Previous
Next
  • Home
  • »
  • Undang-Undang
  • »
  • 2006
  • » Undang-Undang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan (UU 17 thn 2006)

2006

Undang-Undang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan (UU 17 thn 2006)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan :
                  UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                          NOMOR 17 TAHUN 2006

                                 TENTANG

                    PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
                NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN


                  DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                     PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang   :    a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan
                    negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
                    Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
                    bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang
                    aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan;

                 b. bahwa beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor
                    10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sudah tidak sesuai
                    dengan penyelenggaraan kepabeanan sehingga perlu
                    dilakukan perubahan;

                 c. bahwa dalam upaya untuk lebih menjamin kepastian
                    hukum,     keadilan,   transparansi  dan  akuntabilitas
                    pelayanan publik, untuk mendukung upaya peningkatan
                    dan pengembangan perekonomian nasional yang berkaitan
                    dengan perdagangan global, untuk mendukung kelancaran
                    arus barang dan meningkatkan efektivitas pengawasan
                    atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah
                    pabean Indonesia dan lalu lintas barang tertentu dalam
                    daerah pabean Indonesia, serta untuk mengoptimalkan
                    pencegahan dan penindakan penyelundupan, perlu
                    pengaturan     yang  lebih   jelas  dalam  pelaksanaan
                    kepabeanan;

                 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
                    dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk
                    Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang
                    Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.


                                                            Mengingat : . . .
Mengingat    :   1. Pasal  5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23 Undang-
                    Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
                 2. Undang-Undang      Nomor 7 Tahun         1994 tentang
                    Pengesahan Agreement Establishing the World Trade
                    Organization (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
                    1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik
                    Indonesia Nomor 3564);
                 3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun           1995 tentang
                    Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
                    1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik
                    Indonesia Tahun 1995, Nomor 3612);


                           Dengan Persetujuan Bersama

            DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
                                      dan
                       PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

                                 MEMUTUSKAN:
Menetapkan :     UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-
                 UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN.

                                     Pasal I
                 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
                 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik
                 Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran
                 Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 3612) diubah
                 sebagai berikut:
                 1.   Ketentuan Pasal 1 angka 1 dan angka 17 diubah dan
                      ditambah 4 (empat) angka, yaitu angka 15a, angka 19,
                      angka 20, dan angka 21 sehingga Pasal 1 berbunyi
                      sebagai berikut:

                                    Pasal 1

                      Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
                      1.   Kepabeanan    adalah    segala    sesuatu   yang
                           berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas
                           barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta
                           pemungutan bea masuk dan bea keluar.

                                                              2. Daerah . . .
2.   Daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia
     yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang
     udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di
     Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di
     dalamnya berlaku Undang-Undang ini.
3.   Kawasan pabean adalah kawasan dengan batas-
     batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau
     tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang
     yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan
     Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
4.   Kantor pabean adalah kantor dalam lingkungan
     Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat
     dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan
     ketentuan Undang-Undang ini.
5.   Pos pengawasan pabean adalah tempat yang
     digunakan oleh pejabat bea dan cukai untuk
     melakukan pengawasan terhadap lalu lintas barang
     impor dan ekspor.
6.   Kewajiban pabean adalah semua kegiatan di bidang
     kepabeanan yang wajib dilakukan untuk memenuhi
     ketentuan dalam Undang-Undang ini.
7.   Pemberitahuan pabean adalah pernyataan yang
     dibuat oleh orang dalam rangka melaksanakan
     kewajiban pabean dalam bentuk dan syarat yang
     ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
8.   Menteri    adalah   Menteri   Keuangan      Republik
     Indonesia.
9.   Direktur jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan
     Cukai.
10. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah unsur
    pelaksana tugas pokok dan fungsi Departemen
    Keuangan di bidang kepabeanan dan cukai.
11. Pejabat bea dan cukai adalah pegawai Direktorat
    Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan
    tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu
    berdasarkan Undang-Undang ini.
12. Orang adalah     orang   perseorangan    atau   badan
    hukum.


                                            13. Impor . . .
13. Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke
    dalam daerah pabean.
14. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari
    daerah pabean.
15. Bea masuk adalah pungutan negara berdasarkan
    Undang-Undang ini yang dikenakan terhadap barang
    yang diimpor.
15a. Bea keluar adalah pungutan negara berdasarkan
     Undang-Undang ini yang dikenakan terhadap barang
     ekspor.
16. Tempat penimbunan sementara adalah bangunan
    dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan
    dengan itu di kawasan pabean untuk menimbun
    barang, sementara menunggu pemuatan atau
    pengeluarannya.
17. Tempat penimbunan berikat adalah bangunan,
    tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan
    tertentu yang digunakan untuk menimbun barang
    dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan
    penangguhan bea masuk.
18. Tempat penimbunan pabean adalah bangunan
    dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan
    dengan itu, yang disediakan oleh pemerintah di
    kantor pabean, yang berada di bawah pengelolaan
    Direktorat  Jenderal  Bea   dan     Cukai   untuk
    menyimpan barang yang dinyatakan tidak dikuasai,
    barang yang dikuasai negara, dan barang yang
    menjadi milik negara berdasarkan Undang-Undang
    ini.
19. Barang tertentu adalah barang yang ditetapkan oleh
    instansi teknis terkait sebagai barang yang
    pengangkutannya di dalam daerah pabean diawasi.
20. Audit kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan
    laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang
    menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang
    berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data
    elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di
    bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam
    rangka      pelaksanaan     ketentuan    peraturan
    perundang-undangan di bidang kepabeanan.


                                          21. Tarif . . .
     21. Tarif adalah klasifikasi barang dan pembebanan bea
         masuk atau bea keluar.


2.   Ketentuan Pasal 2 ayat (2) diubah sehingga Pasal 2
     berbunyi sebagai berikut:

                    Pasal 2

           Barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean
     (1)
           diperlakukan sebagai barang impor dan terutang bea
           masuk.
           Barang yang telah dimuat di sarana pengangkut
     (2)
           untuk dikeluarkan dari daerah pabean dianggap
           telah diekspor dan diperlakukan sebagai barang
           ekspor.
           Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan
     (3)
           merupakan barang ekspor dalam hal dapat
           dibuktikan bahwa barang tersebut ditujukan untuk
           dibongkar di suatu tempat dalam daerah pabean.


3.   Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 pasal yaitu
     Pasal 2A yang berbunyi sebagai berikut:

                     Pasal 2A
           Terhadap barang ekspor dapat dikenakan bea keluar.
     (1)
           Bea keluar dikenakan     terhadap    barang    ekspor
     (2)
           dengan tujuan untuk:
           a. menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri;
           b. melindungi kelestarian sumber daya alam;
           c. mengantisipasi kenaikan harga yang cukup
              drastis dari komoditi ekspor tertentu di pasaran
              internasional; atau
           d. menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di
              dalam negeri.
           Ketentuan mengenai pengenaan bea keluar terhadap
     (3)
           barang ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
           diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

                                               4. Ketentuan . . .
4.   Ketentuan Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) diubah sehingga
     Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:

                      Pasal 3

           Terhadap    barang    impor   dilakukan   pemeriksaan
     (1)
           pabean.
           Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada
     (2)
           ayat  (1)  meliputi    penelitian dokumen dan
           pemeriksaan fisik barang.
           Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada
     (3)
           ayat (2) dilakukan secara selektif.
           Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan pabean
     (4)
           sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
           lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.


5.   Pasal 4 tetap dengan perubahan penjelasan Pasal 4
     sehingga    Penjelasan Pasal 4 menjadi sebagaimana
     ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal Undang-
     Undang ini.


6.   Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal,
     yaitu Pasal 4A yang berbunyi sebagai berikut:

                      Pasal 4A

           Terhadap barang tertentu dilakukan pengawasan
     (1)
           pengangkutannya dalam daerah pabean.
           Instansi teknis terkait, melalui menteri yang
     (2)
           membidangi perdagangan, memberitahukan jenis
           barang yang ditetapkan sebagai barang tertentu
           kepada Menteri.
           Ketentuan mengenai pengawasan pengangkutan
     (3)
           barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
           diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
           peraturan pemerintah.



                                               7. Ketentuan . . .
7.   Ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) diubah sehingga
     Pasal 5 berbunyi sebagai berikut:

                    Pasal 5

           Pemenuhan kewajiban pabean dilakukan di kantor
     (1)
           pabean atau tempat lain yang disamakan dengan
           kantor pabean dengan menggunakan pemberitahuan
           pabean.
           Pemberitahuan pabean disampaikan kepada pejabat
     (2)
           bea dan cukai di kantor pabean atau tempat lain
           yang disamakan dengan kantor pabean.
           Untuk pelaksanaan dan pengawasan pemenuhan
     (3)
           kewajiban pabean, ditetapkan kawasan pabean,
           kantor pabean, dan pos pengawasan pabean.
           Penetapan kawasan pabean, kantor pabean, dan pos
     (4)
           pengawasan pabean dilakukan oleh Menteri.



8.   Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal,
     yaitu Pasal 5A yang berbunyi sebagai berikut:

                   Pasal 5A

           Pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud
     (1)
           dalam Pasal 5 ayat (2) dapat disampaikan dalam
           bentuk tulisan di atas formulir atau dalam bentuk
           data elektronik.
           Penetapan kantor pabean tempat penyampaian
     (2)
           pemberitahuan pabean dalam bentuk data elektronik
           dilakukan oleh Menteri.
           Data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
     (3)
           merupakan alat bukti yang sah menurut Undang-
           Undang ini.
           Ketentuan    mengenai   tata  cara    sebagaimana
     (4)
           dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
           atau berdasarkan peraturan menteri.



                                            9. Ketentuan . . .
9.   Ketentuan Pasal 6 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat,
     sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:

                    Pasal 6

           Terhadap barang yang diimpor atau diekspor berlaku
     (1)
           segala ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-
           Undang ini.
           Dalam hal pengawasan pengangkutan barang
     (2)
           tertentu tidak diatur oleh instansi teknis terkait,
           pengaturannya didasarkan pada ketentuan Undang-
           Undang ini.

10. Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 1 (satu) pasal,
    yaitu Pasal 6A yang berbunyi sebagai berikut:

                   Pasal 6A

           Orang yang akan melakukan pemenuhan kewajiban
     (1)
           pabean wajib melakukan registrasi ke Direktorat
           Jenderal Bea dan Cukai untuk mendapat nomor
           identitas dalam rangka akses kepabeanan.
           Dikecualikan     dari    ketentuan sebagaimana
     (2)
           dimaksud    pada ayat (1) orang yang melakukan
           pemenuhan kewajiban pabean tertentu.
           Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
     (3)
           dan ayat (2) diatur lebih      lanjut dengan atau
           berdasarkan peraturan menteri.

11. Judul BAB II diubah sehingga BAB II berbunyi sebagai
    berikut:

               BAB II
     PENGANGKUTAN BARANG, IMPOR,
            DAN EKSPOR

12. Judul BAB II Bagian Pertama diubah sehingga BAB II
    Bagian Pertama berbunyi sebagai berikut:

                Bagian Pertama
             Pengangkutan Barang

                                                 13. Judul . . .
13. Judul BAB II Bagian Pertama Paragraf 1 diubah sehingga
    BAB II Bagian Pertama Paragraf 1 berbunyi sebagai
    berikut:

                   Paragraf 1
          Kedatangan Sarana Pengangkut


14. Pasal 7 dihapus.


15. Di antara Pasal 7 dan BAB II Bagian Pertama Paragraf 2
    disisipkan 1 (satu) pasal yaitu Pasal 7A yang berbunyi
    sebagai berikut:

                    Pasal 7A

           Pengangkut     yang   sarana   pengangkutnya    akan
    (1)
           datang dari:
           a. luar daerah pabean; atau
           b. dalam daerah pabean yang mengangkut barang
              impor, barang ekspor, dan/atau barang asal
              daerah pabean yang diangkut ke tempat lain
              dalam daerah pabean melalui luar daerah pabean,
           wajib memberitahukan rencana kedatangan sarana
           pengangkut ke kantor pabean tujuan sebelum
           kedatangan sarana pengangkut, kecuali sarana
           pengangkut darat.
           Pengangkut yang sarana pengangkutnya memasuki
    (2)
           daerah    pabean wajib mencantumkan barang
           sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
           manifesnya.
           Pengangkut yang sarana pengangkutnya datang
    (3)
           dari luar daerah pabean atau datang dari dalam
           daerah   pabean   dengan   mengangkut   barang
           sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
           menyerahkan pemberitahuan pabean mengenai
           barang yang diangkutnya sebelum melakukan
           pembongkaran.
           Dalam hal tidak segera dilakukan pembongkaran,
    (4)
           kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
           dilaksanakan:

                                                  a. paling . . .
          a. paling lambat 24 (dua puluh empat) jam sejak
             kedatangan sarana pengangkut, untuk sarana
             pengangkut yang melalui laut;
          b. paling lambat 8 (delapan) jam sejak kedatangan
             sarana pengangkut, untuk sarana pengangkut
             yang melalui udara; atau
          c. pada saat kedatangan sarana pengangkut, untuk
             sarana pengangkut yang melalui darat.
          Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
    (5)
          ayat (4) dikecualikan bagi pengangkut yang berlabuh
          paling lama 24 (dua puluh empat) jam dan tidak
          melakukan pembongkaran barang.
          Dalam hal      sarana pengangkut dalam keadaan
    (6)
          darurat, pengangkut dapat membongkar barang
          impor terlebih dahulu dan wajib:
          a. melaporkan keadaan darurat tersebut ke kantor
             pabean terdekat pada kesempatan pertama; dan
          b. menyerahkan pemberitahuan  pabean paling
             lambat 72 (tujuh puluh dua) jam sesudah
             pembongkaran.
          Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan
    (7)
          sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi
          administrasi  berupa      denda     paling    sedikit
          Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak
          Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
          Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan
    (8)
          sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), atau
          ayat (6) dikenai sanksi administrasi berupa denda
          paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
          dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
          rupiah).
          Ketentuan     sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
    (9)
          ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan
          atau berdasarkan peraturan menteri.

16. Judul BAB II Bagian Pertama Paragraf 2 diubah sehingga
    BAB II Bagian Pertama Paragraf 2 berbunyi sebagai
    berikut:

                 Paragraf 2
            Pengangkutan Barang

                                             17. Pasal 8 . . .
17. Pasal 8 dihapus.


18. Di antara Pasal 8 BAB II Bagian Pertama Paragraf 3
    disisipkan 3 (tiga) pasal yaitu Pasal 8A, Pasal 8B, dan
    Pasal 8C yang berbunyi sebagai berikut:

                   Pasal 8A

    (1)   Pengangkutan        barang    impor   dari  tempat
          penimbunan sementara atau tempat penimbunan
          berikat   dengan    tujuan    tempat   penimbunan
          sementara atau tempat penimbunan berikat lainnya
          wajib diberitahukan ke kantor pabean.
    (2)   Pengusaha atau importir yang telah memenuhi
          kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
          tetapi jumlah barang impor yang dibongkar kurang
          dari yang diberitahukan dalam pemberitahuan
          pabean dan tidak dapat membuktikan bahwa
          kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya,
          wajib membayar bea masuk atas barang impor yang
          kurang dibongkar dan dikenai sanksi administrasi
          berupa denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua
          puluh lima juta rupiah) dan paling banyak
          Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
          rupiah).
    (3)   Pengusaha atau importir yang telah memenuhi
          kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
          tetapi jumlah barang impor yang dibongkar lebih dari
          yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean
          dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan
          tersebut terjadi di luar kemampuannya, dikenai
          sanksi administrasi berupa denda paling sedikit
          Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan
          paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima
          puluh juta rupiah).
    (4)   Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara
          pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada
          ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
          peraturan menteri.

                                                Pasal 8B . . .
               Pasal 8B

(1)   Pengangkutan tenaga listrik, barang cair, atau gas
      untuk impor atau ekspor dapat dilakukan melalui
      transmisi atau saluran pipa yang jumlah dan jenis
      barangnya didasarkan pada hasil pengukuran di
      tempat pengukuran terakhir dalam daerah pabean.
(2)   Pengiriman peranti lunak dan/atau data elektronik
      untuk impor atau ekspor dapat dilakukan melalui
      transmisi elektronik.
(3)   Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara
      pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) dan pengiriman sebagaimana dimaksud pada
      ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
      peraturan menteri.

               Pasal 8C

(1)   Barang      tertentu   wajib diberitahukan oleh
      pengangkut       baik pada waktu keberangkatan
      maupun kedatangan di kantor pabean yang
      ditetapkan.
(2)   Barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      wajib dilindungi dokumen yang sah dalam
      pengangkutannya.
(3)   Pengangkut yang telah memenuhi kewajiban
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi
      jumlahnya     kurang    atau    lebih   dari   yang
      diberitahukan dan tidak dapat membuktikan bahwa
      kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya,
      dikenai sanksi administrasi berupa denda paling
      sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling
      banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(4)   Pengangkut yang tidak memenuhi kewajiban
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai sanksi
      administrasi    berupa  denda    paling     sedikit
      Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan
      paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima
      puluh juta rupiah).
(5)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
      ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.

                                              19. Judul . . .
19. Judul BAB II Bagian Pertama Paragraf 3 diubah sehingga
    BAB II Bagian Pertama Paragraf 3 berbunyi sebagai
    berikut:
                Paragraf 3
     Keberangkatan Sarana Pengangkut

20. Pasal 9 dihapus.

21. Di antara Pasal 9 dan BAB II Bagian Kedua disisipkan 1
    (satu) pasal, yaitu Pasal 9A yang berbunyi sebagai
    berikut:
                   Pasal 9A

          Pengangkut yang      sarana   pengangkutnya   akan
    (1)
          berangkat menuju:
          a. ke luar daerah pabean;
          b. ke dalam daerah pabean yang mengangkut barang
             impor, barang ekspor,    dan/atau barang asal
             daerah pabean yang diangkut ke tempat lain di
             dalam daerah pabean melalui luar daerah pabean,
          wajib menyerahkan pemberitahuan pabean atas
          barang yang diangkutnya sebelum keberangkatan
          sarana pengangkut.
          Pengangkut yang sarana pengangkutnya menuju ke
    (2)
          luar daerah pabean wajib mencantumkan barang
          sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
          manifesnya.
          Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan
    (3)
          sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi
          administrasi  berupa    denda      paling   sedikit
          Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
          banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
          Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
    (4)
          diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
          peraturan menteri.

22. Judul BAB II Bagian Kedua diubah sehingga BAB II
    Bagian Kedua berbunyi sebagai berikut:

                Bagian Kedua
                   Impor

                                              23. Pasal 10 ...
23. Pasal 10 dihapus.

24. BAB II Bagian Kedua ditambah 3 (tiga) paragraf, yaitu
    Paragraf 1, Paragraf 2, dan Paragraf 3 yang berbunyi
    sebagai berikut:

               Paragraf 1
       Pembongkaran, Penimbunan,
            dan Pengeluaran

                 Pasal 10A

    (1) Barang impor yang diangkut sarana pengangkut
        sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (1) wajib
        dibongkar di kawasan pabean atau dapat dibongkar di
        tempat lain setelah mendapat izin kepala kantor
        pabean.
    (2) Barang impor yang diangkut sarana pengangkut
        sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (1) dapat
        dibongkar ke sarana pengangkut lainnya di laut dan
        barang tersebut wajib dibawa ke kantor pabean
        melalui jalur yang ditetapkan.
    (3) Pengangkut    yang   telah   memenuhi    ketentuan
        sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi jumlah
        barang impor yang dibongkar kurang dari yang
        diberitahukan dalam pemberitahuan pabean dan tidak
        dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi
        di luar kemampuannya, wajib membayar bea masuk
        atas barang impor yang kurang dibongkar dan dikenai
        sanksi administrasi berupa denda paling sedikit
        Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan
        paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima
        puluh juta rupiah).
    (4) Pengangkut    yang   telah    memenuhi     ketentuan
        sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi jumlah
        barang impor yang dibongkar lebih banyak dari yang
        diberitahukan dalam pemberitahuan pabean dan tidak
        dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi
        di luar kemampuannya, dikenai sanksi administrasi
        berupa denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua
        puluh lima juta rupiah) dan paling banyak
        Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).


                                             (5) Barang . . .
(5) Barang impor, sementara menunggu pengeluarannya
    dari kawasan pabean, dapat ditimbun di tempat
    penimbunan sementara.
(6) Dalam hal tertentu, barang impor dapat ditimbun di
    tempat lain yang diperlakukan sama dengan tempat
    penimbunan sementara.
(7) Barang impor dapat dikeluarkan dari kawasan pabean
    atau tempat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
    setelah dipenuhinya kewajiban pabean untuk:
   a. diimpor untuk dipakai;
   b. diimpor sementara;
   c. ditimbun di tempat penimbunan berikat;
   d. diangkut ke tempat penimbunan sementara di
      kawasan pabean lainnya;
   e. diangkut terus atau diangkut lanjut; atau
   f. diekspor kembali.
(8) Orang yang mengeluarkan barang impor dari kawasan
    pabean atau tempat lain sebagaimana dimaksud pada
    ayat (6), setelah memenuhi semua ketentuan tetapi
    belum mendapat persetujuan pengeluaran dari pejabat
    bea dan cukai, dikenai sanksi administrasi berupa
    denda sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta
    rupiah).
(9) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
    (5), ayat (6), dan ayat (7) diatur lebih lanjut dengan
    atau berdasarkan peraturan menteri.

             Paragraf 2
        Impor Untuk Dipakai

             Pasal 10B

(1) Impor untuk dipakai adalah:
   a. memasukkan barang ke dalam daerah pabean
      dengan tujuan untuk dipakai; atau
   b. memasukkan barang ke dalam daerah pabean
      untuk dimiliki atau dikuasai oleh orang yang
      berdomisili di Indonesia.


                                           (2) Barang . . .
(2) Barang impor dapat dikeluarkan sebagai barang impor
    untuk dipakai setelah:
   a. diserahkan pemberitahuan pabean dan dilunasi
      bea masuknya;
   b. diserahkan pemberitahuan pabean dan jaminan
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42; atau
   c. diserahkan dokumen pelengkap pabean dan
      jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.
(3) Barang impor yang dibawa oleh penumpang, awak
    sarana pengangkut, atau pelintas batas ke dalam
    daerah pabean pada saat kedatangannya wajib
    diberitahukan kepada pejabat bea dan cukai.
(4) Barang impor yang dikirim melalui pos atau jasa
    titipan hanya dapat dikeluarkan atas persetujuan
    pejabat bea dan cukai.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
    (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan
    atau berdasarkan peraturan menteri.
(6) Orang yang tidak melunasi bea masuk atas barang
    impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
    atau huruf c dalam jangka waktu yang ditetapkan
    menurut Undang-Undang ini wajib membayar bea
    masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi
    berupa denda sebesar 10% (sepuluh persen) dari bea
    masuk yang wajib dilunasi.

             Pasal 10C

(1) Importir dapat mengajukan permohonan perubahan
    atas kesalahan data pemberitahuan pabean yang telah
    diserahkan sepanjang kesalahan tersebut terjadi
    karena kekhilafan yang nyata.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
    ditolak apabila:
   a. barang telah dikeluarkan dari kawasan pabean;
   b. kesalahan tersebut merupakan temuan pejabat bea
      dan cukai; atau
   c. telah mendapatkan penetapan pejabat bea dan
      cukai.

                                        (3) Ketentuan . . .
   (3) Ketentuan sebagaimana      dimaksud pada ayat (1)
      diatur lebih     lanjut    dengan atau berdasarkan
      peraturan menteri.

                  Paragraf 3
               Impor Sementara

                   Pasal 10D

   (1) Barang impor dapat dikeluarkan sebagai barang impor
      sementara jika pada waktu importasinya benar-benar
      dimaksudkan untuk diekspor kembali paling lama 3
      (tiga) tahun.
   (2) Barang impor sementara sampai saat diekspor kembali
      berada dalam pengawasan Direktorat Jenderal Bea
      dan Cukai.
   (3) Barang impor sementara dapat diberikan pembebasan
      atau keringanan bea masuk.
   (4) Barang impor sementara yang diberikan keringanan
      bea masuk, setiap bulan dikenai bea masuk paling
      tinggi sebesar 5% (lima persen) dari bea masuk yang
      seharusnya dibayar.
   (5) Orang     yang      terlambat mengekspor kembali
      barang impor sementara dalam jangka waktu yang
      diizinkan dikenai sanksi administrasi berupa denda
      sebesar 100% (seratus persen) dari bea masuk yang
      seharusnya dibayar.
   (6) Orang yang tidak mengekspor kembali barang impor
      sementara dalam jangka waktu yang diizinkan wajib
      membayar bea masuk dan dikenai sanksi administrasi
      berupa denda 100% (seratus persen) dari bea masuk
      yang seharusnya dibayar.
   (7) Ketentuan   sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
      ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
      peraturan menteri.

25. Judul BAB II Bagian Ketiga diubah sehingga BAB II
    Bagian Ketiga berbunyi sebagai berikut:

                Bagian Ketiga
                   Ekspor

                                          26. Pasal 11 . . .
26. Pasal 11 dihapus.

27. Di antara Pasal 11 dan BAB III disisipkan 1 (satu) pasal,
    yaitu Pasal 11A yang berbunyi sebagai berikut:

                 Pasal 11A

    (1) Barang yang akan diekspor wajib        diberitahukan
        dengan pemberitahuan pabean.
    (2) Pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud pada
        ayat (1) tidak diperlukan terhadap barang pribadi
        penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas,
        dan barang kiriman sampai dengan batas nilai pabean
        dan/atau jumlah tertentu.
    (3) Pemuatan barang ekspor dilakukan di kawasan
        pabean atau dalam hal tertentu dapat dimuat di
        tempat lain dengan izin kepala kantor pabean.
    (4) Barang yang telah diberitahukan untuk diekspor,
        sementara menunggu pemuatannya, dapat ditimbun
        di tempat penimbunan sementara atau tempat lain
        dengan izin kepala kantor pabean.
    (5) Barang yang telah diberitahukan untuk diekspor
        sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika ekspornya
        dibatalkan wajib dilaporkan kepada pejabat bea dan
        cukai.
    (6) Eksportir yang tidak melaporkan pembatalan ekspor
        sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenai sanksi
        administrasi berupa denda sebesar Rp5.000.000,00
        (lima juta rupiah).
    (7) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
        (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan
        atau berdasarkan peraturan menteri.


28. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga Pasal 13 berbunyi
    sebagai berikut:

                  Pasal 13

    (1)   Bea masuk dapat dikenakan berdasarkan tarif yang
          besarnya berbeda dengan yang dimaksud dalam
          Pasal 12 ayat (1) terhadap:

                                             a. barang . . .
          a. barang impor yang dikenakan tarif bea masuk
             berdasarkan      perjanjian    atau kesepakatan
             internasional; atau
          b. barang impor bawaan penumpang, awak sarana
             pengangkut, pelintas batas, atau barang kiriman
             melalui pos atau jasa titipan.
    (2)   Tata cara pengenaan dan besarnya tarif bea masuk
          sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
          lanjut dengan peraturan menteri.

29. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga Pasal 14 berbunyi
    sebagai berikut:

                   Pasal 14
    (1)   Untuk penetapan tarif bea masuk dan bea keluar,
          barang      dikelompokkan  berdasarkan  sistem
          klasifikasi barang.
    (2)   Ketentuan tentang klasifikasi barang sebagaimana
          dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
          peraturan menteri.

30. Ketentuan Pasal 15 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5),
    ayat (6) dan ayat (7) diubah, dan di antara ayat (3) dan
    ayat (4) disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (3a) sehingga
    Pasal 15 berbunyi sebagai berikut:

                   Pasal 15
    (1)   Nilai pabean untuk penghitungan bea masuk adalah
          nilai transaksi dari barang yang bersangkutan.
    (2)   Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea
          masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai
          transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), nilai
          pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan
          berdasarkan nilai transaksi barang dari barang
          identik.
    (3)   Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea
          masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai
          transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
          ayat (2), nilai pabean untuk penghitungan bea
          masuk ditentukan berdasarkan nilai transaksi dari
          barang serupa.

                                                (3a) Dalam . . .
    (3a) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea
         masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai
         transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
         (2), dan ayat (3) nilai pabean untuk penghitungan
         bea masuk ditentukan berdasarkan ketentuan pada
         ayat (4) dan ayat (5) secara berurutan, kecuali atas
         permintaan importir, urutan penentuan nilai pabean
         sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat
         digunakan mendahului ayat (4).
    (4)   Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea
          masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai
          transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
          (2), dan ayat (3), nilai pabean untuk penghitungan
          bea masuk ditentukan berdasarkan metode deduksi.
    (5)   Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea
          masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai
          transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
          (2), ayat (3), dan metode deduksi sebagaimana
          dimaksud pada ayat (4), nilai pabean untuk
          penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan
          metode komputasi.
    (6)   Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea
          masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai
          transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
          (2), ayat (3), metode deduksi sebagaimana dimaksud
          pada ayat (4), atau metode komputasi sebagaimana
          dimaksud pada ayat (5), nilai pabean untuk
          penghitungan bea masuk ditentukan dengan
          menggunakan tata cara yang wajar dan konsisten
          dengan prinsip dan ketentuan sebagaimana diatur
          pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) atau ayat (5)
          berdasarkan data yang tersedia di daerah pabean
          dengan pembatasan tertentu.
    (7)   Ketentuan    mengenai     nilai  pabean     untuk
          penghitungan bea masuk diatur lebih lanjut dengan
          atau berdasarkan peraturan menteri.

31. Ketentuan Pasal 16 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4),
    dan ayat (6) diubah sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai
    berikut:


                                                     Pasal 16 . . .
                   Pasal 16

    (1)   Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan tarif
          terhadap barang impor sebelum penyerahan
          pemberitahuan pabean atau dalam waktu 30 (tiga
          puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan pabean.
    (2)   Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan nilai
          pabean barang impor untuk penghitungan bea
          masuk sebelum penyerahan pemberitahuan pabean
          atau dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal
          pemberitahuan pabean.
    (3)   Dalam hal penetapan sebagaimana dimaksud pada
          ayat   (1)  dan/atau     ayat   (2)   mengakibatkan
          kekurangan pembayaran bea masuk kecuali importir
          mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud
          dalam Pasal 93 ayat (1), importir wajib melunasi bea
          masuk yang kurang dibayar sesuai dengan
          penetapan.
    (4)   Importir yang salah memberitahukan nilai pabean
          untuk     penghitungan    bea   masuk     sehingga
          mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk
          dikenai sanksi administrasi berupa denda paling
          sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang
          kurang dibayar dan paling banyak 1000% (seribu
          persen) dari bea masuk yang kurang dibayar.
    (5)   Dalam hal penetapan sebagaimana dimaksud pada
          ayat (1) dan/atau ayat (2) mengakibatkan kelebihan
          pembayaran bea masuk, pengembalian bea masuk
          dibayar sebesar kelebihannya.
    (6)   Ketentuan    mengenai    penetapan    sebagaimana
          dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih
          lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

32. Ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf b diubah dan ditambah
    1 (satu) ayat, yaitu ayat (4) sehingga Pasal 17 berbunyi
    sebagai berikut:

                   Pasal 17

    (1)   Direktur Jenderal dapat menetapkan kembali tarif
          dan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk
          dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak
          tanggal pemberitahuan pabean.
                                                (2) Dalam . . .
    (2)   Dalam hal penetapan sebagaimana dimaksud pada
          ayat (1) berbeda dengan penetapan sebagaimana
          dimaksud dalam Pasal 16, Direktur Jenderal
          memberitahukan secara tertulis kepada importir
          untuk:
          a. melunasi bea masuk yang kurang dibayar; atau
          b. mendapatkan pengembalian bea masuk yang
             lebih dibayar.
    (3)   Bea masuk yang kurang dibayar atau pengembalian
          bea masuk yang lebih dibayar sebagaimana
          dimaksud pada ayat (2) dibayar sesuai dengan
          penetapan kembali.
    (4)   Penetapan kembali sebagaimana dimaksud pada
          ayat (2), apabila diakibatkan oleh adanya kesalahan
          nilai   transaksi   yang    diberitahukan  sehingga
          mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk,
          dikenai sanksi administrasi berupa denda paling
          sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang
          kurang dibayar dan paling banyak 1000% (seribu
          persen) dari bea masuk yang kurang dibayar.

33. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal,
    yaitu Pasal 17A yang berbunyi sebagai berikut:

                  Pasal 17A

    Berdasarkan permohonan, Direktur Jenderal dapat
    menetapkan klasifikasi barang dan nilai pabean atas
    barang impor sebagai dasar penghitungan bea masuk
    sebelum diajukan pemberitahuan pabean.

34. Judul BAB IV diubah sehingga BAB IV berbunyi sebagai
    berikut:
                  BAB IV
         BEA MASUK ANTI DUMPING,
             BEA MASUK IMBALAN,
    BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN,
        DAN BEA MASUK PEMBALASAN

35. Pasal 20 dihapus.

36. Pasal 23 dihapus.

                                              37. BAB IV . . .
37. BAB IV ditambahkan 3 (tiga) bagian, yaitu Bagian Ketiga,
    Bagian Keempat, dan Bagian Kelima yang berbunyi
    sebagai berikut:

                  Bagian Ketiga
          Bea Masuk Tindakan Pengamanan

                    Pasal 23A
    Bea masuk tindakan pengamanan dapat dikenakan
    terhadap barang impor dalam hal terdapat lonjakan
    barang impor baik secara absolut maupun relatif
    terhadap barang produksi dalam negeri yang sejenis atau
    barang yang secara langsung bersaing, dan lonjakan
    barang impor tersebut:
    a.     menyebabkan kerugian serius terhadap industri
           dalam negeri yang memproduksi barang sejenis
           dengan barang tersebut dan/atau barang yang
           secara langsung bersaing; atau
    b.     mengancam terjadinya kerugian serius terhadap
           industri dalam negeri yang memproduksi barang
           sejenis dan/atau barang yang secara langsung
           bersaing.

                   Pasal 23B
    (1) Bea masuk tindakan pengamanan sebagaimana
        dimaksud dalam Pasal 23A paling tinggi sebesar
        jumlah yang dibutuhkan untuk mengatasi kerugian
        serius atau mencegah ancaman kerugian serius
        terhadap industri dalam negeri.
    (2) Bea masuk tindakan pengamanan sebagaimana
        dimaksud pada ayat (1) merupakan tambahan dari
        bea masuk yang dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat
        (1).

                Bagian Keempat
             Bea Masuk Pembalasan

                   Pasal 23C
    (1)    Bea masuk pembalasan dikenakan terhadap barang
           impor yang berasal dari negara yang memperlakukan
           barang ekspor Indonesia secara diskriminatif.

                                                  (2) Bea . . .
    (2)   Bea masuk pembalasan sebagaimana dimaksud pada
          ayat (1) merupakan tambahan bea masuk yang
          dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat (1).


               Bagian Kelima
          Pengaturan dan Penetapan

                  Pasal 23D

    (1)   Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara
          pengenaan bea masuk antidumping, bea masuk
          imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan bea
          masuk pembalasan diatur lebih lanjut dengan
          peraturan pemerintah.
    (2)   Besar tarif bea masuk antidumping, bea masuk
          imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan bea
          masuk pembalasan sebagaimana dimaksud pada
          ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

38. Ketentuan Pasal 25 ayat (2) dihapus dan ayat (1), ayat (3),
    dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai
    berikut:

                  Pasal 25

   (1) Pembebasan bea masuk diberikan atas impor:
       a. barang perwakilan negara asing beserta para
          pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan
          asas timbal balik;
       b. barang untuk keperluan badan internasional
          beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia;
       c. buku ilmu pengetahuan;
       d. barang kiriman hadiah/hibah untuk keperluan
          ibadah untuk umum, amal, sosial, kebudayaan
          atau untuk kepentingan penanggulangan bencana
          alam;
       e. barang untuk keperluan museum, kebun binatang,
          dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk
          umum serta barang untuk konservasi alam;
       f. barang     untuk    keperluan    penelitian    dan
          pengembangan ilmu pengetahuan;
       g. barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra
          dan penyandang cacat lainnya;

                                           h. persenjataan . . .
       h. persenjataan, amunisi, perlengkapan militer dan
          kepolisian,   termasuk     suku    cadang   yang
          diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan
          keamanan negara;
       i. barang dan bahan yang dipergunakan untuk
          menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan
          dan keamanan negara;
       j. barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan;
       k. peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau
          abu jenazah;
       l. barang pindahan;
       m. barang    pribadi   penumpang,     awak   sarana
          pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman
          sampai batas nilai pabean dan/atau jumlah
          tertentu;
       n. obat-obatan yang diimpor dengan menggunakan
          anggaran pemerintah yang diperuntukkan bagi
          kepentingan masyarakat;
       o. barang yang telah diekspor untuk keperluan
          perbaikan, pengerjaan, dan pengujian;
       p. barang yang telah diekspor kemudian diimpor
          kembali dalam kualitas yang sama dengan kualitas
          pada saat diekspor;
       q. bahan terapi manusia, pengelompokan darah, dan
          bahan penjenisan jaringan.
   (2) Dihapus.
   (3) Ketentuan     tentang pembebasan sebagaimana
       dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
       peraturan menteri.
   (4) Orang yang tidak memenuhi ketentuan tentang
       pembebasan bea masuk yang ditetapkan menurut
       Undang-Undang ini wajib membayar bea masuk yang
       terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa
       denda sebesar paling sedikit 100% (seratus persen)
       dari bea masuk yang seharusnya dibayar dan paling
       banyak 500% (lima ratus persen) dari bea masuk yang
       seharusnya dibayar.

39. Ketentuan Pasal 26 ayat (2) dihapus dan ayat (1), ayat (3),
    dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai
    berikut:

                                                 Pasal 26 . . .
               Pasal 26
(1) Pembebasan atau keringanan bea masuk dapat
    diberikan atas impor:
    a. barang dan bahan untuk pembangunan dan
       pengembangan industri dalam rangka penanaman
       modal;
   b. mesin untuk pembangunan dan pengembangan
      industri;
   c. barang dan bahan dalam rangka pembangunan
      dan pengembangan industri untuk jangka waktu
      tertentu;
   d. peralatan  dan bahan    yang digunakan untuk
      mencegah pencemaran lingkungan;
   e. bibit  dan benih       untuk pembangunan dan
      pengembangan industri pertanian, peternakan,
      atau perikanan;
   f. hasil laut yang       ditangkap dengan sarana
      penangkap yang telah mendapat izin;
   g. barang yang mengalami kerusakan, penurunan
      mutu, kemusnahan, atau penyusutan volume atau
      berat karena alamiah antara saat diangkut ke
      dalam daerah pabean dan saat diberikan
      persetujuan impor untuk dipakai;
   h. barang oleh pemerintah pusat atau pemerintah
      daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum;
   i. barang untuk keperluan olahraga yang diimpor oleh
      induk organisasi olahraga nasional;
   j. barang untuk keperluan proyek pemerintah yang
      dibiayai dengan pinjaman dan/atau hibah dari luar
      negeri;
   k. barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau
      dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk
      diekspor.

(2) Dihapus.

(3) Ketentuan mengenai pembebasan atau keringanan
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
    lanjut dengan peraturan menteri.


                                         (4) Orang . . .
   (4) Orang yang tidak memenuhi ketentuan pembebasan
       atau keringanan bea masuk yang ditetapkan menurut
       Undang-Undang ini wajib membayar bea masuk yang
       terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa
       denda sebesar paling sedikit 100% (seratus persen)
       dari bea masuk yang seharusnya dibayar dan paling
       banyak 500% (lima ratus persen) dari bea masuk yang
       seharusnya dibayar.

40. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga Pasal 27 berbunyi
    sebagai berikut:

                 Pasal 27
    (1) Pengembalian dapat diberikan terhadap seluruh atau
        sebagian bea masuk yang telah dibayar atas:
      a. kelebihan pembayaran bea masuk sebagaimana
         dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5), Pasal 17 ayat
         (3), atau karena kesalahan tata usaha;
      b. impor barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
         25 dan Pasal 26;
      c. impor barang yang oleh sebab tertentu harus
         diekspor kembali atau dimusnahkan di bawah
         pengawasan pejabat bea dan cukai;
      d. impor barang yang sebelum diberikan persetujuan
         impor untuk dipakai kedapatan jumlah yang
         sebenarnya lebih kecil daripada yang telah dibayar
         bea masuknya, cacat, bukan barang yang dipesan,
         atau berkualitas lebih rendah; atau
      e. kelebihan pembayaran bea masuk akibat putusan
         Pengadilan Pajak.

    (2) Ketentuan    tentang   pengembalian    bea   masuk
        sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
        lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

41. Ketentuan Pasal 30 diubah dengan menambah 2 (dua)
    ayat, yaitu ayat (3) dan ayat (4), sehingga Pasal 30
    berbunyi sebagai berikut:

                 Pasal 30
    (1) Importir bertanggung jawab atas bea masuk yang
        terutang sejak tanggal pemberitahuan pabean atas
        impor.

                                              (2) Bea . . .
    (2) Bea masuk yang harus dibayar sebagaimana
        dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan tarif
        yang berlaku pada tanggal pemberitahuan pabean atas
        Impor dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam
        Pasal 15.
    (3) Bea masuk harus dibayar dalam mata uang rupiah.
    (4) Ketentuan mengenai nilai tukar mata uang yang
        digunakan untuk penghitungan dan pembayaran bea
        masuk diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.

42. Ketentuan Pasal 32 ayat (3) diubah dan ditambah 1 (satu)
    ayat, yaitu ayat (4) sehingga Pasal 32 berbunyi sebagai
    berikut:

                 Pasal 32
    (1) Pengusaha     tempat     penimbunan      sementara
        bertanggung jawab atas bea masuk yang terutang atas
        barang yang ditimbun di tempat penimbunan
        sementara.
    (2) Pengusaha tempat penimbunan sementara dibebaskan
        dari tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat
        (1), dalam hal barang yang ditimbun di tempat
        penimbunan sementaranya:
        a. musnah tanpa sengaja;
        b. telah diekspor kembali, diimpor untuk dipakai,
            atau diimpor sementara; atau
        c. telah    dipindahkan   ke    tempat penimbunan
            sementara lain, tempat penimbunan berikat atau
            tempat penimbunan pabean.
    (3) Perhitungan bea masuk yang terutang sebagaimana
        dimaksud pada ayat (1), sepanjang tidak dapat
        didasarkan pada tarif dan nilai pabean barang yang
        bersangkutan, didasarkan pada tarif tertinggi untuk
        golongan barang yang tertera dalam pemberitahuan
        pabean pada saat barang tersebut ditimbun di tempat
        penimbunan sementara dan nilai pabean ditetapkan
        oleh pejabat bea dan cukai.
    (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
        ayat (3) termasuk tata cara penagihan diatur lebih
        lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

                                               43. Judul . . .
43. Judul BAB VII diubah sehingga BAB VII berbunyi sebagai
    berikut:
              BAB VII
    PEMBAYARAN, PENAGIHAN UTANG,
            DAN JAMINAN

44. Judul BAB VII Bagian Pertama diubah sehingga BAB VII
    Bagian Pertama berbunyi sebagai berikut:

               Bagian Pertama
                Pembayaran


45. Ketentuan Pasal 36 ayat (2) dan ayat (3) diubah sehingga
    Pasal 36 berbunyi sebagai berikut:

                    Pasal 36
    (1) Bea masuk, denda administrasi, dan bunga yang
       terutang kepada negara menurut Undang-Undang ini,
       dibayar di kas negara atau di tempat pembayaran lain
       yang ditunjuk oleh Menteri.
    (2) Bea  masuk, denda administrasi, dan bunga
       sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibulatkan
       jumlahnya dalam ribuan rupiah.
    (3) Ketentuan     mengenai     tata    cara pembayaran,
       penerimaan,      penyetoran      bea masuk, denda
       administrasi, dan bunga sebagaimana dimaksud pada
       ayat (1) serta pembulatan jumlahnya sebagaimana
       dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
       atau berdasarkan peraturan menteri.

46. Ketentuan Pasal 37 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diubah,
    dan di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu)
    ayat, yaitu ayat (2a) sehingga Pasal 37 berbunyi sebagai
    berikut:
                    Pasal 37
    (1) Bea masuk yang terutang wajib dibayar paling lambat
        pada tanggal pendaftaran pemberitahuan pabean.

                                             (2) Kewajiban . . .
    (2) Kewajiban membayar bea masuk sebagaimana
        dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan penundaan
        dalam hal pembayarannya ditetapkan secara berkala
        atau   menunggu   keputusan    pembebasan    atau
        keringanan.
    (2a) Penundaan     kewajiban     membayar bea  masuk
         sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
         a. tidak dikenai bunga sepanjang pembayarannya
            ditetapkan secara berkala;
         b. dikenai bunga sepanjang permohonan pembebasan
            atau keringanan ditolak.
    (3)   Ketentuan    mengenai     penundaan     sebagaimana
          dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) diatur lebih
          lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.


47. Di antara Pasal 37 dan Bagian Kedua BAB VII disisipkan 1
    (satu) pasal, yaitu Pasal 37A yang berbunyi sebagai
    berikut:

                   Pasal 37A

    (1)   Kekurangan pembayaran bea masuk dan/atau denda
          administrasi yang terutang wajib dibayar paling
          lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan.
    (2)   Atas permintaan orang yang berutang, Direktur
          Jenderal dapat memberikan persetujuan penundaan
          atau pengangsuran kewajiban membayar bea masuk
          dan/atau denda administrasi sebagaimana dimaksud
          pada ayat (1) paling lama 12 (dua belas) bulan.
    (3)   Penundaan kewajiban membayar bea masuk dan/atau
          denda administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat
          (2) dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) setiap
          bulan dan bagian bulan dihitung 1 (satu) bulan.
    (4)   Ketentuan mengenai penundaan pembayaran utang
          sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih
          lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

48. Ketentuan Pasal 38 diubah dengan menambah 1 (satu),
    yaitu ayat (3) sehingga Pasal 38 berbunyi sebagai berikut:


                                                 Pasal 38 . . .
                    Pasal 38

    (1) Utang atau tagihan kepada negara berdasarkan
        Undang-Undang ini yang tidak atau kurang dibayar
        dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan
        untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan
        dihitung sejak tanggal jatuh tempo sampai hari
        pembayarannya, dan bagian bulan dihitung 1 (satu)
        bulan.
    (2) Penghitungan utang atau tagihan kepada negara
        menurut Undang-Undang ini dibulatkan jumlahnya
        dalam ribuan rupiah.
    (3) Jatuh tempo sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
        sebagai berikut:
        a. dalam hal tagihan negara kepada pihak yang
           terutang yaitu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal
           penetapan sebagaimana diatur dalam Pasal 37A
           ayat (1);
        b. dalam hal tagihan pihak yang berpiutang kepada
           negara yaitu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat
           keputusan pengembalian oleh Menteri.

49. Pasal 41 tetap dengan perubahan penjelasan Pasal 41
    sehingga penjelasan Pasal 41 menjadi sebagaimana
    ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal dalam
    Undang-Undang ini.

50. Ketentuan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) diubah dan di
    antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu
    ayat (1a) sehingga Pasal 44 berbunyi sebagai berikut:

                    Pasal 44

    (1) Dengan persyaratan tertentu, suatu kawasan, tempat,
        atau bangunan dapat ditetapkan sebagai tempat
        penimbunan      berikat    dengan     mendapatkan
        penangguhan bea masuk untuk:
         a. menimbun     barang impor guna diimpor untuk
            dipakai, dikeluarkan ke tempat penimbunan
            berikat lainnya atau diekspor;
         b. menimbun barang guna diolah atau digabungkan
            sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai;

                                               c. menimbun . . .
         c. menimbun       barang impor, dengan atau tanpa
              barang    dari   dalam   daerah   pabean,    guna
              dipamerkan;
              menimbun, menyediakan untuk dijual dan menjual
         d.
              barang impor kepada orang dan/atau orang
              tertentu;
              menimbun barang impor guna dilelang sebelum
         e.
              diekspor atau diimpor untuk dipakai;
              menimbun barang asal daerah pabean guna
         f.
              dilelang sebelum diekspor atau dimasukkan
              kembali ke dalam daerah pabean; atau
              menimbun barang impor guna didaur ulang
         g.
              sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai.
    (1a) Menteri   dapat   menetapkan     suatu   kawasan,
         tempat, atau bangunan untuk dilakukannya suatu
         kegiatan tertentu selain kegiatan sebagaimana
         dimaksud pada ayat (1) sebagai tempat penimbunan
         berikat.
    (2) Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pendirian
        penyelenggaraan, pengusahaan, dan perubahan
        bentuk tempat penimbunan berikat diatur lebih lanjut
        dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.


51. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga Pasal 45 berbunyi
    sebagai berikut:

                     Pasal 45

   (1)   Barang dapat dikeluarkan dari tempat penimbunan
         berikat atas persetujuan pejabat bea dan cukai untuk:
         a. diimpor untuk dipakai;
         b. diolah;
         c. diekspor sebelum atau sesudah diolah;
         d. diangkut ke tempat penimbunan berikat lain atau
            tempat penimbunan sementara;
         e. dikerjakan dalam daerah pabean dan kemudian
            dimasukkan kembali ke tempat penimbunan
            berikat dengan persyaratan yang ditetapkan oleh
            Menteri; atau
         f. dimasukkan kembali ke dalam daerah pabean.


                                                 (2) Barang . . .
   (2)   Barang dari tempat penimbunan berikat yang diimpor
         untuk dipakai berupa:
         a. barang yang telah diolah atau digabungkan;
         b. barang yang tidak diolah; dan/atau
         c. barang lainnya,
         dipungut bea masuk berdasarkan tarif dan nilai
         pabean yang ditetapkan dengan peraturan menteri.
   (3)   Orang yang mengeluarkan barang dari tempat
         penimbunan berikat sebelum diberikan persetujuan
         oleh pejabat bea dan cukai tanpa bermaksud
         mengelakkan kewajiban pabean, dikenai sanksi
         administrasi berupa denda sebesar Rp75.000.000,00
         (tujuh puluh lima juta rupiah).
   (4)   Pengusaha tempat penimbunan berikat yang tidak
         dapat    mempertanggungjawabkan       barang    yang
         seharusnya berada di tempat tersebut wajib membayar
         bea masuk yang terutang dan          dikenai sanksi
         administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus
         persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar.

52. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                   Pasal 49
   Importir, eksportir, pengusaha tempat penimbunan
   sementara, pengusaha tempat penimbunan berikat,
   pengusaha pengurusan jasa kepabeanan, atau pengusaha
   pengangkutan wajib menyelenggarakan pembukuan.

53. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga Pasal 50 berbunyi
    sebagai berikut:

                   Pasal 50
   (1)   Atas permintaan pejabat bea dan cukai, orang
         sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 wajib
         menyerahkan laporan keuangan, buku, catatan dan
         dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat
         yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data
         elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan
         di bidang kepabeanan untuk kepentingan audit
         kepabeanan.

                                                 (2) Dalam . . .
    (2)   Dalam hal orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
          tidak berada di tempat, kewajiban untuk menyerahkan
          laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang
          menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan
          dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik,
          surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang
          kepabeanan beralih kepada yang mewakili.

54. Ketentuan Pasal 51 diubah dan ditambah 3 (tiga) ayat,
    yaitu ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) sehingga Pasal 51
    berbunyi sebagai berikut:

                   Pasal 51
    (1) Pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49
        wajib   diselenggarakan      dengan    baik  agar
        menggambarkan keadaan atau kegiatan usaha yang
        sebenarnya, dan sekurang-kurangnya terdiri dari
        catatan   mengenai     harta,   kewajiban,  modal,
        pendapatan, dan biaya.
    (2) Pembukuan wajib diselenggarakan di Indonesia
        dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, mata
        uang rupiah, dan bahasa Indonesia, atau dengan mata
        uang asing dan bahasa asing yang diizinkan oleh
        menteri.
    (3) Laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang
        menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan
        dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik,
        surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang
        kepabeanan wajib disimpan selama 10 (sepuluh)
        tahun pada tempat usahanya di Indonesia.
    (4) Ketentuan   mengenai   pedoman penyelenggaraan
        pembukuan diatur lebih lanjut dengan atau
        berdasarkan peraturan menteri.

55. Ketentuan Pasal 52 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat
    sehingga Pasal 52 berbunyi sebagai berikut:

                    Pasal 52
    (1)   Orang     yang tidak menyelenggarakan pembukuan
          sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dikenai sanksi
          administrasi berupa denda sebesar Rp50.000.000,00
          (lima puluh juta rupiah).

                                                (2) Orang . . .
    (2)   Orang yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
          dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), ayat (2), atau ayat
          (3) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar
          Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah)

56. Judul BAB X diubah sehingga BAB X berbunyi sebagai
    berikut:
                 BAB X
      LARANGAN DAN PEMBATASAN IMPOR
     ATAU EKSPOR, PENANGGUHAN IMPOR
         ATAU EKSPOR BARANG HASIL
      PELANGGARAN HAK ATAS KEKAYAAN
     INTELEKTUAL, DAN PENINDAKAN ATAS
        BARANG YANG TERKAIT DENGAN
            TERORISME DAN/ATAU
          KEJAHATAN LINTAS NEGARA

57. Ketentuan Pasal 53 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diubah
    sehingga Pasal 53 berbunyi sebagai berikut:

                    Pasal 53
    (1) Untuk kepentingan pengawasan terhadap pelaksanaan
        ketentuan larangan dan pembatasan, instansi teknis
        yang menetapkan peraturan larangan dan/atau
        pembatasan    atas   impor  atau   ekspor    wajib
        memberitahukan kepada Menteri.
    (2) Ketentuan    mengenai    pelaksanaan    pengawasan
        peraturan     larangan     dan/atau     pembatasan
        sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
        lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.
    (3) Semua barang yang dilarang atau dibatasi yang tidak
        memenuhi syarat untuk diimpor atau diekspor, jika
        telah diberitahukan dengan pemberitahuan pabean,
        atas permintaan importir atau eksportir:
          a. dibatalkan ekspornya;
          b. diekspor kembali; atau
          c. dimusnahkan di bawah pengawasan pejabat bea
             dan cukai
          kecuali terhadap barang dimaksud ditetapkan lain
          berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
          berlaku.

                                                (4) Barang . . .
    (4) Barang yang dilarang atau dibatasi untuk diimpor
        atau diekspor yang tidak diberitahukan atau
        diberitahukan secara tidak benar dinyatakan sebagai
        barang yang dikuasai negara sebagaimana dimaksud
        dalam Pasal 68, kecuali terhadap barang dimaksud
        ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-
        undangan yang berlaku.


58. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                   Pasal 54

    Atas permintaan pemilik atau pemegang hak atas merek
    atau   hak   cipta, ketua    pengadilan  niaga   dapat
    mengeluarkan perintah tertulis kepada pejabat bea dan
    cukai untuk menangguhkan sementara waktu pengeluaran
    barang impor atau ekspor dari kawasan pabean yang
    berdasarkan bukti yang cukup, diduga merupakan hasil
    pelanggaran merek dan hak cipta yang dilindungi di
    Indonesia.


59. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga Pasal 56 berbunyi
    sebagai berikut:

                   Pasal 56

    Berdasarkan perintah tertulis sebagaimana      dimaksud
    dalam Pasal 54, pejabat bea dan cukai:
    a.   memberitahukan secara tertulis kepada importir,
         eksportir, atau pemilik barang mengenai adanya
         perintah penangguhan pengeluaran barang impor dan
         ekspor;
    b.   melaksanakan penangguhan pengeluaran barang
         impor atau ekspor yang bersangkutan dari kawasan
         pabean terhitung sejak tanggal diterimanya perintah
         tertulis ketua pengadilan niaga.



                                           60. Ketentuan . . .
60. Ketentuan Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) diubah sehingga
    Pasal 57 berbunyi sebagai berikut:

                  Pasal 57

    (1) Penangguhan      pengeluaran barang sebagaimana
        dimaksud dalam Pasal 56 huruf b dilaksanakan untuk
        jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja.
    (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
        berdasarkan alasan dan dengan syarat tertentu, dapat
        diperpanjang satu kali untuk paling lama 10 (sepuluh)
        hari kerja dengan perintah tertulis ketua pengadilan
        niaga.
    (3) Perpanjangan    penangguhan terhadap pengeluaran
        barang impor atau ekspor sebagaimana dimaksud
        pada ayat (2) disertai dengan perpanjangan jaminan
        sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d.


61. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga Pasal 58 berbunyi
    sebagai berikut:

                  Pasal 58

    (1) Atas permintaan pemilik atau pemegang hak atas
        merek atau hak cipta yang meminta perintah
        penangguhan, ketua pengadilan niaga dapat memberi
        izin kepada pemilik atau pemegang hak tersebut guna
        memeriksa barang impor atau ekspor yang diminta
        penangguhan pengeluarannya.
    (2) Pemberian izin pemeriksaan sebagaimana dimaksud
        pada ayat (1) dilakukan oleh ketua pengadilan niaga
        setelah   mendengarkan    dan   mempertimbangkan
        penjelasan serta memperhatikan kepentingan pemilik
        barang impor atau ekspor yang dimintakan
        penangguhan pengeluarannya.


62. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga Pasal 59 berbunyi
    sebagai berikut:


                                                Pasal 59 . . .
                  Pasal 59

    (1) Apabila dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja
        sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1),
        pejabat bea dan cukai tidak menerima pemberitahuan
        dari pihak yang meminta penangguhan pengeluaran
        bahwa tindakan hukum yang diperlukan untuk
        mempertahankan haknya sesuai dengan peraturan
        perundang-undangan yang berlaku telah dilakukan
        dan ketua pengadilan niaga tidak memperpanjang
        secara tertulis perintah penangguhan, pejabat bea dan
        cukai wajib mengakhiri tindakan penangguhan
        pengeluaran barang impor atau ekspor yang
        bersangkutan dan menyelesaikannya sesuai dengan
        ketentuan kepabeanan berdasarkan Undang-Undang
        ini.
    (2) Dalam hal tindakan hukum untuk mempertahankan
        hak telah mulai dilakukan sesuai dengan peraturan
        perundang-undangan yang berlaku dalam jangka
        waktu 10 (sepuluh) hari kerja sebagaimana dimaksud
        pada ayat (1), pihak yang meminta penangguhan
        pengeluaran barang impor atau ekspor wajib
        secepatnya melaporkannya kepada pejabat bea dan
        cukai yang menerima perintah dan melaksanakan
        penangguhan barang impor atau ekspor.
    (3) Dalam hal tindakan hukum sebagaimana dimaksud
        pada ayat (2) telah diberitahukan dan ketua
        pengadilan niaga tidak memperpanjang secara tertulis
        perintah penangguhan sebagaimana dimaksud dalam
        Pasal 57 ayat (2), pejabat bea dan cukai mengakhiri
        tindakan penangguhan pengeluaran barang impor
        atau ekspor yang bersangkutan dan menyelesaikannya
        sesuai dengan ketentuan kepabeanan berdasarkan
        Undang-Undang ini.


63. Ketentuan Pasal   60 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:




                                               Pasal 60 . . .
                    Pasal 60

    Dalam keadaan tertentu, importir, eksportir, atau pemilik
    barang impor atau ekspor dapat mengajukan permintaan
    kepada ketua pengadilan niaga untuk memerintahkan
    secara tertulis kepada pejabat bea dan cukai agar
    mengakhiri penangguhan sebagaimana dimaksud dalam
    Pasal 54 dengan menyerahkan jaminan yang sama
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d.


64. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga Pasal 61 berbunyi
    sebagai berikut:

                    Pasal 61

          Apabila dari hasil pemeriksaan perkara terbukti bahwa
    (1)
          barang impor atau ekspor tersebut tidak merupakan
          atau tidak berasal dari hasil pelanggaran merek atau
          hak cipta, pemilik barang impor atau ekspor berhak
          untuk memperoleh ganti rugi dari pemilik atau
          pemegang      hak    yang    meminta     penangguhan
          pengeluaran barang impor atau ekspor tersebut.
          Pengadilan    niaga  yang memeriksa dan memutus
    (2)
          perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
          memerintahkan agar jaminan sebagaimana dimaksud
          dalam Pasal 55 huruf d digunakan sebagai
          pembayaran atau bagian pembayaran ganti rugi yang
          harus dibayarkan.

65. Di antara Pasal 64 dan BAB XI disisipkan 1 (satu) bagian,
    yaitu Bagian Ketiga yang berbunyi sebagai berikut:

                 Bagian Ketiga
   Penindakan Atas Barang yang Terkait dengan
   Terorisme dan/atau Kejahatan Lintas Negara

                    Pasal 64A

    (1)   Barang yang berdasarkan bukti permulaan diduga
          terkait dengan tindakan terorisme dan/atau kejahatan
          lintas negara dapat dilakukan penindakan oleh pejabat
          bea dan cukai.

                                             (2) Ketentuan . . .
   (2)   Ketentuan     mengenai    tata   cara    penindakan
         sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
         lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

66. Ketentuan Pasal 75 ayat (1) diubah sehingga Pasal 75
    berbunyi sebagai berikut:

                   Pasal 75
    (1) Pejabat bea dan cukai dalam melaksanakan
        pengawasan terhadap sarana pengangkut di laut atau
        di sungai menggunakaan kapal patroli atau sarana
        lainnya.
    (2) Kapal patroli atau sarana lain yang digunakan oleh
        pejabat bea dan cukai sebagaimana dimaksud pada
        ayat (1) dapat dilengkapi dengan senjata api yang
        jumlah dan jenisnya ditetapkan dengan peraturan
        pemerintah.

67. Ketentuan Pasal 76 diubah sehingga Pasal 76 berbunyi
    sebagai berikut:

                   Pasal 76
   (1)   Dalam melaksanakan tugas berdasarkan Undang-
         Undang ini pejabat bea dan cukai dapat meminta
         bantuan Kepolisian Republik Indonesia, Tentara
         Nasional Indonesia, dan/atau instansi lainnya.
   (2)   Atas permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
         Kepolisian Republik Indonesia, Tentara Nasional
         Indonesia, dan/atau instansi lainnya berkewajiban
         untuk memenuhinya.

68. Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:
                   Pasal 78
   Pejabat bea dan cukai berwenang untuk mengunci,
   menyegel, dan/atau melekatkan tanda pengaman yang
   diperlukan terhadap barang impor yang belum diselesaikan
   kewajiban pabeannya dan barang ekspor atau barang lain
   yang harus diawasi menurut Undang-Undang ini yang
   berada di sarana pengangkut, tempat penimbunan atau
   tempat lain.

                                         69. Ketentuan . . .
69. Ketentuan Pasal 82 ayat (4) dihapus dan ayat (1), ayat (3),
    ayat (5), dan ayat (6) diubah sehingga Pasal 82 berbunyi
    sebagai berikut:

                   Pasal 82
    (1) Pejabat bea dan cukai berwenang melakukan
        pemeriksaan pabean atas barang impor atau barang
        ekspor setelah pemberitahuan pabean diserahkan.
    (2) Pejabat bea dan cukai berwenang meminta importir,
        eksportir, pengangkut, pengusaha tempat penimbunan
        sementara, pengusaha tempat penimbunan berikat,
        atau yang mewakilinya menyerahkan barang untuk
        diperiksa,   membuka     sarana   pengangkut   atau
        bagiannya, dan membuka setiap bungkusan atau
        pengemas yang akan diperiksa.
    (3) Jika permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
        tidak dipenuhi:
        a. pejabat    bea dan cukai berwenang melakukan
           tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atas
           risiko dan biaya yang bersangkutan; dan
        b. yang bersangkutan dikenai sanksi administrasi
           berupa denda sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh
           lima juta rupiah).
    (4) Dihapus.
    (5) Setiap orang yang    salah memberitahukan jenis
        dan/atau jumlah barang dalam pemberitahuan
        pabean atas impor yang mengakibatkan kekurangan
        pembayaran bea masuk dikenai sanksi administrasi
        berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen)
        dari bea masuk yang kurang dibayar dan paling
        banyak 1.000% (seribu persen) dari bea masuk yang
        kurang dibayar.
    (6) Setiap orang     yang salah memberitahukan jenis
        dan/atau jumlah barang dalam pemberitahuan
        pabean atas ekspor yang mengakibatkan tidak
        terpenuhinya pungutan negara di bidang ekspor
        dikenai sanksi administrasi berupa denda paling
        sedikit 100% (seratus persen) dari pungutan negara di
        bidang ekspor yang kurang dibayar dan paling banyak
        1.000% (seribu persen) dari pungutan negara di
        bidang ekspor yang kurang dibayar.
                                              70. Di antara . . .
70. Di antara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan satu pasal,
    yaitu Pasal 82A yang berbunyi sebagai berikut:

                  Pasal 82A

    (1) Untuk kepentingan pengawasan, pejabat bea dan
        cukai berwenang melakukan pemeriksaan karena
        jabatan atas fisik barang impor atau barang ekspor
        sebelum atau sesudah pemberitahuan pabean
        disampaikan.
    (2) Ketentuan mengenai tata cara sebagaimana dimaksud
        pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau
        berdasarkan peraturan menteri.

71. Ketentuan Pasal 85 ayat (1) diubah dan ditambah 1 (satu)
    ayat, yaitu ayat (3) sehingga Pasal 85 berbunyi sebagai
    berikut:

                  Pasal 85

    (1) Pejabat bea dan cukai memberikan persetujuan
        impor atau ekspor setelah pemberitahuan pabean yang
        telah memenuhi persyaratan diterima dan hasil
        pemeriksaan    barang     tersebut  sesuai   dengan
        pemberitahuan pabean.
    (2) Pejabat  bea dan    cukai   berwenang    menunda
        pemberian persetujuan impor atau ekspor dalam hal
        pemberitahuan pabean tidak memenuhi persyaratan.
    (3) Pejabat  bea   dan   cukai  berwenang     menolak
        memberikan pelayanan kepabeanan dalam hal orang
        yang bersangkutan belum memenuhi kewajiban
        kepabeanan berdasarkan Undang-Undang ini.

72. Di antara Pasal 85 dan BAB XII Paragraf 2 disisipkan 1
    (satu) pasal, yaitu Pasal 85A yang berbunyi sebagai
    berikut:

                  Pasal 85A

    (1) Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
        berlaku, pejabat bea dan cukai dapat melakukan
        pemeriksaan pabean terhadap barang tertentu yang
        diangkut dalam daerah pabean.

                                         (2) Pemeriksaan . . .
    (2) Pemeriksaan pabean terhadap barang tertentu
        sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
        pada saat pemuatan, pengangkutan, dan/atau
        pembongkaran di tempat tujuan.
    (3) Ketentuan mengenai pemeriksaan pabean terhadap
        barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
        diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan
        menteri.

73. Ketentuan Pasal 86 ayat (1) dan ayat (2) diubah dan di
    antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu
    ayat (1a), serta ditambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (3)
    sehingga Pasal 86 berbunyi sebagai berikut:

                    Pasal 86

    (1)   Pejabat bea dan cukai berwenang melakukan audit
          kepabeanan terhadap orang sebagaimana dimaksud
          dalam Pasal 49.
    (1a) Dalam melaksanakan audit kepabeanan sebagaimana
         dimaksud pada ayat (1), pejabat bea dan cukai
         berwenang:
         a. meminta laporan keuangan, buku, catatan dan
            dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan,
            surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha
            termasuk data elektronik, serta surat yang
            berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan;
         b. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari
            orang dan pihak lain yang terkait;
         c. memasuki bangunan kegiatan usaha, ruangan
            tempat untuk menyimpan laporan keuangan, buku,
            catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar
            pembukuan, dan surat-surat yang berkaitan
            dengan kegiatan usaha, termasuk sarana/media
            penyimpan data elektronik, dan barang yang dapat
            memberi petunjuk tentang keadaan kegiatan usaha
            yang berkaitan dengan kegiatan kepabeanan; dan
         d. melakukan tindakan pengamanan yang dipandang
            perlu terhadap tempat atau ruangan penyimpanan
            dokumen     yang    berkaitan    dengan  kegiatan
            kepabeanan.

                                                  (2) Orang . . .
    (2)   Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 yang
          menyebabkan pejabat bea dan cukai tidak dapat
          menjalankan kewenangan audit kepabeanan dikenai
          sanksi   administrasi    berupa     denda    sebesar
          Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
    (3)   Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan audit
          kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
          diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan
          menteri.

74. Di antara Pasal 86 dan Paragraf 3 disisipkan 1 (satu)
    pasal, yaitu Pasal 86A yang berbunyi sebagai berikut:

                    Pasal 86A

    Apabila dalam pelaksanaan audit kepabeanan ditemukan
    adanya kekurangan pembayaran bea masuk yang
    disebabkan oleh kesalahan pemberitahuan jumlah
    dan/atau jenis barang, orang wajib membayar bea masuk
    yang kurang dibayar dan dikenai sanksi administrasi
    berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat
    (5).

75. Ketentuan Pasal 88 ayat (2) diubah sehingga Pasal 88
    berbunyi sebagai berikut:

                    Pasal 88

    (1) Untuk pemenuhan kewajiban pabean berdasarkan
        Undang-Undang ini, pejabat bea dan cukai berwenang
        memasuki dan memeriksa bangunan atau tempat
        yang bukan rumah tinggal selain yang dimaksud
        dalam Pasal 87 dan dapat memeriksa setiap barang
        yang ditemukan.
    (2) Selama pemeriksaan atas bangunan atau tempat
        sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan atas
        permintaan pejabat bea dan cukai, pemilik atau yang
        menguasai bangunan atau tempat tersebut wajib
        menyerahkan surat atau dokumen yang berkaitan
        dengan barang yang berada di tempat tersebut.

                                             76. Ketentuan . . .
76. Ketentuan Pasal 90 ayat (3) dan ayat (4) diubah sehingga
    Pasal 90 berbunyi sebagai berikut:

                    Pasal 90

    (1) Untuk pemenuhan kewajiban pabean berdasarkan
        Undang-Undang ini pejabat bea dan cukai berwenang
        untuk   menghentikan     dan    memeriksa  sarana
        pengangkut serta barang di atasnya.
    (2) Sarana pengangkut yang disegel oleh penegak hukum
        lain atau dinas pos dikecualikan dari pemeriksaan
        sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (3) Pejabat bea dan cukai berdasarkan pemberitahuan
        pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat
        (3) berwenang untuk menghentikan pembongkaran
        barang dari sarana pengangkut apabila ternyata
        barang yang dibongkar tersebut bertentangan dengan
        ketentuan yang berlaku.
    (4) Orang yang tidak melaksanakan perintah penghentian
        pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
        dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar
        Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

77. Di antara Pasal 92 dan BAB XIII disisipkan 1 (satu) bagian,
    yaitu Bagian Keempat yang berbunyi sebagai berikut:

             Bagian Keempat
    Kewenangan Khusus Direktur Jenderal

                   Pasal 92A

    (1)   Direktur Jenderal karena jabatan atau atas
          permohonan dari orang yang bersangkutan dapat:
          a. membetulkan         surat   penetapan     tagihan
             kekurangan pembayaran bea masuk yang dalam
             penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan
             hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan
             ketentuan Undang-Undang ini; atau
          b. mengurangi atau menghapus sanksi administrasi
             berupa denda dalam hal sanksi tersebut dikenakan
             pada orang yang dikenai sanksi karena kekhilafan
             atau bukan karena kesalahannya.
                                             (2) Ketentuan . . .
    (2)   Ketentuan mengenai tata cara pengajuan permohonan,
          pembetulan,     pengurangan,    atau   penghapusan
          sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
          lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

78. Judul BAB XIII diubah sehingga BAB XIII berbunyi sebagai
    berikut:

                  BAB XIII
           KEBERATAN DAN BANDING

79. Ketentuan Pasal 93 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan
    ayat (5) diubah, dan di antara ayat (1) dan ayat (2)
    disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (1a), serta ditambah 1
    (satu) ayat, yaitu ayat (6) sehingga Pasal 93 berbunyi
    sebagai berikut:

                    Pasal 93

    (1)   Orang     yang     berkeberatan terhadap penetapan
          pejabat bea dan cukai mengenai tarif dan/atau nilai
          pabean untuk penghitungan bea masuk dapat
          mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada
          Direktur Jenderal dalam waktu 60 (enam puluh) hari
          sejak tanggal penetapan dengan menyerahkan
          jaminan sebesar tagihan yang harus dibayar.
    (1a) Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
         wajib diserahkan dalam hal barang impor belum
         dikeluarkan dari kawasan pabean.
    (2)   Direktur    Jenderal  memutuskan       keberatan
          sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka
          waktu 60 (enam puluh hari) sejak diterimanya
          pengajuan keberatan.
    (3)   Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat
          (1) ditolak oleh Direktur Jenderal, jaminan dicairkan
          untuk membayar bea masuk dan/atau sanksi
          administrasi berupa denda yang ditetapkan, dan
          apabila keberatan dikabulkan jaminan dikembalikan.
    (4)   Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari
          sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Direktur
          Jenderal tidak memberikan keputusan, keberatan
          yang bersangkutan dianggap dikabulkan dan jaminan
          dikembalikan.

                                                   (5) Apabila . . .
    (5)   Apabila jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
          berupa uang tunai dan pengembalian jaminan
          sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
          dilakukan setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari
          sejak keberatan dikabulkan, pemerintah memberikan
          bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulannya paling
          lama 24 (dua puluh empat) bulan.
    (6)   Ketentuan mengenai tatacara pengajuan keberatan
          sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
          lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.


80. Di antara Pasal 93 dan Pasal 94 disisipkan 1 (satu) pasal,
    yaitu Pasal 93A yang berbunyi sebagai berikut:

                   Pasal 93A

    (1) Orang yang berkeberatan terhadap penetapan pejabat
        bea dan cukai selain tarif dan/atau nilai pabean
        untuk penghitungan bea masuk dapat mengajukan
        keberatan secara tertulis hanya kepada Direktur
        Jenderal dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak
        tanggal penetapan.
    (2) Sepanjang keberatan sebagaimana dimaksud pada
        ayat (1) menyangkut kekurangan pembayaran bea
        masuk, jaminan wajib diserahkan sebesar tagihan
        yang harus dibayar.
    (3) Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
        wajib diserahkan dalam hal barang impor belum di
        keluarkan dari kawasan pabean.
    (4) Direktur    Jenderal  memutuskan       keberatan
        sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka
        waktu 60 (enam puluh hari) sejak diterimanya
        pengajuan keberatan.
    (5) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat
        (1) ditolak oleh Direktur Jenderal, jaminan dicairkan
        untuk membayar bea masuk dan/atau sanksi
        administrasi berupa denda yang ditetapkan, dan
        apabila keberatan dikabulkan jaminan dikembalikan.


                                               (6) Apabila . . .
    (6) Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari
        sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Direktur
        Jenderal tidak memberikan keputusan, keberatan
        yang bersangkutan dianggap dikabulkan dan jaminan
        dikembalikan.
    (7) Apabila jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
        berupa uang tunai dan pengembalian jaminan
        sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6)
        dilakukan setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari
        sejak keberatan diterima, pemerintah memberikan
        bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulannya paling
        lama 24 (dua puluh empat) bulan.
    (8) Ketentuan      mengenai     pengajuan     keberatan
        sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
        lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.


81. Ketentuan Pasal 94 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat,
    yaitu ayat (6) sehingga Pasal 94 berbunyi sebagai berikut:

                   Pasal 94

    (1) Orang yang dikenai sanksi administrasi berupa
        denda dapat mengajukan keberatan secara tertulis
        hanya kepada Direktur Jenderal dalam jangka waktu
        60 (enam puluh hari) sejak tanggal penetapan dengan
        menyerahkan jaminan sebesar sanksi administrasi
        berupa denda yang ditetapkan.
    (2) Direktur     Jenderal   memutuskan keberatan
        sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka
        waktu 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya
        pengajuan keberatan.
    (3) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat
        (1) ditolak oleh Direktur Jenderal, jaminan dicairkan
        untuk membayar sanksi administrasi berupa denda
        yang ditetapkan, dan apabila keberatan dikabulkan,
        jaminan dikembalikan.
    (4) Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari
        sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Direktur
        Jenderal tidak memberikan keputusan, keberatan
        yang bersangkutan dianggap dikabulkan dan jaminan
        dikembalikan.

                                             (5) Apabila . . .
    (5) Apabila jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
        berupa uang tunai dan pengembalian jaminan
        sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
        dilakukan setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari
        sejak keberatan dikabulkan, pemerintah memberikan
        bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulannya paling
        lama 24 (dua puluh empat) bulan.
    (6) Ketentuan mengenai tatacara pengajuan keberatan
        sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
        lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.

82. Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                   Pasal 95

    Orang yang berkeberatan terhadap penetapan Direktur
    Jenderal atas tarif dan nilai pabean sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), keputusan Direktur
    Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2),
    Pasal 93A ayat (4), atau Pasal 94 ayat (2) dapat
    mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan
    Pajak dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak
    tanggal penetapan atau tanggal keputusan, setelah
    pungutan yang terutang dilunasi.

83. Pasal 96 dihapus.

84. Pasal 97 dihapus.

85. Pasal 98 dihapus.

86. Pasal 99 dihapus.

87. Pasal 100 dihapus.

88. Pasal 101 dihapus.

89. Ketentuan BAB XIII Bagian Kedua dihapus.

90. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga Pasal 102 berbunyi
    sebagai berikut:

                                               Pasal 102 . . .
                  Pasal 102

    Setiap orang yang:
    a. mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam
       manifes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (2);
    b. membongkar barang impor di luar kawasan pabean
       atau tempat lain tanpa izin kepala kantor pabean;
    c. membongkar barang impor yang tidak tercantum dalam
       pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam
       Pasal 7A ayat (3);
    d. membongkar atau menimbun barang impor yang masih
       dalam pengawasan pabean di tempat selain tempat
       tujuan yang ditentukan dan/atau diizinkan;
    e. menyembunyikan      barang   impor   secara   melawan
       hukum;
    f. mengeluarkan barang impor yang belum diselesaikan
       kewajiban pabeannya dari kawasan pabean atau dari
       tempat penimbunan berikat atau dari tempat lain di
       bawah pengawasan pabean tanpa persetujuan pejabat
       bea dan cukai yang mengakibatkan tidak terpenuhinya
       pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini;
    g. mengangkut barang impor dari tempat penimbunan
       sementara atau tempat penimbunan berikat yang tidak
       sampai ke kantor pabean tujuan dan tidak dapat
       membuktikan     bahwa    hal  tersebut    di   luar
       kemampuannya; atau
    h. dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah
       barang impor dalam pemberitahuan pabean secara
       salah,
    dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang
    impor dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
    dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
    pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh
    juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
    miliar rupiah).

91. Di antara Pasal 102 dan Pasal 103 disisipkan 4 (empat)
    pasal, yaitu Pasal 102A, Pasal 102B, Pasal 102C, dan Pasal
    102D yang berbunyi sebagai berikut:

                                              Pasal 102A . . .
              Pasal 102A

Setiap orang yang:
a. mengekspor barang tanpa menyerahkan pemberitahuan
   pabean;
b. dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah
   barang ekspor dalam pemberitahuan pabean secara
   salah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat
   (1) yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan
   negara di bidang ekspor;
c. memuat barang ekspor di luar kawasan pabean tanpa
   izin kepala kantor pabean sebagaimana dimaksud
   dalam Pasal 11A ayat (3);
d. membongkar barang ekspor di dalam daerah pabean
   tanpa izin kepala kantor pabean; atau
e. mengangkut barang ekspor tanpa dilindungi dengan
   dokumen yang sah sesuai dengan pemberitahuan
   pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9A ayat (1)
dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang
ekspor dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).



             Pasal 102B

Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dan
Pasal 102A yang mengakibatkan terganggunya sendi-
sendi perekonomian negara dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah).



                                         Pasal 102C . . .
                Pasal 102C
   Dalam hal perbuatan tindak pidana sebagaimana diatur
   dalam Pasal 102, Pasal 102A, Pasal 102B dilakukan oleh
   pejabat dan aparat penegak hukum, pidana yang
   dijatuhkan dengan pidana sebagaimana ancaman pidana
   dalam Undang-Undang ini ditambah 1/3 (satu pertiga).

                Pasal 102D
   Setiap orang yang mengangkut barang tertentu yang tidak
   sampai ke kantor pabean tujuan dan tidak dapat
   membuktikan bahwa hal tersebut di luar kemampuannya
   dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
   tahun dan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
   dan/atau pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.00
   (sepuluh    juta    rupiah)     dan      paling banyak
   Rp1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah).

92. Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:
                 Pasal 103

   Setiap orang yang:
   a. menyerahkan      pemberitahuan   pabean    dan/atau
      dokumen     pelengkap   pabean   yang   palsu  atau
      dipalsukan;
   b. membuat, menyetujui, atau turut serta           dalam
      pemalsuan data ke dalam buku atau catatan;
   c. memberikan keterangan lisan atau tertulis yang tidak
      benar, yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban
      pabean; atau
   d. menimbun, menyimpan, memiliki, membeli, menjual,
      menukar, memperoleh, atau memberikan barang impor
      yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak
      pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102
   dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
   tahun dan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun
   dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00
   (seratus   juta    rupiah)      dan      paling banyak
   Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

                                          93. Di antara . . .
93. Di antara Pasal 103 dan Pasal 104 disisipkan 1 (satu)
    pasal, yaitu Pasal 103A yang berbunyi sebagai berikut:


                   Pasal 103A

          Setiap orang yang secara tidak sah mengakses sistem
    (1)
          elektronik yang berkaitan dengan pelayanan dan/atau
          pengawasan di bidang kepabeanan dipidana dengan
          pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
          pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
          pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima
          puluh     juta    rupiah)    dan    paling   banyak
          Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
          Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
    (2)
          mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara
          berdasarkan Undang-Undang ini dipidana dengan
          pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
          pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
          dan/atau     pidana     denda     paling      sedikit
          Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
          banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).



94. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                    Pasal 104

    Setiap orang yang:
    a.    mengangkut barang yang berasal dari tindak pidana
          sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, Pasal 102A,
          atau Pasal 102B;
    b.    memusnahkan, memotong, menyembunyikan, atau
          membuang buku atau catatan yang menurut Undang-
          Undang ini harus disimpan;
    c.    menghilangkan, menyetujui, atau turut serta dalam
          penghilangan keterangan dari pemberitahuan pabean,
          dokumen pelengkap pabean, atau catatan; atau


                                             d. menyimpan . . .
    d.   menyimpan dan/atau menyediakan blangko faktur
         dagang dari perusahaan yang berdomisili di luar
         negeri yang diketahui dapat digunakan sebagai
         kelengkapan pemberitahuan pabean menurut Undang-
         Undang ini
    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
    tahun, dan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
    dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00
    (lima   ratus  juta    rupiah)     dan   paling banyak
    Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

95. Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai
    berikut:

                  Pasal 105
    Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak
    membuka, melepas, atau merusak kunci, segel atau tanda
    pengaman yang telah dipasang oleh pejabat bea dan cukai
    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
    tahun dan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
    dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00
    (lima   ratus  juta    rupiah)    dan    paling banyak
    Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

96. Pasal 106 dihapus.

97. Pasal 107 tetap dengan perubahan penjelasan pasal 107
    sehingga penjelasan Pasal 107 menjadi sebagaimana
    ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal Undang-
    Undang ini.

98. Ketentuan Pasal 108 ayat (3) dan ayat (4) diubah sehingga
    Pasal 108 berbunyi sebagai berikut:

                  Pasal 108
    (1) Dalam hal suatu tindak pidana yang dapat dipidana
        menurut Undang-Undang ini dilakukan oleh atau atas
        nama    suatu   badan   hukum,   perseroan    atau
        perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi,
        tuntutan pidana ditujukan dan sanksi pidana
        dijatuhkan kepada:

                                                a. badan . . .
         a. badan hukum, perseroan atau perusahaan,
            perkumpulan, yayasan atau koperasi tersebut;
            dan/atau
         b. mereka    yang   memberikan    perintah  untuk
            melakukan tindak pidana tersebut atau yang
            bertindak sebagai pimpinan atau yang melalaikan
            pencegahannya.

    (2) Tindak pidana menurut Undang-Undang ini dilakukan
        juga oleh atau atas nama badan hukum, perseroan
        atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau
        koperasi, apabila tindak pidana tersebut dilakukan
        oleh orang-orang yang baik berdasarkan hubungan
        kerja maupun berdasarkan hubungan lain bertindak
        dalam lingkungan badan hukum, perseoran atau
        perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi
        tersebut tanpa memperhatikan apakah orang tersebut
        masing-masing telah melakukan tindakan secara
        sendiri-sendiri atau bersama-sama.
    (3) Dalam    hal   suatu tuntutan pidana dilakukan
        terhadap badan hukum, perseroan atau perusahaan,
        perkumpulan, yayasan atau koperasi, pada waktu
        penuntutan diwakili oleh pengurus yang secara
        hukum dapat dimintai pertanggungjawaban sesuai
        bentuk badan hukum yang bersangkutan.
    (4) Terhadap       badan        hukum, perseroan atau
        perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi
        yang dipidana dengan pidana sebagaimana dimaksud
        dalam Undang-Undang ini, pidana pokok yang
        dijatuhkan senantiasa berupa pidana denda paling
        banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus
        juta rupiah) jika atas tindak pidana tersebut diancam
        dengan pidana penjara, dengan tidak menghapuskan
        pidana denda apabila atas tindak pidana tersebut
        diancam dengan pidana penjara dan pidana denda.



99. Ketentuan Pasal 109 ayat (1) dan ayat (2) diubah, dan di
    antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu
    ayat (2a) sehingga Pasal 109 berbunyi sebagai berikut:



                                                  Pasal 109 . . .
                    Pasal 109

           Barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal
     (1)
           102, Pasal 103 huruf d, atau Pasal 104 huruf a,
           barang ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal
           102A, atau barang tertentu sebagaimana dimaksud
           dalam Pasal 102D yang berasal dari tindak pidana,
           dirampas untuk negara.
           Sarana pengangkut yang semata-mata digunakan
     (2)
           untuk melakukan tindak pidana sebagaimana
           dimaksud dalam Pasal 102 dan Pasal 102A, dirampas
           untuk negara.
     (2a) Sarana pengangkut yang digunakan untuk melakukan
          tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
          102D, dapat dirampas untuk negara.
           Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
     (3)
           diselesaikan berdasarkan ketentuan sebagaimana
           diatur dalam Pasal 73.


100. Di antara BAB XV dan BAB XVI disisipkan 1 (satu) bab,
     yaitu BAB XV A sehingga berbunyi sebagai berikut:

                   BAB XV A
              PEMBINAAN PEGAWAI

                    Pasal 113A

     (1)   Sikap dan perilaku pegawai Direktorat Jenderal Bea
           dan Cukai terikat pada kode etik yang menjadi
           pedoman pelaksanaan tugas sebagaimana diatur
           dalam Undang-Undang ini.
     (2)   Pelanggaran terhadap kode etik oleh pegawai
           Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diselesaikan oleh
           Komisi Kode Etik.
     (3)   Ketentuan mengenai kode etik diatur lebih lanjut
           dengan peraturan menteri.
     (4)   Ketentuan mengenai pembentukan, susunan, dan tata
           kerja Komisi Kode Etik diatur lebih lanjut dengan
           peraturan menteri.

                                                Pasal 113B . . .
                   Pasal 113B

     Apabila pejabat bea dan cukai dalam menghitung atau
     menetapkan bea masuk atau bea keluar tidak sesuai
     dengan    Undang-Undang ini sehingga mengakibatkan
     belum terpenuhinya pungutan negara, pejabat bea dan
     cukai dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
     perundang-undangan yang berlaku.

                   Pasal 113C

      (1) Dalam hal terdapat indikasi tindak pidana kepabeanan
          yang menyangkut pegawai Direktorat Jenderal Bea
          dan Cukai, Menteri dapat menugasi unit pemeriksa
          internal di lingkungan Departemen Keuangan untuk
          melakukan pemeriksaan pegawai guna menemukan
          bukti permulaan.
      (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
          lebih lanjut dengan peraturan menteri.

                   Pasal 113D

      (1) Orang perseorangan, kelompok orang, dan/atau unit
          kerja yang berjasa dalam menangani pelanggaran
          kepabeanan berhak memperoleh premi.
      (2) Jumlah premi diberikan paling banyak sebesar 50%
          (lima puluh persen) dari sanksi administrasi berupa
          denda dan/atau hasil lelang barang yang berasal dari
          tindak pidana kepabeanan.
      (3) Dalam hal hasil tangkapan merupakan barang yang
          dilarang dan/atau dibatasi yang menurut peraturan
          perundang-undangan yang berlaku tidak boleh
          dilelang, besar nilai barang sebagai dasar perhitungan
          premi ditetapkan oleh Menteri.
      (4) Ketentuan mengenai pemberian premi sebagaimana
          dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
          dengan peraturan menteri.

101. Di antara Pasal 115 dan BAB XVII disisipkan 3 (tiga) pasal,
     yaitu Pasal 115A, Pasal 115B, dan Pasal 115C yang
     berbunyi sebagai berikut:
                                                 Pasal 115A . . .
               Pasal 115A

(1)   Barang yang dimasukkan atau dikeluarkan ke dan
      dari serta berada di kawasan yang telah ditunjuk
      sebagai   daerah   perdagangan bebas   dan/atau
      pelabuhan bebas dapat diawasi oleh Direktorat
      Jenderal Bea dan Cukai.
(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      ditetapkan lebih lanjut dengan atau berdasarkan
      peraturan pemerintah.



              Pasal 115B

(1)   Berdasarkan     permintaan     masyarakat, Direktur
      Jenderal memberikan informasi yang dikelolanya,
      kecuali informasi yang sifatnya tertentu.
(2)   Ketentuan     mengenai     pemberian  informasi
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
      lanjut dengan peraturan menteri.



               Pasal 115C

      Setiap pegawai      Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
(1)
      dilarang memberitahukan segala sesuatu yang
      diketahuinya atau diberitahukan kepadanya oleh
      orang dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk
      menjalankan ketentuan Undang-Undang ini kepada
      pihak lain yang tidak berhak.
      Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(2)
      berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh
      Direktur Jenderal untuk membantu pelaksanaan
      ketentuan Undang-Undang ini.
      Menteri secara tertulis berwenang memerintahkan
(3)
      pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan tenaga
      ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
      agar memberikan keterangan dan memperlihatkan
      bukti dari orang kepada pejabat pemeriksa untuk
      keperluan pemeriksaan keuangan negara.

                                             (4) Untuk . . .
      Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam
(4)
      perkara pidana, atas permintaan hakim sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 180 Undang-Undang Nomor 8
      Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Menteri
      dapat memberi izin tertulis kepada pegawai Direktorat
      Jenderal Bea dan Cukai dan tenaga ahli sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk
      memberikan bukti dan keterangan yang ada padanya
      kepada hakim.



                 Pasal II
          Ketentuan Peralihan


1.    Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

      a. peraturan pelaksanaan yang telah ada di bidang
         kepabeanan   tetap  berlaku  sepanjang    tidak
         bertentangan dan/atau belum diatur dengan
         peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan
         Undang-Undang ini;

      b. urusan kepabeanan yang pada saat berlakunya
         Undang-Undang ini belum dapat diselesaikan,
         penyelesaiannya dilakukan berdasarkan ketentuan
         perundang-undangan di bidang kepabeanan yang
         meringankan setiap orang.

2.    Peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan
      Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 1 (satu)
      tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.


3.    Undang-Undang     ini   mulai   berlaku   pada    tanggal
      diundangkan.

                                                       Agar . . .
                       Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
                       pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
                       dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


                                           Disahkan di Jakarta
                                           pada tanggal 15 Nopember 2006

                                           PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

                                                       ttd

                                           DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

  Diundangkan di Jakarta
  pada tanggal 15 Nopember 2006

  MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
           REPUBLIK INDONESIA,

                         ttd

                HAMID AWALUDIN


      LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 93



      Salinan sesuai dengan aslinya,
       SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
    Bidang Perekonomian dan Industri,




    M. SAPTA MURTI, SH., MA, MKn
                                PENJELASAN
                                    ATAS
                   UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                          NOMOR 17 TAHUN 2006
                                  TENTANG
        PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995
                           TENTANG KEPABEANAN

I.   UMUM

     Pesatnya perkembangan industri dan perdagangan menimbulkan tuntutan
     masyarakat agar pemerintah dapat memberikan kepastian hukum dalam
     dunia usaha. Pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
     (DJBC) yang berfungsi sebagai fasilitasi perdagangan harus dapat membuat
     suatu hukum kepabeanan yang dapat mengantisipasi perkembangan dalam
     masyarakat dalam rangka memberikan pelayanan dan pengawasan yang
     lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah.

     Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
     Kepabeanan, masyarakat menganggap bahwa rumusan tindak pidana
     penyelundupan yang diatur dalam Pasal 102 Undang-Undang Nomor 10
     Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang menyatakan bahwa "Barangsiapa
     yang mengimpor atau mengekspor atau mencoba mengimpor atau
     mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan Undang-Undang ini
     dipidana karena melakukan penyelundupan", kurang tegas karena dalam
     penjelasan dinyatakan bahwa pengertian "tanpa mengindahkan" adalah
     sama sekali tidak memenuhi ketentuan atau prosedur. Hal ini berarti jika
     memenuhi salah satu kewajiban seperti menyerahkan pemberitahuan
     pabean tanpa melihat benar atau salah, tidak dapat dikategorikan sebagai
     penyelundupan sehingga tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, oleh
     karenanya dipandang perlu untuk merumuskan kembali tindakan-
     tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penyelundupan.

     Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan secara
     eksplisit menyebutkan bahwa kewenangan DJBC adalah melakukan
     pengawasan atas     lalulintas barang yang masuk atau keluar daerah
     pabean, namun mengingat letak geografis Indonesia sebagai negara
     kepulauan yang lautnya berbatasan langsung dengan negara tetangga,
     maka perlu dilakukan pengawasan terhadap pengangkutan barang yang
     diangkut melalui laut di dalam daerah pabean untuk menghindari
     penyelundupan dengan modus pengangkutan antar pulau, khususnya
untuk barang tertentu. Secara implisit dapat dikatakan bahwa
pengawasan pengangkutan barang tertentu dalam daerah pabean
merupakan perpanjangan kewenangan atau bagian yang tidak terpisahkan
dari kewenangan pabean sebagai salah satu instansi pengawas perbatasan.
Sehubungan dengan hal tersebut masyarakat memandang perlu untuk
memberikan kewenangan kepada DJBC untuk mengawasi pengangkutan
barang tertentu yang diusulkan oleh instansi teknis terkait.

Tempat Penimbunan Berikat (TPB) sebagai bentuk insentif di bidang
kepabeanan yang selama ini diberikan, tidak dapat menampung tuntutan
investor luar negeri untuk dapat melakukan pelelangan, daur ulang, dan
kegiatan lain karena adanya pembatasan tujuan TPB hanya untuk
menimbun barang impor untuk diolah, dipamerkan, dan/atau disediakan
untuk dijual. Untuk menghindari beralihnya investasi ke negara-negara
tetangga serta sebagai daya tarik bagi investor asing perlu diberikan suatu
insentif, kepastian hukum, dan kepastian berusaha dengan perluasan
fungsi TPB.

Dalam kaitannya dengan perdagangan internasional, Undang-Undang
kepabeanan idealnya dapat mengikuti konvensi internasional dan praktek
kepabeanan internasional sehingga perlu melakukan penyesuaian Undang-
Undang kepabeanan Indonesia dengan menambahkan atau mengubah
ketentuan sesuai dengan konvensi tersebut.

Pasal 96 sampai dengan Pasal 101 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995
tentang Kepabeanan, mengatur lembaga banding. Namun ternyata lembaga
tersebut belum dibentuk dengan pertimbangan telah dibentuk badan
penyelesaian sengketa pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak yang kemudian
diganti dengan Pengadilan Pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Kompetensi pengadilan pajak
mencakup banding di bidang kepabeanan sehingga Pasal 96 sampai dengan
Pasal 101 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
tidak diperlukan lagi dan dihapus.

Sesuai dengan Agreement on Implementation of Article VII of General
Agreement on Trade and Tariff (GATT) 1994, Article 22 menyebutkan bahwa
perundang-undangan nasional harus memuat ketentuan penetapan nilai
pabean sesuai World Trade Organization (WTO) Valuation Agreement. Dalam
Article 4 Konvensi tersebut diatur bahwa metode komputasi dapat
digunakan mendahului metode deduksi atas permintaan importir.
Indonesia telah menggunakan kesempatan untuk menunda pelaksanaan
Article 4 Konvensi tersebut selama 5 (lima) tahun yang berakhir pada tahun
2000, sehingga ketentuan penetapan nilai pabean sesuai Article 4 Konvensi
    tersebut harus dimasukkan dalam perubahan Undang-Undang Kepabeanan
    ini.
II. PASAL DEMI PASAL

  Pasal 1
    Cukup Jelas.


  Pasal 2
    Ayat (1)
        Ayat ini memberikan penegasan pengertian impor secara yuridis,
        yaitu pada saat barang memasuki daerah pabean dan menetapkan
        saat barang tersebut terutang bea masuk serta merupakan dasar
        yuridis bagi pejabat bea dan cukai untuk melakukan pengawasan.

     Ayat (2)
        Ayat ini memberikan penegasan tentang pengertian ekspor. Secara
        nyata ekspor terjadi pada saat barang melintasi daerah pabean,
        namun mengingat dari segi pelayanan dan pengamanan tidak
        mungkin menempatkan pejabat bea dan cukai di sepanjang garis
        perbatasan untuk memberikan pelayanan dan melakukan
        pengawasan barang ekspor, maka secara yuridis ekspor dianggap
        telah terjadi pada saat barang tersebut telah dimuat di sarana
        pengangkut yang akan berangkat ke luar daerah pabean.
        Yang dimaksud dengan sarana pengangkut, yaitu setiap kendaraan,
        pesawat udara, kapal laut, atau sarana lain yang digunakan untuk
        mengangkut barang atau orang.
        Yang dimaksud dimuat yaitu dimasukkannya barang ke dalam
        sarana pengangkut dan telah diajukan pemberitahuan pabean
        termasuk dipenuhinya pembayaran bea keluar.

      Ayat (3)
        Ayat ini memberikan penegasan bahwa walaupun barang tersebut
        telah dimuat di sarana pengangkut yang akan berangkat ke luar
        daerah pabean, jika dapat dibuktikan barang tersebut akan
        dibongkar di dalam daerah pabean dengan menyerahkan suatu
        pemberitahuan pabean, barang tersebut tidak dianggap sebagai
        barang ekspor.


    Pasal 2A
         Pengenaan bea keluar dalam pasal ini dimaksudkan untuk
         melindungi kepentingan nasional, bukan untuk membebani daya
         saing komoditi ekspor di pasar internasional.
                                                            Pasal 3 . . .
 Pasal 3
    Ayat (1)
         Untuk memperoleh data dan penilaian yang tepat mengenai
         pemberitahuan pabean yang diajukan terhadap barang impor
         dilakukan pemeriksaan pabean dalam bentuk penelitian terhadap
         dokumen dan pemeriksaan atas fisik barang.
     Ayat (2)
       Cukup Jelas.
     Ayat (3)
       Pada dasarnya pemeriksaan pabean dilakukan dalam daerah
       pabean oleh pejabat bea dan cukai secara selektif dengan
       mempertimbangkan risiko yang melekat pada barang dan importir.
       Namun, dengan mempertimbangkan kelancaran arus barang
       dan/atau pengamanan penerimaan negara, Menteri dapat
       menetapkan pelaksanaan pemeriksaan pabean di luar daerah
       pabean oleh pejabat bea dan cukai atau pihak lain yang bertindak
       untuk dan atas nama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
     Ayat (4)
       Cukup Jelas.

Pasal 4
    Pada dasarnya pemeriksaan pabean dilakukan di dalam daerah
    pabean oleh pejabat bea dan cukai.
    Dalam rangka mendorong ekspor, terutama dalam kaitannya dengan
    upaya untuk meningkatkan daya saing barang ekspor Indonesia di
    pasar dunia, diperlukan suatu kecepatan dan kepastian bagi
    eksportir. Dengan demikian, pemeriksaan pabean dalam bentuk
    pemeriksaan fisik atas barang ekspor harus diupayakan seminimal
    mungkin sehingga terhadap barang ekspor pada dasarnya hanya
    dilakukan penelitian terhadap dokumennya.
    Untuk memperoleh data dan penilaian yang tepat mengenai
    pemberitahuan pabean yang diajukan, pasal ini memberikan
    kewenangan kepada menteri untuk dalam hal-hal tertentu dapat
    mengatur tata cara pemeriksaan fisik atas barang ekspor.

Pasal 4A
  Ayat (1)
      Pengawasan pengangkutan barang tertentu sebagaimana dimaksud
      pada ayat ini hanya dilakukan terhadap pengangkutan barang
      tersebut dari satu tempat ke tempat lain dalam daerah pabean yang
      dilakukan melalui laut.
                                                        Pengawasan . . .

     Pengawasan pengangkutan barang tertentu ini bertujuan untuk
     mencegah penyelundupan ekspor dengan modus pengangkutan
     antarpulau barang-barang strategis seperti hasil hutan, hasil
     tambang, atau barang yang mendapat subsidi.

  Ayat (2)
     Yang dimaksud dengan instansi teknis terkait yaitu kementerian
     atau lembaga pemerintah nondepartemen yang berwenang.

  Ayat (3)
     Cukup Jelas.

Pasal 5
  Ayat (1)
     Dilihat dari keadaan geografis Negara Republik Indonesia yang
     demikian luas dan merupakan negara kepulauan, maka tidak
     mungkin menempatkan pejabat bea dan cukai di sepanjang pantai
     untuk menjaga agar semua barang yang dimasukkan ke atau yang
     dikeluarkan dari daerah pabean memenuhi ketentuan yang telah
     ditetapkan. Oleh sebab itu, ditetapkan bahwa pemenuhan kewajiban
     pabean hanya dapat dilakukan di kantor pabean. Penegasan bahwa
     pemenuhan kewajiban pabean dilakukan di kantor pabean
     maksudnya yaitu jika kedapatan barang dibongkar atau dimuat di
     suatu tempat yang tidak ditunjuk sebagai kantor pabean berarti
     terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang ini.

    Dengan demikian, pengawasan lebih mudah dilakukan, sebab tempat
    untuk     memenuhi      kewajiban    pabean      seperti  penyerahan
    pemberitahuan pabean atau pelunasan bea masuk telah dibatasi
    dengan penunjukan kantor pabean yang disesuaikan dengan
    kebutuhan perdagangan.
    Pemenuhan kewajiban pabean di tempat selain di kantor pabean
    dapat diizinkan dengan pemenuhan persyaratan tertentu yang akan
    ditetapkan oleh Menteri, sesuai dengan kepentingan perdagangan dan
    perekonomian, atau apabila dengan cara tersebut kewajiban pabean
    dapat dipenuhi dengan lebih mudah, aman, dan murah.
    Pemberian kemudahan berupa pemenuhan kewajiban pabean di
    tempat selain di kantor pabean tersebut bersifat sementara.

  Ayat (2)
    Cukup Jelas.
                                                                Ayat (3) . . .
   Ayat (3)
       Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas
       barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan
       keuangan negara, Undang-Undang ini menetapkan adanya kawasan
       pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang
       sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea
       dan Cukai dan menetapkan adanya kantor pabean.
       Penunjukan pos pengawasan pabean dimaksudkan untuk tempat
       pejabat bea dan cukai melakukan pengawasan. Pos tersebut
       merupakan bagian dari kantor pabean dan di tempat tersebut tidak
       dapat dipenuhi kewajiban pabean.

   Ayat (4)
      Cukup Jelas.

 Pasal 5A
   Ayat (1)
       Data elektronik (softcopy) yaitu informasi atau rangkaian informasi
       yang disusun dan/atau dihimpun untuk kegunaan khusus yang
       diterima, direkam, dikirim, disimpan, diproses, diambil kembali, atau
       diproduksi secara elektronik dengan menggunakan komputer atau
       perangkat pengolah data elektronik, optikal, atau cara lain yang
       sejenis.

   Ayat (2)
      Cukup Jelas.

   Ayat (3)
      Cukup Jelas.

   Ayat (4)
      Cukup Jelas.

Pasal 6
    Ayat (1)
        Ayat ini mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berkaitan
        dengan penyelesaian kewajiban pabean atas barang impor atau
        ekspor harus didasarkan pada ketentuan dalam Undang-Undang ini
        yang pelaksanaan penegakannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal
        Bea dan Cukai.

   Ayat (2)
      Cukup Jelas.

                                                             Pasal 6A . . .
Pasal 6A
   Ayat (1)
       Dengan semakin berkembangnya penggunaan teknologi informasi
       dalam kegiatan kepabeanan, diperlukan adanya sarana untuk
       mengenali pengguna jasa kepabeanan melalui nomor identitas
       pribadi yang diberikan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Dengan
       nomor identitas pribadi itu dimaksudkan bahwa hanya orang yang
       memiliki nomor identitas tersebut yang dapat mengakses atau
       berhubungan dengan sistem teknologi informasi kepabeanan.
       Pemerolehan nomor identitas tersebut dapat dilakukan dengan cara
       registrasi, misalnya registrasi importir, eksportir, dan pengusaha
       pengurusan jasa kepabeanan.

   Ayat (2)
      Pengecualian yang dimaksud pada ayat ini diberikan kepada orang
      yang menyelesaikan kewajiban pabean tertentu antara lain atas
      barang penumpang, barang diplomatik, atau barang kiriman melalui
      pos atau perusahaan jasa titipan.

   Ayat (3)
      Cukup Jelas.


Pasal 7A
   Ayat (1)
       Ketentuan ini mengatur kewajiban bagi pengangkut untuk
       memberitahukan rencana kedatangan sarana pengangkutnya
       sebelum sarana pengangkut tiba di kawasan pabean, baik terhadap
       sarana pengangkut yang melakukan kegiatannya secara reguler
       (liner) maupun sarana pengangkut yang tidak secara teratur berada
       di kawasan pabean (tramper). Hal ini dimaksudkan untuk lebih
       meningkatkan pengawasan pabean atas barang impor dan/atau
       barang ekspor.
       Yang dimaksud dengan saat kedatangan sarana pengangkut yaitu:
       a. saat lego jangkar di perairan      pelabuhan untuk sarana
           pengangkut melalui laut;
       b. saat mendarat di landasan bandar udara untuk sarana
           pengangkut melalui udara.

   Ayat (2)
      Yang dimaksud dengan manifes yaitu daftar barang niaga yang
      dimuat dalam sarana pengangkut.
                                                            Ayat (3) . . .
Ayat (3)
   Pemberitahuan pabean pada ayat ini berisi informasi tentang semua
   barang niaga yang diangkut dengan sarana pengangkut, baik barang
   impor, barang ekspor, maupun barang asal daerah pabean yang
   diangkut ke tempat lain dalam daerah pabean melalui luar daerah
   pabean.

Ayat (4)
   Cukup Jelas.

Ayat (5)
   Ketentuan mengenai berlabuh pada ayat ini dihitung              sejak
   kedatangan sarana pengangkut sebagaimana dimaksud               pada
   penjelasan ayat (1).

Ayat (6)
   Pada dasarnya barang impor hanya dapat dibongkar setelah diajukan
   pemberitahuan pabean tentang kedatangan sarana pengangkut.
   Akan tetapi, jika sarana pengangkut mengalami keadaan darurat
   seperti mengalami kebakaran, kerusakan mesin yang tidak dapat
   diperbaiki, terjebak dalam cuaca buruk, atau hal lain yang terjadi di
   luar kemampuan manusia dapat diadakan pengecualian dengan
   melakukan pembongkaran tanpa memberitahukan terlebih dahulu
   tentang kedatangan sarana pengangkut.

   Huruf a.
         Yang dimaksud dengan kantor pabean terdekat yaitu kantor
         pabean yang paling mudah dicapai.
         Melaporkan keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam
         ketentuan ini dapat dilakukan dengan menggunakan radio
         panggil, telepon, atau faksimile.
   Huruf b
       Cukup Jelas.

Ayat (7)
  Cukup Jelas.

Ayat (8)
  Cukup Jelas.

Ayat (9)
  Cukup Jelas.
                                                            Pasal 8A . . .
Pasal 8A
   Ayat (1)
       Yang dimaksud dengan pengangkutan pada ayat ini yaitu
       pengangkutan barang impor yang tidak melalui laut (inland
       transportation).
   Ayat (2)
      Yang dimaksud dengan pengusaha pada ayat ini yaitu pengusaha
      tempat   penimbunan    sementara     atau   pengusaha  tempat
      penimbunan berikat.
      Yang dimaksud dengan importir yaitu orang yang mengimpor.
   Ayat (3)
     Cukup Jelas.
   Ayat (4)
      Cukup Jelas.


Pasal 8B
   Ayat (1)
       Mengingat tenaga listrik, barang cair, atau gas bersifat khusus,
       pengangkutan terhadap barang tersebut dilakukan dengan cara
       khusus antara lain       melalui transmisi atau saluran pipa.
       Pemberitahuan pabean atas impor atau ekspor barang tersebut harus
       didasarkan pada jumlah dan jenis barang pada saat pengukuran di
       tempat pengukuran terakhir dalam daerah pabean.

   Ayat (2)
      Peranti lunak (software) dapat berupa serangkaian program dalam
      sistem komputer yang memerintahkan komputer apa yang harus
      dilakukan.
      Peranti lunak dan data elektronik (softcopy) merupakan barang yang
      menjadi objek dari Undang-Undang ini dan pengangkutan atau
      pengirimannya dapat dilakukan melalui transmisi elektronik
      misalnya melalui media internet.

   Ayat (3)
      Cukup Jelas.


Pasal 8C
  Ayat (1)
    Cukup Jelas.

                                                           Ayat (2) . . .
  Ayat (2)
     Yang dimaksud dengan dokumen yang sah yaitu dokumen yang
     dipersyaratkan dalam pengangkutan barang tertentu.
  Ayat (3)
     Sanksi administrasi berupa denda dikenakan terhadap kelebihan
     atau kekurangan barang tertentu pada saat pengangkutan atau
     pembongkaran.
  Ayat (4)
     Cukup Jelas.
  Ayat (5)
     Cukup Jelas.


Pasal 9A
   Ayat (1)
      Yang dimaksud dengan barang impor yaitu barang impor baik yang
      diangkut lanjut maupun yang diangkut terus.
   Ayat (2)
     Cukup Jelas.
   Ayat (3)
      Cukup Jelas.
   Ayat (4)
     Cukup Jelas.




Pasal 10A
   Ayat (1)
       Pembongkaran di tempat lain dilakukan dengan memperhatikan
       teknis pembongkaran atau sebab lain atas pertimbangan kepala
       kantor pabean, misalnya sarana pengangkut tidak dapat sandar di
       dermaga atau alat bongkar tidak tersedia.

    Ayat (2)
       Yang dimaksud dengan pembongkaran pada ayat ini yaitu
       pembongkaran barang dari sarana pengangkut yang satu ke sarana
    pengangkut lainnya, dilakukan di pelabuhan yang belum dapat
    disandari langsung sehingga pembongkaran dilakukan di luar
    pelabuhan (reede).
    Yang dimaksud dengan jalur yang ditetapkan yaitu jalur yang harus
    dilalui oleh sarana pengangkut yang meneruskan pengangkutan
    dari reede ke kantor pabean.
Ayat (3)
   Kewajiban pada ayat ini yang harus dilakukan oleh pengangkut atau
   kuasanya yaitu memberitahukan kedatangan sarana pengangkut
   dengan pemberitahuan pabean kepada pejabat bea dan cukai dan
   dokumen tersebut harus memuat atau berisi semua barang impor
   yang diangkut di dalam sarana pengangkut tersebut, baik berupa
   barang dagangan maupun bekal kapal. Apabila jumlah barang yang
   dibongkar kurang dari jumlah yang diberitahukan dalam
   pemberitahuan pabean, pengangkut berdasarkan ketentuan pada
   ayat ini dianggap telah memasukkan barang impor tersebut ke
   peredaran bebas sehingga selain wajib membayar bea masuk atas
   barang yang kurang dibongkar tersebut, juga dikenai sanksi
   administrasi berupa denda, jika yang bersangkutan tidak dapat
   membuktikan bahwa kekurangan barang yang dibongkar tersebut
   bukan karena kesalahannya.
   Dalam hal barang yang diangkut dalam kemasan, yang dimaksud
   dengan jumlah barang yaitu jumlah kemasan.

Ayat (4)
   Cukup Jelas.

Ayat (5)
   Ketentuan ini dimaksudkan bahwa penimbunan barang di tempat
   penimbunan sementara bukan merupakan keharusan karena
   penimbunan tersebut hanya dilakukan dalam hal barang tidak dapat
   dikeluarkan dengan segera.

Ayat (6)
   Yang dimaksud dalam hal tertentu yaitu apabila penimbunan di
   tempat penimbunan sementara tidak dapat dilakukan           seperti
   kongesti, kendala teknis penimbunan, sifat barang, atau sebab lain
   sehingga tidak memungkinkan barang impor ditimbun. Termasuk
   dalam pengertian ini yaitu pemberian fasilitas penimbunan selain di
   tempat penimbunan sementara dengan tujuan untuk menghindari
   beban biaya penumpukan yang mungkin atau yang telah timbul
   selama dalam proses pemenuhan kewajiban pabean.
   Ketentuan yang berlaku pada tempat penimbunan sementara berlaku
   di tempat lain yang dimaksud pada ayat ini.
  Ayat (7)
        Huruf a
           Cukup Jelas.


                                                            Huruf b . . .
        Huruf b
          Cukup Jelas.

        Huruf c
          Cukup Jelas.

        Huruf d
          Cukup Jelas.

        Huruf e
          Yang dimaksud dengan barang diangkut terus yaitu       barang
          yang diangkut dengan sarana pengangkut melalui         kantor
          pabean tanpa dilakukan pembongkaran terlebih dulu.
          Yang dimaksud dengan barang diangkut lanjut yaitu      barang
          yang diangkut dengan sarana pengangkut melalui         kantor
          pabean dengan dilakukan pembongkaran terlebih dulu.

        Huruf f
           Yang dimaksud dengan diekspor kembali antara lain:
           1) pengiriman kembali barang impor keluar daerah pabean
               karena ternyata tidak sesuai dengan yang dipesan;
            2) oleh karena suatu ketentuan baru dari pemerintah tidak
               boleh diimpor ke dalam daerah pabean.
  Ayat (8)
     Pengeluaran barang pada ayat ini dilakukan tanpa bermaksud untuk
     mengelakkan pembayaran bea masuk, karena telah diajukan
     pemberitahuan pabean dan bea masuknya telah dilunasi, akan tetapi
     karena pengeluarannya tanpa persetujuan pejabat bea dan cukai,
     atas pelanggaran tersebut dikenai sanksi administrasi berupa denda.

  Ayat (9)
     Cukup Jelas.


Pasal 10B
   Ayat (1)
         Huruf a
            Cukup Jelas.
        Huruf b
           Cukup Jelas

Ayat (2)
      Huruf a
         Cukup Jelas.
                                                        Huruf b . . .
      Huruf b
         Ketentuan ini memungkinkan importir yang memenuhi
         persyaratan, untuk mengeluarkan barang impor untuk dipakai
         sebelum melunasi bea masuk yang terutang dengan
         menyerahkan jaminan. Namun, importir wajib menyelesaikan
         kewajibannya dalam jangka waktu yang ditetapkan menurut
         Undang-Undang ini. Kemudahan ini diberikan dengan tujuan
         untuk memperlancar arus barang.

      Huruf c
          Cukup Jelas.

Ayat (3)
   Yang dimaksud dengan penumpang yaitu setiap orang yang melintasi
   perbatasan     wilayah negara  dengan    menggunakan    sarana
   pengangkut, tetapi bukan awak sarana pengangkut dan bukan
   pelintas batas.
   Yang dimaksud dengan awak sarana pengangkut yaitu setiap orang
   yang karena sifat pekerjaannya harus berada dalam sarana
   pengangkut dan datang bersama sarana pengangkut.

   Yang dimaksud dengan pelintas batas yaitu penduduk yang berdiam
   atau bertempat tinggal dalam wilayah perbatasan negara serta
   memiliki kartu identitas yang dikeluarkan oleh instansi yang
   berwenang dan yang melakukan perjalanan lintas batas di daerah
   perbatasan melalui pos pengawas lintas batas.
   Yang dimaksud dengan diberitahukan yaitu menyampaikan
   pemberitahuan secara lisan atau tertulis.

Ayat (4)
   Yang dimaksud dengan persetujuan pejabat bea dan cukai yaitu
   penetapan pejabat bea dan cukai yang menyatakan bahwa barang
   tersebut telah dipenuhi kewajiban pabean berdasarkan Undang-
   Undang ini.

Ayat (5)
   Cukup Jelas.

Ayat (6)
       Ketentuan pada ayat ini mengatur tentang pengenaan sanksi
       administrasi berupa denda kepada importir yang memperoleh
       kemudahan berdasarkan ketentuan pada ayat (2) huruf b atau huruf
       c, yaitu mengimpor barang untuk dipakai sebelum melunasi bea
       masuk dengan penyerahan jaminan, tetapi tidak menyelesaikan
       kewajiban untuk membayar bea masuk menurut jangka waktu yang
       ditetapkan berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 10C
   Ayat (1)
       Kekhilafan yang nyata adalah kesalahan atau kekeliruan yang
       bersifat manusiawi dalam suatu pemberitahuan pabean yang sering
       terjadi dalam bentuk kesalahan tulis, kesalahan hitung dan/atau
       kesalahan penerapan peraturan yang seharusnya tidak perlu terjadi,
       dan tidak mengandung persengketaan antara pejabat bea dan cukai
       dengan pengguna jasa kepabeanan, misalnya:
       - kesalahan tulis berupa kesalahan penulisan nama atau alamat;
       - kesalahan hitung berupa kesalahan perhitungan bea masuk atau
          pajak;
       - kesalahan penerapan aturan berupa ketidaktahuan adanya
          perubahan peraturan, sering terjadi pada awal berlakunya
          peraturan baru.

   Ayat (2)
      Huruf a
          Cukup Jelas.

      Huruf b
         Cukup Jelas.

      Huruf c
        Penetapan pejabat bea dan cukai dapat juga merupakan
        penetapan dengan menggunakan sistem komputer pelayanan.

   Ayat (3)
      Cukup Jelas.


Pasal 10D
    Ayat (1)
      Tujuan pengaturan impor sementara yaitu memberikan kemudahan
      atas pemasukan barang dengan tujuan tertentu, misalnya barang
      perlombaan; kendaraan yang dibawa oleh wisatawan; peralatan
      penelitian; peralatan yang digunakan oleh teknisi, wartawan, dan
      tenaga ahli; kemasan yang dipakai berulang-ulang; dan barang
     keperluan proyek yang digunakan sementara waktu yang pada saat
     pengimporannya telah jelas bahwa barang tersebut akan diekspor
     kembali.

   Ayat (2)
      Cukup Jelas.

                                                             Ayat (3) . . .
   Ayat (3)
     Mengingat pemasukannya hanya untuk sementara, barang-barang
     tersebut diberikan pembebasan atau keringanan bea masuk.

   Ayat (4)
      Cukup Jelas.

   Ayat (5)
      Yang dimaksud dengan terlambat yaitu barang tersebut telah selesai
      dipergunakan sesuai dengan jangka waktu yang diizinkan, tetapi
      yang bersangkutan tidak mengurus administrasi kepabeanannya
      sampai dengan tanggal jatuh tempo.
      Perhitungan bea masuk pada ayat ini dihitung berdasarkan tarif dan
      nilai pabean pada saat pengajuan pemberitahuan pabean atas impor
      sementara tersebut.

   Ayat (6)
     Cukup Jelas.


   Ayat (7)
     Cukup Jelas.

Pasal 11A
    Ayat (1)
       Pemberitahuan pada ayat ini dimaksudkan sebagai sarana untuk
       melakukan pengawasan terhadap barang yang akan dikeluarkan
       dari daerah pabean.

   Ayat (2)
      Cukup Jelas.

   Ayat (3)
      Cukup Jelas.

   Ayat (4)
      Cukup Jelas.

   Ayat (5)
     Yang dimaksud dengan dibatalkan yaitu dibatalkan seluruhnya atau
     sebagian.

   Ayat (6)
     Cukup Jelas.

                                                             Ayat (7) . . .
   Ayat (7)
     Cukup Jelas.


Pasal 13
   Ayat (1)
      Ayat ini memberikan kewenangan kepada menteri untuk
      menetapkan tarif bea masuk yang besarnya berbeda dengan tarif
      yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).

     Huruf a
       Tarif bea masuk dikenakan berdasarkan perjanjian atau
       kesepakatan yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia
       dengan pemerintah negara lain atau beberapa negara lain,
       misalnya bea masuk berdasarkan Common Effective Preferential
       Tariff for Asean Free Trade Area (CEPT for AFTA).

     huruf b
        Dalam rangka mempermudah dan mempercepat penyelesaian
        impor barang bawaan penumpang, awak sarana pengangkut,
        pelintas batas, dan barang kiriman melalui pos atau jasa titipan,
        dapat dikenakan bea masuk berdasarkan tarif yang berbeda
        dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1),
        misalnya dengan pengenaan tarif rata-rata. Ketentuan ini perlu,
        mengingat barang-barang yang dibawa oleh para penumpang,
        awak sarana pengangkut, dan pelintas batas pada umumnya
        terdiri dari beberapa jenis.

   Ayat (2)
      Cukup Jelas.


Pasal 14
   Ayat (1)
       Yang dimaksud dengan sistem klasifikasi barang dalam pasal ini
       yaitu suatu daftar penggolongan barang yang dibuat secara
       sistematis dengan tujuan untuk mempermudah penarifan,
       transaksi perdagangan, pengangkutan, dan statistik.

   Ayat (2)
      Cukup Jelas.


                                                           Pasal 15 . . .

Pasal 15
   Ayat (1)
       Yang dimaksud dengan nilai transaksi yaitu harga yang sebenarnya
       dibayar atau yang seharusnya dibayar oleh pembeli kepada penjual
       atas barang yang dijual untuk diekspor ke daerah pabean ditambah
       dengan:
       a. biaya yang dibayar oleh pembeli yang belum tercantum dalam
          harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar
          berupa:
          1. komisi dan jasa, kecuali komisi pembelian;
          2. biaya pengemas, yang untuk kepentingan pabean, pengemas
             tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan barang
             yang bersangkutan;
          3. biaya pengepakan meliputi biaya material dan upah tenaga
             kerja pengepakan;
      b. nilai dari barang dan jasa berupa:
         1. material, komponen, bagian, dan barang-barang sejenis yang
             terkandung dalam barang impor;
         2. peralatan, cetakan, dan barang-barang yang sejenis yang
             digunakan untuk pembuatan barang impor;
         3. material yang digunakan dalam pembuatan barang impor;
         4. teknik, pengembangan, karya seni, desain, perencanaan, dan
             sketsa yang dilakukan dimana saja di luar daerah pabean dan
             diperlukan untuk pembuatan barang impor, yang dipasok
             secara langsung atau tidak langsung oleh pembeli, dengan
             syarat barang dan jasa tersebut:
             a) dipasok dengan cuma-cuma atau dengan harga diturunkan;
             b) untuk kepentingan produksi dan penjualan untuk ekspor
                barang impor yang dibelinya;
             c) harganya belum termasuk dalam harga yang sebenarnya
                atau yang seharusnya dibayar dari barang impor yang
                bersangkutan.
  c. royalti dan biaya lisensi yang harus dibayar oleh pembeli secara
     langsung atau tidak langsung sebagai persyaratan jual beli
     barang impor yang dinilai, sepanjang royalti dan biaya lisensi
     tersebut belum termasuk dalam harga yang sebenarnya dibayar
     dari barang impor yang bersangkutan;
  d. nilai setiap bagian dari hasil/pendapatan yang diperoleh pembeli
     untuk disampaikan secara langsung atau tidak langsung kepada
     penjual, atas penjualan, pemanfaatan, atau pemakaian barang
     impor yang bersangkutan;

                                                       e. biaya . . .
  e. biaya transportasi barang impor yang dijual untuk diekspor ke
     pelabuhan atau tempat impor di daerah pabean;
  f.   biaya pemuatan, pembongkaran, dan penanganan yang berkaitan
       dengan pengangkutan barang impor ke pelabuhan atau tempat
       impor di daerah pabean;
  g. biaya asuransi.

Ayat (2)
   Dua barang dianggap identik apabila keduanya sama dalam segala
   hal, setidak-tidaknya karakter fisik, kualitas, dan reputasinya
   sama, serta:
   a. diproduksi oleh produsen yang sama di negara yang sama; atau
   b. diproduksi oleh produsen lain di negara yang sama.

Ayat (3)
   Dua barang dianggap serupa apabila keduanya memiliki karakter
   fisik dan komponen material yang sama sehingga dapat
   menjalankan fungsi yang sama dan secara komersial dapat
   dipertukarkan, serta:
   a. diproduksi oleh produsen yang sama di negara yang sama; atau
   b. diproduksi oleh produsen lain di negara yang sama.

Ayat (3a)
   Cukup Jelas.

Ayat (4)
   Yang dimaksud metode deduksi yaitu metode untuk menghitung
   nilai pabean barang impor berdasarkan harga jual dari barang
   impor yang bersangkutan, barang impor yang identik atau barang
   impor yang serupa di pasar dalam daerah pabean dikurangi biaya
   atau pengeluaran, antara lain komisi atau keuntungan,
   transportasi, asuransi, bea masuk, dan pajak.
    Ayat (5)
       Yang dimaksud dengan metode komputasi yaitu metode untuk
       menghitung nilai pabean barang impor berdasarkan penjumlahan
       harga    bahan    baku,    biaya    proses    pembuatan, dan
       biaya/pengeluaran lainnya sampai barang tersebut tiba di
       pelabuhan atau tempat impor di daerah pabean.

    Ayat (6)
       Yang dimaksud dengan pembatasan tertentu yaitu bahwa dalam
       perhitungan nilai pabean barang impor berdasarkan ayat ini tidak
       diizinkan ditetapkan berdasarkan:
       a. harga jual barang produksi dalam negeri;
       b. suatu sistem yang menentukan nilai yang lebih tinggi apabila
             ada dua alternatif nilai pembanding;
       c. harga barang di pasaran dalam negeri negara pengekspor;
       d. biaya produksi, selain nilai yang dihitung berdasarkan metode
             komputasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang telah
             ditentukan untuk barang identik atau serupa;
       e. harga barang yang diekspor ke suatu negara selain ke daerah
             pabean;
       f. harga patokan;
       g. nilai yang ditetapkan dengan sewenang-wenang atau fiktif.

    Ayat (7)
      Cukup Jelas.

Pasal 16
    Penetapan tarif dan nilai pabean atas pemberitahuan pabean secara
    self assesment hanya dilakukan dalam hal tarif dan nilai pabean yang
    diberitahukan berbeda dengan tarif yang ada dan/atau nilai pabean
    barang yang sebenarnya sehingga:
    a. bea masuk kurang dibayar dalam hal tarif dan/atau nilai pabean
        yang ditetapkan lebih tinggi;
    b. bea masuk lebih dibayar dalam hal tarif dan/atau nilai pabean yang
        ditetapkan lebih rendah.
    Dalam hal tertentu atas barang impor dilakukan penetapan tarif dan
    nilai pabean untuk penghitungan bea masuk setelah pemeriksaan fisik,
    tetapi sebelum diserahkan pemberitahuan pabean.
    Dalam rangka memberikan kepastian pelayanan kepada masyarakat,
    jika pemberitahuan pabean sudah didaftarkan, penetapan harus sudah
    diberikan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pendaftaran.
    Batas waktu 30 (tiga puluh) hari dianggap cukup bagi pejabat bea dan
   cukai untuk mengumpulkan informasi sebagai dasar pertimbangan
   dalam melakukan penetapan.
   Ayat (1)
     Yang dimaksud dengan penetapan tarif sebelum penyerahan
     pemberitahuan pabean       yaitu penetapan tarif yang dilakukan
     terhadap importasi tertentu secara official assesment.
   Ayat (2)
     Yang dimaksud dengan penetapan nilai pabean sebelum penyerahan
     pemberitahuan pabean      yaitu penetapan nilai pabean yang
     dilakukan terhadap importasi tertentu seperti impor sementara,
     barang penumpang, atau barang kiriman secara official assesment.
   Ayat (3)
     Cukup Jelas.

   Ayat (4)
     Cukup Jelas.

   Ayat (5)
     Cukup Jelas.

   Ayat (6)
     Cukup Jelas.

Pasal 17
    Ayat (1)
       Pada dasarnya penetapan pejabat bea dan cukai sudah mengikat
       dan dapat dilaksanakan. Akan tetapi, jika hasil penelitian ulang
       atas pemberitahuan pabean atau dalam hal pelaksanaan audit
       kepabeanan ditemukan adanya kekurangan dan/atau kelebihan
       pembayaran bea masuk yang disebabkan oleh kesalahan
       pemberitahuan tarif dan/atau nilai pabean, Direktur Jenderal
       membuat penetapan kembali.

   Ayat (2)
      Cukup Jelas.

   Ayat (3)
      Cukup Jelas.

   Ayat (4)
      Ketentuan ini dimaksudkan bahwa pada dasarnya yang
      mengetahui besarnya suatu transaksi yang dilakukan hanyalah
      pihak penjual dan pembeli sehingga kebenaran pemberitahuan
      nilai transaksi semata-mata tergantung pada kejujuran pihak yang
       bertransaksi. Oleh karena itu, kesalahan akibat ketidakjujuran
       yang ditemukan dalam penelitian kembali atau dalam pelaksanaan
       audit kepabeanan dikenai sanksi administrasi berupa denda.

Pasal 17A
   Penetapan Direktur Jenderal sebelum diajukan pemberitahuan pabean
   dalam pasal ini yaitu dalam rangka memberikan pelayanan kepada
   pengguna jasa     dan menyesuaikan dengan praktik kepabeanan
   internasional yang lazim dikenal sebagai Pre-Entry Classification dan
   Valuation Ruling.

                                                             Yang . . .
   Yang dimaksud dengan Pre-Entry Classification yaitu penetapan
   klasifikasi barang oleh Direktur Jenderal terhadap importasi barang
   sebelum diajukan pemberitahuan pabean atas permohonan importir.

   Yang dimaksud dengan Valuation Ruling yaitu penetapan nilai pabean
   oleh Direktur Jenderal yang dibuat berdasarkan hasil audit
   kepabeanan terhadap importasi barang yang telah dan akan dilakukan
   oleh importir dalam jangka waktu tertentu.

Pasal 23A
    Yang dimaksud dengan bea masuk tindakan pengamanan (safeguard)
    yaitu bea masuk yang dipungut sebagai akibat tindakan yang diambil
    pemerintah untuk memulihkan kerugian serius dan/atau mencegah
    ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri sebagai
    akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara
    langsung merupakan saingan hasil industri dalam negeri dengan
    tujuan agar industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius
    dan/atau ancaman kerugian serius tersebut dapat melakukan
    penyesuaian struktural.
    Dalam hal tindakan pengamanan telah ditetapkan dalam bentuk
    kuota (pembatasan impor), maka bea masuk tindakan pengamanan
    tidak harus dikenakan.
    Yang dimaksud dengan kerugian serius adalah kerugian nyata yang
    diderita oleh industri dalam negeri. Kerugian tersebut harus
    didasarkan pada (shall be based on) fakta-fakta bukan didasarkan
    pada tuduhan, dugaan, atau perkiraan.

Pasal 23B
    Ayat (1)
       Dalam hal barang ekspor Indonesia diperlakukan secara tidak
       wajar oleh suatu negara misalnya dengan pembatasan, larangan,
       atau pengenaan tambahan bea masuk, barang-barang dari negara
       yang bersangkutan dapat dikenai tarif yang besarnya berbeda
       dengan tarif yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).

    Ayat (2)
       Cukup jelas.

Pasal 23C
    Cukup jelas.

Pasal 23D
    Cukup jelas.

                                                             Pasal 25 . . .
Pasal 25
    Ayat (1)
       Yang dimaksud dengan pembebasan bea masuk yaitu peniadaan
       pembayaran bea masuk yang diwajibkan sebagaimana dimaksud
       dalam Undang-Undang ini.
       Huruf a
             Yang dimaksud dengan barang perwakilan negara asing
             beserta para pejabatnya yaitu barang milik atau untuk
             keperluan perwakilan negara asing tersebut, termasuk pejabat
             pemegang paspor diplomatik dan keluarganya di Indonesia.
             Pembebasan tersebut diberikan apabila negara yang
             bersangkutan memberikan perlakuan yang sama terhadap
             diplomat Indonesia.
       Huruf b
             Yang dimaksud dengan barang untuk keperluan badan
             internasional beserta pejabatnya yaitu milik atau untuk
             keperluan badan internasional yang diakui dan terdaftar pada
             Pemerintah Indonesia, termasuk para pejabatnya yang
             ditugaskan di Indonesia. Pembebasan ini tidak diberikan
             kepada pejabat badan internasional yang memegang paspor
             Indonesia.
       Huruf c
             Pembebasan bea masuk diberikan berdasarkan rekomendasi
             dari kementerian terkait terhadap buku-buku yang bertujuan
             untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dalam rangka
             mencerdaskan kehidupan bangsa.
       Huruf d
             Yang dimaksud barang keperluan ibadah untuk umum yaitu
             barang-barang yang semata-mata digunakan untuk keperluan
             ibadah dari setiap agama yang diakui di Indonesia.
   Yang dimaksud dengan barang keperluan amal dan sosial
   yaitu barang yang semata-mata ditujukan untuk keperluan
   amal dan sosial dan tidak mengandung unsur komersial,
   seperti bantuan untuk bencana alam atau pemberantasan
   wabah penyakit.

   Yang dimaksud dengan barang untuk keperluan kebudayaan
   yaitu barang yang ditujukan untuk meningkatkan hubungan
   kebudayaan antarnegara. Pembebasan bea masuk diberikan
   berdasarkan rekomendasi dari kementerian terkait.
Huruf e
   Cukup Jelas.

                                                  Huruf f . . .
Huruf f
   Yang dimaksud dengan barang untuk keperluan penelitian dan
   pengembangan ilmu pengetahuan yaitu barang atau peralatan
   yang digunakan untuk melakukan penelitian/riset atau
   percobaan guna peningkatan atau pengembangan suatu
   penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
   Pembebasan bea masuk diberikan berdasarkan rekomendasi
   dari kementerian terkait.
Huruf g
   Cukup Jelas.
Huruf h
   Cukup Jelas.

Huruf i
   Cukup Jelas.
Huruf j
   Yang dimaksud dengan barang contoh yaitu barang yang
   diimpor khusus sebagai contoh, antara lain untuk keperluan
   produksi (prototipe) dan pameran dalam jumlah dan jenis yang
   terbatas, baik tipe maupun merek.
Huruf k
   Cukup Jelas.
Huruf l
   Yang dimaksud dengan barang pindahan yaitu barang-barang
   keperluan rumah tangga milik orang yang semula berdomisili
   di luar negeri, kemudian dibawa pindah ke dalam negeri.
Huruf m
   Yang dimaksud dengan barang pribadi penumpang, awak
   sarana pengangkut, dan pelintas batas yaitu barang-barang
   yang dibawa oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam
   penjelasan Pasal 10B ayat (3), sedangkan barang kiriman yaitu
      barang yang dikirim oleh pengirim tertentu di luar negeri
      kepada penerima tertentu di dalam negeri.
   Huruf n
      Cukup Jelas.
   Huruf o
      Yang dimaksud dengan perbaikan yaitu penanganan barang
      yang rusak, usang, atau tua dengan mengembalikannya pada
      keadaan semula tanpa mengubah sifat hakikinya.
      Yang dimaksud dengan pengerjaan yaitu penanganan barang,
      selain perbaikan tersebut di atas, juga mengakibatkan
      peningkatan harga barang dari segi ekonomis tanpa mengubah
      sifat hakikinya.

                                                        Pengujian . . .
      Pengujian meliputi pemeriksaan barang dari segi teknik dan
      menyangkut mutu serta kapasitasnya sesuai dengan standar
      yang ditetapkan.
      Pembebasan atau keringanan dalam hal ini hanya dapat
      diberikan terhadap barang dalam keadaan seperti pada waktu
      diekspor, sedangkan atas bagian yang diganti atau ditambah
      dan biaya perbaikan tetap dikenakan bea masuk.
   Huruf p
      Pembebasan bea masuk dapat diberikan terhadap barang
      setelah diekspor, diimpor kembali tanpa mengalami proses
      pengerjaan atau penyempurnaan apapun, seperti barang yang
      dibawa oleh penumpang ke luar negeri, barang keperluan
      pameran, pertunjukan, atau perlombaan.
      Terhadap barang yang diekspor untuk kemudian karena suatu
      hal diimpor kembali dalam keadaan yang sama dengan
      ketentuan     segala    fasilitas   yang   pernah   diterimanya
      dikembalikan.
   Huruf q
      Bahan terapi manusia, pengelompokan darah, dan bahan
      penjenisan jaringan yaitu:
      1) bahan terapi yang berasal dari manusia, yaitu darah
          manusia serta turunannya (derivatif) seperti darah
          seluruhnya,     plasma     kering   albumin,  gamaglobulin,
          fibrinogen serta organ tubuh.
      2) bahan pengelompokkan darah yang berasal dari manusia,
          binatang, tumbuh-tumbuhan, atau sumber lain.
      3) bahan penjenisan jaringan yang berasal dari manusia,
          binatang, tumbuh-tumbuhan, atau sumber lain.

Ayat (3)
       Ayat ini memberikan wewenang kepada Menteri untuk mengatur
       lebih lanjut persyaratan dan tata cara yang harus dipenuhi guna
       memperoleh pembebasan berdasarkan pasal ini.

   Ayat (4)
      Yang dimaksud dengan tidak memenuhi ketentuan antara lain
      digunakan tidak sesuai dengan tujuan dan persyaratan yang
      ditetapkan, seperti fasilitas pembebasan bea masuk atas impor
      barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan, tetapi pada
      kenyataannya diperdagangkan.
      Pelanggaran atas ketentuan tentang pembebasan ini ditemukan
      pada pengawasan, penelitian kembali, dan/atau pelaksanaan audit
      kepabeanan.

                                                             Pasal 26 . . .
Pasal 26
    Pembebasan bea masuk yang diberikan dalam pasal ini yaitu
    pembebasan yang relatif, dalam arti bahwa pembebasan yang
    diberikan didasarkan pada beberapa persyaratan dan tujuan tertentu,
    sehingga terhadap barang impor dapat diberikan pembebasan atau
    hanya keringanan bea masuk.

   Ayat (1)
      Yang dimaksud dengan keringanan bea masuk yaitu pengurangan
      sebagian pembayaran bea masuk yang diwajibkan sebagaimana
      dimaksud dalam Undang-Undang ini.
      Huruf a
            Yang dimaksud dengan penanaman modal pada huruf ini yaitu
            penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri
            sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-
            undangan yang berlaku.
      Huruf b
            Yang dimaksud dengan mesin untuk pembangunan dan
            pengembangan industri yaitu setiap mesin, permesinan, alat
            perlengkapan instalasi pabrik, peralatan, atau perkakas yang
            digunakan untuk pembangunan dan pengembangan industri.
            Pengertian pembangunan dan pengembangan industri meliputi
            pendirian perusahaan atau pabrik baru serta perluasan
            (diversifikasi) hasil produksi, modernisasi, rehabilitasi untuk
            tujuan peningkatan kapasitas produksi dari perusahaan atau
            pabrik yang telah ada.
      Huruf c
            Yang dimaksud dengan barang dan bahan yaitu semua barang
            atau bahan, tidak melihat jenis dan komposisinya, yang
            digunakan sebagai bahan atau komponen untuk menghasilkan
   barang jadi, sedangkan batas waktu akan diatur dalam
   keputusan pelaksanaannya.
Huruf d
   Cukup Jelas.
Huruf e
   Yang dimaksud dengan bibit dan benih yaitu segala jenis
   tumbuh-tumbuhan atau hewan yang diimpor dengan tujuan
   benar-benar untuk dikembangbiakkan lebih lanjut dalam
   rangka pengembangan bidang pertanian, perkebunan,
   kehutanan, peternakan, atau perikanan.
Huruf f
   Yang dimaksud dengan hasil laut yaitu semua jenis tumbuhan
   laut, ikan atau hewan laut yang layak untuk dimakan seperti
   ikan, udang, kerang, dan kepiting yang belum atau sudah
   diolah dalam sarana penangkap yang bersangkutan.
   Yang dimaksud dengan sarana penangkap yaitu satu atau
   sekelompok kapal yang mempunyai peralatan untuk
   menangkap atau mengambil hasil laut, termasuk juga yang
   mempunyai peralatan pengolahan.
   Yang dimaksud dengan sarana penangkap yang telah
   mendapat izin yaitu sarana penangkap yang berbendera
   Indonesia atau berbendera asing yang telah memperoleh izin
   dari Pemerintah Indonesia untuk melakukan penangkapan
   atau pengambilan hasil laut.
Huruf g
   Dalam     transaksi    perdagangan     kemungkinan   adanya
   perubahan kondisi barang sebelum barang diterima oleh
   pembeli dapat saja terjadi. Sedangkan prinsip pemungutan bea
   masuk dalam Undang-Undang ini diterapkan atas semua
   barang yang diimpor untuk dipakai sehingga, apabila terjadi
   perubahan      kondisi     (kerusakan,   penurunan     mutu,
   kemusnahan, atau penyusutan volume atau berat karena
   sebab alamiah), barang tersebut tidak sepenuhnya dapat
   dipakai atau memberikan manfaat sebagaimana diharapkan,
   wajar apabila barang yang mengalami perubahan kondisi
   sebagaimana diuraikan di atas tidak sepenuhnya dipungut bea
   masuk. Oleh karena itu pembatasan pada saat kapan
   terjadinya perubahan kondisi barang tersebut, yaitu antara
   waktu pengangkutan dan diberikannya persetujuan impor
   untuk dipakai.
Huruf h
   Yang dimaksud dengan kepentingan umum yaitu kepentingan
   masyarakat yang tidak mengutamakan kepentingan di bidang
   keuangan, misalnya proyek pemasangan lampu jalan umum.
Huruf i
          Cukup Jelas.
       Huruf j
          Cukup Jelas.
       Huruf k
          Cukup Jelas.

    Ayat (3)
       Cukup Jelas.

    Ayat (4)
        Yang dimaksud dengan tidak memenuhi ketentuan antara lain
       digunakan tidak sesuai dengan tujuan dan persyaratan yang
       ditetapkan, seperti fasilitas keringanan bea masuk atas impor
       barang untuk keperluan olahraga tetapi pada kenyataannya
       diperjualbelikan.
Pasal 27
    Ayat (1)
       Huruf a
             Kesalahan tata usaha yang dimaksud antara lain kesalahan
             tulis, kesalahan hitung, atau kesalahan pencantuman tarif.
       Huruf b
             Cukup Jelas.
       Huruf c
             Yang dimaksud dengan sebab tertentu         yaitu bahwa hal
             tersebut bukan merupakan kehendak importir, melainkan
             disebabkan oleh adanya kebijaksanaan pemerintah yang
             mengakibatkan barang yang telah diimpor tidak dapat
             dimasukkan ke dalam daerah pabean sehingga harus diekspor
             kembali atau dimusnahkan dibawah pengawasan pejabat bea
             dan cukai dalam kondisi yang sama.
       Huruf d
             Cukup Jelas.
       Huruf e
             Cukup Jelas.

    Ayat (2)
       Cukup Jelas.


Pasal 30
    Cukup Jelas.


Pasal 32
    Ayat (1)
       Pada prinsipnya importir bertanggung jawab atas bea masuk
       barang yang diimpornya. Namun berdasarkan ketentuan dalam
       Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang ini, importir baru dinyatakan
       bertanggung jawab atas bea masuk sejak didaftarkannya
       pemberitahuan pabean. Dengan demikian, sebelum didaftarkannya
       pemberitahuan pabean, tanggung jawab atas bea masuk berada
       pada pengusaha tempat penimbunan sementara, yaitu tempat
       penimbunan barang impor yang bersangkutan.

    Ayat (2)
      Cukup Jelas.



                                                            Ayat (3) . . .
    Ayat (3)
       Apabila barang impor yang harus dilunasi bea masuknya terdiri
       dari beberapa jenis dengan satu nama umum (golongan barang),
       sedangkan jenis barang yang sebenarnya tidak dapat diketahui,
       sebagai dasar perhitungan bea masuk, diambil tarif tertinggi yang
       berlaku atas golongan barang tersebut dan nilai pabean ditetapkan
       oleh pejabat bea dan cukai.

    Ayat (4)
       Cukup Jelas.


Pasal 36
   Ayat (1)
       Cukup Jelas.

   Ayat (2)
      Yang dimaksud dengan dibulatkan jumlahnya dalam ribuan rupiah
      yaitu dibulatkan ke atas sehingga bagian dari ribuan menjadi
      ribuan

   Ayat (3)
      Cukup Jelas.


Pasal 37
    Ayat (1)
       Kewajiban membayar bea masuk yang timbul sebagaimana
       dimaksud dalam Pasal 2 harus dilunasi paling lambat pada tanggal
       pendaftaran pemberitahuan pabean atas impor.
    Ayat (2)
       Yang dimaksud dengan penundaan yaitu penundaan pembayaran
       bea masuk dalam rangka fasilitas pembayaran berkala dan
       penundaan pembayaran bea masuk karena menunggu keputusan
       pembebasan atau keringanan.

    Ayat (2a)
       Cukup Jelas.

    Ayat (3)
       Cukup Jelas.


                                                       Pasal 37A . . .
Pasal 37A
   Ayat (1)
       Cukup Jelas.

   Ayat (2)
      Direktur Jenderal dapat memberikan penundaan atau pengangsuran
      pembayaran setelah mempertimbangkan kemampuan orang dalam
      membayar utangnya dengan memperhatikan laporan keuangan dan
      kredibilitas orang tersebut.

   Ayat (3)
      Cukup Jelas.

   Ayat (4)
      Cukup Jelas.

Pasal 38
    Cukup Jelas.

Pasal 41
    Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang
    Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah
    dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, penagihan bea masuk
    dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Pasal 44
    Ayat (1)
       Tujuan pengadaan tempat penimbunan berikat dalam Undang-
       Undang ini yaitu memberikan fasilitas kepada pengusaha berupa
       penangguhan pembayaran bea masuk.
Yang dimaksud dengan penangguhan yaitu peniadaan sementara
kewajiban pembayaran bea masuk sampai timbul kewajiban untuk
membayar bea masuk berdasarkan Undang-Undang ini.

Dalam tempat penimbunan berikat dilakukan kegiatan menyimpan,
menimbun,       melakukan     pengetesan     (Quality   Control),
memperbaiki/merekondisi, menggabungkan (kitting), memamerkan,
menjual, mengemas, mengemas kembali, mengolah, mendaur
ulang,   melelang    barang,  merakit   (assembling),  mengurai
(disassembling), dan/atau membudidayakan flora dan fauna yang
berasal dari luar daerah pabean tanpa lebih dahulu dipungut bea
masuk.


                                                Pengadaan . . .
Pengadaan tempat penimbunan berikat ini diharapkan dapat
memperlancar arus barang impor atau ekspor serta meningkatkan
produksi dalam negeri.

Huruf a
   Cukup Jelas.
Huruf b
   Yang dimaksud dengan mengolah yaitu kegiatan memproses
   bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau
   barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi.
Huruf c
   Barang impor setelah dipamerkan dapat direekspor atau dijual
   setelah dilunasi bea masuk yang terutang.
   Barang yang berasal dari dalam daerah pabean dapat diekspor
   setelah memenuhi persyaratan ekspor sesuai ketentuan yang
   berlaku.
Huruf d
   Yang dimaksud dengan orang tertentu yaitu warga negara asing
   yang bertugas di Indonesia atau orang yang berangkat ke luar
   negeri.
Huruf e
   Cukup Jelas.
Huruf f
   Cukup Jelas.
Huruf g
   Yang dimaksud dengan daur ulang yaitu suatu kegiatan
   pengolahan limbah dan barang lainnya menjadi produk yang
   mempunyai nilai tambah dan nilai ekonomi yang lebih tinggi.
   Ayat (1a)
      Penetapan oleh menteri ini guna mengantisipasi perkembangan
      industri dan perdagangan internasional.

   Ayat (2)
      Yang dimaksud dengan pengusahaan tempat penimbunan berikat
      yaitu kegiatan usaha menyimpan, menimbun, melakukan
      pengetesan, memperbaiki/merekondisi, menggabungkan (kitting),
      memamerkan, menjual, mengemas, mengemas kembali, mengolah,
      mendaur ulang, melelang barang, merakit (assembling), mengurai
      (disassembling), dan/atau membudidayakan flora dan fauna di
      tempat penimbunan berikat.



                                                        Pasal 45 . . .
Pasal 45
    Ayat (1)
       Cukup Jelas.

   Ayat (2)
      Huruf a
            Cukup Jelas.
      Huruf b
            Cukup Jelas.
      Huruf c
            Yang dimaksud dengan barang lainnya antara lain waste,
            scrap, sisa/potongan, bahan baku yang rusak, dan/atau
            barang yang rusak.

   Ayat (3)
      Pengeluaran barang pada ayat ini dilakukan tanpa bermaksud
      mengelakkan pembayaran bea masuk karena telah diajukan
      pemberitahuan pabean dan bea masuk telah dilunasi, tetapi
      pengeluaran barang tersebut dilakukan tanpa persetujuan pejabat
      bea dan cukai sehingga pelanggar dikenai sanksi administrasi
      berupa denda.

   Ayat (4)
      Yang dimaksud dengan pengusaha tempat penimbunan berikat
      yaitu orang yang benar-benar melakukan kegiatan usaha
      menyimpan,       menimbun,       melakukan          pengetesan,
      memperbaiki/merekondisi, menggabungkan (kitting), memamerkan,
      menjual, mengemas, mengemas kembali, mengolah, mendaur
      ulang,  melelang  barang,   merakit  (assembling),    mengurai
       (disassembling), dan/atau membudidayakan flora dan fauna di
       tempat penimbunan berikat.
       Ketentuan pada ayat ini menegaskan bahwa terhadap barang impor
       yang wajib bea masuk, yang hilang dari tempat penimbunan
       berikat, kepada pengusaha tempat penimbunan berikat, wajib
       membayar bea masuk yang terutang dan sanksi administrasi
       berupa denda.

Pasal 49
    Yang dimaksud dengan pembukuan yaitu suatu proses pencatatan
    yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan
    informasi yang meliputi dan mempengaruhi keadaan harta, utang,
    modal, pendapatan, dan biaya yang secara khusus menggambarkan
    jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang
    kemudian diikhtisarkan dalam laporan keuangan.

                                                       Kewajiban . . .
   Kewajiban   menyelenggarakan       pembukuan  diperlukan    untuk
   pelaksanaan audit kepabeanan setelah barang dikeluarkan dari
   kawasan pabean.
   Yang dimaksud dengan pengusaha pengangkutan yaitu orang yang
   menyediakan jasa angkutan barang impor atau ekspor dengan sarana
   pengangkut di darat, laut, dan udara.


Pasal 50
    Ayat (1)
       Cukup Jelas.

   Ayat (2)
      Yang dimaksud dengan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      tidak berada di tempat bagi orang berupa badan hukum yaitu
      pimpinan badan hukum tersebut tidak berada di tempat.
      Yang dimaksud dengan yang mewakili yaitu karyawan atau
      bawahan atau pihak lain yang ditunjuk oleh orang sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 49.


Pasal 51
    Ayat (1)
       Pengaturan pada ayat ini dimaksudkan agar dapat dihitung
       besarnya nilai transaksi impor atau ekspor. Untuk menjamin
       tercapainya maksud tersebut, pembukuan harus diselenggarakan
       dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia misalnya
       berdasarkan standar akuntansi keuangan.
    Ayat (2)
       Cukup Jelas.

    Ayat (3)
       Laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi
       bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan
       usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan
       kegiatan di bidang kepabeanan wajib disimpan selama 10 (sepuluh)
       tahun di Indonesia dengan maksud agar apabila Direktur Jenderal
       akan melakukan audit kepabeanan, bukti dasar pembukuan dan
       surat yang diperlukan masih tetap ada dan dapat segera
       disediakan.
       Dalam hal data tersebut berupa data elektronik, orang wajib
       menjaga keandalan sistem pengolahan data yang digunakan agar
       data elektronik yang disimpan dapat dibuka, dibaca, atau diambil
       kembali setiap waktu.
    Ayat (4)
       Cukup Jelas.


Pasal 52
    Cukup Jelas.


Pasal 53
   Ayat (1)
       Sesuai dengan praktik kepabeanan internasional, pengawasan
       lalulintas barang yang masuk atau keluar dari daerah pabean
       dilakukan oleh instansi pabean. Dengan demikian, agar pelaksanaan
       pengawasan peraturan larangan dan pembatasan menjadi efektif dan
       terkoordinasi,   instansi   teknis   yang   bersangkutan     wajib
       menyampaikan peraturan dimaksud kepada Menteri untuk
       ditetapkan dan dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan
       Cukai.

   Ayat (2)
      Cukup Jelas.

   Ayat (3)
      Barang yang dilarang atau dibatasi impor atau ekspornya yang tidak
      memenuhi syarat     yaitu barang impor atau ekspor yang telah
      diberitahukan dengan pemberitahuan pabean, tetapi tidak
      memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan
      larangan atau pembatasan atas barang yang bersangkutan.
      Yang dimaksud dengan diberitahukan dengan pemberitahuan
      pabean dalam pasal ini dapat berupa pemberitahuan kedatangan
      sarana pengangkut, pemberitahuan impor untuk dipakai, dan
      pemberitahuan ekspor barang.
      Permintaan importir atau eksportir untuk membatalkan ekspornya,
      mereekspor, atau memusnahkan tidak dapat disetujui jika peraturan
      perundang-undangan yang berlaku menetapkan lain.

   Ayat (4)
      Yang dimaksud dengan ditetapkan lain berdasarkan peraturan
      perundang-undangan yang     berlaku  yaitu bahwa peraturan
      perundang-undangan yang bersangkutan telah mengatur secara
      khusus penyelesaian barang impor yang dibatasi atau dilarang,
      misalnya impor limbah yang mengandung bahan berbahaya dan
      beracun.

                                                      Penerapan . . .
      Penerapan sanksi administrasi pada ayat ini tidak mengurangi
      ketentuan pidana.


Pasal 54
    Perintah tertulis tersebut dikeluarkan oleh ketua pengadilan niaga yang
    daerah hukumnya meliputi kawasan pabean, yaitu tempat kegiatan
    impor atau ekspor tersebut berlangsung.
    Dalam hal impor barang tersebut ditujukan ke beberapa kawasan
    pabean dalam daerah pabean Indonesia permintaan perintah tersebut
    ditujukan kepada dan dikeluarkan oleh ketua pengadilan niaga yang
    daerah hukumnya meliputi kawasan pabean pertama, yaitu tempat
    impor barang yang bersangkutan ditujukan atau dibongkar. Dalam hal
    ekspor dilakukan dari beberapa kawasan pabean, permintaan tersebut
    ditujukan kepada dan dikeluarkan oleh ketua pengadilan niaga yang
    daerah hukumnya meliputi kawasan pabean pertama, yaitu tempat
    ekspor berlangsung
    Yang dimaksud dengan pengadilan niaga yaitu pengadilan niaga yang
    berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 56
    Cukup Jelas.


Pasal 57
    Ayat (1)
   Jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja tersebut merupakan jangka
   waktu maksimum bagi penangguhan. Jangka waktu tersebut
   disediakan untuk memberi kesempatan kepada pihak yang meminta
   penangguhan agar segera mengambil langkah-langkah untuk
   mempertahankan haknya sesuai dengan peraturan perundang-
   undangan yang berlaku.

   Ayat (2)
      Perpanjangan jangka waktu penangguhan tersebut hanya dapat
      dilakukan dengan syarat yang ketat untuk mencegah kemungkinan
      penyalahgunaan hak untuk meminta penangguhan.

   Ayat (3)
      Cukup Jelas.



                                                      Pasal 58 . . .
Pasal 58
    Ayat (1)
       Pemeriksaan tersebut dilakukan dalam rangka identifikasi atau
       pencacahan untuk kepentingan pengambilan tindakan hukum
       atau langkah-langkah untuk mempertahankan hak yang diduga
       telah dilanggar.
       Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan sepengetahuan pejabat
       bea dan cukai.

   Ayat (2)
      Karena permintaan penangguhan tersebut masih berdasarkan
      dugaan, kepentingan pemilik barang juga perlu diperhatikan
      secara wajar. Kepentingan tersebut, antara lain kepentingan untuk
      menjaga rahasia dagang atau informasi teknologi yang
      dirahasiakan, yang digunakan untuk memproduksi barang impor
      atau ekspor tersebut. Dalam hal demikian, pemeriksaan hanya
      diizinkan secara fisik, sekedar untuk mengidentifikasi atau
      mencacah barang-barang yang dimintakan penangguhan.


Pasal 59
    Cukup Jelas.


Pasal 60
    Yang dimaksud dengan keadaan tertentu tersebut, misalnya kondisi
    atau sifat barang yang cepat rusak.
Pasal 61
    Cukup Jelas.


Pasal 64A
    Ayat (1)
       Yang dimaksud dengan penindakan yaitu penindakan di bidang
       kepabeanan yang perlu dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan
       Cukai terhadap barang yang diduga terkait dengan kegiatan
       terorisme dan/atau kejahatan lintas negara.

    Ayat (2)
       Cukup Jelas.


                                                          Pasal 75 . . .
Pasal 75
    Ayat (1)
       Ketentuan ini dimaksudkan bahwa dalam melaksanakan tugas
       pengawasan agar sarana pengangkut melalui jalur yang ditetapkan
       dan untuk memeriksa sarana pengangkut berupa kapal, pejabat
       bea dan cukai perlu dilengkapi sarana operasional berupa kapal
       patroli  atau   sarana   pengawasan    lainnya   seperti   radio
       telekomunikasi atau radar.
       Yang dimaksud dengan kapal patroli yaitu kapal laut dan/atau
       kapal udara milik Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang
       dipimpin oleh pejabat bea dan cukai sebagai komandan patroli,
       yang mempunyai kewenangan penegakan hukum di daerah pabean
       sesuai dengan Undang-Undang ini.

    Ayat (2)
       Kelengkapan kapal patroli atau sarana lain dengan senjata api
       pada ayat ini dimaksudkan untuk menghadapi bahaya yang
       mengancam jiwa atau keselamatan pejabat bea dan cukai dan
       kapal patroli dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku.

Pasal 76
    Semua instansi pemerintah, baik sipil maupun militer bila diminta,
    berkewajiban     memberi    bantuan     dan  perlindungan    atau
    memerintahkan untuk melindungi pejabat bea dan cukai dalam segala
    hal yang berkaitan dengan pekerjaannya.
    Ketentuan dalam pasal ini menegaskan bahwa bantuan sebagaimana
    dimaksud di atas yaitu sehubungan dengan segala kegiatan yang
   dilakukan oleh pejabat    bea   dan   cukai   berdasarkan   peraturan
   perundang-undangan.

Pasal 78
    Wewenang pejabat bea dan cukai yang diatur dalam ketentuan ini
    dimaksudkan untuk lebih menjamin pengawasan yang lebih baik
    dalam rangka pengamanan keuangan negara.

Pasal 82
    Ayat (1)
       Ayat ini memberikan wewenang kepada pejabat bea dan cukai
       untuk melakukan pemeriksaan barang guna memperoleh data dan
       penilaian yang tepat mengenai pemberitahuan atau dokumen yang
       diajukan.
       Dalam melaksanakan pemeriksaan ini pemilik barang atau
       kuasanya wajib menghadiri pemeriksaan.

                                                         Ayat (2) . . .
   Ayat (2)
      Yang dimaksud dengan menyerahkan barang untuk diperiksa pada
      ayat ini yaitu menyiapkan barang di tempat pemeriksaan barang
      dan menyiapkan peralatan pemeriksaan sehingga pejabat bea dan
      cukai dapat melakukan pemeriksaan fisik barang.

   Ayat (3)
      Cukup Jelas.

   Ayat (5)
      Cukup Jelas.

   Ayat (6)
      Yang dimaksud salah   pada ayat ini yaitu kesalahan karena
      kelalaian.
      Yang dimaksud pungutan negara di bidang ekspor pada ayat ini
      meliputi bea keluar.

Pasal 82A
    Ayat (1)
       Yang dimaksud dengan pemeriksaan karena jabatan yaitu
       pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai karena
       kewenangan yang dimilikinya berdasarkan Undang-Undang ini
       dalam rangka pengawasan.

   Ayat (2)
      Cukup Jelas.
Pasal 85
    Ayat (1)
       Cukup Jelas.

   Ayat (2)
      Cukup Jelas.

   Ayat (3)
      Ketentuan ini dimaksudkan bahwa dalam hal orang yang
      bersangkutan telah memenuhi kewajibannya, pejabat bea dan
      cukai segera memberikan pelayanan kepabeanan.

Pasal 85A
    Pasal ini memberikan wewenang kepada pejabat bea dan cukai untuk
    melakukan pemeriksaan pabean terhadap barang tertentu di atas alat
    angkut, di tempat pemuatan, dan di tempat pembongkaran di dalam
    daerah pabean.
Pasal 86
    Ayat (1)
    Audit kepabeanan dilakukan dalam rangka pengawasan sebagai
    konsekuensi diberlakukannya:
       a. sistem self assesment;
       b. ketentuan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi;
       c. pemberian fasilitas tidak dipungut, pembebasan, keringanan,
          pengembalian, atau penangguhan bea masuk yang hanya dapat
          diawasi dan dievaluasi setelah barang impor keluar dari
          kawasan pabean.

   Ayat (1a)
      Huruf a
           Audit kepabeanan bukan merupakan audit untuk menilai atau
           memberikan opini tentang laporan keuangan, tetapi untuk
           menguji tingkat kepatuhan orang terhadap ketentuan
           peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
           Laporan keuangan diminta dalam kegiatan audit kepabeanan
           dengan tujuan hanya untuk memastikan bahwa pembukuan
           yang diberikan oleh orang kepada pejabat bea dan cukai
           adalah pembukuan yang sebenarnya yang digunakan untuk
           mencatat kegiatan usahanya yang pada akhir periode
           diikhtisarkan dalam laporan keuangan.
          Selain itu, dengan laporan keuangan, pejabat bea dan cukai
          dapat memperoleh informasi mengenai kegiatan orang yang
          berkaitan dengan kepabeanan.
          Pejabat bea dan cukai yang melaksanakan audit dilarang
          memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak
          terhadap segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan
          kepadanya oleh orang berkaitan dengan audit yang
          dilaksanakannya.
       Huruf b
          Yang dimaksud dengan pihak lain yang terkait, yaitu pihak-
          pihak yang mempunyai hubungan dengan orang yang terkait
          dengan transaksi yang dilakukan oleh orang tersebut,
          misalnya pembeli di dalam negeri atas barang impor, pembeli
          di luar negeri atas barang ekspor, pemasok di dalam negeri
          atas barang ekspor, pemasok di luar negeri atas barang impor,
          bank, dan pihak lain yang diyakini dapat memberikan
          keterangan sehubungan transaksi yang dilakukan oleh orang,
          seperti Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan.
       Huruf c
          Cukup Jelas.

                                                           Huruf d . . .
       Huruf d
          Cukup Jelas.

   Ayat (2)
      Ketentuan ini dimaksudkan bahwa perbuatan yang menyebabkan
      pejabat bea dan cukai tidak dapat menjalankan wewenangnya
      mencakup perbuatan tidak menyerahkan laporan keuangan, buku,
      catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat
      yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik,
      serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50.

   Ayat (3)
      Cukup Jelas.

Pasal 86A
    Cukup Jelas.

Pasal 88
    Ayat (1)
       Bangunan dan tempat lain yang bukan rumah tinggal yang
       dimaksud dalam ayat ini misalnya bangunan yang didirikan khusus
       untuk menyimpan barang apa pun dan pendirinya bukan
       dimaksudkan sebagai tempat usaha berdasarkan Undang-Undang
       ini.
      Apabila berdasarkan petunjuk yang ada bahwa di tempat tersebut
      terdapat barang yang tersangkut pelanggaran, baik sebagai barang
      yang wajib bea masuk maupun yang dikenai peraturan larangan
      dan pembatasan, Direktur Jenderal dapat memerintahkan pejabat
      bea dan cukai untuk melakukan pemeriksaan terhadap tempat
      tersebut.

   Ayat (2)
     Cukup Jelas.

Pasal 90
   Ayat (1)
       Penghentian dan pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat bea dan
       cukai terhadap sarana pengangkut bertujuan untuk pengawasan
       dan       dipatuhinya peraturan   perundang-undangan       yang
       pelaksanaannya dibebankan kepada Direktorat Jenderal Bea dan
       Cukai. Dengan demikian penghentian dan pemeriksaan sarana
       pengangkut serta barang di atasnya hanya dilakukan secara
       selektif.

                                                            Ayat (2) . . .
   Ayat (2)
      Cukup Jelas.

   Ayat (3)
      Ketentuan ini dimaksudkan bahwa dalam melaksanakan
      pengawasan     atas     sarana   pengangkut    yang  melakukan
      pembongkaran barang impor, pejabat bea dan cukai berwenang
      untuk menghentikan pekerjaan tersebut jika ternyata barang yang
      dibongkar berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
      berlaku tidak boleh diimpor ke dalam daerah pabean.

   Ayat (4)
      Cukup Jelas.


Pasal 92A
    Ayat (1)
       Huruf a
             Pembetulan surat tagihan kekurangan pembayaran bea masuk
             menurut ketentuan      ini dilaksanakan untuk menjalankan
             pemerintahan yang baik sehingga apabila terdapat kesalahan
             atau kekeliruan manusiawi dalam suatu penetapan perlu
             dibetulkan sebagaimana mestinya.
          Pengertian    membetulkan      dapat   berarti  menambah,
          mengurangi, atau menghapus, sesuai dengan sifat kesalahan
          dan kekeliruannya.
          Direktur Jenderal karena jabatannya dapat membetulkan atau
          membatalkan surat tagihan kekurangan pembayaran bea
          masuk yang tidak benar, misalnya tidak memenuhi
          persyaratan formal meskipun persyaratan materialnya telah
          terpenuhi.
       Huruf b
          Direktur Jenderal dapat mengurangi atau menghapus sanksi
          administrasi berupa denda apabila orang yang dikenai sanksi
          ternyata hanya melakukan kekhilafan bukan kesalahan yang
          disengaja atau kesalahan dimaksud terjadi akibat perbuatan
          orang lain yang tidak mempunyai hubungan usaha dengannya
          serta tanpa sepengetahuan dan persetujuannya.

    Ayat (2)
       Cukup Jelas.


                                                           Pasal 93 . . .

Pasal 93
    Ayat (1)
       Ketentuan pada ayat ini ditujukan untuk menjamin adanya
       kepastian hukum dan sebagai manifestasi dari asas keadilan yang
       memberikan hak kepada pengguna jasa kepabeanan untuk
       mengajukan keberatan atas keputusan pejabat bea dan cukai.
       Waktu 60 (enam puluh) hari yang diberikan kepada pengguna jasa
       kepabeanan ini dianggap cukup bagi yang bersangkutan untuk
       mengumpulkan data yang diperlukan guna pengajuan keberatan
       kepada Direktur Jenderal.
       Dalam hal batas waktu 60 (enam puluh) hari tersebut dilewati, hak
       yang bersangkutan menjadi gugur dan penetapan dianggap
       disetujui.
       Yang dimaksud dengan sebesar tagihan yaitu kekurangan bea
       masuk, kekurangan pajak dalam rangka impor, dan sanksi
       administrasi berupa denda.
       Dalam hal tagihan telah dilunasi, keberatan tetap dapat diajukan
       tanpa kewajiban menyerahkan jaminan.
    Ayat (1a)
       Yang dimaksud dengan barang belum dikeluarkan pada ayat ini
       yaitu barang impor masih berada dalam kawasan pabean.
      Pihak yang mengajukan keberatan bertanggung jawab terhadap
      barang impor yang bersangkutan dan segala biaya yang mungkin
      timbul.
   Ayat (2)
      Penetapan jangka waktu 60 (enam puluh) hari kepada Direktur
      Jenderal untuk memberikan keputusan atas keberatan yang
      diajukan oleh pengguna jasa kepabeanan ini merupakan jangka
      waktu yang wajar mengingat Direktur Jenderal juga perlu
      melakukan pengumpulan data dan informasi dalam memutuskan
      suatu keberatan yang diajukan.
   Ayat (3)
      Yang dimaksud dengan ditolak oleh Direktur Jenderal yaitu
      penolakan oleh Direktur Jenderal atas keberatan yang diajukan
      sehingga penetapan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai
      menjadi tetap.
      Penolakan oleh Direktur Jenderal ini dapat pula berupa penolakan
      sebagian atas keberatan yang diajukan, atau Direktur Jenderal
      menetapkan lain dari penetapan yang dilakukan oleh pejabat bea
      dan cukai, dan penetapan ini dapat lebih besar atau lebih kecil dari
      pada penetapan pejabat bea dan cukai tersebut.

                                                              Ayat (4) . . .
   Ayat (4)
      Cukup Jelas.

   Ayat (5)
      Cukup Jelas.

   Ayat (6)
      Cukup Jelas.


Pasal 93A
    Ayat (1)
       Keberatan yang dapat diajukan        yaitu keberatan terhadap
       penetapan pejabat selain mengenai tarif dan/atau nilai pabean,
       misalnya penetapan berupa pencabutan fasilitas atau penetapan
       sebagai akibat penafsiran peraturan.

   Ayat (2)
      Cukup Jelas.

   Ayat (3)
      Cukup Jelas.
   Ayat (4)
      Penetapan jangka waktu 60 (enam puluh) hari kepada Direktur
      Jenderal untuk memberikan keputusan atas keberatan yang
      diajukan oleh pengguna jasa kepabeanan ini merupakan jangka
      waktu yang wajar mengingat Direktur Jenderal juga perlu
      melakukan pengumpulan data dan informasi dalam memutuskan
      keberatan yang diajukan.

   Ayat (5)
      Cukup Jelas.

   Ayat (6)
      Cukup Jelas.

   Ayat (7)
      Cukup Jelas.

   Ayat (8)
      Cukup Jelas.


                                                         Pasal 94 . . .
Pasal 94
    Cukup Jelas.

Pasal 95
    Cukup Jelas.

Pasal 102
    Huruf a
         Cukup Jelas.
    Huruf b
        Cukup Jelas.
    Huruf c
        Cukup Jelas.
    Huruf d
        Yang dimaksud dengan barang impor yang masih dalam
        pengawasan pabean yaitu barang impor yang kewajiban
        pabeannya belum diselesaikan.
        Contoh membongkar atau menimbun di tempat selain tempat
        tujuan yang ditentukan atau diizinkan    yaitu barang dengan
        tujuan tempat penimbunan berikat A dibongkar atau ditimbun di
        luar tempat penimbunan berikat A.
    Huruf e
      Yang dimaksud dengan menyembunyikan barang impor secara
     melawan hukum yaitu menyimpan barang di tempat yang tidak
     wajar dan/atau dengan sengaja menutupi keberadaan barang
     tersebut.
      Yang dimaksud tempat yang tidak wajar antara lain di dalam
     dinding kontainer, di dalam dinding koper, di dalam tubuh, di
     dalam dinding kapal pada ruang mesin kapal, atau tempat-tempat
     lain.
   Huruf f
      Cukup Jelas.
   Huruf g
      Cukup Jelas.
   Huruf h
      Perbedaan pelanggaran yang dimaksud dalam huruf ini dengan
      pelanggaran dalam Pasal 82 ayat (5) yaitu bahwa pelanggaran ini
      didasarkan atas perbuatan yang disengaja dan melawan hukum.

Pasal 102A
    Huruf a
        Cukup Jelas.


                                                            Huruf b . . .
   Huruf b
      Yang dimaksud dengan pungutan negara di bidang ekspor yaitu
      bea keluar.
   Huruf c
      Yang dimaksud dengan memuat yaitu memuat barang ekspor ke
      dalam sarana pengangkut yang akan berangkat ke luar daerah
      pabean.
   Huruf d
      Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah pembongkaran
      kembali barang ekspor yang telah dimuat di atas sarana
      pengangkut dengan tujuan utama untuk mencegah ekspor fiktif,
      misalnya barang ekspor dimuat di Semarang untuk tujuan
      Singapura tetapi barang ekspor tersebut dibongkar di Jakarta.
   Huruf e
      Cukup Jelas.

Pasal 102B
    Cukup Jelas.

Pasal 102C
    Cukup Jelas.
Pasal 102D
    Cukup Jelas.

Pasal 103
    Huruf a
        Pengertian dokumen palsu atau dipalsukan antara lain dapat
        berupa:
        a. dokumen yang dibuat oleh orang yang tidak berhak; atau
        b. dokumen yang dibuat oleh orang yang berhak tetapi memuat
           data tidak benar.
    Huruf b
        Cukup Jelas.
    Huruf c
        Memberi keterangan lisan sebagaimana dimaksud pada huruf ini
        terutama untuk penumpang dan pelintas batas.
    Huruf d
        Ketentuan pidana ini berhubungan dengan keadaan tempat
        ditemukannya orang menimbun, memiliki, menyimpan, membeli,
        menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan barang impor
        yang berasal dari tindak pidana penyelundupan sebagaimana
        dimaksud dalam Pasal 102.

                                                           Orang . . .
       Orang yang ditemukan menimbun, memiliki, menyimpan,
       membeli, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan
       barang tanpa diketahui siapa pelaku kejahatan dapat dikenai
       pidana sesuai dengan pasal ini. Akan tetapi, jika yang
       bersangkutan memperoleh barang tersebut dengan itikad baik,
       yang bersangkutan tidak dituntut. Kemungkinan bisa terjadi,
       pelaku kejahatan dapat diketahui, sehingga kedua-duanya dapat
       dituntut.

Pasal 103A
   Ayat (1)
       Yang dimaksud dengan mengakses yaitu tindakan atau upaya yang
       dilakukan untuk login ke sistem kepabeanan.
       Yang dimaksud dengan login yaitu memasuki atau terhubung
       dengan suatu sistem elektronik sehingga dengan masuk atau
       dengan keterhubungan itu pelaku dapat mengirim dan/atau
       informasi melalui atau yang ada pada sistem elektronik.

   Ayat (2)
      Cukup Jelas.

Pasal 104
    Huruf a
      Cukup Jelas.
    Huruf b
       Cukup Jelas.
    Huruf c
       Cukup Jelas.
    Huruf d
       Ayat ini dimaksudkan untuk mencegah dilakukannya pemalsuan
       atau pemanipulasian data pada dokumen pelengkap pabean,
       misalnya invoice.

Pasal 105
    Yang dimaksud dengan merusak yaitu merusak secara fisik atau
    melakukan perbuatan yang mengubah fungsi kunci, segel atau tanda
    pengaman.

Pasal 107
    Pasal ini menegaskan, jika pengusaha pengurusan jasa kepabeanan
    melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini dalam
    melaksanakan pekerjaan yang dikuasakan oleh importir atau
    eksportir, yang bersangkutan diancam dengan pidana yang sama
    dengan ancaman pidana terhadap importir atau eksportir, misalnya,
    jika pengusaha pengurusan jasa kepabeanan memalsukan invoice
    yang diterima dari importir sehingga pemberitahuan pabean yang
    diajukan atas nama importir tersebut lebih rendah nilai pabeannya,
    pengusaha pengurusan jasa kepabeanan dikenai ancaman pidana.

Pasal 108
    Pasal ini memberikan kemungkinan dapat dipidananya suatu badan
    hukum, perseroan atau perusahaan, termasuk badan usaha milik
    negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, bentuk
    usaha tetap atau bentuk usaha lainnya, perkumpulan, termasuk
    persekutuan, firma atau kongsi, yayasan atau organisasi sejenis, atau
    koperasi dalam kenyataan kadang-kadang orang melakukan tindakan
    dengan bersembunyi di belakang atau atas nama badan-badan
    tersebut di atas.
    Oleh karena itu, selain badan tersebut, harus dipidana juga mereka
    yang telah memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana atau
    yang sesungguhnya melakukan tindak pidana tersebut. Dengan
    demikian orang yang bertindak tidak untuk diri sendiri, tetapi wakil
    dari badan tersebut, harus juga mengindahkan peraturan dan
    larangan yang diancam dengan pidana, seolah-olah mereka sendirilah
    yang melakukan tindak pidana tersebut.
    Atas dasar hasil penyidikan, dapat ditetapkan tuntutan pidana yang
    akan dikenakan kepada badan-badan yang bersangkutan dan/atau
   pimpinannya. Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada badan tersebut
   senantiasa berupa pidana denda.

Pasal 109
    Ayat (1)
        Cukup Jelas.

   Ayat (2)
      Yang dimaksud dengan semata-mata digunakan untuk melakukan
      tindak pidana yaitu sarana pengangkut yang pada saat tertangkap
      benar-benar ditujukan untuk melakukan tindak pidana
      penyelundupan.

   Ayat (2a)
      Yang dimaksud dengan dapat dirampas         yaitu memberikan
      kewenangan kepada hakim untuk mempertimbangkan putusan
      dengan memperhatikan kasus per kasus, misalnya kapal yang
      hanya mengangkut barang tertentu dalam jumlah sedikit
      sedangkan kapal tersebut diperlukan sebagai alat angkut untuk
      menopang perdagangan ekonomi daerah tentunya diputuskan
      untuk tidak dirampas.

                                                      Ayat (3) . . .
   Ayat (3)
      Secara umum, pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan oleh
      penuntut umum. Namun, barang impor atau ekspor yang
      berdasarkan putusan pengadilan dinyatakan dirampas untuk
      negara, berdasarkan Undang-Undang ini menjadi milik negara
      yang pemanfaatannya ditetapkan oleh Menteri.


Pasal 113A
    Ayat (1)
       Ayat ini mengamanatkan setiap pegawai Direktorat Jenderal Bea
       dan Cukai dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus
       mengutamakan fungsi pelayanan maupun pengawasan dalam
       menghimpun dana melalui pemungutan bea masuk, melindungi
       kepentingan masyarakat, kelancaran arus barang, orang,
       dokumen, dan dapat menciptakan iklim usaha yang dapat lebih
       mendorong laju pembangunan nasional.

   Ayat (2)
      Mengingat dalam pelaksanaan tugas Direktorat Jenderal Bea dan
      Cukai berkaitan erat dengan pengawasan dan pelayanan, pegawai
      bea cukai yang melaksanakan tugas dan wewenangnya harus
       mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Komisi Kode
       Etik apabila melanggar kode etik.

   Ayat (3)
      Cukup Jelas.

   Ayat (4)
      Cukup Jelas.

Pasal 113B
   Cukup Jelas.

Pasal 113C
   Cukup Jelas.

Pasal 113D
    Ayat (1)
       Yang dimaksud dengan pelanggaran kepabeanan                yaitu
       pelanggaran administrasi dan tindak pidana kepabeanan.
       Yang dimaksud dengan berjasa yaitu berjasa dalam menangani:
       a. pelanggaran administrasi meliputi memberikan informasi,
           menemukan baik secara administrasi maupun secara fisik,
           sampai dengan menyelesaikan penagihan; atau
       b. pelanggaran   pidana    kepabeanan     meliputi   memberikan
           informasi,  melakukan     penangkapan,     penyidikan,  dan
           penuntutan.

   Ayat (2)
      Cukup Jelas.
   Ayat (3)
      Cukup Jelas.
   Ayat (4)
      Cukup Jelas.

Pasal 115A
    Ayat (1)
       Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk menghindari
       penyalahgunaan daerah perdagangan bebas (free trade zone)
       dan/atau pelabuhan bebas terhadap pemasukan dan/atau
       pengeluaran barang-barang larangan dan pembatasan seperti
       narkoba, senjata api, bahan peledak.
   Ayat (2)
      Cukup Jelas.
Pasal 115B
    Ayat (1)
       Yang dimaksud informasi yang sifatnya tertentu yaitu informasi
       yang menyangkut kerahasiaan negara atau yang berdasarkan
       peraturan perundang-undangan harus dirahasiakan.
   Ayat (2)
      Cukup Jelas.

Pasal 115C
    Ayat (1)
        Cukup Jelas.
   Ayat (2)
      Cukup Jelas.
   Ayat (3)
      Ketentuan pada ayat ini sebagai upaya pengamanan keuangan
      negara yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau
      pejabat pemeriksa fungsional lain berdasarkan Undang-Undang.


                                                     Ayat (4) . . .
   Ayat (4)
      Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat ini, harus
      menyebutkan nama tersangka, keterangan yang diminta serta
      kaitan antara perkara pidana yang bersangkutan dengan
      keterangan yang diminta tersebut.


Pasal II
    Cukup Jelas.



TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4661


Silahkan download versi PDF nya sbb:
perubahan_atas__nomor_10_tahun_1995_tentang_kepab_17.pdf
(ogi/Carapedia)
Pencarian Terbaru

Isi dari pasal 82 ayat 1&4 undang undang no 3 tahun 2006. Apakah pre entry classification bersifat mengikat.

Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.