Previous
Next

2004

Undang-Undang Jalan (UU 38 thn 2004)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan :
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No. 132, 2004 (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444).

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 38 TAHUN 2004
TENTANG
JALAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa jalan sebagai salah satu prasarana transportasi merupakan unsur penting dalam
pengembangan kehidupan berbangsa dan bemegara, dalam pembinaan persatuan dan kesatuan
bangsa, wilayah negara, dan fungsi masyarakat serta dalam memajukan kesejahteraan umum
sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. bahwa jalan sebagai bagian sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting terutama dalam
mendukung bidang ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan dan dikembangkan melalui pendekatan
pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar daerah,
membentuk dan memperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan
nasional, serta membentuk struktur ruang dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional;
c. bahwa untuk terpenuhinya peranan jalan sebagaimana mestinya, pemerintah mempunyai hak dan
kewajiban menyelenggarakan jalan;
d. bahwa agar penyelenggaraan jalan dapat dilaksanakan secara berdaya guna dan berhasil guna,
diperlukan keterlibatan masyarakat;
e. bahwa dengan adanya perkembangan otonomi daerah, tantangan persaingan global, dan tuntutan
peningkatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan jalan, Undang-undang Nomor 13 Tahun 1980
tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1980 Nomor 83, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3186) tidak sesuai lagi sebagai landasan hukum pengaturan tentang jalan;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf, c, huruf d, dan
huruf e, perlu dibentuk Undang-undang tentang jalan;

Mengingat:       Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 33 ayat (3), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945;

Dengan persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:    UNDANG-UNDANG TENTANG JALAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para menteri.
2. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang jalan.
3. Pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan
eksekutif daerah.
4. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan
pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan
tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air,
kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.
5. Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum.
6. Jalan khusus adalah jalan yang dibangun oleh instansi, badan usaha, perseorangan, atau kelompok
masyarakat untuk kepentingan sendiri.
7. Jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional
yang penggunanya diwajibkan membayar tol.
8. Tol adalah sejumlah uang tertentu yang dibayarkan untuk penggunaan jalan tol.
9. Penyelenggaraan jalan adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan
pengawasan jalan.
10. Pengaturan jalan adalah kegiatan perumusan kebijakan perencanaan, penyusunan perencanaan
umum, dan penyusunan peraturan perundang-undangan jalan.
11. Pembinaan jalan adalah kegiatan penyusunan pedoman dan standar teknis, pelayanan,
pemberdayaan sumber daya manusia, serta penelitian dan pengembangan jalan.
12. Pembangunan jalan adalah kegiatan pemrograman dan penganggaran, perencanaan teknis,
pelaksanaan konstruksi, serta pengoperasian dan pemeliharaan jalan.
13. Pengawasan jalan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan tertib pengaturan, pembinaan,
dan pembangunan jalan.
14. Penyelenggara jalan adalah pihak yang melakukan pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan
pengawasan jalan sesuai dengan kewenangannya.
15. Jalan bebas hambatan adalah jalan umum untuk lalu lintas menerus dengan pengendalian jalan
masuk secara penuh dan tanpa adanya persimpangan sebidang serta dilengkapi dengan pagar ruang
milik jalan.
16. Badan Pengatur Jalan Tol yang selanjutnya disebut BPJT adalah badan yang dibentuk oleh Menteri,
berada di bawah, dan bertanggung jawab kepada Menteri.
17. Badan usaha di bidang jalan tol yang selanjutnya disebut Badan Usaha adalah badan hukum yang
bergerak di bidang pengusahaan jalan tol.
18. Sistem jaringan jalan adalah satu kesatuan ruas jalan yang saling menghubungkan dan mengikat
pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu
hubungan hierarkis.
19. Orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak
berbadan hukum.

BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN LINGKUP

Pasal 2
Penyelenggaraan jalan berdasarkan pada asas kemanfaatan, keamanan dan keselamatan, keserasian,
keselarasan dan keseimbangan, keadilan, transparansi dan akuntabilitas, keberdayagunaan dan
keberhasilgunaan, serta kebersamaan dan kemitraan.

Pasal 3
Pengaturan penyelenggaraan jalan bertujuan untuk:
a. mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan jalan;
b. mewujudkan peran masyarakat dalam penyelenggaraan jalan;
c. mewujudkan peran penyelenggara jalan secara optimal dalam pemberian layanan kepada masyarakat;
d. mewujudkan pelayanan jalan yang andal dan prima serta berpihak pada kepentingan masyarakat;
e. mewujudkan sistem jaringan jalan yang berdaya guna dan berhasil guna untuk mendukung
terselenggaranya sistem transportasi yang terpadu; dan
f. mewujudkan pengusahaan jalan tol yang transparan dan terbuka.

Pasal 4
Lingkup pengaturan dalam Undang-undang ini mencakup penyelenggaraan:
a. jalan umum yang meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan;
b. jalan tol yang meliputi pengaturan, pembinaan, pengusahaan, dan pengawasan; dan
c. jalan khusus.

BAB III
PERAN, PENGELOMPOKAN, DAN BAGIAN-BAGIAN JALAN

Bagian Pertama
Peran Jalan

Pasal 5
(1) Jalan sebagai bagian prasarana transportasi mempunyai peran penting dalam bidang ekonomi, sosial
budaya, lingkungan hidup, politik, pertahanan dan keamanan, serta dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
(2) Jalan sebagai prasarana distribusi barang dan jasa merupakan urat nadi kehidupan masyarakat,
bangsa, dan negara.
(3) Jalan yang merupakan satu kesatuan sistem jaringan jalan menghubungkan dan mengikat seluruh
wilayah Republik Indonesia.

Bagian Kedua
Pengelompokan Jalan

Pasal 6
(1) Jalan sesuai dengan peruntukannya terdiri atas jalan umum dan jalan khusus.
(2) Jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelompokkan menurut sistem, fungsi, status, dan
kelas.
(3) Jalan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan diperuntukkan bagi lalu lintas umum dalam
rangka distribusi barang dan jasa yang dibutuhkan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jalan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Pasal 7
(1) Sistem jaringan jalan terdiri atas sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder.
(2) Sistem jaringan jalan primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sistem jaringan jalan
dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat
nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan.
(3) Sistem jaringan jalan sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sistem jaringan
jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan
perkotaan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengellai sistem jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 8
(1) Jalan umum menurut fungsinya dikelompokkan ke dalam jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan
jalan lingkungan.
(2) Jalan arteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk
dibatasi secara berdaya guna.
(3) Jalan kolektor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang,
dan jumlah jalan masuk dibatasi.
(4) Jalan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan
masuk tidak dibatasi.
(5) Jalan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan umum yang berfungsi
melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.
(6) Ketenman lebih lanjut mengenai jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 9
(1) Jalan umum menurut statusnya dikelompokkan ke dalam jalan nasional, jalan provinsi, jalan
kabupaten, jalan kota, dan jalan desa.
(2) Jalan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam
sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antaribukota provinsi, dan jalan strategis nasional,
serta jalan tol.
(3) Jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan
jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota, atau antaribukota
kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi.
(4) Jalan kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan
jalan primer yang tidak termasuk pada ayat (2) dan ayat (3), yang menghubungkan ibukota kabupaten
dengan ibukota kecamatan, antar ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal,
antar pusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah
kabupaten, dan jalan strategis kabupaten.
(5) Jalan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan
sekunder yang menghubungkan antarpusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat pelayanan
dengan persil, menghubungkan antarpersil, serta menghubungkan antarpusat permukiman yang berada
di dalam kota.
(6) Jalan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan umum yang menghubungkan
kawasan dan/atau antar permukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai status jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3),
ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 10
(1) Untuk pengaturan penggunaan jalan dan kelancaran lalu lintas, jalan dibagi dalam beberapa kelas
jalan.
(2) Pembagian kelas jalan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang
lalu lintas dan angkutan jalan.
(3) Pengaturan kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana jalan dikelompokkan atas jalan
bebas hambatan, jalan raya, jalan sedang, dan jalan kecil.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai spesifikasi penyediaan prasarana jalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Bagian-Bagian Jalan

Pasal 11
(1) Bagian-bagian jalan meliputi ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan.
(2) Ruang manfaat jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi badan jalan, saluran tepi jalan,
dan ambang pengamannya.
(3) Ruang milik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ruang manfaat jalan dan sejalur
tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan.
(4) Ruang pengawasan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan ruang tertentu di luar
ruang milik jalan yang ada di bawah pengawasan penyelenggara jalan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 12
(1) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam
ruang manfaat jalan.
(2) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam
ruang milik jalan.
(3) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam
ruang pengawasan jalan.

BAB IV
JALAN UMUM

Bagian Pertama
Penguasaan

Pasal 13
(1) Penguasaan atas jalan ada pada negara.
(2) Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (I) memberi wewenang kepada
Pemerintah dan pemerintah daerah untuk melaksanakan penyelenggaraan jalan.

Bagian Kedua
Wewenang Pemerintah

Pasal 14
(1) Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan secara umum
dan penyelenggaraan jalan nasional.
(2) Wewenang penyelenggaraan jalan secara umum dan penyelenggaraan jalan nasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan.

Bagian Ketiga
Wewenang Pemerintah Provinsi

Pasal 15
(1) Wewenang pemerintah provinsi dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan
provinsi.
(2) Wewenang penyelenggaraan jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan provinsi.
(3) Dalam hal pemerintah provinsi belum dapat melaksanakan sebagian wewenangnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pemerintah provinsi dapat menyerahkan wewenang tersebut kepada
Pemerintah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai wewenang penyelenggaraan jalan provinsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan penyerahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Bagian Keempat
Wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota

Pasal 16
(1) Wewenang pemerintah kabupaten dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan
kabupaten dan jalan desa.
(2) Wewenang pemerintah kota dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan kota.
(3) Wewenang penyelenggaraan jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan.
(4) Dalam hal pemerintah kabupaten/kota belum dapat melaksanakan sebagian wewenangnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pemerintah kabupaten/kota dapat menyerahkan
wewenang tersebut kepada pemerintah provinsi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai wewenang penyelengaraan jalan kabupaten sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), wewenang penyelengaraan jalan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan
penyerahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima
Pengaturan Jalan Umum
Pasal 17
Pengaturan jalan umum meliputi pengaturan jalan secara umum, pengaturan jalan nasional, pengaturan
jalan provinsi, pengaturan jalan kabupaten dan jalan desa, serta pengaturan jalan kota.

Pasal 18
(1) Pengaturan jalan secara umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 meliputi:
a. pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya;
b. perumusan kebijakan perencanaan;
c. pengendalian penyelenggaraan jalan secara makro; dan
d. penetapan norma, standar, kriteria, dan pedoman pengaturan jalan.
(2) Pengaturan jalan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 meliputi:
a. penetapan fungsi jalan untuk ruas jalan arteri dan jalan kolektor yang menghubungkan antaribukota
provinsi dalam sistem jaringan jalan primer;
b. penetapan status jalan nasional; dan
c. penyusunan perencanaan umum jaringan jalan nasional.

Pasal 19
Pengaturan jalan provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 meliputi:
a. perumusan kebijakan penyelenggaraan jalan provinsi berdasarkan kebijakan nasional di bidang jalan;
b. penyusunan pedoman operasional penyelenggaraan jalan provinsi dengan memperhatikan keserasian
antar wilayah provinsi;
c. penetapan fungsi jalan dalam sistem jaringan jalan sekunder dan jalan kolektor yang menghubungkan
ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten, antaribukota kabupaten, jalan lokal, dan jalan lingkungan
dalam sistem jaringan jalan primer;
d. penetapan status jalan provinsi; dan
e. penyusunan perencanaan jaringan jalan provinsi.

Pasal 20
Pengaturan jalan kabupaten dan jalan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 meliputi:
a. perumusan kebijakan penyelenggaraan jalan kabupaten dan jalan desa berdasarkan kebijakan
nasional di bidang jalan dengan memperhatikan keserasian antar daerah dan antarkawasan;
b. penyusunan pedoman operasional penyelenggaraan jalan kabupaten dan jalan desa;
c. penetapan status jalan kabupaten dan jalan desa; dan
d. penyusunan perencanaan jaringan jalan kabupaten dan jalan desa.

Pasal 21
Pengaturan jalan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 meliputi:
a. perumusan kebijakan penyelenggaraan jalan kota berdasarkan kebijakan nasional di bidang jalan
dengan memperhatikan keserasian antardaerah dan antar kawasan;
b. penyusunan pedoman operasional penyelenggaraan jalan kota;
c. penetapan status jalan kota; dan
d. penyusunan perencanaan jaringan jalan kota.

Pasal 22
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18,
Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam
Pembinaan Jalan Umum

Pasal 23
Pembinaan jalan umum meliputi pembinaan jalan secara umum dan jalan nasional, jalan provinsi, jalan
kabupaten dan jalan desa, serta jalan kota.

Pasal 24
Pembinaan jalan secara umum dan jalan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 meliputi:
a. pengembangan sistem bimbingan, penyuluhan, serta pendidikan dan pelatihan di bidang jalan;
b. pemberian bimbingan, penyuluhan, dan pelatihan para aparatur di bidang jalan;
c. pengkajian serta penelitian dan pengembangan teknologi bidang jalan dan yang terkait;
d. pemberian fasilitas penyelesaian sengketa antar provinsi dalam penyelenggaraan jalan; dan
e. penyusunan dan penetapan norma, standar, kriteria, dan pedoman pembinaan jalan.

Pasal 25
Pembinaan jalan provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 meliputi:
a. pemberian bimbingan, penyuluhan, serta pendidikan dan pelatihan para aparatur penyelenggara jalan
provinsi dan aparatur penyelenggara jalan kabupaten/kota;
b. pengkajian serta penelitian dan pengembangan teknologi di bidang jalan untuk jalan provinsi; dan
c. pemberian fasilitas penyelesaian sengketa antar kabupaten/kota dalam penyelenggaraan jalan.

Pasal 26
Pembinaan jalan kabupaten dan jalan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 meliputi:
a. pemberian bimbingan, penyuluhan, serta pendidikan dan pelatihan para aparatur penyelenggara jalan
kabupaten dan jalan desa;
b. pemberian izin, rekomendasi, dispensasi, dan pertimbangan pemanfaatan ruang manfaat jalan, ruang
milik jalan, dan ruang pengawasan jalan; dan
c. pengembangan teknologi terapan di bidang jalan untuk jalan kabupaten dan jalan desa.

Pasal 27
Pembinaan jalan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 meliputi:
a. pemberian bimbingan, penyuluhan, serta pendidikan dan pelatihan para aparatur penyelenggara jalan
kota;
b. pemberian izin, rekomendasi, dispensasi dan pertimbangan pemanfaatan ruang manfaat jalan, ruang
milik jalan, dan ruang pengawasan jalan; dan
c. pengembangan teknologi terapan di bidang jalan untukjalan kota.

Pasal 28
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24,
Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketujuh
Pembangunan Jalan Umum

Pasal 29
Pembangunan jalan umum, meliputi pembangunan jalan secara umum, pembangunan jalan nasional,
pembangunan jalan provinsi, pembangunan jalan kabupaten dan jalan desa, serta pembangunan jalan
kota.

Pasal 30
(1) pembangunan jalan secara umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 adalah sebagai berikut:
a. pengoperasian jalan umum dilakukan setelah dinyatakan memenuhi persyaratan laik fungsi secara
teknis dan administratif;
b. penyelenggara jalan wajib memrioritaskan pemeliharaan, perawatan dan pemeriksaan jalan secara
berkala untuk mempertahankan tingkat pelayanan jalan sesuai dengan standar pelayanan minimal yang
ditetapkan;
c. pembiayaan pembangunan jalan umum menjadi tanggung jawab Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing;
d. dalam hal pemerintah daerah belum mampu membiayai pembangunan jalan yang menjadi tanggung
jawabnya secara keseluruhan, Pemerintah dapat membantu sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
e. sebagian wewenang Pemerintah di bidang pembangunan jalan nasional mencakup perencanaan
teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian, dan pemeliharaannya dapat dilaksanakan oleh
pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
f. pembentukan peraturan perundang-undangan, termasuk kriteria, persyaratan, standar, prosedur dan
manual; penyusunan rencana umum jalan nasional, dan pelaksanaan pengawasan dilakukan dengan
memperhatikan masukan dari masyarakat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan laik fungsi, tata cara pemeliharaan, perawatan dan
pemeriksaan secara berkala, dan pembiayaan pembangunan jalan umum, serta masukan masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 31
Pembangunan jalan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 meliputi:
a. perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan
konstruksi jalan nasional;
b. pengoperasian dan pemeliharaan jalan nasional; dan
c. pengembangan dan pengelolaan sistem manajemen jalan nasional.

Pasal 32
Pembangunan jalan provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 meliputi:
a. perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan
konstruksi jalan provinsi;
b. pengoperasian dan pemeliharaan jalan provinsi; dan,
c. pengembangan dan pengelolaan sistem manajemen jalan provinsi.

Pasal 33
Pembangunan jalan kabupaten dan jalan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 meliputi:
a. perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan
konstruksi jalan kabupaten dan jalan desa;
b. pengoperasian dan pemeliharaari jalan kabupaten dan jalan desa; dan
c. pengembangan dan pengelolaan manajemen pemeliharaan jalan kabupaten dan jalan desa.

Pasal 34
Pembangunan jalan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 meliputi:
a. perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan
konstruksi jalan kota;
b. pengoperasian dan pemeliharaan jalan kola; dan
c. pengembangan dan pengelolaan manajemen pemeliharaan jalan kota.

Pasal 35
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30,
Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedelapan
Pengawasan Jalan Umum

Pasal 36
Pengawasan jalan umum meliputi pengawasan jalan secara umum, pengawasan jalan nasional,
pengawasan jalan provinsi, pengawasan jalan kabupaten dan jalan desa, serta pengawasan jalan kota.

Pasal 37
(1) Pengawasan jalan secara umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 meliputi:
a. evaluasi dan pengkajian pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan jalan;
b. pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan; dan
c. hasil penyelenggaraan jalan harus memenuhi standar pelayanan minimal yang ditetapkan.
(2) pengawasan jalan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 meliputi:
a. evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan nasional; dan
b. pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan nasional.

Pasal 38
Pengawasan jalan provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 meliputi:
a. evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan provinsi; dan
b. pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan provinsi.

Pasal 39
Pengawasan jalan kabupaten dan jalan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 meliputi:
a. evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan kabupaten dan jalan desa; dan
b. pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan kabupaten dan jalan desa.

Pasal 40
Pengawasan jalan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 meliputi:
a. evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan kota; dan
b. pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan kota

Pasal 41
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38,
Pasal 39, dan Pasal 40 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 42
Setiap orang dilarang menyelenggarakan jalan yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

BAB V
JALAN TOL

Bagian Pertama
Umum

Pasal 43
(1) Jalan tol diselenggarakan untuk:
a. memperlancar lalu lintas di daerah yang telah berkembang;
b. meningkatkan hasil guna dan daya guna pelayanan distribusi barang dan jasa guna menunjang
peningkatan pertumbuhan ekonomi;
c. meringankan beban dana Pemerintah melalui partisipasi pengguna jalan; dan
d. meningkatkan pemerataan hasil pembangunan dan keadilan.
(2) Pengusahaan jalan tol dilakukan oleh Pemerintah dan/ atau badan usaha yang memenuhi
persyaratan.
(3) Pengguna jalan tol dikenakan kewajiban membayar tol yang digunakan untuk pengembalian investasi,
pemeliharaaan, dan pengembangan jalan tol.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Syarat-Syarat Jalan Tol

Pasal 44
(1) Jalan tol sebagai bagian dari sistem jaringan jalan umum merupakan lintas alternatif.
(2) Dalam keadaan tertentu, jalan tol dapat tidak merupakan lintas alternatif.
(3) Jalan tol harus mempunyai spesifikasi dan pelayanan yang lebih tinggi dari pada jalan umum yang
ada.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai spesifikasi dan pelayanan jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Wewenang Penyelenggaraan Jalan Tol
Pasal 45
(1) Wewenang penyelenggaraan jalan tol berada pada Pemerintah.
(2) Wewenang penyelenggaraan jalan tol meliputi pengaturan, pembinaan, pengusahaan, dan
pengawasan jalan tol.
(3) Sebagian wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh BPJT.
(4) BPJT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibentuk oleh Menteri, berada di bawah, dan
bertanggung jawab kepada Menteri.
(5) Keanggotaan BPJT sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas unsur Pemerintah, unsur
pemangku kepentingan, dan unsur masyarakat.
(6) Tugas BPJT adalah melaksanakan sebagian penyelenggaraan jalan tol, meliputi:
a. pengaturan jalan tol mencakup pemberian rekomendasi tarif awal dan penyesuaiannya kepada
Menteri, serta pengambilalihan jalan tol pada akhir masa konsesi dan pemberian rekomendasi
pengoperasian selanjutnya;
b. pengusahaan jalan tol mencakup persiapan pengusahaan jalan tol, pengadaan investasi, dan
pemberian fasilitas pembebasan tanah; dan
c. pengawasan jalan tol mencakup pemantauan dan evaluasi pengusahaan jalan tol dan pengawasan
terhadap pelayanan jalan tol.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai wewenang penyelenggaraan jalan tol dan BPJT sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat
Pengaturan Jalan Tol

Pasal 46
(1) Pengaturan jalan tol meliputi perumusan kebijakan perencanaan, penyusunan perencanaan umum,
dan pembentukan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengaturan jalan tol ditujukan untuk mewujudkan jalan tol yang aman, nyaman, berhasil guna dan
berdaya guna, serta pengusahaan yang transparan dan terbuka.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 47
(1) Rencana umum jaringan jalan tol merupakan bagian tak terpisahkan dari rencana umum jaringan
jalan nasional.
(2) Pemerintah menetapkan rencana umum jaringan jalan tol.
(3) Menteri menetapkan suatu ruas jalan tol.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan rencana umum jaringan jalan tol sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 48
(1) Tarif tol dihitung berdasarkan kemampuan bayar pengguna jalan, besar keuntungan biaya operasi
kendaraan, dan kelayakan investasi.
(2) Tarif tol yang besarannya tercantum dalam perjanjian pengusahaan jalan tol ditetapkan
pemberlakuannya bersamaan dengan penetapan pengoperasian jalan tersebut sebagai jalan tol.
(3) Evaluasi dan penyesuaian tarif tol dilakukan setiap 2 (dua) tahun sekali berdasarkan pengaruh laju
inflasi.
(4) Pemberlakuan tarif tol awal dan penyesuaian tarif tol ditetapkan oleh Menteri.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif awal tol dan penyesuaian tarif tol sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima
Pembinaan Jalan Tol

Pasal 49
(1) Pembinaan jalan tol meliputi kegiatan penyusunan pedoman dan standar teknis, pelayanan,
pemberdayaan, serta penelitian dan pengembangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam
Pengusahaan Jalan Tol

Pasal 50
(1) Pengusahaan jalan tol dilaksanakan dengan maksud untuk mempercepat perwujudan jaringan jalan
bebas hambatan sebagai bagian jaringan jalan nasional.
(2) Pengusahaan jalan tol meliputi kegiatan pendanaan, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi,
pengoperasian, dan/atau pemeliharaan.
(3) Wewenang mengatur pengusahaan jalan tol dilaksanakan oleh BPJT sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (3).
(4) Pengusahaan jalan tol dilakukan oleh badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah
dan/atau badan usaha milik swasta.
(5) Dalam keadaan tertentu yang menyebabkan pengembangan jaringan jalan tol tidak dapat diwujudkan
oleh badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemerintah dapat mengambil langkah sesuai
dengan kewenangannya.
(6) Konsesi pengusahaan jalan tol diberikan dalam jangka waktu tertentu untuk memenuhi pengembalian
dana investasi dan keuntungan yang wajar bagi usaha jalan tol.
(7) Dalam hal konsesi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berakhir, Pemerintah menetapkan status
jalan tol yang dimaksud sesuai dengan kewenangannya.
(8) Dalam keadaan tertentu yang menyebabkan pengusahaan jalan tol tidak dapat diselesaikan
berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam perjanjian pengusahaan jalan tol, Pemerintah dapat
melakukan langkah penyelesaian untuk keberlangsungan pengusahaan jalan tol.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengusahaan jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat
(4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 51
(1) Pengusahaan jalan tol yang diberikan oleh Pemerintah kepada badan usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (4) dilakukan melalui pelelangan secara transparan dan terbuka.
(2) Pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meliputi sebagian atau seluruh lingkup
pengusahaan jalan tol.
(3) Badan usaha yang mendapatkan hak pengusahaan jalan tol berdasarkan hasil pelelangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengadakan perjanjian pengusahaan jalan tol dengan Pemerintah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelelangan pengusahaan jalan tol dan perjanjian pengusahaan jalan
tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 52
(1) Dalam hal pembangunan jalan tol melewati jalan yang telah ada, badan usaha menyediakan jalan
pengganti.
(2) Dalam hal pembangunan jalan tol berlokasi di atas jalan yang telah ada, jalan yang ada tersebut
harus tetap berfungsi dengan baik.
(3) Dalam hal pelaksanaan pembangunan jalan tol mengganggu jalur lalu lintas yang telah ada, badan
usaha terlebih dahulu menyediakan jalan pengganti sementara yang layak.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jalan pengganti, pembangunan jalan tol di atas jalan yang telah ada,
dan penyediaan jalan pengganti semen tara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 53
(1) Jalan tol hanya diperuntukkan bagi pengguna jalan yang menggunakan kendaraan bermotor.
(2) Jenis kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah.
(3) Penggunaan jalan tol selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan
persetujuan Pemerintah.
(4) Dalam hal lintas jaringan jalan umum yang ada tidak berfungsi sebagaimana mestinya, ruas jalan tol
alternatifnya dapat digunakan sementara menjadi jalan umum tanpa tol.
(5) Penetapan ruas jalan tol menjadi jalan umum tanpa tol sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dilakukan oleh Menteri.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengguna jalan tol, penetapan jenis kendaraan bermotor, dan
penggunaan jalan tol, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 54
Setiap orang dilarang mengusahakan suatu ruas jalan sebagai jalan tol sebelum adanya penetapan
Menteri.

Pasal 55
Pengguna jalan tol wajib menaati peraturan perundang-undangan tentang lalu lintas dan angkutan jalan,
peraturan perundang-undangan tentang jalan, serta peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 56
Setiap orang dilarang memasuki jalan tol, kecuali pengguna jalan tol dan petugas jalan tol.

Bagian Ketujuh
Pengawasan Jalan Tol

Pasal 57
(1) Pengawasan jalan tol meliputi kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan tertib pengaturan dan
pembinaan jalan tol serta pengusahaan jalan tol.
(2) Ketentuan mengenai pengawasan jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pengawasan
umum oleh Pemerintah dan pengawasan pengusahaan oleh BPJT diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB VI
PENGADAAN TANAH

Bagian Pertama
Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Jalan

Pasal 58
(1) Pengadaan tanah untuk pembangunan jalan bagi kepentingan umum dilaksanakan berdasarkan
rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
(2) Pembangunan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disosialisasikan kepada masyarakat,
terutama yang tanahnya diperlukan untuk pembangunan jalan.
(3) Pemegang hak atas tanah, atau pemakai tanah negara, atau masyarakat ulayat hukum adat, yang
tanahnya diperlukan untuk pembangunan jalan, berhak mendapat ganti kerugian.
(4) Pemberian ganti kerugian dalam rangka pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (3) dilaksanakan berdasarkan kesepakatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di
bidang pertanahan.

Pasal 59
(1) Apabila kesepakatan tidak tercapai dan lokasi pembangunan tidak dapat dipindahkan, dilakukan
pencabutan hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
(2) Pelaksanaan pembangunan jalan dapat dimulai pada bidang tanah yang telah diberi ganti kerugian
atau telah dicabut hak atas tanahnya.

Pasal 60
Untuk menjamin kepastian hukum, tanah yang sudah dikuasai oleh Pemerintah dalam rangka
pembangunan jalan didaftarkan untuk diterbitkan sertifikat hak atas tanahnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.

Bagian Kedua
Pengadaan Tanah untuk
Pembangunan Jalan Tol

Pasal 61
(1) Pemerintah melaksanakan pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol bagi kepentingan umum
berdasarkan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
(2) Pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan dana yang berasal dari
Pemerintah dan/atau badan usaha.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, Pasal 59, dan Pasal 60 berlaku pula bagi
pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol.

BAB VII
PERAN MASYARAKAT

Pasal 62
(1) Masyarakat berhak:
a. memberi masukan kepada penyelenggara jalan dalam rangka pengaturan, pembinaan, pembangunan,
dan pengawasan jalan;
b. berperan serta dalam penyelengaraan jalan;
c. memperoleh manfaat atas penyelenggaraan jalan sesuai dengan standar pelayanan minimal yang
ditetapkan;
d. memperoleh informasi mengenai penyelenggaraan jalan;
e. memperoleh ganti kerugian yang layak akibat kesalahan dalam pembangunan jalan; dan
f. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat pembangunan jalan.
(2) Masyarakat wajib ikut serta menjaga ketertiban dalam pemanfaatan fungsi jalan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dan kewajiban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 63
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi
jalan di dalam ruang manfaat jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) bulan atau denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00
(satu miliar lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi
jalan di dalam ruang milik jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi
jalan di dalam ruang pengawasan jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).
(4) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan penyelenggaraan jalan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling
banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(5) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan pengusahaan jalan tol sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda
paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
(6) Setiap orang selain pengguna jalan tol dan petugas jalan tol yang dengan sengaja memasuki jalan tol
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 14 (empat belas)
hari atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tigajuta rupiah).

Pasal 64
(1) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang
manfaat jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang milik
jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2
(dua) bulan atau denda paling banyak Rp 200.000,OOO,00 (dua ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang
pengawasan jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 12 (dua belas) hari atau denda paling banyak Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta
rupiah).
(4) Setiap orang selain pengguna jalan tol dan petugas jalan tol yang karena kelalaiannya memasuki
jalan tol, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 7 (tujuh)
hari atau denda paling banyak Rp 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).

Pasal 65
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 42, dan Pasal 54 dilakukan
badan usaha, pidana dikenakan terhadap badan usaha yang bersangkutan.
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan terhadap badan usaha,
pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda ditambah sepertiga denda yang dijatuhkan.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 66
(1) Pada saat berlakunya Undang-undang ini semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan jalan
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
(2) Badan hukum usaha negara jalan tol (PT Jasa Marga) diberi konsesi berdasarkan perhitungan
investasi atas seluruh mas jalan tol yang diusahakannya setelah dilakukan audit.
(3) Konsesi yang dimiliki badan usaha milik swasta di bidang jalan tol berdasarkan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 1980 dinyatakan tetap berlaku dan pengusahaannya disesuaikan dengan
Undang-undang ini.
(4) Penetapan pemberian konsesi pengusahaan jalan tol kepada badan usaha milik negara di bidang
jalan tol dan penyesuaian pengusahaan badan usaha milik swasta di bidang jalan tol dilaksanakan paling
lama 12 (dua belas) bulan sejak berlakunya Undang-undang ini.
(5) Pembentukan BPJT dilaksanakan dalam waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak berlakunya
Undang-undang ini.
(6) Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang-undang ini ditetapkan paling lama 12 (dua belas)
bulan sejak berlakunya Undang-undang ini.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 67
Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1980 tentang Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1980 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3186) dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 68
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 18 Oktober 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MEGAWATI SOEKARN0PUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 Oktober 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

BAMBANG KESOWO


Silahkan download versi PDF nya sbb:
jalan_(uu_38_thn_2004)_38.pdf
(ogi/Carapedia)
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.