Previous
Next

1997

Undang-Undang Ketenagaunukliran (UU 10 thn 1997)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1997 Tentang Ketenagaunukliran :

UU 10/1997, KETENAGAUNUKLIRAN

           *9579 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU)
                  NOMOR 10 TAHUN 1997 (10/1997)

                                TENTANG

                         KETENAGAUNUKLIRAN

                DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                   PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a.   bahwa ketenaganukliran menyangkut kehidupan dan keselamatan
     orang banyak, oleh karena itu harus dikuasai oleh negara,
     yang pemanfaataannya bagi pembangunan nasional ditujukan
     untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata
     materiil    dan    spiritual    berdasarkan    Pancasila    dan
     Undang-Undang Dasar 1945;
b.   bahwa perkembangan dan pemanfaatan tenaga nuklir dalam
     berbagai bidang kehidupan manusia di dunia sudah demikian
     maju   sehingga    pemanfaatan    dan   pengembangannya    bagi
     pembangunan nasional yang berkesinambungan dan berwawasan
     lingkungan perlu ditingkatkan dan diperluas untuk ikut
     meningkatkan kesejahteraan dan daya saing bangsa;
c.   bahwa demi keselamatan, keamanan, ketenteraman, kesehatan
     pekerja dan anggota masyarakat, dan perlindungan terhadap
     lingkungan hidup, pemanfaatan tenaga nuklir dilakukan secara
     tepat dan hati-hati serta ditujukan untuk maksud damai dan
     keuntungan    sebesar-besarnya     bagi    kesejahteraan    dan
     kemakmuran rakyat;
d.   bahwa karena sifat tenaga nuklir selain dapat memberikan
     manfaat juga dapat menimbulkan bahaya radiasi, maka setiap
     kegiatan yang berkaitan dengan tenaga nuklir harus diatur
     dan diawasi oleh Pemerintah;
e.   bahwa    Undang-undang    Nomor    31   Tahun   1964    tentang
     Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom sudah tidak sesuai
     lagi dengan perkembangan keadaan;
f.   bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
     huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, dipandang
     perlu membentuk Undang-undang tentang Ketenaganukliran.

Mengingat:
1.   Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33
     Undang-Undang Dasar 1945;
2.   Undang-undang     Nomor     11    Tahun     1967     tentang
     Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara
     Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2831);

                        Dengan Persetujuan
            DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

                             MEMUTUSKAN:

Menetapkan:     UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGANIKLIRAN

                                BAB I
                           KETENTUAN UMUM

                               Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1.    Ketenaganukliran    adalah    hal    yang    berkaitan    dengan
      pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan ilmu pengetahuan
      dan   teknologi   nuklir   serta   pengawasan    kegiatan   yang
      berkaitan dengan tenaga nuklir.
2.    Tenaga nuklir adalah tenaga dalam bentuk apa pun yang
      dibebasakan dalam proses transformasi inti, termasuk tenaga
      yang berasal dari sumber radiasi pengion.
3.    Radiasi   pengion   adalah   gelombang    elektromagnetik    dan
      partikel bermuatan yang karena energi yang dimilikinya mampu
      mengionisasi media yang dilaluinya.
4.    Pemanfaatan adalah kegiatan yang berkaitan dengan tenaga
      nuklir yang meliputi penelitian, pengembangan, penambangan,
      pembuatan, produksi, pengangkutan, penyimpanan, pengalihan,
      ekspor, impor, penggunaan, dekomisioning, dan pengelolaan
      limbah radioaktif untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
5.    bahan nuklir adalah bahan yang dapat menghasilkan reaksi
      pembelahan berantai atau bahan yang dapat diubah menjadi
      bahan yang dapat menghasilkan reaksi pembelahan berantai.
6.    bahan galian nuklir adalah bahan dasar untuk pembuatan bahan
      bakar nuklir.
7.    Bahan bakar nuklir adalah bahan yang dapat menghasilkan
      proses transformasi inti berantai.
8.    Limbah radioaktif adalah zat radioaktif dan bahan serta
      peralatan yang telah terkena zat radioaktif atau menjadi
      radioaktif karena pengoperasian instalasi nuklir yang tidak
      dapat digunakan lagi.
9.    Zat radioaktif adalah setiap zat yang memancarkan radiasi
      pengion dengan aktivitas jenis lebih besar dari pada 70
      kBq/kg (2 nCi/g).
10.   Pengelolaan     limbah    radioaktif      adalah    pengumpulan
      pengelompokan,    pengolahan,     pengangkutan,    penyimpanan,
      dan/atau pembuangan limbah radioaktif.
11.   Radioisotop adalah isotop yang mempunyai kemampuan untuk
      memancarkan radiasi pengion.
12.   Instalasi nuklir adalah:
      a.   reaktor nuklir;
      b.   fasilitas yang digunakan untuk pemurnian, konversi,
      pengayaan bahan nuklir, fabrikasi bahan bakar nuklir
      dan/atau pengolahan ulang bahan bakar nuklir bekas; dan/atau
      c.   fasilitas yang digunakan untuk menyimpan bahan bakar
      nuklir dan bahan bakar nuklir bebas.
13.   Reaktor nuklir adalah alat atau instalasi yang dijalankan
      dengan bahan bakar nuklir yang dapat menghasilkan reaksi
      *9581 inti berantai yang terkendali dan digunakan untuk
      pembangkitan daya, atau penelitian, dan/atau produksi
      radioisotop.
14.   Dekomisioning adalah suatu kegiatan untuk menghentikan
      beroperasinya reaktor nuklir secara tetap, antara lain,
      dilakukan pemindahan bahan bakar nuklir dari teras reaktor,
      pembongkaran komponen reaktor, dekontaminasi, dan pengamanan
      akhir.
15.   Kecelakaan nuklir adalah setiap kejadian atau rangkaian
      kejadian yang menimbulkan kerugian nuklir.
16.   Kerugian nuklir adalah setiap kerugian yang dapat berupa
      kematian, cacat, cedera atau sakit, kerusakan harta benda,
      pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan
      oleh radiasi atau gabungan radiasi dengan sifat racun, sifat
      mudah meledak, atau sifat bahaya lainnya sebagai akibat
      kekritisan bahan bakar nuklir dalam instalasi nuklir atau
      selama pengangkutan, termasuk kerugian sebagai akibat
      tindakan preventif dan kerugian sebagai akibat atau tindakan
      untuk pemulihan lingkungan hidup.
17.   Pengusaha instalasi nuklir adalah orang perseorangan atau
      badan hukum yang bertanggung jawab dalam pengoperasian
      instalasi nuklir.
18.   Pihak ketiga adalah orang atau badan yang menderita kerugian
      nuklir, tidak termasuk pengusaha instalasi nuklir dan
      pekerja instalasi nuklir yang menurut struktur organisasi
      berada di bawah pengusaha instalasi nuklir.

                              Pasal 2

(1)   Bahan nuklir terdiri atas:
      a.   bahan galian nuklir,
      b.   bahan bakar nuklir, dan
      c.   bahan bakar nuklir bekas.

(2)   Bahan nuklir dikuasai oleh Negara dan pemanfaatannya diatur
      dan diawasi oleh Pemerintah

                              BAB II
                            KELEMBAGAAN

                              Pasal 3

(1)   Pemerintah membentuk Badan Pelaksana yang berada di bawah
      dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang
      bertugas melaksanakan pemanfaatan tenaga nuklir.
(2)   Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
      Badan    Pelaksana     menyelenggarakan    penelitian    dan
      pengembangan, penyelidikan umum, eksplorasi dan eksploitasi
      bahan galian nuklir, produksi bahan baku untuk pembuatan dan
        produksi bahan bakar    nuklir, produksi radioisotop untuk
        keperluan penelitian    dan pengembangan, dan pengelolaan
        limbah radioaktif.

                                Pasal 4
          (1)     Pemerintah membentuk Badan Pengawas yang berada di
*9582
        bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang
        bertugas melaksanakan pengawasan terhadap segala kegiatan
        pemanfaatan tenaga nuklir.
(2)     Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
        Badan Pengawas menyelenggarakan peraturan, perizinan, dan
        inspeksi.

                                 Pasal 5

Pemerintah membentuk Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir yang
bertugas memberikan saran dan pertimbangan mengenai pemanfaatan
tenaga nuklir.

                                 Pasal 6

Kedudukan, tugas pokok, fungsi, susunan, dan tata kerja
lembaga-lembaga, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan
Pasal 5 diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

                                 Pasal 7

Pemerintah dapat membentuk Badan Usaha Milik Negara yang
berkaitan dengan pemanfaatan tenaga nuklir secara komersial.

                                BAB III
                      PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

                                 Pasal 8

(1)     Penelitian    dan    pengembangan     tenaga    nuklir    harus
        diselenggarakan dalam rangka penguasaan ilmu pengetahuan dan
        teknologi nuklir untuk keselamatan, keamanan, ketenteraman,
        dan kesejahteraan rakyat.
(2)     Penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat
        (1) diselenggarakan terutama oleh dan menjadi tanggung jawab
        Badan Pelaksana.
(3)     Penelitian dan pengembangan mengenai keselamatan nuklir
        perlu   diperhatikan    untuk    mengurangi    dampak   negatif
        pemanfaatan tenaga nuklir.
(4)     Dalam    menyelenggarakan     penelitian    dan    pengembangan
        sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Pelaksana dapat
        bekerja sama dengan instansi dan badan lain.

                                 BAB IV
                               PENGUSAHAAN

                                 Pasal 9
(1)     Penyelidikan umum, eksplorasi, dan eksploitasi bahan galian
        nuklir hanya dilaksanakan oleh Badan Pelaksana.
(2)     Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
        bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara, koperasi,
        badan swasta, dan/atau badan lain.
*9583
                               Pasal 10

(1)     Produksi dan/atau pengadaan bahan baku untuk pembuatan bahan
        bakar nuklir hanya dilaksanakan oleh Badan Pelaksana.
(2)     Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
        bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara, koperasi
        dan/atau badan swasta.

                               Pasal 11

(1)     Produksi bahan bakar nuklir nonkomersial dilaksanakan oleh
        Badan Pelaksana.
(2)     Produksi bahan bakar nuklir komersial dilaksanakan oleh
        Badan Usaha Milik Negara, koperasi, dan/atau badan swasta.

                               Pasal 12

(1)     Produksi radioisotop nonkomersial dilaksanakan oleh Badan
        Pelaksana.
(2)     Produksi radioisotop komersial dilaksanakan oleh Badan Usaha
        Milik Negara, koperasi, dan/atau badan swasta.

                               Pasal 13

(1)     Pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning reaktor nuklir
        nonkomersial dilaksanakan oleh Badan Pelaksana.
(2)     Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
        bekerja   sama  dengan   instansi  pemerintah   lainnya  dan
        perguruan tinggi negeri.
(3)     Pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning reaktor nuklir
        komersial dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara,
        koperasi, dan/atau badan swasta.
(4)     Pembangunan reaktor nuklir komersial sebagaimana dimaksud
        pada ayat (3) yang berupa pembangkit listrik tenaga nuklir,
        ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan
        Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

                                BAB V
                              PENGAWASAN

                               Pasal 14

(1)     Pengawasan terhadap pemanfaatan tenaga nuklir dilaksanakan
        oleh Badan Pengawas.
(2)     Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
        melalui peraturan, perizinan, dan inspeksi.
                             Pasal 15

Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ditujukan untuk:

a.    terjaminnya   kesejahteraan,   keamanan,  dan    ketenteraman
      masyarakat;
b.    menjamin keselamtan dan kesehatan pekerja dan anggota
      *9584 masyarakat serta perlindungan terhadap lingkungan
      hidup;
c.    memelihara tertib hukum dalam pelaksanaan pemanfaatan tenaga
      nuklir;
d.    meningkatkan kesadaran hukum pengguna tenaga nuklir untuk
      menimbulkan budaya keselamatan di bidang nuklir;
e.    mencegah terjadinya perubahan tujuan pemanfaatan bahan
      nuklir; dan
f.    menjamin terpeliharanya dan ditingkatkannya disiplin petugas
      dalam pelaksanaan pemanfaatan tenaga nuklir.

                             Pasal 16

(1)   Setiap kegaitan yang berkaitan dengan pemanfaatan tenaga
      nuklir wajib memperhatikan keselamatan, keamanan, dan
      ketetenraman, kesehatan pekerja dan anggota masyarakat,
      serta perlindungan terdahap lingkungan hidup.
(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
      lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                             Pasal 17

(1)   Setiap pemanfaatan tenaga nuklir wajib memiliki izin,
      kecuali dalam hal-hal tertentu yang diatur lebih lanjut
      dengan Peraturan Pemerintah.
(2)   Pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir dan instalasi
      nuklir lainnya serta dekomisioning reaktor nuklir wajib
      memiliki izin.
(3)   Syarat-syarat dan tata cara perizinan sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
      Peraturan Pemerintah.

                             Pasal 18

(1)   Setiap izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dikenakan
      biaya.
(2)   Besar biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
      dengan Keputusan Menteri Keuangan.

                             Pasal 19

(1)   Setiap petugas yang mengoperasikan reaktor nuklir dan
      petugas tertentu di dalam instalasi nuklir lainnya dan di
      dalam instalasi yang memanfaatkan sumber radiasi pengion
      wajib memiliki izin.
(2)   Persyaratan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) diatur oleh Badan Pengawas.

                             Pasal 20

(1)  Inspeksi terhadap instalasi nuklir dan instalasi yang
     memanfaatkan   radiasi    pengion   dilaksanakan   oleh   Badan
     Pengawas   dalam   rangka    pengawasan   terhadap   ditaatinya
     syarat-syarat      dalam       perizinan      dan     peraturan
     perundang-undangan di bidang keselamatan nuklir.
(2) Inspeksi    sebagaimana     dimaksud    pada   ayat    (1)
     dilaksanakan oleh inspektur yang diangkat dan diberhentikan
     oleh Badan Pengawas.
(3) Inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
     secara berkala dan sewaktu-waktu.

                             Pasal 21

Badan   Pengawas  melakukan   pembinaan   berupa  bimbingan   dan
penyuluhan mengenai pelaksanaan upaya yang menyangkut keselamatan
dan kesehatan pekerja, dan anggota masyarakat serta perlingungan
terhadap lingkungan hidup.

                               BAB VI
                   PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

                             Pasal 22

(1)   Pengelolaan limbah radioktif dilaksanakan untuk mencegah
      timbulnya   bahaya   radiasi   terhadap   pekerja, anggota
      masyarakat dan lingkungan hidup.
(2)   Limbah radioaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      diklasifikasikan dalam jenis limbah radioaktif tingkat
      rendah, tingkat sedang, dan tingkat tinggi.

                             Pasal 23

(1)   Pengelolaan limbah radioaktif sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 22 ayat (1) dilaksanakan oleh Badan Pelaksana.
(2)   Dalam melaksanakan pengelolaan limbah radioaktif sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1), Badan Pelaksana dapat bekerja sama
      dengan atau menunjuk Badan Usaha Milik Negara, koperasi,
      dan/atau badan swasta.

                             Pasal 24

(1)   Penghasil limbah radioaktif tingkat rendah dan tingkat
      sedang wajib mengumpulkan, mengelompokan, atau mengolah dan
      menyimpan sementara limbah tersebut sebelum diserahkan
      kepada Badan Pelaksana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
(2)   Penghasil limbah radioaktif tinggi wajib menyimpan sementara
      limbah tersebut dalam waktu sekurang-kurangnya selama masa
      operasi reaktor nuklir.
                             Pasal 25

(1)   Badan Pelaksana menyediakan tempat penyimpanan lestari
      limbah radioaktif tingkat tinggi.
(2)   Penentuan tempat penyimpanan lestari sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah setelah mendapat
      persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

                             Pasal 26

(1) Penyimpanan limbah radioaktif sebagaimana dimaksud
     dalam Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (1) dikenakan
     biaya.
(2) Besar biaya penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
     ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

                             Pasal 27

(1)   Pengangkutan   dan  penyimpanan   limbah  radioaktif  wajib
      memperhatikan keselamatan pekerja, anggota masyarakat, dan
      lingkungan hidup.
(2)   Ketentuan tentang pengelolaan limbah radioaktif, termasuk
      pengangkutan dan penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemeintah.

                              BAB VII
                PERTANGGUNGJAWABAN KERUGIAN NUKLIR

                             Pasal 28

Pengusaha instalasi nuklir wajib bertanggung jawab atas kerugian
nuklir yang diderita oleh pihak ketiga yang disebabkan oleh
kecelakaan nuklir yang terjadi dalam instalasi nuklir tersebut.

                             Pasal 29

(1)   Dalam hal terjadi kecelakaan nuklir selama pengangkutan
      bahan bakar nuklir atau bahan bakar nuklir bekas, yang
      bertanggung jawab atas kerugian nuklir yang diderita oleh
      pihak ketiga adalah pengusaha instalasi nuklir pengirim.
(2)   Pengusaha instalasi nuklir pengirim sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) dapat mengalihkan tanggung jawabnya kepada
      pengusaha   instalasi   nuklir   penerima   atau   pengusaha
      pengangkutan, jika secara tertulis telah diperjanjikan.

                             Pasal 30

(1)   Apabila  pertanggungjawabab   kerugian   nuklir  sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 28 melibatkan lebih dari satu pengusaha
      instalasi nuklir dan tidak mungkin menentukan secara pasti
      bagian kerugian nuklir yang disebabkan oleh tiap-tiap
      pengusaha instalasi nuklir tersebut, pengusaha tersebut
      bertanggung jawab secara bersama-sama.
(2)   Pertanggungjawaban tiap-tiap pengusaha instalasi nuklir
      sebagaiman dimaksud pada ayat (1) tidak melebihi batas
      jumlah pertanggungjawabannya.

                              Pasal 31

Apabila dalam suatu lokasi terdapat beberapa instalasi nuklir
yang dikelola oleh satu pengusaha instalasi nuklir, pengusaha
tersebut harus bertanggung jawab atas setiap kerugian nuklir yang
disebabkan oleh setiap instalasi nuklir.

                             Pasal 32
          Pengusaha instalasi nuklir tidak bertanggung jawab
*9587
terhadap kerugian nuklir yang disebabkan oleh kecelakaan nuklir
yang terjadi karena akibat langsung dari pertikaian atau konflik
bersenjata internasional atau non-internasional atau bencana alam
dengan tingkat yang luar biasa yang melampaui batas rancangan
persyaratan   keselamatan  yang   telah  ditetapkan  oleh   Badan
Pengawas.

                              Pasal 33

(1)   Apabila pengusaha instalasi nuklir setelah melaksanakan
      tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dapat
      membuktikan bahwa pihak ketiga yang menderita kerugian
      nuklir disebabkan oleh kesengajaan penderita sendiri,
      pengusaha tersebut dapat dibebaskan dari tanggung jawabnya
      untuk membayar seluruh atau sebagian kerugian yang diderita.
(2)   Pengusaha instalasi nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) berhak untuk menuntut kembali ganti rugi yang telah
      dibayarkan kepada pihak ketiga yang melakukan kesengajaan.

                              Pasal 34

(1)   Pertanggungjawaban   pengusaha    instalasi   nuklir  terhadap
      kerugian   nuklir   paling  banyak    Rp.   900.000.000.000,00
      (sembilan ratus miliar rupiah) untuk setiap kecelakaan
      nuklir, baik untuk setiap instalasi nuklir maupun untuk
      setiap pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan bakar
      nuklir bekas.
(2)   Besar batas pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden.
(3)   Jumlah pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      dan ayat (2) hanya digunakan untuk pembayaran kerugian
      nuklir, tidak termasuk bunga dan biaya perkara.
(4)   Batas    pertanggungjawaban    pengusaha    instalasi   nuklir
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali
      dengan Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 35

(1)   Pengusaha   instalasi    nuklir    wajib    mempertanggungkan
      pertanggungjawabannya sebesar jumlah sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) melalui asuransi atau
      jaminan keuangan lainnya.
(2)   Ketentuan tentang kewajiban sebagiamana dimaksud pada ayat
      (1) berlaku juga bagi pengusaha instalasi nuklir penerima
      atau pengusaha pengangkutan.
(3)   Apabila dalam suatu lokasi terdapat beberapa instalasi
      nuklir yang dikelola oleh satu pengusaha instalasi nuklir,
      pengusaha       tersebut       wajib      mempertanggungkan
      pertanggungjawabannya    untuk   setiap   instalasi    yang
      dikelolanya.

                             Pasal 36

(1) Apabila jumlah pertanggungan berkurang karena telah
     digunakan   untuk   membayar  kerugian   nuklir,   pengusaha
     instalasi nuklir wajib menjaga agar jumlah pertanggungan
     tetap sesuai dengan jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
     34 ayat (1) dan ayat (2).
(2) Apabila perjanjian pertanggungan telah berakhir atau batal
     karena suatu sebab lain, pengusaha instalasi nuklir tersebut
     wajib segera memperbaharui perjanjian pertanggungannya.
(3) Apabila pengusaha instalasi nuklir belum memperbaharui
     perjanjian pertanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
     dan terjadi kecelakaan nuklir, pengusaha tersebut tetap
     bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dan
     Pasal 35.

                             Pasal 37

(1)   Ketentuan tentang pertanggungan sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 35 tidak berlaku bagi instansi pemerintah yang bukan
      Badan Usaha Milik Negara.
(2)   Penggantian   kerugian  nuklir  akibat  kecelakaan  nuklir
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
      dengan Keputusan Presiden.

                             Pasal 38

(1)   Perusahaan asuransi yang menanggung ganti rugi nuklir yang
      disebabkan kecelakaan nuklir wajib melakukan pembayaran
      ganti rugi paling lama 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan
      pernyataan adanya kecelakaan nuklir oleh Badan Pengawas.
(2)   Pernyataan Badan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      wajib diterbitkan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sejak
      terjadinya kecelakaan nuklir.

                             Pasal 39

(1)   Hak menuntut ganti rugi akibat kecelakaan nuklir kedaluwarsa
      apabila tidak diajukan dalam waktu 30 (tiga puluh) tahun
      terhitung sejak diterbitkan pernyataan Badan Pengawas
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.
(2)   Apabila kerugian nuklir akibat kecelakaan nuklir melibatkan
      bahan nuklir yang dicuri, hilang, atau ditelantarkan, maka
      jangka waktu untuk menuntut ganti rugi sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) dihitung dari saat terjadinya kecelakaan
      nuklir dengan ketentuan jangka waktu itu tidak boleh
      melebihi 40 (empat puluh) tahun terhitung sejak bahan nuklir
      dicuri, hilang, atau ditelantarkan.
(3)   Hak untuk menuntut ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) dan ayat (2) harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga)
      tahun setelah penderita mengetahui atau patut mengetahui
      kerugian nuklir yang diderita dan pengusaha instalasi nuklir
      yang bertanggung jawab dengan ketentuan jangka waktu
      tersebut tidak boleh melebihi jangka waktu yang ditetapkan
      pada ayat (1) dan ayat (2).

                           *9589 Pasal 40

Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa dan mengadili tuntutan
ganti rugi sebagiamana dimaksud dalam Pasal 39 adalah sebagai
berikut:
a.   Pengadilan Negeri tempat kecelakaan nuklir terjadi; atau
b.   Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam hal terjadi kecelakaan
     nuklir selama pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan
     bakar nuklir bekas di luar wilayah negara Republik
     Indonesia.

                              BAB VIII
                          KETENTUAN PIDANA

                              Pasal 41

(1)   Barangsiapa    membangun,  mengoperasikan,   atau    melakukan
      dekomisioning reaktor nuklir tanpa izin sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 17 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
      paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
      Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
(2)   Barangsiapa melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) yang menimbulkan kerugian nuklir dipidana dengan
      pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama
      20   (dua   puluh)   tahun dan   denda   paling   banyak   Rp.
      1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3)   Dalam hal tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) dan ayat (2), terpidana dipidana dengan
      kurungan paling lama 1 (satu) tahun.

                              Pasal 42

(1)   Barangsiapa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
      ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
      dipidana dengan pidana pejara paling lama 2 (dua) tahun
      dan/atau denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh
      juta rupiah).
(2)   Dalam hal tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1), terpidana dipidana dengan Kurungan paling
      lama 6 (enam) bulan.

                             Pasal 43

(1)   Barangsiapa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
      ketentuan sebagimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
      dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00
      (seratus juta rupiah).
(2)   Dalam hal tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1), terpidana dipidana dengan kurungan paling
      lama 1 (satu) tahun.

                             Pasal 44

(1) Barangsiapa  melakukan   perbuatan   yang  bertentangan
     dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat
     (2) untuk penghasil limbah radioaktif tingkat tinggi
     dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
     dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta
     rupiah).
(2) Barangsiapa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
     ketentuan sebagiamana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) untuk
     penghasil limbah radioatif tingkat rendah dan tingkat sedang
     dipidana   dengan    pidana   denda   paling    banyak   Rp.
     100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud
     pada ayat (1) dan ayat (2), terpidana dipidana dengan
     kurungan paling lama 1 (satu) tahun.

                               BAB IX
                        KETENTUAN PERALIHAN

                             Pasal 45

Pasa saat mulai berlakunya undang-undang ini semua peraturan
pelaksanaan yang berhubungan dengan tenaga atom tetap berlaku
selama tidak bertentangan dengan undang-undang ini.

                             Pasal 46

Badan Tenaga Atom Nasional dan lembaga lain tetap melakukan
fungsinya sampai dibentuk lembaga baru berdasarkan undang-undang
ini.

                               BAB X
                         KETENTUAN PENUTUP

                             Pasal 47

Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, Undang-undang Nomor
31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom
dinyatakan tidak berlaku lagi.
                              Pasal 48

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar   setiap   orang  mengetahui,   memerintahkan   pengundangan
undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

                                       Disahkan di Jakarta
                                       pada tanggal 10 April 1997
                                       PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

                                                 ttd.

                                              SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 April 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd

MOERDIONO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1997 NOMOR 23

                              PENJELASAN
                                  ATAS
                  UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                         NOMOR 10 TAHUN 1997
                                TENTANG
                           KETENAGANUKLIRAN

                                UMUM

Pembangunan nasional bertujuan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan meningkatkan kualitas
manusia Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang maju serta
adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dewasa ini di beberapa negara maju pemanfaatan tenaga nuklir di
berbagai   bidang   kehidupan   masyarakat,  seperti    di  bidang
penelitian, pertanian, kesehatan, industri, dan energi sudah
begitu pesat sehingga sebagai salah satu upaya untuk mengisi
pembangunan nasional dan terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat serta tercapainya kemampuan penguasaan teknologi nuklir,
maka sudah sewajarnya potensi tenaga nuklir yang cukup besar
tersebut dikembangkan dan dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Namun, di samping manfaatnya yang begitu besar
tenaga nuklir juga mempunyai potensi bahaya radiasi terhadap
pekerja, anggota masyarakat, dan lingkungan hidup apabila dalam
pemanfaatan    tenaga    nuklir,    ketentuan-ketentuan    tentang
keselamatan nuklir tidak diperhatikan dan tidak diawasi dengan
sebaik-baiknya.
Selama ini pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia dilaksanakan
atas   dasar    Undang-undang    nomor   31   Tahun   1964   tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom.
Dengan perkembangan zaman dan makin majunya ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam pemanfaatan tenaga nuklir, banyak ketentuan dalam
undang-undang tersebut yang sudah tidak sesuai lagi, misalnya
wewenang    pelaksanaan   dan   pengawasan   atas   penelitian   dan
pemanfaatan tenaga nuklir yang diberikan dalam satu badan
sehingga fungsi pengawasan tidak optimal. Selain itu, bahan
nuklir harus dimiliki dan dikuasai oleh negara, sedangkan jual
beli bahan tersebut sudah dilakukan secara internasional sehingga
persyaratan yang harus dimiliki oleh negara akan menghambat
perkembangan pemanfatan tenaga nuklir. Akan tetapi, persyaratan
yang harus dikuasai oleh negera tetap dipertahankan karena
walaupun sudah terjadi perdagangan bebas bahan nuklir secara
internasional, Pemerintah tetap diminta melakukan pengawasan agar
tidak terjadi penyimpangan dari tujuan pemanfaatan bahan nuklir
tersebut. Oleh karena itu, dipandang perlu dibuat undang-undang
baru tentang ketenaganukliran untuk menggantikan Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga
Atom.
Dalam undang-undang ini wewenang pelaksanaan dan pengawasan
dipisahkan dalam dua lembaga yang berbeda untuk menghindari
tumpang tindih kegiatan pemanfaatan dan pengawasan dan sekaligus
mengoptimalkan pengawasan yang ditujukan untuk lebih
meningkatkan keselamatan nuklir.
Mengingat ketenaganukliran menyangkut kehidupan dan keselamatan
orang banyak, peran masyarakat ditingkatkan dalam bentuk suatu
majelis pertimbangan, suatu lembaga nonstruktural dan independen
yang beranggotakan para ahli dan tokoh masyarakat, yang bertugas
memberikan saran dan pertimbangan mengenai pemanfaatan tenaga
nuklir.
Untuk memperhatikan aspirasi yang berkembang di masyarakat dalam
pemanfaatan tenaga nuklir, khususnya apabila membangun pembangkit
liktrik tenaga nuklir dan menyediakan tempat limbah lestari,
pemerintah sebelum mangambil keputusan perlu membicarakannya
terlebih dahulu dengan Dewan Perwakilan Rakyat Rpublik Indonesia.
Pemanfaatan tenaga nuklir harus memperhatikan Asas Pembangunan
Nasional, keselamatan, keamanan, ketenteraman, kesehatan pekerja
dan anggota masyarakat, perlindungan terhadap lingkungan hidup,
serta pemanfaatan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal itu
berarti bahwa pemanfaatan tenaga nuklir bagi kesejahteraan hidup
rakyat banyak harus dilakukan dengan upaya-upaya untuk mencegah
timbulnya bahaya radiasi terhadap pekerja, masyarakat, dan
lingkungan hidup.
Dalam    hubungan    itu   perlu    diperhatikan    pula   peraturan
perundang-undangan lain yang berkaitan dengan Undang-undang
tentang Ketenaganukliran ini, antara lain Undang-undang Nomor 1
Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, Undang-undang Nomor 8 Tahun
1978 tentang Pengesahan Perjanjian mengenai Pencegahan Penyebaran
Senjata-senjata Nuklir, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-ketentuan      Pokok    Pengelolaan      Lingkungan    Hidup,
Undang-undang    Nomor    5   Tahun   1984    tentang   Perindustrian,
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan,
Undang-undang Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, dan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Pengertian tenaga nuklir adalah tenaga dalam bentuk apa pun yang
dibebaskan dalam proses transformasi inti, termasuk tenaga yang
berasal dari sumber radiasi pengion, misalnya tenaga dalam bentuk
sinar-X. Oleh karena itu, undang-undang ini berlaku juga untuk
pengaturan pemanfaatan pesawat sinar-X.
Pengertian pemanfaatan tenaga nuklir sangat luas, yaitu mencakup
penelitian    pengembangan,     penambangan,    pembuatan,    produksi,
pengangkutan, penyimpanan, pengalihan, ekspor, impor, penggunaan,
dekomisioning, dan pengelolaan limbah radioaktif. Mengingat
pemanfaatan     tenaga    nuklir     tersebut     dapat   meningkatkan
kesejahteraan    masyarakat    di   berbagai    bidang,   maka   kepada
masyarakat, industri swasta, atau Pemerintah diberi kesempatan
seluas-luasnya untuk melakukan pemanfaatan tenaga nuklir sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
Pemanfaatan tenaga nuklir harus mendapat pengawasan yang cermat
agar selalu mengikuti segala ketentuan di bidang keselamatan
tenaga nuklir sehingga pemanfatan tenaga nuklir tersebut tidak
menimbulkan bahaya radiasi terhadap pekerja, masyarakat, dan
lingkungan hidup. Adapun pengertian lingkungan hidup adalah
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, serta keadaan dan
makhluk hidup, termasuk di *9594 dalamnya manusia dan perilakunya
yang memperngaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia    serta    makhluk    hidup    lain.    Pengawasan    tersebut
dilaksanakan dengan cara mengeluarkan peraturan, menyelenggarakan
perizinan, dan melakukan inspeksi. Perizinan itu juga berlaku
untuk petugas yang mengoperasikan reaktor nuklir dan petugas
tertentu yang bekerja di instalasi nuklir lainnya serta di
instalasi yang memanfaatkan sumber radiasi tersebut.
Pembinaan dan pengembangan kemampuan sumber daya manusia adalah
syarat mutlak dalam rangka mendukung upaya pemanfaatan tenaga
nuklir dan pengawasannya sehingga pemanfaatan tenaga nuklir
benar-benar meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan tingkat
keselamtan yang tinggi. Pembinaan dan pengembangan ini dilakukan
juga untuk meningkatkan disiplin dalam mengoperasikan instalasi
nuklir dan menumbuhkembangkan budaya keselamatan.
Zat radioaktif adalah setiap zat yang memancarkan radiasi pengion
dengan aktivitas jenis lebih besar daripada 70 kBq/kg atau 2
nCi/g (tujuh puluh kilobecquerel per koligram atau dua nanocurie
per gram). Angka 70 kBq/kg (2 nCi/g) tersebut merupakan patokan
dasar untuk suatu zat dapat disebut zat radioaktif pada umumnya
yang ditetapkan berdasarkan ketentuan dari Badan Tenaga Atom
Internasional (International Atomic Energy Agency). Namun, masih
terdapat beberapa zat yang walaupun mempunyai aktivitas jenis
lebih rendah daripada batas itu dapat dianggap sebagai zat
radioaktif karena tidak mungkin ditentukan batas yang sama bagi
semua zat mengingat sifat masing-masing zat tersebut berbeda.
Limbah radioaktif, separti limbah-limbah lainnya adalah bahan
yang tidak dimanfaatkan lagi dan karena bersifat radioaktif,
limbah radioaktif tersebut mengandung potensi bahaya radiasi.
Karena sifatnya itu, pengelolaan limbah radioaktif perlu diatur
dan diawasi untuk mencegah timbulnya bahaya radiasi terhadap
pekerja, anggota masyarakat, dan lingkungan hidup. Pengelolaan
limbah radioaktif tersebut dilakukan oleh Badan Pelaksana yang
dalam pelaksanaannya dapat bekerja sama dengan pihak lain.
Berdasarkan tingkat bahaya yang ditimbulkan, limbah radioaktif
diklasifikasikan menjadi limbah radioaktif tingkat rendah,
tingkat sedang, dan tingkat tinggi.
Untuk limbah radioaktif tingkat rendah dan tingkat sedang oleh
penghasil limbah dikumpulkan, dikelompokkan, atau diolah dan
disimpan sementara sebelum dikirim kepada Badan Pelaksana untuk
diproses selanjutnya. Karena limbah radioaktif tingkat tinggi
mempunyai potensi bahaya radiasi yang tinggi, penyimpanan
sementara limbah radioaktif tingkat tinggi dilakukan oleh
penghasil limbah dalam waktu sekurang-kurangnya selama masa
operasi reaktor nuklir, sedangkan penyimpanan lestarinya menjadi
tanggung jawab Badan Pelaksana.
Yang dimaksud dengan pengusahaan dalam undang-undang ini pada
umumnya adalah kegiatan usaha yang bersifat komersial. Di dalam
pengusahaan ini selain Badan Usaha Milik Negara, pihak lain juga
diberi kesempatan. Namun, untuk Badan Pelaksana pengertian
wewenang pengusahaan ini adalah bersifat nonkomersial atau
nonprofit.
Teknologi keselamatan nuklir dewasa ini telah berkembang sangat
maju dan sangat andal serta dapat menekan serendah-rendahnya
kementakan terjadinya kecelakaan nuklir sehingga mampu menjamin
keselamatan pekerja, anggota masyarakat, dan lingkungan
hidup.   Namun,   agar  peraturan   mengenai  keselamatan   nuklir
dihormati dan dipatuhi dengan sebaik-baiknya oleh semua pihak,
perlu diadakan pengaturan penggantian kerugian akibat kecelakaan
nuklir yang dialami oleh pihak ketiga dan lingkungan.
Berdasarkan   peraturan   perundang-undangan   yang   berlakuIndonesia, pada umumnya pertanggungjawaban didasarkan pada
kesalahan. Artinya, pihak yang bertanggung jawab baru mempunyai
kewajiban untuk membayar ganti rugi setelah terbukti bahwa
kerugian yang terjadi disebabkan oleh kesalahannya. Apabila hal
itu diterapkan pada kecelakaan nuklir, pihak yang dirugikan akan
mengalami kesulitan dalam membuktikan adanya kesalahan itu
sehingga hal tersebut akan menyulitkan pihak ketiga sebagai
penderita kerugian. Oleh karena itu, bagi pihak ketiga tersebut
perlu diberikan jaminan perlindungan yang lebih pasti dengan satu
sistem tanggung jawab mutlak. Pengusaha instalasi nuklir sebagai
pihak yang bertanggung jawab langsung bertanggung jawab atas
kerugian yang timbul, tanpa adanya pembuktian oleh pihak ktiga
tentang ada atau tidaknya kesalahan pada pengusaha instalasi
nuklir, kecuali kecelakaan nuklir itu terjadi akibat langsung
dari pertikaian atau konflik bersenjata internasional atau
non-internasional atau bencana alam dengan tingkat yang luar
biasa yang melampaui batas rancangan persyaratan keselamatan yang
telah ditetapkan.
Di lain pihak, dalam rangka         pengembangan dan pemanfaatan
industri nuklir, jaminan perlindungan perlu juga diberikan kepada
pengusaha instalasi nuklir sebagai pihak yang bertanggung jawab,
yaitu dalam bentuk batas pertanggungjawaban, baik batas jumlah
pembayaran ganti rugi maupun jangka waktu penuntutan.
Dengan mempertimbangkan kepentingan pihak ketiga dan pengusaha
instalasi   nuklir   seperti   tersebut,   maka   dipandang   perlu
menggunakan satu sistem tersendiri bagi pertanggungjawaban atas
kerugian yang disebabkan oleh kecelakaan nuklir yang ditetapkan
dalam undang-undang ini. Sistem tersebut memberikan perlindungan
yang lebih pasti bagi pihak ketiga yang menderita kerugian
nuklir, tetapi juga tidak menghambat perkembangan industri nuklir
itu sendiri sebagaimana yang telah dikembangkan, baik di negara
maju maupun di negara berkembang.
Prinsip yang dianut dalam sistem tersebut adalah:
a.   tanggngu jawab mutlak;
b.   pengusaha   instalasi   nuklir    bertanggung   jawab   dengan
     mengecualikan orang lain;
c.   batas pertanggungjawaban dalam jumlah ganti rugi dan waktu;
d.   pengusaha instalasi nuklir diwajibkan mempertanggungkan
     tanggung jawabnya dalam bentuk asuransi atau bentuk jaminan
     keuangan lainnya.
Ruang lingkup ketentuan pertanggungjawaban kerugian nuklir yang
disebabkan oleh kecelakaan nuklir dalam undang-undang ini
dibatasi hanya pada kerugian yang diderita oleh pihak ketiga
akibat kecelakaan nuklir yang terjadi di instalasi nuklir
tertentu atau selama pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan
bakar nuklir bekas, yang disebabkan oleh kekritisan bahan bakar
nuklir   tersebut.   Kecelakaan    nuklir   yang   terjadi   selama
pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan bakar nuklir bekas
pada dasarnya menjadi tanggung jawab pengusaha instalasi nuklir
pengirim, kecuali sebelumnya telah *9596 diperjanjikan secara
tertulis. Instalasi nuklir yang dimaksud dalam undang-undang ini
adalah:
a.   reaktor nuklir;
b.   fasilitas   yang   digunakan    untuk   pemurnian,   konversi,
     pengayaan, fabrikasi bahan bakar nuklir dan/atau pengelohan
     ulang bahan bakar nuklir bekas; dan/atau
c.   fasilitas yang digunakan untuk menyimpan bahan bakar nuklir
     dan bahan bakar nuklir bekas.
Kekritisan bahan bakar munklir adalah keadaan yang menunjukkan
pada bahan bakar nuklir tersebut terjadi reaksi pembelahan
berantai secara spontan. Pada reaksi pembelahan berantai itu
dihasilkan neutron baru, tenaga, dan zat radioaktif. Zat
radioaktif hasil reaksi pembelahan berantai itulah yang dalam
suatu kecelakaan nuklir dapat menimbulkan kerugian nuklir. Reaksi
pembelahan berantai dapat terjadi apabila kombinasi massa dan
dimensi bahan bakar nuklir memenuhi kondisi tertentu, dalam hal
ini massa dan ukurannya tertentu, yang disebut kondisi kritis.
Yang dimaksud dengan kerugian nuklir adalah kerugian yang
ditimbulkan oleh radiasi atau gabungan radiasi dengan sifat
racun, sifat mudah meledak, atau sifat bahaya lainnya sebagai
akibat kecelakaan nuklir yang timbul dari kekritisan bahan bakar
nuklir.
Pihak ketiga adalah orang atau badan yang menderita kerugian
nuklir, tidak termasuk pengusaha intalasi nuklir, dan pekerja
instalasi nuklir yang menurut struktur organisasi berada dibawah
pengusaha instalasi nuklir.
Penggantian   kerugian  nuklir   terhadap   pihak   ketiga   dalam
undang-undang ini ialah penggantian kerugian yang dialami
manusia, seperti kematian, cacat, cedera atau sakit, dan
penggantian kerugian atas biaya yang diperlukan sebagai akibat
tindakan preventif, misalnya tindakan evakuasi yang dilakukan
oleh pejabat yang berwenang di daerah lokasi instalasi nuklir
yang mengalami kecelakaan nuklir. Penggantian kerugian terhadap
kerusakan harta benda harus sesuai dengan nilai kerusakan yang
diderita ditambah dengan biaya rehabilitasinya. Demikian juga,
penggantian kerugian terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan
harus sesuai dengan nilai kerugian kerusakan ditambah dengan
besarnya biaya untuk melakukan tindakan rehabilitasi lingkungan.
Kerugian yang bukan disebabkan oleh kekritisan bahan bakar nuklir
tidak termasuk kategori kerugian nuklir. Pekerja pada instalasi
nuklir yang bersangkutan atau yang bekerja pada instalasi lain
yang memanfaatkan radiasi berhak mendapatkan penggantian kerugian
sesuai dengan ketentuan Undang-undang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
atau jaminan asuransi kecelakaan kerja lainnya.
Undang-undang ini hanya mengatur hal-hal yang pokok, oleh karena
itu   ketentuan   lebih  lanjut  akan   diatur   dalam   peraturan
pelaksanaannya.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
     Cukup jelas

Pasal 2
     Ayat (1)
          *9597 Bahan bakar nuklir bekas adalah bahan bakar
     nuklir yang telah digunakan sebagai bahan bakar dalam
     reaktor nuklir. Bahan bakar nuklir bekas tersebut merupakan
     limbah radiaktif tingkat tinggi.
     Ayat (2)
          Cukup jelas
Pasal 3
     Ayat (1) dan (2)
          Badan Pelaksana yang dimaksud adalah lembaga pemerintah
     yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada
     Presiden.
Pasal 4
     Ayat (1) dan (2)
          Bahan Pengawas yang dimaksud adalah lembaga pemerintah
     yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada
     Presiden.
Pasal 5
     Majelis   Pertimbangan   Tenaga    Nuklir   adalah   lembaga
     nonstruktural yang independen dan keanggotaannya terdiri
     atas para ahli dan tokoh masyarakat, yang dibentuk oleh
     Pemerintah dan bertugas memberikan saran dan pertimbangan
     kepada Pemerintah.

Pasal 6
     Cukup jelas

Pasal 7
     Pembentukan Badan Usaha Milik Negara tersebut dilaksanakan
     sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
     berlaku.
Pasal 8
     Ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
     Pada dasarnya pelaksanaan penelitian dan pengembangan dapat
     dilakukan, baik oleh Badan Pelaksana maupun pihak lain.
     Namun, tanggung jawab di bidang penelitian dan pengembangan
     ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir dibebankan kepada
     Badan Pelaksana.
     Penelitian dan pengembangan teknologi nuklir terutama
     mengenai keselamatan nuklir, termasuk pengolahan limbah
     bahan bakar nuklir untuk mengurangi dampak negatifnya, perlu
     diperhatikan     untuk    mendapatkan     terobosan-terobosan
     teknologi.    Terhadap    penelitian     yang    menghasilkan
     terobosan-terobosan teknologi diberikan penghargaan oleh
     Pemerintah     sesuai     dengan      ketentuan     peraturan
     perundang-undangan yang berkalu.
     Yang dimaksud dengan badan lain dalam pasal ini adalah
     instansi pemerintah atau badan swasta baik nasional maupun
     asing.

Pasal 9
     Ayat (1), dan ayat (2)
     Badan   Pelaksana   diberi    wewenang   penyelidikan  umum,
     eksplorasi dan eksploitasi bahan galian nuklir yang bersifat
     nonkomersial.   Dalam    melaksanakan  wewenang   ini  Badan
     Pelaksana dapat bekerja sama dengan Badan Usaha Milik
     Negera, koperasi,     *9598 badan swasta, atau badan lain.
     Bentuk kerjasama itu diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.
     Yang dimaksud dengan badan lain dalam pasal ini adalah
     instansi pemerintah asing atau badan swasta asing.

Pasal 10
     Ayat (1), dan ayat (2)
     Karena bahan bakar nuklir merupakan bahan strategis,
     produksi dan/atau pengadaan bahan baku untuk pembuatan bahan
     bakar nuklir hanya dilaksanakan oleh Badan Pelaksana.
     Walaupun demikian, Badan Pelaksana dapat bekerja sama dengan
     Badan Usaha Milik Negara, koperasi, dan/atau badan swasta.

Pasal 11
     Ayat (1)
          Cukup jelas
     Ayat (2)
          Cukup jelas

Pasal 12
     Ayat (1)
          Cukup jelas
     Ayat (2)
          Cukup jelas

Pasal 13
     Ayat (1)
          Cukup jelas
     Ayat (2)
          Cukup jelas
     Ayat (3)
          Cukup jelas
     Ayat (4)
          Pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir ditetapkan
     oleh   Pemerintah   setelah   berkonsultasi   dengan   Dewan
     Perwakilan   Rakyat  Republik   Indonesia.  Konsultasi   itu
     dilakukan untuk setiap tapak di mana satu atau lebih
     pembangkit listrik tenaga nuklir akan dibangun. Dalam
     konsultasi     ini     Pemerintah    harus     memperhatikan
     sungguh-sungguh pendapat dan saran Dewan Perwakilan Rakyat
     Republik Indonesia, dan hasil konsultasi tersebut dihormati
     dan dijadikan pedoman oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan
     Rakyat Republik Indonesia.

Pasal 14
     Ayat (1) dan ayat (2)
     Pengawasan ini perlu dilakukan mengingat bahwa tenaga nuklir
     itu selain bermanfaat juga mempunyai bahaya radiasi.
     Pengawasan ini dimaksudkan agar bahaya itu tidak terjadi.
     Pengawasan dilakukan dengan cara sebagai berikut:
     a.   Mengeluarkan peraturan di bidang keselamatan nuklir
     agar tujuan pengawasan tercapai.
     b.   Menyelenggarakan perizinan untuk mengendalikan bahwa
     pemanfaatan tenaga nuklir akan dilakukan sesuai dengan
     *9599 peraturan yang berlaku. Dengan perizinan ini Badan
     Pengawas dapat mengetahui dimana, oleh siapa, dan bagaimana
     pemanfaatan tenaga nuklir dilakukan.
     c.   Melaksanakan inspeksi secara berkala dan sewaktu-waktu
     untuk mengetahui apakah pemanfaatan tenaga nuklir mengikuti
     peraturan yang ditetapkan.

Pasal 15
     Budaya keselamatan adalah sifat dan sikap dalam organisasi
     dan individu yang menekankan pentingnya keselamatan. Oleh
     karena itu, budaya keselamatan mempersyaratkan agar semua
     kewajiban   yang   berkaitan    dengan   keselamatan   harus
     dilaksanakan secara benar, saksama, dan penuh rasa tanggung
     jawab.
Salah satu tujuan pengawasan adalah untuk mencegah terjadinya
perubahan tujuan pemanfaatan bahan nuklir, yaitu perubahan tujuan
dari maksud damai ke maksud lain.

Pasal 16
     Ayat (1)
          Ketentuan keselamantan yang perlu diatur lebih lanjut,
     antara lain, adalah ketentuan keselamatan kerja terhadap
     radiasi, ketentuan keselamatan pengangkutan zat radioaktif,
     ketentuan keselamatan terhadap pertambangan bahan galian
     nuklir, dan ketentuan keselamatan reaktor.
     Ayat (2)
          Cukup jelas

Pasal 17
     Ayat (1)
          Yang dimaksud dengan hal-hal tertentu pada ayat ini
     adalah pemanfaatan zat, alat, atau benda yang pancaran
     radiasi dan aktivitasnya lebih kecil daripada pancaran
     radiasi dan aktivitas yang seharusnya memiliki izin, antara
     lain, alat navigasi, jam, kaos lampu petromaks, dan
     pendeteksi asap.
     Ayat (2)
          Pengertian pembangunan pada ayat ini termasuk penentuan
     tapak dan konstruksi instalasi nuklir.
     Ayat (3)
          Cukup jelas

Pasal 18
     Ayat (1)
          Cukup jelas
     Ayat (2)
          Menteri Keuangan menetapkan besar biaya perizinan atas
     usul Badan Pengawas. Penerimaan biaya perizinan tersebut
     merupakan Penerimaan Negera Bukan Pajak dan disetorkan ke
     Kas Negara.

Pasal 19
     Ayat (1)
          Kedudukan petugas dalam pengoperasian reaktor nuklir
     dan pemanfaatan sumber radiasi sangat penting. Mengingat
     *9600 peranannya dapat menentukan aman atau tidaknya
     pengoperasian dan pemanfaatan itu, maka untuk mendapatkan
     izin, petugas tersebut harus menjalani suatu pengujian untuk
     membuktikan kualifikasinya.
          Yang dimaksud dengan petugas tertentu adalah, antara
     lain, ahli radiografi, operator radiografi, petugas proteksi
     radiasi, petugas dosimetri, dan petugas perawatan.
     Ayat (2)
          Cukup jelas

Pasal 20
     Ayat (1)
          Cukup jelas
     Ayat (2)
          Cukup jelas
     Ayat (3)
          Hasil   inspeksi   yang    dilakukan   Badan   Pengawas
     diterbitkan secara berkala dan terbuka.

Pasal 21
     Pembinaan ini dimaksudkan untuk menimbulkan motivasi     dan
     kesadaran kelamatan dalam pemanfaatan tenaga nuklir.
Pasal 22
     Ayat (1)
          Cukup jelas
     Ayat (2)
          Cukup jelas

Pasal 23
     Ayat (1)
          Pengelolaan limbah radioktif dilakukan oleh Badan
     Pelaksana didasarkan atas pertimbangan keselamatan dan
     kemampuan teknis yang dimiliki oleh Badan Pelaksana serta
     kemudahan dalam pelaksanaan pengawasan.
          Pengelolaan ini dilaksanakan secara nonkomerial.
     Ayat (2)
          Untuk kegiatan pengelolaan limbah radioktif secara
     komersial, Badan Pelaksana dapat menunjuk Badan Usaha Milik
     Negara, koperasi, dan/atau badan swasta sesuai ketentuan
     peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 24
     Ayat (1)
          Kewajiban penghasil limbah radioaktif tingkat rendah
     dan tingkat sedang, dimaksudkan agar limbah radioaktif
     dikelola di dalam lokasi instansi nuklir sehingga tidak
     membahayakan pekerja, anggota mesyarakat, dan lingkungan
     hidup serta memudahkan tindakan pengelolaan selanjutnya oleh
     Badan Pelaksana.
          Penyimpanan sementara dimaksudkan untuk menurunkan
     tingkat   zat  radioaktif   yang   berumur  pendek    sebelum
     pengelolaannya diserahkan kepada Badan Pelaksana.
     Ayat (2)
          Cukup jelas.
Pasal 25
     Ayat (1) dan ayat (2)
          Penentuan tempat penyimpanan lestari limbah radioaktif
     tingakt tinggi perlu dibicarakan dengan Dewan Perwakilan
     Rakyat Republik Indonesia untuk mendapatkan persetujuan
     karena menyangkut perubahan suatu daerah yang semula dapat
     dimanfaatkan menjadi suatu daerah yang sama sekali tidak
     dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lain. Limbah radioaktif
     yang berasal dari luar negari tidak diidzinkan disimpan di
     wilayah hukum Republik Indonesia.

Pasal 26
     Ayat (1)
          Cukup jelas
     Ayat (2)
          Menteri Keuangan menetapkan besar biaya penyimpanan
     atas usul Badan Pelaksana. Penerimaan biaya penyimpanan oleh
     Badan Pelaksana merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak dan
     disetorkan ke Kas Negara.
Pasal 27
     Ayat (1)
          Cukup jelas
     Ayat (2)
          Cukup jelas

Pasal 28
     Pada prinsipnya dalam hal terjadi kecelakaan nuklir,
     tanggung jawab hanya dibebankan kepada satu pihak, yaitu
     pengusaha instalasi nuklir. Dengan demikian, tidak ada pihak
     lain yang dapat diminta pertanggungjawaban selain pengusaha
     instalasi nuklir itu.
     Dalam sistem tanggung jawab mutlak, untuk menerima ganti
     rugi, pihak ketiga yang menderita kerugian nuklir tidak
     dibebani pembuktian ada atau tidaknya kesalahan pengusaha
     instalasi nuklir. Untuk menghindari ganti rugi jatuh kepada
     pihak yang tidak berhak, pihak ketiga cukup menunjukkan
     bukti yang sah bahwa kerugiannya diakibatkan oleh kecelakaan
     nuklir.

Pasal 29
     Ayat (1)
          Cukup jelas
     Ayat (2)
          Cukup jelas

Pasal 30
     Ayat (1)
          Yang   dimaksud   dengan   pengusaha   instalasi   nuklir
     bertanggung jawab secara bersama-sama adalah jika salah satu
     pengusaha instalasi nuklir sudah melaksanakan tanggung
     jawabnya, pengusaha yang lain dibebaskan. Pengusaha yang
     sudah melaksanakan tanggung jawab tersebut memperhitungkan
     jumlah pertanggungjawaban yang harus dipikul oleh pengusaha
     lainnya secara proforsional, sesuai dengan jenis instalasi
     nuklir dan besar kecil     *9602 potensi bahayanya. Dengan
     demikian,   pertanggungjawaban   yang   harus   dipikul   oleh
     masing-masing tidak melebihi jumlah yang telah ditetapkan
     dalam Pasal 34.

     Ayat (2)
          Apabila     kerugian     nuklir     melebihi  jumlah
     pertanggungjawaban pengusaha instalasi nuklir, Pemerintah
     wajib mengambil langkah-langkah penyelesaiannya.

Pasal 31
     Cukup jelas
Pasal 32
     Yang dimaksud dengan pertikaian atau konflik bersenjata
     internasional adalah pertikaian atau konflik bersenjata yang
     melibatkan negara lain.
     Yang dimaksud dengan pertikaian atau konflik bersenjata
     non-internasional, antara lain, pemberontakan dan gerakan
     pengacau keamanan.
     Bencana alam dengan tingkat yang luar biasa, misalnya, gempa
     bumi yang termasuk dalam kategori melampaui S1 (seismic
     category 1) dan S2 (seismic category 2).
     S1 dan S2 merupakan penggolongan gempa bumi yang ditetapkan
     oleh Badan Pengawas. S1 adalah gempa bumi maksimum yang
     dapat terjadi sekali selama umur operasi instalasi nuklir,
     sedangkan S2 adalah gempa bumi maksimum yang dapat terjadi
     pada lokasi instalasi nuklir yang melebihi umur operasi
     instalasi nuklir. S1 dan S2 ditetentukan berdasarkan gempa
     bumi maksimum yang pernah terjadi di dalam siklus waktu
     tertentu pada lokasi instalasi nuklir, misalnya, siklus 50
     (lima puluh) tahunan untuk S1 (setara dengan umur operasi
     instalasi nuklir) dan siklus 1.000 (seribu) tahunan untuk
     S2. Instalasi nuklir harus didesain untuk dapat bertahan
     pada kondisi gempa bumi S1 dan S2.

Pasal 33
     Ayat (1)
          Cukup jelas
     Ayat (2)
          Cukup jelas

Pasal 34
      Ayat (1)
           Cukup jelas
      Ayat (2)
           Cukup jelas
      Ayat (3)
           Agar tidak mengurangi jumlah ganti rugi yang dibayarkan
      kepada   penderita,   bunga   biaya  perkara   tidak   boleh
      diperhitungkan dari uang pertanggungan.
      Ayat (4)
           Peninjauan kembali jumlah pertanggungjawaban pengusaha
      instalasi nuklir dimaksudkan untuk menyesuaikan apabila
      terjadi perubahan nilai mata uang.
*9603
Pasal 35
      Ayat (1)
           Cukup jelas
      Ayat (2)
           Yang dimaksud dengan pengusaha instalasi nuklir adalah
      pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.
      Ayat (3)
           Cukup jelas

Pasal 36
     Ayat (1)
          Cukup jelas
     Ayat (2)
          Cukup jelas
     Ayat (3)
          Ketentuan ini memberikan jaminan perlindungan      yang
     lebih pasti terhadap pihak yang dirugikan.

Pasal 37
     Ayat (1)
          Dibebaskannya    Pemerintah  dari  kewajiban  untuk
     mempertanggungkan pertanggungjawabannya melalui asuransi
     atau jaminan keuangan lainnya bukan berarti jika terjadi
     kecelakaan nuklir yang menimpa pihak ketiga, Pemerintah
     tidak akan memberikan ganti rugi sebab pada dasarnya
     Pemerintah melindungi rakyat.
     Ayat (2)
          Cukup jelas

Pasal 38
     Ayat (1)
          Cukup jelas
     Ayat (2)
          Cukup jelas

Pasal 39
     Ayat (1)
          Penetapan jangka waktu ini dimaksudkan untuk memberikan
     kepastian hukum kepada para pihak.
     Ayat (2)
          Cukup jelas
     Ayat (3)
          Cukup jelas

Pasal 40
     Cukup jelas

Pasal 41
     Ayat (1)
          Cukup jelas
     Ayat (2)
          Cukup jelas
     Ayat (3)
          *9604 Cukup jelas

Pasal 42
     Ayat (1)
          Cukup jelas
     Ayat (2)
          Cukup jelas

Pasal 43
     Ayat (1)
          Cukup jelas
     Ayat (2)
          Cukup jelas

Pasal 44
     Ayat (1)
          Cukup jelas
     Ayat (2)
          Cukup jelas
     Ayat (3)
          Cukup jelas

Pasal 45
     Cukup jelas

Pasal 46
     Cukup jelas

Pasal 47
     Cukup jelas

Pasal 48
     Cukup jelas

     TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDOENSIA NOMOR 3676


Silahkan download versi PDF nya sbb:
ketenagaunukliran_(uu_10_thn_1997)_10.pdf
(ogi/Carapedia)
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.