Previous
Next
  • Home
  • »
  • Undang-Undang
  • »
  • 1950
  • » Undang-Undang Susunan, Kekuasaan Dan Jalan-pengadilan Mahkamah Agung Indonesia (UU 1 thn 1950)

1950

Undang-Undang Susunan, Kekuasaan Dan Jalan-pengadilan Mahkamah Agung Indonesia (UU 1 thn 1950)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1950 Tentang Susunan, Kekuasaan Dan Jalan-pengadilan Mahkamah Agung Indonesia :
                          UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                                 NOMOR 1 TAHUN 1950
                                       TENTANG
              SUSUNAN, KEKUASAAN DAN JALAN-PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG
                                      INDONESIA

                               PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,

Menimbang:     bahwa untuk melaksanakan Pasal-pasal 113 dan 114, dan apa yang dikehendaki oleh sebagian dari
Pasal 149 Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat, maka perlu diadakan peraturan;

Mengingat:     Pasal 127 bab b Konstitusi;

                                           Dengan Persetujuan
                                      DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

                                              MEMUTUSKAN:


A. Mencabut Peraturan-Peraturan Yang Bertentangan Dengan Undang-Undang Ini
B. Menetapkan Peraturan Sebagai Berikut

  UNDANG-UNDANG TENTANG SUSUNAN, KEKUASAAN DAN JALAN-PENGADILAN MAHKAMAH
                             AGUNG INDONESIA".

                                              BAB I
                                  TEMPAT KEDUDUKAN DAN SUSUNAN.

                                                 Pasal 1
1. Mahkamah Agung Indonesia berkedudukan di Ibukota Republik Indonesia Serikat atau di lain tempat yang
ditetapkan oleh Presiden.
2. Mahkamah Agung Indonesia melaksanakan peradilan atas nama Keadilan.

                                                   Pasal 2
1. Mahkamah Agung Indonesia terdiri atas seorang Ketua, sekurang-kurangnya seorang wakil Ketua dan sekurang-
kurangnya empat orang anggota (Hakim-Agung), dibantu oleh seorang Panitera dan beberapa orang panitera-
pengganti.
2. Jika pada suatu waktu Mahkamah Agung kekurangan anggota untuk menjalankan suatu pekerjaan, maka Panitera
dapat melakukan pekerjaan anggota.
3. Pada Mahkamah Agung adalah seorang Jaksa Agung dan dua orang Jaksa Agung-Muda.

                                                 Pasal 3
1. Mahkamah Agung memutus dengan tiga orang Hakim.
2. Mahkamah Agung bersidang di tempat kedudukannya.
3. Para Hakim dan Panitera Mahkamah Agung harus berdiam di kota tempat kedudukan Mahkamah Agung.
4. Jika keadaan memaksa, Ketua Mahkamah Agung dapat menetapkan peraturan yang menyimpang dari yang
termuat dalam ayat (2) dan (3).

                                                   Pasal 4
Untuk dapat menjadi Hakim Mahkamah Agung, Panitera Mahkamah Agung dan Jaksa Agung orang harus
mempunyai ijazah penghabisan dari Perguruan Tinggi bagian hukum, kecuali jika Presiden memberi dispensasi.

                                                   Pasal 5
Hakim, Panitera dan Jaksa Agung harus seorang warga-negara Indonesia.
                                                     Pasal 6
1. Ketua, Wakil-Ketua dan anggota-anggota Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden atas anjuran Dewan
Perwakilan Rakyat dari sekurang-kurangnya dua calon bagi tiap-tiap pengangkatan (lowongan).
Panitera dan Panitera pangganti Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden.
2. Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda diangkat oleh Presiden.
3. Para Hakim yang disebut dalam pasal ini, sebelum mulai menjalankan kewajiban dalam jabatannya, harus
bersumpah atau menyatakan kesanggupan menurut cara agamanya sebagai berikut:
"Saya bersumpah (berjanji) bahwa saya akan setia kepada Negara dan kepada Konstitusi Negara Republik Indonesia
Serikat;
"bahwa sesungguhnya saya tidak, baik dengan langsung, maupun tidak langsung, dengan menggunakan nama atau
cara apapun juga, untuk memperoleh jabatan saya, telah atau akan memberi atau menjanjikan barang sesuatu kepada
barang-siapapun juga;
"bahwa saya tidak akan menerima pemberian atau hadiah dari orang, yang saya ketahui atau sangka, empunya atau
akan empunya perkara, yang mungkin akan mengenai penglaksanaan jabatan saya;
"bahwa selanjutnya saya akan menjalankan jabatan saya dengan jujur, saksama dan tidak berat-sebelah, dengan
tidak membedabedakan orang dan akan berlaku dalam menglaksanakan kewajiban saya, seperti selayaknya bagi
seorang hakim (pegawai kehakiman) yang berbudi baik dan jujur".
Sumpah atau kesanggupan ini dilakukan oleh Ketua dan Wakil Ketua di hadapan Presiden; oleh anggota, Panitera
dan Panitera-pangganti Mahkamah Agung di hadapan Ketua Mahkamah Agung.

                                                     Pasal 7
1. Kekeluargaan karena kelahiran dan kekeluargaan karena perkawinan sampai ketingkat ketiga tidak boleh
bersama-sama menjadi Hakim dan/atau Panitera Mahkamah Agung.
2. Jika kekeluargaan karena perkawinan yang termaksud dalam ayat 1 terjadi sesudah mereka menjabat hakim
dan/atau Panitera Mahkamah Agung, maka salah seorang yang bersangkutan diberhentikan dari jabatannya, kecuali
jika Presiden mengizinkan tetap pada jabatan mereka.

                                                       Pasal 8
Para Hakim, Panitera dan Panitera-pengganti Mahkamah Agung, Jaksa Agung dan para Jaksa Agung Muda dilarang
memberi nasehat atau pertolongan yang bersifat memihak kepada yang berkepentingan dalam perkara yang sedang
diperiksa atau dapat dikirakirakan akan diperiksa di muka Mahkamah Agung.

                                                       Pasal 9
1. Para Hakim Mahkamah Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden:
ke 1. apabila mereka ternyata tidak cakap, karena sakit rohani atau jasmani yang terus-menerus atau karena
kekurangan kekuatan sebab tinggi usia;
ke 2. apabila mereka telah berumur 60 tahun, kecuali jika Presiden memberi dispensasi untuk kepentingan Negara.
2. Selain dari dengan alasan-alasan tersebut mereka hanya dapat diberhentikan dari jabatannya atas permintaan
sendiri.

                                                      Pasal 10
1. Para Hakim Mahkamah Agung dapat dipecat:
ke 1. apabila mereka dihukum penjara, tutupan atau kurungan karena menjalankan kejahatan;
ke 2. apabila mereka jatuh pailit atau dimasukkan penjara karena tidak membayar hutangnya;
ke 3. karena kelakuan tidak baik atau tidak sopan atau selalu alpa dalam jabatannya;
ke 4. apabila mereka melanggar larangan tersebut dalam pasal 8 Undang-undang ini.
2. Pemecatan ini dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri.

                                                      Pasal 11
1. Apabila terhadap para Hakim Mahkamah Agung ada perintah untuk ditangkap, atau untuk di tempatkan dalam
rumah sakit jiwa, atau untuk ditahan dalam penjara oleh karena tidak membayar hutang, maka dengan sendirinya
mereka diberhentikan dari jabatannya untuk sementara waktu.
2. Apabila mereka dituntut di muka Hakim dalam perkara pidana tidak dengan ditangkap, atau apabila dan hal-hal
penting yang mungkin berakibat pemberhentian dalam jabatannya, mereka dapat diberhentikan untuk sementara
waktu.
                                              BAB II.
                                    KEKUASAAN MAHKAMAH AGUNG.

                                                  Bagian 1.
                                Pengawasan tertinggi atas berjalannya peradilan.

                                                      Pasal 12
1. Mahkamah Agung Indonesia melakukan pengawasan tertinggi atas pengadilan-pengadilan federal, atas
pengadilan-pengadilan tertinggi daerah-bagian dan - selama tidak diadakan pengawasan tertinggi oleh suatu daerah
bagian - juga atas pengadilan-pengadilan lain daerah bagian itu.
2. Mahkamah Agung menyelenggarakan akan berlakunya peradilan dengan saksama dan seyogya.
3. Tingkah-laku perbuatan (pekerjaan) pengadilan-pengadilan tersebut dan para Hakim di pengadilan-pengadilan itu
diawasi dengan cermat oleh Mahkamah Agung. Guna kepentingan jawatan maka untuk itu Mahkamah Agung
berhak memberi peringatan-peringatan, teguran dan petunjuk-petunjuk yang dipandang perlu dan berguna kepada
pengadilan-pengadilan dan para Hakim tersebut, baik dengan surat tersendiri maupun dengan surat edaran.
4. Mahkamah Agung berkuasa meminta segala keterangan, pertimbangan dan nasehat dari segenap pengadilan, juga
dari pengadilan tentara, dan dari para Hakim, begitu pula dari Jaksa Agung dan dari para pegawai lainnya yang
diserahi penuntutan perkara pidana. Guna ini Mahkamah Agung berhak pula memerintahkan penyerahan atau
pengiriman surat-surat yang bersangkutan dengan perkara-perkara yang akan dipertimbangkan.

                                                  Pasal 13
Jika keadaan memaksa, maka Mahkamah Agung dapat menetapkan haknya untuk sesuatu atau beberapa daerah
pengawasan yang termaksud dalam Pasal 12 supaya dijalankan oleh Pengadilan Tinggi masing-masing untuk daerah
hukum yang bersangkutan.

                                                  Bagian 2.
                                             Kekuasaan mengadili.

                                                     Pasal 14
Selain daripada kekuasaan mengadili sebagai yang termuat dalam Konstitusi, maka Mahkamah Agung juga
memutus pada tingkatan peradilan pertama dan terakhir:
I. semua perselisihan tentang kekuasaan mengadili:
ke 1. antara semua pengadilan yang tempat kedudukannya tidak sedaerah hukum sesuatu Pengadilan Tinggi;
ke 2. antara Pengadilan Tinggi dengan Pengadilan Tinggi;
ke 3. antara Pengadilan Tinggi dengan sesuatu pengadilan dalam daerah hukumnya;
ke 4. antara pengadilan perkara hukuman perdata dan pengadilan perkara hukuman ketentaraan, kecuali perselisihan
antara Mahkamah Agung sendiri dengan pengadilan perkara hukuman ketentaraan yang tertinggi; perselisihan ini
diputus oleh Presiden.
II. semua perselisihan yang ditimbulkan dari perampasan kapal, kapal udara dan muatannya oleh kapal perang,
dengan berdasarkan atas peraturan yang berlaku pada hal itu.

                                                    Pasal 15
Selain daripada kekuasaan mengadili dalam tingkatan peradilan kedua sebagai yang termuat dalam Konstitusi, maka
Mahkamah Agung juga memutus pada tingkatan peradilan kedua atas putusan-putusan wasit yang ternyata
mengenai nilai harga 25.000, - rupiah atau lebih.

                                                     Pasal 16
Mahkamah Agung dapat melakukan kasasi, yaitu pembatalan atas putusan pengadilan-pengadilan lain dalam
tingkatan peradilan yang terakhir dan penetapan dan perbuatan pengadilan-pengadilan lain dan para Hakim yang
bertentangan dengan hukum, kecuali putusan pengadilan dalam perkara. pidana yang mengandung pembebasan
terdakwa dari segala tuntutan.

                                                    Pasal 17
Kasasi dapat dilakukan atas permohonan pihak yang berkepentingan atau atas permohonan Jaksa Agung karena
jabatannya atau dalam hal yang dimaksudkan pada Pasal 158 ayat (3) Konstitusi juga atas permohonan Kepala
Kejaksaan pada Pengadilan tertinggi dari daerah bagian, dengan pengertian bahwa kasasi atas permohonan pihak
Kejaksaan hanya semata-mata untuk kepentingan hukum dengan tidak merugikan pihak-pihak yang berkepentingan.

                                                     Pasal 18
Alasan yang dapat dipakai untuk melakukan kasasi ialah
1. apabila peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada melaksanakannya;
2. apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan yang harus diturut menurut Undang-undang.

                                                  Pasal 19
Permohonan kasasi yang dimajukan oleh pihak yang berkepentingan tidak dapat diterima, jika mereka belum atau
tidak mempergunakan hak melawan putusan pengadilan atau Hakim yang dijatuhkan di luar mereka hadir atau hak
memohon ulangan pemeriksaan perkara oleh pengadilan yang lebih tinggi.

                                                  Pasal 20
Jika permohonan kasasi dikabulkan oleh Mahkamah Agung dengan alasan, bahwa pengadilan atau Hakim yang
bersangkutan adalah tidak berkuasa mengadakan putusan penetapan atau perbuatan yang bersangkutan, maka
Mahkamah Agung menyerahkan perkaranya kepada pengadilan atau Hakim yang berkuasa untuk diperiksa dan
diputuskan.

                                                 Pasal 21
Jika permohonan kasasi dikabulkan oleh Mahkamah Agung dengan lain alasan dari yang termuat dalam pasal 20,
maka Mahkamah Agung memutus sendiri perkara itu.

                                              BAB III.
                                 JALAN-PENGADILAN DALAM PERKARA
                                     PERIHAL KETATANEGARAAN.

                                                    Bagian 1
                                     Tentang perselisihan yang dimaksudkan
                                      pada Pasal 48 dan Pasal 67 Konstitusi.

                                                     Pasal 22
1. Dalam hal-hal yang menurut Pasal-pasal 48 dan 67 Konstitusi Republik Indonesia Serikat harus diputus oleh
Mahkamah Agung dalam tingkatan kesatu dan juga terakhir, maka pemeriksaan perkara perihal ketatanegaraan itu
dimulai dengan memajukan surat permohonan kepada Mahkamah Agung yang antara lain memuat hal-hal yang
menjadi dasar permohonan hal-hal, supaya diputuskan.
2. Surat permohonan itu dimajukan untuk Pemerintah Republik Indonesia Serikat oleh atau atas nama Jaksa Agung
pada Mahkamah Agung Indonesia; untuk Pemerintah daerah-bagian oleh Kepala Kejaksaan pada Pengadilan
tertinggi daerah-bagian itu dan untuk Swapraja oleh Pemerintah pusat daerah Swapraja yang bersangkutan atau oleh
yang berhak mewakili Pemerintah itu menurut kuasa yang dilampirkan.

                                                      Pasal 23
1. Setelah surat permohonan oleh Panitera dituliskan dalam daftar perkara, maka atas perintah Ketua dikirimkan
oleh Panitera sehelai turunan surat permohonan itu kepada pihak lawan, yang harus memberi jawaban dengan surat
atas surat permohonan itu kepada Mahkamah Agung; surat jawaban itu selambat-lambatnya satu bulan kemudian,
terhitung dari menerimanya turunan surat permohonan, sudah diterima dalam kepaniteraan Mahkamah Agung.
2. Surat jawaban itu harus dimajukan dari pihak lawan oleh pejabat-pejabat, tersebut dalam Pasal 22 ayat (2).

                                                     Pasal 24
1. Surat permohonan dan surat jawaban beserta surat-surat lain yang mungkin dilampirkan kepadanya, disediakan
dalam kepaniteraan Mahkamah Agung untuk dibaca oleh kedua belah pihak dalam tempo yang ditetapkan oleh
Ketua.
2. Permulaan tempo ini diberitahukan atas perintah Ketua oleh Panitera kepada kedua belah pihak.
3. Dalam tempo tersebut dapat dimajukan oleh kedua belah pihak penjelasan seperlunya dengan surat kepada
Mahkamah Agung.

                                                     Pasal 25
Terserah kepada kebijaksanaan Mahkamah Agung apakah dan sampai di manakah pemeriksaan perkara harus
dilakukan secara mendengar kedua belah pihak atau salah seorang dari mereka atau hanya secara membaca surat-
surat saja yang dimajukan oleh kedua belah pihak atau salah seorang dari mereka.

                                                    Pasal 26
Jika perlu membuktikan kebenaran sesuatu yang dimajukan oleh suatu pihak, maka menetapkannya cara pembuktian
dan kekuatan alat-alat pembukti diserahkan kepada kebijaksanaan Mahkamah Agung.

                                                   Pasal 27
Sebelum mengambil putusan, maka Mahkamah Agung dapat mendengarkan siapapun juga dan dapat juga
memerintahkan penyerahan surat-surat yang diperlukan oleh siapapun.

                                                      Pasal 28
1. Surat putusan ditanda tangani oleh para Hakim yang turut memutuskan dan oleh Panitera yang turut bersidang
waktu putusan diumumkan.
2. Turunan surat putusan ini dikirimkan oleh Panitera kepada kedua belah pihak.

                                                       Pasal 29
1. Apabila menurut Undang-undang suatu daerah-bagian perselisihan, yang dimaksudkan dalam Pasal 67 Konstitusi
dalam tingkatan kesatu harus diputuskan oleh Pengadilan tertinggi dari daerah-bagian itu, maka oleh salah satu
pihak dapat dimohonkan supaya pemeriksaan perkara diulangi oleh Mahkamah Agung Indonesia.
2. Untuk itu maka pejabat yang bersangkutan sebagai yang tersebut dalam Pasal 22 ayat (2), harus memajukan
kepada Mahkamah Agung suatu suat permohonan, yang antara lain memuat hal-hal yang menjadi dasar permohonan
dan hal-hal yang dimohonkan supaya diputuskan.
3. Surat permohonan ini harus disampaikan dalam waktu satu bulan, terhitung dari hari pemberitahuan putusan
dalam tingkatan pertama kepada pemohon, ke kepaniteraan pengadilan tertinggi daerah-bagian yang memutuskan
dalam tingkatan pertama, disertai dengan surat-surat yang dianggap perlu.
4. Panitera pengadilan itu mengirimkan suatu turunan surat permohonan kepada pihak lawan, yang harus
mengirimkan surat jawaban kepada Panitera tersebut dalam waktu satu bulan setelah menerima turunan itu 5.
Kemudian dikirimkan oleh Panitera tersebut semua surat-surat yang bersangkutan, terhitung surat catatan dari
persidangan pemeriksaan dan turunan dari putusan pada tingkatan pertama, kepada Mahkamah Agung.
6. Mahkamah Agung memutus perkaranya pada tingkatan kedua dan juga terakhir, berdasar atas surat-surat yang
dikirimkan itu, jika perlu setelah meminta penjelasan seperlunya dari kedua belah pihak.

                                                      Pasal 30
1. Surat putusan Mahkamah Agung ditanda tangani oleh para Hakim yang turut memutuskan dan oleh Panitera yang
turut bersidang, waktu putusan diumumkan.
2. Turunan surat putusan itu dikirimkan oleh Panitera kepada kedua belah pihak, sedang surat-surat pemeriksaan
yang oleh Panitera diterima dari pengadilan yang memeriksa perkaranya pada tingkatan pertama, dikirim kembali
kepada pengadilan itu beserta turunan surat putusan Mahkamah Agung.

                                                  Bagian 2.
                      Tentang pernyataan tak menurut Konstitusi Republik Indonesia Serikat
                       yang dimaksudkan pada Pasal 156 ayat (2) dan Pasal 157 Konstitusi.

                                                    Pasal 31
1. Setelah surat permohonan yang dimaksudkan pada Pasal 156 ayat (2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat
diterima dalam kepaniteraan Mahkamah Agung dan oleh Panitera dituliskan dalam daftar yang diadakan untuk itu,
maka Ketua Mahkamah Agung menetapkan hari dan jam untuk majelis pertimbangan; pada hal ini Jaksa Agung dan
Kepala Kejaksaan pada pengadilan tertinggi daerah-bagian yang bersangkutan dipanggil untuk didengarkan
pendapatnya.
2. Kalau dipandang perlu, maka Mahkamah Agung dapat memanggil lain orang untuk didengar pendapatnya dalam
majelis pertimbangan itu, dan dapat pula diminta segala surat-surat yang diperlukan untuk mengambil putusan

                                                       Pasal 32
1. Dalam hal yang menurut Pasal 157 Konstitusi Republik Indonesia Serikat putusan suatu pengadilan yang
mengandung pernyataan tak menurut Konstitusi harus disahkan oleh Mahkamah Agung, maka pengesahan itu harus
diminta oleh pengadilan itu dalam surat permohonan yang ditanda tangani oleh Ketua pengadilan tersebut.
2. Surat permohonan itu harus disertai segala surat-surat pemeriksaan perkara dan turunan putusan pengadilan itu.
3. Kemudian berlakulah apa yang disebut pada Pasal 31.

                                                      Pasal 33
1. Surat putusan Mahkamah Agung tentang hal yang dimaksudkan pada Pasal 31 dan Pasal 32 ditanda tangani oleh
para Hakim yang turut memutuskan dan oleh Panitera yang turut bersidang waktu putusan dijatuhkan.
2. Turunan surat putusan ini dikirimkan oleh Panitera kepada Jaksa Agung dan Kepala Kejaksaan pada pengadilan
tertinggi daerah-bagian yang bersangkutan, sedang dalam hal mengesahkan putusan pengadilan lain maka surat-
surat pemeriksaan perkara, yang oleh Panitera diterima dari pengadilan itu, dikirimkan kembali kepada pengadilan
itu beserta turunan surat putusan Mahkamah Agung.

                                          BAB IV.
                      JALAN PENGADILAN DALAM TINGKATAN KESATU DALAM
                                PERKARA HUKUMAN PERDATA.

                                                   Bagian 1.
                                       Pengusutan dan penuntutan perkara.

                                                    Pasal 34
Pengusutan dan penuntutan perkara hukuman perdata yang menurut Pasal 148 ayat (1) Konstitusi harus diadili oleh
Mahkamah Agung dijalankan secara yang berlaku untuk perkara-perkara hukuman perdata di muka Pengadilan
Negeri, dengan pengertian, bahwa hal pengusutan ini ada di bawah pimpinan Jaksa Agung dan penuntutannya
dilakukan oleh Jaksa Agung atau Jaksa Agung Muda, dengan mengirimkan surat-surat pemeriksaan permulaan
kepada Ketua Mahkamah Agung disertai surat penuntutan; dalam hal itu dibubuh penjelasan tentang perbuatan-
perbuatan yang dituduhkan, terutama perihal tempat dan waktu dilakukan, serta keadaan-keadaan dan hal-hal yang
dapat memberatkan atau meringankan kesalahan tersangka.

                                                   Bagian 2.
                                Penyerahan perkara ke sidang Mahkamah Agung.

                                                      Pasal 35
Sesudah surat penuntutan dan surat-surat lain yang termaksud dalam Pasal 34 diterima dalam kepaniteraan
Mahkamah Agung, maka Ketua atau salah seorang Hakim Mahkamah Agung selekas mungkin memeriksa dengan
saksama surat-surat tersebut.

                                                       Pasal 36
(1) Jika menurut pendapat Ketua atau Hakim, tersebut dalam Pasal 66, perkaranya harus diperiksa oleh pengadilan
lain, maka dengan selembar surat keputusan yang menyebutkan alasan-alasannya, perkara itu diserahkan kepada
pengadilan yang lain itu.
(2) Bila tersangka ada dalam tahanan sementara dan perbuatan yang menyebabkan ia dituntut termasuk kejahatan
yang tersangkanya menurut Undang-undang dapat ditahan sementara, maka Ketua atau Hakim tersebut
memerintahkan supaya tersangka terus ditahan.
(3) Jika dalam tempo 30 hari tiada perintah lain untuk menahan sementara, maka tersangka harus dimerdekakan,
kecuali jika ia harus tetap dalam tahanan untuk perkara lain.
(4) Dalam tempo 2 kali 24 jam dihitung dari tanggal surat keputusan termaksud dalam ayat (1), turunan surat
keputusan itu beserta suat-surat pemeriksaan lain harus dikirimkan kepada Jaksa Agung, yang akan meneruskan
surat surat itu kepada Kejaksaan Pengadilan yang lain itu.
                                                    Pasal 37
Jika Ketua atau Hakim tersebut berpendapat, bahwa perkaranya ternyata masuk kekuasaan Mahkamah Agung, akan
tetapi masih ada hal-hal yang harus ditambah pada pemeriksaan permulaan, maka Ketua atau Hakim itu
mengirimkan kembali surat-surat yang bersangkutan kepada Jaksa Agung dengan mengutarakan hal-hal tersebut.

                                                     Pasal 38
(1) Jika Ketua atau Hakim berpendapat, bahwa perbuatan yang dituduhkan dalam surat tuntutan, tidak dapat
dikenakan hukuman, atau surat-surat pemeriksaan permulaan tidak dapat mengadakan alasan cukup untuk
melanjutkan tuntutan, maka hal ini harus dinyatakan dalam putusan Ketua atau Hakim tersebut; apabila tersangka
ada dalam tahanan" maka putusan itu harus memuat perintah untuk memerdekakannya seketika itu juga, kecuali jika
ia harus tetap ada dalam tahanan untuk perkara lain.
(2) Dalam tempo 2 kali 24 jam dihitung dari tanggal surat keputusan ini, turunan surat keputusan beserta surat-surat
pemeriksaan lain harus dikirimkan kepada Jaksa Agung.

                                                       Pasal 39
(1) Jika Ketua atau Hakim berpendapat, bahwa perkaranya dapat dimajukan ke muka sidang pengadilan, maka ia
menyatakan hal ini dengan menentukan hari tanggal sidang itu dan memerintahkan supaya oleh Jaksa Agung atau
oleh polisi Negara dengan perantaraan Kejaksaan terdakwa dan saksi-saksi yang diperlukan harus dipanggil
menghadap pengadilan dan supaya kepada terdakwa diberitahukan isi surat tuntutan.
(2) Apabila hari tanggal sidang itu belum dapat ditentukan, maka sebab-sebabnya harus disebut dalam surat
pernyataan, termaksud alam ayat (1).
(3) Jika perbuatan yang menjadi dasar tuntutan termasuk kejahatan yang tersangkanya menurut Undang-undang
dapat ditahan sementara, maka Ketua atau Hakim harus menentukan apakah terdakwa harus ditahan atau tidak.
(4) Jika beberapa berkas surat-surat pemeriksaan permulaan hampir serempak diterima dalam Kepaniteraan
Mahkamah Agung dan berkas-berkas itu mengenai perbuatan-perbuatan yang tersangkut-paut satu dengan lain,
maka perkara-perkara itu dapat digabungkan jadi satu.
(5) Perbuatan-perbuatan itu dapat dianggap bersangkut-paut, jika perbuatan-perbuatan itu dilakukan:
ke-1. oleh lebih dari seorang, bersama-sama dan bersekutu;
ke-2. oleh lebih dari seorang pada waktu atau tempat yang berlain-lain tetapi menurut suatu permufakatan lebih
dahulu;
ke-3. dengan maksud akan mendapat upaya untuk melakukan atau memudahkan kejahatan lain, atau untuk
menghindarkan dirinya dari hukuman atas perbuatan lain.

                                                   Bagian 3.
                                      Pemeriksaan dalam sidang Pengadilan.

                                                        Pasal 40
(1) Pada hari yang ditentukan menurut Pasal 39 ayat (1), Mahkamah Agung duduk bersidang.
(2) Ketua memimpin pemeriksaan dalam sidang; untuk keperluan itu ia memberi perintah sepatutnya.
(3) Terdakwa dipanggil masuk dan jika ia ada di dalam tahanan, maka ia harus dijaga baik-baik dan lepas dari segala
ikatan.
(4) Jika terdakwa ada di luar tahanan dan walaupun temyata telah dipanggil secara semestinya tidak datang
menghadap sidang, maka Ketua boleh menyuruh menangkap orang itu.
(5) Jika di dalam suatu perkara adalah lebih dari satu orang terdakwa dan tidak semua terdakwa hadir pada hari
sidang, maka pemeriksaan terhadap terdakwa yang datang menghadap dapat diteruskan.
(6) Jika terdakwa yang tidak datang itu, setelah ditangkap, dapat menyatakan, bahwa tidak datangnya itu karena
sebab yang pantas, maka Ketua segera memerintahkan supaya orang itu dimerdekakan lagi.
(7) Jika orang itu tidak datang pada hari sidang yang kemudian ditetapkan, maka Ketua boleh menyuruh lagi
menangkapnya dan setelah ditangkap, orang itu terus ditahan sementara.

                                                     Pasal 41
(1) Dalam permulaan sidang Ketua menanyakan kepada terdakwa namanya, umurnya, tempat lahirnya, tempat
tinggalnya dan pekerjaannya; lagi pula memberi ingat kepada terdakwa supaya diperhatikan segala sesuatu yang
akan didengarnya dalam sidang.
(2) Kemudian Ketua memberi perintah, supaya Jaksa Agung membacakan surat penuntutan dan surat penetapan
Ketua yang termasuk dalam Pasal 39 ayat (1); atas penuntutan itu terdakwa harus memberi keterangan seperlunya.

                                                      Pasal 42
(1) Apabila terdakwa atau pembelanya berpendapat, bahwa tuntutan semestinya harus dibatalkan atau tidak mungkin
dilanjutkan, atau Mahkamah Agung tidak berkuasa mengadili perkaranya, maka tangkisan ini dapat dimajukan dan
dijelaskan segera setelah pembacaan surat-surat yang termaksud dalam Pasal 41 ayat (2) selesai.
(2) Setelah diberi kesempatan kepada Jaksa Agung untuk mengeluarkan pendapatnya tentang tangkisan itu dan
kepada terdakwa dan pembelanya untuk menjawab, maka Mahkamah Agung mempertimbangkan tangkisan itu dan
mengambil putusan tentang hal itu.
(3) Pemeriksaan perkara dalam sidang diteruskan, apabila Mahkamah Agung memutuskan, bahwa tangkisan ditolak
atau baru dapat memutuskan tentang tangkisan itu tergantung dari pemeriksaan perkaranya sendiri.
(4) Meskipun oleh terdakwa atau pembelanya tidak dimajukan tangkisan yang termaksud dalam ayat (1), maka
Mahkamah Agung dapat mengambil putusan tentang hal-hal yang tersebut dalam ayat (1) itu, akan tetapi lebih dulu
Jaksa Agung dan terdakwa harus didengar pendapatnya.
(5) Berhubung dengan pembicaraan dalam sidang yang dimaksudkan dalam pasal ini, maka Jaksa Agung berhak
mengubah surat tuntutan menurut syarat syarat tersebut dalam Pasal 65.

                                                      Pasal 43
(1) Ketua lalu memeriksa adakah semua saksi yang dipanggil hadir, dan memberi perintah seperlunya untuk
menjaga, supaya mereka jangan sampai dapat membicarakan perkaranya satu dengan lain, sebelum memberi
keterangan.
(2) Jika ada saksi yang tidak datang meskipun telah dipanggil dengan patut dan Ketua ada cukup alasan untuk
menyangka, bahwa saksi itu tidak mau datang, maka Ketua boleh memberi perintah, supaya saksi tersebut dibawa
oleh polisi ke persidangan.

                                                       Pasal 44
(1) Para saksi dipanggil ke dalam ruangan sidang seorang demi seorang menurut tertib yang dipandang sebaik-
baiknya oleh Ketua.
(2) Ketua menanyakan kepada saksi itu namanya, umurnya, pekerjaannya dan tempat tinggalnya; seterusnya apakah
ia kenal kepada terdakwa, sebelum terdakwa ini melakukan perbuatan yang menjadi dasar penuntutan; apakah ia
berkeluarga dengan terdakwa secara turunan atau perkawinan dan sampai berapa jauhnya, dan akhirnya apakah ia
ada perhubungan majikan-buruh terhadap terdakwa.
(3) Kemudian saksi bersanggup akan berkata benar dan tidak lain dari pada yang benar; setelah itu ia memberi
keterangan dengan tidak boleh bertahan saja kepada keterangan yang diberikannya dalam pemeriksaan permulaan.
(4) Apabila Ketua memandang perlu, saksi dapat diperintahkan supaya menguatkan keterangannya dengan sumpah
secara aturan agamanya, kecuali jika saksi masuk golongan yang agamanya melarang sumpah itu atau jika saksi
menurut keyakinan keagamaannya berkeberatan bersumpah.
(5) Jika saksi dengan lain alasan dari pada yang tersebut dalam ayat (4) berkeberatan menguatkan keterangan
dengan sumpah, maka Ketua memerintahkan supaya saksi disumpah akan berkata benar dan tidak lain dari pada
yang benar, dan kemudian saksi itu didengar lagi keterangannya dari permulaan.

                                                       Pasal 45
(1) Jika seorang saksi dengan tiada sebab yang sah enggan bersumpah atau dengan menerangkan yang benar, maka
Ketua boleh mempertangguhkan perkara itu selambat-lambatnya 14 hari kemudian.
(2) Dalam hal itu atas perintah Ketua saksi ditutup dalam penjara, dan pada hari yang telah ditentukan dibawa lagi
menghadap sidang Mahkamah Agung.
(3) Jika seorang saksi melakukan kejahatan yang tersebut pada Pasal 224 Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
maka Ketua memerintahkan Panitera mencatat kejadian itu dalam catatan pemeriksaan persidangan dan
mengirimkan petikan catatan itu kepada Jaksa yang bersangkutan.

                                                    Pasal 46
(1) Jika ada saksi yang sesudah memberi keterangan dalam pemeriksaan permulaan, meninggal dunia atau karena
ada halangan yang sah tidak dapat menghadap persidangan atau tidak dipanggil, oleh karena jauh tempat diam atau
tempat tinggalnya, atau karena ada sebab lain berhubung dengan kepentingan Negara, maka dibacakanlah
keterangan yang telah diberikannya itu.
(2) Jika keterangan itu diberi dengan sumpah, maka keterangan itu disamakan harganya dengan keterangan saksi di-
bawah sumpah di dalam sidang.
(3) Membacakan keterangan ini dapat juga dilakukan, apabila untuk menyempurnakan pembuktian pendengaran
saksi itu di dalam sidang dianggap tidak perlu.

                                                     Pasal 47
(1) Jika keterangan seorang saksi dalam sidang berbeda dari keterangan dalam pemeriksaan permulaan, maka Ketua
memperingatkan saksi itu serta minta keterangan tentang hal itu.
(2) Kejadian ini dinyatakan dalam catatan pemeriksaan sidang.

                                                       Pasal 48
(1) Setelah tiap-tiap saksi selesai memberi keterangan, maka Ketua menanyakan kepada terdakwa, adakah keberatan
atas keterangan itu.
(2) Saksi tidak boleh diganggu pada waktu memberi keterangan, akan tetapi setelah selesai memberi keterangan itu,
maka terdakwa atau pembelanya dan Jaksa Agung boleh memajukan pertanyaan kepada saksi.
(3) Ketua boleh minta kepada saksi dan terdakwa segala keterangan yang dipandangnya perlu untuk mendapat
kebenaran.
(4) Ketua dapat melarang penjawaban pertanyaan yang dimajukan oleh terdakwa, pembela atau Jaksa Agung kepada
saksi.

                                                        Pasal 49
(1) Pertanyaan yang bermaksud menjerat tidak boleh dimajukan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, dan
Ketua tidak boleh mengindahkan jawab pertanyaan yang demikian.
(2) Jika dalam salah satu pertanyaan ada disebut suatu perbuatan yang tidak diakui atau diberitahukan oleh terdakwa
atau saksi, tetapi dianggap seolah-olah telah diakui oleh mereka itu, maka pertanyaan itu harus dipandang sebagai
bermaksud menjerat juga.

                                                        Pasal 50
(1) Sesudah memberi keterangan maka tiap-tiap saksi tinggal menghadiri persidangan, kecuali jika Ketua memberi
izin kepadanya untuk pergi.
(2) Izin itu tidak diberikan jika Jaksa Agung atau terdakwa memajukan permintaan, supaya saksi itu terus
menghadiri persidangan itu.
(3) Para saksi dalam sidang tidak boleh bercakap-cakap satu dengan lain.

                                                      Pasal 51
Dengan memperhatikan yang ditentukan pada pasal yang berikut di bawah ini, maka tidak dapat diperiksa sebagai
saksi dan boleh mohon kebebasan menjadi saksi:
ke 1. keluarga karena kelahiran atau keluarga karena kelahiran dalam garis turunan ke atas atau ke bawah terhadap
terdakwa atau kawan terdakwa dalam satu perkara;
ke 2. saudara atau ipar terdakwa atau kawan terdakwa dalam satu perkara;
ke 3. laki atau isteri terdakwa atau kawan terdakwa dalam satu perkara, biarpun sudah dicerai;
ke 4. keluarga karena perkawinan atau keluarga karena perkawinan dalam turunan ke samping sampai tingkat ketiga
terhadap terdakwa atau kawan terdakwa dalam satu perkara.

                                                      Pasal 52
(1) Jika Jaksa Agung dan terdakwa sama mengizinkan, maka orang yang tersebut dalam Pasal 51, kalau mereka
suka, boleh juga memberi keterangan.
(2) Biarpun tidak dengan izin itu, maka orang itu boleh juga memberi keterangan di luar sumpah.

                                                      Pasal 53
(1) Orang yang karena pekerjaan atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, boleh mohon dibebaskan memberi
keterangan, akan tetapi hanya tentang hal yang diberitahukan kepadanya karena pekerjaan atau jabatannya.
(2) Mahkamah Agunglah yang memutuskan sah atau tidaknya segala sebab untuk mohon kebebasan itu.
                                                   Pasal 54
Yang hanya boleh diperiksa untuk memberi keterangan di luar sumpah, yaitu:
ke 1. anak-anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun;
ke 2. orang gila, meskipun kadang-kadang ingatannya terang.

                                                      Pasal 55
(1) Sesudah saksi memberi keterangan, maka terdakwa atau pembela dan Jaksa Agung boleh memohon, supaya
saksi yang ditunjukkannya dikeluarkan dari persidangan, dan supaya seorang saksi atau lebih disuruh masuk
kembali dan diperiksa lagi, baik sendiri-sendiri, maupun di muka yang lain.
(2) Ketua juga boleh memberi perintah tentang hal-hal yang tersebut pada ayat (1).

                                                      Pasal 56
Pada waktu seorang saksi diperiksa atau sesudah itu, maka Ketua boleh menyuruh terdakwa ke luar dari
persidangan, dan menanyakan saksi itu sendiri tentang beberapa hal, akan tetapi sesudah itu pemeriksaan perkara
tidak boleh diteruskan, sebelum kepada terdakwa diberitahukan segala kejadian pada waktu ia tidak hadir.

                                                      Pasal 57
(1) Jika keterangan saksi di hadapan persidangan disangka palsu, maka Ketua memperingatkan kepadanya hukuman
yang mungkin dijatuhkan padanya, jika ia tetap memberi keterangan yang tidak benar.
(2) Jika saksi tetap pada keterangan yang disangka palsu itu, maka Ketua karena jabatannya atau atas permohonan
Jaksa Agung atau terdakwa, boleh memberi perintah supaya saksi itu di tahan sementara, dan supaya diperlakukan
pemeriksaan perkara pidana menurut Undang-undang.
(3) Dalam hal yang demikian segera dibuat oleh Panitera suatu catatan pemeriksaan sidang yang memuat keterangan
saksi itu dengan menyebutkan alasan untuk persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu; catatan itu harus
ditanda tangani oleh Ketua dan Panitera dan segera diserahkan kepada Jaksa Agung.
(4) Jika perlu Ketua boleh mempertanggungkan persidangan dalam perkara semula sampai pada kesudahan
pemeriksaan perkara pidana saksi itu.

                                                   Pasal 58
Jika terdakwa tidak menjawab atau enggan menjawab pertanyaan kepadanya, maka Ketua memperingatkan
kepadanya kewajiban akan menjawab, dan setelah itu meneruskan pemeriksaan perkara.

                                                    Pasal 59
Jika terdakwa karena kelakuannya yang tidak patut mengganggu tertib persidangan, maka Ketua menegornya, dan
jika tidak berhasil, lalu menyuruh membawanya ke luar tempat sidang, dan pemeriksaan perkara diteruskan dan
perkara diputuskan di luar hadir terdakwa.

                                                     Pasal 60
(1) Jika terdakwa atau saksi tidak paham akan bahasa Indonesia, maka Ketua boleh mengangkat seorang juru
bahasa, dan menyuruh orang itu bersumpah akan menterjemahkan dengan benar apa yang mesti diterjemahkan dari
satu bahasa kepada bahasa yang lain.
(2) Barang siapa tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara, tidak boleh pula menjadi juru bahasa dalam perkara
itu.

                                                        Pasal 61
(1) Jika terdakwa atau saksi bisu dan tuli dan tidak dapat menulis, maka Ketua mengangkat sebagai perantara orang
yang lebih pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu, asal saja orang itu sudah cukup umurnya untuk menjadi
saksi.
(2) Jika orang yang bisu dan tuli itu pandai menulis, maka Ketua menyuruh menuliskan segala pertanyaan atau
tegoran kepadanya, dan menyuruh menyampaikan tulisan itu kepada terdakwa atau saksi yang bisu dan tuli, dengan
perintah akan menuliskan jawabannya; kemudian segala pertanyaan dan jawab mesti dibacakan.

                                                     Pasal 62
(1) Segala aturan tersebut di atas bagi saksi berlaku juga bagi orang ahli, akan tetapi orang ahli bersumpah, bahwa ia
akan memberi laporan menurut kebenaran dan sepanjang pengetahuannya yang sebaik-baiknya.
(2) Tiap-tiap orang yang dipanggil sebagai ahli, wajib memenuhi panggilan itu.
(3) Orang satu boleh diperiksa sebagai saksi dan sebagai ahli, asal saja sebelum disumpah diingatkan kepadanya
kedua macam sumpah itu.

                                                     Pasal 63
(1) Selagi pemeriksaan dijalankan, maka Ketua boleh menyuruh memanggil orang lain dari pada saksi dan orang
ahli yang sudah dipanggil, pun juga dengan perintah akan menghadap persidangan dengan segera.
(2) Berhubung dengan keterangan terdakwa dan saksi dalam persidangan, maka supaya mendapat keterangan lebih
jelas Ketua boleh meminta laporan yang dikehendaki dari orang ahli dan menyuruh memajukan surat keterangan
baru.

                                                      Pasal 64
(1) Ketua memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menyatakan kepadanya, kenalkah ia akan
barang itu.
(2) Jika perlu maka barang-barang itu diperlihatkan juga oleh Ketua kepada saksi.

                                                       Pasal 65
(1) Jika dalam pemeriksaan dalam sidang ternyata ada alasan untuk mengubah surat tuntutan, maka Jaksa Agung
dengan kemauan sendiri atau atas permintaan Ketua berkuasa mengubah surat penuntutan itu, asal saja dengan
perubahan itu perbuatan yang dituduhkan tidak menjadi perbuatan lain dalam arti yang dimaksudkan pada Pasal 76
Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
(2) Ketua harus memberitahukan perubahan itu kepada terdakwa, yang diberi kesempatan untuk mengeluarkan
pendapatnya tentang hal itu.
(3) Jika perlu, karena perubahan surat tuntutan ini, maka atas permohonan terdakwa Ketua dapat
mempertangguhkan pemeriksaan sampai hari tanggal yang tertentu.

                                                       Pasal 66
(1) Setelah pemeriksaan selesai, maka Jaksa Agung mengadakan requisitoirnya, yang kemudian harus diserahkan
kepada pengadilan.
(2) Kemudian terdakwa dan pembelanya memajukan pembelaannya.
(3) Jaksa Agung dapat berbicara lagi, tetapi. terdakwa dan pembelanya selalu boleh berbicara pada penghabisan kali.
(4) Jika semua ini telah selesai, maka Ketua menutup pemeriksaan.
(5) Terdakwa, saksi dan penonton dikeluarkan, dan setelah Jaksa Agung juga pergi dari ruangan sidang, maka
pengadilan mempertimbangkan segala sesuatu.
(6) Putusan Mahkamah Agung dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau pada hari lain yang harus diberitahukan
kepada terdakwa.

                                                       Pasal 67
(1) Jikalau dalam pemeriksaan dalam perkara kejahatan atau pelanggaran pada Mahkamah Agung terdakwa yang
tidak ditahan tidak hadir pada hari sidang yang telah ditentukan, maka Ketua memeriksa, apakah hari sidang itu
diberitahukan kepada terdakwa dengan semestinya.
(2) Jika terdakwa tidak diberitahukan dengan semestinya, maka Ketua memerintahkan supaya terdakwa diberi tahu
lagi untuk hadir pada hari sidang yang ditentukan oleh Ketua.

                                                        Pasal 68
(1) Jikalau terdakwa tidak hadir biarpun ia telah diberitahu semestinya, maka selain dari apa yang ditentukan pada
Pasal 40 ayat (4), Mahkamah dapat juga memerintahkan supaya perkara terdakwa diperiksa dan diputuskan di luar
hadir terdakwa.
(2) Ketentuan tersebut pada ayat (1) berlaku juga dalam hal di dalam sesuatu perkara ada lebih dari seorang
terdakwa dan tidak semua terdakwa hadir pada hari sidang.

                                                      Pasal 69
Apabila Mahkamah memberikan perintah tersebut pada Pasal 68 ayat (1), maka dengan menyimpang seperlunya
dari acara pemeriksaan dengan berhadir terdakwa, saksi-saksi dan ahli-ahli yang hadir dapat didengar pada hari
sidang yang ditentukan dalam perintah itu.

                                                     Pasal 70
1. Jikalau terdakwa dihukum, maka setelah menerima petikan putusan dimaksudkan pada Pasal 94 ayat (2), atau
surat keterangan dimaksudkan pada Pasal 94 ayat (3), Jaksa Agung harus dengan selekas-lekasnya menyampaikan
kepada terhukum sendiri putusan hukuman itu dan menerangkan kepadanya akan kemungkinan memajukan
perlawanan.
2. Sesudah Jaksa Agung menyampaikan putusan itu kepada terhukum, maka hal ini harus dilaporkan kepada Ketua
Mahkamah Agung.

                                                    Pasal 71
Dalam tempo tujuh hari dihitung mulai hari berikutnya sesudah hari putusan disampaikan, terhukum dapat
memajukan perlawanan kepada Mahkamah Agung.

                                                     Pasal 72
1. Perlawanan itu dimajukan dengan lisan kepada Panitera Mahkamah Agung, yang membuat catatan tentang hal itu.
2. Catatan itu ditandatangani bersama-sama oleh pelawan dan Panitera.
3. Bagi pelawan yang tidak pandai menulis, penandatanganan itu dapat dilakukan dengan cap jari.
4. Oleh karena perlawanan itu, maka putusan hukuman di luar hadir terdakwa tidak berlaku lagi.

                                                       Pasal 73
1. Ketua memberitahukan kepada Jaksa Agung perlawanan yang dimajukan seperti tersebut pada Pasal 72.
2. Dalam pemberitahuan itu Ketua menentukan hari sidang bilamana perkara terdakwa akan diperiksa dan juga
apakah saksi-saksi dan ahli-ahli tersebut pada Pasal 69 akan didengar lagi.

                                                       Pasal 74
1. Kecuali jika Mahkamah atas kebijaksanaan sendiri atau atas permintaan terdakwa memerintahkan supaya perkara
diperiksa menurut peraturan pemeriksaan dengan berhadirnya terdakwa, maka perkara diputus setelah terdakwa
didengar dan setelah surat-surat pemeriksaan dibacakan dan terdakwa ditanya apakah ia mengerti betul isi surat-
surat itu.dan apakah jawabnya atas itu.
2. Keterangan saksi-saksi dan ahli-ahli tersebut pada Pasal 73 yang dibacakan dalam sidang ini dianggap sebagai
diucapkan dalam sidang itu.

                                                    Pasal 75
Jikalau pada hari sidang yang ditentukan menurut Pasal 73 terdakwa tidak hadir, maka perlawanannya batal dan
putusan hukuman di luar hadir terdakwa semula berlaku lagi; dan
kesempatan untuk memajukan perlawanan tidak ada lagi.

                                                      Pasal 76
Dalam perkara tentang kejahatan yang diancam dengan hukuman mati, hukuman penjara seumur hidup dan setinggi-
tinggi 20 tahun tidak dapat diadakan pemeriksaan di luar hadir terdakwa.

                                                  Bagian 4.
                                            Pembuktian dan putusan.

                                                   Pasal 77
Terdakwa hanya dapat dianggap terbukti melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya, apabila Mahkamah
sebagai hasil pemeriksaan dalam sidang mendapat keyakinan tentang hal itu dari isi alat-alat bukti yang sah.

                                                     Pasal 78
1. Alat-alat bukti yang sah ialah:
ke 1. pengetahuan Hakim,
ke 2. keterangan terdakwa,
ke 3. keterangan saksi,
ke 4. keterangan orang ahli,
ke 5. surat-surat.
2. Keadaan yang telah diketahui oleh umum, tidak perlu dibuktikan.

                                                   Pasal 79
Pengetahuan Hakim berarti penyaksian sendiri pada waktu sidang.

                                                    Pasal 80
1. Keterangan terdakwa berarti pemberitahuannya dalam sidang tentang kejadian atau keadaan yang ia alami sendiri.
2. Keterangan terdakwa hanya boleh dipakai sebagai bukti terhadap ia sendiri.
3. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan, bahwa terdakwa melakukan perbuatan, yang
dituduhkan kepadanya, melainkan harus dikuatkan oleh suatu alat bukti lain.

                                                    Pasal 81
1. Keterangan saksi berarti pemberitahuannya dalam sidang tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat
atau dialami oleh saksi itu sendiri.
2. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan, bahwa terdakwa melakukan perbuatan yang
dituduhkan kepadanya, melainkan harus dikuatkan oleh alat bukti lain.

                                                     Pasal 82
Keterangan orang ahli berarti pendapat orang itu yang diberitahukan dalam sidang tentang yang diketahui menurut
ilmu pengetahuannya terhadap soal yang dimintakan pendapatnya.

                                                        Pasal 83
Termasuk surat-surat sebagai alat bukti:
ke 1. putusan secara yang sah diambil oleh badan pengadilan atau Hakim;
ke 2. catatan dan surat-surat lain dibuat secara yang sah oleh pejabat yang berkuasa dan yang memuat
pemberitahuan keadaan-keadaan yang dialami oleh pejabat itu sendiri;
ke 3. surat-surat keterangan dibuat oleh pejabat tentang soal-soal yang masuk lingkungan jabatannya dan
diperuntukkan bagi membuktikan sesuatu keadaan;
ke 4. laporan orang-orang ahli yang memuat pendapatnya tentang yang diketahui menurut ilmu pengetahuannya
terhadap soal yang dimintakan pendapatnya;
ke 5. surat-surat lain.

                                                     Pasal 84
Jikalau Mahkamah berpendapat bahwa perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa, tidak terbukti, maka terdakwa
dibebaskan, dan jikalau ia ada di dalam tahanan, dengan perintah memerdekakannya seketika itu juga, kecuali jika ia
harus tetap ditahan untuk perkara lain.

                                                     Pasal 85
1. Jikalau Mahkamah berpendapat bahwa perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa, meskipun terbukti akan
tetapi tidak merupakan kejahatan atau pelanggaran atau yang terdakwa tidak dapat dihukum, maka terdakwa harus
dilepaskan dari segala tuntutan tentang hal ini.
2. Perintah untuk memerdekakan terdakwa dijalankan dengan segera, sesudah putusan dijatuhkan.

                                                      Pasal 86
1. Jikalau Mahkamah berpendapat bahwa terdakwa benar-benar bersalah, maka Mahkamah menjatuhkan hukuman
atau memerintahkan sesuatu menurut hukum.
2. Jikalau terdakwa dipersilahkan perihal suatu kejahatan yang dapat diadakan penahanan sementara, maka
Mahkamah dapat memerintahkan penahanan terdakwa jikalau ia ada di luar tahanan, dan juga dapat memerintahkan
supaya terdakwa dimerdekakan, jikalau ia ada dalam tahanan; perintah itu harus dijalankan dengan segera, sesudah
putusan dijatuhkan.

                                                     Pasal 87
1. Dalam putusan yang mengandung hukuman, pembalasan, atau melepaskan dari tuntutan, Mahkamah harus
memerintahkan supaya barang-barang bukti dikembalikan kepada orang yang namanya disebutkan dalam surat
putusan itu dan yang menurut pendapat Mahkamah berhak atas barang-barang tersebut, kecuali jika menurut
peraturan hukum barang-barang itu harus dirampas atau dibinasakan atau dirusakkan sehingga tidak dapat dipakai
lagi.
2. Jikalau ditimbang perlu, Mahkamah boleh memberi perintah supaya barang-barang itu dikembalikan seketika
sesudah habis sidang.
3. Pengembalian barang-barang bukti dapat disertai dengan perjanjian yang ditetapkan oleh Mahkamah.
4. Dalam putusan dapat diperintahkan supaya barang-barang yang diperbuat, atau diperbaiki atau dipakai untuk
melakukan perbuatan yang ada ancaman hukuman, musti dibinasakan atau dirusakkan sehingga tidak dapat dipakai
lagi.

                                                 Pasal 88
Putusan Mahkamah harus diucapkan oleh Ketua dalam sidang yang terbuka untuk umum.

                                                        Pasal 89
1. Terdakwa yang berada dalam tahanan harus dibawa ke dalam sidang supaya hadir pada waktu putusan diucapkan,
kecuali jika ia tidak dapat datang; dalam hal ini putusan oleh Panitera diberitahukan kepadanya dalam rumah
penjara, dan cara pemberitahuan ini harus dicatat di bawah surat putusan.
2. Kecuali jika terdakwa dibebaskan dari tuntutan, maka sesudah putusan itu diucapkan, Ketua mengingatkan
terdakwa untuk meminta, supaya menjalankan putusan dipertangguhkan 14 hari lamanya, untuk tempo ia akan
memasukkan permintaan grasi.
Peringatan ini dijalankan oleh Panitera, jika putusan diberitahukan kepada terdakwa dalam penjara.
3. Perbuatan yang dilakukan menurut ayat (2), harus dicatat dalam surat catatan pemeriksaan sidang.

                                                      Pasal 90
1. Surat putusan harus memuat:
ke 1. nama, umur, tempat lahir, tempat tinggal atau tempat diam dan pekerjaan terdakwa;
ke 2. keputusan tentang kesalahan terdakwa dengan menyebutkan alasan keputusan itu dengan ringkas; termasuk
juga isi alat-alat bukti yang menjadi dasar pembuktian;
ke 3. requisitoir Jaksa Agung;
ke 4. hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa yang diputuskan berkesalahan dengan disebutkan pasal-pasal
Undang-undang yang menjadi dasar hukuman;
ke 5. keputusan tentang ongkos perkara dan keputusan tentang pengembalian barang-barang bukti dan, jika didapat
kepalsuan dalam surat-resmi, keterangan bahwa surat itu palsu seluruhnya atau bagian mana yang dipalsukan;
ke 6. hari tanggal menjatuhkan putusan dan nama para Hakim yang memutuskan, dan jika seorang Hakim itu
berhalangan untuk berhadir pada waktu putusan diucapkan atau untuk menandatangani putusan, dengan
menyebutkan sebabnya berhalangan itu;
ke 7. perintah akan menahan terdakwa sementara atau akan melepaskan dari tahanan dalam hal lain dari pada hal
dibebaskan dengan menerangkan alasan perintah itu.
2. Keputusan tentang sekalian terdakwa dalam satu perkara, yang serempak diputuskan perkaranya, dimuatkan
dalam satu surat putusan.

                                                    Pasal 91
Surat putusan harus ditandatangani oleh para Hakim yang memutuskan dan oleh Panitera yang turut bersidang
waktu putusan dijatuhkan, yaitu selambat-lambatnya 14 hari sesudah putusan diucapkan.

                                                    Pasal 92
Dalam hal surat-resmi yang palsu, maka Panitera melekatkan kepada surat itu petikan putusan yang memuat
keterangan termaksud pada Pasal 90 angka 5, dan pada surat yang palsu atau yang dipalsukan itu Panitera menulis
catatan yang menunjukkan kepada petikan putusan itu; turunan surat yang palsu atau yang dipalsukan itu harus
disertai catatan tersebut.

                                                    Pasal 93
1. Panitera membuat catatan persidangan dengan ditulis segala syarat-syarat acara yang dipenuhi dan segala kejadian
dalam persidangan itu.
2. Catatan ini memuat juga isi yang penting dari keterangan saksi, orang ahli dan terdakwa, kecuali jika Ketua
menganggap, bahwa dalam hal ini cukuplah ditunjukkan saja kepada keterangan-keterangan yang termuat dalam
catatan pemeriksaan permulaan dengan disebut perbedaan antara dua keterangan itu.
3. Ketua boleh memerintahkan supaya sesuatu keadaan atau keterangan dicatat dengan istimewa; catatan ini harus
diadakan apabila diminta oleh Jaksa Agung atau terdakwa atau pembela.
4. Catatan persidangan ditandatangani oleh Ketua dan Panitera; jika mereka berhalangan, hal itu harus disebut dalam
catatan itu.

                                                   Bagian 5.
                                          Tentang menjalankan putusan.

                                                      Pasal 94
1. Putusan Mahkamah Agung yang memuat hukuman harus dijalankan oleh Jaksa Agung.
2. Untuk itu Panitera mengirimkan kepada Jaksa Agung petikan dari putusan itu berangkap dua, dan dalamnya
disebut: nama, umur, tempat lahir, pekerjaan, tempat tinggal atau tempat diam terdakwa, putusan pengadilan, nama
Hakim yang turut memberi putusan, dan lagi perintah tentang penahanan terdakwa.
3. Kalau dari putusan Pengadilan belum dapat dibuat petikan sebagai yang dimaksudkan pada ayat (2), maka
Panitera mengirimkan surat keterangan, yang ditandatangani oleh Ketua dan Panitera dan dibuat secara petikan
tersebut.

                                                      Pasal 95
1. Kalau putusan Mahkamah memuat hukuman denda atau hukuman merampas barang, maka Jaksa Agung
menentukan tempo yang tidak melebihi dua bulan, dalam tempo mana denda harus dibayar lunas atau barang yang
dirampas itu harus diserahkan ataupun dibayar harganya menurut taksiran pada putusan itu.
2. Tempo itu boleh diperpanjang beberapa kali, tetapi jumlahnya tidak boleh lebih lama dari satu tahun.

                                                 Pasal 96
Hukuman mati dijalankan dihadapan Jaksa Agung atau Jaksa Agung Muda dan selalu diusahakan supaya tidak dapat
dilihat oleh orang banyak.

                                                    Pasal 97
Jika orang yang dahulu sudah dapat hukuman penjara, tutupan atau kurungan dan kemudian dapat lagi hukuman
seperti itu sebelum ia menjalankan hukuman yang dijatuhkan lebih dulu itu, maka segala hukuman dijalankan
berturut-turut, mulai dengan hukuman yang terberat.

                                                     Pasal 98
Hukuman membayar ongkos perkara dan hukuman membayar uang ganti kerugian kepada pihak yang mendapat
rugi, dijalankan secara menjalankan putusan pengadilan dalam perkara perdata.

                                                    Pasal 99
Sekalian orang yang bersama-sama dimajukan ke muka Hakim karena satu perbuatan dan bersama-sama dihukum
karena itu, menanggung sendiri-sendiri bayaran semua ongkos perkara yang diputuskan bagi mereka bersama-sama.

                                            BAB V.
                              HAL MEMUTUSKAN PERSELISIHAN TENTANG
                                     KEKUASAAN MENGADILI

                                                   Bagian 1.
                                              Dalam perkara perdata.

                                                     Pasal 100
1. Jika ada perselisihan tentang kekuasaan mengadili dalam perkara perdata, yang harus diputus oleh Mahkamah
Agung, maka salah satu pihak yang berkepentingan dapat memasukkan surat permohonan kepada Mahkamah
Agung dengan diterangkan di dalamnya pendapat permohonan tentang hal ini serta alasan-alasannya, Dengan
permohonan supaya Mahkamah memberi putusan.
2. Setelah surat permohonan itu dituliskan oleh Panitera Mahkamah Agung dalam daftar perselisihan tentang
kekuasaan mengadili dalam perkara perdata, maka Ketua memerintahkan supaya sehelai turunan surat permohonan
dikirimkan kepada pihak yang lain dengan pemberitahuan, bahwa pihak itu dalam waktu yang tertentu dan yang
tidak melebihi satu bulan, dapat memajukan surat kepada Ketua, dengan diterangkan di dalamnya pendapatnya
tentang hal ini serta alasan-asalannya.
3. Kemudian Mahkamah Agung mengambil putusan, kalau perlu setelah memanggil pihak-pihak yang
berkepentingan atau saksi-saksi untuk di dengar dalam sidang pengadilan.

                                                  Bagian 2.
                                             Dalam perkara pidana.

                                                     Pasal 101
Perselisihan tentang kekuasaan mengadili adalah terjadi:
ke 1. apabila suatu pengadilan mengatakan dirinya berkuasa akan mengadili suatu kejahatan atau pelanggaran,
sedangkan ada pengadilan lain yang juga mengatakan dirinya berkuasa mengadili kejahatan atau pelanggaran itu
atau yang bersangkutpaut dengan kejahatan atau pelanggaran itu dalam arti yang dimaksudkan pada Pasal 39 ayat
(5).
ke 2. apabila suatu pengadilan mengatakan dirinya tidak berkuasa akan mengadili suatu kejahatan atau pelanggaran
dan menunjukkan lain pengadilan sebagai yang berkuasa mengadili, sedangkan pengadilan yang ditunjuk itu
mengatakan dirinya pun tidak berkuasa mengadili.

                                                     Pasal 102
1. Permohonan untuk memutus hal perselisihan itu dimajukan kepada Mahkamah Agung.
2. Permohonan termaksud pada ayat 1 harus dilakukan dengan tulisan oleh Jaksa pada Kejaksaan yang ada di
samping salah satu pengadilan yang berselisihan atau oleh terdakwa yang bersangkutan.

                                                     Pasal 103
1. Apabila permohonan dilakukan oleh Jaksa, maka Jaksa itu harus mengirimkan surat permohonan beserta surat-
surat pemeriksaan perkara kepada Ketua Mahkamah Agung dan memberitahukan hal ini dalam satu minggu kepada
pengadilan yang termaksud pada Pasal 102 ayat (2).
2. Kemudian Jaksa tersebut mengirimkan turunan surat permohonan kepada Jaksa pada Kejaksaan yang ada di
samping pengadilan lain yang berselisihan.
3. Jaksa yang tersebut di belakang ini harus mengirimkan surat-surat pemeriksaan perkara yang ada di tangannya
beserta pemandangannya kepada Ketua Mahkamah Agung, yaitu selambat-lambatnya satu bulan setelah menerima
turunan permohonan.
4. Jaksa tersebut pada ayat (1) juga harus mengirimkan turunan surat permohonan kepada terdakwa, yang berhak
mengirimkan pendapatnya kepada Ketua Mahkamah Agung yaitu selambat-lambatnya satu bulan setelah menerima
surat permohonan.

                                                     Pasal 104
1. Apabila permohonan dilakukan oleh terdakwa, maka terdakwa mengirimkan surat permohonan kepada Jaksa pada
Kejaksaan yang ada di samping salah suatu pengadilan yang tersebut pada Pasal 101, dan Jaksa itu harus
melanjutkan surat permohonan itu beserta pemandangannya dan surat pemeriksaan perkara kepada Ketua
Mahkamah Agung.
2. Jaksa ini juga mengirimkan turunan surat permohonan dan pemandangannya kepada Jaksa pada Kejaksaan yang
ada di samping pengadilan lain yang berselisihan.
3. Jaksa yang tersebut dibelakangan ini harus mengirimkan surat-surat pemeriksaan perkara yang ada di tangannya
beserta pemandangannya kepada Ketua Mahkamah Agung, yaitu selambat-lambatnya satu bulan setelah menerima
turunan surat permohonan.

                                                  Pasal 105
1. Para Jaksa pada Kejaksaan-kejaksaan yang masing-masing ada di samping pengadilan yang sama berperselisihan
harus memberitahukan hal masuknya permohonan tersebut di atas kepada pengadilan-pengadilan itu.
2. Dalam hal yang tersebut pada Pasal 101 ke satu, setelah menerima pemberitahuan tersebut pada ayat (1), maka
pemeriksaan perkara oleh pengadilan-pengadilan berperselisihan harus ditunda sehingga perselisihan diputuskan.

                                                    Pasal 106
1. Mahkamah Agung dapat memerintahkan kepada salah suatu pengadilan untuk memeriksa terdakwa tentang hal-
hal yang dianggap perlu untuk mengambil putusan.
2. Pengadilan yang diperintahkan ini harus selekas mungkin membuat catatan pemeriksaan dan mengirimkan catatan
itu kepada Mahkamah Agung.

                                                  Pasal 107
1. Kemudian perselisihan diputus oleh Mahkamah Agung, yaitu setelah mendengar keterangan Jaksa Agung.
2. Jaksa Agung harus memberitahukan putusan itu kepada terdakwa dan Jaksa pada Kejaksaan yang ada di samping
pengadilan-pengadilan yang berperselisihan.

                                                    BAB VI.

                     JALAN - PENGADILAN PADA PERADILAN TINGKATAN KEDUA
                                 BAGI PUTUSAN-PUTUSAN WASIT.

                                                     Pasal 108
1. Dari putusan wasit, yang menurut Pasal 15 dapat dimohonkan pemeriksaan pada tingkatan peradilan kedua, oleh
salah satu dari pihak-pihak yang berkepentingan dapat dimohonkan ulangan pemeriksaan oleh Mahkamah Agung.
2. Permohonan ini harus disampaikan dengan surat kepada Ketua Mahkamah Agung dalam tempo satu bulan setelah
putusan wasit diberitahukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, disertai turunan putusan wasit dan surat-surat
lain yang dianggap perlu.

                                                      Pasal 109
1. Permohonan pemeriksaan ulangan yang dapat diterima, dicatat oleh Panitera Mahkamah Agung di dalam daftar.
2. Panitera memberitahukan hal itu kepada pihak lawan.
3. Kedua belah pihak boleh memasukkan surat-surat keterangan dan bukti kepada Panitera Mahkamah Agung, asal
saja turunan surat-surat itu diberitahukan kepada pihak lawan.

                                               Pasal 110
Kalau dipandang perlu, maka Mahkamah Agung sebelum mengambil putusan mendengar para pihak yang
berperkara dalam sidang pengadilan.

                                                  Pasal 111
Putusan Mahkamah Agung tentang hal ini dapat dijalankan secara menjalankan putusan Pengadilan Negeri dalam
perkara perdata.

                                            BAB VII.
                         JALAN - PENGADILAN DALAM PEMERIKSAAN KASASI.

                                                  Bagian 1.
                                             Dalam perkara perdata.

                                                  Pasal 112
Dalam hal yang menurut Pasal-pasal 16-19 pada putusan pengadilan-pengadilan dan para Hakim dalam perkara
perdata boleh dimajukan permohonan pemeriksaan kasasi, maka para pihak dapat memasukkan permohonan
pemeriksaan kasasi oleh Mahkamah Agung.

                                                  Pasal 113
1. Permohonan untuk pemeriksaan kasasi harus disampaikan dengan surat atau dengan lisan oleh pemohon atau
wakilnya, yang sengaja dikuasakan untuk memajukan permohonan itu, kepada Panitera dari pengadilan atau Hakim
yang mengadakan putusan, penetapan atau perbuatan, yang dimohonkan pemeriksaan kasasi, yaitu di Jawa dan
Madura dalam tempo tiga minggu dan di luar Jawa dan Madura dalam tempo enam minggu sesudah putusan yang
kekuatannya sudah tetap, diberitahukan kepada pemohon.
2. Permohonan itu oleh Panitera tersebut ditulis dalam sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh Panitera
tersebut dan jika dapat juga pemohon atau wakilnya, surat keterangan mana harus dilampirkan pada surat-surat
pemeriksaan perkara dan dicatat dalam daftar.
3. Permohonan itu harus selekas mungkin oleh Panitera diberitahukan kepada pihak lawan.

                                                     Pasal 114
1. Selama surat-surat pemeriksaan perkara belum dikirim ke Mahkamah Agung, maka permohonan pemeriksaan
kasasi dapat dicabut kembali oleh pemohon.
2. Pemeriksaan kasasi hanya dapat diadakan satu kali saja.

                                                        Pasal 115
1. Pada waktu menyampaikan permintaan atau selambat-lambatnya dua minggu kemudian, pemohon pemeriksaan
kasasi harus memajukan alasan-alasan permohonan kepada Panitera tersebut pada Pasal 113 ayat (1).
2. Jika apa yang disebut pada ayat (1) pasal ini dilalaikan, maka permohonan pemeriksaan kasasi dianggap tidak
ada.
3. Pihak lawan berhak memajukan surat yang bermaksud melawan atau menyokong permohonan itu kepada Panitera
tersebut pada ayat (1) selambat-lambatnya dua minggu terhitung mulai pada hari berikutnya hari pemberitahuan
permohonan pemeriksaan kasasi kepadanya.

                                                      Pasal 116
Selambat-lambatnya satu bulan, terhitung mulai pada hari berikutnya hari menyampaikan permohonan pemeriksaan
kasasi kepada Panitera tersebut pada Pasal 113 ayat (1), Panitera ini harus mengirimkan turunan surat putusan atau
penetapan atau perbuatan lain dan surat-surat pemeriksaan serta surat bukti kepada Panitera Mahkamah Agung, yang
seketika harus menulis permohonan ini dalam daftar dan memberitahukan hal ini kepada Ketua Mahkamah Agung.

                                                  Pasal 117
Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung, jika dipandang perlu dengan mendengar sendiri para pihak
atau saksi atau menyuruh mendengarkan para pihak atau saksi oleh Pengadilan Tinggi atau Pengadilan Negeri yang
dalam daerah hukumnya berdiam salah satu pihak.

                                                 Pasal 118
Jika diputuskan oleh Mahkamah Agung bahwa permintaan kasasi ditolak, maka hal ini harus diberitahukan kepada
pemohon pemeriksaan kasasi dan pihak lawannya dan surat-surat pemeriksaan perkara dikirimkan kembali kepada
Panitera pengadilan yang bersangkutan.

                                                   Pasal 119
Dalam putusan sebagai yang tersebut dalam Pasal 20 dan Pasal 21 Mahkamah Agung tidak terikat kepada alasan-
alasan yang dimajukan oleh pemohon pemeriksaan kasasi melainkan dapat memakai alasan-alasan lain.

                                                   Pasal 120
1. Putusan Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
2. Turunan surat putusan dikirimkan kepada Ketua pengadilan yang bersangkutan.

                                                   Bagian 2.
                                              Dalam perkara pidana.

                                                  Pasal 121
Dalam hal yang menurut Pasal-pasal 16-19 pada putusan penetapan dan perbuatan pengadilan-pengadilan dan para
Hakim dalam perkara pidana boleh dimajukan permohonan pemeriksaan kasasi, maka terdakwa atau Jaksa Agung
dapat memasukkan permohonan pemeriksaan kasasi oleh Mahkamah Agung.

                                                    Pasal 122
1. Permohonan untuk pemeriksaan kasasi harus disampaikan dengan surat atau dengan lisan oleh pemohon atau
wakilnya, yang sengaja dikuasakan untuk memajukan permohonan itu, kepada Panitera pengadilan atau Hakim yang
mengadakan putusan, penetapan atau perbuatan yang dimohonkan pemeriksaan kasasi, yaitu di Jawa dan Madura
dalam tempo tiga minggu dan di luar Jawa dan Madura dalam tempo enam minggu sesudah putusan, yang
kekuatannya sudah tetap diberitahukan kepada terdakwa.
2. Permohonan itu oleh Panitera tersebut ditulis dalam sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh Panitera
tersebut dan jika dapat, juga oleh pemohon atau wakilnya, dan pada surat keterangan ini harus disertakan surat-surat
pemeriksaan perkara dan juga dicatat dalam daftar.

                                               Pasal 123
Jika Jaksa yang memasukkan permohonan pemeriksaan kasasi, maka hal itu harus selekas mungkin diberitahukan
kepada terdakwa.

                                                     Pasal 124
1. Selama surat-surat pemeriksaan perkara belum dikirim ke Mahkamah Agung, permohonan pemeriksaan kasasi
dapat dicabut kembali oleh pemohon, dan jika dicabut, tidak dapat diulangi lagi.
2. Pemeriksaan kasasi hanya dapat diadakan satu kali saja.

                                                        Pasal 125
1. Pemohon pemeriksaan kasasi harus memajukan alasan-alasan permintaan, yaitu pada waktu menyampaikan
permohonan atau selambat-lambatnya dua minggu kemudian kepada panitera tersebut pada Pasal 122 ayat (1).
2. Jika apa yang disebut pada ayat (1) pasal ini dilalaikan, maka permohonan pemeriksaan kasasi dianggap tidak
ada.
3. Jika yang mohon pemeriksaan kasasi adalah Jaksa Agung, maka terdakwa berhak memajukan surat yang
bermaksud melawan atau menguatkan permintaan Jaksa Agung, kepada Panitera tersebut pada ayat (1), selambat-
lambatnya dua minggu, terhitung mulai pada hari berikutnya hari pemberitahuan permohonan pemeriksaan kasasi
kepadanya.

                                                     Pasal 126
Selambat-lambatnya satu bulan, terhitung mulai pada hari berikutnya hari penyampaian permohonan pemeriksaan
kasasi kepada Panitera tersebut dalam Pasal 122 ayat (1), Panitera ini harus mengirimkan turunan surat putusan atau
penetapan atau perbuatan lain dan surat pemeriksaan serta surat-surat bukti kepada Panitera Mahkamah Agung, yang
seketika harus menulis permohonan ini dalam daftar dan memberitahukan hal ini kepada Ketua Mahkamah Agung
surat yang bermaksud melawan atau menguatkan permohonan kasasi selambat-lambatnya dua minggu kemudian
beserta surat-surat tersebut.

                                                  Pasal 127
Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung, jika dipandang perlu dengan mendengar sendiri terdakwa
atau saksi atau menyuruh mendengarkan terdakwa atau saksi oleh Pengadilan Tinggi atau Pengadilan Negeri, yang
dalam daerah hukumnya bertempat tinggal terdakwa atau saksi itu.

                                                 Pasal 128
Jika diputuskan oleh Mahkamah Agung, bahwa permohonan kasasi ditolak, maka hal ini harus diberitahukan kepada
pemohon pemeriksaan kasasi dan Jaksa Agung dan surat-surat pemeriksaan perkara dikirim kembali kepada Panitera
Pengadilan yang bersangkutan.

                                                   Pasal 129
Dalam putusan sebagai yang tersebut pada Pasal 20 dan Pasal 21 Mahkamah Agung tidak terikat kepada alasan-
alasan yang dimajukan oleh pemohon pemeriksaan kasasi, melainkan dapat memakai alasan-alasan lain.

                                                   Pasal 130
1. Putusan Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi harus ditandatangani oleh semua Hakim yang turut
memeriksa dan oleh Panitera yang turut membantu pemeriksaan, kecuali jika mereka berhalangan, dan hal ini harus
dicatat dalam surat putusan.
2. Turunan surat putusan dikirimkan kepada Jaksa Agung dan Ketua pengadilan yang bersangkutan.
                                              BAB VIII.
                                        PERATURAN RUPA-RUPA.

                                                     Pasal 131
Jika dalam jalan-pengadilan ada soal yang tidak diatur dalam Undang-undang, maka Mahkamah Agung dapat
menentukan sendiri secara bagaimana soal itu harus diselesaikan.

                                                Pasal 132
Mahkamah Agung wajib memberi laporan atau pertimbangan tentang soal-soal yang berhubung dengan hukum,
apabila hal itu diminta oleh Pemerintah.

                                                     Pasal 133
Pengawasan tertinggi atas para notaris dan para pengacara dilakukan oleh Mahkamah Agung.

                                                   Pasal 134
1. Mahkamah Agung dapat menyuruh salah seorang anggota Mahkamah Agung supaya mengadakan pemeriksaan
dalam rumah penjara di seluruh Indonesia dan memajukan laporan tentang hal itu.
2. Sebagai akibat dari laporan itu Mahkamah Agung dapat memajukan pertimbangan seperlunya kepada Pemerintah.

                                                  BAB IX.

                                          ATURAN PERALIHAN.

                                                   Pasal 135
Segala perkara yang masih sedang dalam pemeriksaan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dan oleh
Hooggerechtshof, dijalankan dan diselesaikan oleh Mahkamah Agung Indonesia dengan pengertian, bahwa dalam
menghitung tenggang-tenggang yang ditentukan tidak dihitung tenggang antara 27 Desember 1949 sampai mulai
berlakunya Undang-undang ini.

                                               BAB X.
                                        NAMA UNDANG-UNDANG.

                                             Pasal 136
Undang-undang ini dapat disebut: "UNDANG-UNDANG MAHKAMAH AGUNG INDONESIA".

                                            BAB XI.
                               MULAI BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG.

                                                 Pasal 137
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari pengumumannya.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, kami memerintahkan pengumuman Undang-undang ini dengan
penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 6 Mei 1950
PRESIDEN REPUBLIK-INDONESIA SERIKAT

SOEKARNO

MENTERI KEHAKIMAN
SOEPOMO
Diumumkan di Jakarta
pada tanggal 9 Mei 1950
Sekretaris Kementerian Penerangan,

Mr. ABIMANJOE.


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1950 NOMOR 30


Silahkan download versi PDF nya sbb:
susunan,_kekuasaan_jalanpengadilan_mahkamah_agung_1.pdf
(ogi/Carapedia)
Pencarian Terbaru

Mengapa suatu perkara dilanjutkan ke mahkamah agung dan mahkamah konstitusi. Mengapa suatu perkara dilanjutkan ke ma dan mk. Mengapa suatu perkara dilanjutkan ke ma. Mengapa suatu perkara di lanjutkan ke ma dan mk. Mengapa suatu perkara di lanjutkan ke ma & mk. Perkara dilanjutkan mahkamah agung disebut. Mengapa suatu perkara di lanjutkan ke mahkamah agung.

Tujuan suatu perkara dilanjutkan ke ma dan mk. Mengapa suatu pekara dilanjukan ke mahkamah agung dan mahkamah konstitusi. Mengapa suatu perkara dilanjutkan ke mk dan makalah konsitusi. Mengapa suatu perkara di lanjutkan. Https://carapedia.com/susunan_kekuasaan_jalan_pengadilan_mahkamah_agung_indonesia_info993.html. Mengapa suatu perkara di lanjutkan ke mahkamah agung dan mahkamah konstitusi. Kenapa suatu perkara di lanjutkan ke ma dan mk.

Suatu perkara dilanjutkan ke ma dan mk. Susunan kekuasaan jalannya pengadilan mahkamah agung indonesia uu no berapa. Mengapa suatu perkara dilanjutkan ke m.a dan ke mk. Kenapa suatu perkara harus dilanjutkan ke mk atau ma. Pengertian panitera dalam susunan konstitusi mahkamah agung. Mengapa perkara di lanjutkan ke mahkamah agung dan konstitusi.

Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.
FIND US ON FACEEBOOK