Previous
Next
  • Home
  • »
  • Undang-Undang
  • »
  • 2000
  • » Undang-Undang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (UU 16 thn 2000)

2000

Undang-Undang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (UU 16 thn 2000)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan :
                        UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                              NOMOR 16 TAHUN 2000

                                         TENTANG

          PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983
             TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

                       DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                            PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam upaya untuk lebih memberikan keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada
Wajib Pajak serta agar lebih dapat diciptakan kepastian hukum, perlu dilakukan perubahan
terhadap Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994;

Mengingat :

   1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
      Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama
      Tahun 1999;
   2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
      Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
      Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
      Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 59,
      Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);




                                        Dengan Persetujuan

                      DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

                                          MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

       UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG
       NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA
       PERPAJAKAN.
                                              Pasal I

   Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
   Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983
   Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah
   dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia
   Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566) diubah sebagai
   berikut:

   1. Ketentuan Pasal 1 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

                                          "Pasal 1

   Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan:

1. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan
    perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan,
    termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.
2. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
    melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
    terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau
    Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
    persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau
    organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.
3. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan
    usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor
    barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar
    Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah
    Pabean.
4. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha sebagaimana dimaksud pada angka 3 yang
    melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang
    dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan
    perubahannya, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan
    Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan
    menjadi Pengusaha Kena Pajak
5. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai
    sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri
    atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
6. Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim atau
    jangka waktu lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan paling lama 3
    (tiga) bulan takwim.
7. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim kecuali bila Wajib Pajak
    menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim.
8. Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
9. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa
    Pajak, dalam Tahun Pajak atau dalam Bagian Tahun Pajak menurut ketentuan peraturan
    perundang-undangan perpajakan.
10. Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan
    penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak dan
    atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
    perpajakan.
11. Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.
12. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak
    atau Bagian Tahun Pajak.
13. Surat Setoran Pajak adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan
    pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara melalui Kantor Pos dan
    atau bank badan usaha milik Negara atau bank badan usaha milik Daerah atau tempat
    pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
14. Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak
    Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan atau Surat
    Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil.
15. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
    besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran
    pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.
16. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang
    menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
17. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
    jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada
    pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang.
18. Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah
    pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan
    tidak ada kredit pajak.
19. Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi
    administrasi berupa bunga dan atau denda.
20. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
21. Kredit pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat
    dikreditkan setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau
    setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari
    pajak yang terutang.
22. Kredit pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
    ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena Pajak
    Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak
    yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar
    atau terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan
    pajak, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
23. Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai
    keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh
    suatu hubungan kerja.
24. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah
    data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
    perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
    perundang-undangan perpajakan.
25. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas
    pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban
    Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
26. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
    mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
    penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa,
    yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi
    pada setiap Tahun Pajak berakhir.
27. Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan
    pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang
    kebenaran penulisan dan penghitungannya.
28. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang
    dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
    membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan
    tersangkanya.
29. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan
    tulis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam
    peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak,
    Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan atau
    Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan
    Ketetapan Pajak yang tidak benar, atau Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
    Kelebihan Pajak.
30. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat
    ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang
    diajukan oleh Wajib Pajak.
31. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat
    Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
32. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan
    yang menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib Pajak
    tertentu."

     2. Judul BAB II diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:




                                       "BAB II
                             NOMOR POKOK WAJIB PAJAK,
                         PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK,
                         SURAT PEMBERITAHUAN, DAN TATA CARA
                                 PEMBAYARAN PAJAK"

3. Ketentuan Pasal 2 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, sehingga keseluruhan
   Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:

                                            "Pasal 2

    (1) Setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak
    yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan
    kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.

    (2) Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-
    undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya
    pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau
    tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan
    menjadi Pengusaha Kena Pajak.

    (3) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan:

a. tempat pendaftaran dan atau tempat pelaporan usaha selain yang ditetapkan dalam ayat
   (1) dan ayat (2);
b. tempat pendaftaran pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
   tempat kegiatan usaha dilakukan, di samping tempat mendaftarkan diri sebagaimana
   dimaksud dalam ayat (1), bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu.

    (4) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau
    mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan, apabila Wajib Pajak atau
    Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud
    dalam ayat (1) dan atau ayat (2).
    (5) Jangka waktu pendaftaran dan pelaporan serta tata cara pendaftaran dan
    pengukuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
    termasuk penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau pencabutan Pengukuhan
    Pengusaha Kena Pajak diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak."

4. Ketentuan Pasal 3 diubah, dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat
   yaitu ayat (1a), serta di antara ayat (5) dan ayat (6) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat
   (5a), sehingga keseluruhan Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:

                                              "Pasal 3

    (1) Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia
    dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan
    menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat
    Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan.

    (1a) Bagi Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk
    menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang
    selain Rupiah, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dan
    mata uang selain Rupiah yang diizinkan, yang pelaksanaannya diatur dengan Keputusan
    Menteri Keuangan.

    (2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (1a) harus mengambil
    sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

    (3) Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah:

    a. untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah akhir
    Masa Pajak;

    b. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun
    Pajak.

    (4) Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka
    waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat
    (3) huruf b untuk paling lama 6 (enam) bulan.

    (5) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diajukan secara tertulis disertai
    Surat Pernyataan mengenai penghitungan sementara pajak terutang dalam 1 (satu)
    Tahun Pajak dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang.

    (5a) Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan sesuai batas waktu sebagaimana
    dimaksud dalam ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat
    Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), diterbitkan Surat
    Teguran.

    (6) Bentuk dan isi Surat Pemberitahuan serta keterangan dan atau dokumen yang harus
    dilampirkan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

    (7) Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan apabila tidak ditandatangani
    sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan
    atau dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (6).
    (8) Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Wajib
    Pajak Pajak Penghasilan tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
    Keuangan."

5. Ketentuan Pasal 4 ayat (4) diubah, dan ditambah 1 (satu) ayat yaitu ayat (5), sehingga
   keseluruhan Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:

                                           "Pasal 4

    (1) Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar,
    lengkap, jelas, dan menandatanganinya.

    (2) Dalam hal Wajib Pajak adalah badan, Surat Pemberitahuan harus ditandatangani
    oleh pengurus atau direksi.

    (3) Dalam hal Surat Pemberitahuan diisi dan ditandatangani oleh orang lain bukan Wajib
    Pajak, harus dilampiri surat kuasa khusus.

    (4) Pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan oleh Wajib Pajak yang
    wajib melakukan pembukuan harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca
    dan laporan laba rugi serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk
    menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.

    (5) Tata cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan diatur dengan
    Keputusan Menteri Keuangan."

6. Ketentuan Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 6 berbunyi
   sebagai berikut:

                                           "Pasal 6

    (1) Surat Pemberitahuan yang disampaikan langsung oleh Wajib Pajak ke kantor
    Direktorat Jenderal Pajak harus diberi tanggal penerimaan oleh pejabat yang ditunjuk
    untuk itu, sedangkan untuk Surat Pemberitahuan Tahunan harus diberikan juga bukti
    penerimaan.

    (2) Penyampaian Surat Pemberitahuan dapat dikirimkan melalui Kantor Pos secara
    tercatat atau dengan cara lain yang diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

    (3) Tanda bukti dan tanggal pengiriman untuk penyampaian Surat Pemberitahuan
    sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sepanjang Surat Pemberitahuan tersebut telah
    lengkap dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan."

7. Ketentuan Pasal 7 diubah dan dijadikan ayat (1), dan ditambah 1 (satu) ayat yaitu ayat
   (2), sehingga keseluruhan Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:

                                           "Pasal 7

    (1) Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat
    Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenakan sanksi
    administrasi berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk Surat
    Pemberitahuan Masa dan sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat
    Pemberitahuan Tahunan.

    (2) Pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
    tidak dilakukan terhadap Wajib Pajak tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan
    Menteri Keuangan."

8. Ketentuan Pasal 8 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, dan ditambah 1 (satu)
   ayat yaitu ayat (6), sehingga keseluruhan Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:

                                            "Pasal 8

    (1) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang
    telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu 2
    (dua) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak,
    dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.

    (2) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan yang
    mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan sanksi
    administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas jumlah pajak yang
    kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai
    dengan tanggal pembayaran karena pembetulan Surat Pemberitahuan itu.

    (3) Sekalipun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi sepanjang belum dilakukan
    tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib
    Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan
    sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai
    pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta
    sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 (dua) kali jumlah pajak yang kurang dibayar.

    (4) Sekalipun jangka waktu pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud
    dalam ayat (1) telah berakhir, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan
    surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan
    dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang
    telah disampaikan, yang mengakibatkan:

    a. pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar; atau

    b. rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil; atau

    c. jumlah harta menjadi lebih besar; atau

    d. jumlah modal menjadi lebih besar.

    (5) Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan
    ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
    beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak
    yang kurang dibayar, harus dilunasi sendiri oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri
    dimaksud disampaikan.

    (6) Sekalipun jangka waktu pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud
    dalam ayat (1) telah berakhir, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan
    tindakan pemeriksaan, Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan
    Pajak Penghasilan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima Keputusan
    Keberatan atau Putusan Banding mengenai surat ketetapan pajak tahun pajak
    sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dari ketetapan pajak yang
    diajukan keberatan atau Keputusan Keberatan yang diajukan banding, dalam jangka
    waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima Keputusan Keberatan atau Putusan Banding
    tersebut."

9. Ketentuan Pasal 9 diubah, dan di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat
   yaitu ayat (2a), sehingga keseluruhan Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:

                                            "Pasal 9

    (1) Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran
    pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak,
    paling lambat 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau Masa Pajak
    berakhir.

    (2) Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan
    Tahunan harus dibayar lunas paling lambat tanggal dua puluh lima bulan ketiga setelah
    Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan itu
    disampaikan.

    (2a) Apabila pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
    atau ayat (2) dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak,
    dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan yang
    dihitung dari jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian
    dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

    (3) Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak
    Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
    Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
    bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.

    (4) Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan
    untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran
    sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) paling lama 12 (dua belas) bulan, yang
    pelaksanaannya ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak."

    10. Ketentuan Pasal 10 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 10 berbunyi sebagai
    berikut:

                                           "Pasal 10

    (1) Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang di kas negara
    melalui Kantor Pos dan atau bank badan usaha milik Negara atau bank badan usaha
    milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

    (2) Tata cara pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporannya serta tata cara
    mengangsur dan menunda pembayaran pajak diatur dengan Keputusan Menteri
    Keuangan. "
       11. Ketentuan Pasal 11 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 11 berbunyi sebagai
       berikut:

                                              "Pasal 11

       (1) Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud
       dalam Pasal 17, Pasal 17B, atau Pasal 17C dikembalikan, namun apabila ternyata Wajib
       Pajak mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu
       utang pajak tersebut.

       (2) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
       dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian
       kelebihan pembayaran pajak sehubungan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih
       Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, atau sejak diterbitkannya Surat
       Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B, atau sejak
       diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
       sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C.

       (3) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu 1
       (satu) bulan, Pemerintah memberikan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas
       kelambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak, dihitung dari saat berlakunya
       batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sampai dengan saat dilakukan
       pembayaran kelebihan.

       (4) Tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur
       dengan Keputusan Menteri Keuangan. "

   12. Ketentuan Pasal 12 diubah dan dijadikan ayat (1), dan ditambah 2 (dua) ayat yaitu ayat
       (2) dan ayat (3), sehingga keseluruhan Pasal 12 berbunyi sebagai berikut:

                                              "Pasal 12

       (1) Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan
       peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada
       adanya surat ketetapan pajak.

       (2) Jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh
       Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-
       undangan perpajakan.

       (3) Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti bahwa jumlah pajak yang
       terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak
       benar, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak terutang yang
       semestinya."

13. Ketentuan Pasal 14 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:

                                              "Pasal 14

       (1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:

   a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. Dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak
   sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;
c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga;
d. Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai
   1984 dan perubahannya tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan
   sebagai Pengusaha Kena Pajak;
e. Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi membuat
   Faktur Pajak;
f. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak membuat atau
   membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya Faktur
   Pajak.

   (2) Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan
   hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak.

   (3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana
   dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administrasi
   berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat)
   bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak
   sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.

   (4) Terhadap Pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
   ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f, masing-masing dikenakan sanksi administrasi
   berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak."

   14. Ketentuan Pasal 15 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah, sehingga keseluruhan
   Pasal 15 berbunyi sebagai berikut:

                                          "Pasal 15

   (1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
   Tambahan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sesudah saat pajak terutang,
   berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, apabila ditemukan data
   baru dan atau data yang semula belum terungkap yang mengakibatkan penambahan
   jumlah pajak yang terutang.

   (2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
   Tambahan, ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%
   (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.

   (3) Kenaikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dikenakan apabila Surat
   Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis
   dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum
   mulai melakukan tindakan pemeriksaan.

   (4) Apabila jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah
   lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan ditambah
   sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari
   jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak setelah jangka
   waktu 10 (sepuluh) tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang
   perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
   tetap."
15. Ketentuan Pasal 16 diubah dan dijadikan ayat (1), dan ditambah 2 (dua) ayat yaitu ayat
    (2) dan ayat (3) sehingga keseluruhan Pasal 16 berbunyi sebagai berikut:

                                           "Pasal 16

    (1) Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat
    membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Keberatan,
    Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan
    Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar, atau Surat Keputusan
    Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, yang dalam penerbitannya terdapat
    kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu
    dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.

    (2) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal
    permohonan diterima, harus memberi keputusan atas permohonan pembetulan yang
    diajukan.

    (3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) telah lewat, Direktur
    Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka permohonan pembetulan yang
    diajukan tersebut dianggap diterima. "

    16. Ketentuan Pasal 17B diubah, sehingga keseluruhan Pasal 17B berbunyi sebagai
    berikut:

                                          "Pasal 17B

    (1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan
    pengembalian kelebihan pembayaran pajak selain permohonan pengembalian kelebihan
    pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud
    dalam Pasal 17C harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lambat 12 (dua belas)
    bulan sejak surat permohonan diterima, kecuali untuk kegiatan tertentu ditetapkan lain
    dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

    (2) Apabila setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Direktur
    Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan
    pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus
    diterbitkan dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut
    berakhir.

    (3) Apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkan dalam jangka waktu
    sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kepada Wajib Pajak diberikan imbalan
    bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu
    sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan
    Pajak Lebih Bayar."

    17. Di antara Pasal 17B dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) Pasal yaitu Pasal 17C, yang
    berbunyi sebagai berikut:

                                          "Pasal 17C

    (1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan
    pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu,
    menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling
lambat 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima untuk Pajak Penghasilan dan paling
lambat 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima untuk Pajak Pertambahan Nilai.

(2) Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan.

(3) Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

(4) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan menerbitkan surat ketetapan pajak, setelah
melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.

(5) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4),
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah
kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%
(seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak."

18. Ayat (2) Pasal 18 dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:

                                      "Pasal 18

(1) Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah, merupakan dasar penagihan pajak.

(2) dihapus."

19. Ketentuan Pasal 19 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 19 berbunyi sebagai
berikut:

                                      "Pasal 19

(1) Apabila atas pajak yang terutang menurut Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, atau
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan tambahan jumlah pajak yang harus
dibayar berdasarkan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, atau
Putusan Banding, pada saat jatuh tempo pembayaran tidak atau kurang dibayar, maka
atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu, dikenakan sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari
tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pembayaran atau tanggal diterbitkannya
Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

(2) Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak,
juga dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, dan bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan.

(3) Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat Pemberitahuan
dan ternyata penghitungan sementara pajak yang terutang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (5) kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang, maka atas
kekurangan pembayaran pajak tersebut, dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen)
sebulan yang dihitung dari saat berakhirnya kewajiban menyampaikan Surat
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b sampai dengan
    tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut, dan bagian dari bulan dihitung
    penuh 1 (satu) bulan."

20. Ketentuan Pasal 20 diubah dan dijadikan ayat (2), dan ditambah 2 (dua) ayat yaitu ayat
    (1) dan ayat (3), sehingga keseluruhan Pasal 20 berbunyi sebagai berikut:

                                            "Pasal 20

    (1) Jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak
    Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan
    Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah
    pajak yang harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai
    dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ditagih dengan
    Surat Paksa.

    (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penagihan
    seketika dan sekaligus dilakukan dalam hal:

a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat
   untuk itu;
b. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam
   rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang
   dilakukannya di Indonesia;
c. terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya,
   atau menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan
   perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk
   lainnya;
d. badan usaha akan dibubarkan oleh Negara; atau
e. terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-
   tanda kepailitan.

    (3) Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
    peraturan perundang-undangan yang berlaku."

21. Ketentuan Pasal 21 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, sehingga
    keseluruhan Pasal 21 berbunyi sebagai berikut:

                                            "Pasal 21

    (1) Negara mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pajak atas barang-barang milik
    Penanggung Pajak.

    (2) Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi
    pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan
    pajak.

    (3) Hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali
    terhadap:

a. biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu
   barang bergerak dan atau barang tidak bergerak;
b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud;
c. biaya perkara, yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu
   warisan.

   (4) Hak mendahulu itu hilang setelah lampau waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal
   diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan
   Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
   Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
   bertambah, kecuali apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut, Surat Paksa
   untuk membayar itu diberitahukan secara resmi, atau diberikan penundaan pembayaran.

   (5) Dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi, jangka waktu 2
   (dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dihitung sejak tanggal
   pemberitahuan Surat Paksa, atau dalam hal diberikan penundaan pembayaran jangka
   waktu 2 (dua) tahun tersebut ditambah dengan jangka waktu penundaan pembayaran."

   22. Ketentuan Pasal 22 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 22 berbunyi sebagai
   berikut:

                                           "Pasal 22

   (1) Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya
   penagihan pajak, daluwarsa setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak
   saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun
   Pajak yang bersangkutan.

   (2) Daluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tertangguh
   apabila:

a. diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa;
b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung;
c. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
   ayat (5) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud
   dalam Pasal 15 ayat (4)."

23. Ketentuan Pasal 23 ayat (2) diubah, dan ayat (1) dan ayat (3) dihapus, sehingga
    keseluruhan Pasal 23 berbunyi sebagai berikut:

                                           "Pasal 23

   (1) dihapus.

   (2) Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:

a. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman
   Lelang;
b. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang
   ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26;
c. Keputusan pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 yang berkaitan dengan
   Surat Tagihan Pajak;
d. Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang berkaitan dengan Surat
   Tagihan Pajak;

   hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak.
     (3) dihapus."

     24. Ketentuan Pasal 24 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 24 berbunyi sebagai
     berikut:

                                            "Pasal 24

     Tata cara penghapusan piutang pajak dan penetapan besarnya penghapusan diatur
     dengan Keputusan Menteri Keuangan."

     25. Ketentuan Pasal 25 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, sehingga keseluruhan
     Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:

                                            "Pasal 25

     (1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas
     suatu:

a.   Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
b.   Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
c.   Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
d.   Surat Ketetapan Pajak Nihil;
e.   Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan
     perundang-undangan perpajakan.

     (2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan
     jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah
     rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas.

     (3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat,
     tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kecuali
     apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi
     karena keadaan di luar kekuasaannya.

     (4) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
     ayat (2), dan ayat (3) tidak dianggap sebagai surat keberatan, sehingga tidak
     dipertimbangkan.

     (5) Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal
     Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman surat keberatan melalui pos tercatat
     menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.

     (6) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur
     Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar
     pengenaan pajak, penghitungan rugi, pemotongan atau pemungutan pajak.

     (7) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan
     penagihan pajak."

26. Ketentuan Pasal 27 ayat (2), ayat (3), dan ayat (6) diubah, dan ayat (4) dihapus,
    sehingga keseluruhan Pasal 27 berbunyi sebagai berikut:

                                            "Pasal 27
   (1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan
   pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur
   Jenderal Pajak.

   (2) Putusan badan peradilan pajak bukan merupakan keputusan tata usaha negara.

   (3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis dalam
   bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan
   diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan tersebut.

   (4) dihapus.

   (5) Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan
   pelaksanaan penagihan pajak.

   (6) Badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan Pasal 23 ayat (2)
   diatur dengan undang-undang."

27. Ketentuan Pasal 27A diubah dan dijadikan ayat (1), dan ditambah 2 (dua) ayat yaitu ayat
    (2) dan ayat (3), sehingga keseluruhan Pasal 27A berbunyi sebagai berikut:

                                          "Pasal 27A

   (1) Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding diterima sebagian atau
   seluruhnya, sepanjang utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan
   Pajak Kurang Bayar dan atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan telah
   dibayar yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, maka kelebihan pembayaran
   dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk
   paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang
   menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan
   Keberatan atau Putusan Banding.

   (2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga diberikan atas
   pembayaran lebih sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam
   Pasal 14 ayat (4) dan atau bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
   berdasarkan Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, sebagai
   akibat diterbitkan Keputusan Keberatan atau Putusan Banding yang menerima sebagian
   atau seluruh permohonan Wajib Pajak.

   (3) Tata cara penghitungan pengembalian kelebihan bayar dan pemberian imbalan
   bunga diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan."

   28. Ketentuan Pasal 28 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 28 berbunyi sebagai
   berikut:

                                           "Pasal 28

   (1) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan
   Wajib Pajak badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan.

   (2) Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud
   dalam ayat (1) tetapi wajib melakukan pencatatan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang
   melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menurut ketentuan peraturan
       perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan
       menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi
       yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

       (3) Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan
       itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.

       (4) Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan
       menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam
       bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.

       (5) Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau
       stelsel kas.

       (6) Perubahan terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku, harus mendapat
       persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.

       (7) Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban,
       modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung
       besarnya pajak yang terutang.

       (8) Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat
       diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan.

       (9) Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari data yang dikumpulkan
       secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan atau penghasilan bruto
       sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang
       bukan objek pajak dan atau yang dikenakan pajak yang bersifat final.

       (10) Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan dan melakukan
       pencatatan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang tidak wajib menyampaikan Surat
       Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

       (11) Buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan
       atau pencatatan dan dokumen lain wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di
       Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau di tempat tinggal bagi Wajib Pajak orang pribadi,
       atau di tempat kedudukan bagi Wajib Pajak badan.

       (12) Bentuk dan tata cara pencatatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur
       dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak."

29. Ketentuan Pasal 29 ayat (2) dan ayat (4) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 29 berbunyi
sebagai berikut:

                                               "Pasal 29

       (1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji
       kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka
       melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

       (2) Untuk keperluan pemeriksaan petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal
       pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan serta memperlihatkannya
       kepada Wajib Pajak yang diperiksa.
    (3) Wajib Pajak yang diperiksa wajib:

a. memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi
   dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh,
   kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan
   memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
c. memberikan keterangan yang diperlukan.

    (4) Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta
    keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan,
    maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan
    pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)."

      30. Ketentuan Pasal 31 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 31 berbunyi sebagai
    berikut:

                                            "Pasal 31

    Tata cara pemeriksaan diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan."

31. Ketentuan Pasal 32 ayat (2) dan ayat (4) diubah, dan di antara ayat (3) dan ayat (4)
    disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (3a), sehingga keseluruhan Pasal 32 berbunyi sebagai
    berikut:

                                            "Pasal 32

    (1) Dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan
    perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili, dalam hal:

a. badan oleh pengurus;
b. badan dalam pembubaran atau pailit oleh orang atau badan yang dibebani untuk
   melakukan pemberesan;
c. suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya
   atau yang mengurus harta peninggalannya;
d. anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau
   pengampunya.

    (2) Wakil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggungjawab secara pribadi dan
    atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat
    membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak, bahwa mereka dalam
    kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak
    yang terutang tersebut.

    (3) Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus
    untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan
    perundang-undangan perpajakan.

    (3a) Kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus memenuhi persyaratan yang
    ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
       (4) Termasuk dalam pengertian pengurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a
       adalah orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan
       dan atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan."

        32. Ketentuan Pasal 33 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 33 berbunyi sebagai
       berikut:

                                               "Pasal 33

       Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud
       dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya
       bertanggungjawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat
       menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar."

   33. Ketentuan Pasal 34 diubah, dan di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat
       yaitu ayat (2a), sehingga keseluruhan Pasal 34 berbunyi sebagai berikut:

                                               "Pasal 34

       (1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang
       diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau
       pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

       (2) Larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli
       yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan
       ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

       (2a) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
       adalah :

   a. Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang
      pengadilan.
   b. Pejabat dan tenaga ahli yang memberikan keterangan kepada pihak lain yang ditetapkan
      oleh Menteri Keuangan.

       (3) Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang memberi izin tertulis
       kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan tenaga-tenaga ahli
       sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) supaya memberikan keterangan, memperlihatkan
       bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuknya.

       (4) Untuk kepentingan pemeriksaan di Pengadilan dalam perkara pidana atau perdata
       atas permintaan Hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata,
       Menteri Keuangan dapat memberi izin tertulis untuk meminta kepada pejabat
       sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam
       ayat (2), bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.

       (5) Permintaan Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), harus menyebutkan nama
       tersangka atau nama tergugat, keterangan-keterangan yang diminta serta kaitan antara
       perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta
       tersebut."

 34. Ketentuan Pasal 36 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 36 berbunyi sebagai
berikut:
                                           "Pasal 36

   (1) Direktur Jenderal Pajak dapat:

a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan
   kenaikan yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
   dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena
   kesalahannya;
b. mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar.

   (2) Tata cara pengurangan, penghapusan, atau pembatalan utang pajak sebagaimana
   dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan."

   35. Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 1 (satu) Pasal yaitu Pasal 36A, yang
   berbunyi sebagai berikut:

                                           "Pasal 36A

   Apabila petugas pajak dalam menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan
   Undang-undang perpajakan yang berlaku sehingga merugikan negara, maka petugas
   pajak yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
   perundang-undangan yang berlaku."

   36. Ketentuan Pasal 37 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 37 berbunyi sebagai
   berikut:

                                           "Pasal 37

   Perubahan besarnya imbalan bunga dan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan
   kenaikan, diatur dengan Peraturan Pemerintah."

   37. Ketentuan Pasal 38 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 38 berbunyi sebagai
   berikut:

                                           "Pasal 38

   Setiap orang yang karena kealpaannya:

a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau
   melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,

   sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan
   pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling tinggi 2 (dua) kali
   jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar."

   38. Ketentuan Pasal 39 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 39 berbunyi sebagai
   berikut:

                                           "Pasal 39

   (1) Setiap orang yang dengan sengaja:
a. tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor
   Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud
   dalam Pasal 2; atau
b. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
c. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau
   tidak lengkap; atau
d. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; atau
e. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan
   seolah-olah benar; atau
f. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak
   meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau
g. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut,

   sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan
   pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah
   pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

   (2) Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilipatkan 2 (dua) apabila seseorang
   melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun,
   terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.

   (3) Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
   menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau
   Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a,
   atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar
   atau tidak lengkap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dalam rangka
   mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak, dipidana dengan
   pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah
   restitusi yang dimohon dan atau kompensasi yang dilakukan oleh Wajib Pajak."

   39. Ketentuan Pasal 41 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 41 berbunyi sebagai
   berikut:

                                          "Pasal 41

   (1) Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal
   sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, dipidana dengan pidana kurungan paling lama
   1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah).

   (2) Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang
   menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
   34, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
   Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

   (3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
   (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar."

   40. Ketentuan Pasal 41A diubah, sehingga keseluruhan Pasal 41A berbunyi sebagai
   berikut:

                                         "Pasal 41A
   Setiap orang yang menurut Pasal 35 Undang-undang ini wajib memberi keterangan atau
   bukti yang diminta tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau
   memberi keterangan atau bukti yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling
   lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)."

   41. Ketentuan Pasal 41B diubah, sehingga keseluruhan Pasal 41B berbunyi sebagai
   berikut:

                                         "Pasal 41B

   Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak
   pidana di bidang perpajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
   dan denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)."

   42. Ketentuan Pasal 44 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 44 berbunyi sebagai
   berikut:

                                          "Pasal 44

   (1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak diberi
   wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang
   perpajakan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang
   berlaku.

   (2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:

a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan
   dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut
   menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan
   tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di
   bidang perpajakan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan
   tindak pidana di bidang perpajakan;
d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan
   tindak pidana di bidang perpajakan;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan,
   dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana
   di bidang perpajakan;
g. menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat
   pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau
   dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau
   saksi;
j. menghentikan penyidikan;
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang
   perpajakan menurut hukum yang bertanggungjawab.

   (3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya
   penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui
   Penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur
   dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku."
        43. Di antara Pasal 47 dan BAB XI disisipkan 1 (satu) Pasal yaitu Pasal 47A, yang
       berbunyi sebagai berikut:

                                             "Pasal 47A

       Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan yang belum diselesaikan, diberlakukan
       ketentuan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
       Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun
       1994."

                                              Pasal II

       Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang
       Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan".

                                              Pasal III

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




       Disahkan di Jakarta
       pada tanggal 2 Agustus 2000

       PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

       ttd

       ABDURRAHMAN WAHID

       Diundangkan di Jakarta
       pada tanggal 2 Agustus 2000

       SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

       ttd

       DJOHAN EFFENDI

              LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 126


Silahkan download versi PDF nya sbb:
perubahan_kedua_atas__nomor_6_tahun_1983_tentang_16.pdf
(ogi/Carapedia)
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.
FIND US ON FACEEBOOK