Previous
Next
  • Home
  • »
  • Undang-Undang
  • »
  • 1990
  • » Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (UU 5 thn 1990)

1990

Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (UU 5 thn 1990)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya :

UU 5/1990, KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

Bentuk:   UNDANG-UNDANG (UU)

Oleh:      PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor:     5 TAHUN 1990 (5/1990)

Tanggal:   10 AGUSTUS 1990 (JAKARTA)

Sumber:    LN 1990/49; TLN NO. 3419

Tentang:   KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

Indeks:    ENERGI. PEMBANGUNAN. Konservasi. Kehutanan.

                DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                  Presiden Republik Indonesia,

Menimbang:
a.   bahwa sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya
     yang   mempunyai   kedudukan  serta    peranan  penting  bagi
     kehidupan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena
     itu perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras,
     serasi dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia
     pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik masa kini
     maupun masa depan;
b.   bahwa pembangunan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
     pada hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan
     nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;
c.   bahwa unsur-unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
     pada dasarnya saling tergantung antara satu dengan yang
     lainnya dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan
     kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya
     ekosistem;
d.   bahwa untuk menjaga agar pemanfaatan sumber daya alam hayati
     dapat    berlangsung   dengan   cara    sebaik-baiknya,  maka
     diperlukan langkah-langkah konservasi schingga sumber daya
     alam hayati dan ekosistemnya selalu terpelihara dan mampu
     mewujudkan keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu
     sendiri;
e.   bahwa peraturan perundang-undangan yang ada dan masih
     berlaku merupakan produk hukum warisan pemerintah kolonial
     yang bersifat parsial, sehingga perlu dicabut karena sudah
     tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan kepentingan
     nasional;
f.   bahwa peraturan perundang-undangan produk hukum nasional
     yang ada belum menampung dan mengatur secara menyeluruh
     mengenai    konservasi   sumber    daya    alam   hayati  dan
     ekosistemnya;
g.   bahwa sehubungan dengan hal-hal di atas, dipandang perlu
     menetapkan ketentuan mengenai konservasi sumber daya alam
     hayati dan ekosistemnya dalam suatu Undang-undang;

Mengingat:
1.   Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33
     Undang-Undang Dasar 1945;
2.   Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
     Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8,
     Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823);
3.   Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
     Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun
     1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
4.   Undang-undang     Nomor     20     Tahun    1982     tentang
     Ketentuan-ketentuan   Pokok    Pertahanan  Keamanan   Negara
     Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51,
     Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234) sebagaimana telah
     diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988 (Lembaran
     Negara Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor
     3368);
5.   Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran
     Negara Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor
     3299);

                          Dengan persetujuan
              DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

                             MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA
ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA.

                                 BAB I
                            KETENTUAN UMUM

                               Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1.   Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam
     yang terdiri dari sumber    daya alam nabati (tumbuhan) dan
     sumber daya alam hewani
     (satwa) yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya
     secara keseluruhan membentuk ekosistem.
2.   Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber
     daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara
     bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan
     tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman
     dan nilainya.
3.   Ekosistem sumber daya alam hayati adalah sistem hubungan
     timbal balik antara unsur dalam alam, baik hayati maupun
     nonhayati yang saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi.
4.   Tumbuhan adalah semua jenis sumber daya alam nabati, baik
     yang hidup di darat maupun di air.
5.   Satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup
     di darat dan/atau di air, dan/atau di udara.
6. Tumbuhan liar adalah tumbuhan yang hidup di alam bebas
     dan/atau   dipelihara,   yang   masih   mempunyai   kemurnian
     jenisnya.
7.   Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat,
     dan/atau di air, dan/atau di udara yang masih mempunyai
     sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang
     dipelihara oleh manusia.
8.   Habitat adalah lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat
     hidup dan berkembang secara alami.
9.   Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu,
     baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok
     sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
     serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah
     sistem penyangga kehidupan.
10.   Cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan
     alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya
     atau   ekosistem   tertentu   yang   perlu   dilindungi   dan
     perkembangannya berlangsung secara alami.
11.   Suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai
     ciri khas berupa keanekaragaman dan/atau keunikan jenis
     satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan
     pembinaan terhadap habitatnya.
12.   Cagar biosfer adalah suatu kawasan yang terdiri dari
     ekosistem asli, ekosistem unik, dan/atau ekosistem yang
     telah mengalami degradasi yang keseluruhan unsur alamnya
     dilindungi dan dilestarikan bagi kepentingan penelitian dan
     pendidikan.
13.   Kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas
     tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai
     fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
     keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan
     secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
14.   Taman national adalah kawasan pelestarian alam yang
     mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang
     dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,
     pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
15.   Taman hutan raya adalah kawasan pelestarian alam untuk
     tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau
     buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan
     bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
     menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi.
16.   Taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang
     terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.

                             Pasal 2

Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan
pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati
dalam ekosistemnya secara serasi dan seimbang.
                              Pasal 3

Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan
mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati
serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih
mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu
kehidupan manusia.

                              Pasal 4

Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan
tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat.

                              Pasal 5

Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan
melalui kegiatan :
a.   perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b.   pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
     ekosistemnya;
c.   pemanfaatan secara lestari sumber daya alami hayati dan
     ekosistemnya.

                              BAB II
              PERLINDUNGAN SISTEM PENYANGGA KEHIDUPAN

                              Pasal 6

Sistem penyangga kehidupan merupakan satu proses alami dari
berbagai unsur hayati dan nonhayati yang menjamin kelangsungan
kehidupan makhluk.

                              Pasal 7

Perlindungan   sistem  penyangga   kehidupan   ditujukan  bagi
terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan
kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu
kehidupan manusia.

                              Pasal 8

(1)   Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7,
      Pemerintah menetapkan :
      a.   wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem
      penyangga kehidupan;
      b.   pola dasar pembinaan wilayah perlindungan sistem
      penyangga kehidupan;
      c.   pengaturan cara pemanfaatan wilayah perlindungan sistem
      penyangga kehidupan.
(2)   Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      diatur dengan Peraturan Pemerintah.
                             Pasal 9

(1)  Setiap pemegang hak atas tanah dan hak pengusahaan di
     perairan dalam wilayah sistem penyangga kehidupan wajib
     menjaga kelangsungan fungsi perlindungan wilayah tersebut.
(2) Dalam rangka pelaksanaan perlindungan sistem penyangga
     kehidupan, Pemerintah mengatur serta melakukan tindakan
     penertiban terhadap penggunaan dan pengelolaan tanah dan hak
     pengusahaan   di  perairan   yang  terletak   dalam  wilayah
     perlindungan sistem penyangga kehidupan sebagaimana dimaksud
     dalam Pasal 8.
(3) Tindakan penertiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
     dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
     berlaku.

                             Pasal 10

Wilayah sistem penyangga kehidupan yang mengalami kerusakan
secara alami dan/atau oleh karena peinanfaatannya serta oleh
sebab-sebab lainnya diikuti dengan upaya rehabilitasi secara
berencana dan berkesinambungan.

                             BAB III
             PENGAWETAN KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN

                  DAN SATWA BESERTA EKOSISTEMNYA

                             Pasal 11

Pengawetan    keanekaragaman    tumbuhan    dan   satwa    beserta
ekosistemnya, dilaksanakan melalui kegiatan :
a.   pengawetan   keanekaragaman   tumbuhan   dan  satwa   beserta
     ekosistemnya;
b.   pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.

                             Pasal 12

Pengawetan    keanekaragaman   tumbuhan   dan    satwa   beserta
ekosistemnya, dilaksanakan dengan menjaga keutuhan kawasan suaka
alam agar tetap dalam keadaan asli.

                             Pasal 13

(1)   Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilaksanakan di dalam
      dan di luar kawasan suaka alam.
(2)   Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di dalam kawasan suaka
      alam dilakukan dengan membiarkan agar populasi semua jenis
      tumbuhan dan satwa tetap seimbang menurut proses alami di
      habitatnya.
(3)   Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di luar kawasan suaka
      alam dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakkan jenis
      tumbuhan dan satwa untuk menghindari bahaya kepunahan.
                               BAB IV
                         KAWASAN SUAKA ALAM

                              Pasal 14

Kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
terdiri dari:
a.   cagar alam;
b.   suaka margasatwa.

                              Pasal 15

Kawasan suaka alam selain mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan
pengawetan    keanekaragaman   tumbuhan    dan   satwa    beserta
ekosistemnya, juga berfungsi sebagai wilayah perlindungan sistem
penyangga kehidupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).

                              Pasal 16

(1)   Pengelolaan kawasan suaka alam dilaksanakan oleh Pemerintah
      sebagai upaya pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
      beserta ekosistemnya.
(2)   Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penetapan dan
      pemanfaatan suatu wilayah sebagai kawasan suaka alam dan
      penetapan wilayah yang berbatasan dengannya sebagai daerah
      penyangga diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 17

(1)   Di dalam cagar alam dapat dilakukan kegiatan untuk
      kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan,
      pendidikan, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya.
(2)   Di dalam suaka margasatwa dapat dilakukan kegiatan untuk
      kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan,
      pendidikan, wisata terbatas, dan kegiatan lainnya yang
      menunjang budidaya.
(3)   Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemeritah.

                              Pasal 18

(1)   Dalam rangka kerja saina konservasi internasional, khususnya
      dalam kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, kawasan
      suaka alam dan kawasan tertentu lainnya dapat ditetapkan
      sebagai cagar biosfer.
(2)   Penetapan suatu kawasan suaka alam dan kawasan tertentu
      lainnya sebagai cagai biosfer diatur lebih lanjut dengan
      Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 19

(1)   Setiap orang     dilarang   melakukatn kegiatan yang    dapat
      mengakibatkan   perubahan   terhadap keutuhan kawasan   suaka
      alam.
(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1) tidak
      termasuk kegiat an pembinaan Habitat untuk kepentingan satwa
      di dalam suaka marga satwa.
(3)   Perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam sebagaimana
      dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan
      *7623 fungsi dan luas kawasan suaka alam, serta menambah
      jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.

                               BAB V
                PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA

                               Pasal 20

(1)   Tumbuhan dan satwa digolongkan dalam jenis:
      a.   tumbuhan dan satwa yang dilindungi;
      b.   tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi.
(2)   Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi sebagaimana
      dimaksud dalam ayat (1) digolongkan dalam :
      a.   tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan;
      b.   tumbuhan dan satwa yang populasinya jarang.
(3)   Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
      diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                               Pasal 21

1)    Setiap orang dilarang untuk :
      a.    mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan,
      memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang
      dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau
      mati;
      b.    mengeluarkan     tumbuhan     yang     dilindungi     atau
      bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu
      tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar
      Indonesia.
(2)   Setiap orang dilarang untuk :
      a.    menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki,
      memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang
      dilindungi dalam keadaan hidup;
      b.    menyimpan,   memiliki,    memelihara,    mengangkut,   dan
      meperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
      c.    mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di
      Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
      d.    memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh
      atau    bagian-bagian   lain   satwa   yang    dilindungi   atau
      barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut
      atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke
      tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
      e.    mengambil,    merusak,    memusnahkan,     memperniagakan,
      menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang
      dilindungi.

                               Pasal 22
(1)   Pengecualian dari larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
      21 hanya dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu
      *7624 pengetahuan, dan/atau penyelamatan jenis tumbuhan dan
      satwa yang bersangkutan.
(2)   Termasuk dalam penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
      (1) adalah pemberian atau penukaran jenis tumbuhan dan satwa
      kepada pihak lain di luar negeri dengan izin Pemerintah.
(3)   Pengecualian dari larangan menangkap, melukai, dan membunuh
      satwa yang dilindungi dapat pula dilakukan dalam hal oleh
      karena suatu sebab satwa yang dilindungi membahayakan
      kehidupan manusia.
(4)   Ketentuan lebih lanjut sebagaimana diinaksud dalam ayat (1),
      ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                             Pasal 23

(1)   Apabila diperlukan, dapat dilakukan pemasukan tumbuhan dan
      satwa liar dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Republik
      Indonesia.
(2)   Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                             Pasal 24

(1)   Apabila terjadi pelanggaran terhadap larangan sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 21, tumbuhan dan satwa tersebut
      dirampas untuk negara.
(2)   Jenis    tumbuhan    dan    satwa    yang    dilindungi  atau
      bagian-bagiannya yang dirampas untuk negara dikembalikan ke
      habitatnya atau diserahkan kepada lembaga-lembaga yang
      bergerak di bidang konservasi tumbuhan dari satwa, kecuali
      apabila    keadaannya    sudah    tidak   memungkinkan  untuk
      dimanfaatkan sehingga dinilai lebih baik dimusnahkan.

                             Pasal 25

(1)   Pengawasan jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi hanya
      dapat    dilakukan    dalam   bentuk   pemeliharaan   atau
      pengembangbiakan oleh lembaga-lembaga yang dibentuk untuk
      itu.
(2)   Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                              BAB VI
                    PEMANFAATAN SECARA LESTARI

             SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

                             Pasal 26

Pemanfaatan   secara  lestari   sumber  daya     alam   hayati   dan
ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan :
a.    pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam;
b.    pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.

                             Pasal 27
*7625
Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan
dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan.

                             Pasal 28

Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan
memperhatikan    kelangsungan   potensi,    daya dukung, dan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar.

                              BAB VII
                     KAWASAN PELESTARIAN ALAM

                             Pasal 29

(1)   Kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
      angka 13 terdiri dari :
      a.   taman nasional;
      b.   taman hutan raya;
      c.   taman wisata alam.
(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan suatu wilayah
      sebagai kawasan pelestarian alam dan penetapan wilayah yang
      berbatasan dengannya sebagai daerah penyangga diatur dengan
      Peraturan Pemerintah.

                             Pasal 30

Kawasan pelestarian alam mempunyai fungsi perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya.

                             Pasal 31

(1)   Di dalam taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata
      alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian,
      ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya,
      dan wisata alam.
(2)   Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan
      tanpa mengurangi fungsi pokok masing-masing kawasan.

                             Pasal 32

Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri
dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan
keperluan.

                             Pasal 33
(1)  Setiap   orang  dilarang   melakukan  kegiatan   yang dapat
     mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman
     nasional.
(2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional
     sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi,
     menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional,
     serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak
     asli.
(3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai
     dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman
     nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.

                             Pasal 34

(1)   Pengelolaan taman nasional, taman hutan raya, dan taman
      wisata alam dilaksanakan oleh Pemerintah.
(2)   Di dalam zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya,
      dan taman wisata alam dapat dibangun sarana kepariwisataan
      berdasarkan rencana pengelolaan.
(3)   Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, Pemerintah dapat
      memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman
      nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dengan
      mengikutsertakan rakyat.
(4)   Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
      ayat (2),      dan   ayat   (3)  diatur   dengan   Peraturan
      Pemerintah.

                             Pasal 35

Dalam keadaan tertentu dan sangat diperlukan untuk mempertahankan
atau memulihkan kelestarian sumber daya alam hayati beserta
ekosistemnya, Pemerintah dapat menghentikan kegiatan pemanfaatan
dan menutup taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata
alam sebagian atau seluruhnya untuk selama waktu tertentu.

                              BAB VIII
             PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

                             Pasal 36

(1)   Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilaksanakan
      dalam bentuk :
      a.   pengkajian, penelitian dan pengembangan;
      b.   penangkaran;
      c.   perburuan;
      d.   perdagangan;
      e.   peragaan;
      f.   pertukaran;
      g.   budidaya tanaman obat-obatan;
      h.   pemeliharaan untuk kesenangan.
(2)   Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      diatur dengan Peraturan Pemerintah.
                               BAB IX
                         PERANSERTA RAKYAT

                           *7627 Pasal 37

(1)   Peranserta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati
      dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah
      melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil
      guna.
(2)   Dalam mengembangkan peranserta rakyat sebagaimana dimaksud
      dalam ayat (1), Pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan
      sadar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di
      kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan.
(3)   Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                               BAB X
              PENYERAHAN URUSAN DAN TUGAS PEMBANTUAN

                              Pasal 38

(1)   Dalam rangka pelaksanaan konservasi sumberdaya alam hayati
      dan ekosistemnya, Pemerintah dapat menyerahkan sebagian
      urusan   di  bidang   tersebut   kepada  Pemerintah  Daerah
      sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
      tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.
(2)   Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                               BAB XI
                             PENYIDIKAN

                              Pasal 39

(1)   Selain   Pejabat   Penyidik    Kepolisian   Negara    Republik
      Indonesia, juga pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di
      lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung
      jawabnya meliputi pembinaan konservasi sumber daya alam
      hayati dan ekosistemnva, diberi wewenang khusus sebagai
      penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8
      Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan
      penyidikan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya
      alam hayati dan ekosistemnya.
(2)   Kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
      tidak mengurangi kewenangan penyidik sebagaimana diatur
      dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
      Eksklusif Indonesia dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985
      tentang Perikanan.
(3)   Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwenang
      untuk:
      a.   melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
      keterangan   berkenaan  dengan    tindak  pidana   di   bidang
      konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
      *7628 b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga
      melakukan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya
      alam hayati dan ekosistemnya;
      c.   memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam
      kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam;
      d.   melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti
      tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati
      dan ekosistemnya;
      e.   meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau
      badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang konservasi
      sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
      f.   membuat dan menandatangani berita acara;
      g.   menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup
      bukti tentang adanya tindak pidana di bidang konservasi
      sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
(4)   Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan
      dimulainya penyidikan dan melaporkan hasil penyidikannya
      kepada Penuntut Umum melalui Pejabat Penyidik Kepolisian
      Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 107
      Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

                              BAB XII
                         KETENTUAN PIDANA

                             Pasal 40

(1)   Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap
      ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan
      Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
      10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00
      (dua ratus juta rupiah).
(2)   Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap
      ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan
      ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana
      penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
      Rp 100.000.000,00(seratusjuta rupiah).
(3)   Barangsiapa   karena   kelalaiannya  melakukan    pelanggaran
      terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
      (1) dan Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan
      paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.
      100.000.000,00 (seratusjuta rupiah).
(4)   Barangsiapa   karena   kelalaiannya  melakukan    pelanggaran
      terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
      (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan
      pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
      banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(5)   Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
      (2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud
      dalam ayat (2) dan ayat (4) adalah pelanggaran.

                              BAB XIII
                     *7629 KETENTUAN PERALIHAN
                               Pasal 41

Hutan suaka alam dan taman wisata yang telah ditunjuk dan
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
sebelum berlakunya Undang-undang ini dianggap telah ditetapkan
sebagai kawasan suaka alam dan taman wisata alam berdasarkan
Undang-undang ini.

                               Pasal 42

Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di
bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang
telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini,
tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan
yang barti berdasarkan Undang-undang ini.

                             BAB XIV
                        KETENTUAN PENUTUP

                               Pasal 43

Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini maka:
1.   Ordonansi Perburuan (Jachtordonnantie 1931 Staatsblad 1931
     Nummer 133);
2.   Ordonansi      Perlindungan       Binatang-binatang   Liar
     (Dierenbeschermingsordonnantie 1931 Staatsblad 1931 Nummer
     134);
3.   Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura (Jachtcrdonnantie Java
     en Madoera 1940 Staatsblad 1939 Nummer 733);
4.   Ordonansi Perlindungan Alam (Natuurbeschermingsordonnantie
     1941 Staatsblad 1941 Nummer 167);
dinyatakan tidak berlaku lagi.

                               Pasal 44

Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Konservasi Hayati.

                               Pasal 45

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

     Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 10 Agustus 1990
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO
*7630
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 Agustus 1990
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

MOERDIONO

                            PENJELASAN
                                ATAS
                 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                        NOMOR 5 TAHUN 1990
                              TENTANG
       KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

UMUM
     Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan
berupa sumber daya alam yang berlimpah, baik di darat, di
perairan maupun di udara yang merupakan modal dasar pembangunan
nasional di segala bidang. Modal dasar sumber daya alam tersebut
harus dilindungi, dipelihara, dilestarikan, dan dimanfaatkan
secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada
khususnya dan mutu kehidupan manusia pada umumnya menurut cara
yang menjamin keserasian, keselarasan dan keseimbangan, baik
antara manusia dengan Tuhan penciptanya, antara manusia dengan
masyarakat maupun antara manusia dengan ekosistemnya. Oleh karena
itu, pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagai
bagian dari modal dasar tersebut pada hakikatnya merupakan bagian
integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai
pengamalan Pancasila.
     Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan bagian
terpenting dari sumber daya alam yang terdiri dari alam hewani,
alam   nabati   ataupun  berupa   fenomena   alam,   baik   secara
masing-masing maupun bersama-sama mempunyai fungsi dan manfaat
sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak
dapat diganti. Mengingat sifatnya yang tidak dapat diganti dan
mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan manusia,
maka upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
adalah menjadi kewajiban mutlak dari tiap generasi. Tindakan yang
tidak bertanggung jawab yang dapat menimbulkan kerusakan pada
kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam ataupun tindakan
yang melanggar ketentuan tentang perlindungan tumbuhan dan satwa
yang dilindungi, diancam dengan pidana yang berat berupa pidana
badan dan denda. Pidana yang berat tersebut dipandang perlu
karena kerusakan atau kepunahan salah satu unsur sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya akan mengakibatkan kerugian besar bagi
masyarakat yang tidak dapat dinilai dengan materi, sedangkan
pemulihannya kepada keadaan semula tidak mungkin lagi.
     Oleh karena sifatnya yang luas dan menyangkut kepentingan
masyarakat secara keseluruhan, maka upaya konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan
kewajiban Pemerintah serta masyarakat. Peranserta rakyat akan
diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui kegiatan yang
berdaya guna dan berhasil guna. Untuk itu, Pemerintah
berkewajiban   meningkatkan   pendidikan   dan   penyuluhan   bagi
masyarakat dalam rangka sadar konservasi.
     Berhasilnya   konservasi    sumber   daya   alam   hayati   dan
ekosistemnya berkaitan erat dengan tercapainya tiga sasaran
konservasi, yaitu :
1.   menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang
     sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan
     kesejahteraan    manusia    (perlindungan   sistem    penyangga
     kehidupan);
2.   menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan
     tipe-tipe ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan,
     ilmu pengetahuan, dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan
     kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati
     bagi kesejahteraan (pengawetan sumber plasma nutfah);
3.   mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati
     sehingga terjamin kelestariannya. Akibat sampingan ilmu
     pengetahuan dan teknologi yang kurang bijaksana, belum
     harmonisnya penggunaan dan peruntukan tanah serta belum
     berhasilnya sasaran konservasi secara optimal, baik di darat
     maupun di perairan dapat mengakibatkan timbulnya gejala
     erosi genetik, polusi, dan penurunan potensi sumber daya
     alam hayati (pemanfaatan secara lestari).
     Mengingat Negara Republik Indonesia adalah negara berdasar
atas hukum, maka pengelolaan konservasi sumber daya alam hayati
beserta ekosistemnya perlu diberi dasar hukum yang jelas, tegas,
dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi usaha
pengelolaan tersebut.
     Dewasa    ini   kenyataan     menunjukkan    bahwa    peraturan
perundang-undangan yang mengatur konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya yang bersifat nasional belum ada.
Peraturan perundang-undangan warisan pemerintah kolonial yang
beranekaragam coraknya, sudah tidak sesuai lagi dengan tingkat
perkembangan hukum dan kebutuhan bangsa Indonesia.
     Perubahan-perubahan       yang      menyangkut      aspek-aspek
pemerintahan, perkembangan kependudukan, ilmu pengetahuan, dan
tuntutan keberhasilan pembangunan pada saat ini menghendaki
peraturan perundang-undangan di bidang konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya yang bersifat nasional sesuai dengan
aspirasi bangsa Indonesia.
     Upaya pemanfaatan secara lestari sebagai salah satu aspek
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistenmya, belum
sepenuhnya dikembangkan sesuai dengan kebutuhan. Demikian pula
pengelolaan kawasan pelestarian alam dalam bentuk taman nasional,
taman hutan raya, dan taman wisata alam, yang menyatukan fungsi
perlindungan     sistem     penyangga      kehidupan,     pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan
pemanfaatan secara lestari.
     Peraturan perundang-undangan yang bersifat nasional yang ada
kaitannya dengan konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya seperti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang
ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, Undang-undang Nomor 4 Tahun
1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup,   Undang-undang   Nomor    20  Tahun   1982   tentang   *7632
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1988, dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang
Perikanan belum mengatur secara lengkap dan belum sepenuhnya
dapat dipakai sebagai dasar hukum untuk pengaturan lebih lanjut.
     Undang-undang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya yang bersifat nasional dan menyeluruh sangat
diperlukan sebagai dasar hukum untuk mengatur perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber
daya   alam  hayati   dan   ekosistemnya   agar  dapat   menjamin
pemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat dan peningkatan mutu
kehidupan manusia.
     Undang-undang ini memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat
pokok dan mencakup semua segi di bidang konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya, sedangkan pelaksanaannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
     Angka 1
          Cukup jelas
     Angka 2
          Cukup jelas
     Angka 3
          Cukup jelas
     Angka 4
          Cukup jelas
     Angka 5
          Cukup jelas
     Angka 6
          Cukup jelas
     Angka 7
          Ikan dan ternak tidak termasuk di dalam pengertian
     satwa liar, tetapi termasuk di dalam pengertian satwa.
     Angka 8
          Cukup jelas
     Angka 9
          Cukup jelas
     Angka 10
          Cukup jelas
     Angka 11
          Cukup jelas
     Angka 12
          Cukup jelas
     Angka 13
          Cukup jelas
     Angka 14
          Cukup jelas
     Angka 15
          Cukup jelas
     Angka 16
          *7633 Cukup jelas
Pasal 2
     Pada dasarnya semua sumber daya alam termasuk sumber daya
     alam   hayati    harus    dimanfaatkan     untuk    kesejahteraan
     masyarakat dan umat manusia sesuai dengan kemampuan dan
     fungsinya.
     Namun, pemanfaatannya harus sedemikian rupa sesuai dengan
     Undangundang ini sehingga dapat berlangsung secara lestari
     untuk masa kini dan masa depan.
     Pemanfaatan dan pelestarian seperti tersebut di atas harus
     dilaksanakan secara serasi dan seimbang sebagai perwujudan
     dari   asas   konservasi    sumber    daya    alam   hayati    dan
     ekosistemnya.
Pasal 3
     Sumber daya alam hayati merupakan unsur ekosistem yang dapat
     dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
     mutu kehidupan manusia. Namun, keseimbangan ekosistem harus
     tetap terjamin.
Pasal 4
     Mengingat pentingnya konservasi sumber daya alam hayati dan
     ekosistemnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
     mutu kehidupan manusia, maka masyarakat juga mempunyai
     kewajiban dan tanggung jawab dalam kegiatan konservasi.
Pasal 5
     Konservasi   sumber    daya   alam   hayati    dan   ekosistemnya
     dilakukan melalui tiga kegiatan :
     a.   Perlindungan sistem penyangga kehidupan. Kehidupan
     adalah merupakan suatu sistem yang terdiri dari proses yang
     berkait satu dengan lainnya dan saling mempengaruhi, yang
     apabila terputus akan mempengaruhi kehidupan. Agar manusia
     tidak dihadapkan pada perubahan yang tidak diduga yang akan
     mempengaruhi kemampuan pemanfaatan sumber daya alam hayati,
     maka proses ekologis yang mengandung kehidupan itu perlu
     dijaga dan dilindungi.
     Perlindungan   sistem    penyangga    kehidupan    ini    meliputi
     usaha-usaha dan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan
     perlindungan mata air, tebing, tepian sungai, danau, dan
     jurang, pemeliharaan fungsi hidrologi hutan, perlindungan
     pantai, pengelolaan daerah aliran sungai; perlindungan
     terhadap gejala keunikan dan keindahan alam, dan lain-lain.
     b.   Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa
     beserta ekosistemnya.
     Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya terdiri dari
     unsur-unsur   hayati    dan   nonhayati    (baik   fisik    maupun
     nonfisik).
     Semua unsur ini sangat berkait dan pengaruh mempengaruhi.
     Punahnya salah satu unsur tidak dapat diganti dengan unsur
     yang lain. Usaha dan tindakan konservasi untuk menjamin
     keanekaragaman jenis meliputi penjagaan agar unsur-unsur
     tersebut tidak punah dengan tujuan agar masing-masing unsur
     dapat berfungsi dalam                       alam      dan     agar
                                       *7634
     senantiasa siap untuk sewaktu-waktu dimanfaatkan bagi
     kesejahteraan manusia.
     Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dapat dilaksanakan di
     dalam kawasan (konservasi in-situ) ataupun di luar kawasan
     (konservasi exsitu).
     c.   Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
     ekosistemnya. Usaha pemanfaatan secara lestari sumber daya
     alam hayati dan ekosistemnya pada hakikatnya merupakan usaha
     pengendalian/pembatasan dalam pemanfaatan sumber daya alam
     hayati dan ekosistemnya sehingga pemanfaatan tersebut dapat
     dilaksanakan secara terus menerus pada masa mendatang.
Pasal 6
     Unsur hayati adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia,
     tumbuhan, satwa, dan jasad renik. Unsur nonhayati terdiri
     dari sinar matahari, air, udara, dan tanah. Hubungan antara
     unsur hayati dan nonhayati harus berlangsung dalam keadaan
     seimbang sebagai suatu sistem penyangga kehidupan dan karena
     itu perlu dilindungi.

Pasal 7
     Cukup jelas
Pasal 8
     Ayat (1)
     Perlindungan sistem penyangga kehidupan dilaksanakan dengan
     cara menetapkan suatu wilayah tertentu sebagai wilayah
     perlindungan. Guna pengaturannya Pemerintah menetapkan pola
     dasar pembinaan pemanfaatan wilayah tersebut sehingga fungsi
     perlindungan dan pelestariannya tetap terjamin.
     Wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan ini meliputi
     antara lain hutan lindung, daerah aliran sungai, areal tepi
     sungai, daerah pantai, bagian tertentu dari zona ekonomi
     eksklusif Indonesia, daerah pasang surut, jurang, dan areal
     berpolusi berat. Pemanfaatan areal atau wilayah tersebut
     tetap pada subyek yang diberi hak, tetapi pemanfaatan itu
     harus mematuhi ketentuan yang ditetapkan Pemerintah.
     Dalam menetapkan wilayah tertentu sebagai wilayah sistem
     penyangga    kehidupan,   perlu   diadakan    penelitian    dan
     inventarisasi, baik terhadap wilayah yang sudah ditetapkan
     maupun yang akan ditetapkan.
     Ayat (2)
     Dalam    Peraturan   Pemerintah    ini   perlu    diperhatikan
     kepentingan yang serasi antara kepentingan pemegang hak
     dengan kepentingan perlindungan sistem penyangga kehidupan.
Pasal 9
     Ayat (1)
     Yang dimaksud dengan hak pengusahaan di perairan adalah hak
     yang diberikan oleh Pemerintah untuk memanfaatkan sumber
     daya alam yang ada di perairan, baik yang bersifat ekstratif
     maupun nonekstratif, bukan hak penguasaan atas wilayah
     perairan tersebut. Yang                    dimaksud      dengan
                                     *7635
     perairan adalah perairan Indonesia yang meliputi perairan
     pedalaman (sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air
     lainnya), laut wilayah Indonesia, dan zona ekonomi eksklusif
     Indonesia.
     Ayat (2)
           Cukup jelas
     Ayat (3)
          Termasuk    dalam    pengertian   penertiban    terhadap
     penggunaan dan pengelolaan tanah dan hak pengusahaan di
     perairan meliputi pencabutan hak atas tanah dan hak
     pengusahaan di perairan yang pelaksanaannya sesuai dengan
     peraturan   perundang-undangan   yang  berlaku.   Dalam   hal
     penertiban tersebut berupa pencabutan hak atas tanah, maka
     kepada pemegang hak diberikan ganti rugi sesuai dengan
     peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 10
     Wilayah sistem penyangga kehidupan yang mengalami kerusakan
     karena bencana alam seperti longsor, erosi, kebakaran, dan
     gempa bumi, atau karena pemanfaatannya yang tidak tepat
     serta oleh sebab-sebab lainnya perlu segera direhabilitasi
     agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Rehabilitasi ini
     perlu mengikutsertakan masyarakat, khususnya mereka yang
     berhak di atas wilayah tersebut.
Pasal 11
     Yang dimaksud dengan pengawetan disini adalah usaha untuk
     menjaga agar keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
     ekosistemnya tidak punah. Pengawetan diluar kawasan meliputi
     pengaturan mengenai pembatasan tindakan-tindakan yang dapat
     dilakukan terhadap tumbuhan dan satwa sebagaimana diatur
     dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 25 Undang-undang ini.
     Pengaturan diluar kawasan berupa pengawetan jenis (spesies)
     tumbuhan dan satwa. Pengawetan di dalam kawasan dilakukan
     dalam bentuk kawasan suaka alam dan zona inti taman
     nasional.
Pasal 12
     Upaya pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa berupa
     kawasan suaka alam yang karena fungsi pokoknya adalah
     pengawetan   keanekaragaman   tumbuhan  dan   satwa   beserta
     ekosistemnya, maka keutuhan dan keaslian dari kawasan suaka
     alam tersebut perlu dijaga dari gangguan agar prosesnya
     berjalan secara alami.
Pasal 13
     Ayat (1)
          Cukup jelas
     Ayat (2)
          Cukup jelas
     Ayat (3)
          Cukup jelas
Pasal 14
     Cukup jelas
Pasal 15
     Cukup jelas
Pasal 16
     *7636 Ayat (1)
          Pengelolaan kawasan suaka alam merupakan kewajiban
     Pemerintah sebagai konsekuensi penguasaan oleh negara atas
     sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
     Undang-Undang Dasar 1945.
     Ayat (2)
          Yang dimaksud dengan daerah penyangga adalah wilayah
     yang berada di luar kawasan suaka alam, baik sebagai kawasan
     hutan lain, tanah negara bebas maupun tanah yang dibebani
     hak yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan kawasan suaka
     alam. Pengelolaan atas daerah penyangga tetap berada di
     tangan yang berhak, sedangkan cara-cara pengelolaan harus
     mengikuti   ketentuan-  ketentuan   yang  ditetapkan   dalam
     Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
     Ayat (1)
          Fungsi penunjang budidaya dapat dilaksanakan dalam
     bentuk penggunaan plasma nutfah yang terdapat dalam cagar
     alam yang bersangkutan untuk keperluan permuliaan jenis dan
     penangkaran. Plasma nutfah adalah unsur-unsur gen yang
     menentukan sifat kebakaan suatu jenis.
     Ayat (2)
          Yang dimaksud dengan wisata terbatas adalah suatu
     kegiatan untuk mengunjungi, melihat, dan menikmati keindahan
     alam di suaka margasatwa dengan persyaratan tertentu.
     Ayat (3)
          Cukup jelas

Pasal 18
     Ayat (1)
          Adanya   cagar   biosfer  dimaksudkan   sebagai   tempat
     penelitian,   ilmu   pengetahuan,   dan   pendidikan,   serta
     mengamati dan mengevaluasi perubahan-perubahan yang terjadi
     pada kawasan yang bersangkutan. Dengan ditentukannya suatu
     kawasan suaka alam dan kawasan tertentu lainnya sebagai
     cagar biosfer, maka kawasan yang bersangkutan menjadi bagian
     dari   pada   jaringan   konservasi   internasional.   Namun,
     kewenangan penentuan kegiatan penelitian, ilmu pengetahuan
     dan pendidikan, serta mengamati dan mengevaluasi perubahan-
     perubahan di dalam cagar biosfer sepenuhnya berada di tangan
     Pemerintah.
     Ayat (2)
          Cukup jelas
Pasal 19
     Ayat (1)
          Yang dimaksud dengan perubahan terhadap keutuhan suaka
     alam adalah melakukan perusakan terhadap keutuhan kawasan
     dan ekosistemnya, perburuan satwa yang berada dalam kawasan,
     dan memasukkan jenis-jenis bukan asli.
     Ayat (2)
          Yang dimaksud dengan pembinaan habitat satwa adalah
     kegiatan yang dilakukan di dalam kawasan dengan tujuan
     *7637 agar satwa dapat hidup dan berkembang secara alami.
     Contoh kegiatan tersebut antara lain pembuatan padang rumput
     untuk makanan satwa, pembuatan fasilitas air minum, dan
     sebagainya.
     Ayat (3)
          Yang dimaksud dengan jenis tumbuhan dan satwa yang
     tidak asli adalah jenis tumbuhan dan jenis satwa yang tidak
     pernah terdapat di dalam kawasan.
Pasal 20
     Ayat (1)
          Dalam   rangka    mengawetkan  jenis,   maka   ditetapkan
     jenis-jenis tumbuhan satwa yang dilindungi.
     Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dimaksudkan untuk
     melindungi spesies tumbuhan dan satwa agar jenis tumbuhan
     dan satwa tersebut tidak mengalami kepunahan.
     Penetapan ini dapat diubah sewaktu-waktu tergantung dari
     tingkat keperluannya yang ditentukan oleh tingkat bahaya
     kepunahan yang mengancam jenis bersangkutan.
     Ayat (2)
          Jenis tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan
     meliputi jenis tumbuhan dan satwa yang dalam keadaan bahaya
     nyaris punah dan menuju kepunahan. Tumbuhan dan satwa yang
     endemik    adalah    tumbuhan   dan   satwa   yang    terbatas
     penyebarannya, sedangkan jenis yang terancam punah adalah
     karena populasinya sudah sangat kecil serta mempunyai
     tingkat perkembangbiakan yang sangat lambat, baik karena
     pengaruh habitat maupun ekosistemnya. Jenis tumbuhan dan
     satwa yang populasinya jarang dalam arti populasinya kecil
     atau jarang sehingga pembiakannya sangat sulit.
     Ayat (3)
          Cukup jelas
Pasal 21
     Ayat (1)
          Cukup jelas
     Ayat (2)
          Cukup jelas
Pasal 22
     Ayat (1)
          Yang dimaksud dengan penyelamatan jenis tumbuhan dan
     satwa adalah suatu upaya penyelamatan yang harus dilakukan
     apabila dalam keadaan tertentu tumbuhan dan satwa terancam
     hidupnya bila tetap berada dihabitatnya dalam bentuk
     pengembangbiakan dan pengobatan, baik di dalam maupun di
     luar negeri.
     Ayat (2)
          Yang dimaksud dengan pemberian atau penukaran jenis
     tumbuhan dan satwa kepada pihak lain di luar negeri adalah
     untuk keperluan tukar menukar antar lembaga-lembaga yang
     bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan satwa dan hadiah
     Pemerintah.
     Ayat (3)
          Membahayakan di sini berarti tidak hanya mengancam jiwa
     manusia melainkan juga menimbulkan gangguan atau     *7638
     keresahan terhadap ketenteraman hidup manusia, atau kerugian
     materi seperti rusaknya lahan atau tanaman atau hasil
     pertanian.
     Ayat (4)
          Dalam Peraturan Pemerintah tersebut antara lain diatur
     cara-cara mengatasi bahaya, cara melakukan penangkapan
     hidup-hidup,    penggiringan   dan   pemindahan   satwa    yang
     bersangkutan, sedangkan pemusnahan hanya dilaksanakan kalau
     cara lain ternyata tidak memberi hasil efektif.
Pasal 23
     Ayat ( 1)
          Yang dimaksud dengan apabila diperlukan adalah untuk
     koleksi tumbuhan dan satwa untuk kebun binatang, taman
     safari, dan untuk permuliaan jenis tumbuhan dan satwa.
     Pemasukan jenis tumbuhan dan satwa liar ke dalam wilayah
     Republik Indonesia perlu diatur untuk mencegah terjadinya
     polusi genetik dan menjaga kemantapan ekosistem yang ada,
     guna pemanfaatan optimal bagi bangsa Indonesia.
     Ayat (2)
          Cukup jelas
Pasal 24
     Ayat (1)
          Yang dimaksud dengan dirampas untuk negara adalah bahwa
     di samping dirampas sesuai dengan ketentuan sebagaimana
     dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
     Hukum Acara Pidana, juga memberikan kewenangan kepada
     pejabat yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk menguasai dan
     menyelamatkan tumbuhan dan satwa sebelum proses pengadilan
     dilaksanakan.
     Ayat (2)
          Tumbuhan dan satwa yang dilindungi harus dipertahankan
     agar tetap berada di habitatnya. Oleh karena itu, tumbuhan
     dan satwa yang dirampas harus dikembalikan ke habitatnya.
     Kalau tidak mungkin dikembalikan ke habitatnya karena
     dinilai tidak dapat beradaptasi dengan habitatnya dan/atau
     untuk dijadikan barang bukti di pengadilan, maka tumbuhan
     dan satwa tersebut diserahkan atau dititipkan kepada lembaga
     yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan satwa.
          Apabila keadaan sudah tidak memungkinkan karena rusak,
     cacat, dan tidak memungkinkan hidup, lebih baik dimusnahkan.
     Lembaga yang dimaksud dalam ayat ini dapat berupa lembaga
     pemerintah dan lembaga non pemerintah, misalnya kebun
     binatang, kebun botani, museum biologic herbarium, taman
     safari dan sebagainya yang ditunjuk dan ditetapkan oleh
     Pemerintah.
Pasal 25
     Ayat (1)
          Lihat penjelasan Pasal 24 ayat (2)
     Ayat (2)
          Cukup jelas
Pasal 26
     *7639 Yang dimaksud dengan kondisi lingkungan adalah potensi
     kawasan berupa ekosistem, keadaan iklim, fenomena alam,
     kekhasan jenis tumbuhan dan satwa, dan peninggalan budaya
     yang berada dalam kawasan tersebut.
Pasal 27
     Cukup jelas
Pasal 28
     Cukup jelas
Pasal 29
     Ayat (1)
          Wilayah taman nasional, taman hutan raya, dan taman
     wisata alam meliputi areal daratan dan perairan.
     Ayat (2)
          Lihat penjelasan Pasal 16 ayat (2)
Pasal 30
     Cukup jelas
Pasal 31
     Ayat (1)
          Cukup jelas
     Ayat (2)
          Cukup jelas
Pasal 32
     Yang dimaksud dengan zona inti adalah bagian kawasan taman
     nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan
     adanya perubahan apa pun oleh aktivitas manusia.
     Yang dimaksud dengan zona pemanfaatan adalah bagian dari
     kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan
     kunjungan wisata. Yang dimaksud dengan zona lain adalah zona
     di luar kedua zona tersebut karena fungsi dan kondisinya
     ditetapkan sebagai zona tertentu seperti zona rimba, zona
     pemanfaatan traditional zona rehabilitasi, dan sebagainya.
Pasal 33
     Ayat (1)
          Lihat penjelasan Pasal 19 ayat ( 1)
     Ayat (2)
          Cukup jelas
     Ayat (3)
          Cukup jelas
Pasal 34
     Ayat (1)
          Pada dasarnya pengelolaan kawasan pelestarian alam
     merupakan kewajiban dari Pemerintah sebagai konsekuensi
     penguasaan oleh negara atas sumber daya alam sebagaimana
     dimaksud dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
          Dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan atas zona
     pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman
     wisata alam, Pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan
     kepada koperasi, badan usaha milik negara, perusahaan swasta
     dan perorangan.
     Ayat (2)
          Cukup jelas
     Ayat (3)
          *7640 Pengertian mengikutsertakan rakyat di sini adalah
     memberi kesempatan kepada rakyat sekitarnya untuk ikut
     berperan dalam usaha di kawasan tersebut.
     Ayat (4)
          Cukup jelas
Pasal 35
     Yang   dimaksud dengan dalam keadaan tertentu dan sangat
     diperlukan adalah keadaan dan situasi yang terjadi di
     kawasan pelestarian alam karena bencana alam (gunung
     meletus, keluar gas beracun, bahaya kebakaran),dan kerusakan
     akibat pemanfaatan terus menerus yang dapat membahayakan
     pengunjung atau kehidupan tumbuhan dan satwa.
Pasal 36
     Ayat (1)
          Dalam pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar harus
     dilakukan dengan tetap menjaga keseimbangan populasi dengan
     habitatnya.
     Ayat (2)
          Cukup jelas

Pasal 37
     Ayat (1)
          Peranserta rakyat dapat berupa perorangan dan kelompok
     masyarakat baik yang terorganisasi maupun tidak. Agar rakyat
     dapat berperan secara aktif dalam kegiatan konservasi sumber
     daya alam hayati dan ekosistemnya, maka melalui kegiatan
     penyuluhan, Pemerintah perlu mengarahkan dan menggerakkan
     rakyat dengan mengikutsertakan kelompok-kelompok masyarakat.
     Ayat (2)
          Dalam   upaya   menumbuhkan  dan   meningkatkan   sadar
     konservasi di kalangan rakyat, maka perlu ditanamkan
     pengertian dan motivasi tentang konservasi sejak dini
     melalui jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah.
     Ayat (3)
          Cukup jelas
Pasal 38
     Ayat (1)
          Selain Pemerintah Pusat dapat menyerahkan sebagian
     urusan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
     ekosistemnya kepada Pemerintah Daerah, juga Pemerintah Pusat
     dapat menugaskan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I untuk
     melaksanakan urusan tersebut sebagai tugas pembantuan.
     Ayat (2)
          Cukup jelas
Pasal 39
     Ayat (1)
          Cukup jelas
     Ayat (2)
          Cukup jelas
     Ayat (3)
          Cukup jelas
     Ayat (4)
          *7641 Cukup jelas
Pasal 40
     Ayat (1)
          Cukup jelas
     Ayat (2)
          Cukup jelas
     Ayat (3)
          Cukup jelas
     Ayat (4)
          Cukup jelas
     Ayat (5)
          Cukup jelas
Pasal 41
     Berdasarkan Ordonansi Perlindungan Alam Tahun 1941 Stbl.
     1941    Nomor    167   (Natuurbeschermingsordonnantie  1941
     Staatsblad 1941 Nummer 167) dan Undang-undang Nomor 5 Tahun
     1967 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Kehutanan telah
     ditetapkan hutan suaka alam dan taman wisata.
     Dengan ditetapkannya Undang-undang ini, maka hutan suaka
     alam dan taman wisata dianggap telah ditetapkan sebagai
     kawasan suaka alam dan taman wisata alam.
Pasal 42
     Cukup jelas
Pasal 43
     Cukup jelas
Pasal 44
     Cukup jelas
Pasal 45
     Cukup jelas.

                 --------------------------------

                              CATATAN

Kutipan:   LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1990


Silahkan download versi PDF nya sbb:
konservasi_sumber_daya_alam_hayati_ekosistemnya_(_5.pdf
(ogi/Carapedia)
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.