d, huruf c, dan huruf f tidak melaksanakan
kewajibannya, dikenakan sanksi pidana sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Ketentuan mengenai tata cara penjualan barang yang
dikecualikan dari penjualan secara lelang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
(1) Penjualan secara lelang terhadap barang yang disita
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dilaksanakan
sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari setelah penyitaan.
(2) Pejabat bertindak sebagai penjual atas barang yang disita
mengajukan permintaan lelang kepada Kantor Lelang sebelum
lelang dilaksanakan.
(3) Pejabat atau yang mewakilinya menghadiri pelaksanaan lelang
untuk menentukan dilepas atau tidaknya barang yang dilelang
dan menandatangani asli Risalah Lelang.
(4) Pejabat dan Jurusita Pajak tidak diperbolehkan membeli
barang sitaan yang dilelang.
(5) Larangan terhadap Pejabat dan Jurusita Pajak untuk membeli
barang sitaan yang dilelang, berlaku juga terhadap istri,
keluarga sedarah dan semenda dalam keturunan garis lurus,
serta anak angkat.
(6) Pejabat dan Jurusita Pajak yang melanggar ketentuan
sebagimana dimaksud pada ayat (4) dikenakan sanksi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 27
(1) Lelang tetap dapat dilaksanakan walaupun keberatan yang
diajukan oleh Wajib Pajak belum memperoleh keputusan
keberatan.
(2) Lelang tetap dapat dilaksanakan tanpa dihadiri oleh
Penanggung Pajak.
(3) Lelang tidak dilaksanakan apabila Penanggung Pajak telah
melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak, atau
berdasarkan putusan pengadilan, atau putusan Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak, atau objek lelang musnah.
Pasal 28
(1) Hasil lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar
biaya penagihan pajak yang belum dibayar dan sisanya untuk
membayar utang pajak.
(2) Dalam hal hasil lelang sudah mencapai jumlah yang cukup
untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak,
pelaksanaan lelang dihentikan walaupun barang yang akan
dilelang masih ada.
(3) Sisa barang beserta kelebihan uang hasil lelang dikembalikan
oleh Pejabat kepada Penanggung Pajak segera setelah
pelaksanaan lelang.
(4) Pejabat yang lalai melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), dikenakan sanksi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Hak Penanggung Pajak atas barang yang telah dilelang
berpindah kepada pembeli dan kepadanya diberikan Risalah
Lelang yang merupakan bukti otentik sebagai dasar
pendaftaran dan pengalihan hak.
BAB V
PENCEGAHAN DAN PENYANDERAAN
Pasal 29
Pencegahan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang
mempunyai jumlah utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya
dalam melunasi utang pajak.
Pasal 30
(1) Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 hanya dapat
dilakukan berdasarkan keputusan pencegahan yang diterbitkan
oleh Menteri atas permintaan Pejabat atau atasan Pejabat
yang bersangkutan
(2) Keputusan pencegahan memuat sekurang-kurangnya:
a. identitas Penanggung Pajak yang dikenakan pencegahan;
b. alasan untuk melakukan pencegahan; dan
c. jangka waktu pencegahan.
(3) jangka waktu pencegahan sebagimana dimaksud pada ayat (2)
huruf c paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang
untuk selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(4) Keputusan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Penanggung Pajak yang dikenakan
pencegahan, Menteri Kehakiman, Pejabat yang memohon
pencegahan, atasan Pejabat yang bersangkutan, dan Kepala
Daerah setempat.
(5) Pencegahan dapat dilaksanakan terhadap beberapa orang
sebagai Penanggung Pajak Wajib Pajak badan atau ahli waris.
Pasal 31
Pencegahan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya
utang pajak dan terhentinya pelaksanaan penagihan pajak.
Pasal 32
Pencegahan dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 33
(1) Penyanderaan hanya dapat dilakukan Penanggung Pajak yang
mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya sebesar
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad
baiknya dalam melunasi utang pajak.
(2) Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan
yang diterbitkan oleh Pejabat setelah mendapat izin tertulis
dari Menteri atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
(3) Masa penyanderaan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat
diperpanjang untuk selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(4) Surat Perintah Penyanderaan memuat sekurang-kurangnya:
a. identitas Penanggung Pajak;
b. alasan penyanderaan;
c. izin penyanderaan;
d. lamanya penyanderaan; dan
e. tempat penyanderaan.
(5) Penyanderaan tidak boleh dilaksanakan dalam hal
Penanggung Pajak sedang beribadah, atau sedang mengikuti
sidang resmi, atau sedang mengikuti Pemilihan Umum.
(6) Besarnya jumlah utang pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan dalam Pasal 29 dapat diubah dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 34
(1) Penanggung Pajak yang disandera dilepas:
a. apabila utang pajak dan biaya penagihan pajak telah
dibayar lunas;
b. apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Perintah
Penyanderaan itu telah terpenuhi;
c. berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap; atau
d. berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri atau
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
(2) Sebelum Penanggung Pajak dilepas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, huruf c, dan huruf d, Pejabat segera
memberitahukan secara tertulis kepada kepala tempat
penyanderaan sebagaimana tercantum dalam Surat Perintah
Penyanderaan.
(3) Penanggung Pajak yang disandera dapat mengajukan
gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan
*9860
hanya kepada Pengadilan Negeri.
(4) Dalam hal gugatan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dikabulkan dan putusan pengadilan telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, Penanggung Pajak dapat memohon
rehabilitasi nama baik dan ganti rugi atas masa penyanderaan
yang telah dijalaninya.
(5) Besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
adalah Rp. 100.000,00 (sertus ribu rupiah) setiap hari.
(6) Perubahan besarnya nilai ganti rugi sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) ditetapkan oleh Menteri.
(7) Penanggung Pajak tidak dapat mengajukan gugatan terhadap
pelaksanaan penyanderaan setelah masa penyanderaan berakhir.
Pasal 35
Penyanderaan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan
hapusnya utang pajak dan terhentinya pelaksanaan penagihan pajak.
Pasal 36
Ketentuan mengenai tempat penyanderaan, tata cara penyanderaan,
rehabilitasi nama baik Penanggung Pajak, dan pemberian ganti rugi
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
GUGATAN
Pasal 37
(1) Gugatan Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan Surat Paksa,
sita, atau lelang hanya dapat diajukan kepada Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak.
(2) Gugatan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak
Surat Paksa, sita, atau pengumuman lelang dilaksanakan.
(3) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dalam Pasal
34 ayat (3) tidak menunda pelaksanaan penagihan pajak.
Pasal 38
(1) Gugatan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita
hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri.
(2) Pengadilan Negeri yang menerima surat gugatan sebagimana
dimaksud pada ayat (1) memberitahukan secara tertulis kepada
Pejabat.
(3) Pejabat menangguhkan pelaksanaan penagihan pajak hanya
terhadap barang yang digugat kepemilikannya sejak menerima
pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Gugatan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita
tidak dapat diajukan setelah lelang dilaksanakan.
BAB VII
KETENTUAN KHUSUS
*9861
Pasal 39
(1) Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan pembetulan atau
penggantian kepada Pejabat terhadap Surat Perintah Penagihan
Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan, Surat Perintah Penyanderaan, dan
Pengumuman Lelang yang dalam penerbitannya terdapat
kesalahan atau kekeliruan.
(2) Pejabat karena jabatan dapat membetulkan Surat Perintah
Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat
Pemerintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Perintah
Penyanderaan, dan Pengumuman Lelang yang dalam penerbitannya
terdapat kesalahan atau kekeliruan.
(3) Tindakan pelaksanaan penagihan pajak dilanjutkan setelah
kesalahan atau kekeliruan dibetulkan oleh Pejabat.
Pasal 40
(1) Apabila setelah pelaksanaan lelang Wajib Pajak memperoleh
keputusan keberatan atau putusan banding yang mengakibatkan
utang pajak menjadi berkurang sehingga menimbulkan kelebihan
pembayaran pajak, Wajib Pajak tidak dapat meminta atau tidak
berhak menuntut pengembalian barang yang telah dilelang.
(2) Pejabat mengembalikan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk uang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Pasal 41
Penagihan pajak tidak dilaksanakan apabila telah kedaluarsa
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 42
(1) Tindakan pelaksanaan penagihan pajak berdasarkan
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak
Negara Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor
63 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 1850) yang belum dapat
diselesaikan pada saat berlakunya Undang-undang ini
ditetapkan sebagai berikut:
a. dalam hal Surat Paksa sudah diterbitkan tetapi belum
diberitahukan kepada Penanggung Pajak yang bersangkutan,
Surat Paksa dimaksud dinyatakan batal demi hukum;
b. dalam hal Surat Paksa sudah diberikan kepada Penanggung
Pajak yang bersangkutan, pelaksanaan sita yang belum
diproses diselesaikan berdasarkan Undang-undang ini;
c. dalam hal Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan sudah
diterbitkan tetapi belum dilaksanakan, Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan dimaksud dinyatakan batal demi hukum;
d. dalam hal lelang sudah diproses tetapi belum *9862
diselesaikan, tetap diselesaikan berdasarkan Undang-undang
Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara Dengan
Surat Paksa (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 63 dan
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1850).
(2) Gugatan Penanggung Pajak terhadap tindakan pelaksanaan
penagihan pajak sebelum tanggal 1 Januari 1998 diajukan
kepada badan peradilan yang bersangkutan.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 43
(1) Dengan berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 19
Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara Dengan Surat Paksa
(Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 63 dan Tambahan Lembaran
Negara Nomor 1850) dinyatakan tidak berlaku.
(2) Dengan berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan
pelaksanaan di bidang penagihan pajak tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini atau
belum diganti dengan peraturan pelaksanaan yang baru.
Pasal 44
Undang-undang ini mulai dinamakan Undang-undang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa
Pasal 45
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 23 Mei 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal tanggal 23 Mei 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SOEHARTO
*9863 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1997 NOMOR 42
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 1997
TENTANG
PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA
UMUM
Tujuan Negara Republik Indonesia yang berlandaskn Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 adalah mewujudkan masyarakat adil,
makmur, dan merata. Tujuan luhur yang demikian itu hanya dapat
diwujudkan melalui pembangunan nasional secara bertahap,
terencana, terarah, berkesinambungan, dan berkelanjutan. Untuk
melaksanakan pembangunan nasional dimaksud, diperlukan dana dari
masyarakat, antara lain, berupa pembayaran pajak. Oleh karena
itu, peran serta masyarakat Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban
pembayaran pajak berdasarkan ketentuan perpajakan sangat
diharapkan. Namun, dalam kenyataannya masih dijumpai adanya
tunggakan pajak sebagai akibat tidak dilunasinya utang pajak
sebagaimana mestinya. Terhadap tunggakan pajak dimaksud perlu
dilaksanakan tindakan penagihan pajak yang mempunyai kekeuatan
hukum yang memaksa. Selama ini, tindakan penagihan pajak dimaksud
dilakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang
Penagihan Pajak Negara Dengan Surat Paksa.
Undang-undang Nomor 19 Thaun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara
Dengan Surat Paksa kurang dapat sepenuhnya mendukung pelaksanaan
Undang-undang perpajakan yang berlaku sekarang sebab selain
Undang-undang perpajakan telah mengalami perubahan, juga karena
adanya perkembangan sistem hukum nasional dan kehidupan
masyarakat yang dinamis. Oleh karena itu, diperlukan
Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa yang dapat
mengatasi semua permasalahan yang timbul di masyarakat,
khususnya, permasalahan mengenai tunggakan pajak serta dapat
memberikan motivasi peningkatan kesadaran dan kepatuhan
masyarakat Wajib Pajak. Undang-undang penagihan pajak yang
demikian itu diharapkan akan dapat memberikan penekanan yang
lebih pada keseimbangan antara kepentingan masyarakat Wajib Pajak
dan kepentingan negara. keseimbangan kepentingan dimaksud berupa
pelaksanaan hak dan kewajiban oleh kedua belah pihak yang tidak
berat sebelah atau tidak memihak, adil, serasi, dan selaras dalam
wujud tata aturan yang jelas dan sederhana serta memberikan
kepastian hukum.
Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa mengatur
ketentuan tentang tata cara tindakan penagihan pajak yang berupa
penagihan seketika dan sekaligus, pelaksanaan Surat Paksa,
penyitaan, pencegahan, dan atau penyanderaan, serta pelelangan.
Dalam Undang-undang ini, Surat Paksa diberi kekuatan eksekutorial
dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan tidak dapat diajukan
banding sehingga Surat Paksa langsung dapat dilaksanakan dan
ditindaklanjuti sampai pelelangan barang Penanggung Pajak.
Selaras dengan perkembangan jenis pajak dan pungutan berdasarkan
peraturan perundang-undangan *9864 perpajakan yang dilakukan,
baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah,
Undang-undang ini dimaksudkan untuk diberlakukan terhadap
berbagai jenis pajak dimaksud. Sementara jenis pajak yang
dipungut oleh Pemerintah Pusat antara lain pajak Penghasilan,
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, Pajak Penjualan atas
Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Masuk dan Cukai, pajak
yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, antara lain, Pajak
Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel dan Restoran, Pajak
Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan
dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C, dan Pajak atas
Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
Dalam.rangka menegakkan keadilan, Undang-undang ini tetap
memberikan perlindungan hukum, baik kepada Penanggung Pajak
maupun pihak ketiga berupa hak untuk mengajukan. Karena
pelaksanaan sanggahan pada hakikatnya tidak berbeda dengan
pelaksanaan gugatan, ketentuan dalam Undang-undang ini mengatur
bahwa gugatan Penanggung Pajak terhadap tindakan pelaksanaan
penagihan pajak berupa pelaksanaan Surat Paksa, sita, atau lelang
diajukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. Sementara itu,
gugatan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita
diajukan ke Pengadilan Negeri. Sejalan dengan ketentuan dalam
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimaan telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1994 bahwa sanggahan dan atau gugatan Penanggung
Pajak terhadap pelaksanaan Surat Paksa, sita atau lelang hanya
dapat diajukan kepada badan peradilan pajak yang selanjutnya
berdasarkan Undang-undang disebut Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak. Perlindungan hukum terhadap hak dimaksud diberikan porsi
tersendiri yang dituangkan berupa ketentuan dalam beberapa pasal
di dalam Undang-undang ini.
Pelunasan utang pajak oleh Penanggung Pajak merupakan salah satu
tujuan penting dari pemberlakuan Undang-undang ini. Untuk
menambah ketajaman upaya penagihan pajak, dalam keadaan tertentu
terhadap Penanggung Pajak tertentu secara sangat selektif dan
hati-hati berdasarkan keputusan Menteri Keuangan, dapat dilakukan
tindakan pencegahan dan dengan seizin Menteri Keuangan atau
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dapat dilakukan penyanderaan.
Namun, perlindungan hak untuk memperoleh keadilan bagi Penanggung
Pajak terhadap pelaksanaan pencegahan dan atau penyanderaan
dimaksud tetap diberikan oleh Undang-undang ini.
Beberapa pokok pengaturan yang terkandung dalam Undang-undang ini
adalah sebagai berikut:
a. Ketentuan tentang pengertian Penanggung Pajak diperluas
untuk menyesuaikan dengan ketentuan perpajakan yang berlaku,
yaitu untuk Wajib Pajak badan, Penanggung Pajak adalah
pengurus yang pengertiannya telah diperluas termasuk juga
orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan
kebijaksanaan dan atau mengambil keputusan dalam menjalankan
perusahaan;
b. Dalam hal tertentu dapat dilaksanakan penagihan seketika dan
sekaligus;
c. Memperjelas dan mempertegas pemberitahuan Surat Paksa secara
lebih rinci tentang kepada siapa, di mana, kapan, dan
*9865 bagaimana Surat Paksa diberitahukan dan kemungkinan
pembetulan serta penggantian Surat Paksa;
d. Ketentuan tentang penyitaan barang yang digunakan sebagai
jaminan pelunasan utang pajak diatur secara rinci dan jelas
serta tegas yang meliputi jenis, status, nilai serta tempat
penyimpanan atau penitipan barang sitaan milik Penanggung
Pajak dengan tetap memberikan perlindungan hak bagi pihak
ketiga;
e. Untuk melindungi kepentingan masyarakat Wajib Pajak
diberikan pengecualian terhadap barang yang dapat disita;
f. Penyitaan terhadap deposito berjangka, tabungan, saldo
rekening koran, giro, atau bentuk lain yang dipersamakan
dengan itu dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih dahulu
dengan tetap memperhatikan ketentuan mengenai rahasia bank
sesuai dengan peraturan perudang-undangan yang berlaku;
g. Untuk kepentingan negara, diatur secara lebih tegas tentang
hak mendahulu yang dimiliki oleh negara terhadap pembagian
hasil lelang barang milik Penanggung Pajak;
h. Dalam rangka mendorong masyarakat agar mengutamakan
kewajiban kenegaraan, ketentuan tentang pelaksanaan
penagihan pajak sampai dengan lelang lebih dipertegas
walaupun Wajib Pajak mengajukan keberatan atau banding;
i. Untuk melindungi kepentingan pembeli barang secara lelang,
Risalah Lelang digunakan sebagai dasar pengalihan hak;
j. Dalam hal-hal tertentu pencegahan dan atau penyanderaan
dapat dilaksanakan terhadap Penanggung Pajak tertentu agar
melunasi utang pajak. Pencegahan hanya dapat dilaksanakan
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. Izin penyaderaan
yang dahulu diberikan oleh Kepala Daerah Tingkat I, menurut
Undang-undang ini diberikan oleh Menteri Keuangan atau
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Pencegahan dan atau
penyaderaan dilaksanakan secara selektif dan hati-hati;
k. Dalam rangka memberikan kepastian hukum dan penyederhanaan
prosedur, gugatan Penanggung Pajak terhadap tindakan
pelaksanaan Surat Paksa, sita, atau lelang hanya dapat
diajukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dan
gugatan tidak dapat diajukan setelah lewat waktu 14 (empat
belas) hari;
l. Dalam hal lelang telah dilaksanakan dan Wajib Pajak
memperoleh keputusan keberatan atau putusan banding yang
mengakibatkan utang pajak menjadi berkurang sehingga
menimbulkan kelebihan pembayaran pajak, Wajib Pajak tidak
dapat meminta atau tidak berhak menuntut pengembalian barang
yang telah dilelang, tetapi Pejabat mengembalikan kelebihan
pembayaran pajak dalam bentuk uang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Dalam pembentukannya, Undang-undang tentang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa, diperhatikan, diacu, dan dikaitkan dengan
Undang-undang lainnya, yaitu:
1. Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia
Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 156,
Tambahan Lembaran Negera Nomor 2104);
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
*9866 (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994
(Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3567);
3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3264), sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun
1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3568);
4. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3312), sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun
1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3569);
5. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3474);
6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3587);
7. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3608);
8. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3612);
9. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran
Negara Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3613);
10. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah
(Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3632);
11. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 40,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3684);
12. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 41,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3685);
13. Vendu Reglement Staatsblad 1908 Nomor 189 (Peraturan Lelang
Tahun 1908);
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1.
Pasal ini memuat rumusan mengenai pengertian istilah yang
bersifat teknis dan baku yang dipergunakan dalam
Undang-undang ini. Rumusan pengertian istilah ini diperlukan
untuk mencegah adanya salah penafsiran dalam melaksanakan
dan kelancaran, baik bagi Wajib Pajak maupun bagi aparatur
dalam melaksanakan hak dan kewajibannya.
Pasal 2.
*9867 Ayat (1)
Ketentuan ini memberi kewenangan kepada Menteri
menunjuk Pejabat untuk penagihan pajak pusat. Yang dimaksud
dengan Pejabat untuk penagihan pajak pusat antara lain
Kepala Kantor Pelayanan Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan
Pajak Bumi dan Bangunan. Adapun yang dimaksud dengan pajak
pusat adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat
antara lain Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak
Bumi dan Bangunan, Bea Masuk dan Cukai.
Ayat (2)
Kewenangan menunjuk Pejabat untuk penagihan pajak
daerah diberikan kepada Kepala Daerah. Yanng dimaksud dengan
Pejabat untuk penagihan pajak daerah seperti Kepala Dinas
Pendapatan Daerah. Adapun yang dimaksud dengan pajak daerah
adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, antara
lain, Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Penerangan Jalan, dan
Pajak Kendaraan Bermotor.
Ayat (3)
Ayat ini mengatur ketentuan tentang pemberian
kewenangan kepada Pejabat di bidang penagihan pajak untuk
mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak, menerbitkan
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat
Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Perintah
Penyanderaan, Surat Pencabutan Sita, Pengumuman Lelang,
Pembatalan Lelang, atau menerbitkan surat lain, misalnya,
surat permintaan bantuan kepada Kepolisian atau surat
permintaan pencegaham.
Pasal 3.
Ayat (1) dan Ayat (2)
Jurusita Pajak dalam melaksanakan tugasnya merupakan
pelaksana eksekusi dari putusan yang sama kedudukannya
dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap. Oleh karena itu, untuk dapat diangkat sebagai
Jurusita Pajak, harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang
ditetapkan oleh Menteri misalnya, pendidikan
serendah-rendahnya Sekolah Menengah Umum atau yang sederajat
serta telah mengikuti pendidikan dan pelatihan khusus
Jurusita Pajak.
Dengan pertimbangan bahwa Jurusita Pajak harus ada pada
setiap kantor Pejabat, baik Pejabat untuk penagihan pajak
pusat maupun Pejabat untuk penagihan pajak daerah, maka
kewenangan pengangkatan dan pemberhentian Jurusita Pajak
diberikan kepada Pejabat dengan berpedoman pada
syarat-syarat dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 4.
Cukup jelas
Pasal 5.
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
*9868 Huruf b
Yang dimaksud dengan memberitahukan Surat Paksa
adalah penyampaian Surat Paksa secara resmi kepada
Penanggung Pajak dengan pernyataan dan penyerahan salinan
Surat Paksa.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Jurusita Pajak melaksanakan penyanderaan
berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan dari Pejabat sesuai
dengan izin yang diberikan oleh Menteri atau Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I.
Ayat (2)
Ketentuan ini mengatur keharusan Jurusita Pajak dalam
melaksanakan kewajibannya dilengkapi dengan kartu tanda
pengenal yang diterbitkan oleh Pejabat. Hal ini dimaksudkan
sebagai bukti diri bagi Jurusita Pajak bahwa yang
bersangkutan adalah Jurusita Pajak yang sah dan betul-betul
bertugas untuk melaksanakan tindakan penagihan pajak.
Ayat (3) dan Ayat (4)
Ketentuan ini mengatur kewenangan Jurusita Pajak dalam
melaksanakan penyitaan untuk menemukan objek sita yang ada
ditempat usaha, tempat kedudukan, atau tempat tinggal
Penanggung Pajak dengan memperhatikan norma yang berlaku
dalam masyarakat, misalnya dengan terlebih dahulu meminta
izin dari Penanggung Pajak. Kewenangan ini pada hakikatnya
tidak sama dengan penggeledahan sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Jurusita Pajak dalam melaksanakan tugas dapat meminta
bantuan pihak lain, misalnya, dalam hal Penanggung Pajak
tidak memberi izin atau menghalangi pelaksanaan penyitaan,
Jurusita Pajak dapat meminta bantuan Kepolisian atau
Kejaksaan. Demikian juga dalam hal penyitaan terhadap barang
tidak bergerak seperti tanah, Jurusita Pajak dapat meminta
bantuan kepada Badan Pertanahan Nasional atau Pemerintah
Daerah untuk meneliti kelengkapan dokumen berupa keterangan,
kepemilikan atau dokumen lainnya. Dalam hal penyitaan
terhadap kapal laut dengan isi kotor tertentu dapat meminta
bantuan kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.
Ayat (5)
Pada dasarnya Jurusita Pajak melaksanakan tugas di
wilayah kerja Pejabat yang mengangkatnya, namun apabila
dalam suatu kota terdapat beberapa wilayah kerja Pejabat,
misalnya, di Jakarta, maka Menteri atau Kepala Daerah
berwenang menetapkan bahwa Jurusita Pajak dapat melaksanakan
tugasnya di luar wilayah kerja Pejabat yang mengangkatnya.
Contoh:
Jurusita Pajak dari Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Menteng
dapat melaksanakan penyitaan barang Penanggung Pajak yang
berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Pasar
*9869 Minggu.
Pasal 6.
Ayat (1)
Penyampaian Surat Perintah Penagihan Seketika dan
Sekaligus dilaksanakan secara langsung oleh Jurusita Pajak
kepada Penanggung Pajak.
Dalam hal diketahui oleh Jurusita Pajak bahwa barang
milik Penanggung Pajak akan disita oleh pihak ketiga atau
terdapat tanda-tanda kepailitan, Jurusita Pajak segera
melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus dengan
melaksanakan penyitaan terhadap sebagian besar barang milik
Penanggung Pajak dimaksud setelah Surat Paksa diberitahkan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 7.
Ayat (1)
Agar tercapai efektivitas dan efisiensi penagihan pajak
yang didasari oleh Surat Paksa, ketentuan ini memberi
kekuatan eksekutorial serta memberi kedudukan hukum yang
sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap kepada Surat Paksa. Dengan demikian, Surat Paksa
langsung dapat dilaksanakan tanpa bantuan putusan pengadilan
lagi dan tidak dpat diajukan banding.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8.
Huruf a
Pada dasarnya Surat Teguran, atau Surat Peringatan,
atau surat lain yang sejenis hanya diterbitkan satu kali.
Pengertian surat lain yang sejenis meliputi surat atau
bentuk lain yang fungsinya sama dengan Surat Teguran atau
Surat Peringatan dalam upaya penagihan pajak sebelum Surat
Paksa siterbitkan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Dalam hal-hal tertentu, misalnya, karena Penanggung
Pajak mengalami kesulitan likuiditas, kepada Penanggung
Pajak atas dasar permohonannya dapat diberikan persetujuan
untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak melalui
keputusan Pejabat. Oleh karena itu, keputusan dimaksud
mengikat kedua belah pihak.
Dengan demikian, apabila kemudian Penanggung Pajak
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam
keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran
pajak, maka Surat Paksa dapat diterbitkan langsung tanpa
Surat Teguran, Surat Peringatan, atau surat lain yang
sejenis.
Pasal 9.
Ayat (1) dan Ayat (2)
*9870 Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatur bahwa
apabila terjadi keadaan di luar kekuasaan Pejabat, misalnya
kecurian, kebanjiran, kebakaran, atau gempa bumi yang
menyebabkan asli Surat Paksa rusak, tidak terbaca, atau
tidak dapat ditentukan lagi, Pejabat karena jabatan dapat
menerbitkan Surat Paksa pengganti yang mempunyai kekuatan
dan kedudukan hukum yang sama dengan Surat Paksa.
Pasal 10
Ayat (1) dan Ayat (2)
Mengingat Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial
dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka pemeberitahuan
kepada Penanggung Pajak oleh Jurusita Pajak dilaksanakan
dengan cara membacakan isi Surat Paksa dan kedua belah pihak
menandatangi Berita Acara sebagai pernyataan bahwa Surat
Paksa telah diberitahukan, dan selanjutnya salinan Surat
Paksa diserahkan kepada Penanggung Pajak, sedangkan asli
Surat Paksa disimpan di Kantor Pejabat.
Ayat (3)
Terhadap Wajib Pajak yang meninggal dunia dan
meninggalkan warisan yang telah dibagi, Surat Paksa
diterbitkan dan diberitahukan kepada masing-masing ahli
waris. Surat Paksa dimaksud memuat, antara lain, jumlah
tunggakan utang pajak yang telah dibagi sebanding dengan
besarnya warisan yang diterima oleh masing-masing. Dalam hal
ahli waris belum dewasa, Surat Paksa diserahkan kepada wali
atau pengampunya.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan pengurus, misalnya:
- untuk perseroan terbatas sesuai dengan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
adalah dewan direksi dan dewan komisaris;
- untuk badan usaha lainnya seperti
persekutuan, firma, CV adalah direktur atau orang yang
ditunjuk untuk melaksanakan dan mengendalikan serta
bertanggung jawab atas perusahaan dimaksud;
- untuk yayasan adalah ketua dan orang yang
melaksanakan dan mengendalikan serta bertanggung jawab atas
yayasan dimaksud.
Termasuk dalam pengertian pengurus adalah
orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan
kebijaksanaan dan atau mengambil keputusan, sedangkan yang
dimaksud dengan pemegang saham adalah pemegang saham
mayoritas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan pegawai tingkat pimpinan
adalah pegawai yang mengepalai salah satu bagian, misalnya,
bagian pembukuan, keuangan, personalia, hubungan masyarakat,
atau bagian umum.
Ayat (5)
*9871 Cukup jelas
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan seorang kuasa pada ayat ini adalah
orang pribadi atau badan yang menerima kuasa khusus untuk
menjalankan hak dan kewajiban perpajakan.
Ayat (7)
Apabila Jurusita Pajak tidak menjumpai seorangpun
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), selain
Surat Paksa disampaikan kepada Penanggung Pajak melalui
aparat Pemerintah Daerah setempat sekurang-kurangnya
setingkat Kepala Kelurahan atau Kepala Desa dengan membuat
Berita Acara, yang selanjutnya salinan Surat Paksa
disampaikan kepada Penanggung Pajak melalui aparat
Pemerintah Daerah setempat sekurang-kurangnya setingkat
Kepala Kelurahan atau Kepala Desa dengan membuat Berita
Acara, yang selanjutnya salinan Surat Paksa dimaksud akan
segera diserahkan kepada Penanggung Pajak yang bersangkutan.
Ayat (8)
Cukup jelas
Ayat (9)
Pada dasarnya apabila Surat Paksa akan dilaksanakan di
luar wilayah kerja Pejabat, Pejabat dimaksud harus meminta
bantuan kepada Pejabat lain. Namun, apabila di suatu kota
terdapat beberapa wilayah kerja Pejabat, Menteri atau Kepala
Daerah berwenang menetapkan bahwa Pejabat dimaksud dapat
melaksanakan Surat Paksa di luar wilayah kerjanya tanpa
harus meminta bantuan Pejabat setempat.
Contoh:
Kepala Kantor Pelayanan Pajak Surabaya Krembangan akan
melaksanakan Surat Paksa di tempat usaha Penanggung Pajak di
Pasar Genteng, Surabaya .Dalam hal ini, Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Surabaya Krembangan dapat langsung
melaksanakan Surat Paksa di tempat usaha Penanggung Pajak
tanpa harus meminta bantuan dari Kepala Kantor Pelayanan
Pajak Surabaya Genteng.
Ayat (10)
Cukup jelas
Ayat (11)
Apabila Penanggung Pajak menolak menerima Surat Paksa
dengan berbagai alasan, misalnya, karena Wajib Pajak sedang
mengajukan keberatan, salinan Surat Paksa dimaksud
ditinggalkan di tempat tinggal, tempat usaha, atau tempat
kedudukan Penanggung Pajak dan dicatat dalam Berita Acara
bahwa Penanggung Pajak tidak mau atau menolak menerima
salinan Surat Paksa. Dengan demikian, Surat Paksa dianggap
telah diberitahukan.
Pasal 11
Jangka waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam
dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Penanggung Pajak
melunasi utang pajak sebagaimana tercantum dalam Surat Paksa
yang bersangkutan.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kehadiran para saksi dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa
pelaksanaan penyitaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
Ayat (3)
Berita.Acara Pelaksanaan Sita merupakan pemberitahuan
kepada Penanggung Pajak dan myasarakat bahwa penguasaan
barang Penanggung Pajak telah berpindah dari Penanggung
Pajak kepada Pejabat. Oleh karena itu, dalam setiap
penyitaan, Jurusita Pajak harus membuat Berita Acara
Pelaksanaan Sita secara jelas dan lengkap yang
sekurang-kurangnya memuat hari dan tanggal, nomor, nama
Jurusita Pajak, nama Penanggung Pajak, nama dan jenis barang
yang disita, dan tempat penyitaan.
Ayat (4)
Seorang saksi dari Pemerintah Daerah setempat,
sekurang-kurangnya setingkat Kepala Kelurahan atau Kepala
Desa.
Ayat (5)
Dalam pelaksanaan sita yang tidak dihadiri oleh
Penanggung Pajak, Berita Acara Pelaksanaan Sita harus memuat
alan ketidakhadiran Penanggung Pajak. Diperlukannya saksi
dari Pemerintah Daerah setempat berfungsi sebagai saksi
legalisator. Dengan demikian, Berita Acara Pelaksanaan Sita
dimaksud tetap sah dan mempunyai kekuatan mengikat.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Pada dasarnya terhadap barang yang disita harus
ditempeli salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita, kecuali
jika terdapat barang yang disita yang sesuai sifatnya tidak
dapat ditempati salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita,
misalnya, uang tunai atau sebidang tanah.
Ayat (8)
Penempelan atau pemberian segel sita pada barang yang
disita dimaksudkan sebagai pengumuman bahwa penyitaan telah
dilaksanakan, baik dihadiri ataupun tidak dihadiri oleh
Penanggung Pajak.
Pasal 13
Ketentuan ini sejalan dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun
1994 yang, antara lain, mengatur bahwa pengajuan keberatan
tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan
penagihan pajak. Oleh karena itu, penyitaan tetap dapat
dilaksanakan walaupun Wajib Pajak mengajukan keberatan.
Pasal 14
Ayat (1)
Tujuan penyitaan adalah memperoleh jaminan pelunasan
*9873 utang pajak dari Penanggung Pajak. Oleh karena itu,
penyitaan dapat dilaksanakan terhadap semua barang
Penanggung Pajak, baik yang berada di tempat tinggal, tempat
usaha, tempat kedudukan Penanggung Pajak, atau di tempat
lain sekalipun sekalipun penguasaannya kerada di tangan
pihak lain.
Pada dasarnya penyitaan dilaksanakan dengan
mendahulukan barang bergerak, namun dalam keadaan tertentu
penyitaan dapat dilaksanakan langsung terhadap barang tidak
bergerak tanpa melaksanakan penyitaan terhadap barang
bergerak. Keadaan tertentu, misalnya, Jurusita Pajak tidak
menjumpai barang bergerak yang dapat dijadikan obyek sita,
atau barang bergerak yang dijumpainya tidak mempunyai nilai,
atau harganya tidak memadai jika dibandingkan dengan utang
pajaknya.
Pengertian kepemilikan atas tanah meliputi, antara
lain, hak milik, hak pakai, hak guna bangunan, dan hak guna
usaha.
Yang dimaksud dengan penguasaan berada di tangan pihak
lain misalnya, disewakan atau dipinjamkan, sedangkan yang
dimaksud dengan dibebani dengan hak tanggungan sebagai
jaminan pelunasan utang tertentu, misalnya, barang yang
dihipotekkan, digadaikan, atau diagunkan.
Ayat (2)
Dalam memperkirakan nilai barang yang disita, Jurusita
Pajak harus memperhatikan jumlah dan jenis barang
berdasarkan harga wajar sehingga Jurusita Pajak tidak dapat
melakukan penyitaan secara berlebihan. Dalam hal tertentu
Jurusita Pajak dimungkinkan untuk meminta bantuan jasa
penilai.
Ayat (3)
Ketentuan ini diperlukan untuk menampung kemungkinan
perluasan objek sita berupa hak lainnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Pasal 15
Ayat (1)
Dalam rangka menjaga kelangsungan hidup dan usaha
Penanggung Pajak, terhadap barang tertentu yang digunakan
sehari-hari oleh Penanggung Pajak dan alat-alat yang
digunakan penyandang cacat dikecualikan dari penyitaan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 16
Meskipun barang yang telah disita penguasaannya beralih dari
Penanggung Pajak kepada Pejabat, penyimpanannya dititipkan
kepada Penanggung Pajak, misalnya, tanah dan atau bangunan.
Namun, ada barang yang karena sifatnya atau karena
pertimbangan tertentu dari Jurusita Pajak, penyimpanannya
dapat dititipkan pada bank, atau kantor pegadaian, atau
disimpan di kantor Pejabat seperti perhiasan atau peralatan
elektronik.
Pasal 17
Ayat (1)
Penyitaan atas kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan
di bank berupa deposito berjangka, tabungan, saldo rekening
koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
itu dilaksanakan dengan cara pemblokiran terlebih dahulu
yang pelaksanaannya mengacu pada ketentuan mengenai rahasia
bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Ayat (2)
Penyitaan barang yang kepemilikannya terdaftar seperti
kendaraan bermotor diberitahukan kepada Kepolisian Negara
Republik Indonesia; tanah diberitahukan kepada Badan
Pertanahan Nasional; penyitaan kapal laut dengan isi kotor
tertentu diberitahukan kepada Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut. Pemberitahuan ini dimaksudkan agar barang
sitaan dimaksud tidak dapat dipindahtangankan sebelum utang
pajak beserta biaya penagihan pajak dan biaya lainnya
dilunasi oleh Penanggung Pajak.
Pemberitahuan dilakukan dengan penyerahan salinan
Berita Acara Pelaksanaan Sita.
Ayat (3)
Atas penyitaan barang tidak bergerak, misalnya, tanah
yang kepemilikannya belum terdaftar di Badan Pertanahan
Nasional, Berita Acara Pelaksanaan Sita disampaikan kepada
Pemerintah Daerah setempat untuk digunakan sebagai dasar
penerbitan Surat Keterangan Riwayat Tanah dan untuk mencegah
pemindahtanganan tanah dimaksud. Penyampaian Berita Acara
Pelaksanaan Sita ke Pengadilan Negeri dimaksudkan untuk
didaftarkan kepada kepaniteraan Pengadilan Negeri.
Pengadilan Negeri dan Pemerintah Daerah setempat selanjutnya
mengumumkan penyitaan dimaksud.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan agar penyitaan dapat
dilaksanakan sebelum barang dikembalikan kepada Penanggung
Pajak.
Dalam hal Kejaksaan atau Kepolisian lalai
memberitahukan kepada Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa,
sehubungan dengan akan dikembalikannya barang yang disita
kepada Penanggung Pajak, kepada yang bersangkutan dikenakan
sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Ayat (3
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi penegasan bahwa
terhadap semua jenis barang yang telah disita oleh
Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang, tidak
boleh disita lagi oleh Jurusita Pajak. Adapun yang
*9875 dimaksud dengan instansi lain yang berwenang adalah
instansi lain yang juga berwenang melakukan penyitaan,
misalnya, Panitia Urusan Piutang Negara.
Ayat (2)
Penyerahan salinan Surat Paksa oleh Jurusita Pajak
kepada Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang
dimaksudkan agar Pengadilan Negeri atau instansi lain yang
berwenang menentukan bahwa penyitaan atas barang dimaksud
juga berlaku sebagai jaminan untuk pelunasan utang pajak
yang tercantum dalam Surat Paksa.
Ayat (3)
Pengadilan Negeri setelah salinan Surat Paksa
selanjutnya dalam sidang berikutnya menetapkan bahwa barang
yang telah disita dimaksud juga sebagai jaminan pelunasan
utang pajak.
Dengan demikian, berdasarkan penetapan Pengadilan
Negeri dimaksud pihak lain yang berkepentingan dapat
mengetahuinya secara resmi.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Sebagai kelanjutan dari penetapan Pengadilan Negeri
yang menentukan pembagian hasil penjualan barang sitaan
dengan memperhatikan hak mendahulu untuk tagihan pajak,
apabila putusan dimaksud kemudian telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, Pengadilan Negeri segera mengirimkan putusannya
ke Kantor Lelang untuk dipergunakan sebagai dasar pembagian
hasil lelang.
Pasal 20
Ayat (1)
Pada dasarnya apabila objek sita berada di luar wilayah
kerja Pejabat, Pejabat dimaksud harus meminta bantuan kepada
Pejabat lain untuk menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan terhadap objek sita dimaksud. Namun, apabila di
suatu kota terdapat beberapa wilayah kerja Pejabat, Menteri
atau Kepala Daerah berwenang menetapkan bahwa Pejabat
dimaksud dapat menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan dan memerintahkan Jurusita Pajak untuk
meleksanakan penyitaan terhadap objek sita yang berada di
luar wilayah kerjanya tanpa harus meminta bantuan Pejabat
setempat.
Contoh:
Kepala Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Kebayoran Baru akan
melaksanakan penyitaan terhadap objek sita yang berada di
Tanjung Priok yang bukan merupakan wilayah kerjanya. Dalam
hal ini, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Kebayoran
Baru dapat langsung melaksanakan penyitaan terhadap objek
sita dimaksud tanpa meminta bantuan dari Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Jakarta Tanjung Priok.
Ayat (2)
*9876
Ketentuan ini dimaksudkan agar Pejabat yang menerbitkan
Surat Paksa dapat meminta bantuan kepada Pejabat lain untuk
menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dan
memerintahkan Jurusita pajak untuk melaksanakan penyitaan
terhadap barang yang berada jauh dari tempat kedudukan
Pejabat dimaksud sekalipun masih berada dalam wilayah
kerjanya. Misalnya, apabila Kepala Kantor Pelayanan Pajak
Perusahaan Negara dan Daerah di Jakarta yang wilayah
kerjanya meliputi seluruh Indonesia akan melakukan.penyitaan
terhadap barang milik Penanggung Pajak yang berada di
Kupang, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Negara dan
Daerah dapat meminta bantuan kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak Kupang.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 21
Apabila hasil lelang barang yang telah disita tidak cukup
untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak,
Jurusita Pajak dapat melaksanakan penyitaan tambahan
terhadap barang milik Penanggung Pajak yang belum disita.
Dengan demikian, penyitaan dapat dilaksanakan lebih dari
satu kali sampai dengan jumlah yang cukup untuk melunasi
utang pajak.
Pasal 22
Ayat (1)
Ketentuan ini memberi kewenangan kepada Menteri atau
Kepala Daerah untuk melakukan pencabutan sita karena adanya
sebab-sebab di luar kekuasaan Pejabat yang bersangkutan,
misalnya, objek sita terbakar, hilang, atau musnah. Yang
dimaksud dengan putusan pengadilan adalah putusan hakim dari
peradilan umum. Putusan peradilan umum, misalnya, putusan
atas gugatan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang
disita, sedangkan putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak,
misalnya, putusan atas gugatan Penanggung Pajak terhadap
pelaksanaan sita.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (2)
Huruf a dan Huruf b
Karena penguasa barang yang disita talah
beralih dari Penanggung Pajak kepada Pejabat, maka
Penanggung Pajak dilarang untuk memindahtangankan atau
memindahkan hak atas barang yang disita, misalnya, dengan
cara menjual menghibahkan, mewariskan, mewakafkan, atau
menyumbangkan kepada pihak lain. Selain itu, Penanggung
pajak juga dilarang membebani barang yang telah disita
dengan hak jaminan untuk pelunasan utang tertentu atau
menyewakan. Larangan dimaksud berlaku baik untuk
*9877 seluruh maupun untuk sebagian barang yang disita.
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Sekalipun Penanggung Pajak telah melunasi utang
pajak, tetapi belum melunasi biaya penagihan pajak,
penjualan secara lelang terhadap barang yang telah disita
tetap dapat dilaksanakan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Pemindahbukuan objek sita yang tersimpan di
bank berupa deposito berjangka, tabungan, saldo rekening
koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
itu dilaksanakan dengan mengacu kepada ketentuan mengenai
rahasia bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan pihak-pihak pada ayat (3):
Huruf b, adalah bank termasuk lembaga keuangan
lainnya;
huruf c, adalah bursa efek;
huruf d, adalah Pejabat;
huruf e, adalah Notaris, debitur;
huruf f, adalah Notaris.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan
kepada Penanggung Pajak melunasi utang pejaknya sebelum
pelelangan terhadap barang yang disita dilaksanakan. Sesuai
dengan ketentuan dalam peraturan lelang setiap penjualan
secara lelang harus didahului dengan pengumuman lelang.
Pengumuman lelang harus dilaksanakan sekurang-kurangnya 14
(empat belas) hari setelah penyitaan, sedangkan lelang
dilaksanakan sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari sejak
pengumuman lelang. Apabila *9878 Penanggung pajak belum
juga melunasi utang pejaknya, sedangkan lelang harus
dilaksanakan, kepada Penanggung Pajak masih diberi
kesempatan untuk menentukan urutan barang yang akan
dilelang. Dalam hal Penanggung Pajak tidak menggunakan
kesempatan dimaksud atau apabila pelaksanaan lelang
berdasarkan urutan yang ditentukan Penanggung Pajak menjadi
terhambat, Pajabat menentukan kembali urutan barang yang
dilelang dimaksud.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Kehadiran Pejabat atau yang mewakilinya dalam
pelaksanaan lelang diperlukan untuk menentukan dilepas atau
tidaknya barang yang dilelang apabila harga penawaran yang
diajukan oleh calon pembeli lelang lebih rendah dari harga
limit yang ditentukan. Selain itu, kehadiran Pejabat atau
yang mewakilinya juga diperlukan untuk menghentikan lelang
apabila hasil lelang sudah cukup untuk melunasi biaya
penagihan pajak dan utang pajak.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Mengingat bahwa lelang merupakan tindak lanjut
eksekusi dari Surat Paksa yang kedudukannya sama dengan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap, maka sekalipun Wajib Pajak mengajukan keberatan dan
belum memperoleh keputusan, lelang tetap dapat dilaksanakan.
Ayat (2)
Karena penguasaan barnag yang disita telah
berpindah dari Penanggung Pajak kepada Pejabat, maka Pejabat
yang bersangkutan mempunyai wewenang untuk menjual barang
yang disita dimaksud.
Mengingat Penanggung Pajak yang memiliki barang
yang disita telah diberitahukan bahwa barang yang disita
akan dijual secara lelang pada waktu yang telah ditentukan,
lelang tetap dapat dilaksanakan walaupun tanpa dihadiri oleh
Penanggung Pajak.
Ayat (3)
Pada dasarnya lelang tidak dilaksanakan apabila
Penanggung Pajak.telah melunasi utang pajak dan biaya
penagihan pajak. Namun, dalam hal terdapat putusan
pengadilan yang mengabulkan gugatan pihak ketiga atas
kepemilikan barang yang disita, atau putusan Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak yang mengabulkan gugatan
Penanggung Pajak atas pelaksanaan penagihan pajak, atau
barang sitaan yang akan dilelang musnah karena terbakar atau
bencana alam, lelang tetap tidak dilaksanakan walaupun utang
pajak dan biaya penagihan pajak belum *9879 dilunasi.
Pasal 28
Ayat (1) sampai dengan Ayat (4)
Tujuan utama lelang adalah untuk melunasi biaya
penagihan pajak dan utang pajak dengan tetap memberi
perlindungan kepada Penanggung Pajak agar lelang tidak
dilaksanakan secara berlebihan.
Selain itu, ketentuan ini dimaksudkan untuk
melindungi Penanggung Pajak agar Pejabat tidak berbuat
sewenang-wenang dalam melakukan penjualan secara lelang
termasuk, misalnya, dalam penentuan harga limit. Sisa barang
sitaan beserta kelebihan uang hasil lelang dikembalikan.oleh
Pejabat kepada Penanggung Pajak segera setelah dibuatnya
Risalah Lelang sebagai tanda bahwa lelang telah selesai
dilaksanakan. Risalah Lelang, antara lain, memuat keterangan
tentang barang sitaan telah terjual.
Ayat (5)
Sebagai syarat pengalihan hak dari Penanggung
Pajak kepada pembeli lelang dan juga sebagai perlindungan
hukum terhadap hak pembeli lelang, kepadanya harus diberikan
Risalah Lelang yang berfungsi sebagai akte jual beli yang
merupakan bukti otentik sebagai dasar pendaftaran dan
pengalihan hak.
Pasal 29
Pencegahan diperlukan sebagai salah satu upaya
penagihan pajak. Namun, agar pelaksanaan pencegahan tidak
sewenang-wenang, maka pelaksanaan pencegahan sebagai upaya
penagihan pajak diberikan syarat-syarat, baik yang bersifat
kuantitatif, yakni harus memenuhi utang pajak dalam jumlah
tertentu maupun yang bersifat kualitatif, yakni diragukan
itikad baiknya dalam melunasi utang pajak sehingga
pencegahan hanya dilaksanakan secara sangat selektif dan
hati-hati.
Pasal 30
Ayat (1)
Pelaksanaan pencegahan hanya dapat dilaksanakan
berdasarkan keputusan Menteri sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang
Keimigrasian yang, antara lain, menentukan bahwa yang
berwenang dan bertanggung jawab atas pencegahan adalah
Menteri sepanjang menyangkut urusan piutang negara.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 31
Berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan,
utang *9880 pajak hapus apabila sudah dibayar lunas
atau karena kedaluwarsa. Dengan demikian, pencegahan
Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak.
Oleh karena itu, sekalipun terhadap Penanggung Pajak telah
dilakukan pencegahan, tindakan penagihan pajak tidak
terhenti dan tetap dapat dilaksanakan.
Pasal 32
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku adalah Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang
Keimigrasian.
Pasal 33
Ayat (1)
Penyanderaan merupakan salah satu upaya penagihan
pajak yang wujudnya berupa pengekangan sementara waktu
terhadap kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya
pada tempat tertentu. Agar penyanderaan tidak dilaksanakan
sewenang-wenang dan juga tidak bertentangan dengan rasa
keadilan bersama, maka diberikan syarat-syarat tertentu,
baik syarat yang bersifat kuantitatif, yakni harus memenuhi
utang pajak dalam jumlah tertentu, maupun syarat yang
bersifat kualitatif, yakni diragukan itikad baik Penanggung
Pajak dalam melunasi utang pajak, serta telah dilaksanakan
penagihan pajak sampai dengan Surat Paksa. Dengan demikian,
Pejabat mendapatkan data atau informasi yang akurat yang
diperlukan sebagai bahan pertimbangan untuk mengajukan
permohonan izin penyanderaan. Penyanderaan hanya
dilaksanakan secara sangat selektif, hati-hati, dan
merupakan upaya terakhir.
Ayat (2)
Persyaratan izin penyanderaan dari Menteri atau
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dimaksudkan agar
penyanderaan dilakukan secara sangat selektif dan hati-hati.
Oleh karena itu, Pejabat tidak boleh menerbitkan Surat
Perintah Penyanderaan sebelum mendapat izin tertulis dari
Menteri atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan,
utang pajak hapus apabila sudah dibayar lunas atau karena
kedaluwarsa. Dengan demikian, penyanderaan Penanggung Pajak
tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak.
Oleh karena itu, sekalipun terhadap Penanggung Pajak
telah *9881 dilakukan penyanderaan, tindakan penagihan
pajak tidak terhenti dan tetap dilaksakan.
Pasal 36
Sebelum tempat penyanderaan ditentukan dengan Peraturan
Pemerintah, Penanggung Pajak yang disandera dititipkan
sementara di rumah tahanan negara.
Pasal 37
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan hak kepada
Penanggung Pajak untuk mengajukan gugatan kepada Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak dalam hal Penanggung Pajak tidak
setuju dengan pelaksanaan penagihan pajak yang meliputi
pelaksanaan Surat Paksa, sita atau lelang. Termasuk dalam
pengertian gugatan dalam Undang-undang ini adalah sanggahan
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994.
Ayat (2)
Jangka waktu 14 (empat belas) hari untuk mengajukan
gugatan dianggap memadai dan telah sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Undang-undang tentang Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak.
Jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap Surat
Paksa dihitung sejak pemberitahuan kepada Penanggung Pajak,
untuk sita dihitung sejak pembuatan Berita Acara Pelaksanaan
Sita, dan untuk lelang dihitung sejak Pengumuman Lelang.
Dengan demikian, lelang tidak boleh dilaksanakan sebelum lewat
14 (empat belas) hari sejak Pengumuman Lelang. Apabila dalam
jangka waktu dimaksud Penanggung Pajak tidak mengajukan
gugatan, maka hak Penanggung Pajak untuk menggugat dinyatakan
gugur.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pada dasarnya pihak ketiga dapat mengajukan
gugatan terhadap kepemilikan barang yang disita oleh
jurusita Pajak melalui proses perdata. namun, apabila
Pejabat lelang telah menunjuk seorang pembeli sebagai
pemenang lelang dalam proses lelang yang sedang
berlangsung, maka gugatan tidak dapat diajukan lagi
terhadap kepemilikan untuk memberikan kepastian hukum dan
melindungi kepentingan pembeli lelang karena kepada pihak
ketiga *9882 telah diberikan kesempatan yang cukup untuk
mengajukan gugatan sebelum lelang dilaksanakan.
Pasal 39
Ayat (1)
Ketentuan ini mengatur pembetulan atas kesalahan
atau kekeliruan dalam penulisan nama, alamat, Nomor Pokok
Wajib Pajak, jumlah utang pajak, atau keterangan lainnya
yang tercantum dalam Surat Perintah Penagihan Seketika dan
Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan, Surat Perintah Penyanderaan, dan Pengumuman
Lelang yang permohonannya diajukan oleh penanggung Pajak
kepada Pejabat. Dalam hal Penanggung Pajak mengajukan
permohonan penggantian surat-surat dimaksud, baik karena
hilang maupun rusak, atau karena alasan lain, penggantiannya
diberikan dalam bentuk salinan atau turunan yang
ditandatangani oleh Pejabat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam hal barang yang dimiliki oleh Penanggung
Pajak telah dilelang dan kemudian diperoleh keputusan
keberatan atau putusan banding yang mengakibatkan utang
pajak menjadi berkurang atau nihil sehingga menimbulkan
kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran dimaksud
hanya dapat dikembalikan dalam bentuk uang.
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan agar gugatan Penanggung
Pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak yang telah
diajukan kepada Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha
Negara sebelum badan Penyelesaian Sengketa Pajak terbentuk,
tetap diselesaikan oleh badan peradilan yang bersangkutan.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketentuan pelaksanaan yang masih berlaku, antara
lain, ketentuan tentang tata cara angsuran dan penundaan
pembayaran pajak, ketentuan tentang tata cara pelaksanaan
*9883 penagihan pajak dan penunjukan Pejabat yang berwenang
mengeluarkan Surat Paksa, ketentuan mengenai besarnya biaya
penagihan pajak, dan ketentuan tentang tata cara
pengahapusan piutang pajak dan besarnya piutang pajak.
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAHUN 1997 NOMOR 368
Silahkan download versi PDF nya sbb:
penagihan_pajak_dengan_surat_paksa_(uu_19_thn_199_19.pdf
(ogi/Carapedia)
Pencarian Terbaru
Timbulnyasurat paksa menurut uu no 19 tahun 2000. Contoh surat permohonan risalah lelang dari debitur ke bank.
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)






