Mengenal Defensive Medicine dan Dampaknya

Tahun lalu mencuat sebuah kasus dokter Ayu yang dituntut telah melakukan mal praktik terhadap salah seorang pasien hingga menyebabkan pasien meninggal. Kasus ini kemudian melahirkan istilah kriminal baru yaitu defensive medicine. Istilah ini mengacu pada dokter praktik yang mengambil keputusan atau tes diagnostik tapi belum tentu hal ini menjadi pilihan terbaik pasien atau sesuai indikasi medis.

Tidak hanya terjadi di Indonesia saja, dokter di Amerika juga mengalami berisiko tinggi terhadap gugatan defensive medicine. Ini adalah sebuah reaksi dari peningkatan premi malpraktik dan takut akan gugatan pasien yang menganggap tindakan medis yang dilakukan tidak memuaskan mereka.

Tindakan defensive medicine ini berupa menolak mengobati pasien berisiko tinggi agar tidak ada tuntutan hukum jika pasien meninggal, dan meminta pemeriksaan penunjang seperti MRI scan atau tes laboratorium.

Trauma Kriminalisasi Dokter

Banyak masyarakat awam menganggap dokter bisa mengobati segala hal penyakit. Jika terjadi kesalahan dalam melakukan tindakan medis, mereka tidak mau tahu dan menyalahkan sepenuhnya pada dokter. Tidak melihat faktor-faktor lain seperti kondisi pasien yang sulit diprediksi. Karena menganggap itu kesalahan dokter masyarakat kemudian memvonis dokter telah melakukan mal praktik.

Anggapan masyarakat inilah yang kemudian mempengaruhi para dokter melakukan defensive medicine dan malah merugikan pasien. Dokter hanya melakukan tindakan medis  jika dianggap aman, tidak berisiko terhadap posisinya sebagai dokter. Dokter merasa trauma karena kriminalisasi profesi dokter dan yang terjadi dibeberapa negara maju, tindakan ini justru meningkatkan biaya pemeriksaan. Dokter pastinya takut memeriksa pasien kritis, salah dalam melakukan tindakan maka ancamannya penjara maka keputusannya adalah membiarkan pasien mati atau menambah daftar pemeriksaan.

Dua bentuk defensive medicine yang selama ini terjadi adalah perilaku menghindari dan perilaku jaminan. Perilaku menghindar adalah dokter menolak pasien emergency yang berisiko tinggi terhadap kematian. Sedangkan perilaku jaminan berupa melakukan penambahan layanan  untuk menghindari hasil buruk, mencegah pasien mengajukan klaim malpraktik  medis dan menyertakan bukti praktisi yang sesuai standar medis.

Apa Dampaknya?

- Kerugian materi pasien

Karena perilaku dokter yang defensive terhadap segala tindakan medis yang dilakukannya membuat adanya peningkatkan biaya perawatan kesehatan. Di Amerika Serikat sendiri sebanyak puluhan miliar dolar terbuang percuma karena perilaku ini.

- Menurunkan kualitas pelayanan

Tindakan ini termasuk berbahaya untuk pasien dan menghambat praktik kedokteran terkait pelayanan. Karena adanya penolakan tindakan medis, masyarakat tentu menganggap dokter tidak bisa melayani pasien dengan baik. Sehingga banyak pasien menuntut praktik sesyau hokum dan yuridiksi di negara tersebut.

- Merugikan masyarakat terpencil

Dengan adanya defensive medicine ini banyak calon dokter atau dokter – dokter muda menolak ditempatkan bertugas di wilayah terpencil.  Pasalnya, contohnya kasus dokter Ayu sebagai seorang Chief Resident Program Pendidikan Dokter Spesialis Kandungan dan Kebidanan bisa melakukan operasi persalinan dan operasi bagian rahim.  Biasanya dokter dengan pendidikan ini akan ditempatkan di wilayah terpencil selama 1 – 2 bulan untuk melakukan praktik, namun karena terbatasnya sarana dan SIP yang tak kunjung keluar membuat dokter takut melakukan tindakan medis di wilayah tempat mereka bertugas.

- Dokter ragu tindakan emergency

Karena  takut melakukan kesalahan dan berisiko adanya tuntutan kriminalisasi saat pasien tibe di emergency banyak dokter ragu bahkan menolak menangani pasien tersebut. Jika dalam kamus medis, kasus emergency ini tidak membutuhkan persetujuan keluarga karena sudah mendapat hal istimewa agar pasien ditangani segera.

Pengertian defensive medicine. Perilaku defensive. Makalah defensive medicine. Pembahasan defensive medicine. Pengertian defensive medicine adalah. Defensive medicine adalah.