- Home »
- Undang-Undang »
- 1997 » Undang-Undang Ketenagaunukliran (UU 10 thn 1997)
1997
Undang-Undang Ketenagaunukliran (UU 10 thn 1997)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1997 Tentang Ketenagaunukliran :
Silahkan download versi PDF nya sbb:
ketenagaunukliran_(uu_10_thn_1997)_10.pdf
UU 10/1997, KETENAGAUNUKLIRAN
*9579 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU)
NOMOR 10 TAHUN 1997 (10/1997)
TENTANG
KETENAGAUNUKLIRAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa ketenaganukliran menyangkut kehidupan dan keselamatan
orang banyak, oleh karena itu harus dikuasai oleh negara,
yang pemanfaataannya bagi pembangunan nasional ditujukan
untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata
materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa perkembangan dan pemanfaatan tenaga nuklir dalam
berbagai bidang kehidupan manusia di dunia sudah demikian
maju sehingga pemanfaatan dan pengembangannya bagi
pembangunan nasional yang berkesinambungan dan berwawasan
lingkungan perlu ditingkatkan dan diperluas untuk ikut
meningkatkan kesejahteraan dan daya saing bangsa;
c. bahwa demi keselamatan, keamanan, ketenteraman, kesehatan
pekerja dan anggota masyarakat, dan perlindungan terhadap
lingkungan hidup, pemanfaatan tenaga nuklir dilakukan secara
tepat dan hati-hati serta ditujukan untuk maksud damai dan
keuntungan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat;
d. bahwa karena sifat tenaga nuklir selain dapat memberikan
manfaat juga dapat menimbulkan bahaya radiasi, maka setiap
kegiatan yang berkaitan dengan tenaga nuklir harus diatur
dan diawasi oleh Pemerintah;
e. bahwa Undang-undang Nomor 31 Tahun 1964 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan keadaan;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, dipandang
perlu membentuk Undang-undang tentang Ketenaganukliran.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara
Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2831);
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGANIKLIRAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Ketenaganukliran adalah hal yang berkaitan dengan
pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi nuklir serta pengawasan kegiatan yang
berkaitan dengan tenaga nuklir.
2. Tenaga nuklir adalah tenaga dalam bentuk apa pun yang
dibebasakan dalam proses transformasi inti, termasuk tenaga
yang berasal dari sumber radiasi pengion.
3. Radiasi pengion adalah gelombang elektromagnetik dan
partikel bermuatan yang karena energi yang dimilikinya mampu
mengionisasi media yang dilaluinya.
4. Pemanfaatan adalah kegiatan yang berkaitan dengan tenaga
nuklir yang meliputi penelitian, pengembangan, penambangan,
pembuatan, produksi, pengangkutan, penyimpanan, pengalihan,
ekspor, impor, penggunaan, dekomisioning, dan pengelolaan
limbah radioaktif untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
5. bahan nuklir adalah bahan yang dapat menghasilkan reaksi
pembelahan berantai atau bahan yang dapat diubah menjadi
bahan yang dapat menghasilkan reaksi pembelahan berantai.
6. bahan galian nuklir adalah bahan dasar untuk pembuatan bahan
bakar nuklir.
7. Bahan bakar nuklir adalah bahan yang dapat menghasilkan
proses transformasi inti berantai.
8. Limbah radioaktif adalah zat radioaktif dan bahan serta
peralatan yang telah terkena zat radioaktif atau menjadi
radioaktif karena pengoperasian instalasi nuklir yang tidak
dapat digunakan lagi.
9. Zat radioaktif adalah setiap zat yang memancarkan radiasi
pengion dengan aktivitas jenis lebih besar dari pada 70
kBq/kg (2 nCi/g).
10. Pengelolaan limbah radioaktif adalah pengumpulan
pengelompokan, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan,
dan/atau pembuangan limbah radioaktif.
11. Radioisotop adalah isotop yang mempunyai kemampuan untuk
memancarkan radiasi pengion.
12. Instalasi nuklir adalah:
a. reaktor nuklir;
b. fasilitas yang digunakan untuk pemurnian, konversi,
pengayaan bahan nuklir, fabrikasi bahan bakar nuklir
dan/atau pengolahan ulang bahan bakar nuklir bekas; dan/atau
c. fasilitas yang digunakan untuk menyimpan bahan bakar
nuklir dan bahan bakar nuklir bebas.
13. Reaktor nuklir adalah alat atau instalasi yang dijalankan
dengan bahan bakar nuklir yang dapat menghasilkan reaksi
*9581 inti berantai yang terkendali dan digunakan untuk
pembangkitan daya, atau penelitian, dan/atau produksi
radioisotop.
14. Dekomisioning adalah suatu kegiatan untuk menghentikan
beroperasinya reaktor nuklir secara tetap, antara lain,
dilakukan pemindahan bahan bakar nuklir dari teras reaktor,
pembongkaran komponen reaktor, dekontaminasi, dan pengamanan
akhir.
15. Kecelakaan nuklir adalah setiap kejadian atau rangkaian
kejadian yang menimbulkan kerugian nuklir.
16. Kerugian nuklir adalah setiap kerugian yang dapat berupa
kematian, cacat, cedera atau sakit, kerusakan harta benda,
pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan
oleh radiasi atau gabungan radiasi dengan sifat racun, sifat
mudah meledak, atau sifat bahaya lainnya sebagai akibat
kekritisan bahan bakar nuklir dalam instalasi nuklir atau
selama pengangkutan, termasuk kerugian sebagai akibat
tindakan preventif dan kerugian sebagai akibat atau tindakan
untuk pemulihan lingkungan hidup.
17. Pengusaha instalasi nuklir adalah orang perseorangan atau
badan hukum yang bertanggung jawab dalam pengoperasian
instalasi nuklir.
18. Pihak ketiga adalah orang atau badan yang menderita kerugian
nuklir, tidak termasuk pengusaha instalasi nuklir dan
pekerja instalasi nuklir yang menurut struktur organisasi
berada di bawah pengusaha instalasi nuklir.
Pasal 2
(1) Bahan nuklir terdiri atas:
a. bahan galian nuklir,
b. bahan bakar nuklir, dan
c. bahan bakar nuklir bekas.
(2) Bahan nuklir dikuasai oleh Negara dan pemanfaatannya diatur
dan diawasi oleh Pemerintah
BAB II
KELEMBAGAAN
Pasal 3
(1) Pemerintah membentuk Badan Pelaksana yang berada di bawah
dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang
bertugas melaksanakan pemanfaatan tenaga nuklir.
(2) Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Badan Pelaksana menyelenggarakan penelitian dan
pengembangan, penyelidikan umum, eksplorasi dan eksploitasi
bahan galian nuklir, produksi bahan baku untuk pembuatan dan
produksi bahan bakar nuklir, produksi radioisotop untuk
keperluan penelitian dan pengembangan, dan pengelolaan
limbah radioaktif.
Pasal 4
(1) Pemerintah membentuk Badan Pengawas yang berada di
*9582
bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang
bertugas melaksanakan pengawasan terhadap segala kegiatan
pemanfaatan tenaga nuklir.
(2) Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Badan Pengawas menyelenggarakan peraturan, perizinan, dan
inspeksi.
Pasal 5
Pemerintah membentuk Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir yang
bertugas memberikan saran dan pertimbangan mengenai pemanfaatan
tenaga nuklir.
Pasal 6
Kedudukan, tugas pokok, fungsi, susunan, dan tata kerja
lembaga-lembaga, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan
Pasal 5 diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
Pasal 7
Pemerintah dapat membentuk Badan Usaha Milik Negara yang
berkaitan dengan pemanfaatan tenaga nuklir secara komersial.
BAB III
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
Pasal 8
(1) Penelitian dan pengembangan tenaga nuklir harus
diselenggarakan dalam rangka penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi nuklir untuk keselamatan, keamanan, ketenteraman,
dan kesejahteraan rakyat.
(2) Penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diselenggarakan terutama oleh dan menjadi tanggung jawab
Badan Pelaksana.
(3) Penelitian dan pengembangan mengenai keselamatan nuklir
perlu diperhatikan untuk mengurangi dampak negatif
pemanfaatan tenaga nuklir.
(4) Dalam menyelenggarakan penelitian dan pengembangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Pelaksana dapat
bekerja sama dengan instansi dan badan lain.
BAB IV
PENGUSAHAAN
Pasal 9
(1) Penyelidikan umum, eksplorasi, dan eksploitasi bahan galian
nuklir hanya dilaksanakan oleh Badan Pelaksana.
(2) Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara, koperasi,
badan swasta, dan/atau badan lain.
*9583
Pasal 10
(1) Produksi dan/atau pengadaan bahan baku untuk pembuatan bahan
bakar nuklir hanya dilaksanakan oleh Badan Pelaksana.
(2) Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara, koperasi
dan/atau badan swasta.
Pasal 11
(1) Produksi bahan bakar nuklir nonkomersial dilaksanakan oleh
Badan Pelaksana.
(2) Produksi bahan bakar nuklir komersial dilaksanakan oleh
Badan Usaha Milik Negara, koperasi, dan/atau badan swasta.
Pasal 12
(1) Produksi radioisotop nonkomersial dilaksanakan oleh Badan
Pelaksana.
(2) Produksi radioisotop komersial dilaksanakan oleh Badan Usaha
Milik Negara, koperasi, dan/atau badan swasta.
Pasal 13
(1) Pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning reaktor nuklir
nonkomersial dilaksanakan oleh Badan Pelaksana.
(2) Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
bekerja sama dengan instansi pemerintah lainnya dan
perguruan tinggi negeri.
(3) Pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning reaktor nuklir
komersial dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara,
koperasi, dan/atau badan swasta.
(4) Pembangunan reaktor nuklir komersial sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) yang berupa pembangkit listrik tenaga nuklir,
ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
BAB V
PENGAWASAN
Pasal 14
(1) Pengawasan terhadap pemanfaatan tenaga nuklir dilaksanakan
oleh Badan Pengawas.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
melalui peraturan, perizinan, dan inspeksi.
Pasal 15
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ditujukan untuk:
a. terjaminnya kesejahteraan, keamanan, dan ketenteraman
masyarakat;
b. menjamin keselamtan dan kesehatan pekerja dan anggota
*9584 masyarakat serta perlindungan terhadap lingkungan
hidup;
c. memelihara tertib hukum dalam pelaksanaan pemanfaatan tenaga
nuklir;
d. meningkatkan kesadaran hukum pengguna tenaga nuklir untuk
menimbulkan budaya keselamatan di bidang nuklir;
e. mencegah terjadinya perubahan tujuan pemanfaatan bahan
nuklir; dan
f. menjamin terpeliharanya dan ditingkatkannya disiplin petugas
dalam pelaksanaan pemanfaatan tenaga nuklir.
Pasal 16
(1) Setiap kegaitan yang berkaitan dengan pemanfaatan tenaga
nuklir wajib memperhatikan keselamatan, keamanan, dan
ketetenraman, kesehatan pekerja dan anggota masyarakat,
serta perlindungan terdahap lingkungan hidup.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
(1) Setiap pemanfaatan tenaga nuklir wajib memiliki izin,
kecuali dalam hal-hal tertentu yang diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir dan instalasi
nuklir lainnya serta dekomisioning reaktor nuklir wajib
memiliki izin.
(3) Syarat-syarat dan tata cara perizinan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
(1) Setiap izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dikenakan
biaya.
(2) Besar biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Pasal 19
(1) Setiap petugas yang mengoperasikan reaktor nuklir dan
petugas tertentu di dalam instalasi nuklir lainnya dan di
dalam instalasi yang memanfaatkan sumber radiasi pengion
wajib memiliki izin.
(2) Persyaratan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur oleh Badan Pengawas.
Pasal 20
(1) Inspeksi terhadap instalasi nuklir dan instalasi yang
memanfaatkan radiasi pengion dilaksanakan oleh Badan
Pengawas dalam rangka pengawasan terhadap ditaatinya
syarat-syarat dalam perizinan dan peraturan
perundang-undangan di bidang keselamatan nuklir.
(2) Inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh inspektur yang diangkat dan diberhentikan
oleh Badan Pengawas.
(3) Inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
secara berkala dan sewaktu-waktu.
Pasal 21
Badan Pengawas melakukan pembinaan berupa bimbingan dan
penyuluhan mengenai pelaksanaan upaya yang menyangkut keselamatan
dan kesehatan pekerja, dan anggota masyarakat serta perlingungan
terhadap lingkungan hidup.
BAB VI
PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF
Pasal 22
(1) Pengelolaan limbah radioktif dilaksanakan untuk mencegah
timbulnya bahaya radiasi terhadap pekerja, anggota
masyarakat dan lingkungan hidup.
(2) Limbah radioaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diklasifikasikan dalam jenis limbah radioaktif tingkat
rendah, tingkat sedang, dan tingkat tinggi.
Pasal 23
(1) Pengelolaan limbah radioaktif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (1) dilaksanakan oleh Badan Pelaksana.
(2) Dalam melaksanakan pengelolaan limbah radioaktif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Badan Pelaksana dapat bekerja sama
dengan atau menunjuk Badan Usaha Milik Negara, koperasi,
dan/atau badan swasta.
Pasal 24
(1) Penghasil limbah radioaktif tingkat rendah dan tingkat
sedang wajib mengumpulkan, mengelompokan, atau mengolah dan
menyimpan sementara limbah tersebut sebelum diserahkan
kepada Badan Pelaksana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
(2) Penghasil limbah radioaktif tinggi wajib menyimpan sementara
limbah tersebut dalam waktu sekurang-kurangnya selama masa
operasi reaktor nuklir.
Pasal 25
(1) Badan Pelaksana menyediakan tempat penyimpanan lestari
limbah radioaktif tingkat tinggi.
(2) Penentuan tempat penyimpanan lestari sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah setelah mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pasal 26
(1) Penyimpanan limbah radioaktif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (1) dikenakan
biaya.
(2) Besar biaya penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Pasal 27
(1) Pengangkutan dan penyimpanan limbah radioaktif wajib
memperhatikan keselamatan pekerja, anggota masyarakat, dan
lingkungan hidup.
(2) Ketentuan tentang pengelolaan limbah radioaktif, termasuk
pengangkutan dan penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemeintah.
BAB VII
PERTANGGUNGJAWABAN KERUGIAN NUKLIR
Pasal 28
Pengusaha instalasi nuklir wajib bertanggung jawab atas kerugian
nuklir yang diderita oleh pihak ketiga yang disebabkan oleh
kecelakaan nuklir yang terjadi dalam instalasi nuklir tersebut.
Pasal 29
(1) Dalam hal terjadi kecelakaan nuklir selama pengangkutan
bahan bakar nuklir atau bahan bakar nuklir bekas, yang
bertanggung jawab atas kerugian nuklir yang diderita oleh
pihak ketiga adalah pengusaha instalasi nuklir pengirim.
(2) Pengusaha instalasi nuklir pengirim sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat mengalihkan tanggung jawabnya kepada
pengusaha instalasi nuklir penerima atau pengusaha
pengangkutan, jika secara tertulis telah diperjanjikan.
Pasal 30
(1) Apabila pertanggungjawabab kerugian nuklir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 melibatkan lebih dari satu pengusaha
instalasi nuklir dan tidak mungkin menentukan secara pasti
bagian kerugian nuklir yang disebabkan oleh tiap-tiap
pengusaha instalasi nuklir tersebut, pengusaha tersebut
bertanggung jawab secara bersama-sama.
(2) Pertanggungjawaban tiap-tiap pengusaha instalasi nuklir
sebagaiman dimaksud pada ayat (1) tidak melebihi batas
jumlah pertanggungjawabannya.
Pasal 31
Apabila dalam suatu lokasi terdapat beberapa instalasi nuklir
yang dikelola oleh satu pengusaha instalasi nuklir, pengusaha
tersebut harus bertanggung jawab atas setiap kerugian nuklir yang
disebabkan oleh setiap instalasi nuklir.
Pasal 32
Pengusaha instalasi nuklir tidak bertanggung jawab
*9587
terhadap kerugian nuklir yang disebabkan oleh kecelakaan nuklir
yang terjadi karena akibat langsung dari pertikaian atau konflik
bersenjata internasional atau non-internasional atau bencana alam
dengan tingkat yang luar biasa yang melampaui batas rancangan
persyaratan keselamatan yang telah ditetapkan oleh Badan
Pengawas.
Pasal 33
(1) Apabila pengusaha instalasi nuklir setelah melaksanakan
tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dapat
membuktikan bahwa pihak ketiga yang menderita kerugian
nuklir disebabkan oleh kesengajaan penderita sendiri,
pengusaha tersebut dapat dibebaskan dari tanggung jawabnya
untuk membayar seluruh atau sebagian kerugian yang diderita.
(2) Pengusaha instalasi nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berhak untuk menuntut kembali ganti rugi yang telah
dibayarkan kepada pihak ketiga yang melakukan kesengajaan.
Pasal 34
(1) Pertanggungjawaban pengusaha instalasi nuklir terhadap
kerugian nuklir paling banyak Rp. 900.000.000.000,00
(sembilan ratus miliar rupiah) untuk setiap kecelakaan
nuklir, baik untuk setiap instalasi nuklir maupun untuk
setiap pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan bakar
nuklir bekas.
(2) Besar batas pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden.
(3) Jumlah pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) hanya digunakan untuk pembayaran kerugian
nuklir, tidak termasuk bunga dan biaya perkara.
(4) Batas pertanggungjawaban pengusaha instalasi nuklir
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
(1) Pengusaha instalasi nuklir wajib mempertanggungkan
pertanggungjawabannya sebesar jumlah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) melalui asuransi atau
jaminan keuangan lainnya.
(2) Ketentuan tentang kewajiban sebagiamana dimaksud pada ayat
(1) berlaku juga bagi pengusaha instalasi nuklir penerima
atau pengusaha pengangkutan.
(3) Apabila dalam suatu lokasi terdapat beberapa instalasi
nuklir yang dikelola oleh satu pengusaha instalasi nuklir,
pengusaha tersebut wajib mempertanggungkan
pertanggungjawabannya untuk setiap instalasi yang
dikelolanya.
Pasal 36
(1) Apabila jumlah pertanggungan berkurang karena telah
digunakan untuk membayar kerugian nuklir, pengusaha
instalasi nuklir wajib menjaga agar jumlah pertanggungan
tetap sesuai dengan jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34 ayat (1) dan ayat (2).
(2) Apabila perjanjian pertanggungan telah berakhir atau batal
karena suatu sebab lain, pengusaha instalasi nuklir tersebut
wajib segera memperbaharui perjanjian pertanggungannya.
(3) Apabila pengusaha instalasi nuklir belum memperbaharui
perjanjian pertanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dan terjadi kecelakaan nuklir, pengusaha tersebut tetap
bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dan
Pasal 35.
Pasal 37
(1) Ketentuan tentang pertanggungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 tidak berlaku bagi instansi pemerintah yang bukan
Badan Usaha Milik Negara.
(2) Penggantian kerugian nuklir akibat kecelakaan nuklir
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Presiden.
Pasal 38
(1) Perusahaan asuransi yang menanggung ganti rugi nuklir yang
disebabkan kecelakaan nuklir wajib melakukan pembayaran
ganti rugi paling lama 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan
pernyataan adanya kecelakaan nuklir oleh Badan Pengawas.
(2) Pernyataan Badan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib diterbitkan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sejak
terjadinya kecelakaan nuklir.
Pasal 39
(1) Hak menuntut ganti rugi akibat kecelakaan nuklir kedaluwarsa
apabila tidak diajukan dalam waktu 30 (tiga puluh) tahun
terhitung sejak diterbitkan pernyataan Badan Pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.
(2) Apabila kerugian nuklir akibat kecelakaan nuklir melibatkan
bahan nuklir yang dicuri, hilang, atau ditelantarkan, maka
jangka waktu untuk menuntut ganti rugi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dihitung dari saat terjadinya kecelakaan
nuklir dengan ketentuan jangka waktu itu tidak boleh
melebihi 40 (empat puluh) tahun terhitung sejak bahan nuklir
dicuri, hilang, atau ditelantarkan.
(3) Hak untuk menuntut ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga)
tahun setelah penderita mengetahui atau patut mengetahui
kerugian nuklir yang diderita dan pengusaha instalasi nuklir
yang bertanggung jawab dengan ketentuan jangka waktu
tersebut tidak boleh melebihi jangka waktu yang ditetapkan
pada ayat (1) dan ayat (2).
*9589 Pasal 40
Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa dan mengadili tuntutan
ganti rugi sebagiamana dimaksud dalam Pasal 39 adalah sebagai
berikut:
a. Pengadilan Negeri tempat kecelakaan nuklir terjadi; atau
b. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam hal terjadi kecelakaan
nuklir selama pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan
bakar nuklir bekas di luar wilayah negara Republik
Indonesia.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 41
(1) Barangsiapa membangun, mengoperasikan, atau melakukan
dekomisioning reaktor nuklir tanpa izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
(2) Barangsiapa melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang menimbulkan kerugian nuklir dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama
20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Dalam hal tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2), terpidana dipidana dengan
kurungan paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 42
(1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
dipidana dengan pidana pejara paling lama 2 (dua) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah).
(2) Dalam hal tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), terpidana dipidana dengan Kurungan paling
lama 6 (enam) bulan.
Pasal 43
(1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
ketentuan sebagimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
(2) Dalam hal tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), terpidana dipidana dengan kurungan paling
lama 1 (satu) tahun.
Pasal 44
(1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat
(2) untuk penghasil limbah radioaktif tingkat tinggi
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).
(2) Barangsiapa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
ketentuan sebagiamana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) untuk
penghasil limbah radioatif tingkat rendah dan tingkat sedang
dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2), terpidana dipidana dengan
kurungan paling lama 1 (satu) tahun.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 45
Pasa saat mulai berlakunya undang-undang ini semua peraturan
pelaksanaan yang berhubungan dengan tenaga atom tetap berlaku
selama tidak bertentangan dengan undang-undang ini.
Pasal 46
Badan Tenaga Atom Nasional dan lembaga lain tetap melakukan
fungsinya sampai dibentuk lembaga baru berdasarkan undang-undang
ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 47
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, Undang-undang Nomor
31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 48
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan
undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 10 April 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 April 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1997 NOMOR 23
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 1997
TENTANG
KETENAGANUKLIRAN
UMUM
Pembangunan nasional bertujuan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan meningkatkan kualitas
manusia Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang maju serta
adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dewasa ini di beberapa negara maju pemanfaatan tenaga nuklir di
berbagai bidang kehidupan masyarakat, seperti di bidang
penelitian, pertanian, kesehatan, industri, dan energi sudah
begitu pesat sehingga sebagai salah satu upaya untuk mengisi
pembangunan nasional dan terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat serta tercapainya kemampuan penguasaan teknologi nuklir,
maka sudah sewajarnya potensi tenaga nuklir yang cukup besar
tersebut dikembangkan dan dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Namun, di samping manfaatnya yang begitu besar
tenaga nuklir juga mempunyai potensi bahaya radiasi terhadap
pekerja, anggota masyarakat, dan lingkungan hidup apabila dalam
pemanfaatan tenaga nuklir, ketentuan-ketentuan tentang
keselamatan nuklir tidak diperhatikan dan tidak diawasi dengan
sebaik-baiknya.
Selama ini pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia dilaksanakan
atas dasar Undang-undang nomor 31 Tahun 1964 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom.
Dengan perkembangan zaman dan makin majunya ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam pemanfaatan tenaga nuklir, banyak ketentuan dalam
undang-undang tersebut yang sudah tidak sesuai lagi, misalnya
wewenang pelaksanaan dan pengawasan atas penelitian dan
pemanfaatan tenaga nuklir yang diberikan dalam satu badan
sehingga fungsi pengawasan tidak optimal. Selain itu, bahan
nuklir harus dimiliki dan dikuasai oleh negara, sedangkan jual
beli bahan tersebut sudah dilakukan secara internasional sehingga
persyaratan yang harus dimiliki oleh negara akan menghambat
perkembangan pemanfatan tenaga nuklir. Akan tetapi, persyaratan
yang harus dikuasai oleh negera tetap dipertahankan karena
walaupun sudah terjadi perdagangan bebas bahan nuklir secara
internasional, Pemerintah tetap diminta melakukan pengawasan agar
tidak terjadi penyimpangan dari tujuan pemanfaatan bahan nuklir
tersebut. Oleh karena itu, dipandang perlu dibuat undang-undang
baru tentang ketenaganukliran untuk menggantikan Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga
Atom.
Dalam undang-undang ini wewenang pelaksanaan dan pengawasan
dipisahkan dalam dua lembaga yang berbeda untuk menghindari
tumpang tindih kegiatan pemanfaatan dan pengawasan dan sekaligus
mengoptimalkan pengawasan yang ditujukan untuk lebih
meningkatkan keselamatan nuklir.
Mengingat ketenaganukliran menyangkut kehidupan dan keselamatan
orang banyak, peran masyarakat ditingkatkan dalam bentuk suatu
majelis pertimbangan, suatu lembaga nonstruktural dan independen
yang beranggotakan para ahli dan tokoh masyarakat, yang bertugas
memberikan saran dan pertimbangan mengenai pemanfaatan tenaga
nuklir.
Untuk memperhatikan aspirasi yang berkembang di masyarakat dalam
pemanfaatan tenaga nuklir, khususnya apabila membangun pembangkit
liktrik tenaga nuklir dan menyediakan tempat limbah lestari,
pemerintah sebelum mangambil keputusan perlu membicarakannya
terlebih dahulu dengan Dewan Perwakilan Rakyat Rpublik Indonesia.
Pemanfaatan tenaga nuklir harus memperhatikan Asas Pembangunan
Nasional, keselamatan, keamanan, ketenteraman, kesehatan pekerja
dan anggota masyarakat, perlindungan terhadap lingkungan hidup,
serta pemanfaatan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal itu
berarti bahwa pemanfaatan tenaga nuklir bagi kesejahteraan hidup
rakyat banyak harus dilakukan dengan upaya-upaya untuk mencegah
timbulnya bahaya radiasi terhadap pekerja, masyarakat, dan
lingkungan hidup.
Dalam hubungan itu perlu diperhatikan pula peraturan
perundang-undangan lain yang berkaitan dengan Undang-undang
tentang Ketenaganukliran ini, antara lain Undang-undang Nomor 1
Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, Undang-undang Nomor 8 Tahun
1978 tentang Pengesahan Perjanjian mengenai Pencegahan Penyebaran
Senjata-senjata Nuklir, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian,
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan,
Undang-undang Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, dan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Pengertian tenaga nuklir adalah tenaga dalam bentuk apa pun yang
dibebaskan dalam proses transformasi inti, termasuk tenaga yang
berasal dari sumber radiasi pengion, misalnya tenaga dalam bentuk
sinar-X. Oleh karena itu, undang-undang ini berlaku juga untuk
pengaturan pemanfaatan pesawat sinar-X.
Pengertian pemanfaatan tenaga nuklir sangat luas, yaitu mencakup
penelitian pengembangan, penambangan, pembuatan, produksi,
pengangkutan, penyimpanan, pengalihan, ekspor, impor, penggunaan,
dekomisioning, dan pengelolaan limbah radioaktif. Mengingat
pemanfaatan tenaga nuklir tersebut dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di berbagai bidang, maka kepada
masyarakat, industri swasta, atau Pemerintah diberi kesempatan
seluas-luasnya untuk melakukan pemanfaatan tenaga nuklir sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
Pemanfaatan tenaga nuklir harus mendapat pengawasan yang cermat
agar selalu mengikuti segala ketentuan di bidang keselamatan
tenaga nuklir sehingga pemanfatan tenaga nuklir tersebut tidak
menimbulkan bahaya radiasi terhadap pekerja, masyarakat, dan
lingkungan hidup. Adapun pengertian lingkungan hidup adalah
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, serta keadaan dan
makhluk hidup, termasuk di *9594 dalamnya manusia dan perilakunya
yang memperngaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain. Pengawasan tersebut
dilaksanakan dengan cara mengeluarkan peraturan, menyelenggarakan
perizinan, dan melakukan inspeksi. Perizinan itu juga berlaku
untuk petugas yang mengoperasikan reaktor nuklir dan petugas
tertentu yang bekerja di instalasi nuklir lainnya serta di
instalasi yang memanfaatkan sumber radiasi tersebut.
Pembinaan dan pengembangan kemampuan sumber daya manusia adalah
syarat mutlak dalam rangka mendukung upaya pemanfaatan tenaga
nuklir dan pengawasannya sehingga pemanfaatan tenaga nuklir
benar-benar meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan tingkat
keselamtan yang tinggi. Pembinaan dan pengembangan ini dilakukan
juga untuk meningkatkan disiplin dalam mengoperasikan instalasi
nuklir dan menumbuhkembangkan budaya keselamatan.
Zat radioaktif adalah setiap zat yang memancarkan radiasi pengion
dengan aktivitas jenis lebih besar daripada 70 kBq/kg atau 2
nCi/g (tujuh puluh kilobecquerel per koligram atau dua nanocurie
per gram). Angka 70 kBq/kg (2 nCi/g) tersebut merupakan patokan
dasar untuk suatu zat dapat disebut zat radioaktif pada umumnya
yang ditetapkan berdasarkan ketentuan dari Badan Tenaga Atom
Internasional (International Atomic Energy Agency). Namun, masih
terdapat beberapa zat yang walaupun mempunyai aktivitas jenis
lebih rendah daripada batas itu dapat dianggap sebagai zat
radioaktif karena tidak mungkin ditentukan batas yang sama bagi
semua zat mengingat sifat masing-masing zat tersebut berbeda.
Limbah radioaktif, separti limbah-limbah lainnya adalah bahan
yang tidak dimanfaatkan lagi dan karena bersifat radioaktif,
limbah radioaktif tersebut mengandung potensi bahaya radiasi.
Karena sifatnya itu, pengelolaan limbah radioaktif perlu diatur
dan diawasi untuk mencegah timbulnya bahaya radiasi terhadap
pekerja, anggota masyarakat, dan lingkungan hidup. Pengelolaan
limbah radioaktif tersebut dilakukan oleh Badan Pelaksana yang
dalam pelaksanaannya dapat bekerja sama dengan pihak lain.
Berdasarkan tingkat bahaya yang ditimbulkan, limbah radioaktif
diklasifikasikan menjadi limbah radioaktif tingkat rendah,
tingkat sedang, dan tingkat tinggi.
Untuk limbah radioaktif tingkat rendah dan tingkat sedang oleh
penghasil limbah dikumpulkan, dikelompokkan, atau diolah dan
disimpan sementara sebelum dikirim kepada Badan Pelaksana untuk
diproses selanjutnya. Karena limbah radioaktif tingkat tinggi
mempunyai potensi bahaya radiasi yang tinggi, penyimpanan
sementara limbah radioaktif tingkat tinggi dilakukan oleh
penghasil limbah dalam waktu sekurang-kurangnya selama masa
operasi reaktor nuklir, sedangkan penyimpanan lestarinya menjadi
tanggung jawab Badan Pelaksana.
Yang dimaksud dengan pengusahaan dalam undang-undang ini pada
umumnya adalah kegiatan usaha yang bersifat komersial. Di dalam
pengusahaan ini selain Badan Usaha Milik Negara, pihak lain juga
diberi kesempatan. Namun, untuk Badan Pelaksana pengertian
wewenang pengusahaan ini adalah bersifat nonkomersial atau
nonprofit.
Teknologi keselamatan nuklir dewasa ini telah berkembang sangat
maju dan sangat andal serta dapat menekan serendah-rendahnya
kementakan terjadinya kecelakaan nuklir sehingga mampu menjamin
keselamatan pekerja, anggota masyarakat, dan lingkungan
hidup. Namun, agar peraturan mengenai keselamatan nuklir
dihormati dan dipatuhi dengan sebaik-baiknya oleh semua pihak,
perlu diadakan pengaturan penggantian kerugian akibat kecelakaan
nuklir yang dialami oleh pihak ketiga dan lingkungan.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlakuIndonesia, pada umumnya pertanggungjawaban didasarkan pada
kesalahan. Artinya, pihak yang bertanggung jawab baru mempunyai
kewajiban untuk membayar ganti rugi setelah terbukti bahwa
kerugian yang terjadi disebabkan oleh kesalahannya. Apabila hal
itu diterapkan pada kecelakaan nuklir, pihak yang dirugikan akan
mengalami kesulitan dalam membuktikan adanya kesalahan itu
sehingga hal tersebut akan menyulitkan pihak ketiga sebagai
penderita kerugian. Oleh karena itu, bagi pihak ketiga tersebut
perlu diberikan jaminan perlindungan yang lebih pasti dengan satu
sistem tanggung jawab mutlak. Pengusaha instalasi nuklir sebagai
pihak yang bertanggung jawab langsung bertanggung jawab atas
kerugian yang timbul, tanpa adanya pembuktian oleh pihak ktiga
tentang ada atau tidaknya kesalahan pada pengusaha instalasi
nuklir, kecuali kecelakaan nuklir itu terjadi akibat langsung
dari pertikaian atau konflik bersenjata internasional atau
non-internasional atau bencana alam dengan tingkat yang luar
biasa yang melampaui batas rancangan persyaratan keselamatan yang
telah ditetapkan.
Di lain pihak, dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan
industri nuklir, jaminan perlindungan perlu juga diberikan kepada
pengusaha instalasi nuklir sebagai pihak yang bertanggung jawab,
yaitu dalam bentuk batas pertanggungjawaban, baik batas jumlah
pembayaran ganti rugi maupun jangka waktu penuntutan.
Dengan mempertimbangkan kepentingan pihak ketiga dan pengusaha
instalasi nuklir seperti tersebut, maka dipandang perlu
menggunakan satu sistem tersendiri bagi pertanggungjawaban atas
kerugian yang disebabkan oleh kecelakaan nuklir yang ditetapkan
dalam undang-undang ini. Sistem tersebut memberikan perlindungan
yang lebih pasti bagi pihak ketiga yang menderita kerugian
nuklir, tetapi juga tidak menghambat perkembangan industri nuklir
itu sendiri sebagaimana yang telah dikembangkan, baik di negara
maju maupun di negara berkembang.
Prinsip yang dianut dalam sistem tersebut adalah:
a. tanggngu jawab mutlak;
b. pengusaha instalasi nuklir bertanggung jawab dengan
mengecualikan orang lain;
c. batas pertanggungjawaban dalam jumlah ganti rugi dan waktu;
d. pengusaha instalasi nuklir diwajibkan mempertanggungkan
tanggung jawabnya dalam bentuk asuransi atau bentuk jaminan
keuangan lainnya.
Ruang lingkup ketentuan pertanggungjawaban kerugian nuklir yang
disebabkan oleh kecelakaan nuklir dalam undang-undang ini
dibatasi hanya pada kerugian yang diderita oleh pihak ketiga
akibat kecelakaan nuklir yang terjadi di instalasi nuklir
tertentu atau selama pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan
bakar nuklir bekas, yang disebabkan oleh kekritisan bahan bakar
nuklir tersebut. Kecelakaan nuklir yang terjadi selama
pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan bakar nuklir bekas
pada dasarnya menjadi tanggung jawab pengusaha instalasi nuklir
pengirim, kecuali sebelumnya telah *9596 diperjanjikan secara
tertulis. Instalasi nuklir yang dimaksud dalam undang-undang ini
adalah:
a. reaktor nuklir;
b. fasilitas yang digunakan untuk pemurnian, konversi,
pengayaan, fabrikasi bahan bakar nuklir dan/atau pengelohan
ulang bahan bakar nuklir bekas; dan/atau
c. fasilitas yang digunakan untuk menyimpan bahan bakar nuklir
dan bahan bakar nuklir bekas.
Kekritisan bahan bakar munklir adalah keadaan yang menunjukkan
pada bahan bakar nuklir tersebut terjadi reaksi pembelahan
berantai secara spontan. Pada reaksi pembelahan berantai itu
dihasilkan neutron baru, tenaga, dan zat radioaktif. Zat
radioaktif hasil reaksi pembelahan berantai itulah yang dalam
suatu kecelakaan nuklir dapat menimbulkan kerugian nuklir. Reaksi
pembelahan berantai dapat terjadi apabila kombinasi massa dan
dimensi bahan bakar nuklir memenuhi kondisi tertentu, dalam hal
ini massa dan ukurannya tertentu, yang disebut kondisi kritis.
Yang dimaksud dengan kerugian nuklir adalah kerugian yang
ditimbulkan oleh radiasi atau gabungan radiasi dengan sifat
racun, sifat mudah meledak, atau sifat bahaya lainnya sebagai
akibat kecelakaan nuklir yang timbul dari kekritisan bahan bakar
nuklir.
Pihak ketiga adalah orang atau badan yang menderita kerugian
nuklir, tidak termasuk pengusaha intalasi nuklir, dan pekerja
instalasi nuklir yang menurut struktur organisasi berada dibawah
pengusaha instalasi nuklir.
Penggantian kerugian nuklir terhadap pihak ketiga dalam
undang-undang ini ialah penggantian kerugian yang dialami
manusia, seperti kematian, cacat, cedera atau sakit, dan
penggantian kerugian atas biaya yang diperlukan sebagai akibat
tindakan preventif, misalnya tindakan evakuasi yang dilakukan
oleh pejabat yang berwenang di daerah lokasi instalasi nuklir
yang mengalami kecelakaan nuklir. Penggantian kerugian terhadap
kerusakan harta benda harus sesuai dengan nilai kerusakan yang
diderita ditambah dengan biaya rehabilitasinya. Demikian juga,
penggantian kerugian terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan
harus sesuai dengan nilai kerugian kerusakan ditambah dengan
besarnya biaya untuk melakukan tindakan rehabilitasi lingkungan.
Kerugian yang bukan disebabkan oleh kekritisan bahan bakar nuklir
tidak termasuk kategori kerugian nuklir. Pekerja pada instalasi
nuklir yang bersangkutan atau yang bekerja pada instalasi lain
yang memanfaatkan radiasi berhak mendapatkan penggantian kerugian
sesuai dengan ketentuan Undang-undang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
atau jaminan asuransi kecelakaan kerja lainnya.
Undang-undang ini hanya mengatur hal-hal yang pokok, oleh karena
itu ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam peraturan
pelaksanaannya.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
*9597 Bahan bakar nuklir bekas adalah bahan bakar
nuklir yang telah digunakan sebagai bahan bakar dalam
reaktor nuklir. Bahan bakar nuklir bekas tersebut merupakan
limbah radiaktif tingkat tinggi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1) dan (2)
Badan Pelaksana yang dimaksud adalah lembaga pemerintah
yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada
Presiden.
Pasal 4
Ayat (1) dan (2)
Bahan Pengawas yang dimaksud adalah lembaga pemerintah
yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada
Presiden.
Pasal 5
Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir adalah lembaga
nonstruktural yang independen dan keanggotaannya terdiri
atas para ahli dan tokoh masyarakat, yang dibentuk oleh
Pemerintah dan bertugas memberikan saran dan pertimbangan
kepada Pemerintah.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Pembentukan Badan Usaha Milik Negara tersebut dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 8
Ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
Pada dasarnya pelaksanaan penelitian dan pengembangan dapat
dilakukan, baik oleh Badan Pelaksana maupun pihak lain.
Namun, tanggung jawab di bidang penelitian dan pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir dibebankan kepada
Badan Pelaksana.
Penelitian dan pengembangan teknologi nuklir terutama
mengenai keselamatan nuklir, termasuk pengolahan limbah
bahan bakar nuklir untuk mengurangi dampak negatifnya, perlu
diperhatikan untuk mendapatkan terobosan-terobosan
teknologi. Terhadap penelitian yang menghasilkan
terobosan-terobosan teknologi diberikan penghargaan oleh
Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkalu.
Yang dimaksud dengan badan lain dalam pasal ini adalah
instansi pemerintah atau badan swasta baik nasional maupun
asing.
Pasal 9
Ayat (1), dan ayat (2)
Badan Pelaksana diberi wewenang penyelidikan umum,
eksplorasi dan eksploitasi bahan galian nuklir yang bersifat
nonkomersial. Dalam melaksanakan wewenang ini Badan
Pelaksana dapat bekerja sama dengan Badan Usaha Milik
Negera, koperasi, *9598 badan swasta, atau badan lain.
Bentuk kerjasama itu diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.
Yang dimaksud dengan badan lain dalam pasal ini adalah
instansi pemerintah asing atau badan swasta asing.
Pasal 10
Ayat (1), dan ayat (2)
Karena bahan bakar nuklir merupakan bahan strategis,
produksi dan/atau pengadaan bahan baku untuk pembuatan bahan
bakar nuklir hanya dilaksanakan oleh Badan Pelaksana.
Walaupun demikian, Badan Pelaksana dapat bekerja sama dengan
Badan Usaha Milik Negara, koperasi, dan/atau badan swasta.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir ditetapkan
oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Konsultasi itu
dilakukan untuk setiap tapak di mana satu atau lebih
pembangkit listrik tenaga nuklir akan dibangun. Dalam
konsultasi ini Pemerintah harus memperhatikan
sungguh-sungguh pendapat dan saran Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, dan hasil konsultasi tersebut dihormati
dan dijadikan pedoman oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia.
Pasal 14
Ayat (1) dan ayat (2)
Pengawasan ini perlu dilakukan mengingat bahwa tenaga nuklir
itu selain bermanfaat juga mempunyai bahaya radiasi.
Pengawasan ini dimaksudkan agar bahaya itu tidak terjadi.
Pengawasan dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Mengeluarkan peraturan di bidang keselamatan nuklir
agar tujuan pengawasan tercapai.
b. Menyelenggarakan perizinan untuk mengendalikan bahwa
pemanfaatan tenaga nuklir akan dilakukan sesuai dengan
*9599 peraturan yang berlaku. Dengan perizinan ini Badan
Pengawas dapat mengetahui dimana, oleh siapa, dan bagaimana
pemanfaatan tenaga nuklir dilakukan.
c. Melaksanakan inspeksi secara berkala dan sewaktu-waktu
untuk mengetahui apakah pemanfaatan tenaga nuklir mengikuti
peraturan yang ditetapkan.
Pasal 15
Budaya keselamatan adalah sifat dan sikap dalam organisasi
dan individu yang menekankan pentingnya keselamatan. Oleh
karena itu, budaya keselamatan mempersyaratkan agar semua
kewajiban yang berkaitan dengan keselamatan harus
dilaksanakan secara benar, saksama, dan penuh rasa tanggung
jawab.
Salah satu tujuan pengawasan adalah untuk mencegah terjadinya
perubahan tujuan pemanfaatan bahan nuklir, yaitu perubahan tujuan
dari maksud damai ke maksud lain.
Pasal 16
Ayat (1)
Ketentuan keselamantan yang perlu diatur lebih lanjut,
antara lain, adalah ketentuan keselamatan kerja terhadap
radiasi, ketentuan keselamatan pengangkutan zat radioaktif,
ketentuan keselamatan terhadap pertambangan bahan galian
nuklir, dan ketentuan keselamatan reaktor.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan hal-hal tertentu pada ayat ini
adalah pemanfaatan zat, alat, atau benda yang pancaran
radiasi dan aktivitasnya lebih kecil daripada pancaran
radiasi dan aktivitas yang seharusnya memiliki izin, antara
lain, alat navigasi, jam, kaos lampu petromaks, dan
pendeteksi asap.
Ayat (2)
Pengertian pembangunan pada ayat ini termasuk penentuan
tapak dan konstruksi instalasi nuklir.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Menteri Keuangan menetapkan besar biaya perizinan atas
usul Badan Pengawas. Penerimaan biaya perizinan tersebut
merupakan Penerimaan Negera Bukan Pajak dan disetorkan ke
Kas Negara.
Pasal 19
Ayat (1)
Kedudukan petugas dalam pengoperasian reaktor nuklir
dan pemanfaatan sumber radiasi sangat penting. Mengingat
*9600 peranannya dapat menentukan aman atau tidaknya
pengoperasian dan pemanfaatan itu, maka untuk mendapatkan
izin, petugas tersebut harus menjalani suatu pengujian untuk
membuktikan kualifikasinya.
Yang dimaksud dengan petugas tertentu adalah, antara
lain, ahli radiografi, operator radiografi, petugas proteksi
radiasi, petugas dosimetri, dan petugas perawatan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Hasil inspeksi yang dilakukan Badan Pengawas
diterbitkan secara berkala dan terbuka.
Pasal 21
Pembinaan ini dimaksudkan untuk menimbulkan motivasi dan
kesadaran kelamatan dalam pemanfaatan tenaga nuklir.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Pengelolaan limbah radioktif dilakukan oleh Badan
Pelaksana didasarkan atas pertimbangan keselamatan dan
kemampuan teknis yang dimiliki oleh Badan Pelaksana serta
kemudahan dalam pelaksanaan pengawasan.
Pengelolaan ini dilaksanakan secara nonkomerial.
Ayat (2)
Untuk kegiatan pengelolaan limbah radioktif secara
komersial, Badan Pelaksana dapat menunjuk Badan Usaha Milik
Negara, koperasi, dan/atau badan swasta sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 24
Ayat (1)
Kewajiban penghasil limbah radioaktif tingkat rendah
dan tingkat sedang, dimaksudkan agar limbah radioaktif
dikelola di dalam lokasi instansi nuklir sehingga tidak
membahayakan pekerja, anggota mesyarakat, dan lingkungan
hidup serta memudahkan tindakan pengelolaan selanjutnya oleh
Badan Pelaksana.
Penyimpanan sementara dimaksudkan untuk menurunkan
tingkat zat radioaktif yang berumur pendek sebelum
pengelolaannya diserahkan kepada Badan Pelaksana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1) dan ayat (2)
Penentuan tempat penyimpanan lestari limbah radioaktif
tingakt tinggi perlu dibicarakan dengan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia untuk mendapatkan persetujuan
karena menyangkut perubahan suatu daerah yang semula dapat
dimanfaatkan menjadi suatu daerah yang sama sekali tidak
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lain. Limbah radioaktif
yang berasal dari luar negari tidak diidzinkan disimpan di
wilayah hukum Republik Indonesia.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Menteri Keuangan menetapkan besar biaya penyimpanan
atas usul Badan Pelaksana. Penerimaan biaya penyimpanan oleh
Badan Pelaksana merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak dan
disetorkan ke Kas Negara.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 28
Pada prinsipnya dalam hal terjadi kecelakaan nuklir,
tanggung jawab hanya dibebankan kepada satu pihak, yaitu
pengusaha instalasi nuklir. Dengan demikian, tidak ada pihak
lain yang dapat diminta pertanggungjawaban selain pengusaha
instalasi nuklir itu.
Dalam sistem tanggung jawab mutlak, untuk menerima ganti
rugi, pihak ketiga yang menderita kerugian nuklir tidak
dibebani pembuktian ada atau tidaknya kesalahan pengusaha
instalasi nuklir. Untuk menghindari ganti rugi jatuh kepada
pihak yang tidak berhak, pihak ketiga cukup menunjukkan
bukti yang sah bahwa kerugiannya diakibatkan oleh kecelakaan
nuklir.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pengusaha instalasi nuklir
bertanggung jawab secara bersama-sama adalah jika salah satu
pengusaha instalasi nuklir sudah melaksanakan tanggung
jawabnya, pengusaha yang lain dibebaskan. Pengusaha yang
sudah melaksanakan tanggung jawab tersebut memperhitungkan
jumlah pertanggungjawaban yang harus dipikul oleh pengusaha
lainnya secara proforsional, sesuai dengan jenis instalasi
nuklir dan besar kecil *9602 potensi bahayanya. Dengan
demikian, pertanggungjawaban yang harus dipikul oleh
masing-masing tidak melebihi jumlah yang telah ditetapkan
dalam Pasal 34.
Ayat (2)
Apabila kerugian nuklir melebihi jumlah
pertanggungjawaban pengusaha instalasi nuklir, Pemerintah
wajib mengambil langkah-langkah penyelesaiannya.
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Yang dimaksud dengan pertikaian atau konflik bersenjata
internasional adalah pertikaian atau konflik bersenjata yang
melibatkan negara lain.
Yang dimaksud dengan pertikaian atau konflik bersenjata
non-internasional, antara lain, pemberontakan dan gerakan
pengacau keamanan.
Bencana alam dengan tingkat yang luar biasa, misalnya, gempa
bumi yang termasuk dalam kategori melampaui S1 (seismic
category 1) dan S2 (seismic category 2).
S1 dan S2 merupakan penggolongan gempa bumi yang ditetapkan
oleh Badan Pengawas. S1 adalah gempa bumi maksimum yang
dapat terjadi sekali selama umur operasi instalasi nuklir,
sedangkan S2 adalah gempa bumi maksimum yang dapat terjadi
pada lokasi instalasi nuklir yang melebihi umur operasi
instalasi nuklir. S1 dan S2 ditetentukan berdasarkan gempa
bumi maksimum yang pernah terjadi di dalam siklus waktu
tertentu pada lokasi instalasi nuklir, misalnya, siklus 50
(lima puluh) tahunan untuk S1 (setara dengan umur operasi
instalasi nuklir) dan siklus 1.000 (seribu) tahunan untuk
S2. Instalasi nuklir harus didesain untuk dapat bertahan
pada kondisi gempa bumi S1 dan S2.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Agar tidak mengurangi jumlah ganti rugi yang dibayarkan
kepada penderita, bunga biaya perkara tidak boleh
diperhitungkan dari uang pertanggungan.
Ayat (4)
Peninjauan kembali jumlah pertanggungjawaban pengusaha
instalasi nuklir dimaksudkan untuk menyesuaikan apabila
terjadi perubahan nilai mata uang.
*9603
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pengusaha instalasi nuklir adalah
pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan ini memberikan jaminan perlindungan yang
lebih pasti terhadap pihak yang dirugikan.
Pasal 37
Ayat (1)
Dibebaskannya Pemerintah dari kewajiban untuk
mempertanggungkan pertanggungjawabannya melalui asuransi
atau jaminan keuangan lainnya bukan berarti jika terjadi
kecelakaan nuklir yang menimpa pihak ketiga, Pemerintah
tidak akan memberikan ganti rugi sebab pada dasarnya
Pemerintah melindungi rakyat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Penetapan jangka waktu ini dimaksudkan untuk memberikan
kepastian hukum kepada para pihak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
*9604 Cukup jelas
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDOENSIA NOMOR 3676
Silahkan download versi PDF nya sbb:
ketenagaunukliran_(uu_10_thn_1997)_10.pdf
(ogi/Carapedia)
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)






