- Home »
- Undang-Undang »
- 1947 » Undang-Undang Susunan Dan Kekuasaan Mahkamah Agung Dan Kejaksaan Agung (UU 7 thn 1947)
1947
Undang-Undang Susunan Dan Kekuasaan Mahkamah Agung Dan Kejaksaan Agung (UU 7 thn 1947)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1947 Tentang Susunan Dan Kekuasaan Mahkamah Agung Dan Kejaksaan Agung :
Silahkan download versi PDF nya sbb:
susunan_kekuasaan_mahkamah_agung_kejaksaan_agung_7.pdf
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOM0R 7 TAHUN 1947 TENTANG SUSUNAN DAN KEKUASAAN MAHKAMAH AGUNG DAN KEJAKSAAN AGUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa-sementara pengaturan susunan badan-badan Kehakiman beserta kekuasaannya belum dapat diselenggarakan selengkapnya sebagai-mana diharuskan dalam pasal 24 dari Undang- undang Dasar - perlu segera diatur : a. susunan Mahkamah Agung sebagai badan Kehakiman yang tertinggi dalam Republik Indonesia. b. kekuasaan Mahmakah Agung tentang pengawasan terhadap lain-lain badan Kehakiman dan tentang perselisihan hal kekuasaan mengadili antara beberapa badan-badan Kehakiman. c. susunan Kejaksaan Agung dan d. kekuasaan Jaksa Agung tentang pengawasan terhadap para Jaksa; Mengingat akan : Osamu Seirei No. 3 tanggal 26 September 1942 (Undang-undang No. 34), Osamu Seirei No. 21 tanggal 1 Juli 1943 dan Osamu Seirei No. 2 tanggal 14 Januari 1944 berhubung dengan pasal II Aturan Peralihan Undangundang Dasar; Mengingat pula : akan pasal 5 ayat i dan pasal 20 ayat 1 berhubung dengan pasal IV Aturan Peralihan Undang-undang Dasar dan Maklumat Wakil Presiden tanggal 16 Oktober 1945 No. X; Dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat; Memutuskan: Menetapkan peraturan sebagai berikut: UNDANG-UNDANG TENTANG SUSUNAN DAN KEKUASAAN MAHKAMAH AGUNG DAN KEJAKSAAN AGUNG. Pasal 1. (1) Mahkamah Agung adalah badan Kehakiman yang tertinggi, berkedudukan di-ibu-kota Republik Indonesia atau di lain tempat yang ditetapkan oleh Presiden, dan terdiri atas satu Ketua, satu Wakil-Ketua beberapa anggauta dan satu panitera, yang semuanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Jika perlu oleh Menteri Kehakiman diangkat beberapa wakil-panitera. (2) Disamping Mahkamah Agung adalah Kejaksaan Agung yang terdiri atas satu Jaksa Agung dan beberapa Jaksa Tinggi, yang semuanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Jika perlu oleh Menteri Kehakiman diangkat beberapa Jaksa lain. Pasal 2. (1) Pengawasan atas badan-badan kehakiman dalam hal melakukan keadilan di seluruh Indonesia diserahkan kepada Mahkamah Agung selaku majelis Kehakiman yang tertinggi. (2) Mahkamah Agung menyelenggarakan akan berlakunya peradilan dengan seksama dan seyogya. (3) Kelakuan dan perbuatan (pekerjaan) dari badan-badan kehakiman dan hakim-hakim diawasi dengan cermat oleh Mahkamah Agung. Untuk itu Mahkamah Agung guna kepentingan jawatan berhak memberi peringatan-peringatan, tegoran-tegoran dan petunjuk-petunjuk yang dipandang perlu dan berguna kepada badan-badan kehakiman dan hakim-hakim, baik dengan surat sendiri-sendiri, maupun dengan surat edaran. (4) Mahkamah Agung berkuasa meminta segala keterangan, pertimbangan dan nasehat dari segenap badan-badan kehakiman (civiel maupun militair) dan dari hakim-hakim begitu pula dari pada Jaksa Agung dan dari pegawai-pegawai lainnya, yang diserahi penuntutan perkara pidana. Guna ini Mahkamah Agung berhak pula memerintahkan penyerahan atau pengiriman surat-surat yang bersangkutan dengan perkara-perkara yang akan dipertimbangkan. Pasal 3. Pengawasan yang serupa dengan yang tersebut dalam pasal 2 ayat 3 dan 4, oleh Jaksa Agung dilakukan terhadap para Jaksa dan polisi dalam menjalankan pengusutan atas kejahatan dan pelanggaran. Pasal 4. Jika keadaan memaksa maka Mahkamah Agung dan Jaksa Agung masing-masing dapat menetapkan, bahwa untuk sesuatu atau beberapa daerah pengawasan yang termaksud dalam pasal 2 dan 3 dijalankan oleh Pengadilan Tinggi dan Jaksa pada Pengadilan Tinggi, masing-masing untuk daerah hukum yang bersangkutan. Pasal 5. (1) Mahkamah Agung pada tingkatan peradilan pertama dan juga terakhir memutuskan semua perselisihan tentang kekuasaan mengadili : a. antara semua badan kehakiman yang tempat kedudukannya tidak sedaerah sesuatu pengadilan tinggi; b. antara pengadilan tinggi dan pengadilan tinggi; c. antara pengadilan tinggi dan sesuatu badan kehakiman dalam daerah hukumnya. (2) Keputusan Mahkamah Agung dalam hal ini ditetapkan oleh sedikit-sedikitnya tiga hakim. Pasal 6. (1) Pasal 1 dari Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1945. (2) Pasal 2 sampai pasal 5 mulai berlaku pada tanggal Undang-undang ini diumumkan. Ditetapkan di Malang pada tanggal 27 Pebruari 1947. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SOEKARNO. Menteri Kehakiman, SOESANTO Diumumkan pada tanggal 3 Maret 1947. Sekretaris Negara, A.G. PRINGGODIGDO. PENJELASAN UNDANG-UNDANG 1947 No. 7. Berdasarkan pasal II Aturan Peralihan dari Undang- undang Dasar jo. pasal 1 dari Peraturan No. 2 tanggal 10 Oktober 1945, yang sampai sekarang berlaku ialah susunan pengadilan sebagaimana diatur dalam peraturan Hindia Belanda sesudah dirobah dengan peraturan-peraturan Jepang antaranya: a. Osamu-Seirei tanggal 26 September 1942 tentang peraturan pengadilan Pemerintah Balatentara ; b. Osamu-Seirei tanggal 1 Juli 1943 tentang kekuasaan pengadilan Pemerintah Balatentara dan c. Osamu-Seirei tanggal 14 Januari 1944 tentang mengubah susunan pengadilan dsb. Menurut pasal 3 ayat 1 dari Osamu Seirei tanggal 14 Januari 1944 pengawasan atas pengadilan-pengadilan di pulau Jawa dan Madura sebagaimana termaksud dalam pasal 157 "Reglement op de Rechterlijke Organisatie" dilakukan oleh "Pengadilan Tinggi" terhadap "Pengadilan-Pengadilan Pemerintah Balatentara" yang ada dalam daerah kekuasaannya. Akibat aturan itu ialah, bahwa kini pengawasan dalam hal melakukan keadilan bagi daerah tersebut di atas terserah kepada kebijaksanaan 3 (tiga) buah badan pengadilan (di Jawa), yang masing-masing bekerja sebagai badan pengadilan yang tertinggi. Di daerah luar tanah Jawa (Sumatera) pun keadaannya sama dengan itu. Keadaan semacam itu merugikan, baik terhadap persesuaian dalam melakukan keadilan, maupun berhubung dengan tujuan kearah Negara kesatuan. Berdasarkan pasal 24 Undang-undang Dasar, terdirilah sebuah Mahkamah Agung, yang susunannya harus diatur dalam Undang-undang. Mahkamah Agung masih terlepas kedudukannya, artinya tiada bersangkutan dengan badan-badan pengadilan yang sampai sekarang diteruskan bekerjanya berdasar pasal II Aturan peralihan Undang-undang Dasar jo. pasal 1 Peraturan No. 2 tersebut di atas. Kekuasaan Mahkamah Agung, demikian pula susunan dan kekuasaan "badan-badan kehakiman" lain-lain (sebagaimana yogiyanya untuk Republik Indonesia), masih harus diatur dalam sebuah Undang-undang tersendiri untuk menjalankan pasal 24 Undang-undang Dasar. Mengadakan Undang-undang sebagai yang diharuskan itu, memakan waktu yang lama, sekalipun sekedar hanya untuk mengatur kekuasaan lengkap dari Mahkamah Agung sendiri sahaja. Sebaliknya kini sudah sangat terasa, bahwa pengawasan dalam hal melakukan keadilan di seluruh daerah Republik Indonesia harus dipegang oleh satu badan pusat kehakiman. Mahkamah Agung adalah satu-satunya badan kehakiman untuk itu, kekuasaan ini termuat dalam pasal 2 dari Undangundang menyerupai maksud pasal 157 "Reglement op de Rechterlijke Organisatie". Tentang Kejaksaan Agung dalam Undang-undang Dasar tiada penetapan sama sekali, sedang menurut pasal 5 Osamu Seirei tanggal 14 Januari 1944 Sihoobutyoo dan kemudian menurut pasal 2 Osamu Seirei no. 49 tanggal 8 Nopember 1944 Gunseikanbu. Tianbutyoolah yang menjalankan pekerjaan Kejaksaan Agung, di pulau Jawa dan Madura. Dengan berdirinya Negara Republik Indonesia dan dimasukkannya jawatan Kejaksaan kembali ke dalam lingkungan Kementerian Kehakiman menurut Maklumat Pemerintah Republik Indonesia tanggal 1 Oktober 1945, belum pula pekerjaan termaksud ditegaskan. Oleh karenanya perlu diadakan dasar hukum (wettelijke grondslag) untuk sebagian kekuasaan Jaksa Agung, yang perlu segera ditegaskan. Juga selayaknya diadakan aturan pengawasan atas para Jaksa dan polisi-pengusut perkara (rechtspositie). Pemutusan perselisihan sebagaimana termaksud dalam pasal 162 "Reglement op de Rechterlijke Organisatie" dilakukan oleh "Pengadilan Tinggi" Jakarta (pasal 3 ayat 2 dari Osamu Seirei tanggal 14 Januari 1944). Berhubung dengan uraian di atas, hal sedemikian itu sudah tidak pada tempatnya lagi. Tambahan pula karena Pengadilan Tinggi Jakarta masih bertempat kedudukan dalam kota Jakarta, pada dewasa ini tidak mudah perhubungannya dengan badan-badan pengadilan lainnya. Pekerjaannya ini juga sudah seyogiyanya diserahkan kepada Mahkamah Agung, yang kini sudah dapat menjalankannya. Kekuasaan ini termuat dalam pasal 5 dari Undang-undang. Tentang perselisihan antara pengadilan biasa dan pengadilan tentara sudah diatur dalam pasal 6 dari Undang-undang no. 7 tahun 1946 tentang Pengadilan Tentara. Untuk menegaskan arti kata-kata yang tersebut di bawah ini, baiklah kiranya disampingnya dengan kata-kata dalam bahasa Belanda : "melakukan keadilan" dalam pasal 2 ayat 1 = "rechtsbedeeling"; "peradilan" dalam pasal 2 ayat 2 = "rechtspraak"; "saksama dan seyogyanya" dalam pasal 2 ayat 2 "onvertogen en behoorlijk"; "tingkatan peradilan pertama dan juga terakhir" dalam pasal 5 ayat 1 = "in eersten aanleg en tevens in laatste ressort".
Silahkan download versi PDF nya sbb:
susunan_kekuasaan_mahkamah_agung_kejaksaan_agung_7.pdf
(ogi/Carapedia)
Pencarian Terbaru
Pasal tentang ma. Pasal pasal yang berkaitan dengan ma. Pasal ma. Pasal pasal yang berhubungan dengan ma. Pasal2 tentang ma. Pasal pasal ma. Pengertian sema.
Dasar hukum mahkamah agung. Dasar hukum struktur mahkamah agung. Landasan hukum mahkamah agung. Susunan mahkamah agung terbaru. Pasal mengenai ma. Pasal2 berkaitan dengan ma. Pasal tentang mahkamah agung.
Pasal2 mengenai ma. Dasar hukum kejaksaan agung. Pasal makamah agung. Susunan kejaksaan tertinggi di indonesia. Susunan ma. Undang undang ma.
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)