Previous
Next

1967

Undang-Undang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (UU 5 thn 1967)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan :
                       UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                              NOMOR 5 TAHUN 1967
                                   TENTANG
                     KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEHUTANAN

                             PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a.   Bahwa hutan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber kekayaan alam yang
     memberikan manfaat serbaguna yang mutlak dibutuhkan oleh umat manusia sepanjang
     masa;
b.   Bahwa hutan di Indonesia sebagai sumber kekayaan alam dan salah satu unsur basis
     pertahanan nasional harus dilindungi dan dimanfaatkan guna kesejahteraan rakyat secara
     lestari;
c.   Bahwa peraturan-peraturan dalam bidang hutan dan Kehutanan yang berlaku sampai
     sekarang sebagian besar berasal dari Pemerintah jajahan, bersifat kolonial dan beraneka
     ragam coraknya, sehingga tidak sesuai lagi dengan tuntutan Revolusi;
d.   Bahwa untuk menjamin kepentingan rakyat dan Negara serta untuk menyelesaikan Revolusi
     Nasional diperlukan adanya Undang-undang yang memuat ketentuan-ketentuan pokok
     tentang Kehutanan yang bersifat nasional dan merupakan dasar bagi penyusunan Peraturan
     Perundangan dalam bidang hutan dan Kehutanan.

Mengingat:
1.   Pasal 5 ayat (1), pasal 20 dan pasal 33; Undang-undang Dasar 1945;
2.   Ketetapan M.P.R.S. No.II/MPRS/1960;
3.   Ketetapan M.P.R.S. No.VI/MPRS/1965;
4.   Ketetapan M.P.R.S. No.XXIII/MPRS/1966;
5.   Ketetapan M.P.R.S. No.XXXIIII/MPRS/1967.

                               Dengan persetujuan:
                    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT GOTONG ROYONG

                                      MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEHUTANAN

                                         BAB I
                                    KETENTUAN UMUM

                                           Pasal 1
Dalam Undang-undang ini dan dalam peraturan Perundangan pelaksanaannya yang dimaksud
dengan:
(1)  "Hutan" ialah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan
     merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya dan yang ditetapkan
     oleh Pemerintah sebagai hutan.
(2)  "Hasil Hutan" ialah benda-benda hayati yang dihasilkan dari hutan.
(3)  "Kehutanan" ialah kegiatan-kegiatan yang bersangkut paut dengan hutan dan
     pengurusannya.
(4)   "Kawasan Hutan" ialah wilayah-wilayah tertentu yang oleh Menteri ditetapkan untuk
      dipertahankan sebagai Hutan Tetap.
(5)   "Menteri" ialah Menteri yang diserahi urusan Kehutanan.

                                           Pasal 2
Berdasarkan pemilikannya Menteri menyatakan hutan sebagai:
(1)  "Hutan Negara" ialah kawasan hutan dan hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak
     dibebani hak milik.
(2)  "Hutan Milik" ialah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik.

                                            Pasal 3
Berdasarkan fungsinya Menteri menetapkan Hutan Negara sebagai:
(1)  "Hutan Lindung" ialah kawasan hutan yang karena keadaan sifat alamnya diperuntukkan
     guna mengatur tata-air, pencegahan bencana banjir dan erosi serta pemeliharaan
     kesuburan tanah.
(2)  "Hutan Produksi" ialah kawasan hutan yang diperuntukkan guna produksi hasil hutan untuk
     memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk pembangunan,
     industri dan ekspor.
(3)  "Hutan Suaka Alam" ialah kawasan hutan yang karena sifatnya khas diperuntukkan secara
     khusus untuk perlindungan alam hayati dan/atau manfaat-manfaat lainnya, yaitu:
     a.     Hutan Suaka Alam yang berhubungan dengan keadaan alamnya yang khas termasuk
            alam hewani dan alam nabati, perlu dilindungi untuk kepentingan ilmu pengetahuan
            dan kebudayaan, disebut "Cagar Alam".
     b.     Hutan Suaka Alam yang ditetapkan sebagai suatu tempat hidup margasatwa yang
            mempunyai nilai khas bagi ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta merupakan
            kekayaan dan kebanggaan nasional, disebut "Suaka Margasatwa".
(4)  "Hutan Wisata" ialah kawasan hutan yang diperuntukkan secara khusus untuk dibina dan
     dipelihara guna kepentingan pariwisata dan/atau wisataburu, yaitu:
     a.     Hutan Wisata yang memiliki keindahan alam, baik keindahan nabati, keindahan
            hewani, maupun keindahan alamnya sendiri mempunyai corak khas untuk
            dimanfaatkan bagi kepentingan rekreasi dan kebudayaan, disebut "Taman Wisata."
     b.     Hutan Wisata yang di dalamnya terdapat satwa buru yang memungkinkan
            diselenggarakannya pemburuan yang teratur bagi kepentingan rekreasi, disebut
            "Taman Buru."

                                            Pasal 4
(1)   Sesuai dengan peruntukannya Menteri menetapkan Kawasan Hutan, yaitu:
      a.    wilayah yang berhutan yang perlu dipertahankan sebagai hutan tetap;
      b.    wilayah tidak berhutan yang perlu dihutankan kembali dan dipertahankan sebagai
            hutan tetap.
(2)   Hutan yang berada di dalam Kawasan Hutan adalah "Hutan Tetap".
(3)   Hutan yang berada di luar kawasan hutan yang peruntukannya belum ditetapkan adalah
      "Hutan Cadangan".
(4)   Hutan yang ada di luar kawasan hutan dan bukan hutan cadangan adalah "Hutan lainnya".

                                          Pasal 5
(1)   Semua hutan dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung
      di dalamnya, dikuasai oleh Negara.
(2)   Hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (1) memberi wewenang untuk:
      a.    Menetapkan dan mengatur perencanaan, peruntukan, penyediaan dan penggunaan
            hutan sesuai dengan fungsinya dalam memberikan manfaat kepada rakyat dan
            Negara.
      b.    Mengatur pengurusan hutan dalam arti yang luas.
      c.    Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang atau badan
            hukum dengan hutan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai hutan.

                                        BAB II
                                  PERENCANAAN HUTAN

                                           Pasal 6
Pemerintah membuat suatu rencana umum mengenai peruntukan, penyediaan, pengadaan dan
penggunaan hutan secara serba-guna dan lestari di seluruh wilayah Republik Indonesia untuk
kepentingan:
a.   Pengaturan tata-air pencegahan bencana banjir dan erosi serta pemeliharaan kesuburan
     tanah;
b.   Produksi hasil hutan dan pemasarannya guna memenuhi kepentingan masyarakat pada
     umumnya dan khususnya guna keperluan pembangunan, industri serta ekspor;
c.   Sumber mata pencaharian yang bermacam ragam bagi rakyat di dalam dan sekitar hutan;
d.   Perlindungan alam hayati dan alam khas guna kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan,
     pertahanan Nasional, rekreasi dan pariwisata;
e.   Transmigrasi, pertanian, perkebunan dan peternakan; Lain-lain yang bermanfaat bagi
     umum.

                                            Pasal 7
(1)   Untuk menjamin diperolehnya manfaat yang sebesar- besarnya dari hutan secara lestari
      termaksud dalam pasal 6 sub a s/d d, ditetapkan wilayah-wilayah tertentu sebagai kawasan
      hutan, dengan luas yang cukup dan letak yang tepat.
(2)   Penetapan kawasan hutan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri dengan
      memperhatikan rencana penggunaan tanah yang ditentukan oleh Pemerintah.
(3)   Penetapan tersebut pada ayat (2) didasarkan pada suatu rencana umum pengukuhan hutan
      yang memuat tujuan, perincian dan urgensi pengukuhan kawasan hutan itu untuk
      selanjutnya digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menetapkan: Hutan Lindung,
      Hutan Produksi, Hutan Suaka Alam dan/atau Hutan Wisata.

                                            Pasal 8
(1)   Guna mengetahui modal kekayaan alam yang berupa hutan di seluruh wilayah Republik
      Indonesia, diselenggarakan inventarisasi hutan guna keperluan perencanaan pembangunan
      proyek-proyek Kehutanan secara nasional dan menyeluruh.
(2)   Untuk pengusahaan hutan tertentu secara lestari dan tertib, perlu disusun suatu rencana
      karya atau bagan kerja untuk jangka waktu tertentu yang harus didahului dengan penataan
      hutan.

                                        BAB III
                                   PENGURUSAN HUTAN

                                            Pasal 9
(1)   Pengurusan hutan bertujuan untuk mencapai manfaat. yang sebesar-besarnya secara
      serbaguna dan lestari, baik langsung maupun tidak langsung dalam usaha membangun
      masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Panca Sila, didasarkan atas
      rencana umum dan rencana karya tersebut pada pasal 6 dan 8.
(2)   Kegiatan pengurusan hutan tersebut pada ayat (1) meliputi:
      a.    Mengatur dan melaksanakan perlindungan, pengukuhan, penataan, pembinaan dan
            pengusahaan hutan serta penghijauan;
      b.    Mengurus Hutan Suaka Alam dan Hutan Wisata serta membina margasatwa dan
            pemburuan;
      c.    menyelenggarakan inventarisasi hutan;
      d.    Melaksanakan penelitian tentang hutan dan hasil hutan serta guna dan manfaatnya,
            serta penelitian sosial ekonomi dari Rakyat yang hidup di dalam dan sekitar hutan;
      e.    Mengatur serta menyelenggarakan penyuluhan dan pendidikan dalam bidang
            Kehutanan.

                                          Pasal 10
(1)   Untuk menjamin terselenggaranya pengurusan Hutan Negara yang sebaik-baiknya, maka
      dibentuk Kesatuan-kesatuan Pemangkuan Hutan dan Kesatuan-kesatuan Pengusahaan
      Hutan yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut oleh Menteri.
(2)   Pengurusan Hutan Negara dilaksanakan oleh Badan-badan Pelaksana yang diatur lebih
      lanjut oleh Menteri.

                                           Pasal 11
(1)   Pengurusan Hutan Milik dilakukan oleh pemiliknya dengan bimbingan Menteri dengan
      mengingat ketentuan-ketentuan dalam Bab ini, Bab IV dan Bab V.
(2)   Pengurusan Hutan Milik yang dilakukan bertentangan dengan ayat (1) dan kepentingan
      umum, dapat dituntut.

                                        Pasal 12
Pemerintah Pusat dapat menyerahkan sebagian dari wewenangnya di bidang Kehutanan kepada
Pemerintah Daerah dengan Peraturan Pemerintah.

                                         BAB IV
                                   PENGUSAHAAN HUTAN

                                         Pasal 13
(1)   Pengusahaan hutan bertujuan untuk memperoleh dan meninggikan produksi hasil hutan
      guna pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat.
(2)   Pengusahaan hutan diselenggarakan berdasarkan azas kelestarian hutan dan azas
      perusahaan menurut rencana karya atau bagan kerja tersebut pada pasal 8, dan meliputi:
      penanaman, pemeliharaan, pemungutan hasil, pengolahan dan pemasaran hasil hutan.

                                            Pasal 14
(1)   Pada dasarnya pengusahaan Hutan Negara dilakukan oleh Negara dan dilaksanakan oleh
      Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah berdasarkan Undang-undang yang berlaku.
(2)   Pemerintah dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan usaha bersama di
      bidang Kehutanan.
(3)   Kepada Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah dan Perusahaan Swasta dapat diberikan
      hak pengusahaan hutan.
(4)   Kepada warganegara Indonesia dan Badan-badan Hukum Indonesia yang seluruh modalnya
      dimiliki oleh warganegara Indonesia dapat diberikan hak pemungutan hasil hutan.
(5)   Pemberian hak-hak tersebut pada ayat (3) dan (4) pasal ini diatur lebih lanjut dengan
      Peraturan Pemerintah.
                                          BAB V
                                   PERLINDUNGAN HUTAN

                                            Pasal 15
(1)   Hutan perlu dilindungi supaya secara lestari dapat memenuhi fungsinya sebagaimana
      tersebut dalam pasal 3.
(2)   Perlindungan hutan meliputi usaha-usaha untuk:
      a.     Mencegah dan membatasi kerusakan-kerusakan hutan dan hasil hutan yang
             disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama
             dan penyakit.
      b.     Mempertahankan dan menjaga hak-hak Negara atas hutan dan hasil hutan.
(3)   Untuk menjamin terlaksananya perlindungan hutan ini dengan sebaik-baiknya maka rakyat
      diikutsertakan.
(4)   Pelaksanaan ketentuan-ketentuan pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                                           Pasal 16
Pemburuan swasta liar diatur dengan Peraturan Perundangan, dengan mengindahkan tujuan-
tujuan yang telah ditetapkan dalam Undang-undang ini.

                                          Pasal 17
Pelaksanaan hak-hak masyarakat, hukum adat dan anggota- anggotanya serta hak-hak
perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan baik langsung maupun tidak langsung yang
didasarkan atas sesuatu peraturan hukum sepanjang menurut kenyataannya masih ada, tidak
boleh mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang dimaksud dalam Undang-undang ini.

                                          Pasal 18
(1)   Untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan dan Kehutanan, maka kepada
      petugas Kehutanan sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan wewenang kepolisian
      khusus.
(2)   Pelaksanaan dari pemberian wewenang ini diatur bersama oleh Menteri dan Menteri
      Panglima Angkatan Kepolisian.

                                         BAB VI
                                    KETENTUAN PIDANA

                                            Pasal 19
(1)   Peraturan pelaksanaan dari Undang-undang ini dapat memuat sangsi pidana berupa
      hukuman pidana penjara atau kurungan dan/atau denda.
(2)   Kayu dan/atau hasil hutan lainnya yang diperoleh dari dan benda-benda lainnya yang
      tersangkut dengan atau digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut pada ayat (1),
      dapat disita untuk Negara.
(3)   Tindak pidana tersebut dalam ayat (1) menurut sifat perbuatannya dapat dibedakan antara,
      kejahatan dan pelanggaran.

                                        BAB VII
                                  KETENTUAN PERALIHAN

                                           Pasal 20
Hutan yang telah ditetapkan sebagai Hutan Tetap, Cagar Alam dan Suaka Margasatwa,
berdasarkan Peraturan Perundangan yang berlaku sebelum berlakunya Undang-undang ini,
dianggap telah ditetapkan sebagai Kawasan Hutan dengan peruntukan dan fungsi sesuai dengan
penetapannya.

                                            Pasal 21
Sambil menunggu keluarnya peraturan-peraturan pelaksanaan daripada Undang-undang ini,
segala peraturan dan perundang-undangan di bidang Kehutanan yang telah ada sebelumnya,
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa Undang-undang ini serta diberi tafsiran
sesuai dengan itu.

                                         BAB VIII
                                    KETENTUAN PENUTUP

                                         Pasal 21
Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Pokok Kehutanan" dan mulai berlaku pada hari
diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.



                                    Disahkan Di Jakarta,
                                  Pada Tanggal 24 Mei 1967
                            Pd. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
                                            Ttd.
                                        SOEHARTO
                                        Jenderal TNI

                                  Diundangkan Di Jakarta,
                                 Pada Tanggal 24 Mei 1967
                                A/n. SEKRETARIS NEGARA,
                             SEKRETARIS PRESIDIUM KABINET,
                                             Ttd.
                                    SUDHARMONO S.H.
                                       Brig. Jen. TNI.

             LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1967 NOMOR 8
                                    PENJELASAN
                         UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                                NOMOR 5 TAHUN 1967
                                     TENTANG
                       KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEHUTANAN

UMUM
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa tanah-air yang kaya
raya dengan sumber kekayaan alam, antara lain dengan hutan yang masih sangat luas sekali.
Penggalian sumber kekayaan alam yang berupa hutan ini secara intensip, adalah merupakan
pelaksanaan Amanat Penderitaan Rakyat yang tidak boleh ditunda-tunda lagi dalam rangka
pembangunan ekonomi nasional untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Kiranya perlu mendapat perhatian, bahwa ruang lingkup kegiatan Kehutanan pada waktu ini jauh
lebih luas dari pada waktu-waktu yang lampau, berhubung dengan:
1.     Kegiatan pembangunan di mana-mana serta makin bertambahnya kebutuhan penduduk
       akan peralatan rumah tangga yang selalu membutuhkan kayu banyak sekali, sehingga
       kebutuhan akan kayu selalu meningkat dengan pesat.
2.     Makin majunya ekspor hasil hutan serta makin banyaknya permintaan dari luar negeri.
3.     Makin majunya industri yang menggunakan hasil hutan sebagai bahan baku, antara lain:
       a.     industri plywood, hardboard dan bahan-bahan untuk prefabricated houses, baik untuk
              memenuhi keperluan dalam negeri maupun untuk diekspor.
       b.     industri pulp sebagai bahan baku untuk industri dalam negeri serta sebagai bahan
              setengah jadi untuk diekspor.
       c.     industri rayon untuk bahan sandang dan lain-lain.
4.     Bantuan yang dapat diberikan oleh Kehutanan berhubung dengan makin berkembangnya
       pengusahaan sutera alam oleh Pemerintah bersama-sama dengan rakyat.
5.     Makin majunya pariwisata di negara kita, antara lain wisata tamasya, wisata buru dan wisata
       ilmiah, di mana Kehutanan dapat memberikan sumbangannya yang sangat besar.
6.     Saham yang dapat diberikan oleh Kehutanan dalam rangka pelaksanaan rencana
       pembangunan semesta dan pelaksanaan transmigrasi sebagai proyek nasional.
Kegiatan Kehutanan dalam bidang-bidang tersebut: di atas, disamping pengaruhnya yang
konstruktip di bidang sosial ekonomi, juga akan memberikan pemasukan devisa yang sangat
diperlukan oleh negara.
Untuk menjamin kelancaran, ketertiban dan kelestarian pelaksanaan segala kegiatan itu,
diperlukan adanya landasan kerja serta landasan hukum yang dapat menampung segala segi
persoalannya secara menyeluruh. Maka dalam taraf sekarang ini sangat terasa mendesaknya
kebutuhan untuk segera terciptanya suatu Undang-undang Pokok Kehutanan (U.U.P.K.) yang
bersifat nasional untuk menggantikan Peraturan Perundangan di bidang Kehutanan yang berlaku
hingga sekarang, yang sebagian besar berasal dari pemerintah jajahan, bersifat kolonial, dan
beraneka ragam coraknya. U.U.P.K. ini merupakan suatu langkah pula untuk menuju kepada
univikasi hukum nasional di bidang Kehutanan dan merupakan induk bagi Peraturan Perundangan
yang mengatur berbagai-bagai bidang dalam Kegiatan Kehutanan.
Jiwa daripada Undang-undang ini tidak semata-mata ditujukan kepada perlindungan dan
pengurusan hutannya saja, akan tetapi juga dan terutama ditujukan kepada pemanfaatan hutan
sebesar mungkin untuk kesejahteraan rakyat sesuai dengan makna pasal 33 U.U.D. 1945.
Hutan mempunyai fungsi yang menguasai hajat hidup orang banyak, antara lain:
1.     Mengatur tata-air, mencegah dan membatasi bahaya banjir dan erosi serta memelihara
       kesuburan tanah.
2.     Memenuhi produksi hasil hutan untuk keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya
       untuk keperluan pembangunan, industri dan ekspor.
3.     Membantu pembangunan ekonomi nasional pada umumnya dan mendorong industri hasil
       hutan pada khususnya.
4.     Melindungi suasana iklim dan memberi daya pengaruh yang baik.
5.     Memberi keindahan alam pada umumnya dan khususnya dalam bentuk Cagar Alam, Suaka
       Margasatwa, Taman Wisata dan Taman Buru untuk kepentingan ilmu pengetahuan,
       pendidikan, kebudayaan dan pariwisata.
6.     Merupakan salah satu unsur basis Strategi Pertahanan Nasional.
7.     Memberi manfaat-manfaat lain yang berguna bagi umum.
Oleh karena itu di dalam Pasal 5 ayat (1) ditetapkan, bahwa semua hutan dikuasai oleh Negara.
Pengertian ,dikuasai" bukan berarti "dimiliki", melainkan suatu pengertian yang mengandung
kewajiban-kewajiban dan wewenang-wewenang dalam bidang hukum publik sebagaimana
perinciannya disebutkan dalam pasal 5 ayat (2).
Sehubungan dengan pengertian itu, maka dalam rangka ketentuan pasal 5 ini masih dimungkinkan
adanya Hutan Milik sebagaimana tersebut pada pasal 2. Dalam pada itu agar supaya semua hutan
memenuhi fungsinya dengan baik, maka sesuai dengan maksud pasal 11, Hutan Milik itupun perlu
diatur pengurusan dan pengusahaannya oleh Negara berdasarkan haknya sebagaimana
disebutkan dalam pasal 5, meskipun pelaksanaan daripada pengurusan dan pengusahaan itu
dilakukan sendiri oleh pemiliknya.
Di dalam pasal 2 dipergunakan istilah "Hutan Negara", untuk menyebut semua hutan yang bukan
"Hutan Milik". Dengan demikian maka pengertian ,Hutan Negara" itu mencakup pula hutan-hutan
yang baik berdasarkan Peraturan Perundangan maupun Hukum Adat dikuasai oleh Masyarakat
Hukum Adat. Penguasaan Masyarakat Hukum Adat atas tanah tertentu yang didasarkan pada
Hukum Adat, yang lazimnya disebut hak ulajat diakui di dalam Undang-undang Pokok Agraria,
tetapi sepanjang menurut kenyataannya memang masih ada. Di daerah-daerah di mana menurut
kenyataannya hak ulajat itu sudah tidak ada lagi (atau tidak pernah ada) tidaklah akan dihidupkan
kembali. Menurut perkembangannya hak ulajat itu karena pengaruh berbagai faktor menunjukkan
kecenderungan untuk bertambah lama bertambah menjadi lemah. Selain pembatasan tersebut di
atas, pelaksanaan hak ulajat itu pun harus sedemikian rupa, hingga sesuai dengan kepentingan
nasional serta tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundangan yang lebih tinggi.
Berhubung dengan itu maka dimasukkannya hutan-hutan yang dikuasai oleh Masyarakat Hukum
Adat tersebut ke dalam pengertian "Hutan Negara", tidaklah meniadakan hak-hak Masyarakat
Hukum Adat yang bersangkutan serta anggota-anggotanya untuk mendapatkan manfaat dari
hutan-hutan itu, sepanjang hak-hak itu menurut kenyataannya memang masih ada dan
pelaksanaannyapun harus sedemikian rupa, sehingga tidak mengganggu tercapainya tujuan-
tujuan yang dicantumkan dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya. Hal ini
ditegaskan pula di dalam pasal 17.
Dalam hubungannya dengan ketentuan pasal 5, maka Pemerintah diwajibkan melaksanakan
penggalian kekayaan alam yang berupa hutan sebagaimana dapat dilihat pada pasal-pasal 8, 9,
13, dan 14. Untuk memberikan tekanan pada maksud ini, maka dalam Undang-undang ini
disamping adanya Bab tentang "Pengurusan Hutan" dalam arti pengurusan secara luas, diadakan
pula Bab tersendiri tentang "Pengusahaan Hutan".
Namun demikian, diperhatikan pula kewajiban untuk memperkembangkan sumber mata
pencaharian bagi rakyat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan sesuai dengan bunyi pasal 6 sub
c. Dan sebagai imbangannya, rakyat harus sadar akan kewajibannya untuk ikut melindungi hutan
dari pengrusakan, karena hutan merupakan kekayaan nasional, sebagaimana tersebut pada pasal
15 sub (3).
Selanjutnya untuk menjamin tetap adanya dukungan dan pengawasan dari dan oleh rakyat, dalam
menggariskan kebijaksanaan pengurusan hutan oleh Pemerintah, maka rakyat dan organisasi
massa diikut-sertakan melalui Lembaga-lembaga yang dibentuk untuk keperluan itu.
Peranan Pemerintah Daerah dalam pemanfaatan hutan dapat dilihat pada pasal 14 ayat (1) dan
(3), dan terutama pada pasal 12 dimana dinyatakan, bahwa Pemerintah Pusat dapat menyerahkan
sebagian dari wewenang di bidang kehutanan kepada Pemerintah Daerah. Akan tetapi dalam hal
perencanaan yang bersifat menyeluruh, lihat pasal 6 dan pasal 8 ayat (1), dan dalam hal yang
menyangkut kepentingan tingkat nasional, wewenang tetap dipegang langsung oleh Pemerintah
Pusat.
Untuk melaksanakan pengusahaan hutan dan segala macam pemungutan hasil hutan dengan
hasil yang maksimal agar segera dapat dimulai pelaksanaannya, maka pengikut-sertaan modal
swasta serta usaha bersama dengan pihak lain/negara sahabat yang saling menguntungkan, tetap
dimungkinkan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 14.
Semua kegiatan untuk menggali kekayaan alam Indonesia yang berupa hutan ini, dimaksud tidak
lain guna ikut membangun ekonomi nasional dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, agar cita-
cita membangun masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Panca Sila segera
tercapai, maka bila dipandang perlu Pemerintah memberikan fasilitas-fasilitas yang diperlukan.
Akhirnya dalam penyusunan Undang-undang ini diperhatikan pula untuk memberikan beberapa
batasan istilah (difinisi) yang pokok-pokok saja guna menghindari kesimpang-siuran penafsiran,
karena sampai pada waktu ini di bidang kehutanan masih banyak dipakai istilah-istilah yang belum
mendapatkan kesatuan pengertian.
Dan penjenisan hutan berdasarkan pemilikan, fungsi dan peruntukan daripada hutan yang secara
berturut-turut dimuat dalam pasal-pasal 2, 3 dan 4 adalah penjenisan ditinjau dari segi sosial
ekonomi serta pemanfaatannya. Penjenisan lain berdasarkan ilmu pengetahuan tidak disebut
disini.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

                                              Pasal 1
1.    Hutan dalam Undang-undang ini diartikan sebagai suatu lapangan yang cukup luas,
      bertumbuhan kayu, bambu dan/atau palem yang bersama-sama dengan tanahnya, beserta
      segala isinya baik berupa alam nabati maupun alam hewani, secara keseluruhan merupakan
      persekutuan hidup yang mempunyai kemampuan untuk memberikan manfaat-manfaat
      produksi, perlindungan dan/atau manfaat-manfaat lainnya secara lestari.
      Luas minimum lapangan yang bertumbuhan itu adalah seperempat hektar, sebab hutan
      seluas itu sudah dapat mencapai suatu keseimbangan persekutuan hidup yang diperlukan,
      sehingga mampu memberikan manfaat-manfaat produksi, perlindungan, pengaturan tata-air,
      pengaruh terhadap iklim, dan lain sebagainya. Menteri memberi putusan dalam hal terdapat
      keragu-raguan apakah lapangan itu adalah hutan yang dimaksud dalam Undang-undang ini.
2.    Yang dimaksud dengan hasil hutan adalah hasil-hasil yang diperoleh dari hutan yang
      berupa:
      a.    hasil-hasil nabati seperti kayu perkakas, kayu industri, kayu bakar, bambu, rotan,
            rumput-rumputan dan lain-lain bagian dari tumbuh-tumbuhan atau yang dihasilkan
            oleh tumbuh-tumbuhan di dalam hutan, termasuk hasil yang berupa minyak.
      b.    hasil hewan seperti satwa buru, satwa elok dan lain-lain hewan serta bagian-
            bagiannya atau yang dihasilkannya.
3.    Kehutanan adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan berdasarkan ilmu pengetahuan
      dan pengalaman, yang bersasaran hutan untuk menjamin dan mempertinggi
      pemanfaatannya secara lestari. Rangkaian kegiatan ini antara lain berupa: pengukuhan
      hutan, penataan hutan, pemungutan hasil hutan, penanaman hutan, pemeliharaan hutan,
      pengamanan hutan, pemasaran hasil hutan, pengolahan hasil hutan, penelitian, pendidikan,
      penyuluhan dan lain sebagainya.

                                             Pasal 2
Berdasarkan pemilikannya hutan dibagi menjadi dua jenis:
1.   Hutan Negara ialah semua hutan yang tumbuh di atas tanah yang bukan tanah milik. Hutan
     yang tumbuh atau ditanam di atas tanah yang diberikan kepada Daerah Swatantra dengan
     hak pakai atau hak pengelolaan mempunyai status sebagai Hutan Negara. Dengan
     demikian tidak ada lagi hutan marga, hutan daerah, hutan Swapraja dan sebagainya.
2.   Hutan Milik ialah hutan yang tumbuh atau ditanam di atas tanah milik, yang lazimnya disebut
     hutan rakyat dan dapat dimiliki oleh orang, baik sendiri maupun bersama-sama orang lain
     atau Badan Hukum.
Hutan yang ditanam atas usaha sendiri di atas tanah yang dibebani hak lainnya, merupakan pula
hutan milik dari orang/Badan Hukum yang bersangkutan.

                                               Pasal 3
Ditinjau dari segi kepentingan sosial ekonomi pada umumnya, sifat alam sekelilingnya dan sifat-
sifat lainnya yang dimiliki secara khas, maka berdasarkan fungsinya hutan dapat dibagi menjadi
empat jenis:
1.      Hutan Lindung ialah hutan yang mempunyai keadaan alam sedemikian rupa, sehingga
        pengaruhnya yang baik terhadap tanah, alam sekelilingnya dan tata-air perlu dipertahankan
        dan dilindungi.
        Apabila Hutan Lindung diganggu, maka hutan ini akan kehilangan fungsinya sebagai
        pelindung, bahkan akan menimbulkan bencana alam seperti banjir, erosi dan lain-lain.
        Di antara Hutan Lindung ada yang karena keadaan alamnya dalam batas-batas tertentu
        sedikit banyak masih dapat dipungut hasilnya dengan tidak mengurangi fungsinya sebagai
        Hutan Lindung.
2.      Hutan Produksi ialah hutan yang baik keadaan alamnya maupun kemampuannya
        sedemikian rupa, sehingga dapat memberikan manfaat produksi kayu dan hasil hutan
        lainnya. Pemungutan hasil hutan tersebut diatur sedemikian rupa, hingga dapat berlangsung
        secara lestari.
3.      Hutan Suaka-Alam Kawasan Hutan yang keadaan alamnya sedemikian rupa, sehingga
        sangat penting bagi kepentingan Ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Karenanya, Kawasan
        Hutan semacam ini perlu mendapat perlakuan yang khusus. Hutan Suaka-Alam ini dibagi
        menjadi Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, yang artinya sudah cukup dijelaskan dalam
        pasal yang bersangkutan.
4.      Hutan Wisata ialah hutan yang karena keindahannya sedemikian rupa, sehingga
        mempunyai kemampuan untuk dibina secara khusus untuk keperluan pariwisata dan/atau
        wisata buru. Hutan Wisata ini dibagi menjadi Taman Wisata dan Taman Buru, yang artinya
        sudah cukup dijelaskan dalam pasal yang bersangkutan.
Menurut keadaannya sesuatu hutan dapat mempunyai lebih dari satu fungsi.

                                               Pasal 4
Kawasan Hutan adalah wilayah yang sudah berhutan atau yang tidak berhutan yang telah
ditetapkan untuk dijadikan hutan. Kawasan-kawasan hutan seluruhnya merupakan wilayah-wilayah
yang dalam rangka Landuse-planning telah/akan ditetapkan penggunaannya di bidang Kehutanan
yang didasarkan kepada kebutuhan serta kepentingan masyarakat Indonesia.
Jumlah luas Kawasan Hutan haruslah sedemikian rupa sehingga mempunyai luas yang cukup dan
penjabaran yang merata, baik untuk kepentingan produksi, perlindungan, maupun untuk manfaat-
manfaat lainnya.
Sesuai dengan peruntukannya, hutan dapat dibagi menjadi tiga jenis besar, yaitu:
1.     Hutan Tetap ialah hutan, baik yang sudah ada, maupun yang akan ditanam atau tumbuh
       secara alami di dalam Kawasan Hutan.
2.     Hutan Cadangan ialah hutan yang berada diluar Kawasan Hutan yang peruntukannya belum
       ditetapkan dan tidak dibebani hak milik. Apabila diperlukan, Hutan Cadangan ini dapat
       dijadikan Hutan Tetap.
3.     Hutan lainnya ialah hutan yang ada di luar Kawasan Hutan dan di luar Hutan Cadangan,
       misalnya hutan yang terdapat pada tanah milik atau tanah yang dibebani hak-hak lainnya.

                                            Pasal 5
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum.

                                            Pasal 6
Untuk menjamin pemanfaatan hutan setinggi-tingginya dan secara serbaguna, maka Pemerintah
dalam rangka Landuse-planning membuat suatu rencana umum mengenai peruntukan,
penyediaan, pengadaan dan penggunaan dari semua hutan di wilayah Republik Indonesia, yang
meliputi bidang-bidang tersebut pada sub a s/d f pasal ini. Sebagai guna dan manfaat hutan yang
lain-lain sebagaimana dimaksud pada sub f, dapat disebut antara lain: untuk kepentingan
pertahanan, kesehatan, perbaikan iklim dan lain sebagainya.
Wilayah-wilayah yang keadaannya kritik dapat dimasukkan dalam Kawasan Hutan untuk
dihutankan kembali secara serbaguna hingga mampu memberi lapangan kerja kepada rakyat
sekitarnya dan memprodusir bahan-bahan yang dapat menimbulkan industri-industri rumah
tangga.

                                             Pasal 7
Untuk mencapai usaha-usaha pemanfaatan hutan seperti tercantum pada pasal 6 sub a s/d d,
maka dalam pasal ini ditegaskan, bahwa Pemerintah perlu menetapkan adanya Kawasan Hutan
yang luasnya cukup dengan penjabaran dan letak yang tepat, agar secara merata dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia akan hasil hutan dan manfaat-manfaat lainnya.
Berdasarkan kebutuhan sosial-ekonomi masyarakat Indonesia dan pertimbangan-pertimbangan
mengenai keadaan fisik, iklim dan pengaturan tata-air maka luas minimum tanah yang harus
dipertahankan sebagai Kawasan Hutan diperkirakan kurang lebih 30% dari luas daratan.
Sehubungan dengan keperluan ini, Pemerintah akan menyusun suatu rencana umum pengukuhan
hutan yang meliputi tujuan, perincian dan urgensi pengakuan wilayah-wilayah yang diperuntukkan
Kawasan Hutan. Perencanaan umum pengukuhan hutan ini akan diatur lebih lanjut oleh Menteri
dengan memperhatikan rencana penggunaan tanah yang ditentukan oleh Pemerintah dan
kepentingan penduduk yang mungkin harus meninggalkan tempat tinggalnya sebagai akibat dari
penentuan kawasan tersebut. Salah satu pertimbangan dalam menentukan Kawasan Hutan adalah
keseimbangan alam setempat antara curah hujan, keadaan lapangan, serta airnya yang mengalir.
Karena itu seyogyanya rencana pengukuhan hutan diatur menurut daerah aliran sungai dan
sedapat mungkin memperhatikan pula batas daerah administratip.

                                              Pasal 8
Dalam rangka pembangunan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Panca
Sila, penggalian kekayaan alam yang berupa hutan sejauh mungkin harus dilakukan secara
berencana dan perlu diselenggarakan eksplorasi dan inventarisasi dari semua hutan guna
keperluan penetapan proyek-proyek di bidang Kehutanan secara nasional dan menyeluruh.
Untuk tiap-tiap proyek atau kesatuan usaha harus dibuatkan satu rencana karya, untuk jangka
waktu tertentu, agar terjamin kelestarian dan ketertiban dalam pengusahaan kelompok hutan
tersebut.
Guna menyusun suatu rencana karya perlu diadakan penataan hutan, yang meliputi pekerjaan-
pekerjaan: menetapkan batas hutan yang bersangkutan, pembagian hutan yang bersangkutan
dalam petak-petak, pengukuran serta pembuatan peta dan memeriksa keadaan hutan dan
sekitarnya serta keadaan sosial ekonomi rakyat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan yang
bersangkutan.
Sepanjang untuk suatu kelompok hutan belum ditetapkan suatu rencana karya, maka
pengusahaannya diselenggarakan berdasarkan suatu bagan kerja.

                                             Pasal 9
Dalam pasal ini ditetapkan tujuan dari pengurusan hutan dalam arti yang luas ialah untuk
mencapai manfaat hutan sebaik serta sebesar mungkin secara serbaguna dan terus-menerus, baik
langsung maupun tidak langsung.
Pengurusan hutan tersebut meliputi pelbagai aktivitas tercantum dalam ayat (2) sub a s/d e pasal
ini, termasuk menghutankan kembali tanah-tanah kosong.
Yang dimaksud dengan pengukuhan hutan dalam ayat (2) sub a, ialah penataan batas,
pengukuran beserta pembuatan peta dan berita acaranya dari suatu wilayah yang ditetapkan
sebagai Kawasan Hutan. Untuk memecahkan soal-soal yang timbul dalam pengurusan hutan
dilakukan penelitian secara teknis dan ilmiah di bidang Kehutanan.
Untuk dapat memenuhi kebutuhan tenaga terdidik yang dapat melaksanakan dengan baik tugas-
tugas di bidang Kehutanan itu, maka perlu diselenggarakan pendidikan baik dalam arti
pengetahuan dan keterampilan bekerja dalam bidang Kehutanan, maupun dalam bidang
pembinaan mental dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi.
Disamping itu perlu diadakan penyuluhan, agar rakyat menyadari akan fungsi hutan bagi seluruh
masyarakat, sehingga timbul rasa cinta terhadap keindahan alam Indonesia - khususnya hutan -
serta tanggung jawab untuk turut melindunginya sebagai kekayaan nasional, yang memang
menjadi kewajiban dari setiap warganegara.
Pendidikan dan penyuluhan tersebut di atas dilakukan bersama-sama dengan Departemen-
departemen yang bersangkutan.

                                           Pasal 10
Untuk menjamin tercapainya effisiensi pengurusan hutan, maka wilayah hutan dibagi dalam
Kesatuan-kesatuan Pemangkuan Hutan dan Kesatuan-kesatuan Pengusahaan Hutan sebagai
suatu unit pengurusan/pengusahaan.
Luasnya unit ditentukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan teknis, sosial dan ekonomi dari
wilayah yang bersangkutan dan sedapat mungkin memperhatikan pula batas daerah administratip.
Segala sesuatu yang bersangkutan dengan pembentukan Kesatuan-kesatuan tersebut, ditentukan
dengan Peraturan Menteri.

                                            Pasal 11
Berhubung dengan fungsi sosial dari pada hutan, maka sudah sewajarnya bahwa pengurusan
Hutan Milik dilakukan oleh pemiliknya dengan bimbingan dan atas pengawasan Menteri. Lebih
lanjut lihat Penjelasan Umum.
Sesuai dengan fungsi sosial dari pada hutan, maka sudah barang tentu pengurusan dari pada
Hutan Milik pun tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, sehingga salah urus
terhadap Hutan Milik dapat dikenakan tuntutan hukum, baik di bidang Hukum Administrasi maupun
di bidang Hukum Perdata atau Hukum Pidana, sesudah diberi peringatan secukupnya.

                                            Pasal 12
Dalam rangka usaha Pemerintah memberikan otonomi seluas- luasnya kepada Daerah, maka
dengan mengingat kesanggupan dan kemampuan Daerah, dengan Peraturan Pemerintah dapat
diserahkan kepada Pemerintah Daerah sebagian dari wewenang Pemerintah Pusat di bidang
Kehutanan.
Akan tetapi berhubung penjurusan (pemangkuan) hutan yang sebaik-baiknya serta seeffisien-
effisiennya itu harus dilaksanakan dalam daerah yang meliputi wilayah seluas-luasnya, maka
Pemerintah beranggapan bahwa pemangkuan hutan hanya dapat dipertanggung-jawabkan, jika
urusan Kehutanan sejauh-jauhnya diserahkan kepada Daerah tingkat I.
Oleh karena itu di Daerah-daerah Sulawesi, Maluku, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa
Tenggara Timur, dimana urusan Kehutanan yuridis masih ada pada Daerah-daerah tingkat II dan
Swapraja, urusan Kehutanan perlu ditarik ke Daerah tingkat I, sebagaimana yang sudah berlaku di
Jawa, Sumatera dan Kalimantan.
Hanya saja hal-hal yang menyangkut kepentingan Nasional dan dalam hal perencanaan yang
bersifat menyeluruh, wewenang tetap dipegang langsung oleh Pemerintah Pusat. Dalam
menyelenggarakan urusan Kehutanan ini Pemerintah Daerah memperhatikan petunjuk-petunjuk
dari Menteri.

                                            Pasal 13
Pengusahaan hutan dilakukan sedemikian rupa, sehingga dari suatu kelompok hutan didapat
produksi hasil hutan sebesar- besarnya dan secara terus-menerus dengan jalan mengadakan
penanaman kembali, menyelenggarakan pembukaan wilayah, bangunan-bangunan dan lain-lain
usaha.
Untuk mencapai target produksi yang telah ditentukan, eksploitasi, penanaman, pemeliharaan
hutan dan usaha-usaha lainnya diselenggarakan berdasarkan rencana karya atau bagan kerja
sebagaimana tersebut dalam pasal 8 ayat (2).
Guna lebih melancarkan jalannya perusahaan dan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur,
seharusnya pengusahaan hutan dilakukan menurut azas perusahaan dengan mengutamakan
kebutuhan rakyat serta ketenteraman dan kesenangan kerja dalam perusahaan.

                                            Pasal 14
Untuk dapat mengawasi dan mengkoordinir penggalian kekayaan alam semaksimal-maksimalnya
dengan berlandaskan kelestarian hutan sebagai modal nasional, maka pengusahaan hutan
seharusnya diselenggarakan sendiri oleh Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah. Sekalipun
demikian, kepada Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah dan Perusahaan Swasta dapat diberi
hak pengusahaan hutan dengan pengertian bahwa para pemegang hak berkewajiban menjaga
fungsi hutan dan melindunginya seperti tercantum dalam pasal 15 serta memperhatikan syarat-
syarat/ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam surat keputusan/akte pemberian hak pengusahaan
yang bersangkutan.
Selain dari itu kepada warganegara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia dapat diberikan izin
untuk memungut hasil hutan dengan syarat tertentu.
Lain dari pada itu, dalam memberikan hak guna-usaha atas tanah, misalnya untuk perkebunan dan
hak membuka tanah pada Hutan Cadangan untuk perladangan dan keperluan transmigrasi oleh
yang berwenang, hendaknya dimintakan pertimbangan lebih dahulu kepada Instansi
Kehutanan/Dewan Landuse Daerah.

                                             Pasal 15
Perlindungan hutan itu tidak hanya ditujukan kepada Hutan Tetap, akan tetapi meliputi juga Hutan
Cadangan dan Hutan lain-lainnya.
Terhadap kerusakan-kerusakan hutan yang disebabkan karena perladangan serta penggembalaan
liar dan kebakaran yang menimbulkan tanah-tanah kosong dan padang alang-alang/rumput
terutama di luar Jawa, perlu diambil tindakan-tindakan seperlunya, begitu pula terhadap
kerusakan-kerusakan hutan yang terjadi di Jawa yang banyak mengakibatkan bencana alam.
Dalam ayat (3) pasal ini ditegaskan, bahwa kewajiban melindungi hutan adalah bukan semata-
mata kewajiban dari Pemerintah saja, akan tetapi merupakan kewajiban dari seluruh Rakyat,
karena fungsi hutan itu menguasai hajat hidup orang banyak.

                                             Pasal 16
Terhadap satwa liar yang tidak dilindungi dapat dilakukan pemburuan. Pemburuan satwa harus
diatur sedemikian rupa, sehingga satwa ini secara lestari dapat memberikan manfaat sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Rancangan Undang-undangnya akan diajukan oleh Pemerintah.

                                          Pasal 17
Selain hukum perundang-undangan, di beberapa tempat di Indonesia masih berlaku Hukum Adat,
antara lain tentang pembukaan hutan penggembalaan ternak, pemburuan satwa liar dan
pemungutan hasil hutan. Dalam pelaksanaan Hukum Adat setempat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus dijaga jangan sampai terjadi kerusakan hutan, sehingga
mengakibatkan manfaat hutan yang lebih penting di bidang produksi dan fungsi lindung daripada
hutan akan berkurang adanya.
Demikian pula hak ulayat sepanjang menurut kenyataannya masih ada tetap diakui, tetapi
pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan nasional serta tidak boleh bertentangan
dengan Undang-undang dan Peraturan Perundangan lain yang lebih tinggi.
Karena itu tidak dapat dibenarkan, andaikata hak ulayat suatu Masyarakat Hukum Adat setempat
digunakan untuk menghalang-halangi pelaksanaan rencana umum Pemerintah, misalnya: menolak
dibukanya hutan secara besar-besaran untuk proyek-proyek besar, atau untuk kepentingan
transmigrasi dan lain sebagainya. Demikian pula tidak dapat dibenarkan, apabila hak ulayat
dipakai sebagai dalih bagi Masyarakat Hukum Adat setempat untuk membuka hutan secara
sewenang-wenang.
Lebih lanjut lihat dalam Penjelasan Umum.

                                            Pasal 18
Disamping tugasnya untuk mengurus hutan, para petugas kehutanan tertentu mempunyai tugas
untuk melindungi hutan seperti tercantum pada pasal 15.
Karena itu, maka kepada petugas-petugas ini disamping tugasnya yang bersifat teknis, diberikan
pula wewenang kepolisian khusus yang pelaksanaannya diatur bersama oleh Menteri dan Menteri
Panglima Angkatan Kepolisian.
Di daerah-daerah tertentu kepada petugas-petugas Kehutanan dapat hanya diberikan tugas
kepolisian khusus.
Guna mempercepat proses penyelesaian masalah tindak pidana di bidang Kehutanan, petugas-
petugas kepolisian khusus ini dapat diangkat sebagai Magistrat Pembantu.

                                           Pasal 19
Cukup jelas.

                                            Pasal 20
Hutan-hutan yang telah ditetapkan sebagai Hutan Tetap, Suaka Margasatwa, dan Cagar Alam oleh
Pejabat-pejabat yang berwenang, baik berdasarkan Ordonansi dan Verordening Pemerintah,
Peraturan Daerah dan/atau Peraturan Swapraja yang berlaku sebelum keluarnya Undang-undang
ini, dianggap telah ditetapkan sebagai Kawasan Hutan dengan peruntukan dan fungsi sesuai
dengan penetapannya.
Disamping itu perlu diingat, bahwa sebagian besar hutan alam di luar Jawa belum ditetapkan
sebagai Kawasan Hutan. Namun demikian, sesuai dengan fungsi hutan sebagai sumber kekayaan
alam yang begitu penting bagi pembangunan ekonomi nasional, maka hutan-hutan itu perlu pula
dilindungi, diurus dan dimanfaatkan oleh Pemerintah.

                                           Pasal 21
Cukup jelas.

                     TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI NOMOR 2823


Silahkan download versi PDF nya sbb:
ketentuanketentuan_pokok_kehutanan_(uu_5_thn_1967_5.pdf
(ogi/Carapedia)
Pencarian Terbaru

Isi undang undang yang mengatur perburuan. Uud kehutanan. Undang undang perburuan liar. Undang undang tentang perburuan liar. Uu penebangan pohon. Http://carapedia.com/ketentuan_ketentuan_pokok_kehutanan_thn_1967_info1183.html. Uud yang mengatur tentang penebangan hutan.

Undang undang penebangan pohon. Undang undang penebangan hutan. Undang undang kehutanan terbaru. Undang undang tentang kerusakan hutan. Uu penebangan hutan secara liar. Uu yang mengatur tentang ketentuan pokok kehutanan. Isi undang undang perburuan.

Undang undang yang mengatur tentang penebangan hutan secara liar. Https://carapedia.com/ketentuan_ketentuan_pokok_kehutanan_thn_1967_info1183.html. Undang undang yang mengatur penebangan liar. Undang undang yang mengatur tentang ketentuan pokok kehutanan. Undang undang yang mengatur penebangan hutan. Pasal tentang penebangan liar.

Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.