Previous
Next

1992

Undang-Undang Perfilman (UU 8 thn 1992)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1992 Tentang Perfilman :

UU 8/1992, PERFILMAN

Bentuk:   UNDANG-UNDANG (UU)

Oleh:      PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor:     8 TAHUN 1992 (8/1992)

Tanggal:   30 MARET 1992 (JAKARTA)

Sumber:    LN 1992/32; TLN NO. 3473

Tentang:   PERFILMAN

Indeks:    ADMINISTRASI.   PENDIDIKAN.   PENERANGAN.    Kebudayaan.
     Warganegara.

                DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                  Presiden Republik Indonesia,

Menimbang:
a.   bahwa Film sebagai media komunikasi massa pandangdengar
     mempunyai peranan penting bagi pengembangan budaya bangsa
     sebagai salah satu aspek peningkatan ketahanan nasional
     dalam pembangunan nasional,
b.   bahwa perfilman yang merupakan rangkaian kegiatan yang
     mendukung peranan film tersebut di atas memerlukan sarana
     hukum dan upaya yang lebih memadai bagi pembinaan dan
     pengembangan perfilman Indonesia;
c.   bahwa Filmordonnantie 1940 (Staatsblad 1940 No. 507) dan
     Undang-undang Nomor 1 Pnps Tahun 1964 tentang Pembinaan
     Perfilman (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 11, Tambahan
     Lembaran Negara Nomor 2622) sudah tidak lagi memenuhi
     tuntutan perkembangan keadaan dan kebutuhan bagi pembinaan
     dan pengembangan perfilman Indonesia;
d.   bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, dipandang
     perlu mengatur perfilman dalam Undang-undang;

Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 32, dan Pasal 33 ayat
(1) Undang-Undang Dasar 1945;

                       Dengan Persetujuan
           DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

                           MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERFILMAN.
                              BAB I
                         KETENTUAN UMUM

                          *7947 Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1.   Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media
     komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas
     sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video,
     piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi
     lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui
     proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya,
     dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau
     ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik,
     dan/atau lainnya;
2.   Perfilman adalah seluruh kegiatan yang berhubungan dengan
     pembuatan,    jasa   teknik,    pengeksporan,   pengimporan,
     pengedaran, pertunjukan, dan/atau penayangan film;
3.   Jasa teknik film adalah penyediaan jasa tenaga profesi,
     dan/atau peralatan yang diperlukan dalam proses pembuatan
     film serta usaha pembuatan reklame film;
4.   Sensor film adalah penelitian dan penilaian terhadap film
     dan reklame film untuk menentukan dapat atau tidaknya sebuah
     film dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum, baik
     secara utuh maupun setelah peniadaan bagian gambar atau
     suara tertentu.

                             BAB II
                     DASAR, ARAH, DAN TUJUAN

                             Pasal 2

Penyelenggaraan perfilman di Indonesia dilaksanakan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

                             Pasal 3

Sesuai dengan dasar penyelenggaraan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, perfilman di Indonesia diarahkan kepada:
     a.   pelestarian dan pengembangan nilai budaya bangsa;
     b.   pembangunan   watak   dan  kepribadian   bangsa   serta
     peningkatan harkat dan martabat manusia;
     c.   pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa;
     d.   peningkatan kecerdasan bangsa;
     e.   pengembangan potensi kreatif di bidang perfilman;
     f.   keserasian dan keseimbangan di antara berbagai kegiatan
     dan jenis usaha perfilman;
     g.   terpeliharanya ketertiban umum dan rasa kesusilaan;
     h.   penyajian hiburan yang sehat sesuai dengan norma-norma
     kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
dengan tetap berpedoman pada asas usaha bersama dan kekeluargaan,
asas adil dan merata, asas perikehidupan dalam keseimbangan, dan
asas kepercayaan pada diri sendiri.
                              Pasal 4

Perfilman di Indonesia dilaksanakan dalam rangka memelihara
dan   mengembangkan  budaya   bangsa   dengan  tujuan   menunjang
terwujudnya tujuan pembangunan nasional.

                              BAB III
                        FUNGSI DAN LINGKUP

                              Pasal 5

Film sebagai media komunikasi massa pandang-dengar mempunyai
fungsi penerangan, pendidikan, pengembangan budaya bangsa,
hiburan, dan ekonomi.

                              Pasal 6

Lingkup Undang-undang ini meliputi seluruh film, kecuali film
berita yang ditayangkan melalui media elektronik.

                              Pasal 7

(1)   Film merupakan karya cipta seni dan budaya yang dilindungi
      berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak
      Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7
      Tahun 1987 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6
      Tahun 1982 tentang Hak Cipta.
(2)   Film    terikat   kewajiban   serah    simpan   berdasarkan
      Undang-undang Nomor 4 Tahun 1990 tentang Serah Simpan Karya
      Cetak dan Karya Rekam.

                               BAB IV
                          USAHA PERFILMAN
                           Bagian Pertama
                                Umum

                              Pasal 8

(1)   Usaha perfilman dilaksanakan atas asas usaha bersama dan
      kekeluargaan serta asas adil dan       merata guna mencegah
      timbulnya pemusatan dan penguasaan usaha perfilman pada satu
      tangan atau satu kelompok.
(2)   Usaha perfilman meliputi:
      a.   pembuatan film;
      b.   jasa teknik film;
      c.   ekspor film;
      d.   impor film;
      e.   pengedaran film;
      f.   pertunjukan dan/atau penayangan film.

                              Pasal 9
(1)  Usaha perfilman di Indonesia hanya dapat dilakukan oleh
     warga negara Indonesia dalam bentuk badan usaha yang
     berstatus badan hukum Indonesia yang bergerak di bidang
     usaha perfilman.
(2) Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
     memiliki izin usaha perfilman.
(3) Izin usaha perfilman berlaku selama badan usaha yang
     bersangkutan masih melakukan kegiatan di bidang perfilman.
(4) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara untuk memperoleh
     izin usaha perfilman diatur lebih lanjut dengan Peraturan
     Pemerintah.

                             Pasal 10

Usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1),
dilakukan dengan memperhatikan kode etik yang disusun dan
ditetapkan oleh masyarakat perfilman sesuai dengan dasar, arah,
dan tujuan penyelenggaraan perfilman.

                             Pasal 11

Dalam melakukan kegiatan, perusahaan perfilman wajib menggunakan
kemampuan nasional yang telah tersedia.

                             Pasal 12

(1)   Dalam rangka pengembangan perfilman Indonesia, perusahaan
      perfilman dapat melakukan kerjasama dengan perusahaan
      perfilman asing atas dasar izin.
(2)   Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah
      kerjasama dalam pembuatan film, termasuk penyediaan jasa
      tertentu di bidang teknik film, ataupun penggunaan artis dan
      karyawan film asing.
(3)   Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam.ayat (1)
      dan ayat (2), termasuk syarat dan tata cara memperoleh izin
      kerjasama, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                           Bagian Kedua
                          Pembuatan Film

                             Pasal 13

(1)   Pembuatan film didasarkan atas kebebasan berkarya yang
      bertanggung jawab.
(2)   Kebebasan berkarya dalam pembuatan film sebagaimana dimaksud
      dalam ayat (1), dilakukan sesuai dengan arah dan tujuan
      penyelenggaraan perfilman dengan memperhatikan kode etik dan
      nilai-nilai keagamaan yang berlaku di Indonesia.

                             Pasal 14

(1)   Usaha pembuatan film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan
      pembuatan film yang memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam
     Pasal 9 ayat (2).
(2)  Pembuatan film untuk tujuan khusus dikecualikan dari
     ketentuan dalam ayat (1).
(3) Pembuatan film oleh pihak asing yang menggunakan lokasi di
     Indonesia dapat dilakukan atas dasar izin.
(4) Ketentuan   lebih   lanjut  mengenai  pembuatan film
     sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) serta
     syarat dan tata cara untuk memperoleh izin sebagaimana
     dimaksud dalam ayat (3), diatur lebih lanjut dengan
     Peraturan Pemerintah.

                             Pasal 15

(1)   Pembuatan reklame film dapat dilakukan, baik oleh perusahaan
      pembuatan film atau perusahaan lain yang bergerak di bidang
      reklame film maupun oleh perseorangan.
(2)   Pembuatan reklame film dilakukan sesuai dengan ketentuan
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) serta
      memperhatikan   kesesuaiannya    dengan   isi    film   yang
      direklamekan.

                             Pasal 16

Dalam pembuatan film, artis dan karyawan film berhak mendapatkan
jaminan sosial dan perlindungan hukum lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehubungan
dengan kegiatan dan peran yang dilakukan berdasarkan perjanjian
kerja yang dibuatnya dengan perusahaan pembuatan film.

                           Bagian Ketiga
                         Jasa Teknik Film

                             Pasal 17

Usaha jasa teknik film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan jasa
teknik film dan perusahaan pembuatan film yang memiliki izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).

                             Pasal 18

Usaha jasa teknik film meliputi:
     a.   studio pengambilan gambar;
     b.   sarana pembuatan film;
     c.   laboratorium pengolahan film;
     d.   sarana penyuntingan film;
     e.   sarana pengisian suara film;
     f.   sarana pemberian teks film;
     g.   sarana pencetakan/penggandaan film;
     h.   sarana lainnya yang mendukung pembuatan film.

                          Bagian Keempat
                            Ekspor Film
                                  Pasal 19

Usaha ekspor film dapat dilakukan oleh perusahaan ekspor film
atau perusahaan pembuatan film atau perusahaan pengedar film yang
memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), dengan
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

                             *7951 Bagian Kelima
                                  Impor Film

                                  Pasal 20

Usaha impor film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan impor film
yang memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2),
dengan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

                                  Pasal 21

(1)     Impor film merupakan pelengkap untuk memenuhi keperluan
        pertunjukan dan penayangan film di dalam negeri yang
        jumlahnya harus seimbang dengan peningkatan produksi film
        Indonesia.
(2)     Film impor isinya harus bermutu baik dan selaras dengan arah
        dan tujuan penyelenggaraan perfilman serta memperhatikan
        nilai-nilai keagamaan dan norma-norma yang berlaku di
        Indonesia.

                                  Pasal 22

Impor film dilakukan melalui kantor pabean di tempat kedudukan
lembaga sensor film.

                                  Pasal 23

(1)     Film yang dimasukkan ke Indonesia oleh perwakilan diplomatik
        atau badan-badan internasional yang diakui Pemerintah hanya
        diperuntukkan bagi kepentingan perwakilan yang bersangkutan
        dan tidak dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada
        umum, kecuali atas dasar izin.
(2)     Film yang dimasukkan ke Indonesia untuk tujuan khusus hanya
        dapat dilakukan berdasarkan izin.
(3)     Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan film, syarat, dan
        tata cara untuk memperoleh izin pertunjukan dan/atau
        penayangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2),
        diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                               Bagian Keenam
                              Pengedaran Film

                                  Pasal 24

Usaha    pengedaran   film    hanya   dapat   dilakukan   oleh   perusahaan
pengedar film dan perusahaan pembuatan film yang memiliki izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).

                             Pasal 25

Film yang dapat diedarkan hanya film yang telah dinyatakan lulus
sensor oleh lembaga sensor film.

                              Pasal 26
*7952
(1) Kegiatan pengedaran film dilakukan dengan memperhatikan
      nilai-nilai keagamaan dan sosial budaya yang hidup di
      kalangan masyarakat di daerah yang bersangkutan.
(2) Pengaturan mengenai pengedaran film sebagaimana dimaksud
      dalam ayat (1), ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan
      Pemerintah.

                          Bagian Ketujuh
                  Pertunjukan dan Penayangan Film

                             Pasal   27

(1)   Usaha pertunjukan film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan
      pertunjukan film yang memiliki izin sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 9 ayat (2).
(2)   Usaha penayangan film hanya dapat dilakukan olch perusahaan
      penayangan film yang memiliki izin usaha perfilman sesuai
      dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

                             Pasal 28

(1)   Pertunjukan film hanya dapat dilakukan dalam gedung atau
      tempat yang diperuntukkan bagi pertunjukan film.
(2)   Pertunjukan film, selain di tempat sebagaimana dimaksud
      dalam ayat (1) dan bukan oleh perusahaan sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), hanya dapat dilakukan
      untuk tujuan tertentu.
(3)   Penayangan film dilakukan melalui stasiun pemancar penyiaran
      atau perangkat clektronik lainnya yang khusus ditujukan
      untuk menjangkau khalayak pemirsa.
(4)   Ketentuan   mengenai   pertunjukan   dan   penayangan   film
      sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3), diatur
      lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                             Pasal 29

(1)   Pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
      (1) dan ayat (2), dilakukan dengan memperhatikan ketentuan
      penggolongan usia penonton yang telah ditetapkan bagi film
      yang bersangkutan.
(2)   Penayangan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
      (3), dilakukan dengan memperhatikan ketentuan penggolongan
      usia penonton yang penayangannya disesuaikan dengan waktu
      yang tepat.

                             Pasal 30

Pertunjukan dan penayangan reklame film selain memperhatikan
ketentuan Pasal 29, harus memperhatikan kesesuaiannya dengan isi
film yang direklamekan.

                             Pasal 31

(1) Pemerintah dapat menarik suatu film apabila dalam
     peredaran   dan/atau   pertunjukan  dan/atau   penayangannya
     ternyata menimbulkan gangguan terhadap keamanan, ketertiban,
     ketenteraman, atau' keselarasan hidup masyarakat.
(2) Produser atau pemilik film yang terkena tindakan sebagaimana
     dimaksud dalam ayat (1), dapat melakukan pembelaan melalui
     saluran hukum.

                             Pasal 32

Film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), hanya dapat
dipertunjukkan dan/atau ditayangkan untuk masyarakat apabila:
     a.   telah lulus sensor;
     b.   tidak dipungut bayaran.

                               BAB V
                            SENSOR FILM

                             Pasal 33

(1)   Untuk mewujudkan arah dan tujuan penyelenggaraan perfilman
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4, setiap film
      dan   reklame    film    yang   akan   diedarkan,   diekspor,
      dipertunjukkan, dan/atau ditayangkan wajib disensor.
(2)   Penyensoran dapat mengakibatkan bahwa sebuah film:
      a.   diluluskan sepenuhnya;
      b.   dipotong bagian gambar tertentu;
      c.   ditiadakan suara tertentu;
      d.   ditolaknya seluruh film; untuk diedarkan, diekspor,
      dipertunjukkan, dan/atau ditayangkan.
(3)   Sensor film dilakukan, baik terhadap film dan reklame film
      yang dihasilkan oleh perusahaan pembuatan film maupun
      terhadap film impor.
(4)   Film dan reklame film yang telah lulus sensor diberi tanda
      lulus sensor oleh lembaga sensor film.
(5)   Selain tanda lulus sensor, lembaga sensor film juga
      menetapkan penggolongan usia penonton bagi film yang
      bersangkutan.
(6)   Film, reklame film, atau potongannya yang ditolak oleh
      lembaga   sensor    film    dilarang   diedarkan,   diekspor,
      dipertunjukkan,    dan/atau    ditayangkan,   kecuali   untuk
      kepentingan penelitian dan/atau penegakan hukum.
(7)   Terhadap film yang ditolak oleh lembaga sensor film,
      perusahaan film atau pemilik film dapat mengajukan keberatan
      atau pembelaan kepada badan yang berfungsi memberikan
      pertimbangan dalam masalah perfilman.

                               Pasal 34

(1)  Penyensoran film dan reklame film sebagaimana dimaksud dalam
     Pasal 33, dilakukan oleh sebuah lembaga sensor film.
(2) Penyelenggaraan sensor film dan reklame film dilakukan
     berdasarkan pedoman dan kriteria penyensoran.
(3) Pembentukan, kedudukan, susunan keanggotaan, tugas, dan
     fungsi lembaga sensor film, serta pedoman dan kriteria
     penyensoran diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                                BAB VI
                        PERANSERTA MASYARAKAT

                               Pasal 35

(1)   Setiap warga negara Indonesia mempunyai hak yang sama dan
      kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperanserta dalam
      berkreasi, berkarya, dan berusaha di bidang perfilman.
(2)   Peranserta warga negara dan/atau kelompok masyarakat dapat
      diwujudkan dalam bentuk peningkatan dan pengembangan mutu
      perfilman, kemampuan profesi insan perfilman, apresiasi
      masyarakat, dan penangkalan berbagai pengaruh negatif di
      bidang perfilman nasional.

                               BA13 VII
                         PEMBINAAN PERFILMAN

                               Pasal 36

(1)   PemerinLah   melakukan   pembinaan     dan   pembimbingan    yang
      diperlukan dengan melaksanakan berbagai kegiatan yang
      bermanfaat bagi perkembangan perfilman.
(2)   Pemerintah melakukan pembinaan terhadap perfilman Indonesia
      untuk:
      a.   mewujudkan   iklim    usaha   yang     mampu    meningkatkan
      kemampuan produksi dan mutu perfilman;
      b.   menghindarkan persaingan yang tidak sehat dan mencegah
      timbulnya pemusatan dan penguasaan usaha perfilman pada satu
      tangan atau satu kelompok yang merugikan usaha dan
      perkembangan perfilman pada umumnya;
      c.   melindungi   pertumbuhan    dan    perkembangan    perfilman
      Indonesia dalam arti yang seluas-luasnya;
      d.   menjaga agar perkembangan perfilman Indonesia dapat
      tetap berjalan sesuai dengan arah penyelenggaraan perfilman
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3;
      e.   meningkalkan sumber daya masyarakat perfilman yang
      profesional melalui pendidikan, sarana, dan prasarana
      perfilman   sehingga    tercipta     suasana    yang    mendorong
      meningkatnya kreativitas yang mampu melahirkan karya film
      yang bermutu.

                             Pasal 37

(1)   Dalam rangka pembinaan perfilman, Pemerintah membentuk badan
      yang   berfungsi  memberikan    pertimbangan  dalam  masalah
      perfilman sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan serta
      memberikan putusan atas keberatan terhadap film yang ditolak
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (7).
(2)   Susunan keanggotaan badan sebagaimana dimaksud dalam ayat
      (1), terdiri dari unsur Pemerintah, masyarakat perfilman,
      para ahli *7955 di bidang pendidikan, kebudayaan, agama,
      dan   perfilman,  serta   wakil   organisasi  perfilman  dan
      organisasi kemasyarakatan lainnya yang dipandang perlu.
(3)   Ketentuan mengenai pembentukan, kedudukan, tugas, fungsi,
      dan susunan keanggotaan badan sebagaimana dimaksud dalam
      ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dengan Peraturan
      Pemerintah.

BAB VIII
PENYERAHAN URUSAN

Pasal 38

(1)   Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan pemerintahan di
      bidang perfilman kepada Pemerintah Daerah.
(2)   Ketentuan mengenai penyerahan sebagian urusan sebagaimana
      dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan
      Peraturan Pemerintah.

                              BAB IX
                            PENYIDIKAN

                             Pasal 39

(1)   Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia,
      juga pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan
      departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi
      pembinaan perfilman diberi wewenang khusus sebagai penyidik
      sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
      tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan
      tindak pidana di bidang perfilman sebagaimana diatur dalam
      Undang-undang ini.
(2)   Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam
      ayat (1), berwenang:
      a.   melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
      keterangan   berkenaan  dengan   tindak  pidana   di  bidang
      perfilman;
      b.   melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga
      melakukan tindak pidana di bidang perfilman;
      c.   meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau
      badan sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang
      perfilman;
        d.   memeriksa orang untuk didengar keterangannya sebagai
        saksi;
        e.   melakukan pemeriksaan atas alat-alat atau bahan dan
        barang lain yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang
        perfilman;
        f.   melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga
        terdapat bahan bukti, serta melakukan penyitaan terhadap
        bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan
        bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perfilman;
        g.   meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
        penyidikan tindak pidana di bidang perfilman.
(3)     Pelaksanaan   lebih  lanjut   dari  kewenangan   sebagaimana
        dimaksud dalam ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan
        Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
*7956
                                 BAB X
                           KETENTUAN PIDANA

                               Pasal 40

Dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) :
a.   barang   siapa  dengan   sengaja  mengedarkan,   mengekspor,
     mempertunjukkan dan/atau menayangkan film dan/atau reklame
     film yang ditolak oleh lembaga sensor film sebagaimana
     dimaksud dalam Pasal 33 ayat (6); atau
b.   barang   siapa  dengan   sengaja  mengedarkan,   mengekspor,
     mempertunjukkan dan/atau menayangkan potongan film dan/atau
     suara tertentu yang ditolak oleh lembaga sensor film
     sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (6); atau
c.   barang   siapa  dengan   sengaja  mengedarkan,   mengekspor,
     mempertunjukkan   dan/atau  menayangkan   film  yang   tidak
     disensor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1).

                               Pasal 41

(1)     Dipidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda
        paling banyak Rp. 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) :
a.      barang siapa melakukan usaha perfilman tanpa izin (usaha
        perfilman) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1),
        Pasal 17, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 24, dan Pasal 27; atau
b.      barang siapa mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan atau
        menayangkan reklame film yang tidak disensor sebagaimana
        dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1); atau
c.      barang siapa melakukan kerjasama dengan perusahaan perfilman
        asing tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat
        (1).
(2)     Ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditambah
        sepertiga jika perusahaan perfilman yang tidak memiliki izin
        usaha perfilman, mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan,
        dan/atau menayangkan film dan/atau reklame film yang tidak
        memiliki tanda lulus sensor.
                               Pasal 42

(1)   Atas perintah pengadilan, film sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 40 huruf a dan b, disita untuk dimusnahkan, sedangkan
      film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf c dan reklame
      film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf b,
      dapat disita untuk negara.
(2)   Film dan reklame film yang disita untuk negara dapat
      disimpan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun
      1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam.

                               Pasal 43

(1)  Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 adalah
     kejahatan.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
     adalah pelanggaran.

                               Pasal 44

(1)   Dengan   tidak   mengurangi    ketentuan   pidana     sebagaimana
      dimaksud   dalam    Pasal    40   dan    Pasal    41,    terhadap
      perusahaan/badan       usaha      yang       tidak       memenuhi
      ketentuan-ketentuan dalam Pasal 11, Pasal 14 ayat (3), Pasal
      15 ayat (2), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) jo. Pasal 33
      ayat (5) Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya,
      dikenakan sanksi denda dan/atau sanksi administratif.
(2)   Ketentuan lebih lanjut tentang sanksi administratif, akan
      diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                                BAB XI
                         KETENTUAN PERALIHAN

                               Pasal 45

Dengan berlakunya Undang-undang ini, segala peraturan pelaksanaan
di bidang perfilman yang dikeluarkan berdasarkan Filmordonnantie
1940 (Staatsblad Tahun 1940 Nomor 507) dan Undang-undang Nomor 1
Pnps Tahun 1964 tentang Pembinaan Perfilman (Lembaran Negara
Tahun 1964 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2622) serta
badan atau lembaga yang telah ada, tetap berlaku atau tetap
menjalankan fungsinya sepanjang tidak bertentangan atau belum
diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.

                               BAB XII
                          KETENTUAN PENUTUP

                               Pasal 46

Pada saat     berlakunya Undang-undang ini, Filmordonnantie 1940
(Staatsblad   Tahun 1940 Nomor 507) dan Undang-undang Nomor 1 Pnps
Tahun 1964     tentang Pembinaan Perfilman (Lembaran Negara Tahun
1964 Nomor    11, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2622) dinyatakan
tidak berlaku lagi.

                              Pasal 47

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 30 Maret 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO
*7958
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Maret 1992
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

MOERDIONO

                           PENJELASAN
                               ATAS
                UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                       NOMOR 8 TAHUN 1992
                             TENTANG
                            PERFILMAN

UMUM

Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara ditegaskan bahwa kebudayaan
nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta,
rasa dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya
upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan martabat
sebagai bangsa serta diarahkan untuk memberikan wawasan dan makna
pada pembangunan nasional dalam segenap kehidupan bangsa.
Budaya bangsa yang merupakan pencerminan nilai-nilai luhur bangsa
terus dipelihara, dibina dan dikembangkan guna. memperkuat
penghayatan dan pengamalan Pancasila, meningkatkan kualitas
hidup, mempertebal rasa harga diri dan kebanggaan nasional, serta
memperkokoh jiwa persatuan dan kesatuan.
Film sebagai karya cipta seni dan budaya yang merupakan media
komunikasi massa pandang-dengar, pembinaan dan pengembangannya
diarahkan untuk mampu memantapkan nilai-nilai budaya bangsa,
menggelorakan   semangat   pengabdian  dan    perjuangan   bangsa,
memperkokoh persatuan dan kesatuan, mempertebal kepribadian dan
mencerdaskan bangsa, serta meningkatkan kualitas sumber daya
manusia,   yang  pada   gilirannya  akan   memantapkan   ketahanan
nasional.
Dengan bertolak dari pedoman tersebut, maka pengaturan perfilman
sebagai hasil dan sekaligus cerminan budaya perlu diarahkan
sehingga mampu memperkuat upaya pembinaan kebudayaan nasional.
Pengaturan perfilman bukan saja dimaksudkan untuk meningkatkan
jumlah dan kualitas produksi film Indonesia dalam fungsinya
sebagai komoditi ekonomi, tetapi juga mengukuhkan fungsinya
sebagai sarana penerangan, pendidikan, dan hiburan.
Masalah ini menjadi semakin penting, terutama apabila dikaitkan
dengan   kenyataan    bahwa    peraturan    perundang-undangan    yang
digunakan sebagai landasan pembinaan dan pengembangan perfilman
Indonesia sudah tidak memadai karena hanya mengatur segi-segi
tertentu   dalam    kegiatan    perfilman   secara    terpisah,   yang
seringkali tidak berkaitan satu dengan yang lain. Maka,
berdasarkan hal tersebut, disusunlah Undang-undang tentang
Perfilman.
Melalui Undang-undang ini, upaya pengaturan perfilman Indonesia
diusahakan agar tidak saja menjangkau seluruh aspek perfilman,
tetapi juga diarahkan pada perwujudan tatanan kehidupan perfilman
secara utuh. Pengaturan perfilman dalam Undang-undang ini disusun
berdasarkan pokok-pokok pemikiran sebagai berikut :
1. Menegaskan      secara     jelas    bahwa    Pancasila    dan
     Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan filosofis dan
     konstitusional yang merupakan panduan dalam menumbuhkan dan
     mengembangkan perfilman di Indonesia sehingga sebagai salah
     satu sarana pengembangan budaya bangsa, film tetap mampu
     memperkuat kebudayaan nasional dan mencerminkan pandangan
     hidup bangsa serta nilai budaya bangsa.
2.   Tersusunnya landasan yuridis dan sosiologis yang mampu
     menjaga    keseimbangan     antara   aspek    idiil   sebagaimana
     diarahkan oleh GBHN dan aspek ekonomi dalam usaha perfilman
     yang dalam pengembangannya harus tetap sesuai dengan jiwa
     Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
3.   Dalam upaya mewujudkan iklim yang sehat bagi perfilman
     Indonesia, pembinaan dan pengembangan perfilman dilakukan
     terhadap berbagai kegiatan perfilman secara menyeluruh dan
     terpadu sejak tahap produksi sampai dengan tahap pertunjukan
     atau    penayangannya     dalam    suatu   mata     rantai   yang
     berkesinambungan dengan memperhatikan berbagai kepentingan,
     melalui berbagai perizinan sehingga tercapai hasil yang
     optimal     sejalan    dengan    dasar,    arah,     dan   tujuan
     penyelenggaraan perfilman.
     Termasuk dalam pembinaan dan pengembangan ini adalah upaya
     menciptakan iklim yang dapat memacu pertumbuhan produksi
     film Indonesia serta bimbingan dan perlindungan agar
     penyelenggaraan usaha dapat berlangsung secara harmonis,
     saling mengisi, dan mencegah adanya tindakan yang menjurus
     pada persaingan yang tidak sehat ataupun pemusatan pada satu
     tangan atau satu kelompok.
4.   Untuk menjaga agar kehidupan dan pertumbuhan perfilman dapat
     tetap berjalan seiring dengan pandangan hidup dan kebudayaan
     bangsa, serta melindungi masyarakat akan dampak negatif yang
     diakibatkan, maka setiap film yang akan diedarkan, diekspor,
     dipertunjukkan, dan/atau ditayangkan harus disensor terlebih
     dahulu.
5.   Mengingat dampak yang dapat diakibatkan oleh film, maka
     tindak pidana di bidang perfilman diberi sanksi yang cukup
     berat.
     Dengan latar belakang pemikiran tadi, Filmordonnantie 1940
     (Staatsblad Tahun 1940 Nomor 507) dan Undang-undang Nomor 1
     Pnps Tahun 1964 tentang Pembinaan Perfilman (Lembaran Negara
     Tahun 1964 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2622)
     dinyatakan tidak berlaku lagi.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

     Angka 1

          Yang termasuk film sebagai media komunikasi massa
     pandang-dengar (audio-visual) dalam Undang-undang ini ialah
     :
          a.   yang dibuat dengan bahan baku pita seluloid
     melalui proses kimiawi, yang lazim disebut film;
          *7960 b. yang dibuat dengan bahan pita video atau
     piringan video melalui proses elektronik, yang lazim disebut
     rekaman video;
          c.   yang dibuat dengan bahan baku lainnya atau melalui
     proses   lainnya  sebagai   hasil  perkembangan   teknologi,
     dikelompokkan sebagai media komunikasi massa pandang-dengar.

     Angka 2
          Cukup jelas

     Angka 3
          Cukup jelas

     Angka 4
          Cukup jelas

Pasal 2

     Cukup jelas

Pasal 3

     Arah dalam Pasal ini dimaksudkan untuk memberikan wawasan
     agar perfilman Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara
     optimal sesuai dengan fungsinya.
     Dengan arah tersebut, perfilman Indonesia dibina dan
     dikembangkan   sehingga   terhindar  dari   ciri-ciri   yang
     merendahkan nilai budaya, mengganggu upaya pembangunan watak
     dan kepribadian, memecah kesatuan dan persatuan bangsa,
     mengandung unsur pertentangan antar suku, agama, ras, dan
     asal-usul, ataupun menimbulkan gangguan terhadap ketertiban
     dan rasa kesusilaan pada umumnya. Dengan arah itu pula,
     sebaliknya diupayakan agar potensi nasional di bidang
     perfilman   dapat   berkembang   dan  maju  dalam   kerangka
     keserasian dan keseimbangan usaha antar unsur perfilman pada
     umumnya.

Pasal 4

     Film sebagai produk seni dan budaya mempunyai peranan yang
     penting bagi pengembangan budaya bangsa; untuk itu, perlu
     terus dipelihara, dibina, dan dikembangkan sehingga mampu
     menjadi salah satu sarana penunjang pembangunan nasional.

Pasal 5

     Undang-undang   ini  mengakui adanya fungsi-fungsi  film
     tersebut sebagai kenyataan dan keperluan. Lihat pula
     Penjelasan Umum. Oleh karena itu, fungsi-fungsi tersebut
     dikembangkan secara seimbang.

Pasal 6

     *7961 Yang dimaksud dengan film berita adalah rekaman
     kejadian/peristiwa aktual yang dibuat dalam bentuk film dan
     ditayangkan melalui media elektronik.
     Pengaturan lebih lanjut mengenai film berita diatur dalam
     peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 7

     Ayat (1)
          Cukup jelas

     Ayat (2)

          Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang tentang
     Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, film merupakan
     salah satu jenis karya rekam yang salinan rekamannya
     (copynya) wajib diserahkan kepada instansi/lembaga penyimpan
     yang ditunjuk dalam undang-undang tersebut.

Pasal 8

     Ayat (1)
          Cukup jelas

     Ayat (2)
          Cukup jelas

Pasal 9

     Ayat (1)

          Pada hakikatnya, usaha perfilman dilakukan oleh badan
     hukum, yaitu perseroan terbatas atau koperasi atau bentuk
     lainnya   berdasarkan  peraturan  perundang-undangan  yang
     berlaku. Untuk usaha-usaha perfilman berskala kecil seperti
     usaha   pertunjukan  film   secara  berkeliling  dan  usaha
     penjualan dan/atau penyewaan rekaman dalam bahan pita video
     atau piringan video, disesuaikan dengan ketentuan peraturan
     perundang-undangan yang berlaku.

     Ayat (2)

          Izin  usaha   perfilman  dimaksud adalah izin  yang
     dikeluarkan oleh Menteri yang lingkup tugas dan tanggung
     jawabnya meliputi pembinaan perfilman.

     Ayat (3)
          Cukup jelas

     Ayat (4)
          Cukup jelas

Pasal 10

     *7962 Oleh karena banyaknya unsur yang terlibat dalam
     kegiatan perfilman dan eratnya keterkaitan antara satu
     dengan yang lain, wajarlah apabila kegiatan masyarakat
     perfilman itu berlandaskan kode etik yang harus ditaati
     bersama.
     Hal ini penting karena terkaitnya aspek usaha dan aspek
     keahlian saling melengkapi dan tidak sepenuhnya dapat
     dijangkau oleh ketentuan yang bersifat formal.
     Masyarakat perfilman adalah himpunan sekelompok warga negara
     Indonesia berdasarkan kesamaan profesi dan/atau kegiatan di
     bidang perfilman.
     Kode etik adalah norma dan asas yang disepakati dan diterima
     oleh masyarakat perfilman secara tertulis sebagai landasan
     dan ukuran tingkah laku yang harus dipatuhi oleh insan
     perfilman dalam menjalankan profesinya masing-masing.

Pasal 11

     Yang dimaksud dengan kemampuan nasional adalah sumber daya,
     baik manusia, potensi, maupun fasilitas yang tersedia di
     Indonesia. Sumber daya manusia, antara lain, terdiri dari
     produser, karyawan film, dan artis film. Potensi dan
     fasilitas, antara lain, dapat berupa kekayaan dan keindahan
     alam, jasa teknik, dan hasil budaya bangsa. Ketentuan ini
     dimaksudkan agar perusahaan perfilman menghargai, ikut
     memiliki, serta ikut memelihara dan mencintai kemampuan
     nasional yang tersedia.

Pasal 12

     Ayat (1)

           Sekalipun   ketentuan   ini   tidak   memberikan   kesempatan
     kepada warga negara asing, tidak tertutup kemungkinan adanya
     kerjasama di bidang pembuatan film atau kegiatan lainnya,
     yang pada dasarnya tidak dalam arti membentuk perusahaan
     patungan.

     Ayat (2)
          Cukup jelas

     Ayat (3)
          Cukup jelas

Pasal 13

     Ayat (1)

          Yang   dimaksud   dengan  kebebasan    berkarya  adalah
     kebebasan untuk menghasilkan karya berdasarkan kemampuan
     imajinasi, daya cipta, rasa, ataupun karsa, baik dalam
     bentuk, makna, ataupun caranya. Dengan kebebasan berkarya,
     diharapkan mampu mengembangkan kreativitas perfilman dalam
     rangka pengembangan budaya bangsa.
          *7963 Yang dimaksud dengan bertanggung jawab adalah
     mengacu pada akibat yang ditimbulkan oleh hasil karya
     tersebut   dalam    kaitannya   dengan   arah    dan  tujuan
     penyelenggaraan perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
     dan Pasal 4.

     Ayat (2)

          Yang dimaksud dengan nilai-nilai keagamaan adalah
     nilai-nilai universal yang terdapat dalam setiap agama.
     Pancantuman nilai-nilai keagamaan itu tidak dimaksudkan
     untuk menghambat kreativitas dalam berkarya sebagaimana
     dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 14

     Ayat (1)

          Yang dimaksud dengan pembuatan film meliputi kegiatan
     membuat film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1,
     baik dalam bentuk film cerita maupun film noncerita.

     Ayat (2)

          Film untuk tujuan khusus adalah film yang dibuat oleh
     instansi Pemerintah, lembaga, atau organisasi dalam rangka
     pelaksanaan   tugas   dan   fungsinya,  seperti   film-film
     penyuluhan pertanian, kesehatan, atau film yang dibuat oleh
     kelompok orang atau perseorangan; misalnya, film-film acara
     perkawinan dan ulang tahun.

     Ayat (3)
          Pembuatan film oleh pihak asing yang menggunakan lokasi
     di  Indonesia,   baik   sebagian  maupun   seluruhnya  dapat
     dilakukan atas dasar izin dari Menteri yang lingkup tugas
     dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan perfilman. Dalam
     pembuatan film dimaksud, diusahakan sedapat mungkin untuk
     mengikutsertakan tenaga-tenaga Indonesia di tempat lokasi.

     Ayat (4)
          Cukup jelas

Pasal 15

     Ayat (1)

          Yang dimaksud dengan reklame film adalah sarana
     publikasi dan promosi film, baik yang berbentuk iklan,
     poster, stillphoto, slide, klise, triler, banner, pamflet,
     brosur, ballyhoo, folder, plakat maupun sarana publikasi dan
     promosi lainnya.
          *7964 Pembuatan reklame film dilakukan oleh perusahaan
     pembuatan film atau perusahaan lain yang bergerak di bidang
     reklame film. Mengingat beberapa jenis dan bentuk reklame
     film pada kenyataannya dibuat oleh perseorangan berdasarkan
     keahlian, pembuatan reklame film dapat pula dilakukan oleh
     usaha-usaha berskala kecil ataupun perseorangan.

     Ayat (2)

          Pembuatan reklame film wajib memperhatikan kesesuaian
     isi film yang direklamekan; dimaksudkan agar masyarakat
     benar-benar dapat menikmati film yang isinya sesuai dengan
     reklame film yang bersangkutan.

Pasal 16

     Artis   film   adalah   tenaga  profesi    yang  mendapatkan
     penghasilan dari kegiatan yang berhubungan dengan pemeranan
     tokoh-tokoh dalam cerita film.
     Karyawan film adalah tenaga profesi yang mendapatkan
     penghasilan karena melakukan karya kreatif dan artistik
     dalam pembuatan film dan reklame film.
     Hubungan hukum antara artis dan karyawan film dengan
     perusahaan pembuatan film dilakukan berdasarkan perjanjian
     kerja di antara mereka.
     Ketentuan ini memberikan penegasan mengenai perlunya jaminan
     dan perlindungan hukum, seperti jaminan sosial dan asuransi
     bagi artis dan karyawan berkenaan dengan hal-hal yang
     bertalian dengan segi-segi profesi ataupun peran yang
     dimainkannya. Dengan demikian, setiap perjanjian kerja
     antara artis atau karyawan dan perusahaan pembuatan film
     harus memuat tentang jaminan sosial tersebut sesuai dengan
     peraturan perundang-undangan yang berlaku.
        Adapun bentuk perlindungan hukum lainnya, misalnya, apabila
        seorang artis merasa bahwa peran dalam suatu adegan bukanlah
        karya   yang  dimainkannya   dan  hal   tersebut  dinilainya
        merugikan dirinya secara profesi atau moral, maka artis yang
        bersangkutan dapat melakukan tuntutan berdasarkan perjanjian
        kerja yang dimilikinya.

Pasal 17

        Pada dasarnya, usaha jasa teknik dilakukan oleh perusahaan
        jasa teknik, namun perusahaan pembuatan film dapat pula
        melakukan usaha jasa teknik untuk film produksinya sendiri.

Pasal 18

        Huruf        a
                Cukup jelas

        Huruf        b
                Cukup jelas
*7965
        Huruf        c

             Yang dimaksud dengan laboratorium pengolahan film
        adalah tempat memproses pita seluloid yang telah berisi
        rekaman gambar (exposed) sehingga menjadi film negatif
        induk.

        Huruf        d
                Cukup jelas

        Huruf        e
                Cukup jelas

        Huruf        f
                Cukup jelas

        Huruf        g

             Yang dimaksud dengan pencetakan film adalah perbanyakan
        dari film negatif induk menjadi sejumlah salinan rekaman
        (copy) positif.
             Penggandaan film adalah perbanyakan pita video atau
        piringan video dan/atau hasil penemuan teknologi lainnya.

        Huruf        h

             Pencantuman sarana lainnya di sini dimaksudkan untuk
        menampung perkembangan usaha jasa teknik pada masa yang akan
        datang sesuai dengan perkembangan teknologi.

Pasal 19
     Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan
     kelancaran ekspor film yang sudah lulus sensor, baik oleh
     perusahaan ekspor maupun oleh perusahaan yang menjualnya
     atau perusahaan yang berusaha di bidang pengedaran film.
     Di samping memenuhi ketentuan perizinan di bidang perfilman,
     perusahaan tersebut tetap harus memenuhi ketentuan perizinan
     untuk ekspor.

Pasal 20

     Berbeda dengan usaha ekspor film, usaha impor film       hanya
     dapat dilakukan oleh perusahaan impor yang memiliki       izin
     usaha perfilman.
     Hal ini disebabkan karena impor hanya dilakukan atas     dasar
     pertimbangan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal   21.

Pasal 21

     Ayat (1)
          Cukup jelas

     *7966 Ayat (2)

          Dengan mengimpor film yang bermutu baik dan selaras
     dengan arah dan tujuan perfilman diharapkan dapat merangsang
     pertumbuhan produksi dan peningkatan mutu film Indonesia.

Pasal 22

     Dalam ketentuan ini yang dimaksudkan dengan di        tempat
     kedudukan lembaga sensor film adalah di Ibukota       Negara
     Republik Indonesia.

Pasal 23

     Ayat (1)
          Cukup jelas

     Ayat (2)

          Yang dimaksud dengan film untuk tujuan khusus adalah
     film untuk tujuan tertentu seperti film pendidikan, film
     instruksi, film untuk keperluan seminar, atau festival yang
     tidak bersifat komersial.

     Ayat (3)
          Cukup jelas

Pasal 24

     Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan
     kelancaran pengedaran film secara langsung oleh perusahaan
     pembuatan film untuk produksinya sendiri. Yang dimaksud
     dengan pengedaran meliputi kegiatan penyebarluasan film dan
     reklame film kepada konsumen.

Pasal 25

     Film yang dimaksud meliputi film dan reklame film, baik
     hasil produksi perusahaan pembuatan film dalam negeri maupun
     film impor.

Pasal 26

     Ayat (1)

          Ketentuan ini dimaksudkan agar film yang diedarkan
     tidak menimbulkan dampak negatif yang terkait dengan
     nilai-nilai   keagamaan   dan  nilai-nilai sosial budaya
     masyarakat di daerah yang bersangkutan.

     Ayat (2)
          Cukup jelas

Pasal 27

     Ayat (1)

          Pertunjukan film adalah pemutaran film dalam bentuk
     pita seluloid yang dilakukan melalui proyektor mekanik dalam
     gedung atau tempat yang diperuntukkan bagi pertunjukan film.

     Ayat (2)

          Penayangan film adalah pemutaran film dalam bentuk pita
     seluloid, pita video, dan piringan video yang dilakukan
     melalui proyektor elektronik dari stasiun pemancar penyiaran
     dan/atau perangkat elektronik lainnya.

Pasal 28

     Ayat (1)

           Gedung yang dibangun untuk pertunjukan film lazim
     disebut gedung bioskop. Yang dimaksud dengan tempat adalah
     ruang yang bukan gedung, yang diperuntukkan bagi pertunjukan
     film.

     Ayat (2)

          Ketentuan ini lebih bersifat kelonggaran yang diberikan
     bagi keperluan tertentu seperti:
          a.   kegiatan sosial masyarakat, acara keluarga, acara
     perkawinan, dan kegiatan lainnya untuk penerangan/penyuluhan
     dan   hiburan   yang    dilakukan   oleh   Pemerintah   atau
     badan-badan/organisasi   lainnya   dengan   tidak   memungut
     bayaran;
          b.   pertunjukan   film   secara   berkeliling   dengan
     memungut bayaran.

     Ayat (3)
          Cukup jelas

     Ayat (4)
          Cukup jelas

Pasal 29

     Ayat (1)
          Cukup jelas

     Ayat (2)

          Pengaturan penayangan film sesuai dengan penggolongan
     usia penonton dilakukan sesuai dengan waktu yang tepat dan
     diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
*7968
Pasal 30

     Cukup jelas

Pasal 31

     Ayat (1)

          Maksud   ketentuan   ini   adalah   untuk   memungkinkan
     Pemerintah  dapat   menarik   suatu   film  dari   peredaran,
     pertunjukan, dan/atau penayangan terhadap film yang telah
     lulus sensor apabila film yang bersangkutan ternyata
     menimbulkan gangguan keamanan, ketertiban, ketenteraman,
     atau keselarasan hidup masyarakat.

     Ayat (2)

          Ayat ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada
     produser atau pemilik film yang merasa dirugikan untuk
     membela haknya dengan mengajukan gugatan terhadap pemerintah
     melalui peradilan.

Pasal 32

     Untuk   dapat  dipertunjukkan   dan/atau  ditayangkan  bagi
     masyarakat Indonesia, diperlukan izin dari departemen yang
     membidangi pembinaan perfilman.
     Apabila pertunjukan dan/atau penayangan di luar lingkungan
     perwakilan asing, diperlukan izin keramaian dan pertunjukan
     sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
     berlaku.
Pasal 33

     Ayat (1)

          Film dan reklame film yang wajib disensor dalam
     ketentuan ini termasuk yang akan ditayangkan oleh stasiun
     penyiaran televisi. Pengertian reklame film mencakup film
     iklan yang memublikasikan/mempromosikan barang dan jasa
     kepada khalayak.
          Tujuan sensor film adalah untuk melindungi masyarakat
     dari   kemungkinan  dampak   negatif  pertunjukan   dan/atau
     penayangan film serta reklame film yang ternyata tidak
     sesuai dengan arah dan tujuan penyelenggaraan perfilman.

     Ayat (2)
          Cukup jelas

     Ayat (3)

           Penyensoran terhadap film dan reklame film, baik
     produksi nasional (termasuk yang akan diekspor) maupun film
     impor       *7969 diperlakukan dengan pedoman dan kriteria
     penyensoran yang sama.

     Ayat (4)

          Tanda lulus sensor, baik untuk film produksi nasional
     maupun film impor, diberikan dengan cara dan bentuk yang
     sama yang akan diatur oleh lembaga sensor film.

     Ayat (5)

          Penggolongan usia penonton bagi suatu film dimaksudkan
     untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif dalam rangka
     pembinaan keluarga.

     Ayat (6)

          Film impor yang ditolak diumumkan di kantor lembaga
     sensor film.
          Film nasional yang ditolak tidak diumumkan. Sebelum
     film itu ditolak, lembaga sensor film memberikan kesempatan
     untuk memperbaiki film tersebut dan kemudian dapat diajukan
     kembali untuk disensor.

     Ayat (7)

          Pengajuan keberatan atau pembelaan terhadap film atau
     reklame film yang ditolak oleh lembaga sensor hanya berlaku
     bagi perusahaan pembuatan film nasional.

Pasal 34
        Ayat (1)

             Kata sebuah dalam ketentuan ini diartikan bahwa lembaga
        sensor   merupakan  lembaga   tunggal  (satu-satunya)   yang
        sifatnya nasional.

        Ayat (2)

             Pedoman dan kriteria tersebut dimaksudkan selain untuk
        objektivitas penilaian juga agar lembaga sensor mempunyai
        pegangan dalam melaksanakan tugasnya.

        Ayat. (3)

             Lembaga sensor film yang dibentuk oleh Pemerintah
        bersifat nonstruktural. Susunan keanggotaannya terdiri dari
        wakil Pemerintah dan wakil masyarakat.

Pasal 35

        Ayat (1)
             Cukup jelas
*7970
        Ayat (2)

             Wujud peranserta   masyarakat dalam pengembangan mutu dan
        kemampuan   profesi     insan    perfilman,   misalnya   dalam
        pembentukan lembaga     pendidikan dan kritik film. Bentuk
        peningkatan apresiasi   masyarakat, misalnya festival film dan
        pekan film.

Pasal 36

        Ayat (1)

             Yang dimaksud dengan pembinaan adalah upaya yang
        dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan dalam
        arti yang seluas-luasnya terhadap kegiatan perfilman.
             Pembimbingan diberikan melalui berbagai kebijaksanaan
        dan upaya yang mendorong pengembangan dan kemajuan perfilman
        Indonesia,    seperti   meningkatkan    manfaat   keberadaan
        organisasi    profesi    perfilman,   lembaga    pendidikan,
        pengarsipan film, festival film, kineklub, dan kegiatan lain
        yang bertujuan untuk meningkatkan apresiasi masyarakat
        terhadap film.

        Ayat (2)

             Tugas dan tanggung jawab untuk menciptakan iklim dan
        suasana yang menguntungkan segi pertumbuhan dan pengembangan
        bidang usaha perfilman ini pada dasarnya berada pada
        Pemerintah.
             Melalui   pembinaan,   Pemerintah  mencegah   timbulnya
        persaingan yang tidak sehat, tidak jujur, atau curang dalam
        usaha    perfilman    sehingga  perfilman   Indonesia   dapat
        berkembang sesuai dengan arah pembinaannya.
              Dalam    pelaksanaannya,   kegiatan  pembinaan    usaha
        perfilman    dilakukan   oleh  Pemerintah secara    seimbang,
        terpadu, dan terarah untuk mewujudkan arah dan tujuan
        pembinaan perfilman.

Pasal 37

        Ayat (1)

             Pembentukan badan yang dimaksud dalam Undang-undang ini
        sebagai   penjabaran   perlunya   interaksi   positif antara
        masyarakat perfilman, Pemerintah, dan masyarakat pada
        umumnya. Badan ini bersifat nonstruktural dan berfungsi
        sebagai   pemberi    pertimbangan   yang    berkenaan dengan
        masalah-masalah perfilman kepada Menteri yang lingkup tugas
        dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan perfilman.

        Ayat (2)
             Cukup jelas
*7971
        Ayat (3)
             Cukup jelas

Pasal 38

        Ayat (1)

             Sebagian urusan pemerintahan yang dapat diserahkan
        adalah terutama di bidang pembinaan dan perizinan untuk
        usaha perfilman tertentu, misalnya izin usaha perfilman di
        bidang pertunjukan dan/atau penayangan.
             Apabila terjadi suatu film dapat menimbulkan gangguan
        keamanan,   ketertiban,   ketenteraman,  atau   keselarasan
        kehidupan masyarakat di daerah tertentu, Pemerintah Daerah
        dapat melarang film tersebut diedarkan, dipertunjukkan,
        dan/atau ditayangkan di seluruh atau sebagian wilayah
        administratifnya    setelah    terlebih  dahulu    mendapat
        pertimbangan dari instansi yang terkait.

        Ayat (2)
             Cukup jelas

Pasal 39

        Ayat (1)
             Cukup jelas

        Ayat (2)
             Cukup jelas
     Ayat (3)
          Cukup jelas

Pasal 40

     Cukup jelas

Pasal 41

     Ayat (1)
          Cukup jelas

     Ayat (2)
          Cukup jelas

Pasal 42

     Ayat (1)
          Cukup jelas

     Ayat (2)

          *7972 Perlakuan terhadap film dan reklame film yang
     disita untuk negara cukup jelas, sedangkan film dan reklame
     film yang tidak disita untuk negara hanya dapat diedarkan,
     dipertunjukkan, dan/ atau ditayangkan setelah lulus sensor
     serta memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang
     berlaku.

Pasal 43

     Ayat (1)
          Cukup jelas

     Ayat (2)
          Cukup jelas

Pasal 44

     Ayat (1)
          Cukup jelas

     Ayat (2)
          Cukup jelas

Pasal 45

     Dalam pengertian ini termasuk segala izin yang telah
     dikeluarkan berdasarkan peraturan pelaksanaan tersebut.

Pasal 46

     Cukup jelas
Pasal 47

     Cukup jelas

                   --------------------------------

                               CATATAN

Kutipan:   LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1992


Silahkan download versi PDF nya sbb:
perfilman_(uu_8_thn_1992)_8.pdf
(ogi/Carapedia)
Pencarian Terbaru

Makalah kode etik perfilman. Karya tulis tentang regulasi dan sensor film. Definisi film menurut uu perfilman thn 1992 bab 1 pasal 1.

Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.