Previous
Next
  • Home
  • »
  • Undang-Undang
  • »
  • 2004
  • » Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2 thn 2004)

2004

Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2 thn 2004)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial :
                     UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                               NOMOR 2 TAHUN 2004
                                      TENTANG
              PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL


                     DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


                         PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,




Menimbang :    a.      bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan
                    berkeadilan perlu diwujudkan secara optimal sesuai dengan nilai-nilai
                    Pancasila;
               b.      bahwa dalam era industrialisasi, masalah perselisihan hubungan
                    industrial menjadi semakin meningkat dan kompleks, sehingga
                    diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan
                    hubungan industrial yang cepat, tepat, adil, dan murah;
               c.     bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang
                    Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor
                    12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan
                    Swasta sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
               d.      bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada
                    huruf a, b, dan c perlu ditetapkan undang-undang yang mengatur
                    tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
Mengingat :    1.     Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27 ayat (1)
                    dan ayat (2), dan Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
                    Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
               2.     Undang-undang      Nomor     14    Tahun    1970    tentang
                    Ketentuan?ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran
                    Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor
                    2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35
                    Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan
                    Lembaran Negara Nomor 3879);
               3.      Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
                    (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran
                    Negara Nomor 3316);
          4.      Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
               (Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran
               Negara Nomor 3327);
          5.     Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat
               Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 131,
               Tambahan Lembaran Negara Nomor 3989);
          6.      Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
               (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 39; Tambahan Lembaran
               Negara Nomor 4279);




                           Dengan persetujuan bersama antara
                 DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
                                            DAN
                            PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


                                     MEMUTUSKAN :
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG              PENYELESAIAN         PERSELISIHAN
            HUBUNGAN INDUSTRIAL.


                                           BAB I
                                   KETENTUAN UMUM
                                          Pasal 1
          Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
          1.      Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat
               yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan
               pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
               karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan,
               perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar
               serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
          2.      Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak
               dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau
               penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan,
               perjanjian kerja, peraturan perusa-haan, atau perjanjian kerja
               bersama.
          3.      Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam
               hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
               pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan
               dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian
               kerja bersama.
          4.      Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang
               timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
               pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.

          5.     Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan
       antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat
       buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya
       persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan
       kewajiban keserikatpekerjaan.
 6.      Pengusaha adalah :
       a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
            menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
       b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara
            berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

       c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
            berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana
            dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar
            wilayah Indonesia.
7. Perusahaan adalah :


       a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
           perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik
           milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan
           pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam
           bentuk lain;
       b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai
           pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar
           upah atau imbalan dalam bentuk lain.
 8.       Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari,
       oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar
       perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan
       bertanggung jawab         guna memperjuangkan, membela serta
       melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
       kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
 9.      Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima
       upah atau imbalan dalam bentuk lain.
 10.      Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/ buruh
       atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk
       menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
 11.      Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi
       adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
       perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar
       serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui
       musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang
       netral.
 12.      Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator
       adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di
       bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai
       mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan
       mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis
       kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan
       hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
       kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh hanya
       dalam satu perusahaan.
 13.      Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi
       adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan
       pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat
       pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui
       musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang
       netral.
 14.      Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut
       konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat
       sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan
       konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak
       yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan,
       perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar
       serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
 15.      Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase
       adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan
       perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
       perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui
       kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk
       menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang
       putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
 16.      Arbiter Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbiter
       adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih
       dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan
       putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar
       serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan       yang
       diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya
       mengikat para pihak dan bersifat final.
 17.      Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang
       dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang
       memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan
       hubungan industrial.
 18.     Hakim adalah Hakim Karier Pengadilan Negeri yang ditugasi pada
       Pengadilan Hubungan Industrial.
 19.      Hakim Ad-Hoc adalah Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan
       Industrial dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung yang
       pengangkatannya atas usul serikat pekerja/ serikat buruh dan
       organisasi pengusaha.
 20.     Hakim Kasasi adalah Hakim Agung dan Hakim Ad-Hoc pada
       Mahkamah Agung yang berwenang memeriksa, mengadili dan
       memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.
 21.      Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang
       ketenagakerjaan.
                                    Pasal 2
Jenis Perselisihan Hubungan Industrial meliputi :
a.       perselisihan hak;
b.      perselisihan kepentingan;
c.       perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan
d.    perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan.


                                    Pasal 3
(1) Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya
    terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk
    mencapai mufakat.
(2)
    Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud
    dalam ayat (1), harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari
    kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.
(3)
    Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud
    dalam ayat (2) salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah
    dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka
    perundingan bipartit dianggap gagal.


                                      Pasal 4
(1) Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam
    Pasal 3 ayat (3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan
    perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
    ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-
    upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.
    Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
(2) dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang
    ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat
    dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
    pengembalian berkas.
    Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi
    yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib
(3)
    menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih
    penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase.
    Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui
    konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi
(4) yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan
    penyelesaian perselisihan kepada mediator.
    Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penye-lesaian
    perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau
(5) perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh.
      Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian
      perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat
      buruh.
(6)
                                    Pasal 5
Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai
kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Hubungan Industrial.
                                      BAB II
                                   TATA CARA
           PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
                                   Bagian Kesatu
                        Penyelesaian Melalui Bipartit
                                      Pasal 6
(1) Setiap perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dibuat
    risalah yang ditandatangani oleh para pihak.
      Risalah perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-
(2)
      kurangnya memuat :
      a.    nama lengkap dan alamat para pihak;
      b.    tanggal dan tempat perundingan;
      c.    pokok masalah atau alasan perselisihan;
      d.    pendapat para pihak;
      e.    kesimpulan atau hasil perundingan; dan
      f.     tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan
      perundingan.


                                       Pasal 7
(1) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat
    mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian Bersama
    yang ditandatangani oleh para pihak.
(2)
    Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengikat
    dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak.
(3) Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
    didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada
    Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
    para pihak mengadakan Perjanjian Bersama.

(4) Perjanjian Bersama yang telah didaftar sebagaimana dimaksud dalam
    ayat (3) diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan
    merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama.

    Apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
(5) dan ayat (4) tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang
      dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan
      Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian
      Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.
    Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri
    tempat pendaftaran Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam
(6)
    ayat (3), maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan
    eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
    Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke
    Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang
      berkompeten melaksanakan eksekusi.


                                Bagian Kedua
                        Penyelesaian Melalui Mediasi
                                      Pasal 8
Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang
berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan Kabupaten/ Kota.


                                   Pasal 9
Mediator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus memenuhi syarat
sebagai berikut :
a.      beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.      warga negara Indonesia;
c.      berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
d.      menguasai         peraturan      perundang-undangan      di   bidang
ketenagakerjaan;
e.      berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f.      berpendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1); dan
g.      syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.


                                   Pasal 10
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima
pelimpahan penyelesaian perselisihan, mediator harus sudah mengadakan
penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang
mediasi.


                                   Pasal 11
(1) Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam
    sidang mediasi guna diminta dan didengar keterangannya.
      Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima
(2)
      penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan
      dengan Keputusan Menteri.


                                      Pasal 12
    Barang siapa yang diminta keterangannya oleh mediator guna
(1) penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-
    undang ini, wajib memberikan keterangan termasuk membukakan buku
    dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
    Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh mediator terkait dengan
(2) seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka
    harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan
      perundang-undangan yang berlaku.
      Mediator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta
      sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3)

                                     Pasal 13
    Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan
    industrial melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang
    ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta
    didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di
(1)
    wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk
    mendapatkan akta bukti pendaftaran.
      Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan
      hubungan industrial melalui mediasi, maka:
       a.     mediator mengeluarkan anjuran tertulis;
       b.      anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam
(2)         waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang
            mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para
            pihak;
       c.      para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis
            kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran
            tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja
            setelah menerima anjuran tertulis;
       d.      pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana
            dimaksud pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis;
       e.       dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana
            dimaksud pada huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3
            (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus
            sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama
            untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada
            Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan
            Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.

      Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Hubungan Industrial
      pada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
      ayat (2) huruf e dilakukan sebagai berikut :
       a.     Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti
            pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
            Perjanjian Bersama;
       b.      apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat
            (1) dan ayat (2) huruf e tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak,
            maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan
            eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada
            Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk
            mendapat penetapan eksekusi;
(3)
       c.      dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum
            Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat
            pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat
            mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan
            Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon
        eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial
        pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan
        eksekusi.


                                   Pasal 14
(1) Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
    (2) huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para
    pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian
    perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
    Negeri setempat.
    Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
(2) dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak di
    Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.


                                 Pasal 15
Mediator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian
perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).
                                 Pasal 16
Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian mediator
serta tata kerja mediasi diatur dengan Keputusan Menteri.


                              Bagian Ketiga
                     Penyelesaian Melalui Konsiliasi
                                 Pasal 17
Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang
terdaftar pada kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.


                                 Pasal 18
(1) Penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
    hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
    hanya dalam satu perusahaan melalui konsiliasi dilakukan oleh
    konsiliator yang wilayah kerjanya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.
(2) Penyelesaian oleh konsiliator sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
    dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan penyelesaian
    secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para
    pihak.

(3) Para pihak dapat mengetahui nama konsiliator yang akan dipilih dan
    disepakati dari daftar nama konsiliator yang dipasang dan diumumkan
    pada kantor instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
    ketenagakerjaan setempat.


                                   Pasal 19
      Konsiliator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, harus memenuhi
      syarat :
(1)
      a.   beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
      b.   warga negara Indonesia;
      c.   berumur sekurang-kurangnya 45 tahun;
      d.   pendidikan minimal lulusan Strata Satu (S-1);
      e.   berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
      f.   berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
      g. memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-
      kurangnya 5 (lima) tahun;
      h. menguasai      peraturan        perundang-undangan         di   bidang
      ketenagakerjaan; dan
      i.   syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.
      Konsiliator yang telah terdaftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      diberi legitimasi oleh Menteri atau Pejabat yang berwenang di bidang
      ketenagakerjaan.

(2)
                                     Pasal 20
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima
permintaan penyelesaian perselisihan secara tertulis, konsiliator harus
sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan selambat-
lambatnya pada hari kerja kedelapan harus sudah dilakukan sidang
konsiliasi pertama.


                                     Pasal 21
(1) Konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam
    sidang konsiliasi guna diminta dan didengar keterangannya.
      Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan berhak menerima
(2)
      penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya ditetapkan
      dengan Keputusan Menteri.


                                      Pasal 22
    Barang siapa yang diminta keterangannya oleh konsiliator guna
    penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan undang-
(1)
    undang ini, wajib memberikan keterangan termasuk membukakan buku
    dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
    Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh konsiliator terkait dengan
    seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka
(2)
    harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan
    perundang-undangan yang berlaku.
      Konsiliator wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta
      sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3)
                                       Pasal 23
    Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan
    industrial melalui konsiliasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang
    ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator dan
    didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di
(1) wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk
    mendapatkan akta bukti pendaftaran.
      Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan
      hubungan industrial melalui konsiliasi, maka :
       a.     konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis;
       b.     anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam
            waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang
(2)         konsiliasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;
       c.      para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis
            kepada konsiliator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran
            tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja
            setelah menerima anjuran tertulis;
       d.      pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana
            dimaksud pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis;
       e.       dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana
            dimaksud pada huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3
            (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, konsiliator harus
            sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama
            untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada
            Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan Perjanjian
            Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
(3) Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan Hubungan Industrial
    pada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
    ayat (2) huruf e dilakukan sebagai berikut :
       a.     Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti
            pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
            Perjanjian Bersama;
       b.      apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat
            (2) huruf e tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak
            yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi di
            Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di
            wilayah Perjanjian Bersama di daftar untuk mendapat penetapan
            eksekusi;
       c.      dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum
            Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat
            pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat
            mengajukan permohonan eksekusi           melalui     Pengadilan
            Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili
            pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan
            Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten
            melaksanakan eksekusi.
                                       Pasal 24
      Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
      (2) huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka salah
        satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan penyelesaian
        perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
        Negeri setempat.

  (1) Penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak.




  (2)
                                   Pasal 25
  Konsiliator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30
  (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima permintaan penyelesaian
  perselisihan.


                                   Pasal 26
  (1) Konsiliator berhak mendapat honorarium/imbalan jasa berdasarkan
      penyelesaian perselisihan yang dibebankan kepada negara.
        Besarnya honorarium/imbalan jasa sebagaimana dimak-sud dalam ayat
  (2)
        (1) ditetapkan oleh Menteri.


                                 Pasal 27
Kinerja konsiliator dalam satu periode tertentu dipantau dan dinilai oleh
Menteri atau Pejabat yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.
                                 Pasal 28
Tata cara pendaftaran calon, pengangkatan, dan pencabutan legitimasi
konsiliator serta tata kerja konsiliasi diatur dengan Keputusan Menteri.


                              Bagian Keempat
                      Penyelesaian Melalui Arbitrase
                                  Pasal 29
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase meliputi
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan.


                                  Pasal 30
  (1) Arbiter yang berwenang menyelesaikan perselisihan              hubungan
      industrial harus arbiter yang telah ditetapkan oleh Menteri.
        Wilayah kerja arbiter meliputi seluruh wilayah negara Republik
  (2)
        Indonesia.


                                     Pasal 31
        Untuk dapat ditetapkan sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam
(1) Pasal 30 ayat (1) harus memenuhi syarat :
       a.     beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
       b.     cakap melakukan tindakan hukum;
       c.     warga negara Indonesia;
       d.     pendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1);
       e.     berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun;
       f.     berbadan sehat sesuai dengan surat keterangan dokter;
       g.      menguasai peraturan perundang-undangan di bidang
            ketenagakerjaan yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti
            kelulusan telah mengikuti ujian arbitrase; dan
       h.      memiliki pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-
            kurangnya 5 (lima) tahun.
      Ketentuan mengenai pengujian dan tata cara pendaftaran arbiter diatur
      dengan Keputusan Menteri.


                                     Pasal 32
      Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbiter dilakukan
      atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih.
(2)
      Kesepakatan para pihak yang berselisih sebagaimana dimaksud dalam
      ayat (1) dinyatakan secara tertulis dalam surat perjanjian arbitrase,
      dibuat rangkap 3 (tiga)   dan masing-masing pihak mendapatkan 1
      (satu) yang mempunyai kekuatan hukum yang sama.
      Surat perjanjian arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
      sekurang-kurangnya memuat :
(1)
       a.     nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak
            yang berselisih;
(2) b.         pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang
            diserahkan kepada arbitrase untuk diselesaikan dan diambil
            putusan;
    c.        jumlah arbiter yang disepakati;
(3) d.        pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan
            menjalankan keputusan arbitrase; dan
       e.      tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan
            para pihak yang berselisih.
                                      Pasal 33
      Dalam hal para pihak telah menandatangani surat perjanjian arbitrase
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) para pihak berhak
      memilih arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri.
      Para pihak yang berselisih dapat menunjuk arbiter tunggal atau
      beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah gasal sebanyak-banyaknya
      3 (tiga) orang.
      Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk arbiter tunggal, maka
      para pihak harus sudah mencapai kesepakatan dalam waktu selambat-
      lambatnya 7 (tujuh) hari kerja tentang nama arbiter dimaksud.
    Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk beberapa arbiter
    (majelis) dalam jumlah gasal, masing-masing pihak berhak memilih
    seorang arbiter dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja,
(1) sedangkan arbiter ketiga ditentukan oleh para arbiter yang ditunjuk
    dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja untuk diangkat
    sebagai Ketua Majelis Arbitrase.
    Penunjukan arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4)
(2) dilakukan secara tertulis.
    Dalam hal para pihak tidak sepakat untuk menunjuk arbiter baik tunggal
    maupun beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah gasal sebagaimana
(3) dimaksud dalam       ayat (2), maka atas permohonan salah satu pihak
    Ketua Pengadilan dapat mengangkat arbiter dari daftar arbiter yang
    ditetapkan oleh Menteri.
    Seorang arbiter yang diminta oleh para pihak, wajib memberitahukan
(4) kepada para pihak tentang hal yang mungkin akan mempengaruhi
    kebebasannya atau menimbulkan keberpihakan putusan yang akan
    diberikan.
      Seseorang yang menerima penunjukan sebagai arbiter sebagaimana
      dimaksud dalam ayat (6) harus memberitahukan kepada para pihak
      mengenai penerimaan penunjukannya secara tertulis.
(5)

                                     Pasal 34
(6)




(7)




(8)
(1) Arbiter yang bersedia untuk ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam
    Pasal 33 ayat (8) membuat perjanjian penunjukan arbiter dengan para
    pihak yang berselisih.
(2) Perjanjian penunjukan arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
    sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut :
       a.     nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak
            yang berselisih dan arbiter;
       b.      pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang
            diserahkan kepada arbiter untuk diselesaikan dan diambil
            keputusan;
       c.     biaya arbitrase dan honorarium arbiter;
       d.     pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan
            menjalankan keputusan arbitrase;
       e.     tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan
            para pihak yang berselisih dan arbiter;
       f.     pernyataan arbiter atau para arbiter untuk tidak melampaui
            kewenangannya dalam penyelesaian perkara yang ditanganinya;
            dan
       g.      tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda
            sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang
            berselisih.
      Perjanjian arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-
      kurangnya dibuat rangkap 3 (tiga), masing-masing pihak dan arbiter
      mendapatkan 1 (satu) yang mempunyai kekuatan hukum yang sama.
    Dalam hal arbitrase dilakukan oleh beberapa arbiter, maka asli dari
(3) perjanjian tersebut diberikan kepada Ketua Majelis Arbiter.
                                    Pasal 35
    Dalam hal arbiter telah menerima penunjukan dan menandatangani
    surat perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), maka
(4) yang bersangkutan tidak dapat menarik diri, kecuali atas persetujuan
    para pihak.
      Arbiter yang akan menarik diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
      harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada para pihak.
(1) Dalam hal para pihak dapat menyetujui permohonan penarikan diri
    sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka yang bersangkutan dapat
    dibebaskan dari tugas sebagai arbiter dalam penyelesaian kasus
    tersebut.

(2) Dalam hal permohonan penarikan diri tidak mendapat persetujuan para
    pihak, arbiter harus mengajukan permohonan pada Pengadilan
    Hubungan Industrial untuk dibebaskan dari tugas sebagai arbiter
    dengan mengajukan alasan yang dapat diterima.
(3)

                                      Pasal 36

(4)
(1) Dalam hal arbiter tunggal mengundurkan diri atau meninggal dunia,
    maka para pihak harus menunjuk arbiter pengganti yang disepakati
    oleh kedua belah pihak.
(2) Dalam hal arbiter yang dipilih oleh para pihak mengundurkan diri, atau
      meninggal dunia, maka penunjukan arbiter pengganti diserahkan
      kepada pihak yang memilih arbiter.
(3)
    Dalam hal arbiter ketiga yang dipilih oleh para arbiter mengundurkan
    diri atau meninggal dunia, maka para arbiter harus menunjuk arbiter
(4) pengganti berdasarkan kesepakatan para arbiter.
      Para pihak atau para arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
      ayat (2), dan ayat (3) harus sudah mencapai kesepakatan menunjuk
      arbiter pengganti dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
      kerja.
(5)
      Apabila para pihak atau para arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat
      (4) tidak mencapai kesepakatan, maka para pihak atau salah satu pihak
      atau salah satu arbiter atau para arbiter dapat meminta kepada
      Pengadilan Hubungan Industrial untuk menetapkan arbiter pengganti
      dan Pengadilan harus menetapkan arbiter pengganti dalam waktu
      selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya
      permintaan penggantian arbiter.
                                Pasal 37
Arbiter pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 harus membuat
pernyataan kesediaan menerima hasil-hasil yang telah dicapai dan
melanjutkan penyelesaian perkara.


                                Pasal 38
(1) Arbiter yang telah ditunjuk oleh para pihak berdasarkan perjanjian
    arbitrase dapat diajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan Negeri
    apabila cukup alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan
    keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas
    dan akan berpihak dalam mengambil putusan.
    Tuntutan ingkar terhadap seorang arbiter dapat pula diajukan apabila
(2) terbukti adanya hubungan kekeluargaan atau pekerjaan dengan salah
    satu pihak atau kuasanya.

(3) Putusan Pengadilan Negeri mengenai tuntutan ingkar tidak dapat
    diajukan perlawanan.


                                  Pasal 39
      Hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan
(1)
      ditujukan kepada Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
    Hak ingkar terhadap arbiter tunggal yang disepakati diajukan kepada
(2) arbiter yang bersangkutan.
(3) Hak ingkar terhadap anggota majelis arbiter yang disepakati diajukan
    kepada majelis arbiter yang bersangkutan.


                                  Pasal 40
    Arbiter wajib menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam
    waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
(1) penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter.
    Pemeriksaan atas perselisihan harus dimulai dalam waktu selambat-
    lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah penanda- tanganan surat
(2)
    perjanjian penunjukan arbiter.
    Atas kesepakatan para pihak, arbiter berwenang untuk memperpanjang
(3) jangka waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial 1 (satu)
    kali perpanjangan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja.
                                Pasal 41
Pemeriksaan perselisihan hubungan industrial oleh arbiter atau majelis
arbiter dilakukan secara tertutup kecuali para pihak yang berselisih
menghendaki lain.


                                 Pasal 42
Dalam sidang arbitrase, para pihak yang berselisih dapat diwakili oleh
kuasanya dengan surat kuasa khusus.


                                   Pasal 43
(1) Apabila pada hari sidang para pihak yang berselisih atau kuasanya
    tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir, walaupun telah dipanggil
    secara patut, maka arbiter atau majelis arbiter dapat membatalkan
    perjanjian penunjukan arbiter dan tugas arbiter atau majelis arbiter
    dianggap selesai.
    Apabila pada hari sidang pertama dan sidang-sidang selanjutnya salah
(2) satu pihak atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir
    walaupun untuk itu telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis
    arbiter dapat memeriksa perkara dan menjatuhkan putusannya tanpa
    kehadiran salah satu pihak atau kuasanya.
    Dalam hal terdapat biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan perjanjian
    penunjukan arbiter sebelum perjanjian tersebut dibatalkan oleh arbiter
(3) atau majelis arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), biaya
    tersebut tidak dapat diminta kembali oleh para pihak.
                                    Pasal 44
      Penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh arbiter harus
      diawali dengan upaya mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih.
(1) Apabila perdamaian sebagaimana dimaksud dalam            ayat (1)
    tercapai, maka arbiter atau majelis arbiter wajib membuat Akta
    Perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak yang berselisih dan
(2) arbiter atau majelis arbiter.
      Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didaftarkan di
      Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
      arbiter mengadakan perdamaian.
(3) Pendaftaran Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
    dilakukan sebagai berikut :
       a.     Akta Perdamaian yang telah didaftar diberikan akta bukti
(4)
            pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
            Akta Perdamaian;
       b.      apabila Akta Perdamaian tidak dilaksanakan oleh salah satu
            pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan
            eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada
            Pengadilan Negeri di wilayah Akta Perdamaian didaftar untuk
            mendapat penetapan eksekusi;
       c.      dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum
            Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat
            pendaftaran Akta Perdamaian, maka pemohon eksekusi dapat
            mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan
            Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon
            eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial
            pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan
            eksekusi.
      Apabila upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      gagal, arbiter atau majelis arbiter meneruskan sidang arbitrase.
                                 Pasal 45




(5)
(1) Dalam persidangan arbitrase para pihak diberi kesempatan untuk
    menjelaskan secara tertulis maupun lisan pendirian masing-masing
    serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan
    pendiriannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter atau
    majelis arbiter.
(2)
    Arbiter atau majelis arbiter berhak meminta kepada para pihak untuk
    mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti
    lainnya yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh
    arbiter atau majelis arbiter.


                                 Pasal 46
(1) Arbiter atau majelis arbiter dapat memanggil seorang saksi atau lebih
    atau seorang saksi ahli atau lebih untuk didengar keterangannya.
    Sebelum memberikan keterangan para saksi atau saksi ahli wajib
(2) mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agama dan
    kepercayaan masing-masing.
(3) Biaya pemanggilan dan perjalanan rohaniawan untuk melaksanakan
    pengambilan sumpah atau janji terhadap saksi atau saksi ahli
    dibebankan kepada pihak yang meminta.
(4) Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli dibebankan
    kepada pihak yang meminta.

(5) Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli yang diminta
    oleh arbiter dibebankan kepada para pihak.


                                 Pasal 47
    Barang siapa yang diminta keterangannya oleh arbiter atau majelis
    arbiter guna penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan
(1) industrial berdasarkan undang-undang ini wajib memberikannya,
    termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang
    diperlukan.
    Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh arbiter terkait dengan
(2) seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasiaan, maka
    harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan
    perundang-undangan yang berlaku.
      Arbiter wajib merahasiakan semua       keterangan   yang   diminta
      sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3)
                                Pasal 48
Terhadap kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang arbitrase dibuat berita
acara pemeriksaan oleh arbiter atau majelis arbiter.
                                     Pasal 49
Putusan sidang arbitrase ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, perjanjian, kebiasaan, keadilan dan kepentingan
umum.


                                     Pasal 50
(1) Putusan arbitrase memuat :
       a.     kepala putusan yang  berbunyi "DEMI                     KEADILAN
            BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
       b.     nama lengkap dan alamat arbiter atau majelis arbiter;
       c.     nama lengkap dan alamat para pihak;
       d.      hal-hal yang termuat dalam surat perjanjian yang diajukan oleh
            para pihak yang berselisih;
       e.      ikhtisar dari tuntutan, jawaban, dan penjelasan lebih lanjut para
            pihak yang berselisih;
       f.     pertimbangan yang menjadi dasar putusan;
       g.     pokok putusan;
       h.     tempat dan tanggal putusan;
       i.     mulai berlakunya putusan; dan
       j.     tanda tangan arbiter atau majelis arbiter.
      Tidak ditandatanganinya putusan arbiter oleh salah seorang arbiter
      dengan alasan sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan
      berlakunya putusan.
      Alasan tentang tidak adanya tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam
      ayat (2) harus dicantumkan dalam putusan.
      Dalam putusan, ditetapkan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari
      kerja harus sudah dilaksanakan.


(2)                                    Pasal 51
    Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para
    pihak yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan
(3)
    tetap.
    Putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didaftarkan di
(4) Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
    arbiter menetapkan putusan.
    Dalam hal putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
    dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat
    mengajukan permohonan fiat eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial
    pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
    kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan, agar
(1) putusan diperintahkan untuk dijalankan.
    Perintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus diberikan dalam
(2) waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah
    permohonan didaftarkan pada Panitera Pengadilan Negeri setempat
      dengan tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan
      arbitrase.
(3)

                                    Pasal 52




(4)
(1) Terhadap putusan arbitrase, salah satu pihak dapat mengajukan
    permohonan pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu
    selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak ditetapkannya
    putusan arbiter, apabila putusan diduga mengandung unsur-unsur
    sebagai berikut :
       a.      surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah
            putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu;
       b.     setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
            menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan;
       c.      putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah
            satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan;
       d.      putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial;
            atau
       e.     putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
      Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      dikabulkan, Mahkamah Agung menetapkan akibat dari pembatalan baik
      seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.
      Mahkamah Agung memutuskan permohonan pembatalan sebagaimana
      dimaksud dalam ayat (1) dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga
      puluh) hari kerja terhitung sejak menerima permohonan pembatalan.
(2)


(3)


                                   Pasal 53
Perselisihan hubungan industrial yang sedang atau telah diselesaikan
melalui arbitrase tidak dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial.


                                   Pasal 54
Arbiter atau majelis arbiter tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum
apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan
berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis
arbiter, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan
tersebut.
                                  BAB III
                PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
                              Bagian Kesatu
                                  Umum
                                 Pasal 55
Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang
berada pada lingkungan peradilan umum.


                                 Pasal 56
Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus :
 a.     di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
 b.     di tingkat    pertama    dan    terakhir   mengenai    perselisihan
      kepentingan;
 c.      di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan
      kerja;
 d.     di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat
      pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
                                 Pasal 57
Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah
Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-
undang ini.


                                 Pasal 58
Dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan   Industrial, pihak-pihak
yang berperkara tidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi yang
nilai gugatannya di bawah Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah).


                                 Pasal 59
(1) Untuk pertama kali dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan
    Hubungan Industrial pada setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota
    yang berada di setiap Ibukota Propinsi yang daerah hukumnya meliputi
    propinsi yang bersangkutan.
(2) Di Kabupaten/Kota terutama yang padat industri, dengan Keputusan
    Presiden harus segera dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada
    Pengadilan Negeri setempat.


                                  Pasal 60
    Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
(1) terdiri dari :
      a. Hakim;
      b. Hakim Ad-Hoc;
      c. Panitera Muda; dan
      d. Panitera Pengganti.
      Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung
      terdiri dari :
(2) a. Hakim Agung;
      b. Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung; dan
      c. Panitera.
                                Bagian Kedua
                  Hakim, Hakim Ad-Hoc, dan Hakim Kasasi
                                   Pasal 61
Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diangkat
dan diberhentikan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.


                                   Pasal 62
Pengangkatan Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


                                   Pasal 63
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dengan
    Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
      Calon Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan
(2)
      oleh Ketua Mahkamah Agung dari nama yang disetujui oleh Menteri
      atas usul serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha.
      Ketua Mahkamah Agung mengusulkan pemberhentian Hakim Ad-Hoc
      Hubungan Industrial kepada Presiden.
(3)
                                   Pasal 64
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan
Industrial dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung, harus memenuhi
syarat sebagai berikut :
 a.       warga negara Indonesia;
 b.       bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
 c.      setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
       Republik Indonesia Tahun 1945;
 d.       berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun;
 e.       berbadan sehat sesuai dengan keterangan dokter;
 f.       berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
 g.      berpendidikan serendah-rendahnya Strata Satu (S-1) kecuali bagi
       Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung syarat pendidikan Sarjana
        Hukum; dan
 h.        berpengalaman di bidang hubungan industrial minimal 5 (lima)
        tahun.


                                    Pasal 65
(1) Sebelum memangku jabatannya, Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan
    Industrial wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau
    kepercayaannya, bunyi sumpah atau janji itu adalah sebagai berikut
    :
                ? Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh
          bahwa saya untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung
          atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara
          apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu
          kepada siapapun juga.
                  Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan
          atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali
          akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga
          suatu janji atau pemberian.
                 Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan setia kepada
          dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai
          pandangan hidup bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional,
          Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
          dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi
          negara Republik Indonesia.
                  Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan
          menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama dan dengan
          tidak membedakan orang dan akan melaksanakan kewajiban saya
          sebaik-baiknya dan seadil-adilnya berdasarkan peraturan
          perundang-undangan yang berlaku.?
      Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
      Negeri diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Negeri atau
      pejabat yang ditunjuk.

(2)
                                      Pasal 66
      Hakim Ad-Hoc tidak boleh merangkap jabatan sebagai :
      a. anggota Lembaga Tinggi Negara;
      b. kepala daerah/kepala wilayah;
      c. lembaga legislatif tingkat daerah;
(1)
      d. pegawai negeri sipil;
      e. anggota TNI/Polri;
      f. pengurus partai politik;
      g. pengacara;
      h. mediator;
      i. konsiliator;
      j. arbiter; atau
      k. pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau pengurus organisasi
      pengusaha.
      Dalam hal seorang Hakim Ad-Hoc yang merangkap jabatan
      sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), jabatannya sebagai Hakim Ad-
      Hoc dapat dibatalkan.


                                     Pasal 67




(2)
(1) Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc
    Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung diberhentikan dengan
    hormat dari jabatannya karena :
       a.     meninggal dunia;
       b.     permintaan sendiri;
       c.      sakit jasmani atau rohani terus menerus selama 12 (dua belas)
            bulan;
       d.      telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi Hakim Ad-Hoc
            pada Pengadilan Hubungan Industrial dan telah berumur 67 (enam
            puluh tujuh) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung;
       e.     tidak cakap dalam menjalankan tugas;
       f.     atas permintaan organisasi pengusaha atau            organisasi
            pekerja/organisasi buruh yang mengusulkan; atau
       g.     telah selesai masa tugasnya.
      Masa tugas Hakim Ad-Hoc untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat
      diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.


                                     Pasal 68
    Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diberhentikan tidak
(2) dengan hormat dari jabatannya dengan alasan :
       a.     dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
       b.      selama 3 (tiga) kali berturut-turut dalam kurun waktu 1 (satu)
            bulan melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas
            pekerjaannya tanpa alasan yang sah; atau
       c.     melanggar sumpah atau janji jabatan.
(1)
      Pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana
      dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah yang bersangkutan diberi
      kesempatan untuk mengajukan pembelaan kepada Mahkamah
      Agung.


                                     Pasal 69
      Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial sebelum diberhentikan
      tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1),
      dapat diberhentikan sementara dari jabatannya.
    Hakim Ad-Hoc yang diberhentikan sementara sebagai-mana dimaksud
    dalam ayat (1), berlaku pula ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
(2) Pasal 68 ayat (2).


                                  Pasal 70
      Pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial
      dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan dan sumber daya yang
      tersedia.

(1)

    Untuk pertama kalinya pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan
    Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri paling sedikit 5 (lima)
    orang dari unsur serikat pekerja/ serikat buruh dan 5 (lima) orang dari
(2) unsur organisasi pengusaha.




                                  Pasal 71
    Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan atas pelaksanaan
(1) tugas Hakim, Hakim Ad-Hoc, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti
    Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri sesuai
    dengan kewenangannya.
      Ketua Mahkamah Agung melakukan pengawasan atas pelaksanaan
      tugas Hakim Kasasi, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti
      Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung sesuai dengan
      kewenangannya.
(2)
      Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
      Ketua Pengadilan Negeri dapat memberikan petunjuk dan teguran
      kepada Hakim dan Hakim Ad-Hoc.
      Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
      Ketua Mahkamah Agung dapat memberikan petunjuk dan teguran
      kepada Hakim Kasasi.
    Petunjuk dan teguran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan
    ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim, Hakim Ad-Hoc dan
    Hakim Kasasi Pengadilan Hubungan Industrial dalam memeriksa dan
(1) memutus perselisihan.




(2)




(3)
(4)


(5)
                                  Pasal 72

                           Tata   cara   pengangkatan,   pemberhentian
                           dengan hormat, pemberhentian dengan tidak
                           hormat, dan pemberhentian sementara Hakim
                           Ad-Hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal
                           67, Pasal 68, dan Pasal 69 diatur dengan
                           Peraturan
                           Pemerintah.


                                  Pasal 73

                           Tunjangan dan hak-hak lainnya bagi Hakim
                           Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diatur
                           dengan Keputusan Presiden.


                             Bagian Ketiga
                 Sub Kepaniteraan dan Panitera Pengganti

                                  Pasal 74

(1) Pada setiap Pengadilan Negeri yang telah ada Pengadilan Hubungan
    Industrial dibentuk Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial
    yang dipimpin oleh seorang Panitera Muda.
(2)
    Dalam melaksanakan tugasnya, Panitera Muda sebagai-mana
    dimaksud dalam ayat (1) dibantu oleh beberapa orang Panitera
    Pengganti.


                                  Pasal 75

(1) Sub Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1)
    mempunyai tugas :
      a. menyelenggarakan administrasi Pengadilan Hubungan Industrial;
      dan
    b. membuat daftar semua perselisihan yang diterima dalam buku
(2) perkara.
      Buku perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)        huruf b,
      sekurang-kurangnya memuat nomor urut, nama dan alamat para pihak,
      dan jenis perselisihan.
                               Pasal 76
Sub Kepaniteraan bertanggung jawab atas penyampaian surat panggilan
sidang, penyampaian pemberitahuan putusan dan penyampaian salinan
putusan.


                               Pasal 77


(1) Untuk pertama kali Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan
    Hubungan Industrial diangkat dari Pegawai Negeri Sipil dari instansi
    Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
    Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pengangkatan, dan
(2) pemberhentian Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan
    Hubungan Industrial diatur lebih lanjut menurut peraturan perundang-
    undangan yang berlaku.


                               Pasal 78
Susunan organisasi, tugas, dan tata kerja Sub Kepaniteraan Pengadilan
Hubungan Industrial diatur dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.


                               Pasal 79
(1) Panitera Pengganti bertugas mencatat jalannya persidangan dalam
    Berita Acara.
(2)
    Berita Acara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditandatangani
    oleh Hakim, Hakim Ad-Hoc, dan Panitera Pengganti.


                                 Pasal 80
    Panitera Muda bertanggung jawab atas buku perkara dan surat-surat
(1) lainnya yang disimpan di Sub Kepaniteraan.
    Semua buku perkara dan surat-surat sebagaimana dimaksud dalam
(2) ayat (1) baik asli maupun foto copy tidak boleh dibawa keluar ruang
    kerja Sub Kepaniteraan kecuali atas izin Panitera Muda.
                                BAB IV
                   PENYELESAIAN PERSELISIHAN
          MELALUI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
                            Bagian Kesatu
                Penyelesaian Perselisihan Oleh Hakim
                              Paragraf 1
                         Pengajuan Gugatan
                               Pasal 81
Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya
meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.
                                Pasal 82
Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjan, dapat diajukan hanya
dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau
diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha.


                                Pasal 83
(1) Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui
    mediasi atau konsiliasi, maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial
    wajib mengembalikan gugatan kepada pengugat.
(2)
    Hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan dan bila terdapat
    kekurangan, hakim meminta penggugat untuk menyempurnakan
    gugatannya.
                                Pasal 84
Gugatan yang melibatkan lebih dari satu penggugat dapat diajukan secara
kolektif dengan memberikan kuasa khusus.
                                Pasal 85
(1) Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum
    tergugat memberikan jawaban.
(2)
    Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu,
    pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan oleh Pengadilan
    Hubungan Industrial hanya apabila disetujui tergugat.
                                Pasal 86
Dalam hal perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan diikuti
dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja,       maka Pengadilan
Hubungan Industrial wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan
hak dan/atau perselisihan kepentingan.


                                Pasal 87
Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak
sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial
untuk mewakili anggotanya.


                                Pasal 88
(1) Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh)
    hari kerja setelah menerima gugatan harus sudah menetapkan Majelis
    Hakim yang terdiri atas 1 (satu) orang Hakim sebagai Ketua Majelis dan
    2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc sebagai Anggota Majelis yang memeriksa
    dan memutus perselisihan.
    Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas
(2) seorang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatan-nya diusulkan oleh serikat
    pekerja/serikat buruh   dan    seorang    Hakim   Ad-Hoc    yang
    pengangkatannya diusulkan oleh organisasi pengusaha sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2).
      Untuk membantu tugas Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam
      ayat (1) ditunjuk seorang Panitera Pengganti.
(3)
                                   Paragraf 2
                       Pemeriksaan Dengan Acara Biasa
                                    Pasal 89
      Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penetapan
      Majelis Hakim, maka Ketua Majelis Hakim harus sudah melakukan
      sidang pertama.
(1) Pemanggilan untuk datang ke sidang dilakukan secara sah apabila
    disampaikan dengan surat panggilan kepada para pihak di alamat
    tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui
(2) disampaikan di tempat kediaman terakhir.
      Apabila pihak yang dipanggil tidak ada di tempat tinggalnya atau tempat
      tinggal kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui Kepala
      Kelurahan atau Kepala Desa yang daerah hukumnya meliputi tempat
      tinggal pihak yang dipanggil atau tempat kediaman yang terakhir.
(3)
      Penerimaan surat penggilan oleh pihak yang dipanggil sendiri atau
      melalui orang lain dilakukan dengan tanda penerimaan.
    Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak
(4) dikenal, maka surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman
    di gedung Pengadilan Hubungan Industrial yang memeriksanya.

(5)
                                    Pasal 90
      Majelis Hakim dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir di
      persidangan guna diminta dan didengar keterangannya.
      Setiap orang yang dipanggil untuk menjadi saksi atau saksi ahli
      berkewajiban untuk memenuhi panggilan dan memberikan
      kesaksiannya di bawah sumpah.

(1)
                                    Pasal 91
    Barang siapa yang diminta keterangannya oleh Majelis Hakim guna
(2) penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial
    berdasarkan undang-undang ini wajib memberikannya tanpa syarat,
    termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang
    diperlukan.
    Dalam hal keterangan yang diminta Majelis Hakim terkait dengan
    seseorang yang karena jabatannya harus menjaga kerahasian, maka
(1) harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan
    perundang-undangan yang berlaku.
      Hakim wajib merahasiakan semua            keterangan    yang   diminta
      sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).


(2)
(3)


                               Pasal 92
Sidang sah apabila dilakukan oleh Majelis Hakim sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 88 ayat (1).


                               Pasal 93
(1) Dalam hal salah satu pihak atau para pihak tidak dapat menghadiri
    sidang tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, Ketua Majelis
    Hakim menetapkan hari sidang berikutnya.
(2) Hari sidang berikutnya sebagaimana dimaksud dalam          ayat (1)
    ditetapkan dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
    terhitung sejak tanggal penundaan.
(3)
    Penundaan sidang karena ketidakhadiran salah satu atau para pihak
    diberikan sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali penundaan.
                                 Pasal 94

(1) Dalam hal penggugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil
    secara patut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak datang
    menghadap Pengadilan pada sidang penundaan terakhir sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3), maka gugatannya dianggap gugur,
    akan tetapi penggugat berhak mengajukan gugatannya sekali lagi.
    Dalam hal tergugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil
(2) secara patut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak datang
    menghadap Pengadilan pada sidang penundaan terakhir sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3), maka Majelis Hakim dapat
    memeriksa dan memutus perselisihan tanpa dihadiri tergugat.


                                 Pasal 95
      Sidang Majelis Hakim terbuka untuk umum, kecuali Majelis Hakim
      menetapkan lain.
    Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menghormati tata
(1) tertib persidangan.
(2) Setiap orang yang tidak mentaati tata tertib persidangan sebagaimana
(3) dimaksud dalam ayat (2), setelah mendapat peringatan dari atau atas
    perintah Ketua Majelis Hakim, dapat dikeluarkan dari ruang sidang.



                                 Pasal 96
    Apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata pihak
    pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 155 ayat (3) Undang-undang Nomor 13 Tahun
(1) 2003 tentang Ketenagakerjaan, Hakim Ketua Sidang harus segera
    menjatuhkan Putusan Sela berupa perintah kepada pengusaha untuk
    membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima
      pekerja/buruh yang bersangkutan.
      Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dijatuhkan
      pada hari persidangan itu juga atau pada hari persidangan kedua.
    Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan
(2) Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak juga
    dilaksanakan oleh pengusaha, Hakim Ketua Sidang memerintahkan
    Sita Jaminan dalam sebuah Penetapan Pengadilan Hubungan
(3) Industrial.
      Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan Penetapan
      sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan perlawanan
      dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum.
(4)

                                  Pasal 97
Dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial ditetapkan kewajiban yang
harus dilakukan dan/atau hak yang harus diterima oleh para pihak atau
salah satu pihak atas setiap penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.


                                 Paragraf 3
                     Pemeriksaan Dengan Acara Cepat
                                  Pasal 98
(1) Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak
    yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-
    alasan permohonan dari yang berkepentingan, para pihak dan/atau
    salah satu pihak dapat memohon kepada Pengadilan Hubungan
    Industrial supaya pemeriksaan sengketa dipercepat.
    Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya
(2) permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan
    Negeri mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak
    dikabulkannya permohonan tersebut.
    Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam           ayat (2) tidak
(3) dapat digunakan upaya hukum.


                                   Pasal 99
    Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat
    (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 7 (tujuh)
    hari kerja setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud
(1) dalam Pasal 98 ayat (2), menentukan Majelis Hakim, hari, tempat, dan
    waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan.
      Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah pihak,
      masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 (empat belas) hari kerja.


(2)
                                 Paragraf 4
                           Pengambilan Putusan
                                  Pasal 100
Dalam mengambil putusan, Majelis Hakim mempertimbang-kan hukum,
perjanjian yang ada, kebiasaan, dan keadilan.


                                  Pasal 101
(1) Putusan Mejelis Hakim dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.
(2) Dalam hal salah satu pihak tidak hadir dalam sidang sebagaimana
    dimaksud dalam ayat (1), Ketua Majelis Hakim memerintahkan kepada
    Panitera Pengganti untuk menyampaikan pemberitahuan putusan
    kepada pihak yang tidak hadir tersebut.
(3) Putusan Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam              ayat (1)
    sebagai putusan Pengadilan Hubungan Industrial.
    Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
(4) berakibat putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan
    hukum.


                                    Pasal 102
      Putusan Pengadilan harus memuat :
(1) a.        kepala putusan berbunyi: ?DEMI KEADILAN BERDASARKAN
            KETUHANAN YANG MAHA ESA?;
       b.      nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau
            tempat kedudukan para pihak yang berselisih;
       c.      ringkasan pemohon/penggugat      dan   jawaban    termohon/
            tergugat yang jelas;
       d.     pertimbangan terhadap setiap bukti dan data yang diajukan hal
            yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
       e.     alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
       f.     amar putusan tentang sengketa;
       g.      hari, tanggal putusan, nama Hakim, Hakim Ad-Hoc yang
            memutus, nama Panitera, serta keterangan tentang hadir atau
            tidak hadirnya para pihak.
      Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
      ayat (1) dapat menyebabkan batalnya putusan Pengadilan Hubungan
      Industrial.




(2)
                                  Pasal 103
Majelis Hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari
kerja terhitung sejak sidang pertama.
                               Pasal 104
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 103 ditandatangani oleh Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Panitera
Pengganti.
                               Pasal 105
Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial dalam waktu
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah putusan Majelis Hakim
dibacakan, harus sudah menyampaikan pemberitahuan putusan kepada
pihak yang tidak hadir dalam sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
101 ayat (2).


                               Pasal 106
Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan
ditandatangani, Panitera Muda harus sudah menerbitkan salinan
putusan.


                               Pasal 107
Panitera Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja setelah salinan putusan diterbitkan harus sudah mengirimkan salinan
putusan kepada para pihak.




Pasal 108
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dapat mengeluarkan
putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya
diajukan perlawanan atau kasasi.


                               Pasal 109
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan akhir
dan bersifat tetap.


                               Pasal 110
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja
mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan
kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14
(empat belas) hari kerja :


a.      bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan dibacakan dalam
sidang majelis hakim;
b.      bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima
pemberitahuan putusan.
                               Pasal 111
Salah satu pihak atau para pihak yang hendak mengajukan permohonan
kasasi harus menyampaikan secara tertulis melalui Sub Kepaniteraan
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.


                               Pasal 112
Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi harus sudah
menyampaikan berkas perkara kepada Ketua Mahkamah Agung.


                            Bagian Kedua
            Penyelesaian Perselisihan Oleh Hakim Kasasi
                               Pasal 113
Majelis Hakim Kasasi terdiri atas satu orang Hakim Agung dan dua orang
Hakim Ad-Hoc yang ditugasi memeriksa dan mengadili perkara
perselisihan hubungan industrial pada Mahkamah Agung yang ditetapkan
oleh Ketua Mahkamah Agung.


                               Pasal 114
Tata cara permohonan kasasi serta penyelesaian perselisihan hak dan
perselisihan pemutusan hubungan kerja oleh Hakim Kasasi dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


                               Pasal 115
Penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan
kerja pada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi.


                                BAB V
         SANKSI ADMINISTRASI DAN KETENTUAN PIDANA
                            Bagian Kesatu
                         Sanksi Administratif
                               Pasal 116
(1) Mediator yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan
    industrial dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja
    tanpa alasan yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dapat
    dikenakan sanksi administratif berupa hukuman disiplin sesuai dengan
    peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Pegawai Negeri
    Sipil.
(2) Panitera Muda yang tidak menerbitkan salinan putusan dalam waktu
    selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan
      ditandatangani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 dan Panitera
      yang tidak mengirimkan salinan kepada para pihak paling lambat 7
      (tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 dapat
      dikenakan sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-
      undangan yang berlaku.


                                   Pasal 117
    Konsiliator yang tidak menyampaikan anjuran tertulis dalam waktu
    selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sebagaimana
(1) dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) butir b atau tidak membantu para
    pihak membuat Perjanjian Bersama dalam waktu selambat-lambatnya 3
    (tiga) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf
    e dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
      Konsiliator yang telah mendapatkan teguran tertulis sebanyak 3 (tiga)
      kali sebagaimana dimaksud dalam     ayat (1), dapat dikenakan sanksi
      administratif berupa pencabutan sementara sebagai konsiliator.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) baru dapat dijatuhkan
    setelah yang bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang sedang
    ditanganinya.
    Sanksi administratif pencabutan sementara sebagai            konsiliator
(3) diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.


(4)


                                  Pasal 118
Konsiliator dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap
sebagai konsiliator dalam hal :
 a.      konsiliator telah dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan
       sementara sebagai konsiliator sebagaimana dimaksud dalam Pasal
       117 ayat (2) sebanyak 3 (tiga) kali;
 b.       terbukti melakukan tindak pidana kejahatan;
 c.       menyalahgunakan jabatan; dan/atau
 d.       membocorkan keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud
       dalam Pasal 22 ayat (3).
                                  Pasal 119
(1) Arbiter yang tidak dapat menyelesaikan perselisihan hubungan
    industrial dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja
    dan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam
    Pasal 40 ayat (1) dan ayat (3) atau tidak membuat berita acara kegiatan
    pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, dapat dikenakan
    sanksi administratif berupa teguran tertulis.
    Arbiter yang telah mendapat teguran tertulis 3 (tiga) kali sebagaimana
(2) dimaksud dalam ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa
    pencabutan sementara sebagai arbiter.
      Sanksi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2),         baru dapat
      dijatuhkan setelah yang bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang
(3) sedang ditanganinya.
      Sanksi administratif pencabutan sementara sebagai arbiter diberikan
      untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
(4)

                                    Pasal 120
      Arbiter dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap
      sebagai arbiter dalam hal :
       a.      arbiter paling sedikit telah 3 (tiga) kali mengambil keputusan
(1)         arbitrase    perselisihan     hubungan      industrial melampaui
            kekuasaannya, bertentangan dengan per-aturan perundang-
            undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf
            d dan e dan Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan
            peninjauan kembali atas putusan-putusan arbiter tersebut;
       b.     terbukti melakukan tindak pidana kejahatan;
       c.     menyalahgunakan jabatan;
       d.     arbiter telah dijatuhi sanksi administratif berupa pencabutan
            sementara sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal
            119 ayat (2) sebanyak 3 (tiga) kali.
      Sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai arbiter
      sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mulai berlaku sejak tanggal
      arbiter menyelesaikan perselisihan yang sedang ditanganinya.


                                 Pasal 121
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117, Pasal
    118, Pasal 119 dan Pasal 120 dijatuhkan oleh Menteri atau pejabat
    yang ditunjuk.
      Tata cara pemberian dan pencabutan sanksi akan diatur lebih lanjut
      dengan Keputusan Menteri.

(1)

                                  Bagian Kedua
(2)
                                Ketentuan Pidana
                                    Pasal 122
      Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 12 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 47 ayat (1)
      dan ayat (3), Pasal 90 ayat (2), Pasal 91 ayat (1) dan ayat (3),
      dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
      paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp
      10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
      50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
      Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak
      pidana pelanggaran.
(1)
(2)
                                   BAB VI
                          KETENTUAN LAIN-LAIN
                                  Pasal 123
Dalam hal terjadi perselisihan hubungan industrial pada usaha-usaha
sosial dan usaha-usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan tetapi
mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar
upah, maka perselisihannya diselesaikan sesuai dengan ketentuan
undang-undang ini.


                                   BAB VII
                         KETENTUAN PERALIHAN
                                  Pasal 124
(1) Sebelum terbentuk Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 59, Panitia Penyelesaian Perselisihan
    Perburuhan Daerah dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
    Pusat tetap melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan
    ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    Dengan terbentuknya Pengadilan Hubungan Industrial berdasarkan
(2) undang-undang ini, perselisihan hubungan industrial dan pemutusan
    hubungan kerja yang telah diajukan kepada :
      a.      Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau
           lembaga-lembaga lain yang setingkat yang menyelesaikan
           perselisihan hubungan industrial atau pemutusan hubungan kerja
           dan belum diputuskan, maka diselesaikan oleh Pengadilan
           Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat;
      b.      Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah
           atau lembaga-lembaga lain sebagaimana dimaksud pada huruf a
           yang ditolak dan diajukan banding oleh salah satu pihak atau para
           pihak dan putusan tersebut diterima masih dalam tenggang waktu
           14 (empat belas) hari, maka diselesaikan oleh Mahkamah
           Agung;
      c.      Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat atau
           lembaga-lembaga lain yang setingkat yang menyelesaikan
           perselisihan hubungan industrial atau pemutusan hubungan kerja
           dan belum diputuskan, maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung;
      d.      Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat
           atau lembaga-lembaga lain sebagaimana dimaksud pada huruf c
           yang ditolak dan diajukan banding oleh salah satu pihak atau para
           pihak dan putusan tersebut diterima masih dalam tenggang waktu
           90 (sembilan puluh) hari, maka diselesaikan oleh Mahkamah
           Agung.
                                                       BAB VIII
                                              KETENTUAN PENUTUP
                                                      Pasal 125
                  (1) Dengan berlakunya undang-undang ini, maka :
                      a.      Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian
                           Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor
                           42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227); dan
                      b.     Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan
                           Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun
                           1964 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2686);
                      c.       dinyatakan tidak berlaku lagi.
                      Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, semua Peraturan
                      Perundang-undangan yang merupakan Peraturan Pelaksanaan dari
                      Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian
                  (2) Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42,
                      Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227) dan Undang-undang Nomor
                      12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan
                      Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan
                      Lembaran Negara Nomor 2686) dinyatakan tetap berlaku sepanjang
                      tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini.
                                                    Pasal 126
                  Undang?undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun setelah diundangkan.


                  Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
                  undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
                  Republik Indonesia.




               Disahkan di Jakarta
               pada tanggal 14 Januari 2004
               PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
               ttd.
               MEGAWATI SOEKARNOPUTRI


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 14 Januari 2004

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
         LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 6




Salinan sesuai dengan aslinya
  Deputi Sekretaris Kabinet

Bidang Hukum dan Perundang-
         undangan,



   Lambock V. Nahattands


Silahkan download versi PDF nya sbb:
penyelesaian_perselisihan_hubungan_industrial_(uu_2.pdf
(ogi/Carapedia)
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.