Previous
Next

2009

Undang-Undang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (UU 28 thn 2009)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah :
                   UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

                          NOMOR 28 TAHUN 2009

                                 TENTANG

                   PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

               DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                      PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


              a.    bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan
Menimbang :
                    negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-
                    Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
                    bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa
                    yang aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan;
              b.    bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
                    32   Tahun    2004    tentang  Pemerintahan     Daerah
                    sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
                    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
                    Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
                    2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang
                    Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
                    antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, maka
                    penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan
                    memberikan kewenangan yang seluas-luasnya, disertai
                    dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan
                    otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan
                    pemerintahan negara;
              c.    bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan
                    salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna
                    membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah;
              d.    bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada
                    masyarakat dan kemandirian daerah, perlu dilakukan
                    perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah dan
                    pemberian diskresi dalam penetapan tarif;
              e.    bahwa kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah
                    dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan
                    dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas
                    dengan memperhatikan potensi daerah;

                                                               f. bahwa . . .
                                      -2-

                 f.   bahwa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang
                      Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah
                      diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000
                      tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun
                      1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, perlu
                      disesuaikan dengan kebijakan otonomi daerah;
                 g.   bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
                      dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan
                      huruf f, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pajak
                      Daerah dan Retribusi Daerah;

Mengingat      : Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20 ayat
                 (2), Pasal 22D, dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara
                 Republik Indonesia Tahun 1945;

                          Dengan Persetujuan Bersama

            DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

                                      dan

                        PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

                                MEMUTUSKAN:


Menetapkan :    UNDANG-UNDANG TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI
                DAERAH.



                                      BAB I
                               KETENTUAN UMUM


                                     Pasal 1
                Dalam Undang-Undang ini, yang dimaksud dengan:
                1.    Daerah Otonom, yang selanjutnya disebut Daerah, adalah
                      kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas
                      wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
                      pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
                      menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
                      dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.


                                                            2. Pemerintah . . .
                      -3-

2.   Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah,
     adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
     kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
     sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
     Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3.   Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan
     pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan
     Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan
     Tugas Pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya
     dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
     Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
     Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4.   Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau
     walikota,  dan   perangkat   Daerah sebagai unsur
     penyelenggara Pemerintahan Daerah.
5.   Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya
     disingkat DPRD, adalah lembaga perwakilan rakyat daerah
     sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
6.   Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau
     bupati bagi Daerah kabupaten atau walikota bagi Daerah
     kota.
7.   Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang
     perpajakan daerah dan/atau retribusi daerah sesuai
     dengan peraturan perundang-undangan.
8.   Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan
     yang dibentuk oleh DPRD provinsi dan/atau daerah
     kabupaten/kota dengan persetujuan bersama Kepala
     Daerah.
9.   Peraturan Kepala Daerah adalah Peraturan Gubernur
     dan/atau Peraturan Bupati/Walikota.
10. Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah
    kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang
    pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
    Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
    secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah
    bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.


                                                 11. Badan . . .
                     -4-

11. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang
    merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha
    maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
    perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
    lainnya, badan usaha milik negara (BUMN), atau badan
    usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam
    bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
    persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
    organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga
    dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi
    kolektif dan bentuk usaha tetap.
12. Pajak Kendaraan Bermotor adalah pajak atas kepemilikan
    dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
13. Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda
    beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan
    darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor
    atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah
    suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak
    kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-
    alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya
    menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara
    permanen serta kendaraan bermotor yang dioperasikan di
    air.
14. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah pajak atas
    penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat
    perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan
    yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah,
    warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
15. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah pajak atas
    penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor.
16. Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah semua jenis
    bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk
    kendaraan bermotor.
17. Pajak Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan
    dan/atau pemanfaatan air permukaan.
18. Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada
    permukaan tanah, tidak termasuk air laut, baik yang
    berada di laut maupun di darat.
19. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang
    dipungut oleh Pemerintah.


                                                20. Pajak . . .
                     -5-

20. Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan
    oleh hotel.
21. Hotel     adalah        fasilitas   penyedia         jasa
    penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya
    dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel,
    losmen,    gubuk     pariwisata,  wisma       pariwisata,
    pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta
    rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh).
22. Pajak Restoran adalah       pajak   atas   pelayanan   yang
    disediakan oleh restoran.
23. Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau
    minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga
    rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan
    sejenisnya termasuk jasa boga/katering.
24. Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan.
25. Hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan,
    permainan, dan/atau keramaian yang dinikmati dengan
    dipungut bayaran.
26. Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.
27. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang
    bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan
    komersial         memperkenalkan,         menganjurkan,
    mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum
    terhadap barang, jasa, orang, atau badan, yang dapat
    dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati
    oleh umum.
28. Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan
    tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun
    diperoleh dari sumber lain.
29. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas
    kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan,
    baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan
    bumi untuk dimanfaatkan.
30. Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah mineral bukan
    logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam
    peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan
    batubara.

                                                  31. Pajak . . .
                      -6-

31. Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat
    parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan
    dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai
    suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan
    kendaraan bermotor.
32. Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan
    yang tidak bersifat sementara.
33. Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau
    pemanfaatan air tanah.
34. Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah
    atau batuan di bawah permukaan tanah.
35. Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan
    pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
36. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga
    collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina,
    collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
37. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
    adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki,
    dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau
    Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan
    usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
38. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan
    perairan pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota.
39. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau
    dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan
    pedalaman dan/atau laut.
40. Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP,
    adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual
    beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat
    transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan
    harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan
    baru, atau NJOP pengganti.
41. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak
    atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
42. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah
    perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan
    diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh
    orang pribadi atau Badan.


                                                    43. Hak . . .
                    -7-

43. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas
    tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di
    atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di
    bidang pertanahan dan bangunan.
44. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat
    dikenakan Pajak.
45. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi
    pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak,
    yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai
    dengan    ketentuan   peraturan   perundang-undangan
    perpajakan daerah.
46. Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender
    atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan
    Kepala Daerah paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang
    menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung,
    menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.
47. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu)
    tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan
    tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
48. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada
    suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau
    dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan
    peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
49. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari
    penghimpunan data objek dan subjek pajak atau retribusi,
    penentuan besarnya pajak atau retribusi yang terutang
    sampai kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada
    Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan
    penyetorannya.
50. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya
    disingkat SPTPD, adalah surat yang oleh Wajib Pajak
    digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau
    pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek
    pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan
    ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
    daerah.
51. Surat Pemberitahuan Objek Pajak, yang selanjutnya
    disingkat SPOP, adalah surat yang digunakan oleh Wajib
    Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek Pajak Bumi
    dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sesuai dengan
    ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
    daerah.

                                               52. Surat . . .
                    -8-

52. Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat
    SSPD, adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak
    yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau
    telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui
    tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
53. Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat
    SKPD, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
    besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
54. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya
    disingkat SPPT, adalah surat yang digunakan untuk
    memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan
    Perdesaan dan Perkotaan yang terutang kepada Wajib
    Pajak.
55. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang
    selanjutnya disingkat SKPDKB, adalah surat ketetapan
    pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak,
    jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran
    pokok pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah
    pajak yang masih harus dibayar.
56. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan,
    yang selanjutnya disingkat SKPDKBT, adalah surat
    ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah
    pajak yang telah ditetapkan.
57. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, yang selanjutnya
    disingkat SKPDN, adalah surat ketetapan pajak yang
    menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan
    jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak
    ada kredit pajak.
58. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang
    selanjutnya disingkat SKPDLB, adalah surat ketetapan
    pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran
    pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada
    pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
59. Surat Tagihan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat
    STPD, adalah surat untuk melakukan tagihan pajak
    dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau
    denda.

                                               60. Surat . . .
                     -9-

60. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang
    membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau
    kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam
    peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang
    terdapat dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang,
    Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak
    Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah
    Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah
    Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat
    Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau
    Surat Keputusan Keberatan.
61. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas
    keberatan terhadap Surat Pemberitahuan Pajak Terutang,
    Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak
    Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah
    Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah
    Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, atau
    terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga
    yang diajukan oleh Wajib Pajak.
62. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak
    atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang
    diajukan oleh Wajib Pajak.
63. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang
    dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan
    informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
    penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan
    penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan
    menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan
    laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
64. Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi,
    adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa
    atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan
    dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk
    kepentingan orang pribadi atau Badan.
65. Jasa adalah kegiatan Pemerintah Daerah berupa usaha
    dan pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas, atau
    kemanfaatan lainnya yang dapat dinikmati oleh orang
    pribadi atau Badan.
66. Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan
    oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan
    kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang
    pribadi atau Badan.

                                                 67. Jasa . . .
                    - 10 -

67. Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan oleh Pemerintah
    Daerah dengan menganut prinsip-prinsip komersial karena
    pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
68. Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah
    Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi
    atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan,
    pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan,
    pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam,
    barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna
    melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian
    lingkungan.
69. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang
    menurut    peraturan   perundang-undangan       retribusi
    diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi,
    termasuk pemungut atau pemotong retribusi tertentu.
70. Masa Retribusi adalah suatu jangka waktu tertentu yang
    merupakan batas waktu bagi Wajib Retribusi untuk
    memanfaatkan jasa dan perizinan tertentu dari Pemerintah
    Daerah yang bersangkutan.
71. Surat Setoran Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat
    SSRD, adalah bukti pembayaran atau penyetoran retribusi
    yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau
    telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui
    tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
72. Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutnya
    disingkat SKRD, adalah surat ketetapan retribusi yang
    menentukan besarnya jumlah pokok retribusi yang
    terutang.
73. Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar, yang
    selanjutnya disingkat SKRDLB, adalah surat ketetapan
    retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran
    retribusi karena jumlah kredit retribusi lebih besar
    daripada retribusi yang terutang atau seharusnya tidak
    terutang.
74. Surat Tagihan Retribusi Daerah, yang selanjutnya
    disingkat STRD, adalah surat untuk melakukan tagihan
    retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga
    dan/atau denda.

                                          75. Pemeriksaan . . .
                          - 11 -

75. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun
    dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang
    dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan
    suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
    pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan retribusi
    dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
    ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
    daerah dan retribusi daerah.
76. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan
    retribusi adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh
    Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
    dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang
    perpajakan daerah dan retribusi yang terjadi serta
    menemukan tersangkanya.




                          BAB II
                          PAJAK


                   Bagian Kesatu
                     Jenis Pajak


                       Pasal 2
(1)   Jenis Pajak provinsi terdiri atas:
      a.   Pajak Kendaraan Bermotor;
      b.   Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
      c.   Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
      d.   Pajak Air Permukaan; dan
      e.   Pajak Rokok.
(2)   Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas:
      a.   Pajak Hotel;
      b.   Pajak Restoran;
      c.   Pajak Hiburan;
      d.   Pajak Reklame;
      e.   Pajak Penerangan Jalan;
      f.   Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;


                                                 g. Pajak . . .
                         - 12 -

      g.   Pajak Parkir;
      h.   Pajak Air Tanah;
      i.   Pajak Sarang Burung Walet;
      j.   Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;
           dan
      k.   Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
(3)   Daerah dilarang memungut pajak selain jenis Pajak
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4)   Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
      (2) dapat tidak dipungut apabila potensinya kurang
      memadai dan/atau disesuaikan dengan kebijakan Daerah
      yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(5)   Khusus untuk Daerah yang setingkat dengan daerah
      provinsi, tetapi tidak terbagi dalam daerah kabupaten/kota
      otonom, seperti Daerah Khusus Ibukota Jakarta, jenis
      Pajak yang dapat dipungut merupakan gabungan dari
      Pajak untuk daerah provinsi dan Pajak untuk daerah
      kabupaten/kota.


                   Bagian Kedua
             Pajak Kendaraan Bermotor


                         Pasal 3
(1)   Objek Pajak Kendaraan Bermotor adalah kepemilikan
      dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor.
(2)   Termasuk    dalam    pengertian   Kendaraan    Bermotor
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kendaraan
      bermotor beroda beserta gandengannya, yang dioperasikan
      di semua jenis jalan darat dan kendaraan bermotor yang
      dioperasikan di air dengan ukuran isi kotor GT 5 (lima
      Gross Tonnage) sampai dengan GT 7 (tujuh Gross Tonnage).
(3)   Dikecualikan dari pengertian Kendaraan           Bermotor
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
      a.   kereta api;
      b.   Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan
           untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;


                                               c. Kendaraan . . .
                       - 13 -

      c.   Kendaraan Bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai
           kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan
           asas timbal balik dan lembaga-lembaga internasional
           yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari
           Pemerintah; dan
      d.   objek Pajak lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan
           Daerah.


                      Pasal 4
(1)   Subjek Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi
      atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan
      Bermotor.
(2)   Wajib Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau
      Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor.
(3)   Dalam hal Wajib Pajak Badan, kewajiban perpajakannya
      diwakili oleh pengurus atau kuasa Badan tersebut.


                      Pasal 5
(1)   Dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah hasil
      perkalian dari 2 (dua) unsur pokok:
      a.   Nilai Jual Kendaraan Bermotor; dan
      b.   bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat
           kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan
           akibat penggunaan Kendaraan Bermotor.
(2)   Khusus untuk Kendaraan Bermotor yang digunakan di
      luar jalan umum, termasuk alat-alat berat dan alat-alat
      besar serta kendaraan di air, dasar pengenaan Pajak
      Kendaraan Bermotor adalah Nilai Jual Kendaraan
      Bermotor.
(3)   Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
      dinyatakan dalam koefisien yang nilainya 1 (satu) atau
      lebih besar dari 1 (satu), dengan pengertian sebagai
      berikut:
      a.   koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan
           dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan
           Kendaraan Bermotor tersebut dianggap masih dalam
           batas toleransi; dan
      b.   koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti penggunaan
           Kendaraan Bermotor tersebut dianggap melewati batas
           toleransi.
                                                    (4) Nilai . . .
                      - 14 -

(4)   Nilai Jual Kendaraan Bermotor ditentukan berdasarkan
      Harga Pasaran Umum atas suatu Kendaraan Bermotor.
(5)   Harga Pasaran Umum sebagaimana dimaksud pada ayat
      (4) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai
      sumber data yang akurat.
(6)   Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud
      pada ayat (4) ditetapkan berdasarkan Harga Pasaran
      Umum pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak
      sebelumnya.
(7)   Dalam hal Harga Pasaran Umum suatu Kendaraan
      Bermotor tidak diketahui, Nilai Jual Kendaraan Bermotor
      dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh
      faktor-faktor:
      a. harga Kendaraan Bermotor dengan            isi    silinder
         dan/atau satuan tenaga yang sama;
      b. penggunaan Kendaraan Bermotor untuk umum atau
         pribadi;
      c. harga Kendaraan Bermotor dengan merek Kendaraan
         Bermotor yang sama;
      d. harga Kendaraan Bermotor dengan tahun pembuatan
         Kendaraan Bermotor yang sama;
      e. harga Kendaraan Bermotor dengan pembuat Kendaraan
         Bermotor;
      f.   harga Kendaraan Bermotor        dengan     Kendaraan
           Bermotor sejenis; dan
      g. harga Kendaraan Bermotor berdasarkan             dokumen
         Pemberitahuan Impor Barang (PIB).
(8)   Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
      dihitung berdasarkan faktor-faktor:
      a. tekanan gandar, yang dibedakan atas dasar jumlah
         sumbu/as, roda, dan berat Kendaraan Bermotor;
      b. jenis bahan bakar Kendaraan Bermotor yang dibedakan
         menurut solar, bensin, gas, listrik, tenaga surya, atau
         jenis bahan bakar lainnya; dan
      c.   jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri
           mesin     Kendaraan  Bermotor   yang   dibedakan
           berdasarkan jenis mesin 2 tak atau 4 tak, dan isi
           silinder.

                                          (9) Penghitungan . . .
                       - 15 -

(9)   Penghitungan dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
      ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) dinyatakan
      dalam suatu tabel yang ditetapkan dengan Peraturan
      Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan dari
      Menteri Keuangan.
(10) Penghitungan dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor
     sebagaimana dimaksud pada ayat (9) ditinjau kembali
     setiap tahun.


                       Pasal 6
(1)   Tarif Pajak Kendaraan Bermotor pribadi ditetapkan sebagai
      berikut:
      a. untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor pertama paling
         rendah sebesar 1% (satu persen) dan paling tinggi
         sebesar 2% (dua persen);
      b. untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor kedua dan
         seterusnya   tarif dapat ditetapkan secara progresif
         paling rendah sebesar 2% (dua persen) dan paling tinggi
         sebesar 10% (sepuluh persen).
(2)   Kepemilikan Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama
      dan/atau alamat yang sama.
(3)   Tarif Pajak Kendaraan Bermotor angkutan umum,
      ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan,
      lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah/TNI/POLRI,
      Pemerintah Daerah, dan kendaraan lain yang ditetapkan
      dengan Peraturan Daerah,    ditetapkan paling rendah
      sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dan paling tinggi
      sebesar 1% (satu persen).
(4)   Tarif Pajak Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-
      alat besar ditetapkan paling rendah sebesar 0,1% (nol
      koma satu persen) dan paling tinggi sebesar 0,2% (nol
      koma dua persen).
(5)   Tarif Pajak Kendaraan        Bermotor    ditetapkan    dengan
      Peraturan Daerah.

                                                         Pasal 7 . . .
                     - 16 -

                     Pasal 7
(1)   Besaran pokok Pajak Kendaraan Bermotor yang terutang
      dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) dengan dasar pengenaan
      pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (9).
(2)   Pajak Kendaraan Bermotor yang terutang dipungut di
      wilayah daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
(3)   Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor dilakukan
      bersamaan dengan penerbitan Surat Tanda Nomor
      Kendaraan Bermotor.
(4)   Pemungutan pajak tahun berikutnya dilakukan di kas
      daerah atau bank yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.


                     Pasal 8
(1)   Pajak Kendaraan Bermotor dikenakan untuk Masa Pajak
      12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung mulai saat
      pendaftaran Kendaraan Bermotor.
(2)   Pajak Kendaraan Bermotor dibayar sekaligus di muka.
(3)   Untuk Pajak Kendaraan Bermotor yang karena keadaan
      kahar (force majeure) Masa Pajaknya tidak sampai 12 (dua
      belas) bulan, dapat dilakukan restitusi atas pajak yang
      sudah dibayar untuk porsi Masa Pajak yang belum dilalui.
(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan
      restitusi diatur dengan Peraturan Gubernur.
(5)   Hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor paling sedikit
      10%     (sepuluh persen), termasuk yang dibagihasilkan
      kepada       kabupaten/kota,     dialokasikan     untuk
      pembangunan      dan/atau    pemeliharaan   jalan  serta
      peningkatan moda dan sarana transportasi umum.


                  Bagian Ketiga
       Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor


                     Pasal 9
(1)   Objek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah
      penyerahan kepemilikan Kendaraan Bermotor.


                                             (2) Termasuk . . .
                         - 17 -

(2)   Termasuk    dalam    pengertian   Kendaraan    Bermotor
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kendaraan
      bermotor beroda beserta gandengannya, yang dioperasikan
      di semua jenis jalan darat dan kendaraan bermotor yang
      dioperasikan di air dengan ukuran isi kotor GT 5 (lima
      Gross Tonnage) sampai dengan GT 7 (tujuh Gross Tonnage).
(3)   Dikecualikan dari pengertian Kendaraan                    Bermotor
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
      a.   kereta api;
      b.   Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan
           untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
      c.   Kendaraan Bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai
           kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan
           asas timbal balik dan lembaga-lembaga internasional
           yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari
           Pemerintah; dan
      d.   objek pajak lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan
           Daerah.
(4)   Penguasaan Kendaraan Bermotor melebihi 12 (dua belas)
      bulan dapat dianggap sebagai penyerahan.
(5)   Penguasaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud
      pada ayat (4) tidak termasuk penguasaan Kendaraan
      Bermotor karena perjanjian sewa beli.
(6)   Termasuk penyerahan Kendaraan Bermotor sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) adalah pemasukan Kendaraan
      Bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di
      Indonesia, kecuali:
      a.   untuk dipakai      sendiri   oleh    orang   pribadi    yang
           bersangkutan;
      b.   untuk diperdagangkan;
      c.   untuk dikeluarkan      kembali      dari   wilayah    pabean
           Indonesia; dan
      d.   digunakan untuk pameran, penelitian, contoh, dan
           kegiatan olahraga bertaraf internasional.
(7)   Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c
      tidak berlaku apabila selama 3 (tiga) tahun berturut-turut
      tidak dikeluarkan kembali dari wilayah pabean Indonesia.

                                                          Pasal 10 . . .
                      - 18 -

                     Pasal 10
(1)   Subjek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah
      orang pribadi atau Badan yang dapat menerima
      penyerahan Kendaraan Bermotor.
(2)   Wajib Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah
      orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan
      Kendaraan Bermotor.


                     Pasal 11
Dasar pengenaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah
Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (9).


                     Pasal 12
(1)   Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan
      paling tinggi masing-masing sebagai berikut:
      a.   penyerahan pertama sebesar 20% (dua puluh persen);
           dan
      b.   penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 1% (satu
           persen).
(2)   Khusus untuk Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan
      alat-alat besar yang tidak menggunakan jalan umum tarif
      pajak ditetapkan paling tinggi masing-masing sebagai
      berikut:
      a.   penyerahan pertama sebesar 0,75% (nol koma tujuh
           puluh lima persen); dan
      b.   penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 0,075% (nol
           koma nol tujuh puluh lima persen).
(3)   Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan
      dengan Peraturan Daerah.


                     Pasal 13
(1)   Besaran Pokok Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
      yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dengan
      dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 11.

                                                   (2) Bea . . .
                      - 19 -

(2)   Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang terutang
      dipungut di wilayah daerah tempat Kendaraan Bermotor
      terdaftar.
(3)   Pembayaran Bea Balik Nama          Kendaraan    Bermotor
      dilakukan pada saat pendaftaran.



                     Pasal 14
Wajib Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor wajib
mendaftarkan penyerahan Kendaraan Bermotor dalam jangka
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak saat
penyerahan.


                     Pasal 15
(1)   Orang pribadi atau Badan yang menyerahkan Kendaraan
      Bermotor melaporkan secara tertulis penyerahan tersebut
      kepada gubernur atau pejabat yang ditunjuk dalam jangka
      waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak saat penyerahan.
(2)   Laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
      paling sedikit berisi:
      a.   nama dan alamat orang pribadi atau Badan yang
           menerima penyerahan;
      b.   tanggal, bulan, dan tahun penyerahan;
      c.   nomor polisi kendaraan bermotor;
      d.   lampiran fotokopi Surat Tanda Nomor Kendaraan
           Bermotor; dan
      e.   khusus untuk kendaraan di air ditambahkan pas dan
           nomor pas kapal.


                 Bagian Keempat
      Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor


                     Pasal 16
Objek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah Bahan
Bakar Kendaraan Bermotor yang disediakan atau dianggap
digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar
yang digunakan untuk kendaraan di air.

                                                   Pasal 17 . . .
                      - 20 -

                     Pasal 17
(1)   Subjek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah
      konsumen Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
(2)   Wajib Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah
      orang pribadi atau Badan yang menggunakan Bahan Bakar
      Kendaraan Bermotor.
(3)   Pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
      dilakukan oleh penyedia Bahan Bakar Kendaraan
      Bermotor.
(4)   Penyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebagaimana
      dimaksud pada ayat (3) adalah produsen dan/atau importir
      Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual
      maupun untuk digunakan sendiri.


                     Pasal 18
Dasar pengenaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
adalah Nilai Jual Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebelum
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.


                     Pasal 19
(1)   Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan
      paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
(2)   Khusus tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
      untuk bahan bakar kendaraan umum dapat ditetapkan
      paling sedikit 50% (lima puluh persen) lebih rendah dari
      tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk
      kendaraan pribadi.
(3)   Pemerintah dapat mengubah tarif Pajak Bahan Bakar
      Kendaraan Bermotor yang sudah ditetapkan dalam
      Peraturan Daerah dengan Peraturan Presiden.
(4)   Kewenangan Pemerintah untuk mengubah tarif Pajak
      Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan dalam hal:
      a.   terjadi kenaikan harga minyak dunia melebihi 130%
           (seratus tiga puluh persen) dari asumsi harga minyak
           dunia yang ditetapkan dalam Undang-Undang tentang
           Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun
           berjalan; atau
                                             b. diperlukan . . .
                      - 21 -

      b.   diperlukan stabilisasi harga bahan bakar minyak
           untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak
           ditetapkannya Undang-Undang ini.
(5)   Dalam hal harga minyak dunia sebagaimana dimaksud
      pada ayat (4) huruf a sudah normal kembali, Peraturan
      Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicabut
      dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan.
(6)   Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan
      dengan Peraturan Daerah.


                     Pasal 20
Besaran pokok Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang
terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (6) dengan dasar
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.


                  Bagian Kelima
               Pajak Air Permukaan


                     Pasal 21
(1)   Objek    Pajak   Air Permukaan adalah       pengambilan
      dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
(2)   Dikecualikan dari objek Pajak Air Permukaan adalah:
      a. pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan
          untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan
          pertanian dan perikanan rakyat, dengan tetap
          memperhatikan kelestarian lingkungan dan peraturan
          perundang-undangan; dan
      b. pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan
          lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah.


                     Pasal 22
(1)   Subjek Pajak Air Permukaan adalah orang pribadi atau
      Badan yang dapat melakukan pengambilan dan/atau
      pemanfaatan Air Permukaan.
(2)   Wajib Pajak Air Permukaan adalah orang pribadi atau
      Badan    yang    melakukan  pengambilan    dan/atau
      pemanfaatan Air Permukaan.

                                                 Pasal 23 . . .
                           - 22 -

                       Pasal 23
(1)   Dasar pengenaan Pajak Air Permukaan adalah Nilai
      Perolehan Air Permukaan.
(2)   Nilai Perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) dinyatakan dalam rupiah yang dihitung
      dengan mempertimbangkan sebagian atau seluruh faktor-
      faktor berikut:
      a.   jenis sumber air;
      b.   lokasi sumber air;
      c.   tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
      d.   volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
      e.   kualitas air;
      f.   luas areal tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan
           air; dan
      g.   tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh
           pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
(3)   Penggunaan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada
      ayat (2) disesuaikan dengan kondisi masing-masing
      Daerah.
(4)   Besarnya Nilai Perolehan Air Permukaan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
      Gubernur.


                       Pasal 24
(1)   Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan paling tinggi sebesar
      10% (sepuluh persen).
(2)   Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan dengan Peraturan
      Daerah.


                       Pasal 25
(1)   Besaran pokok Pajak Air Permukaan yang terutang
      dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dengan dasar pengenaan
      pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4).
(2)   Pajak Air Permukaan yang terutang dipungut di wilayah
      daerah tempat air berada.

                                                   Bagian . . .
                     - 23 -

                 Bagian Keenam
                  Pajak Rokok


                    Pasal 26
(1)   Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok.
(2)   Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
      sigaret, cerutu, dan rokok daun.
(3)   Dikecualikan dari objek Pajak Rokok sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) adalah rokok yang tidak dikenai
      cukai berdasarkan peraturan perundang-undangan di
      bidang cukai.

                    Pasal 27

(1)   Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok.
(2)   Wajib   Pajak   Rokok    adalah   pengusaha     pabrik
      rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin
      berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai.
(3)   Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yang
      berwenang   memungut    cukai   bersamaan   dengan
      pemungutan cukai rokok.
(4)   Pajak Rokok yang dipungut oleh instansi Pemerintah
      sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetor ke rekening
      kas   umum     daerah   provinsi secara    proporsional
      berdasarkan jumlah penduduk.
(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan
      dan penyetoran Pajak Rokok diatur dengan Peraturan
      Menteri Keuangan.

                    Pasal 28

Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan
oleh Pemerintah terhadap rokok.


                    Pasal 29

Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari
cukai rokok.

                                                  Pasal 30 . . .
                        - 24 -

                      Pasal 30
Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan
cara mengalikan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28.


                      Pasal 31
Penerimaan Pajak Rokok, baik bagian provinsi maupun bagian
kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh
persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan
penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.



                   Bagian Ketujuh
                     Pajak Hotel


                      Pasal 32
(1)   Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh
      Hotel dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang
      sebagai kelengkapan Hotel yang sifatnya memberikan
      kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olahraga
      dan hiburan.
(2)   Jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      adalah fasilitas telepon, faksimile, teleks, internet, fotokopi,
      pelayanan cuci, seterika, transportasi, dan fasilitas sejenis
      lainnya yang disediakan atau dikelola Hotel.
(3)   Tidak termasuk objek Pajak Hotel sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) adalah:
      a.   jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh
           Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
      b.   jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya;
      c.   jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan
           keagamaan;
      d.   jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat,
           panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya
           yang sejenis; dan
      e.   jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang
           diselenggarakan oleh Hotel yang dapat dimanfaatkan
           oleh umum.

                                                      Pasal 33 . . .
                      - 25 -

                     Pasal 33
(1)   Subjek Pajak Hotel adalah orang pribadi atau Badan yang
      melakukan pembayaran kepada orang pribadi atau Badan
      yang mengusahakan Hotel.
(2)   Wajib Pajak Hotel adalah orang pribadi atau Badan yang
      mengusahakan Hotel.


                     Pasal 34
Dasar pengenaan Pajak Hotel adalah jumlah pembayaran atau
yang seharusnya dibayar kepada Hotel.


                     Pasal 35
(1)   Tarif Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi sebesar 10%
      (sepuluh persen).
(2)   Tarif Pajak Hotel ditetapkan dengan Peraturan Daerah.


                     Pasal 36
(1)   Besaran pokok Pajak Hotel yang terutang dihitung dengan
      cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
      35 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 34.
(2)   Pajak Hotel yang terutang dipungut di wilayah daerah
      tempat Hotel berlokasi.


                Bagian Kedelapan
                  Pajak Restoran


                     Pasal 37
(1)   Objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan
      oleh Restoran.
(2)   Pelayanan yang disediakan Restoran sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan penjualan
      makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh
      pembeli, baik dikonsumsi di tempat pelayanan maupun di
      tempat lain.

                                         (3) Tidak termasuk . . .
                      - 26 -

(3)   Tidak termasuk objek Pajak Restoran sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan yang disediakan
      oleh Restoran yang nilai penjualannya tidak melebihi batas
      tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

                     Pasal 38
(1)   Subjek Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan
      yang membeli makanan dan/atau minuman dari Restoran.
(2)   Wajib Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan
      yang mengusahakan Restoran.

                     Pasal 39
Dasar pengenaan Pajak Restoran adalah jumlah pembayaran
yang diterima atau yang seharusnya diterima Restoran.


                     Pasal 40
(1)   Tarif Pajak Restoran ditetapkan paling tinggi sebesar 10%
      (sepuluh persen).
(2)   Tarif Pajak Restoran ditetapkan dengan Peraturan Daerah.


                     Pasal 41
(1)   Besaran pokok Pajak Restoran yang terutang dihitung
      dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 40 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39.
(2)   Pajak Restoran yang terutang dipungut di wilayah daerah
      tempat Restoran berlokasi.


                Bagian Kesembilan
                  Pajak Hiburan


                     Pasal 42
(1)   Objek Pajak Hiburan adalah jasa penyelenggaraan Hiburan
      dengan dipungut bayaran.
(2)   Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
      a. tontonan film;
      b. pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;


                                                c. kontes . . .
                      - 27 -

      c.   kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya;
      d.   pameran;
      e.   diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya;
      f.   sirkus, akrobat, dan sulap;
      g.   permainan bilyar, golf, dan boling;
      h.   pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan
           ketangkasan;
      i.   panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat
           kebugaran (fitness center); dan
      j.   pertandingan olahraga.
(3)   Penyelenggaraan Hiburan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (2) dapat dikecualikan dengan Peraturan Daerah.


                     Pasal 43
(1)   Subjek Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau Badan
      yang menikmati Hiburan.
(2)   Wajib Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang
      menyelenggarakan Hiburan.


                     Pasal 44
(1)   Dasar pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah uang yang
      diterima atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara
      Hiburan.
(2)   Jumlah uang yang seharusnya diterima sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) termasuk potongan harga dan tiket
      cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa Hiburan.


                     Pasal 45
(1)   Tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35%
      (tiga puluh lima persen).
(2)   Khusus untuk Hiburan berupa pagelaran busana, kontes
      kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan
      ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif Pajak
      Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75% (tujuh
      puluh lima persen).
(3)   Khusus Hiburan kesenian rakyat/tradisional dikenakan
      tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 10%
      (sepuluh persen).
(4)   Tarif Pajak Hiburan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.


                                                 Pasal 46 . . .
                       - 28 -

                     Pasal 46
(1)   Besaran pokok Pajak Hiburan yang terutang dihitung
      dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 45 ayat (4) dengan dasar pengenaan pajak
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44.
(2)   Pajak Hiburan yang terutang dipungut di wilayah daerah
      tempat Hiburan diselenggarakan.


                 Bagian Kesepuluh
                  Pajak Reklame


                     Pasal 47
(1)   Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan
      Reklame.
(2)   Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
      a.   Reklame     papan/billboard/videotron/megatron    dan
           sejenisnya;
      b.   Reklame kain;
      c.   Reklame melekat, stiker;
      d.   Reklame selebaran;
      e.   Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
      f.   Reklame udara;
      g.   Reklame apung;
      h.   Reklame suara;
      i.   Reklame film/slide; dan
      j.   Reklame peragaan.
(3)   Tidak termasuk sebagai objek Pajak Reklame adalah:
      a.   penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi,
           radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan,
           dan sejenisnya;
      b.   label/merek produk yang melekat pada barang yang
           diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan
           dari produk sejenis lainnya;

                                                    c. nama . . .
                      - 29 -

      c.   nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang
           melekat pada bangunan tempat usaha atau profesi
           diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang
           mengatur nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
      d.   Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau
           Pemerintah Daerah; dan
      e.   penyelenggaraan Reklame lainnya yang ditetapkan
           dengan Peraturan Daerah.


                     Pasal 48
(1)   Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan
      yang menggunakan Reklame.
(2)   Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan
      yang menyelenggarakan Reklame.
(3)   Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri secara
      langsung oleh orang pribadi atau Badan, Wajib Pajak
      Reklame adalah orang pribadi atau Badan tersebut.
(4)   Dalam hal Reklame diselenggarakan melalui pihak ketiga,
      pihak ketiga tersebut menjadi Wajib Pajak Reklame.


                     Pasal 49
(1)   Dasar pengenaan     Pajak   Reklame   adalah    Nilai   Sewa
      Reklame.
(2)   Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga,
      Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
(3)   Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, Nilai Sewa
      Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
      dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang
      digunakan, lokasi penempatan, waktu, jangka waktu
      penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
(4)   Dalam hal Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud
      pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak
      wajar,    Nilai Sewa    Reklame   ditetapkan  dengan
      menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada
      ayat (3).

                                                     (5) Cara . . .
                      - 30 -

(5)   Cara perhitungan Nilai Sewa Reklame sebagaimana
      dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan
      Daerah.
(6)   Hasil perhitungan Nilai Sewa Reklame sebagaimana
      dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan Peraturan
      Kepala Daerah.

                     Pasal 50
(1)   Tarif Pajak Reklame ditetapkan paling tinggi sebesar 25%
      (dua puluh lima persen).
(2)   Tarif Pajak Reklame ditetapkan dengan Peraturan Daerah.


                     Pasal 51
(1)   Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung
      dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 50 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (6).
(2)   Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah daerah
      tempat Reklame tersebut diselenggarakan.


                 Bagian Kesebelas
              Pajak Penerangan Jalan


                     Pasal 52
(1)   Objek Pajak Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga
      listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh
      dari sumber lain.
(2)   Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) meliputi seluruh pembangkit listrik.
(3)   Dikecualikan dari objek Pajak Penerangan              Jalan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
      a.   penggunaan tenaga listrik oleh instansi Pemerintah
           dan Pemerintah Daerah;
      b.   penggunaan tenaga listrik pada tempat-tempat yang
           digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan
           asing dengan asas timbal balik;


                                             c. penggunaan . . .
                       - 31 -

      c.   penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri
           dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin
           dari instansi teknis terkait; dan
      d.   penggunaan tenaga listrik lainnya yang diatur dengan
           Peraturan Daerah.


                      Pasal 53
(1)   Subjek Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau
      Badan yang dapat menggunakan tenaga listrik.
(2)   Wajib Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau
      Badan yang menggunakan tenaga listrik.
(3)   Dalam hal tenaga listrik disediakan oleh sumber lain, Wajib
      Pajak Penerangan Jalan adalah penyedia tenaga listrik.


                      Pasal 54
(1)   Dasar pengenaan Pajak Penerangan Jalan adalah Nilai Jual
      Tenaga Listrik.
(2)   Nilai Jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) ditetapkan:
      a.   dalam hal tenaga listrik berasal dari sumber lain
           dengan pembayaran, Nilai Jual Tenaga Listrik adalah
           jumlah tagihan biaya beban/tetap ditambah dengan
           biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam
           rekening listrik;
      b.   dalam hal tenaga listrik dihasilkan sendiri, Nilai Jual
           Tenaga Listrik dihitung berdasarkan kapasitas
           tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu
           pemakaian listrik, dan harga satuan listrik yang
           berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.


                      Pasal 55
(1)   Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi
      sebesar 10% (sepuluh persen).
(2)   Penggunaan tenaga listrik dari sumber lain oleh industri,
      pertambangan minyak bumi dan gas alam, tarif Pajak
      Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 3% (tiga
      persen).

                                              (3) Penggunaan . . .
                      - 32 -

(3)   Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, tarif
      Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar
      1,5% (satu koma lima persen).
(4)   Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan dengan Peraturan
      Daerah.


                     Pasal 56
(1)   Besaran pokok Pajak Penerangan Jalan yang terutang
      dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 55 ayat (4) dengan dasar pengenaan
      pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54.
(2)   Pajak Penerangan Jalan yang terutang dipungut di wilayah
      daerah tempat penggunaan tenaga listrik.
(3)   Hasil penerimaan Pajak Penerangan Jalan sebagian
      dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan.


                Bagian Kedua Belas
      Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan


                     Pasal 57
(1)   Objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah
      kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan
      yang meliputi:
      a.   asbes;
      b.   batu tulis;
      c.   batu setengah permata;
      d.   batu kapur;
      e.   batu apung;
      f.   batu permata;
      g.   bentonit;
      h.   dolomit;
      i.   feldspar;
      j.   garam batu (halite);
      k.   grafit;
      l.   granit/andesit;
      m.   gips;
      n.   kalsit;

                                                  o. kaolin . . .
                      - 33 -

      o.    kaolin;
      p.    leusit;
      q.    magnesit;
      r.    mika;
      s.    marmer;
      t.    nitrat;
      u.    opsidien;
      v.    oker;
      w.    pasir dan kerikil;
      x.    pasir kuarsa;
      y.    perlit;
      z.    phospat;
      aa.   talk;
      bb.   tanah serap (fullers earth);
      cc.   tanah diatome;
      dd.   tanah liat;
      ee.   tawas (alum);
      ff.   tras;
      gg.   yarosif;
      hh.   zeolit;
      ii.   basal;
      jj.   trakkit; dan
      kk.   Mineral Bukan Logam dan Batuan lainnya sesuai
            dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)   Dikecualikan dari objek Pajak Mineral Bukan Logam dan
      Batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
      a. kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan
         Batuan yang nyata-nyata tidak dimanfaatkan secara
         komersial, seperti kegiatan pengambilan tanah untuk
         keperluan     rumah    tangga,  pemancangan       tiang
         listrik/telepon,  penanaman    kabel   listrik/telepon,
         penanaman pipa air/gas;
      b. kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan
         Batuan yang merupakan ikutan dari kegiatan
         pertambangan lainnya, yang tidak dimanfaatkan secara
         komersial; dan
      c. pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan lainnya
         yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.


                                                   Pasal 58 . . .
                      - 34 -

                     Pasal 58
(1)   Subjek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah
      orang pribadi atau Badan yang dapat mengambil Mineral
      Bukan Logam dan Batuan.
(2)   Wajib Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah
      orang pribadi atau Badan yang mengambil Mineral Bukan
      Logam dan Batuan.


                     Pasal 59
(1)   Dasar pengenaan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
      adalah Nilai Jual Hasil Pengambilan Mineral Bukan Logam
      dan Batuan.
(2)   Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
      dengan mengalikan volume/tonase hasil pengambilan
      dengan nilai pasar atau harga standar masing-masing jenis
      Mineral Bukan Logam dan Batuan.
(3)   Nilai pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah
      harga rata-rata yang berlaku di lokasi setempat di wilayah
      daerah yang bersangkutan.
(4)   Dalam hal nilai pasar dari hasil produksi Mineral Bukan
      Logam dan Batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
      sulit diperoleh, digunakan harga standar yang ditetapkan
      oleh instansi yang berwenang dalam bidang pertambangan
      Mineral Bukan Logam dan Batuan.


                     Pasal 60
(1)   Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan
      paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen).
(2)   Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan
      dengan Peraturan Daerah.


                     Pasal 61
(1)   Besaran pokok Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
      yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) dengan
      dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 59.

                                                  (2) Pajak . . .
                      - 35 -

(2)   Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang terutang
      dipungut di wilayah daerah tempat pengambilan Mineral
      Bukan Logam dan Batuan.


                Bagian Ketiga Belas
                   Pajak Parkir


                     Pasal 62
(1)   Objek Pajak Parkir adalah penyelenggaraan tempat Parkir
      di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan
      pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu
      usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan
      bermotor.
(2)   Tidak termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) adalah:
      a.   penyelenggaraan tempat Parkir oleh Pemerintah dan
           Pemerintah Daerah;
      b.   penyelenggaraan tempat Parkir oleh perkantoran yang
           hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
      c.   penyelenggaraan tempat Parkir oleh kedutaan,
           konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas
           timbal balik; dan
      d.   penyelenggaraan tempat Parkir lainnya yang diatur
           dengan Peraturan Daerah.


                     Pasal 63
(1)   Subjek Pajak Parkir adalah orang pribadi atau Badan yang
      melakukan parkir kendaraan bermotor.
(2)   Wajib Pajak Parkir adalah orang pribadi atau Badan yang
      menyelenggarakan tempat Parkir.


                     Pasal 64
(1)   Dasar pengenaan Pajak Parkir adalah jumlah pembayaran
      atau yang seharusnya dibayar kepada penyelenggara
      tempat Parkir.

                                                 (2) Dasar . . .
                      - 36 -

(2)   Dasar pengenaan Pajak Parkir sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) dapat ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(3)   Jumlah yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) termasuk potongan harga Parkir dan Parkir
      cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa Parkir.


                     Pasal 65
(1)   Tarif Pajak Parkir ditetapkan paling tinggi sebesar 30%
      (tiga puluh persen).
(2)   Tarif Pajak Parkir ditetapkan dengan Peraturan Daerah.


                     Pasal 66
(1)   Besaran pokok Pajak Parkir yang terutang dihitung dengan
      cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
      65 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 64.
(2)   Pajak Parkir yang terutang dipungut di wilayah daerah
      tempat Parkir berlokasi.


              Bagian Keempat Belas
                 Pajak Air Tanah


                     Pasal 67
(1)   Objek Pajak Air Tanah adalah pengambilan dan/atau
      pemanfaatan Air Tanah.
(2)   Dikecualikan dari objek Pajak Air Tanah adalah:
      a.   pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah untuk
           keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian
           dan perikanan rakyat, serta peribadatan; dan
      b.   pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah lainnya
           yang diatur dengan Peraturan Daerah.



                                                  Pasal 68 . . .
                       - 37 -

                      Pasal 68
(1)   Subjek Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau Badan
      yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air
      Tanah.
(2)   Wajib Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau Badan
      yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air
      Tanah.


                      Pasal 69
(1)   Dasar pengenaan Pajak Air Tanah adalah Nilai Perolehan
      Air Tanah.
(2)   Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) dinyatakan dalam rupiah yang dihitung dengan
      mempertimbangkan sebagian atau seluruh faktor-faktor
      berikut:
      a.   jenis sumber air;
      b.   lokasi sumber air;
      c.   tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
      d.   volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
      e.   kualitas air; dan
      f.   tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh
           pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
(3)   Penggunaan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada
      ayat (2) disesuaikan dengan kondisi masing-masing
      Daerah.
(4)   Besarnya Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud
      pada    ayat     (1)   ditetapkan    dengan    Peraturan
      Bupati/Walikota.


                      Pasal 70
(1)   Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan paling tinggi sebesar 20%
      (dua puluh persen).
(2)   Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

                                                  Pasal 71 . . .
                      - 38 -

                    Pasal 71
(1)   Besaran pokok Pajak Air Tanah yang terutang dihitung
      dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 70 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (4).
(2)   Pajak Air Tanah yang terutang dipungut di wilayah daerah
      tempat air diambil.


               Bagian Kelima Belas
            Pajak Sarang Burung Walet


                    Pasal 72
(1)   Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan
      dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet.
(2)   Tidak termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) adalah:
      a.   pengambilan Sarang Burung Walet yang telah
           dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP);
      b.   kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang
           Burung Walet lainnya yang ditetapkan dengan
           Peraturan Daerah.


                    Pasal 73
(1)   Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi
      atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau
      mengusahakan Sarang Burung Walet.
(2)   Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi
      atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau
      mengusahakan Sarang Burung Walet.


                    Pasal 74
(1)   Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah Nilai
      Jual Sarang Burung Walet.


                                                   (2) Nilai . . .
                       - 39 -

 (2)   Nilai Jual Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud
       pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga
       pasaran umum Sarang Burung Walet yang berlaku di
       daerah yang bersangkutan dengan volume Sarang Burung
       Walet.


                      Pasal 75
 (1)   Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan paling tinggi
       sebesar 10% (sepuluh persen).
 (2)   Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan dengan
       Peraturan Daerah.


                      Pasal 76
 (1)   Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang
       dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana di
       maksud dalam Pasal 75 ayat (2) dengan dasar pengenaan
       pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74.
 (2)   Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dipungut di
       wilayah   daerah    tempat   pengambilan   dan/atau
       pengusahaan Sarang Burung Walet.


                Bagian Keenam Belas
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan


                      Pasal 77
 (1)   Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
       adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai,
       dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan,
       kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha
       perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
 (2)   Termasuk dalam pengertian Bangunan adalah:
       a.   jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks
            bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya,
            yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks
            Bangunan tersebut;


                                                   b. jalan . . .
                      - 40 -

      b.   jalan tol;
      c.   kolam renang;
      d.   pagar mewah;
      e.   tempat olahraga;
      f.   galangan kapal, dermaga;
      g.   taman mewah;
      h.   tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas,
           pipa minyak; dan
      i.   menara.
(3)   Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan
      Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah objek pajak
      yang:
      a.   digunakan oleh Pemerintah dan        Daerah   untuk
           penyelenggaraan pemerintahan;
      b.   digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan
           umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan
           dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan
           untuk memperoleh keuntungan;
      c.   digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala,
           atau yang sejenis dengan itu;
      d.   merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan
           wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang
           dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum
           dibebani suatu hak;
      e.   digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat
           berdasarkan asas perlakuan timbal balik; dan
      f.   digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga
           internasional yang ditetapkan dengan Peraturan
           Menteri Keuangan.
(4)   Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
      ditetapkan paling rendah sebesar Rp10.000.000,00
      (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
(5)   Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana
      dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan
      Daerah.


                                                 Pasal 78 . . .
                      - 41 -

                     Pasal 78
(1)   Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
      Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara
      nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau
      memperoleh manfaat atas Bumi,       dan/atau memiliki,
      menguasai,   dan/atau    memperoleh     manfaat  atas
      Bangunan.
(2)   Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
      adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata
      mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh
      manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai,
      dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.


                     Pasal 79
(1)   Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
      dan Perkotaan adalah NJOP.
(2)   Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak
      tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan
      perkembangan wilayahnya.
(3)   Penetapan besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada
      ayat (2) dilakukan oleh Kepala Daerah.


                     Pasal 80
(1)   Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
      ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3% (nol koma tiga
      persen).
(2)   Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
      ditetapkan dengan Peraturan Daerah.


                     Pasal 81
Besaran pokok Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) dengan dasar
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat
(3) setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (5).

                                                   Pasal 82 . . .
                      - 42 -

                     Pasal 82
(1)   Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
(2)   Saat yang menentukan pajak yang terutang adalah
      menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari.
(3)   Tempat pajak yang terutang adalah di wilayah daerah yang
      meliputi letak objek pajak.


                     Pasal 83
(1)   Pendataan dilakukan dengan menggunakan SPOP.
(2)   SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi
      dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani dan
      disampaikan kepada Kepala Daerah yang wilayah kerjanya
      meliputi letak objek pajak, selambat-lambatnya 30 (tiga
      puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya SPOP oleh
      Subjek Pajak.

                     Pasal 84
(1)   Berdasarkan SPOP, Kepala Daerah menerbitkan SPPT.
(2)   Kepala Daerah dapat mengeluarkan SKPD dalam hal-hal
      sebagai berikut:
      a.   SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2)
           tidak disampaikan dan setelah Wajib Pajak ditegur
           secara tertulis oleh Kepala Daerah sebagaimana
           ditentukan dalam Surat Teguran;
      b.   berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain
           ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari
           jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang
           disampaikan oleh Wajib Pajak.


               Bagian Ketujuh Belas
 Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

                     Pasal 85
(1)   Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
      adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
(2)   Perolehan  Hak   atas   Tanah     dan/atau     Bangunan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

                                           a. pemindahan . . .
                        - 43 -

      a.   pemindahan hak karena:
           1) jual beli;
           2) tukar menukar;
           3) hibah;
           4) hibah wasiat;
           5) waris;
           6) pemasukan dalam perseroan atau badan hukum
               lain;
           7) pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
           8) penunjukan pembeli dalam lelang;
           9) pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai
               kekuatan hukum tetap;
           10) penggabungan usaha;
           11) peleburan usaha;
           12) pemekaran usaha; atau
           13) hadiah.
      b.   pemberian hak baru karena:
           1) kelanjutan pelepasan hak; atau
           2) di luar pelepasan hak.
(3)   Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      adalah:
      a.   hak   milik;
      b.   hak   guna usaha;
      c.   hak   guna bangunan;
      d.   hak   pakai;
      e.   hak   milik atas satuan rumah susun; dan
      f.   hak   pengelolaan.
(4)   Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas
      Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh:
      a.   perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas
           perlakuan timbal balik;
      b.   negara    untuk     penyelenggaraan    pemerintahan
           dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna
           kepentingan umum;


                                                  c. badan . . .
                      - 44 -

      c.   badan atau perwakilan lembaga internasional yang
           ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan
           dengan syarat tidak menjalankan usaha atau
           melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas
           badan atau perwakilan organisasi tersebut;
      d.   orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau
           karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya
           perubahan nama;
      e.   orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan
      f.   orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk
           kepentingan ibadah.


                    Pasal 86
(1)   Subjek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
      Bangunan adalah orang pribadi atau Badan yang
      memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
(2)   Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
      adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak
      atas Tanah dan/atau Bangunan.


                    Pasal 87
(1)   Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
      Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak.
(2)   Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1), dalam hal:
      a.   jual beli adalah harga transaksi;
      b.   tukar menukar adalah nilai pasar;
      c.   hibah adalah nilai pasar;
      d.   hibah wasiat adalah nilai pasar;
      e.   waris adalah nilai pasar;
      f.   pemasukan dalam peseroan atau badan hukum
           lainnya adalah nilai pasar;
      g.   pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah
           nilai pasar;
      h.   peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim
           yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai
           pasar;

                                             i. pemberian . . .
                      - 45 -

      i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan
         dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
      j. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak
         adalah nilai pasar;
      k. penggabungan usaha adalah nilai pasar;
      l. peleburan usaha adalah nilai pasar;
      m. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
      n. hadiah adalah nilai pasar; dan/atau
      o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga
         transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.
(3)   Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud
      pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf n tidak
      diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang
      digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan
      pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang
      dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan.
(4)   Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
      ditetapkan paling rendah sebesar Rp60.000.000,00 (enam
      puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
(5)   Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat
      yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan
      keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat
      ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah
      wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak
      Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar
      Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(6)   Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana
      dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) ditetapkan dengan
      Peraturan Daerah.


                     Pasal 88
(1)   Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
      ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen).
(2)   Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
      ditetapkan dengan Peraturan Daerah.


                                                 Pasal 89 . . .
                      - 46 -

                     Pasal 89
(1)   Besaran pokok Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
      Bangunan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
      tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2)
      dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 87 ayat (1) setelah dikurangi Nilai Perolehan
      Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 87 ayat (6).
(2)   Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang
      terutang dipungut di wilayah daerah tempat Tanah
      dan/atau Bangunan berada.


                     Pasal 90
(1)   Saat terutangnya pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah
      dan/atau Bangunan ditetapkan untuk:
      a.   jual  beli  adalah    sejak    tanggal       dibuat    dan
           ditandatanganinya akta;
      b.   tukar-menukar adalah sejak       tanggal      dibuat   dan
           ditandatanganinya akta;
      c.   hibah    adalah    sejak      tanggal       dibuat     dan
           ditandatanganinya akta;
      d.   hibah wasiat adalah sejak        tanggal      dibuat   dan
           ditandatanganinya akta;
      e.   waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan
           mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang
           pertanahan;
      f.   pemasukan dalam perseroan atau badan hukum
           lainnya   adalah    sejak tanggal dibuat dan
           ditandatanganinya akta;
      g.   pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah
           sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
      h.   putusan hakim adalah sejak tanggal putusan
           pangadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang
           tetap;
      i.   pemberian hak baru atas Tanah sebagai kelanjutan
           dari    pelepasan    hak   adalah   sejak    tanggal
           diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;


                                                   j. pemberian . . .
                      - 47 -

      j.   pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah
           sejak tanggal  diterbitkannya surat   keputusan
           pemberian hak;
      k.   penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan
           ditandatanganinya akta;
      l.   peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan
           ditandatanganinya akta;
      m. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan
         ditandatanganinya akta;
      n.   hadiah    adalah    sejak   tanggal   dibuat      dan
           ditandatanganinya akta; dan
      o.   lelang adalah sejak tanggal penunjukkan pemenang
           lelang.
(2)   Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya
      perolehan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


                     Pasal 91
(1)   Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat
      menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah
      dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan
      bukti pembayaran pajak.
(2)   Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara
      hanya dapat menandatangani risalah lelang Perolehan Hak
      atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak
      menyerahkan bukti pembayaran pajak.
(3)   Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan
      pendaftaran Hak atas Tanah atau pendaftaran peralihan
      Hak atas Tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti
      pembayaran pajak.


                     Pasal 92
(1)   Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor
      yang membidangi pelayanan lelang negara melaporkan
      pembuatan akta atau risalah lelang Perolehan Hak atas
      Tanah dan/atau Bangunan kepada Kepala Daerah paling
      lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.


                                             (2) Tata cara . . .
                      - 48 -

(2)   Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.


                     Pasal 93
(1)   Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor
      yang membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar
      ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1)
      dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa denda
      sebesar Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah)
      untuk setiap pelanggaran.
(2)   Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor
      yang membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar
      ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1)
      dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
      Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk
      setiap laporan.
(3)   Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar
      ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (3)
      dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
      perundang-undangan.




                     BAB III
           BAGI HASIL PAJAK PROVINSI


                     Pasal 94
(1)   Hasil penerimaan Pajak provinsi sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 2 ayat (1) sebagian diperuntukkan bagi
      kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan
      dengan ketentuan sebagai berikut:
      a.   hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea
           Balik Nama Kendaraan Bermotor diserahkan kepada
           kabupaten/kota sebesar 30% (tiga puluh persen);
      b.   hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan
           Bermotor diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar
           70% (tujuh puluh persen);

                                                   c. hasil . . .
                         - 49 -

      c.   hasil penerimaan Pajak Rokok diserahkan kepada
           kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen);
           dan
      d.   hasil penerimaan Pajak Air Permukaan diserahkan
           kepada kabupaten/kota sebesar 50% (lima puluh
           persen).
(2)   Khusus untuk penerimaan Pajak Air Permukaan dari
      sumber air yang berada hanya pada 1 (satu) wilayah
      kabupaten/kota, hasil penerimaan Pajak Air Permukaan
      dimaksud diserahkan kepada kabupaten/kota yang
      bersangkutan sebesar 80% (delapan puluh persen).
(3)   Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) ditetapkan dengan memperhatikan aspek pemerataan
      dan/atau potensi antarkabupaten/kota.
(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai bagi hasil penerimaan
      Pajak provinsi yang diperuntukkan bagi kabupaten/kota
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3)
      ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi.



                        BAB IV
      PENETAPAN DAN MUATAN YANG DIATUR
DALAM PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK


                        Pasal 95
(1)   Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(2)   Peraturan Daerah tentang Pajak tidak berlaku surut.
(3)   Peraturan Daerah tentang Pajak paling sedikit mengatur
      ketentuan mengenai:
      a.   nama, objek, dan Subjek Pajak;
      b.   dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;
      c.   wilayah pemungutan;
      d.   Masa Pajak;
      e.   penetapan;
      f.   tata cara pembayaran dan penagihan;
      g.   kedaluwarsa;

                                                  h. sanksi . . .
                      - 50 -


      h.   sanksi administratif; dan
      i.   tanggal mulai berlakunya.
(4)   Peraturan Daerah tentang Pajak dapat juga mengatur
      ketentuan mengenai:
      a.   pemberian     pengurangan,     keringanan,    dan
           pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak
           dan/atau sanksinya;
      b.   tata  cara   penghapusan    piutang   pajak     yang
           kedaluwarsa; dan/atau
      c.   asas timbal balik, berupa pemberian pengurangan,
           keringanan, dan pembebasan pajak kepada kedutaan,
           konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan
           kelaziman internasional.




                      BAB V
               PEMUNGUTAN PAJAK


                  Bagian Kesatu
              Tata Cara Pemungutan


                     Pasal 96
(1)   Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.
(2)   Setiap Wajib Pajak wajib membayar Pajak yang terutang
      berdasarkan surat ketetapan pajak atau dibayar sendiri
      oleh Wajib Pajak berdasarkan peraturan perundang-
      undangan perpajakan.
(3)   Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan
      berdasarkan penetapan Kepala Daerah dibayar dengan
      menggunakan    SKPD    atau  dokumen    lain  yang
      dipersamakan.
(4)   Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud
      pada ayat (3) berupa karcis dan nota perhitungan.
(5)   Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri
      dibayar dengan menggunakan SPTPD, SKPDKB, dan/atau
      SKPDKBT.


                                                 Pasal 97 . . .
                       - 51 -



                      Pasal 97
(1)   Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat
      terutangnya pajak, Kepala Daerah dapat menerbitkan:
      a.   SKPDKB dalam hal:
           1)   jika  berdasarkan    hasil  pemeriksaan    atau
                keterangan lain, pajak yang terutang tidak atau
                kurang dibayar;
           2)   jika SPTPD tidak disampaikan kepada Kepala
                Daerah dalam jangka waktu tertentu dan setelah
                ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada
                waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat
                teguran;
           3)   jika kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi,
                pajak yang terutang dihitung secara jabatan.
      b.   SKPDKBT jika ditemukan data baru dan/atau data
           yang semula belum terungkap yang menyebabkan
           penambahan jumlah pajak yang terutang.
      c.   SKPDN jika jumlah pajak yang terutang sama
           besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak
           terutang dan tidak ada kredit pajak.
(2)   Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1) dan
      angka 2) dikenakan sanksi administratif berupa bunga
      sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang
      kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling
      lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat
      terutangnya pajak.
(3)   Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan
      sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100%
      (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
(4)   Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak
      dikenakan jika Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum
      dilakukan tindakan pemeriksaan.



                                              (5) Jumlah . . .
                      - 52 -

(5)   Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3) dikenakan sanksi
      administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh
      lima persen) dari pokok pajak ditambah sanksi
      administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen)
      sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat
      dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh
      empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.


                     Pasal 98
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis Pajak yang dapat
dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah atau dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak dan ketentuan lainnya berkaitan
dengan    pemungutan   Pajak   diatur  dengan   Peraturan
Pemerintah.


                     Pasal 99
(1)   Tata cara penerbitan SKPD atau dokumen lain yang
      dipersamakan,      SPTPD,    SKPDKB,     dan SKPDKBT
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (3) dan ayat
      (5) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan
      penyampaian      SKPD     atau    dokumen    lain   yang
      dipersamakan,      SPTPD,    SKPDKB,     dan    SKPDKBT
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (3) dan ayat
      (5) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.


                  Bagian Kedua
               Surat Tagihan Pajak


                    Pasal 100
(1)   Kepala Daerah dapat menerbitkan STPD jika:
      a. pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
      b. dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan
         pembayaran sebagai akibat salah tulis dan/atau salah
         hitung;

                                                   c. Wajib . . .
                      - 53 -

      c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa
         bunga dan/atau denda.
(2)   Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b
      ditambah dengan sanksi administratif berupa bunga
      sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15
      (lima belas) bulan sejak saat terutangnya pajak.
(3)   SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo
      pembayaran dikenakan sanksi administratif berupa bunga
      sebesar 2% (dua persen) sebulan dan ditagih melalui STPD.


                  Bagian Ketiga
      Tata Cara Pembayaran dan Penagihan


                    Pasal 101
(1)   Kepala Daerah menentukan tanggal jatuh tempo
      pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang paling
      lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutangnya
      pajak dan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal
      diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.
(2)   SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan
      Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan
      Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus
      dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan
      harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu)
      bulan sejak tanggal diterbitkan.
(3)   Kepala Daerah atas permohonan Wajib Pajak setelah
      memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat memberikan
      persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau
      menunda pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga
      sebesar 2% (dua persen) sebulan.
(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran,
      penyetoran,    tempat  pembayaran,    angsuran,  dan
      penundaan pembayaran pajak diatur dengan Peraturan
      Kepala Daerah.

                                                Pasal 102 . . .
                      - 54 -

                    Pasal 102
(1)   Pajak yang terutang berdasarkan SPPT, SKPD, SKPDKB,
      SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat
      Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak
      atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya
      dapat ditagih dengan Surat Paksa.
(2)   Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan
      berdasarkan peraturan perundang-undangan.


                 Bagian Keempat
              Keberatan dan Banding


                    Pasal 103
(1)   Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada
      Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atas suatu:
      a.   SPPT;
      b.   SKPD;
      c.   SKPDKB;
      d.   SKPDKBT;
      e.   SKPDLB;
      f.   SKPDN; dan
      g.   Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga
           berdasarkan   ketentuan    peraturan perundang-
           undangan perpajakan daerah.
(2)   Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
      dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
(3)   Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama
      3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau
      pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali
      jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu
      itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar
      kekuasaannya.
(4)   Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah
      membayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui
      Wajib Pajak.

                                              (5) Keberatan . . .
                      - 55 -


(5)   Keberatan     yang     tidak    memenuhi  persyaratan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
      dan ayat (4) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan
      sehingga tidak dipertimbangkan.
(6)   Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh
      Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atau tanda
      pengiriman surat keberatan melalui surat pos tercatat
      sebagai tanda bukti penerimaan surat keberatan.


                    Pasal 104
(1)   Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (dua
      belas) bulan, sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus
      memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
(2)   Keputusan Kepala Daerah atas keberatan dapat berupa
      menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau
      menambah besarnya pajak yang terutang.
(3)   Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      telah lewat dan Kepala Daerah tidak memberi suatu
      keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap
      dikabulkan.


                    Pasal 105
(1)   Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya
      kepada Pengadilan Pajak terhadap keputusan mengenai
      keberatannya yang ditetapkan oleh Kepala Daerah.
(2)   Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan
      alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak
      keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan
      keberatan tersebut.
(3)   Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban
      membayar pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak
      tanggal penerbitan Putusan Banding.



                                                 Pasal 106 . . .
                        - 56 -

                      Pasal 106
  (1)   Jika pengajuan keberatan atau permohonan banding
        dikabulkan    sebagian   atau   seluruhnya,   kelebihan
        pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan
        bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama
        24 (dua puluh empat) bulan.
  (2)   Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
        dihitung   sejak  bulan pelunasan sampai dengan
        diterbitkannya SKPDLB.
  (3)   Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan
        sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa
        denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak
        berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak
        yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
  (4)   Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding,
        sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh
        persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak
        dikenakan.
  (5)   Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan
        sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa
        denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak
        berdasarkan    Putusan    Banding    dikurangi     dengan
        pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan
        keberatan.



                    Bagian Kelima
Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan, dan
Penghapusan atau Pengurangan Sanksi administratif


                      Pasal 107
  (1)   Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya,
        Kepala Daerah dapat membetulkan SPPT, SKPD, SKPDKB,
        SKPDKBT atau STPD, SKPDN atau SKPDLB yang dalam
        penerbitannya    terdapat  kesalahan    tulis  dan/atau
        kesalahan   hitung    dan/atau   kekeliruan   penerapan
        ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan
        perpajakan daerah.

                                                  (2) Kepala . . .
                       - 57 -

(2)   Kepala Daerah dapat:
      a.   mengurangkan      atau    menghapuskan    sanksi
           administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan
           pajak yang terutang menurut peraturan perundang-
           undangan perpajakan daerah, dalam hal sanksi
           tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak
           atau bukan karena kesalahannya;
      b.   mengurangkan atau membatalkan SPPT, SKPD,
           SKPDKB, SKPDKBT atau STPD, SKPDN atau SKPDLB
           yang tidak benar;
      c.   mengurangkan atau membatalkan STPD;
      d.   membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak
           yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai
           dengan tata cara yang ditentukan; dan
      e.   mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan
           pertimbangan kemampuan membayar Wajib Pajak
           atau kondisi tertentu objek pajak.
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan
      atau penghapusan sanksi administratif dan pengurangan
      atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana dimaksud
      pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.




                      BAB VI
                    RETRIBUSI


                   Bagian Kesatu
           Objek dan Golongan Retribusi


                     Pasal 108
(1)   Objek Retribusi adalah:
      a.   Jasa Umum;
      b.   Jasa Usaha; dan
      c.   Perizinan Tertentu.

                                            (2) Retribusi . . .
                       - 58 -

(2)   Retribusi yang dikenakan atas jasa umum sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) huruf a digolongkan sebagai
      Retribusi Jasa Umum.
(3)   Retribusi yang dikenakan atas jasa usaha sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) huruf b digolongkan sebagai
      Retribusi Jasa Usaha.
(4)   Retribusi yang dikenakan atas perizinan tertentu
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c digolongkan
      sebagai Retribusi Perizinan Tertentu.


                   Bagian Kedua
               Retribusi Jasa Umum


                     Pasal 109
Objek Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang disediakan
atau diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan
dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang
pribadi atau Badan.


                     Pasal 110
(1)   Jenis Retribusi Jasa Umum adalah:
      a.   Retribusi Pelayanan Kesehatan;
      b.   Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan;
      c.   Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda
           Penduduk dan Akta Catatan Sipil;
      d.   Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan
           Mayat;
      e.   Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum;
      f.   Retribusi Pelayanan Pasar;
      g.   Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor;
      h.   Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran;
      i.   Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta;
      j.   Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus;
      k.   Retribusi Pengolahan Limbah Cair;
      l. Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang;
      m. Retribusi Pelayanan Pendidikan; dan


                                                n. Retribusi . . .
                      - 59 -

      n.   Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi.
(2)   Jenis Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
      tidak dipungut apabila potensi penerimaannya kecil
      dan/atau     atas   kebijakan  nasional/daerah    untuk
      memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma.


                    Pasal 111
(1)   Objek Retribusi Pelayanan Kesehatan sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf a adalah
      pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling,
      puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit
      umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya
      yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh
      Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan pendaftaran.
(2)   Dikecualikan dari objek Retribusi pelayanan kesehatan
      adalah pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh
      Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta.


                    Pasal 112
(1)   Objek Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf b
      adalah    pelayanan     persampahan/kebersihan    yang
      diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
      a.   pengambilan/pengumpulan sampah dari sumbernya
           ke lokasi pembuangan sementara;
      b.   pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau
           lokasi  pembuangan    sementara    ke   lokasi
           pembuangan/pembuangan akhir sampah; dan
      c.   penyediaan lokasi pembuangan/pemusnahan akhir
           sampah.
(2)   Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) adalah pelayanan kebersihan jalan umum,
      taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.


                    Pasal 113
Objek Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda
Penduduk dan Akta Catatan Sipil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 110 ayat (1) huruf c adalah pelayanan:


                                                 a. kartu . . .
                       - 60 -

a.    kartu tanda penduduk;
b.    kartu keterangan bertempat tinggal;
c.    kartu identitas kerja;
d.    kartu penduduk sementara;
e.    kartu identitas penduduk musiman;
f.    kartu keluarga; dan
g.    akta catatan sipil yang meliputi akta perkawinan, akta
      perceraian, akta pengesahan dan pengakuan anak, akta
      ganti nama bagi warga negara asing, dan akta kematian.


                     Pasal 114
Objek Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf d adalah
pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat yang meliputi:
a.    pelayanan penguburan/pemakaman termasuk penggalian
      dan pengurukan, pembakaran/pengabuan mayat; dan
b.    sewa tempat pemakaman atau pembakaran/pengabuan
      mayat yang dimiliki atau dikelola Pemerintah Daerah.


                     Pasal 115
Objek Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf e adalah
penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang
ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.


                     Pasal 116
(1)   Objek Retribusi Pelayanan Pasar sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 110 ayat (1) huruf f adalah penyediaan
      fasilitas pasar tradisional/sederhana, berupa pelataran,
      los, kios yang dikelola Pemerintah Daerah, dan khusus
      disediakan untuk pedagang.
(2)   Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) adalah pelayanan fasilitas pasar yang dikelola
      oleh BUMN, BUMD, dan pihak swasta.


                                                  Pasal 117 . . .
                     - 61 -

                   Pasal 117
Objek Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf g adalah pelayanan
pengujian kendaraan bermotor, termasuk kendaraan bermotor
di air, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.


                   Pasal 118
Objek Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf h
adalah pelayanan pemeriksaan dan/atau pengujian alat
pemadam kebakaran, alat penanggulangan kebakaran, dan alat
penyelamatan jiwa oleh Pemerintah Daerah terhadap alat-alat
pemadam kebakaran, alat penanggulangan kebakaran, dan alat
penyelamatan jiwa yang dimiliki dan/atau dipergunakan oleh
masyarakat.


                   Pasal 119
Objek Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf i adalah penyediaan
peta yang dibuat oleh Pemerintah Daerah.


                   Pasal 120
(1)   Objek Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf j
      adalah pelayanan penyediaan dan/atau penyedotan kakus
      yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
(2)   Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) adalah pelayanan penyediaan dan/atau
      penyedotan kakus yang disediakan, dimiliki dan/atau
      dikelola oleh BUMN, BUMD dan pihak swasta.


                   Pasal 121
(1)   Objek Retribusi Pengolahan Limbah Cair sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf k adalah
      pelayanan pengolahan limbah cair rumah tangga,
      perkantoran, dan industri yang disediakan, dimiliki,
      dan/atau dikelola secara khusus oleh Pemerintah Daerah
      dalam bentuk instalasi pengolahan limbah cair.


                                         (2) Dikecualikan . . .
                      - 62 -

(2)   Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) adalah pelayanan pengolahan limbah cair
      yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh
      Pemerintah,   BUMN,     BUMD,     pihak   swasta,  dan
      pembuangan limbah cair secara langsung ke sungai,
      drainase, dan/atau sarana pembuangan lainnya.

                    Pasal 122
Objek Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf l adalah:
a.    pelayanan pengujian alat-alat ukur, takar, timbang, dan
      perlengkapannya; dan
b.    pengujian barang dalam keadaan terbungkus yang
      diwajibkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
      undangan.


                    Pasal 123
(1)   Objek Retribusi Pelayanan Pendidikan sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf m adalah
      pelayanan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
      teknis oleh Pemerintah Daerah.
(2)   Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) adalah:
      a.   pelayanan pendidikan dasar dan menengah yang
           diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah;
      b.   pendidikan/pelatihan yang diselenggarakan oleh
           Pemerintah;
      c.   pendidikan/pelatihan yang diselenggarakan oleh
           BUMN, BUMD; dan
      d.   pendidikan/pelatihan yang diselenggarakan oleh pihak
           swasta.


                    Pasal 124
Objek   Retribusi Pengendalian Menara   Telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf n
adalah pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi
dengan memperhatikan aspek tata ruang, keamanan, dan
kepentingan umum.


                                                Pasal 125 . . .
                      - 63 -

                    Pasal 125
(1)   Subjek Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau
      Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa
      umum yang bersangkutan.
(2)   Wajib Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau
      Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-
      undangan     Retribusi  diwajibkan untuk   melakukan
      pembayaran Retribusi, termasuk pemungut atau pemotong
      Retribusi Jasa Umum.


                  Bagian Ketiga
               Retribusi Jasa Usaha


                    Pasal 126
Objek Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan
oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial
yang meliputi:
a.    pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan
      Daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal;
      dan/atau
b.    pelayanan oleh Pemerintah Daerah sepanjang             belum
      disediakan secara memadai oleh pihak swasta.


                    Pasal 127
Jenis Retribusi Jasa Usaha adalah:
a.    Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah;
b.    Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan;
c.    Retribusi Tempat Pelelangan;
d.    Retribusi Terminal;
e.    Retribusi Tempat Khusus Parkir;
f.    Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa;
g.    Retribusi Rumah Potong Hewan;
h.    Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan;
i.    Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga;



                                                   j. Retribusi . . .
                       - 64 -

j.    Retribusi Penyeberangan di Air; dan
k.    Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.


                     Pasal 128
(1)   Objek Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 127 huruf a adalah pemakaian
      kekayaan Daerah.
(2)   Dikecualikan dari pengertian pemakaian kekayaan Daerah
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penggunaan
      tanah yang tidak mengubah fungsi dari tanah tersebut.


                     Pasal 129
(1)   Objek Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf b adalah
      penyediaan fasilitas pasar grosir berbagai jenis barang, dan
      fasilitas pasar/pertokoan yang dikontrakkan, yang
      disediakan/diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
(2)   Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) adalah fasilitas pasar yang disediakan,
      dimiliki, dan/atau dikelola oleh BUMN, BUMD, dan pihak
      swasta.


                     Pasal 130
(1)   Objek Retribusi Tempat Pelelangan sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 127 huruf c adalah penyediaan tempat
      pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah
      Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil
      bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta
      fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
(2)   Termasuk objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) adalah tempat yang dikontrak oleh Pemerintah
      Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat
      pelelangan.
(3)   Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) adalah tempat pelelangan yang disediakan,
      dimiliki dan/atau dikelola oleh BUMN, BUMD, dan pihak
      swasta.

                                                  Pasal 131 . . .
                      - 65 -

                    Pasal 131
(1)   Objek Retribusi Terminal sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 127 huruf d adalah pelayanan penyediaan tempat
      parkir untuk kendaraan penumpang dan bis umum,
      tempat kegiatan usaha, dan fasilitas lainnya di lingkungan
      terminal, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh
      Pemerintah Daerah.
(2)   Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) adalah terminal yang disediakan, dimiliki,
      dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan
      pihak swasta.


                    Pasal 132
(1)   Objek Retribusi Tempat Khusus Parkir sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 127 huruf e adalah pelayanan
      tempat khusus parkir yang disediakan, dimiliki, dan/atau
      dikelola oleh Pemerintah Daerah.
(2)   Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) adalah pelayanan tempat parkir yang
      disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah,
      BUMN, BUMD, dan pihak swasta.


                    Pasal 133
(1)   Objek Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf f adalah
      pelayanan tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang
      disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah
      Daerah.
(2)   Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud
      pada         ayat        (1)        adalah       tempat
      penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki,
      dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan
      pihak swasta.


                    Pasal 134
(1)   Objek Retribusi Rumah Potong Hewan sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 127 huruf g adalah pelayanan
      penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak
      termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan
      sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki,
      dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.


                                           (2) Dikecualikan . . .
                      - 66 -

(2)   Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) adalah pelayanan penyediaan fasilitas rumah
      pemotongan hewan ternak yang disediakan, dimiliki,
      dan/atau dikelola oleh BUMN, BUMD, dan pihak swasta.


                    Pasal 135
(1)   Objek Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 127 huruf h adalah pelayanan jasa
      kepelabuhanan, termasuk fasilitas lainnya di lingkungan
      pelabuhan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola
      oleh Pemerintah Daerah.
(2)   Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) adalah pelayanan jasa kepelabuhanan yang
      disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah,
      BUMN, BUMD, dan pihak swasta.


                    Pasal 136
(1)   Objek    Retribusi   Tempat   Rekreasi   dan    Olahraga
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf i adalah
      pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang
      disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah
      Daerah.
(2)   Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) adalah pelayanan tempat rekreasi, pariwisata,
      dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola
      oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta.


                    Pasal 137
(1)   Objek Retribusi Penyeberangan di Air sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 127 huruf j adalah pelayanan
      penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan
      kendaraan di air yang dimiliki dan/atau dikelola oleh
      Pemerintah Daerah.
(2)   Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) adalah pelayanan penyeberangan yang
      dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta.


                                                 Pasal 138 . . .
                       - 67 -

                     Pasal 138
(1)   Objek Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf k adalah
      penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah.
(2)   Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) adalah penjualan produksi oleh Pemerintah,
      BUMN, BUMD, dan pihak swasta.


                     Pasal 139
(1)   Subjek Retribusi Jasa Usaha adalah orang pribadi atau
      Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa
      usaha yang bersangkutan.
(2)   Wajib Retribusi Jasa Usaha adalah orang pribadi atau
      Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-
      undangan     Retribusi  diwajibkan untuk   melakukan
      pembayaran Retribusi, termasuk pemungut atau pemotong
      Retribusi Jasa Usaha.


                 Bagian Keempat
           Retribusi Perizinan Tertentu


                     Pasal 140
Objek Retribusi Perizinan Tertentu adalah pelayanan perizinan
tertentu oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau
Badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan
atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya
alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna
melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian
lingkungan.


                     Pasal 141
Jenis Retribusi Perizinan Tertentu adalah:
a.    Retribusi Izin Mendirikan Bangunan;
b.    Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol;
c.    Retribusi Izin Gangguan;
d.    Retribusi Izin Trayek; dan
e.    Retribusi Izin Usaha Perikanan.



                                               Pasal 142 . . .
                     - 68 -

                    Pasal 142
(1)   Objek Retribusi Izin Mendirikan Bangunan sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 141 huruf a adalah pemberian izin
      untuk mendirikan suatu bangunan.
(2)   Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      meliputi kegiatan peninjauan desain dan pemantauan
      pelaksanaan pembangunannya agar tetap sesuai dengan
      rencana teknis bangunan dan rencana tata ruang, dengan
      tetap memperhatikan koefisien dasar bangunan (KDB),
      koefisien luas bangunan (KLB), koefisien ketinggian
      bangunan (KKB), dan pengawasan penggunaan bangunan
      yang meliputi pemeriksaan dalam rangka memenuhi syarat
      keselamatan bagi yang menempati bangunan tersebut.
(3)   Tidak termasuk objek Retribusi sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) adalah pemberian izin untuk bangunan milik
      Pemerintah atau Pemerintah Daerah.


                    Pasal 143
Objek Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf b adalah
pemberian izin untuk melakukan penjualan minuman
beralkohol di suatu tempat tertentu.


                    Pasal 144
(1)   Objek Retribusi Izin Gangguan sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 141 huruf c adalah pemberian izin tempat
      usaha/kegiatan kepada orang pribadi atau Badan yang
      dapat menimbulkan ancaman bahaya, kerugian dan/atau
      gangguan, termasuk pengawasan dan pengendalian
      kegiatan usaha secara terus-menerus untuk mencegah
      terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau
      kesehatan umum, memelihara ketertiban lingkungan, dan
      memenuhi norma keselamatan dan kesehatan kerja.
(2)   Tidak termasuk objek Retribusi sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) adalah tempat usaha/kegiatan yang telah
      ditentukan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.


                                               Pasal 145 . . .
                         - 69 -

                       Pasal 145
Objek Retribusi Izin Trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal
141 huruf d adalah pemberian izin kepada orang pribadi atau
Badan untuk menyediakan pelayanan angkutan penumpang
umum pada suatu atau beberapa trayek tertentu.


                       Pasal 146
Objek Retribusi Izin Usaha Perikanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 141 huruf e adalah pemberian izin kepada orang
pribadi atau Badan untuk melakukan kegiatan usaha
penangkapan dan pembudidayaan ikan.


                       Pasal 147
(1)    Subjek Retribusi Perizinan Tertentu adalah orang pribadi
       atau Badan yang memperoleh izin tertentu dari Pemerintah
       Daerah.
(2)    Wajib Retribusi Perizinan Tertentu adalah orang pribadi
       atau Badan yang menurut            ketentuan peraturan
       perundang-undangan      Retribusi     diwajibkan untuk
       melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut
       atau pemotong Retribusi Perizinan Tertentu.


                       Pasal 148
Teknis pemberian perizinan tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 141 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.


                    Bagian Kelima
      Jenis, Rincian Objek, dan Kriteria Retribusi


                       Pasal 149
(1)    Jenis Retribusi Jasa Umum dan Retribusi Perizinan
       Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1)
       dan Pasal 141, untuk Daerah provinsi dan Daerah
       kabupaten/kota disesuaikan dengan kewenangan Daerah
       masing-masing sebagaimana diatur dalam peraturan
       perundang-undangan.

                                                     (2) Jenis . . .
                      - 70 -

(2)   Jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 127, untuk Daerah provinsi dan Daerah
      kabupaten/kota disesuaikan dengan jasa/pelayanan yang
      diberikan oleh Daerah masing-masing.
(3)   Rincian jenis objek dari setiap Retribusi sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1), Pasal 127, dan Pasal
      141 diatur dalam Peraturan Daerah yang bersangkutan.


                    Pasal 150
Jenis Retribusi selain yang ditetapkan dalam Pasal 110 ayat (1),
Pasal 127, dan Pasal 141 sepanjang memenuhi kriteria sebagai
berikut:
a.    Retribusi Jasa Umum:
      1.   Retribusi Jasa Umum bersifat bukan pajak dan
           bersifat bukan Retribusi Jasa Usaha atau Retribusi
           Perizinan Tertentu;
      2.   jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan
           Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi;
      3.   jasa tersebut memberi manfaat khusus bagi orang
           pribadi atau Badan yang diharuskan membayar
           retribusi, disamping untuk melayani kepentingan dan
           kemanfaatan umum;
      4.   jasa tersebut hanya diberikan kepada orang pribadi
           atau Badan yang membayar retribusi dengan
           memberikan keringanan bagi masyarakat yang tidak
           mampu;
      5.   Retribusi tidak bertentangan dengan        kebijakan
           nasional mengenai penyelenggaraannya;
      6.   Retribusi dapat dipungut secara efektif dan efisien,
           serta merupakan salah satu sumber pendapatan
           Daerah yang potensial; dan
      7.   pemungutan Retribusi memungkinkan penyediaan
           jasa tersebut dengan tingkat dan/atau kualitas
           pelayanan yang lebih baik.
b.    Retribusi Jasa Usaha:
      1.   Retribusi Jasa Usaha bersifat bukan pajak dan
           bersifat bukan Retribusi Jasa Umum atau Retribusi
           Perizinan Tertentu; dan

                                                     2. jasa . . .
                        - 71 -

      2.    jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat
            komersial yang seyogyanya disediakan oleh sektor
            swasta tetapi belum memadai atau terdapatnya harta
            yang    dimiliki/dikuasai  Daerah    yang    belum
            dimanfaatkan secara penuh oleh Pemerintah Daerah.
c.    Retribusi Perizinan Tertentu:
      1.    perizinan     tersebut      termasuk kewenangan
            pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam
            rangka asas desentralisasi;
      2.    perizinan tersebut benar-benar diperlukan      guna
            melindungi kepentingan umum; dan
      3.    biaya     yang    menjadi beban  Daerah    dalam
            penyelenggaraan izin tersebut dan biaya untuk
            menanggulangi dampak negatif dari pemberian izin
            tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai dari
            retribusi perizinan;
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.


                   Bagian Keenam
           Tata Cara Penghitungan Retribusi


                      Pasal 151
(1)   Besarnya Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan
      perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif
      Retribusi.
(2)   Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) adalah jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar
      alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk
      penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
(3)   Apabila tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) sulit diukur maka tingkat penggunaan jasa
      dapat ditaksir berdasarkan rumus yang dibuat oleh
      Pemerintah Daerah.
(4)   Rumus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
      mencerminkan beban yang dipikul oleh Pemerintah Daerah
      dalam menyelenggarakan jasa tersebut.

                                                 (5) Tarif . . .
                      - 72 -

(5)   Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
      nilai rupiah atau persentase tertentu yang ditetapkan
      untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
(6)   Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
      ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan
      sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif
      Retribusi.


                 Bagian Ketujuh
 Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi


                    Pasal 152
(1)   Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa
      Umum      ditetapkan    dengan   memperhatikan     biaya
      penyediaan     jasa  yang   bersangkutan,    kemampuan
      masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian
      atas pelayanan tersebut.
(2)   Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya
      operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
(3)   Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan
      biaya penyediaan jasa, penetapan tarif hanya untuk
      menutup sebagian biaya.
(4)   Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk
      dan Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta hanya
      memperhitungkan         biaya      pencetakan      dan
      pengadministrasian.


                    Pasal 153
(1)   Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif
      Retribusi Jasa Usaha didasarkan pada tujuan untuk
      memperoleh keuntungan yang layak.
(2)   Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan
      jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan
      berorientasi pada harga pasar.

                                                 Pasal 154 . . .
                        - 73 -

                      Pasal 154
 (1)   Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi
       Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup
       sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian
       izin yang bersangkutan.
 (2)   Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana
       dimaksud pada ayat (1) meliputi penerbitan dokumen izin,
       pengawasan     di   lapangan,     penegakan     hukum,
       penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian
       izin tersebut.


                      Pasal 155
 (1)   Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun
       sekali.
 (2)   Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada
       ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga
       dan perkembangan perekonomian.
 (3)   Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat
       (2) ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.




                       BAB VII
       PENETAPAN DAN MUATAN YANG DIATUR
DALAM PERATURAN DAERAH TENTANG RETRIBUSI


                      Pasal 156
 (1)   Retribusi ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
 (2)   Peraturan Daerah tentang Retribusi tidak dapat berlaku
       surut.
 (3)   Peraturan Daerah tentang Retribusi         paling     sedikit
       mengatur ketentuan mengenai:
       a.   nama, objek, dan Subjek Retribusi;
       b.   golongan Retribusi;


                                                       c. cara . . .
                        - 74 -

      c.   cara mengukur         tingkat   penggunaan     jasa    yang
           bersangkutan;
      d.   prinsip yang dianut dalam penetapan struktur dan
           besarnya tarif Retribusi;
      e.   struktur dan besarnya tarif Retribusi;
      f.   wilayah pemungutan;
      g.   penentuan    pembayaran,   tempat            pembayaran,
           angsuran, dan penundaan pembayaran;
      h.   sanksi administratif;
      i.   penagihan;
      j.   penghapusan piutang Retribusi yang kedaluwarsa;
           dan
      k.   tanggal mulai berlakunya.
(4)   Peraturan Daerah tentang Retribusi dapat juga mengatur
      ketentuan mengenai:
      a.   Masa Retribusi;
      b.   pemberian     keringanan,     pengurangan,              dan
           pembebasan dalam hal-hal tertentu atas                pokok
           Retribusi dan/atau sanksinya; dan/atau
      c.   tata cara penghapusan           piutang   Retribusi    yang
           kedaluwarsa.
(5)   Pengurangan dan keringanan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (4) huruf b diberikan dengan melihat kemampuan
      Wajib Retribusi.
(6)   Pembebasan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat
      (4) huruf b diberikan dengan melihat fungsi   objek
      Retribusi.
(7)   Peraturan Daerah untuk jenis Retribusi yang tergolong
      dalam Retribusi Perizinan Tertentu harus terlebih dahulu
      disosialisasikan dengan masyarakat sebelum ditetapkan.
(8)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme
      pelaksanaan      penyebarluasan     Peraturan    Daerah
      sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dengan
      Peraturan Kepala Daerah.

                                                       BAB VIII . . .
                         - 75 -

                        BAB VIII
           PENGAWASAN DAN PEMBATALAN
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAN RETRIBUSI


                       Pasal 157
   (1)   Rancangan Peraturan Daerah provinsi tentang Pajak dan
         Retribusi yang telah disetujui bersama oleh gubernur dan
         DPRD provinsi sebelum ditetapkan disampaikan kepada
         Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lambat
         3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan
         dimaksud.
   (2)   Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota tentang
         Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh
         bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota sebelum
         ditetapkan disampaikan kepada gubernur dan Menteri
         Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak
         tanggal persetujuan dimaksud.
   (3)   Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap
         Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada
         ayat (1) untuk menguji kesesuaian Rancangan Peraturan
         Daerah     dengan    ketentuan   Undang-Undang    ini,
         kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang-
         undangan lain yang lebih tinggi.
   (4)   Gubernur melakukan evaluasi terhadap Rancangan
         Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
         untuk menguji kesesuaian Rancangan Peraturan Daerah
         dengan ketentuan Undang-Undang ini, kepentingan umum
         dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih
         tinggi.
   (5)   Menteri Dalam Negeri dan gubernur dalam melakukan
         evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
         berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.
   (6)   Hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan dengan Menteri
         Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat
         berupa persetujuan atau penolakan.


                                                     (7) Hasil . . .
                      - 76 -

(7)   Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
      disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada gubernur
      untuk Rancangan Peraturan Daerah provinsi dan oleh
      gubernur kepada bupati/walikota untuk Rancangan
      Peraturan Daerah kabupaten/kota dalam jangka waktu
      paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya
      Rancangan Peraturan Daerah dimaksud.
(8)   Hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud
      pada ayat (6) disampaikan dengan disertai alasan
      penolakan.
(9)   Dalam hal hasil evaluasi berupa persetujuan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (6), Rancangan Peraturan Daerah
      dimaksud dapat langsung ditetapkan.
(10) Dalam hal hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana
     dimaksud pada ayat (6), Rancangan Peraturan Daerah
     dimaksud dapat diperbaiki oleh gubernur, bupati/walikota
     bersama DPRD yang bersangkutan, untuk kemudian
     disampaikan kembali kepada Menteri Dalam Negeri dan
     Menteri Keuangan untuk Rancangan Peraturan Daerah
     provinsi dan kepada gubernur dan Menteri Keuangan
     untuk Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota.


                    Pasal 158
(1)   Peraturan     Daerah      yang telah ditetapkan    oleh
      gubernur/bupati/walikota disampaikan kepada Menteri
      Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 7 (tujuh)
      hari kerja setelah ditetapkan.
(2)   Dalam hal Peraturan Daerah bertentangan dengan
      kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-
      undangan   yang    lebih  tinggi,  Menteri    Keuangan
      merekomendasikan     pembatalan    Peraturan    Daerah
      dimaksud kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
(3)   Penyampaian rekomendasi pembatalan oleh Menteri
      Keuangan kepada Menteri Dalam Negeri sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat 20 (dua
      puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya Peraturan
      Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


                                           (4) Berdasarkan . . .
                      - 77 -

(4)   Berdasarkan rekomendasi pembatalan yang disampaikan
      oleh Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri mengajukan
      permohonan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud
      kepada Presiden.
(5)   Keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana
      dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan
      Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak
      diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1).
(6)   Paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah keputusan
      pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala
      Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Peraturan
      Daerah dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah
      mencabut Peraturan Daerah dimaksud.
(7)   Jika provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima
      keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana
      dimaksud pada ayat (5) dengan alasan-alasan yang dapat
      dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala
      Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah
      Agung.
(8)   Jika keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
      dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah
      Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi
      batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
(9)   Jika Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden
      untuk membatalkan Peraturan Daerah sebagaimana
      dimaksud pada ayat (5), Peraturan Daerah dimaksud
      dinyatakan berlaku.


                    Pasal 159
(1)   Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 158 ayat
      (1) dan ayat (6) oleh Daerah dikenakan sanksi berupa
      penundaan atau pemotongan Dana Alokasi Umum
      dan/atau Dana Bagi Hasil atau restitusi.
(2)   Tata cara pelaksanaan penundaan atau pemotongan Dana
      Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil atau restitusi
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
      Peraturan Menteri Keuangan.

                                                   BAB IX . . .
                      - 78 -

                     BAB IX
            PEMUNGUTAN RETRIBUSI


                  Bagian Kesatu
              Tata Cara Pemungutan


                    Pasal 160
(1)   Retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD atau
      dokumen lain yang dipersamakan.
(2)   Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) dapat berupa karcis, kupon, dan kartu
      langganan.
(3)   Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat
      pada waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi
      administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap
      bulan dari Retribusi yang terutang yang tidak atau kurang
      dibayar dan ditagih dengan menggunakan STRD.
(4)   Penagihan Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada
      ayat (3) didahului dengan Surat Teguran.
(5)   Tata cara pelaksanaan pemungutan Retribusi ditetapkan
      dengan Peraturan Kepala Daerah.



                  Bagian Kedua
                  Pemanfaatan


                    Pasal 161
(1)   Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis
      Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang
      berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan
      yang bersangkutan.
(2)   Ketentuan mengenai alokasi pemanfaatan penerimaan
      Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
      dengan Peraturan Daerah.


                                                   Bagian . . .
                      - 79 -

                  Bagian Ketiga
                    Keberatan


                    Pasal 162
(1)   Wajib Retribusi tertentu dapat mengajukan keberatan
      hanya kepada Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk
      atas SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
(2)   Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
      dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
(3)   Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama
      3 (tiga) bulan sejak tanggal SKRD diterbitkan, kecuali jika
      Wajib Retribusi tertentu dapat menunjukkan bahwa jangka
      waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar
      kekuasaannya.
(4)   Keadaan di luar kekuasaannya sebagaimana dimaksud
      pada ayat (3) adalah suatu keadaan yang terjadi di luar
      kehendak atau kekuasaan Wajib Retribusi.
(5)   Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar
      Retribusi dan pelaksanaan penagihan Retribusi.


                    Pasal 163
(1)   Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 6 (enam)
      bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima harus
      memberi keputusan atas keberatan yang diajukan dengan
      menerbitkan Surat Keputusan Keberatan.
(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
      untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Retribusi,
      bahwa keberatan yang diajukan harus diberi keputusan
      oleh Kepala Daerah.
(3)   Keputusan Kepala Daerah atas keberatan dapat berupa
      menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau
      menambah besarnya Retribusi yang terutang.
(4)   Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      telah lewat dan Kepala Daerah tidak memberi suatu
      keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap
      dikabulkan.

                                                 Pasal 164 . . .
                      - 80 -

                    Pasal 164
(1)   Jika pengajuan keberatan dikabulkan sebagian atau
      seluruhnya, kelebihan pembayaran Retribusi dikembalikan
      dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen)
      sebulan untuk paling lama 12 (dua belas) bulan.
(2)   Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      dihitung   sejak  bulan pelunasan sampai dengan
      diterbitkannya SKRDLB.




                      BAB X
  PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN


                    Pasal 165
(1)   Atas kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi, Wajib
      Pajak atau Wajib Retribusi dapat mengajukan permohonan
      pengembalian kepada Kepala Daerah.
(2)   Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (dua
      belas) bulan, sejak diterimanya permohonan pengembalian
      kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1), harus memberikan keputusan.
(3)   Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 6 (enam)
      bulan, sejak diterimanya permohonan pengembalian
      kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
(4)   Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      dan ayat (3) telah dilampaui dan Kepala Daerah tidak
      memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian
      pembayaran Pajak atau Retribusi dianggap dikabulkan dan
      SKPDLB atau SKRDLB harus diterbitkan dalam jangka
      waktu paling lama 1 (satu) bulan.
(5)   Apabila Wajib Pajak atau Wajib Retribusi mempunyai
      utang Pajak atau utang Retribusi lainnya, kelebihan
      pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi
      terlebih dahulu utang Pajak atau utang Retribusi tersebut.


                                           (6) Pengembalian . . .
                      - 81 -

(6)   Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
      jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak
      diterbitkannya SKPDLB atau SKRDLB.
(7)   Jika pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau
      Retribusi dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Kepala
      Daerah memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua
      persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan
      pembayaran Pajak atau Retribusi.
(8)   Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau
      Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
      dengan Peraturan Kepala Daerah.



                      BAB XI
           KEDALUWARSA PENAGIHAN


                     Pasal 166
(1)   Hak untuk melakukan penagihan Pajak menjadi
      kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun
      terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila
      Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang
      perpajakan daerah.
(2)   Kedaluwarsa penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) tertangguh apabila:
      a.   diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
      b.   ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak, baik
           langsung maupun tidak langsung.
(3)   Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa
      penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat
      Paksa tersebut.
(4)   Pengakuan utang Pajak secara langsung sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah Wajib Pajak dengan
      kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Pajak
      dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.


                                            (5) Pengakuan . . .
                      - 82 -

(5)   Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari
      pengajuan permohonan angsuran atau penundaan
      pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.


                    Pasal 167
(1)   Hak untuk melakukan penagihan Retribusi menjadi
      kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun
      terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika
      Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang
      Retribusi.
(2)   Kedaluwarsa penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) tertangguh jika:
      a. diterbitkan Surat Teguran; atau
      b. ada pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi,
          baik langsung maupun tidak langsung.
(3)   Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa penagihan
      dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran tersebut.
(4)   Pengakuan utang Retribusi secara langsung sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah Wajib Retribusi
      dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai
      utang Retribusi dan belum melunasinya kepada
      Pemerintah Daerah.
(5)   Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat
      diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau
      penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh
      Wajib Retribusi.


                    Pasal 168
(1)   Piutang Pajak dan/atau Retribusi yang tidak mungkin
      ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah
      kedaluwarsa dapat dihapuskan.
(2)   Gubernur menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang
      Pajak dan/atau Retribusi provinsi yang sudah kedaluwarsa
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


                                       (3) Bupati/walikota . . .
                      - 83 -

(3)   Bupati/walikota menetapkan Keputusan Penghapusan
      Piutang Pajak dan/atau Retribusi kabupaten/kota yang
      sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4)   Tata cara penghapusan piutang Pajak dan/atau Retribusi
      yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Kepala
      Daerah.



                     BAB XII
           PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN


                     Pasal 169
(1)   Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan omzet paling
      sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) per tahun
      wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
(2)   Kriteria Wajib Pajak dan penentuan besaran omzet serta
      tata cara pembukuan atau pencatatan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala
      Daerah.


                     Pasal 170
(1)   Kepala Daerah berwenang melakukan pemeriksaan untuk
      menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
      daerah   dan     kewajiban Retribusi dalam    rangka
      melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan
      daerah dan Retribusi.
(2)   Wajib Pajak atau Wajib Retribusi yang diperiksa wajib:
      a.    memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau
            catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan
            dokumen lain yang berhubungan dengan objek Pajak
            atau objek Retribusi yang terutang;
      b.    memberikan kesempatan untuk memasuki tempat
            atau ruangan yang dianggap perlu dan memberikan
            bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
      c.    memberikan keterangan yang diperlukan.



                                               (3) Ketentuan . . .
                     - 84 -

(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan
      Pajak dan Retribusi diatur dengan Peraturan Kepala
      Daerah.


                    BAB XIII
            INSENTIF PEMUNGUTAN


                    Pasal 171
(1)   Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan
      Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian
      kinerja tertentu.
(2)   Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja
      Daerah.
(3)   Tata   cara  pemberian dan  pemanfaatan   insentif
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
      Peraturan Pemerintah.




                    BAB XIV
              KETENTUAN KHUSUS


                    Pasal 172
(1)   Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain
      segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan
      kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau
      pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan
      perundang-undangan perpajakan daerah.
(2)   Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
      juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala
      Daerah untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan
      peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(3)   Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) dan ayat (2) adalah:


                                                 a. Pejabat . . .
                      - 85 -

      a.   Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi
           atau saksi ahli dalam sidang pengadilan;
      b.   Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh
           Kepala Daerah untuk memberikan keterangan kepada
           pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang
           berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang
           keuangan daerah.
(4)   Untuk kepentingan Daerah, Kepala Daerah berwenang
      memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan,
      memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib
      Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
(5)   Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam
      perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim
      sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara
      Perdata, Kepala Daerah dapat memberi izin tertulis kepada
      pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga
      ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk
      memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan
      keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
(6)   Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
      harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat,
      keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara
      pidana atau perdata yang bersangkutan dengan
      keterangan yang diminta.




                     BAB XV
                   PENYIDIKAN


                    Pasal 173
(1)   Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan
      Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai
      Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di
      bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana
      dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.


                                              (2) Penyidik . . .
                      - 86 -

(2)   Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
      pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan
      Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang
      berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
      undangan.
(3)   Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      adalah:
      a.   menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti
           keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak
           pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi
           agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih
           lengkap dan jelas;
      b.   meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
           mengenai orang pribadi atau Badan tentang
           kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan
           dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan
           Retribusi;
      c.   meminta keterangan dan bahan bukti dari orang
           pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana
           di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
      d.   memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain
           berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan
           Daerah dan Retribusi;
      e.   melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan
           bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain,
           serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti
           tersebut;
      f.   meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka
           pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang
           perpajakan Daerah dan Retribusi;
      g.   menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang
           meninggalkan ruangan atau tempat pada saat
           pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa
           identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang
           dibawa;
      h.   memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak
           pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
      i.   memanggil orang untuk didengar keterangannya dan
           diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
      j.   menghentikan penyidikan; dan/atau

                                              k. melakukan . . .
                      - 87 -

      k.   melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran
           penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
           Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan
           peraturan perundang-undangan.
(4)   Penyidik   sebagaimana    dimaksud   pada   ayat  (1)
      memberitahukan       dimulainya    penyidikan    dan
      menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut
      Umum melalui Penyidik pejabat Polisi Negara Republik
      Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
      Undang-Undang Hukum Acara Pidana.



                     BAB XVI
               KETENTUAN PIDANA


                    Pasal 174
(1)   Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan
      SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap
      atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga
      merugikan keuangan Daerah dapat dipidana dengan
      pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana
      denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang
      yang tidak atau kurang dibayar.
(2)   Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan
      SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap
      atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga
      merugikan keuangan Daerah dapat dipidana dengan
      pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana
      denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang
      yang tidak atau kurang dibayar.


                    Pasal 175
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dituntut
setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun sejak saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau
berakhirnya Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak
yang bersangkutan.

                                              (3) Pasal 176 . . .
                      - 88 -


                    Pasal 176
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya
sehingga merugikan keuangan Daerah diancam pidana
kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling
banyak 3 (tiga) kali jumlah Retribusi terutang yang tidak atau
kurang dibayar.


                    Pasal 177
(1)   Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah
      yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban
      merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172
      ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan
      paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling
      banyak Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah).
(2)   Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah
      yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau
      seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban
      pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 ayat (1)
      dan ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama
      2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak
      Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(3)   Penuntutan   terhadap    tindak    pidana   sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas
      pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
(4)   Tuntutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
      ayat (2) sesuai dengan sifatnya adalah menyangkut
      kepentingan pribadi seseorang atau Badan selaku Wajib
      Pajak atau Wajib Retribusi, karena itu dijadikan tindak
      pidana pengaduan.



                    Pasal 178
Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174, Pasal 176, dan
Pasal 177 ayat (1) dan ayat (2) merupakan penerimaan negara.




                                                  BAB XVII . . .
                     - 89 -

                   BAB XVII
           KETENTUAN PERALIHAN


                   Pasal 179
Pada saat undang-undang ini berlaku, Pajak dan Retribusi yang
masih terutang berdasarkan Peraturan Daerah mengenai jenis
Pajak Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dan jenis Pajak kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2), dan Peraturan Daerah tentang Retribusi
mengenai jenis Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 110 ayat (1), jenis Retribusi Jasa Usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127, dan jenis Retribusi
Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141,
sepanjang tidak diatur dalam Peraturan Daerah yang
bersangkutan masih dapat ditagih selama jangka waktu 5 (lima)
tahun terhitung sejak saat terutang.



                   BAB XVIII
            KETENTUAN PENUTUP


                   Pasal 180
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
1.   Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah mengenai jenis
     Pajak provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
     (1) dan jenis Pajak kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
     dalam Pasal 2 ayat (2) masih tetap berlaku untuk jangka
     waktu 2 (dua) tahun sebelum diberlakukannya Peraturan
     Daerah yang baru berdasarkan Undang-Undang ini;
2.   Peraturan Daerah tentang Retribusi Daerah mengenai jenis
     Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
     110 ayat (1), jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana
     dimaksud dalam Pasal 127, dan jenis Retribusi Perizinan
     Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141, masih
     tetap berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun sebelum
     diberlakukannya Peraturan Daerah yang baru berdasarkan
     Undang-Undang ini;

                                             3. Peraturan . . .
                     - 90 -

3.   Peraturan Daerah Provinsi tentang Pajak Pengambilan dan
     Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan tetap
     berlaku paling lama 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya
     Undang-Undang     ini,   sepanjang    Peraturan   Daerah
     Kabupaten/Kota tentang Pajak Air Tanah belum
     diberlakukan berdasarkan Undang-Undang ini;
4.   Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi
     Daerah selain sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka
     2, dan angka 3 dinyatakan masih tetap berlaku paling lama
     1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang ini;
5.   Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak
     Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia
     Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
     Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
     Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas
     Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak
     Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia
     Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
     Nomor 3569) yang terkait dengan peraturan pelaksanaan
     mengenai Perdesaan dan Perkotaan masih tetap berlaku
     sampai dengan tanggal 31 Desember 2013, sepanjang
     belum ada Peraturan Daerah tentang Pajak Bumi dan
     Bangunan yang terkait dengan Perdesaan dan Perkotaan;
     dan
6.   Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea
     Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran
     Negara Republik Indonesia Nomor 44, Tambahan Lembaran
     Negara Republik Indonesia Nomor 3688) sebagaimana
     diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000
     tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun
     1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
     Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
     130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
     Nomor 3988) tetap berlaku paling lama 1 (satu) tahun sejak
     diberlakukannya Undang-Undang ini.


                   Pasal 181
Ketentuan mengenai Pajak Rokok sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
2014.



                                              Pasal 182 . . .
                    - 91 -

                  Pasal 182
Pada saat Undang-Undang ini berlaku:
1.   Menteri Keuangan bersama-sama dengan Menteri Dalam
     Negeri mengatur tahapan persiapan pengalihan Pajak Bumi
     dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak
     Daerah dalam waktu paling lambat 31 Desember 2013; dan
2.   Menteri Keuangan bersama-sama dengan Menteri Dalam
     Negeri mengatur tahapan persiapan pengalihan Bea
     Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagai Pajak
     Daerah paling lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya
     Undang-Undang ini.


                  Pasal 183
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997
Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3685) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4048) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


                  Pasal 184
Peraturan pelaksanaan atas Undang-Undang ini ditetapkan
paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini
diundangkan.


                  Pasal 185
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
2010.



                                                  Agar . . .
                                  - 92 -

             Agar    setiap  orang    mengetahuinya,   memerintahkan
             pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
             dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



                                 Disahkan di Jakarta
                                 pada tanggal 15 September 2009
                                 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

                                               ttd

                                 DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO



Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 September 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
          REPUBLIK INDONESIA,

                   ttd

            ANDI MATTALATTA



   LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 130



          Salinan sesuai dengan aslinya
   SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA
    Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
        Bidang Perekonomian dan Industri,




            SETIO SAPTO NUGROHO
                              PENJELASAN
                                  ATAS
                UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                         NOMOR 28 TAHUN 2009
                                TENTANG
                PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH


I. UMUM

  Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan Republik
  Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri
  atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut
  mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan
  pemerintahannya     untuk   meningkatkan     efisiensi dan   efektivitas
  penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
  Untuk menyelenggarakan pemerintahan tersebut, Daerah berhak
  mengenakan pungutan kepada masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang
  Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan
  perpajakan sebagai salah satu perwujudan kenegaraan, ditegaskan bahwa
  penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan pungutan lain yang
  bersifat memaksa diatur dengan      Undang-Undang. Dengan demikian,
  pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus didasarkan pada
  Undang-Undang.
  Selama ini pungutan Daerah yang berupa Pajak dan Retribusi diatur
  dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
  Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
  34 Tahun 2000. Sesuai dengan Undang-Undang tersebut, Daerah diberi
  kewenangan untuk memungut 11 (sebelas) jenis Pajak, yaitu 4 (empat) jenis
  Pajak provinsi dan 7 (tujuh) jenis Pajak kabupaten/kota. Selain itu,
  kabupaten/kota juga masih diberi kewenangan untuk menetapkan jenis
  Pajak lain sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam Undang-
  Undang. Undang-Undang tersebut juga mengatur tarif pajak maksimum
  untuk kesebelas jenis Pajak tersebut. Terkait dengan Retribusi, Undang-
  Undang tersebut hanya mengatur prinsip-prinsip dalam menetapkan jenis
  Retribusi yang dapat dipungut Daerah. Baik provinsi maupun
  kabupaten/kota diberi kewenangan untuk menetapkan jenis Retribusi
  selain yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Selanjutnya, peraturan
  pemerintah menetapkan lebih rinci ketentuan mengenai objek, subjek, dan
  dasar pengenaan dari 11 (sebelas) jenis Pajak tersebut dan menetapkan 27
  (dua puluh tujuh) jenis Retribusi yang dapat dipungut oleh Daerah serta
  menetapkan tarif Pajak yang seragam terhadap seluruh jenis Pajak provinsi.


                                                                  Hasil . . .
                                 -2-

Hasil penerimaan Pajak dan Retribusi diakui belum memadai dan memiliki
peranan yang relatif kecil terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) khususnya bagi daerah kabupaten dan kota. Sebagian besar
pengeluaran APBD dibiayai dana alokasi dari pusat. Dalam banyak hal,
dana alokasi dari pusat tidak sepenuhnya dapat diharapkan menutup
seluruh kebutuhan pengeluaran Daerah. Oleh karena itu, pemberian
peluang untuk mengenakan pungutan baru yang semula diharapkan dapat
meningkatkan penerimaan Daerah, dalam kenyataannya tidak banyak
diharapkan dapat menutupi kekurangan kebutuhan pengeluaran tersebut.
Dengan kriteria yang ditetapkan dalam Undang-Undang hampir tidak ada
jenis pungutan Pajak dan Retribusi baru yang dapat dipungut oleh Daerah.
Oleh karena itu, hampir semua pungutan baru yang ditetapkan oleh Daerah
memberikan dampak yang kurang baik terhadap iklim investasi. Banyak
pungutan Daerah yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi karena
tumpang tindih dengan pungutan pusat dan merintangi arus barang dan
jasa antardaerah.

Untuk daerah provinsi, jenis Pajak yang ditetapkan dalam Undang-Undang
tersebut telah memberikan sumbangan yang besar terhadap APBD. Namun,
karena tidak adanya kewenangan provinsi dalam penetapan tarif Pajak,
provinsi tidak dapat menyesuaikan penerimaan pajaknya. Dengan
demikian, ketergantungan provinsi terhadap dana alokasi dari pusat masih
tetap tinggi. Keadaan tersebut juga mendorong provinsi untuk mengenakan
pungutan Retribusi baru yang bertentangan dengan kriteria yang
ditetapkan dalam Undang-Undang.

Pada dasarnya kecenderungan Daerah untuk menciptakan berbagai
pungutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan dan bertentangan dengan kepentingan umum dapat diatasi oleh
Pemerintah dengan melakukan pengawasan terhadap setiap Peraturan
Daerah yang mengatur Pajak dan Retribusi tersebut. Undang-undang
memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk membatalkan setiap
Peraturan Daerah yang bertentangan dengan Undang-Undang dan
kepentingan umum. Peraturan Daerah yang mengatur Pajak dan Retribusi
dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja sejak ditetapkan harus
disampaikan kepada Pemerintah. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari
kerja Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah yang mengatur
Pajak dan Retribusi.

Dalam kenyataannya, pengawasan terhadap Peraturan Daerah tersebut
tidak dapat berjalan secara efektif. Banyak Daerah yang tidak
menyampaikan Peraturan Daerah kepada Pemerintah dan beberapa Daerah
masih tetap memberlakukan Peraturan Daerah yang telah dibatalkan oleh
Pemerintah. Tidak efektifnya pengawasan tersebut karena Undang-Undang
yang ada tidak mengatur sanksi terhadap Daerah yang melanggar
ketentuan tersebut dan sistem pengawasan yang bersifat represif. Peraturan


                                                                Daerah . . .
                                 -3-

Daerah dapat langsung dilaksanakan oleh Daerah tanpa mendapat
persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah.
Pengaturan kewenangan perpajakan dan retribusi yang ada saat ini kurang
mendukung pelaksanaan otonomi Daerah. Pemberian kewenangan yang
semakin besar kepada Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan kepada masyarakat seharusnya diikuti dengan pemberian
kewenangan yang besar pula dalam perpajakan dan retribusi. Basis pajak
kabupaten dan kota yang sangat terbatas dan tidak adanya kewenangan
provinsi dalam penetapan tarif pajaknya mengakibatkan Daerah selalu
mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pengeluarannya.
Ketergantungan Daerah yang sangat besar terhadap dana perimbangan
dari pusat dalam banyak hal kurang mencerminkan akuntabilitas Daerah.
Pemerintah Daerah tidak terdorong untuk mengalokasikan anggaran secara
efisien dan masyarakat setempat tidak ingin mengontrol anggaran Daerah
karena merasa tidak dibebani dengan Pajak dan Retribusi.
Untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah,
Pemerintah Daerah seharusnya diberi kewenangan yang lebih besar dalam
perpajakan dan retribusi. Berkaitan dengan pemberian kewenangan
tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah, perluasan kewenangan perpajakan dan retribusi tersebut
dilakukan dengan memperluas basis pajak Daerah dan memberikan
kewenangan kepada Daerah dalam penetapan tarif.

Perluasan basis pajak tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang
baik.   Pajak dan Retribusi tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi
dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa
antardaerah dan kegiatan ekspor-impor. Pungutan seperti Retribusi atas
izin masuk kota, Retribusi atas pengeluaran/pengiriman barang dari suatu
daerah ke daerah lain dan pungutan atas kegiatan ekspor-impor tidak
dapat dijadikan sebagai objek Pajak atau Retribusi. Berdasarkan
pertimbangan tersebut perluasan basis pajak Daerah dilakukan dengan
memperluas basis pajak yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat dan
menambah jenis Pajak baru. Perluasan basis pajak yang sudah ada
dilakukan untuk Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor diperluas hingga mencakup kendaraan Pemerintah,
Pajak Hotel diperluas hingga mencakup seluruh persewaan di hotel, Pajak
Restoran diperluas hingga mencakup pelayanan katering. Ada 4 (empat)
jenis Pajak baru bagi Daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
dan Perkotaan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang
sebelumnya merupakan pajak pusat dan Pajak Sarang Burung Walet
sebagai Pajak kabupaten/kota serta Pajak Rokok yang merupakan Pajak
baru bagi provinsi.


                                                              Selain . . .
                                 -4-

Selain perluasan pajak, dalam Undang-Undang ini juga dilakukan
perluasan terhadap beberapa objek Retribusi dan penambahan jenis
Retribusi. Retribusi Izin Gangguan diperluas hingga mencakup pengawasan
dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus untuk mencegah
terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum,
memelihara ketertiban lingkungan dan memenuhi norma keselamatan dan
kesehatan kerja. Terdapat 4 (empat) jenis Retribusi baru bagi Daerah, yaitu
Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang, Retribusi Pelayanan Pendidikan,
Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, dan Retribusi Izin Usaha
Perikanan.
Berkaitan dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif untuk
menghindari penetapan tarif pajak yang tinggi yang dapat menambah beban
bagi masyarakat secara berlebihan, Daerah hanya diberi kewenangan untuk
menetapkan tarif pajak dalam batas maksimum yang ditetapkan dalam
Undang-Undang ini. Selain itu, untuk menghindari perang tarif pajak
antardaerah untuk objek pajak yang mudah bergerak, seperti kendaraan
bermotor, dalam Undang-Undang ini ditetapkan juga tarif minimum untuk
Pajak Kendaraan Bermotor.
Pengaturan tarif demikian diperkirakan juga masih memberikan peluang
bagi masyarakat untuk memindahkan kendaraannya ke daerah lain yang
beban pajaknya lebih rendah. Oleh karena itu, dalam Undang-Undang ini
Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebagai dasar pengenaan Pajak Kendaraan
Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor masih ditetapkan
seragam secara nasional. Namun, sejalan dengan tuntutan masyarakat
terhadap pelayanan yang lebih baik sesuai dengan beban pajak yang
ditanggungnya dan pertimbangan tertentu, Menteri Dalam Negeri dapat
menyerahkan kewenangan penetapan Nilai Jual Kendaraan Bermotor
kepada Daerah. Selain itu, kebijakan tarif Pajak Kendaraan Bermotor juga
diarahkan untuk mengurangi tingkat kemacetan di daerah perkotaan
dengan memberikan kewenangan Daerah untuk menerapkan tarif pajak
progresif untuk kepemilikan kendaraan kedua dan seterusnya. Khusus
untuk Pajak Rokok, dasar pengenaannya adalah cukai rokok. Tarif Pajak
Rokok ditetapkan secara definitif di dalam Undang-Undang ini, agar
Pemerintah dapat menjaga keseimbangan antara beban cukai yang harus
dipikul oleh industri rokok dengan kebutuhan fiskal nasional dan Daerah
melalui penetapan tarif cukai nasional.
Untuk meningkatkan akuntabilitas pengenaan pungutan, dalam Undang-
Undang ini sebagian hasil penerimaan Pajak dialokasikan untuk membiayai
kegiatan yang berkaitan dengan Pajak tersebut. Pajak Penerangan Jalan
sebagian dialokasikan untuk membiayai penerangan jalan, Pajak
Kendaraan Bermotor sebagian dialokasikan untuk pembangunan dan/atau
pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum,
dan Pajak Rokok sebagian dialokasikan untuk membiayai pelayanan
kesehatan masyarakat dan penegakan hukum.


                                                                Dengan . . .
                                   -5-

  Dengan perluasan basis pajak dan retribusi yang disertai dengan pemberian
  kewenangan dalam penetapan tarif tersebut, jenis pajak yang dapat
  dipungut oleh Daerah hanya yang ditetapkan dalam Undang-Undang.
  Untuk Retribusi, dengan peraturan pemerintah masih dibuka peluang
  untuk dapat menambah jenis Retribusi selain yang telah ditetapkan dalam
  Undang-Undang ini sepanjang memenuhi kriteria yang juga ditetapkan
  dalam Undang-Undang ini. Adanya peluang untuk menambah jenis
  Retribusi dengan peraturan pemerintah juga dimaksudkan untuk
  mengantisipasi penyerahan fungsi pelayanan dan perizinan dari Pemerintah
  kepada Daerah yang juga diatur dengan peraturan pemerintah.

  Selanjutnya, untuk meningkatkan efektivitas pengawasan pungutan
  Daerah, mekanisme pengawasan diubah dari represif menjadi preventif.
  Setiap Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi sebelum dilaksanakan
  harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah. Selain itu,
  terhadap Daerah yang menetapkan kebijakan di bidang pajak daerah dan
  retribusi daerah yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan
  yang lebih tinggi akan dikenakan sanksi berupa penundaan dan/atau
  pemotongan dana alokasi umum dan/atau dana bagi hasil atau restitusi.

  Dengan diberlakukannya Undang-Undang ini, kemampuan Daerah untuk
  membiayai kebutuhan pengeluarannya semakin besar karena Daerah dapat
  dengan mudah menyesuaikan pendapatannya sejalan dengan adanya
  peningkatan basis pajak daerah dan diskresi dalam penetapan tarif. Di
  pihak lain, dengan tidak memberikan kewenangan kepada Daerah untuk
  menetapkan jenis pajak dan retribusi baru akan memberikan kepastian
  bagi masyarakat dan dunia usaha yang pada gilirannya diharapkan dapat
  meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban
  perpajakannya.



II. PASAL DEMI PASAL

  Pasal 1
      Cukup jelas.

  Pasal 2
      Cukup jelas.

  Pasal 3
      Cukup jelas.



                                                                Pasal 4 . . .
                                 -6-

Pasal 4
    Cukup jelas.

Pasal 5
    Cukup jelas.

Pasal 6
    Ayat (1)
        Huruf a
             Cukup jelas.

        Huruf b
           Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya
           dibedakan menjadi kendaraan roda kurang dari 4 (empat) dan
           kendaraan roda 4 (empat) atau lebih.

             Contoh:
             Orang pribadi atau badan yang memiliki satu kendaraan
             bermotor roda 2 (dua), satu kendaraan roda 3 (tiga), dan satu
             kendaraan bermotor roda 4 (empat) masing-masing
             diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak
             dikenakan pajak progresif.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

    Ayat (4)
        Cukup jelas.

    Ayat (5)
        Cukup jelas.

Pasal 7
    Cukup jelas.

Pasal 8
    Ayat (1)
        Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

                                                              Ayat (3) . . .
                               -7-

    Ayat (3)
        Yang dimaksud dengan "keadaan kahar (force majeure)" adalah
        suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak atau kekuasaan
        Wajib Pajak, misalnya Kendaraan Bermotor tidak dapat digunakan
        lagi karena bencana alam.

    Ayat (4)
        Cukup jelas.

    Ayat (5)
        Cukup jelas.

Pasal 9
    Cukup jelas.

Pasal 10
    Cukup jelas.

Pasal 11
    Cukup jelas.

Pasal 12
    Cukup jelas.

Pasal 13
    Cukup jelas.

Pasal 14
    Cukup jelas.

Pasal 15
    Cukup jelas.

Pasal 16
    Cukup jelas.

Pasal 17
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.



                                                           Ayat (3) . . .
                               -8-

    Ayat (3)
        Pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan
        oleh produsen dan/atau importir atau nama lain sejenis atas
        bahan bakar yang disalurkan atau dijual kepada:

        1. Lembaga penyalur, antara lain, Stasiun Pengisian Bahan Bakar
           untuk Umum (SPBU), Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk
           TNI/POLRI, Agen Premium dan Minyak Solar (APMS), Premium
           Solar Packed Dealer (PSPD), Stasiun Pengisian Bahan Bakar
           Bunker (SPBB), Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG),
           yang akan menjual BBM kepada konsumen akhir (konsumen
           langsung);

        2. Konsumen langsung, yaitu pengguna bahan bakar kendaraan
           bermotor.

        Dalam hal bahan bakar tersebut digunakan sendiri maka
        produsen dan/atau importir atau nama lain sejenis wajib
        menanggung Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang
        digunakan sendiri untuk kendaraan bermotornya.

        Produsen dan/atau importir atau nama lain sejenis tidak
        mengenakan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor atas
        penjualan bahan bakar minyak untuk usaha industri.

        Dalam hal pembelian Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan
        antarpenyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk
        dijual kembali kepada lembaga penyalur dan/atau konsumen
        langsung, maka yang wajib mengenakan Pajak Bahan Bakar
        Kendaraan Bermotor adalah penyedia yang menyalurkan Bahan
        Bakar Kendaraan Bermotor kepada lembaga penyalur dan/atau
        konsumen langsung.

    Ayat (4)
        Cukup jelas.

Pasal 18
    Cukup jelas.

Pasal 19
    Ayat (1)
         Cukup jelas.



                                                            Ayat (2) . . .
                              -9-

    Ayat (2)
        Pemberlakuan ketentuan ini dilakukan dengan memperhatikan
        kesiapan Daerah untuk membedakan pengguna bahan bakar
        untuk kendaraan umum dengan kendaraan pribadi.

    Ayat (3)
        Penetapan tarif dan mekanisme penentuan harga Bahan Bakar
        Kendaraan Bermotor oleh Pemerintah dilakukan untuk jangka
        waktu paling lama 3 (tiga) tahun, mengingat Bahan Bakar
        Kendaraan   Bermotor    merupakan    barang strategis yang
        menyangkut hajat hidup orang banyak.

        Kenaikan harga minyak akan menambah dana bagi hasil yang
        berasal dari penerimaan sektor pertambangan minyak bumi dan
        gas bumi dalam bentuk dana alokasi umum tambahan.

    Ayat (4)
        Huruf a
             Cukup jelas.

        Huruf b
           Ketentuan ini diperlukan untuk menghindari gejolak sosial
           akibat adanya kemungkinan perbedaan harga Bahan Bakar
           Kendaraan Bermotor antardaerah.

    Ayat (5)
        Cukup jelas.

    Ayat (6)
        Cukup jelas.

Pasal 20
    Cukup jelas.

Pasal 21
    Cukup jelas.

Pasal 22
    Cukup jelas.

Pasal 23
    Cukup jelas.



                                                        Pasal 24 . . .
                               - 10 -

Pasal 24
    Cukup jelas.

Pasal 25
    Cukup jelas.

Pasal 26
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan "sigaret" adalah hasil tembakau yang
        dibuat dari tembakau rajangan yang dibalut dengan kertas dengan
        cara dilinting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan
        pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam
        pembuatannya.

        Sigaret terdiri atas sigaret kretek, sigaret putih, dan sigaret
        kelembak kemenyan.

        Sigaret kretek adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur
        dengan cengkih, atau bagiannya, baik asli maupun tiruan tanpa
        memperhatikan jumlahnya.

        Sigaret putih adalah sigaret yang dalam pembuatannya tanpa
        dicampuri dengan cengkih, kelembak, atau kemenyan.

        Sigaret putih dan sigaret kretek terdiri atas sigaret yang dibuat
        dengan mesin atau yang dibuat dengan cara lain, daripada mesin.

        Yang dimaksud dengan "sigaret putih dan sigaret kretek yang
        dibuat dengan mesin" adalah sigaret putih dan sigaret kretek yang
        dalam pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter,
        pengemasannya dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai
        dengan pelekatan pita cukai, seluruhnya, atau sebagian
        menggunakan mesin.

        Yang dimaksud dengan "sigaret putih dan sigaret kretek yang
        dibuat dengan cara lain daripada mesin" adalah sigaret putih dan
        sigaret kretek yang dalam proses pembuatannya mulai dari
        pelintingan, pemasangan filter, pengemasan dalam kemasan untuk
        penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, tanpa
        menggunakan mesin.


                                                              Sigaret . . .
                                  - 11 -

        Sigaret kelembak kemenyan adalah sigaret yang dalam
        pembuatannya dicampur dengan kelembak dan/atau kemenyan
        asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya.

        Yang dimaksud dengan "cerutu" adalah hasil tembakau yang
        dibuat dari lembaran-lembaran daun tembakau diiris atau tidak,
        dengan cara digulung demikian rupa dengan daun tembakau,
        untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan
        pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.

        Yang dimaksud dengan "rokok daun" adalah hasil tembakau yang
        dibuat dengan daun nipah, daun jagung (klobot), atau sejenisnya,
        dengan cara dilinting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan
        pengganti.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

Pasal 27
    Cukup jelas.

Pasal 28
    Yang dimaksud dengan "cukai" adalah pungutan negara yang
    dikenakan terhadap hasil tembakau berupa sigaret, cerutu, dan rokok
    daun sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang cukai,
    yang dapat berupa persentase dari harga dasar (advalorum) atau
    jumlah dalam rupiah untuk setiap batang rokok (spesifik) atau
    penggabungan dari keduanya.

    Contoh:
    Tarif cukai spesifik :   Rp200/batang
    Tarif advalorum      :   40% dari Harga Jual      Eceran   (HJE)   yang
                             ditetapkan Pemerintah.

    Jika Pemerintah hanya mengenakan tarif spesifik, dasar pengenaan
    pajak adalah Rp200/batang.

    Jika Pemerintah hanya mengenakan tarif advalorum, dasar pengenaan
    pajak adalah 40% x HJE.

    Jika Pemerintah mengenakan tarif spesifik dan advalorum, dasar
    pengenaan pajak adalah (Rp200/batang + 40% HJE).


                                                               Pasal 29 . . .
                                   - 12 -

Pasal 29
    Pada saat diberlakukannya ketentuan mengenai Pajak Rokok,
    pengenaan Pajak Rokok sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok
    diperhitungkan dalam penetapan tarif cukai nasional. Hal ini
    dimaksudkan agar terdapat keseimbangan antara beban cukai yang
    harus dipikul oleh industri rokok dengan kebutuhan fiskal nasional
    dan Daerah

    Contoh:
    Dalam tahun 2011 penerimaan cukai nasional sebesar 100, dan
    diproyeksikan meningkat 10% setiap tahunnya sesuai dengan peta
    jalur industri rokok nasional. Tanpa adanya pengenaan Pajak Rokok
    oleh Daerah, penerimaan cukai nasional tahun 2012 menjadi 110,
    kemudian meningkat menjadi 121 di tahun 2013.

    Pada tahun 2014, saat mulai diberlakukannya Pajak Rokok,
    penerimaan cukai nasional diproyeksikan sebesar 133, yang terdiri dari
    121 sebagai penerimaan cukai Pemerintah dan 12 sebagai Pajak Rokok
    untuk Daerah. Pola ini berlanjut untuk tahun 2015 dan seterusnya.

    Ilustrasi dalam bentuk tabel dapat dilihat berikut ini:

   Tahun                    2011      2012      2013   2014    2015
   Cukai
   (Pusat)                   100       110      121     121        133
   Pajak Rokok
   (Daerah)                    -            -    -       12         13
   Total Pungutan Cukai
                             100       110      121     133       146
   (Pusat + Daerah)
   %                          0         10%      10%     10%      10%
   Rp.                                   10       11      12       13


Pasal 30
    Cukup jelas.

Pasal 31
    Pelayanan       kesehatan      masyarakat,     antara    lain,
    pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana
    unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai
    bagi perokok (smoking area), kegiatan memasyarakatkan tentang
    bahaya merokok, dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya
    merokok.

                                                               Penegakan . . .
                              - 13 -

    Penegakan hukum sesuai dengan kewenangan Pemerintah Daerah
    yang dapat dikerjasamakan dengan pihak/instansi lain, antara lain,
    pemberantasan peredaran rokok ilegal dan penegakan aturan mengenai
    larangan merokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Pasal 32
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Huruf a
             Cukup jelas.

        Huruf b
           Pengecualian apartemen, kondominium,       dan     sejenisnya
           didasarkan atas izin usahanya.

        Huruf c
           Cukup jelas.

        Huruf d
           Cukup jelas.

        Huruf e
           Cukup jelas.

Pasal 33
    Cukup jelas.

Pasal 34
    Cukup jelas.

Pasal 35
    Cukup jelas.

Pasal 36
    Cukup jelas.

Pasal 37
    Cukup jelas.


                                                            Pasal 38 . . .
                              - 14 -

Pasal 38
    Cukup jelas.

Pasal 39
    Cukup jelas.

Pasal 40
    Cukup jelas.

Pasal 41
    Cukup jelas.

Pasal 42
    Cukup jelas.

Pasal 43
    Cukup jelas.

Pasal 44
    Cukup jelas.

Pasal 45
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Yang     dimaksud     dengan     "hiburan    berupa   kesenian
        rakyat/tradisional" adalah hiburan kesenian rakyat/tradisional
        yang dipandang perlu untuk dilestarikan dan diselenggarakan di
        tempat yang dapat dikunjungi oleh semua lapisan masyarakat.

    Ayat (4)
        Cukup jelas.

Pasal 46
    Cukup jelas.

Pasal 47
    Cukup jelas.


                                                          Pasal 48 . . .
                   - 15 -

Pasal 48
    Cukup jelas.

Pasal 49
    Cukup jelas.

Pasal 50
    Cukup jelas.

Pasal 51
    Cukup jelas.

Pasal 52
    Cukup jelas.

Pasal 53
    Cukup jelas.

Pasal 54
    Cukup jelas.

Pasal 55
    Cukup jelas.

Pasal 56
    Cukup jelas.

Pasal 57
    Cukup jelas.

Pasal 58
    Cukup jelas.

Pasal 59
    Cukup jelas.

Pasal 60
    Cukup jelas.

Pasal 61
    Cukup jelas.

Pasal 62
    Cukup jelas.

Pasal 63
    Cukup jelas.

                            Pasal 64 . . .
                              - 16 -

Pasal 64
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Sewa/tarif parkir sebagai dasar pengenaan Pajak Parkir yang
        dikelola secara monopoli dapat diatur dengan Peraturan Daerah.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

Pasal 65
    Cukup jelas.

Pasal 66
    Cukup jelas.

Pasal 67
    Cukup jelas.

Pasal 68
    Cukup jelas.

Pasal 69
    Cukup jelas.

Pasal 70
    Cukup jelas.

Pasal 71
    Cukup jelas.

Pasal 72
    Cukup jelas.

Pasal 73
    Cukup jelas.

Pasal 74
    Cukup jelas.

Pasal 75
    Cukup jelas.


                                                          Pasal 76 . . .
                               - 17 -

Pasal 76
    Cukup jelas.

Pasal 77
    Ayat (1)
         Yang dimaksud dengan "kawasan" adalah semua tanah dan
         bangunan yang digunakan oleh perusahaan perkebunan,
         perhutanan, dan pertambangan di tanah yang diberi hak guna
         usaha perkebunan, tanah yang diberi hak pengusahaan hutan dan
         tanah yang menjadi wilayah usaha pertambangan.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Huruf a
             Cukup jelas.

        Huruf b
           Yang dimaksud dengan "tidak dimaksudkan untuk
           memperoleh keuntungan" adalah bahwa objek pajak itu
           diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-
           nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini
           dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran
           rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam
           bidang   ibadah,    sosial,   kesehatan,   pendidikan,   dan
           kebudayaan nasional tersebut. Termasuk pengertian ini
           adalah hutan wisata milik negara sesuai dengan ketentuan
           peraturan perundang-undangan.

        Huruf c
           Cukup jelas.

        Huruf d
           Cukup jelas.

        Huruf e
           Cukup jelas.

        Huruf f
           Cukup jelas.

    Ayat (4)
        Cukup jelas.

                                                            Ayat (5) . . .
                               - 18 -

    Ayat (5)
        Cukup jelas.

Pasal 78
    Cukup jelas.

Pasal 79
    Ayat (1)
         Penetapan NJOP dapat dilakukan dengan:
        a. perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, adalah
           suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek
           pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain
           yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan
           telah diketahui harga jualnya.

        b. nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode
           penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung
           seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek
           tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan
           penyusutan berdasarkan kondisi pisik objek tersebut.

        c. nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode
           penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada
           hasil produksi objek pajak tersebut.

    Ayat (2)
        Pada dasarnya penetapan NJOP adalah 3 (tiga) tahun sekali.
        Untuk Daerah tertentu yang perkembangan pembangunannya
        mengakibatkan kenaikan NJOP yang cukup besar, maka
        penetapan NJOP dapat ditetapkan setahun sekali.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

Pasal 80
    Cukup jelas.

Pasal 81
    Nilai jual untuk bangunan sebelum diterapkan tarif pajak dikurangi
    terlebih dahulu dengan Nilai Jual   Tidak  Kena Pajak sebesar Rp
    10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).


                                                             Contoh . . .
                                 - 19 -

    Contoh:
    Wajib pajak A mempunyai objek pajak berupa:
    - Tanah seluas 800 m2 dengan harga jual Rp300.000,00/m2;
    - Bangunan seluas 400 m2 dengan nilai jual Rp350.000,00/m2;
    - Taman seluas 200 m2 dengan nilai jual Rp50.000,00/m2;
    - Pagar sepanjang 120 m dan tinggi rata-rata pagar 1,5 m dengan nilai
      jual Rp175.000,00/m2.
    Besarnya pokok pajak yang terutang adalah sebagai berikut:
    1. NJOP Bumi: 800 x Rp300.000,00          =    Rp240.000.000,00
    2. NJOP Bangunan
       a. Rumah dan garasi
          400 x Rp350.000,00                  =    Rp140.000.000,00
       b. Taman
          200 x Rp50.000,00                   =    Rp10.000.000,00
       c. Pagar
          (120 x 1,5) x Rp175.000,00          =    Rp 31.500.000,00 +
       Total NJOP Bangunan                             Rp181.500.000,00
       Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak =       Rp10.000.000,00 -
       Nilai Jual bangunan Kena Pajak              =   Rp171.500.000,00 +
    3. Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak           =   Rp411.500.000,00
    4. Tarif pajak efektif yang ditetapkan dalam
       Peraturan Daerah 0,2%.
    5. PBB terutang: 0,2% x Rp411.500.000,00 =         Rp823.000,00

Pasal 82
    Cukup jelas.

Pasal 83
    Cukup jelas.

Pasal 84
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Penetapan SKPD ini hanya untuk Pajak Bumi dan Bangunan
        Perdesaan dan Perkotaan.

Pasal 85
    Cukup jelas.

                                                                Pasal 86 . . .
                               - 20 -

Pasal 86
    Cukup jelas.

Pasal 87
    Cukup jelas.

Pasal 88
    Cukup jelas.

Pasal 89
    Contoh:
    Wajib Pajak "A" membeli tanah dan bangunan dengan
    Nilai Perolehan Objek Pajak                  = Rp65.000.000,00
    Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak = Rp60.000.000,00 (-)
    Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak    =   Rp5.000.000,00
    Pajak Yang Terutang = 5% x Rp5.000.000,00 =   Rp250.000,00

Pasal 90
    Cukup jelas.

Pasal 91
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan "risalah lelang" adalah kutipan risalah
        lelang yang ditandatangani oleh Kepala Kantor yang membidangi
        pelayanan lelang Negara.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

Pasal 92
    Cukup jelas.

Pasal 93
    Cukup jelas.

Pasal 94
    Cukup jelas.

Pasal 95
    Cukup jelas.

                                                           Pasal 96 . . .
                               - 21 -

Pasal 96
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Ketentuan ini mengatur tata cara pengenaan pajak, yaitu
        ditetapkan oleh Kepala Daerah atau dibayar sendiri oleh Wajib
        Pajak.

        Cara pertama, pajak dibayar oleh Wajib Pajak setelah terlebih
        dahulu ditetapkan oleh Kepala Daerah melalui SKPD atau
        dokumen lain yang dipersamakan.

        Cara kedua, pajak dibayar sendiri adalah pengenaan pajak yang
        memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung,
        memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang
        terutang dengan menggunakan SPTPD.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

    Ayat (4)
        Cukup jelas.

    Ayat (5)
        Wajib Pajak yang memenuhi kewajibannya dengan cara membayar
        sendiri, diwajibkan melaporkan pajak yang terutang dengan
        menggunakan SPTPD.

        Jika Wajib Pajak yang diberi kepercayaan menghitung,
        memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang
        terutang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya,
        dapat diterbitkan SKPDKB dan/atau SKPDKBT yang menjadi
        sarana penagihan.

Pasal 97
    Ketentuan ini mengatur penerbitan surat ketetapan pajak atas pajak
    yang dibayar sendiri. Penerbitan surat ketetapan pajak ditujukan
    kepada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran
    dalam pengisian SPTPD atau karena ditemukannya data fiskal tidak
    dilaporkan oleh Wajib Pajak.



                                                           Ayat (1) . . .
                           - 22 -

Ayat (1)
    Ketentuan ini memberi kewenangan kepada Kepala Daerah untuk
    dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT atau SKPDN hanya
    terhadap kasus-kasus tertentu, dengan perkataan lain hanya
    terhadap Wajib Pajak tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan
    hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau
    kewajiban material.
    Contoh:
    1. Seorang Wajib Pajak tidak menyampaikan SPTPD pada tahun
       pajak 2009. Setelah ditegur dalam jangka waktu tertentu juga
       belum menyampaikan SPTPD, maka dalam jangka waktu paling
       lama 5 (lima) tahun Kepala Daerah dapat menerbitkan SKPDKB
       atas pajak yang terutang.
    2. Seorang Wajib Pajak menyampaikan SPTPD pada tahun pajak
       2009. Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun, ternyata
       dari hasil pemeriksaan SPTPD yang disampaikan tidak benar.
       Atas pajak yang terutang yang kurang bayar tersebut, Kepala
       Daerah dapat menerbitkan SKPDKB ditambah dengan sanksi
       administratif.
    3. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam contoh yang telah
       diterbitkan SKPDKB, apabila dalam jangka waktu paling lama 5
       (lima) tahun sesudah pajak yang terutang ditemukan data baru
       dan/atau data yang semula belum terungkap yang
       menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang, Kepala
       Daerah dapat menerbitkan SKPDKBT.
    4. Wajib Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan Kepala Daerah
       ternyata jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan
       jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada
       kredit pajak, Kepala Daerah dapat menerbitkan SKPDN.

    Huruf a
       Angka 1)
            Cukup jelas.
        Angka 2)
            Cukup jelas.
        Angka 3)
            Yang dimaksud dengan "penetapan pajak secara jabatan"
            adalah penetapan besarnya pajak terutang yang
            dilakukan oleh Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk
            berdasarkan data yang ada atau keterangan lain yang
            dimiliki oleh Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.

                                                        Huruf b . . .
                           - 23 -

    Huruf b
       Cukup jelas
    Huruf c
        Cukup jelas
Ayat (2)
    Ketentuan ini mengatur sanksi terhadap Wajib Pajak yang tidak
    memenuhi kewajiban perpajakannya yaitu mengenakan sanksi
    administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dari
    pajak yang tidak atau terlambat dibayar untuk jangka waktu
    paling lama 24 (dua puluh empat) bulan atas pajak yang tidak
    atau terlambat dibayar. Sanksi administratif berupa bunga
    dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan
    diterbitkannya SKPDKB.
Ayat (3)
    Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu dengan
    ditemukannya data baru dan/atau data yang semula belum
    terungkap yang berasal dari hasil pemeriksaan sehingga pajak
    yang terutang bertambah, maka terhadap Wajib Pajak dikenakan
    sanksi administratif berupa kenaikan 100% (seratus persen) dari
    jumlah kekurangan pajak. Sanksi administratif ini tidak
    dikenakan apabila Wajib Pajak melaporkannya sebelum diadakan
    tindakan pemeriksaan.
Ayat (4)
    Cukup jelas
Ayat (5)
    Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3), yaitu Wajib
    Pajak tidak mengisi SPTPD yang seharusnya dilakukannya,
    dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan pajak sebesar
    25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak yang terutang.
    Dalam kasus ini, Kepala Daerah menetapkan pajak yang terutang
    secara jabatan melalui penerbitan SKPDKB.
    Selain sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua
    puluh lima persen) dari pokok pajak yang terutang juga dikenakan
    sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen)
    sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar
    untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
    Sanksi administratif berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya
    pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB.

                                                         Pasal 98 . . .
                            - 24 -

Pasal 98
    Cukup jelas.

Pasal 99
    Cukup jelas.

Pasal 100
    Cukup jelas.

Pasal 101
    Cukup jelas.

Pasal 102
    Cukup jelas.

Pasal 103
    Cukup jelas.

Pasal 104
    Cukup jelas.

Pasal 105
    Cukup jelas.

Pasal 106
    Cukup jelas.

Pasal 107
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Huruf a
             Cukup jelas.

        Huruf b
           Cukup jelas.

        Huruf c
           Cukup jelas.

        Huruf d
           Cukup jelas.


                                     Huruf e . . .
                              - 25 -

        Huruf e
           Yang dimaksud dengan "kondisi tertentu objek pajak", antara
           lain, lahan pertanian yang sangat terbatas, bangunan
           ditempati sendiri yang dikuasai atau dimiliki oleh golongan
           Wajib Pajak tertentu.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

Pasal 108
    Cukup jelas.

Pasal 109
    Cukup jelas.

Pasal 110
    Cukup jelas.

Pasal 111
    Cukup jelas.

Pasal 112
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan "tempat umum lainnya" adalah tempat
        yang dapat digunakan oleh masyarakat umum dan dikelola oleh
        Pemerintah Daerah.

Pasal 113
    Cukup jelas.

Pasal 114
    Cukup jelas.

Pasal 115
    Cukup jelas.

Pasal 116
    Cukup jelas.

Pasal 117
    Cukup jelas.

                                                         Pasal 118 . . .
                                  - 26 -

Pasal 118
    Cukup jelas.

Pasal 119
    Yang dimaksud dengan "peta" adalah peta yang dibuat oleh Pemerintah
    Daerah, seperti peta dasar (garis), peta foto, peta digital, peta tematik,
    dan peta teknis (struktur).

Pasal 120
    Cukup jelas.

Pasal 121
    Cukup jelas.

Pasal 122
    Cukup jelas.

Pasal 123
    Cukup jelas.

Pasal 124
    Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat
    pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk
    kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2%
    (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar
    penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi, yang
    besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan
    pengendalian menara telekomunikasi tersebut.

Pasal 125
    Cukup jelas.

Pasal 126
    Cukup jelas.

Pasal 127
    Cukup jelas.

Pasal 128
    Ayat (1)
         Pemakaian kekayaan Daerah, antara lain, penyewaan tanah dan
         bangunan, laboratorium, ruangan, dan kendaraan bermotor.



                                                                  Ayat (2) . . .
                               - 27 -

    Ayat (2)
        Penggunaan tanah yang tidak mengubah fungsi dari tanah,
        antara  lain,  pemancangan   tiang    listrik/telepon atau
        penanaman/pembentangan kabel listrik/telepon di tepi jalan
        umum.

Pasal 129
    Cukup jelas.

Pasal 130
    Cukup jelas.

Pasal 131
    Cukup jelas.

Pasal 132
    Cukup jelas.

Pasal 133
    Cukup jelas.

Pasal 134
    Cukup jelas.

Pasal 135
    Cukup jelas.

Pasal 136
    Cukup jelas.

Pasal 137
    Cukup jelas.

Pasal 138
    Ayat (1)
         Hasil produksi usaha Pemerintah Daerah, antara lain, bibit atau
         benih tanaman, bibit ternak, dan bibit atau benih ikan.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

Pasal 139
    Cukup jelas.


                                                           Pasal 140 . . .
                                - 28 -

Pasal 140
    Cukup jelas.

Pasal 141
    Cukup jelas.

Pasal 142
    Cukup jelas.

Pasal 143
    Cukup jelas.

Pasal 144
    Ayat (1)
         Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat
         pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan, tarif retribusi
         dapat ditetapkan berdasarkan persentase tertentu dari nilai
         investasi usaha di luar tanah dan bangunan, atau penjualan kotor,
         atau biaya operasional, yang nilainya dikaitkan dengan frekuensi
         pengawasan dan pengendalian usaha/kegiatan tersebut.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

Pasal 145
    Cukup jelas.

Pasal 146
    Cukup jelas.

Pasal 147
    Cukup jelas.

Pasal 148
    Cukup jelas.

Pasal 149
    Cukup jelas.

Pasal 150
    Cukup jelas.

Pasal 151
    Cukup jelas.

                                                            Pasal 152 . . .
                              - 29 -

Pasal 152
    Cukup jelas.

Pasal 153
    Cukup jelas

Pasal 154
    Cukup jelas

Pasal 155
    Ayat (1)
         Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Dalam hal besarnya tarif retribusi yang telah ditetapkan dalam
        Peraturan Daerah perlu disesuaikan karena biaya penyediaan
        layanan cukup besar dan/atau besarnya tarif tidak efektif lagi
        untuk mengendalikan permintaan layanan tersebut, Kepala
        Daerah dapat menyesuaikan tarif retribusi.

Pasal 156
    Cukup jelas.

Pasal 157
    Ayat (1)
         Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah kepada Menteri
         Keuangan dimaksudkan dalam rangka mempermudah dan
         mempercepat proses koordinasi.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

    Ayat (4)
        Cukup jelas.

    Ayat (5)
        Cukup jelas.


                                                           Ayat (6) . . .
                       - 30 -

    Ayat (6)
        Cukup jelas.

    Ayat (7)
        Cukup jelas.

    Ayat (8)
        Cukup jelas.

    Ayat (9)
        Cukup jelas.

    Ayat (10)
        Cukup jelas.

Pasal 158
    Cukup jelas.

Pasal 159
    Cukup jelas.

Pasal 160
    Cukup jelas.

Pasal 161
    Cukup jelas.

Pasal 162
    Cukup jelas.

Pasal 163
    Cukup jelas.

Pasal 164
    Cukup jelas.

Pasal 165
    Cukup jelas.

Pasal 166
    Cukup jelas.

Pasal 167
    Cukup jelas.

                                Pasal 168 . . .
                              - 31 -

Pasal 168
    Cukup jelas.

Pasal 169
    Cukup jelas.

Pasal 170
    Cukup jelas.

Pasal 171
    Ayat (1)
         Yang    dimaksud   dengan   "instansi  yang    melaksanakan
         pemungutan" adalah dinas/badan/lembaga yang tugas pokok dan
         fungsinya melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi.

    Ayat (2)
        Pemberian besarnya insentif dilakukan melalui pembahasan yang
        dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan alat kelengkapan
        Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang membidangi masalah
        keuangan.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

Pasal 172
    Cukup jelas.

Pasal 173
    Cukup jelas.

Pasal 174
    Cukup jelas.

Pasal 175
    Cukup jelas.

Pasal 176
    Cukup jelas.



                                                        Pasal 177 . . .
                               - 32 -

Pasal 177
    Ayat (1)
         Pengenaan pidana kurungan dan pidana denda kepada pejabat
         tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah dimaksudkan untuk
         menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan daerah tidak
         akan diberitahukan kepada pihak lain, juga agar Wajib Pajak
         dalam memberikan data dan keterangan kepada pejabat mengenai
         perpajakan daerah tidak ragu-ragu.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

    Ayat (4)
        Cukup jelas.

Pasal 178
    Cukup jelas.

Pasal 179
    Cukup jelas.

Pasal 180
    Cukup jelas.

Pasal 181
    Cukup jelas.

Pasal 182
    Cukup jelas.

Pasal 183
    Cukup jelas.

Pasal 184
    Cukup jelas.

Pasal 185
    Cukup jelas.



TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5049


Silahkan download versi PDF nya sbb:
pajak_daerah_retribusi_daerah_(uu_28_thn_2009)_28.pdf
(ogi/Carapedia)
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.