Previous
Next

2004

Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 10 thn 2004)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan :
                      UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                            NOMOR 10 TAHUN 2004
                                  TENTANG
                 PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

                        DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                             PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka
     pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan
     metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang
     membuat peraturan perundang-undangan;
bahwa untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukanan peraturan
     perundang-undangan, maka negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdasar atas
     hukum perlu memiliki peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan;
bahwa selama ini ketentuan yang berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan
     terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai lagi
     dengan hukum ketatanegaraan Republik Indonesia;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c,
     perlu membentuk Undang-Undang tentang Pembentukanan Peraturan Perundang-
     undangan.

Mengingat:
Pasal 20, Pasal 20A ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

                            Dengan Persetujuan Bersama
                   DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
                                       dan
                          PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

                                      MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

                                         BAB I
                                    KETENTUAN UMUM

                                          Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses pembuatan Peraturan Perundang-
      undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan,
      perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau
      pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.




                                                                                            1
Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
      Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang
      ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.
Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden
      untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden.
Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh dewan perwakilan
      rakyat daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah.
Peraturan Desa/peraturan yang setingkat adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh
      badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
Program Legislasi Nasional adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-
      Undang yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis.
Program Legislasi Daerah adalah instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan
      Daerah yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis.
Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara
      Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara
      Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau
      Berita Daerah.
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan
      Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-
      undangan.

                                          Pasal 2
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara.

                                          Pasal 3
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam
     Peraturan Perundang-undangan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditempatkan dalam Lembaran
     Negara Republik Indonesia.
Penempatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Lembaran
     Negara Republik Indonesia tidak merupakan dasar pemberlakuannya.

                                          Pasal 4
Peraturan Perundang-undangan yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang ini meliputi
Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya.

                                      BAB II
                       ASAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

                                           Pasal 5
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang baik yang meliputi:
Kejelasan tujuan;
Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
Dapat dilaksanakan;
Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
Kejelasan rumusan; dan




                                                                                           2
Keterbukaan.

                                             Pasal 6
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung asas:
      pengayoman;
      kemanusiaan;
      kebangsaan;
      kekeluargaan;
      kenusantaraan;
      bhinneka tunggal ika;
      keadilan;
      kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
      ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
      keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat
      berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang
      bersangkutan.

                                             Pasal 7
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
      Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
      Peraturan Pemerintah;
      Peraturan Presiden;
      Peraturan Daerah.
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
      Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama
             dengan gubernur;
      Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah
             kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
      Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama
             lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang setingkat
      diatur dengan Perataran Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui
      keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
      Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1).

                                          BAB III
                                      MATERI MUATAN

                                           Pasal 8
Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang:
mengatar lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
      yang meliputi:
      hak-hak asasi manusia;




                                                                                              3
       hak dan kewajiban warga negara;
       pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara;
       wilayah negara dan pembagian daerah;
       kewarganegaraan dan kependudukan;
       keuangan negara.
diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.

                                         Pasal 9
Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan
Undang-Undang.

                                           Pasal 10
Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang
sebagaimana mestinya.

                                           Pasal 11
Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau
materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.

                                           Pasal 12
Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran
lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

                                          Pasal 13
Materi muatan Peraturan Desa/yang setingkat adalah seluruh materi dalam rangka
penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta penjabaran lebih lanjut Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.

                                         Pasal 14
Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan
Peraturan Daerah.

                                     BAB IV
                     PERENCANAAN PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG

                                       Pasal 15
Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam suatu Program Legislasi Nasional.
Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu Program Legislasi Daerah.

                                           Pasal 16
Penyusunan Program Legislasi Nasional antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah
     dikoordinasikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat melalui alat kelengkapan Dewan Perwakilan
     Rakyat yang khusus menangani bidang legislasi.
Penyusunan Program Legislasi Nasional di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dikoordinasikan
     oleh alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang legislasi.
Penyusunan Program Legislasi Nasional di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri
     yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang Peraturan Perundang-undangan.




                                                                                            4
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan dan pengelolaan Program Legislasi
      Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.

                                    BAB V
                  PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

                                      Bagian Kesatu
                          Persiapan Pembentukan Undang-Undang

                                         Pasal 17
Rancangan undang-undang baik yang berasal dari Dewan Pewakilan Rakyat, Presiden, maupun
     dari Dewan Perwakilan Daerah disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional.
Rancangan undang-undang yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah, sebagaimana
     dimaksud pada ayat (1) adalah rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
     daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
     daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
     berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Dalam keadaan tertentu, Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden dapat mengajukan rancangan
     undang-undang di luar Program Legislasi Nasional.

                                            Pasal 18
(1)   Rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau
      pimpinan lembaga pemerintah non departemen, sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung
      jawabnya.
(2)   Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang
      yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung
      jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan.
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan undang-undang
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.

                                            Pasal 19
Rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat diusulkan oleh Dewan
      Perwakilan Rakyat.
Rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Daerah dapat diajukan oleh
      Dewan Perwakilan Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengusulan rancangan undang-undang sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan
      Rakyat dan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah.

                                            Pasal 20
(1)   Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh Presiden diajukan dengan surat
      Presiden kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2)   Dalam surat Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditegaskan antara lain tentang
      menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan rancangan undang-
      undang di Dewan Perwakilan Rakyat.
(3)   Dewan Perwakilan Rakyat mulai membahas rancangan undang-undang sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1), dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak surat
      Presiden diterima.
(4)   Untuk keperluan pembahasan rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat,
      menteri atau pimpinan lembaga pemrakarsa memperbanyak naskah rancangan undang-
      undang tersebut dalam jumlah yang diperlukan.




                                                                                              5
                                          Pasal 21
Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat disampaikan
      dengan surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden.
Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas rancangan undang-undang bersama
      Dewan Perwakilan Rakyat dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak
      surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat diterima.
Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengkoordinasikan persiapan pembahasan dengan
      menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan.

                                              Pasal 22
(1)     Penyebarluasan rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat
        dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat.
(2)     Penyebarluasan rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden dilaksanakan oleh
        instansi pemrakarsa.

                                         Pasal 23
Apabila dalam satu masa sidang, Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden menyampaikan
rancangan undang-undang mengenai materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan
undang-undang yang disampaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan rancangan undang-
undang yang disampaikan Presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.

                                      Bagian Kedua
      Persiapan Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan
                           Pemerintah, dan Peraturan Presiden

                                            Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang, rancangan peraturan pemerintah, dan rancangan peraturan presiden
diatur dengan Peraturan Presiden.

                                           Pasal 25
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat
      dalam persidangan yang berikut.
Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan
      peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang.
Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat,
      maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut tidak berlaku.
Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat,
      maka Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan
      pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari
      penolakan tersebut.

                                       Bagian Ketiga
                          Persiapan Pembentukan Peraturan Daerah

                                           Pasal 26




                                                                                              6
Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari dewan perwakilan rakyat daerah atau gubernur,
atau bupati/walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, atau
kota.

                                              Pasal 27
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan peraturan daerah yang
berasal dari gubernur atau bupati/walikota diatur dengan Peraturan Presiden.

                                            Pasal 28
(1)   Rancangan peraturan daerah dapat disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi,
      atau alat kelengkapan dewan perwakilan rakyat daerah yang khusus menangani bidang
      legislasi.
(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan peraturan daerah
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan
      Rakyat Daerah.

                                           Pasal 29
Rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh gubernur atau bupati/walikota disampaikan
     dengan surat pengantar gubernur atau bupati/walikota kepada dewan perwakilan rakyat
     daerah oleh gubernur atau bupati/walikota.
Rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh dewan perwakilan rakyat daerah
     disampaikan oleh pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah kepada gubernur atau
     bupati/walikota.

                                            Pasal 30
(1)   Penyebarluasan rancangan peraturan daerah yang berasal dari dewan perwakilan rakyat
      daerah dilaksanakan oleh sekretariat dewan perwakilan rakyat daerah.
(2)   Penyebarluasan rancangan peraturan daerah yang berasal dari gubernur atau
      bupati/walikota dilaksanakan olah sekretaris daerah.

                                           Pasal 31
Apabila dalam satu masa sidang, gubernur atau bupati/walikota dan dewan perwakilan rakyat
daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah, mengenai materi yang sama, maka yang
dibahas adalah rancangan peraturan daerah yang disampaikan oleh dewan perwakilan rakyat
daerah, sedangkan rancangan peraturan daerah yang disampaikan oleh gubernur atau
bupati/walikota digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.

                                 BAB VI
           PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG

                                  Bagian Kesatu
           Pembahasan Rancangan Undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat

                                       Pasal 32
Pembahasan rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan oleh Dewan
    Perwakilan Rakyat bersama Presiden atau menteri yang ditugasi.
Pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan
    dengan otonomi daerah, hubungan pusat den daerah, pembentukan, pemekaran, dan
    penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
    serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dilakukan dengan mengikutkan Dewan
    Perwakilan Daerah.




                                                                                                 7
Keikutsertaan Dewan Perwakilan Daerah dalam pembahasan rancangan undang-undang
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya pada rapat komisi/panitia/alat kelengkapan
      Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang legislasi.
Keikutsertaan Dewan Perwakilan Daerah dalam pembahasan rancangan undang-undang
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diwakili oleh komisi yang membidangi
      materi muatan rancangan undang-undang yang dibahas.
Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tingkat-tingkat
      pembicaraan.
Tingkat-tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dalam rapat
      komisi/panitia/alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang
      legislasi dan rapat paripurna.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana
      dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat.

                                       Pasal 33
Dewan Perwakilan Rakyat memberitahukan Dewan Perwakilan Daerah akan dimulainya
pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2).

                                         Pasal 34
Dewan Perwakilan Daerah memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas
rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

                                            Pasal 35
(1)   Rancangan undang-undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh Dewan
      Perwakilan Rakyat dan Presiden.
(2)   Rancangan Undang-undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan
      persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali rancangan undang-undang
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan
      Perwakilan Rakyat.

                                          Pasal 36
(1)   Pembahasan rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah
      pengganti undang-undang menjadi undang-undang dilaksanakan melalui mekanisme yang
      sama dengan pembahasan rancangan undang-undang.
(2)   Dewan Perwakilan Rakyat hanya menerima atau menolak Peraturan Pemerintah Pengganti
      Undang-Undang.
(3)   Dalam hal rancangan undang-undang mengenai penetapan peraturan pemerintah pengganti
      undang-undang menjadi undang-undang ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat maka
      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut dinyatakan tidak berlaku.
(4)   Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan
      Rakyat maka Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan
      peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang dapat mengatur pula segala
      akibat dari penolakan tersebut.

                                      Bagian Kedua
                                       Pengesahan

                                         Pasal 37




                                                                                             8
(1)   Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat
      dan Presiden, disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden untuk
      disahkan menjadi Undang-Undang.
(2)   Penyampaian rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
      dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan
      bersama.

                                           Pasal 38
Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 disahkan oleh Presiden
      dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
      sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat
      dan Presiden.
Dalam hal rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani
      oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undang-
      undang tersebut disetujui bersama, maka rancangan undang-undang tersebut sah menjadi
      Undang-Undang dan wajib diundangkan.
Dalam hal sahnya rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka kalimat
      pengesahannya berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan, ketentuan Pasal
      20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada
      halaman terakhir Undang-Undang sebelum Pengundangan naskah Undang-Undang ke
      dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

                                           Pasal 39
(1)   Peraturan Pemerintah ditetapkan untuk melaksanakan Undang-Undang.
(2)   Setiap Undang-Undang wajib mencantumkan batas waktu penetapan Peraturan Pemerintah
      dan peraturan lainnya sebagai pelaksanaan Undang-Undang tersebut.
(3)   Penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya yang diperlukan dalam
      penyelenggaraan pemerintahan negara tidak atas permintaan secara tegas dari suatu
      Undang-Undang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

                                BAB VII
         PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH

                                  Bagian Kesatu
      Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

                                            Pasal 40
(1)   Pembahasan rancangan peraturan daerah di dewan perwakilan rakyat daerah dilakukan
      oleh dewan perwakilan rakyat daerah bersama gubernur atau bupati/walikota.
(2)   Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tingkat-
      tingkat pembicaraan.
(3)   Tingkat-tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat
      komisi/panitia/alat kelengkapan dewan perwakilan rakyat daerah yang khusus menangani
      bidang legislasi dan rapat paripurna.
(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan rancangan peraturan daerah
      sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan
      Perwakilan Rakyat Daerah.

                                          Pasal 41




                                                                                             9
(1)   Rancangan peraturan daerah dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh dewan
      perwakilan rakyat daerah dan gubernur atau bupati/walikota.
(2)   Rancangan peraturan daerah yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali
      berdasarkan persetujuan bersama dewan perwakilan rakyat daerah dan gubernur atau
      bupati/walikota.
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali rancangan peraturan daerah
      diatur dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

                                         Bagian Kedua
                                          Penetapan

                                            Pasal 42
(1)   Rancangan peraturan daerah yang telah disetujui bersama oleh dewan perwakilan rakyat
      daerah dan gubernur atau bupati/walikota disampaikan oleh pimpinan dewan perwakilan
      rakyat daerah kepada gubernur atau bupati/walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan
      Daerah.
(2)   Penyampaian rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
      dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan
      bersama.

                                              Pasal 43
(1)   Rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ditetapkan oleh
      gubernur atau bupati/walikota dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu
      paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan peraturan daerah tersebut disetujui
      bersama oleh dewan perwakilan rakyat daerah dan gubernur atau bupati/walikota.
(2)   Dalam hal rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
      ditandatangani oleh gubernur atau bupati/walikota dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh)
      hari sejak rancangan peraturan daerah tersebut disetujui bersama, maka rancangan
      peraturan daerah tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib diundangkan.
(3)   Dalam hal sahnya rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka
      kalimat pengesahannya berbunyi: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah.
(4)   Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan
      pada halaman terakhir Peraturan Daerah sebelum pengundangan naskah Peraturan Daerah
      ke dalam Lembaran Daerah.

                                   BAB VIII
              TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

                                           Pasal 44
(1)   Penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan dilakukan sesuai dengan teknik
      penyusunan peraturan perundang-undangan.
(2)   Ketentuan mengenai teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-
      Undang ini.
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan terhadap teknik penyusunan peraturan
      perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
      Presiden.

                                      BAB IX
                         PENGUNDANGAN DAN PENYEBARLUASAN




                                                                                               10
                                       Bagian Kesatu
                                       Pengundangan

                                          Pasal 45
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan dengan
menempatkannya dalam:
a.    Lembaran Negara Republik Indonesia;
b.    Berita Negara Republik Indonesia;
c.    Lembaran Daerah; atau
d.    Berita Daerah.

                                           Pasal 46
(1)   Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik
      Indonesia, meliputi:
      a.    Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
      b.    Peraturan Pemerintah;
      c.    Peraturan Presiden mengenai:
            1.    pengesahan perjanjian antara negara Republik Indonesia dan negara lain atau
                  badan internasional; dan
            2.    pernyataan keadaan bahaya.
      d.    Perataran Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang-undangan
            yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
(2)   Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang
      berlaku harus diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.

                                         Pasal 47
(1)   Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan Perundang-
      undangan yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
(2)   Tambahan Berita Negara Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan Perundang-
      undangan yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.

                                          Pasal 48
Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau
Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dilaksanakan oleh
menteri yang tugas dan tanggung Jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan.

                                           Pasal 49
(1)   Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Daerah adalah
      Peraturan Daerah.
(2)   Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota, atau peraturan lain di bawahnya dimuat
      dalam Berita Daerah.
(3)   Pengundangan Peraturan Daerah dalam Lembaran Daerah dan Berita Daerah dilaksanakan
      oleh sekretaris daerah.

                                             Pasal 50
Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal
diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

                                       Bagian Kedua




                                                                                           11
                                      Penyebarluasan

                                         Pasal 51
Pemerintah wajib menyebarluaskan Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia.

                                        Pasal 52
Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan Peraturan Daerah yang telah diundangkan dalam
Lembaran Daerah dan peraturan di bawahnya yang telah diundangkan dalam Berita Daerah.

                                        BAB X
                               PARTISIPASI MASYARAKAT

                                       Pasal 53
Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau
pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah.

                                        BAB XI
                                  KETENTUAN LAIN-LAIN

                                          Pasal 54
Teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, Keputusan
Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah, Keputusan Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua
Mahkamah Konstitusi, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, Keputusan Gubernur Bank
Indonesia, Keputusan Menteri, Keputusan kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat,
Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan
Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota,
Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat harus berpedoman pada teknik penyusunan dan/atau
bentuk yang diatur dalam Undang-Undang ini.

                                       BAB XII
                                 KETENTUAN PERALIHAN

                                           Pasal 55
Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau
Berita Negara Republik Indonesia oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48, dilaksanakan paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak
diundangkannya Undang-Undang ini.

                                       BAB XIII
                                  KETENTUAN PENUTUP

                                          Pasal 56
Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/walikota,
atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 yang sifatnya mengatur,
yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dibaca peraturan, sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang ini.

                                          Pasal 57




                                                                                          12
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku maka:
a.   Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang
     Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat;
b.   Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Menetapkan
     Undang-Undang Darurat tentang Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat
     dan Berita Negara Republik Indonesia Serikat dan tentang Mengeluarkan, Mengumumkan,
     dan Mulai Berlakunya Undang-Undang Federal dan Peraturan Pemerintah sebagai Undang-
     Undang Federal (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 1), sepanjang yang telah diatur
     dalam Undang-Undang ini; dan
c.   Peraturan Perundang-undangan lain yang ketentuannya telah diatur dalam Undang-Undang
     ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

                                          Pasal 58
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yang mulai dilaksanakan pada
tanggal 1 November 2004.
Agar sedap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



                                  Disahkan Di Jakarta,
                               Pada Tanggal 22 Juni 2004
                            PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
                                         Ttd.
                             MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

                               Diundangkan Di Jakarta,
                             Pada Tanggal 22 Juni 2004
                      SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
                                        Ttd.
                                BAMBANG KESOWO

           LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 53




                                PENJELASAN
                      UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                            NOMOR 10 TAHUN 2004
                                  TENTANG
                 PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UMUM




                                                                                         13
Sebagai negara yang mendasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan
kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum.
Untuk mewujudkan negara hukum tersebut diperlukan tatanan yang tertib antara lain di bidang
pembentukan peraturan perundang-undangan. Tertib Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan harus dirintis sejak saat perencanaan sampai dengan pengundangannya. Untuk
membentuk peraturan perundang-undangan yang baik, diperlukan berbagai persyaratan yang
berkaitan dengan sistem, asas, tata cara penyiapan dan pembahasan, teknik, penyusunan
maupun pemberlakuannya.
Selama ini terdapat berbagai macam ketentuan yang berkaitan dengan Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan termasuk teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan, diatur secara
tumpang tindih baik peraturan yang berasal dari masa kolonial maupun yang dibuat setelah
Indonesia merdeka, yaitu:
1.     Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie, yang disingkat AB (Stb. 1847: 23)
       yang mengatur ketentuan-ketentuan umum peraturan perundang-undangan. Sepanjang
       mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ketentuan AB tersebut tidak lagi
       berlaku secara utuh karena telah diatur dalam peraturan perundang-undangan nasional.
2.     Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Peraturan tentang Jenis dan Bentuk
       Peraturan yang Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Undang-Undang ini merupakan
       Undang-Undang dari Negara Bagian Republik Indonesia Yogyakarta.
3.     Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-Undang Darurat
       tentang Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat dan Berita Negara
       Republik Indonesia Serikat dan tentang Mengeluarkan, Mengumumkan, dan Mulai
       Berlakunya Undang-Undang Federal dan Peraturan Pemerintah sebagai Undang-Undang
       Federal.
4.     Selain Undang-Undang tersebut, terdapat pula ketentuan:
       a.     Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1945 tentang Pengumuman dan Mulai
              Berlakunya Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah;
       b.     Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 234 Tahun 1960 tentang
              Pengembalian Seksi Pengundangan Lembaran Negara, dari Departemen Kehakiman
              ke Sekretariat Negara;
       c.     Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1970 tentang Tata Cara
              Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah
              Republik Indonesia;
       d.     Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara
              Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang;
       e.     Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknik
              Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-
              Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Keputusan Presiden.
5.     Di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dan dewan perwakilan rakyat daerah, berlaku
       peraturan tata tertib yang mengatur antara lain mengenai tata cara pembahasan rancangan
       undang-undang dan rancangan peraturan daerah serta pengajuan dan pembahasan
       Rancangan Undang-undang dan peraturan daerah usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat
       atau dewan perwakilan rakyat daerah.
Dengan adanya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
khususnya Pasal 20 ayat (1) yang menentukan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang
kekuasaan membentuk undang-undang, maka berbagai Peraturan Perundang-undangan tersebut
di atas sudah tidak sesuai lagi. Dengan demikian diperlukan Undang-Undang yang mengatur
mengenai Pembentukan Peraturan perundang-undangan, sebagai landasan yuridis dalam
membentuk Peraturan Perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun daerah, sekaligus
mengatur secara lengkap dan terpadu baik mengenai sistem, asas, jenis dan materi muatan
Peraturan Perundang-undangan, persiapan, pembahasan dan pengesahan, pengundangan dan
penyebarluasan, maupun partisipasi masyarakat.




                                                                                            14
Undang-Undang ini pada dasarnya dimaksudkan untuk membentuk suatu ketentuan yang baku
mengenai tata cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, serta untuk memenuhi
perintah Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 6
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan
Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Namun Undang-Undang ini hanya mengatur tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang meliputi Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Sedangkan mengenai
pembentukan Undang-Undang Dasar tidak diatur dalam Undang-Undang ini. Hal ini karena tidak
termasuk kompetensi pembentuk Undang-Undang ke bawah.
Dalam Undang-Undang ini, pada tahap perencanaan diatur mengenai Program Legislasi Nasional
dan Program Legislasi Daerah dalam rangka penyusunan peraturan perundang-undangan secara
terencana, bertahap, terarah, dan terpadu. Untuk menunjang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, diperlukan peran tenaga perancang peraturan perundang-undangan sebagai tenaga
fungsional yang berkualitas yang mempunyai tugas menyiapkan, mengolah, dan merumuskan
rancangan peraturan perundang-undangan.

PASAL DEMI PASAL
                                           Pasal 1
Cukup jelas.

                                             Pasal 2
Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara
sehingga setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

                                            Pasal 3
Ayat (1)
      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat hukum dasar
      negara merupakan sumber hukum bagi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di
      bawah Undang-Undang Dasar.
Ayat (2)
      Cukup jelas.
Ayat (3)
      Ketentuan ini menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
      1945 berlaku sejak ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

                                           Pasal 4
Yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang ini hanya Undang-Undang ke bawah, mengingat
Undang-Undang Dasar tidak termasuk kompetensi pembentuk Undang-Undang.

                                           Pasal 5
Huruf a
      Yang dimaksud dengan "kejelasan tujuan" adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan
      Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
Huruf b
      Yang dimaksud dengan asas "kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat" adalah
      bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat
      Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-




                                                                                            15
      undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh
      lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
Huruf c
      Yang dimaksud dengan asas "kesesuaian antara jenis dan materi muatan" adalah bahwa
      dalam Pembentakan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan
      materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan Perundang-undangannya.
Huruf d
      Yang dimaksud dengan asas "dapat dilaksanakan" adalah bahwa setiap Pembentukan
      Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-
      undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
Huruf e
      Yang dimaksud dengan asas "kedayagunaan dan kehasilgunaan" adalah bahwa setiap
      Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan
      bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Huruf f
      Yang dimaksud dengan asas "kejelasan rumusan" adalah bahwa setiap Peraturan
      Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan
      Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa
      hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
      interpretasi dalam pelaksanaannya.
Huruf g
      Yang dimaksud dengan asas "keterbukaan" adalah bahwa dalam proses Pembentukan
      Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan
      pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat
      mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses
      pembuatan Peraturan Perundang-undangan.

                                              Pasal 6
Ayat (1)
      Huruf a
            Yang dimaksud dengan "asas pengayoman" adalah bahwa setiap Materi Muatan
            Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam
            rangka menciptakan ketenteraman masyarakat.
      Huruf b
            Yang dimaksud dengan "asas kemanusiaan" adalah bahwa setiap Materi Muatan
            Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan
            penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara
            dan penduduk Indonesia secara proporsional.
      Huruf c
            Yang dimaksud dengan "asas kebangsaan" adalah bahwa setiap Materi Muatan
            Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa
            Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara
            kesatuan Republik Indonesia.
      Huruf d
            Yang dimaksud dengan "asas kekeluargaan" adalah bahwa setiap Materi Muatan
            Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai
            mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
      Huruf e
            Yang dimaksud dengan "asas kenusantaraan" adalah bahwa setiap Materi Muatan
            Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh
            wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di
            daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.




                                                                                            16
      Huruf f
            Yang dimaksud dengan "asas bhinneka tunggal ika" adalah bahwa Materi Muatan
            Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama,
            suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut
            masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
            bernegara.
      Huruf g
            Yang dimaksud dengan "asas keadilan" adalah bahwa setiap Materi Muatan
            Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional
            bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
      Huruf h
            Yang dimaksud dengan "asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan
            pemerintahan" adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
            tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang,
            antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
      Huruf i
            Yang dimaksud dengan "asas ketertiban dan kepastian hukum" adalah bahwa setiap
            Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban
            dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
      Huruf j
            Yang dimaksud dengan "asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan" adalah
            bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
            keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan
            masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
Ayat (2)
      Yang dimaksud dengan "asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-
      undangan yang bersangkutan", antara lain:
      a.    dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan,
            asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
      b.    dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas
            kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan iktikad baik.

                                           Pasal 7
Ayat (1)
      Cukup jelas.
Ayat (2)
      Huruf a
            Termasuk dalam jenis Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di
            Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Perdasus serta Perdasi yang
            berlaku di Provinsi Papua.
      Huruf b
            Cukup jelas.
      Huruf c
            Cukup jelas.
Ayat (3)
      Cukup jelas.
Ayat (4)
      Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan
      yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat
      Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
      Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat




                                                                                              17
      yang dibentak oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan
      Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
      Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Ayat (5)
      Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "hierarki" adalah penjenjangan setiap jenis
      Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-
      undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-
      undangan yang lebih tinggi.

                                           Pasal 8
Cukup jelas.

                                           Pasal 9
Cukup jelas.

                                         Pasal 10
Yang dimaksud dengan "sebagaimana mestinya" adalah materi muatan yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang
yang bersangkutan.

                                          Pasal 11
Sesuai dengan kedudukan Presiden menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Peraturan Presiden adalah peraturan yang dibuat oleh Presiden dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara sebagai atribusi dari Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah Undang-
Undang atau Peraturan Pemerintah baik secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan
pembentukannya.

                                           Pasal 12
Cukup jelas.

                                          Pasal 13
Yang dimaksud dengan "yang setingkat" dalam ketentuan ini adalah nama lain dari pemerintahan
tingkat desa.

                                           Pasal 14
Cukup Jelas.

                                            Pasal 15
Agar dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dapat dilaksanakan, secara berencana,
maka Pembentukan Peraturan Perundang-undangan perlu dilakukan berdasarkan Program
Legislasi Nasional. Dalam Program Legislasi Nasional tersebut ditetapkan skala prioritas sesuai
dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Untuk maksud tersebut, maka dalam
Program Legislasi Nasional memuat program legislasi jangka panjang, menengah, atau tahunan.
Program Legislasi Nasional hanya memuat program penyusunan Peraturan Perundang-undangan
tingkat pusat. Dalam penyusunan program tersebut perlu ditetapkan pokok materi yang hendak
diatur serta kaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya. Oleh karena itu,
penyusunan Program Legislasi Nasional disusun secara terkoordinasi, terarah, dan terpadu yang
disusun bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah.




                                                                                            18
Untuk perencanaan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan daerah dilakukan berdasarkan
Program Legislasi Daerah. Di samping memperhatikan hal di atas, Program Legislasi Daerah
dimaksudkan untuk menjaga agar produk Peraturan Perundang-undangan daerah tetap berada
dalam kesatuan sistem hukum nasional.

                                            Pasal 16
Cukup jelas.

                                          Pasal 17
Ayat (1)
      Cukup jelas.
Ayat (2)
      Cukup jelas.
Ayat (3)
      Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "dalam keadaan tertentu" adalah kondisi yang
      memerlukan pengaturan yang tidak tercantum dalam Program Legislasi Nasional.

                                            Pasal 18
Cukup jelas.

                                            Pasal 19
Cukup jelas.

                                            Pasal 20
Cukup jelas.

                                            Pasal 21
Cukup jelas.

                                             Pasal 22
Maksud "penyebarluasan" dalam ketentuan ini adalah agar khalayak ramai mengetahui adanya
rancangan undang-undang yang sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat guna memberikan
masukan atas materi yang sedang dibabas.
Penyebarluasan dilakukan baik melalui media elektronik seperti televisi, radio, internet, maupun
media cetak seperti surat kabar, majalah, dan edaran.

                                            Pasal 23
Cukup jelas.

                                            Pasal 24
Cukup jelas.

                                            Pasal 25
Ayat (1)
      Yang dimaksud dengan "persidangan yang berikut" adalah masa persidangan Dewan
      Perwakilan Rakyat yang hanya diantarai satu masa reses.
Ayat (2)
      Cukup jelas.




                                                                                               19
Ayat (3)
      Cukup jelas.
Ayat (4)
      Cukup jelas.

                                          Pasal 26
Cukup jelas.

                                          Pasal 27
Cukup jelas.

                                          Pasal 28
Cukup jelas.

                                          Pasal 29
Cukup jelas.

                                             Pasal 30
Sebagaimana rancangan undang-undang, rancangan peraturan daerah juga disebarluaskan,
misalnya melalui Televisi Republik Indonesia, Radio Republik Indonesia, Internet, media cetak
seperti surat kabar, majalah, dan edaran di daerah yang bersangkutan, sehingga khalayak ramai
mengetahui adanya rancangan peraturan daerah yang sedang dibahas di dewan perwakilan rakyat
daerah yang bersangkutan. Dengan demikian masyarakat dapat memberikan masukan atas materi
rancangan peraturan daerah yang sedang dibahas tersebut.

                                          Pasal 31
Cukup jelas.

                                            Pasal 32
Ketentuan mengenai tingkat pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal ini berlaku juga terhadap pembahasan rancangan undang-undang:
a.    usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat;
b.    ratifikasi;
c.    penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang;
d.    penetapan anggaran pendapatan dan belanja Negara serta nota keuangan;
e.    perubahan anggaran pendapatan dan belanja negara; dan
f.    perhitungan anggaran negara.

                                          Pasal 33
Cukup jelas.

                                          Pasal 34
Cukup jelas.

                                          Pasal 35
Ayat (1)
      Cukup jelas.




                                                                                          20
Ayat (2)
      Cukup jelas.
Ayat (3)
      Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyederhanakan mekanisme penarikan kembali
      rancangan undang-undang.

                                           Pasal 36
Cukup jelas.

                                           Pasal 37
Ayat (1)
      Penyampaian rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama Dewan Perwakilan
      Rakyat dan Pemerintah kepada Presiden, disertai Surat Pengantar pimpinan Dewan
      Perwakilan Rakyat. Secara formil rancangan undang-undang menjadi Undang-undang
      setelah disahkan oleh Presiden.
Ayat (2)
      Tenggang waktu 7 (tujuh) hari dianggap layak untuk mempersiapkan segala hal yang
      berkaitan dengan teknis penulisan rancangan undang-undang ke lembaran resmi Presiden
      sampai dengan penandatanganan pengesahan Undang-Undang oleh Presiden dan
      penandatanganan sekaligus Pengundangan ke Lembaran Negara Republik Indonesia oleh
      Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan.

                                            Pasal 38
Batas waktu 30 (tiga puluh) hari adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

                                           Pasal 39
Cukup jelas.

                                           Pasal 40
Ayat (1)
      Dalam pembahasan rancangan peraturan daerah di dewan perwakilan rakyat daerah,
      gubernur atau bupati/walikota dapat diwakilkan, kecuali dalam pengajuan dan pengambilan
      keputusan.
Ayat (2)
      Cukup jelas.
Ayat (3)
      Cukup jelas.
Ayat (4)
      Cukup jelas.

                                           Pasal 41
Cukup jelas.

                                           Pasal 42
Cukup jelas.

                                           Pasal 43




                                                                                            21
Cukup jelas.

                                          Pasal 44
Penyempurnaan teknik dan penulisan, rancangan undang-undang yang masih mengandung
kesalahan tersebut mencakup pula format rancangan undang-undang.

                                           Pasal 45
Dengan diundangkan Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan ini maka setiap orang dianggap telah mengetahuinya.

                                          Pasal 46
Cukup jelas.

                                          Pasal 47
Cukup jelas.

                                          Pasal 48
Cukup jelas.

                                          Pasal 49
Ayat (1)
      Cukup jelas.
Ayat (2)
      Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Berita Daerah misalnya
      Peraturan Nagari, Peraturan Desa, atau Peraturan Gampong di lingkungan daerah yang
      bersangkutan.
Ayat (3)
      Cukup jelas.

                                          Pasal 50
Berlakunya Peraturan Perundang-undangan yang tidak, sama dengan tanggal Pengundangan,
dimungkinkan, untuk persiapan sarana dan prasarana serta kesiapan aparatur pelaksana
Peraturan Perundang-undangan tersebut.

                                             Pasal 51
Yang dimaksud dengan "menyebarluaskan" adalah agar khalayak ramai mengetahui Peraturan
Perundang-undangan tersebut dan mengerti/memahami isi serta maksud-maksud yang
terkandung di dalamnya Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan tersebut dilakukan,
misalnya, melalui media elektronik seperti Televisi Republik Indonesia dan Radio Republik
Indonesia atau media cetak.

                                             Pasal 52
Yang dimaksud dengan "menyebarluaskan" adalah agar khalayak ramai mengetahui Peraturan
Perundang-undangan di daerah yang bersangkutan dan mengerti/memahami isi serta maksud-
maksud yang terkandung di dalamnya. Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan tersebut
dilakukan, misalnya, melalui media elektronik seperti Televisi Republik Indonesia dan Radio
Republik Indonesia, stasiun daerah, atau media cetak yang terbit di daerah yang bersangkutan.

                                          Pasal 53




                                                                                            22
Hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib Dewan
Perwakilan Rakyat/dewan, perwakilan rakyat daerah.

                                          Pasal 54
Ketentuan dalam Pasal ini menyangkut keputusan di bidang administrasi di berbagai lembaga
yang ada sebelum Undang-Undang ini diundangkan dan dikenal dengan keputusan yang bersifat
tidak mengatur.

                                          Pasal 55
Cukup jelas.

                                          Pasal 56
Cukup jelas.

                                          Pasal 57
Cukup jelas.

                                          Pasal 58
Cukup jelas.



           TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4389




                                 LAMPIRAN
                      UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                            NOMOR 10 TAHUN 2004
                                  TENTANG
                 PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN



       SISTEMATIKA TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN




                                                                                            23
BAB I     KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
          A.   JUDUL
          B.   PEMBUKAAN
               1.   Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
               2.   Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
               3.   Konsiderans
               4.   Dasar Hukum
               5.   Diktum
          C.   BATANG TUBUH
               1.   Ketentuan Umum
               2.   Materi Pokok yang Diatur
               3.   Ketentuan Pidana (Jika diperlukan)
               4.   Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan)
               5.   Ketentuan Penutup
          D.   PENUTUP
          E.   PENJELASAN (Jika diperlukan)
          F.   LAMPIRAN (Jika diperlukan)


BAB II    HAL-HAL KHUSUS
          A.   PENDELEGASIAN KEWENANGAN
          B.   PENYIDIKAN
          C.   PENCABUTAN
          D.   PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
          E.   PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
               MENJADI UNDANG-UNDANG
          F.   PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL


BAB III   RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
          A.   BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
          B.   PILIHAN KATA ATAU ISTILAH
          C.   TEKNIK PENGACUAN


BAB IV    BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
          A.   BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PADA UMUMNYA
          B.   BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENETAPAN PERATURAN
               PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENJADI UNDANG-UNDANG.
          C.   BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGESAHAN PERJANJIAN
               INTERNASIONAL YANG TIDAK MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA




                                                                        24
              SEBAGAI SALAH SATU BAHASA RESMI
        D.    BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG
        E.    BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENCABUTAN UNDANG-UNDANG
        F.    BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENCABUTAN PERATURAN
              PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
        G.    BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-
              UNDANG
        H.    BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH
        I.    BENTUK RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN
        J.    BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH


                                    BAB I
                   KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

1.   Kerangka Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
     A.   Judul;
     B.   Pembukaan;
     C.   Batang Tubuh;
     D.   Penutup;
     E.   Penjelasan (Jika diperlukan);
     F.   Lampiran (Jika diperlukan).

A.   JUDUL
2.   Judul Peraturan Perundang-undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun
     pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan Perundang-undangan.
3.   Nama Peraturan Perundang-undangan dibuat secara singkat dan mencerminkan isi
     Peraturan Perundang-undangan.
4.   Judul ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri
     tanda baca.
     Contoh:
                              UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                                      NOMOR 15 TAHUN 2002
                                             TENTANG
                                TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

5.   Pada judul Peraturan Perundang-undangan perubahan ditambahkan frase perubahan atas
     depan nama Peraturan Perundang-undangan yang diubah.
     Contoh:
                           UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                                    NOMOR 25 TAHUN 2003
                                          TENTANG
                 PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002
                         TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG




                                                                                                25
6.    Jika Peraturan Perundang-undangan telah diubah lebih dari 1 (satu) kali, di antara kata
      perubahan dan kata atas disisipkan keterangan yang menunjukkan berapa kali perubahan
      tersebut telah dilakukan, tanpa merinci perubahan sebelumnya.
      Contoh:
                              UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                                          NOMOR...TAHUN...
                                               TENTANG
                                      PERUBAHAN KETIGA ATAS
                                          UNDANG­UNDANG
                                   NOMOR...TAHUN....TENTANG ....

7.    Jika Peraturan Perundang-undangan yang diubah mempunyai nama singkat, Peraturan
      Perundang-undangan perubahan dapat menggunakan nama singkat Peraturan Perundang-
      undangan yang diubah.
      Contoh:
                            UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                                      NOMOR ... TAHUN ...
                                           TENTANG
                                      PERUBAHAN ATAS
                       UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 1984

8.    Pada judul Peraturan Perundang-undangan pencabutan disisipkan kata pencabutan di
      depan nama Peraturan Perundang-undangan yang dicabut.
      Contoh:
                            UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                                    NOMOR 10 TAHUIN 1985
                                           TENTANG
                     PENCABUTAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1970
         TENTANG PEMBENTUKAN DAERAH PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN
                                        BEBAS SABANG

9.    Pada judul Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang ditetapkan
      menjadi Undang-Undang, ditambahkan kata penetapan di depan nama Peraturan
      Perundang-undangan yang ditetapkan dan diakhiri dengan frase menjadi Undang-Undang.
      Contoh:
                            UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                                     NOMOR 15 TAHUN 2003
                                           TENTANG
             PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
       NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME
                                   MENJADI UNDANG-UNDANG

10.   Pada judul Peraturan Perundang-undangan pengesahan perjanjian atau persetujuan
      internasional, ditambahkan kata pengesahan di depan nama perjanjian atau persetujuan
      internasional yang akan disahkan.
11.   Jika dalam perjanjian atau persetujuan internasional Bahasa Indonesia digunakan sebagai
      teks resmi, nama perjanjian atau persetujuan ditulis dalam Bahasa Indonesia, yang diikuti
      oleh teks resmi bahasa asing yang ditulis dengan huruf cetak miring dan diletakkan di antara
      tanda baca kurung.




                                                                                               26
       Contoh:
                        UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                                NOMOR 1 TAHUN 1999
                                     TENTANG
           PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA
                MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA
         (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON MUTUAL
                       LEGAL ASSISTANCE IN CRIMINAL MATTERS)

12.    Jika dalam, perjanjian atau persetujuan internasional, Bahasa Indonesia tidak digunakan
       sebagai teks resmi, nama perjanjian atau persetujuan ditulis dalam Bahasa Inggris dengan
       huruf cetak miring, dan diikuti oleh terjemahannya dalam Bahasa Indonesia yang diletakkan
       di antara tanda baca kurung.
       Contoh:
                               UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                                           NOMOR 7 TAHUN 1997
                                                  TENTANG
            PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST ILLICIT TRAFFIC IN
                     NARCOTIC DRUGS AND PSYCHOTROPIC SUBTANCES, 1998
            (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG PEMBERANTASAN
                     PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA, 1998)

B.     PEMBUKAAN
13.    Pembukaan Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
       1.  Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa;
       2.  Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan;
       3.  Konsiderans;
       4.  Dasar Hukum; dan
       5.  Diktum.

B.1.   Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
14.    Pada pembukaan tiap jenis Peraturan Perundang-undangan sebelum nama jabatan
       pembentuk Peraturan Perundang-undangan dicantumkan frase DENGAN RAHMAT TUHAN
       YANG MAHA ESA yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di
       tengah marjin.

B.2.   Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
15.    Jabatan pembentuk Peraturan Perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital
       yang diletakkan di tengah marjin dan diakhiri dengan tanda baca koma.

B.3. Konsiderans
16. Konsiderans diawali dengan kata Menimbang.
17. Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar
     belakang dan alasan pembuatan Peraturan Perundang-undangan.
18. Pokok-pokok pikiran pada konsiderans Undang-Undang atau peraturan daerah memuat
     unsur filosofis, yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya.
19. Pokok-pokok pikiran yang hanya menyatakan bahwa Peraturan Perundang-undangan
     dianggap perlu untuk dibuat adalah kurang tepat karena tidak mencerminkan tentang latar




                                                                                               27
      belakang dan alasan dibuatnya peraturan perundang-undangan tersebut. Lihat juga Nomor
      24.
20.   Jika konsiderans memuat lebih dari satu pokok pikiran, tiap-tiap pokok pikiran dirumuskan
      dalam rangkaian kalimat yang merupakan kesatuan pengertian.
21.   Tiap-tiap pokok pikiran diawali dengan huruf abjad, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang
      diawali dengan kata bahwa dan diakhiri dengan tanda baca titik koma.
      Contoh:
      Menimbang:    a.   bahwa....;
                    b.   bahwa....;
                    c.   bahwa....;


22.   Jika konsiderans memuat lebih dari satu pertimbangan, rumusan butir pertimbangan terakhir
      berbunyi sebagai berikut:
      Contoh:
      Menimbang:    a.    bahwa.....;
                    b.    bahwa....;
                    c.    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
                          a dan huruf b perlu membentuk Undang-Undang (Peraturan Daerah)
                          tentang...;


      Contoh untuk Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang atau peraturan
      daerah:
      Menimbang:    a.    bahwa...;
                    b.    bahwa...;
                    c.    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
                          a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Pemerintah (Peraturan
                          Presiden);.


23.   Konsiderans Peraturan Pemerintah pada dasarnya cukup memuat satu pertimbangan yang
      berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan, ketentuan pasal atau beberapa
      pasal dari Undang-Undang yang memerintahkan pembuatan Peraturan Pemerintah tersebut.
      Lihat juga Nomor 19.
24.   Konsiderans Peraturan Pemerintah cukup memuat satu pokok pikiran yang isinya menunjuk
      pasal (-pasal) dari Undang-Undang yang memerintahkan pembuatannya. Lihat juga Nomor
      20.
      Contoh:
      Menimbang:    bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang
                    Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia perlu
                    menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Perlindungan
                    Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
                    Berat;


B.4. Dasar Hukum
25. Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat.
26. Dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan Perundang-undangan dan
     Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan Peraturan Perundang-
     undangan tersebut.




                                                                                             28
27.   Peraturan Perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum hanya Peraturan
      Perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
28.   Peraturan Perundang-undangan yang akan dicabut dengan Peraturan Perundang-undangan
      yang akan dibentuk atau Peraturan Perundang-undangan yang sudah diundangkan tetapi
      belum resmi berlaku, tidak dicantumkan sebagai dasar hukum.
29.   Jika jumlah Peraturan Perundang-undangan yang dijadikan dasar hukum lebih dari satu,
      urutan pencantuman perlu memperhatikan tata urutan Peraturan Perundang-undangan dan
      jika tingkatannya sama disusun secara kronologis berdasarkan saat pengundangan atau
      penetapannya.
30.   Dasar hukum yang diambil dari pasal (-pasal) dalam Undang-Undang Dasar Negara
      Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis dengan menyebutkan pasal atau beberapa pasal
      yang berkaitan Frase Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
      ditulis sesudah penyebutan pasal terakhir dan kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital.
      Contoh:
      Mengingat:   Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik
                   Indonesia Tahun 1945;


31.   Dasar hukum yang bukan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
      tidak perlu mencantumkan pasal, tetapi cukup mencantumkan nama judul Peraturan
      Perundang-undangan.
      Penulisan undang-undang, kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital.
      Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden perlu dilengkapi dengan
      pencantuman Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara
      Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung.
      Contoh:
      Mengingat:   1.    ....;
                   2.    Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
                         (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan
                         Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 4316);


32.   Dasar hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan jaman Hindia Belanda atau
      yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember
      1949, ditulis lebih dulu terjemahannya dalam Bahasa Indonesia dan kemudian judul asli
      Bahasa Belanda dan dilengkapi dengan tahun dan nomor Staadsblad yang dicetak miring di
      antara tanda baca kurung.
      Contoh:
      Mengingat:   1.   Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel,
                        Staatsblad 1847);
                   2.   ....;


33.   Cara penulisan sebagaimana dimaksud dalam Nomor 32 berlaku juga untuk pencabutan
      peraturan perundang-undangan yang berasal dari jaman Hindia Belanda atau yang
      dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949.
34.   Jika dasar hukum memuat lebih dari satu Peraturan Perundang-undangan, tiap dasar hukum
      diawali dengan angka Arab 1, 2, 3, dan seterusnya, dan diakhiri dengan tanda baca titik
      koma.
      Contoh:
      Mengingat:   1.   ....;
                   2.   ....;




                                                                                            29
                    3.   ....;


B.5. Diktum
35. Diktum terdiri atas:
     a.    kata Memutuskan;
     b.    kata Menetapkan;
     c.    Nama Peraturan Perundang-undangan.
36. Kata Memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi di antara suku kata
     dan diakhiri dengan tanda baca titik dua serta diletakkan di tengah marjin.
37. Pada Undang-Undang, sebelum kata Memutuskan dicantumkan frase Dengan Persetujuan
     Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN
     REPUBLIK INDONESIA yang diletakkan di tengah marjin.
     Contoh Undang-Undang:
                                   Dengan Persetujuan Bersama:
                      DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
                                                  dan
                                PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

                                          MEMUTUSKAN:

38.   Pada Peraturan Daerah, sebelum kata Memutuskan dicantumkan frase Dengan
      Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH ... (nama daerah) dan
      GUBERNUR/ BUPATI/ WALIKOTA ... (nama daerah), yang ditulis seluruhnya dengan
      huruf kapital dan diletakkan di tengah marjin.
      Contoh Peraturan Daerah:
                                       Dengan Persetujuan Bersama
                      DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH ... (nama daerah)
                                                    dan
                                       GUBERNUR ... (nama daerah)

                                          MEMUTUSKAN:

39.   Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata Memutuskan yang disejajarkan ke bawah
      dengan kata Menimbang dan Mengingat. Huruf awal kata Menetapkan ditulis dengan huruf
      kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik dua.
40.   Nama yang tercantum dalam judul Peraturan Perundang-undangan dicantumkan lagi
      setelah kata Menetapkan dan didahului dengan percantuman jenis Peraturan Perundang-
      undangan tanpa frase Republik Indonesia, serta ditulis seluruhnya dengan huruf kapital
      dan diakhiri dengan tanda baca titik.
      Contoh:
                                         MEMUTUSKAN:
      Menetapkan:    UNDANG-UNDANG TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA
                     PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH.


41.   Pembukaan Peraturan Perundang-undangan tingkat pusat yang tingkatannya lebih rendah
      daripada Undang-Undang, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan
      Menteri, dan peraturan pejabat yang setingkat, secara mutatis mutandis berpedoman pada
      pembukaan Undang-Undang.




                                                                                           30
C.    BATANG TUBUH
42.   Batang tubuh Peraturan Perundang-undangan memuat semua substansi Peraturan
      Perundang-undangan yang dirumuskan dalam pasal (-pasal).
43.   Pada umumnya substansi dalam batang tubuh dikelompokkan ke dalam:
      (1)     Ketentuan Umum;
      (2)     Materi Pokok yang Diatur;
      (3)     Ketentuan Pidana (Jika diperlukan);
      (4)     Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan);
      (5)     Ketentuan Penutup.
44.   Dalam pengelompokan substansi sedapat mungkin dihindari adanya bab ketentuan lain atau
      sejenisnya. Materi yang bersangkutan, diupayakan untuk masuk ke dalam bab yang ada
      atau dapat pula dimuat dalam bab tersendiri dengan judul yang sesuai dengan materi yang
      diatur.
45.   Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran
      norma tersebut dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan
      sanksi administratif atau sanksi keperdataan.
46.   Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan terdapat lebih dari satu
      pasal, sanksi administratif atau sanksi keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari
      bagian (pasal) tersebut. Dengan demikian hindari rumusan ketentuan sanksi yang sekaligus
      memuat sanksi pidana, sanksi perdata, dan sanksi administratif dalam satu bab.
47.   Sanksi administratif dapat berupa, antara lain, pencabutan izin, pembubaran, pengawasan,
      pemberhentian sementara, denda administratif, atau daya paksa polisional. Saksi
      keperdataan dapat berupa, antara lain, ganti kerugian.
48.   Pengelompokan materi Peraturan Perundang-undangan dapat disusun secara sistematis
      dalam buku, bab, bagian, dan paragraf.
49.   Jika Peraturan Perundang-undangan mempunyai materi yang ruang lingkupnya sangat luas
      dan mempunyai banyak pasal, pasal (-pasal) tersebut dapat dikelompokkan menjadi: buku
      (jika merupakan kodifikasi), bab, bagian, dan paragraf.
50.   Pengelompokan materi dalam buku, bab, bagian, dan paragraf dilakukan atas dasar
      kesamaan materi.
51.   Urutan pengelompokan adalah sebagai berikut:
      a.      bab dengan pasal (-pasal) tanpa bagian dan paragraf,
      b.      bab dengan bagian dan pasal (-pasal) tanpa paragraf-, atau
      c.      bab dengan bagian dan paragraf yang berisi pasal (-pasal).
52.   Buku diberi nomor urut dengan bilangan tingkat dan judul yang seluruhnya ditulis dengan
      huruf kapital.
      Contoh:
                                              BUKU KETIGA
                                               PERIKATAN

53.   Bab diberi nomor urut dengan angka Romawi dan judul bab yang seluruhnya ditulis dengan
      huruf kapital.
      Contoh:
                                             BAB I
                                       KETENTUAN UMUM

54.   Bagian diberi nomor urut dengan bilangan tingkat yang ditulis dengan huruf dan diberi judul.
55.   Huruf awal kata bagian, urutan bilangan, dan setiap kata pada judul bagian ditulis dengan
      huruf kapital, kecuali huruf awal kata partikel yang tidak terletak pada awal frase.




                                                                                                31
      Contoh:
                                          Bagian Kelima
          Persyaratan Teknis Kendaraan Bermotor, Kereta Gandengan, dan Kereta Tempelan

56.   Paragraf diberi nomor urut dengan angka Arab dan diberi judul.
57.   Huruf awal dari kata paragraf dan setiap kata pada judul paragraf ditulis dengan huruf
      kapital, kecuali huruf awal kata partikel yang tidak terletak pada awal frase.
      Contoh:
                                                  Paragraf 1
                                      Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim

58.   Pasal merupakan satuan aturan dalam Peraturan Perundang-undangan yang memuat satu
      norma, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara singkat, jelas, dan lugas.
59.   Materi Peraturan Perundang-undangan lebih baik dirumuskan dalam banyak pasal yang
      singkat dan jelas daripada ke dalam beberapa pasal yang masing-masing pasal memuat
      banyak ayat, kecuali jika materi yang menjadi isi pasal itu merupakan satu rangkaian yang
      tidak dapat dipisahkan.
60.   Pasal diberi nomor urut dengan angka Arab.
61.   Huruf awal kata pasal yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kapital.
      Contoh:
                                               Pasal 34
      Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 26 tidak meniadakan
      kewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.

62.   Pasal dapat dirinci ke dalam beberapa ayat.
63.   Ayat diberi nomor urut dengan angka Arab di antara tanda baca kurung tanpa diakhiri tanda
      baca titik.
64.   Satu ayat hendaknya hanya memuat satu norma yang dirumuskan dalam satu kalimat utuh.
65.   Huruf awal kata ayat yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kecil.
      Contoh:
                                               Pasal 8
      (1)   Satu permintaan pendaftaran merek hanya dapat diajukan untuk 1 (satu) kelas
            barang.
      (2)   Permintaan pendaftaran merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebutkan
            jenis barang atau jasa yang termasuk dalam kelas yang bersangkutan.
      (3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai kelas barang atau jasa sebagaimana dimaksud pada
            ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

66.   Jika satu pasal atau ayat memuat rincian unsur, maka di samping dirumuskan dalam bentuk
      kalimat dengar rincian, dapat pula dipertimbangkan penggunaan rumusan dalam bentuk
      tabulasi.
      Contoh:
                                                 Pasal 17
      Yang dapat diberi hak pilih ialah warga negara Indonesia yang telah berusia 17 (tujuh belas)
      tahun atau telah kawin dan telah terdaftar pada daftar pemilih.
      Isi pasal tersebut dapat lebih mudah dipahami jika dirumuskan sebagai berikut:

      Contoh rumusan tabulasi:
      Pasal 17




                                                                                                32
      Yang dapat diberi hak pilih ialah warga negara Indonesia yang:
      a.   telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin; dan
      b.   telah terdaftar pada daftar pemilih.

67.   Dalam membuat rumusan pasal atau ayat dengan bentuk tabulasi hendaknya diperhatikan
      hal-hal sebagai berikut:
      a.     setiap rincian harus dapat dibaca sebagai satu rangkaian kesatuan dengan frase
             pembuka;
      b.     setiap rincian diawali dengan huruf (abjad) kecil dan diberi tanda baca titik;
      c.     setiap frase dalam rincian diawali dengan huruf kecil;
      d.     setiap rincian diakhiri dengan tanda baca titik koma;
      e.     jika suatu rincian dibagi lagi ke dalam unsur yang lebih kecil, maka unsur tersebut
             dituliskan masuk ke dalam;
      f.     di belakang rincian yang masih mempunyai rincian lebih lanjut diberi tanda baca titik
             dua;
      g.     pembagian rincian (dengan urutan makin kecil) ditulis dengan abjad kecil, yang diikuti
             dengan tanda baca titik; angka Arab diikuti dengan tanda baca titik; abjad kecil
             dengan tanda baca kurung tutup; angka Arab dengan tanda baca kurung tutup;
      h.     pembagian rincian hendaknya tidak melebihi empat tingkat. Jika rincian melebihi
             empat tingkat, perlu dipertimbangkan pemecahan pasal yang bersangkutan ke dalam
             pasal atau ayat lain.
68.   Jika unsur atau rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif, ditambahkan
      kata dan yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir.
69.   Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian alternatif ditambahkan kata atau
      yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir.
70.   Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif dan alternatif,
      ditambahkan kata dan/atau yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir.
71.   Kata dan, atau, dan/atau tidak perlu diulangi pada akhir setiap unsur atau rincian.
      Contoh:
      a.     Tiap-tiap rincian ditandai dengan huruf a, huruf b, dan seterusnya.
             Contoh:
                                                      Pasal 9
            (1)   .....:
            (2)   .....:
                  a.       ....;
                  b.       ....; (dan, atau, dan/atau)
                  c.       ....
      b.    Jika suatu rincian memerlukan lebih lanjut, rincian itu ditandai dengan angka Arab 1,
            2, dan seterusnya.
            Contoh:
                                                  Pasal 12
            (1)   .....
            (2)   .....;
                  a.       ....;
                  b.       ....; (dan, atau, dan/atau)
                  c.       ....:




                                                                                                 33
                       1.      ....;
                       2.      ....; (dan, atau, dan/atau)
                       3.      ....
    c.   Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail, rincian itu ditandai
         dengan huruf a), b), dan seterusnya.
         Contoh:
                                                Pasal 20
         (1)   ....
         (2)   ....
         (3)   ....:
               a.      ....
               b.      ....; (dan, atau, dan/atau)
               c.      ....:
                       1.      ...;
                       2.      ...; (dan, atau, dan/atau)
                       3.      ...:
                               a)      ...;
                               b)      ...; (dan, atau, dan/atau)
                               c)      ...
    d.   Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail, rincian itu ditandai
         dengan angka 1), 2), dan seterusnya.
         Contoh:
                                                Pasal 22
         (1)   ...
         (2)   ...
               a.      ... ;
               b.      ...; (dan, atau, dan/atau)
               c.      ...:
                       1.      ...
                       2.      ...(dan, atau, dan/atau)
                       3.      ...:
                               a)      ....;
                               b)      ....; (dan, atau, dan/atau)
                               c)      ....:
                                       1.      ...;
                                       2.      ...; (dan, atau, dan/atau)
                                       3.      ...


C.1. Ketentuan Umum




                                                                                               34
72.    Ketentuan umum diletakkan dalam bab kesatu. Jika dalam Peraturan Perundang-undangan
       tidak dilakukan pengelompokan bab, ketentuan umum diletakkan dalam pasal (-pasal) awal.
73.    Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal.
74.    Ketentuan umum berisi:
       a.      batasan pengertian atau definisi;
       b.      singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan;
       c.      hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal (-pasal) berikutnya antara lain
               ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan.
75.    Frase pembuka dalam ketentuan umum undang-undang berbunyi ­Dalam Undang-Undang
       ini yang dimaksudkan dengan:
76.    Frase pembuka dalam ketentuan umum Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-
       Undang disesuaikan dengan jenis peraturannya.
77.    Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi singkatan atau akrorim lebih
       dari satu, maka masing-masing uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan diawali
       dengan huruf kapital serta diakhiri dengan tanda baca titik.
78.    Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau istilah yang
       digunakan berulang-ulang di dalam pasal (-pasal) selanjutnya.
79.    Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata atau istilah itu diperlukan
       pengertiannya untuk suatu bab, bagian atau paragraf tertentu, dianjurkan agar kata atau
       istilah itu diberi definisi.
80.    Jika suatu batasan pengertian atau definisi perlu dikutip kembali di dalam ketentuan umum
       suatu peraturan pelaksanaan, maka rumusan batasan pengertian atau definisi di dalam
       peraturan pelaksanaan harus sama dengan rumusan batasan pengertian atau definisi yang
       terdapat di dalam peraturan lebih tinggi yang dilaksanakan tersebut.
81.    Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim berfungsi, untuk
       menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka batasan pengertian atau definisi,
       singkatan, atau akronim tidak perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan
       sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda.
82.    Urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai
       berikut:
       a.      pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang
               berlingkup khusus;
       b.      pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur ditempatkan
               dalam urutan yang lebih dahulu; dan
       c.      pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya diletakkan
               berdekatan secara berurutan.

C.2.   Materi Pokok yang Diatur
83.    Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab ketentuan umum, dan jika tidak
       ada pengelompokan bab, materi pokok yang diatur diletakkan setelah pasal (-pasal)
       ketentuan umum.
84.    Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil dilakukan menurut kriteria
       yang dijadikan dasar pembagian.
       Contoh:
       a.    pembagian berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi, seperti pembagian
             dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
             (1)    kejahatan terhadap keamanan negara;
             (2)    kejahatan terhadap martabat Presiden;
             (3)    kejahatan terhadap negara sahabat dan wakilnya;
             (4)    kejahatan terhadap kewajiban dan hak kenegaraan;
             (5)    kejahatan terhadap ketertiban umum dan seterusnya.




                                                                                                   35
      b.    pembagian berdasarkan urutan/kronologis, seperti pembagian dalam hukum acara
            pidana, dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
            pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi, dan peninjauan kembali.
      c.    pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan, seperti Jaksa Agung, Wakil Jaksa
            Agung, dan Jaksa Agung Muda.

C.3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan)
85. Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas
     pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau perintah.
86. Dalam merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan asas-asas umum ketentuan pidana
     yang terdapat dalam Buku Kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena ketentuan
     dalam Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut Peraturan
     Perundang-undangan lain, kecuali jika oleh Undang-Undang ditentukan lain (Pasal 103 Kitab
     Undang-Undang Hukum Pidana).
87. Dalam menentukan lamanya pidana atau banyaknya denda perlu dipertimbangkan
     mengenai dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam masyarakat serta unsur
     kesalahan pelaku.
88. Ketentuan pidana ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu bab ketentuan pidana yang
     letaknya sesudah materi pokok yang diatur atau sebelum bab ketentuan peralihan. Jika bab
     ketentuan peralihan tidak ada, letaknya adalah sebelum bab ketentuan penutup.
89. Jika di dalam Peraturan Perundang-undangan tidak diadakan pengelompokan bab per bab,
     ketentuan pidana ditempatkan dalam pasal yang terletak langsung sebelum pasal (-pasal)
     yang berisi ketentuan peralihan. Jika tidak ada pasal yang berisi ketentuan peralihan,
     ketentuan pidana diletakkan sebelum pasal penutup.
90. Ketentuan pidana hanya dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah.
91. Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau perintah
     yang dilanggar dan menyebutkan pasal (-pasal) yang memuat norma tersebut. Dengan
     demikian, perlu dihindari:
     a.     pengacuan kepada ketentuan pidana Peraturan Perundang-undangan lain. Lihat juga
            Nomor 98;
     b.     pengacuan kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, jika elemen atau unsur-
            unsur dari norma yang diacu tidak sama; atau
     c.     penyusunan rumusan sendiri yang berbeda atau tidak terdapat di norma-norma yang
            diatur dalam pasal (-pasal) sebelumnya, kecuali untuk Undang-Undang tindak pidana
            khusus.
92. Jika ketentuan pidana berlaku bagi siapapun, subyek dari ketentuan pidana dirumuskan
     dengan frase setiap orang.
     Contoh:
                                                Pasal 81
     Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada
     keseluruhannya dengan merek terdaftar milik orang lain atau badan hukum lain untuk
     barang atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan, sebagaimana dimaksud
     dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda
     paling banyak Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah).

93.   Jika ketentuan pidana hanya berlaku bagi subyek tertentu, subyek itu dirumuskan secara
      tegas, misalnya, orang asing, pegawai negeri, saksi.
      Contoh:
                                               Pasal 95
      Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana
      narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
      (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000, 00 (tiga ratus juta rupiah).




                                                                                               36
94.   Sehubungan adanya pembedaan antara tindak pidana kejahatan dan tindak pidana
      pelanggaran di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, rumusan ketentuan pidana
      harus menyatakan secara tegas apakah perbuatan yang diancam dengan pidana itu
      dikualifikasikan sebagai pelanggaran atau kejahatan.
      Contoh:
                                                BAB V
                                         KETENTUAN PIDANA

                                                Pasal 33
      (1)   Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal......dipidana dengan pidana kurungan
            paling lama......atau denda paling banyak Rp............, 00.
      (2)   Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.

95.   Rumusan ketentuan pidana harus menyatakan secara tegas apakah pidana yang dijatuhkan
      bersifat kumulatif, alternatif, atau kumulatif alternatif.
      Contoh:
            Sifat kumulatif:
            Setiap orang yang dengan sengaja menyiarkan hal-hal yang bersifat sadisme,
            pornografi, dan/atau bersifat perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat
            (7) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
            banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
            Sifat alternative:
            Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan penyiaran tanpa izin
            sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
            paling lama 8 (delapan) tahun atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan
            ratus juta rupiah).
            Sifat kumulatif alternative:
            Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
            tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
            dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus juta ratus lima puluh juta rupiah)
            pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal
            diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena
            kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau menurut
            pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan
            jabatannya.

96.   Hindari rumusan dalam ketentuan pidana yang tidak menunjukkan dengan jelas apakah
      unsur-unsur perbuatan pidana bersifat kumulatif atau alternatif.
      Contoh:
      Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13
      dan Pasal 14, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan.

97.   Jika suatu Peraturan Perundang-undangan yang memuat ketentuan pidana akan
      diberlakusurutkan, ketentuan pidananya harus dikecualikan, mengingat adanya asas umum
      dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa
      ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.
      Contoh:
      Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya dan berlaku surut sejak
      tanggal 1 Januari 1976, kecuali untuk ketentuan pidananya.




                                                                                               37
98.   Ketentuan pidana bagi tindak pidana yang merupakan pelanggaran terhadap kegiatan
      bidang ekonomi dapat tidak diatur tersendiri di dalam undang-undang yang bersangkutan,
      tetapi cukup mengacu kepada Undang-Undang yang mengatur mengenai tindak pidana
      ekonomi, misalnya, Undang-Undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan,
      Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
99.   Tindak pidana dapat dilakukan oleh orang-perorangan atau oleh korporasi. Pidana terhadap
      tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dijatuhkan kepada:
      a.     Badan hukum, perseroan, perkumpulan, atau yayasan;
      b.     mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana atau yang bertindak sebagai
             pimpinan dalam melakukan tindak pidana; atau
      c.     kedua-duanya.

C.4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)
100. Ketentuan peralihan memuat penyesuaian terhadap Peraturan Perundang-undangan yang
     sudah ada pada saat Peraturan Perundang-undangan baru mulai berlaku, agar Peraturan
     Perundang-undangan tersebut dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan
     hukum.
101. Ketentuan peralihan dimuat dalam bab ketentuan peralihan dan ditempatkan di antara bab
     ketentuan pidana dan bab Ketentuan Penutup. Jika dalam Peraturan Perundang-undangan
     tidak diadakan pengelompokan bab, pasal yang memuat ketentuan peralihan ditempatkan
     sebelum pasal yang memuat ketentuan penutup.
102. Pada saat suatu Peraturan Perundang-undangan dinyatakan mulai berlaku, segala
     hubungan hukum yang ada atau tindakan hukum yang terjadi baik sebelum, pada saat
     maupun sesudah Peraturan Perundang-undangan yang baru itu dinyatakan mulai berlaku,
     tunduk pada ketentuan Peraturan Perundang-undangan baru.
103. Di dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru, dapat dimuat pengaturan yang
     memuat penyimpangan sementara atau penundaan sementara bagi tindakan hukum atau
     hubungan hukum tertentu.
104. Penyimpangan sementara itu berlaku juga bagi ketentuan yang diberlakusurutkan.
105. Jika suatu Peraturan Perundang-undangan diberlakukan surut, Peraturan Perundang-
     undangan tersebut hendaknya memuat ketentuan mengenai status dari tindakan hukum
     yang terjadi, atau hubungan hukum yang ada di dalam tenggang waktu antara tanggal mulai
     berlaku surut dan tanggal mulai berlaku pengundangannya.
     Contoh:
     Selisih tunjangan perbaikan yang timbul akibat Peraturan Pemerintah ini dibayarkan paling
     lambat 3 (tiga) bulan sejak saat tanggal pengundangan Peraturan Pemerintah ini.

106. Mengingat berlakunya asas-asas umum hukum pidana, penentuan daya laku surut
     hendaknya tidak diberlakusurutkan bagi ketentuan yang menyangkut pidana atau
     pemidanaan.
107. Penentuan daya laku surut sebaiknya tidak diadakan bagi Peraturan Perundang-undangan
     yang memuat ketentuan yang memberi beban konkret kepada masyarakat.
108. Jika penerapan suatu ketentuan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan ditunda
     sementara, bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu, ketentuan Peraturan
     Perundang-undangan tersebut harus memuat secara tegas dan rinci tindakan hukum dan
     hubungan hukum mana yang dimaksud, serta jangka waktu atau syarat-syarat berakhirnya
     penundaan sementara tersebut.
     Contoh:
     Izin ekspor rotan setengah jadi yang telah dikeluarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah
     .... Tahun .... masih tetap berlaku untuk jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal
     pengundangan Peraturan Pemerintah ini.




                                                                                             38
109. Hindari rumusan dalam ketentuan peralihan yang isinya memuat perubahan terselubung
     atas ketentuan Peraturan Perundang-undangan lain. Perubahan ini hendaknya dilakukan
     dengan membuat batasan pengertian baru di dalam ketentuan umum Peraturan Perundang-
     undangan atau dilakukan dengan membuat Peraturan Perundang-undangan perubahan.
     Contoh:
                                             Pasal 35
     (1)   Desa atau yang disebut dengan nama lainnya yang setingkat dengan desa yang
           sudah ada pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini dinyatakan sebagai desa
           menurut Pasal I huruf a.

C.5. Ketentuan Penutup
110. Ketentuan penutup ditempatkan dalam bab terakhir. Jika tidak diadakan pengelompokan
     bab, ketentuan penutup ditempatkan dalam pasal (-pasal) terakhir.
111. Pada umumnya ketentuan penutup memuat ketentuan mengenai:
     a.    penunjukan organ atau alat perlengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang-
           undangan;
     b.    nama singkat;
     c.    status Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada; dan
     d.    saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan.
112. Ketentuan penutup dapat memuat peraturan pelaksanaan yang bersifat:
     a.    menjalankan (eksekutif), misalnya, penunjukan pejabat tertentu yang diberi
           kewenangan untuk memberikan izin, mengangkat pegawai, dan lain-lain;
     b.    mengatur (legislatif), misalnya, memberikan kewenangan untuk membuat peraturan
           pelaksanaan.
113. Bagi nama Peraturan Perundang-undangan yang panjang dapat dimuat ketentuan mengenai
     nama singkat (judul kutipan) dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
     a.    nomor dan tahun pengeluaran peraturan yang bersangkutan tidak dicantumkan;
     b.    nama singkat bukan berupa singkatan atau akronim, kecuali jika singkatan atau
           akronim itu sudah sangat dikenal dan tidak menimbulkan salah pengertian.
114. Nama singkat tidak memuat pengertian yang menyimpang dari isi dan nama peraturan.
     Contoh nama singkat yang kurang tepat
     (Undang-Undang tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan)
     Undang-Undang ini dapat disebut Undang-Undang tentang Karantina Hewan.

115. Hindari memberikan nama singkat bagi nama Peraturan Perundang-undangan yang
     sebenarnya sudah singkat.
     Contoh nama singkat yang kurang tepat:
     (Undang-Undang tentang Bank Sentral)
     Undang-Undang ini dapat disebut Undang-Undang tentang Bank Indonesia.

116. Hindari penggunaan sinonim sebagai nama singkat.
     Contoh nama singkat yang kurang tepat:
     (Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara)
     Undang-Undang ini dapat disebut dengan Undang-Undang tentang Peradilan Administrasi
     Negara.

117. Jika materi dalam Peraturan Perundang-undangan baru menyebabkan perlunya
     penggantian seluruh atau sebagian materi dalam Peraturan Perundang-undangan lama, di




                                                                                           39
     dalam Peraturan Perundang-undangan baru harus secara tegas diatur mengenai
     pencabutan seluruh atau sebagian Peraturan Perundang-undangan lama.
118. Rumusan pencabutan diawali dengan frase Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
     kecuali untuk pencabutan yang dilakukan dengan Peraturan Perundang-undangan
     pencabutan tersendiri.
119. Demi kepastian hukum, pencabutan Peraturan Perundang-undangan hendaknya tidak
     dirumuskan secara umum tetapi menyebutkan dengan tegas Peraturan Perundang-
     undangan mana yang dicabut.
120. Untuk mencabut Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan dan telah mulai
     berlaku, gunakan frase dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     Contoh untuk, Nomor 118, 119, dan 120:
     Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-undang Nomor ... Tahun .... tentang ...
     (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun .... Nomor Tambahan Lembaran Negara
     Republik Indonesia Nomor ... ) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

121. Jika jumlah Peraturan Perundang-undangan yang dicabut lebih dari 1 (satu), dapat
     dipertimbangkan cara penulisan dengan rincian dalam bentuk tabulasi.
     Contoh:
     Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
     (1)    Ordonansi Perburuan (Jachfordonantie 1931, Slaatsblad 1931: 133);
     (2)    Ordonansi Perlindungan Binatang-binatang Liar (Dierenbeschermingsordonantie
            1931, Staasblad 1931: 134);
     (3)    Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura (Jachtordonantie Java en Madoera 1940,
            Staasblad 1939: 733); dan
     (4)    Ordonansi Perlindungan Alam (Natuurbescherming-sordonantie 1941, Staasblad
            1941: 167);
     dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,

122. Pencabutan Peraturan Perundang-undangan harus disertai dengan keterangan mengenai,
     status hukum dari peraturan pelaksanaan, peraturan lebih rendah, atau keputusan yang
     telah dikeluarkan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang dicabut.
     Contoh:
                                             Pasal 102
     Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang
     merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang
     Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan
     Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3086) dinyatakan masih tetap berlaku
     sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

123. Untuk mencabut Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan tetapi belum
     mulai berlaku, gunakan frase ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku.
     Contoh:
     Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor ... Tahun tentang ...
     (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor Tambahan Lembaran Negara
     Republik Indonesia Nomor .... ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku.

124. Pada dasarnya setiap Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku pada saat peraturan
     yang bersangkutan diundangkan.
125. Jika ada penyimpangan terhadap saat mulai berlakunya Peraturan Perundang-undangan
     yang bersangkutan pada saat diundangkan, hal ini hendaknya dinyatakan secara tegas di
     dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan dengan:




                                                                                             40
      a.   menentukan tanggal tertentu saat peraturan akan berlaku;
           Contoh:
           Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2000.
     b.    menyerahkan penetapan saat mulai berlakunya kepada Peraturan Perundang-
           undangan lain yang tingkatannya sama, jika yang diberlakukan itu kodifikasi, atau oleh
           Peraturan Perundang-undangan lain yang lebih rendah.
           Contoh:
           Saat mulai berlakunya Undang-Undang ini akan ditetapkan dengan Peraturan
           Presiden.
     c.    dengan menentukan lewatnya tenggang waktu tertentu sejak saat Pengundangan
           atau penetapan. Agar tidak menimbulkan kekeliruan penafsiran gunakan frase
           setelah ... (tenggang waktu) sejak ...
           Contoh:
           Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak tanggal pengundangan.
126. Hindari frase ... mulai berlaku efektif pada tanggal ... atau yang sejenisnya, karena frase ini
     menimbulkan ketakpastian mengenai saat resmi berlalunya suatu Peraturan Perundang-
     undangan: saat Pengundangan atau saat berlaku efektif.
127. Pada dasarnya saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan adalah sama bagi
     seluruh bagian Peraturan Perundang-undangan dan seluruh wilayah negara Republik
     Indonesia.
     Contoh:
     Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

128. Penyimpangan terhadap saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan hendaknya
     dinyatakan secara tegas dengan:
     a.    menetapkan bagian-bagian mana dalam Peraturan Perundang-undangan itu yang
           berbeda saat mulai berlakunya;
           Contoh:
                                                 Pasal 45
           (1)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3),
                 dan ayat (4) mulai berlaku pada tanggal...

      b.    menetapkan saat mulai berlaku yang berbeda bagi wilayah negara tertentu.
            Contoh:
                                                Pasal 40
            (1)  Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) mulai berlaku untuk
                 wilayah Jawa dan Madura pada tanggal...

129. Pada dasarnya saat mulai berlakunya Peraturan Perundang-undangan tidak dapat
     ditentukan lebih awal dari pada saat pengundangannya.
130. Jika ada alasan yang kuat untuk memberlakukan Peraturan Perundang-undangan lebih awal
     daripada saat pengundangannya (artinya, berlaku surut), perlu diperhatikan hal-hal sebagai
     berikut:
     a.     ketentuan baik yang berkaitan dengan masalah pidana, baik jenis, berat, sifat,
            maupun klasifikasinya, tidak ikut diberlakusurutkan;
     b.     rincian mengenai pengaruh ketentuan berlaku surut itu terhadap tindakan hukum,
            hubungan hukum, dan akibat hukum tertentu yang sudah ada, perlu dimuat dalam
            ketentuan peralihan;
     c.     awal dari saat mulai berlaku Perataran Perundang-undangan sebaiknya ditetapkan
            tidak lebih dahulu dari saat rancangan Peraturan Perundang-undangan tersebut mulai




                                                                                                 41
            diketahui oleh masyarakat, misalnya, saat rancangan undang-undang itu disampaikan
            ke Dewan Perwakilan Rakyat.
131. Saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan, pelaksanaannya tidak boleh ditetapkan
     lebih awal daripada saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan yang mendasarinya.
132. Peraturan Perundang-undangan hanya dapat dicabut dengan Peraturan Perundang-
     undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
133. Pencabutan Peraturan Perundang-undangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang
     tingkatannya lebih tinggi itu dilakukan, jika Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi
     itu dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian materi Peraturan
     Perundang-undangan lebih rendah yang dicabut itu.

D.   PENUTUP
134. Penutup merupakan bagian akhir Peraturan Perundang-undangan dan memuat:
     a.    rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang-undangan
           dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia,
           Lembaran Daerah, atau Berita Daerah;
     b.    penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan Perundang-undangan;
     c.    Pengundangan Peraturan Perundang-undangan; dan
     d.    akhir bagian penutup.
135. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam
     Lembaran Negara Republik Indonesia yang berbunyi sebagai berikut:
     Contoh:
     Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan...(jenis Peraturan
     Perundang-undangan) ... ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
     Indonesia.

136. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam
     Berita Negara Republik Indonesia yang berbunyi sebagai berikut:
     Contoh:
     Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan, pengundangan...(Jenis Peraturan
     Perundang-undangan), ... ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
     Indonesia.

137. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam
     Lembaran Negara atau Berita Daerah yang berbunyi sebagai berikut:
     Contoh:
     Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan...(jenis Peraturan
     Perundang-undangan) ... ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah (Berita
     Daerah).

138. Penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan Perundang-undangan memuat:
     a.    tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan;
     b.    nama jabatan;
     c.    tanda tangan pejabat; dan
     d.    nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar dan pangkat.
139. Rumusan tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan diletakkan di sebelah kanan.
140. Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi
     tanda baca koma.
     Contoh untuk pengesahan




                                                                                              42
                             Disahkan di Jakarta
                             pada tanggal ...
                             PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
                                         tanda tangan
                                            NAMA


      Contoh untuk penetapan:
                             Ditetapkan di Jakarta
                             pada tanggal ...
                             PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
                                         tanda tangan
                                            NAMA


141. Pengundangan Peraturan Perundang-undangan memuat:
     a.    tempat dan tanggal Pengundangan;
     b.    nama jabatan yang berwenang mengundangkan;
     c.    tanda tangan; dan
     d.    nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar dan pangkat.
142. Tempat tanggal Pengundangan Peraturan Perundang-undangan diletakkan di sebelah kiri
     (di bawah penandatanganan pengesahan atau penetapan).
143. Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi
     tanda baca koma.
     Contoh:
     Diundangkan di ... pada tanggal ...
     MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Peraturan Perundang-undangan)
                                           tanda tangan
                                              NAMA

144. Jika dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari Presiden tidak menandatangani
     rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat
     dan Presiden, maka dicantumkan kalimat pengesahan setelah nama pejabat yang
     mengundangkan yang berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan
     ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
     1945.
145. Jika dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari Gubernur/Bupati/Walikota tidak
     menandatangani rancangan peraturan daerah yang telah disetujui bersama antara Dewan
     Perwakilan Rakyat Daerah dan Gubernur atau Bupati/Walikota, maka dicantumkan kalimat
     pengesahan setelah nama pejabat yang mengundangkan yang berbunyi: Peraturan Daerah
     ini dinyatakan sah.
146. Pada akhir bagian penutup dicantumkan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita
     Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, dan Berita Daerah beserta tahun dan nomor
     dari Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran
     Daerah, dan Berita Daerah tersebut.
147. Penulisan frase Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik
     Indonesia, Lembaran Daerah, dan Berita Daerah ditulis seluruhnya dengan huruf kapital.
     Contoh:
                LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR....




                                                                                            43
       Contoh:
                 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR..
       Contoh:
            LEMBARAN DAERAH PROVINSI (KABUPATEN/KOTA) ... TAHUN ...NOMOR....

E.     PENJELASAN
148.        a.   Setiap Undang-Undang perlu diberi penjelasan.
            b.   Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang dapat diberi penjelasan,
                 jika diperlukan.
149. Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan
     atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian
     atau jabaran lebih lanjut dari norma yang diatur dalam batang tubuh. Dengan demikian,
     penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh
     mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dijelaskan.
150. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih
     lanjut. Oleh karena itu, hindari membuat rumusan norma di dalam bagian penjelasan.
151. Dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap
     ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
152. Naskah penjelasan disusun bersama-sama dengan penyusunan rancangan peraturan
     perundang-undangan yang bersangkutan.
153. Judul penjelasan sama dengan judul Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
     Contoh:
                                             PENJELASAN
                                                 ATAS
                              UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                                         NOMOR ... TAHUN ...
                                              TENTANG
                                        KESEJAHTERAAN ANAK

154. Penjelasan Peraturan Perundang-undangan memuat penjelasan umum dan penjelasan
     pasal demi pasal.
155. Rincian penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal diawali dengan angka Romawi
     dan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital.
     Contoh:
     I.    UMUM
     II.   PASAL DEMI PASAL

156. Penjelasan umum memuat uraian secara sistematis mengenai latar belakang pemikiran,
     maksud, dan tujuan penyusunan Peraturan Perundang-undangan yang telah tercantum
     secara singkat dalam butir konsiderans, serta asas-asas, tujuan, atau pokok-pokok yang
     terkandung dalam batang tubuh Peraturan Perundang-undangan.
157. Bagian-bagian dari penjelasan umum dapat diberi nomor dengan angka Arab, jika hal ini
     lebih memberikan kejelasan.
     Contoh:
       I.    UMUM
             (1)   Dasar Pemikiran
                   ...




                                                                                                44
          (2)   Pembagian Wilayah
                ...
          (3)   Asas-asas Penyelenggara Pemerintahan
                ...
          (4)   Daerah Otonom
                ...
          (5)   Wilayah Administratif
                ...
          (6)   Pengawasan
                ...


158. Jika dalam penjelasan umum dimuat pengacuan ke Peraturan Perundang-undangan lain
     atau dokumen lain, pengacuan itu dilengkapi dengan keterangan mengenai sumbernya.
159. Dalam menyusun penjelasan pasal demi pasal harus - diperhatikan agar rumusannya:
     a.     tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
     b.     tidak memperluas atau menambah norma yang ada dalam batang tubuh;
     c.     tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
     d.     tidak mengulangi uraian kata, istilah, atau pengertian yang telah dimuat di dalam
            ketentuan umum.
160. Ketentuan umum yang memuat batasan pengertian atau definisi dari kata atau istilah, tidak
     perlu diberikan penjelasan karena itu batasan pengertian atau definisi harus dirumuskan
     sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti tanpa memerlukan penjelasan lebih lanjut.
161. Pada pasal atau ayat yang tidak memerlukan penjelasan ditulis frase Cukup jelas yang
     diakhiri dengan tanda baca titik, sesuai dengan makna frase penjelasan pasal demi pasal
     tidak digantungkan walaupun terdapat beberapa pasal berurutan yang tidak memerlukan
     penjelasan.
     Contoh yang kurang tepat:
     Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 (Pasal 7 s/d Pasal 9)
            Cukup jelas,

       Seharusnya
       Pasal 7
             Cukup jelas.
       Pasal 8
             Cukup jelas.
       Pasal 9
             Cukup jelas.

162. Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir tidak memerlukan penjelasan, pasal
     yang bersangkutan cukup diberi penjelasan. Cukup jelas., tanpa merinci masing-masing
     ayat atau butir.
163.    a.   Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir dan salah satu ayat atau butir
             tersebut memerlukan penjelasan, setiap ayat atau butir perlu dicantumkan dan
             dilengkapi dengan penjelasan yang sesuai.
             Contoh:
             Pasal 7




                                                                                                     45
                   Ayat (1)
                         Cukup jelas.
                   Ayat (2)
                         Ayat ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada hakim
                         dan para pengguna hukum.
                   Ayat (3)
                         Cukup jelas.
                   Ayat (4)
                         Cukup jelas.


       b.   jika suatu istilah/kata/frase dalam suatu pasal atau ayat yang memerlukan penjelasan,
            gunakan tanda baca petik ("...") pada istilah kata/frase tersebut.
             Contoh:
             Pasal 25
                   Ayat (1)
                         Yang dimaksud dengan "persidangan yang berikut" adalah masa
                         persidangan Dewan Perwakilan Rakyat yang hanya diantarai satu masa
                         reses.
                   Ayat (2)
                         Cukup jelas.
                   Ayat (3)
                         Cukup jelas.
                   Ayat (4)
                         Cukup jelas.

F.   LAMPIRAN (Jika diperlukan)
164. Dalam hal Peraturan Perundang-undangan memerlukan lampiran, hal tersebut harus
     dinyatakan dalam batang tubuh dan pernyataan bahwa lampiran tersebut merupakan bagian
     yang tidak terpisahkan dari Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. Pada akhir
     lampiran harus dicantumkan nama dan tanda tangan pejabat yang mengesahkan/
     menetapkan Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

                                            BAB II
                                       HAL-HAL KHUSUS

PENDELEGASIAN KEWENANGAN
165. Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan
     mengatur lebih lanjut kepada Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah.
166. Pendelegasian kewenangan mengatur, harus menyebut dengan tegas:
     ruang lingkup materi yang diatur; dan
     jenis Peraturan Perundang-undangan.
167. a.     Jika materi yang didelegasikan sebagian sudah diatur pokok-pokoknya di dalam
            Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan tetapi materi itu harus diatur
            hanya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang didelegasikan dan tidak boleh
            didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah
            (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan lebih lanjut mengenai ... diatur dengan...
     b.     Jika pengaturan materi tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi)
            gunakan kalimat Ketentuan lebih lanjut mengenai ...diatur dengan atau




                                                                                                  46
           berdasarkan...
            Contoh huruf a:
                                            Pasal ...
            (1)   ...
            (2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai ... diatur dengan Peraturan Pemerintah.

            Contoh huruf b:
                                            Pasal ...
            (1)   ...
            (2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai ... diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
                  Pemerintah.


168. a.    Jika materi yang didelegasikan sama sekali belum diatur pokok-pokoknya di dalam
           Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan dan materi itu harus diatur di
           dalam Peraturan Perundang-undangan yang diberi delegasi dan tidak boleh
           didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah
           (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan mengenai ... diatur dengan...
      b.   Jika peraturan materi tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi)
           digunakan kalimat Ketentuan mengenai...diatur dengan atau berdasarkan...
            Contoh huruf a:
                                             Pasal...
            (1)   ...
            (2)   Ketentuan mengenai ... diatur dengan Peraturan Pemerintah.

            Contoh huruf b:
                                            Pasal ...
            (1)   ....
            (2)   Ketentuan mengenai ... diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

169. Untuk mempermudah dalam penentuan judul dari peraturan pelaksana yang akan dibuat
     rumusan pendelegasian perlu mencantumkan secara singkat tetapi lengkap mengenai apa
     yang akan diatur lebih lanjut.
     Contoh:
                                             Pasal 10
     (1)   ...
     (2)   ketentuan lebih lanjut tentang tata cara permohonan pendaftaran desain industri diatur
           dengan Peraturan Pemerintah.

170. Jika pasal terdiri dari beberapa ayat pendelegasian kewenangan dimuat pada ayat terakhir
     dari pasal yang bersangkutan.
171. Jika pasal terdiri dari banyak ayat, pendelegasian kewenangan dapat dipertimbangkan untuk
     dimuat dalam pasal tersendiri, karena materi pendelegasian ini pada dasarnya berbeda
     dengan apa yang diatur dalam rangkaian ayat-ayat sebelumnya.
172. Dalam pendelegasian kewenangan mengatur sedapat mungkin dihindari adanya delegasi
     blangko.
     Contoh:
                                             Pasal ...




                                                                                                47
      Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini, diatur lebih lanjut dengan
      Peraturan Pemerintah.

173. Pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada menteri atau pejabat
     yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif.
174. Kewenangan yang didelegasikan kepada suatu alat penyelenggara negara tidak dapat
     didelegasikan lebih lanjut kepada alat penyelenggara negara lain, kecuali jika oleh Undang-
     Undang yang mendelegasikan kewenangan tersebut dibuka kemungkinan untuk itu.
175. Hindari pendelegasian kewenangan mengatur secara langsung dari Undang-Undang
     kepada direktur jenderal atau pejabat yang setingkat.
176. Pendelegasian langsung kepada direktur jenderal atau pejabat yang setingkat hanya dapat
     diberikan oleh Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah daripada
     Undang-Undang.
177. Peraturan Perundang-undangan pelaksanaannya hendaknya tidak mengulangi ketentuan
     norma yang telah diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan,
     kecuali jika hal tersebut memang tidak dapat dihindari.
178. Di dalam peraturan pelaksana sedapat mungkin dihindari pengutipan kembali rumusan
     norma atau ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lebih tinggi yang
     mendelegasikan. Pengutipan kembali dapat dilakukan sepanjang rumusan norma atau
     ketentuan tersebut diperlukan sebagai pengantar (aanloop) untuk merumuskan norma atau
     ketentuan lebih lanjut di dalam pasal (-pasal) atau ayat (-ayat) selanjutnya.

PENYIDIKAN
179. Ketentuan penyidikan hanya dapat dimuat di dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah.
180. Ketentuan penyidikan memuat pemberian kewenangan kepada Penyidik Pegawai Negeri
     Sipil departemen atau instansi tertentu untuk menyidik pelanggaran terhadap ketentuan
     Undang-Undang atau Peraturan Daerah.
181. Dalam merumuskan ketentuan yang menunjuk pejabat tertentu sebagai penyidik hendaknya
     diusahakan ajar tidak mengurangi kewenangan penyidik umum untuk melakukan
     penyidikan.
     Contoh:
     Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan ... (nama departemen atau instansi)...
     dapat diberikan kewenangan untuk melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran
     terhadap ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang (atau Peraturan Daerah) ini.

182. Ketentuan penyidikan ditempatkan sebelum ketentuan pidana atau jika dalam Undang-
     Undang atau Peraturan Daerah tidak diadakan pengelompokan, ditempatkan pada pasal (-
     pasal) sebelum ketentuan pidana.

PENCABUTAN
183. Jika ada Peraturan Perundang-undangan lama yang tidak diperlukan lagi dan diganti
     dengan Peraturan Perundang-undangan baru, Peraturan Perundang-undangan yang baru
     harus secara tegas mencabut Peraturan Perundang-undangan yang tidak diperlukan itu.
184. Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya hanya dapat dicabut melalui Peraturan
     Perundang-undangan yang setingkat.
185. Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh mencabut Peraturan
     Perundang-undangan yang lebih tinggi.
186. Pencabutan melalui Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi
     dilakukan jika Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut dimaksudkan untuk
     menampung kembali seluruh atau sebagian dari materi Peraturan Perundang-undangan
     yang lebih rendah yang dicabut itu.




                                                                                             48
187. Jika Peraturan Perundang-undangan baru mengatur kembali suatu materi yang sudah diatur
     dan sudah diberlakukan, pencabutan Peraturan Perundang-undangan itu dinyatakan dalam
     salah satu pasal dalam ketentuan penutup dari Peraturan Perundang-undangan yang baru,
     dengan menggunakan rumusan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
188. Pencabutan Peraturan Perundang-undangan yang sudah diundangkan atau diumumkan,
     tetapi belum mulai berlaku, dapat dilakukan dengan peraturan tersendiri dengan
     menggunakan rumusan ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku.
189. Jika pencabutan Peraturan Perundang-undangan dilakukan dengan peraturan pencabutan
     tersendiri, peraturan pencabutan itu hanya memuat 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka
     Arab, yaitu sebagai berikut:
     a.     Pasal 1 memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlakunya Peraturan Perundang-
            undangan yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku.
     b.     Pasal 2 memuat ketentuan tentang saat mulai berlakunya Peraturan Perundang-
            undangan pencabutan yang bersangkutan.
            Contoh:
                                             Pasal 1
            Undang-Undang Nomor...Tahun...tentang (Lembaran Negara Republik Indonesia
            Tahun ... Nomor...Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ...)
            dicabut dan di nyatakan tidak berlaku.

                                           Pasal 2
            Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

190. Pencabutan Peraturan Perundang-undangan yang menimbulkan perubahan dalam
     Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait, tidak mengubah Peraturan Perundang-
     undangan lain yang terkait tersebut, kecuali ditentukan lain secara tegas.
191. Peraturan Perundang-undangan atau ketentuan yang telah dicabut, otomatis tidak berlaku
     kembali, meskipun Peraturan Perundang-undangan yang mencabut di kemudian hari
     dicabut pula.

PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
192. Perubahan Peraturan Perundang-undangan dilakukan dengan:
     menyisipkan atau menambah materi ke dalam Peraturan Perundang-undangan; atau
     menghapus atau mengganti sebagian materi Peraturan Perundang-undangan.
193. Perubahan Peraturan Perundang-undangan dapat dilakukan terhadap:
     seluruh atau sebagian buku, bab, bagian, paragraf, pasal, dan/atau ayat; atau
     kata, istilah, kalimat, angka, dan/atau tanda baca.
194. Jika Pengaturan Perundang-undangan yang diubah mempunyai nama singkat, Peraturan
     Perundang-undangan perubahan dapat menggunakan nama singkat Peraturan Perundang-
     undangan yang diubah.
195. Pada dasarnya batang tubuh Peraturan Perundang-undangan perubahan terdiri atas 2 (dua)
     pasal yang ditulis dengan angka Romawi yaitu sebagai berikut:
     a.     Pasal 1 memuat judul Peraturan Perundang-undangan yang diubah, dengan
            menyebutkan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran
            Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung serta
            memuat materi atau norma yang diubah. Jika materi perubahan lebih dari satu, setiap,
            materi perubahan dirinci dengan menggunakan angka Arab (1, 2, 3, dan seterusnya).
            Contoh:
                                               Pasal 1




                                                                                              49
           Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor...Tahun...tentang...(Lembaran
           Negara Republik Indonesia Tahun...Nomor..., Tambahan Lembaran Negara Republik
           Indonesia Nomor...) diubah sebagai berikut:
           1.     Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:...
           2.     Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:...
           3.     dan seterusnya...
     b.    Jika Peraturan Perundang-undangan telah diubah lebih dari satu kali, pasal 1
           memuat, selain mengikuti ketentuan pada Nomor 193 huruf a, juga tahun dan nomor
           dari Peraturan Perundang-undangan perubahan yang ada serta Lembaran Negara
           Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang
           diletakkan di antara tanda baca kurung dan dirinci dengan huruf-huruf (abjad) kecil (a,
           b, c dan seterusnya).
           Contoh:
                                            Pasal 1
           Undang-undang Nomor...Tahun...tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia
           Tahun...Nomor...; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor...) yang
           telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang:
           a.     Nomor...Tahun...(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun...Nomor...
                  Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor...);
           b.     Nomor...Tahun...(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun...Nomor...
                  Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor...);
           c.     Nomor...Tahun...(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun...Nomor...
                  Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor...);
     c.    Pasal II memuat ketentuan tentang saat mulai berlaku. Dalam hal tertentu, Pasal II
           juga dapat memuat ketentuan peralihan dari Peraturan Perundang-undangan,
           perubahan, yang maksudnya berbeda dengan ketentuan peralihan dari Peraturan
           Perundang-undangan yang diubah.
196. Jika dalam Peraturan Perundang-undangan ditambahkan atau disisipkan bab, bagian,
     paragraf, atau pasal baru, maka bab, bagian, paragraf, atau pasal baru tersebut
     dicantumkan pada tempat yang sesuai dengan materi yang bersangkutan.
     Contoh penyisipan bab:
     15. Di antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB IX A sehingga
           berbunyi sebagai berikut:
                                           BAB IX A
                          INDIKASI GEOGRAFI DAN INDIKASI ASAL

                                         Bagian Pertama
                                        Indikasi Geografi

                                           Pasal 79 A
            (1)    ...
            (2)    ...
            (3)    ...

                                           Pasal 79 B
           (1)   ...
           (2)   ...
           (3)   ...
      Contoh penyisipan pasal:




                                                                                                50
            9.     Di antara Pasal 128 dan Pasal 129 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 128 A
                   sehingga berbunyi sebagai berikut:
                   Pasal 128 A
                   Dalam hal terbukti adanya pelanggaran paten, hakim dapat memerintahkan
                   hasil-hasil pelanggaran paten tersebut dirampas untuk negara untuk
                   dimusnahkan.

197. Jika dalam 1 (satu) pasal yang terdiri dari beberapa ayat disisipkan ayat baru, penulisan ayat
     baru tersebut diawali dengan angka Arab sesuai dengan angka ayat yang disisipkan dan
     ditambah dengan huruf kecil a, b, c, yang diletakkan di antara tanda baca kurung.
     Contoh:
           10. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 18 disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (1a)
                 dan ayat (1b) sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
                                             Pasal 19
                   (1)    ....
                   (1a)   ....
                   (1b)   ....
                   (2)    ....


198. Jika dalam suatu Peraturan Perundang-undangan dilakukan penghapusan atas suatu bab,
     bagian, paragraf, pasal, atau ayat, maka urutan bab, bagian paragraf, pasal, atau ayat
     tersebut tetap dicantumkan dengan diberi keterangan dihapus.
     Contoh:
     9.    Pasal 16 dihapus
     10. Pasal 19 ayat (2) dihapus sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
                                            Pasal 18
            (1)   ...
            (2)   Dihapus
            (3)   ...


199. suatu perubahan Peraturan Perundang-undangan mengakibatkan:
     a.     sistematika Peraturan Perundang-undangan berubah;
     b.     materi Peraturan Perundang-undangan berubah lebih dari 50% (lima puluh persen);
           atau
     c.    esensinya berubah,
     Peraturan Perundang-undangan yang diubah tersebut lebih baik dicabut dan disusun
     kembali dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru mengenai masalah tersebut.
200. Jika suatu Peraturan Perundang-undangan telah sering mengalami perubahan sehingga
     menyulitkan pengguna Peraturan Perundang-undangan, sebaiknya Peraturan Perundang-
     undangan tersebut disusun kembali dalam naskah sesuai dengan perubahan-perubahan
     yang telah dilakukan, dengan mengadakan penyesuaian pada:
     urutan bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, angka, atau butir;
     penyebutan-penyebutan, dan
     ejaan, jika Peraturan Perundang-undangan yang diubah masih tertulis dalam ejaan lama.
201. Penyusunan kembali sebagaimana dimaksud pada Nomor 199 butir a dilaksanakan oleh
     Presiden dengan mengeluarkan suatu penetapan yang berbunyi sebagai berikut:
     Contoh:




                                                                                                51
                          PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
                                    NOMOR ... TAHUN ...
                                         TENTANG
                               PENYUSUNAN KEMBALI NASKAH
                             UNDANG-UNDANG NOMOR... TAHUN...
                                         TENTANG
                                      ......................

                                 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


     Menimbang:     bahwa untuk mempermudah pemahaman materi yang diatur dalam Undang-
                    Undang Nomor ... Tahun ... tentang... sebagaimana telah diubah beberapa
                    kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor ... Tahun ... tentang Perubahan
                    Undang-Undang Nomor ... Tahun...tentang ... perlu menyusun kembali
                    naskah Undang-Undang tersebut dengan memperhatikan segala perubahan
                    yang telah diadakan;


     Mengingat:     Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
                    1945;


                                           MEMUTUSKAN:

     Menetapkan:
     KESATU:      Naskah Undang-Undang Nomor...Tahun...tentang...yang telah beberapa kali diubah,
                  terakhir dengan Undang-Undang Nomor ... Tahun ... tentang ... dan dengan
                  mengadakan penyesuaian mengenai urutan bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, angka
                  dan butir serta penyebutan-penyebutannya dan ejaan-ejaannya, berbunyi sebagai
                  tercantum dalam Lampiran Peraturan Presiden ini.
     KEDUA:       Peraturan Presiden ini dengan lampirannya ditempatkan dalam Lembaran Negara
                  Republik Indonesia.
     KETIGA:      Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENJADI
     UNDANG-UNDANG
202. Batang tubuh Undang-Undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-
     undang (Perpu) menjadi undang-undang pada dasarnya terdiri dari 2 (dua) pasal, yang
     ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut:
     a.      Pasal 1 memuat penetapan Perpu menjadi undang-undang yang diikuti dengan
             pernyataan melampirkan Perpu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan
             undang-undang penetapan yang bersangkutan.
     b.      Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlaku.
             Contoh:
                                               Pasal 1
             Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
             Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Lembaran Negara Republik Indonesia
             Tahun 2002 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ... )
             ditetapkan menjadi Undang-Undang, dan melampirkannya sebagai bagian yang tidak
             terpisahkan dari Undang-Undang ini.




                                                                                           52
                                              Pasal 2
            Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNATIONAL
203. Batang tubuh Undang-Undang tentang pengesahan perjanjian internasional pada dasarnya
     terdiri atas 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut:
     a.      Pasal 1 memuat pengesahan perjanjian internasional dengan memuat pernyataan
             melampirkan salinan naskah aslinya atau naskah asli bersama dengan terjemahannya
             dalam bahasa Indonesia.
     b.      Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlaku.
             Contoh untuk perjanjian multilateral:
                                                   Pasal 1
             Mengesahkan Convention on the Prohibition of the Development, Production,
             Stockpiling and Use of Chemical Weapon and on Their Destruction (Konvensi tentang
             Pelanggaran Pengembangan, Produksi, Penimbunan, dan Penggunaan Senjata Kimia
             serta Pemusnahannya) yang naskah aslinya dalam bahasa Inggris dan
             terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan
             bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

                                              Pasal 2
            Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

            Contoh untuk perjanjian bilateral yang menggunakan dua bahasa:
                                                 Pasal 1
            Mengesahkan Perjanjian Kerjasama antara Republik Indonesia dan Australia
            Mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Treaty between the Republic
            of Indonesia and Australia on Mutual Assistance in Criminal Matters) yang telah
            ditandatangani pada tanggal 27 Oktober 1995 di Jakarta yang salinan naskah aslinya
            dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak
            terpisahkan dari Undang-Undang ini.

                                              Pasal 2
            Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

            Contoh untuk perjanjian bilateral yang menggunakan lebih dari dua bahasa:
                                                 Pasal 1
            Mengesahkan Persetujuan antara Republik Indonesia dan Pemerintah Hongkong
            untuk Penyerahan Pelanggar Hukum yang Melarikan Diri (Agreement the Government
            of the Republic of Indonesia and the Government of Hongkong for the Surrender of
            Fugitive Offenders) yang telah ditandatangani pada tanggal 5 Mei 19977 di Hongkong
            yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa
            Cina sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
            Undang-Undang ini.

                                              Pasal 2
            Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan

204. Cara penulisan rumusan Pasal 1 bagi pengesahan perjanjian atau persetujuan internasional
     dilakukan dengan Undang-Undang berlaku juga bagi pengesahan perjanjian atau
     persetujuan internasional yang dilakukan dengan Peraturan Presiden.




                                                                                            53
                                   BAB III
                 RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A.   BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
205. Bahasa Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya tunduk kepada kaidah tata Bahasa
     Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan,
     maupun pengejaannya, namun demikian bahasa Peraturan Perundang-undangan
     mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian,
     kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum.
     Contoh:
                                                 Pasal 34
     Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati setia dan memberi bantuan
           lahir batin yang satu kepada yang lain.

     Rumusan yang lebih baik:
     (1) Suami isteri wajib saling mencintai, menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir
         batin.

206. Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Perundang-undangan digunakan kalimat yang
     tegas, jelas, singkat, dan mudah dimengerti.
     Contoh:
                                              Pasal 5
     (1)   Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud
           dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai
           berikut:

     Rumusan yang lebih baik:
     (1) Permohonan berisi lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
         harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

207. Hindarkan penggunaan kata atau frase yang artinya kurang menentu atau konteksnya dalam
     kalimat kurang jelas.
     Contoh:
     Istilah minuman keras mempunyai makna yang kurang jelas dibandingkan dengan istilah
     minuman beralkohol.

208. Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Perundang-undangan, gunakan kaidah tata
     bahasa Indonesia yang baku.
     Contoh kalimat yang tidak baku:
     (1)  Rumah itu pintunya putih.
     (2)  Pintu rumah itu warnanya putih.
     (3)  Izin usaha perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
          Pasal 6 dapat dicabut.

     Contoh kalimat yang baku:
     (1)  Rumah itu mempunyai pintu (yang berwarna) putih.
     (2)  Pintu ramah itu (berwarna) putih.
          Warna pintu rumah itu putih.




                                                                                              54
      (3)   Perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat
            dicabut izin usahanya.

209. Untuk memberikan perluasan pengertian kata atau istilah yang sudah diketahui umum tanpa
     membuat definisi baru, gunakan kata meliputi.
     Contoh:
     6.    Pejabat negara meliputi direksi badan usaha milik negara dan direksi badan usaha
           milik daerah.

210. Untuk mempersempit pengertian kata istilah isilah yang sudah diketahui umum tanpa
     membuat definisi baru, gunakan kata tidak meliputi.
     Contoh:
     5.    Anak buah kapal tidak meliputi koki magang.

211. Hindari pemberian arti kepada kata atau frase yang maknanya terlalu menyimpang dari
     makna yang biasa digunakan dalam penggunaan bahasa sehari-hari.
     Contoh:
     3.    Pertanian meliput pula perkebunan, peternakan, dan perikanan.

      Rumusan yang baik:
      3.  Pertanian meliputi perkebunan.

212. Di dalam Peraturan Perundang-undangan yang sama hindari penggunaan:
     a.    beberapa istilah yang berbeda untuk menyatakan satu.
           Contoh:
           Istilah gaji, upah, atau pendapatan dapat menyatakan pengertian penghasilan. Jika
           untuk menyatakan penghasilan, dalam suatu pasal telah digunakan kata gaji maka
           dalam pasal-pasal selanjutnya jangan menggunakan kata upah atau pendapatan
           untuk menyatakan pengertian penghasilan.
     b.    satu istilah untuk beberapa pengertian yang berbeda.
           Contoh:
           Istilah penangkapan tidak digunakan untuk meliputi pengertian penahanan atau
           pengamanan karena pengertian penahanan tidak sama dengan pengertian
           pengamanan.

213. Jika membuat pengacuan ke pasal atau ayat lain, sedapat mungkin dihindari penggunaan
     frase tanpa mengurangi, dengan tidak mengurangi, atau tanpa menyimpang dari.
214. Jika kata atau frase tertentu digunakan berulang-ulang maka untuk menyederhanakan
     rumusan dalam peraturan perundang-undangan, kata atau frase sebaiknya didefinisikan
     dalam pasal yang memuat arti kata, istilah, pengertian, atau digunakan singkatan atau
     akronim.
     Contoh:
     a.     Menteri adalah Menteri Keuangan.
     b.     Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara yang selanjutnya disebut Komisi
            Pemeriksa adalah...
     c.     Tentara Nasional Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat TNI adalah...
     d.     Asuransi Kesehatan yang selanjutnya disingkat ASKES.




                                                                                               55
215. Jika dalam peraturan pelaksanaan dipandang perlu mencantumkan kembali definisi atau
     batasan pengertian yang terdapat dalam Peraturan Perundang-undangan yang
     dilaksanakan, rumusan definisi atau batasan pengertian tersebut hendaknya tidak berbeda
     dengan rumusan definisi atau batasan pengertian yang terdapat dalam Peraturan
     Perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut.
216. Untuk menghindari perubahan nama suatu departemen, penyebutan menteri sebaiknya
     menggunakan penyebutan yang didasarkan pada tugas dan tanggung jawab di bidang yang
     bersangkutan.
     Contoh:
     Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang...(misalnya, bidang
     ketenagakerjaan)

217. Penyerapan kata atau frase bahasa asing yang banyak dipakai dan telah disesuaikan
     ejaannya dengan kaidah Bahasa Indonesia dapat digunakan, jika kata atau frase tersebut:
     a.    mempunyai konotasi yang cocok;
     b.    lebih singkat bila dibandingkan dengan padanannya dalam Bahasa Indonesia;
     c.    mempunyai corak internasional;
     d.    lebih mempermudah tercapainya kesepakatan; atau
     e.    lebih mudah dipahami daripada terjemahannya dalam Bahasa Indonesia.
     Contoh:
     (1)   devaluasi (penurunan nilai uang)
     (2)   devisa (alat pembayaran luar negeri)

218. Penggunaan kata atau frase bahasa asing hendaknya hanya digunakan di dalam penjelasan
     peraturan perundang-undangan. Kata atau frase bahasa asing itu didahului oleh
     padanannya dalam Bahasa Indonesia, ditulis miring, dan diletakkan di antara tanda baca
     kurung.
     Contoh:
     (1)   penghinaan terhadap peradilan (contempt of court)
     (2)   penggabungan (merger)

B.   PILIHAN KATA ATAU ISTILAH
219. Untuk menyatakan pengertian maksimum dan minimum dalam menentukan ancaman
     pidana atau batasan waktu yang digunakan kata paling.
     Contoh:
     ... dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun, atau pidana penjara paling
     lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)
     dan paling banyak Rp 1 .000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

220. Untuk menyatakan maksimum dan minimum bagi satuan:
     a.    waktu, gunakan frase paling singkat atau paling lama;
     b.    jumlah uang, gunakan frase paling sedikit atau paling banyak;
     c.    jumlah non-uang, gunakan frase paling rendah dan paling tinggi;

221. Untuk menyatakan makna tidak termasuk, gunakan kata kecuali. Kata kecuali
     ditempatkan di awal kalimat, jika yang dikecualikan adalah seluruh kalimat.
     Contoh:
     Kecuali A dan B, setiap orang wajib memberikan kesaksian di depan sidang pengadilan.




                                                                                                56
222. Kata kecuali ditempatkan langsung di belakang suatu kata, jika yang akan dibatasi hanya
     kata yang bersangkutan.
     Contoh:
     Yang dimaksud dengan anak buah kapal adalah mualim, juru mudi, pelaut, dan koki, kecuali
     koki magang.

223. Untuk menyatakan makna termasuk, gunakan kata selain.
     Contoh:
     Selain wajib memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam Pasal 7, pemohon wajib
     membayar biaya pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.

224. Untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan, digunakan kata jika, apabila,
     atau frase dalam hal.
     a.     Kata jika digunakan untuk menyatakan suatu hubungan kausal (pola karena-maka).
            Contoh:
            Jika suatu perusahaan melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
            izin perusahaan tersebut dapat dicabut.
     b.     Kata apabila digunakan untuk menyatakan hubungan kausal yang mengandung
            waktu.
            Contoh:
            Apabila anggota Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti dalam masa jabatannya
            karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), yang bersangkutan
            digantikan oleh anggota pengganti sampai habis masa jabatannya.
     c.     Frase dalam hal digunakan untuk menyatakan suatu kemungkinan, keadaan atau
            kondisi yang mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi (pola kemungkinan-maka).
            Contoh:
            Dalam hal Ketua tidak dapat hadir, sidang dipimpin oleh Wakil Ketua.

225. Frase pada saat digunakan untuk menyatakan suatu keadaan yang pasti akan terjadi di
     masa depan.
     Contoh:
     Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab
     Undang-Undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku.

226. Untuk menyatakan sifat kumulatif, digunakan kata dan.
     Contoh:
     A dan B dapat menjadi ...

227. Untuk menyatakan sifat alternatif, digunakan kata atau.
     Contoh:
     A atau B wajib memberikan...

228. Untuk menyatakan sifat kumulatif sekaligus alternatif, gunakan frase dan/atau.
     Contoh:
     A dan/atau B dapat memperoleh...

229. Untuk menyatakan adanya suatu hak, gunakan kata berhak.
     Contoh:




                                                                                           57
      Setiap orang berhak mengemukakan pendapat di muka umum.

230. Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau lembaga gunakan kata
     berwenang.
     Contoh:
     Presiden berwenang menolak atau mengabulkan permohonan grasi.

231. Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seorang
     atau lembaga, gunakan kata dapat.
     Contoh:
     Menteri dapat menolak atau mengabulkan permohonan pendaftaran paten.

232. Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan, gunakan kata wajib. Jika
     kewajiban tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan akan dijatuhi sanksi hukum menurut
     hukum yang berlaku.
     Contoh:
     Untuk membangun rumah, seseorang wajib memiliki izin mendirikan bangunan.

233. Untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan tertentu, gunakan kata
     harus. Jika keharusan tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan tidak memperoleh
     sesuatu yang seharusnya akan didapat seandainya ia memenuhi kondisi atau persyaratan
     tersebut.
     Contoh:
     Untuk memperoleh izin mendirikan bangunan, seseorang harus memenuhi syarat-syarat
     sebagai berikut:

234. Untuk menyatakan adanya larangan, gunakan kata dilarang.

C.   TEKNIK PENGACUAN
235. Pada dasarnya setiap pasal merupakan suatu kebulatan pengertian tanpa mengacu ke
     pasal atau ayat lain. Namun untuk menghindari pengulangan rumusan dapat digunakan
     teknik pengacuan.
236. Teknik pengacuan dilakukan dengan menunjuk pasal atau ayat dari Peraturan Perundang-
     undangan yang bersangkutan atau Peraturan Perundang-undangan yang lain dengan
     menggunakan frase sebagaimana dimaksud dalam Pasal ... atau sebagaimana
     dimaksud pada ayat.
     Contoh:
     a.     Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2)...
     b.     Izin sebagaimana dimaksud pada ayat ( 3 ) berlaku pula...

237. Pengacuan dua atau lebih terhadap pasal atau ayat yang berurutan tidak perlu menyebutkan
     pasal demi pasal atau ayat demi ayat yang diacu tetapi cukup dengan menggunakan frase
     sampai dengan.
     Contoh:
     a.    ... sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12.
     b.    ... sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) sampai dengan ayat (4).

238. Pengacuan dua atau lebih terhadap pasal atau ayat yang berurutan, tetapi ada ayat dalam
     salah satu pasal yang dikecualikan, pasal atau ayat yang tidak ikut diacu dinyatakan dengan
     kata kecuali.




                                                                                              58
      Contoh:
      a.   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 berlaku
           juga bagi calon hakim, kecuali Pasal 7 ayat (1).
      b.   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) berlaku juga
           bagi tahanan kecuali ayat (4) huruf a.

239. Kata Pasal ini tidak perlu digunakan jika ayat yang diacu merupakan salah satu ayat dalam
     pasal yang bersangkutan.
     Contoh:
                                                Pasal 8
     (1)   ...
     (2)   Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini berlaku untuk 60 (enam puluh)
           hari.

240. Jika ada dua atau lebih pengacuan, urutan dari pengacuan dimulai dari ayat dalam pasal
     yang bersangkutan (Jika ada), kemudian diikuti dengan pasal atau ayat yang angkanya lebih
     kecil.
     Contoh:
                                               Pasal 15
     (1)    ...
     (2)    ...
     (3)    Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pasal 7 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 12,
            dan Pasal 13 ayat (3) diajukan kepada Menteri Pertambangan.

241. Pengacuan sedapat mungkin dilakukan dengan mencantumkan pula secara singkat materi
     pokok yang diacu.
     Contoh:
     Izin penambangan batu bara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 diberikan oleh...

242. Pengacuan hanya dapat dilakukan ke Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya
     sama atau lebih tinggi.
243. Hindari pengacuan ke pasal atau ayat yang terletak setelah pasal atau ayat yang
     bersangkutan.
     Contoh:
                                              Pasal
     Permohonan izin pengelolaan hutan wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dibuat
     dalam rangkap 5 (lima).

244. Pengacuan dilakukan dengan menyebutkan secara tegas nomor dari pasal atau ayat yang
     diacu dan dihindarkan pengguna frase pasal yang terdahulu atau pasal tersebut di atas.
245. Pengacuan untuk menyatakan berlakunya berbagai ketentuan peraturan perundang-
     undangan yang tidak disebutkan secara rinci, menggunakan frase sesuai dengan
     ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
246. Untuk menyatakan bahwa (berbagai) peraturan pelaksanaan dari suatu Peraturan
     Perundang-undangan masih diberlakukan atau dinyatakan berlaku selama belum diadakan
     penggantian dengan Peraturan Perundang-undangan yang baru, gunakan frase berlaku
     sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam (Jenis peraturan yang
     bersangkutan).




                                                                                            59
247. Jika Peraturan Perundang-undangan yang dinyatakan masih tetap berlaku hanya sebagian
     dari ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, gunakan frase tetap berlaku,
     kecuali...
     Contoh:
     Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor...Tahun... (Lembaran
     Negara Republik Indonesia Tahun...Nomor..., Tambahan Lembaran Negara Republik
     Indonesia Nomor...) tetap berlaku kecuali Pasal 5 sampai dengan Pasal 10.

                                  BAB IV
              BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A.   BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG

                          UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                              NOMOR...TAHUN...TENTANG

                                    (Nama Undang-Undang)

                          DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                               PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang:    a.   bahwa...;
              b.   bahwa...;
              c.   dan seterusnya...;


Mengingat:    1.   ...;
              2.   ...;
              3.   dan seterusnya...;


                                 Dengan Persetujuan Bersama

                   DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
                                      dan
                          PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

                                        MEMUTUSKAN:


Menetapkan:   UNDANG-UNDANG TENTANG...(nama undang-undang).


                                            BAB I
                                             ...
                                           Pasal 1
                                             ...
                                           BAB II




                                                                                       60
                                             ...
                                           Pasal ...
                                  BAB ... (dan seterusnya)
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


                                                       Disahkan di Jakarta
                                                       pada tanggal ...
                                                       PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
                                                                  (tanda tangan)
                                                                     (NAMA)


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal...
MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan)
(tanda tangan)
(NAMA)

             LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN...NOMOR...

B.   RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH
     PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENJADI UNDANG-UNDANG

                       UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                                NOMOR...TAHUN...
                                     TENTANG
                   PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
                        UNDANG-UNDANG NOMOR...TAHUN...
                       TENTANG ... MENJADI UNDANG-UNDANG

                         DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                              PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang:   a.   bahwa...;
             b.   bahwa...;
             c.   dan seterusnya...;


Mengingat:   1.   ...;
             2.   ...;
             3.   dan seterusnya...;


                            Dengan Persetujuan Bersama
                   DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PEPUBLIK INDONESIA




                                                                                       61
                                          dan
                              PRESIDEN REPUBLIK INDONIESIA

                                        MEMUTUSKAN:


Menetapkan:   UNDANG-UNDANG TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH
              PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR...TAHUN...TENTANG... MENJADI
              UNDANG-UNDANG.


                                          Pasal 1
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor ... Tahun ... tentang ... (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor ..., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor ...) ditetapkan menjadi Undang-Undang dan melampirkannya sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari Undang-Undang ini.

                                          Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


                                                              Disahkan di Jakarta
                                                              pada tanggal ...
                                                              PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
                                                                         (tanda tangan)
                                                                            (NAMA)


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal ...
MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan)
(tanda tangan)
(NAMA)

              LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN...NOMOR...

C.   RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
     YANG TIDAK MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU
     BAHASA RESMI

                          UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                                       NOMOR...TAHUN...
                                            TENTANG
                                   PENGESAHAN KONVENSI...
       (bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasi dan diikuti dengan bahasa Indonesia
                                         sebagai terjemahannya)

                         DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA




                                                                                                 62
                                PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang:    a.   bahwa ...;
              b.   bahwa ...;
              c.   dan seterusnya...;


Mengingat:    1.   ...;
              2.   ...;
              3.   dan seterusnya...;


                             Dengan Persetujuan Bersama
                    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
                                        dan
                           PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

                                         MEMUTUSKAN:


Menetapkan:    UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN KONVENSI ...
               (bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasi dan diikuti dengan bahasa
               Indonesia sebagai terjemahannya).


                                            Pasal 1
(1)   Mengesahkan Konvensi...(bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasikan dan diikuti
      dengan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya) ... dengan Reservation (Pensyaratan)
      terhadap Pasal...tentang...
(2)   Salinan naskah asli Konvensi...(bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasikan dan
      diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya)...dengan Reservation
      (Pensyaratan) terhadap Pasal...tentang...dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam
      bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
      Undang-Undang ini.

                                          Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


                                                              Disahkan di Jakarta
                                                              pada tanggal...
                                                              PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
                                                                          (tanda tangan)
                                                                             (NAMA)


Diundangkan di Jakarta




                                                                                                   63
Pada tanggal...
MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan)
(tanda tangan)
(NAMA)

              LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN...NOMOR...

D.   BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG

                            UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                                        NOMOR...TAHUN...
                                            TENTANG
                             PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
                                  NOMOR...TAHUN...TENTANG
                                    (untuk perubahan pertama)
                                               atau
                          PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG
                                 NOMOR...TAHUN...TENTANG...
                             (untuk perubahan kedua, dan seterusnya)

                           DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                               PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang:    a.   bahwa...;
              b.   bahwa...;
              c.   dan seterusnya...;


Mengingat:    1.   ...;
              2.   ...;
              3.   dan seterusnya...;


                            Dengan Persetujuan Bersama
                   DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
                                       dan
                          PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

                                        MEMUTUSKAN:


Menetapkan:   UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
              NOMOR...TAHUN...TENTANG...


                                           Pasal I




                                                                                    64
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor...Tahun...tentang...(Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun...Nomor..., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor...),
diubah sebagai berikut:
1.    Ketentuan Pasal...(bunyi rumusan tergantung keperluan), dan seterusnya.

                                          Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


                                                         Disahkan di Jakarta
                                                         pada tanggal ...
                                                         PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
                                                                    (tanda tangan)
                                                                       (NAMA)


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal...
MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan)
(tanda tangan)
(NAMA)

             LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ...

E.   BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENCABUTAN UNDANG-UNDANG

                        UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                                NOMOR... TAHUN...
                                      TENTANG
                    PENCABUTAN UNDANG-UNDANG NOMOR... TAHUN...
                          TENTANG ... (Nama Undang-Undang)

                          DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                               PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang:    a.   bahwa...;
              b.   bahwa...;
              c.   dan seterusnya...;


Mengingat:    1.   ...;
              2.   ...;
              3.   dan seterusnya ...;




                                                                                        65
                            Dengan Persetujuan Bersama
                   DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
                                       dan
                          PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

                                       MEMUTUSKAN:


Menetapkan:   UNDANG-UNDANG TENTANG PENCABUTAN UNDANG-UNDANG NOMOR ...
              TAHUN ... TENTANG ....


                                           Pasal 1
Undang-Undang Nomor ... Tahun ... tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ...
Nomor ...., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor...) dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku (bagi Undang-Undang yang sudah berlaku) atau ditarik kembali dan dinyatakan tidak
berlaku (bagi Undang-Undang yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku).

                                          Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


                                                           Disahkan di Jakarta
                                                           pada tanggal ...
                                                           PRESIDEN REPUBLIK ENDONESIA,
                                                                      (tanda tangan)
                                                                          (NAMA)


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal ...
MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan)
(tanda tangan)
(NAMA)

              LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN...NOMOR...

F.    BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENCABUTAN PERATURAN
      PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

                     UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                              NOMOR...TAHUN...
                                  TENTANG
                     PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH
              PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR...TAHUN...TENTANG...

                        DENGAN RAHMAT TUHAN YANUGMAHA ESA




                                                                                             66
                               PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang:    a.   bahwa...;
              b.   bahwa...;
              c.   dan seterusnya...;


Mengingat:    1.   ...;
              2.   ...;
              3.   dan seterusnya...;


Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:


Menetapkan:    UNDANG-UNDANG NOMOR...TAHUN...TENTANG PENCABUTAN PERATURAN
               PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR ...
               TAHUN...TENTANG...


                                               Pasal I
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor...Tahun...(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun...Nomor..., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ... ) dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku (bagi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang sudah
berlaku) atau ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku (bagi Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku).

                                          Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


                                                            Disahkan di Jakarta
                                                            pada tanggal ...
                                                            PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
                                                                       (tanda tangan)
                                                                          (NAMA)


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal ...
MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan Perundang-undangan)
(tanda tangan)
(NAMA)




                                                                                             67
              LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN...NOMOR...

G.   RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

                                PERATURAN PEMERINTAH
                    PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                                    NOMOR...TAHUN...
                                        TENTANG
                    (Nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang)

                          DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                               PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang:    a.   bahwa...;
              b.   bahwa...;
              c.   dan seterusnya...;


Mengingat:    1.   ...;
              2.   ...;
              3.   dan seterusnya...;


                                        MEMUTUSKAN:


Menetapkan:   PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TENTANG ....
              (Nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang).


                                             BAB I
                                              ...
                                            Pasal 1
                                              ...
                                             BAB II
                                              ...
                                            Pasal ...

                                              BAB
                                        (dan seterusnya)

                                          Pasal 2
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.




                                                                                   68
                                                       Ditetapkan di Jakarta
                                                       pada tanggal ...
                                                       PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
                                                                  (tanda tangan)
                                                                     (NAMA)


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal ...
MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan)
(tanda tangan)
(NAMA)

              LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN...NOMOR...

H.       BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH

                          PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
                                      NOMOR...TAHUN...
                                          TENTANG
                                  (Nama Peraturan Pemerintah)

                            DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                                PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang:    a.   bahwa...;
              b.   bahwa...;
              c.   dan seterusnya


Mengingat:    1.   ...;
              2.   ...;
              3.   dan seterusnya...;


                                        MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG (nama Peraturan Pemerintah).

BAB I
...
Pasal 1

BAB II




                                                                                    69
Pasal...

BAB...
(dan seterusnya)

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


                                                        Ditetapkan di Jakarta
                                                        pada tanggal ...
                                                        PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
                                                                   (tanda tangan)
                                                                      (NAMA)


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal ...
MENTERI (yang tugas dan tanggung Jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan)
(tanda tangan)
(NAMA)

              LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN...NOMOR...

I.    BENTUK RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN

                          PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
                                     NOMOR...TAHUN...
                                         TENTANG
                                  (nama Peraturan Presiden)

                           DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                               PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang:    a.   bahwa...;
              b.   bahwa...;
              c.   dan seterusnya...;


Mengingat:    1.   ...;
              2.   ...;
              3.   dan seterusnya...;


                                        MEMUTUSKAN:




                                                                                       70
Menetapkan:   PERATURAN PRESIDEN TENTANG (nama Peraturan Presiden).


                                              BAB I
                                               ...
                                             Pasal 1

                                             BAB II
                                               ...
                                             Pasal...

                                              BAB...
                                         (dan seterusnya)

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Presiden ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


                                                            Ditetapkan di Jakarta
                                                            pada tanggal...
                                                            PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
                                                                       (tanda tangan)
                                                                          (NAMA)


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal...
MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan)
(tanda tangan)
(NAMA)

              LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN...NOMOR...

J.   BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI

                      PERATURAN DAERAH PROVINSI... (Nama Provinsi)
                                  NOMOR...TAHUN...
                                     TENTANG
                               (nama Peraturan Daerah)

                         DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                               GUBERNUR PROVINSI (Nama Provinsi),


Menimbang:    a.   bahwa...;
              b.   bahwa...;
              c.   dan seterusnya...;




                                                                                        71
Mengingat:     1.   ...;
               2.   ...;
               3.   dan seterusnya ...


                                   Dengan Persetujuan Bersama
                           DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI
                                        (Nama Provinsi)
                                              dan
                                   GUBERNUR... (Nama Provinsi)

                                          MEMUTUSKAN:


Menetapkan:     PERATURAN DAERAH TENTANG ... (nama Peraturan Daerah Provinsi).


                                              BAB I
                                         KETENTUAN UMUM

                                              Pasal I

                                              BAB II
                                               ...

                                              Pasal ...

                                               BAB ...
                                          (dan seterusnya)

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Provinsi ... (Nama Provinsi).


                                                          Ditetapkan di....
                                                          pada tanggal...
                                                          GUBERNUR PROVINSI ... (Nama Provinsi)
                                                                         (tanda tangan)
                                                                              (NAMA)


Diundangkan di ...
pada tanggal ...
SEKRETARIS DAERAH ... (Nama Provinsi)

             LEMBARAN DAERAH PROVINSI ... (Nama Provinsi) TAHUN ... NOMOR ...




                                                                                            72
K.       BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

              PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA ... (nama kabupaten/kota)
                               NOMOR ... TAHUN ...
                                   TENTANG
                             (nama Peraturan Daerah)

                          DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                          BUPATI/WALIKOTA (nama kabupaten/kota),


Menimbang:    a.   bahwa...;
              b.   bahwa...;
              c.   dan seterusnya


Mengingat:    1.   ...;
              2.   ...;
              3.   dan seterusnya


                            Dengan Persetujuan Bersama
               DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN/KOTA...
                               (nama kabupaten/kota)
                                       dan
                      BUPATI/WALIKOTA.... (nama kabupaten/kota)

                                       MEMUTUSKAN:


Menetapkan:    PERATURAN DAERAH TENTANG...(nama Peraturan Daerah Kabupaten/Kota).


                                          BAB I
                                     KETENTUAN UMUM

Pasal I
...

BAB II
...

Pasal...

BAB...
(dan seterusnya)

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.




                                                                                    73
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten/Kota ... (nama kabupaten/kota).


                                               Ditetapkan di....
                                               pada tanggal...
                                               BUPATI/WALIKOTA ... (nama kabupaten/kota)
                                                                   (tanda tangan)
                                                                      (NAMA)


Diundangkan di ...
pada tanggal ...
SEKRETARIS DAERAH ... (Nama Kabupaten/Kota)
(tanda tangan)
(NAMA)

  LEMBARAN DAERAH KABUPATEN/KOTA ... (Nama kabupaten/Kota) TAHUN ... NOMOR ...



                            PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
                                        Ttd.
                             MEGAWATI SOEKARNOPUTRI




                                                                                         74


Silahkan download versi PDF nya sbb:
pembentukan_peraturan_peran_(uu_10_thn_2004)_10.pdf
(ogi/Carapedia)
Pencarian Terbaru

Program legislasi nasional ditetapkan berdasarkan skala prioritas yang ada artinya. Proses pembuatan peraturan perundang undangan dimulai dari perencanaan dan diakhiri dengan. Program legislasi nasional ditetapkan berdasarkan skala prioritas artinya. Program legislasi nasional ditetapkan berdasarkan skala prioritas artinya adalah. Apakah maksud para pembentak uu mengeluarkan uu 26 thn 2000 pengadilan ham. Proses pembuatan peraturan perundang undangan dimulai dari perencanaan dan diakhiri. Program legislasi nasional ditetapkan berdasarkan skala prioritas yg ada. artinya.

Program legislasi nasional dite. Program legislasi nasional di tetapkan berdasarkan skala prioritas yang ada artinya. Program legislasi nasional ditetapkan berdasarkan skala prioritas yang ada artinya adalah. Proses pembuatan peraturan perundang undangan di mulai dari perencanaan dan diakhiri dengan. Program legislasi nasional ditetapkan berdasarkan skala prioritas artinya..... Proses pembuatan peraturan perundang undangan yang dimulai dari perencanaan dan diakhiri dengan. N0m0r dan tahun pasal 22a.

Program legilasi nasional ditetapkan berdasarkan skala prioritas artinya.

Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.
FIND US ON FACEEBOOK