Previous
Next

2004

Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU 32 thn 2004)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah :
                     UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                                NOMOR 32 TAHUN 2004

                                     TENTANG

                             PEMERINTAHAN DAERAH

                    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                         PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,



Menimbang   :   a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai
                   dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
                   Tahun 1945, pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus
                   sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
                   pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
                   masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran
                   serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan
                   memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan
                   dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik
                   Indonesia;

                b. bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah
                   perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan
                   antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintahan daerah, potensi dan
                   keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global
                   dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah
                   disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan
                   otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan
                   negara;

                c. bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
                   Daerah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan,
                   dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga perlu diganti;
                d. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, dan huruf c
                     perlu ditetapkan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah;


Mengingat   :   1. Pasal 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20, Pasal
                     21, Pasal 22D , Pasal 23E ayat (2), Pasal 24A ayat (1), Pasal 31 ayat (4),
                     Pasal 33, dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
                     Tahun 1945;
                2.           Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
                     Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
                     (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75,
                     Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851);
                3.           Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
                     Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47,
                     Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);

                4.           Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
                     Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
                     Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
                     Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92,
                     Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4310);
                5.   Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
                     (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan
                     Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
                6.   Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
                     Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
                     2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
                     Nomor 4389);
                7.   Undang-Undang      Nomor    15   Tahun    2004    tentang   Pemeriksaan
                     Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran
                     Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan
                     Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);


                              Dengan Persetujuan Bersama

                DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
                                           dan
                           PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
                                      MEMUTUSKAN:

Menetapkan   :   UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH.


                                            BAB I
                                    KETENTUAN UMUM


                                            Pasal 1
                 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
                 1. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden
                      Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
                      Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
                      Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
                 2.            Pemerintahan     daerah     adalah     penyelenggaraan        urusan
                      pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi
                      dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
                      sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
                      dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
                      Tahun 1945.
                 3. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan
                      perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
                 4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD
                      adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara
                      pemerintahan daerah.
                 5. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
                      untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
                      kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
                      undangan.
                 6. Daerah      otonom,     selanjutnya   disebut    daerah,    adalah     kesatuan
                      masyarakat hukum         yang   mempunyai batas-batas        wilayah    yang
                      berwenang     mengatur    dan     mengurus urusan        pemerintahan     dan
                      kepentingan    masyarakat       setempat      menurut     prakarsa     sendiri
                      berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan
                      Republik Indonesia.
                 7. Desentralisasi adalah penyerahan           wewenang pemerintahan           oleh
                      Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
                      urusan   pemerintahan     dalam     sistem    Negara     Kesatuan    Republik
                      Indonesia.
 8. Dekonsentrasi adalah          pelimpahan     wewenang pemerintahan             oleh
      Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau
      kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
 9. Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah
      dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau
      desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk
      melaksanakan tugas tertentu.
10.   Peraturan daerah selanjutnya disebut Perda adalah peraturan daerah
      provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota.
11.   Peraturan kepala daerah adalah peraturan Gubernur dan/atau peraturan
      Bupati/Walikota.
12.   Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa,
      adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah
      yang     berwenang     untuk    mengatur       dan   mengurus      kepentingan
      masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat
      yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan
      Republik Indonesia.
13.   Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah
      adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional,
      demokratis,   transparan,      dan    bertanggung    jawab    dalam        rangka
      pendanaan            penyelenggaraan            desentralisasi,           dengan
      mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah serta
      besaran    pendanaan     penyelenggaraan         dekonsentrasi      dan     tugas
      pembantuan.
14.   Anggaran pendapatan dan belanja daerah, selanjutnya disebut APBD,
      adalah    rencana    keuangan        tahunan   pemerintahan       daerah    yang
      ditetapkan dengan peraturan daerah.
15.   Pendapatan daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai
      penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang
      bersangkutan.
16.   Belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai
      pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang
      bersangkutan.
17.   Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali
      dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun
      anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran
      berikutnya.
18.   Pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah
      menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang
      dari pihak lain sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk
      membayar kembali.
19.   Kawasan khusus adalah bagian wilayah dalam provinsi dan/atau
      kabupaten/kota yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan
      fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional.
20.   Pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang
      selanjutnya disebut pasangan calon adalah bakal pasangan calon yang
      telah memenuhi persyaratan untuk dipilih sebagai kepala daerah dan
      wakil kepala daerah.
21.   Komisi Pemilihan Umum Daerah yang selanjutnya disebut KPUD adalah
      KPU Provinsi, Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-
      Undang Nomor 12 Tahun 2003 yang diberi wewenang khusus oleh
      Undang-Undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah
      dan wakil kepala daerah di setiap provinsi dan/atau kabupaten/kota.
22.   Panitia   Pemilihan     Kecamatan,   Panitia    Pemungutan     Suara,     dan
      Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut
      PPK, PPS, dan KPPS adalah pelaksana pemungutan suara pemilihan
      kepala daerah dan wakil kepala daerah pada tingkat kecamatan,
      desa/kelurahan, dan tempat pemungutan suara.
23.   Kampanye pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang
      selanjutnya   disebut    kampanye     adalah     kegiatan    dalam   rangka
      meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program
      pasangan calon.


                             Pasal 2
 (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi
      dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-
      masing mempunyai pemerintahan daerah.
 (2) Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengatur
      dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
      tugas pembantuan.
 (3) Pemerintahan       daerah    sebagaimana        dimaksud     pada   ayat   (2)
      menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang
      menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan           meningkatkan
      kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.
(4) Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan
   memiliki hubungan dengan Pemerintah dan dengan pemerintahan
   daerah lainnya.
(5) Hubungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi hubungan
   wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya
   alam, dan sumber daya lainnya.
(6) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya
   alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras.
(7) Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan
   sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan
   administrasi dan kewilayahan antarsusunan pemerintahan.
(8) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah
   yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-
   undang.
(9) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
   hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
   sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
   Republik Indonesia.


                         Pasal 3
(1) Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3)
   adalah:
   a. pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas pemerintah daerah
       provinsi dan DPRD provinsi;
   b. pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas pemerintah
       daerah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota.
(2) Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
   kepala daerah dan perangkat daerah.


                         BAB II
PEMBENTUKAN DAERAH DAN KAWASAN KHUSUS


                     Bagian Kesatu
               Pembentukan Daerah


                         Pasal 4
(1) Pembentukan   daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
   ditetapkan dengan undang-undang.

(2) Undang-undang    pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada
   ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas, ibukota,
   kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan
   penjabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan
   kepegawaian, pendanaan, peralatan, dan dokumen, serta perangkat
   daerah.

(3) Pembentukan   daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah
   atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu
   daerah menjadi dua daerah atau lebih.

(4) Pemekaran   dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih
   sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai
   batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.
                       Pasal 5

(1) Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus
   memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.

(2) Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk provinsi
   meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota
   yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD
   provinsi induk dan Gubernur, serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.

(3) Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
   kabupaten/kota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan
   Bupati/Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan
   Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.

(4) Syarat teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi faktor yang
   menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup           faktor
   kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik,
   kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain
   yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.

(5) Syarat fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi paling sedikit
   5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit 5
   (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4 (empat)
   kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan
   prasarana pemerintahan.
                         Pasal 6

(1) Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain apabila daerah
   yang bersangkutan tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah.

(2) Penghapusan dan penggabungan daerah otonom dilakukan setelah
   melalui proses evaluasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan
   daerah.

(3) Pedoman evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
   Peraturan Pemerintah.


                         Pasal 7

(1) Penghapusan dan penggabungan daerah sebagaimana dimaksud dalam
   Pasal 6 ayat (2) beserta akibatnya ditetapkan dengan undang-undang.

(2) Perubahan batas suatu daerah, perubahan nama daerah, pemberian
   nama bagian rupa bumi serta perubahan nama, atau pemindahan
   ibukota    yang    tidak   mengakibatkan   penghapusan   suatu   daerah
   ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(3) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan atas usul
   dan persetujuan daerah yang bersangkutan.


                         Pasal 8

Tata   cara   pembentukan, penghapusan, dan        penggabungan daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.


                      Bagian Kedua
                     Kawasan Khusus


                         Pasal 9

(1) Untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat
   khusus bagi kepentingan nasional, Pemerintah dapat menetapkan
   kawasan khusus dalam wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota.
(2) Fungsi pemerintahan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
   untuk Perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas ditetapkan dengan
   undang-undang.

(3) Fungsi pemerintahan tertentu selain sebagaimana dimaksud pada ayat
   (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(4) Untuk membentuk kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat
   (2)    dan    ayat   (3),   Pemerintah    mengikutsertakan   daerah    yang
   bersangkutan.

(5) Daerah      dapat    mengusulkan        pembentukan   kawasan        khusus
   sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pemerintah.

(6) Tata cara penetapan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada
   ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Peraturan
   Pemerintah.


                          BAB III
         PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN


                         Pasal 10

(1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
   menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
   Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah.

(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
   daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah
   menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri
   urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana
   dimaksud pada ayat (1) meliputi:
   a. politik luar negeri;
   b. pertahanan;
   c. keamanan;
   d. yustisi;
   e. moneter dan fiskal nasional; dan
   f.    agama.
(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud
   pada ayat (3), Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat
   melimpahkan     sebagian    urusan     pemerintahan       kepada   perangkat
   Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah atau dapat menugaskan
   kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa.
(5) Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di
   luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
   Pemerintah dapat:
   a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;
   b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur
       selaku wakil Pemerintah; atau
   c. menugaskan       sebagian    urusan    kepada    pemerintahan        daerah
       dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.


                       Pasal 11

(1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria
   eksternalitas, akuntabilitas,   dan    efisiensi   dengan    memperhatikan
   keserasian hubungan antar susunan pemerintahan.

(2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada
   ayat (1) merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara
   Pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau
   antarpemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis
   sebagai satu sistem pemerintahan.

(3) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah,
   yang diselenggarakan berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada
   ayat (1), terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.

(4) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang
   berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara
   bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah.



                       Pasal 12

(1) Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan
   sumber    pendanaan,      pengalihan     sarana    dan     prasarana,    serta
   kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan.
(2) Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai
   dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan.


                        Pasal 13
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi
   merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi:

   a.     perencanaan dan pengendalian pembangunan;

   b.     perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
   c.     penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
   d.     penyediaan sarana dan prasarana umum;
   e.     penanganan bidang kesehatan;
   f.     penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia
        potensial;

   g.     penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;

   h.     pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
   i.     fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah
        termasuk lintas kabupaten/kota;
   j.     pengendalian lingkungan hidup;

   k.     pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
   l.     pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
   m.     pelayanan administrasi umum pemerintahan;
   n.     pelayanan     administrasi penanaman modal           termasuk    lintas
        kabupaten/kota;
   o.     penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat
        dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan

   p.     urusan     wajib   lainnya   yang    diamanatkan      oleh   peraturan
        perundang-undangan.
(2) Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan
   pemerintahan      yang    secara    nyata   ada    dan     berpotensi   untuk
   meningkatkan      kesejahteraan masyarakat        sesuai    dengan kondisi,
   kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.


                        Pasal 14
      (1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk
         kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota
         meliputi:

         a.     perencanaan dan pengendalian pembangunan;
         b.     perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
         c.     penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
         d.     penyediaan sarana dan prasarana umum;
         e.     penanganan bidang kesehatan;
         f.     penyelenggaraan pendidikan;

         g.     penanggulangan masalah sosial;
         h.     pelayanan bidang ketenagakerjaan;
         i.     fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;

         j.     pengendalian lingkungan hidup;
         k.     pelayanan pertanahan;
         l.     pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
         m.     pelayanan administrasi umum pemerintahan;
         n.     pelayanan administrasi penanaman modal;

         o.     penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
         p.     urusan   wajib     lainnya    yang   diamanatkan       oleh   peraturan
              perundang-undangan.
(2)   Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan
         pemerintahan     yang     secara    nyata   ada     dan     berpotensi   untuk
         meningkatkan     kesejahteraan masyarakat          sesuai    dengan kondisi,
         kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
      (3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal
         11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih
         lanjut dengan Peraturan Pemerintah.


                               Pasal 15
      (1) Hubungan     dalam      bidang     keuangan      antara    Pemerintah    dan
         pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4)
         dan ayat (5) meliputi:
         a.   pemberian sumber-sumber keuangan untuk menyelenggarakan urusan
              pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah;
   b.   pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintahan daerah;
        dan

   c.   pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintahan daerah.


(2) Hubungan       dalam     bidang   keuangan   antarpemerintahan   daerah
   sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:

   a.   bagi hasil pajak dan nonpajak antara pemerintahan daerah provinsi
        dan pemerintahan daerah kabupaten/kota;
   b.   pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab
        bersama;
   c.   pembiayaan bersama atas kerja sama antardaerah; dan
   d.   pinjaman dan/atau hibah antarpemerintahan daerah.
(3) Hubungan dalam bidang keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat
   (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan perundang-undangan.


                           Pasal 16
(1) Hubungan dalam bidang pelayanan umum antara Pemerintah dan
   pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4)
   dan ayat (5) meliputi:
   a. kewenangan, tanggung jawab, dan penentuan standar pelayanan
        minimal;
   b. pengalokasian         pendanaan    pelayanan   umum   yang     menjadi
        kewenangan daerah; dan
   c. fasilitasi pelaksanaan kerja sama antarpemerintahan daerah dalam
        penyelenggaraan pelayanan umum.
(2) Hubungan dalam bidang pelayanan umum antarpemerintahan daerah
   sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:
   a. pelaksanaan bidang pelayanan umum yang menjadi kewenangan
        daerah;
   b. kerja sama antarpemerintahan daerah dalam penyelenggaraan
        pelayanan umum; dan
   c. pengelolaan perizinan bersama bidang pelayanan umum.
(3) Hubungan dalam bidang pelayanan umum sebagaimana dimaksud pada
   ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan perundang-undangan.


                           Pasal 17
(1) Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
   lainnya antara Pemerintah dan pemerintahan daerah sebagaimana
   dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:

   a.     kewenangan,       tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan,
        pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian;

   b.     bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
        lainnya; dan

   c.     penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.
(2) Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
   lainnya antarpemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
   ayat (4) dan ayat (5) meliputi:
   a.   pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
        yang menjadi kewenangan daerah;
   b. kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan
        sumber daya lainnya antarpemerintahan daerah; dan
   c. pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya
        alam dan sumber daya lainnya.




(3) Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
   daya lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
   dalam peraturan perundang-undangan.


                         Pasal 18
(1) Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk
   mengelola sumber daya di wilayah laut.
(2) Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di
   bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-
   undangan.
(3) Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut
   sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
   a.   eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut;

   b.   pengaturan administratif;
   c.   pengaturan tata ruang;
   d.   penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah
        atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah;
      e.   ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan
      f.   ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
(4) Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana
      dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari
      garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan
      untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi
      untuk kabupaten/kota.
(5) Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh
      empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut
      dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah
      antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh
      1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) tidak
      berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil.
(7) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3),
      ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-
      undangan.


                           BAB IV
           PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

                       Bagian Kesatu
                Penyelenggara Pemerintahan

                          Pasal 19
(1)          Penyelenggara pemerintahan adalah Presiden dibantu oleh 1
      (satu) orang wakil Presiden, dan oleh menteri negara.

(2)          Penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah
      dan DPRD.

                       Bagian Kedua
            Asas Penyelenggaraan Pemerintahan

                          Pasal 20
(1)          Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada Asas Umum
      Penyelenggaraan Negara yang terdiri atas:

      a.   asas kepastian hukum;
      b.   asas tertib penyelenggara negara;
      c.   asas kepentingan umum;
      d.   asas keterbukaan;

      e.   asas proporsionalitas;
      f.   asas profesionalitas;
      g.   asas akuntabilitas;

      h.   asas efisiensi; dan
      i.   asas efektivitas.

(2)          Dalam menyelenggarakan pemerintahan, Pemerintah mengguna-
      kan asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi sesuai
      dengan peraturan perundang-undangan.

(3)          Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan
      daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan.


                        Bagian Ketiga
                 Hak dan Kewajiban Daerah


                           Pasal 21
Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak:

a.    mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;
b.    memilih pimpinan daerah;
c.    mengelola aparatur daerah;
d.    mengelola kekayaan daerah;
e.    memungut pajak daerah dan retribusi daerah;

f.    mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber
      daya lainnya yang berada di daerah;
g.    mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan
h.    mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-
      undangan.


                           Pasal 22
Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban:
a.    melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan
      nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b.    meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
c.   mengembangkan kehidupan demokrasi;
d.   mewujudkan keadilan dan pemerataan;

e.   meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
f.   menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
g.   menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;

h.   mengembangkan sistem jaminan sosial;
i.   menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
j.   mengembangkan sumber daya produktif di daerah;

k.   melestarikan lingkungan hidup;
l.   mengelola administrasi kependudukan;
m.   melestarikan nilai sosial budaya;
n.   membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai
     dengan kewenangannya; dan

o.   kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.




                          Pasal 23
(1) Hak dan kewajiban daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan
     Pasal 22 diwujudkan dalam bentuk rencana kerja pemerintahan daerah
     dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja, dan pembiayaan
     daerah yang dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan daerah.
(2) Pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
     dilakukan secara efisien, efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil, patut,
     dan taat pada peraturan perundang-undangan.


                      Bagian Keempat
                    Pemerintah Daerah


                      Paragraf Kesatu
         Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah


                          Pasal 24


(1) Setiap   daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut
     kepala daerah.
(2) Kepala   daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk provinsi
     disebut Gubernur, untuk kabupaten disebut bupati, dan untuk kota
     disebut walikota.

(3) Kepala   daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh satu
     orang wakil kepala daerah.

(4) Wakil    kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk
     provinsi disebut wakil Gubernur, untuk kabupaten disebut wakil bupati
     dan untuk kota disebut wakil walikota.
(5) Kepala   daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada
     ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
     rakyat di daerah yang bersangkutan.


                     Paragraf Kedua
         Tugas dan Wewenang serta Kewajiban
        Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah


                         Pasal 25
Kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang:

a.   memimpin      penyelenggaraan    pemerintahan   daerah   berdasarkan
     kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;

b.   mengajukan rancangan Perda;
c.   menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
d.   menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada
     DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;

e.   mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
f.   mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat
     menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan
     perundang-undangan; dan

g.   melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan
     perundang-undangan.


                         Pasal 26

(1) Wakil kepala daerah mempunyai tugas:
     a. membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan
         daerah;
      b. membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan
           instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan
           hasil   pengawasan        aparat     pengawasan,        melaksanakan
           pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan
           pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup;
      c. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan
           kabupaten dan kota bagi wakil kepala daerah provinsi;
      d. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di
           wilayah kecamatan, kelurahan dan/atau desa bagi wakil kepala
           daerah kabupaten/kota;
      e. memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam
           penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah;
      f. melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang
           diberikan oleh kepala daerah; dan
      g. melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala
           daerah berhalangan.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wakil
      kepala daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah.

(3) Wakil    kepala daerah menggantikan kepala daerah sampai habis masa
      jabatannya    apabila   kepala   daerah    meninggal    dunia,   berhenti,
      diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6
      (enam) bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya.


                          Pasal 27

(1)            Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana
               dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26, kepala daerah dan
      wakil kepala daerah mempunyai kewajiban:

      a.   memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan
           Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
           serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan
           Republik Indonesia;

      b.   meningkatkan kesejahteraan rakyat;
      c.   memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;
      d.   melaksanakan kehidupan demokrasi;

      e.   menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan;
     f.   menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan
          daerah;

     g.   memajukan dan mengembangkan daya saing daerah;
     h.   melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik;
     i.   melaksanakan       dan    mempertanggungjawabkan        pengelolaan
          keuangan daerah;

     j.   menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah
          dan semua perangkat daerah;
     k.   menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan
          daerah di hadapan Rapat Paripurna DPRD.

(2) Selain   mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
     kepala daerah mempunyai kewajiban juga untuk memberikan laporan
     penyelenggaraan     pemerintahan daerah      kepada Pemerintah, dan
     memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta
     menginformasikan         laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah
     kepada masyarakat.

(3) Laporan    penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah
     sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden
     melalui Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur, dan kepada Menteri
     Dalam Negeri melalui Gubernur untuk Bupati/Walikota 1 (satu) kali
     dalam 1 (satu) tahun.

(4) Laporan    sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan Pemerintah
     sebagai dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah
     dan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut sesuai dengan peraturan
     perundang-undangan.

(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
     ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


                      Paragraf Ketiga
             Larangan bagi Kepala Daerah dan
                    Wakil Kepala Daerah


                         Pasal 28
Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang:
a.   membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi
     diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya
     yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan
     kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau
     mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain;

b.   turut serta dalam suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik
     negara/daerah, atau dalam yayasan bidang apapun;

c.   melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya,
     baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berhubungan
     dengan daerah yang bersangkutan;

d.   melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan menerima uang, barang
     dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau
     tindakan yang akan dilakukannya;

e.   menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan
     selain yang dimaksud dalam Pasal 25 huruf f;

f.   menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya;
g.   merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, sebagai anggota
     DPRD sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
     undangan.


                     Paragraf Keempat
            Pemberhentian Kepala Daerah dan
                   Wakil Kepala Daerah


                           Pasal 29

(1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti karena:
     a.   meninggal dunia;
     b.   permintaan sendiri; atau
     c.   diberhentikan.
(2) Kepala    daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud
     pada ayat (1) huruf c diberhentikan karena:

     a.   berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru;


     b. tidak    dapat     melaksanakan   tugas    secara   berkelanjutan atau
          berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan;
     c. tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala daerah dan/atau wakil
          kepala daerah;
      d. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah dan/atau
           wakil kepala daerah;
      e. tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau wakil kepala
           daerah;
      f.   melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala
           daerah.
(3)            Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2)
      huruf a dan huruf b diberitahukan oleh pimpinan DPRD untuk diputuskan
      dalam Rapat Paripurna dan diusulkan oleh pimpinan DPRD.
(4) Pemberhentian            kepala   daerah     dan/atau     wakil   kepala     daerah
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan huruf e dilaksanakan
      dengan ketentuan:

      a.   Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan
           kepada Presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas
           pendapat DPRD bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah
           dinyatakan        melanggar    sumpah/janji      jabatan   dan/atau     tidak
           melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah;

      b.   Pendapat DPRD sebagaimana dimaksud pada huruf a diputuskan
           melalui Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh            sekurang-
           kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan
           putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua
           pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir.

      c.   Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili, dan memutus
           pendapat DPRD tersebut paling lambat 30 (tigapuluh) hari setelah
           permintaan DPRD itu diterima Mahkamah Agung dan putusannya
           bersifat final.

      d.   Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala daerah
           dan/atau wakil kepala daerah terbukti melanggar sumpah/janji
           jabatan     dan/atau       tidak    melaksanakan      kewajiban,      DPRD
           menyelenggarakan Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh
           sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD
           dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3
           (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk
           memutuskan usul pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil
           kepala daerah kepada Presiden.
   e.   Presiden wajib memroses usul pemberhentian kepala daerah
        dan/atau wakil kepala daerah tersebut paling lambat 30 (tiga puluh)
        hari sejak DPRD menyampaikan usul tersebut.


                        Pasal 30
(1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara
   oleh     Presiden   tanpa   melalui   usulan   DPRD apabila dinyatakan
   melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana
   penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan
   pengadilan.
(2) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan oleh
   Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak
   pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan
   pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.


                        Pasal 31
(1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh
   Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak
   pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana
   terhadap keamanan negara.
(2) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan oleh
   Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena terbukti melakukan makar
   dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan
   Republik Indonesia yang dinyatakan dengan putusan pengadilan yang
   telah memperoleh kekuatan hukum tetap.


                        Pasal 32
(1) Dalam   hal kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah menghadapi krisis
   kepercayaan publik yang meluas karena dugaan melakukan tindak pidana dan
   melibatkan tanggung jawabnya, DPRD menggunakan hak angket untuk
   menanggapinya.
(2) Penggunaan     hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
   dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Rapat Paripurna DPRD
   yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah
   anggota DPRD dan putusan diambil           dengan persetujuan sekurang-
   kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk
    melakukan penyelidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala
    daerah.

(3) Dalam     hal ditemukan bukti melakukan tindak pidana sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1), DPRD menyerahkan proses penyelesaiannya
    kepada aparat penegak hukum sesuai dengan peraturan perundang-
    undangan.

(4) Apabila    kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan
    bersalah karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana
    penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan
    pengadilan     yang    belum      memperoleh     kekuatan     hukum    tetap
    sebagaimana      dimaksud        pada   ayat   (3),   DPRD     mengusulkan
    pemberhentian sementara dengan keputusan DPRD.
(5) Berdasarkan    keputusan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
    Presiden     menetapkan     pemberhentian      sementara     kepala   daerah
    dan/atau wakil kepala daerah.
(6) Apabila   kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan bersalah
    berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
    tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPRD mengusulkan
    pemberhentian berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri
    oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD
    dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua
    pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir.
(7) Berdasarkan    keputusan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
    Presiden memberhentikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.
                          Pasal 33

(1) Kepala     daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diberhentikan
    sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 31
    ayat (1), dan Pasal 32 ayat (5) setelah melalui proses peradilan ternyata
    terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah
    memperoleh kekuatan hukum tetap, paling lambat 30 (tiga puluh) hari
    Presiden telah merehabilitasikan dan mengaktifkan kembali kepala
    daerah dan/atau wakil kepala daerah yang bersangkutan sampai dengan
    akhir masa jabatannya.

(2) Apabila kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diberhentikan
    sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah berakhir masa
   jabatannya, Presiden merehabilitasikan kepala daerah dan/atau wakil
   kepala daerah yang bersangkutan dan tidak mengaktifkannya kembali.

(3) Tata   cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
   30, Pasal 31, dan Pasal 32 diatur dalam Peraturan Pemerintah.


                        Pasal 34

(1) Apabila kepala daerah diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud
   dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), dan Pasal 32 ayat (5), wakil
   kepala daerah melaksanakan tugas dan kewajiban kepala daerah
   sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh
   kekuatan hukum tetap.

(2) Apabila   wakil kepala daerah diberhentikan sementara sebagaimana
   dimaksud Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), dan Pasal 32 ayat (5),
   tugas dan kewajiban wakil kepala daerah           dilaksanakan         oleh
   kepala daerah sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah
   memperoleh kekuatan hukum tetap.

(3) Apabila kepala daerah dan wakil kepala daerah diberhentikan sementara
   sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), dan
   Pasal 32 ayat (5), Presiden menetapkan penjabat Gubernur atas usul
   Menteri Dalam Negeri atau penjabat Bupati/Walikota atas usul Gubernur
   dengan      pertimbangan    DPRD     sampai     dengan   adanya    putusan
   pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(4) Tata   cara penetapan, kriteria calon, dan masa jabatan penjabat
   sebagaimana      dimaksud     pada   ayat (3)    diatur dalam     Peraturan
   Pemerintah.


                        Pasal 35
(1) Apabila   kepala daerah diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan
   yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud
   dalam Pasal 30 ayat (2), Pasal 31 ayat (2), dan Pasal 32 ayat (7) jabatan
   kepala daerah diganti oleh wakil kepala daerah sampai berakhir masa
   jabatannya     dan   proses     pelaksanaannya    dilakukan   berdasarkan
   keputusan Rapat Paripurna DPRD dan disahkan oleh Presiden.

(2) Apabila   terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah sebagaimana
   dimaksud pada ayat (1) yang sisa masa jabatannya lebih dari 18
   (delapan belas) bulan, kepala daerah mengusulkan 2 (dua) orang calon
   wakil kepala daerah untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD
   berdasarkan usul partai politik atau gabungan partai politik yang
   pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan kepala daerah dan wakil
   kepala daerah.
(3) Dalam hal kepala daerah dan wakil kepala daerah berhenti atau
   diberhentikan secara bersamaan dalam masa jabatannya, Rapat
   Paripurna     DPRD     memutuskan    dan   menugaskan    KPUD    untuk
   menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
   paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak ditetapkannya penjabat
   kepala daerah.
(4) Dalam hal terjadi kekosongan jabatan kepala daerah dan wakil kepala
   daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), sekretaris daerah
   melaksanakan tugas sehari-hari kepala daerah sampai dengan Presiden
   mengangkat penjabat kepala daerah.

(5) Tata   cara pengisian kekosongan, persyaratan dan masa jabatan
   penjabat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan
   Pemerintah.


                      Paragraf Kelima
   Tindakan Penyidikan terhadap Kepala Daerah dan
                  Wakil Kepala Daerah


                         Pasal 36
(1) Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau
   wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis
   dari Presiden atas permintaan penyidik.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
   tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam
   puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan
   dan penyidikan dapat dilakukan.

(3) Tindakan    penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan
   persetujuan tertulis sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
   pada ayat (1) dan ayat (2).

(4) Hal-hal   yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada
   ayat (1) adalah:
   a.   tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau
   b.    disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam
         dengan pidana mati, atau telah melakukan tindak pidana kejahatan
         terhadap keamanan negara.

(5) Tindakan   penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setelah
   dilakukan wajib dilaporkan kepada Presiden paling lambat dalam waktu
   2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam.


                     Paragraf Keenam
        Tugas Gubernur sebagai Wakil Pemerintah


                        Pasal 37

(1) Gubernur   yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil
   Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan.

(2) Dalam   kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur
   bertanggung jawab kepada Presiden.


                        Pasal 38

(1) Gubernur dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
   memiliki tugas dan wewenang:
         pembinaan    dan   pengawasan      penyelenggaraan   pemerintahan
   a.
         daerah kabupaten/kota;
         koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi
   b.
         dan kabupaten/kota;
         koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas
   c.
         pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota.

(2) Pendanaan    tugas dan wewenang Gubernur sebagaimana dimaksud
   pada ayat (1) dibebankan kepada APBN.
(3) Kedudukan   keuangan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
   diatur dalam Peraturan Pemerintah.

(4) Tata   cara pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagaimana
   dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


                      Bagian Kelima
            Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

                     Paragraf Kesatu
                        Umum

                       Pasal 39
Ketentuan tentang DPRD sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini
berlaku ketentuan Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR, DPD, dan DPRD.

                    Paragraf Kedua
                Kedudukan dan Fungsi

                       Pasal 40
DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan
sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah.
                       Pasal 41
DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.


                    Paragraf Ketiga
                Tugas dan Wewenang


                       Pasal 42
(1) DPRD mempunyai tugas dan wewenang:

   a.   membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk
        mendapat persetujuan bersama;

   b.   membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD
        bersama dengan kepala daerah;

   c.   melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan
        peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah,
        APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program
        pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah;

   d.   mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil
        kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi
        DPRD provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur
        bagi DPRD kabupaten/kota;

   e.   memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan
        wakil kepala daerah;

   f.   memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah
        terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
   g.   memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional
        yang dilakukan oleh pemerintah daerah;

   h.   meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah
        dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
   i.   membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah;

   j.   melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam
        penyelenggaraan pemilihan kepala daerah;

   k.   memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antardaerah
        dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.
(2) Selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
   DPRD melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam
   peraturan perundang-undangan.


                       Paragraf Keempat
                   Hak dan Kewajiban


                           Pasal 43
(1) DPRD mempunyai hak:

   a.   interpelasi;
   b.   angket; dan

   c.   menyatakan pendapat.
(2) Pelaksanaan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf     b
   dilakukan setelah diajukan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada
   ayat (1) huruf a dan mendapatkan persetujuan dari Rapat Paripurna
   DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah
   anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-
   kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir.

(3) Dalam menggunakan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
   dibentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD yang
   bekerja dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari telah
   menyampaikan hasil kerjanya kepada DPRD.

(4) Dalam   melaksanakan tugasnya, panitia angket sebagaimana dimaksud
   pada ayat (3) dapat memanggil, mendengar, dan memeriksa seseorang
   yang dianggap mengetahui atau patut mengetahui masalah yang sedang
   diselidiki serta untuk meminta menunjukkan surat atau dokumen yang
   berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.
(5) Setiap   orang yang dipanggil, didengar, dan diperiksa sebagaimana
     dimaksud pada ayat (5) wajib memenuhi panggilan panitia angket
     kecuali ada alasan yang sah menurut peraturan perundang-undangan.

(6) Dalam     hal telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak
     memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), panitia
     angket dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian
     Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-
     undangan.

(7) Seluruh hasil kerja panitia angket bersifat rahasia.
(8) Tata cara penggunaan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan
     pendapat diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD yang berpedoman
     pada peraturan perundang-undangan.


                            Pasal 44
(1) Anggota DPRD mempunyai hak:

     a.   mengajukan rancangan Perda;
     b.   mengajukan pertanyaan;
     c.   menyampaikan usul dan pendapat;
     d.   memilih dan dipilih;
     e.   membela diri;

     f.   imunitas;
     g.   protokoler; dan
     h.   keuangan dan administratif.
(2) Kedudukan protokoler dan keuangan pimpinan dan anggota DPRD
     diatur dalam Peraturan Pemerintah.


                            Pasal 45
Anggota DPRD mempunyai kewajiban:
a.   mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara
     Republik Indonesia Tahun 1945, dan menaati segala peraturan
     perundang-undangan;
b.   melaksanakan         kehidupan     demokrasi   dalam   penyelenggaraan
     pemerintahan daerah;
c.   mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional serta keutuhan
     Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d.   memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah;
e.   menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi
     masyarakat;
f.   mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi,
     kelompok, dan golongan.

g.   memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya selaku
     anggota DPRD sebagai wujud tanggung jawab moral dan politis
     terhadap daerah pemilihannya.

h.   menaati Peraturan Tata Tertib, Kode Etik, dan sumpah/janji anggota
     DPRD;

i.   menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga yang
     terkait.

                       Paragraf Kelima
                    Alat Kelengkapan DPRD

                          Pasal 46
(1) Alat kelengkapan DPRD terdiri atas:
     a.   pimpinan;

     b.   komisi;
     c.   panitia musyawarah;
     d.   panitia anggaran;
     e.   Badan Kehormatan; dan
     f.   alat kelengkapan lain yang diperlukan.
(2) Pembentukan,       susunan, tugas, dan wewenang alat kelengkapan
     sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib
     DPRD dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.


                          Pasal 47

(1) Badan       Kehormatan DPRD dibentuk dan ditetapkan dengan keputusan
     DPRD.

(2) Anggota      Badan Kehormatan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat
     (1) dipilih dari dan oleh anggota DPRD dengan ketentuan:

     a. untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan sampai dengan 34
          (tiga puluh empat) berjumlah 3 (tiga) orang, dan untuk DPRD yang
          beranggotakan 35 (tiga puluh lima) sampai dengan 45 (empat puluh
          lima) berjumlah 5 (lima) orang.

     b. untuk DPRD provinsi yang beranggotakan sampai dengan 74 (tujuh
          puluh empat) berjumlah 5 (lima) orang, dan untuk DPRD yang
          beranggotakan 75 (tujuh puluh lima) sampai dengan 100 (seratus)
          berjumlah 7 (tujuh) orang.
(3) Pimpinan Badan Kehormatan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat
     (2) terdiri atas seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua yang dipilih dari
     dan oleh anggota Badan Kehormatan.
(4) Badan Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh
     sebuah sekretariat yang secara fungsional dilaksanakan oleh Sekretariat
     DPRD.

                            Pasal 48
Badan Kehormatan mempunyai tugas:
     mengamati, mengevaluasi disiplin, etika, dan moral para anggota DPRD
a.
     dalam rangka menjaga martabat dan kehormatan sesuai dengan Kode
     Etik DPRD;
     meneliti dugaan pelanggaran yang dilakukan anggota DPRD terhadap
b.
     Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik DPRD serta sumpah/janji;
     melakukan penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi atas pengaduan
c.
     Pimpinan DPRD, masyarakat dan/atau pemilih;
     menyampaikan kesimpulan atas hasil penyelidikan, verifikasi, dan
d.
     klarifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf c sebagai rekomendasi
     untuk ditindaklanjuti oleh DPRD.

                            Pasal 49
(1) DPRD wajib menyusun kode etik untuk menjaga martabat dan
     kehormatan      anggota      DPRD      dalam   menjalankan   tugas   dan
     wewenangnya.
(2) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
     meliputi:

     a.   pengertian kode etik;
     b.   tujuan kode etik;
     c.   pengaturan sikap, tata kerja, dan tata hubungan antarpenyelenggara
          pemerintahan daerah dan antaranggota serta antara anggota DPRD
          dan pihak lain;
   d.   hal yang baik dan sepantasnya dilakukan oleh anggota DPRD;
   e.   etika    dalam   penyampaian    pendapat,   tanggapan,    jawaban,
        sanggahan; dan
   f.   sanksi dan rehabilitasi.

                         Pasal 50

(1) Setiap anggota DPRD wajib berhimpun dalam fraksi.
(2) Jumlah    anggota setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
   sekurang-kurangnya sama dengan jumlah komisi di DPRD.

(3) Anggota DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari 1 (satu) partai
   politik yang tidak memenuhi syarat untuk membentuk 1 (satu) fraksi,
   wajib bergabung dengan fraksi yang ada atau membentuk fraksi
   gabungan.

(4) Fraksi   yang ada wajib menerima anggota DPRD dari partai politik lain
   yang tidak memenuhi syarat untuk dapat membentuk satu fraksi.
(5) Dalam hal fraksi gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
   setelah dibentuk, kemudian tidak lagi memenuhi syarat sebagai fraksi
   gabungan,       seluruh   anggota   fraksi   gabungan   tersebut   wajib
             bergabung dengan fraksi dan/atau fraksi gabungan lain yang
   memenuhi syarat.
(6) Parpol yang memenuhi persyaratan untuk membentuk fraksi hanya
   dapat membentuk satu fraksi.
(7) Fraksi gabungan dapat dibentuk oleh partai politik dengan syarat
   sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (5).


                         Pasal 51
(1) DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) sampai dengan
   75 (tujuh puluh lima) orang membentuk 4       (empat)   komi-si,   yang
   beranggotakan lebih dari 75 (tujuh puluh lima) orang membentuk 5 (lima)
   komisi.
(2) DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai
   dengan 35 (tiga puluh lima) orang membentuk 3 (tiga) komisi, yang
   beranggotakan lebih dari 35 (tiga puluh lima) orang membentuk 4
   (empat) komisi.


                         Pasal 52
(1) Anggota DPRD tidak dapat dituntut dihadapan pengadilan karena
   pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakan secara
   lisan ataupun tertulis dalam rapat DPRD, sepanjang tidak bertentangan
   dengan Peraturan Tata Tertib dan kode etik DPRD.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal
   anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati
   dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan,       atau    hal-hal   yang
   dimaksud oleh ketentuan mengenai pengumuman rahasia negara dalam
   peraturan perundang-undangan.
(3) Anggota DPRD tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan,
   pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakan dalam rapat DPRD.


                       Pasal 53
(1) Tindakan penyidikan terhadap anggota DPRD dilaksanakan setelah
   adanya persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri atas nama
   Presiden bagi anggota DPRD provinsi dan dari Gubernur atas nama
   Menteri Dalam Negeri bagi anggota DPRD kabupaten/kota.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
   tidak diberikan dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari
   semenjak diterimanya permohonan, proses penyidikan dapat dilakukan.
(3) Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan
   persetujuan tertulis dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
   dan ayat (2).
(4) Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada
   ayat (1) adalah:

   a.   tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau
   b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
        pidana mati, atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan
        negara.
(5) Setelah tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan,
   tindakan penyidikan harus dilaporkan kepada pejabat yang memberikan
   izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 2 (dua kali) 24
   (dua puluh empat) jam.


                      Bagian Keenam
     Larangan dan Pemberhentian Anggota DPRD


                       Pasal 54
(1) Anggota DPRD dilarang merangkap jabatan sebagai:
   a. pejabat negara lainnya;
   b. hakim pada badan peradilan;
   c. pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri, pegawai pada badan usaha
       milik negara, badan usaha milik daerah dan/atau badan lain yang
       anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
(2) Anggota DPRD dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural
   pada    lembaga      pendidikan    swasta,   akuntan    publik,   konsultan,
   advokat/pengacara, notaris, dokter praktik dan pekerjaan lain yang ada
   hubungannya dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota
   DPRD.
(3) Anggota DPRD dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
(4) Anggota DPRD yang melakukan pekerjaan sebagaimana dimaksud
   pada ayat (2) wajib melepaskan pekerjaan tersebut selama menjadi
   anggota DPRD.
(5) Anggota DPRD yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud
   pada    ayat   (4)   diberhentikan   oleh    pimpinan   berdasarkan    hasil
   pemeriksaan Badan Kehormatan DPRD.
(6) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
   ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD
   yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.


                     Bagian Ketujuh
       Penggantian Antarwaktu Anggota DPRD


                        Pasal 55
(1) Anggota DPRD berhenti antarwaktu sebagai anggota karena:
   a. meninggal dunia;
   b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis; dan
   c. diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan.
(2) Anggota DPRD diberhentikan antarwaktu, karena:
   a. tidak   dapat     melaksanakan     tugas secara      berkelanjutan atau
       berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan;
   b. tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota DPRD;
   c. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan, dan/atau melanggar
       kode etik DPRD;
   d. tidak melaksanakan kewajiban anggota DPRD;
   e. melanggar larangan bagi anggota DPRD;
   f.   dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah
        memperoleh kekuatan hukum tetap karena melanggar tindak pidana
        dengan ancaman pidana paling singkat 5 (lima) tahun penjara atau
        lebih.
(3) Pemberhentian anggota DPRD yang telah memenuhi ketentuan
   sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan oleh
   Pimpinan DPRD kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi
   anggota DPRD provinsi dan kepada Gubernur melalui Bupati/Walikota
   bagi      anggota     DPRD        kabupaten/kota   untuk     diresmikan
   pemberhentiannya.
(4) Pemberhentian anggota DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
   huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e dilaksanakan setelah ada
   keputusan DPRD berdasarkan rekomendasi dari Badan Kehormatan
   DPRD.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
   ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD
   berpedoman pada peraturan perundang-undangan.


                    Bagian Kedelapan
  Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah


                     Paragraf Kesatu
                        Pemilihan


                        Pasal 56

(1) Kepala   daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan
   calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung,
   umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

(2) Pasangan     calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh
   partai politik atau gabungan partai politik.


                        Pasal 57

(1) Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh
   KPUD yang bertanggungjawab kepada DPRD.
(2) Dalam       melaksanakan    tugasnya,   KPUD       menyampaikan     laporan
     penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
     kepada DPRD.

(3) Dalam mengawasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil
     kepala daerah, dibentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan
     wakil kepala daerah yang keanggotaannya terdiri atas unsur kepolisian,
     kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat.

(4) Anggota      panitia pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
     berjumlah 5 (lima) orang untuk provinsi, 5 (lima) orang untuk
     kabupaten/kota dan 3 (tiga) orang untuk kecamatan.

(5) Panitia     pengawas    kecamatan    diusulkan   oleh   panitia   pengawas
     kabupaten/kota untuk ditetapkan oleh DPRD.
(6) Dalam hal tidak didapatkan unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
     panitia pengawas kabupaten/kota/kecamatan dapat diisi oleh unsur yang
     lainnya.
(7) Panitia     pengawas pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
     dibentuk oleh dan bertanggungjawab kepada DPRD dan berkewajiban
     menyampaikan laporannya.


                           Pasal 58
Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah warga negara
Republik Indonesia yang memenuhi syarat:

a.   bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.   setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar
     Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus
     1945, dan       kepada Negara      Kesatuan Republik     Indonesia   serta
     Pemerintah;

c.   berpendidikan     sekurang-kurangnya    sekolah    lanjutan   tingkat atas
     dan/atau sederajat;
d.   berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;
e.   sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan
     menyeluruh dari tim dokter;

f.   tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
     yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
      pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
      atau lebih;

g.    tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang
      telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

h.    mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;
i.    menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;
j.    tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau
      secara badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan
      keuangan negara.

k.    tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang
      telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

l.    tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
m.    memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum
      mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak;

n.    menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain
      riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau
      istri;

o.    belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah
      selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama; dan

p.    tidak dalam status sebagai penjabat kepala daerah.


                            Pasal 59
(1) Peserta     pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah
      pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik
      atau gabungan partai politik.
(2)            Partai   politik   atau   gabungan   partai   politik   sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dapat mendaftarkan pasangan calon apabila
      memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas
      persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari
      akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum anggota DPRD
      di daerah yang bersangkutan.
(3) Partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan yang
      seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan selanjutnya memproses bakal
      calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.
(4) Dalam proses penetapan pasangan calon, partai politik atau gabungan partai
    politik memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat.
(5) Partai politik atau gabungan partai politik pada saat mendaftarkan
    pasangan calon, wajib menyerahkan:

    a. surat pencalonan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik
         atau pimpinan partai politik yang bergabung;
    b. kesepakatan tertulis antarpartai politik yang bergabung untuk
         mencalonkan pasangan calon;
    c. surat pernyataan tidak akan menarik pencalonan atas pasangan
         yang dicalonkan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik
         atau para pimpinan partai politik yang bergabung;
    d. surat pernyataan kesediaan yang bersangkutan sebagai calon
         kepala daerah dan wakil kepala daerah secara berpasangan;
    e. surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri sebagai pasangan
         calon;
    f.   surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatan
         apabila terpilih menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah
         sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
    g. surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon
         yang berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional
         Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
    h. surat pernyataan tidak aktif dari jabatannya bagi pimpinan DPRD
         tempat yang bersangkutan menjadi calon di daerah yang menjadi
         wilayah kerjanya;
    i.   surat pemberitahuan kepada pimpinan bagi anggota DPR, DPD, dan
         DPRD yang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan
         wakil kepala daerah;
    j.   kelengkapan persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala
         daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58; dan
    k. naskah visi, misi, dan program dari pasangan calon secara tertulis.
(6) Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada
    ayat (1) hanya dapat mengusulkan satu pasangan calon dan pasangan
    calon tersebut tidak dapat diusulkan lagi oleh partai politik atau
    gabungan partai politik lainnya.
(7) Masa pendaftaran pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat
    (1) paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak pengumuman pendaftaran
    pasangan calon.
                        Pasal 60

(1) Pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) diteliti
    persyaratan administrasinya dengan melakukan klarifikasi kepada
    instansi pemerintah yang berwenang dan menerima masukan dari
    masyarakat terhadap persyaratan pasangan calon.

(2) Hasil   penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan
    secara tertulis kepada pimpinan partai politik atau gabungan partai politik
    yang mengusulkan, paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal
    penutupan pendaftaran.

(3) Apabila   pasangan calon belum memenuhi syarat atau ditolak karena
    tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan/atau
    Pasal 59, partai politik atau gabungan partai politik yang mengajukan
    calon diberi kesempatan untuk melengkapi dan/atau memperbaiki surat
    pencalonan beserta persyaratan pasangan calon atau mengajukan calon
    baru paling lambat 7 (tujuh) hari sejak saat pemberitahuan hasil
    penelitian persyaratan oleh KPUD.

(4) KPUD      melakukan penelitian ulang kelengkapan dan atau perbaikan
    persyaratan pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
    sekaligus memberitahukan hasil penelitian tersebut paling lambat 7
    (tujuh) hari kepada pimpinan partai politik atau gabungan partai politik
    yang mengusulkan.
(5) Apabila hasil penelitian   berkas pasangan calon sebagaimana dimaksud
    pada ayat (3) tidak memenuhi syarat dan ditolak oleh KPUD, partai
    politik dan atau gabungan partai politik, tidak dapat lagi mengajukan
    pasangan calon.


                        Pasal 61
(1) Berdasarkan    hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60
    ayat (2) dan ayat (4), KPUD menetapkan pasangan calon paling kurang
    2 (dua) pasangan calon yang dituangkan dalam Berita Acara Penetapan
    pasangan calon.

(2) Pasangan     calon yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada
    ayat (1) diumumkan secara luas paling lambat 7 (tujuh) hari sejak
    selesainya penelitian.
(3) Terhadap     pasangan calon yang telah ditetapkan dan diumumkan,
    selanjutnya dilakukan undian secara terbuka untuk menetapkan nomor
    urut pasangan calon.

(4) Penetapan    dan pengumuman pasangan calon sebagaimana dimaksud
    pada ayat (3) bersifat final dan mengikat.


                         Pasal 62

(1) Partai   politik atau gabungan partai politik dilarang menarik calonnya
    dan/atau pasangan calonnya, dan pasangan calon atau salah seorang
    dari pasangan calon dilarang mengundurkan diri terhitung sejak
    ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPUD.

(2) Apabila    partai politik atau gabungan partai politik menarik calonnya
    dan/atau pasangan calon dan/atau salah seorang dari pasangan calon
    mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), partai politik
    atau gabungan partai politik yang mencalonkan tidak dapat mengusulkan
    calon pengganti.


                         Pasal 63

(1) Dalam     hal salah satu calon atau pasangan calon berhalangan tetap
    sejak penetapan calon sampai pada saat dimulainya hari kampanye,
    partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya
    berhalangan tetap dapat mengusulkan pasangan calon pengganti paling
    lambat 3 (tiga) hari sejak pasangan calon berhalangan tetap dan KPUD
    melakukan      penelitian   persyaratan   administrasi    dan   menetapkan
    pasangan calon pengganti paling lambat 4 (empat) hari sejak pasangan
    calon pengganti didaftarkan.
(2) Dalam hal salah 1 (satu) calon atau pasangan calon berhalangan tetap
    pada saat dimulainya kampanye sampai hari pemungutan suara dan
    masih terdapat 2 (dua) pasangan calon atau lebih, tahapan pelaksanaan
    pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilanjutkan dan
    pasangan calon yang berhalangan tetap tidak dapat diganti serta
    dinyatakan gugur.

(3) Dalam     hal salah satu calon atau pasangan calon berhalangan tetap
    pada saat dimulainya kampanye sampai hari pemungutan suara
    sehingga jumlah pasangan calon kurang dari 2 (dua) pasangan, tahapan
    pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan           wakil    kepala   daerah
    ditunda paling lambat 30 (tiga puluh) hari dan partai politik atau
    gabungan partai politik yang pasangan calonnya berhalangan tetap
    mengusulkan pasangan calon pengganti paling lambat 3 (tiga) hari sejak
    pasangan calon berhalangan tetap dan KPUD melakukan penelitian
    persyaratan administrasi dan menetapkan pasangan calon pengganti
    paling lambat 4 (empat) hari sejak pasangan calon pengganti
    didaftarkan.


                         Pasal 64
(1) Dalam    hal salah satu calon atau pasangan calon berhalangan tetap
    setelah pemungutan suara putaran pertama sampai dimulainya hari
    pemungutan suara putaran kedua, tahapan pelaksanaan pemilihan
    kepala daerah dan wakil kepala daerah ditunda paling lambat 30 (tiga
    puluh) hari.

(2) Partai   politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya
    berhalangan tetap mengusulkan pasangan calon pengganti paling
    lambat 3 (tiga) hari sejak pasangan        calon   berhalangan   tetap
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan KPUD melakukan penelitian
    persyaratan administrasi dan menetapkan pasangan calon pengganti
    paling lambat 4 (empat) hari sejak pasangan calon pengganti
    didaftarkan.


                         Pasal 65
(1) Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilaksanakan melalui
    masa persiapan, dan tahap pelaksanaan.
(2) Masa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    a.   Pemberitahuan DPRD kepada kepala daerah mengenai berakhirnya
         masa jabatan;

    b.   Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa
         jabatan kepala daerah;

    c.   Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan
         jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah;

    d.   Pembentukan Panitia Pengawas, PPK, PPS dan KPPS;

    e.   Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau.
(3) Tahap pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
    a.   Penetapan daftar pemilih;
   b.   Pendaftaran dan Penetapan calon kepala daerah/ wakil kepala
        daerah;

   c.   Kampanye;
   d.   Pemungutan suara;
   e.   Penghitungan suara; dan
   f.   Penetapan pasangan calon kepala daerah/ wakil kepala daerah
        terpilih, pengesahan, dan pelantikan.
(4) Tata cara pelaksanaan masa persiapan sebagaimana dimaksud pada
   ayat (2) dan tahap pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
   diatur KPUD dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.


                          Pasal 66
(1) Tugas dan wewenang KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala
   daerah dan wakil kepala daerah adalah:
   a. merencanakan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil
        kepala daerah;
   b. menetapkan tata cara pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan
        wakil kepala daerah sesuai dengan tahapan yang diatur dalam
        peraturan perundang-undangan;
   c. mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua
        tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
        daerah;
   d. menetapkan tanggal dan tata cara pelaksanaan kampanye, serta
        pemungutan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
        daerah;
   e. meneliti persyaratan partai politik atau gabungan partai politik yang
        mengusulkan calon;
   f.   meneliti persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah
        yang diusulkan;
   g. menetapkan pasangan calon yang telah memenuhi persyaratan;
   h. menerima pendaftaran dan mengumumkan tim kampanye;
   i.   mengumumkan laporan sumbangan dana kampanye;
   j.   menetapkan        hasil   rekapitulasi   penghitungan   suara   dan
        mengumumkan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
        daerah;
   k. melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemilihan kepala
        daerah dan wakil kepala daerah;
   l.   melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur oleh peraturan
        perundang-undangan;
   m. menetapkan kantor akuntan publik untuk mengaudit dana kampanye
        dan mengumumkan hasil audit.
(2) Dalam penyelenggaran pemilihan gubernur dan wakil gubernur KPUD
   kabupaten/kota adalah bagian pelaksana tahapan penyelenggaraan
   pemilihan yang ditetapkan oleh KPUD provinsi.
(3) Tugas dan wewenang DPRD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala
   daerah dan wakil kepala daerah adalah:
   a.   memberitahukan kepada kepala daerah mengenai akan berakhirnya
        masa jabatan;
   b.   mengusulkan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah
        yang berakhir masa jabatannya dan mengusulkan pengangkatan
        kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih;

   c.   melakukan    pengawasan       pada   semua   tahapan    pelaksanaan
        pemilihan;

   d.   membentuk panitia pengawas;

   e.   meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPUD; dan
   f.   menyelenggarakan      rapat     paripurna    untuk     mendengarkan
        penyampaian visi, misi, dan program dari pasangan calon kepala
        daerah dan wakil kepala daerah.
(4) Panitia pengawas pemilihan mempunyai tugas dan wewenang:

   a.   mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala
        daerah dan wakil kepala daerah;

   b.   menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan
        pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah;
   c.   menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan
        pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah;


   d.   meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan
        kepada instansi yang berwenang; dan

   e.   mengatur hubungan koordinasi antar panitia pengawasan pada
        semua tingkatan.
                       Pasal 67

(1) KPUD berkewajiban:
   a.   memperlakukan pasangan calon secara adil dan setara;
   b.   menetapkan standarisasi serta kebutuhan barang dan jasa yang
        berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan
        wakil kepala daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan;
   c.   menyampaikan     laporan   kepada   DPRD     untuk   setiap   tahap
        pelaksanaan pemilihan dan menyampaikan informasi kegiatannya
        kepada masyarakat ;
   d.   memelihara arsip dan dokumen pemilihan serta mengelola barang
        inventaris milik KPUD berdasarkan peraturan perundang-undangan;

   e.   mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran kepada DPRD;
   f.   melaksanakan semua tahapan pemilihan kepala daerah dan wakil
        kepala daerah secara tepat waktu.


                   Paragraf Kedua
                  Penetapan Pemilih


                       Pasal 68
Warga negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sudah berumur 17 (tujuh
belas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.


                       Pasal 69
(1) Untuk dapat menggunakan hak memilih, warga negara Republik
   Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih.
(2) Untuk dapat didaftar sebagai pemilih, warga negara Republik Indonesia
   sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
   a. nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya;
   b. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan
        yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(3) Seorang warga negara Republik Indonesia yang telah terdaftar dalam
   daftar pemilih ternyata tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana
   dimaksud pada ayat (2) tidak dapat menggunakan hak memilihnya.
                        Pasal 70

(1) Daftar    pemilih pada saat pelaksanaan pemilihan umum terakhir di
    daerah digunakan sebagai daftar pemilih untuk pemilihan kepala daerah
    dan wakil kepala daerah.

(2) Daftar   pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah dengan
    daftar pemilih tambahan yang telah memenuhi persyaratan sebagai
    pemilih ditetapkan sebagai daftar pemilih sementara.


                        Pasal 71
Pemilih yang telah terdaftar sebagai pemilih sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 70 diberi tanda bukti pendaftaran untuk ditukarkan dengan kartu
pemilih untuk setiap pemungutan suara.


                        Pasal 72

(1) Seorang pemilih hanya didaftar 1 (satu) kali dalam daftar pemilih.
(2) Apabila   seorang pemilih mempunyai lebih dari 1 (satu) tempat tinggal,
    pemilih tersebut harus menentukan satu di antaranya untuk ditetapkan
    sebagai tempat tinggal yang dicantumkan dalam daftar pemilih.


                        Pasal 73

(1) Pemilih yang telah terdaftar dalam daftar pemilih sebagaimana dimaksud
    dalam Pasal 70 kemudian berpindah tempat tinggal atau karena ingin
    menggunakan hak pilihnya di tempat lain, pemilih yang bersangkutan
    harus melapor kepada PPS setempat.

(2) PPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencatat nama pemilih dari
    daftar pemilih dan memberikan surat keterangan pindah tempat memilih.

(3) Pemilih   melaporkan kepindahannya kepada PPS di tempat pemilihan
    yang baru.

(4) Pemilih    terdaftar yang karena sesuatu hal terpaksa tidak dapat
    menggunakan hak pilihnya di TPS yang sudah ditetapkan, yang
    bersangkutan dapat menggunakan hak pilihnya di tempat lain dengan
    menunjukkan kartu pemilih.


                        Pasal 74
(1) Berdasarkan daftar pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 dan
    Pasal 73 PPS menyusun dan menetapkan daftar pemilih sementara.
(2) Daftar    pemilih sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
   diumumkan oleh PPS untuk mendapat tanggapan masyarakat.

(3) Pemilih   yang belum terdaftar dalam daftar pemilih sementara dapat
   mendaftarkan diri ke PPS dan dicatat dalam daftar pemilih tambahan.
(4) Daftar    pemilih sementara dan daftar pemilih tambahan ditetapkan
   sebagai daftar pemilih tetap.
(5) Daftar pemilih tetap disahkan dan diumumkan oleh PPS.
(6) Tata cara pelaksanaan pendaftaran pemilih ditetapkan oleh KPUD.

                     Paragraf Ketiga
                        Kampanye


                        Pasal 75

(1) Kampanye      dilaksanakan     sebagai     bagian    dari   penyelenggaraan
   pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

(2) Kampanye     sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan selama 14
   (empat belas) hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan
   suara.

(3) Kampanye     sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh
   tim kampanye yang dibentuk oleh pasangan calon bersama-sama partai
   politik atau gabungan partai politik yang mengusulkan pasangan calon.

(4) Tim   kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didaftarkan ke
   KPUD bersamaan dengan pendaftaran pasangan calon.

(5) Kampanye     sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
   bersama-sama atau secara terpisah oleh pasangan calon dan/atau oleh
   tim kampanye.
(6) Penanggung      jawab   kampanye         adalah     pasangan     calon,   yang
   pelaksanaannya dipertanggungjawabkan oleh tim kampanye.

(7) Tim      kampanye   dapat    dibentuk    secara     berjenjang   di   provinsi,
   kabupaten/kota bagi pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan
   kabupaten/kota dan kecamatan bagi pasangan calon Bupati/Wakil
   Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.

(8) Dalam     kampanye, rakyat mempunyai kebebasan untuk menghadiri
   kampanye.
(9) Jadwal    pelaksanaan       kampanye     ditetapkan    oleh    KPUD     dengan
   memperhatikan usul dari pasangan calon.


                          Pasal 76

(1) Kampanye dapat dilaksanakan melalui:
   a.   pertemuan terbatas;
   b.   tatap muka dan dialog;
   c.   penyebaran melalui media cetak dan media elektronik;
   d.   penyiaran melalui radio dan/atau televisi;

   e.   penyebaran bahan kampanye kepada umum;
   f.   pemasangan alat peraga di tempat umum;
   g.   rapat umum;

   h.   debat publik/debat terbuka antarcalon; dan/atau
   i.   kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan.
(2) Pasangan   calon wajib menyampaikan visi, misi, dan program secara
   lisan maupun tertulis kepada masyarakat.
(3) Calon    kepala    daerah    dan    wakil   kepala    daerah   berhak    untuk
   mendapatkan informasi atau data dari pemerintah daerah sesuai dengan
   ketentuan perundang-undangan.
(4) Penyampaian       materi kampanye dilakukan dengan cara yang sopan,
   tertib, dan bersifat edukatif.

(5) Penyelenggaraan kampanye dilakukan di seluruh wilayah provinsi untuk
   pemilihan gubernur        dan     wakil   gubernur     dan diseluruh     wilayah
   kabupaten/kota untuk pemilihan bupati dan wakil bupati dan walikota dan
   wakil walikota.


                          Pasal 77
(1) Media cetak   dan media elektronik memberikan kesempatan yang sama
   kepada pasangan calon untuk menyampaikan tema dan materi
   kampanye.
(2) Media elektronik    dan media cetak wajib memberikan kesempatan yang
   sama kepada pasangan calon untuk memasang iklan pemilihan kepala
   daerah dan wakil kepala daerah dalam rangka kampanye.

(3) Pemerintah    daerah memberikan kesempatan yang sama kepada
   pasangan calon untuk menggunakan fasilitas umum.
(4) Semua      yang hadir dalam pertemuan terbatas atau rapat umum yang
     diadakan oleh pasangan calon hanya dibenarkan membawa atau
     menggunakan tanda gambar dan/atau atribut pasangan calon yang
     bersangkutan.

(5) KPUD       berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk menetapkan
     lokasi pemasangan alat peraga untuk keperluan kampanye.

(6) Pemasangan      alat peraga kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat
     (5) oleh pasangan calon dilaksanakan dengan memper-timbangkan
     etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat
     sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(7) Pemasangan       alat peraga kampanye pada tempat yang menjadi milik
     perseorangan atau badan swasta harus seizin pemilik tempat tersebut.
(8) Alat   peraga kampanye harus sudah dibersihkan paling lambat 3 (tiga)
     hari sebelum hari pemungutan suara.


                           Pasal 78
Dalam kampanye dilarang:

a.   mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang-
     Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.   menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon kepala
     daerah/wakil kepala daerah dan/atau partai politik;
c.   menghasut atau mengadu domba partai politik, perseorangan, dan/atau
     kelompok masyarakat;

d.   menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan atau menganjurkan
     penggunaan kekerasan kepada perseorangan, kelompok masyarakat
     dan/atau partai politik;

e.   mengganggu keamanan, ketenteraman, dan ketertiban umum;
f.   mengancam       dan    menganjurkan    penggunaan     kekerasan   untuk
     mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan yang sah;

g.   merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye pasangan
     calon lain;

h.   menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah dan pemerintah
     daerah;
i.   menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan; dan
j.   melakukan pawai atau arak-arakan yang dilakukan dengan berjalan kaki
     dan/atau dengan kendaraan di jalan raya.


                         Pasal 79

(1) Dalam kampanye, dilarang melibatkan:
     a.   hakim pada semua peradilan;
     b.   pejabat BUMN/BUMD;
     c.   pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri;
     d.   kepala desa.

(2) Larangan    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila
     pejabat tersebut menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
(3) Pejabat   negara yang menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala
     daerah dalam melaksanakan kampanye harus memenuhi ketentuan:
     a.   tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya;

     b.   menjalani cuti di luar tanggungan negara; dan
     c.   pengaturan lama cuti dan jadwal cuti dengan memperhatikan
          keberlangsungan tugas penyelenggaraan pemerintahan daerah.

(4) Pasangan     calon dilarang melibatkan pegawai negeri sipil, anggota
     Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik
     Indonesia sebagai peserta kampanye dan juru kampanye dalam
     pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.


                         Pasal 80
Pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan
kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau                tindakan yang
menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa
kampanye.


                         Pasal 81
(1) Pelanggaran      atas   ketentuan    larangan    pelaksanaan    kampanye
     sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
     huruf e, dan huruf f, merupakan tindak pidana dan dikenai sanksi sesuai
     dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pelanggaran      atas   ketentuan    larangan    pelaksanaan    kampanye
     sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf g, huruf h, huruf i dan
   huruf j, yang merupakan pelanggaran tata cara kampanye dikenai
   sanksi:

   a.   peringatan tertulis apabila penyelenggara kampanye melanggar
        larangan walaupun belum terjadi gangguan;

   b.   penghentian kegiatan kampanye di tempat terjadinya pelanggaran
        atau di seluruh daerah pemilihan yang bersangkutan apabila terjadi
        gangguan terhadap keamanan yang berpotensi menyebar ke daerah
        pemilihan lain.

(3) Tata   cara pengenaan sanksi terhadap pelanggaran larangan pelaksanaan
   kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh KPUD.

(4) Pelanggaran     atas     ketentuan   larangan      pelaksanaan    kampanye
   sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dikenai sanksi penghentian
   kampanye selama masa kampanye oleh KPUD.


                           Pasal 82

(1) Pasangan    calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau
   memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih.

(2) Pasangan     calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan
   pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan
   pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi
   pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD.


                           Pasal 83

(1) Dana kampanye dapat diperoleh dari:
   a. pasangan calon;
   b. partai politik dan/atau gabungan partai politik yang mengusulkan;
   c. sumbangan pihak-pihak lain yang tidak mengikat yang meliputi
        sumbangan perseorangan dan/atau badan hukum swasta.

(2) Pasangan    calon wajib memiliki rekening khusus dana kampanye dan
   rekening yang dimaksud didaftarkan kepada KPUD.

(3) Sumbangan dana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
   c dari perseorangan dilarang melebihi Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
   rupiah)    dan   dari    badan     hukum   swasta    dilarang   melebihi   Rp
   350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).

(4) Pasangan     calon dapat menerima dan/atau menyetujui pembiayaan
   bukan dalam bentuk uang secara langsung untuk kegiatan kampanye.
(5) Sumbangan   kepada pasangan calon yang lebih dari Rp 2.500.000,00
   (dua juta lima ratus ribu rupiah) baik dalam bentuk uang maupun bukan
   dalam bentuk uang yang dapat dikonversikan ke dalam nilai uang wajib
   dilaporkan kepada KPUD mengenai jumlah dan identitas pemberi
   sumbangan.

(6) Laporan sumbangan dana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat
   (3), dan ayat (5) disampaikan oleh pasangan calon kepada KPUD dalam
   waktu 1 (satu) hari sebelum masa kampanye dimulai dan 1 (satu) hari
   sesudah masa kampanye berakhir.

(7) KPUD    mengumumkan melalui media massa laporan sumbangan dana
   kampanye setiap pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
   kepada masyarakat satu hari setelah menerima laporan dari pasangan
   calon.


                       Pasal 84
(1) Dana    kampanye   digunakan   oleh   pasangan   calon, yang    teknis
   pelaksanaannya dilakukan oleh tim kampanye.

(2) Dana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan
   oleh pasangan calon kepada KPUD paling lambat 3 (tiga) hari setelah
   hari pemungutan suara.

(3) KPUD    wajib menyerahkan laporan dana kampanye sebagaimana
   dimaksud pada ayat (2) kepada kantor akuntan publik paling lambat 2
   (dua) hari setelah KPUD menerima laporan dana kampanye dari
   pasangan calon.

(4) Kantor akuntan publik wajib menyelesaikan audit paling lambat 15 (lima
   belas) hari setelah diterimanya laporan dana kampanye dari KPUD.

(5) Hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan oleh KPUD
   paling lambat 3 (tiga) hari setelah KPUD menerima laporan hasil audit
   dari kantor akuntan publik.

(6) Laporan   dana kampanye yang diterima KPUD wajib dipelihara dan
   terbuka untuk umum.


                       Pasal 85

(1) Pasangan calon dilarang menerima sumbangan atau bantuan lain untuk
   kampanye yang berasal dari:
    a.   negara asing, lembaga swasta asing, lembaga swadaya masyarakat
         asing dan warga negara asing;

    b.   penyumbang atau pemberi bantuan yang tidak jelas identitasnya;
    c.   pemerintah, BUMN, dan BUMD.
(2) Pasangan   calon yang menerima sumbangan sebagaimana dimaksud
    pada ayat (1) tidak dibenarkan menggunakan dana tersebut dan wajib
    melaporkannya kepada KPUD paling lambat 14 (empat belas) hari
    setelah masa kampanye berakhir dan menyerahkan sumbangan
    tersebut kepada kas daerah.




(3) Pasangan    calon yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
    pada ayat (1) dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh
    KPUD.


                   Paragraf Keempat
                   Pemungutan Suara


                        Pasal 86

(1) Pemungutan    suara pemilihan pasangan calon kepala daerah dan wakil
    kepala daerah diselenggarakan paling lambat 1 (satu) bulan sebelum
    masa jabatan kepala daerah berakhir.

(2) Pemungutan    suara dilakukan dengan memberikan suara melalui surat
    suara yang berisi nomor, foto, dan nama pasangan calon.

(3) Pemungutan suara dilakukan pada hari libur atau hari yang diliburkan.

                        Pasal 87

(1) Jumlah   surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2)
    dicetak sama dengan jumlah pemilih tetap dan ditambah 2,5% (dua
    setengah perseratus) dari jumlah pemilih tersebut.
(2) Tambahan surat suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan
    sebagai cadangan di setiap TPS untuk mengganti surat suara pemilih
    yang keliru memilih pilihannya serta surat suara yang rusak.
(3) Penggunaan    tambahan surat suara sebagaimana dimaksud pada ayat
    (2) dibuatkan berita acara.
                         Pasal 88
Pemberian suara untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
dilakukan dengan mencoblos salah satu pasangan calon dalam surat suara.


                         Pasal 89

(1) Pemilih tunanetra, tunadaksa,   atau yang mempunyai halangan fisik lain
   pada saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh petugas
   KPPS atau orang lain atas permintaan pemilih.
(2) Petugas   KPPS atau orang lain yang membantu pemilih sebagaimana
   dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan pemilih yang
   dibantunya.

(3) Ketentuan   lebih lanjut mengenai pemberian bantuan kepada pemilih
   sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam
   Peraturan Pemerintah.


                         Pasal 90

(1) Jumlah    pemilih di setiap TPS sebanyak-banyaknya 300 (tiga ratus)
   orang.

(2) TPS   sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan lokasinya di
   tempat yang mudah dijangkau, termasuk oleh penyandang cacat, serta
   menjamin setiap pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung,
   bebas, dan rahasia.

(3) Jumlah, lokasi, bentuk, dan tata letak TPS ditetapkan oleh KPUD.

                         Pasal 91
(1) Untuk keperluan pemungutan suara dalam pemilihan kepala daerah dan
   wakil kepala daerah disediakan kotak suara sebagai tempat surat suara
   yang digunakan oleh pemilih.
(2) Jumlah, bahan, bentuk, ukuran, dan warna kotak suara sebagaimana
   dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPUD dengan berpedoman
   pada peraturan perundang-undangan.


                         Pasal 92

(1) Sebelum melaksanakan pemungutan suara, KPPS melakukan:
   a.   pembukaan kotak suara;
   b.   pengeluaran seluruh isi kotak suara;
     c.   pengidentifikasian jenis dokumen dan peralatan; serta
     d.   penghitungan jumlah setiap jenis dokumen dan peralatan.

(2) Kegiatan KPPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihadiri oleh
     saksi dari pasangan calon, panitia pengawas, pemantau, dan warga
     masyarakat.

(3) Kegiatan    KPPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuatkan berita
     acara yang ditandatangani oleh Ketua KPPS, dan sekurang-kurangnya 2
     (dua) anggota KPPS dan dapat ditandatangani oleh saksi dari pasangan
     calon.


                         Pasal 93
(1) Setelah    melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92,
     KPPS memberikan penjelasan mengenai tata cara pemungutan suara.

(2) Dalam      memberikan suara, pemilih diberi kesempatan oleh KPPS
     berdasarkan prinsip urutan kehadiran pemilih.

(3) Apabila    menerima surat suara yang ternyata rusak, pemilih dapat
     meminta surat suara pengganti kepada KPPS, kemudian KPPS
     memberikan surat suara pengganti hanya satu kali.

(4) Apabila terdapat kekeliruan dalam cara memberikan suara, pemilih dapat
     meminta surat suara pengganti kepada KPPS, kemudian KPPS
     memberikan surat suara pengganti hanya satu kali.

(5) Penentuan waktu dimulai dan berakhirnya pemungutan suara ditetapkan
     oleh KPUD.


                         Pasal 94
(1) Pemilih yang telah memberikan suara di TPS diberi tanda khusus oleh
     KPPS.
(2) Tanda khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
     KPUD dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.


                         Pasal 95
Suara untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dinyatakan
sah apabila:

a.   surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS; dan
b.   tanda coblos hanya terdapat pada 1 (satu) kotak segi empat yang
     memuat satu pasangan calon; atau
c.   tanda coblos terdapat dalam salah satu kotak segi empat yang memuat
     nomor, foto dan nama pasangan calon yang telah ditentukan; atau

d.   tanda coblos lebih dari satu, tetapi masih di dalam salah satu kotak segi
     empat yang memuat nomor, foto dan nama pasangan calon; atau
e.   tanda coblos terdapat pada salah satu garis kotak segi empat yang
     memuat nomor, foto dan nama pasangan calon.


                          Pasal 96
(1) Penghitungan      suara di TPS dilakukan oleh KPPS setelah pemungutan
     suara berakhir.
(2) Sebelum penghitungan suara dimulai, KPPS menghitung:
     a.   jumlah pemilih yang memberikan suara berdasarkan salinan daftar
          pemilih tetap untuk TPS;

     b.   jumlah pemilih dari TPS lain;

     c.   jumlah surat suara yang tidak terpakai; dan
     d.   jumlah surat suara yang dikembalikan oleh pemilih karena rusak
          atau keliru dicoblos.
(3) Penggunaan        surat suara tambahan dibuatkan berita acara yang
     ditandatangani oleh Ketua KPPS dan sekurang-kurangnya 2 (dua)
     anggota KPPS.
(4) Penghitungan suara dilakukan dan selesai di TPS oleh KPPS dan dapat
     dihadiri oleh saksi pasangan calon, panitia pengawas, pemantau, dan
     warga masyarakat.

(5) Saksi pasangan calon harus membawa surat mandat dari tim kampanye
     yang bersangkutan dan menyerahkannya kepada Ketua KPPS.

(6) Penghitungan      suara dilakukan dengan cara yang memungkinkan saksi
     pasangan calon, panitia pengawas, pemantau, dan warga masyarakat
     yang hadir dapat menyaksikan secara jelas proses penghitungan suara.

(7) Pasangan     calon dan warga masyarakat melalui saksi pasangan calon
     yang     hadir    dapat      mengajukan   keberatan   terhadap   jalannya
     penghitungan suara oleh KPPS apabila ternyata terdapat hal-hal yang
     tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(8) Dalam    hal keberatan yang diajukan oleh saksi pasangan calon atau
     warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat diterima,
     KPPS seketika itu juga mengadakan pembetulan.
 (9) Segera     setelah selesai penghitungan suara di TPS, KPPS membuat
       berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara yang ditandatangani
       oleh ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota KPPS serta
       dapat ditandatangani oleh saksi pasangan calon.

(10)   KPPS memberikan 1 (satu) eksemplar salinan berita acara dan sertifikat
       hasil penghitungan suara kepada saksi pasangan calon yang hadir dan
       menempelkan 1 (satu) eksemplar sertifikat hasil penghitungan suara di
       tempat umum.

(11)   KPPS menyerahkan berita acara, sertifikat hasil penghitungan suara,
       surat suara, dan alat kelengkapan administrasi pemungutan dan
       penghitungan suara kepada PPS segera setelah selesai penghitungan
       suara.


                           Pasal 97

 (1) Setelah    menerima berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara,
       PPS membuat berita acara penerimaan dan melakukan rekapitulasi
       jumlah suara untuk tingkat desa/kelurahan dan dapat dihadiri oleh saksi
       pasangan calon, panitia pengawas, pemantau, dan warga masyarakat.

 (2) Saksi      pasangan calon harus membawa surat mandat dari Tim
       Kampanye yang bersangkutan dan menyerahkannya kepada PPS.

 (3) Pasangan      calon dan warga masyarakat melalui saksi pasangan calon
       yang     hadir   dapat   mengajukan    keberatan       terhadap   jalannya
       penghitungan suara oleh PPS apabila ternyata terdapat hal-hal yang
       tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 (4) Dalam      hal keberatan yang diajukan oleh saksi pasangan calon atau
       warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterima,
       PPS seketika itu juga mengadakan pembetulan.

 (5) Setelah     selesai melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara di
       semua TPS dalam wilayah kerja desa/kelurahan yang bersangkutan,
       PPS membuat berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan
       suara yang ditandatangani oleh ketua dan paling sedikit 2 (dua) orang
       anggota PPS serta ditandatangani oleh saksi pasangan calon.

 (6) PPS      wajib memberikan 1 (satu) eksemplar salinan berita acara dan
       sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPS kepada saksi
       pasangan calon yang hadir dan menempelkan 1 (satu) eksemplar
       sertifikat hasil penghitungan suara di tempat umum .
(7) PPS     wajib menyerahkan 1 (satu) eksemplar berkas berita acara dan
   sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPS kepada PPK
   setempat.


                         Pasal 98

(1) Setelah   menerima berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara,
   PPK membuat berita acara penerimaan dan melakukan rekapitulasi
   jumlah suara untuk tingkat kecamatan dan dapat dihadiri oleh saksi
   pasangan calon, panitia pengawas, pemantau, dan warga masyarakat.

(2) Saksi    pasangan calon harus membawa surat mandat dari Tim
   Kampanye yang bersangkutan dan menyerahkannya kepada PPK.

(3) Pasangan     calon dan warga masyarakat melalui saksi pasangan calon
   yang       hadir   dapat   mengajukan   keberatan     terhadap   jalannya
   penghitungan suara oleh PPK apabila ternyata terdapat hal-hal yang
   tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(4) Dalam    hal keberatan yang diajukan oleh atau melalui saksi pasangan
   calon, sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterima, PPK
   seketika itu juga mengadakan pembetulan.

(5) Setelah    selesai melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara di
   semua PPS dalam wilayah kerja kecamatan yang bersangkutan, PPK
   membuat berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan
   suara yang ditandatangani oleh ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua)
   orang anggota PPK serta ditandatangani oleh saksi pasangan calon.

(6) PPK     wajib memberikan 1 (satu) eksemplar salinan berita acara dan
   sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK kepada saksi
   pasangan calon yang hadir dan menempelkan 1 (satu) eksemplar
   sertifikat hasil penghitungan suara di tempat umum.

(7) PPK     wajib menyerahkan 1 (satu) eksemplar berkas berita acara dan
   sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK kepada KPU
   kabupaten/kota.


                         Pasal 99

(1) Setelah   menerima berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara,
   KPU kabupaten/kota membuat berita acara penerimaan dan melakukan
   rekapitulasi jumlah suara untuk tingkat kabupaten/kota dan dapat dihadiri
   oleh saksi pasangan calon, panitia pengawas, pemantau, dan warga
   masyarakat.

(2) Saksi    pasangan calon harus membawa surat mandat dari Tim
   Kampanye yang bersangkutan dan menyerahkannya kepada KPU
   kabupaten/kota.

(3) Pasangan     calon dan warga masyarakat melalui saksi pasangan calon
   yang       hadir       dapat     mengajukan     keberatan      terhadap     jalannya
   penghitungan suara oleh KPU kabupaten/kota apabila ternyata terdapat
   hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(4) Dalam    hal keberatan yang diajukan oleh atau melalui saksi pasangan
   calon, sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterima, KPU
   kabupaten/kota seketika itu juga mengadakan pembetulan.

(5) Setelah    selesai melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara di
   semua PPK dalam wilayah kerja kecamatan yang bersangkutan, KPU
   kabupaten/kota membuat berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil
   penghitungan suara yang ditandatangani oleh ketua dan sekurang-
   kurangnya          2   (dua)     orang    anggota   KPU      kabupaten/kota       serta
   ditandatangani oleh saksi pasangan calon.

(6) KPU kabupaten/kota wajib memberikan 1 (satu) eksemplar salinan berita
   acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di KPU
   kabupaten/kota          kepada      saksi pasangan     calon yang         hadir    dan
   menempelkan 1 (satu) eksemplar sertifikat hasil penghitungan suara di
   tempat umum.

(7) KPU     kabupaten/kota wajib menyerahkan 1 (satu) eksemplar berkas
   berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di KPU
   kabupaten/kota kepada KPU provinsi.


                                Pasal 100
(1) Dalam     hal pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
   kabupaten/kota, berita acara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara
   selanjutnya diputuskan dalam                pleno   KPU kabupaten/kota untuk
   menetapkan pasangan calon terpilih.

(2) Penetapan     pasangan calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat
   (1)    disampaikan           kepada      DPRD   kabupaten/kota    untuk     diproses
   pengesahan             dan     pengangkatannya      sesuai     dengan      peraturan
   perundang-undangan.
                          Pasal 101

(1) Setelah     menerima berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara,
    KPU provinsi membuat berita acara penerimaan dan melakukan
    rekapitulasi jumlah suara untuk tingkat provinsi dan dapat dihadiri oleh
    saksi pasangan calon, panitia pengawas, pemantau, dan warga
    masyarakat.

(2) Saksi    pasangan calon harus membawa surat mandat dari Tim
    Kampanye yang bersangkutan dan menyerahkannya kepada KPU
    provinsi.

(3) Pasangan      calon dan warga masyarakat melalui saksi pasangan calon
    yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya
    penghitungan suara oleh KPU provinsi apabila ternyata terdapat hal-hal
    yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(4) Dalam    hal keberatan yang diajukan oleh atau melalui saksi pasangan
    calon, sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterima, KPU
    provinsi seketika itu juga mengadakan pembetulan.

(5) Setelah     selesai melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara di
    semua KPU kabupaten/kota, KPU provinsi membuat berita acara dan
    sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara yang ditandatangani oleh
    ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota KPU provinsi
    serta ditandatangani oleh saksi pasangan calon.

(6) KPU provinsi wajib memberikan 1 (satu) eksemplar salinan berita acara
    dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di KPU provinsi
    kepada saksi pasangan calon yang hadir dan menempelkan 1 (satu)
    eksemplar sertifikat hasil penghitungan suara di tempat umum.


                          Pasal 102
(1) Berita   acara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 101 ayat (5) selanjutnya diputuskan dalam pleno
    KPU provinsi untuk menetapkan pasangan calon terpilih.
(2) Penetapan      pasangan calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat
    (1) oleh KPU provinsi disampaikan kepada DPRD provinsi untuk
    diproses pengesahan pengangkatannya sesuai dengan peraturan
    perundang-undangan.


                          Pasal 103
(1) Penghitungan       ulang surat suara di TPS dilakukan apabila dari hasil
      penelitian     dan   pemeriksaan       terbukti   terdapat   satu   atau   lebih
      penyimpangan sebagai berikut:

      a.   penghitungan suara dilakukan secara tertutup;
      b.   penghitungan suara dilakukan di tempat yang kurang penerangan
           cahaya;
      c.   saksi pasangan calon, panitia pengawas, pemantau, dan warga
           masyarakat tidak dapat menyaksikan proses penghitungan suara
           secara jelas;

      d.   penghitungan suara dilakukan di tempat lain di luar tempat dan
           waktu yang telah ditentukan; dan/atau

      e.   terjadi ketidakkonsistenan dalam menentukan surat suara yang sah
           dan surat suara yang tidak sah.

(2) Penghitungan       ulang surat suara dilakukan pada tingkat PPS apabila
      terjadi perbedaan data jumlah suara dari TPS.
(3) Penghitungan       ulang surat suara dilakukan pada tingkat PPK apabila
      terjadi perbedaan data jumlah suara dari PPS.

(4) Apabila     terjadi perbedaan data jumlah suara pada tingkat KPU
      Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi, dilakukan pengecekan ulang
      terhadap sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara pada 1 (satu)
      tingkat di bawahnya.


                            Pasal 104

(1) Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi kerusuhan yang
      mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau
      penghitungan suara tidak dapat dilakukan.
(2)   Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila dari hasil penelitian dan
      pemeriksaan Panitia Pengawas Kecamatan terbukti terdapat satu atau
      lebih dari keadaan sebagai berikut:

      a.   pembukaan       kotak    suara    dan/atau    berkas    pemungutan     dan
           penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang
           ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;

      b.   petugas     KPPS        meminta    pemilih    memberi     tanda   khusus,
           menandatangani, atau menulis nama atau alamatnya pada surat
           suara yang sudah digunakan;
   c.   lebih dari seorang pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu kali
        pada TPS yang sama atau TPS yang berbeda;

   d.   petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah
        digunakan oleh pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak
        sah; dan/atau

   e.   lebih dari seorang pemilih yang tidak terdaftar sebagai pemilih
        mendapat kesempatan memberikan suara pada TPS.


                        Pasal 105
Penghitungan suara dan pemungutan suara ulang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 103 dan Pasal 104 diputuskan oleh PPK dan dilaksanakan
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sesudah hari pemungutan suara.


                        Pasal 106
(1) Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil
   kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada
   Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga)
   hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
   daerah.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan
   dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya
   pasangan calon.
(3) Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud
   pada ayat (1) disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan
   kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kepada pengadilan
   negeri untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
   kabupaten/kota.
(4) Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan suara
   sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14
   (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh
   Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/ Mahkamah Agung.
(5) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
   bersifat final dan mengikat.
(6) Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana
   dimaksud pada ayat (1) dapat mendelegasikan kepada Pengadilan
   Tinggi untuk memutus sengketa hasil penghitungan suara pemilihan
   kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten dan kota.
(7) Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
   bersifat final.


                        Paragraf Kelima
       Penetapan Calon Terpilih dan Pelantikan


                        Pasal 107
(1) Pasangan     calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang
   memperoleh suara lebih dari 50 % (lima puluh persen) jumlah suara sah
   ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih.

(2) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi,
   pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang
   memperoleh suara lebih dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah
   suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar
   dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.
(3) Dalam hal pasangan calon yang perolehan suara terbesar sebagaimana
   dimaksud pada ayat (2) terdapat lebih dari satu pasangan calon yang
   perolehan suaranya sama, penentuan pasangan calon terpilih dilakukan
   berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas.
(4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi,
   atau tidak ada yang mencapai 25 % (dua puluh lima persen) dari jumlah
   suara sah, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh
   pemenang pertama dan pemenang kedua.
(5) Apabila   pemenang pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
   diperoleh dua pasangan calon, kedua pasangan calon tersebut berhak
   mengikuti pemilihan putaran kedua.
(6) Apabila   pemenang pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
   diperoleh     oleh   tiga   pasangan   calon   atau    lebih,   penentuan
              peringkat pertama dan kedua dilakukan berdasarkan wilayah
   perolehan suara yang lebih luas.
(7) Apabila    pemenang kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
   diperoleh oleh lebih dari satu pasangan calon, penentuannya dilakukan
   berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas.
(8) Pasangan     calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang
   memperoleh suara terbanyak pada putaran kedua dinyatakan sebagai
   pasangan calon terpilih.
                        Pasal 108

(1) Dalam   hal calon wakil kepala daerah terpilih berhalangan tetap, calon
    kepala daerah terpilih dilantik menjadi kepala daerah.

(2) Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengusulkan dua
    calon wakil kepala daerah kepada DPRD untuk dipilih.

(3) Dalam   hal calon kepala daerah terpilih berhalangan tetap, calon wakil
    kepala daerah terpilih dilantik menjadi kepala daerah.
(4) Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengusulkan dua
    calon wakil kepala daerah kepada DPRD untuk dipilih.
(5) Dalam hal pasangan calon terpilih berhalangan tetap, partai politik atau
    gabungan partai politik yang pasangan calonnya meraih suara terbanyak
    pertama dan kedua mengusulkan pasangan calon kepada DPRD untuk
    dipilih menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah selambat-
    lambatnya dalam waktu 60 (enam puluh) hari.
(6) Untuk   memilih wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
    (2) dan ayat (4), pemilihannya dilakukan selambat-lambatnya dalam
    waktu 60 (enam puluh) hari.


                        Pasal 109

(1) Pengesahan     pengangkatan pasangan calon Gubernur dan wakil
    Gubernur terpilih dilakukan oleh Presiden selambat-lambatnya dalam
    waktu 30 (tiga puluh) hari.
(2) Pengesahan pengangkatan pasangan calon bupati dan wakil bupati atau
    walikota dan wakil walikota terpilih dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri
    atas nama Presiden selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh)
    hari.
(3) Pasangan calon Gubernur dan wakil Gubernur terpilih diusulkan oleh
    DPRD provinsi, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari, kepada
    Presiden melalui Menteri Dalam Negeri berdasarkan berita acara
    penetapan pasangan calon terpilih dari KPU provinsi untuk mendapatkan
    pengesahan pengangkatan.
(4) Pasangan calon bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota
    diusulkan oleh DPRD kabupaten/kota, selambat-lambatnya dalam waktu
    3 (tiga) hari, kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur
       berdasarkan berita acara penetapan pasangan calon terpilih dari KPU
       kabupaten/kota untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan.


                            Pasal 110
   (1) Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebelum memangku jabatannya
       dilantik dengan mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pejabat
       yang melantik.

   (2) Sumpah/janji    kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana
       dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
       Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban
       saya sebagai kepala daerah/ wakil kepala daerah dengan sebaik-
       baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar
       Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala
       undang-undang dan peraturannya         dengan    selurus-lurusnya serta
       berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa.
   (3) Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada
       ayat (1) memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak
       pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang
       sama hanya untuk satu kali masa jabatan.


                            Pasal 111

   (1) Gubernur     dan wakil Gubernur dilantik oleh Menteri Dalam Negeri atas
       nama Presiden.
   (2) Bupati   dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota dilantik oleh
       Gubernur atas nama Presiden.

   (3) Pelantikan    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
       dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPRD.
   (4) Tata cara pelantikan dan pengaturan selanjutnya diatur dalam Peraturan
       Pemerintah.


                            Pasal 112
   Biaya kegiatan Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
   dibebankan pada APBD.

                        Paragraf Keenam
Pemantauan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
                       Pasal 113

(1) Pemantauan    pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat
   dilakukan oleh pemantau pemilihan yang meliputi lembaga swadaya
   masyarakat, dan badan hukum dalam negeri.

(2) Pemantau    pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
   memenuhi persyaratan yang meliputi:

   a.    bersifat independen; dan
   b.    mempunyai sumber dana yang jelas.
(3) Pemantau pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
   harus mendaftarkan dan memperoleh akreditasi dari KPUD.


                       Pasal 114
(1) Pemantau pemilihan wajib menyampaikan laporan hasil pemantauannya
   kepada KPUD paling lambat 7 (tujuh) hari setelah pelantikan kepala
   daerah dan wakil kepala daerah terpilih.
(2) Pemantau    pemilihan wajib mematuhi segala peraturan perundang-
   undangan.
(3) Pemantau    pemilihan yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
   dimaksud pada ayat (2) dan/atau tidak lagi memenuhi persyaratan
   sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 dicabut haknya sebagai
   pemantau      pemilihan   dan/atau   dikenai   sanksi   sesuai   peraturan
   perundang-undangan.
(4) Tata cara untuk menjadi pemantau pemilihan dan pemantauan pemilihan
   serta pencabutan hak sebagai pemantau diatur dalam Peraturan
   Pemerintah.

                    Paragraf Ketujuh
        Ketentuan Pidana Pemilihan Kepala Daerah
                dan Wakil Kepala Daerah

                       Pasal 115
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak
   benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang
   diperlukan untuk pengisian daftar pemilih, diancam dengan pidana
   penjara paling singkat 15 (lima belas) hari dan paling lama 3 (tiga) bulan
   dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan
   paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan
   hak pilihnya dan orang yang kehilangan hak pilihnya tersebut
   mengadukan, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
   bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.
   200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000,00
   (dua juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan surat yang menurut
   suatu aturan dalam Undang-Undang ini diperlukan untuk menjalankan
   suatu perbuatan dengan maksud untuk digunakan sendiri atau orang lain
   sebagai seolah-olah surat sah atau tidak dipalsukan, diancam dengan
   pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 18 (delapan
   belas) bulan     dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam
   ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta
   rupiah).
(4) Setiap orang yang dengan sengaja dan mengetahui bahwa suatu surat
   sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tidak sah atau dipalsukan,
   menggunakannya, atau menyuruh orang lain menggunakannya sebagai
   surat sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan
   dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit
   Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp
   6.000.000,00 (enam juta rupiah).
(5) Setiap orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekuasaan
   yang ada padanya saat pendaftaran pemilih menghalang-halangi
   seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilihan kepala
   daerah menurut undang-undang ini, diancam dengan pidana penjara
   paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan
   dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah)
   dan paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).
(6) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak
   benar atau menggunakan surat palsu seolah-olah sebagai surat yang
   sah tentang suatu hal yang diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi
   Pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah, diancam dengan
   pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan
   belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus
   ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).


                        Pasal 116
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kampanye di luar jadwal
   waktu yang telah ditetapkan oleh KPUD untuk masing-masing pasangan
   calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) diancam dengan
   pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling lama 3
   (tiga) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu
   rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).

(2) Setiap   orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan
   pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf a,
   huruf b, huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f diancam dengan pidana
   penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas)
   bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu
   rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).
(3) Setiap   orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan
   pelaksanaan kampanye pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
   daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf g, huruf h, huruf i
   dan huruf j dan Pasal 79 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), diancam dengan
   pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam)
   bulan dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah)
   atau paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(4) Setiap   pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan
   negeri dan kepala desa yang dengan sengaja melanggar ketentuan
   sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 diancam dengan pidana penjara
   paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau
   denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling
   banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).
(5) Setiap orang yang dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, atau
   mengganggu jalannya kampanye, diancam dengan pidana penjara
   paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau
   denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling
   banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).
(6) Setiap orang yang memberi atau menerima dana kampanye melebihi
   batas yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3),
   diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau
   paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling sedikit
   Rp200.000.000,00       (dua   ratus   juta   rupiah)   atau   paling   banyak
   Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(7) Setiap orang yang dengan sengaja menerima atau memberi dana
   kampanye dari atau kepada pihak-pihak yang dilarang sebagaimana
   dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1), dan/atau tidak memenuhi kewajiban
   sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2), diancam dengan
   pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama 24 (dua
   puluh empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00
   (dua ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu
   miliar rupiah).
(8) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak
   benar dalam laporan dana kampanye sebagaimana diwajibkan oleh
   Undang-Undang ini, diancam dengan pidana               penjara paling singkat 2
   (dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling
   sedikit   Rp1.000.000,00      (satu   juta   rupiah)    atau   paling   banyak
   Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).


                            Pasal 117

(1) Setiap   orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau
   ancaman kekerasan dan menghalang-halangi seseorang yang akan
   melakukan haknya untuk memilih, dipidana dengan pidana penjara
   paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan
   dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan
   paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau
   materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak
   pilihnya, atau memilih Pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak
   pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak
   sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan
   paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.
   1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00
   (sepuluh juta rupiah).

(3) Setiap   orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja
   mengaku dirinya sebagai orang lain untuk menggunakan hak pilih,
   diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari dan
   paling lama 60 (enam puluh) hari dan/atau denda paling sedikit Rp.
   100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000,00 (
   satu juta rupiah).
(4) Setiap    orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja
   memberikan suaranya lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS,
   diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling
   lama 4 (empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 200.000,00 (
   dua ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta
   rupiah).

(5) Setiap   orang yang dengan sengaja menggagalkan pemungutan suara
   diancam dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
   paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.
   1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00
   (sepuluh juta rupiah).

(6) Seorang    majikan atau atasan yang tidak memberikan kesempatan
   kepada seorang pekerja untuk memberikan suaranya, kecuali dengan
   alasan bahwa pekerjaan tersebut tidak bisa ditinggalkan, diancam
   dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12
   (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu
   juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(7) Setiap    orang yang dengan sengaja pada waktu pemungutan suara
   mendampingi seorang pemilih selain yang diatur sebagaimana dimaksud
   dalam Pasal 89 ayat (1), diancam dengan pidana penjara paling singkat
   2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
   paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp.
   10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(8) Setiap   orang yang bertugas membantu pemilih sebagaimana dimaksud
   dalam Pasal 89 ayat (2) dengan sengaja memberitahukan pilihan si
   pemilih kepada orang lain, diancam dengan pidana penjara paling
   singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau
   denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling
   banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).


                       Pasal 118
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang
   menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak berharga atau
   menyebabkan Pasangan calon tertentu mendapat tambahan suara atau
   perolehan suaranya berkurang, diancam dengan pidana penjara paling
   singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda
   paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp.
   10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja merusak atau menghilangkan hasil
   pemungutan suara yang sudah disegel, diancam dengan pidana penjara
   paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama 2 (dua) tahun dan/atau
   denda paling sedikit Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan paling
   banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
(3) Setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan rusak atau
   hilangnya hasil pemungutan suara yang sudah disegel, diancam dengan
   pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari dan paling lama 2
   (dua) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000,00 (seratus ribu
   rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(4) Setiap orang yang dengan sengaja mengubah hasil penghitungan suara
   dan/atau berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara, diancam
   dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 3
   (tiga) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus
   juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).


                        Pasal 119
Jika tindak pidana dilakukan dengan sengaja oleh penyelenggara atau
pasangan calon, ancaman pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) dari pidana
yang diatur dalam Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, dan Pasal 118.


                   Bagian Kesembilan
                    Perangkat Daerah


                        Pasal 120
(1) Perangkat    daerah provinsi terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat
   DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah.

(2) Perangkat    daerah kabupaten/kota terdiri atas sekretariat daerah,
   sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan,
   dan kelurahan.


                        Pasal 121

(1) Sekretariat daerah dipimpin oleh Sekretaris Daerah.
(2) Sekretaris   daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai
   tugas dan kewajiban membantu kepala daerah dalam menyusun
    kebijakan dan mengkoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis
    daerah.

(3) Dalam   pelaksanaan tugas dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada
    ayat (2), sekretaris daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah.

(4) Apabila   sekretaris daerah berhalangan melaksanakan tugasnya, tugas
    sekretaris daerah dilaksanakan oleh pejabat yang ditunjuk oleh kepala
    daerah.


                        Pasal 122

(1) Sekretaris   Daerah diangkat dari pegawai negeri sipil yang memenuhi
    persyaratan.

(2) Sekretaris Daerah   sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk provinsi
    diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Gubernur sesuai
    dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Sekretaris   Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
    kabupaten/kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul
    Bupati/Walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(4) Sekretaris   Daerah karena kedudukannya sebagai pembina pengawai
    negeri sipil di daerahnya.


                        Pasal 123

(1) Sekretariat DPRD dipimpin oleh Sekretaris DPRD.
(2) Sekretaris   DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan
    diberhentikan    oleh   Gubernur/Bupati/Walikota   dengan   persetujuan
    DPRD.
(3) Sekretaris DPRD mempunyai tugas:
    a. menyelenggarakan administrasi kesekretariatan DPRD;
    b. menyelenggarakan administrasi keuangan DPRD;
    c. mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD; dan
    d. menyediakan dan mengkoordinasi tenaga ahli yang diperlukan oleh
        DPRD dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan kemampuan
        keuangan daerah.

(4) Sekretaris   DPRD dalam menyediakan tenaga ahli sebagaimana
    dimaksud pada ayat (3) huruf d wajib meminta pertimbangan pimpinan
    DPRD.
(5) Sekretaris    DPRD    dalam      melaksanakan   tugasnya    secara      teknis
   operasional berada dibawah dan bertanggung jawab kepada pimpinan
   DPRD dan secara administratif bertanggung jawab kepada kepala
   daerah melalui Sekretaris Daerah.

(6) Susunan      organisasi sekretariat DPRD ditetapkan dalam peraturan
   daerah berpedoman pada Peraturan Pemerintah.


                         Pasal 124

(1) Dinas daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah.
(2) Dinas    daerah dipimpin       oleh kepala   dinas   yang    diangkat     dan
   diberhentikan oleh kepala daerah dari pegawai negeri sipil yang
   memenuhi syarat atas usul Sekretaris Daerah.
(3) Kepala dinas daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui
   Sekretaris Daerah.


                         Pasal 125

(1) Lembaga      teknis daerah merupakan unsur pendukung tugas kepala
   daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang
   bersifat spesifik berbentuk badan, kantor, atau rumah sakit umum
   daerah.

(2) Badan,   kantor atau rumah sakit umum daerah sebagaimana dimaksud
   pada ayat (1) dipimpin oleh kepala badan, kepala kantor, atau kepala
   rumah sakit umum daerah yang diangkat oleh kepala daerah dari
   pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat atas usul Sekretaris Daerah.

(3) Kepala   badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah sebagaimana
   dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab kepada kepala daerah
   melalui Sekretaris Daerah.


                         Pasal 126

(1) Kecamatan      dibentuk   di   wilayah   kabupaten/kota     dengan      Perda
   berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

(2) Kecamatan     sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh camat
   yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian
   wewenang bupati atau walikota untuk menangani sebagian urusan
   otonomi daerah.
(3) Selain   tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) camat juga
   menyelenggarakan tugas umum pemerintahan meliputi:

   a.   mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;
   b.   mengkoordinasikan      upaya   penyelenggaraan       ketentraman       dan
        ketertiban umum;

   c.   mengkoordinasikan       penerapan     dan      penegakan        peraturan
        perundang-undangan;

   d.   mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan
        umum;

   e.   mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di
        tingkat kecamatan;
   f.   membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan;

   g.   melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup
        tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan
        desa atau kelurahan.
(4) Camat    sebagaimana       dimaksud   pada      ayat   (2)    diangkat     oleh
   Bupati/Walikota atas usul sekretaris daerah kabupaten/kota dari pegawai
   negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan
   memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(5) Camat dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagaimana dimaksud pada
   ayat (2) dan ayat (3) dibantu oleh perangkat kecamatan dan
   bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretaris Daerah
   kabupaten/kota.

(6) Perangkat    kecamatan      sebagaimana      dimaksud        pada   ayat    (5)
   bertanggung jawab kepada camat.
(7) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3),
   ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) ditetapkan dengan peraturan bupati atau
   walikota dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.


                      Pasal 127

(1) Kelurahan   dibentuk di wilayah kecamatan dengan Perda berpedoman
   pada Peraturan Pemerintah.
(2) Kelurahan   sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh lurah
   yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari
   Bupati/Walikota.
(3) Selain   tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) lurah mempunyai
   tugas:

   a.   pelaksanaan kegiatan pemerintahan kelurahan;
   b.   pemberdayaan masyarakat;
   c.   pelayanan masyarakat;
   d.   penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum; dan

   e.   pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum.
(4) Lurah     sebagaimana    dimaksud       pada   ayat   (2)    diangkat   oleh
   Bupati/Walikota atas usul Camat dari pegawai negeri sipil yang
   menguasai       pengetahuan     teknis    pemerintahan       dan   memenuhi
   persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Dalam    melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
   Lurah bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Camat.
(6) Lurah dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
   dibantu oleh perangkat kelurahan.
(7) Perangkat kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bertanggung
   jawab kepada Lurah.

(8) Untuk    kelancaran pelaksanaan tugas Lurah sebagaimana dimaksud
   pada ayat (3), dapat dibentuk lembaga lainnya sesuai dengan kebutuhan
   yang ditetapkan dengan Perda.

(9) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat
   (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) ditetapkan dengan peraturan bupati atau
   walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


                       Pasal 128

(1) Susunan    organisasi perangkat daerah sebagaimana dimaksud dalam
   Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dalam Perda dengan
   memperhatikan faktor-faktor tertentu dan berpedoman pada Peraturan
   Pemerintah.

(2) Pengendalian    organisasi perangkat daerah sebagaimana dimaksud
   pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah untuk provinsi dan oleh
   Gubernur untuk kabupaten/kota dengan berpedoman pada Peraturan
   Pemerintah.
(3) Formasi    dan persyaratan jabatan perangkat daerah sebagaimana
   dimaksud dalam Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan
   Peraturan     Kepala    Daerah     dengan      berpedoman pada Peraturan
   Pemerintah.


                           BAB V
                KEPEGAWAIAN DAERAH


                          Pasal 129
(1) Pemerintah   melaksanakan pembinaan manajemen pegawai negeri sipil
   daerah dalam satu kesatuan penyelenggaraan manajemen pegawai
   negeri sipil secara nasional.

(2) Manajemen     pegawai negeri sipil daerah sebagaimana dimaksud pada
   ayat (1) meliputi penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan,
   pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan,
   kesejahteraan, hak dan kewajiban kedudukan hukum, pengembangan
   kompetensi, dan pengendalian jumlah.


                          Pasal 130
(1) Pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam jabatan
   eselon II pada pemerintah daerah provinsi ditetapkan oleh Gubernur.
(2) Pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dari dan dalam jabatan
   eselon II pada pemerintah daerah kabupaten/kota ditetapkan oleh
   Bupati/Walikota setelah berkonsultasi kepada Gubernur.


                          Pasal 131
(1) Perpindahan    pegawai negeri sipil antar kabupaten/kota dalam satu
   provinsi ditetapkan oleh Gubernur setelah memperoleh pertimbangan
   Kepala Badan Kepegawaian Negara.

(2) Perpindahan   pegawai negeri sipil antar kabupaten/kota antar provinsi,
   dan antar provinsi ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah
   memperoleh pertimbangan Kepala Badan Kepegawaian Negara.

(3) Perpindahan     pegawai      negeri   sipil     provinsi/kabupaten/kota   ke
   departemen/lembaga pemerintah non departemen atau sebaliknya,
   ditetapkan     oleh     Menteri    Dalam       Negeri   setelah   memperoleh
   pertimbangan Kepala Badan Kepegawaian Negara.


                          Pasal 132
Penetapan formasi pegawai negeri sipil daerah provinsi/ kabupaten/kota
setiap tahun anggaran dilaksanakan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara atas usul Gubernur.


                       Pasal 133
Pengembangan karir pegawai negeri sipil daerah mempertimbangkan
integritas dan moralitas, pendidikan dan pelatihan, pangkat, mutasi jabatan,
mutasi antar daerah, dan kompetensi.


                       Pasal 134

(1) Gaji dan tunjangan pegawai negeri sipil daerah dibebankan pada APBD
   yang bersumber dari alokasi dasar dalam dana alokasi umum.
(2) Penghitungan    dan penyesuaian besaran alokasi dasar sebagaimana
   dimaksud pada ayat (1) akibat pengangkatan, pemberhentian, dan
   pemindahan pegawai negeri sipil daerah dilaksanakan setiap tahun.
(3) Penghitungan    alokasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
   ayat (2) diatur dalam Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan
   Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah.
(4) Pemerintah      melakukan      pemutakhiran     data     pengangkatan,
   pemberhentian, dan pemindahan pegawai negeri sipil daerah untuk
   penghitungan dan penyesuaian alokasi dasar sebagaimana dimaksud
   pada ayat (3).


                       Pasal 135
(1) Pembinaan    dan pengawasan manajemen pegawai negeri sipil daerah
   dikoordinasikan pada tingkat nasional oleh Menteri Dalam Negeri dan
   pada tingkat daerah oleh Gubernur.
(2) Standar, norma, dan prosedur pembinaan dan pengawasan manajemen
   pegawai negeri sipil daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan
   Pemerintah.


                         BAB VI
      PERATURAN DAERAH DAN PERATURAN
                    KEPALA DAERAH


                       Pasal 136
(1) Perda    ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan
     bersama DPRD.

(2) Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/
     kabupaten/kota dan tugas pembantuan.
(3) Perda    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran
     lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan
     memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.
(4) Perda    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan
     dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan
     yang lebih tinggi.
(5) Perda     sebagaimana        dimaksud   pada   ayat   (1),   berlaku   setelah
     diundangkan dalam lembaran daerah.


                          Pasal 137
Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-
undangan yang meliputi:

a.   kejelasan tujuan;
b.   kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c.   kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d.   dapat dilaksanakan;

e.   kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f.   kejelasan rumusan; dan
g.   keterbukaan.


                          Pasal 138
(1) Materi muatan Perda mengandung asas:
     a.   pengayoman;

     b.   kemanusiaan;
     c.   kebangsaan;

     d.   kekeluargaan;
     e.   kenusantaraan;
     f.   bhineka tunggal ika;

     g.   keadilan;
     h.   kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
   i.   ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
   j.   keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
(2) Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perda dapat memuat
   asas lain sesuai dengan substansi Perda yang bersangkutan.


                       Pasal 139

(1) Masyarakat    berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis
   dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda.
(2) Persiapan    pembentukan, pembahasan, dan pengesahan rancangan
   Perda berpedoman kepada peraturan perundang-undangan.


                       Pasal 140
(1) Rancangan     Perda   dapat    berasal   dari   DPRD,   Gubernur,   atau
   Bupati/Walikota.
(2) Apabila dalam     satu masa sidang, DPRD dan Gubernur atau
   Bupati/Walikota menyampaikan rancangan Perda mengenai materi yang
   sama maka yang dibahas adalah rancangan Perda yang disampaikan
   oleh DPRD, sedangkan rancangan Perda yang disampaikan Gubernur
   atau Bupati/Walikota digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
(3) Tata cara mempersiapkan rancangan Perda yang berasal dari Gubernur
   atau Bupati/Walikota diatur dengan Peraturan Presiden.


                       Pasal 141
(1) Rancangan Perda disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi,
   atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi.

(2) Ketentuan   lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan
   Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
   Tata Tertib DPRD.


                       Pasal 142
(1) Penyebarluasan rancangan Perda yang berasal dari DPRD dilaksanakan
   oleh sekretariat DPRD.

(2) Penyebarluasan    rancangan Perda yang berasal dari Gubernur, atau
   Bupati/Walikota dilaksanakan oleh sekretariat daerah.


                       Pasal 143
(1) Perda   dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan
   penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai
   dengan peraturan perundangan.

(2) Perda   dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam)
   bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
   rupiah).

(3) Perda   dapat memuat ancaman pidana atau denda selain sebagaimana
   dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur dalam peraturan
   perundangan lainnya.


                         Pasal 144

(1) Rancangan       Perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan
   Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh pimpinan DPRD
   kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk ditetapkan sebagai Perda.

(2) Penyampaian      rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
   dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak
   tanggal persetujuan bersama.

(3) Rancangan       Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
   ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota paling lama 30 (tiga
   puluh) hari sejak rancangan tersebut disetujui bersama.

(4) Dalam     hal    rancangan   Perda   tidak   ditetapkan   Gubernur   atau
   Bupati/Walikota dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
   rancangan Perda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan
   dengan memuatnya dalam lembaran daerah.

(5) Dalam   hal sahnya rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat
   (4), rumusan kalimat pengesahannya berbunyi, Perda ini dinyatakan
   sah, dengan mencantumkan tanggal sahnya.

(6) Kalimat   pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus
   dibubuhkan pada halaman terakhir Perda sebelum pengundangan
   naskah Perda ke dalam lembaran daerah.


                         Pasal 145

(1) Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah
   ditetapkan.
(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan
   kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih
   tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.

(3) Keputusan      pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
   ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari
   sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Paling lama    7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana
   dimaksud pada ayat (3), kepala daerah harus memberhentikan
   pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah
   mencabut Perda dimaksud.

(5) Apabila    provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan
   pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan
   yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala
   daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.

(6) Apabila    keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan
   sebagian atau        seluruhnya, putusan          Mahkamah Agung        tersebut
   menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai
   kekuatan hukum.

(7) Apabila    Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk
   membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda
   dimaksud dinyatakan berlaku.


                            Pasal 146

(1) Untuk     melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundang-
   undangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan
   atau keputusan kepala daerah.

(2) Peraturan      kepala    daerah     dan   atau    keputusan   kepala    daerah
   sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilarang bertentangan dengan
   kepentingan umum, Perda, dan peraturan perundang-undangan yang
   lebih tinggi.


                            Pasal 147

(1) Perda   diundangkan dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala
   Daerah diundangkan dalam Berita Daerah.

(2) Pengundangan      Perda dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala
   Daerah dalam Berita Daerah dilakukan oleh Sekretaris Daerah.
(3) Pemerintah    daerah   wajib   menyebarluaskan   Perda   yang    telah
   diundangkan dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah
   yang telah diundangkan dalam Berita Daerah.




                      Pasal 148

(1) Untuk   membantu kepala daerah dalam menegakkan Perda dan
   penyelenggaraan    ketertiban umum      dan ketentraman masyarakat
   dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja.

(2) Pembentukan    dan susunan organisasi Satuan Polisi Pamong Praja
   sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Peraturan
   Pemerintah.


                      Pasal 149
(1) Anggota Satuan Polisi Pamong Praja dapat diangkat sebagai penyidik
   pegawai negeri sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
   undangan.
(2) Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran atas ketentuan Perda
   dilakukan oleh pejabat penyidik dan penuntut umum sesuai dengan
   peraturan perundang-undangan.
(3) Dengan Perda dapat juga ditunjuk pejabat lain yang diberi tugas untuk
   melakukan penyidikan terhadap pelanggaran atas ketentuan Perda.


                       BAB VII
     PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH


                      Pasal 150

(1) Dalam    rangka   penyelenggaraan     pemerintahan   daerah   disusun
   perencanaan pembangunan daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem
   perencanaan pembangunan nasional.




(2) Perencanaan   pembangunan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
   (1) disusun oleh pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota sesuai
   dengan kewenangannya yang dilaksanakan oleh Badan Perencanaan
   Pembangunan Daerah.
(3) Perencanaan     pembangunan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
   (2), disusun secara berjangka meliputi:

   a.   Rencana pembangunan jangka panjang daerah disingkat dengan
        RPJP daerah untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun yang
        memuat visi, misi, dan arah pembangunan daerah yang mengacu
        kepada RPJP nasional;

   b.   Rencana pembangunan jangka menengah daerah yang selanjutnya
        disebut RPJM daerah untuk jangka waktu 5 (lima) tahun merupakan
        penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah yang
        penyusunannya     berpedoman       kepada       RPJP   daerah   dengan
        memperhatikan RPJM nasional;
   c. RPJM daerah sebagaimana dimaksud pada huruf b memuat arah
        kebijakan    keuangan    daerah,     strategi   pembangunan     daerah,
        kebijakan umum, dan program satuan kerja perangkat daerah, lintas
        satuan kerja perangkat daerah, dan program kewilayahan disertai
        dengan rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka
        pendanaan yang bersifat indikatif;
   d. Rencana kerja pembangunan daerah, selanjutnya disebut RKPD,
        merupakan penjabaran dari RPJM daerah untuk jangka waktu 1
        (satu) tahun, yang memuat rancangan kerangka ekonomi daerah,
        prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya,
        baik yang dilaksanakan      langsung       oleh   pemerintah    daerah
        maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat,
        dengan mengacu kepada rencana kerja Pemerintah;
   e. RPJP daerah dan RJMD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf
        a dan b ditetapkan dengan Perda berpedoman pada Peraturan
        Pemerintah.


                        Pasal 151

(1) Satuan   kerja perangkat daerah menyusun rencana stratregis yang
   selanjutnya disebut Renstra-SKPD memuat visi, misi, tujuan, strategi,
   kebijakan, program dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas
   dan fungsinya, berpedoman pada RPJM Daerah dan bersifat indikatif.

(2) Renstra-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dirumuskan dalam
   bentuk rencana kerja satuan kerja perangkat daerah yang memuat
   kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan
      langsung oleh pemerintah daerah maupun yang ditempuh dengan
      mendorong partisipasi masyarakat.


                             Pasal 152
(1) Perencanaan        pembangunanan daerah didasarkan pada data dan
      informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

(2) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
      a.    penyelenggaraan pemerintahan daerah;
      b.    organisasi dan tata laksana pemerintahan daerah;

      c.    kepala daerah, DPRD, perangkat daerah, dan PNS daerah;
      d.    keuangan daerah;
      e.    potensi sumber daya daerah;

      f.    produk hukum daerah;
      g.    kependudukan;

      h.    informasi dasar kewilayahan; dan
      i.    informasi lain terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
(3) Dalam        rangka      penyelenggaraan    pemerintahan     daerah,    untuk
      tercapainya daya guna dan hasil guna, pemanfaatan data dan informasi
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelola dalam sistem informasi
      daerah yang terintegrasi secara nasional.

                             Pasal 153
Perencanaan pembangunan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
152        disusun   untuk    menjamin    keterkaitan   dan   konsistensi   antara
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan.

                             Pasal 154
Tahapan, tata cara penyusunan, pengendalian, dan evaluasi pelaksanaan
rencana pembangunan daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah yang berpedoman pada perundang-undangan.

                             BAB VIII
                     KEUANGAN DAERAH

                        Paragraf Kesatu
                              Umum

                             Pasal 155
(1) Penyelenggaraan     urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
   daerah didanai dari dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja
   daerah.

(2) Penyelenggaraan     urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
   Pemerintah di daerah didanai dari dan atas beban anggaran pendapatan
   dan belanja negara.

(3) Administrasi    pendanaan     penyelenggaraan     urusan   pemerintahan
   sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terpisah dari
   administrasi     pendanaan       penyelenggaraan   urusan   pemerintahan
   sebagaimana dimaksud pada ayat (2).




                        Pasal 156


(1) Kepala   daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan
   daerah.

(2) Dalam melaksanakan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
   kepala daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya yang
   berupa perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan
   pertanggungjawaban, serta pengawasan keuangan daerah kepada para
   pejabat perangkat daerah.

(3) Pelimpahan     sebagian atau seluruh kekuasaan sebagaimana dimaksud
   pada ayat (2) didasarkan pada prinsip pemisahan kewenangan antara
   yang memerintahkan, menguji, dan yang menerima/mengeluarkan uang.


                     Paragraf Kedua
        Pendapatan, Belanja, dan Pembiayaan


                        Pasal 157
Sumber pendapatan daerah terdiri atas:
a. pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu:

   1)   hasil pajak daerah;
   2)   hasil retribusi daerah;

   3)   hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
   4)   lain-lain PAD yang sah;
b. dana perimbangan; dan
c. lain-lain pendapatan daerah yang sah.


                          Pasal 158
(1) Pajak   daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan Undang-Undang
     yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan Perda.

(2) Pemerintahan      daerah dilarang melakukan pungutan atau dengan
     sebutan lain di luar yang telah ditetapkan undang-undang.

(3) Hasil   pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan sebagaimana
     dimaksud dalam Pasal 157 huruf a angka 3 dan lain-lain PAD yang sah
     sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 huruf a angka 4 ditetapkan
     dengan Perda berpedoman pada peraturan perundang-undangan.


                          Pasal 159
Dana perimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 huruf b terdiri
atas:

a.   Dana Bagi Hasil;

b.   Dana Alokasi Umum; dan
c.   Dana Alokasi Khusus.


                          Pasal 160

(1) Dana    Bagi Hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 huruf a
     bersumber dari pajak dan sumber daya alam.
(2) Dana    Bagi Hasil yang bersumber dari pajak sebagaimana dimaksud
     pada ayat (1) terdiri dari:
     a.   Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor perdesaan, perkotaan,
          perkebunan, pertambangan serta kehutanan;

     b.   Bea Perolehan Atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) sektor
          perdesaan, perkotaan, perkebunan, pertambangan serta kehutanan;

     c.   Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, Pasal 25, dan Pasal 29 wajib
          pajak orang pribadi dalam negeri.

(3) Dana    Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam sebagaimana
     dimaksud pada ayat (1) berasal dari:

     a.   Penerimaan kehutanan yang berasal dari iuran hak pengusahaan
          hutan (IHPH), provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi
        yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan;

   b.   Penerimaan pertambangan umum yang berasal dari penerimaan
        iuran tetap (landrent) dan penerimaan iuran eksplorasi dan iuran
        eksploitasi (royalty) yang dihasilkan dari wilayah daerah yang
        bersangkutan;

   c.   Penerimaan      perikanan   yang    diterima   secara    nasional   yang
        dihasilkan dari penerimaan pungutan pengusahaan perikanan dan
        penerimaan pungutan hasil perikanan;

   d.   Penerimaan pertambangan minyak yang dihasilkan dari wilayah
        daerah yang bersangkutan;

   e.   Penerimaan pertambangan gas alam yang dihasilkan dari wilayah
        daerah yang bersangkutan;
   f.   Penerimaan      pertambangan       panas   bumi   yang    berasal   dari
        penerimaan setoran bagian Pemerintah, iuran tetap dan iuran
        produksi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan.
(4) Daerah penghasil   sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat
   (3), ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri berdasarkan pertimbangan
   dari menteri teknis terkait.
(5) Dasar penghitungan   bagian daerah dari daerah penghasil sumber daya
   alam ditetapkan oleh Menteri Teknis terkait setelah memperoleh
   pertimbangan Menteri Dalam Negeri.
(6) Pelaksanaan   ketentuan pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan
   ayat (5) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.


                        Pasal 161
(1) DAU    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 huruf b dialokasikan
   berdasarkan persentase tertentu dari pendapatan dalam negeri neto
   yang ditetapkan dalam APBN.
(2) DAU    untuk suatu daerah ditetapkan berdasarkan kriteria tertentu yang
   menekankan pada aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan
   penyelenggaraan urusan pemerintahan yang formula dan penghitungan
   DAU-nya ditetapkan sesuai Undang-Undang.


                        Pasal 162
(1) Dana   Alokasi Khusus (DAK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159
   huruf c dialokasikan dari APBN kepada daerah tertentu dalam rangka
    pendanaan pelaksanaan desentralisasi untuk:

    a.   mendanai kegiatan khusus yang ditentukan Pemerintah atas dasar
         prioritas nasional;

    b.   mendanai kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu.
(2) Penyusunan      kegiatan khusus       yang ditentukan     oleh   Pemerintah
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikoordinasikan dengan
    Gubernur.
(3) Penyusunan     kegiatan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
    huruf   b    dilakukan     setelah   dikoordinasikan   oleh   daerah   yang
    bersangkutan.
(4) Ketentuan     lebih lanjut mengenai DAK diatur dengan Peraturan
    Pemerintah.


                         Pasal 163
(1) Pedoman     penggunaan, supervisi, monitoring, dan evaluasi atas dana bagi
    hasil pajak, dana bagi hasil sumber daya alam, DAU, dan DAK diatur
    dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri.
(2) Pengaturan     lebih lanjut mengenai pembagian dana perimbangan
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 huruf b ditetapkan dalam
    Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
    Pusat dan Pemerintahan Daerah.


                         Pasal 164
(1) Lain-lain   pendapatan daerah yang sah sebagaimana dimaksud dalam
    Pasal 156 huruf c merupakan seluruh pendapatan daerah selain PAD
    dan dana perimbangan, yang meliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain
    pendapatan yang ditetapkan Pemerintah.

(2) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bantuan berupa
    uang, barang, dan/atau jasa yang berasal dari Pemerintah, masyarakat,
    dan badan usaha dalam negeri atau luar negeri.
(3) Pendapatan     dana darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
    merupakan bantuan Pemerintah dari APBN kepada pemerintah daerah
    untuk mendanai keperluan mendesak yang diakibatkan peristiwa tertentu
    yang tidak dapat ditanggulangi APBD.


                         Pasal 165
(1) Keadaan      yang   dapat    digolongkan    sebagai     peristiwa   tertentu
   sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 ayat (3) ditetapkan dengan
   Peraturan Presiden.

(2) Besarnya   alokasi dana darurat ditetapkan oleh Menteri Keuangan
   dengan memperhatikan pertimbangan Menteri Dalam Negeri dan
   Menteri teknis terkait.

(3) Tata   cara pengelolaan dan pertanggungjawaban penggunaan dana
   darurat diatur dalam Peraturan Pemerintah.


                        Pasal 166

(1) Pemerintah   dapat mengalokasikan dana darurat kepada daerah yang
   dinyatakan mengalami krisis keuangan daerah, yang tidak mampu
   diatasi sendiri, sehingga mengancam keberadaannya sebagai daerah
   otonom.

(2) Tata   cara pengajuan permohonan, evaluasi oleh Pemerintah, dan
   pengalokasian dana darurat di atur dalam Peraturan Pemerintah.


                        Pasal 167

(1) Belanja daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas
   kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah
   sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.

(2) Perlindungan    dan      peningkatan   kualitas   kehidupan    masyarakat
   sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dalam bentuk
   peningkatan     pelayanan     dasar,    pendidikan,    penyediaan    fasilitas
   pelayanan kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak,
   serta mengembangkan sistem jaminan sosial.

(3) Belanja    daerah        sebagaimana     dimaksud      pada     ayat     (1)
   mempertimbangkan analisis standar belanja, standar harga, tolok ukur
   kinerja, dan standar pelayanan minimal yang ditetapkan sesuai dengan
   peraturan perundang-undangan.


                        Pasal 168

(1) Belanja kepala daerah dan wakil kepala daerah diatur dalam Perda yang
   berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

(2) Belanja   pimpinan dan anggota DPRD diatur dalam Perda yang
   berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
                           Pasal 169

(1) Untuk   membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintah
    daerah dapat melakukan pinjaman yang bersumber dari Pemerintah,
    pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan
    bukan bank, dan masyarakat.

(2) Pemerintah     daerah dengan persetujuan DPRD dapat menerbitkan
    obligasi    daerah     untuk   membiayai   investasi   yang   menghasilkan
    penerimaan daerah.


                           Pasal 170

(1) Pemerintah     daerah dapat melakukan pinjaman yang berasal dari
    penerusan pinjaman hutang luar negeri dari Menteri Keuangan atas
    nama Pemerintah setelah memperoleh pertimbangan Menteri Dalam
    Negeri.
(2) Perjanjian   penerusan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
    dilakukan antara Menteri Keuangan dan kepala daerah.


                           Pasal 171
(1) Ketentuan mengenai pinjaman daerah dan obligasi daerah diatur dengan
    Peraturan Pemerintah.

(2) Peraturan    Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-
    kurangnya mengatur tentang:

    a.   persyaratan bagi pemerintah daerah dalam melakukan pinjaman;
    b.   penganggaran kewajiban pinjaman daerah yang jatuh tempo dalam
         APBD;
    c.   pengenaaan sanksi dalam hal pemerintah daerah tidak memenuhi
         kewajiban membayar pinjaman kepada Pemerintah, pemerintah
         daerah lain, lembaga perbankan, serta lembaga keuangan bukan
         bank dan masyarakat;
    d.   tata cara pelaporan posisi kumulatif pinjaman dan kewajiban
         pinjaman setiap semester dalam tahun anggaran berjalan;
    e.   persyaratan penerbitan obligasi daerah, pembayaran bunga dan
         pokok obligasi;
   f.   pengelolaan obligasi daerah yang mencakup pengendalian risiko,
        penjualan dan pembelian obligasi, pelunasan dan penganggaran
        dalam APBD.


                       Pasal 172

(1) Pemerintah   daerah dapat membentuk dana cadangan guna membiayai
   kebutuhan tertentu yang dananya tidak dapat disediakan dalam satu
   tahun anggaran.

(2) Pengaturan    tentang   dana   cadangan    daerah   ditetapkan   dengan
   Peraturan Pemerintah.

(3) Peraturan   Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-
   kurangnya mengatur persyaratan pembentukan dana cadangan, serta
   pengelolaan dan pertanggungjawabannya.


                       Pasal 173

(1) Pemerintah   daerah dapat melakukan penyertaan modal pada suatu
   Badan Usaha Milik Pemerintah dan/atau milik swasta.

(2) Penyertaan    modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
   ditambah, dikurangi, dijual kepada pihak lain, dan/atau dapat dialihkan
   kepada badan usaha milik daerah.

(3) Penyertaan   modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
   sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


                     Paragraf Ketiga
                Surplus dan Defisit APBD


                       Pasal 174

(1) Dalam hal APBD diperkirakan surplus, penggunaannya ditetapkan dalam
   Perda tentang APBD.

(2) Surplus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan untuk:
   a.   pembayaran cicilan pokok utang yang jatuh tempo;

   b.   penyertaan modal (investasi daerah);
   c.   transfer ke rekening dana cadangan.

(3) Dalam   hal APBD diperkirakan defisit, dapat didanai dari sumber
   pembiayaan daerah yang ditetapkan dalam Perda tentang APBD.
(4) Pembiayaan   daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersumber
   dari:

   a.   sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu;
   b.   transfer dari dana cadangan;
   c.   hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
   d.   pinjaman daerah.


                           Pasal 175
(1) Menteri Dalam   Negeri melakukan pengendalian defisit anggaran setiap
   daerah.

(2) Pemerintah daerah wajib melaporkan posisi surplus/defisit APBD kepada
   Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan setiap semester dalam
   tahun anggaran berjalan.

(3) Dalam   hal pemerintah daerah tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
   dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat melakukan penundaan atas
   penyaluran dana perimbangan.


                    Paragraf Keempat
     Pemberian Insentif dan Kemudahan Investasi


                           Pasal 176
Pemerintah daerah dalam meningkatkan perekonomian daerah dapat
memberikan      insentif     dan/atau       kemudahan    kepada     masyarakat
   dan/atau investor yang diatur dalam Perda dengan berpedoman pada
peraturan perundang-undangan.


                     Paragraf Kelima
                            BUMD


                           Pasal 177
Pemerintah    daerah        dapat      memiliki   BUMD   yang     pembentukan,
penggabungan,       pelepasan       kepemilikan,    dan/atau    pembubarannya
ditetapkan dengan Perda yang berpedoman pada peraturan perundang-
undangan.


                    Paragraf Keenam
              Pengelolaan Barang Daerah


                      Pasal 178

(1) Barang   milik daerah yang dipergunakan untuk melayani kepentingan
   umum tidak dapat dijual, diserahkan haknya kepada pihak lain, dijadikan
   tanggungan, atau digadaikan sesuai dengan ketentuan peraturan
   perundang-undangan.

(2) Barang   milik daerah dapat dihapuskan dari daftar inventaris barang
   daerah untuk dijual, dihibahkan, dan/atau dimusnahkan sesuai dengan
   ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Pelaksanaan   pengadaan barang dilakukan sesuai dengan kemampuan
   keuangan     dan   kebutuhan   daerah   berdasarkan   prinsip   efisiensi,
   efektivitas, dan transparansi dengan mengutamakan produk dalam
   negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(4) Pelaksanaan   penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
   dilakukan berdasarkan kebutuhan daerah, mutu barang, usia pakai, dan
   nilai ekonomis yang dilakukan secara transparan sesuai dengan
   peraturan perundang-undangan.


                   Paragraf Ketujuh
                        APBD


                      Pasal 179
APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu)
tahun anggaran terhitung mulai 1 Januari sampai dengan tanggal 31
Desember.


                      Pasal 180

(1) Kepala   daerah dalam penyusunan rancangan APBD menetapkan
   prioritas dan plafon anggaran sebagai dasar penyusunan rencana kerja
   dan anggaran satuan kerja perangkat daerah.
(2) Berdasarkan prioritas dan plafon anggaran sebagaimana dimaksud pada
   ayat (1) kepala satuan kerja perangkat daerah menyusun rencana kerja
   dan anggaran satuan kerja perangkat daerah dengan pendekatan
   berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.
(3) Rencana     kerja   dan   anggaran    satuan   kerja   perangkat   daerah
   sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada pejabat
   pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan rancangan
   Perda tentang APBD tahun berikutnya.


                        Pasal 181

(1) Kepala   daerah mengajukan rancangan Perda tentang APBD disertai
   penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD untuk
   memperoleh persetujuan bersama.

(2) Rancangan     Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibahas
   pemerintah daerah bersama DPRD berdasarkan kebijakan umum APBD,
   serta prioritas dan plafon anggaran.

(3) Pengambilan    keputusan DPRD untuk menyetujui rancangan Perda
   sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan selambat-lambatnya 1
   (satu) bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan.

(4) Atas   dasar persetujuan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
   kepala daerah menyiapkan rancangan peraturan kepala daerah tentang
   penjabaran APBD dan rancangan dokumen pelaksanaan anggaran
   satuan kerja perangkat daerah.


                        Pasal 182
Tata cara penyusunan rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat
daerah serta tata cara penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran satuan
kerja perangkat daerah diatur dalam Perda yang berpedoman pada
peraturan perundang-undangan.


                  Paragraf Kedelapan
                    Perubahan APBD


                        Pasal 183

(1) Perubahan APBD dapat dilakukan apabila terjadi:
   a.   perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum
        APBD;
   b.   keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran
        antar unit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja; dan
       c.    keadaan yang menyebabkan sisa lebih perhitungan anggaran tahun
             sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan dalam tahun
             anggaran berjalan.

 (2) Pemerintah       daerah mengajukan rancangan Perda tentang perubahan
       APBD, disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya
       kepada DPRD.

 (3) Pengambilan       keputusan mengenai rancangan Perda tentang perubahan
       APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh DPRD
       paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan
       berakhir.


                      Paragraf Kesembilan
            Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD


                             Pasal 184
 (1) Kepala         daerah     menyampaikan         rancangan     Perda   tentang
       pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan
       keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan paling
       lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
 (2) Laporan       keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-
       kurangnya meliputi laporan realisasi APBD, neraca, laporan arus kas,
       dan catatan atas laporan keuangan, yang dilampiri dengan laporan
       keuangan badan usaha milik daerah.
 (3) Laporan       keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dan
       disajikan    sesuai   dengan      standar   akuntansi   pemerintahan   yang
       ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.


                       Paragraf Kesepuluh
            Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah dan
Peraturan Kepala Daerah tentang APBD, Perubahan APBD
        dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD


                             Pasal 185

 (1)   Rancangan Perda provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama
       dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum
       ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada
      Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi.

(2)   Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh
      Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur paling lambat 15 (lima belas)
      hari terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud.

(3) Apabila    Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan
      Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang
      penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan
      peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur menetapkan
      rancangan dimaksud menjadi Perda dan Peraturan Gubernur.

(4)   Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan
      Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang
      penjabaran APBD bertentangan dengan kepentingan umum dan
      peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur bersama
      DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung
      sejak diterimanya hasil evaluasi.
(5)   Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur dan DPRD,
      dan Gubernur tetap menetapkan rancangan Perda tentang APBD dan
      rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD menjadi
      Perda dan Peraturan Gubernur, Menteri Dalam Negeri membatalkan
      Perda dan Peraturan Gubernur dimaksud sekaligus menyatakan
      berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.


                         Pasal 186
(1) Rancangan      Perda kabupaten/kota tentang APBD yang telah disetujui
      bersama dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran
      APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari
      disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi.
(2) Hasil   evaluasi disampaikan oleh Gubernur kepada Bupati/Walikota
      paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan
      Perda kabupaten/kota dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang
      Penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Apabila   Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang
      APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran
      APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan          peraturan
      perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota menetapkan
      rancangan dimaksud menjadi Perda dan Peraturan Bupati/Walikota.
(4) Apabila   Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang
   APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran
   APBD       tidak   sesuai    dengan kepentingan        umum    dan   peraturan
   perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota bersama DPRD
   melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya
   hasil evaluasi.

(5) Apabila   hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Bupati/Walikota dan
   DPRD, dan Bupati/Walikota tetap menetapkan rancangan Perda tentang
   APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran
   APBD menjadi Perda dan                  Peraturan   Bupati/Walikota, Gubernur
   membatalkan Perda dan Peraturan Bupati/Walikota dimaksud sekaligus
   menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.
(6) Gubernur menyampaikan hasil evaluasi rancangan Perda kabupaten/kota
   tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang
   Penjabaran APBD kepada Menteri Dalam Negeri.

                               Pasal 187

(1) Apabila DPRD sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
   181 ayat (3) tidak mengambil keputusan bersama dengan kepala daerah
   terhadap rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD, kepala
   daerah melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka
   APBD tahun anggaran sebelumnya untuk membiayai keperluan setiap
   bulan yang         disusun dalam rancangan peraturan kepala daerah
   tentang APBD.

(2) Rancangan peraturan kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
   (1) dapat dilaksanakan setelah memperoleh pengesahan dari Menteri
   Dalam Negeri bagi provinsi dan Gubernur bagi kabupaten/kota.

(3) Untuk   memperoleh pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
   rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD beserta lampirannya
   disampaikan paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak DPRD
   tidak mengambil keputusan bersama dengan kepala daerah terhadap
   rancangan Perda tentang APBD.

(4) Apabila   dalam batas waktu 30 (tiga puluh) hari Menteri Dalam Negeri
   atau Gubernur tidak mengesahkan rancangan peraturan kepala daerah
   sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepala daerah menetapkan
   rancangan peraturan kepala daerah dimaksud menjadi peraturan kepala
   daerah.
                       Pasal 188
    Proses penetapan rancangan Perda tentang Perubahan APBD dan
rancangan peraturan kepala daerah tentang Penjabaran Perubahan APBD
menjadi Perda dan peraturan kepala daerah berlaku ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 185, Pasal 186, dan Pasal 187.


                       Pasal 189
Proses penetapan rancangan Perda yang berkaitan dengan pajak daerah,
retribusi daerah, dan tata ruang daerah menjadi Perda, berlaku Pasal 185
dan Pasal 186, dengan ketentuan untuk pajak      daerah    dan   retribusi
daerah dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan, dan untuk
tata ruang daerah dikoordinasikan dengan menteri yang membidangi urusan
tata ruang.


                       Pasal 190
Peraturan kepala daerah tentang Penjabaran APBD dan peraturan kepala
daerah tentang Penjabaran Perubahan APBD dijadikan dasar penetapan
dokumen pelaksanaan anggaran satuan kerja perangkat daerah.


                       Pasal 191
Dalam rangka evaluasi pengelolaan keuangan daerah dikembangkan sistem
informasi keuangan daerah yang menjadi satu kesatuan dengan sistem
informasi pemerintahan daerah.


                  Paragraf Kesebelas
      Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah


                       Pasal 192

(1) Semua penerimaan dan pengeluaran pemerintahan daerah dianggarkan
    dalam APBD dan dilakukan melalui rekening kas daerah yang dikelola
    oleh Bendahara Umum Daerah.

(2) Untuk setiap pengeluaran atas beban APBD, diterbitkan surat keputusan
    otorisasi oleh kepala daerah atau surat keputusan lain yang berlaku
    sebagai surat keputusan otorisasi.
(3) Pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran belanja daerah jika
   untuk pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia
   dalam APBD.

(4) Kepala   daerah, wakil kepala daerah, pimpinan DPRD, dan pejabat
   daerah lainnya, dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran
   belanja daerah untuk tujuan lain dari yang telah ditetapkan dalam APBD.


                      Pasal 193

(1) Uang    milik pemerintahan daerah yang sementara belum digunakan
   dapat didepositokan dan/atau diinvestasikan dalam investasi jangka
   pendek sepanjang tidak mengganggu likuiditas keuangan daerah.

(2) Bunga    deposito, bunga atas penempatan uang di bank, jasa giro,
   dan/atau bunga atas investasi jangka pendek merupakan pendapatan
   daerah.

(3) Kepala daerah dengan persetujuan DPRD dapat menetapkan peraturan
   tentang :

   a.   penghapusan tagihan daerah, sebagian atau seluruhnya; dan
   b.   penyelesaian masalah Perdata.


                      Pasal 194
Penyusunan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan
pertanggungjawaban keuangan daerah diatur lebih lanjut dengan Perda
yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

                        BAB IX
 KERJA SAMA DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN

                     Pasal   195

(1) Dalam    rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat
   mengadakan kerja sama dengan daerah lain yang didasarkan pada
   pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan
   saling menguntungkan.

(2) Kerja   sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwujudkan
   dalam bentuk badan kerjasama antar daerah yang diatur dengan
   keputusan bersama.
(3) Dalam     penyediaan pelayanan publik, daerah dapat bekerja sama
   dengan pihak ketiga.

(4) Kerja   sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) yang
   membebani masyarakat dan daerah harus mendapatkan persetujuan
   DPRD.


                          Pasal 196

(1) Pelaksanaan    urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas
   daerah dikelola bersama oleh daerah terkait.

(2) Untuk   menciptakan efisiensi, daerah wajib mengelola pelayanan publik
   secara     bersama     dengan     daerah   sekitarnya   untuk    kepentingan
   masyarakat.
(3) Untuk   pengelolaan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
   dan ayat (2), daerah membentuk badan kerja sama.
(4) Apabila daerah tidak melaksanakan kerja sama sebagaimana dimaksud
   pada ayat (1) dan ayat (2), pengelolaan pelayanan publik tersebut dapat
   dilaksanakan oleh Pemerintah.


                         Pasal 197
Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195
dan Pasal 196 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.


                         Pasal 198

(1) Apabila terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan
   antar kabupaten/kota dalam satu provinsi, Gubernur menyelesaikan
   perselisihan dimaksud.

(2) Apabila    terjadi   perselisihan   antarprovinsi,   antara    provinsi   dan
   kabupaten/kota di wilayahnya, serta antara provinsi dan kabupaten/kota
   di luar wilayahnya, Menteri Dalam Negeri menyelesaikan perselisihan
   dimaksud.

(3) Keputusan   sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat
   final.


                           BAB X
                KAWASAN PERKOTAAN
                        Pasal 199


(1) Kawasan perkotaan dapat berbentuk :
   a.    Kota sebagai daerah otonom;
   b.    bagian daerah kabupaten yang memiliki ciri perkotaan;

   c.    bagian dari dua atau lebih daerah yang berbatasan langsung dan
         memiliki ciri perkotaan.

(2) Kawasan     perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
   dikelola oleh pemerintah kota.

(3) Kawasan     perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
   dikelola oleh daerah atau lembaga pengelola yang dibentuk dan
   bertanggungjawab kepada pemerintah kabupaten.




(4) Kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dalam
   hal penataan ruang dan penyediaan fasilitas pelayanan umum tertentu
   dikelola bersama oleh daerah terkait.

(5) Di   kawasan perdesaan yang direncanakan dan dibangun menjadi
   kawasan perkotaan, pemerintah daerah yang bersangkutan dapat
   membentuk badan pengelola pembangunan.

(6) Dalam    perencanaan, pelaksanaan pembangunan, dan pengelolaan
   kawasan perkotaan, pemerintah daerah mengikutsertakan masyarakat
   sebagai upaya pemberdayaan masyarakat.

(7) Ketentuan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat
   (5), dan ayat (6) ditetapkan dengan Perda dengan berpedoman pada
   Peraturan Pemerintah.


                          BAB XI
                          DESA
                     Bagian Pertama
                          Umum


                        Pasal 200
(1) Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan
    desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawaratan
    desa.
(2) Pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan Desa dengan
    memperhatikan asal usulnya atas prakarsa masyarakat.




(3) Desa di kabupaten/kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan
    statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa
    bersama badan permusyawaratan desa yang ditetapkan dengan Perda.


                        Pasal 201

(1) Pendanaan    sebagai akibat perubahan status desa menjadi kelurahan
    dibebankan pada APBD kabupaten/kota.
(2) Dalam hal desa berubah statusnya menjadi kelurahan, kekayaannya
    menjadi    kekayaan    daerah      dan   dikelola   oleh   kelurahan   yang
    bersangkutan.


                      Bagian Kedua
                    Pemerintah Desa


                        Pasal 202
(1) Pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa.
(2) Perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya.
(3) Sekretaris desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diisi dari pegawai negeri
    sipil yang memenuhi persyaratan.


                           Pasal 203
(1) Kepala desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1) dipilih
    langsung oleh dan dari penduduk desa warga negara Republik
    Indonesia yang syarat selanjutnya dan tata cara pemilihannya diatur
    dengan Perda yang berpedoman kepada Peraturan Pemerintah.

(2) Calon kepala   desa yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan
    kepala desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan sebagai
    kepala desa.
(3) Pemilihan kepala desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta
      hak   tradisionalnya     sepanjang    masih     hidup   dan    yang   diakui
      keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan
      dalam Perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

                           Pasal 204
Masa jabatan kepala desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali
hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

                           Pasal 205
(1) Kepala desa       terpilih dilantik oleh Bupati/Walikota paling lambat 30 (tiga
      puluh) hari setelah pemilihan.

(2)           Sebelum memangku jabatannya, kepala desa mengucapkan
      sumpah/janji.

(3) Susunan kata-kata sumpah/janji dimaksud adalah sebagai berikut:
      Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan
      memenuhi kewajiban saya selaku kepala desa dengan sebaik-baiknya,
      sejujur-jujurnya, dan seadil-adilnya; bahwa saya akan selalu taat dalam
      mengamalkan dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara;
      dan bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi dan Undang-
      Undang Dasar 1945 serta melaksanakan segala peraturan perundang-
      undangan dengan selurus-lurusnya yang berlaku bagi desa, daerah, dan
      Negara Kesatuan Republik Indonesia.


                           Pasal 206
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup:

a.    urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;
b.    urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang
      diserahkan pengaturannya kepada desa;
c.    tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau
      pemerintah kabupaten/kota;
d.    urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan
      diserahkan kepada desa.
                       Pasal 207
Tugas    pembantuan    dari Pemerintah, pemerintah        provinsi, dan/atau
pemerintah kabupaten/kota kepada desa disertai dengan pembiayaan,
sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia.


                       Pasal 208
Tugas dan kewajiban kepala desa dalam memimpin penyelenggaraan
pemerintahan desa diatur lebih lanjut dengan Perda berdasarkan Peraturan
Pemerintah.


                      Bagian Ketiga
              Badan Permusyawaratan Desa


                       Pasal 209
Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa
bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
                       Pasal 210

(1) Anggota badan permusyawaratan desa adalah wakil dari penduduk desa
   bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat.

(2) Pimpinan   badan permusyawaratan desa dipilih dari dan oleh anggota
   badan permusyawaratan desa.

(3) Masa   jabatan anggota badan permusyawaratan desa adalah 6 (enam)
   tahun dan dapat dipilih lagi untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

(4) Syarat    dan tata cara penetapan anggota dan pimpinan badan
   permusyawaratan desa diatur dalam Perda yang berpedoman pada
   Peraturan Pemerintah.


                    Bagian Keempat
                      Lembaga Lain


                       Pasal 211

(1) Di   desa dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan yang ditetapkan
   dengan peraturan desa dengan berpedoman pada peraturan perundang-
   undangan.
(2) Lembaga     kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
   bertugas membantu pemerintah desa dan merupakan mitra dalam
   memberdayakan masyarakat desa.


                     Bagian Kelima
                    Keuangan Desa

                       Pasal 212
(1) Keuangan    desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat
   dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun
   berupa barang yang dapat dijadikan milik desa berhubung dengan
   pelaksanaan hak dan kewajiban.
(2) Hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan
   pendapatan, belanja dan pengelolaan keuangan desa.

(3) Sumber pendapatan     desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri
   atas:
   a.   pendapatan asli desa;
   b.   bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota;

   c.   bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang
        diterima oleh kabupaten/kota;

   d.   bantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah
        kabupaten/kota;

   e.   hibah dan sumbangan dari pihak ketiga.
(4) Belanja   desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan untuk
   mendanai penyelenggaraan pemerintahan desa dan pemberdayaan
   masyarakat desa.
(5) Pengelolaan   keuangan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
   dilakukan oleh kepala desa yang dituangkan dalam peraturan desa
   tentang anggaran pendapatan dan belanja desa.
(6) Pedoman    pengelolaan keuangan desa sebagaimana dimaksud pada
   ayat (5) ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan berpedoman pada
   peraturan perundang-undangan.

                       Pasal 213

(1) Desa   dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan
   kebutuhan dan potensi desa.
(2) Badan    usaha milik desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
   berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

(3) Badan   usaha milik desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
   melakukan pinjaman sesuai peraturan perundang-undangan.


                    Bagian Keenam
                   Kerja Sama Desa

                       Pasal 214
(1) Desa    dapat mengadakan kerja sama untuk kepentingan desa yang
   diatur    dengan    keputusan     bersama   dan    dilaporkan   kepada
   Bupati/Walikota melalui camat.
(2) Kerjasama   antar desa dan desa dengan pihak ketiga sebagaimana
   dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan kewenangannya.

(3) Kerjasama desa dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat
   (1) dapat dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Untuk   pelaksanaan kerja sama, sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
   ayat (2), dan ayat (3) dapat dibentuk badan kerja sama.


                       Pasal 215
(1) Pembangunan kawasan perdesaan yang dilakukan oleh kabupaten/kota
   dan atau pihak ketiga mengikutsertakan pemerintah desa dan badan
   permusyawaratan desa.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
   dengan Perda, dengan memperhatikan:
   a. kepentingan masyarakat desa;
   b.        kewenangan desa;
   c. kelancaran pelaksanaan investasi;
   d. kelestarian lingkungan hidup;
   e. keserasian kepentingan antar kawasan dan kepentingan umum.


                       Pasal 216
(1) Pengaturan lebih lanjut mengenai desa ditetapkan dalam Perda dengan
   berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

(2) Perda,   sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengakui dan
   menghormati hak, asal-usul, dan adat istiadat desa.


                        BAB XII
          PEMBINAAN DAN PENGAWASAN


                        Pasal 217

(1) Pembinaan   atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan
   oleh Pemerintah yang meliputi :

   a.   koordinasi pemerintahan antarsusunan pemerintahan;
   b.   pemberian     pedoman       dan   standar    pelaksanaan    urusan
        pemerintahan;
   c.   pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan urusan
        pemerintahan;

   d.   pendidikan dan pelatihan; dan
   e.   perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi
        pelaksanaan urusan pemerintahan.
(2) Koordinasi sebagaimana    dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan
   secara berkala pada tingkat nasional, regional, atau provinsi.

(3) Pemberian pedoman dan standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
   huruf b mencakup aspek perencanaan, pelaksanaan, tata laksana,
   pendanaan, kualitas, pengendalian dan pengawasan.

(4) Pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi sebagaimana dimaksud
   pada ayat (1) huruf c dilaksanakan secara berkala dan/atau sewaktu-
   waktu, baik secara menyeluruh kepada seluruh daerah maupun kepada
   daerah tertentu sesuai dengan kebutuhan.

(5) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
   dilaksanakan secara berkala bagi kepala daerah atau wakil kepala
   daerah, anggota DPRD, perangkat daerah, pegawai negeri sipil daerah,
   dan kepala desa.

(6) Perencanaan,    penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi
   sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilaksanakan secara
   berkala ataupun sewaktu-waktu dengan memperhatikan susunan
   pemerintahan.

(7) Pelaksanaan   ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
   dan huruf e dapat dilakukan kerja sama dengan perguruan tinggi
   dan/atau lembaga penelitian.


                         Pasal 218

(1) Pengawasan atas penyelenggaraan        pemerintahan daerah dilaksanakan
   oleh Pemerintah yang meliputi:
   a. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah;
   b. Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala
       daerah.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan
   oleh aparat pengawas intern Pemerintah sesuai peraturan perundang-
   undangan.


                         Pasal 219

(1) Pemerintah     memberikan        penghargaan   dalam   penyelenggaraan
   pemerintahan daerah.
(2) Penghargaan    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada
   pemerintahan daerah, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah,
   anggota DPRD, perangkat daerah, PNS daerah, kepala desa, anggota
   badan permusyawaratan desa, dan masyarakat.


                         Pasal 220

(1) Sanksi   diberikan    oleh   Pemerintah    dalam   rangka   pengawasan
   penyelenggaraan pemerintahan daerah.
(2) Sanksi   sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada
   pemerintahan daerah, kepala daerah atau wakil kepala daerah, anggota
   DPRD, perangkat daerah, PNS daerah, dan kepala desa.


                         Pasal 221
Hasil pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217
dan Pasal 218 digunakan sebagai bahan pembinaan selanjutnya oleh
Pemerintah dan dapat digunakan sebagai bahan pemeriksaan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan.
                       Pasal 222

(1) Pembinaan    dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah
   sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 dan Pasal 218 secara nasional
   dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri.

(2) Pembinaan    dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah
   sebagaimana      dimaksud      pada   ayat   (1)   untuk   kabupaten/kota
   dikoordinasikan oleh Gubernur.

(3) Pembinaan    dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa
   dikoordinasikan oleh Bupati/Walikota.

(4) Bupati   dan walikota dalam pembinaan dan pengawasan sebagaimana
   dimaksud pada ayat (3) dapat melimpahkan kepada camat.


                       Pasal 223
   Pedoman pembinaan dan pengawasan yang meliputi standar, norma,
prosedur, penghargaan, dan sanksi diatur dalam Peraturan Pemerintah.




                       BAB XIII
PERTIMBANGAN DALAM KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH


                       Pasal 224
(1) Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, Presiden dapat
   membentuk suatu dewan yang bertugas memberikan saran dan
   pertimbangan terhadap kebijakan otonomi daerah.
(2) Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan
   saran dan pertimbangan kepada Presiden antara lain mengenai
   rancangan kebijakan:
   a.   pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah serta
        pembentukan kawasan khusus;

   b.   perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintahan
        daerah, yang meliputi:
       1) perhitungan bagian masing-masing daerah atas dana bagi hasil
            pajak dan sumber daya alam sesuai dengan peraturan
            perundang-undangan;
       2) formula    dan   perhitungan    DAU      masing-masing   daerah
            berdasarkan besaran pagu DAU sesuai dengan peraturan
            perundangan;
       3) DAK masing-masing daerah untuk setiap tahun anggaran
            berdasarkan besaran pagu DAK dengan menggunakan kriteria
            sesuai dengan peraturan perundangan.
(3) Dewan   sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh Menteri
   Dalam Negeri yang susunan organisasi keanggotaan dan tata
   laksananya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden.




                      BAB XIV
               KETENTUAN LAIN-LAIN


                      Pasal 225
Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus
selain diatur dengan Undang-Undang ini diberlakukan pula ketentuan khusus
yang diatur dalam undang-undang lain.


                      Pasal 226
(1) Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi Provinsi Daerah
   Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi
   Papua, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sepanjang tidak diatur
   secara khusus dalam Undang-Undang tersendiri.
(2) Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana
   dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah tetap
   dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi
   Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada Undang-Undang ini.
(3) Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pemilihan kepala
   daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan sesuai ketentuan
   dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
   bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
   Darussalam, dengan penyempurnaan:
    a. Pemilihan kepala daerah yang berakhir masa jabatannya sampai
         dengan bulan April 2005, diselenggarakan pemilihan secara
         langsung sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 18 Tahun
         2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
         sebagai provinsi Nanggroe Aceh Darussalam paling lambat pada
         bulan Mei 2005.

    b. Kepala daerah selain yang dinyatakan pada huruf (a) diatas
         diselenggarakan pemilihan kepala daerah sesuai dengan periode
         masa jabatannya.
    c. Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berakhir masa
         jabatannya sebelum Undang-Undang ini disahkan sampai dengan
         bulan April 2005, sejak masa jabatannya berakhir diangkat seorang
         penjabat kepala daerah.
    d. Penjabat kepala daerah tidak dapat menjadi calon kepala daerah
         atau calon wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung
         sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001
         tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
         sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
    e. Anggota Komisi Independen Pemilihan dari unsur anggota Komisi
         Pemilihan Umum Republik Indonesia diisi oleh Ketua dan anggota
         Komisi   Pemilihan   Umum     Daerah   Provinsi    Nanggroe     Aceh
         Darussalam.


                       Pasal 227
(1) Khusus     untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta karena
    kedudukannya sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia, diatur
    dengan undang-undang tersendiri.
(2) Provinsi   Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara
    berstatus sebagai daerah otonom, dan dalam wilayah        administrasi
    tersebut tidak dibentuk daerah yang berstatus otonom.
(3) Undang-undang      sebagaimana dimaksud pada           ayat   (1) memuat
    pengaturan:

    a.   kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab sebagai
         ibukota Negara;

    b.   tempat kedudukan perwakilan negara-negara sahabat;
   c.    keterpaduan rencana umum tata ruang Jakarta dengan rencana
         umum tata ruang daerah sekitar;

   d.    kawasan khusus untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan
         tertentu yang dikelola langsung oleh Pemerintah.

                        Pasal 228

(1) Penyelenggaraan     urusan pemerintahan       yang menjadi wewenang
   Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) yang
   didekonsentrasikan, dilaksanakan oleh instansi vertikal di daerah.
(2) Instansi vertikal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jumlah, susunan
   dan luas wilayah kerjanya ditetapkan Pemerintah.

(3) Pembentukan, susunan      organisasi, dan tata laksana instansi vertikal di
   daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan
   dengan Keputusan Presiden.

(4) Semua    instansi vertikal yang menjadi perangkat daerah, kekayaannya
   dialihkan menjadi milik daerah.

                        Pasal 229
Batas daerah provinsi atau kabupaten/kota yang berbatasan dengan wilayah
negara lain, diatur berdasarkan peraturan perundang-          undangan
dengan    memperhatikan       hukum   internasional   yang    pelaksanaannya
ditetapkan oleh Pemerintah.


                        Pasal 230
Anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilihnya dalam pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah sepanjang belum diatur dalam
undang-undang.


                        BAB XV
               KETENTUAN PERALIHAN


                        Pasal 231
   Pada saat berlakunya undang-undang ini, nama, batas, dan ibukota
provinsi, daerah khusus, daerah istimewa, kabupaten, dan kota, tetap
berlaku kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.
                        Pasal 232

(1) Provinsi,   kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan, dan desa yang ada
    pada saat diundangkannya Undang-Undang ini tetap sebagai provinsi,
    kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan, dan desa kecuali ditentukan lain
    dalam peraturan perundang-undangan.

(2) Pembentukan      daerah     provinsi    atau   kabupaten/kota      yang   telah
    memenuhi      seluruh     persyaratan    pembentukan      sesuai     peraturan
    perundang-undangan        tetap   diproses     sesuai   ketentuan    peraturan
    perundang-undangan sebelum Undang-Undang ini diundangkan.


                        Pasal 233
(1) Kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2004 sampai
    dengan bulan Juni 2005 diselenggarakan pemilihan kepala daerah
    secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini
    pada bulan Juni 2005.
(2) Kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada bulan Januari 2009
    sampai dengan bulan Juli 2009 diselenggarakan pemilihan kepala
    daerah secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
    ini pada bulan Desember 2008.

                        Pasal 234
(1) Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya
    sebelum bulan Juni 2005, sejak masa jabatannya berakhir diangkat
    seorang penjabat kepala daerah.
(2) Penjabat kepala daerah yang ditetapkan sebelum diundangkannya
    Undang-Undang      ini,   menjalankan      tugas   sampai    berakhir     masa
    jabatannya.
(3) Pendanaan kegiatan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
    yang diselenggarakan pada tahun 2005 dibebankan pada APBN dan
    APBD.

                        Pasal 235
Pemilihan Gubernur dan Bupati/Walikota dalam satu daerah yang sama
yang berakhir masa jabatannya pada bulan dan tahun yang sama dan/atau
dalam kurun waktu antara 1 (satu) sampai dengan 30 (tiga puluh) hari,
pemungutan suaranya diselenggarakan pada hari yang sama.
                        Pasal 236
(1) Kepala desa dan perangkat desa yang ada pada saat mulai
            berlakunya Undang-Undang ini tetap menjalankan tugas sampai
   habis masa jabatannya.
(2) Anggota badan perwakilan desa yang ada pada saat mulai berlakunya
   Undang-Undang ini menjalankan tugas sebagaimana di atur dalam
   Undang-Undang ini sampai habis masa jabatannya.

                         BAB XVI
                KETENTUAN PENUTUP

                       Pasal 237
Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara
langsung dengan daerah otonom wajib mendasarkan dan menyesuaikan
pengaturannya pada Undang-Undang ini.

                       Pasal 238

(1) Semua    peraturan    perundang-undangan   yang     berkaitan   dengan
   pemerintahan daerah sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan
   dengan Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku.
(2) Peraturan   pelaksanaan atas Undang-Undang ini ditetapkan selambat-
   lambatnya 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini ditetapkan.

                       Pasal 239
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, maka Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku.

                       Pasal 240
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
                                              Disahkan di Jakarta
                                          pada tanggal 15 Oktober 2004

                                        PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

                                                      ttd

                                         MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Oktober 2004

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

BAMBANG KESOWO




          LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 125


Silahkan download versi PDF nya sbb:
pemerintahan_daerah_(uu_32_thn_2004)_32.pdf
(ogi/Carapedia)
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.