Previous
Next

1992

Undang-Undang Usaha Perasuransian (UU 2 thn 1992)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian :

UU 2/1992, USAHA PERASURANSIAN

Bentuk:   UNDANG-UNDANG (UU)

Oleh:      PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor:     2 TAHUN 1992 (2/1992)

Tanggal:   11 PEBRUARI 1992 (JAKARTA)

Sumber:    LN 1992/13; TLN NO. 3467

Tentang:   USAHA PERASURANSIAN

Indeks:    EKONOMI. ASURANSI. Uang.

                DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                  Presiden Republik Indonesia,

Menimbang:
a.   bahwa   untuk   mewujudkan   masyarakat   adil  dan   makmur
     berdasarkan   Pancasila   dan   Undang-Undang  Dasar   1945,
     pembangunan di segala bidang perlu dilaksanakan secara
     berkesinambungan;
b.   bahwa dalam pelaksanaan pembangunan dapat terjadi berbagai
     ragam dan jenis risiko yang perlu ditanggulangi oleh
     masyarakat;
c.   bahwa usaha perasuransian yang sehat merupakan salah satu
     upaya untuk menanggulangi risiko yang dihadapi anggota
     masyarakat dan sekaligus merupakan salah satu lembaga
     penghimpun dana masyarakat, sehingga memiliki kedudukan
     strategis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian,
     dalam upaya memajukan kesejahteraan umum;
d.   bahwa dalam rangka meningkatkan peranan usaha perasuransian
     dalam pembangunan, perlu diberikan kesempatan yang lebih
     luas bagi pihak-pihak yang ingin berusaha di bidang
     perasuransian, dengan tidak mengabaikan prinsip usaha yang
     sehat dan bertanggung jawab, yang sekaligus dapat mendorong
     kegiatan perekonomian pada umumnya;
e.   bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut dipandang perlu
     untuk menetapkan Undang-undang tentang Usaha Perasuransian;

Mengingat:
1.   Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat
     (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2.   Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Staatsblad Tahun 1847
     Nomor 23);
3.   Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Staatsblad Tahun 1847
     Nomor 23) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir
     dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1971 tentang Perubahan
     dan Penambahan atas Ketentuan Pasal 54 Kitab Undang-undang
     Hukum Dagang (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 20, Tambahan
     Lembaran Negara Nomor 2959);
4. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok
     Per-koperasian(Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 23, Tambahan
     Lembaran Negara Nomor 2832);
5.   Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan
     Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1969
     tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara (Lembaran Negara Tahun
     1969 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2890) Menjadi
     Undang-undang (Lembaran NegaraTahun 1969 Nomor 40,Tambahan
     Lembaran Negara Nomor 2904);

                       Dengan persetujuan
           DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

                           MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG USAHA PERASURANSIAN.

                              BAB I
                         KETENTUAN UMUM

                             Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan
1.   Asuransi atau Pertanggungan adalah perjaniian antara dua
     pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan
     diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi,
     untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena
     kerugian,   kerusakan   atau   kehilangan   keuntungan   yang
     diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga
     yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari
     suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan
     suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau
     hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
2.   Obyek Asuransi adalah benda dan jasa, jiwa dan raga,
     kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, serta semua
     kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan atau
     berkurang nilainya.
3.   Program Asuransi Sosial adalah program asuransi yang
     diselenggarakan     secara     wajib    berdasarkan     suatu
     Undang-undang, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan
     dasar bagi kesejahteraan masyarakat.
4.   Perusahaan   Perasuransian    adalah   Perusahaan    Asuransi
     Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa, Perusahaan Reasuransi,
     Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi,
     Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dan
     Perusahaan Konsultan Akturia,
5.   Perusahaan   Asuransi   Kerugian   adalah   perusahaan   yang
     memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian,
     kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak
     ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.
6. Perusahaan     Asuransi    Jiwa  adalah perusahaan  yang
     memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan
     dengan     hidup    atau     meninggalnya   seseorang   yang
     dipertanggungkan.
7.   Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa
     dalam pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh
     Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi
     Jiwa.
8.   Perusahaan    Pialang    Asuransi   adalah  perusahaan  yang
     memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan
     penanganan penyelesaian ganti rugi Asuransi dengan bertindak
     untuk kepentingan tertanggung.
9.   Perusahaan    Pialang   Reasuransi   adalah perusahaan  yang
     memberikan jasa keperantaraan dalam penempatan reasuransi
     dan penanganan penyelesaian ganti rugi reasuransi dengan
     bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi.
10. Agen Asuransi adalah sescorang atau badan hukum yang
     kegiatannya memberikan jasa dalam memasarkan jasa asuransi
     untuk dan atas nama penanggung.
11. Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi adalah perusahaan yang
     memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada obyek
     asuransi yang dipertanggungkan.
12. Perusahaan     Konsultan    Akturia  adalah  perusahaan  yang
     memberikan jasa akturia kepada perusahaan asuransi dan dana
     pensiun dalam rangka pembentukan dan pengelolaan suatu
     program asuransi dan atau program pensiun.
13. Afiliasi adalah hubungan antara seseorang atau badan hukum
     dengan satu orang atau lebih, atau badan hukum lain,
     sedemikian rupa sehingga salah satu dari mereka dapat
     mempengaruhi pengelolaan atau kebijaksanaan orang yang lain
     atau badan hukum yang lain, atau sebaliknya dengan
     memanfaatkan adanya kebersamaan kepemilikan saham atau
     kebersamaan pengelolaan perusahaan. 14. Menteri adalah
     Menteri Keuangan Republik Indonesia.

                              BAB II
                    BIDANG USAHA PERASURANSIAN

                             Pasal 2

Usaha perasuransian merupakan kegiatan usaha yang bergerak di
bidang:
a.   Usaha asuransi, yaitu usaha jasa keuangan yang dengan
     menghimpun   dana   masyarakat   melalui   pengumpulan   premi
     asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat
     pemakai   jasa   asuransi   terhadap   kemungkinan   timbulnya
     kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau
     terhadap hidup atau meninggalnya seseorang.
b.   Usaha penunjang usaha asuransi, yang menyelenggarakan jasa
     keperantaraan, penilaian kerugian asuransi dan jasa akturia.

                             BAB III
                    JENIS USAHA PERASURANSIAN

                          *7802 Pasal 3

Jenis usaha perasuransian meliputi:
a.   Usaha asuransi terdiri dari:
     1.    Usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam
     penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan
     tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari
     peristiwa yang tidak pasti;
     2.    Usaha  asuransi   jiwa   yang   memberikan   jasa dalam
     penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau
     meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan.
     3.    Usaha   reasuransi    yang    memberikan    jasa  dalam
     pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh
     Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi
     Jiwa.
b.   Usaha penunjang usaha asuransi terdiri dari:
     1.    Usaha   pialang    asuransi    yang    memberikan  jasa
     keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan
     penyelesaian ganti rugi asuransi dengan bertindak untuk
     kepentingan tertanggung;
     2.    Usaha   pialang   reasuransi    yang   memberikan  jasa
     keperantaraan dalam penempatan reasuransi dan penanganan
     penyelesaian ganti rugi reasuransi dengan bertindak untuk
     kepentingan perusahaan asuransi;
     3.    Usaha penilai kerugian asuransi yang memberikan jasa
     penilaian terhadap kerugian pada obyek asuransi yang
     dipertanggungkan;
     4.    Usaha konsultan akturia yang memberikan jasa konsultasi
     akturia;
     5.    Usaha Agen Asuransi yang memberikan jasa keperantaraan
     dalam rangka pemasaran jasa asuransi untuk dan atas nama
     penanggung.

                             BAB IV
                      RUANG LINGKUP USAHA
                    PERUSAHAAN PERASURANSIAN

                             Pasal 4

Usaha asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a hanya
dapat dilakukan oleh perusahaan perasuransian, dengan ruang
lingkup kegiatan sebagai berikut:
a.   Perusahaan Asuransi Kerugian hanya dapat menyelenggarakan
     usaha dalam bidang asuransi kerugian, termasuk reasuransi;
b.   Perusahaan Asuransi Jiwa hanya dapat menyelenggarakan usaha
     dalam bidang asuransi jiwa, dan asuransi keschatan, asuransi
     kecelakaan diri, dan usaha anuitas, serta menjadi pendiri
     dan   pengurus   dana   pensiun  sesuai   dengan   peraturan
     perundang-undangan dana pensiun yang berlaku;
c.   Perusahaan Reasuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha
     pertanggungan ulang.
                              Pasal 5

Usaha penunjang usaha asuransi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal    3  huruf   b  hanya    dapat   dilakukan   oleh   perusahaan
perasuransian dengan ruang lingkup kegiatan usaha sebagai
berikut:
a.    Perusahaan Pialang Asuransi hanya dapat menyclenggarakan
      usaha dengan bertindak mewakili tertanggung dalam rangka
      transaksi yang berkaitan dengan kontrak asuransi;
b.    Perusahaan Pialang Reasuransi hanya dapat menyelenggarakan
      usaha dengan bertindak mewakili perusahaan asuransi dalam
      rangka transaksi yang berkaitan dengan kontrak reasuransi;
c.    Perusahaan   Penilai     Kerugian    Asuransi    hanya    dapat
      menyelenggarakan   usaha    jasa   penilaian    kerugian   atas
      kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada obyek asuransi
      kerugian;
d.    Perusahaan Konsultan Akturia hanya dapat menyelenggarakan
      usaha jasa di bidang akturia;
e.    Perusahaan Agen Asuransi hanya dapat memberikan jasa
      pemasaran asuransi bagi satu perusahaan asuransi yang
      memiliki izin usaha dari Menteri.

                               BAB V
                     PENUTUPAN OBYEK ASURANSI

                              Pasal 6

(1)   Penutupan asuransi atas obyek asuransi harus didasarkan pada
      kebebasan memilih penanggung, kecuali bagi Program Asuransi
      Sosial.
(2)   Penutupan obyek asuransi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      harus dilakukan dengan memperhatikan daya tampung perusahaan
      asuransi dan perusahaan reasuransi di dalam negeri.
(3)   Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana
      dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                              BAB VI
                 BENTUK HUKUM USAHA PERASURANSIAN

                              Pasal 7

(1)   Usaha perasuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum
      yang berbentuk:
      a.   Perusahaan Perseroan (PERSERO);
      b.   Koperasi;
      c.   Usaha Bersama (Mutual).
(2)   Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
      ayat(l),usaha konsultan akturia dan usaha agen asuransi
      dapat dilakukan olch perusahaan perorangan.
(3)   Ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha
      Bersama (Mutual) diatur lebih lanjut dengan Undang-undang.
                              BAB VII
               KEPEMILIKAN PERUSAHAAN PERASURANSIAN

                              Pasal 8

(1) Perusahaan Perasuransian hanya dapat didirikan oleh:
     a.   Warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia
     yang sepenuhnya dimiliki warga negara Indonesia dan atau
     badan hukum Indonesia;
     b.   Perusahaan perasuransian yang pemiliknya sebagaimana
     dimaksud dalam huruf a, dengan perusahaan perasuransian yang
     tunduk pada hukum asing.
(2) Perusahaan perasuransian yang didirikan sebagaimana dimaksud
     dalam ayat (1) huruf b harus merupakan:
     a.   Perusahaan perasuransian yang mempunyai kegiatan usaha
     sejenis dengan kegiatan usaha dari Perusahaan perasuransian
     yang mendirikan atau memilikinya;
     b.   Perusahaan    Asuransi    Kerugian   atau    Perusahaan
     Reasuransi, yang para pendiri atau pemilik perusahaan
     tersebut adalah Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau
     Perusahaan Reasuransi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kepemilikan Perusahaan
     Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur
     dengan Peraturan Pemerintah.

                              BAB VIII
                          PERIZINAN USAHA

                              Pasal 9

(1)   Setiap pihak yang melakukan usaha perasuransian wajib
      mendapat izin usaha dari Menteri, kecuali bagi perusahaan
      yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial.
(2)   Untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat
      (1) harus dipenuhi persyaratan mengenai:
      a.   Anggaran dasar;
      b.   Susunan organisasi;
      c.   Permodalan;
      d.   Kepemilikan;
      e.   Keahlian di bidang perasuransian;
      f.   Kelayakan rencana kerja;
      g.   Hal-hal   lain    yang    diperlukan  untuk    mendukung
      pertumbuhan usaha perasuransian secara sehat.
(3)   Dalam hal terdapat kepemilikan pihak asing sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b, maka untuk
      memperolch izin usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      wajib dipenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat
      (2)   serta  ketentuan    mengenai   batas  kepemilikan   dan
      kepengurusan pihak asing.
(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan izin usaha
      sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur
      dengan Peraturan Pemerintah.
                              BAB IX
                     PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

                              Pasal 10
Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perasuransian dilakukan
oleh Menteri.
*7805
                              Pasal 11
(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perasuransian
      meliputi
      a.   Kesehatan keuangan bagi Perusahaan Asuransi Kerugian,
      Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Reasuransi, yang
      terdiri dari:
           1.   Batas tingkat solvabilitas;
           2.   Retensi sendiri;
           3.   Reasuransi;
           4.   Investasi;
           5.   Cadangan teknis; dan
           6.   Ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan dengan
      kesehatan keuangan;
      b.   Penyelenggaraan usaha, yang terdiri dari:
           1.   Syarat-syarat polis asuransi;
           2.   tingkat premi;
           3.   Penyelesaian klaim;
           4.   Persyaratan keahlian di bidang perasuransian; dan
           5.   Ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan dengan
      penyelenggaraan usaha.
(2) Setiap Perusahaan Perasuransian wajib memelihara kesehatan
      sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      serta wajib melakukan usaha sesuai dengan prinsip-prinsip
      asuransi yang sehat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kesehatan keuangan darl
      penyelenggaraan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                             Pasal 12

Perusahaan Pialang Asuransi dilarang menempatkan penutupan
asuransi pada perusahaan asuransi yang tidak mempunyai izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.

                             Pasal 13

(1)   Perusahaan Pialang Asuransi dilarang menempatkan penutupan
      asuransi kepada suatu perusahaan asuransi yang merupakan
      Afiliasi dari Perusahaan Pialang Asuransi yang bersangkutan,
      kecuali apabila calon tertanggung telah terlebih dahulu
      diberitahu secara tertulis dan menyetujui mengenai adanya
      Afiliasi tersebut.
(2)   Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dilarang melakukan
      penilaian kerugian atas obyek asuransi yang diasuransikan
      kepada Perusahaan Asuransi Kerugian yang merupakan Afiliasi
      dari Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi yang bersangkutan.
(3)  Perusahaan Konsultan Aktuaria dilarang memberikan jasa
     kepada Perusahaan Asuransi Jiwa atau dana pensiun yang
     merupakan Afiliasi dari Perusahaan Konsultan Aktuaria yang
     bersangkutan.
(4) Agen Asuransi dilarang bertindak sebagai agen dari
     perusahaan   asuransi  yang   tidak mempunyai  izin  usaha
     sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.

                             Pasal 14

(1)   Program Asuransi Sosial hanya dapat diselenggarakan oleh
      Badan Usaha Milik Negara.
(2)   Terhadap perusahaan yang menyelenggarakan Program Asuransi
      Sosial sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku ketentuan
      mengenai pembinaan dan pengawasan dalam Undang-undang ini.

                             Pasal 15

(1)   Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan, Menteri melakukan
      pemeriksaan berkala atau setiap waktu apabila diperlukan
      terhadap usaha perasuransian.
(2)   Setiap perusahaan perasuransian wajib memperlihatkan buku,
      catatan, dokumen, dan laporan-laporan, serta memberikan
      keterangan   yang   diperlukan  dalam   rangka  pemeriksaan
      sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

                             Pasal 16

(1)   Setiap Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi
      Jiwa, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Pialang Asuransi dan
      Perusahaan Pialang Reasuransi wajib menyampaikan neraca dan
      perhitungan laba rugi perusahaan beserta penjelasannya
      kepada Menteri.
(2)   Setiap perusahaan perasuransian wajib menyampaikan laporan
      operasional kepada Menteri.
(3)   Setiap Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi
      Jiwa, dan Perusahaan Reasuransi wajib mengumumkan neraca dan
      perhitungan laba rugi perusahaan dalam surat kabar harian di
      Indonesia yang memiliki peredaran yang luas.
(4)   Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
      (2), dan ayat(3), setiap Perusahaan Asuransi Jiwa wajib
      menyampaikan laporan investasi kepada Menteri.
(5)   Bentuk, susunan dan jadwal penyampaian laporan serta
      pengumuman neraca dan perhitungan laba rugi perusahaan
      sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
      ayat (4) ditetapkan oleh Menteri.

                             Pasal 17

(1)   Dalam hal terdapat pelanggaran terhadap ketentuan dalam
      Undang-undang ini atau peraturan pelaksanaannya, Menteri
      dapat melakukan tindakan berupa pemberian peringatan,
      pembatasan kegiatan usaha, atau pencabutan izin usaha.
(2)  Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterapkan
     dengan tahapan pelaksanaan sebagai berikut:
     a.   Pemberian peringatan;
     b.   Pembatasan kegiatan usaha;
     c.   Pencabutan izin usaha.
(3) Sebelum   pencabutan   izin    usaha,  Menteri   dapat
     memerintahkan perusahaan yang bersangkutan untuk menyusun
     rencana dalam rangka mengatasi penyebab dari pembatasan
     kegiatan usahanya.
(4) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
     ayat (1) serta jangka waktu bagi perusahaan dalam memenuhi
     ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan
     Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 18

(1)   Dalam hal tindakan untuk memenuhi rencana sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) telah dilaksanakan dan
      apabila dari pelaksanaan tersebut dapat disimpulkan bahwa
      perusahaan yang bersangkutan tidak mampu atau tidak bersedia
      menghilangkan hal-hal yang menyebabkan pembatasan termaksud,
      maka Menteri mencabut izin usaha perusahaan.
(2)   Pencabutan izin usaha diumumkan oleh Menteri dalam surat
      kabar harian di Indonesia yang memiliki peredaran yang luas.

                              Pasal 19

Dalam ha] perusahaan telah berhasil melakukan tindakan dalam
rangka mengatasi penyebab dari pembatasan kegiatan usahanya dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4), maka
perusahaan yang bersangkutan dapat melakukan usahanya kembali.

                                BAB X
                      KEPAILITAN DAN LIKUIDASI

                              Pasal 20

(1)   Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Peraturan
      Kepailitan, dalam hal terdapat pencabutan izin usaha
      sebagaimana   dimaksud   dalam   Pasal   18,   maka   Menteri,
      berdasarkan   kepentingan   umum   dapat   memintakan   kepada
      Pengadilan agar perusahaan yang bersangkutan dinyatakan
      pailit.
(2)   Hak pemegang polis atas pembagian harta kekayaan Perusahaan
      Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa yang
      dilikuidasi merupakan hak utama.

                               BAB XI
                          KETENTUAN PIDANA

                              Pasal 21

(1)   Barang siapa menjalankan atau menyuruh menjalankan kegiatan
     usaha perasuransian tanpa izin usaha sebagaimana dimaksud
     dalam Pasal 9, diancam dengan pidana penjara paling lama 15
     (lima    belas)    tahun    dan    denda   paling    banyak   Rp
     2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah).
(2) Barang siapa menggelapkan premi asuransi diancam dengan
     pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
     paling banyak Rp 2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta
     rupiah).
(3) Barang     siapa    menggelapkan    dengan    cara   mengalihkan,
     menjaminkan, dan atau mengagunkan tanpa hak, kekayaan
     Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Asuransi Kerugian
     atau Perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara
     paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp
     2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah).
(4) Barang siapa menerima, menadah, membeli, atau mengagunkan,
     atau   menjual    kembali    kekayaan   perusahaan   sebagaimana
     dimaksud dalam ayat (3) yang diketahuinya atau patut
     diketahuinya bahwa barang- barang tersebut adalah kekayaan
     Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa
     atau Perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara
     paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp
     500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
(5) Barang siapa secara sendiri-sendiri atau bersama-sama
     melakukan    pemalsuan    atas   dokumen   Perusahaan   Asuransi
     Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan
     Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 5
     (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 250.000.000,- (dua
     ratus lima puluh juta rupiah).

                               Pasal 22

Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21, terhadap perusahaan perasuransian yang tidak
memenuhi ketentuan Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya
dapat dikenakan sanksi administratip, ganti rugi, atau denda,
yang ketentuannya lebih lanjut akan ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah.

                               Pasal 23

Tindak pidana    sebagaimana    dimaksud   dalam   Pasal   21   adalah
kejahatan.

                               Pasal 24

Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
dilakukan oleh atau atas nama suatau badan hukum atau badan usaha
yang bukan merupakan badan hukum, maka tuntutan pidana dilakukan
terhadap badan tersebut atau terhadap mereka yang memberikan
perintah untuk melakukan tindak pidana itu atau yang bertindak
sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana itu maupun
terhadap kedua-duanya.
                             BAB XII
                       KETENTUAN PERALIHAN

                            Pasal 25

(1) Perusahaan Perasuransian yang telah mendapat izin usaha
     dari Menteri pada saat ditetapkannya Undang-undang ini,
     dinyatakan    telah   mendapat   izin    usaha    berdasarkan
     Undang-undang ini.
(2) Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
     diwajibkan   menyesuaikan   diri  dengan    ketentuan   dalam
     Undang-undang ini.
(3) Ketentuan tentang penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam
     ayat (2) serta jangka waktunya ditetapkan oleh Menteri.

                            Pasal 26

Peraturan perundang-undangan mengenai usaha perasuransian yang
telah ada pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, sepanjang
tidak bertentangan dengan Undang-undang ini, dinyatakan tetap
berlaku sampai peraturan perundang-undangan yang menggantikannya
berdasarkan Undang-undang ini ditetapkan.

                             BAB XIII
                        KETENTUAN PENUTUP

                            Pasal 27

Dengan berlakunya Undang-undang ini     maka Ordonnanntie ophet
Levensverzekeringbedrijf (Staatsblad    Tahun 1941 Nomor 101)
dinyatakan tidak berlaku lagi.

                            Pasal 28

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 11 Pebruari 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Pebruari 1992
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

MOERDIONO

                           PENJELASAN
                                ATAS
                 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                        NOMOR 2 TAHUN 1992
                              TENTANG
                       USAHA PERASURANSIAN
*7810
UMUM

     Sasaran utama pembangunan jangka panjang sebagaimana tertera
dalam Garis-garis Besar Haluan Negara adalah terciptanya landasan
yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas
kekuatannya sendiri menuju masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan
ekonomi memerlukan dukungan investasi dalam jumlah yang memadai
yang pelaksanaannya harus berdasarkan kemampuan sendiri dan oleh
karena   itu    diperlukan    usaha   yang    sungguh-sungguh    untuk
mengerahkan dana investasi, khususnya yang bersumber dari
tabungan masyarakat. Usaha perasuransian sebagai salah satu
lembaga keuangan menjadi penting peranannya, karena dari kegiatan
usaha ini diharapkan dapat semakin meningkat lagi pengerahan dana
masyarakat untuk pembiayaan pembangunan.
     Dalam pada itu, pembangunan tidak luput dari berbagai risiko
yang dapat mengganggu hasil pembangunan yang telah dicapai.
Sehubungan dengan itu dibutuhkan hadirnya usaha Perasuransian
yang tangguh, yang dapat menampung kerugian yang dapat timbul
oleh   adanya    berbagai   risiko.   Kebutuhan    akan   jasa   usaha
perasuransian juga merupakan salah satu sarana finansial dalam
tata kehidupan ekonomi rumah tangga, baik dalam menghadapi risiko
finansial yang timbul sebagai akibat dari risiko yang paling
mendasar, yaitu risiko alamiah datangnya kematian, maupun dalam
menghadapi berbagai risiko atas harta benda yang dimiliki.
Kebutuhan akan hadirnya usaha perasuransian juga dirasakan oleh
dunia usaha mengingat di satu pihak terdapat berbagai risiko yang
secara    sadar    dan    rasional   dirasakan     dapat    mengganggu
kesinambungan kegiatan usahanya, di lain pihak dunia usaha sering
kali tidak dapat menghindarkan diri dari suatu sistim yang
memaksanya untuk menggunakan jasa usaha perasuransian.
     Usaha    perasuransian    telah    cukup    lama    hadir   dalam
perekonomian Indonesia dan berperan dalam perjalanan sejarah
bangsa berdampingan dengan sektor kegiatan lainnya. Sejauh ini
kehadiran usaha perasuransian hanya didasarkan pada Kitab
Undang-undang Hukum Dagang (KUH Dagang) yang mengatur asuransi
sebagai suatu perjanjian. Sementara itu usaha asuransi merupakan
usaha yang menjanjikan perlindungan kepada pihak tertanggung dan
sekaligus usaha ini juga menyangkut dana masyarakat. Dengan kedua
peranan usaha asuransi tersebut, dalam perkembangan pembangunan
ekonomi yang semakin meningkat maka semakin terasa kebutuhan akan
hadirnya industri perasuransian yang kuat dan dapat diandalkan.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut maka usaha perasuransian
merupakan bidang usaha yang memerlukan pembinaan dan pengawasan
secara berkesinambungan dari Pemerintah, dalam rangka pengamanan
kepentingan masyarakat. Untuk itu diperlukan perangkat peraturan
dalam bentuk Undang-undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum
yang lebih kokoh, yang dapat merupakan landasan,baik bagi gerak
usaha dari perusahaan-perusahaan di bidang ini maupun bagi
Pemerintah dalam rangka melaksanakan pembinaan dan pengawasan.
      Undang-undang ini pada dasarnya menganut azas spesialisasi
usaha dalam jenis-jenis usaha di bidang perasuransian. Hal ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa usaha perasuransian merupakan
usaha yang memerlukan keahlian serta ketrampilan teknis
yang khusus dalam penyelenggaraannya.
      Undang-undang ini juga menegaskan adanya kebebasan pada
tertanggung dalam memilih perusahaan asuransi. Dalam rangka
perlindungan atas hak tertanggung, Undang-undang ini juga
menetapkan ketentuan yang menjadi pedoman tentang penyelenggaraan
usaha, dengan mengupayakan agar praktek usaha yang dapat
menimbulkan konflik kepentingan sejauh mungkin dapat dihindarkan,
serta mengupayakan agar jasa yang ditawarkan dapat terselenggara
atas dasar pertimbangan obyektif yang tidak merugikan pemakai
jasa.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

     Cukup jelas

Pasal 2

     Cukup jelas

Pasal 3

     Pengelompokan jenis usaha perasuransian dalam Pasal ini
     didasarkan pada pengertian bahwa perusahaan yang melakukan
     usaha asuransi adalah perusahaan yang menanggung risiko
     asuransi. Di samping itu, di bidang perasuransian terdapat
     pula perusahaan-perusahaan yang kegiatan usahanya tidak
     menanggung risiko asuransi, yang dalam Pasal ini kegiatannya
     dikelompokkan sebagai usaha penunjang usaha asuransi.
     Walaupun demikian sebagai sesama penyedia jasa di bidang
     perasuransian, perusahaan di bidang usaha asuransi dan
     perusahaan   di  bidang   usaha  penunjang   usaha  asuransi
     merupakan mitra usaha yang saling membutuhkan dan saling
     melengkapi, yang secara bersama-sama perlu memberikan
     kontribusi bagi kemajuan sektor perasuransian di Indonesia.
     Selain pengelompokan menurut jenis usaha, usaha asuransi
     dapat pula dibagi berdasarkan sifat dari penyelenggaraan
     usahanya menjadi dua kelompok, yaitu yang bersifat sosial
     dan yang bersifat komersial. Usaha asuransi yang bersifat
     sosial adalah dalam rangka penyelenggaraan Program Asuransi
     Sosial, yang bersifat wajib berdasarkan Undang-undang dan
     memberikan perlindungan dasar untuk kepentingan masyarakat.

Pasal 4
     Berdasarkan ketentuan ini setiap perusahaan perasuransian
     hanya dapat pula menjalankan jenis usaha yang telah
     ditetapkan. Dengan demikian tidak dimungkinkan adanya sebuah
     perusahaan   asuransi  yang   sekaligus  menjalankan   usaha
     asuransi kerugian dan asuransi jiwa.

     *7812 Selanjutnya dalam ketentuan Pasal ini pengertian dana
     pensiun terbatas pada dana pensiun lembaga keuangan.

Pasal 5

     Jasa yang dapat diberikan oleh Perusahaan Konsultan Akturia
     mencakup antara lain konsultasi tentang hal-hal yang
     berkaitan   dengan  analisis   dan  penghitungan   cadangan,
     penyusunan laporan akturia, penilaian kemungkinan terjadinya
     risiko dan perancangan produk asuransi jiwa.

Pasal 6

     Ayat (1)

          Ketentuan   ini   dimaksudkan  untuk   melindungi   hak
     tertanggung agar dapat secara bebas memilih perusahaan
     asuransi sebagai penanggungnya. Hal ini dipandang perlu
     mengingat    tertanggung    adalah   pihak    yang    paling
     berkepentingan atas obyek yang dipertanggungkannya sehingga
     sudah sewajarnya apabila mereka secara bebas tanpa adanya
     pengaruh dan tekanan dari pihak manapun dapat menentukan
     sendiri perusahaan asuransi yang akan menjadi penanggungnya.

     Ayat (2)

          Dalam asas kebebasan untuk memilih pananggung ini
     terkandung maksud bahwa tertanggung bebas untuk menempatkan
     penutupan obyek asuransinya pada Perusahaan Asuransi Jiwa
     dan Perusahaan Asuransi Kerugian yang memperoleh izin usaha
     di Indonesia.

     Ayat (3)

          Agar pelaksanaan dari ketentuan ini dapat disesuaikan
     dengan perkembangan usaha perasuransian di Indonesia, maka
     ketentuan lebih lanjut mengenai penutupan asuransi dan atau
     penempatan reasuransinya diatur dalam peraturan pelaksanaan
     dari Undang-undang ini.

Pasal 7

     Ayat (1)
          Cukup jelas

     Ayat (2)
          Cukup jelas
     Ayat (3)

          Mengingat Undang-undang mengenai bentuk hukum Usaha
     Bersama (Mutual) belum ada, maka untuk sementara ketentuan
     tentang usaha perasuransian yang berbentuk             Usaha
                                                   *7813
     Bersama (Mutual) akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 8

     Ayat (1)

     Dalam ayat ini ditentukan bahwa warga negara Indonesia dan
     atau badan hukum Indonesia dapat menjadi pendiri perusahaan
     perasuransian, baik dengan pemilikan sepenuhnya maupun
     dengan membentuk usaha patungan dengan pihak asing. Termasuk
     dalam pengertian badan hukum Indonesia antara lain adalah
     Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah,
     Koperasi, dan Badan Usaha Milik Swasta.

     Ayat (2)

     Perusahaan perasuransian yang didirikan atau dimiliki oleh
     perusahaan   perasuransian    dalam   negeri   dan   perusahaan
     perasuransian asing yang mempunyai kegiatan usaha sejenis
     dimaksudkan untuk menumbuhkan penyelenggaraan kegiatan usaha
     perasuransian yang lebih profesional.Selain itu kerjasama
     perusahaan perasuransian yang sejenis juga dimaksudkan untuk
     lebih memungkinkan terjadinya proses alih teknologi.
     Sesuai dengan tujuan dari ketentuan ini yang dimaksudkan
     untuk lebih menumbuhkan profesionalisme dalam pengelolaan
     usaha,    maka    kepemilikan     bersama    atas    perusahaan
     perasuransian   oleh   Perusahaan    Asuransi   Kerugian   atau
     Perusahaan   Reasuransi   dalam    negeri   dengan   Perusahaan
     Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi luar negeri
     harus tetap didasarkan pada jenis usaha masing-masing
     partner dalam kepemilikan tersebut.

     Contoh mengenai hal tersebut adalah sebegai berikut:

          a.    Perusahaan    Reasuransi    luar   negeri    dengan
     Perusahaan Asuransi Kerugian dalam negeri dapat mendirikan
     Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi.
          b.    Perusahaan Asuransi Kerugian luar negeri dengan
     Perusahaan    Reasuransi   dalam   negeri   dapat   mendirikan
     Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi.

     Ayat (3)
          Cukup jelas

Pasal 9

     Ayat (1)
           *7814 Khusus bagi Badan Usaha Milik Negara yang
     menyelenggarakan Program Asuransi Sosial, fungsi dan tugas
     sebagai penyelenggara program tersebut dituangkan dalam
     Peraturan Pemerintah.
           Hal ini berarti bahwa Pemerintah memang menugaskan
     Badan    Usaha  Milik   Negara   yang   bersangkutan untuk
     melaksanakan suatu Program Asuransi Sosial yang telah
     diputuskan untuk dilaksanakan oleh Pemerintah. Dengan
     demikian bagi Badan Usha Milik Negara termaksud tidak
     diperlukan adanya izin usaha dari Menteri.

     Ayat (2)

          Untuk mendukung suatu kegiatan usaha perasuransian yang
     bertanggungjawab, perlu adanya anggaran dasar, susunan
     organisasi yang baik, Jumlah modal yang memadai, status
     kepemilikan yang jelas, tenaga ahli asuransi yang diperlukan
     sesuai dengan bidangnya, rencana kerja yang layak sesuai
     dengan kondisi, dan hal-hal lain yang dikemudian hari
     diperkirakan dapat mendukung pertumbuhan usaha perasuransian
     secara sehat.
     Yang dimaksud dengan keahlian di bidang perasuransian dalam
     ketentuan ini mencakup antara lain keahlian di bidang
     aktuaria, underwriting, manajemen risiko. penilai kerugian
     asuransi, dan sebagainya, sesuai dengan kegiatan usaha
     perasuransian yang dijalankan.

     Ayat (3)

          Dalam pengertian istilah ketentuan mengenai batas
     kepemilikan dan kepengurusan pihak asing, termasuk pula
     pengertian tentang proses Indonesianisasi. Dengan adanya
     ketentuan ini diharapkan industri perasuransian nasional
     semakin dapat bertumpu pada kekuatan sendiri.

     Ayat (4)
          Cukup jelas

Pasal 10

     Cukup jelas

Pasal 11

     Ayat (1)

     Batas tingkat solvabilitas (Solvency Margin) merupakan tolok
     ukur kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
     Reasuransi. Batas tingkat solvabilitas ini merupakan selisih
     antara kekayaan terhadap kewajiban, yang perhitungannya
     didasarkan pada cara perhitungan tertentu sesuai dengan
     sifat usaha asuransi. Retensi sendiri dalam hal ini
     merupakan bagian pertanggungan yang menjadi beban atau
     tanggung jawab sendiri sesuai                dengan    tingkat
                                          *7815
     kemampuan keuangan perusahaan asuransi atau Perusahaan
     Reasuransi yang bersangkutan.
          Reasuransi   merupakan    bagian    pertanggungan    yang
     dipertanggungkan ulang pada perusahaan asuransi lain dan
     atau Perusahaan Reasuransi.
          Dalam hubungannya dengan investasi, yang akan diatur
     adalah kebijaksanaan investasi Perusahaan Asuransi Kerugian,
     Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Reasuransi dalam
     menentukan investasinya pada jenis investasi yang aman dan
     produktif.
          Sesuai dengan sifat usaha asuransi di mana timbulnya
     beban kewajiban tidak menentu, maka Perusahaan Asuransi
     Kerugian,   Perusahaan   Asuransi    Jiwa,   dan    Perusahaan
     Reasuransi perlu membentuk dan memelihara cadangan yang
     diperhitungkan berdasarkan pertimbangan teknis asuransi dan
     dimaksudkan untuk menjaga agar perusahaan yang bersangkutan
     dapat memenuhi kewajibannya kepada pemegang polis.
     Asuransi adalah perjanjian atau kontrak yang dituangkan
     dalam bentuk polis. Sebagai suatu perjanjian atau kontrak
     maka ketentuan-ketentuan yang diatur didalamnya tidak boleh
     merugikan kepentingan pemegang polis.
          Untuk melindungi kepentingan masyarakat luas, penetapan
     tingkat premi harus tidak memberatkan tertanggung, tidak
     mengancam kelangsungan usaha penanggung, dan tidak bersifat
     diskriminatif.
          Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, peraturan
     pelaksanaan yang mencakup masalah penyelesaian klaim akan
     menetapkan batas waktu maksimum antara saat adanya kepastian
     mengenai jumlah klaim yang harus dibayar dengan saat
     pembayaran klaim tersebut oleh penanggung.
          Salah   satu   ketentuan    yang    berhubungan    dengan
     penyelenggaraan usaha adalah mengenai pembayaran premi
     asuransi kepada penanggung atas risiko yang ditutupnya,
     sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat.

     Ayat (2)
          Cukup jelas

     Ayat (3)
          Cukup jelas

Pasal 12

     Cukup jelas

Pasal 13

     Ayat (1)
          Cukup jelas

     Ayat (2)
           Cukup jelas

     *7816 Ayat (3)
          Cukup jelas

     Ayat (4)
          Cukup jelas

Pasal 14

     Ayat (1)
          Cukup jelas

     Ayat (2)

          Perusahaan   yang   menyelenggarakan   Program   Asuransi
     Sosisal   sebenarnya   menyelenggarakan   salah   satu   jenis
     asuransi, yaitu asuransi jiwa atau asuransi kerugian atau
     kombinasi antara keduanya. Oleh karena itu, terlepas dari
     peraturan perundang-undangan yang membentuknya, Menteri
     sebagai pembina dan pengawas usaha perasuransian berwenang
     dan berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan
     terhadap perusahaan yang menyelenggarakan usaha asuransi
     sosial tersebut, sedangkan mengenai pembinaan dan pengawasan
     terhadap Program Asuransi Sosial dilakukan oleh Menteri
     teknis yang bersangkutan berdasarkan Undang-undang yang
     mengatur Program Asuransi Sosial dimaksud.

Pasal 15

     Ayat (1)

          Pemeriksaan dimaksudkan untuk meneliti secara langsung
     kebenaran   laporan   yang  disampaikan    perusahaan, baik
     kesehatan keuangan maupun praktek penyelenggaraan usaha,
     sesuai dengan ketentuan Undang-undang. Pemeriksaan dimaksud
     dapat dilakukan secara berkala maupun setiap saat apabila
     dipandang perlu dengan tujuan agar perlindungan terhadap
     masyarakat dapat dijamin dan penyimpangan yang terjadi pada
     perusahaan dapat diketahui sedini mungkin.

     Ayat (2)
          Cukup jelas

     Ayat (3)
          Cukup jelas

Pasal 16

     Ayat (1)
          Cukup jelas

     Ayat (2)
             Cukup jelas
*7817
        Ayat (3)
             Cukup jelas

        Ayat (4)
             Cukup jelas

        Ayat (5)
             Cukup jelas

Pasal 17

        Ayat (1)

        Keputusan mengenai pemberian peringatan, pembatasan kegiatan
        usaha, dan pencabutan izin usaha merupakan tahapan tindakan
        yang dapat diberlakukan pada perusahaan yang melakukan
        pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang ini. Dalam hal
        tertentu Menteri dapat mendengar pendapat pihak-pihak yang
        diperlukan.

        Ayat (2)

        Tahapan tindakan yang diperlukan merupakan urutan yang harus
        dilalui sebelum dilakukan pencabutan izin usaha. Namun
        demikian    terhadap   Badan   Usaha   Milik   Negara   yang
        menyelenggarakan Program Asuransi Sosial, ketentuan Pasal 17
        ayat (2) huruf b dan huruf c tidak dapat diterapkan. Hal ini
        mengingat bahwa apabila terjadi hal-hal yang dapat menganggu
        kelangsungan usaha dari Badan Usaha Milik Negara tersebut,
        maka    tindak    lanjutnya   didasarkan    pada   peraturan
        perundang-undangan mengenai Program Asuransi Sosial tersebut
        serta peraturan perundang-undangan tentang pembentukan Badan
        Usaha Milik Negara yang bersangkutan.

        Ayat (3)

             Tergantung pada tingkat dan jenis pelanggaran yang
        dilakukan,    Menteri   dapat   memberikan    kesempatan   bagi
        perusahaan    untuk   melakukan    upaya    pembenahan   dengan
        memerintahkan dilakukannya tindakan yang dianggap perlu yang
        diikuti    perkembangannya    secara    terus-menerus,    tanpa
        mengorbankan    perlindungan   terhadap    perusahaan   ataupun
        tertanggung.
             Dalam peraturan pelaksanaan yang mengatur tata cara
        pengenaan sanksi, akan ditetapkan batas waktu maksimum yang
        disediakan bagi perusahaan yang bersangkutan untuk menyusun
        rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat ini untuk
        diajukan kepada Menteri. Batas waktu tersebut tidak dapat
        melebihi 4 bulan sejak dimulainya masa pembatasan kegiatan
        usaha. Rencana kerja yang telah diajukan selanjutnya akan
        dipergunakan sebagai salah       *7818 satu pertimbangan dalam
     menetapkan tindak lanjut pengenaan sanksi.

     Ayat (4)
          Cukup jelas

Pasal 18

     Ayat (1)

          Dalam hal Menteri mempertimbangkan bahwa upaya yang
     dilakukan tidak menunjukkan perbaikan atau dalam hal
     perusahaan   tidak  melakukan   usaha  untuk   mengupayakan
     perbaikan, maka Menteri akan mencabut izin usaha perusahaan
     yang bersangkutan.

     Ayat (2)
          Cukup jelas

Pasal 19

     Cukup jelas

Pasal 20

     Ayat (1)

     Apabila suatu perusahaan asuransi telah dicabut izin
     usahanya, maka kekayaan perusahaan tersebut perlu dilindungi
     agar para pemegang polis tetap dapat memperoleh haknya
     secara proporsional. Untuk melindungi kepentingan para
     pemegang polis tersebut, Menteri diberi wewenang berdasarkan
     Undang-undang ini untuk meminta Pengadilan agar perusahaan
     asuransi yang bersangkutan dinyatakan pailit, sehingga
     kekayaan perusahaan tidak dipergunakan untuk kepentingan
     pengurus   atau   pemilik  perusahaan   tanpa   mengindahkan
     kepentingan para pemegang polis.
          Selain itu, dengan adanya kewenangan untuk mengajukan
     permintaan pailit tersebut, maka Menteri dapat mencegah
     berlangsungnya kegiatan tidak sah dari perusahaan yang telah
     dicabut izin usahanya, sehingga kemungkinan terjadinya
     kerugian yang lebih luas pada masyarakat dapat dihindarkan.

     Ayat (2)

     Hak utama dalam ayat ini mengandung pengertian bahwa dalam
     hal kepailitan, hak pemegang polis mempunyai kedudukan yang
     lebih tinggi daripada hak pihak-pihak lainnya, kecuali dalam
     hal   kewajiban  untuk   negara,  sesuai   dengan  peraturan
     perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 21

     Ayat (1)
             Cukup jelas

        Ayat (2)
             Cukup jelas

        Ayat (3)
             Cukup jelas

        Ayat (4)
             Cukup jelas

        Ayat (5)
             Cukup jelas

Pasal 22

        Cukup jelas

Pasal 23

        Cukup jelas

Pasal 24

        Cukup jelas

Pasal 25

        Ayat (1)
             Cukup jelas

        Ayat (2)
             Cukup jelas

        Ayat (3)

             Jangka   waktu   yang  diperlukan   untuk   mengadakan
        penyesuaian berdasarkan ketentuan ayat ini adalah 1 (satu)
        tahun.

Pasal 26

        Cukup jelas

Pasal 27

        Cukup jelas

Pasal 28

        Cukup jelas
*7820
                      --------------------------------
                              CATATAN

Kutipan:   LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1992


Silahkan download versi PDF nya sbb:
usaha_perasuransian_(uu_2_thn_1992)_2.pdf
(ogi/Carapedia)
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.