Previous
Next

1986

Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (UU 5 thn 1986)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara :
Bentuk:        UNDANG-UNDANG (UU)

Oleh:          PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor:         5 TAHUN 1986 (5/1986)

Tanggal:       29 DESEMBER 1986 (JAKARTA)

Sumber:        LN 1986/77

Tentang:       PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Indeks:        ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. PEGAWAI NEGERI. Aparatur. Warga Negara.


         DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

              Presiden Republik Indonesia,

Menimbang :

a.       bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan
         Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata
         kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, serta
         tertib, yang menjamin persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum,
         dan yang menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta
         selaras antara aparatur di bidang Tata Usaha Negara dengan para warga
         masyarakat;

b.       bahwa dalam mewujudkan tata kehidupan tersebut, dengan jalan mengisi
         kemerdekaan melalui pembangunan nasional secara bertahap, diusahakan
         untuk membina, menyempurnakan, dan menertibkan aparatur di bidang Tata
         Usaha Negara, agar mampu menjadi alat yang efisien, efektit, bersih,
         serta   berwibawa,  dan   yang  dalam   melaksanakan  tugasnya  selalu
         berdasarkan hukum dengan dilandasi semangat dan sikap pengabdian untuk
         masyarakat;

c.       bahwa meskipun pembangunan nasional hendak menciptakan suatu kondisi
         sehingga setiap warga masyarakat dapat menikmati suasana serta iklim
         ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan, dalam
         pelaksanaannya    ada   kemungkinan  timbul   benturan   kepentingan,
         perselisilian, atau sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha
         Negara dengan warga masyarakat yang dapat merugikan atau menghambat
         jalannya pembangunan nasional;

d.       bahwa untuk menyelesaikan sengketa tersebut diperlukan adanya Peradilan
         Tata   Usaha  Negara   yang   mampu  menegakkan   keadilan,  kebenaran,
         ketertiban, dan kepastian hukum, sehingga dapat memberikan pengayoman
         kepada masyarakat, khususnya dalam hubungan antara Badan atau Pejabat
         Tata Usaba Negara dengan masyarakat;

e.       bahwa sehubungan dengan pertimbangan tersebut, dan sesuai pula dengan
         Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
      Kekuasaan Kehakiman,    perlu    dibentuk   Undang-undang   tentang   Peradilan
      Tata Usaha. Negara;

Mengingat :

1.    Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-
      Undang Dasar 1945;

2.    Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
      IV/MPR/1978 dihubungkan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
      Republik Indonesia Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan
      Negara;

3.    Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
      Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan
      Lembaran Negara Nomor 2951);

4.    Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran
      Negara Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3316);


                     Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

                             MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA.

                                      BAB I

                         KETENTUAN UMUM

                         Bagian Pertama
                             Pengertian

                                  Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1.    Tata Usaha Negara adalah Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi
      untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di
      daerah;

2.    Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang
      melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-
      undangan yang berlaku;

3.    Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang
      dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi
      tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-
      undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final,
      yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata;

4.    Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang
      Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan
      atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai
      akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa
      kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

5.    Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau
      Pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapatkan
      putusan;

6.    Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan
      keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan
      kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata;

7.    Pengadilan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara dan/atau Pengadilan
      Tinggi Tata Usaha Negara di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara;

8.    Hakim adalah Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara dan/atau Hakim
      pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

                                Pasal 2

Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-
undang ini :

a.    Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;

b.    Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat
      umum;

c.    Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;

d.    Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan
      Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara
      Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum
      pidana;

e.    Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil
      pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
      undangan yang berlaku;

f.    Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Angkatan    Bersenjata
      Republik Indonesia;

g.    Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai
      hasil pemilihan umum.

                                Pasal 3

(1)   Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan
      keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut
      disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.

(2)   Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan
      keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan
      data peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau
      Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan
      keputusan yang dimaksud.

(3)   Dalam   hal  peraturan   perundang-undangan yang  bersangkutan  tidak
      menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka
      setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimnya permohonan,
      Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah
      mengeluarkan keputusan penolakan.

                               Bagian Kedua
                                  Kedudukan

                                      Pasal 4

Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara.

                                      Pasal 5

(1)   Kekuasaan   kehakiman      di     lingkungan   Peradilan   Tata    Usaha     Negara
      dilaksanakan oleh :

      a.    Pengadilan Tata Usaha Negara;
      b.    Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

(2)   Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara berpuncak
      pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.

                              Bagian Ketiga
                           Tempat Kedudukan

                                      Pasal 6

(1)   Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di kotamadya atau ibukota
      kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau
      kabupaten.

(2)   Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota propinsi,
      dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi.

                             Bagian Keempat
                                  Pembinaan

                                      Pasal 7

(1)   Pembinaan   teknis    peradilan    bagi   Pengadilan   dilakukan   oleh    Mahkamah
      Agung.
(2)   Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan dilakukan
      oleh Departemen Kehakiman.

(3)   Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak boleh
      mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa Tata
      Usaha Negara.

                                    BAB II

                     SUSUNAN PENGADILAN

                            Bagian Pertama
                                      Umum

                                   Pasal 8

Pengadilan terdiri atas :

a.    Pengadilan   Tata   Usaha   Negara,    yang   merupakan   pengadilan   tingkat
      pertama;

b.    Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, yang merupakan pengadilan tingkat
      banding.

                                   Pasal 9

Pengadilan Tata Usaha Negara dibentuk dengan Keputusan Presiden.

                                  Pasal 10

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dibentuk dengan undang-undang.

                                  Pasal 11

(1)   Susunan Pengadilan terdiri atas Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, dan
      Sekretaris.

(2)   Pimpinan Pengadilan terdiri atas seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua.

(3)   Hakim anggota pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara adalah Hakim
      Tinggi.

                           Bagian Kedua
Ketua, Wakil Ketua, Hakim, dan Panitera Pengadilan

                                Paragraf 1
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim

                                  Pasal 12

(1)   Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.
(2)   Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian,    serta   pelaksanaan
      tugas Hakim ditetapkan dalam Undang-undang ini.

                              Pasal 13

(1)   Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim sebagai pegawai negeri,
      dilakukan oleh Menteri Kehakiman.

(2)   Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak
      boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa
      Tata Usaha Negara.

                              Pasal 14

(1)   Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara,
      seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
      a.    warga negara Indonesia;
      b.    bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
      c.    setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
      d.    bukan   bekas   anggota   organisasi  terlarang   Partai  Komunis
            Indonesia, termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang
            terlibat langsung ataupun tak langsung dalam "Gerakan Kontra
            Revolusi G.30.S/PKI" atau organisasi terlarang lainnya;
      e.    pegawai negeri;
      f.    sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian di bidang
            Tata Usaha Negara;
      g.    berumur serendah-rendahnya dua puluh lima tahun;
      h.    berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.

(2)   Untuk dapat diangkat menjadi Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Tata
      Usaha Negara diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya sepuluh tahun
      sebagai Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara.

                              Pasal 15

(1)   Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha
      Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

      a.   syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), huruf
           a huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf h;

      b.   berumur serendah-rendahnya empat puluh tahun;

      c.   berpengalaman sekurang-kurangnya lima tahun sebagai Ketua atau
           Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara, atau sekurang-kurangnya
           lima belas tahun sebagai Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara.

(2)   Untuk dapat diangkat menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
      diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya sepuluh tahun sebagai Hakim
      pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau sekurang-kurangnya lima
      tahun bagi Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang pernah
      menjabat Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara.

(3)   Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha
      Negara diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya delapan tahun sebagai
      Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau sekurang-kurangnya
      tiga tahun bagi Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang
      pernah menjabat Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara.

                              Pasal 16

(1)   Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara
      atas usul Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah
      Agung.

(2)   Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan diangkat dan diberhentikan        oleh
      Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.

                              Pasal 17

(1)   Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan
      wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaan;
      bunyi sumpah atau janji itu adalah sebagai berikut :

      "Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk
      memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan
      menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau
      menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga".

      "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak
      melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima
      langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau
      pemberian".

      "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan
      mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup
      bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional: Undang-Undang Dasar 1945,
      dan segala undang-undang, serta peraturan lain yang berlaku bagi negara
      Republik Indonesia".

      "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan
      saya ini dengan jujur, seksama dan dengan tidak membeda-bedakan orang
      dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya ini sebaik-baiknya
      dan   seadil-adilnya   seperti   layaknya  bagi   seorang   Ketua/Wakil
      Ketua/Hakim yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan
      keadilan".

(2)   Wakil Ketua dan Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara diambil sumpah
      atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara.

(3)   Wakil Ketua dan Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara serta
      Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara diambil sumpah atau janjinya oleh
      Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

(4)   Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara diambil sumpah atau janjinya
      oleh Ketua Mahkamah Agung.

                              Pasal 18
(1)   Kecual ditentuakan lain oleh atau        berdasarkan   undang-undang,       Hakim
      tidak boleh merangkap menjadi :

      a.    pelaksana putusan pengadilan;

      b.    wali pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara
            yang diperiksan olehnya;

      c.    pengusaha.

(2)   Hakim tidak boleh merangkap menjadi penasihat hukum.

(3)   Jabatan  yang   tidak  boleh  dirangkap oleh  Hakim  selain  jabatan
      sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
      dengan Peraturan Pemerintah.

                               Pasal 19

(1)   Ketua, Wakil Ketua, dan     Hakim      diberhentikan      dengan   hormat    dari
      jabatannya karena :
      a.    permintaan sendiri;

      b.    sakit jasmani atau rohani terus-menerus;

      c.    telah berumur enam puluh tahun bagi Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
            pada Pengadilan Tata Usaha Negara dan enam puluh tiga tahun bagi
            Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha
            Negara;

      d.    ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.

(2)   Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim yang meninggal dunia dengan sendirinya
      diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala
      Negara.

                               Pasal 20

(1)   Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari
      jabatannya dengan alasan :

      a.    dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;

      b.    melakukan perbuatan tercela;

      c.    terus menerus   melalaikan      kewajiban   dalam     menjalankan     tugas
            pekerjaannya;

      d.    melanggar sumpah atau janji jabatan;

      e.    melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
(2)   Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana
      dimaksud dalam ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e dilakukan setelah
      yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri di hadapan
      Majelis Kehormatan Hakim.

(3)   Pembentukan, susunan, dan tata keda Majelis Kehormatan Hakim serta tata
      cara pembelaan diri ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung bersama-sama
      Menteri Kehakiman.

                               Pasal 21

Seorang Hakim yang diberhentikan dari      jabatannya     tidak   dengan   sendirinya
diberhentikan sebagai pegawai negeri.

                               Pasal 22

(1)   Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan hormat
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), dapat diberhentikan
      sementara dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul
      Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.

(2)   Terhadap pengusulan pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam
      ayat (1), berlaku juga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
      ayat (2).

                               Pasal 23

(1)   Apabila terhadap seorang Hakim ada perintah penangkapan yang diikuti
      dengan penahanan, dengan sendirinya Hakim tersebut diberhentikan
      sementara dari jabatannya.

(2)   Apabila seorang Hakim dituntut di muka Pengadilan Negari dalam perkara
      pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-undang Nomor
      8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tanpa ditahan, maka ia dapat
      diberhentikan sementara dari jabatannya.

                               Pasal 24

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentain dengan hormat,
pemberhentian tidak dengan hormat, dan pemberhentaian sementara, serta hak-
hak pejabat yang terhadapnya dikenakan pemberhentian, diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

                               Pasal 25

(1)   Kedudukan protokol Hakim diatur dengan Keputusan Presiden.

(2)   Tunjangan dan ketentuan lainnya     bagi   Ketua,   Wakil   Ketua,   dan   Hakim
      diatur dengan Keputusan Presiden.

                               Pasal 26

(1)   Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim dapat ditangkap atau ditahan hanya atas
        perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan dari Ketua Mahkamah
        Agung dan Menteri Kehakiman.

(2)     Dalam hal :
        a.    Tertangkap tangan melakukan tindak Pidana kejahatan, atau
        b.    disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam
              dengan pidana mati, atau
        c.    disangka   telah  melakukan   tindak  pidana   kejahatan  terhadap
              keamanan negara.
        Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim dapat ditangkap tanpa perintah dan
        persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

                               Paragraf 2
                                 Panitera

                                   Pasal 27

(1)     Pada setiap Pengadilan     ditetapkan   adanya   kepaniteraan   yang   dipimpin
        oleh seorang Panitera.

(2)     Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan dibantu oleh seorang
        Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, dan beberapa orang
        Panitera Pengganti.

                                   Pasal 28

Untuk   dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara, seorang
calon   harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.      warga negara Indonesia;
b.      bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.      setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
d.      serendah-rendahnya berijazah sarjana muda hukum;
e.      berpengalaman sekurang-kurangnya empat tahun sebagai Wakil Panitera
        atau tujuh tahun sebagai Panitera Muda Pengaditan Tata Usaha Negara,
        atau menjabat sebagai Wakil Panitera Pangadilan Tinggi Tata Usaha
        Negara.

                                   Pasal 29

Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a.      syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, dan
        huruf c

b.      berijazah sarjana hukum;

c.      berpengalaman sekurang-kurangnya empat tahun sebagai Wakil Panitera
        atau delapan tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan Tinggi Tata Usaha
        Negara, atau empat tahun sebagai Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara.

                                   Pasal 30
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a.   syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b,
     huruf c, dan huruf d;

b.   berpengalaman sekurang-kurangnya empat tahun sebagai Panitera Muda atau
     enam tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Tata Usaha Negara.

                                Pasal 31

Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Tinggi Tata       Usaha
Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a.   syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, dan
     huruf c;

b.   berijazah sarjana hukum;

c.   berpengalaman sekurang-kurangnya empat tahun sebagai Panitera Muda atau
     tujuh tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Tata Usaha
     Negara atau empat tahun sebagai Wakil Panitera Pengadilan Tata Usaha
     Negara, atau menjabat sebagai Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara.

                                Pasal 32

Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Tata     Usaha   Negara,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a.   syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b,
     huruf c, dan huruf d;

b.   berpengalaman sekurang-kurangnya tiga tahun sebagai Panitera Pengganti
     Pengadilan Tata Usaha Negara.

                                Pasal 33

Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Tinggi Tata        Usaha
Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a.   syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b,
     huruf c, dan huruf d;

b.   berpengalaman sekurang-kurangnya tiga tahun sebagai Panitera Pengganti
     Penpdilan Tinggi Tata Usaha Negara atau empat tahun sebagai Panitera
     Muda atau delapan tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Tata
     Usaha Negara, atau menjabat sebagai Wakil Panitera Pengadilan Tata
     Usaha Negara.

                                Pasal 34

Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Tata Usaha Negara,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a.    syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b,
      huruf c, dan huruf d;

b.    berpengalaman sekurang-kurangnya lima tahun sebagai pegawai negeri pada
      Pengadilan Tata Usaha Negara.

                               Pasal 35

Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara, seorang, calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a.    syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, dan
      huruf d;

b.    berpengalaman sekurang-kurangnya lima tahun sebagai Panitera Pengganti
      Pengadilan Tata Usaha Negara atau sepuluh tahun sebagai pegawai negeri
      pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

                               Pasal 36

(1)   Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Panitera
      tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang
      berkairan dengan perkara yang di dalamnya ia bertindak sebagai
      Panitera.

(2)   Panitera tidak boleh merangkap menjadi penasihat hukum.

(3)   Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Panitera selain jabatan
      sebagaimana dimaksud dalam rayat (1), dan ayat (2) diatur lebih lanjut
      oleh Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.

                               Pasal 37

Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti diangkat dari
diberhentikan dari jabatannya oleh Menteri Kehakiman.

                               Pasal 38

Sebelum memangku jabatannya, Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan
Panitera  Pengganti   diambil   sumpah atau janjinya  menurut  agama atau
kepercayaannya oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan; bunyi sumpah atau
janji itu adalah sebagai berikut:

"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memperoleh
jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau
cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada
siapa pun".

"Saya bersumpah/belanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-sekali akan menerima langsung atau
tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan
serta mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar negara, dan
ideologi nasional; Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta
peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia".

"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya
ini dengan jujur, saksama dan dengan tidak membedakan orang dan akan berlaku
dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, seperti
layaknya   bagi   seorang   Panitera/Wakil   Panitera/Panitera   Muda/Panitera
Pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".

                                Pasal 39

Tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja keparliteraan
Pengadilan diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.

                           Bagian Ketiga
                              Sekretaris

                                Pasal 40

Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya sekretariat       yang       dipimpin   oleh
seorang Sekretaris dan dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris.

                                Pasal 41

Jabatan Sekretaris Pengadilan dirangkap oleh Panitera.

                                Pasal 42

Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Tata Usaha Negara,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.    warga negara Indonesia;

b.    bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c.    setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

d.    serendah-rendahnya   berijazah   sadana   muda   hukum   atau   sarjana    muda
      administrasi;

e.    berpengalaman di bidang administrasi peradilan.

                                Pasal 43

Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a.    syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf a, huruf b,
      huruf c, dan huruf e;

b.    berijazah sadana hukum atau sarjana administrasi.
                               Pasal 44

Wakil Sekretaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kehakiman.

                               Pasal 45

Sebelum memangku jabatannya, Sekretaris, Wakil Sekretaris diambil sumpah atau
janjinya menurut agama atau kepercayaannya oleh Ketua Pengadilan yang
bersangkutan; bunyi sumpah atau janji itu adalah sebagai berikut Saya
bersumpah/berjanji :

"bahwa saya, untuk diangkat menjadi Sekretaris/Wakil Sekretaris, akan setia
dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, negara, dan
pemerintah".

"bahwa saya akan menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh
pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab."

"bahwa saya akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah,
dan martabat Sekretaris/Wakil Sekretaris, serta akan senantiasa mengutamakan
kepentingan negara daripada kepentingan sendiri, seseorang atau golongan".

"bahwa saya akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut
perintah harus saya rahasiakan".

"bahwa saya akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk
kepentingan negara".

                               Pasal 46

(1)   Sekretaris Pengadilan   bertugas    menyelenggarakan    administrasi    umum
      Pengadilan.

(2)   Tugas serta tanggung jawab, susanan organisasi, dan            tata    kerja
      sekretariat diatur lebih lanjut oleh Menteri Kehakiman.

                                BAB III

                   KEKUASAAN PENGADILAN

                               Pasal 47

Pengadilan bertugas dan berwenang     memeriksa,   memutus,   dan   menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara.

                               Pasal 48


(1)   Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang
      oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan
      secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka batal
      atau tidak sah, dengan atau tanpa       disertai   tuntutan   ganti   rugi
      dan/administratif yang tersedia.

(2)   Pengadilan   baru  berwenang   memeriksa,  memutus,   dan  menyelesaikan
      sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika
      seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.

                              Pasal 49

Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa
Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu
dikeluarkan :

a.    dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan
      luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan
      yang berlaku;

b.    dalam keadaan mendesak untuk kepentingan    umum   berdasarkan   peraturan
      perundang-undangan yang berlaku.

                              Pasal 50

Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat pertama.

                              Pasal 51

(1)   Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa
      dan memutus sengketa Tata Usaha Negara di tingkat banding.

(2)   Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga bertugas dan berwenang
      memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa
      kewenangan mengadili antara Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam
      daerah hukumnya.

(3)   Pengadilan Tinggi Tata Usaha Ngara bertugas dan berwenang memeriksa,
      memutus, dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa Tata Usaha
      Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.

(4)   Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara          sebagaimana
      dimaksud dalam ayat (3) dapat diajukan permohonan kasasi.

                              Pasal 52

(1)   Ketua Pengadilan melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas          dan
      tingkah laku Hakim, Panitera, dan Sekretaris di daerah hukumnya.

(2)   Selain tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Ketua Pengadilan
      Tinggi Tata Usaha Negara di daerah hukumnya melakukan pengawasan
      terhadap jalannya peradilan di tingkat Pengadilan Tata Usaha Negara dan
      menjaga agar peradilan diselenggarakan dengan saksama dan sewajarnya.

(3)   Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
      ayat (2) Ketua Pengadilan dapat     memberikan   petunjuk,   teguran,    dan
      peringatan yang dipandang perlu.

(4)   Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
      tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksaa dan memutus
      sengketa Tata Usaha Negara.

                                BAB IV

                           HUKUM ACARA

                        Bagian Pertama
                               Gugatan

                              Pasal 53

(1)   Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan
      oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan
      tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar
      Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal
      atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan gati rugi dan/atau
      rehabilitasi.

(2)   Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud
      dalam ayat (1) adalah :

      a.   Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
           peraturan perundang-undangan yang berlaku;
      b.   Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan
           keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan
           wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang
           tersebut;
      c.   Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau
           tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
           setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan
           keputsan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak
           pengambilan keputusan tersebut.

                              Pasal 54

(1)   Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan           yang
      berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.

(2)   Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
      dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan, gugatan
      diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
      kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

(3)   Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah hukum
      Pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke
      Pengadilan yang daerah hukummnya meliputi tempat kediaman penggugat
      untuk selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.

(4)   Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara
      yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan
      dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya
      meliputi tempat kediaman penggugat.

(5)   Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri,
      gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.

(6)   Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat di luar
      negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan
      tergugat.

                              Pasal 55

Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan        puluh   hari
terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan      Badan   atau
Pejabat Tata Usaha Negara.

                              Pasal 56

(1)   Gugatan harus memuat :
      a.    nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat,
            atau kuasanya;
      b.    nama, jabatan, dan tempat kedudukan tergugat;
      c.    dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh
            Pengadilan.
(2)   Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa penggugat,
      maka gugatan harus disertai surat kuasa yang sah.
(3)   Gugatan sedapat mungkin juga disertai Keputusan Tata Usaha Negara. yang
      disengketakan oleh penggugat.

                              Pasal 57

(1)   Para pihak yang bersengketa masing-masing dapat       didampingi    atau
      diwakili oleh seorang atau beberapa orang kuasa.

(2)   Pemberian kuasa dapat dilakukan dengan surat kuasa khusus atau dapat
      dilakukan secara lisan di persidangan.

(3)   Surat kuasa yang dibuat di luar negeri bentuknya harus memenuhi
      persyaratan di negara yang bersangkutan dan diketahui oleh Perwakilan
      Republik Indonesia di negara tersebut, serta kemudian diterjemaahkan ke
      dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi.

                              Pasal 58

Apabila dipandang perlu Hakim berwenang memerintahkan kedua belah pihak yang
bersengketa datang menghadap sendiri ke persidangan, sekalipun sudah diwakili
oleh seorang kuasa.

                              Pasal 59

(1)   Untuk mengajukan gugatan, penggugat membayar uang muka biaya perkara,
      yang besarnya ditaksir oleh Panitera Pengadilan.
(2)   Setelah penggugat membayar uang muka biaya perkara, gugatan dicatat
      dalam daftar perkara oleh Panitera Pengadilan.
(3)   Selambat-lambatnya dalam jangka waktu tiga puluh hari sesudah gugatan
      dicatat, Hakim menentukan hari, jam, dan tempat persidangan, dan
      menyuruh memanggil kedua belah pihak untuk hadir pada waktu dan tempat
      yang ditentukan.
(4)   Surat panggilan kepada tergugat disertai sehelai salinan gugatan dengan
      pemberitahuan bahwa gugatan itu dapat dijawab dengan tertulis.

                              Pasal 60

(1)   Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan untuk
      bersengeketa dengan cuma-cuma.
(2)   Permohonan diajukan pada waktu penggugat mengajukan gugatannya disertai
      dengan surat keterangan tidak mampu dari kepala desa atau lurah di
      tempat kediaman pemohon.
(3)   Dalam keterangan tersebut harus dinyatkan bahwa pemohon itu betul-betul
      tidak mampu membayar biaya perkara.


                              Pasal 61

(1)   Permohonan gebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 harus diperiksa dan
      ditetapkan oleh Pengadilan sebelum pokok sengketa diperiksa.
(2)   Penetapan ini diambil di tingkat pertama dan terakhir.
(3)   Penetapan Pengadilan yang telah mengabulkan permohonan penggugat untuk
      bersengketa dengan cuma-cuma di tingkat pertama, juga berlaku di
      tingkat banding dan kasasi.

                              Pasal 62

(1)   Dalam rapat permusyawaratan, Ketua Pengadilan berwenang memutuskan
      dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan
      bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak
      berdasar, dalam hal :
      a.    pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang
            Pengadilan;
      b.    syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak
            dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberi tahu dan
            diperringatkan;
      c.    gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak;
      d.    apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh
            Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat;
      e.    gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.

(2)   a.   Penetapan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) diucapkan dalam rapat
      permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan dengan memanggil
      kedua belah pihak untuk mendengarkannya;
      b.    Pemanggilan kedua belah pihak dilakukan dengan surat tercatat
            oleh Panitera Pengadilan atas perintah Ketua Pengadilan.

(3)   a.   Terhadap penetapan sebgaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
           diajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam tenggang waktu empat
           belas hari setelah diucapkan;

      b.   Perlawanan tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
             dimaksud dalam Pasal 56.

(4)    Perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diperiksa dan diputus
       oleh Pengadilan dengan acara singkat.

(5)    Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan, maka
       penetapan sebgaimana dimaksud dalmn ayat (1) gugur demi hukum dan pokok
       gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa.

(6)    Terhadap putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya
       hukum.

                                Pasal 63

(1)    Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib mengadakan
       pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas.

(2)    Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Hakim:
       a.    wajib memberi nasihar kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan
             dan melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu
             tiga puluh hari;
       b.    dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha
             Negara yang bersangkutan.

(3)    Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a
       penggugat belum menyempurnakan gugatan, maka Hakim menyatakan dengan
       putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima.

(4).   Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)         tidak   dapat
       digunakan upaya hukum, tetapi dapat diajukan gugatan baru.

                                Pasal 64

(1)    Dalam menentukan hari sidang, Hakim harus mempertimbangkan            jauh
       dekatnya tempat tinggal kedua belah pihak dari tempat persidangan.

(2)    Jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari
       enam hari, kecuali dalam hal sengketa tersebut harus diperiksa dengan
       acara cepat sebagaimana diatur dalam Bagian Kedua Paragraf 2.

                                Pasal 65

Panggilan terhadap pihak yang bersangkutan dianggap sah, apabila masing-
masing telah menerima surat panggilan yang dikirimkan dengan surat tercatat.

                                Pasal 66

(1)    Dalam hal salah satu pihak berkedudukan atau berada di luar wilayah
       Republik Indonesia, Ketua Pengadilan yang bersangkutan melakukan
       pemanggilan dengan cara meneruskan surat penetapan hari sidang beserta
       salinan gugatan tersebut kepada Departemen Luar Negeri Republik
       Indonesia.
(2)   Departemen Luar Negeri segera menyampaikan surat penetapan hari sidang
      beserta salinan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melalui
      Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dalain wilayah tempat yang
      bersangkutan berkedudukan atau berada.

(3)   Petugas Perwakilan Republik Indonesia dalam jangka waktu tujuh hari
      sejak dilakukan pemanggilan tersebut, wajib memberi laporan kepada
      Pengadilan yang bersangkutan.

                               Pasal 67

(1)   Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan
      atau Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata
      Usaha Negara yang digugat.

(2)   Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan Keputusan Tata
      Usaha Negara itu ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara
      sedang berjalan, sampai ada putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan
      hukum tetap.

(3)   Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diajukan sekaligus
      dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketanya.

(4)   Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) :

      a.    dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat
            mendesak   yang   mengakibatkan   kepentingan  penggugat   sangat
            dirugikan jika Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tetap
            dilaksanakan;

      b.    tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka
            pembangunan mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut.

                           Bagian Kedua
Pemeriksaan di Tingkat Pertama

                                   Paragraf 1
                        Pemeriksaan Dengan Acara Biasa

                                   Pasal 68

(1)   Pengadilan memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara dengan tiga
      orang Hakim.
(2)   Pengadilan bersidang pada hari yang ditentukan dalam surat panggilan.
(3)   Pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dalam persidangan dipimpin oleh
      Hakim Ketua Sidang.
(4)   Hakim Ketua Sidang wajib menjaga supaya tata tertib dalam persidangan
      tetap ditaati setiap orang dan segala perintahnya dilaksanakan dengan
      baik.

                               Pasal 69

(1)   Dalam ruang sidang setiap orang wajib menunjukkan sikap, perbuatan,
      tingkah laku, dan ucapan yang menjungjung tinggi wibawa, martabat, dan
      kehormatan Pengadilan dengan menaati tata tertib persidangan.

(2)   Setiap orang yang tidak menaati tata tertib persidangan sebagaimana
      dimaksud dalam ayat (1), setelah mendapat peringatan dari dan atas
      perintah Hakim Ketua Sidang, dikeluarkan dari ruang sidang.

(3)   Tindakan   Hakim  Ketua   Sidang   terhadap   pelanggaran  tata   tertib
      sebagaimana ditnaksud dalam ayat (2), tidak mengurangi kemungkinan
      dflakukan penuntutan, jika pelanggaran itu merupakan tindak pidana.

                               Pasal 70

(1)   Untuk keperluan pemeriksaan, Hakiin Ketua Sidang membuka sidang dan
      menyatakannya terbuka uuntuk umum.

(2)   Apabila Majehs Hakim memandang bahwa sengketa yang disidangkan
      menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan dapat
      dinyatakan tertutup untuk umum.

(3)   Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
      menyebabkan batalnya putusan demi hukum.

                               Pasal 71

(1)   Dalam hal penggugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan pada hari
      pertama dan pada hari yang ditentukan dalam panggilan yang kedua tanpa
      alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, meskipun setiap kali dipanggil
      dengan patut, gugatan dinyatakan gugur dan penggugat harus membayar
      biaya perkara.

(2)   Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penggugat berhak
      memasukkan gugatannya sekali lagi sesudah membayar uang muka biaya
      perkara.

                               Pasal 72

(1)   Dalam hal tergugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan dua kali
      sidang berturut-turut dan/atau tidak menanggapi gugatan tanpa alasan
      yang dapat dipertanggujawabkan meskipun setiap kali telah dipanggil
      dengan patut, maka Hakim Ketua Sidang dengan Surat penetapan meminta
      atasan tergugat memerintahkan tergugat badir dan/atau menanggapi
      gugatan.

(2)   Dalam hal setelah lewat dua bulan sesudah dikirimkan dengan Surat
      tercatat penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diterima
      berita, baik dari atasan tergugat maupun dari tergugat, maka Hakim
      Ketua Sidang menetapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan sengketa
      dilanjutkan menurut acara biasa, tanpa hadirnya tergugat.

(3)   Putusan   terhadap  pokok   gugatan  dapat   dijatuhkan  hanya   setelah
      pemeriksaan mengenai segi pembuktiannya dilakukan secara tuntas.

                               Pasal 73
(1)   Dalam hal terdapat lebih dari seorang tergugat dan seorang atau lebih
      di antara mereka atau kuasanya tidak hadir di persidangan tanpa alasan
      yang dapat dipertanggungjawabkan, pemeriksaan sengketa itu dapat
      ditunda sampai hari sidang yang ditentukan Hakim Ketua Sidang.

(2)   Penundaan sidang itu diberitahukan kepada pihak yang hadir, sedang
      terhadap pihak yang tidak hadir oleh Hakim Ketua Sidang diperintahkan
      untuk dipanggil sekali lagi.
(3)   Apabila pada hari penundaan sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
      tergugat atau kuasanya masih ada yang tidak hadir, sidang dilanjutkan
      tanpa kehadirannya.

                              Pasal 74

(1)   Pemeriksaan sengketa dimulai dengan membacakan isi gugatan dan surat
      yang memuat jawabannya oleh Hakim Ketua Sidang, dan jika tidak ada
      surat jawaban, pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan
      jawabannya.

(2)   Hakim Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk
      menjelaskan seperlunya hal yang diajukan oleh mereka masing-masing.

                              Pasal 75

(1)   Penggugat dapat mengubah alasan yang mendasari gugatan hanya sampai
      dengan replik, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan
      kepentingan tergugat, dan hal tersebut harus saksaina oleh Hakim.

(2)   Tergugat dapat mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya sampai
      dengan duplik, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan
      kepentingan penggugat dan hal tersebut harus dipertimbangkan dengan
      saksama oleh Hakim.

                              Pasal 76

(1)   Penggugat dapat sewaktu-waktu      mencabut   gugatannya   sebelum   tergugat
      memberikan jawaban.

(2)   Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan
      gugatan,oleh penggugat akan dikabulkan oleh Pangadilan hanya apabila
      disetujui tergugat.

                              Pasal 77

(1)   Eksepsi tentang kewenangan absolut Pengadilan dapat diajukan setiap
      waktu selama pemeriksaan, dan meskipun tidak ada eksepsi tentang
      kewenangan absolut Pengadilan apabila Hakim mengetahui hal itu, ia
      karena jabatannya wajib menyatakan bahwa Pangadilan tidak berwenang
      mengadili sengketa yang bersangkutan.

(2)   Eksepsi   tentang  kewenangan   relatif   Pengadilan diajukan sebelum
      disampaikan jawaban atas pokok sengketa, dan eksepsi tersebut harus
      diputus sebelum pokok sengketa diperiksa.
(3)   Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan    Pengadilan   hanya   dapat
      diputus bersama dengan pokok sengketa.

                              Pasal 78

(1)   Seorang Hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat
      hubungan keluarga sedarah, atau semenda sampai derajat ketiga, atau
      hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai, dengan salah
      seorang Hakim Anggota atau Panitera.

(2)   Seorang Hakim atau Panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan
      apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semanda sampai derajat
      ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai dengan
      tergugat, penggugat atau penasihat hukum.

(3)   Hakim atau Panitera sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
      harus diganti, dan apabila tidak diganti atau tidak mengundurkan diri
      sedangkan sengketa telah diputus, maka sengketa tersebut wajib segera
      diadili ulang dengan susunan yang lain.

                              Pasal 79

(1)   Seorang Hakim atau Panitera wajib mengundurkan diri apabila           ia
      berkepentingan langsung atau tidak langsung atas suatu sengketa.

(2)   Pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan
      atas kehendak Hakim atau Panitera, atau atas permintaan salah satu atau
      pihak-pihak yang bersengketa.

(3)   Apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat mengenai hal sebagaimana
      dimaksud dalam ayat (2) maka pejabat Pengadilan yang berwenang yang
      menetapkan.

(4)   Hakim atau Panitera sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
      harus diganti dan apabila tidak diganti atau tidak mengundurkan diri
      sedangkan sengketa telah diputus, maka sengketa tersebut wajib segera
      diadili ulang dengan susunan yang lain.

                              Pasal 80

Demi kelancaran pemeriksaan sengketa, Hakim Ketua Sidang berhak di dalam
sidang memberikan petunjuk kepada para pihak yang bersengketa mengenai upaya
hukum dan alat bukti yang dapat digunakan oleh mereka dalam sengketa.

                              Pasal 81

Dengan izin Ketua Pengadilan, penggugat, tergugat, dan penasihat hukum dapat
mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di
kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya.

                              Pasal 82
Para pihak yang bersangkutan dapat membuat atau menyuruh membuat salinan atau
petikan segala surat pemeriksaan perkaranya, dengan biaya sendiri setelah
memperoleh izin Ketua Pengadilan yang bersangkutan.

                              Pasal 83

(1)   Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam
      sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas
      prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa
      Hakim, dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak
      sebagai :
      a.    pihak yang membela haknya; atau
      b.    peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.

(2)   Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikabulkan atau
      ditolak oleh Pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam berita
      acara sidang.

(3)   Permohonan banding terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud
      dalam ayat (2) tidak dapat diajukan tersendiri, tetapi harus bersama-
      sama dengan permohonan banding terhadap putusan akhir dalam pokok
      sengketa.

                              Pasal 84

(1)   Apabila dalam persidangan seorang kuasa melakukan tindakan yang
      melampaui batas wewenangnya, pemberi kuasa dapat mengajukan sangkalan
      secara tertutis disertai tuntutan agar tindakan kuasa tersebut
      dinyatakan batal oleh Pengadilan.

(2)   Apabila sangkalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, maka
      Hakim wajib menetapkan dalam putusan yang dimuat dalam berita acara
      sidang bahwa tindakan kuasa itu dinyatakan batal dan selanjutnya
      dihapus dari berita acara pemeriksaan.

(3)   Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)          dibacakan   dan/atau
      diberitahukan kepada para pihak yang bersangkutan.

                              Pasal 85

(1)   Untuk kepentingan pemeriksaan dan apabila Hakim Ketua Sidang memandang
      perlu ia dapat memerintahkan pemeriksaan terhadap surat yang dipegang
      oleh Pejabat Tata Usaha Negara, atau pejabat lain yang menyimpan surat,
      atau   meminta   penjelasan   dan  keterangan   tentang  sesuatu   yang
      bersangkutan dengan sengketa.

(2)   Selain hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Hakim Ketua Sidang dapat
      memerintahkan   pula   supaya   surat  tersebut   diperlihatkan   kepada
      Pengadilan dalam persidangan yang akan ditentukan untuk keperluan itu.

(3)   Apabila surat itu merupakan bagian dari sebuah daftar, sebelum
      diperlihatkan oleh penyimpannya, dibuat salinan surat itu sebagai ganti
      yang asli selama surat yang asli belum diterima kembali dari
      Pengadilan.
(4)    Jika pemeriksaan tentang benarnya suatu surat menimbulkan persangkaan
       terhadap orang yang masih hidup bahwa surat itu dipalsukan olehnya,
       Hakim Ketua Sidang dapat mengirimkan surat yang bersangkutan ini kepada
       penyidik yang berwenang, dan pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara
       dapat ditunda dahulu sampai putusan perkara pidananya dijatuhkan.

                                Pasal 86

(1)    atas permintaan salah satu pihak, atau karena jabatannya, Hakim Ketua
       Sidang   dapat  memerintahkan seorang  saksi   untuk  didengar  dalam
       persidangan.

(2)    Apabila    saksi    tidak    datang   tanpa    alasan    yang   dapat
       dipertanggungjawabkan meskipun telah dipanggil dengan patut dan Hakim
       cukup mempunyai alasan untuk menyangka bahwa saksi sengaja tidak
       datang, Hakim Ketua Sidang dapat memberi perintah supaya Saki dibawa
       oleh polisi ke persidangan.

(3)    Seorang saksi yang tidak bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan
       yang bersangkutan tidak diwajibkan datang di Pangadilan tersebut,
       tetapi pemeriksaan saksi itu dapat diserahkan kepada Pengadilan yang
       daerah hukumnya meliputi tempat kediaman saksi.

                                Pasal 87

(1)    Saksi dipanggil ke persidangan seorang demi seorang.

(2)    Hakim Ketua Sidang menanyakan kepada saksi nama lengkap, tempat lahir,
       umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kewarganegaraan, tempat
       tinggal,  agama   atau   kepercayaannya,  pekerjaan,  derajat hubungan
       keluarga, dan hubungan kerja dengan penggugat atau tergugat.

(3)    Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji
       menurut agama atau kepercayaannya.

                                Pasal 88

Yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah :

a.     Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas
       atau ke bawah sampai derajat ke dua dari salah satu pihak yang
       bersengketa;

b.     isteri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah
       bercerai;

c.     anak yang belum berusia tujuh belas tahun;
d.    orang sakit ingatan.

                                Pasal 89

(1)    Orang yang dapat minta pengunduran diri dari kewajiban untuk memberikan
      kesaksian ialah :

      a.    saudara laki-laki   dan   perempuan,   ipar   laki-laki   dan   perempuan
            salah satu pihak;

      b.    setiap orang yang karena martabat, pekerjaan, atau jabatannya
            diwajibkan merahasikan segala sesuatu yang berhubungan dengan
            martabat, pekerjaan, atau jabatannya itu.

(2)   Ada atau tidak adanya dasar kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu
      sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, diserahkan kepada
      pertimbangan Hakim.

                                Pasal 90

(1)   Pertanyaan yang diajukan kepada saksi oleh salah satu pihak disampaikan
      melalui Hakim Ketua Sidang.

(2)   Apabila pertanyaan tersebut menurut pertimbangan Hakim Ketua             Sidang
      tidak ada kaitannya dengan sengketa, pertanyaan itu ditolak.

                                Pasal 91

(1)   Apabila penggugat atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, Hakim Ketua
      Sidang dapat mengangkat seorang ahli alih bahasa.

(2)   Sebelum   melaksanakan  tugasnya  ahli   alih  bahasa   tersebut  wajib
      mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya untuk
      mengalihkan bahasa yang dipahami oleh penggugat atau saksi sebagaimana
      dimaksud dalam ayat (1) ke dalam bahasa Indonesia dan sebaliknya dengan
      sebaik-baiknya.

(3)   Orang yang menjadi saksi dalam sengketa tidak boleh ditunjuk sebagai
      ahli alih bahasa dalam sengketa tersebut.

                                Pasal 92

(1)   Dalam hal penggugat atau saksi bisu, dan/atau tuli dan tidak dapat
      menulis, Hakim Ketua Sidang dapat mengangkat orang yang pandai bergaul
      dengan penggugat atau saksi sebagai juru bahasa.

(2)   Sebelum melaksanakan tugasnya juru bahasa sebagaimana dimaksud dalam
      ayat (1) wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau
      kepercayaannya.

(3)   Dalam hal penggugat atau saksi bisu dan/atau tuli tetapi pandai
      menulis, Hakim Ketua Sidang dapat menyuruh menuliskan pertanyaan atau
      teguran kepadanya, dan menyuruh menyampaikan tulisan itu kepada
      penggugat atau saksi tersebut dengan perintah agar ia menuliskan
      jawabannya, kemudian segala pertanyaan dan jawaban harus dibacakan.

                                Pasal 93
Pejabat yang dipanggil sebagai saksi wajib datang sendiri di persidangan.

                               Pasal 94

(1)   Saksi wajib mengucapkan sumpah      atau janji dan di dengar      dalam
      persidangan  Pengadilan dengan      dihadiri oleh para pihak       yang
      bersengketa.

(2)   Apabila yang bersengketa telah dipanggil secara patut, tetapi tidak
      datang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka saksi dapat
      di dengar keterangannya tanpa hadirnya pihak yang bersengketa.

(3)   Dalam hal saksi yang akan didengar tidak dapat hadir di persidangan
      karena halangan yang dapat dibenarkan oleh hukum, Hakim dibantu oleh
      Panitera datang di tempat kediaman saksi untuk mengambil sumpah atau
      janjinya dan mendengar saksi tersebut.

                               Pasal 95

(1)   Apabila suatu sengketa tidak dapat diselesaikan pada suatu hari
      persidangan, pemerficsaan dflanjutkan pada hari persidangan berikutnya.

(2)   Lanjutan sidang harus diberitahukan kepada kedua belah pihak, dan bagi
      mereka pemberitahuan ini disamakan dengan panggilan.

(3)   Dalam hal salah satu pihak yang datang pada hari persidangan pertama
      ternyata tidak datang pada hari persidangan selanjutnya Hakim Ketua
      Sidang menyuruh memberitahukan kepada pihak tersebut waktu, hari, dan
      tanggal persidangan berikutnya.

(4)   Dalam hal pihak sebagaimana dalam ayat (3) tetap tidak hadir tanpa
      alasan yang dapat dipertanggungjawabkan sekalipun ia telah diberitahu
      secara patut, maka pemeriksaan dapat dilanjutkan tanpa kehadirannya.

                               Pasal 96

Dalam hal selama pemeriksaan sengketa ada tindakan yang harus dilakukan dan
memerlukan biaya, biaya tersebut harus dibayar dahulu oleh pihak yang
mengajukan permohonan untuk dilakukannya tindakan tersebut.

                               Pasal 97

(1)   Dalam hal pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan, kedua belah pihak
      diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat yang terakhir berupa
      kesimpulan masing-masing.

(2)   Setelah kedua belah pihak mengemukakan kesimpulan sebagaimana dimaksud
      dalam ayat (1), maka Hakim Ketua Sidang menyatakan bahwa sidang ditunda
      untuk memberikan kesempatan kepada Majelis Hakim bermusyawarah dalam
      ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan
      sengketa tersebut.

(3)   Putusan dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis
       merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali jika setelah diusahakan
       dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakatan bulat, putusan
       diambil dengan suara terbanyak.

(4)    Apabila musyawarah majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak
       dapat menghasilkan putusan, permusyawaratan ditunda sampai musyawarah
       majelis berikutanya.

(5)    Apabil dalam musyawarah majelis berikutnya tidak dapat diambil suara
       terbanyak, maka suara terakhir Hakim Ketua Majelis yang menentukan.

(6)    Putusan Pengadilan dapat dijatuhkan pada hari itu juga dalam sidang
       yang terbuka untuk umum, atau ditunda pada hari lain yang harus
       diberitahukan kepada kedua belah pihak.

(7)    Putusan Pengadilan dapat berupa :
       a.    gugatan ditolak;
       b.    gugatan dikabulkan;
       c.    gugatan tidak diterima;
       d.    gugatan gugur.

(8)    Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan Pengadilan tersebut
       dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat
       Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara.

(9)    Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) berupa :
       a.    pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan; atau
       b.    pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan
             menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau
       c.    penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan
             didasarkan pada Pasal 3.

(10)   Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat disertai pembebanan
       ganti rugi.

(11)   Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8)
       menyangkut kepegawaian, maka di samping kewajiban sebagaimana dimaksud
       dalam ayat (9) dan ayat (10), dapat disertai pemberian rehabilitasi.

                              Paragraf 2
                         Pemeriksaan Dengan Acara Cepat

                                    Pasal 98

(1)    Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus
       dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya, penggugat dalam
       gugatannya dapat memohon kepada Pengadilan supaya pemeriksaan sengketa
       dipercepat.

(2)    Ketua   Pengadilan  dalam  jangka   waktu  empat  belas   hari  setelah
       diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengeluarkan
       penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan
       tersebut.
(3)   Terhadap penetapan sebagaimana      dimaksud   dalam   ayat   (2)   tidak   dapat
      digunakan upaya hukum.

                               Pasal 99

(1)   Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan dengan Hakim Tunggal.

(2)   Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1)
      dikabulkan, Ketua Pengadilan dalam jangka waktu tujuh hari setelah
      dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat
      (2)menentukan hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur
      pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63.

(3)   Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak,
      masing-masing ditentukan tidak melebihi empat belas hari.

                          Bagian Ketiga
                             Pembuktian

                              Pasal 100

(1)   Alat bukti ialah :
      a.    surat atau tulisan;
      b.    keterangan ahli;
      c.    keterangan saksi;
      d.    pengakuan para pihak;
      e.    pengetahuan Hakim.

(2)   Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.

                              Pasal 101

Surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis ialah :
a.    akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang
      pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang
      membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti
      tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya;

b.    akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh
      pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai
      alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di
      dalamnya;

c.    surat-surat lainnya yang bukan akta.

                              Pasal 102

(1)   Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah
      dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan
      pengetahuannya.

(2)   Seseorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi berdasarkan Pasal 88
      tidak boleh memberikan keterangan ahli.
                               Pasal 103

(1)   Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena
      jabatannya Hakim Ketua Sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa
      orang ahli.

(2)   Seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik dengan
      surat maupun dengan lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji
      menurut kebenaran sepanjang pengetahuannya yang sebaik-baiknya.

                               Pasal 104

Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan
dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar oleh saksi sendiri.

                               Pasal 105

Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan
yang kuat dan dapat diterima oleh Hakim.

                               Pasal 106

Pengetahuan   Hakim   adalah   hal   yang   olehnya   diketahui   dan   diyakini
kebenarannya.

                               Pasal 107

Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta
penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-
kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim.

                          Bagian Keempat
                      Putusan Pengadilan

                               Pasal 108

(1)   Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

(2)   Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu
      putusan Pengadilan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua Sidang salinan
      putusan itu disampaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan.

(3)   Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      berakibat putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan
      hukum.

                               Pasal 109

(1)   Putusan Pengadilan harus memuat :
      a.    Kepala putusan yang berbunyi : "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
            KETUHANAN YANG MAHA ESA";
      b.    nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat
            kedudukan para pihak yang bersengketa;
      c.    ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
      d.    pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal
            yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
      e.    alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
      f.    amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara;
      g.    hari, tanggal putusan, nama Hakim yang memutus, nama Panitera,
            serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.

(2)   Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
      (1) dapat menyebabkan batalnya putusan Pengadilan.

(3)   Selambat-lambatnya   tiga   puluh  hari   sesudah  putusan   Pengadilan
      diucapkan, putusan itu harus ditandatangani oleh Hakim yang memutus dan
      Panitera yang turut bersidang.

(4)   Apabila Hakim Ketua Majelis atau dalam hal pemeriksaan dengan acara
      cepat Hakim Ketua Sidang berhalangan menandatangani, maka putusan
      Pengadilan ditandatangani oleh Ketua Pengadilan dengan menyatakan
      berhalangannya Hakim Ketua Majelis atau Hakim Ketua Sidang tersebut.

(5)   Apabila Hakim Anggota Majelis berhalangan menandatangani, maka putusan
      Pangadilan ditandatangani oleh Hakim Ketua Majelis dengan menyatakan
      berhalangannya Hakim Anggota Majelis tersebut.

                              Pasal 110

Pihak yang dikalahkan untuk seluruhnya atau sebagian dihukum membayar biaya
perkara.

                              Pasal 111

Yang termasuk dalam biaya perkara ialah :

a.    biaya kepaniteraan dan biaya meterai;

b.    biaya saksi, ahli, dan alih bahasa dengan catatan bahwa pihak yang
      meminta pemeriksaan lebih dari lima orang saksi harus membayar biaya
      untuk saksi yang lebih itu meskipun pihak tersebut dimenangkan;

c.    biaya pemeriksaan di tempat lain dari ruangan sidang dan biaya lain
      yang diperlukan bagi pemutusan sengketa atas perintah Hakim Ketua
      Sidang.

                              Pasal 112

Jumlah baiya perkara yang harus dibayar oleh     penggugat   dan/atau   tergugat
disebut dalam amar putusan akhir Pengadilan.

                              Pasal 113

(1)   Putusan Pengadilan yang bukan putusan akhir meskipun diucapkan dalam
      sidang, tidak dibuat sebagai putusan tersendiri melainkan hanya
      dicantumkan dalam berita acara sidang.

(2)   Pihak yang berkepentingan langsung dengan putusan Pengadilan dapat
      meminta supaya diberikan kepadanya salinan resmi putusan itu dengan
      membayar biaya salinan.

                              Pasal 114

(1)   Pada setiap pemeriksaan, Panitera harus membuat berita acara sidang
      yang memuat segala sesuatu yang terjadi dalam sidang.

(2)   Berita acara sidang ditandatangani oleh Hakim Ketua Sidang dan
      Panitera; apabila salah seorang dari mereka berhalangan, maka hal itu
      dinyatakan dalam berita acara tersebut.

(3)   Apabila Hakim Ketua Sidang dan panitera berhalangan menandatangani,
      maka   berita  acara   ditandatangani  oleh   Ketua  Pengadilan   dengan
      menyatakan berhalangannya Hakim Ketua Sidang dan Panitera tersebut.

Bagian Kelima Pelaksanaan Putusan Pengadilan

                              Pasal 115

Hanya putusan Pengadilan   yang   telah   memperoleh   kekuatan   hukum   tetap   yang
dapat dilaksanakan.

                              Pasal 116

(1)   Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
      dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera
      Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya
      dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari.

(2)   Dalam hal empat bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh
      kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan
      tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 97 ayat (9) huruf a, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang
      disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.

(3)   Dalam   hal   tergugat   ditetapkan   harus  melaksanakan   kewajibannya
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan
      kemudian   setelah  tiga   bulan   ternyata  kewajiban  tersebut   tidak
      dilaksanakannya, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua
      Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), agar Pengadilan
      memerintahkan tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.

(4)   Jika tergugat masih tetap tidak mau melaksanakannya, Ketua Pengadilan
      mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan.

(5)   Instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dalam waktu dua
      bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah
      memerintahkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) melaksanakan
      putusan Pengadilan tersebut.
(6)   Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak
      mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), maka Ketua
      Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang
      kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut
      melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.

                             Pasal 117

(1)   Sepanjang mengenai kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat
      (11) apabila tergugat tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna
      malaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
      tetap disebabkan oleh berubahnya keadaan yang terjadi setelah putusan
      Pengadilan dijatuhkan dan/atau memperoleh kekautan hukum tetap, ia
      wajib memberitahukan hal itu kepada Ketua Pengadilan sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) dan penggugat.

(2)   Dalam waktu tiga puluh hari setelah menerima pemberitahuan sebagaimana
      dimaksud dalam ayat (1) penggugat dapat mengajukan permohonan kepada
      Ketua Pengadilan yang telah mengirimkan putusan. Pengadilan yang telah
      memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut agar tergugat dibebani
      kewajiban   membayar  sejumlah   uang   atau   kompensasi  lain   yang
      diinginkannya.

(3)   Ketua Pengadilan setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud dalam
      ayat (2) memerintahkan memanggil kedua belah pihak untuk mengusahakan
      tercapainya persetujuan tentang jumlah uang atau kompensasi lain yang
      harus dibebankan kepada tergugat.

(4)   Apabila setelah diusahakan untuk mencapai persetujuan tetatapi tidak
      dapat diperoleh kata sepakat mengenai jumlah uang atau kompensasi lain
      tersebut, Ketua Pengadilan dengan penetapan yang disertai pertimbangan
      yang cukup menentukan jumlah uang atau kompensasi lain yang dimaksud.

(5)   Penetapan Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dapat
      diajukan baik oleh penggugat maupun oleh tergugat kepada Mahkamah Agung
      untuk ditetapkan kembali.

(6)   Putusan Mahkamah Agung sebagaimana   dimaksud   dalam   ayat   (5),   wajib
      ditaati kedua belah pihak.

                             Pasal 118

(1)   Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat
      (1) berisi kewajiban bagi tergugat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97
      ayat (9), ayat (10), dan ayat (11), pihak ketiga yang belum pernah ikut
      serta atau diikutsertakan selama waktu pemeriksaan sengketa yang
      bersangkutan menurut ketentuan Pasal 83 dan ia khawatir kepentingannya
      akan dirugikan dengan dilaksanakannya putusan yang telah memperoleh
      kekuatan hukum tetap itu dapat mengajukan gugatan perlawanan terhadap
      pelaksanaan   putusan  Pengadilan   tersebut  kepada  Pengadilan   yang
      mengadili sengketa itu pada tingkat pertama.

(2)   Gugatan perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya dapat
      diajukan pada saat sebelum putusan Pengadilan yang telah memperoleh
      kekuatan hukum tetap itu dilaksanakan dengan memuat alasan-alasan
      tentang permohonannya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 56; terhadap permohonan perlawanan itu berlaku ketentuan
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dan Pasal 63.

(3)   Gugatan perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dengan
      sendirinya mengakibatkan ditundanya pelaksanaan putusan Pengadilan yang
      telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut.

                             Pasal 119

Ketua Pengadilan wajib mengawasi pelaksanaan putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.

                         Bagian Keenam
                            Ganti Rugi

                             Pasal 120

(1)   Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi
      dikirimkan kepada penggugat dan tergugat dalam waktu tiga hari setelah
      putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

(2)   Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi
      sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikirimkan pula oleh Pengadilan
      kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani kewajiban
      membayar ganti rugi tersebut dalam waktu tiga hari setelah putusan
      Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

(3)   Besarnya ganti rugi beserta tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 97 ayat (10) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
      Pemerintah.

                        Bagian Ketujuh
                          Rehabilitasi

                             Pasal 121

(1)   Dalam hal gugatan yang berkaitan dengan bidang kepegawaian dikabulkan
      sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (11),
      salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban tentang rehabilitasi
      dikirimkan kepada penggugat dan tergugat dalam waktu tiga hari setelah
      putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap.

(2)   Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban tentang rehabilitasi
      sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikirimkan pula oleh Pengadilan
      kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani kewajiban
      melaksanakan rehabilitasi tersebut dalam waktu tiga hari setelah
      putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap.

                      Bagian Kedelapan
        Pemeriksaan di Tingkat Banding
                                 Pasal 122

Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dimintakan pemeriksaan
banding oleh penggugat atau tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara.

                                 Pasal 123

(1)   Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon
      atau kuasanya yang khusus dikuasakan untuk itu kepada Pengadilan Tata
      Usaha Negara yang menjatuhkan putusan tersebut dalam tenggang waktu
      empat belas hari setelah putusan Pengadilan itu diberitahukan kepadanya
      secara sah.

(2)   Permohonan pemeriksaan banding disertai pembayaran uang muka biaya
      perkara banding lebih dahulu, yang besarnya ditaksir oleh Panitera.

                                 Pasal 124

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bukan putusan akhir hanya dapat
dimohonkan pemeriksaan banding bersama-sama dengan putusan akhir.

                                 Pasal 125

(1)   Permohonan   pemeriksaan    banding    dicatat   oleh   Panitera   dalam   daftar
      perkara.

(2)   Panitera memberitahukan hal tersebut kepada pihak terbanding.

                                 Pasal 126

(1)   Selambat-lambatnya tiga puluh hari sesudah permohonan pemeriksaan
      banding dicatat, Panitera memberitahukan kepada kedua belah pihakbahwa
      mereka dapat melihat berkas perkara di kantor Pengadilan Tata Usaha
      Negara dalam tenggang waktu tiga puluh hari setelah mereka menerima
      pemberitahuan tersebut.

(2)   Salinan putusan, berita acara, dan surat lain yang bersangkutan harus
      dikirimkan kepada Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
      selambat-lambatnya enam puluh hari sesudah pernyataan permohonan
      pemeriksaan banding.

(3)   Para pihak dapat menyerahkan memori banding dan/atau kontra memori
      banding serta surat keterangan dan bukti kepada Panitera Pengadilan
      Tinggi Tata Usaha Negara dengan ketentuan bahwa salinan memori dan/atau
      kontra memori diberikan kepada pihak lainnya dengan perantaraan
      Penitera Pengadilan.

                                 Pasal 127

(1)   Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara memeriksa dan              memutus     perkara
      banding dengan sekurang-kurangnya tiga orang Hakim.
(2)   Apabila   Pengadilan   Tinggi   Tata   Usaha   Negara   berpendapat  bahwa
      pemeriksaan   Pengadilan   Tata   Usaha   Negara   kurang   lengkap,  maka
      Pengadilan Tinggi tersebut dapat mengadakan sidang sendiri untuk
      mengadakan pemeriksaan tambahan atau memerintahkan Pengadilan Tata
      Usaha Negara yang bersangkutan melaksanakan pemeriksaan tambahan itu.

(3)   Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang menyatakan tidak
      berwenang memeriksa perkara yang diajukan kepadanya, sedang Pengadilan
      Tinggi Tata Usaha Negara berpendapat lain, Pengadilan Tinggi tersebut
      dapat memeriksa dan memutus sendiri perkara itu atau memerintahkan
      Pengadilan  Tata   Usaha   Negara  yang  bersangkutan   memeriksa  dan
      memutusnya.

(4)   Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam waktu tiga puluh
      hari mengirimkan salinan putusan Pengadilan Tinggi beserta surat
      pemeriksaan dan surat lain kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang
      memutus dalam pemeriksaan tingkat pertama.

                              Pasal 128

(1)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dan Pasal 79 berlaku juga
      bagi pemeriksaan di tingkat banding.

(2)   Ketentuan tentang hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78
      ayat (1) berlaku juga antara Hakim dan/atau Panitera di tingkat banding
      dengan Hakim atau Panitera di tingkat pertama yang telah memeriksa dan
      memutus perkara yang sama.

(3)   Apabila seorang Hakim yang memutus di tingkat pertama kemudian menjadi
      Hakim pada Pengadilan Tinggi, maka Hakim tersebut dilarang memeriksa
      perkara yang sama di tingkat banding.

                              Pasal 129

Sebelum permohonan pemeriksaan banding diputus oleh Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh pemohon, dan
dalam hal permohonan pemeriksaan banding telah dicabut, tidak dapat diajukan
lagi meskipun jangka waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding
belum lampau.

                              Pasal 130

Dalam hal salah satu pihak sudah menerima baik putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara, ia tidak dapat mencabut kembali pernyataan tersebut meskipun jangka
waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum lampau.

                      Bagian Kesembilan
                         Pemeriksaan di Tingkat Kasasi

                                   Pasal 131

(1)   Terhadap   putusan   tingkat   terakhir   Pengadilan   dapat   dimohonkan
      pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung.
(2)   Acara pemeriksaan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
      menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-
      undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

                       Bagian Kesepuluh
         Pemeriksaan Peninjauan Kembali

                              Pasal 132

(1)   Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
      dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

(2)   Acara pemeriksaan peninjauan kembah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat
      (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

                                  BAB V

                         KETENTUAN LAIN

                              Pasal 133

Ketua Pengadilan mengatur pembagian tugas para hakim

                              Pasal 134

Ketua Pengadilan membagikan semua berkas dan/atau surat lainnya yang
berhubungan dengan sengketa yang diajukan ke Pengadilan kepada Majelis Hakim
untuk diselesaikan.

                              Pasal 135

(1)   Dalam hal Pengadilan memeriksa dan memutus perkara Tata Usaha Negara
      tertentu yang memerlukan kealdian khusus, maka Ketua Pengadilan dapat
      menunjuk seorang Hakim Ad Hoc sebagai Anggota Majelis.

(2)   Untuk dapat ditunjuk sebagai Hakim Ad Hoc seseorang harus memenuhi
      syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) kecuali
      huruf e dan huruf f.

(3)   Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c tidak
      berlaku bagi Hakim Ad Hoc.

(4)   Tata cara penunjukkan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan sebagaimana dimaksud
      dalam ayat (1) diatur dengan peraturan Pemerintah.

                              Pasal 136

Ketua Pengadilan menetapkan perkara yang harus diperiksa dan diputus
berdasarkan nomor urut, tetapi apabila terdapat perkara tertentu yang
menyangkut kepentingan umum dan yang harus segera diperiksa, maka pemeriksaan
perkara itu didahulukan.
                               Pasal 137

Panitera Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi perkara                dan
mengatur tugas Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti.

                               Pasal 138

Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti bertugas
membantu Hakim untuk mengikuti dan mencatat jalannya sidang Pengadilan.

                               Pasal 139

(1)   Panitera   wajib   membuat   daftar   semua   perkara    yang   diterima      kepaniteraan.

(2)   Dalam daftar perkara tersebut setiap perkara        diberi   nomor   urut   dan
      dibubuhi catatan singkat tentang isinya.

                               Pasal 140

Panitera membuat sarnan putusan       Pengadilan    menurut   ketentuan    peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

                               Pasal 141

(1)   Panitera bertanggung jawab atas pengurusan berkas perkara, putusan,
      dokumen, akta, buku daftar, biaya perkara, uang titipan pihak ketiga,
      surat-surat berharga, barang bukti, dan surat-surat lainnya yang
      disimpan di kepaniteraan.

(2)   Semua daftar, catatan, risalah, berita acara, serta berkas perkara
      tidak boleh dibawa ke luar ruang kerja kepaniteraan, kecuali atas izin
      Ketua Pengadilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
      yang berlaku.

                                   BAB VI

                    KETENTUAN PERALIHAN

                               Pasal 142

(1)   Sengketa Tata Usaha Negara yang pada saat terbentuknya Pengadilan
      menurut Undang-undang ini belum diputus oleh Pengadilan di lingkungan
      Peradilan Umum tetap diperiksa dan diputus oleh Pengadilan di
      lingkungan Peradilan Umum.

(2)   Sengketa Tata Usaha Negara yang pada saat terbentuknya Pengadilan
      menurut   Undang-undang  ini   sudah  diajukan   kepada Pengadilan di
      lingkungan Peradilan Umum tetapi belum diperiksa, dilimpahkan kepada
      Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.

                               Pasal 143
(1)   Untuk pertama kali pada saat Undang-undang ini mulai       berlaku Menteri
      Kehakiman setelah mendengan pendapat Ketua Mahkamah         Augng mengatur
      pengisian jabatan Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Panitera,     Wakil Panitera,
      Panitera Muda, Panitera Pengganti, dan Wakil Sekretaris    pada Pengadilan
      di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.

(2)   Pengangkatan dalam jabatan Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Panitera, Wakil
      Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti, dan Wakil Sekretaris
      sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menyimpang dari persyaratan
      yang ditentukan dalam Undang-undang ini.

                                  BAB VII

                       KETENTUAN PENUTUP

                                Pasal 144

Undang-undang   ini   dapat   disebut   "Undang-undang   Peradilan   Administrasi
Negara".
                                Pasal 145

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan penerapannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah selambat-lambatnya lima tahun sejak
Undang-undang ini diundangkan.

      Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Disahkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 1986
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 1986
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA


SUDHARMONO, S.H.




       --------------------------------

                                  CATATAN

Kutipan: LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1986 YANG TELAH
DICETAK ULANG


Silahkan download versi PDF nya sbb:
peradilan_tata_usaha_negara_(uu_5_thn_1986)_5.pdf
(ogi/Carapedia)
Pencarian Terbaru

Putusan pengadilan tun menurut pasal 109 uu no 5 thn1986. Saksi dalam uu no.86 tentang ptun mengatur orang orang yang tidak boleh di dengar kesaksiannya.

Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.