- Home »
- Internet Komputer » Di Jakarta, Pendayagunaan Internet Masih Munculkan Kesenjangan Gender
Internet Komputer
Di Jakarta, Pendayagunaan Internet Masih Munculkan Kesenjangan Gender
Internet rupanya menimbulkan kesenjangan gender di kota-kota besar seperti Jakarta. Kesenjangan ini muncul ketika membicarakan tentang akses internet.
Web Foundation (Founder: Sir Tim Berners-Lee) bersama dengan ICT Watch dan LPPM-LSPR (Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat – London School of Public Relation) melakukan penelitian yang mengungkapkan fakta bahwa perkembangan ponsel masih belum mengakomodasi kebutuhan perempuan untuk mengakses internet, bahkan untuk pemberdayaannya.
Para perempuan di seluruh kota yang disurvei dalam studi tersebut menunjukkan pengetahuan yang kurang setra tingginya biaya untuk mengakses internet. Hamparan mengakses internet adalah kurangnya pengetahuan dialami oleh perempuan 1,6 lebih tinggi daripada laki-laki.
Terungkap juga bahwa harga satu gigabyte data sebanding dengan 76% pendapatan bulanan masyarakat level bawah.
Akses perempuan terhadap pendidikan menjadi salah satu faktor bahwa pengetahuan mereka akan internet sangat kurang. Asumsi dalam penelitian, perempuan miskin di kota dengan tingkat pendidikan SMP mengakses internet enam kali lebih tinggi daripada perempuan miskin kota dengan pendidikan yang lebih rendah.
Beberapa kota yang memiliki kesenjangan gender akan pendidikan antara lain Nairobi (Kenya), Maputo (Mozambique), Kampala (Uganda), dan Jakarta (Indonesia) juga memiliki kesenjangan gender terhadap akses internet. Kesenjangan gender dalam mengakses internet mulai berkurang pada kota-kota dengan tingkat pendidikan perempuan lebih tinggi daripada laki-laki seperti di Manila dan New Delhi.
Para perempuan berpenghasilan rendah menggunakan media sosial untuk menjaga hubungan keluarga dan tetangga, selain itu 97% persen responden laki-laki dan perempuan telah menggunakan media sosial.
Dalam survei ini juga digambarkan bahwa perempuan pengguna internet kurang bisa memberdayakan diri mereka untuk mencari informasi, mengutarakan pendapat dan mencari peluang ekonomi secara online. Dalam asumsi lain, perempuan memiliki 25% peluang yang lebih rendah menggunakan internet untuk mencari kerja daripada laki-laki dan 52% lebih rendah mengungkapkan pandangan kontroversial mereka di dunia maya.
Menariknya lagi, penelitian ini menemukan fakta bahwa sekelompok perempuan menjadi perintis aktivitas digital, misalnya aktif dalam kehidupan masyarakay online yaitu tiga kali lebih tinggi ketika mengungkapkan pendapat terhadap isu-isu penting dengan mempertimbangkan factor pendidikan, pendapatan dan usia.
Para perempuan berpendidikan SMP empat kali lebih tinggi dalam penggunakan internet untuk mencari informasi dan memajukan kondisi ekonomi mereka daripada perempuan yang berpendidikan di bawah SMP.
Dengan temuan-temuan tersebut bisa menunjukkan bahwa perempuan memiliki kekuatan untuk mengingkatkan posisi mereka di tengah komunitas menggunakan internet. PBB sendiri memiliki tantangan terhadap perempuan bagaimana mereka bisa memberdayakan TIK meskipun tidak memiliki status dan kekuatan untuk mengaksesnya.
Banyak sekali terjadi penyalahgunaan dan pelecehan melalui TIK terhadap perempuan, sehingga menjadi himbauan keras bagi pemerintah dan penyedia media online untuk mengambil tindakan terhadap tindakan tersebut yang jelas merugikan perempuan. Keterampilan digital harus dijadikan hak setiap perempuan dan laki-laki sebagai komitmen dalam menyediakan pendidikan berkualitas untuk semua dan mengembangkan strategi meningkatkan kekuatan kewarganegaraan, politik dan ekonomi perempuan melalui teknologi.