Previous
Next

2009

Undang-Undang Peternakan Dan Kesehatan Hewan (UU 18 thn 2009)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan Dan Kesehatan Hewan :
            UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

                      NOMOR 18 TAHUN 2009

                             TENTANG

                PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN


            DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                  PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,



Menimbang   :    a. bahwa hewan sebagai karunia dan amanat Tuhan
                    Yang Maha Esa mempunyai peranan penting dalam
                    penyediaan pangan asal hewan dan hasil hewan
                    lainnya    serta  jasa    bagi    manusia  yang
                    pemanfataannya      perlu     diarahkan   untuk
                    kesejahteraan masyarakat;
                 b. bahwa untuk mencapai maksud tersebut perlu
                    diselenggarakan kesehatan hewan yang melindungi
                    kesehatan     manusia     dan    hewan    beserta
                    ekosistemnya sebagai prasyarat terselenggaranya
                    peternakan yang maju, berdaya saing, dan
                    berkelanjutan serta penyediaan pangan yang aman,
                    sehat,    utuh,   dan    halal   sehingga   perlu
                    didayagunakan      untuk      kemakmuran     dan
                    kesejahteraan masyarakat;
                 c. bahwa dengan perkembangan keadaan tuntutan
                    otonomi   daerah    dan   globalisasi,  peraturan
                    perundang-undangan di bidang peternakan dan
                    kesehatan hewan yang berlaku saat ini sudah tidak
                    sesuai lagi sebagai landasan hukum bagi
                    penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan;
                 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
                    dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c,
                    perlu   membentuk      Undang-Undang  tentang
                    Peternakan dan Kesehatan Hewan;




                                                       Mengingat: . . .
                                 -2-

Mengingat    :   Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-
                 Undang Dasar Negara Republik Indonesia    Tahun
                 1945;

                      Dengan Persetujuan Bersama

        DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
                           dan
               PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

                            MEMUTUSKAN:

Menetapkan   :   UNDANG-UNDANG TENTANG             PETERNAKAN       DAN
                 KESEHATAN HEWAN.



                                BAB I

                         KETENTUAN UMUM

                                Pasal 1

                 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

                 1.   Peternakan adalah segala urusan yang berkaitan
                      dengan sumber daya fisik, benih, bibit dan/atau
                      bakalan, pakan, alat dan mesin peternakan, budi
                      daya ternak, panen, pascapanen, pengolahan,
                      pemasaran, dan pengusahaannya.
                 2.   Kesehatan hewan     adalah segala urusan yang
                      berkaitan dengan perawatan hewan, pengobatan
                      hewan, pelayanan kesehatan hewan, pengendalian
                      dan penanggulangan penyakit hewan, penolakan
                      penyakit, medik reproduksi, medik konservasi,
                      obat hewan dan peralatan kesehatan hewan, serta
                      keamanan pakan.
                 3.   Hewan adalah binatang atau satwa yang seluruh
                      atau sebagian dari siklus hidupnya berada di darat,
                      air, dan/atau      udara, baik yang dipelihara
                      maupun yang di habitatnya.
                 4.   Hewan     peliharaan  adalah   hewan      yang
                      kehidupannya untuk sebagian atau seluruhnya
                      bergantung pada manusia untuk maksud tertentu.


                                                         5. Ternak . . .
               -3-

5.   Ternak adalah hewan peliharaan yang produknya
     diperuntukan sebagai penghasil pangan, bahan
     baku industri, jasa, dan/atau hasil ikutannya
     yang terkait dengan pertanian.
6.   Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di
     darat,    air, dan/atau     udara yang masih
     mempunyai sifat liar, baik yang hidup bebas
     maupun yang dipelihara oleh manusia.
7.   Sumber daya genetik adalah material tumbuhan,
     binatang, atau jasad renik yang mengandung
     unit-unit yang berfungsi sebagai pembawa sifat
     keturunan, baik yang bernilai aktual maupun
     potensial untuk menciptakan galur, rumpun, atau
     spesies baru.
8.   Benih hewan yang selanjutnya disebut benih
     adalah bahan reproduksi hewan yang dapat
     berupa semen, sperma, ova, telur tertunas, dan
     embrio.
9.   Benih jasad renik adalah mikroba yang dapat
     digunakan untuk kepentingan industri pakan
     dan/atau industri biomedik veteriner.
10. Bibit hewan yang selanjutnya disebut bibit adalah
    hewan yang mempunyai sifat          unggul dan
    mewariskan serta memenuhi persyaratan tertentu
    untuk dikembangbiakkan.
11. Rumpun hewan yang selanjutnya disebut rumpun
    adalah segolongan hewan dari suatu spesies yang
    mempunyai ciri-ciri fenotipe yang khas dan dapat
    diwariskan pada keturunannya.
12. Bakalan hewan yang selanjutnya disebut bakalan
    adalah hewan bukan bibit yang mempunyai sifat
    unggul untuk dipelihara guna tujuan produksi.
13. Produk hewan adalah semua bahan yang berasal
    dari hewan yang masih segar dan/atau telah
    diolah atau diproses untuk keperluan konsumsi,
    farmakoseutika, pertanian, dan/atau kegunaan
    lain    bagi   pemenuhan     kebutuhan    dan
    kemaslahatan manusia.
14. Peternak     adalah perorangan warga negara
    Indonesia atau korporasi yang melakukan usaha
    peternakan.

                                   15. Perusahaan . . .
               -4-

15. Perusahaan peternakan adalah orang perorangan
    atau korporasi, baik yang berbentuk badan
    hukum maupun yang bukan badan hukum, yang
    didirikan dan berkedudukan dalam wilayah
    Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
    mengelola usaha peternakan dengan kriteria dan
    skala tertentu.
16. Usaha di bidang peternakan adalah kegiatan yang
    menghasilkan produk dan jasa yang menunjang
    usaha budi daya ternak.
17. Kastrasi adalah tindakan mencegah berfungsinya
    testis  dengan    jalan  menghilangkan    atau
    menghambat fungsinya.
18. Inseminasi buatan adalah teknik memasukkan
    mani atau semen ke dalam alat reproduksi ternak
    betina sehat untuk dapat membuahi sel telur
    dengan menggunakan alat inseminasi dengan
    tujuan agar ternak bunting.
19. Pemuliaan    ternak adalah rangkaian kegiatan
    untuk   mengubah     komposisi  genetik  pada
    sekelompok ternak dari suatu rumpun atau galur
    guna mencapai tujuan tertentu.
20. Ternak lokal adalah ternak hasil persilangan atau
    introduksi dari luar yang telah dikembangbiakkan
    di Indonesia sampai generasi kelima atau lebih
    yang teradaptasi pada lingkungan dan/atau
    manajemen setempat.
21. Usaha     di bidang kesehatan hewan adalah
    kegiatan yang menghasilkan produk dan jasa yang
    menunjang upaya dalam mewujudkan kesehatan
    hewan.
22. Pakan adalah bahan makanan tunggal atau
    campuran, baik yang diolah maupun yang tidak
    diolah, yang diberikan kepada hewan untuk
    kelangsungan     hidup,   berproduksi,   dan
    berkembang biak.
23. Bahan      pakan adalah bahan hasil pertanian,
    perikanan, peternakan, atau bahan lainnya yang
    layak dipergunakan sebagai pakan, baik yang
    telah diolah maupun yang belum diolah.


                                    24. Kawasan . . .
               -5-

24. Kawasan penggembalaan umum adalah lahan
    negara atau yang disediakan Pemerintah atau
    yang   dihibahkan     oleh    perseorangan  atau
    perusahaan      yang       diperuntukkan    bagi
    penggembalaan ternak masyarakat skala kecil
    sehingga ternak dapat leluasa berkembang biak.
25. Setiap orang adalah orang perorangan atau
    korporasi, baik yang berbadan hukum maupun
    yang tidak berbadan hukum, yang melakukan
    kegiatan di bidang peternakan dan kesehatan
    hewan.
26. Veteriner adalah segala urusan yang berkaitan
    dengan hewan dan penyakit hewan.
27. Medik veteriner adalah penyelenggaraan kegiatan
    praktik kedokteran hewan.
28. Otoritas veteriner adalah kelembagaan Pemerintah
    dan/atau kelembagaan yang dibentuk Pemerintah
    dalam pengambilan keputusan tertinggi yang
    bersifat   teknis    kesehatan   hewan    dengan
    melibatkan keprofesionalan dokter hewan dan
    dengan mengerahkan semua lini kemampuan
    profesi mulai dari mengindentifikasikan masalah,
    menentukan        kebijakan,    mengoordinasikan
    pelaksana       kebijakan,     sampai     dengan
    mengendalikan teknis operasional di lapangan.
29. Dokter hewan adalah orang yang memiliki profesi
    di bidang kedokteran hewan, sertifikat kompetensi,
    dan    kewenangan     medik    veteriner   dalam
    melaksanakan pelayanan kesehatan hewan.
30. Dokter hewan berwenang adalah dokter hewan
    yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati
    atau walikota sesuai dengan kewenangannya
    berdasarkan jangkauan tugas pelayanannya dalam
    rangka penyelenggaraan kesehatan hewan.
31. Medik reproduksi adalah penerapan medik
    veteriner dalam penyelenggaraan kesehatan hewan
    di bidang reproduksi hewan.
32. Medik konservasi adalah penerapan medik
    veteriner dalam penyelenggaraan kesehatan hewan
    di bidang konservasi satwa liar.


                                   33. Biomedik . . .
               -6-

33. Biomedik adalah penyelenggaraan medik veteriner
    di bidang biologi farmasi, pengembangan sains
    kedokteran, atau industri biologi untuk kesehatan
    dan kesejahteraan manusia.
34. Penyakit hewan adalah gangguan kesehatan pada
    hewan yang antara lain, disebabkan oleh cacat
    genetik, proses degeneratif, gangguan metabolisme,
    trauma, keracunan, infestasi parasit, dan infeksi
    mikroorganisme patogen seperti virus, bakteri,
    cendawan, dan ricketsia.
35. Penyakit hewan menular adalah penyakit yang
    ditularkan antara hewan dan hewan; hewan dan
    manusia; serta hewan dan media pembawa
    penyakit hewan lainnya melalui kontak langsung
    atau tidak langsung dengan media perantara
    mekanis seperti air, udara, tanah, pakan,
    peralatan, dan manusia; atau       dengan media
    perantara biologis seperti virus, bakteri, amuba,
    atau jamur.
36. Penyakit hewan strategis adalah penyakit hewan
    yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi,
    keresahan masyarakat, dan/atau kematian hewan
    yang tinggi.
37. Zoonosis adalah penyakit yang dapat menular dari
    hewan kepada manusia atau sebaliknya.
38. Kesehatan masyarakat veteriner adalah segala
    urusan yang berhubungan dengan hewan dan
    produk hewan yang secara langsung atau tidak
    langsung memengaruhi kesehatan manusia.
39. Obat hewan adalah sediaan           yang dapat
    digunakan      untuk       mengobati      hewan,
    membebaskan gejala, atau memodifikasi proses
    kimia dalam tubuh yang meliputi sediaan biologik,
    farmakoseutika, premiks, dan sediaan alami.
40. Alat dan mesin peternakan adalah semua
    peralatan yang digunakan berkaitan dengan
    kegiatan peternakan dan kesehatan hewan, baik
    yang dioperasikan    dengan motor penggerak
    maupun tanpa motor penggerak.




                                         41. Alat . . .
               -7-

41. Alat dan mesin kesehatan hewan adalah peralatan
    kedokteran hewan yang disiapkan dan digunakan
    untuk hewan sebagai alat bantu dalam pelayanan
    kesehatan hewan.
42. Kesejahteraan hewan adalah segala urusan yang
    berhubungan dengan keadaan fisik dan mental
    hewan menurut ukuran perilaku alami hewan
    yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk
    melindungi hewan dari perlakuan setiap orang
    yang   tidak  layak   terhadap  hewan    yang
    dimanfaatkan manusia.
43. Tenaga     kesehatan hewan adalah orang yang
    menjalankan aktivitas di bidang kesehatan hewan
    berdasarkan kompetensi dan kewenangan medik
    veteriner yang hierarkis sesuai dengan pendidikan
    formal dan/atau pelatihan kesehatan hewan
    bersertifikat.
44. Teknologi kesehatan hewan adalah segala sesuatu
    yang berkaitan dengan pengembangan dan
    penerapan ilmu, teknik, rekayasa, dan industri di
    bidang kesehatan hewan.
45. Pemerintah pusat      yang selanjutnya disebut
    Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia
    yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara
    Kesatuan    Republik    Indonesia  sebagaimana
    dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
    Republik Indonesia Tahun 1945.
46. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung
    jawabnya di bidang peternakan dan kesehatan
    hewan.
47. Pemerintah      daerah     adalah     gubernur,
    bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai
    unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
48. Pemerintahan daerah     adalah penyelenggaraan
    urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan
    dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas
    otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip
    otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip
    Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
    dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
    Republik Indonesia Tahun 1945.


                                       49. Sistem . . .
               -8-

49. Sistem    kesehatan     hewan  nasional    yang
    selanjutnya disebut Siskeswanas adalah tatanan
    unsur kesehatan hewan yang secara teratur saling
    berkaitan sehingga membentuk totalitas yang
    berlaku secara nasional.

              BAB II

       ASAS DAN TUJUAN

             Pasal 2

(1) Peternakan     dan    kesehatan hewan   dapat
    diselenggarakan di seluruh wilayah Negara
    Kesatuan Republik Indonesia yang dilaksanakan
    secara tersendiri dan/atau melalui integrasi
    dengan budi daya tanaman pangan, hortikultura,
    perkebunan, perikanan, kehutanan, atau bidang
    lainnya yang terkait.

(2) Penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan
    berasaskan kemanfaatan dan keberlanjutan,
    keamanan dan kesehatan, kerakyatan dan
    keadilan,   keterbukaan     dan     keterpaduan,
    kemandirian, kemitraan, dan keprofesionalan.

             Pasal 3

Pengaturan    penyelenggaraan    peternakan     dan
kesehatan hewan bertujuan untuk:
a. mengelola sumber daya hewan secara bermartabat,
   bertanggung jawab, dan berkelanjutan untuk
   sebesar-besar kemakmuran rakyat;
b. mencukupi kebutuhan pangan, barang, dan jasa
   asal hewan secara mandiri, berdaya saing, dan
   berkelanjutan bagi   peningkatan kesejahteraan
   peternak dan masyarakat menuju pencapaian
   ketahanan pangan nasional;
c. melindungi, mengamankan, dan/atau menjamin
   wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari
   ancaman yang dapat mengganggu kesehatan atau
   kehidupan manusia, hewan, tumbuhan, dan
   lingkungan;


                               d. mengembangkan . . .
                -9-

 d. mengembangkan sumber daya hewan               bagi
    kesejahteraan peternak dan masyarakat; dan
 e. memberi kepastian hukum dan kepastian berusaha
    dalam bidang peternakan dan kesehatan hewan.



               BAB III

           SUMBER DAYA

           Bagian Kesatu
               Lahan

               Pasal 4

Untuk     menjamin     kepastian    terselenggaranya
peternakan   dan    kesehatan    hewan     diperlukan
penyediaan lahan yang memenuhi persyaratan teknis
peternakan dan kesehatan hewan.

               Pasal 5

(1)   Penyediaan lahan sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 4 dimasukkan ke dalam tata ruang wilayah
      sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
      undangan.

(2)   Dalam hal terjadi perubahan tata ruang wilayah
      yang mengakibatkan perubahan peruntukan lahan
      peternakan dan kesehatan hewan,          lahan
      pengganti harus disediakan terlebih dahulu di
      tempat lain yang sesuai dengan persyaratan
      peternakan     dan   kesehatan    hewan    dan
      agroekosistem.

(3)   Ketentuan mengenai perubahan tata ruang
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan
      bagi lahan peternakan dan kesehatan hewan
      untuk kegiatan pendidikan dan/atau penelitian
      dan pengembangan.




                                           Pasal 6 . . .
                - 10 -

               Pasal 6
(1)   Lahan yang telah ditetapkan sebagai kawasan
      penggembalaan umum harus dipertahankan
      keberadaan     dan  kemanfaatannya    secara
      berkelanjutan.
(2)   Kawasan penggembalaan umum sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai:
      a. penghasil tumbuhan pakan;
      b. tempat perkawinan alami, seleksi, kastrasi,
         dan pelayanan inseminasi buatan;
      c. tempat pelayanan kesehatan hewan; dan/atau
      d. tempat     atau     objek    penelitian dan
         pengembangan teknologi peternakan dan
         kesehatan hewan.
(3)   Pemerintah daerah kabupaten/kota yang di
      daerahnya mempunyai persediaan lahan yang
      memungkinkan dan memprioritaskan budi daya
      ternak skala kecil diwajibkan menetapkan lahan
      sebagai kawasan penggembalaan umum.
(4)   Pemerintah daerah kabupaten/kota membina
      bentuk    kerja    sama    antara    pengusahaan
      peternakan dan pengusahaan tanaman pangan,
      hortikultura,   perikanan,    perkebunan,    dan
      kehutanan     serta   bidang     lainnya   dalam
      memanfaatkan lahan di kawasan tersebut sebagai
      sumber pakan ternak murah.
(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan
      pengelolaan kawasan penggembalaan umum
      sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan
      dengan peraturan daerah kabupaten/kota.



            Bagian Kedua
                 Air

               Pasal 7

(1)   Air yang dipergunakan untuk kepentingan
      peternakan   dan   kesehatan hewan harus
      memenuhi persyaratan baku mutu air sesuai
      dengan peruntukannya.



                                       (2) Apabila . . .
                 - 11 -

(2)   Apabila ketersediaan air terbatas pada suatu waktu
      dan kawasan, kebutuhan air untuk hewan perlu
      diprioritaskan setelah kebutuhan masyarakat
      terpenuhi.


             Bagian Ketiga
          Sumber Daya Genetik

                Pasal 8

(1) Sumber daya genetik merupakan kekayaan bangsa
    Indonesia  yang   dikuasai oleh  negara   dan
    dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran
    rakyat.
(2) Penguasaan negara atas sumber daya genetik
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
    oleh Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi,
    atau    pemerintahan    daerah   kabupaten/kota
    berdasarkan sebaran asli geografis sumber daya
    genetik yang bersangkutan.
(3) Sumber daya genetik dikelola melalui kegiatan
    pemanfaatan dan pelestarian.
(4) Pemanfaatan sumber daya genetik sebagaimana
    dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui
    pembudidayaan dan pemuliaan.
(5) Pelestarian    sumber daya genetik sebagaimana
    dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui
    konservasi di dalam habitatnya dan/atau di luar
    habitatnya serta upaya lainnya.
(6) Pengelolaan sumber daya genetik tumbuhan pakan
    mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang
    sistem budi daya tanaman.

                Pasal 9

(1) Setiap orang yang melakukan pemanfaatan sumber
    daya genetik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
    ayat (4) wajib membuat perjanjian dengan pelaksana
    penguasaan negara atas sumber daya genetik yang
    bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
    ayat (2).


                                       (2) Perjanjian . . .
                 - 12 -

(2)    Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
       mencantumkan,       antara   lain,   pembagian
       keuntungan dari hasil pemanfaatan sumber daya
       genetik yang bersangkutan dan pemberdayaan
       masyarakat sekitar dalam pemanfaatannya.
(3)    Pemanfaatan sumber daya genetik hewan asal
       satwa liar mengikuti peraturan perundang-
       undangan di bidang konservasi sumber daya alam
       hayati dan ekosistemnya.

               Pasal 10

(1)    Pembudidayaan dan pemuliaan sebagaimana
       dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) dilakukan oleh
       Pemerintah,   pemerintah   daerah     provinsi,
       pemerintah daerah kabupaten/kota, masyarakat,
       dan/atau korporasi.
(2)    Pemerintah     wajib    melindungi usaha
       pembudidayaan dan pemuliaan sebagaimana
       dimaksud pada ayat (1).
(3)    Pembudidayaan dan pemuliaan sebagaimana
       dimaksud pada ayat (1) harus mengoptimalkan
       pemanfaatan      keanekaragaman hayati dan
       pelestarian sumber daya genetik asli Indonesia.
(4)    Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan
       pembinaan dan pengawasan terhadap setiap orang
       yang melakukan pembudidayaan dan pemuliaan
       sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

               Pasal 11

(1)    Setiap orang atau lembaga nasional yang
       melakukan pemasukan dan/atau pengeluaran
       sumber daya genetik ke dan dari wilayah Negara
       Kesatuan Republik Indonesia wajib memperoleh
       izin dari Menteri sesuai dengan ketentuan
       peraturan perundang-undangan.
 (2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
       berlaku juga bagi lembaga internasional yang
       melakukan pemasukan dan/atau pengeluaran
       sumber daya genetik ke dan dari wilayah Negara
       Kesatuan Republik Indonesia.

                                         (3) Selain . . .
                - 13 -

(3)   Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (2), lembaga asing yang akan melakukan
      pemasukan dan pengeluaran sumber daya genetik,
      terlebih dahulu harus memiliki perjanjian dengan
      Pemerintah di bidang transfer material genetik
      sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
      undangan.

               Pasal 12
(1)   Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber daya
      genetik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
      sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau
      berdasarkan Peraturan Pemerintah.

(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan dan
      pelestarian sumber daya genetik termasuk sumber
      daya genetik hewan dan rekayasa genetik diatur
      dengan undang-undang.


               BAB IV

            PETERNAKAN

           Bagian Kesatu
      Benih, Bibit, dan Bakalan

              Pasal 13

(1)   Penyediaan dan pengembangan benih, bibit,
      dan/atau    bakalan    dilakukan  dengan
      mengutamakan produksi dalam negeri dan
      kemampuan ekonomi kerakyatan.

(2)   Pemerintah berkewajiban untuk      melakukan
      pengembangan usaha pembenihan       dan/atau
      pembibitan dengan melibatkan peran serta
      masyarakat untuk menjamin ketersediaan benih,
      bibit, dan/atau bakalan.

(3)   Dalam     hal usaha pembenihan      dan/atau
      pembibitan oleh masyarakat belum berkembang,
      Pemerintah   membentuk     unit  pembenihan
      dan/atau pembibitan.


                                          (4) Setiap . . .
                 - 14 -

(4)   Setiap benih atau bibit yang beredar wajib
      memiliki sertifikat layak benih atau bibit yang
      memuat keterangan mengenai silsilah dan ciri-ciri
      keunggulan tertentu.

(5)   Sertifikat layak benih atau bibit sebagaimana
      dimaksud pada ayat (4) dikeluarkan oleh lembaga
      sertifikasi benih atau bibit yang terakreditasi atau
      yang ditunjuk oleh Menteri.

               Pasal 14

(1)   Pemerintah menetapkan kebijakan perbibitan
      nasional untuk mendorong ketersediaan benih
      dan/atau bibit yang bersertifikat dan melakukan
      pengawasan dalam pengadaan dan peredarannya
      secara berkelanjutan.
(2)   Pemerintah    membina pembentukan wilayah
      sumber bibit pada wilayah yang berpotensi
      menghasilkan suatu rumpun ternak dengan mutu
      dan keragaman jenis yang tinggi untuk sifat
      produksi dan/atau reproduksi.
(3)   Wilayah    sumber bibit sebagaimana dimaksud
      pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri dengan
      mempertimbangkan jenis dan rumpun ternak,
      agroklimat, kepadatan penduduk, sosial ekonomi,
      budaya, serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
(4)   Ketentuan     lebih lanjut mengenai     kebijakan
      perbibitan nasional sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

               Pasal 15

(1)   Dalam keadaan tertentu pemasukan benih
      dan/atau bibit dari luar negeri dapat dilakukan
      untuk:
      a. meningkatkan mutu dan keragaman genetik;
      b. mengembangkan ilmu pengetahuan dan
          teknologi;
      c.  mengatasi kekurangan benih atau bibit di
          dalam negeri; dan/atau
      d. memenuhi keperluan penelitian dan
          pengembangan.


                                     (2) Pemasukan . . .
                - 15 -

(2)   Pemasukan benih dan/atau bibit wajib memenuhi
      persyaratan mutu dan kesehatan hewan dan
      peraturan   perundang-undangan     di  bidang
      karantina hewan serta memerhatikan kebijakan
      pewilayahan bibit sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 14.
(3)   Setiap orang yang melakukan pemasukan benih
      dan/atau bibit sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1)   wajib memperoleh izin dari menteri yang
      menyelenggarakan urusan perdagangan setelah
      mendapat rekomendasi dari Menteri.
(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan
      mutu     dan kesehatan    hewan    sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
      Menteri.

               Pasal 16

(1)   Pengeluaran benih, bibit, dan/atau bakalan dari
      wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke
      luar negeri dapat dilakukan apabila kebutuhan
      dalam negeri telah terpenuhi dan kelestarian
      ternak lokal terjamin.
(2)   Setiap  orang     yang   melakukan    kegiatan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
      memperoleh     izin    dari   menteri     yang
      menyelenggarakan urusan perdagangan setelah
      mendapat rekomendasi dari Menteri.

              Pasal 17

(1)   Perbaikan kualitas benih dan/atau bibit dilakukan
      dengan pembentukan galur murni          dan/atau
      pembentukan rumpun baru melalui persilangan
      dan/atau aplikasi bioteknologi modern.
(2)   Aplikasi  bioteknologi    modern    sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
      sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah
      agama dan tidak merugikan keanekaragaman
      hayati; kesehatan manusia, lingkungan, dan
      masyarakat; serta kesejahteraan hewan.




                                        (3) Aplikasi . . .
                - 16 -

(3)   Aplikasi   bioteknologi    modern  sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan khusus
      untuk menghasilkan ternak hasil rekayasa genetik
      harus    memenuhi       ketentuan  sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) dan peraturan perundang-
      undangan di bidang keamanan hayati produk
      rekayasa genetik.

              Pasal 18

(1)   Dalam rangka mencukupi ketersediaan bibit,
      ternak ruminansia betina produktif diseleksi
      untuk pemuliaan, sedangkan ternak ruminansia
      betina   tidak   produktif disingkirkan untuk
      dijadikan ternak potong.

(2)   Ternak ruminansia betina produktif dilarang
      disembelih karena merupakan    penghasil ternak
      yang baik, kecuali untuk keperluan penelitian,
      pemuliaan,      atau     pengendalian       dan
      penanggulangan penyakit hewan.

(3)   Pemerintah       dan      pemerintah      daerah
      kabupaten/kota     menyediakan     dana    untuk
      menjaring ternak ruminansia betina produktif
      yang    dikeluarkan    oleh   masyarakat     dan
      menampung ternak tersebut pada unit pelaksana
      teknis di daerah untuk keperluan penangkaran
      dan penyediaan bibit ternak ruminansia di daerah
      tersebut.

(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai penyeleksian dan
      penyingkiran sebagaimana pada ayat (1) dan
      penjaringan ternak ruminansia betina produktif
      sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
      dengan Peraturan Menteri.


            Bagian Kedua
               Pakan

              Pasal 19

(1)   Setiap orang yang melakukan budi daya ternak
      wajib mencukupi kebutuhan pakan dan kesehatan
      ternaknya.

                                     (2) Pemerintah . . .
                - 17 -

(2)   Pemerintah dan pemerintah daerah membina
      pelaku usaha peternakan untuk mencukupi dan
      memenuhi kebutuhan pakan yang baik untuk
      ternaknya.

(3)   Untuk   memenuhi    kebutuhan      yang   baik
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah
      membina pengembangan industri premiks dalam
      negeri.

              Pasal 20

(1)   Pengawasan terhadap pengadaan dan peredaran
      bahan pakan dan tumbuhan atau tanaman pakan
      yang tergolong bahan pangan dilakukan secara
      terkoordinasi antarinstansi atau departemen.

(2)   Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      meliputi penyediaan lahan untuk keperluan budi
      daya tanaman pakan, pengadaan pakan di dalam
      negeri, dan pemasukan pakan dari luar negeri.

(3)   Pengadaan     dan/atau pembudidayaan tanaman
      pakan dilakukan melalui sistem pertanaman
      monokultur dan/atau terpadu dengan jenis
      tanaman lain dengan tetap mempertimbangkan
      ekosistem sesuai dengan peraturan perundang-
      undangan di bidang sistem budi daya tanaman.

(4)   Dalam rangka pengadaan pakan dan/atau bahan
      pakan yang tergolong bahan pangan, Pemerintah
      mengutamakan bahan baku pakan lokal.

(5)   Pengadaan dan penggunaan pakan dan/atau
      bahan pakan yang berasal dari organisme
      transgenik  harus  memenuhi   persyaratan
      keamanan hayati.

              Pasal 21

Menteri menetapkan batas tertinggi kandungan bahan
pencemar fisik, kimia, dan biologis pada pakan
dan/atau bahan pakan.



                                      Pasal 22 . . .
                - 18 -

               Pasal 22

(1)   Setiap orang yang memproduksi pakan dan/atau
      bahan pakan untuk diedarkan secara komersial
      wajib memperoleh izin usaha.

(2)   Pakan     yang dibuat untuk diedarkan secara
      komersial    harus  memenuhi     standar atau
      persyaratan teknis minimal dan keamanan pakan
      serta     memenuhi ketentuan cara pembuatan
      pakan yang baik yang ditetapkan dengan
      Peraturan Menteri.

(3)   Pakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
      berlabel sesuai dengan peraturan perundang-
      undangan.

(4)   Setiap orang dilarang:
      a. mengedarkan pakan yang tidak layak
           dikonsumsi;
      b.   menggunakan dan/atau mengedarkan pakan
           ruminansia yang mengandung bahan pakan
           yang berupa darah, daging, dan/atau tulang;
           dan/atau
      c.   menggunakan pakan yang dicampur hormon
           tertentu dan/atau antibiotik imbuhan pakan.

(5)   Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud
      pada ayat (4) huruf c ditetapkan dengan Peraturan
      Menteri.

               Pasal 23

Setiap pakan dan/atau bahan pakan yang dimasukkan
dari luar negeri atau dikeluarkan dari dalam negeri
harus memenuhi ketentuan persyaratan teknis
kesehatan hewan dan peraturan perundang-undangan
di bidang karantina.




                                        Bagian Ketiga . . .
               - 19 -

            Bagian Ketiga
     Alat dan Mesin Peternakan

             Pasal 24

(1) Pemerintah menetapkan jenis dan standar alat dan
    mesin peternakan yang peredarannya perlu diawasi.

(2) Alat dan mesin peternakan yang diproduksi
    dan/atau dimasukkan ke dalam wilayah Negara
    Kesatuan Republik Indonesia harus mengutamakan
    keselamatan dan keamanan pemakainya.

(3) Alat dan mesin peternakan yang diproduksi
    dan/atau dimasukkan ke dalam wilayah Negara
    Kesatuan     Republik     Indonesia    sebagaimana
    dimaksud pada ayat (2) yang peredarannya perlu
    diawasi wajib diuji sebelum diedarkan.

             Pasal 25

(1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan
    alat dan mesin peternakan dari luar negeri untuk
    diedarkan wajib menyediakan suku cadang.

(2) Pemerintah    membina        dan    memfasilitasi
    berkembangnya industri alat dan mesin peternakan
    dalam negeri.

(3) Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan
    terhadap pengadaan dan peredaran alat dan mesin
    peternakan.

(4) Alat dan mesin peternakan sebagaimana dimaksud
    pada ayat (1) diutamakan mengandung suku
    cadang lokal dan melibatkan masyarakat dalam alih
    teknologi.

              Pasal 26

Ketentuan lebih lanjut mengenai alat dan mesin
peternakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan
Pasal 25 diatur dengan Peraturan Pemerintah.


                                     Bagian Keempat . . .
               - 20 -

         Bagian Keempat
           Budi Daya

             Pasal 27

(1) Budi daya merupakan usaha untuk menghasilkan
    hewan peliharaan dan produk hewan.

(2) Pengembangan budi daya dapat dilakukan dalam
    suatu kawasan budi daya sesuai dengan ketentuan
    tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.

(3) Penetapan suatu kawasan budi daya sebagaimana
    dimaksud pada     ayat (2) diatur berdasarkan
    Peraturan Menteri dengan berpedoman pada
    peraturan   perundang-undangan    di    bidang
    penataan ruang.

(4) Pelaksanaan     budi daya dengan memanfaatkan
    satwa liar dilaksanakan sesuai dengan peraturan
    perundang-undangan di bidang konservasi sumber
    daya alam hayati dan ekosistemnya.

             Pasal 28

(1) Pemerintah menetapkan hewan hasil budi daya
    yang memanfaatkan satwa liar sebagai ternak
    sepanjang populasinya telah mengalami kestabilan
    genetik tanpa bergantung lagi pada populasi jenis
    tersebut di habitat alam.

(2) Satwa liar baik dari habitat alam maupun hasil
    penangkaran dapat dimanfaatkan di dalam budi
    daya untuk menghasilkan hewan peliharaan
    sepanjang sesuai dengan ketentuan peraturan
    perundang-undangan tentang konservasi satwa
    liar.

(3) Satwa liar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
    ayat (2) tidak termasuk satwa liar yang seluruh
    dan/atau sebagian daur hidupnya berada di air.




                                        Pasal 29 . . .
               - 21 -

             Pasal 29

(1)   Budi daya ternak hanya dapat dilakukan oleh
      peternak, perusahaan peternakan, serta pihak
      tertentu untuk kepentingan khusus.

(2)   Peternak    yang melakukan budi daya ternak
      dengan jenis dan jumlah ternak di bawah skala
      usaha tertentu diberikan tanda daftar usaha
      peternakan      oleh    pemerintah    daerah
      kabupaten/kota.

(3)   Perusahaan peternakan yang melakukan budi
      daya ternak dengan jenis dan jumlah ternak di
      atas skala usaha tertentu wajib memiliki izin
      usaha peternakan dari pemerintah daerah
      kabupaten/kota.

(4)   Peternak, perusahaan peternakan, dan pihak
      tertentu   yang mengusahakan ternak dengan
      skala usaha tertentu wajib mengikuti tata cara
      budi daya ternak yang baik dengan tidak
      mengganggu ketertiban umum sesuai dengan
      pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.

(5)   Pemerintah berkewajiban untuk melindungi usaha
      peternakan dalam negeri dari persaingan tidak
      sehat di antara pelaku pasar.

              Pasal 30

(1)   Budi daya hanya dapat diselenggarakan oleh
      perorangan    warga   negara  Indonesia atau
      korporasi, baik yang berbadan hukum maupun
      yang tidak berbadan hukum Indonesia.

(2)   Perorangan warga negara Indonesia atau badan
      hukum Indonesia sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) dapat melakukan kerja sama dengan
      pihak asing sesuai dengan peraturan perundang-
      undangan di bidang penanaman modal dan
      peraturan perundang-undangan lainnya yang
      terkait.


                                       Pasal 31 . . .
                - 22 -

               Pasal 31

(1)   Peternak dapat melakukan kemitraan usaha di
      bidang budi daya ternak berdasarkan perjanjian
      yang saling memerlukan,      memperkuat, dan
      menguntungkan serta berkeadilan.

(2)   Kemitraan usaha sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) dapat dilakukan:
      a. antarpeternak;
      b. antara peternak dan perusahaan peternakan;
      c. antara peternak dan perusahaan di bidang lain;
         dan
      d. antara perusahaan peternakan dan Pemerintah
         atau Pemerintah Daerah.

(3)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan
      pembinaan kemitraan sebagaimana dimaksud
      pada ayat (2) dengan memerhatikan ketentuan
      peraturan   perundang-undangan   di  bidang
      kemitraan usaha.

               Pasal 32

(1)   Pemerintah dan pemerintah daerah mengupayakan
      agar sebanyak mungkin warga masyarakat
      menyelenggarakan budi daya ternak.

(2)   Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi
      dan membina pengembangan budi daya yang
      dilakukan oleh peternak dan pihak tertentu yang
      mempunyai kepentingan khusus.

(3)   Pemerintah dan pemerintah daerah membina dan
      memberikan fasilitas untuk pertumbuhan dan
      perkembangan koperasi dan badan usaha di
      bidang peternakan.

               Pasal 33

Ketentuan     lebih  lanjut   mengenai     budi daya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan
Pasal 32 diatur dengan Peraturan Presiden.


                                        Bagian Kelima . . .
                - 23 -

            Bagian Kelima
 Panen, Pascapanen, Pemasaran, dan
Industri Pengolahan Hasil Peternakan

              Pasal 34

(1)   Peternak dan perusahaan peternakan melakukan
      tata cara panen yang baik untuk mendapatkan
      hasil produksi dengan jumlah dan mutu yang
      tinggi.

(2)   Pelaksanaan panen hasil budi daya harus
      mengikuti syarat kesehatan hewan, keamanan
      hayati, dan kaidah agama, etika, serta estetika.

               Pasal 35

(1)   Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi
      pengembangan unit pascapanen produk hewan
      skala kecil dan menengah.
(2)   Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi
      berkembangnya unit usaha pascapanen yang
      memanfaatkan produk hewan sebagai bahan
      baku pangan, pakan, farmasi, dan industri.

              Pasal 36
(1)   Pemerintah          berkewajiban       untuk
      menyelenggarakan dan memfasilitasi kegiatan
      pemasaran hewan atau ternak dan produk hewan
      di dalam negeri maupun ke luar negeri.
(2)   Pemasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      diutamakan    untuk      membina    peningkatan
      produksi dan konsumsi protein hewani dalam
      mewujudkan      ketersediaan   pangan    bergizi
      seimbang    bagi   masyarakat    dengan    tetap
      meningkatkan     kesejahteraan  pelaku    usaha
      peternakan.
(3)   Pengeluaran hewan atau ternak dan produk
      hewan ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) dilakukan apabila produksi dan pasokan
      di dalam negeri telah mencukupi kebutuhan
      konsumsi masyarakat.


                                   (4) Pemasukan . . .
                - 24 -

(4)   Pemasukan hewan atau ternak dan produk hewan
      dari luar negeri dilakukan apabila produksi dan
      pasokan hewan atau ternak dan produk hewan di
      dalam negeri belum mencukupi kebutuhan
      konsumsi masyarakat.

(5)   Pemerintah berkewajiban untuk menciptakan iklim
      usaha yang sehat bagi hewan atau ternak dan
      produk hewan.


              Pasal 37

(1)   Pemerintah     membina  dan    memfasilitasi
      berkembangnya industri pengolahan produk
      hewan dengan mengutamakan penggunaan bahan
      baku dari dalam negeri.

(2)   Pemerintah membina terselenggaranya kemitraan
      yang sehat     antara industri pengolahan dan
      peternak dan/atau koperasi yang menghasilkan
      produk hewan yang digunakan sebagai bahan
      baku industri.

(3)   Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan
      perundang-undangan di bidang industri, kecuali
      untuk hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang
      ini.


              Pasal 38

Ketentuan lebih lanjut mengenai panen, pascapanen,
pemasaran, dan industri pengolahan hasil peternakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 sampai dengan
Pasal 37, kecuali yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang industri,
diatur dengan Peraturan Menteri.




                                         BAB V . . .
                       - 25 -

                   BAB V
              KESEHATAN HEWAN

                 Bagian Kesatu
Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan

                     Pasal 39

      (1)   Pengendalian dan penanggulangan penyakit
            hewan merupakan penyelenggaraan kesehatan
            hewan dan kesehatan lingkungan dalam bentuk
            pengamatan dan pengidentifikasian, pencegahan,
            pengamanan,     pemberantasan,        dan/atau
            pengobatan.
      (2)   Urusan kesehatan hewan dilakukan dengan
            pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan
            (promotif),  pencegahan      penyakit   (preventif),
            penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan
            kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara
            menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.
      (3)   Dalam rangka mengefektifkan pengendalian dan
            penanggulangan penyakit hewan sebagaimana
            dimaksud pada ayat (1), melalui berbagai
            pendekatan dalam urusan kesehatan hewan
            sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah
            mengembangkan kebijakan kesehatan hewan
            nasional untuk menjamin keterpaduan dan
            kesinambungan       penyelenggaraan   kesehatan
            hewan di berbagai lingkungan ekosistem.

                     Pasal 40

      (1)   Pengamatan dan pengidentifikasian penyakit
            hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39
            ayat (1) dilakukan melalui kegiatan surveilans dan
            pemetaan, penyidikan dan peringatan dini,
            pemeriksaan dan pengujian, serta pelaporan.
      (2)   Menteri menetapkan jenis penyakit hewan, peta
            dan status situasi penyakit hewan, serta penyakit
            eksotik yang mengancam kesehatan hewan,
            manusia, dan lingkungan berdasarkan hasil
            pengamatan dan pengidentifikasian sebagaimana
            dimaksud pada ayat (1).

                                            (3) Pengamatan . . .
                - 26 -

(3)   Pengamatan dan pengidentifikasian penyakit
      hewan dilakukan oleh laboratorium veteriner yang
      terakreditasi.

(4)   Dalam hal laboratorium sebagaimana dimaksud
      pada ayat (3) belum ada, Menteri menetapkan
      laboratorium untuk melakukan pengamatan dan
      pengidentifikasian penyakit hewan.

(5)   Menteri menetapkan pedoman pengamatan dan
      pengidentifikasian penyakit hewan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1).

              Pasal 41

Pencegahan penyakit hewan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 39 dilakukan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang karantina
hewan.

              Pasal 42

(1)   Pengamanan         terhadap     penyakit    hewan
      sebagaimana       dimaksud     dalam    Pasal  39
      dilaksanakan melalui:
      a. penetapan penyakit hewan menular strategis;
      b. penetapan kawasan pengamanan penyakit
           hewan;
      c. penerapan prosedur biosafety dan biosecurity;
      d. pengebalan hewan;
      e. pengawasan lalu lintas hewan, produk hewan,
           dan media pembawa penyakit hewan lainnya
           di luar wilayah kerja karantina;
      f.   pelaksanaan kesiagaan darurat veteriner;
           dan/atau
      g. penerapan kewaspadaan dini.

(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan
      terhadap penyakit hewan sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

(3)   Dalam rangka pengamanan terhadap penyakit
      hewan pada sentra-sentra hewan produktif
      dan/atau satwa liar, Menteri menetapkan kawasan
      pengamanan bebas penyakit hewan.


                                    (4) Pemerintah . . .
                - 27 -

(4)   Pemerintah membangun dan mengelola sistem
      informasi veteriner dalam rangka terselenggaranya
      pengawasan dan tersedianya data dan informasi
      penyakit hewan.
(5)   Setiap orang yang melakukan pemasukan
      dan/atau pengeluaran hewan, produk hewan,
      dan/atau  media    pembawa     penyakit   wajib
      memenuhi persyaratan teknis kesehatan hewan.
(6)   Menteri   menetapkan     manajemen     kesiagaan
      darurat veteriner untuk mengantisipasi terjadinya
      penyakit hewan menular terutama penyakit
      eksotik.


              Pasal 43

(1)   Menteri menetapkan jenis penyakit hewan
      menular strategis dalam rangka pengamanan
      terhadap penyakit hewan sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 42 ayat (1) huruf a.
(2)   Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan
      kewenangannya melakukan pengamanan terhadap
      penyakit hewan menular strategis sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1).
(3)   Pengamanan terhadap jenis penyakit hewan selain
      penyakit hewan menular strategis sebagaimana
      dimaksud    pada  ayat   (2)  dilakukan    oleh
      masyarakat.
(4)   Setiap    orang   yang   memelihara   dan/atau
      mengusahakan       hewan    wajib    melakukan
      pengamanan terhadap penyakit hewan menular
      strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

              Pasal 44

(1)   Pemberantasan penyakit hewan sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 39 meliputi penutupan
      daerah, pembatasan lalu lintas hewan, pengebalan
      hewan, pengisolasian hewan sakit atau terduga
      sakit, penanganan hewan sakit, pemusnahan
      bangkai, pengeradikasian penyakit hewan, dan
      pendepopulasian hewan.


                               (2) Pendepopulasian . . .
                - 28 -

(2)   Pendepopulasian hewan sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) dilakukan dengan memerhatikan
      status konservasi hewan dan/atau status mutu
      genetik hewan.

(3)   Pemerintah tidak memberikan kompensasi kepada
      setiap orang atas tindakan depopulasi terhadap
      hewannya yang positif terjangkit penyakit hewan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4)   Pemerintah memberikan kompensasi bagi hewan
      sehat yang berdasarkan pedoman pemberantasan
      wabah penyakit hewan harus didepopulasi.

(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberantasan
      penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) sampai dengan ayat (4) diatur dengan
      Peraturan Menteri.

              Pasal 45

(1)   Setiap orang, termasuk peternak, pemilik hewan,
      dan perusahaan peternakan yang berusaha di
      bidang peternakan yang mengetahui terjadinya
      penyakit hewan menular wajib         melaporkan
      kejadian tersebut kepada Pemerintah, Pemerintah
      Daerah, dan/atau dokter hewan berwenang
      setempat.

(2)   Menteri menetapkan status daerah sebagai daerah
      tertular, daerah terduga, dan daerah bebas
      penyakit   hewan   menular,    serta  pedoman
      pemberantasannya.

(3)   Pemerintah daerah provinsi mengawasi penerapan
      pedoman    pemberantasan     penyakit   hewan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(4)   Pemerintah daerah kabupaten/kota melaksanakan
      pedoman     pemberantasan    penyakit   hewan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (3).




                                       Pasal 46 . . .
                 - 29 -

               Pasal 46

(1)   Menteri menyatakan dan mengumumkan kepada
      masyarakat luas kejadian wabah penyakit hewan
      menular di suatu wilayah berdasarkan laporan
      gubernur    dan/atau     bupati/walikota     setelah
      memperoleh      hasil   investigasi    laboratorium
      veteriner dari pejabat otoritas veteriner di wilayah
      setempat.

(2)   Dalam hal suatu wilayah dinyatakan sebagai
      daerah wabah, pemerintah daerah provinsi atau
      pemerintah daerah kabupaten atau kota wajib
      menutup daerah tertular, melakukan pengamanan,
      pemberantasan,   dan pengobatan hewan, serta
      pengalokasian dana yang memadai di samping
      dana Pemerintah.

(3)   Dalam hal wabah penyakit hewan menular
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
      penyakit hewan menular eksotik,       tindakan
      pemusnahan harus dilakukan terhadap seluruh
      hewan yang tertular dengan memerhatikan status
      konservasi hewan yang bersangkutan.

(4)   Tindakan pemusnahan hewan langka dan/atau
      yang dilindungi dilaksanakan sesuai dengan
      ketentuan peraturan perundang-undangan di
      bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
      ekosistemnya.

(5)   Setiap orang dilarang mengeluarkan         dan/atau
      memasukkan hewan, produk hewan,            dan/atau
      media yang dimungkinkan membawa             penyakit
      hewan lainnya dari daerah tertular         dan/atau
      terduga ke daerah bebas.

(6)   Ketentuan pemberantasan sebagaimana dimaksud
      pada ayat (2) dan pemusnaan hewan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (3) dikecualikan bagi bibit
      ternak   yang     diproduksi   oleh perusahaan
      peternakan di bidang pembibitan yang dinyatakan
      bebas oleh otoritas veteriner.



                                   (7) Pernyataan . . .
                - 30 -

(7)   Pernyataan     bebas   penyakit   menular    pada
      perusahaan peternakan di bidang pembibitan oleh
      otoritas veteriner sebagaimana dimaksud pada
      ayat (6) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

               Pasal 47

(1)   Pengobatan hewan menjadi tanggung jawab
      pemilik hewan, peternak, atau perusahaan
      peternakan, baik sendiri maupun dengan bantuan
      tenaga kesehatan hewan.

(2)   Pengobatan hewan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) yang menggunakan obat keras dan/atau
      obat yang diberikan secara parenteral harus
      dilakukan di bawah pengawasan dokter hewan.

(3)   Hewan atau kelompok hewan yang menderita
      penyakit    yang   tidak    dapat   disembuhkan
      berdasarkan    visum     dokter   hewan   harus
      dieutanasia dan/atau dimusnahkan oleh tenaga
      kesehatan hewan dengan memerhatikan ketentuan
      kesejahteraan hewan.

(4)   Hewan atau kelompok hewan yang menderita
      penyakit menular dan tidak dapat disembuhkan
      berdasarkan visum dokter hewan berwenang serta
      membahayakan       kesehatan    manusia     dan
      lingkungan harus dimusnahkan atas permintaan
      pemilik hewan, peternak, perusahaan peternakan,
      Pemerintah, dan/atau Pemerintah Daerah.

(5)   Pemerintah tidak memberikan kompensasi bagi
      hewan yang berdasarkan pedoman pemberantasan
      wabah penyakit hewan harus dimusnahkan.

(6)   Pengeutanasiaan atau pemusnahan hewan atau
      kelompok hewan sebagaimana dimaksud pada ayat
      (3) dan ayat (4) dilakukan oleh dokter hewan
      dan/atau tenaga kesehatan hewan di bawah
      pengawasan dokter hewan dengan memerhatikan
      ketentuan kesejahteraan hewan.



                                         Pasal 48 . . .
               - 31 -

             Pasal 48

Ketentuan    lebih   lanjut mengenai    pengamatan,
pengamanan,      pemberantasan    penyakit   hewan,
pengobatan, maupun persyaratan teknis kesehatan
hewan, termasuk pemberian kompensasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 47
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

           Bagian Kedua
            Obat Hewan

             Pasal 49

(1) Berdasarkan sediaannya, obat hewan dapat
    digolongkan    ke   dalam     sediaan    biologik,
    farmakoseutika, premiks, dan obat alami.
(2) Berdasarkan tingkat bahaya dalam pemakaian dan
    akibatnya, obat hewan sebagaimana dimaksud pada
    ayat (1) diklasifikasikan menjadi obat keras, obat
    bebas terbatas, dan obat bebas.
(3) Untuk menjamin ketersediaan dan keberlanjutan
    sediaan biologik, biang isolat lokal disimpan di
    laboratorium dan/atau    lembaga penelitian dan
    pengembangan veteriner.
(4) Untuk menjamin ketersediaan dan keberlanjutan
    sediaan premiks dalam pengembangan peternakan
    skala kecil dan menengah, Pemerintah memfasilitasi
    distribusi sediaan premiks dalam negeri.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai distribusi sediaan
    premiks sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
    diatur dengan Peraturan Menteri.

             Pasal 50

(1) Obat hewan yang dibuat dan disediakan dengan
    maksud untuk diedarkan harus memiliki nomor
    pendaftaran.

(2) Untuk memperoleh nomor pendaftaran, setiap obat
    hewan harus didaftarkan, dinilai, diuji, dan
    diberikan sertifikat mutu setelah lulus penilaian
    dan pengujian.


                                   (3) Pembuatan, . . .
               - 32 -

(3) Pembuatan, penyediaan, peredaran, dan pengujian
    obat hewan harus dilakukan di bawah pengawasan
    otoritas veteriner.

(4) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
    kewenangannya melakukan pengawasan atas
    pembuatan, penyediaan, dan peredaran obat hewan.

             Pasal 51

(1) Obat keras yang digunakan untuk pengamanan
    penyakit hewan dan/atau pengobatan hewan sakit
    hanya dapat diperoleh dengan resep dokter hewan.

(2) Pemakaian obat keras harus dilakukan oleh dokter
    hewan atau tenaga kesehatan hewan di bawah
    pengawasan dokter hewan.

(3) Setiap orang dilarang menggunakan obat hewan
    tertentu pada ternak yang produknya untuk
    konsumsi manusia.

(4) Ketentuan  lebih  lanjut   mengenai   larangan
    menggunakan obat hewan tertentu sebagaimana
    dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan
    Menteri.

             Pasal 52

(1) Setiap orang yang berusaha di bidang pembuatan,
    penyediaan, dan/atau peredaran obat hewan wajib
    memiliki izin usaha sesuai dengan ketentuan
    peraturan perundang-undangan.

(2) Setiap orang dilarang membuat, menyediakan,
    dan/atau mengedarkan obat hewan yang:
    a. berupa sediaan biologik yang penyakitnya tidak
        ada di Indonesia;
    b. tidak memiliki nomor pendaftaran;
    c. tidak diberi label dan tanda; dan
    d. tidak memenuhi standar mutu.




                                        Pasal 53 . . .
               - 33 -

             Pasal 53

(1) Pembuatan sediaan biologik yang penyakitnya tidak
    ada di Indonesia yang bertujuan untuk melindungi
    kepentingan nasional dan membantu pengendalian
    dan penanggulangan penyakit hewan di negara lain
    wajib memenuhi persyaratan keamanan hayati
    yang tinggi.

(2) Pembuatan sediaan biologik yang biang isolatnya
    tidak ada di Indonesia yang bertujuan untuk
    melindungi kepentingan nasional dan membantu
    pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan
    di negara lain wajib memenuhi persyaratan
    keamanan hayati yang tinggi.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembuatan
    sediaan biologik yang penyakit dan/atau biang
    isolatnya tidak ada di Indonesia     sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
    Peraturan Menteri.

             Pasal 54

(1) Penyediaan obat   hewan    dilakukan       dengan
    mengutamakan produksi dalam negeri.

(2) Dalam hal obat hewan sebagaimana dimaksud
    pada ayat (1) belum dapat diproduksi atau belum
    mencukupi       kebutuhan      dalam      negeri,
    penyediaannya dapat dipenuhi melalui produk luar
    negeri.

(3) Pemasukan obat hewan untuk diedarkan ke dalam
    wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus
    memenuhi persyaratan peredaran obat hewan
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dan
    peraturan    perundang-undangan     di    bidang
    karantina.

(4) Pengeluaran obat hewan produksi dalam negeri ke
    luar negeri harus   mengutamakan kepentingan
    nasional.



                                   (5) Ketentuan . . .
                   - 34 -

   (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan dan
       pengeluaran dari dan ke luar negeri sebagaimana
       dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur
       dengan Peraturan Menteri.

             Bagian Ketiga
    Alat dan Mesin Kesehatan Hewan

                 Pasal 55
   (1) Pemerintah menetapkan jenis dan standar mutu
       alat dan mesin kesehatan hewan yang pengadaan
       dan peredarannya perlu dilakukan pengawasan.
   (2) Alat dan mesin kesehatan hewan yang dibuat atau
       dimasukkan untuk diedarkan di wilayah Negara
       Kesatuan Republik Indonesia wajib memenuhi
       standar mutu sesuai dengan ketentuan peraturan
       perundang-undangan.
   (3) Setiap orang yang membuat, memasukkan, dan
       mengedarkan alat dan mesin kesehatan hewan ke
       wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
       sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
       melakukan pelayanan purnajual dan alih teknologi.
   (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai alat dan mesin
       kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat
       (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Peraturan
       Pemerintah.

              BAB VI
KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN
       KESEJAHTERAAN HEWAN

             Bagian kesatu
     Kesehatan Masyarakat Veteriner

                 Pasal 56

   Kesehatan     masyarakat     veteriner   merupakan
   penyelenggaraan kesehatan hewan dalam bentuk:
   a. pengendalian dan penanggulangan zoonosis;
   b. penjaminan keamanan, kesehatan, keutuhan, dan
      kehalalan produk hewan;
   c. penjaminan higiene dan sanitasi;
   d. pengembangan kedokteran perbandingan; dan
   e. penanganan bencana.


                                             Pasal 57 . . .
                 - 35 -

               Pasal 57

(1) Menteri bersama menteri yang menyelenggarakan
    urusan kesehatan menetapkan jenis zoonosis yang
    memerlukan      prioritas pengendalian      dan
    penanggulangan.

(2) Pengendalian    dan    penanggulangan     zoonosis
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
    secara mutatis mutandis mengikuti ketentuan dalam
    Pasal 40 sampai dengan Pasal 47.

(3) Di samping ketentuan sebagaimana dimaksud pada
    ayat (2), pengendalian dan penanggulangan zoonosis
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
    dilakukan secara terkoordinasi     dengan menteri
    terkait.

               Pasal 58

(1) Dalam rangka menjamin produk hewan yang aman,
    sehat, utuh, dan halal, Pemerintah dan Pemerintah
    Daerah      sesuai    kewenangannya     melaksanakan
    pengawasan, pemeriksaan, pengujian, standardisasi,
    sertifikasi, dan registrasi produk hewan.

(2) Pengawasan      dan pemeriksaan produk hewan
    berturut-turut dilakukan di tempat produksi, pada
    waktu pemotongan, penampungan, dan pengumpulan,
    pada waktu dalam         keadaan segar, sebelum
    pengawetan, dan pada waktu      peredaran setelah
    pengawetan.

(3) Standardisasi, sertifikasi, dan registrasi produk
    hewan dilakukan terhadap produk hewan yang
    diproduksi di dan/atau dimasukkan ke dalam
    wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk
    diedarkan dan/atau dikeluarkan dari wilayah Negara
    Kesatuan Republik Indonesia.

(4) Produk hewan yang diproduksi di dan/atau
    dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik
    Indonesia untuk diedarkan wajib disertai sertifikat
    veteriner dan sertifikat halal.


                                     (5) Produk . . .
                  - 36 -

(5) Produk hewan yang dikeluarkan dari wilayah Negara
    Kesatuan Republik Indonesia wajib disertai sertifikat
    veteriner dan sertifikat halal jika dipersyaratkan oleh
    negara pengimpor.

(6) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada
    ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan
    Peraturan Menteri.

(7) Untuk pangan olahan asal hewan, selain wajib
    memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
    ayat (5) wajib memenuhi ketentuan peraturan
    perundang-undangan di bidang pangan.

                Pasal 59

(1)   Setiap orang yang akan memasukkan produk hewan
      ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
      Indonesia wajib memperoleh izin pemasukan dari
      menteri yang terkait di bidang perdagangan setelah
      memperoleh rekomendasi:
      a. untuk produk hewan segar dari Menteri; atau
      b. untuk produk hewan olahan dari pimpinan
          instansi yang bertanggung jawab di bidang
          pengawasan obat dan      makanan     dan/atau
          Menteri.

(2) Produk hewan segar yang dimasukkan ke dalam
    wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus
    berasal dari unit usaha produk hewan pada suatu
    negara atau zona dalam suatu negara yang telah
    memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan
    produk hewan.

(3) Produk hewan olahan yang akan dimasukkan ke
    dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yang
    masih mempunyai risiko penyebaran zoonosis yang
    dapat mengancam kesehatan manusia, hewan, dan
    lingkungan   budi   daya,   harus    mendapatkan
    rekomendasi dari Menteri sebelum dikeluarkannya
    rekomendasi    dari   pimpinan    instansi  yang
    bertanggung jawab di bidang pengawasan obat dan
    makanan.


                                       (4) Persyaratan . . .
               - 37 -

(4) Persyaratan    dan tata cara pemasukan produk
    hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara
    Kesatuan      Republik  Indonesia     sebagaimana
    dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) mengacu pada
    ketentuan atau kaidah internasional yang berbasis
    analisis risiko di bidang kesehatan hewan dan
    kesehatan       masyarakat     veteriner     serta
    mengutamakan kepentingan nasional.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan
    tata cara pemasukan produk hewan kedalam
    wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
    dengan ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.

              Pasal 60

(1) Setiap orang yang mempunyai unit usaha produk
    hewan wajib mengajukan permohonan untuk
    memperoleh nomor kontrol veteriner       kepada
    pemerintah daerah provinsi berdasarkan pedoman
    yang ditetapkan oleh Menteri.

(2) Pemerintah daerah kabupaten/kota melakukan
    pembinaan     unit  usaha  yang   memproduksi
    dan/atau mengedarkan produk hewan yang
    dihasilkan oleh unit usaha skala rumah tangga
    yang belum memenuhi persyaratan nomor kontrol
    veteriner.

              Pasal 61

(1)   Pemotongan hewan yang dagingnya diedarkan
      harus:
      a. dilakukan di rumah potong; dan
      b. mengikuti cara penyembelihan yang memenuhi
         kaidah kesehatan masyarakat veteriner dan
         kesejahteraan hewan.

(2)   Dalam rangka menjamin ketenteraman batin
      masyarakat, pemotongan hewan sebagaimana
      dimaksud pada        ayat (1) huruf b harus
      memerhatikan    kaidah   agama      dan unsur
      kepercayaan yang dianut masyarakat.



                                     (3) Menteri . . .
                 - 38 -

(3)   Menteri menetapkan persyaratan rumah potong
      dan tata cara pemotongan hewan yang baik.

(4)   Ketentuan mengenai pemotongan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) huruf a dikecualikan bagi
      pemotongan untuk kepentingan hari besar
      keagamaan, upacara adat, dan pemotongan
      darurat.

               Pasal 62

(1)   Pemerintah daerah kabupaten/kota wajib memiliki
      rumah potong hewan yang memenuhi persyaratan
      teknis.

(2)   Rumah potong hewan sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) dapat diusahakan oleh setiap orang
      setelah memiliki izin usaha dari bupati/walikota.

(3)   Usaha rumah potong hewan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan di bawah
      pengawasan dokter hewan berwenang di bidang
      pengawasan kesehatan masyarakat veteriner.

               Pasal 63

(1)   Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan
      kewenangannya       wajib        menyelenggarakan
      penjaminan higiene dan sanitasi.

(2)   Untuk    mewujudkan      higiene    dan  sanitasi
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan:
      a. pengawasan, inspeksi, dan audit terhadap
          tempat produksi, rumah pemotongan hewan,
          tempat pemerahan, tempat penyimpanan,
          tempat pengolahan,     dan tempat penjualan
          atau penjajaan serta alat dan mesin produk
          hewan;
      b. surveilans terhadap residu obat hewan,
          cemaran mikroba, dan/atau cemaran kimia;
          dan
      c. pembinaan terhadap orang yang terlibat secara
          langsung dengan aktivitas tersebut.




                                        (3) Kegiatan . . .
                - 39 -

(3)   Kegiatan higiene dan sanitasi sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh dokter
      hewan berwenang di bidang kesehatan masyarakat
      veteriner.

(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai higiene dan
      sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      diatur dengan Peraturan Menteri.

              Pasal 64

Pemerintah dan pemerintah daerah mengantisipasi
ancaman terhadap kesehatan masyarakat yang
ditimbulkan  oleh   hewan  dan/atau   perubahan
lingkungan sebagai dampak bencana alam yang
memerlukan    kesiagaan dan cara penanggulangan
terhadap zoonosis, masalah higiene, dan sanitasi
lingkungan.

              Pasal 65

Ketentuan    lebih  lanjut   mengenai   pengawasan,
pemeriksaan, pengujian, standardisasi, dan sertifikasi
produk hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58
ayat (1), tata cara pemasukan produk hewan olahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf b,
penetapan negara dan/atau zona, unit usaha produk
hewan, dan tata cara pemasukan produk hewan segar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2), serta
kesiagaan    dan   cara    penanggulangan    bencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

           Bagian Kedua
        Kesejahteraan Hewan

              Pasal 66

(1) Untuk     kepentingan    kesejahteraan  hewan
    dilakukan tindakan      yang berkaitan dengan
    penangkapan dan penanganan; penempatan dan
    pengandangan; pemeliharaan dan perawatan;
    pengangkutan;     pemotongan dan pembunuhan;
    serta perlakuan dan pengayoman yang wajar
    terhadap hewan.


                                     (2) Ketentuan . . .
               - 40 -

(2) Ketentuan     mengenai      kesejahteraan   hewan
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
    secara manusiawi yang meliputi:
    a. penangkapan dan penanganan satwa dari
        habitatnya harus sesuai dengan ketentuan
        peraturan perundangan-undangan di bidang
        konservasi;
    b. penempatan dan pengandangan dilakukan
        dengan          sebaik-baiknya        sehingga
        memungkinkan hewan dapat mengekspresikan
        perilaku alaminya;
    c. pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan
        pengayoman hewan dilakukan dengan sebaik-
        baiknya sehingga hewan bebas dari rasa lapar
        dan haus, rasa sakit, penganiayaan dan
        penyalahgunaan, serta rasa takut dan tertekan;
    d. pengangkutan        hewan dilakukan dengan
        sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari
        rasa takut dan tertekan serta bebas dari
        penganiayaan;
    e. penggunaan           dan pemanfaatan hewan
        dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga
        hewan     bebas    dari    penganiayaan    dan
        penyalahgunaan;
    f. pemotongan        dan    pembunuhan      hewan
        dilakukan dengan sebaik-baiknya       sehingga
        hewan bebas dari rasa sakit, rasa takut dan
        tertekan, penganiyaan, dan penyalahgunaan;
        dan
    g. perlakuan terhadap hewan harus dihindari
        dari      tindakan       penganiayaan      dan
        penyalahgunaan.

(3) Ketentuan yang berkaitan dengan penyelenggaraan
    kesejahteraan hewan diberlakukan bagi semua jenis
    hewan bertulang belakang dan sebagian dari hewan
    yang tidak bertulang belakang yang dapat merasa
    sakit.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kesejahteraan
    hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
    (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.




                                        Pasal 67 . . .
                - 41 -

              Pasal 67

Penyelenggaraan kesejahteraan hewan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah
bersama masyarakat.


             BAB VII
       OTORITAS VETERINER

              Pasal 68

(1)   Penyelenggaraan kesehatan hewan di seluruh
      wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
      memerlukan otoritas veteriner.

(2)   Dalam rangka pelaksanaan otoritas veteriner
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
      menetapkan Siskeswanas.

(3)   Dalam pelaksanaan Siskeswanas sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dan/atau
      Pemerintah    Daerah   sesuai   kewenangannya
      menetapkan      dokter    hewan     berwenang,
      meningkatkan peran dan fungsi kelembagaan
      penyelenggaraan    kesehatan    hewan,   serta
      melaksanakan koordinasi dengan memerhatikan
      ketentuan peraturan perundang-undangan di
      bidang pemerintahan daerah.

(4)   Dalam ikut berperan serta mewujudkan kesehatan
      hewan dunia melalui Siskeswanas sebagaimana
      dimaksud    pada   ayat    (2), Menteri  dapat
      melimpahkan kewenangannya kepada otoritas
      veteriner.

(5)   Otoritas veteriner bersama organisasi profesi
      kedokteran hewan melaksanakan Siskeswanas
      dengan memberdayakan potensi tenaga kesehatan
      hewan dan membina pelaksanaan praktik
      kedokteran hewan di seluruh wilayah Negara
      Kesatuan Republik Indonesia.



                                     (6) Di samping . . .
                 - 42 -

(6) Di samping melaksanakan pengendalian dan
    penanggulangan    penyakit    hewan,     kesehatan
    masyarakat veteriner, dan/atau kesejahteraan
    hewan,   otoritas   veteriner   juga    melakukan
    pelayanan kesehatan hewan, pengaturan tenaga
    kesehatan hewan, pelaksanaan medik reproduksi,
    medik   konservasi,    forensik   veteriner,   dan
    pengembangan kedokteran hewan perbandingan.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
    kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat
    (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Peraturan
    Pemerintah.

               Pasal 69

(1)   Pelayanan kesehatan hewan meliputi pelayanan
      jasa laboratorium veteriner,    pelayanan   jasa
      laboratorium pemeriksaan dan pengujian veteriner,
      pelayanan jasa medik veteriner,         dan/atau
      pelayanan jasa di pusat kesehatan hewan atau pos
      kesehatan hewan.

(2)   Setiap orang yang berusaha di bidang pelayanan
      kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) wajib memiliki izin usaha dari
      bupati/walikota.

               Pasal 70

(1)   Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan
      hewan, Pemerintah mengatur penyediaan dan
      penempatan tenaga kesehatan hewan di seluruh
      wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
      sesuai dengan kebutuhan.
(2)   Tenaga kesehatan hewan sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) terdiri atas tenaga medik veteriner,
      sarjana kedokteran hewan, dan tenaga paramedik
      veteriner.
(3)   Tenaga medik veteriner sebagaimana dimaksud
      pada ayat (2) terdiri atas dokter hewan dan dokter
      hewan spesialis.


                                       (4) Tenaga . . .
                 - 43 -

(4)   Tenaga    paramedik    veteriner sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) memiliki diploma
      kesehatan hewan dan/atau ijazah sekolah
      kejuruan kesehatan hewan.
(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria tenaga
      kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

               Pasal 71

(1)   Tenaga medik veteriner melaksanakan segala
      urusan kesehatan hewan berdasarkan kompetensi
      medik    veteriner  yang  diperolehnya dalam
      pendidikan kedokteran hewan.
(2)   Tenaga    paramedik    veteriner   dan    sarjana
      kedokteran      hewan    melaksanakan     urusan
      kesehatan hewan     yang menjadi kompetensinya
      dan dilakukan di bawah penyeliaan dokter hewan.
(3)   Dokter     hewan spesialis dan/atau dokter hewan
      yang memperoleh sertifikat kompetensi dari
      organisasi profesi kedokteran hewan dan/atau
      sertifikat yang diakui oleh Pemerintah      dapat
      melaksanakan urusan kesehatan hewan.
(4)   Dalam    menjalankan   urusan      sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tenaga
      kesehatan hewan wajib mematuhi kode etik dan
      memegang teguh sumpah atau janji profesinya.

               Pasal 72

(1)   Tenaga kesehatan hewan yang melakukan
      pelayanan kesehatan hewan wajib memiliki surat
      izin praktik kesehatan hewan yang dikeluarkan
      oleh bupati/walikota.

(2)   Untuk mendapatkan surat izin praktik kesehatan
      hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
      tenaga kesehatan hewan yang bersangkutan
      mengajukan surat permohonan untuk memperoleh
      surat izin praktik kepada bupati/walikota disertai
      dengan sertifikat kompetensi dari organisasi profesi
      kedokteran hewan.


                                            (3) Tenaga . . .
                 - 44 -

(3)   Tenaga asing kesehatan hewan dapat melakukan
      praktik pelayanan kesehatan hewan di wilayah
      Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
      perjanjian bilateral atau multilateral antara pihak
      Indonesia dan negara atau lembaga asing sesuai
      dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

               Pasal 73

(1)   Pemerintah wajib membina dan memfasilitasi
      terselenggaranya    medik      reproduksi, medik
      konservasi, dan forensik veteriner.

(2)   Medik reproduksi, medik konservasi, dan forensik
      veteriner sepanjang berkaitan dengan satwa liar
      dan/atau hewan yang hidup di air diselenggarakan
      secara terkoordinasi sesuai dengan ketentuan
      peraturan perundang-undangan.

              Pasal 74

(1)   Dalam rangka meningkatkan pemanfaatan hewan
      sebagai hewan laboratorium dan hewan model
      penelitian dan/atau pemanfaatan organ hewan
      untuk kesejahteraan manusia diterapkan ilmu
      kedokteran perbandingan.

(2)   Penerapan     ilmu   kedokteran   perbandingan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
      dilakukan:
      a. di bawah penyeliaan dokter hewan yang
          kompeten;
      b. berdasarkan etika hewan dan etika kedokteran
          hewan; dan
      c. dengan     mempertimbangkan    kesejahteraan
          hewan.

                Pasal 75

Ketentuan lebih lanjut mengenai tenaga kesehatan
hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 sampai
dengan Pasal 74 diatur dengan Peraturan Pemerintah.




                                           BAB VIII . . .
                     - 45 -

                   BAB VIII

     PEMBERDAYAAN PETERNAK DAN USAHA
DI BIDANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

                    Pasal 76

     (1)   Pemberdayaan     peternak,  usaha   di bidang
           peternakan, dan usaha di bidang kesehatan
           hewan      dilakukan     dengan    memberikan
           kemudahan bagi kemajuan usaha di bidang
           peternakan     dan   kesehatan   hewan   serta
           peningkatan daya saing.

     (2)   Kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
           meliputi:
           a. pengaksesan sumber pembiayaan, permodalan,
              ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
              informasi;
           b. pelayanan peternakan, pelayanan kesehatan
              hewan, dan bantuan teknik;
           c. penghindaran       pengenaan     biaya    yang
              menimbulkan ekonomi biaya tinggi;
           d. pembinaan     kemitraan dalam meningkatkan
              sinergi antarpelaku usaha;
           e. penciptaan    iklim    usaha   yang    kondusif
              dan/atau meningkatan kewirausahaan;
           f. pengutamaan pemanfaatan sumber daya
              peternakan dan kesehatan hewan dalam negeri;
           g. pemfasilitasan       terbentuknya      kawasan
              pengembangan usaha peternakan;
           h. pemfasilitasan pelaksanaan promosi dan
              pemasaran; dan/atau
           i. perlindungan harga dan produk hewan dari
              luar negeri.

     (3)   Pemerintah dan pemerintah daerah      bersama
           pemangku kepentingan di bidang peternakan dan
           kesehatan hewan melakukan pemberdayaan
           peternak guna meningkatkan kesejahteraan
           peternak.

     (4)   Pemerintah dan pemerintah daerah mendorong
           dan memfasilitasi pengembangan produk hewan
           yang ditetapkan sebagai bahan pangan pokok
           strategis dalam mewujudkan ketahanan pangan.


                                             (5) Ketentuan . . .
                  - 46 -

  (5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan
        sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
        diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
        Pemerintah.

                Pasal 77

  (1)   Pemerintah dan pemerintah daerah melindungi
        peternak dari perbuatan yang mengandung unsur
        pemerasan oleh pihak lain untuk memperoleh
        pendapatan yang layak.

  (2)   Pemerintah dan pemerintah daerah mencegah
        penyalahgunaan kebijakan di bidang permodalan
        dan/atau    fiskal  yang    ditujukan   untuk
        pemberdayaan peternak, perusahaan peternakan,
        dan usaha kesehatan hewan.

  (3)   Pemerintah dan pemerintah daerah mencegah
        penyelenggaraan kemitraan usaha di bidang
        peternakan    dan    kesehatan   hewan   yang
        menyebabkan     terjadinya   eksploitasi yang
        merugikan peternak dan masyarakat.

                BAB IX

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

                Pasal 78

  (1)   Sumber daya manusia di bidang peternakan dan
        kesehatan hewan meliputi aparat Pemerintah,
        Pemerintah Daerah, pelaku usaha, dan semua
        pihak yang terkait dengan bidang peternakan dan
        kesehatan hewan.

  (2)   Sumber daya manusia di bidang peternakan dan
        kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada
        ayat (1) perlu ditingkatkan dan dikembangkan
        kualitasnya    untuk      lebih  meningkatkan
        keterampilan,   keprofesionalan,  kemandirian,
        dedikasi, dan akhlak mulia.



                                  (3) Pengembangan . . .
                - 47 -

(3)   Pengembangan kualitas sumber daya manusia di
      bidang    peternakan    dan   kesehatan   hewan
      dilaksanakan dengan cara:
      a. pendidikan dan pelatihan;
      b. penyuluhan; dan/atau
      c. pengembangan lainnya dengan memerhatikan
          kebutuhan     kompetensi     kerja,  budaya
          masyarakat,      serta     sesuai    dengan
          perkembangan      ilmu   pengetahuan    dan
          teknologi.

(4)   Pemerintah dan pemerintah daerah melalui
      institusi   pendidikan  dan    dunia   usaha
      memfasilitasi dan mengembangkan pendidikan
      dan pelatihan serta penyuluhan yang berkaitan
      dengan penyediaan sumber daya manusia yang
      kompeten di bidang peternakan dan kesehatan
      hewan.

(5)   Pemerintah      dan     pemerintah      daerah
      menyelenggarakan penyuluhan peternakan dan
      kesehatan hewan serta mendorong dan membina
      peran serta masyarakat untuk melaksanakan
      peternakan dan kesehatan hewan yang baik.

(6)   Pemerintah       dan      pemerintah     daerah
      menyelenggarakan penyuluhan dan pendidikan
      publik di bidang peternakan dan kesehatan hewan
      melalui upaya peningkatan kesadaran gizi
      masyarakat dalam mengonsumsi produk hewan
      yang aman, sehat, utuh, dan halal.

(7)   Pemerintah mengembangkan dan memfasilitasi
      berbagai cara   pengembangan sumber daya
      manusia di bidang peternakan dan kesehatan
      hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(8)   Ketentuan     lebih   lanjut   mengenai cara
      pengembangan kualitas sumber daya manusia
      sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c
      diatur dengan Peraturan Menteri.




                                         BAB X . . .
                - 48 -

               BAB X

 PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

              Pasal 79

(1)   Pemerintah   dan   pemerintah   daerah  wajib
      menyelenggarakan penelitian dan pengembangan
      peternakan dan kesehatan hewan.

(2)   Penelitian   dan     pengembangan    di  bidang
      peternakan dan kesehatan hewan dapat dilakukan
      oleh Pemerintah, pemerintah daerah, institusi
      pendidikan,     perorangan,  lembaga    swadaya
      masyarakat, atau dunia usaha, baik secara
      sendiri-sendiri maupun bekerja sama.

(3)   Pemerintah dan pemerintah daerah membina dan
      mengembangkan adanya kerja sama yang baik
      antarpenyelenggara penelitian dan pengembangan
      di bidang peternakan dan kesehatan hewan, baik
      di tingkat nasional maupun internasional.

                Pasal 80

(1)   Perorangan warga negara asing dan/atau badan
      hukum asing yang melakukan penelitian dan
      pengembangan     di   bidang   peternakan  dan
      kesehatan hewan wajib mendapatkan izin terlebih
      dahulu dari instansi pemerintah yang berwenang
      di bidang penelitian, pengembangan,        dan
      penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(2)   Perorangan warga negara asing dan/atau badan
      hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      dalam melakukan penelitian harus bekerja sama
      dengan peneliti atau lembaga penelitian dalam
      negeri.

              Pasal 81

Negara memberikan perlindungan terhadap hak
kekayaan intelektual hasil aplikasi ilmu pengetahuan
dan invensi teknologi di bidang peternakan dan
kesehatan hewan.

                                        Pasal 82 . . .
                 - 49 -

               Pasal 82

Penelitian dan pengembangan yang berkaitan dengan
rekayasa genetik di bidang peternakan dan kesehatan
hewan dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan
dengan kaidah agama; kesehatan manusia, hewan,
tumbuhan, dan lingkungan; kesejahteraan hewan; serta
tidak merugikan keanekaragaman hayati.

               Pasal 83

Ketentuan mengenai pelaksanaan penelitian dan
pengembangan serta penerapan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang peternakan dan kesehatan hewan
mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan.


               BAB XI

             PENYIDIKAN

               Pasal 84

(1)   Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik
      Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
      yang lingkup tugas dan dari tanggung jawabnya
      meliputi peternakan dan kesehatan hewan diberi
      wewenang khusus sebagai penyidik sesuai dengan
      ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)   Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk:
      a. melakukan    pemeriksaan atas   kebenaran
         laporan atau keterangan berkenaan dengan
         tindak pidana di bidang peternakan dan
         kesehatan hewan;
      b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang
         yang diduga melakukan tindak pidana di
         bidang peternakan dan kesehatan hewan;
      c. meminta    keterangan dan bahan bukti dari
         setiap orang sehubungan dengan peristiwa
         tindak pidana di bidang peternakan dan
         kesehatan hewan;


                                      d. melakukan . . .
                 - 50 -

      d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan,
         pencatatan, dan dokumen lain berkenaan
         dengan tindak pidana di bidang peternakan dan
         kesehatan hewan;

      e. melakukan    pemeriksaan di tempat tertentu
         yang diduga terdapat bahan bukti pembukuan,
         pencatatan dan dokumen lain serta melakukan
         penyitaan terhadap hasil pelanggaran yang
         dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak
         pidana di bidang peternakan dan kesehatan
         hewan; dan/atau
      f. meminta     bantuan   ahli   dalam     rangka
         pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
         bidang peternakan dan kesehatan hewan.
(3)   Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
      dimaksud     pada    ayat  (1)   memberitahukan
      dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil
      penyidikannya kepada penuntut umum sesuai
      Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.


               BAB XII

       SANKSI ADMINISTRATIF

               Pasal 85

(1) Setiap     orang    yang     melanggar      ketentuan
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1),
    Pasal 11 ayat (1), Pasal 13 ayat (4), Pasal 15 ayat (3),
    Pasal 18 ayat (2), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22 ayat (1)
    atau ayat (2), Pasal 23, Pasal 24 ayat (2), Pasal 25
    ayat (1), Pasal 29 ayat (3), Pasal 42 ayat (5), Pasal
    45 ayat (1), Pasal 47 ayat (2) atau ayat (3), Pasal 50
    ayat (3), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (1), Pasal
    54 ayat (3), Pasal 58 ayat (5), Pasal 59 ayat (2),
    Pasal 61 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 62 ayat (2)
    atau ayat (3), Pasal 69 ayat (2), dan Pasal 72 ayat
    (1) dikenai sanksi administratif.




                                         (2) Sanksi . . .
                 - 51 -

(2) Sanksi admistratif sebagaimana dimaksud pada
    ayat (1) dapat berupa :
    a. peringatan secara tertulis;
    b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi,
       dan/atau peredaran;
    c. pencabutan nomor pendaftaran dan penarikan
       obat hewan, pakan, alat dan mesin, atau produk
       hewan dari peredaran;
    d. pencabutan izin; atau
    e. pengenaan denda.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
    pengenaan sanksi administratif sebagaimana
    dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan
    huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Besarnya denda sebagaimana dimaksud pada
    huruf e dikenakan kepada setiap orang yang:
      a. menyembelih ternak ruminansia kecil betina
         produktif paling sedikit sebesar Rp1.000.000,00
         (satu juta rupiah) dan paling banyak sebesar
         Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah);
      b. menyembelih ternak ruminansia besar betina
         produktif paling sedikit Rp5.000.000,00 (lima
         juta rupiah) dan paling banyak sebesar
         Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah);
         dan
      c. melanggar selain sebagaimana dimaksud pada
         huruf    a  dan    huruf   b   paling  sedikit
         Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling
         banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
         rupiah).
(5)   Besarnya denda sebagaimana dimaksud pada ayat
      (4) ditambah 1/3 (sepertiga) dari denda tersebut
      jika pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) dilakukan oleh pejabat yang berwenang atau
      korporasi.




                                           BAB XIII . . .
               - 52 -

             BAB XIII

        KETENTUAN PIDANA
              Pasal 86

Setiap orang yang menyembelih:
a. ternak    ruminansia      kecil  betina   produktif
   sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2)
   dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1
   (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan
   dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu
   juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000,00 (lima
   juta rupiah); dan
b. ternak    ruminansia     besar  betina   produktif
   sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2)
   dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 3
   (tiga) bulan dan paling lama 9 (sembilan) bulan
   dan/atau denda paling sedikit Rp5.000.000,00 (lima
   juta rupiah) dan paling banyak Rp25.000.000,00
   (dua puluh lima juta rupiah).

              Pasal 87

Setiap orang yang melakukan pelanggaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) dipidana dengan
pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan dan
paling lama 9 (sembilan) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah)
dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima
puluh juta rupiah).

              Pasal 88

Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengedarkan
alat dan mesin tanpa mengutamakan keselamatan dan
keamanan bagi pemakai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 ayat (2) dan/atau belum diuji berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat
(3) dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 3
(tiga) bulan dan paling lama 11 (sebelas) bulan dan
denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).

                                       Pasal 89 . . .
                 - 53 -

                Pasal 89

(1)   Setiap orang yang melakukan pelanggaran atas
      tindakan mengeluarkan dan/atau memasukkan
      hewan, produk hewan, atau media pembawa
      penyakit hewan lainnya dari dan ke wilayah Negara
      Kesatuan      Republik    Indonesia  sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 42 ayat (5), Pasal 58 ayat (5),
      dan Pasal 59 ayat (1) dipidana dengan pidana
      penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
      lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit
      Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)
      dan paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu
      miliar lima ratus juta rupiah).
(2)   Setiap orang yang mengeluarkan dan/atau
      memasukkan hewan, produk hewan, atau media
      pembawa penyakit hewan lainnya ke dalam
      wilayah bebas dari wilayah tertular atau terduga
      tertular sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
      ayat (5), Pasal 59 ayat (3), dan Pasal 60 ayat (1)
      dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
      (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
      dan/atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00
      (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
      Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang,
      pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
      singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan)
      tahun     dan/atau      denda      paling   sedikit
      Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling
      banyak Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar
      rupiah).

                Pasal 90

Setiap orang yang menggunakan obat hewan tertentu
pada ternak yang produknya untuk konsumsi manusia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3)
dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga)
bulan dan paling lama 9 (sembilan) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).

                                          Pasal 91 . . .
                - 54 -

               Pasal 91

Setiap orang yang membuat, menyediakan, dan/atau
mengedarkan obat hewan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 ayat (2) dipidana dengan pidana
kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama
9 (sembilan) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus
juta rupiah).


               Pasal 92

(1)   Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi
      atau pejabat yang berwenang, pidana yang
      dijatuhkan   adalah   pidana    denda    dengan
      pemberatan ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana
      denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86
      sampai dengan Pasal 91.

(2)   Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1), korporasi atau pejabat yang berwenang
      dapat     dikenai   pidana   tambahan     berupa
      pencabutan izin usaha, status badan hukum, atau
      status kepegawaian dari pejabat yang berwenang.


               Pasal 93

(1)   Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 90, dan Pasal
      91 merupakan pelanggaran.

(2)   Tindak pidana sebagaimana dimaksud         dalam
      Pasal 89 merupakan kejahatan.




                                        BAB XIV . . .
                - 55 -

              BAB XIV

      KETENTUAN PERALIHAN


              Pasal 94
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a.   nomor pendaftaran obat hewan, pakan, alat dan
     mesin peternakan dan kesehatan hewan, pangan
     asal hewan, dan usaha pemotongan dinyatakan
     tetap berlaku sampai habis masa berlakunya untuk
     selanjutnya di sesuaikan dengan ketentuan dalam
     Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya;
b.   permohonan untuk memperoleh nomor pendaftaran
     sebagaimana dimaksud pada huruf a yang diajukan
     dan sedang dalam proses diselesaikan berdasarkan
     ketentuan peraturan pelaksanaan di bidang
     peternakan dan kesehatan hewan;
c.   izin usaha peternakan, izin usaha obat hewan, izin
     usaha    pemotongan     hewan,    izin  pelayanan
     kesehatan hewan, dan izin praktik dokter hewan
     dinyatakan    tetap  berlaku    sepanjang    tidak
     bertentangan dan belum dicabut dengan Undang-
     Undang ini; dan/atau
d.   permohonan untuk memperoleh izin sebagaimana
     dimaksud pada huruf c yang diajukan dan sedang
     dalam proses diselesaikan berdasarkan ketentuan
     Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang
     Ketentuan-Ketentuan    Pokok   Peternakan   dan
     Kesehatan Hewan dan peraturan pelaksanaannya.

               BAB XV

       KETENTUAN PENUTUP

               Pasal 95
Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-
undangan di bidang peternakan dan kesehatan hewan yang
telah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-
Undang ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya
peraturan pelaksanaan yang baru yang ditetapkan
berdasarkan Undang-Undang ini.

                                         Pasal 96 . . .
                 - 56 -

               Pasal 96

Ketentuan praktik kedokteran hewan dan ketentuan
veteriner yang belum cukup diatur dalam Undang-
Undang ini akan diatur tersendiri dengan undang-
undang.

               Pasal 97

Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini:
a. Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden harus
    telah ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun sejak
    Undang-Undang ini diundangkan;
b. Peraturan atau Keputusan Menteri harus telah
    ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak
    Undang-Undang ini diundangkan; dan
c. Peraturan     Pemerintah   Daerah   harus    telah
    ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak
    peraturan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan
    huruf b ditetapkan.

                 Pasal 98

Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini:
1.   Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang
     Ketentuan-Ketentuan  Pokok    Peternakan  dan
     Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik
     Indonesia Tahun 1967 Nomor 7, Tambahan
     Lembaran Negara Republik Indonesia 2824);
2.   Ketentuan yang         mengatur     kehewanan       yang
     tercantum dalam:
     a.   peninjauan     kembali  ketentuan    mengenai
          pengawasan praktik dokter hewan dan
          kebijakan kehewanan (Herziening van de
          bepalingen    omtrent  het   Veeartsnijkundige
          staatstoezicht en de Veeartsnijkundige politie,
          Staatsblad Tahun 1912 Nomor 432);




                                       b. desentralisasi . . .
             - 57 -

b.   desentralisasi   dari wewenang pusat sesuai
     dengan ketentuan dalam Staatsblad Tahun
     1914 Nomor 486, membuka kemungkinan
     pelimpahan pelaksanaan kepada tiap-tiap
     kepala daerah untuk penanggulangan penyakit
     hewan menular pada hewan ternak dan gedung
     yang menjadi sarang tikus (Decenstralisatie
     gemeenteraden.        Besmettelijke      ziekten.
     Pestgevaarlijke gebouwen. Openstejling van de
     mogelijkheid om aan de gemednteraden over te
     dragen de uitvoering van de bij de ordonnantie in
     Staatsblad Tahun 1914 nomor 486 vastgestelde
     regelen, Staatsblad Tahun 1916 Nomor 656);
c.   perubahan dan tambahan atas tambahan pada
     Staatsblad Tahun 1912 nomor 432 yang
     mengatur     tentang    polisi  khusus   dinas
     kedokteran hewan (Nadere wijziging en
     aanvulling van het reglementen op het
     veeartsnijkundige    staatstoezicht   en    de
     veeartsnijkundige politie in Nederlandsch-Indie
     (staatsblad Tahun 1912 Nomor 432), Staatsblad
     Tahun 1925 Nomor 163);
d.   ketentuan baru mengenai pengenalan dan
     pemberantasan mewabahnya rabies (Nieuwe
     bepalingen tervoorkeming en bestrijding van
     hondolsheids (rabies) in Nederlandsch Indie
     (Hondolsheids Ordonnantie 1926), Staatsblad
     Tahun 1926 Nomor 451);
e.   pelimpahan     sebagian kegiatan pemerintah
     pusat    kepada    provinsi   mengenai    dinas
     kehewanan sipil dan polisi khusus kehewanan
     (Overdracht      van      een      deel     der
     overheidsbemoeienis     met    den    burgelijke
     veeartsnijkundige dienst provincien, Staatsblad
     Tahun 1926 Nomor 569);
f.   tambahan atas Lembaran Negara Republik
     Indonesia Tahun 1926 Nomor 452 mengenai
     pemberantasan atau pembasmian penyakit
     anjing gila (rabies) (Veeartsnijkundige. Dienst.
     Politie. Reglementen, Staatsblad Tahun 1928
     Nomor 52);


                                       g. untuk . . .
               - 58 -

   g.   untuk polisi khusus kehewanan, petunjuk
        mengenai pemotongan hewan, pemotongan
        hewan besar betina bertanduk yang tercantum
        dalam peraturan pemerintah tahun 1936
        mengenai hewan besar betina bertanduk
        (Wijziging van de bepalingen inzake het slachten
        op doen slachten van vrouwelijk groothoornvee
        ("Slacht Ordonantie Vrouwelijke Groothoornvee
        1936"), Staatsblad Tahun 1936 Nomor 614);

   h.   perubahan terhadap peraturan mengenai
        campur tangan pemerintah dalam dinas
        kehewanan, polisi kehewanan, dan ordonansi
        tentang penyakit anjing gila (rabies) (Wijziging
        van het reglement op de veeartsnijkundige
        overheidsbemoeienis en de veeartsnijkundige
        politie en van de hondolsheid ordonnantie,
        Staatsblad Tahun 1936 Nomor 715);

   i.   desentralisasi untuk dinas          kehewanan di
        daerah         seberang             (Decentralisatie.
        Veeartsnijkundige    dientst.      Buitengewesten,
        Staatsblad Tahun 1937 Nomor        512); dan

   j.   perubahan terhadap peraturan mengenai
        campur tangan pemerintah pada dinas
        kehewanan dan polisi kehewanan, (Wijziging
        van het reglement op de veeartsnijkundige
        overheidsbemoienis en de veeartsnijkundige
        politie, Staatsblad Tahun 1937 Nomor 513);
        dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


              Pasal 99


Undang-Undang     ini    mulai   berlaku     pada     tanggal
diundangkan.




                                                    Agar . . .
                                - 59 -

                 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
                 pengundangan     Undang-Undang   ini    dengan
                 penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
                 Indonesia.


                               Disahkan di Jakarta
                               pada tanggal 4 Juni 2009

                               PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


                                             ttd..


                               DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 Juni 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
       REPUBLIK INDONESIA,


                  ttd.


          ANDI MATTALATTA


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 84

        Salinan sesuai dengan aslinya
         SEKRETARIAT NEGARA RI
 Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
  Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,




              Wisnu Setiawan
                                 PENJELASAN
                                     ATAS
                   UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                           NOMOR 18 TAHUN 2009
                                   TENTANG
                    PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN



I.   UMUM

     Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan
     keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa
     sumber daya hewan dan tumbuhan, sebagai anugerah sekaligus amanah
     Tuhan Yang Maha Esa. Kekayaan tersebut perlu dimanfaatkan dan
     dilestarikan dalam mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia,
     sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
     Republik Indonesia Tahun 1945.

     Dalam rangka memanfaatkan dan melestarikan keanekaragaman hayati
     tersebut diselenggarakan peternakan dan kesehatan hewan secara sendiri
     maupun terintegrasi dengan budi daya tanaman pertanian, perkebunan,
     perikanan, dan kehutanan; dengan pendekatan sistem agrobisnis
     peternakan dan sistem kesehatan hewan; serta penerapan asas
     kemanfaatan dan keberlanjutan, keamanan dan kesehatan, kerakyatan dan
     keadilan, keterbukaan dan keterpaduan, kemandirian, kemitraan, dan
     keprofesionalan.

     Kedua hal tersebut harus diselenggarakan secara sinergis untuk melindungi
     dan meningkatkan kualitas sumber daya hewan; menyediakan pangan yang
     aman, sehat, utuh, dan halal; meningkatkan derajat kesehatan masyarakat,
     hewan, dan lingkungan; menyediakan jasa dan bahan baku industri;
     mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi; meningkatkan
     pendapatan dan devisa negara; memperluas kesempatan berusaha dan
     kesempatan kerja; serta meningkatkan kesejahteraan rakyat.

     Untuk mencapai tujuan penyelenggaraan peternakan perlu dikembangkan
     wawasan dan paradigma baru di bidang peternakan agar investasi, inovasi,
     dan pemberdayaan di bidang peternakan terus berlanjut dan meningkat
     sehingga meningkatkan daya saing bangsa dan kesetaraan dengan bangsa
     lain yang lebih maju.

                                                                    Untuk . . .
                                 -2-

Untuk mencapai tujuan penyelenggaraan kesehatan hewan dikembangkan
wawasan dan paradigma baru di bidang kesehatan hewan dengan maksud
untuk mempertahankan status kesehatan hewan nasional; melindungi
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari ancaman penyakit
dan/atau gangguan kesehatan manusia, hewan, tumbuhan, dan
ekosistemnya; serta memberikan jaminan pangan asal hewan yang aman,
sehat, utuh, dan halal.

Pengaturan penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan dalam satu
undang-undang disebabkan adanya interelasi dan interdependensi antara
kedua bidang tersebut. Di samping itu, pengaturan dengan satu undang-
undang membentuk satu kesatuan sistem legislasi nasional yang
memudahkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta semua pemangku
kepentingan yang bergerak di bidang peternakan dan kesehatan hewan
dalam memahami dan melaksanakan berbagai ketentuan dalam Undang-
Undang ini.

Selain itu telah terjadi pula perubahan penyelenggaraan pemerintahan
berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang mengharuskan
penataan kembali urusan dalam penyelenggaraan peternakan dan
kesehatan hewan.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, kebijakan penyelenggaraan peternakan
dititikberatkan pada aspek sosial ekonomi, sedangkan penyelenggaraan
kesehatan hewan mengutamakan aspek keamanan terhadap ancaman
penyakit serta upaya menghindari risiko yang dapat mengganggu kesehatan,
baik pada manusia, hewan, tumbuhan, maupun lingkungan. Dengan
kebijakan tersebut, penyelenggaraan peternakan dilakukan dengan
pendekatan sistem agrobisnis dan penyelenggaraan kesehatan hewan
dilakukan dengan sistem kesehatan hewan nasional.

Ruang lingkup pengaturan penyelenggaraan peternakan meliputi tanah atau
lahan, air, sumber daya genetik, benih, bibit, bakalan, pakan, alat dan
mesin peternakan, budi daya, panen dan pascapanen, pemasaran, dan
pengolahan hasil peternakan. Adapun ruang lingkup pengaturan
penyelenggaraan kesehatan hewan meliputi penyakit hewan, obat hewan,
alat dan mesin, kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan, dan
otoritas veteriner. Dalam otoritas veteriner diatur hal mengenai penguatan
fungsi, pelayanan kesehatan hewan, tenaga kesehatan hewan, medik
reproduksi, medik konservasi, forensik veteriner, dan kedokteran
perbandingan.

                                                               Untuk . . .
                                -3-

Untuk menunjang keberhasilan penyelenggaraan peternakan dan kesehatan
hewan diatur juga mengenai pemberdayaan peternak, perusahaan
peternakan dan pelayanan kesehatan hewan, pengembangan sumber daya
manusia, penelitian dan pengembangan, serta sumber daya permodalan.

Disadari bahwa pengaturan dalam Undang-Undang ini belum sepenuhnya
mencakup aspek kehewanan dalam arti luas. Jangkauan pengaturan baru
pada hewan budi daya, yaitu ternak, hewan kesayangan, dan hewan
laboratorium. Untuk itulah diperlukan suatu undang-undang tersendiri
yang mengatur mengenai aspek kehewanan secara komprehensif termasuk
pengaturan praktik kedokteran hewan (veteriner).

Selain upaya tersebut, dalam menciptakan suasana yang kondusif    dalam
penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan, dikembangkan      sistem
jaminan penegakan hukum berupa pengenaan sanksi, baik             sanksi
administrasi maupun sanksi pidana, terhadap perbuatan yang         dapat
menimbulkan kerugian negara atau kepentingan orang banyak.

Pembentukan Undang-Undang ini juga mempertimbangkan komitmen
Indonesia untuk melakukan penyesuaian dan penyetaraan peraturan
perundang-undangan dengan ketentuan konvensi internasional. Misalnya,
General Agreement on Trade and Tariffs (GATT), khususnya tentang
Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS)
yang mengatur tentang impor dan ekspor produk hewan dan perlindungan
terhadap kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, tanaman, dan
lingkungan.

Di samping itu, dalam menyusun Undang-Undang ini dipertimbangkan pula
semua produk undang-undang yang telah diundangkan meliputi:
1.   Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya
     Alam Hayati dan Ekosistemnya;
2.   Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;
3.   Undang Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan,
     dan Tumbuhan;
4.   Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
5.   Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Covention
     on Biological Diversity (CBD);
6.   Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement
     Estabilishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan
     Organisasi Perdagangan Dunia);
7.   Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan;


                                                   8. Undang-Undang . . .
                                  -4-


   8.   Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
   9.   Undang-Undang Nomor      23   Tahun   1997   tentang   Pengelolaan
        Lingkungan Hidup;
   10. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
   11. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juncto
       Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004;
   12. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
   13. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol
       Kartagena;
   14. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air;
   15. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan;
   16. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
       Bencana;
   17. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan
       Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan; dan
   18. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

   Sejalan dengan hal tersebut di atas dan untuk melakukan unifikasi hukum
   khususnya yang terkait dengan peternakan dan kesehatan hewan serta
   untuk menjawab kebutuhan dan perkembangan zaman, Undang-Undang
   Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan
   Kesehatan Hewan dan berbagai Ordonnantie peninggalan Pemerintah Hindia
   Belanda perlu diganti dengan undang-undang yang baru di bidang
   peternakan dan kesehatan hewan yang dapat memberikan kepastian hukum,
   keadilan, dan ketenteraman batin masyarakat dalam penyelenggaraan
   semua kegiatan yang berkaitan dengan peternakan dan kesehatan hewan.


II. PASAL DEMI PASAL

  Pasal 1
      Cukup jelas.

  Pasal 2
      Ayat (1)
          Cukup jelas.

                                                               Ayat (2) . . .
        Ayat (2)
                              -5-

     Yang dimaksud dengan asas "kemanfaatan dan keberlanjutan"
     adalah penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan dapat
     meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan
     mengupayakan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan
     memerhatikan kondisi sosial budaya.

     Yang dimaksud dengan asas "keamanan dan kesehatan" adalah
     penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan harus menjamin
     produknya aman, layak untuk dikonsumsi, dan menjamin
     ketenteraman batin masyarakat.

     Yang dimaksud dengan asas "kerakyatan dan keadilan" adalah
     penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan memberikan
     peluang dan kesempatan yang sama secara proporsional kepada
     semua warga negara sesuai dengan kemampuannya sehingga dapat
     meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat. Oleh karena itu, dalam
     memberikan izin harus dicegah terjadinya praktik monopoli,
     monopsoni, oligopoli, dan oligopsoni.

     Yang dimaksud dengan asas "keterbukaan dan keterpaduan"
     adalah penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan
     dilakukan dengan memerhatikan aspirasi masyarakat dan
     didukung dengan ketersediaan informasi yang dapat diakses oleh
     masyarakat serta dilaksanakan secara terpadu dari hulu sampai
     hilir dalam upaya meningkatkan efisiensi dan produktivitasnya .

     Yang dimaksud dengan asas "kemandirian" adalah penyelenggaraan
     peternakan    dan    kesehatan   hewan    dilakukan     dengan
     mengutamakan penggunaan bahan, sarana produksi, dan sarana
     pendukung lainnya dari dalam negeri untuk mencapai penyediaan
     ternak dan produk hewan bagi masyarakat.

     Yang dimaksud dengan asas "kemitraan" adalah penyelenggaraan
     peternakan dan kesehatan hewan dilakukan dengan pendekatan
     kekuatan jejaring pelaku usaha dan sumber daya yang
     mempertimbangkan aspek kesetaraan dalam berusaha secara
     proporsional.

      Yang    dimaksud    dengan    asas   "keprofesionalan"   adalah
      penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan dilakukan
      melalui pendekatan kompetensi dan berorientasi pada kaidah ilmu
      pengetahuan dan teknologi.
Pasal 3
                                                           Pasal 3 . . .
                               -6-

      Huruf a
          Cukup jelas.

      Huruf b
           Yang dimaksud dengan "pangan" adalah produk hewan yang
           dapat dikonsumsi, diantaranya, telur, daging, susu, madu
           beserta turunannya.
           Yang dimaksud dengan "barang" adalah produk hewan yang
           digunakan untuk bahan baku industri, di antaranya, kulit,
           tanduk, tulang, kuku, bulu, darah, serta kotoran ternak atau
           feses beserta turunannya.

            Yang dimaksud dengan "jasa" adalah penggunaan tenaga
            ternak untuk kepentingan sosial, ekonomi, dan budaya, di
            antaranya, kegiatan usaha tani, pariwisata, olahraga, hobi.

            Yang dimaksud dengan "menuju pencapaian ketahanan
            pangan nasional" adalah peningkatan komitmen pelaku di
            bidang peternakan dan kesehatan hewan yang ditujukan
            untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional.

      Huruf c
           Yang dimaksud dengan "ancaman" antara lain yaitu penyakit
           hewan, cemaran biologik, kimiawi, fisik, maupun salah kelola
           (missmanagement) dan salah urus (missconduct) dalam
           penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan.

      Huruf d
           Cukup jelas.

      Huruf e
           Cukup jelas.

Pasal 4
      Yang dimaksud dengan "lahan yang memenuhi persyaratan teknis"
      adalah hamparan tanah yang sesuai dengan keperluan budi daya
      ternak, antara lain, tersedianya sumber air, topografi, agroklimat,
      dan bebas dari bakteri patogen yang membahayakan ternak.

Pasal 5
       Ayat (1)
              Cukup jelas.
                                                             Ayat (2) . . .
                               -7-

     Ayat (2)
           Cukup jelas.

     Ayat (3)
           Yang dimaksud dengan "kegiatan pendidikan dan/atau
           penelitian dan pengembangan" adalah kegiatan yang terkait
           dengan peningkatan pengembangan sumber daya manusia,
           ilmu pengetahuan dan teknologi, serta inovasi di bidang
           peternakan dan kesehatan hewan.

Pasal 6
      Ayat (1)
            Yang dimaksud dengan "mempertahankan keberadaan dan
            kemanfataannya secara keberlanjutan" adalah upaya yang
            perlu dilakukan oleh kabupaten/kota untuk memasukkan
            kawasan penggembalaan dalam program pembangunan
            daerah.

     Ayat (2)
           Huruf a
            Cukup jelas.

           Huruf b
                Yang dimaksud dengan "kastrasi" adalah tindakan
                mencegah    berfungsinya  testis   dengan   jalan
                menghilangkannya atau menghambat fungsinya.

                Yang dimaksud dengan "Inseminasi buatan" adalah
                teknik memasukkan mani atau semen ke dalam alat
                reproduksi ternak betina sehat untuk dapat membuahi
                sel telur dengan menggunakan alat inseminasi dengan
                tujuan agar ternak bunting.

           Huruf c
                Cukup jelas.

           Huruf d
                Cukup jelas.


                                                         Ayat (3) . . .

     Ayat (3)
                             -8-

           Yang dimaksud dengan "penetapan lahan sebagai kawasan
           penggembalaan umum" yaitu upaya yang harus dilakukan
           oleh pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menyediakan
           lahan penggembalaan umum, antara lain, misalnya tanah
           pangonan, tanah titisara atau tanah kas desa.

     Ayat (4)
            Cukup jelas.

     Ayat (5)
           Cukup jelas.

Pasal 7
      Ayat (1)
            Ketentuan persyaratan baku mutu air dimaksudkan untuk
            menjamin mutu, keamanan pangan asal hewan dan
            kesehatan ternak yang dibudidayakan, serta menghindari
            cemaran mikroba dan bahan kimia pada produk hewan.

     Ayat (2)
           Cukup jelas.

Pasal 8
      Ayat (1)
            Yang dimaksud dengan "dikuasai oleh negara" adalah negara
            sebagai badan hukum publik mempunyai kewenangan untuk
            mengatur pemanfaatan dan pelestarian sumber daya genetik.

     Ayat (2)
           Cukup jelas.

     Ayat (3)
           Cukup jelas.

     Ayat (4)
           Cukup jelas.

     Ayat (5)
           Yang dimaksud dengan "konservasi dalam habitatnya" (in situ)
           adalah semua kegiatan untuk mempertahankan populasi
           hewan di dalam habitatnya.

                                                             Yang . . .
                              -9-

           Yang dimaksud dengan "konservasi diluar habitatnya" (ex situ)
           adalah semua kegiatan untuk mempertahankan populasi
           hewan di luar habitatnya dalam berbagai bentuk yaitu hewan
           hidup, gen, DNA, genom, mani, sel telur, embrio atau jaringan,
           yang dapat digunakan untuk membentuk genotipe baru.

           Yang dimaksud dengan "upaya lain dari pelestarian sumber
           daya genetik" adalah kegiatan pelestarian yang dilakukan,
           antara lain, melalui penyimpanan dingin (cryo conservation).

     Ayat (6)
           Cukup jelas.

Pasal 9
      Ayat (1)
            Yang dimaksud dengan "pemanfaatan sumber daya genetik"
            yaitu  penggunaan       material  genetik hewan,    seperti
            Deoxyrebose Nucleic Acid (DNA) dan molekul lainnya (bukan
            hewan itu sendiri) untuk menghasilkan produk yang bernilai
            ekonomis tinggi (bioprospecting).

     Ayat (2)
           Yang dimaksud dengan "penggunaan bagian keuntungan dari
           hasil pemanfaatan sumber daya genetik" adalah upaya dalam
           menunjang konservasi sumber daya genetik dan peningkatan
           kesejahteraan masyarakat yang membudidayakan sumber
           daya genetik.

     Ayat (3)
           Cukup jelas.

Pasal 10
      Ayat (1)
            Yang dimaksud dengan "masyarakat" yaitu peternak,
            kelompok peternak, atau gabungan kelompok peternak.

     Ayat (2)
           Yang dimaksud dengan "wajib melindungi" adalah menjamin
           keberlanjutan usaha, terutama usaha peternakan skala kecil
           dan menengah yang berbasis sumber daya lokal.


                                                             Ayat (3) . . .
     Ayat (3)
                              - 10 -

            Cukup jelas.

      Ayat (4)
            Cukup jelas.

Pasal 11
       Cukup jelas.

Pasal 12
       Cukup jelas.

Pasal 13
      Ayat (1)
            Yang dimaksud dengan "mengutamakan produksi dalam
            negeri" adalah upaya pemanfaatan sumber daya genetik asli
            Indonesia, misalnya ternak rumpun murni dan silangan, baik
            dalam bentuk ternak komposit maupun hibrida.

            Yang dimaksud dengan "mengutamakan kemampuan
            ekonomi kerakyatan" yaitu upaya pembibitan, pembenihan,
            produksi bakalan yang dilakukan secara langsung dan/atau
            tidak langsung oleh rakyat, misalnya, pusat pembibitan
            perdesaan.

      Ayat (2)
            Yang dimaksud dengan "melibatkan peran serta masyarakat"
            adalah upaya untuk memberikan peluang berusaha dalam
            penyediaan benih, bibit, dan/atau bakalan yang bersertifikat.

      Ayat (3)
            Yang dimaksud dengan "unit pembenihan atau pembibitan"
            antara lain, Balai Pembibitan Ternak Unggul, Balai
            Inseminasi Buatan, dan Balai Embrio Ternak.

      Ayat (4)
            Yang dimaksud dengan "ciri-ciri keunggulan tertentu" adalah
            antara lain memiliki kemampuan produksi dan reproduksi
            yang tinggi dan tahan terhadap penyakit.

      Ayat (5)
             Cukup jelas.
Pasal 14
                                                            Pasal 14 . . .
      Ayat (1)
                              - 11 -

          Cukup jelas.

     Ayat (2)
           Yang dimaksud dengan "wilayah sumber bibit ternak" adalah
           wilayah kecamatan, kabupaten, provinsi atau pulau,
           tergantung pada rumpun, jumlah, dan sebaran bibit serta
           kondisi wilayah.

     Ayat (3)
           Cukup jelas.

     Ayat (4)
           Cukup jelas.

Pasal 15
      Ayat (1)
            Yang dimaksud dengan "dalam keadaan tertentu" adalah
            kondisi yang mendesak bagi negara untuk melakukan
            tindakan yang sifatnya prioritas dan terbatas.

          Huruf a
               Yang dimaksud dengan "mutu genetik" adalah ekspresi
               keunggulan sifat individu ternak.

                Yang dimaksud dengan "keragaman genetik" adalah
                ekspresi keunggulan variasi genetik antarindividu.

          Huruf b
               Cukup jelas.

          Huruf c
               Yang dimaksud dengan "kekurangan benih atau bibit"
               adalah suatu kondisi populasi ternak yang tidak aman,
               yaitu apabila dalam waktu beberapa tahun mendatang
               diprediksi populasi jumlah ternak dewasa menurun,
               penurunan tersebut mengganggu ketersediaan benih
               atau bibit di dalam negeri.

          Huruf d
               Cukup jelas.

     Ayat (2)
                                                         Ayat (2) . . .
           Cukup jelas.
                              - 12 -


     Ayat (3)
           Cukup jelas.

     Ayat (4)
           Cukup jelas.

Pasal 16
      Ayat (1)
            Pengeluaran benih dan/atau bibit dari wilayah Indonesia ke
            luar negeri dilakukan sepanjang tidak menganggu kelestarian
            ternak lokal yang dalam bahaya kepunahan dan yang
            dilindungi.

     Ayat (2)
           Cukup jelas.

Pasal 17
      Ayat (1)
            Yang dimaksud dengan "bioteknologi modern" adalah aplikasi
            dari teknik perekayasaan genetik yang, antara lain, meliputi
            teknik asam nukleat invitro dan fusi sel dari dua jenis atau
            lebih organisme di luar kekerabatan taksonomis.

     Ayat (2)
      Cukup jelas.

     Ayat (3)
           Cukup jelas.

Pasal 18
      Ayat (1)
            Yang dimaksud dengan "ternak ruminansia betina produktif"
            adalah   ruminansia besar, yaitu sapi dan kerbau yang
            melahirkan kurang dari 5 kali atau berumur di bawah 8
            tahun dan ruminansia kecil, yaitu kambing dan domba yang
            melahirkan kurang dari 5 kali atau berumur di bawah 4
            tahun 6 bulan.

           Penentuan ternak ruminansia betina          tidak      produktif
           ditentukan oleh tenaga kesehatan hewan.

     Ayat (2)
                                                               Ayat (2) . . .
                             - 13 -

           Kebijakan ini dimaksudkan untuk mempertahankan populasi
           ternak ruminansia betina produktif guna memenuhi
           kecukupan kebutuhan konsumsi protein hewani dalam negeri.

     Ayat (3)
      Cukup jelas.

     Ayat (4)
      Cukup jelas.

Pasal 19
      Ayat (1)
            Yang dimaksud dengan "pakan" meliputi bahan pakan, pakan
            konsentrat, tumbuhan pakan, imbuhan pakan, pelengkap
            pakan, pakan olahan, dan bahan lain yang dapat digunakan
            sebagai pakan ternak.

           Yang dimaksud dengan "pakan konsentrat" adalah pakan
           yang kaya sumber protein dan atau sumber energi serta
           dapat mengandung pelengkap pakan dan atau imbuhan
           pakan.

           Yang dimaksud dengan "tumbuhan pakan" adalah tumbuhan
           yang tidak dibudidayakan maupun yang dibudidayakan
           (tanaman pakan), baik yang diolah maupun tidak diolah yang
           dapat dijadikan pakan, seperti rumput dan legume.

           Yang dimaksud dengan "imbuhan pakan (feed additive)"
           adalah bahan baku pakan yang tidak mengandung zat gizi
           atau nutrisi (nutrien), yang tujuan pemakaiannya terutama
           untuk tujuan tertentu, seperti xantophyl (untuk manipulasi
           warna kuning telur).
           Yang dimaksud dengan "pelengkap pakan (feed supplement)"
           adalah zat yang secara alami sudah terkandung dalam pakan
           tetapi     jumlahnya       perlu    ditingkatkan   dengan
           menambahkannya dalam pakan, seperti asam amino, vitamin,
           dan lain sebagainya.

           Yang dimaksud dengan "pakan olahan" adalah pakan yang
           telah mengalami proses fisik, kimia atau biologi baik tunggal
           maupun campuran, seperti silase dan ransum jadi untuk
           unggas.

                                                               Yang . . .
                             - 14 -

           Yang dimaksud dengan "bahan lain" adalah bahan penolong
           untuk mengolah bahan baku menjadi pakan, seperti: bahan
           pengikat dalam pembuatan pelet.

           Yang dimaksud dengan "bahan pakan" adalah bahan hasil
           pertanian, perikanan, dan peternakan atau bahan lain yang
           layak digunakan sebagai pakan baik yang diolah maupun
           yang belum diolah, seperti: dedak, jagung, tepung ikan,
           tepung tulang non ruminansia, dan tepung darah.

     Ayat (2)
           Yang dimaksud dengan "pakan yang baik" adalah, antara lain,
           meliputi serat, karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan
           mineral baik yang berasal dari tumbuhan, hewan, jasad renik,
           dan bahan anorganik dalam bentuk premiks.

     Ayat (3)
           Premiks merupakan imbuhan pakan atau pelengkap pakan
           yang pemberiannya dicampurkan ke dalam pakan atau air
           minum.

Pasal 20
      Ayat (1)
            Ketentuan ini dimaksudkan agar kebijakan ketersediaan
            pakan menjadi tanggung jawab bersama antara instansi
            pertanian,  perindustrian, perdagangan,      bea     cukai,
            pengawasan obat dan makanan, dan instansi terkait lainnya.

           Penyediaan dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri dan
           pemasukan dari luar negeri.

     Ayat (2)
           Cukup jelas.

     Ayat (3)
           Cukup jelas.

     Ayat (4)
           Cukup jelas.

     Ayat (5)
           Cukup jelas.

                                                           Pasal 21 . . .
                            - 15 -

Pasal 21
      Cukup jelas.

Pasal 22
      Ayat (1)
            Cukup jelas.

     Ayat (2)
           Cara pembuatan pakan yang baik, misalnya dalam hal proses
           produksi, dan pembuatan pakan harus menjamin pakan
           mengandung cemaran biologi, fisik, kimia di atas ambang
           batas maksimal yang diperbolehkan, serta memperhatikan
           dampak sosial akibat buangan bahan baku dan bahan ikutan
           yang digunakan.

     Ayat (3)
           Cukup jelas.

     Ayat (4)
           Huruf a
                Yang dimaksud dengan pakan yang dilarang untuk
                diedarkan yaitu pakan yang:
                1. tidak berlabel;
                2. kedaluwarsa;
                3. kemasannya rusak, fisiknya rusak, berbau, berubah
                    warna; dan/atau
                4. palsu, yaitu tidak memiliki nomor pendaftaran, isi
                    tidak sesuai dengan label, menggunakan merek
                    orang lain.

           Huruf b
                Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya
                penyakit sapi gila (bovine spongiform encephalopathy)
                atau scrapie pada domba/kambing.

                 Yang dimaksud dengan ruminansia adalah hewan yang
                 memamah biak.

           Huruf c
                Yang dimaksud dengan "hormon tertentu" adalah
                hormon sintetik.

                 Yang dimaksud dengan "antibiotik",     antara     lain,
                 chloramphenicol dan tetracyclin.

                                                          Ayat (5) . . .
                                  - 16 -

           Ayat (5)
            Cukup jelas.

   Pasal 23
         Cukup jelas.

Pasal 24
           Ayat (1)
                 Ketentuan ini dimaksudkan agar alat dan mesin peternakan
                 memenuhi persyaratan teknis dari aspek produksi,
                 reproduksi, peningkatan mutu genetik, termasuk kesehatan
                 masyarakat veteriner, kehalalan, dan kesejahteraan hewan.

           Ayat (2)
                 Cukup jelas.

           Ayat (3)
                 Ketentuan pengujian alat dan mesin peternakan sebelum
                 diedarkan dimaksudkan untuk memastikan bahwa alat dan
                 mesin tersebut memenuhi spesifikasi teknis.

   Pasal 25
         Ayat (1)
               Ketentuan ini dimaksudkan agar pembeli alat dan mesin
               peternakan tidak menderita kerugian karena ketiadaan suku
               cadang.

           Ayat (2)
                 Cukup jelas.

           Ayat (3)
                 Cukup jelas.

           Ayat (4)
                 Yang dimaksud dengan "diutamakan mengandung suku
                 cadang lokal dan melibatkan masyarakat dalam alih
                 teknologi" adalah upaya untuk meningkatkan daya guna dan
                 produktifitas sumber daya lokal serta meningkatkan
                 kemampuan sumber daya manusia di Indonesia.

   Pasal 26
         Cukup jelas.

                                                              Pasal 27 . . .
                             - 17 -

Pasal 27
      Ayat (1)
            Yang dimaksud dengan "menghasilkan hewan peliharaan",
            antara lain, mendomestikasikan satwa liar menjadi ternak,
            hewan jasa, hewan laboratorium, dan hewan kesayangan.

           Yang dimaksud dengan "hewan jasa", antara lain, adalah
           hewan yang dipelihara untuk memberi jasa kepada manusia
           untuk menjaga rumah, melacak tindakan kriminal,
           membantu melacak korban kecelakaan, dan sebagai hewan
           tarik atau hewan beban.

           Yang dimaksud dengan "hewan laboratorium" adalah hewan
           yang dipelihara khusus sebagai hewan percobaan, penelitian,
           pengujian, pengajaran, dan penghasil bahan biomedik
           ataupun dikembangkan menjadi hewan model untuk penyakit
           manusia.

           Yang dimaksud dengan "hewan kesayangan" adalah hewan
           yang dipelihara khusus sebagai hewan olah raga, kesenangan,
           dan keindahan.

     Ayat (2)
           "Kawasan budidaya peternakan" adalah lokasi pengusahaan
           ternak dalam suatu wilayah kabupaten/kota yang ditetapkan
           berdasarkan kesesuaian agroklimat, ketersediaan sarana dan
           prasarana, potensi wilayah, dan potensi pasar.

     Ayat (3)
           Cukup jelas.

     Ayat (4)
           Cukup jelas.

Pasal 28
      Cukup jelas.

Pasal 29
      Ayat (1)
            Yang dimaksud dengan "pihak tertentu", antara lain, Tentara
            Nasional Indonesia, kepolisian, lembaga kepabeanan, lembaga
            penelitian, dan lembaga pendidikan.


                                                              Yang . . .
                             - 18 -

           Yang dimaksud dengan "kepentingan khusus", antara lain,
           kuda untuk kavaleri, anjing untuk hewan pelacak pelaku
           kriminal, kelinci untuk penelitian.

     Ayat (2)
           Cukup jelas.

     Ayat (3)
           Izin usaha peternakan untuk jenis dan jumlah ternak mulai
           skala tertentu dimaksudkan untuk pembinaan dan
           pengawasan usaha peternakan agar sesuai dengan
           persyaratan usaha peternakan yang baik dan kesehatan
           hewan serta kesehatan masyarakat veteriner.

     Ayat 4)
           Yang dimaksud dengan "tidak mengganggu ketertiban umum"
           adalah kegiatan budi daya ternak dilakukan dengan
           memerhatikan kaidah agama dan/atau kepercayaan serta
           sistem nilai yang dianut oleh masyarakat setempat, seperti
           harus memenuhi ketentuan Undang-Undang Gangguan
           (Hinder Ordonnantie).

     Ayat (5)
           Cukup jelas.

Pasal 30
      Cukup jelas.

Pasal 31
      Ayat (1)
            Kemitraan usaha tersebut meliputi, antara lain bagi hasil
            (gaduhan), sewa, kontrak farming, sumba kontrak, maro bati,
            inti plasma, atau bentuk lain sesuai dengan budaya lokal,
            dan kebiasaan masyarakat setempat.

     Ayat (2)
      Huruf a
        Cukup jelas.

       Huruf b
        Cukup jelas.

                                                            Huruf c . . .
                            - 19 -

       Huruf c
                 Yang dimaksud dengan "perusahaan di bidang lain"
                 adalah perusahaan yang bergerak di sektor hulu,
                 misalnya, usaha pembibitan; atau di sektor hilir,
                 misalnya, usaha pengolahan hasil ternak seperti
                 industri susu.

                 Yang dimaksud dengan "pihak terkait" adalah semua
                 pihak di luar bidang peternakan dan kesehatan hewan
                 misalnya perkebunan, perikanan, dan kehutanan.

Huruf d
 Cukup jelas.

     Ayat (3)
           Cukup jelas.

Pasal 32
      Cukup jelas.

Pasal 33
      Cukup jelas.

Pasal 34
      Ayat (1)
       Cukup jelas.

     Ayat (2)
           Ketentuan mengenai syarat keamanan hayati hanya berlaku
           untuk produk hasil rekayasa genetik.

           Yang dimaksud dengan "kaidah etika" dalam pelaksanaan
           panen hasil budi daya adalah kesadaran untuk menerapkan
           asas-asas moral, misalnya penyortiran anak ayam umur
           sehari yang tidak memenuhi kriteria tetap diperlakukan
           dengan memperhatikan kaidah kesejahteraan hewan.

           Yang dimaksud dengan "kaidah estetika" dalam pelaksanaan
           panen hasil budi daya adalah kesadaran untuk menerapkan
           asas-asas kesesuaian dan keharmonisan dalam melakukan
           pemanenan hasil budi daya, misalnya kesesuaian antara
           wadah susu dengan susu yang dipanen.


                                                         Pasal 35 . . .
                            - 20 -


Pasal 35
      Cukup jelas.

Pasal 36
      Ayat (1)
            Cukup jelas.

     Ayat (2)
           Yang dimaksud dengan "pangan bergizi seimbang" adalah
           kondisi pangan yang komposisi protein, lemak, karbohidrat,
           mineral, vitamin, dan serat kasar dalam satu-kesatuan
           asupan konsumsi sesuai dengan umur, jenis, dan kebutuhan
           untuk aktivitas tubuh.

     Ayat (3)
           Cukup jelas.

     Ayat (4)
           Cukup jelas.

     Ayat (5)
           Yang dimaksud dengan "menciptakan iklim usaha yang
           sehat", antara lain, memberikan informasi pasar, serta
           melakukan survei dan kajian terhadap monopoli usaha
           peternakan    secara  horizontal/vertikal yang   dapat
           membahayakan kepentingan nasional.

 Pasal 37
     Ayat (1)
           Yang dimaksud dengan "Industri pengolahan produk hewan"
           adalah kegiatan penanganan dan pemrosesan yang dilakukan
           terhadap hasil peternakan yang ditujukan untuk mencapai
           nilai tambah yang lebih tinggi, dengan memperhatikan aspek
           produk yang aman, sehat, utuh, dan halal (asuh).

           Yang dimaksud dengan "mengutamakan bahan baku dari
           dalam negeri", misalnya, dalam industri pengolahan susu
           sedapat mungkin menggunakan susu dari hasil pemerahan
           sapi perah dalam negeri.


                                                         Ayat (2) . . .
                             - 21 -

     Ayat (2)
           Nilai tambah dari kegiatan industri pengolahan hasil
           peternakan harus dapat dinikmati secara berkeadilan oleh
           semua pihak yang terlibat dalam usaha peternakan,
           termasuk peternak yang bergerak di bidang budi daya
           peternakan melalui berbagai pola kemitraan usaha industri
           pengolahan hasil peternakan, misalnya, kemitraan industri
           pengolahan susu dengan peternak sapi perah dalam bentuk
           koperasi dan inti plasma serta kemitraan dengan kalangan
           pendidikan untuk meningkatkan usaha dan gizi.

     Ayat (3)
           Termasuk ketentuan yang diatur adalah keberpihakan
           industri untuk menggunakan bahan baku lokal (dalam
           negeri).

Pasal 38
      Cukup jelas.

Pasal 39
      Ayat (1)
            Yang dimaksud dengan "pengamatan dan pengidentifikasian
            penyakit hewan" adalah tindakan untuk memantau ada
            tidaknya suatu penyakit hewan tertentu di suatu pulau atau
            kawasan pengamanan hayati hewan sebagai langkah awal
            dalam rangka kewaspadaan dini.

           Yang dimaksud dengan "pencegahan penyakit hewan" adalah
           tindakan karantina yang dilakukan dalam rangka mencegah
           masuknya penyakit hewan dari luar negeri ke dalam wilayah
           negara Republik Indonesia atau dari suatu area ke area lain
           di dalam negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah negara
           Republik Indonesia.

           Yang dimaksud dengan "pengamanan penyakit hewan" adalah
           tindakan yang dilakukan dalam upaya perlindungan hewan
           dan lingkungannya dari penyakit hewan.

           Yang dimaksud dengan "pemberantasan penyakit hewan"
           adalah tindakan untuk membebaskan suatu wilayah
           dan/atau kawasan pengamanan hayati dan/atau pulau dari
           penyakit hewan menular yang meliputi usaha penutupan
           daerah tertentu terhadap keluar-masuk dan lalu-lintas hewan

                                                              dan . . .
                            - 22 -

          dan produk hewan, penanganan hewan tertular dan bangkai,
          serta tindakan penanganan wabah yang meliputi eradikasi
          penyakit hewan dan depopulasi hewan.

          Yang dimaksud dengan "pengobatan penyakit hewan" adalah
          tindakan untuk menghilangkan rasa sakit, penyebab sakit,
          mengoptimalkan kebugaran dan ketahanan hewan melalui
          usaha perbaikan gizi, tindakan transaksi terapetik,
          penyediaan dan pemakaian obat hewan, penyediaan sarana
          dan prasarana, pengawasan dan pemeriksaan, serta
          pemantauan dan evaluasi pasca pengobatan.

     Ayat (2)
           Cukup jelas.

     Ayat (3)
           Yang dimaksud dengan "kebijakan kesehatan hewan
           nasional" adalah berbagai keputusan otoritas veteriner dan
           prinsip tindakan yang berbasis pada keragaman jenis hewan
           dan lingkungan ekosistem dalam rangka penyelenggaraan
           kesehatan hewan.

Pasal 40
      Ayat (1)
            Yang dimaksud dengan "kegiatan surveilans" adalah
            pengumpulan data penyakit berdasarkan pengambilan
            sampel atau spesimen di lapangan dalam rangka mengamati
            penyebaran atau perluasan dan keganasan penyakit. Untuk
            melaksanakan kegiatan surveilans dan penyidikan ini
            diperlukan pengidentifikasian hewan.
            Yang dimaksud dengan "penyidikan" adalah kegiatan untuk
            menelusuri asal, sumber, dan penyebab penyakit hewan
            dalam kaitannya dengan hubungan antara induk semang dan
            lingkungan.

     Ayat (2)
           Menteri dalam menetapkan jenis, peta, dan status situasi
           penyakit hewan didasarkan pada kajian epidemiologis dan
           analisis risiko yang dilakukan oleh otoritas veteriner.

          Yang dimaksud dengan "penyakit eksotik" adalah penyakit
          yang belum pernah ada di wilayah atau daerah tersebut.


                                                          Ayat (3) . . .
                                - 23 -

     Ayat (3)
           Cukup jelas.

     Ayat (4)
           Menteri dalam menetapkan laboratorium berdasarkan pada
           kriteria:
           a. keberadaan sumber daya manusia yang kompeten;
           b. sarana dan prasarana laboratorium yang memadai; dan
           c. metodologi yang sahih.

     Ayat (5)
           Cukup jelas.

Pasal 41
      Yang dimaksud dengan "karantina hewan" adalah tindakan sebagai
      upaya pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan penyakit
      hewan dari luar negeri dan dari suatu area ke area lain di dalam
      negeri atau keluarnya dari dalam wilayah negara Republik
      Indonesia.

Pasal 42
      Ayat (1)
            Huruf a
                 Cukup jelas.

           Huruf b
                Cukup jelas.

           Huruf c
                Yang dimaksud dengan "biosafety" adalah kondisi dan
                upaya untuk melindungi personel atau operator serta
                lingkungan laboratorium dan sekitarnya dari agen
                penyakit hewan dengan cara menyusun protokol
                khusus, menggunakan peralatan pendukung, dan
                menyusun desain fasilitas pendukung.

                 Yang dimaksud dengan "biosecurity" adalah kondisi dan
                 upaya untuk memutuskan rantai masuknya agen
                 penyakit ke induk semang dan/atau untuk menjaga
                 agen penyakit yang disimpan dan diisolasi dalam suatu
                 laboratorium tidak mengontaminasi atau tidak
                 disalahgunakan, misalnya, untuk tujuan bioterorisme.


                                                          Huruf d . . .
                       - 24 -

     Huruf d
          Yang dimaksud dengan "pengebalan hewan" adalah
          vaksinasi, imunisasi (pemberian antisera), peningkatan
          status gizi dan hal lain yang mampu meningkatkan
          kekebalan hewan.

     Huruf e
          Yang dimaksud dengan "di luar wilayah kerja
          karantina" adalah pelabuhan laut, sungai, dan
          perbatasan negara yang belum menjadi wilayah kerja
          karantina dan dapat berpotensi sebagai tempat
          pemasukan dan pengeluaran lalu lintas hewan dan
          produk hewan.

     Huruf f
          Yang dimaksud dengan "kesiagaan darurat veteriner"
          adalah tindakan antisipatif dalam menghadapi
          ancaman penyakit hewan menular eksotik.

     Huruf g
          Yang dimaksud dengan "kewaspadaan dini" adalah
          tindakan pengamatan penyakit secara cepat (early
          detection), pelaporan terjadinya tanda munculnya
          penyakit    secara   cepat  (early reporting), dan
          pengamanan secara awal (early response) termasuk
          membangun kesadaran masyarakat.

Ayat (2)
      Pedoman pengamanan penyakit hewan mencakup seluruh
      ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
      Menteri dalam mengatur pengamanan terhadap penyakit
      hewan memerhatikan ketentuan yang mengatur karantina
      hewan.

Ayat (3)
      Yang dimaksud dengan "kawasan pengamanan bebas
      penyakit hewan" adalah kawasan sentra produksi dan/atau
      konservasi yang telah dinyatakan bebas oleh Menteri dan
      perlu diamankan atau dipertahankan sebagai kawasan bebas
      penyakit hewan.

     Dalam menetapkan kawasan pengamanan hayati hewan juga
     dijelaskan bentuk atau pola manajemen kawasan yang akan
     dilaksanakan.

                                                     Ayat (4) . . .
                                 - 25 -

           Ayat (4)
                 Cukup jelas.

           Ayat (5)
                 Ketentuan persyaratan teknis kesehatan hewan dimaksudkan
                 untuk dapat menelusuri kegiatan pengamanan dalam rangka
                 pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan.

    Ayat (6)
                Cukup jelas.

  Pasal 43
   Ayat (1)
     Cukup jelas.

        Ayat (2)
      Cukup jelas.

           Ayat (3)
                 Ketentuan ini dimaksudkan agar peternak, pemilik hewan,
                 dan perusahaan peternakan menyadari bahwa pencegahan
                 penyakit hewan menular yang tidak strategis menjadi
                 tanggung jawab masyarakat.

                Pengamanan terhadap penyakit hewan selain penyakit hewan
                menular strategis yang dilakukan oleh masyarakat
                dimaksudkan untuk efisiensi dan efektivitas.

Ayat (4)
                Sudah sewajarnya peternak, pemilik hewan, atau perusahaan
                peternakan dibebani kewajiban untuk mencegah penyakit
                hewan karena kesehatan menjadi tangung jawabnya. Tugas
                pemerintah sifatnya membantu dan memfasilitasi.

  Pasal 44
   Ayat (1)
                Yang dimaksud dengan "penutupan daerah" adalah
                penetapan daerah wabah sebagai kawasan karantina.

                Yang dimaksud dengan "pengeradikasian penyakit hewan"
                adalah tindakan pembasmian penyakit hewan, seperti
                pembakaran, penyemprotan desinfektan, dan penggunaan
                bahan kimia lainnya untuk menghilangkan sumber penyakit.

                                                                Yang . . .
                       - 26 -

     Yang dimaksud dengan "pendepopulasian hewan" adalah
     tindakan mengurangi dan/atau meniadakan jumlah hewan
     dalam rangka mengendalikan dan penanggulangan penyakit
     hewan, menjaga keseimbangan rasio hewan jantan dan betina,
     dan menjaga daya dukung habitat. Depopulasi meliputi
     kegiatan (a) pemotongan terhadap hewan yang tidak lolos
     seleksi teknis kesehatan hewan, (b) pemotongan hewan
     bersyarat (test and slaughter), (c) pemusnahan populasi
     hewan di areal tertentu (stamping-out), (d) pengeliminasian
     hewan yang terjangkit dan/atau tersangka pembawa penyakit
     hewan, dan (e) pengeutanasian hewan yang tidak mungkin
     disembuhkan      dari    penyakit    untuk      mengurangi
     penderitaannya.

Ayat (2)
      Yang dimaksud dengan "status konservasi hewan" adalah
      kondisi populasi jenis hewan tertentu yang terancam punah
      sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-
      undangan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
      ekosistemnya serta Convention in Trade of Wild Fauna and
      Flora of Endangered Species (CITES).

     Tindakan pemusnahan hewan langka dan/atau yang
     dilindungi yang tertular oleh penyakit hewan menular eksotik
     dilakukan oleh otoritas veteriner melalui koordinasi dengan
     instansi yang berwenang di bidang konservasi sumber daya
     alam hayati dan ekosistemnya. Pengecualian dapat diberikan
     untuk menghindari kepunahan spesies hewan tersebut di
     satu pihak dan dilakukan dengan cara yang menjamin
     penyakit hewan menular eksotik tersebut tidak akan
     menyebar ke hewan lainnya di lain pihak.

Ayat (3)
      Yang dimaksud dengan "tidak memberikan kompensasi"
      ditujukan kepada hewan yang tertular penyakit hewan
      menular eksotik.

     Ketentuan ini dimaksudkan agar masyarakat mengetahui
     bahwa pendepopulasian hewan yang positif terinfeksi
     penyakit hewan menular strategis tidak mendapatkan
     kompensasi mengingat hewan tersebut dipastikan akan mati.


                                                     Ayat (4) . . .
                                   - 27 -

           Ayat (4)
                 Yang maksud dengan "pemerintah memberikan kompensasi
                 bagi hewan sehat" adalah jika penyakit tersebut bukan
                 penyakit hewan menular eksotik, contohnya dalam
                 pemberantasan brucellosis dan anthrax.

           Ayat (5)
                 Cukup jelas.

  Pasal 45
Ayat (1)
                Penyakit hewan menular yang wajib dilaporkan antara lain
                antraks, Septicemia Epizoties (SE), Brucelosis, Avian Influenza
                (AI), tetelo (New Castle Disease), Hog Cholera, Rabies.

Ayat (2)
                Dalam menyusun pedoman pemberantasan penyakit hewan
                menular, Menteri bersama otoritas veteriner memerhatikan: (a)
                ketentuan dari Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan
                (World Organization For Animal Health); (b) perkembangan
                penyakit hewan menular yang terjadi di luar wilayah Negara
                Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau dengan (c)
                perbandingan langkah-langkah dan harmonisasi penanganan
                penyakit hewan menular oleh negara lain.

           Ayat (3)
                 Cukup jelas.

           Ayat (4)
                 Cukup jelas.

  Pasal 46
Ayat (1)
                Ketentuan wilayah meliputi wilayah administrasi (desa,
                kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan
                negara), wilayah kepulauan, dan zonasi populasi hewan.

Ayat (2)
                Yang dimaksud dengan "ketentuan penutupan daerah" adalah
                penutupan dari lalu lintas hewan dan produk hewan yang
                menjadi media pembawa penyakit hewan dimaksud.


                                                                   Ayat (3) . . .
                                   - 28 -

Ayat (3)
      Cukup jelas.

Ayat (4)
      Cukup jelas.

Ayat (5)
      Cukup jelas.

Ayat (6)
                 Pelarangan pemasukan atau pengeluaran hewan, produk
                 hewan dan media pembawa penyakit hewan lainnya
                 didasarkan pada jenis penyakit dan jenis hewan yang tertular;
                 misalnya, pada daerah wabah antraks dapat dilakukan
                 pemasukan dan pengeluaran unggas, atau sebaliknya.

Ayat (7)
      Cukup jelas.

  Pasal 47
        Ayat (1)
              Pasal ini dimaksudkan agar pemilik hewan, peternak, atau
              perusahaan peternakan benar-benar bertanggung jawab atas
              hewan yang sakit; misalnya dalam pembiayaan pengobatan
              hewan sakit.

           Ayat (2)
                 Yang dimaksud dengan "menggunakan obat keras" contohnya
                 adalah obat yang termasuk dalam obat berbahaya daftar G
                 (Gevaarlijk) dan/atau obat keras diperingatkan daftar W
                 (Warschuwing).

                 Yang dimaksud dengan "pengobatan secara parenteral"
                 adalah pemberian obat menggunakan, antara lain, alat suntik,
                 infus, sonde (selang yang dimasukan melalui mulut atau
                 hidung) dan/atau trokar (alat pelubang perut)

           Ayat (3)
                 Yang dimaksud dengan "visum" adalah keterangan tertulis
                 yang menyatakan kondisi, diagnosis, dan prognosis penyakit
                 hewan.

                                                                  Ayat (4) . . .
           Ayat (4)
                               - 29 -

            Cukup jelas.

     Ayat (5)
           Cukup jelas.

     Ayat (6)
           Cukup jelas.

Pasal 48
      Cukup jelas.

Pasal 49
 Ayat (1)
            Yang dimaksud dengan "sediaan biologik" adalah obat hewan
            yang dihasilkan melalui proses biologik pada hewan atau
            jaringan     hewan     untuk     menimbulkan    kekebalan,
            mendiagnosis suatu penyakit atau menyembuhkan penyakit
            melalui proses imunologik, antara lain berupa vaksin, sera
            (antisera), hasil rekayasa genetika, dan bahan diagnostika
            biologik.

            Yang dimaksud dengan "sediaan farmakoseutika" adalah obat
            hewan yang dihasilkan melalui proses nonbiologik, antara
            lain, vitamin, hormon, enzim, antibiotik, dan kemoterapetik
            lainnya, antihistamin, antipiretik, dan anestetik yang dipakai
            berdasarkan daya kerja farmakologi.

            Yang dimaksud dengan "sediaan premiks" adalah obat hewan
            yang dijadikan imbuhan pakan atau pelengkap pakan hewan
            yang pemberiannya dicampurkan ke dalam pakan atau air
            minum hewan.

            Yang dimaksud dengan "sediaan obat alami" adalah bahan
            atau ramuan bahan alami yang berupa bahan tumbuhan,
            bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran
            dari bahan-bahan tersebut yang digunakan sebagai obat
            hewan. Golongan obat alami meliputi obat asli Indonesia
            maupun obat asli dari negara lain untuk hewan yang tidak
            mengandung zat kimia sintetis dan belum ada data klinis
            serta tidak termasuk narkotika atau obat keras dan khasiat
            serta kegunaannya diketahui secara empirik.

      Ayat (2)
                                                              Ayat (2) . . .
                                 - 30 -

              Yang dimaksud dengan "obat keras" adalah obat hewan yang
              bila pemakaiannya tidak sesuai dengan ketentuan dapat
              menimbulkan bahaya bagi hewan dan/atau manusia yang
              mengonsumsi produk hewan tersebut.

              Yang dimaksud dengan "obat bebas terbatas" adalah obat
              keras untuk hewan yang diberlakukan sebagai obat bebas
              untuk jenis hewan tertentu dengan ketentuan disediakan
              dalam jumlah, aturan dosis, bentuk sediaan dan cara
              pemakaian tertentu serta diberi tanda peringatan khusus.

              Yang dimaksud dengan "obat bebas" adalah obat hewan yang
              dapat dipakai pada hewan secara bebas tanpa resep dokter
              hewan.

        Ayat (3)
              Yang dimaksud dengan "biang isolat (master seed)" adalah
              mikroorganisme patogen yang disimpan dan digunakan
              sebagai bibit induk (biang) untuk pembuatan obat hewan
              sedian biologik.

Ayat (4)
  Cukup jelas.

Ayat (5)
  Cukup jelas.

  Pasal 50
        Cukup jelas.

  Pasal 51
        Ayat (1)
              Cukup jelas.

       Ayat (2)
     Cukup jelas.

   Ayat (3)
              Yang dimaksud dengan "obat hewan tertentu" adalah obat
              hewan yang mengakibatkan terjadinya residu pada produk
              hewan dan mengakibatkan gangguan kesehatan pada orang
              yang mengonsumsi         produk hewan tersebut, contohnya
              adalah Chlorampenicol, Dihydro-streptomycin (DHS), dan
              Dietilstilbestrol (DES).
        Ayat (4)
                                                              Ayat (4) . . .
                                     - 31 -

                Dalam menetapkan Peraturan Menteri mengenai jenis obat
                hewan tertentu, pembuatan, penyediaan, penggunaan,
                peredaran, dan pengawasan obat hewan terutama klasifikasi
                obat keras harus memperhatikan ketentuan dalam peraturan
                perundang-undangan di bidang obat keras.

  Pasal 52
        Ayat (1)
         Cukup jelas.

        Ayat (2)
      Huruf a
                      Cukup jelas.

                Huruf b
                     Cukup jelas.

                Huruf c
                     Cukup jelas.

                Huruf d
                     Yang dimaksud dengan "tidak memenuhi standar
                     mutu", yaitu, antara lain, kedaluwarsa dan/atau telah
                     rusak atau mengalami perubahan fisik, kimiawi, dan
                     biologik.

  Pasal 53
        Cukup jelas.

  Pasal 54
        Ayat (1)
              Cukup jelas.

           Ayat (2)
                 Cukup jelas.

           Ayat (3)
                 Cukup jelas.

           Ayat (4)
                 Yang dimaksud dengan "kepentingan nasional" yaitu
                 kecukupan kebutuhan dalam negeri dalam rangka
                 pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan serta
                 pelayanan kesehatan hewan.
Ayat (5)
                                                               Ayat (5) . . .
                               - 32 -

            Cukup jelas.

Pasal 55
 Ayat (1)
            Pengawasan alat dan mesin kesehatan hewan dimaksudkan
            untuk menjamin keamanan dan mutu pembuatan, produksi,
            penyediaan, peredaran, dan penggunaan di wilayah Negara
            Kesatuan Republik Indonesia.

      Ayat (2)
            Cukup jelas.

      Ayat (3)
            Yang dimaksud "pelayanan purnajual", adalah pelayanan
            perbaikan, penyediaan suku cadang, dan/atau pelatihan.

            Yang dimaksud "alih teknologi" adalah proses transformasi
            ilmu pengetahuan dan teknologi dari inventor atau produsen
            kepada tenaga kesehatan hewan atau konsumen.

      Ayat (4)
            Dalam menetapkan Peraturan Pemerintah mengenai jenis
            obat hewan tertentu, pembuatan, penyediaan, penggunaan,
            peredaran, dan pengawasan obat hewan terutama klasifikasi
            obat keras harus memperhatikan ketentuan dalam peraturan
            perundang-undangan di bidang obat keras.

Pasal 56
      Huruf a
           Yang dimaksud dengan "zoonosis", jenisnya, antara lain,
           rabies, antrakss, avian influenza, salmonellosis, leptospirosis,
           dan toksoplasmosis.

      Huruf b
           Yang dimaksud dengan "penjaminan keamanan, kesehatan,
           keutuhan, dan kehalalan produk hewan" adalah serangkaian
           tindakan dan kegiatan untuk mewujudkan keamanan,
           kesehatan, keutuhan, dan kehalalan produk hewan.




            Yang dimaksud dengan "produk hewan" antara lain, yaitu
                                                           Yang . . .
            daging, susu, telur, serta produk olahannya dan produk
                      - 33 -

     hewan lainnya misalnya kulit, bulu, tulang, tanduk, kuku,
     serta bahan baku pakan asal hewan.

     Yang dimaksud dengan "penjaminan keamanan produk
     hewan" adalah pengupayaan dan pengondisian produk hewan
     yang tidak mengandung bahaya biologi, kimiawi, dan fisik
     yang dapat mengganggu kesehatan manusia, hewan,
     dan/atau fungsi lingkungan.

     Yang dimaksud dengan "penjaminan kesehatan produk
     hewan" adalah pengupayaan dan pengondisian pangan asal
     hewan yang memenuhi persyaratan nutrisi yang diperlukan
     untuk kesehatan manusia dan tidak mengandung bibit
     penyakit.

     Yang dimaksud dengan "penjaminan keutuhan produk
     hewan" adalah pengupayaan dan pengondisian pangan asal
     hewan yang tidak bercampur dengan produk lain yang tidak
     sejenis.

     Yang dimaksud dengan "penjaminan kehalalan produk
     hewan" adalah pengupayaan dan pengondisian produk hewan
     yang diperoleh sesuai dengan syariat agama Islam.

Huruf c
     Yang dimaksud dengan "penjaminan higiene dan sanitasi"
     adalah pengupayaan dan pengondisian untuk mewujudkan
     lingkungan yang sehat bagi manusia, hewan, dan produk
     hewan.

     Yang dimaksud dengan "higiene" adalah kondisi lingkungan
     yang bersih yang dilakukan dengan cara mematikan atau
     mencegah hidupnya jasad renik patogen dan mengurangi
     jasad renik lainnya untuk menjaga kesehatan manusia.

     Yang dimaksud dengan "sanitasi" adalah tindakan yang
     dilakukan terhadap lingkungan untuk mendukung upaya
     kesehatan manusia dan hewan.



                                                   Huruf d . . .
Huruf d
                               - 34 -

            Yang     dimaksud     dengan    "kedokteran     perbandingan
            (comparative medicine)" adalah disiplin ilmu kedokteran yang
            membandingkan persamaan dan perbedaan hal-hal yang
            berkaitan dengan proses biologi, fisiologi, patologi, dan
            perkembangan penyakit (patogenesis), termasuk respons dari
            proses tersebut akibat pengaruh lingkungan, berbagai bentuk
            perlakuan alamiah dan/atau perlakuan buatan, yang terjadi
            pada manusia dan hewan.

      Huruf e
           Yang dimaksud dengan "penanganan bencana" adalah
           tindakan terhadap timbul dan/atau akibat zoonosis yang
           meluas pada masyarakat dan mengancam kesejahteraan
           hewan.

Pasal 57
      Ayat (1)
            Penetapan     prioritas   didasarkan    pada,   antara   lain,
            eksternalitas    (tingkat   penularan),   morbiditas   (angka
            kesakitan), dan/atau mortalitas (angka kematian).

      Ayat (2)
            Cukup jelas.

      Ayat (3)
            Cukup jelas.

Pasal 58
      Ayat (1)
            Cukup jelas.

      Ayat (2)
            Cukup jelas.

      Ayat (3)
            Cukup jelas.

      Ayat (4)
            Yang dimaksud dengan "sertifikat veteriner" adalah surat
            keterangan yang dikeluarkan oleh dokter hewan berwenang
            yang menyatakan bahwa produk hewan telah memenuhi
            persyaratan keamanan, kesehatan, dan keutuhan.

                                                                 Yang . . .
                            - 35 -

          Yang dimaksud dengan "sertifikat halal" adalah surat
          keterangan yang dikeluarkan oleh lembaga penjamin produk
          halal di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

     Ayat (5)
           Cukup jelas.

     Ayat (6)
           Cukup jelas.

     Ayat (7)
           Cukup jelas.

Pasal 59
      Ayat (1)
            Huruf a
                 Yang dimaksud dengan "produk hewan segar" adalah
                 semua bahan yang berasal dari hewan yang belum
                 diolah untuk keperluan konsumsi, farmakoseutika,
                 pertanian, dan/atau kegunaan lain bagi pemenuhan
                 kebutuhan dan kemaslahatan manusia, misalnya,
                 daging, telur, susu, dan tulang.

          Huruf b
               Yang dimaksud dengan "produk hewan olahan" adalah
               semua bahan yang berasal dari hewan yang telah
               diolah untuk keperluan konsumsi, farmakoseutika,
               pertanian, dan/atau kegunaan lain bagi pemenuhan
               kebutuhan dan kemaslahatan manusia, misalnya,
               bakso, nugget, dan daging dalam kaleng.

     Ayat (2)
           Yang dimaksud dengan "zona dalam suatu negara" adalah
           bagian dari suatu negara yang mempunyai batas alam, status
           kesehatan populasi hewan, status epidemiologik penyakit
           hewan menular dan efektivitas daya kendali pelaksanaan
           otoritas veteriner yang jelas.

          Yang dimaksud dengan "memenuhi persyaratan", antara lain,
          memiliki:
          1. hasil analisis risiko penyakit hewan menular, terutama
             penyakit eksotik pada negara atau zona suatu negara,
             sebagai jaminan keamanan produk hewan yang akan

                                                         diekspor . . .
                        - 36 -

        diekspor ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
        Analisis risiko juga dapat diterapkan pada rencana
        pemasukkan hewan.

     2. nomor registrasi (establishment number) untuk unit usaha
        yang mengekspor produk hewan ke dalam wilayah Negara
        Kesatuan Republik Indonesia.

     3. rekomendasi dari otoritas veteriner bahwa importasi
        produk hewan dinyatakan aman bagi konsumen, sumber
        daya hewan, dan lingkungan, serta tidak mengganggu
        kepentingan nasional.

     4. kesesuaian dengan ketentuan internasional yang relevan,
        antara lain, dari badan kesehatan hewan dunia (World
        Organization for Animal Health, WOAH) dan/atau Codex
        Alimentarius Commission (CAC)

     Yang dimaksud dengan "tata cara pemasukan produk hewan"
     adalah memenuhi ketentuan teknis kesehatan hewan dan
     peraturan perundang-undangan di bidang karantina hewan.

Ayat (3)
      Cukup jelas.

Ayat (4)
      Persyaratan dan tata cara pemasukkan produk hewan dari
      luar negeri didasarkan pada kepentingan nasional dan risiko
      kemungkinan terbawanya agen penyakit hewan menular
      melalui produk hewan dengan tujuan untuk menjamin
      produk hewan yang masuk dapat memenuhi kriteria aman,
      sehat, utuh, dan halal. Selain itu, juga harus diperhatikan
      ketentuan Internasional, antara lain, Badan Kesehatan
      Hewan Dunia (WOAH) dan/atau Codex Alimentarius
      Comission (CAC).

     Yang dimaksud dengan "analisis risiko" adalah proses
     pengambilan keputusan teknis kesehatan hewan yang
     didasarkan pada kaidah ilmiah dan kaidah keterbukaan
     publik melalui serangkaian tahapan kegiatan, meliputi,
     identifikasi bahaya, penilaian risiko, manajemen risiko dan
     komunikasi (sosialisasi) risiko.

                                                      Ayat (5) . . .
                                  - 37 -

          Ayat (5)
                Cukup jelas.

Pasal 60
      Ayat (1)
                 Yang dimaksud dengan "nomor kontrol veteriner (NKV)"
                 adalah nomor registrasi unit usaha produk hewan sebagai
                 bukti telah dipenuhinya persyaratan higiene dan sanitasi
                 sebagai kelayakan dasar jaminan keamanan produk hewan.
                 Bagi unit usaha produk hewan yang mengedarkan produk
                 hewan segar di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia
                 atau memasukkan dari dalam wilayah Negara Kesatuan
                 Republik Indonesia dan/atau mengeluarkan ke luar wilayah
                 Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib memiliki NKV.

          Ayat (2)
                Cukup jelas.

    Pasal 61
     Ayat (1)
                 Yang dimaksud dengan "dagingnya diedarkan" adalah
                 mendistribusikan daging untuk kepentingan komersial dan
                 nonkomersial seperti pemberian bantuan kepada warga
                 masyarakat yang membutuhkan.

                 Huruf a
                            Yang dimaksud dengan "rumah potong" adalah
                            suatu bangunan atau kompleks bangunan
                            beserta peralatannya dengan desain yang
                            memenuhi     persyaratan   sebagai     tempat
                            menyembelih hewan, antara lain, sapi, kerbau,
                            kambing, domba, babi, dan unggas bagi
                            konsumsi masyarakat.

                            Keharusan memotong hewan di rumah potong
                            dimaksudkan untuk mencegah zoonosis.

                 Huruf b
                      Cukup jelas.

      Ayat (2)
                 Yang dimaksud dengan "menjamin ketenteraman           batin
                 masyarakat" adalah pengupayaan dan pengondisian      dalam
                 rangka pemenuhan syarat hewan yang halal             untuk
                 dikonsumsi dan tata cara pemotongan hewan tersebut   sesuai
                 dengan syariat agama Islam.

                                                             Ayat (3) . . .
                               - 38 -

     Ayat (3)
           Cukup jelas.

     Ayat (4)
           Dalam upaya pencegahan penyakit hewan menular dan/atau
           zoonosis, penanganan produk secara higienis dan kaidah
           kesejahteraan hewan, pemotongan hewan di luar rumah
           pemotongan hewan untuk kepentingan hari besar keagamaan,
           upacara adat, dan pemotongan darurat harus tetap
           memerhatikan kaidah kesehatan masyarakat veteriner.

Pasal 62
      Ayat (1)
            Kewajiban pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki
            rumah potong hewan dimaksudkan untuk memberikan
            pelayanan kepada masyarakat dalam penyediaan pangan asal
            hewan yang aman, sehat, utuh dan/atau halal.

     Ayat (2)
   Cukup jelas.

     Ayat (3)
           Usaha pemotongan hewan yang diwajibkan memiliki izin
           usaha dari bupati atau walikota dapat bersifat milik sendiri
           atau menyewa rumah potong hewan milik orang lain.

Pasal 63
      Ayat (1)
   Cukup jelas.

     Ayat (2)
   Huruf a
    Cukup jelas.

   Huruf b
                   Yang dimaksud dengan "residu" adalah akumulasi obat
                   atau bahan kimia dan/atau metabolitnya dalam
                   jaringan dan organ hewan setelah pemakaian obat atau
                   bahan       kimia       secara      sengaja     untuk
                   pencegahan/pengobatan, sebagai imbuhan pakan atau
                   secara tidak sengaja terkontaminasi senyawa tersebut.

                   Yang dimaksud dengan "cemaran" adalah masuknya
                   atau kejadian adanya suatu bahaya (hazard) kimia
                   dan/atau mikrobiologi termasuk mikroba pada produk
                   hewan dan pakan hewan baik langsung maupun tidak
                   langsung yang dapat menyebabkan produk hewan dan
                   pakan hewan tidak utuh, sehingga dapat mengganggu
                   kesehatan manusia, hewan, dan/atau lingkungan.

                                                             Huruf c . . .
                             - 39 -

   Huruf c
    Cukup jelas.

     Ayat (3)
   Cukup jelas.

     Ayat (4)
   Cukup jelas.

Pasal 64
      Cukup jelas.

Pasal 65
 Cukup jelas.

Pasal 66
      Ayat (1)
   Cukup jelas.

 Ayat (2)
            Yang dimaksud dengan "manusiawi" adalah tindakan yang
            merujuk pada etika dan nilai kemanusiaan, seperti tidak
            melakukan penyiksaan.

            Huruf a
                 Cukup jelas.

            Huruf b
                 Cukup jelas.

            Huruf c
                      Yang dimaksud dengan "penganiayaan" adalah
                      tindakan untuk memeroleh kepuasan dan/atau
                      keuntungan dari hewan dengan memerlakukan
                      hewan di luar batas kemampuan biologis dan
                      fisiologis hewan, misalnya pengglonggongan sapi.

                      Yang dimaksud dengan "penyalahgunaan" adalah
                      tindakan untuk memeroleh kepuasan dan/atau
                      keuntungan dari hewan dengan memerlakukan
                      hewan secara tidak wajar dan/atau tidak sesuai
                      dengan peruntukan atau kegunaan hewan
                      tersebut, misalnya pencabutan kuku kucing.

            Huruf d
                      Cukup jelas.


                                                           Huruf e . . .
                             - 40 -

                 Huruf e
                      Cukup jelas.

                 Huruf f
                      Cukup jelas.

                 Huruf g
                      Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan
                      sanksi kepada setiap orang yang melakukan
                      tindakan penganiayaan dan penyalahgunaan
                      hewan.

     Ayat (3)
           Yang dimaksud dengan "hewan yang tidak bertulang
           belakang yang bisa merasakan sakit", antara lain, adalah
           kepiting. Pada dasarnya hewan yang merasakan sakit adalah
           hewan yang memiliki susunan saraf pusat dan perifer, yaitu
           semua hewan bertulang belakang. Namun, kalangan
           masyarakat dunia yang peduli terhadap kesejahteraan hewan
           memasukkan hewan yang tidak memiliki tulang belakang,
           tetapi mempunyai rasa sakit sebagai hewan yang perlu
           diperhatikan kesejahteraannya.

     Ayat (4)
           Termasuk dalam ketentuan yang diatur dalam Peraturan
           Menteri, antara lain, adalah pengembangan Komite
           Kesejahteraan Hewan Nasional untuk membina komisi
           kesejahteraan hewan laboratorium di berbagai instansi dalam
           rangka pendidikan, pelatihan, penelitian, dan pengembangan.

Pasal 67
      Penyelenggaraan kesejahteraan hewan dilakukan oleh Pemerintah
      dan Pemerintah Daerah bersama masyarakat agar disadari bahwa
      masalah kesejahteraan hewan merupakan tanggung jawab bersama.
      Oleh karena itu, pelaksanaan kesejahteraan hewan diutamakan
      pada upaya peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat
      melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan.
     Dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
     penyelenggaraan   kesejahteraan  hewan,    masyarakat     dapat
     membentuk kelembagaan yang relevan. Contohnya, penggunaan
     hewan laboratorium untuk pendidikan, pelatihan, penelitian dan
     pengembangan.

Pasal 68
      Ayat (1)
            Cukup jelas.

                                                           Ayat (2) . . .
                        - 41 -

Ayat (2)
      Penetapan siskeswanas dimaksudkan agar terwujud totalitas
      pelaksanaan otoritas veteriner di seluruh wilayah Negara
      Kesatuan Republik Indonesia dan sebagai wujud bela negara.
     Ciri totalitas pelaksanaan siskeswanas dalam otoritas
     veteriner, antara lain, mengedepankan mutu, kecepatan,
     keserentakan, keberlanjutan, ketuntasan, keselamatan, serta
     kepentingan nasional.
     Pendekatan untuk mencapai totalitas veteriner, antara lain,
     meliputi penguatan: (a) kepemimpinan dan manajemen, (b)
     sumber daya, (c) peran dan fungsi kelembagaan, (d) jejaring
     informasi dan komunikasi vertikal-horisontal, (e) pola hierarki
     perintah dan rentang-kendali dari pusat sampai ke daerah, (f)
     akuntabilitas pengambilan keputusan, (g) relevansi dan
     program, (h) keprofesian dan pelayanan, serta (i) dukungan
     masyarakat luas.

Ayat (3)
      Yang dimaksud dengan "meningkatkan peran dan fungsi
      kelembagaan    kesehatan   hewan"   adalah    pemberian
      kewenangan dalam penyusunan kebijakan dan pengambilan
      keputusan tertinggi teknis kesehatan hewan di instansi
      Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau instansi lainnya
      yang terkait.
     Dalam menetapkan dokter hewan berwenang, jika di daerah
     tersebut tidak terdapat dokter hewan untuk ditetapkan
     sebagai dokter hewan berwenang, Pemerintah Daerah
     tersebut dapat merekrut dokter hewan berwenang dari dan
     melalui koordinasi dengan Pemerintah Daerah lain yang
     terdekat.

Ayat (4)
      Pelimpahan kewenangan Menteri kepada otoritas veteriner
      dimaksudkan untuk dapat menerapkan kewenangan tertinggi
      dalam pengambilan keputusan di bidang kesehatan hewan
      yang bersifat nasional dan/atau internasional.

Ayat (5)
      Yang dimaksud dengan "memberdayakan potensi tenaga
      kesehatan   hewan",   antara   lain,  ditujukan   untuk
      meningkatkan   kemampuan     dalam   pengendalian   dan
      penanggulangan penyakit hewan dan zoonosis; penanganan
      bencana; pemeriksaan hewan kurban; serta pelayanan
      masyarakat.

                                                        Ayat (6) . . .
                               - 42 -

      Ayat (6)
            Cukup jelas.

      Ayat (7)
            Cukup jelas.

Pasal 69
      Ayat (1)
            Yang dimaksud dengan "pelayanan kesehatan hewan" yaitu
            serangkaian tindakan yang diperlukan, antara lain, untuk:
            a. melakukan prognosis dan diagnosis penyakit secara klinis,
               patologis, laboratoris, dan/atau epidemiologis;
            b. melakukan       tindakan   transaksi   terapeutik   berupa
               konsultasi dan/atau informasi awal (prior informed-consent)
               kepada pemilik hewan yang dilanjutkan dengan beberapa
               kemungkinan tindakan preventif, koperatif, kuratif,
               rehabilitatif, dan promotif dengan menghindari tindakan
               malpraktik;
            c. melakukan pemeriksaan dan pengujian keamanan,
               kesehatan, keutuhan, dan kehalalan produk hewan;
            d. melakukan konfirmasi kepada unit pelayanan kesehatan
               hewan rujukan jika diperlukan;
            e. menyampaikan data penyakit dan kegiatan pelayanan
               kepada otoritas veteriner;
            f. menindaklanjuti       keputusan    Pemerintah     dan/atau
               Pemerintah Daerah yang berkaitan dengan pengendalian
               dan penanggulangan penyakit hewan dan/atau kesehatan
               masyarakat veteriner; dan
            g. melakukan pendidikan klien dan/atau pendidikan
               masyarakat sehubungan dengan paradigma sehat dan
               penerapan kaidah kesejahteraan hewan.

            Yang dimaksud dengan "pelayanan jasa laboratorium
            veteriner" adalah layanan jasa diagnostik dan/atau penelitian
            dan pengembangan dalam rangka pelayanan kesehatan
            hewan.

            Yang dimaksud dengan "pelayanan jasa laboratorium
            pemeriksaan dan pengujian veteriner" adalah layanan jasa
            diagnostik dan/atau penelitian dan pengembangan dalam
            rangka pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan
            atau zoonosis, pelaksanaan kesehatan masyarakat veteriner,
            dan/atau pengujian mutu obat, residu/cemaran, mutu pakan,
            mutu bibit/ benih, dan/atau mutu produk hewan.


                                                                Yang . . .
                                   - 43 -

                 Yang dimaksud dengan "pelayanan jasa medik veteriner"
                 adalah layanan jasa yang berkaitan dengan kompetensi
                 dokter hewan yang diberikan kepada masyarakat dalam
                 rangka praktik kedokteran hewan, seperti rumah sakit hewan,
                 klinik hewan, klinik praktik bersama, klinik rehabilitasi
                 reproduksi hewan, ambulatori, praktik dokter hewan, dan
                 praktik konsultasi kesehatan hewan.

                 Yang dimaksud dengan "pelayanan jasa di pusat kesehatan
                 hewan (puskeswan)" adalah layanan jasa medik veteriner
                 yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Pelayanan ini
                 dapat bersifat rujukan dan/atau terintegrasi dengan
                 laboratorium veteriner dan/atau laboratorium pemeriksaan
                 dan pengujian veteriner.

  Ayat (2)
        Pemberian izin usaha dari bupati/walikota, selain untuk memenuhi
        syarat legalitas dan standar pelayanan minimal, dimaksudkan
        untuk mensinergikan pelayanan kesehatan hewan di daerah
        tersebut dengan siskeswanas melalui pembinaan otoritas veteriner
        bekerja sama dengan organisasi profesi kedokteran hewan setempat.

           Apabila cakupan pelayanan kesehatan hewan tersebut meliputi
           wilayah provinsi dan/atau lintas provinsi, pemberian izin usaha
           dari bupati/walikota tersebut perlu dikonfirmasikan kepada otoritas
           veteriner tingkat provinsi yang dimaksud.

           Adapun kualifikasi pemberian izin tersebut antara lain pemberian
           izin:
           a. Rumah Sakit Hewan;
           b. Praktik Kedokteran Hewan; dan
           c. Laboratorium Keswan dan laboratorium Kesmavet yang
               diselenggarakan oleh swasta.

Pasal 70
           Ayat (1)
                 Yang dimaksud dengan "memenuhi kebutuhan tenaga
                 kesehatan hewan" adalah tersedianya satu kesatuan adanya
                 tenaga medik veteriner (dokter hewan dan/atau dokter hewan
                 spesialis) dan berbagai tingkatan kompetensi tenaga
                 paramedik veteriner yang dibutuhkan di setiap provinsi,
                 kabupaten/kota, sampai tingkat kecamatan.

           Ayat (2)
                 Cukup jelas.
                                                                 Ayat (3) . . .
           Ayat (3)
                               - 44 -

             Cukup jelas.

       Ayat (4)
             Cukup jelas.

       Ayat (5)
             Cukup jelas.

Pasal 71
        Ayat (1)
              Yang dimaksud dengan "kompetensi medik veteriner" adalah
              kecerdasan bertindak dan kemampuan mengambil keputusan
              di bidang kesehatan hewan dengan mengacu pada
              perkembangan ilmu kedokteran hewan terkini; kepentingan
              tertinggi, klien, pasien masyarakat luas, dan lingkungan;
              serta keluhuran sumpah atau janji dan kode etik profesi.

       Ayat (2)
             Yang dimaksud dengan "di bawah penyeliaan dokter hewan"
             adalah pengawasan dokter hewan secara berkelanjutan
             kepada kinerja tenaga para medik veteriner dan/atau sarjana
             kedokteran hewan dalam melaksanakan urusan kesehatan
             hewan yang dilakukan berdasarkan acuan otoritas veteriner
             dan/atau kesepakatan bersama antara kedua belah pihak
             dengan memperhatikan batas-batas kemampuan.

       Ayat (3)
             Yang dimaksud dengan "sertifikat kompetensi" adalah
             keterangan tertulis yang menjelaskan tingkat penguasaan
             kemampuan tenaga kesehatan hewan dalam melaksanakan
             urusan kesehatan hewan.

       Ayat (4)
             Yang dimaksud dengan "kode etik profesi" adalah prinsip
             moral dan sikap keprofesionalan yang selalu dijaga oleh
             tenaga kesehatan hewan ketika berinteraksi dengan pasien,
             klien, sesama tenaga kesehatan hewan, masyarakat, otoritas
             veteriner, pemerintahan, dan/atau lingkungannya.

             Yang dimaksud dengan "sumpah atau janji profesi" adalah
             pernyataan sungguh-sungguh dokter hewan di depan pemuka
             agama, organisasi profesi kedokteran hewan dan saksi
             lainnya untuk memegang teguh prinsip moral dan sikap
             keprofesionalan selama menjalankan profesinya.


                                                     Masing-masing . . .
                            - 45 -

           Masing-masing strata tenaga kesehatan hewan memiliki kode
           etik profesi, sedangkan sumpah atau janji profesi berlaku
           hanya untuk dokter hewan.

Pasal 72
      Ayat (1)
            Surat ijin praktik kesehatan hewan yang dikeluarkan oleh
            bupati/walikota adalah berupa Surat Tanda Registrasi.

     Ayat (2)
           Cukup jelas.

     Ayat (3)
           Termasuk ketentuan surat ijin praktik kesehatan hewan
           untuk tenaga kesehatan hewan asing, antara lain, adalah
           penguasaan     terhadap   kemampuan      berkomunikasi
           menggunakan bahasa Indonesia dan kemampuan menguasai
           penyakit hewan tropika.

Pasal 73
      Ayat (1)
            Ketentuan tentang medik reproduksi dimaksudkan untuk
            mempercepat peningkatan kualitas dan populasi hewan
            melalui intervensi kedokteran reproduksi, penanganan
            kebidanan, pencegahan dan penanggulangan kasus-kasus
            kemajiran,   serta    pengaturan  perkembangan   dan
            keseimbangan populasi hewan.

           Ketentuan tentang medik konservasi dimaksudkan untuk
           mempercepat peningkatan upaya pelestarian jenis, populasi
           dan habitat satwa liar Indonesia melalui intervensi medik
           veteriner, memetakan status medik konservasi dan
           epidemiologik    satwa  liar  Indonesia,   mengantisipasi
           munculnya penyakit hewan baru yang berasal dari satwa liar
           Indonesia, serta memantapkan manajemen medik konservasi
           pada lembaga-lembaga konservasi.

           Ketentuan tentang forensik veteriner dimaksudkan untuk
           mengantisipasi penanganan kasus kejahatan yang berkaitan
           dengan hewan.

     Ayat (2)
           Cukup jelas.

 Pasal 74
     Ayat (1)
           Cukup jelas.

                                                         Ayat (2) . . .
                              - 46 -

    Ayat (2)
          Huruf a
           Cukup jelas.

          Huruf b
               Yang dimaksud dengan "etika hewan" sebagai
               terjemahan dari kata bioethic, adalah penerapan prinsip
               moral, keintelektualan dan keprofesionalan dalam
               memperlakukan entitas hewan baik secara utuh, secara
               holisitik dengan lingkungannya, maupun secara
               sebagian, seperti sel, jaringan, atau organ.

               Yang dimaksud dengan "etika kedokteran hewan"
               adalah penerapan prinsip moral, keintelektualan,
               keprofesionalan    dan    prinsip    medis     dalam
               mengaplikasikan ilmu dan teknologi kedokteran hewan.

     Huruf c
      Cukup jelas.

Pasal 75
    Cukup jelas.

Pasal 76
Cukup jelas.

Pasal 77
Cukup jelas.

Pasal 78
    Ayat (1)
          Yang dimaksud dengan "aparat" adalah pegawai negeri baik
          struktural maupun fungsional, pusat maupun daerah,
          termasuk penyuluh peternakan dan kesehatan hewan.

    Ayat (2)
          Cukup jelas.

    Ayat (3)
          Huruf a
               Cukup jelas.

          Huruf b
               Cukup jelas.

          Huruf c
               Yang dimaksud dengan "metode pengembangan
               lainnya" antara lain, permagangan dan sekolah lapang.

                                                   Pengembangan . . .
                             - 47 -


                 Pengembangan sumber daya manusia peternakan
                 bertujuan,    antara   lain,   untuk   meningkatkan
                 keterampilan,     profesionalisme,    kewirausahaan,
                 kerjasama, dan meningkatkan dedikasi.

                 Yang dimaksud dengan "memperhatikan budaya
                 masyarakat" adalah menghargai kearifan tradisional
                 dan budaya lokal sehingga peningkatan kualitas
                 sumber daya manusia berikut penerapan teknologi
                 untuk pengembangan usaha peternakan dan kesehatan
                 hewan di suatu wilayah dapat bersinergi dengan
                 kebiasaan, tradisi, adat, agama, dan budaya setempat
                 sehingga dapat diterima oleh masyarakat agar
                 mencapai hasil yang optimal.

      Ayat (4)
            Yang dimaksud dengan "institusi pendidikan" antara lain,
            perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan
            perorangan.

      Ayat (5)
            Yang dimaksud dengan "penyuluhan peternakan dan
             kesehatan hewan" adalah salah satu upaya pemberdayaan
             peternak yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan,
             keterampilan, dan mengubah sikap serta perilakunya yang
             dilaksanakan, antara lain, melalui pendidikan nonformal.

      Ayat (6)
            Cukup jelas.

      Ayat (7)
            Cukup jelas.

      Ayat (8)
            Cukup jelas.

 Pasal 79
Cukup jelas.

 Pasal 80
Cukup jelas.

 Pasal 81
     Cukup jelas.


                                                          Pasal 82 . . .
                          - 48 -


 Pasal 82
     Yang dimaksud dengan "rekayasa genetik" adalah segala upaya
     untuk mengadakan perubahan secara sengaja pada genom mahluk
     hidup dengan menambah, mengurangi, dan/atau mengubah
     susunan asli genom dengan menggunakan teknik asam nukleat
     deoksiribose (Deoxyribose Nucleic Acid/DNA) rekombinan.

 Pasal 83
     Cukup jelas.

 Pasal 84
Cukup jelas.

 Pasal 85
Cukup jelas.

 Pasal 86
Cukup jelas.

 Pasal 87
     Cukup jelas.

 Pasal 88
     Cukup jelas.

 Pasal 89
Cukup jelas.

 Pasal 90
     Cukup jelas.

 Pasal 91
     Cukup jelas.

 Pasal 92
Cukup jelas.

 Pasal 93
Cukup jelas.

 Pasal 94
 Cukup jelas.

 Pasal 95
     Cukup jelas.


                                                      Pasal 96 . . .
                            - 49 -

     Pasal 96
         Cukup jelas.

     Pasal 97
    Cukup jelas.

     Pasal 98
    Cukup jelas.

     Pasal 99
         Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5015


Silahkan download versi PDF nya sbb:
peternakan_kesehatan_hewan_(uu_18_thn_2009)_18.pdf
(ogi/Carapedia)
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.