Previous
Next
  • Home
  • »
  • Undang-Undang
  • »
  • 1990
  • » Undang-Undang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 8 Tahun 198 (UU 10 thn 1990)

1990

Undang-Undang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 8 Tahun 198 (UU 10 thn 1990)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 8 Tahun 198 :

UU 11/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 8 TAHUN 198
TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK
PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

Bentuk:      UNDANG-UNDANG (UU)

Oleh:              PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor:        11 TAHUN 1994 (11/1994)

Tanggal:      9 NOPEMBER 1994 (JAKARTA)

Sumber:       LN 1994/61; TLN NO. 3568

Tentang:   PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 198 TENTANG
     PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN
     ATAS BARANG MEWAH

                   DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                     PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:     a.   bahwa pelaksanaan pembangunan nasional telah
     menghasilkan   perkembangan   yang  pesat   dalam   kehidupan
     nasional,   khususnya   di   bidang  perekonomian,   termasuk
     perkembangan   bentuk-bentuk   dan  praktek   penyelenggaraan
     kegiatan usaha yang belum tertampung dalam Undang-undang
     Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
     dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah;

                  b.   bahwa dalam upaya untuk selalu menjaga agar
        perkembangan perekonomian dapat tetap berjalan sesuai dengan
        kebijakan pembangunan yang bertumpu pada Trilogi Pembangunan
        sebagaimana diamanatkan dalam Garis-garis Besar Haluan
        Negara, dan agar lebih dapat diciptakan kepastian hukum dan
        kemudahan administrasi berkaitan dengan aspek perpajakan
        bagi bentuk-bentuk dan praktek penyelenggaraan kegiatan
        usaha yang terus berkembang, diperlukan langkah-langkah
        penyesuaian terhadap Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983
        tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
        Penjualan Atas Barang Mewah;

                  c.    bahwa untuk mewujudkan hal-hal tersebut,
        dipandang    perlu   mengubah   beberapa   ketentuan   dalam
        Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
        Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah;

Mengingat:     1.   Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal
     23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 ;

                  *8744 2.   Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
     Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara
     Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262)
     sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun
     1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran
     Negara Nomor 3566);

               3.   Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
     Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50,
     Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah
     diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994
     (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran
     Negara Nomor 3567);

               4.   Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang
     Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
     Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 51,
     Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264);

                       Dengan persetujuan

           DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

                          MEMUTUSKAN :

Menetapkan :   UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
     NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG
     DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.

                             PASAL I

Mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah, sebagai berikut :

1.   Ketentuan Pasal 1 huruf a sampai dengan huruf i, huruf k
     sampai dengan huruf p, huruf r sampai dengan huruf w,
     diubah, dan ditambah dengan huruf x, sehingga Pasal 1
     seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :

                            "Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

a.   Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang     dalamnya berlaku peraturan perundang-undangan Pabean;

b.   Barang adalah barang berwujud yang menurut sifat atau
     hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak
     bergerak maupun barang tidak berwujud;
*8745
c.    Barang Kena Pajak adalah barang sebagaimana dimaksud pada
      huruf b yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini;
d.       Penyerahan Barang Kena Pajak :

        1)        Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang
        Kena Pajak adalah:

        a)              penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena
        suatu perjanjian;
        b)              pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena
        suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing;

        c)             penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang
        perantara atau melalui juru lelang;

        d)               pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma;

        e)             persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang
        menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang
        masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang
        Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan aktiva tersebut
        menurut ketentuan dapat dikreditkan;

             f)       penyerahan Barang Kena Pajak dari Pusat ke
        Cabang atau sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak
        antar Cabang;

        g)               penyerahan   Barang   Kena   Pajak    secara
        konsinyasi;

        2)        Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan
        Barang Kena Pajak adalah :

        a)             penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar
        sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang;

        b)               penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan
        utang-piutang;

        c)              penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana
        dimaksud pada angka 1) huruf f) dalam hal Pengusaha Kena
        Pajak memperoleh ijin pemusatan tempat pajak terutang;

        d)             penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka
        perubahan  bentuk   usaha   atau  penggabungan   usaha atau
        pengalihan seluruh aktiva perusahaan yang diikuti dengan
        perubahan pihak yang berhak atas Barang Kena Pajak;

        e.             Jasa   adalah   setiap   kegiatan  pelayanan
        berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang
        menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau
        hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan
        untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan
        dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan;
*8746
f.             Jasa Kena Pajak adalah jasa       sebagaimana
dimaksud pada huruf e yang dikenakan pajak       berdasarkan
Undang-undang ini;

g.             Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap
kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada
huruf f, termasuk Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk
kepentingan sendiri atau Jasa Kena Pajak yang diberikan
secara cuma-cuma oleh Pengusaha Kena Pajak;

h.             Impor   adalah  setiap   kegiatan  memasukkan
barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean;

i.             Ekspor adalah setiap kegiatan mengeluarkan
barang dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean;

j.             Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan
menjual barang tanpa mengubah bentuk atau sifatnya;

k.             Pengusaha adalah orang pribadi atau badan
dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau
pekerjaannya   menghasilkan   barang,    mengimpor   barang,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan
barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan
usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean;

l.             Pengusaha   Kena   Pajak   adalah    Pengusaha
sebagaimana dimaksud pada huruf k yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang
dikenakan   pajak  berdasarkan   Undang-undang   ini,   tidak
termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan oleh
Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak;

m.             Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui
proses mengubah bentuk atau sifat suatu barang dari bentuk
aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru,
atau kegiatan mengolah sumber daya alam termasuk menyuruh
orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut;

n.             Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga
Jual atau Penggantian atau Nilai Impor atau Nilai Ekspor
atau Nilai Lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang
dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang;

o.             Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk
semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk
pajak yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan
harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak;

p.            Penggantian  adalah   nilai  berupa   uang,
termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta
        oleh pemberi Jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak
        termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang ini dan
        potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak;

        q.             Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang
        menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan
        lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan
        perundang-undangan Pabean untuk impor Barang Kena Pajak,
        tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang
        ini;

        r.             Pembeli adalah orang pribadi atau badan atau
        instansi Pemerintah yang menerima atau seharusnya menerima
        penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau
        seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut;

        s.             Penerima Jasa adalah orang pribadi atau badan
        atau instansi Pemerintah yang menerima atau seharusnya
        menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau
        seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak
        tersebut;
*8747
        t.             Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang
        dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak karena penyerahan Barang
        Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak atau oleh
        Direktorat Jenderal Bea dan Cukai karena impor Barang Kena
        Pajak;

        u.             Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai
        yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan
        Barang Kena Pajak dan/atau penerimaan Jasa Kena Pajak
        dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari
        luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari
        luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak;

        v.             Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai
        yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak karena penyerahan
        Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak;

        w.             Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang,
        termasuk semua biaya yang diminta atau yang seharusnya
        diminta oleh eksportir;

        x.             Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah orang
        pribadi, badan, atau instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh
        Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan
        pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas
        penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena
        Pajak kepada orang pribadi, badan, atau instansi Pemerintah
        tersebut."

        2.   Ketentuan Pasal 2 ayat (2) diubah, sehingga Pasal 2
        seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
                                "Pasal 2

          (1) Dalam hal Harga Jual atau Penggantian dipengaruhi
     oleh hubungan istimewa, maka Harga Jual atau Penggantian
     dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat penyerahan
     Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu dilakukan.

             (2)   Hubungan istimewa dianggap ada apabila:

               a.   Pengusaha mempunya penyertaan langsung atau
     tidak langsung sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau
     lebih pada Pengusaha lain, atau hubungan antara Pengusaha
     dengan penyertaan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih
     pada dua Pengusaha atau lebih, demikian pula hubungan antara
     dua Pengusaha atau lebih yang disebut terakhir; atau

               b.  Pengusaha menguasai Pengusaha lainnya atau
     dua atau lebih Pengusaha berada di bawah pengusaaan
     Pengusaha yang sama baik langsung maupun tidak langsung;
     atau

               c.   Terdapat  hubungan  keluarga baik           sedarah
     maupun semenda dalam garis keturunan lurus satu            derajat
     dan/atau ke samping satu derajat."

     3.      Ketentuan Pasal 3 dihapus.

     4.   Menambah BAB baru di antara BAB II tentang Pengukuhan
     Pengusaha Kena Pajak dan Bab II tentang Objek Pajak dan
     Kewajiban   Pencatatan  yang   dijadikan Bab   IIA  tentang
     Kewajiban Mempunyai Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
     dan Kewajiban Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak yang
     Terutang, yang berbunyi sebagai berikut:

                                "BAB IIA

          KEWAJIBAN MEMPUNYAI NOMOR PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA
                PAJAK DAN KEWAJIBAN MEMUNGUT, MENYETOR,
                  DAN MELAPORKAN PAJAK YANG TERUTANG"

5.   Menambah ketentuan baru di antara Pasal 3 dan Pasal 4 yang
     dijadikan Pasal 3A dalam BAB IIA tentang Kewajiban Mempunyai
     Nomor Pengukuhan Pengusaha              Kena    Pajak    dan
                                    *8748
     Kewajiban Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak yang
     Terutang, yang berbunyi sebagai berikut :

                                "Pasal 3A

     (1)       Pengusaha yãng melakukan penyerahan sebagaimana
     dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, huruf c, atau huruf f, wajib
     mempunyai Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, memungut,
     menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
     Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang.

     (2)       Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan
     menjadi Pengusaha Kena Pajak wajib melaksanakan ketentuan
     sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

     (3)       Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang
     Kena   Pajak  tidak   berwujud  dari  luar   Daerah  Pabean
     sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d dan/atau yang
     memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
     sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e wajib memungut,
     menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang
     terutang yang penghitungan dan tata caranya ditetapkan oleh
     Menteri Keuangan."

6.   Ketentuan Pasal 4 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai
     berikut :

                             "Pasal 4

     Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas :

     a.        penyerahan Barang Kena Pajak         di    dalam   Daerah
     Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

     b.        impor Barang Kena Pajak;

     c.        penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam
     Daerah Pabean oleh Pengusaha;

     d.        pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari
     luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

     e.        pemanfaatan Jasa Kena       Pajak   dari    luar   Daerah
     Pabean di dalam Daerah Pabean;

     f.         ekspor   Barang   Kena   Pajak   oleh    Pengusaha   Kena
     Pajak."

7.   Menambah ketentuan baru di antara Pasal 4 dan Pasal 5 yang
     dijadikan Pasal 4A dalam BAB III tentang Objek Pajak dan
     Kewajiban Pencatatan, yang berbunyi sebagai berikut :

                             "Pasal 4A

     Jenis Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b dan
     jenis Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e yang
     tidak   dikenakan   pajak  berdasarkan   Undang-undang  ini
     ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah."

8.    Ketentuan Pasal 5 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai
     berikut :
                              "Pasal 5

      (1)        Di samping pengenaan pajak sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 4, dikenakan juga Pajak Penjualan Atas Barang
      Mewah terhadap :

      a.             penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong
      Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan Barang
      Kena Pajak Yang Tergolong Mewah tersebut di dalam Daerah
      Pabean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya;

      b.              impor   Barang   Kena   Pajak   Yang   Tergolong
      Mewah.

      (2)       Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan hanya
      satu kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak Yang
      Tergolong Mewah oleh Pengusaha yang menghasilkan atau pada
      waktu impor."

9. Menambah ketentuan baru di antara Pasal 5 dan Pasal 6
     yang dijadikan Pasal 5A dalam BAB III tentang Objek Pajak
     dan Kewajiban Pencatatan, yang berbunyi sebagai berikut :

                              "Pasal 5A

      Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
      Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak yang dikembalikan
      dapat dikurangkan dari Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
      Penjualan Atas Barang Mewah terutang dalam Masa Pajak
      terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak tersebut yang tata
      caranya ditetapkan oleh Menteri Keuangan."

10.   Ketentuan Pasal 6 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai
      berikut :

                              "Pasal 6

      (1)       Setiap Pengusaha Kena Pajak diwajibkan mencatat
      semua jumlah harga perolehan dan penyerahan Barang Kena
      Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam pembukuan perusahaan.

      (2)       Dalam pembukuan itu harus dicatat secara terpisah
      dan jelas, jumlah harga perolehan dan penyerahan barang
      dan/atau jasa yang terutang pajak, yang mendapat fasilitas
      berupa pajak yang terutang tidak dipungut, yang dikenakan
      tarif 0% (nol persen), yang mendapat fasilitas berupa
      pembebasan dari pengenaan pajak, dan yang tidak dikenakan
      pajak.

      (3)       Pengusaha yang berdasarkan Undang-undang Perubahan
      Kedua Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 memilih dikenakan
      Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan, wajib
      membuat catatan nilai peredaran bruto secara teratur yang
      menjadi Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, sepanjang
      terutang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa."

11.   Ketentuan Pasal 7 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai
      berikut :

                              "Pasal 7

      (1) Tarif   Pajak   Pertambahan    Nilai   adalah   10%   (sepuluh
      persen).

      (2)   Tarif Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Barang Kena
      Pajak adalah 0% (nol persen).

      (3) Dengan Peraturan Pemerintah, tarif pajak sebagaimana
      dimaksud    pada    ayat   (1)   dapat   diubah    menjadi
      serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya
      15% (lima belas persen)."

12.   Ketentuan Pasal 8 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai
      berikut :

                              "Pasal 8

      (1) Tarif   Pajak   Penjualan  Atas   Barang   Mewah        adalah
      serendah-rendahnya     10%      (sepuluh     persen)           dan
      setinggi-tingginya 50% (lima puluh persen).

      (2) Atas ekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong             Mewah
      dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen).

      (3) Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan kelompok Barang
      Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dikenakan Pajak
      Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1).

      (4) Macam dan jenis Barang yang dikenakan Pajak Penjualan
      Atas Barang Mewah atas Barang Kena Pajak Yang Tergolong
      Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh
      Menteri Keuangan."

13.   Ketentuan Pasal 9 diubah, dan ditambah dengan ayat (9)
      sampai dengan ayat (14), sehingga Pasal 9 seluruhnya menjadi
      berbunyi sebagai berikut :

                              "Pasal 9

      *8750 (1) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung
      dengan mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
      dengan Dasar Pengenaan Pajak.

      (2) Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dapat dikreditkan
      dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama.
(3) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih
besar daripada Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan
Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar oleh Pengusaha
Kena Pajak.

(4) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka
selisihnya    merupakan   kelebihan    pajak   yang   dapat
dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya.

(5) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak di
samping melakukan penyerahan yang terutang pajak juga
melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang
bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan
pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan
penyerahan yang terutang pajak.

(6) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak di
samping melakukan penyerahan yang terutang pajak juga
melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan
Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak
dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak
dihitung dengan menggunakan pedoman yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan.

(7) Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh
Pengusaha    yang   dikenakan   Pajak  Penghasilan    dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang
Pajak Penghasilan 1984, dapat dihitung dengan menggunakan
pedoman   penghitungan   pengkreditan Pajak   Masukan   yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

(8) Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara yang
diatur pada ayat (2) bagi pengeluaran untuk :

     a.   perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

     b.  perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan
usaha;

     c.   perolehan dan pemeliharaan kendaraan      bermotor
sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi;

     d.   pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum
Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
     e.    perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
yang bukti pungutan pajaknya berupa Faktur Pajak Sederhana;

     f.   perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5);

     g.   pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang
Faktur   Pajaknya  tidak   memenuhi  ketentuan  sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);

     h.   perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan
pajak;

     i.   perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
yang   Pajak  Masukannya   tidak   dilaporkan dalam  Surat
Pemberitahuan Masa   *8751 Pajak Pertambahan Nilai, yang
diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.

(9) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum
dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama,
dapat    dikreditkan    pada     Masa    Pajak    berikutnya
selambat-lambatnya pada bulan ketiga setelah berakhirnya
tahun buku yang bersangkutan, sepanjang belum dibebankan
sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.

(10) Apabila pada akhir tahun buku terdapat kelebihan Pajak
Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka atas
kelebihan Pajak Masukan tersebut dapat diajukan permohonan
pengembalian.

(11) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak
melakukan ekspor Barang Kena Pajak, atas kelebihan Pajak
Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan
permohonan pengembalian pada setiap Masa Pajak, sepanjang
Pajak Masukan tersebut berasal dari perolehan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Barang Kena Pajak yang
diekspor.

(12) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai,
atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dapat diajukan permohonan pengembalian pada setiap Masa
Pajak, sepanjang Pajak Masukan tersebut berasal dari
perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan
kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

(13) Penghitungan dan tata cara pengembalian kelebihan Pajak
Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (10), ayat (11), dan
      ayat (12) ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

      (14) Apabila   terjadi    perubahan   bentuk    usaha   atau
      penggabungan usaha atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan
      yang diikuti dengan perubahan pihak yang berhak atas Barang
      Kena Pajak, maka :

           a.   Pajak  Masukan   atas   Barang  Kena  Pajak  yang
      dialihkan dan yang telah dikreditkan oleh Pengusaha Kena
      Pajak yang melakukan perubahan bentuk usaha atau oleh
      Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penggabungan usaha atau
      oleh Pengusaha Kena Pajak yang mengalihkan seluruh aktiva
      perusahaan, tetap dapat dikreditkan dan tidak harus dibayar
      kembali oleh Pengusaha Kena Pajak tersebut;

           b.   Pajak    Masukan  atas  Barang   Kena  Pajak  yang
      dialihkan dan yang belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena
      Pajak lama, dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang
      baru, sepanjang Faktur Pajaknya diterima setelah terjadinya
      perubahan   bentuk    usaha  atau  penggabungan  usaha  atau
      pengalihan seluruh aktiva perusahaan."

14.    Ketentuan Pasal     10   diubah,     sehingga   menjadi   berbunyi
      sebagai berikut :

                                "Pasal 10

      (1) Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang
      dihitung dengan mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 8, dengan Dasar Pengenaan Pajak.

      (2) Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sudah dibayar
      pada waktu perolehan atau impor Barang Kena Pajak Yang
      Tergolong Mewah, tidak dapat dikreditkan dengan Pajak
      Pertambahan Nilai maupun Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
      yang dipungut berdasarkan Undang-undang ini.

      (3)    Pengusaha Kena Pajak yang mengekspor Barang Kena Pajak
      Yang   Tergolong Mewah dapat meminta kembali Pajak Penjualan
      Atas   Barang Mewah yang dibayar pada waktu perolehan Barang
      Kena   Pajak Yang Tergolong Mewah yang diekspor tersebut."

15. Ketentuan Pasal 11 diubah, dan ditambah dengan ayat
     (3), ayat (4), dan ayat (5), sehingga Pasal 11 seluruhnya
     menjadi berbunyi sebagai berikut :

                                "Pasal 11

      (1) Terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang
      Kena Pajak atau pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak atau
      pada saat impor Barang Kena Pajak atau pada saat lain yang
      ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
      (2) Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang
      Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak, saat
      terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran.

      (3) Atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari
      luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf
      d dan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e, terutangnya
      pajak terjadi pada saat Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
      Pajak tersebut mulai dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean.

      (4) Saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak
      berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean oleh
      orang pribadi atau badan di dalam Daerah Pabean ditetapkan
      oleh Menteri Keuangan.

      (5) Dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya
      pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena
      Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), saat terutangnya
      pajak adalah pada saat pembayaran."

16.   Ketentuan Pasal 12 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diubah,
      dan ditambah dengan ayat (4), sehingga Pasal 12 seluruhnya
      menjadi berbunyi sebagai berikut :

                             "Pasal 12

      (1) Pengusaha Kena Pajak terutang pajak di tempat tinggal
      atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha dilakukan
      atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
      Pajak.

      (2) Atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak,
      Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan satu tempat atau
      lebih sebagai tempat pajak terutang.

      (3) Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat
      Barang Kena Pajak dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat
      Jenderal Bea dan Cukai.

      (4) Bagi orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang
      Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar
      Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 4 huruf d dan huruf e, terutangnya pajak terjadi
      di tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar
      sebagai Wajib Pajak."

17.   Ketentuan Pasal 13 ayat (1) sampai dengan ayat (7) diubah,
      dan ayat (8) dihapus, sehingga Pasal 13 seluruhnya menjadi
      berbunyi sebagai berikut :

                             "Pasal 13
      (1) Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk
      setiap penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 4 huruf a atau huruf f dan untuk setiap
      penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
      4 huruf c.

      (2) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1), Pengusaha Kena Pajak dapat membuat satu Faktur
      Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada
      pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang
      sama selama sebulan takwim.

      (3) Apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang
      Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak, Faktur
      Pajak dibuat pada saat pembayaran.

      *8753 (4) Saat pembuatan, bentuk, ukuran, pengadaan, tata
      cara penyampaian, dan tata cara pembetulan Faktur Pajak
      ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

      (5) Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang
      penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak
      yang meliputi :

           a.   Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, serta nomor
      dan tanggal pengukuhan Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan
      Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;

           b.    Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli
      Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;

           c.   Macam, jenis, kuantum, harga satuan, jumlah Harga
      Jual atau Penggantian, dan potongan harga;

           d.      Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;

           e.      Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut;

           f.      Tanggal penyerahan atau tanggal pembayaran;

           g.      Nomor dan tanggal pembuatan Faktur Pajak;

           h.   Nama, jabatan, dan          tanda   tangan   yang     berhak
      menandatangani Faktur Pajak.

      (6) Direktur      Jenderal    Pajak     dapat              menetapkan
      dokumen-dokumen tertentu sebagai Faktur Pajak.

      (7) Pengusaha Kena Pajak dapat membuat Faktur Pajak
      Sederhana yang persyaratannya ditetapkan oleh Direktur
      Jenderal Pajak."

18.    Ketentuan     Pasal   14   diubah,   sehingga   menjadi      berbunyi
      sebagai berikut :

                              "Pasal 14

      (1) Orang pribadi atau badan yang tidak dikukuhkan sebagai
      Pengusaha Kena Pajak dilarang membuat Faktur Pajak.

      (2) Dalam hal Faktur Pajak telah dibuat, maka orang pribadi
      atau badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
      menyetorkan jumlah pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak
      ke Kas Negara."

19.   Ketentuan Pasal 15 dihapus.

20.   Ketentuan Pasal 16 dihapus.

21.   Menambah BAB baru di antara BAB V tentang Saat dan Tempat
      Pajak Terutang dan Laporan Penghitungan Pajak dan BAB VI
      tentang Ketentuan Lain-lain, yang dijadikan BAB VA tentang
      Ketentuan Khusus, yang berbunyi sebagai berikut:

                               "BAB VA
                          KETENTUAN KHUSUS"

22.   Menambah 4 (empat) ketentuan baru di antara Pasal 16 dan
      Pasal 17 yang dijadikan Pasal 16A, Pasal 16B, Pasal 16C, dan
      Pasal 16D dalam Bab VA tentang Ketentuan Khusus, yang
      masing-masing berbunyi sebagai berikut :

                             "Pasal 16A

      (1) Pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak
      dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak
      Pertambahan Nilai, dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh
      Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

      (2) Tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak
      oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1), ditetapkan oleh Menteri Keuangan."

                          *8754 "Pasal 16B

      (1) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa
      pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya, baik
      untuk  sementara   waktu   ataupun  untuk   selamanya,  atau
      dibebaskan dari pengenaan pajak, untuk :

           a.   kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu
      di dalam Daerah Pabean;

           b.   penyerahan   Barang  Kena     Pajak   tertentu   atau
      penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
           c.   impor Barang Kena Pajak tertentu;

           d.   pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud
      tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

           e.   pemanfaatan Jasa Kena Pajak   tertentu   dari   luar
      Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

      (2) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena
      Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas
      penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai, dapat
      dikreditkan.

      (3) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena
      Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas
      penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan
      Nilai, tidak dapat dikreditkan."

                            "Pasal 16C

      Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun
      sendiri yang dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan
      atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya
      digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan
      tata caranya ditetapkan oleh Menteri Keuangan."

                            "Pasal 16D

      Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan aktiva
      oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva
      tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang Pajak
      Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat
      dikreditkan."

23.   Ketentuan Pasal 17 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai
      berikut :

                             "Pasal 17

      Hal-hal yang menyangkut pengertian dan tata cara pemungutan
      berkenaan dengan pelaksanaan Undang-undang ini, yang secara
      khusus belum diatur dalam Undang-undang ini, berlaku
      ketentuan dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan
      Tata Cara Perpajakan serta peraturan perundang-undangan
      lainnya."

                             PASAL II

Dengan berlakunya Undang-undang ini :

a.    penundaan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
      Penjualan Atas Barang Mewah yang telah diberikan sebelum
      berlakunya Undang-undang ini, akan berakhir sesuai dengan
        jangka waktu penundaan yang telah diberikan, paling lambat
        tanggal 31 Desember 1999;

b.      pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas
        Barang Mewah atas usaha di bidang pertambangan minyak dan
        gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya
        berdasarkan   Kontrak   Bagi   Hasil,  Kontrak  Karya,  atau
        perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih
        berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, tetap
        dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil,
        Kontrak   Karya,   atau   perjanjian  kerjasama  pengusahaan
        pertambangan tersebut sampai dengan Kontrak Bagi Hasil,
        Kontrak   Karya,   atau   perjanjian  kerjasama  pengusahaan
        pertambangan berakhir. "
*8755
                               PASAL III

Undang-undang   ini   dapat  disebut   "Undang-undang      Perubahan
Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984."

                               PASAL IV

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 9 Nopember 1994

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 Nopember 1994

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd

MOERDIONO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN NOMOR 61

Salinan sesuai aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Hukum
dan Perundang-undangan
Plt

Lambock V. Nahattands, S.H.

                               PENJELASAN
                                  ATAS
                   UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                          NOMOR 11 TAHUN 1994
                                TENTANG
           PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983
           TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA
                DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

UMUM

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak
dan kewajiban setiap orang, oleh karena itu menempatkan
perpajakan sebagai perwujudan salah satu kewajiban kenegaraan
dalam rangka kegotong-royongan nasional sebagai peran serta
masyarakat dalam membiayai pembangunan. Sesuai dengan ketentuan
Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, ketentuan-ketentuan
perpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak ditetapkan
dengan Undang-undang. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah yang berlaku sejak tahun 1984, sebagai pengganti
Undang-undang Pajak Penjualan Tahun 1951, merupakan landasan
hukum dalam pengenaan pajak atas konsumsi di dalam negeri.

Dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil
pembangunan nasional dan globalisasi di berbagai bidang, disadari
bahwa   banyak   bentuk-bentuk   aktivitas           yang   aspek
                                             *8756
perpajakannya belum diatur atau belum cukup diatur dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983. Selain itu, Undang-undang
tersebut belum sepenuhnya menampung amanat dalam Garis-garis
Besar Haluan Negara 1993. Oleh karena itu, maka dipandang sudah
saatnya untuk menyempurnakan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983.

Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan,
dan kesederhanaan, serta kemampuan masyarakat, maka arah dan
tujuan penyempurnaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tersebut
adalah sebagai berikut :

a.     Menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan Negara dan
       pembiayaan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari
       penerimaan pajak;

b.     Lebih   memberikan  kepastian   hukum   dan  keadilan   bagi
       masyarakat dalam berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan
       sesuai dengan kemampuannya;

c.     Menciptakan iklim perekonomian yang menunjang peningkatan
     penanaman modal, mendorong ekspor, mendorong terciptanya
     lebih banyak lapangan kerja baru, menunjang pelestarian
     lingkungan hidup, menunjang pengembangan usaha nasional
     terutama usaha kecil dan tradisional serta menunjang
     kebijakan lainnya;

d.   Mengendalikan   pola   konsumsi   yang   tidak   produktif   dalam
     masyarakat;

e.   Pelaksanaan pemungutan pajak yang mudah dan             sederhana
     sehingga dapat mendorong kepatuhan Wajib Pajak;

f.   Menunjang usaha terciptanya aparat perpajakan yang makin
     mampu dan makin bersih, peningkatan pelayanan kepada Wajib
     Pajak termasuk penyederhanaan dan kemudahan prosedur dalam
     pemenuhan kewajiban perpajakan, peningkatan pengawasan atas
     pelaksanaan   pemenuhan   kewajiban  perpajakan   tersebut,
     termasuk peningkatan penegakan pelaksanaan ketentuan hukum
     yang berlaku.

Dengan berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut,
maka dalam penyempurnaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 perlu
diatur kembali ketentuan-ketentuan mengenai pajak atas konsumsi
di dalam negeri, dengan pokok-pokok sebagai berikut :

a.   Sesuai dengan sistemnya, Undang-undang Pajak Pertambahan
     Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah merupakan satu
     kesatuan sebagai pajak atas konsumsi di dalam Daerah Pabean,
     baik konsumsi barang maupun konsumsi jasa;

b.   Dengan pertimbangan keadaan ekonomi, sosial, dan budaya,
     tidak   semua  jenis barang  dan   jasa  dikenakan Pajak
     Pertambahan Nilai;

c.   Pajak Pertambahan Nilai dikenakan hanya terhadap pertambahan
     nilainya saja dan dipungut beberapa kali pada berbagai mata
     rantai jalur perusahaan;

d.   Pertambahan nilai tercipta karena digunakannya faktor-faktor
     produksi pada setiap jalur perusahaan dalam menghasilkan,
     menyalurkan,   dan   memperdagangkan   barang   atau   dalam
     memberikan pelayanan jasa;

e.   Semua biaya yang berkaitan dengan menghasilkan, menyalurkan,
     dan memperdagangkan barang atau dalam memberikan pelayanan
     jasa merupakan unsur pertambahan nilai yang menjadi dasar
     pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;

f.   Dalam upaya mencapai keseimbangan pembebanan pajak antara
     masyarakat yang berpenghasilan rendah dengan masyarakat yang
     berpenghasilan tinggi serta dalam upaya mengendalikan pola
     konsumsi yang tidak produktif dalam masyarakat, maka atas
     penyerahan dan/atau atas impor barang-barang berwujud yang
     tergolong mewah, selain dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
     juga dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang hanya
     dipungut pada sumbernya yaitu pada pabrikan atau pada waktu
     barang diimpor;

g.   Pajak Penjualan Atas Barang Mewah tidak dapat dikenakan
     tersendiri  tanpa   adanya Pajak Pertambahan Nilai  dan
     dikenakan hanya sekali;

h.   Tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku atas penyerahan
     Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak adalah
     tarif tunggal, sehingga mudah dalam pelaksanaannya dan tidak
     memerlukan daftar penggolongan barang atau penggolongan jasa
     dengan tarif yang berbeda;
*8757
i.    Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah tidak menganut
      sistem tarif tunggal dan diterapkan sesuai dengan kelompok
      barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah;

j.   Dalam rangka mendorong ekspor khususnya ekspor non migas,
     atas ekspor Barang Kena Pajak dikenakan pajak dengan tarif
     0% (nol persen). Oleh karena itu, Pajak Pertambahan Nilai
     yang dibayar karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau
     perolehan Jasa Kena Pajak yang terkandung dalam Barang Kena
     Pajak yang diekspor dapat dikompensasi atau diminta kembali;

k.   Orang pribadi atau badan yang menghasilkan barang, mengimpor
     barang, memperdagangkan barang dan/atau menyerahkan jasa
     yang dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya
     adalah Pengusaha. Pengusaha yang melakukan penyerahan barang
     dan/atau penyerahan jasa yang dikenakan pajak adalah
     Pengusaha Kena Pajak;

l.   Pengusaha Kena Pajak diwajibkan untuk melaporkan usahanya
     dan mempunyai Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, kecuali
     bagi Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan Menteri
     Keuangan. Namun, agar tidak menghambat kegiatan usahanya,
     kepada Pengusaha Kecil tersebut juga diberikan kebebasan
     memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan
     mempunyai Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;

m.   Pengenaan pajak dilaksanakan berdasarkan sistem Faktur,
     sehingga atas penyerahan barang dan/atau penyerahan jasa
     wajib dibuat Faktur Pajak sebagai bukti transaksi penyerahan
     barang dan/atau penyerahan jasa yang terutang pajak. Faktur
     Pajak merupakan bukti pungutan pajak yang bagi Pengusaha
     yang dipungut pajak dapat diperhitungkan dengan jumlah pajak
     yang terutang;

n.   Dalam upaya meningkatkan kepatuhan Pengusaha Kena Pajak dan
     dalam rangka mengamankan penerimaan negara, maka orang
     pribadi   tertentu  atau   badan  tertentu   atau  instansi
     Pemerintah tertentu ditunjuk untuk memungut, menyetor, dan
     melaporkan pajak yang terutang atas penerimaan Barang Kena
     Pajak atau penerimaan Jasa Kena Pajak dari Pengusaha Kena
     Pajak, meskipun pada hakekatnya kewajiban pemungutan,
     penyetoran, dan pelaporan pajak ada pada Pengusaha Kena
     Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa
     Kena Pajak tersebut;

o.   Pengusaha Kena Pajak hanya diharuskan membayar kepada Negara
     selisih antara Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut dari
     pembeli Barang Kena Pajak dan/atau penerima Jasa Kena Pajak
     dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar kepada penjual
     Barang Kena Pajak dan/atau pemberi Jasa Kena Pajak;

p.   Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Modal dapat
     dikreditkan sebagaimana perolehan Barang Kena Pajak dan/atau
     Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk kegiatan usaha yang
     penyerahannya terutang pajak, dan terhadap Pengusaha Kena
     Pajak yang berdasarkan ketentuan Undang-undang Perubahan
     Kedua Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 dikenakan Pajak
     Penghasilan    dengan    menggunakan   Norma    Penghitungan
     diberlakukan ketentuan khusus pengkreditan Pajak Masukan;

q.   Dalam hal Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh
     Pengusaha Kena Pajak ternyata lebih besar daripada Pajak
     Pertambahan Nilai yang dipungut, maka kelebihan Pajak
     Pertambahan    Nilai    dikompensasikan    sedangkan     yang
     dikembalikan hanyalah kelebihan Pajak Pertambahan Nilai
     untuk Masa Pajak pada akhir tahun buku Pengusaha Kena Pajak
     yang   bersangkutan.   Apabila  kelebihan   pajak    tersebut
     disebabkan karena ekspor atau karena dipungut oleh Pemungut
     Pajak Pertambahan Nilai, maka kelebihan pajak tersebut dapat
     diminta kembali pada setiap Masa Pajak;

r.   Untuk   lebih   meningkatkan    perwujudan    keadilan   dalam
     pembebanan pajak, me- nunjang peningkatan penanaman modal,
     mendorong peningkatan ekspor, men- ciptakan lebih banyak
     lapangan kerja baru, menunjang pelestarian lingkungan hidup
     dan kebijakan-kebijakan lain, perlu diberikan perlakuan
     khusus. Namun demikian dalam memberikan perlakuan tersebut
     harus tetap dipegang teguh salah satu prinsip di dalam
     Undang-undang     perpajakan     yaitu    diberlakukan     dan
     diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak
     atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada
     *8758 hakekatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan
     perundang-undangan yang berlaku.
     Karena   itu  setiap    pemberian   kemudahan   dalam   bidang
     perpajakan jika benar-benar diperlukan harus tetap mengacu
     pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam
     penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan
     diberikannya   kemudahan    tersebut.   Tujuan    dan   maksud
     diberikannya    kemudahan    terutama    untuk    keberhasilan
     sektor-sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi
     dalam skala nasional.
PASAL DEMI PASAL

Pasal I
Angka 1
     Pasal 1
     Huruf a
     Yang dimaksud dengan Wilayah Republik Indonesia yang di
     dalamnya berlaku peraturan perundang-undangan Pabean adalah
     wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat,
     perairan, dan ruang udara di atasnya serta tempat-tempat
     tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen.

     Huruf b
     Yang dimaksud dengan barang tidak berwujud adalah antara
     lain hak atas Merek Dagang, Hak Paten, dan Hak Cipta.

     Huruf c
     Pada dasarnya semua barang dikenakan pajak, kecuali yang
     ditentukan lain oleh Undang-undang ini.

     Huruf d
     1)   Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena
     Pajak:

          a)   Perjanjian yang dimaksudkan dalam ketentuan ini
     meliputi jual beli, tukar menukar, jual beli dengan
     angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan
     hak atas barang.

          b)   Penyerahan Barang Kena Pajak juga dapat terjadi
     karena perjanjian sewa beli atau perjanjian sewa guna usaha
     (leasing). Adapun yang dimaksud dengan penyerahan karena
     perjanjian sewa guna usaha (leasing) adalah penyerahan yang
     disebabkan oleh perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan
     hak opsi. Meskipun pengalihan atau penyerahan hak atas
     Barang Kena Pajak belum dilakukan dan pembayaran Harga Jual
     Barang Kena Pajak tersebut dilakukan secara bertahap, tetapi
     karena penguasaan atas Barang Kena Pajak telah berpindah
     dari penjual kepada pembeli atau dari lessor kepada lessee,
     maka Undang-undang ini menentukan bahwa penyerahan Barang
     Kena Pajak dianggap telah terjadi pada saat perjanjian
     ditandatangani, kecuali apabila saat berpindahnya penguasaan
     secara nyata atas Barang Kena Pajak tersebut terjadi lebih
     dahulu daripada saat ditandatanganinya perjanjian.

          c)   Yang dimaksud dengan pedagang perantara ialah
     orang pribadi atau badan yang dalam lingkungan perusahaan
     atau pekerjaannya dengan nama sendiri melakukan perjanjian
     atau perikatan atas dan untuk tanggungan orang lain dengan
     mendapat upah atau balas jasa tertentu, misalnya komisioner.
               Yang dimaksud dengan juru lelang di sini adalah
     juru lelang Pemerintah atau yang ditunjuk oleh Pemerintah.
     d)   Pemakaian   sendiri  diartikan   pemakaian    untuk
kepentingan Pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawannya.
Sedangkan pemberian cuma-cuma diartikan sebagai pemberian
yang diberikan tanpa pembayaran, antara lain pemberian
contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.

     e)   Persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang
masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, disamakan
dengan   pemakaian   sendiri,   sehingga  dianggap   sebagai
penyerahan Barang Kena Pajak.
          *8759 Khusus untuk aktiva yang menurut tujuan
semula   tidak   untuk   diperjualbelikan  tersebut,   hanya
dikenakan   Pajak   Pertambahan    Nilai  apabila   memenuhi
persyaratan, yaitu bahwa Pajak Pertambahan Nilai yang
dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.

     f)     Apabila suatu perusahaan mempunyai lebih dari
satu   tempat   pajak  terutang,   yaitu   tempat   melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak kepada pihak lain, baik sebagai
pusat maupun sebagai cabang perusahaan, maka Undang-undang
ini menganggap bahwa pemindahan Barang Kena Pajak antar
tempat tersebut merupakan penyerahan Barang Kena Pajak. Yang
dimaksud dengan cabang dalam ketentuan ini termasuk antara
lain   lokasi   usaha,  perwakilan,   unit   pemasaran,   dan
sejenisnya.

     g)   Dalam hal penyerahan secara konsinyasi, Pajak
Pertambahan Nilai yang sudah dibayar pada waktu Barang Kena
Pajak yang bersangkutan diserahkan untuk dititipkan dapat
dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak terjadinya
penyerahan Barang Kena Pajak yang dititipkan tersebut.
Sebaliknya, jika Barang Kena Pajak titipan tersebut tidak
laku dijual dan diputuskan untuk dikembalikan kepada pemilik
Barang Kena Pajak, Pengusaha yang menerima titipan tersebut
dapat menggunakan ketentuan mengenai pengembalian Barang
Kena Pajak (retur) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5A
Undang-undang ini. Penyerahan Barang Kena Pajak secara
konsinyasi oleh Pengusaha Kecil, sesuai dengan ketentuan
Undang-undang ini, tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

2)   Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang
Kena Pajak sebagaimana tersebut dalam angka 2 sebagai
berikut :

     a)   Cukup jelas

     b)   Cukup jelas

     c)   Dalam hal Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih
dari   satu  tempat   usaha,  baik  sebagai   pusat  maupun
cabang-cabang perusahaan, dan Pengusaha Kena Pajak tersebut
telah memperoleh ijin pemusatan tempat pajak terutang dari
Direktur Jenderal Pajak, maka pemindahan Barang Kena Pajak
dari satu tempat usaha ke tempat usaha lainnya (pusat ke
cabang atau sebaliknya atau antar cabang) dianggap tidak
termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak,
kecuali pemindahan Barang Kena Pajak antar tempat-tempat
pajak terutang.

     d)   Apabila terjadi perubahan bentuk usaha atau
penggabungan usaha atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan
yang mengakibatkan juga terjadinya perubahan pihak yang
berhak atas Barang Kena Pajak, maka peristiwa tersebut
diperlakukan sebagai tidak terjadi penyerahan Barang Kena
Pajak.

Huruf e
Dalam pengertian jasa termasuk antara lain jasa angkutan,
jasa borongan, jasa persewaan barang, jasa hiburan, jasa
biro perjalanan, jasa perhotelan, jasa notaris, jasa
pengacara, jasa akuntan, jasa konsultan, dan jasa kantor
administrasi. Pengertian jasa meliputi juga pelayanan yang
dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan dengan
bahan dan petunjuk dari pemesan. Sebagai contoh, penjahit
yang   hanya   menerima   pesanan  membuat  pakaian  tanpa
menyediakan bahan. Karena bahan disediakan oleh pemesan,
maka penjahit tersebut dianggap hanya melakukan penyerahan
jasa yang imbalannya sebesar upah jahit yang diminta atau
diterima dari pemesan atau pelanggan.

Huruf f
Pada dasarnya semua jasa dikenakan pajak,      kecuali   yang
ditentukan lain oleh Undang-undang ini.

Huruf g
Pemakaian Jasa Kena Pajak untuk kepentingan sendiri atau
pemberian Jasa -Kena Pajak secara cuma-cuma termasuk dalarn
pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak, dengan pertimbangan
untuk mempertahankan adanya perlakuan yang             sama
                                             *8760
sebagaimana halnya pada pemakaian Barang Kena Pajak untuk
kepentingan sendiri atau penyerahan barang secara cuma-cuma
oleh Pengusaha Kena Pajak.

Huruf h
Cukup jelas

Huruf i
Cukup jelas

Huruf j
Dalam pengertian perdagangan termasuk kegiatan tukar-menukar
barang.

Huruf k
Pengusaha dapat berbentuk usaha perseorangan atau badan yang
dapat berupa perseroan terbatas, perseroan komanditer, Badan
Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk
apapun, persekutuan, perseroan atau perkumpulan lainnya,
irma, kongsi, perkumpulan koperasi, yayasan, lembaga, bentuk
usaha tetap, dan bentuk usaha lainnya. Pengertian Pengusaha
dibatasi pada orang pribadi atau badan yang melakukan
kegiatan    usaha    dalam    lingkungan    perusahaan    atau
pekerjaannya. Dalam hal instansi Pemerintah melakukan
kegiatan usaha yang bukan dalam rangka melaksanakan tugas
umum   pemerintahan,   maka   instansi   Pemerintah   tersebut
termasuk   dalam   pengertian   bentuk   usaha   lainnya   dan
diperlakukan sebagai Pengusaha.

Huruf l
Pengusaha Kecil yang dalam Undang-undang ini batasannya
didasarkan pada jumlah peredaran bruto usaha (omset) dalam
satu tahun diperkenankan untuk memilih dikukuhkan menjadi
Pengusaha Kena Pajak. Apabila menjadi Pengusaha Kena Pajak,
maka hak dan kewajibannya sama seperti Pengusaha Kena Pajak
pada umumnya.

Huruf m
Perubahan bentuk atau sifat barang terjadi karena adanya
atau dilakukannya suatu proses pengolahan yang menggunakan
satu faktor produksi atau lebih, termasuk kegiatan :
-     merakit :
     menggabungkan bagian-bagian lepas dari suatu barang
menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, seperti
merakit mobil, barang elektronik, perabot rurnah tangga, dan
sebagainya;

-     memasak :
     mengolah barang dengan cara memanaskan. Pengertian
memanaskan termasuk merebus, membakar, mengasap, memanggang
dan menggoreng, baik dicampur dengan bahan lain atau tidak;

-     mencampur :
     mempersatukan  dua   atau   lebih  unsur    (zat)   untuk
menghasilkan satu atau lebih barang lain;

-     mengemas :
     menempatkan suatu barang ke dalam suatu benda yang
melindunginya dari kerusakan dan/atau untuk meningkatkan
kekuatan pemasarannya;

-     membotolkan :
     memasukkan minuman atau benda cair ke dalam botol yang
ditutup menurut cara tertentu;

-    menambang :
     mengambil hasil sumber kekayaan alam dari permukaan
atau dari dalam tanah, baik di darat maupun di laut;
-    menyediakan makanan dan minuman yang dilaksanakan oleh
usaha katering;

dan kegiatan-kegiatan lain yang dapat dipersamakan dengan
kegiatan itu, atau menyuruh orang atau badan lain melakukan
kegiatan-kegiatan tersebut.

Huruf n
Untuk menghitung besarnya pajak yang terutang, perlu adanya
Dasar Pengenaan Pajak. Dalam hal penerapan Harga Jual atau
Penggantian atau Nilai Impor atau Nilai Ekspor akan
menimbulkan ketidakadilan atau karena            Harga  Jual
                                         *8761
atau Penggantian sukar ditetapkan, maka Menteri Keuangan
dapat menentukan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak.

Huruf o
Seluruh biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
penjual yang ber- kaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak
seperti biaya pengiriman, biaya garansi, komisi, premi
asuransi, biaya pemasangan, biaya bantuan teknik, dan
biaya-biaya lainnya, termasuk dalam Harga Jual. Tidak
termasuk dalam Harga Jual adalah Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut pada saat
penyerahan Barang Kena Pajak. Yang dapat dikurangkan dari
Harga Jual adalah potongan harga seperti potongan tunai atau
rabat, sepanjang masih dalam batas kebiasaan pedagang yang
baik, dan tercantum dalam Faktur Pajak. Apabila Pengusaha
Kena Pajak selain menerbitkan Faktur Pajak juga menerbitkan
faktur penjualan, maka potongan harga yang tercantum dalam
Faktur Pajak tersebut juga potongan harga yang tercantum
dalam faktur penjualan. Tidak termasuk dalam pengertian
potongan harga adalah bonus, premi, komisi, atau balas jasa
lainnya, yang diberikan dalam rangka menjualkan Barang Kena
Pajak.

Huruf p
Cukup jelas

Huruf q
Nilai Impor yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak adalah harga
patokan impor atau Cost Insurance and Freight (CIF) sebagai
dasar penghitungan bea masuk ditambah dengan semua biaya dan
pungutan lain menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
Pabean.

Huruf r
Yang dimaksud   dengan   pembeli   termasuk   lembaga-lembaga
negara.

Huruf s
Yang dimaksud dengan penerima jasa termasuk lembaga-lembaga
negara.
    Huruf t
    Cukup jelas

    Huruf u
    Pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, atau
    pengimpor Barang Kena Pajak membayar Pajak Pertambahan Nilai
    dan berhak menerima bukti pungutan pajak. Pajak Pertambahan
    Nilai yang dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan bagi
    pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak atau
    pengimpor   Barang  Kena   Pajak,  yang   berstatus  sebagai
    Pengusaha Kena Pajak.

    Huruf v
    Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau
    Jasa Kena Pajak wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai.
    Pajak yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak inilah yang
    dinamakan Pajak Keluaran.

    Huruf w
    Nilai Ekspor dapat diketahui dari dokumen ekspor, misalnya
    harga yang tercantum dalam Pemberitahuan Ekspor Barang
    (PEB).

    Huruf x
    Dalam rangka meningkatkan kepatuhan Pengusaha Kena Pajak
    dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya serta dalam
    rangka   mengamankan   penerimaan  negara,   orang   pribadi
    tertentu, badan tertentu, atau instansi Pemerintah tertentu
    dapat ditunjuk sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

Angka 2
     Pasal 2
     Ayat (1)
     Pengaruh   hubungan   istimewa  seperti   dimaksud   dalam
     Undang-undang ini ialah adanya kemungkinan harga yang
     ditekan lebih rendah dari harga pasar. Dalam hal ini,
     Direktur Jenderal Pajak mempunyai kewenangan melakukan
     penyesuaian Harga Jual atau Penggantian yang menjadi Dasar
     Pengenaan Pajak dengan harga pasar wajar yang berlaku di
     pasaran bebas.

    Ayat (2)
    *8762 Hubungan istimewa antara Pengusaha Kena Pajak dengan
    pihak yang menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
    Jasa Kena Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau
    keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan karena :
    -    faktor kepemilikan atau penyertaan;
    -     adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan
    teknologi.

    Selain karena hal-hal tersebut di atas, hubungan istimewa
    diantara orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya
     hubungan darah atau karena perkawinan.

     a)   Hubungan   istimewa  dianggap   ada  apabila   terdapat
     hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar
     25% (dua puluh lima persen) atau lebih, baik secara langsung
     ataupun tidak langsung.
                    Contoh :
          Kalau PT. A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT.
     B, pemilikan saham oleh PT. A merupakan penyertaan langsung.
     Selanjutnya apabila PT. B tersebut mempunyai 50% (lima puluh
     persen) saham PT. C, maka PT. A sebagai pemegang saham PT. B
     secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT. C
     sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian,
     antara PT. A, PT. B, dan PT. C dianggap terdapat hubungan
     istimewa.

          Apabila PT. A juga memiliki 25% (dua puluh lima persen)
     saham PT. D, maka antara PT. B, PT. C, dan PT. D dianggap
     terdapat hubungan istimewa. Hubungan kepemilikan seperti
     tersebut di atas juga dapat terjadi antara orang pribadi dan
     badan.

     b)   Hubungan antara pengusaha seperti digambarkan pada
     huruf a dapat juga terjadi karena penguasaan melalui
     manajemen atau penggunaan teknologi, kendatipun tidak
     terdapat hubungan kepemilikan.

          Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih
     perusahaan berada di bawah penguasaan pengusaha yang sama.
     Demikian juga hubungan antara beberapa perusahaan yang
     berada dalam penguasaan pengusaha yang sama tersebut.

     c)   Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sedarah dalam
     garis keturunan lurus satu derajat adalah ayah, ibu, dan
     anak, sedangkan hubungan keluarga sedarah dalam garis
     keturunan ke samping satu derajat adalah kakak dan adik.
          Yang dimaksud dengan keluarga semenda dalam garis
     keturunan lurus satu derajat adalah mertua dan anak tiri,
     sedangkan hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke
     samping satu derajat adalah ipar.
          Apabila   antara  suami   istri  mempunyai   perjanjian
     pemisahan harta dan penghasilan, maka hubungan antara suami
     istri tersebut termasuk dalam pengertian hubungan istimewa
     menurut Undang-undang ini.

Angka 3
     Ketentuan Pasal 3 yang mengatur tentang Pengukuhan Pengusaha
     Kena Pajak, dihapus dan dipindahkan ke dalam Undang-undang
     tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Angka 4
     Cukup jelas
Angka 5
     Pasal 3A
     Ayat (1)
     Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
     dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean
     dan/atau melakukan ekspor Barang Kena Pajak diwajibkan :
     a.   mempunyai Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
     b.    memungut pajak yang terutang;
     c.   menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus
     dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar dari Pajak
     Masukan yang dapat dikreditkan, serta menyetorkan Pajak
     Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang;
     d.   melaporkan penghitungan pajak.

    Ayat (2)
    *8763 Pengusaha Kecil dikecualikan dari kewajiban untuk
    melaksanakan Undang-undang ini. Namun, apabila Pengusaha
    Kecil memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak,
    maka Undang-undang ini berlaku sepenuhnya bagi Pengusaha
    Kecil tersebut.

    Ayat (3)
    Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan
    Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak, dari
    luar Daerah Pabean, harus dipungut oleh orang pribadi atau
    badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud
    atau Jasa Kena Pajak tersebut.

Angka 6
     Pasal 4
     Huruf a
     Penyerahan barang yang dikenakan    pajak   harus   memenuhi
     syarat-syarat sebagai berikut :

    -    barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena
    Pajak,
    -    barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang
    Kena Pajak tidak berwujud,
    -    penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean,
    -    penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau
    pekerjaan Pengusaha yang bersangkutan.

    Huruf b
    Pajak juga dipungut pada saat impor barang. Pemungutan
    dilakukan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

    Berbeda dengan penyerahan Barang Kena Pajak tersebut pada
    huruf a, maka siapapun yang memasukkan Barang Kena Pajak ke
    dalam Daerah Pabean tanpa memperhatikan apakah dilakukan
    dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya atau tidak,
    tetap dikenakan pajak.

    Huruf c
    Penyerahan   jasa  yang   terutang   pajak   harus   memenuhi
    syarat-syarat sebagai berikut :

    -    jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak,
    -    penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean,
    -    penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau
    pekerjaan Pengusaha yang bersangkutan.

    Huruf d
    Untuk dapat memberikan perlakuan pengenaan pajak yang sama
    dengan impor Barang Kena Pajak, maka atas Barang Kena Pajak
    tidak berwujud yang berasal dari luar Daerah Pabean yang
    dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean juga dikenakan pajak.

    Contoh :
    Pengusaha "A" yang berkedudukan di Jakarta memperoleh hak
    menggunakan   merek yang   dimiliki  Pengusaha  "B"  yang
    berkedudukan di Hongkong. Atas pemanfaatan merek tersebut
    oleh Pengusaha "A" di dalam Daerah Pabean, terutang Pajak
    Pertambahan Nilai.

    Huruf e
    Jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan
    di   dalam  Daerah   Pabean   dikenakan  pajak    berdasarkan
    Undang-undang ini. Misalnya, Pengusaha Kena Pajak "C" di
    Surabaya memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari Pengusaha "B"
    yang berkedudukan di Singapura. Atas pemanfaatan Jasa Kena
    Pajak tersebut, terutang Pajak Pertambahan Nilai.

    Huruf f
    Penyerahan Barang Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean ke
    luar Daerah Pabean dikenakan pajak menurut Undang-undang
    ini.

Angka 7
     Pasal 4A
          Penetapan jenis barang yang tidak dikenakan Pajak
     Pertambahan Nilai dengan Peraturan Pemerintah didasarkan
     atas kelompok-kelompok barang sebagai berikut:

         *8764 a. barang hasil pertanian, hasil perkebunan,
    hasil kehutanan, yang dipetik langsung, diambil langsung,
    atau disadap langsung, dari sumbernya, seperti padi-padian,
    kelapa sawit, karet;

         b.   barang hasil peternakan, perburuan/ penangkapan,
    atau penangkaran, yang diambil langsung dari sumbernya,
    seperti sapi potong, unggas;

         c.   barang hasil penangkapan atau budidaya perikanan,
    yang diambil langsung dari sumbernya, seperti ikan tuna,
    teripang, udang;
     d.   barang hasil pertambangan dan pengeboran, yang
diambil langsung dari sumbernya, seperti crude oil, garam;

     e.    barang-barang   kebutuhan         pokok    yang   sangat
dibutuhkan    oleh  rakyat  banyak,         seperti   beras,  garam
beriodium;

     f.   beberapa jenis barang, karena untuk menghindari
pengenaan   pajak  berganda  dengan  yang   dipungut oleh
Pemerintah Daerah, misalnya Pajak Pembangunan I dan Pajak
Tontonan;

        g.    surat-surat berharga;

        h.    listrik, kecuali untuk perumahan mewah;

        i.    air   bersih   yang   disalurkan   melalui    pipa    (air
PAM).

     Penetapan jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai dengan Peraturan Pemerintah didasarkan
atas kelompok-kelompok jasa sebagai berikut :

     a.   jasa di bidang pelayanan kesehatan medik, seperti
dokter umum, dokter spesialis;

     b.   jasa di bidang        pelayanan   sosial,   seperti      panti
asuhan, jasa pemakaman;

        c.    jasa di bidang pengiriman surat;

     d.   jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna
usaha dengan hak opsi;

     e.    jasa di bidang           keagamaan,    seperti    pemberian
khotbah atau dakwah;

        f.   jasa di bidang pendidikan;

     g.    jasa di bidang           kesenian,    seperti    pementasan
kesenian tradisional;

     h.    jasa di bidang penyiaran, seperti penyiaran radio
dan televisi yang bukan bersifat iklan;

      i.   jasa di bidang angkutan umum, seperti angkutan
umum di darat dan di laut;

     j.    jasa di bidang tenaga kerja,               seperti       jasa
penyelenggaraan latihan bagi tenaga kerja;

        k.   jasa di bidang perhotelan;
          l.      jasa telepon umum coin-box dan jasa telegram.

Angka 8
     Pasal 5
     Ayat ( 1 )
     Dengan pertimbangan bahwa :

     -    perlu adanya keseimbangan pembebanan               pajak antara
     konsumen yang berpenghasilan rendah dengan              konsumen yang
     berpenghasilan tinggi,

     *8765 -   perlu adanya pengendalian pola             konsumsi     atas
     Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah,

     -     perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau
     tradisional,

     -     perlu untuk mengamankan penerimaan negara, maka atas
     penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah oleh
     produsen atau atas impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong
     Mewah, di samping dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, juga
     dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
          Pengenaan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah terhadap
     impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah tidak
     memperhatikan siapa yang mengimpor Barang Kena Pajak
     tersebut serta tidak memperhatikan apakah impor tersebut
     dilakukan secara terus-menerus atau hanya sekali saja.
     Selain itu, pengenaan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
     terhadap suatu penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong
     Mewah tidak memperhatikan apakah suatu bagian dari Barang
     Kena Pajak tersebut telah dikenakan atau tidak dikenakan
     Pajak Penjualan Atas Barang Mewah pada transaksi sebelumnya.

          Ayat (2)
     Pengertian umum dari Pajak Masukan hanya berlaku pada Pajak
     Pertambahan Nilai dan tidak dikenal pada Pajak Penjualan
     Atas Barang Mewah. Oleh karena itu Pajak Penjualan Atas
     Barang Mewah yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan
     dengan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang.
     Dengan demikian prinsip pemungutannya hanya satu kali saja
     yaitu pada waktu :

     a.   penyerahan oleh Pabrikan atau           Produsen    Barang   Kena
     Pajak Yang Tergolong Mewah, atau

     b.   impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah.

     Penyerahan   pada   tingkat   berikutnya     tidak   lagi   dikenakan
     pajak.

Angka 9
     Pasal 5A
     Dalam hal     Barang   Kena   Pajak   yang    diserahkan     ternyata
     dikembalikan (retur) oleh pembeli, maka Pajak Pertambahan
     Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dari Barang Kena
     Pajak yang dikembalikan tersebut mengurangi :

     a.   Pajak Keluaran dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
     yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak penjual,

     b.   Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak pembeli, dalam
     hal Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan
     tersebut telah dikreditkan,

     c.   Biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak pembeli,
     dalam hal pajak atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan
     tersebut   telah  dibebankan   sebagai  biaya   atau  telah
     ditambahkan (dikapitalisasikan) dalam harga perolehan harta
     tersebut.

Angka 10
     Pasal 6
     Ayat (1)
     Cukup jelas

     Ayat (2)
     Dalam ketentuan ini, yang dimaksud dengan pajak adalah Pajak
     Pertambahan Nilai saja atau Pajak Pertambahan Nilai dan
     Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

     Ayat (3)
     Cukup jelas

Angka 11
      Pasal 7
      Ayat (1)
      Cukup jelas
*8766
      Ayat (2)
      Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas
      konsumsi Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Oleh
      karena itu, Barang Kena Pajak yang diekspor atau dikonsumsi
      di luar Daerah Pabean, dikenakan Pajak Per- tambahan Nilai
      dengan tarif 0% (nol persen). Pengenaan tarif 0% (nol
      persen) bukan berarti pembebasan dari pengenaan Pajak
      Pertambahan Nilai. Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah
      dibayar dari barang yang diekspor tetap dapat dikreditkan.

     Ayat (3)

     Berdasarkan   pertimbangan  perkembangan   ekonomi   dan/atau
     peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah
     diberi wewenang mengubah tarif Pajak Pertambahan Nilai
     menjadi    serendah-rendahnya   5%    (lima    persen)    dan
     setinggi-tingginya 15% (lima belas persen) dengan tetap
     memakai prinsip tarif tunggal. Perubahan tarif sebagaimana
     dimaksud pada ayat ini, dikemukakan oleh Pemerintah kepada
     Dewan   Perwakilan  Rakyat   dalam  rangka   pembahasan  dan
     penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara.

Angka 12
     Pasal 8
     Ayat (1)
     Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dapat ditetapkan
     dalam beberapa pengelompokan tarif, yaitu tarif terendah
     sebesar 10% (sepuluh persen) dan tarif tertinggi 50% (lima
     puluh persen). Perbedaan kelompok tarif tersebut didasarkan
     pada pengelompokan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah
     yang atas penyerahannya dikenakan juga Pajak Penjualan Atas
     Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).

     Ayat (2)
     Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah pajak yang
     dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak Yang Tergolong
     Mewah di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu, Barang Kena
     Pajak Yang Tergolong Mewah yang diekspor atau dikonsumsi di
     luar Daerah Pabean, dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang
     Mewah dengan tarif 0% (nol persen). Pajak Penjualan Atas
     Barang Mewah yang telah dibayar atas perolehan Barang Kena
     Pajak Yang Tergolong Mewah yang diekspor tersebut dapat
     diminta kembali.

     Ayat (3)
     Dengan mengacu pada pertimbangan-pertimbangan sebagaimana
     tercantum   dalam  Penjelasan     Pasal  5   ayat   (1),   maka
     pengelompokan barang-barang yang terkena Pajak Penjualan
     Atas Barang Mewah terutama didasarkan pada tingkat kemampuan
     golongan   masyarakat    yang    mempergunakan    barang-barang
     tersebut, di samping didasarkan pula pada nilai gunanya bagi
     masyarakat pada umumnya. Sehubungan dengan hal itu, tarif
     yang tinggi dikenakan terhadap barangbarang yang hanya
     dikonsumsi oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi dan
     barang-barang yang konsumsinya perlu dibatasi. Dalam hal
     terhadap   barang-barang    yang    banyak   dikonsumsi    oleh
     masyarakat banyak perlu dikenakan Pajak Penjualan Atas
     Barang Mewah, maka tarif yang dipergunakan adalah tarif yang
     rendah.

     Ayat (4)
     Cukup jelas

Angka 13
     Pasal 9
     Ayat (1)
     Cara menghitung pajak yang terutang adalah dengan mengalikan
     jumlah Harga Jual, Penggantian, atau Nilai Impor dengan
     tarif pajak sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1).
     Pajak yang terutang ini merupakan Pajak Keluaran, yang
     dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak.
Contoh :
a)   Pengusaha Kena Pajak "A" menjual tunai Barang Kena
Pajak dengan Harga Jual Rp 25.000.000,00.
     Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
     = 10% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
     Pajak    Pertambahan  Nilai   sebesar  Rp   2.500.000,00
tersebut merupakan Pajak Keluaran, yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak "A".
b)    Pengusaha Kena Pajak "B" melakukan penyerahan
Jasa   Kena    Pajak   dengan   memperoleh   Penggantian   Rp
20.000.000,00.
     Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
     = 10% x Rp 20.000.000,00 = Rp 2.000.000,00
     Pajak    Pertambahan  Nilai   sebesar  Rp   2.000.000,00
tersebut merupakan Pajak Keluaran, yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak "B".
c)    Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean dengan Nilai Impor Rp 15.000.000,00.
     Pajak    Pertambahan   Nilai   yang   dipungut   melalui
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
     = 10% x Rp 15.000.000,00 = Rp 1.500.000,00

     Ayat (2)
     Pajak Masukan yang telah dibayar oleh Pengusaha Kena
Pajak pada waktu perolehan atau impor Barang Kena Pajak atau
penerimaan Jasa Kena Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak
Keluaran yang dipungut Pengusaha Kena Pajak pada waktu
menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.
Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran tersebut
di atas dilakukan dalam Masa Pajak yang sama.

     Ayat (3)
     Selisih yang dimaksud dalam ayat ini harus disetor ke
Kas Negara menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam
Undang-undang  tentang   Ketentuan  Umum  dan   Tata  Cara
Perpajakan.

     Ayat (4)
     Pajak Masukan yang dimaksud dalam ayat ini adalah Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan.
     Dapat terjadi dalam suatu Masa Pajak terdapat Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak
Keluaran. Kelebihan Pajak Masukan tersebut tidak dapat
diminta kembali, tetapi dapat dikompensasikan pada Masa
Pajak berikutnya. Namun apabila perusahaan tersebut bubar
sebelum tahun buku berakhir, maka kelebihan bayar tersebut
dapat diminta kembali pada saat pembubaran perusahaan.
Pengembalian   atas  kelebihan   pembayaran  tersebut   baru
diberikan setelah dilakukan pemeriksaan.

Contoh :
Masa Pajak Mei 1995 :
Pajak Keluaran        = Rp 2.000.000,00
Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan               = Rp 4.500.000,00
                    _________________(-)
Pajak yang lebih dibayar        = Rp 2.500.000,00

Pajak yang lebih dibayar tersebut tidak dapat diminta
kembali, tetapi dapat dikompensasikan pada Masa Pajak Juni
1995.

Masa Pajak Juni 1995 :
Pajak Keluaran       = Rp 3.000.000,00
Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan          = Rp 2.000.000,00
                    __________________(-)
Pajak yang kurang dibayar           = Rp 1.000.000,00
Pajak yang lebih dibayar dari
Masa Pajak Mei 1995 = Rp 2.500.000,00
                    __________________(-)
Pajak yang lebih dibayar Juni 1995 = Rp 1.500.000,00

Apabila perusahaan tersebut pada bulan Juni 1995 bubar, maka
kelebihan pembayaran pajak dalam bulan Juni 1995 baru dapat
dikembalikan setelah dilakukan pemeriksaan.

Ayat (5)
Dalam ayat ini, yang dimaksud dengan penyerahan yang
terutang pajak adalah penyerahan barang atau jasa yang
sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini, dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai.

Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan
penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak
terutang pajak, hanya dapat           mengkreditkan   Pajak
                              *8768
Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang
pajak. Bagian penyerahan yang terutang pajak tersebut harus
dapat diketahui dengan pasti dari pembukuan Pengusaha Kena
Pajak.

Contoh

Pengusaha Kena Pajak melakukan dua macam penyerahan yaitu :
-     penyerahan terutang pajak     = Rp 25.000.000,00
      Pajak Keluaran = Rp 2.500.000,00
-     penyerahan tidak
     terutang pajak = Rp 10.000.000,00
     Pajak Keluaran = NIHIL

Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan :
-    Barang Kena Pajak dan
     Jasa Kena Pajak yang
     berkaitan dengan penyerahan
          yang terutang pajak      = Rp 1.500.000,00

     -    Barang Kena Pajak dan
          Jasa Kena Pajak yang
          berkaitan dengan penyerahan
          yang tidak terutang pajak     = Rp   800.000,00

     Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
     dengan Pajak Keluaran sebesar Rp 2.500.000,00 hanya sebesar
     Rp 1.500.000,00.

     Ayat (6)
     Dalam ayat ini, yang dimaksud dengan penyerahan yang
     terutang pajak adalah penyerahan barang atau jasa yang
     sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini, dikenakan Pajak
     Pertambahan Nilai.

     Dalam hal Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak
     tidak dapat diketahui dengan pasti, maka cara pengkreditan
     Pajak Masukan dihitung berdasarkan pedoman yang ditetapkan
     oleh Menteri Keuangan, yang dimaksudkan untuk memberikan
     kemudahan dan kepastian kepada Pengusaha Kena Pajak. Menteri
     Keuangan dapat melimpahkan wewenang untuk menetapkan pedoman
     tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak.

     Contoh :

     Pengusaha Kena Pajak melakukan dua macam penyerahan
yaitu :
     -    penyerahan terutang pajak      = Rp 35.000.000,00
          Pajak Keluaran = Rp 3.500.000,00
     -    penyerahan tidak
          terutang pajak             = Rp 15.000.000,00
          Pajak Keluaran = NIHIL

     Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak
     dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan keseluruhan
     penyerahan sebesar Rp 2.500.000,00, sedangkan Pajak Masukan
     yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak tidak
     dapat diketahui dengan pasti. Menurut ketentuan ini, Pajak
     Masukan sebesar Rp 2.500.000,00 tidak seluruhnya dapat
     dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar Rp 3.500.000,00.

     Ayat (7)
     Menteri Keuangan dapat melimpahkan wewenang untuk menetapkan
     pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana
     dimaksud pada ayat ini kepada Direktur Jenderal Pajak.

     Ayat (8)
     Pajak Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan dengan Pajak
     Keluaran, akan tetapi untuk pengeluaran sebagaimana dimaksud
     pada ayat ini, Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan
dengan    kegiatan    usaha   adalah    pengeluaran     untuk
kegiatan-kegiatan   produksi,  distribusi,   pemasaran,   dan
manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha.
Agar Pajak Masukan dapat dikreditkan, juga harus
memenuhi syarat bahwa pengeluaran tersebut berkaitan dengan
adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Oleh karena itu, meskipun suatu pengeluaran. telah mernenuhi
syarat adanya hubungan langsung dengan kegiatan usaha, masih
dimungkinkan Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan,
yaitu apabila pengeluaran dimaksud tidak ada kaitannya
dengan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Faktur Pajak Sederhana adalah Faktur Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (7). Oleh karena Faktur Pajak
Sederhana   merupakan  Faktur   Pajak   yang  isinya  tidak
mencantumkan secara lengkap hal-hal yang diatur dalam Pasal
13 ayat (5), maka Faktur Pajak Sederhana hanya merupakan
bukti pungutan Pajak Pertambahan Nilai dan tidak dapat
dipakai sebagai dasar pengkreditan Pajak Masukan.

Huruf f
Cukup jelas.

Huruf g
Cukup jelas.

Huruf h
Dapat terjadi Pengusaha Kena Pajak, baru membayar Pajak
Pertambahan  Nilai   yang   terutang atas   perolehan  atau
pemanfaatan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak setelah
diterbitkan ketetapan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang
dibayar atas ketetapan pajak tersebut bukan merupakan Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan.

Huruf i
Sesuai dengan sistem self assessment, Pengusaha Kena Pajak
wajib me- laporkan seluruh kegiatan usahanya dalam Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai. Di samping itu,
kepada Pengusaha Kena Pajak juga telah diberikan kesempatan
untuk melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai, sehingga sudah selayaknya jika Pajak
Masukan yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.

Contoh :
Dalam Surat Pemberitahuan Masa dilaporkan:
Pajak Keluaran           = Rp 10.000.000,00
Pajak Masukan            = Rp 8.000.000,00

Dari hasil pemeriksaan diketahui:
Pajak Keluaran           = Rp 15 .000.000,00
Pajak Masukan             = Rp 11.000.000,00

Dalam hal ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan bukan
sebesar   Rp   11.000.000,00 tetapi   tetap  sebesar   Rp
8.000.000,00, sesuai dengan yang dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Masa.

Dengan demikian, penghitungan hasil pemeriksaan:
 Pajak Keluaran                = Rp 15.000.000,00
Pajak Masukan            = Rp 8.000.000,00
                         _____________________(+)
Kurang Bayar menurut hasil
pemeriksaan                    = Rp 7.000.000,00
Kurang Bayar menurut Surat
Pemberitahuan            = Rp 2.000.000,00
                           ____________________(-)
Masih kurang dibayar           = Rp 5.000.000,00

Ayat (9)
Ketentuan ini memungkinkan Pengusaha Kena Pajak untuk
mengkreditkan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran dalam Masa
Pajak yang tidak sama, yang disebabkan antara lain karena
Faktur Pajak terlambat diterima.    *8770 Pengkreditan Pajak
Masukan dalam Masa Pajak yang tidak sama tersebut hanya
diperkenankan apabila dilakukan tidak melampaui bulan ke
tiga setelah berakhirnya tahun buku yang bersangkutan. Dalam
hal jangka waktu tersebut telah dilampaui, pengkreditan
Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui pembetulan
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang
bersangkutan. Kedua cara pengkreditan tersebut hanya dapat
dilakukan apabila Pajak Masukan yang bersangkutan belum
dibebankan    sebagai   biaya    atau   tidak     ditambahkan
(dikapitalisasikan) ke dalam harga perolehan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bersangkutan, dan terhadap
Pengusaha Kena Pajak belum dilakukan pemeriksaan.

Ayat (10)
Kelebihan Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak, sesuai
dengan ketentuan pada ayat (4), dikompensasikan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak berikutnya. Namun demikian, apabila
kelebihan Pajak Masukan terjadi dalam Masa Pajak pada akhir
tahun buku, maka kelebihan Pajak Masukan tersebut dapat
diajukan permohonan pengembalian (restitusi).
    Ayat (11)
    Dalam rangka mendorong ekspor, atas kelebihan Pajak Masukan
    sebagaimana dimaksud pada ayat (4), yang disebabkan karena
    ekspor, dapat diajukan permohonan pengembaliannya pada
    setiap Masa Pajak.

    Ayat (12)
    Mengingat Pajak Keluaran yang seharusnya dipungut oleh
    Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena
    Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak dipungut oleh
    Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, sehingga Pajak Masukan
    dari Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang
    diserahkan kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai merupakan
    pajak yang lebih dibayar, maka atas kelebihan Pajak Masukan
    sebagaimana dimaksud pada ayat (4), yang disebabkan karena
    pemungutan pajak oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai,
    dapat diajukan permohonan pengembaliannya pada setiap Masa
    Pajak.

    Ayat (13)
    Cukup jelas

    Ayat (14)
    Ketentuan ini dimaksudkan untuk tidak membebani Pajak
    Pertambahan Nilai atas perusahaan yang melakukan perubahan
    bentuk usaha, atau penggabungan usaha, atau pengalihan
    seluruh aktiva perusahaan. Sesuai ketentuan sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 1 huruf d angka 2) huruf d), penyerahan
    Barang Kena Pajak dalam rangka perubahan bentuk usaha, atau
    penggabungan   usaha,   atau   pengalihan   seluruh   aktiva
    perusahaan tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang
    Kena Pajak, maka:
    a.   Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan dan
    yang telah dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang
    mengalihkan Barang Kena Pajak tersebut, tidak harus dibayar
    kembali oleh Pengusaha Kena Pajak tersebut.

    b.   Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan dan
    yang belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang
    mengalihkan Barang Kena Pajak tersebut, dapat dikreditkan
    oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima pengalihan Barang
    Kena Pajak tersebut sepanjang Faktur Pajaknıa diterima
    setelah terjadinya perubahan bentuk usaha atau penggabungan
    usaha atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan.

Angka 14
     Pasal 10
     Ayat (1)
     Cara menghitung Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang
     terutang adalah dengan mengalikan Harga Jual atau Nilai
     Impor dengan tarif pajak sebagaimana ditetapkan dalam Pasal
     8.
Ayat (2)
Berbeda dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut pada
setiap tingkat penyerahan, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
hanya dipungut pada tingkat penyerahan oleh Pengusaha Kena
Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak Yang Tergolong
Mewah atau atas impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong
Mewah. Dengan demikian, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
bukan   merupakan  Pajak   Masukan   sehingga  tidak   dapat
dikreditkan. Oleh karena itu, Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah dapat ditambahkan ke dalam harga Barang Kena
Pajak yang bersangkutan atau dibebankan sebagai biaya
sesuai ketentuan perundang-undangan Pajak Penghasilan.

Contoh :
Pengusaha Kena Pajak (PKP) "A" mengimpor Barang Kena Pajak
dengan Nilai Impor Rp 5.000.000,00. Barang Kena Pajak
tersebut, selain dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, misalnya
juga dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dengan
tarif 20%. Dengan demikian, penghitungan Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang
atas impor Barang Kena Pajak tersebut adalah:
-    Dasar Pengenaan Pajak               = Rp 5.000.000,00
-    Pajak Pertambahan Nilai:
     10% x Rp 5.000.000,00         = Rp    500.000,00
-     Pajak Penjualan Atas Barang Mewah:
     20% x Rp 5.000.000,00         = Rp 1.000.000,00

Kemudian, PKP "A" menggunakan Barang Kena Pajak tersebut
sebagai bagian dari suatu Barang Kena Pajak lain yang atas
penyerahannya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai l0% dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah 35%. Oleh karena Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah yang telah dibayar atas Barang
Kena Pajak yang diimpor tersebut tidak dapat dikreditkan,
maka    Pajak   Penjualan   Atas    Barang   Mewah   sebesar   Rp
1.000.000,00 dapat ditambahkan ke dalam harga Barang Kena
Pajak yang dihasilkan oleh PKP "A" atau dibebankan sebagai
biaya.
Kemudian,     PKP   "A"  menjual     Barang   Kena  Pajak    yang
dihasilkannya     kepada  PKP    "B"   dengan   Harga   Jual   Rp
50.000.000,00. Maka, penghitungan Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang adalah:
-    Dasar Pengenaan Pajak             = Rp 50.000.000,00
-    Pajak Pertambahan Nilai:
     10% x Rp 50.000.000,00            = Rp 5.000.000,00
-      Pajak Penjualan Atas Barang Mewah:
     35% x Rp 50.000.000,00            = Rp 17.500.000,00

Dalam contoh ini, PKP "A" dapat mengkreditkan Pajak
Pertambahan Nilai sebesar Rp 500.000,00 di atas terhadap
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp 5.000.000,00.

Sedangkan   Pajak   Penjualan   Atas   Barang   Mewah   sebesar   Rp
     1.000.000,00 tidak dapat dikreditkan, baik dengan Pajak
     Pertambahan Nilai sebesar Rp 5.000.000,00 maupun dengan
     Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebesar Rp 17.500.000,00.

     Ayat (3)
     Cukup jelas

Angka 15
     Pasal 11
     Ayat ( 1 )
     Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai pada dasarnya menganut
     prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat
     penyerahan Barang Kena Pajak atau pada saat penyerahan Jasa
     Kena Pajak atau pada saat impor Barang Kena Pajak, meskipun
     atas penyerahan tersebut belum atau belum sepenuhnya
     diterima pembayarannya. Dalam hal tertentu, Menteri Keuangan
     dapat menentukan saat lain sebagai saat terutangnya pajak.
     Saat lain terutangnya pajak diperlukan dalam hal saat
     terutangnya pajak sukar ditetapkan atau dapat menimbulkan
     ketidakadilan. Saat terutangnya pajak diperlukan antara lain
     dalam   hal  terjadi   perubahan   ketentuan,  yaitu   untuk
     menentukan ketentuan mana yang diberlakukan atas suatu
     transaksi yang ketentuannya mengalami perubahan.

     Ayat (2)
     Berbeda dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
     dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena
     Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak, terutangnya pajak
     terjadi pada saat penerimaan pembayaran. Apabila pembayaran
     dilakukan sebagian-sebagian atau merupakan pembayaran uang
     muka sebelum dilakukan penyerahan, pajak yang terutang
     dihitung berdasarkan pembayaran sebagian atau pembayaran
     uang muka tersebut. Pajak yang terutang pada saat pembayaran
     sebagian atau pembayaran uang muka diperhitungkan dengan
     pajak yang terutang pada saat dilakukan penyerahan.

     *8772 Ayat (3)
     Dalam hal orang pribadi atau badan memanfaatkan Barang Kena
     Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
     Pabean, atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
     Pabean di dalam Daerah Pabean, maka terutangnya pajak
     terjadi pada saat orang pribadi atau badan tersebut mulai
     memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena
     Pajak tersebut di dalam Daerah Pabean. Hal ini dihubungkan
     dengan kenyataan bahwa yang menyerahkan Barang Kena Pajak
     tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut berada di luar
     Daerah Pabean, sehingga tidak dapat dikukuhkan sebagai
     Pengusaha Kena Pajak. Oleh karena itu, saat terutangnya
     pajak tidak lagi dikaitkan dengan saat penyerahan, tetapi
     dikaitkan dengan saat pemanfaatan.

     Ayat (4)
     Cukup jelas
     Ayat (5)
     Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
     (3), dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya
     pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena
     Pajak, terutangnya pajak terjadi pada saat pembayaran.
     Apabila   pembayaran    dilakukan    sebagian-sebagian   atau
     merupakan   pembayaran    uang    muka   sebelum   dimulainya
     pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena
     Pajak, pajak yang terutang dihitung berdasarkan pembayaran
     sebagian atau pembayaran uang muka tersebut. Pajak yang
     terutang pada saat pembayaran sebagian atau pembayaran uang
     muka diperhitungkan dengan pajak yang terutang pada saat
     dimulainya pemanfaatan.

Angka 16
     Pasal 12
     Ayat (1)
     Pengertian Pengusaha Kena Pajak menurut ketentuan dalam ayat
     ini adalah Pengusaha yang melakukan kegiatan sebagaimana
     dimaksud dalam Pasal 4 huruf a dan/atau huruf c dan
     Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak
     sebagaimana   dimaksud  dalam   Pasal  4   huruf  f.   Perlu
     diperhatikan bahwa untuk Pengusaha yang melakukan kegiatan
     sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a dan/atau huruf c,
     pengertian Pengusaha Kena Pajak meliputi baik Pengusaha yang
     telah terdaftar dan telah mempunyai Nomor Pengukuhan
     Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A
     ayat (1) maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai
     Pengusaha Kena Pajak tetapi belum mempunyai Nomor Pengukuhan
     Pengusaha Kena Pajak. Sedangkan khusus untuk Pengusaha yang
     melakukan ekspor Barang Kena Pajak, pengertian Pengusaha
     Kena Pajak meliputi hanya Pengusaha yang telah terdaftar dan
     mempunyai Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
     dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1). Apabila Pengusaha Kena
     Pajak mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha di
     luar tempat tinggal atau tempat kedudukannya, maka setiap
     tempat tersebut merupakan tempat terutangnya pajak, dan
     Pengusaha Kena Pajak dimaksud wajib mendaftarkan diri untuk
     memperoleh Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Apabila
     Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat pajak
     terutang yang berada di wilayah kerja satu kantor Direktorat
     Jenderal Pajak, maka untuk tempat-tempat pajak terutang
     tersebut cukup memiliki satu Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena
     Pajak.

     Ayat (2)
     Apabila Pengusaha Kena Pajak terutang pajak pada lebih dari
     satu tempat kegiatan usaha, maka Pengusaha Kena Pajak
     tersebut dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya dapat
     mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur
     Jenderal Pajak untuk memilih satu tempat atau lebih sebagai
     tempat terutangnya pajak.
     Direktur Jenderal Pajak sebelum memberikan keputusan perlu
     melakukan pemeriksaan untuk meyakinkan antara lain bahwa :

     -    kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan
     Jasa Kena Pajak untuk semua tempat kegiatan usaha hanya
     dilakukan oleh satu atau lebih tempat kegiatan usaha,

          -    administrasi penjualan dan administrasi keuangan
     diselenggarakan secara terpusat pada satu atau lebih tempat
     kegiatan usaha.

     *8773 Ayat (3)
     Cukup jelas

     Ayat (4)
     Cukup jelas

Angka 17
     Pasal 13
     Ayat (1)
     Pembuatan Faktur Pajak bersifat wajib bagi setiap Pengusaha
     Kena Pajak, karena Faktur Pajak adalah bukti yang menjadi
     sarana pelaksanaan cara kerja (mekanisme) pengkreditan Pajak
     Pertambahan Nilai.
     Untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan
     Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak harus dibuat satu
     Faktur Pajak.

     Ayat (2)
     Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
     (1), untuk meringankan beban administrasi, kepada Pengusaha
     Kena Pajak diperkenankan untuk membuat satu Faktur Pajak
     yang meliputi semua penyerahan Barang Kena Pajak atau
     penyerahan Jasa Kena Pajak yang terjadi selama satu bulan
     takwim kepada pembeli yang sama atau penerima Jasa Kena
     Pajak yang sama, yang disebut Faktur Pajak Gabungan.
     Pembuatan Faktur Pajak Gabungan tidak memerlukan ijin
     Direktur Jenderal Pajak.

     Ayat (3)
     Lihat penjelasan Pasal 11 ayat (2).

     Ayat (4)
     Mengingat dalam dunia usaha dimungkinkan pembuatan faktur
     penjualan dilakukan setelah terjadinya penyerahan Barang
     Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak, maka Direktur
     Jenderal Pajak diberi wewenang untuk menetapkan saat Faktur
     Pajak harus dibuat.

     Demikian pula, Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk
     mengatur keseragaman bentuk, ukuran, pengadaan, tata cara
     penyampaian, dan tata cara pembetulan Faktur Pajak. Dalam
        ayat ini yang dimaksud dengan pengaturan pengadaan Faktur
        Pajak adalah pengaturan mengenai siapa yang mengadakan
        formulir Faktur Pajak dan persyaratan yang harus dipenuhi.
        Misalnya, pengadaan formulir Faktur Pajak dapat diadakan
        atau dicetak sendiri oleh Pengusaha dengan bentuk, ukuran,
        dan persyaratan teknis administratif lainnya yang ditetapkan
        oleh Direktur Jenderal Pajak.

        Ayat (5)
        Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat
        digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan.
        Oleh karena itu, Faktur Pajak harus benar, baik secara
        formal maupun secara materiil. Faktur Pajak harus diisi
        secara lengkap, jelas, benar, dan ditandatangani oleh
        pejabat perusahaan yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak
        untuk menandatanganinya. Faktur Pajak yang tidak diisi
        sesuai dengan ketentuan dalam ayat ini dapat mengakibatkari
        Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya tidak
        dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat
        (8) huruf f. Faktur Pajak yang pengisiannya sesuai dengan
        ketentuan dalam ayat ini disebut Faktur Pajak Standar.

        Ayat (6)
        Menyimpang dari ketentuan sebagaimana     dimaksud pada ayat
        (5),     Direktur   Jenderal    Pajak     dapat    menentukan
        dokumen-dokumen yang biasa digunakan      dalam dunia usaha
        sebagai pengganti Faktur Pajak Standar.

        Ketentuan ini diperlukan karena :

        1)   Faktur penjualan yang digunakan oleh Pengusaha teiah
        dikenal oleh masyarakat luas dan memenuhi persyaratan
        administratif sebagai Faktur Pajak. Misalnya, kuitansi
        pembayaran tilpun dan tiket pesawat udara.

        2)   Untuk adanya bukti pungutan pajak harus ada Faktur
        Pajak, sedangkan pihak yang seharusnya membuat Faktur Pajak,
        yaitu pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa
        Kena Pajak, berada di luar Daerah Pabean. Misalnya, dalam
        hal impor Barang Kena Pajak, dokumen impor tertentu dapat
        ditetapkan sebagai pengganti Faktur Pajak.
*8774
        Ayat (7)
        Untuk menampung kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak atau
        penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan secara langsung
        kepada konsumen akhir dan kegiatan penyerahan Barang Kena
        Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada pembeli Barang
        Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang tidak
        diketahui identitasnya, Direktur Jenderal Pajak dapat
        menetapkan  tanda   bukti  penyerahan   atau  tanda   bukti
        pembayaran yang memenuhi persyaratan sebagai Faktur Pajak
        Sederhana. Faktur Pajak Sederhana tidak dapat digunakan
        sebagai sarana untuk pengkreditan Pajak Masukan sesuai
     ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf
     e.

     Faktur Pajak Sederhana sedikit-dikitnya harus memuat :

     1)   Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, serta nomor dan
     tanggal Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan
     Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;

     2)   Macam, jenis, dan kuantum;

     3)   Jumlah Harga Jual atau Penggantian yang sudah termasuk
     pajak atau besarnya pajak dicantumkan secara terpisah;

     4)   Tanggal pembuatan Faktur Pajak Sederhana.

Angka 18
     Pasal 14
     Ayat (1)
     Faktur Pajak hanya boleh dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak.
     Larangan membuat Faktur Pajak oleh bukan Pengusaha Kena
     Pajak dimaksudkan untuk melindungi pembeli dari pemungutan
     pajak yang tidak semestinya.

     Ayat (2)
     Cukup jelas

Angka 19
     Ketentuan   Pasal  15   yang   mengatur  tentang  kewajiban
     melaporkan penghitungan pajak dengan menggunakan Surat
     Pemberitahuan Masa, dihapus dan dipindahkan ke dalam
     Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
     Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan
     Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994.

Angka 20
     Ketentuan Pasal 16 yang mengatur tentang jangka waktu
     pengembalian kelebihan pajak, dihapus dan dipindahkan ke
     dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
     Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah
     dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994.

Angka 21
     Cukup jelas

Angka 22
     Pasal 16A
     Ayat (1)
     Dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang
     Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut
     Pajak Pertambahan Nilai, maka Pemungut Pajak Pertambahan
     Nilai berkewajiban memungut, menyetor, dan melaporkan pajak
     yang dipungutnya. Meskipun demikian, Pengusaha Kena Pajak
yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan
Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai
tetap berkewajiban untuk melaporkan pajak yang dipungut oleh
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 16 B
Ayat (1)
Salah satu prinsip yang perlu dipegang teguh di dalam
Undang-undang    perpajakan    adalah    diberlakukan    dan
diterapkarmya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak
atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada
hakekatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Karena itu setiap kemudahan
dalam bidang    *8775 perpajakan jika benar-benar diperlukan
harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di
dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan
diberikannya kemudahan tersebut.
Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakekatnya
terutama untuk berhasilnya sektor-sektor kegiatan ekonomi
yang berprioritas tinggi dalam skala nasional.
Kemudahan perpajakan yang diatur dalam pasal ini diberikan
terbatas untuk:

1.   Mendorong ekspor yang merupakan prioritas nasional di
Kawasan Berikat dan Entreport Produksi untuk Tujuan Ekspor
(EPTE) atau wilayah lain dalam Daerah Pabean yang dibentuk
khusus untuk maksud tersebut;

2.    Menampung kemungkinan perjanjian dengan negara atau
negara-negara lain dalam bidang perdagangan dan investasi.

Ayat (2)
Adanya perlakuan khusus berupa Pajak Pertambahan Nilai yang
terutang tetapi tidak dipungut diartikan bahwa Pajak Masukan
yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
Jasa Kena Pajak yang mendapat perlakuan khusus dimaksud
tetap dapat dikreditkan, dengan demikian Pajak Pertambahan
Nilai tetap terutang akan tetapi tidak dipungut.

Contoh :
Pengusaha Kena Pajak "A" memproduksi Barang Kena Pajak yang
mendapat fasilitas dari Negara, yaitu Pajak Pertambahan
Nilai yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak
tersebut tidak dipungut selamanya (tidak sekedar ditunda).

 Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha
Kena Pajak "A" menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau
Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang
modal ataupun sebagai komponen biaya lain.
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena
Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak "A" membayar Pajak
Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual
atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
tersebut.

Jika Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha
Kena Pajak "A" kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut
merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak
Keluaran, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan dengan
Pajak Keluaran, walaupun Pajak Keluaran tersebut nihil
karena menikmati fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak
dipungut dari Negara berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).

Ayat (3)
Berbeda dengan ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan
khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran, sehingga
Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan
tersebut tidak dapat dikreditkan.

Contoh :
Pengusaha Kena Pajak "B" memproduksi Barang Kena Pajak yang
mendapat fasilitas dari Negara, yaitu atas penyerahan Barang
Kena   Pajak  tersebut   dibebaskan  dari   pengenaan  Pajak
Pertambahan Nilai.

Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena
Pajak "B" menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa
Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal
ataupun sebagai komponen biaya lain.

Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena
Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak "B" membayar Pajak
Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual
atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
tersebut.

 Meskipun   Pajak  Pertambahan   Nilai  yang   dibayar  oleh
Pengusaha Kena Pajak "B" kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok
tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan,
akan tetapi karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung
diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Pajak Masukan
tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan.

Pasal 16C
Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam
lingkungan perusahaan atau pekerjaan, dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai dengan pertimbangan sebagai berikut :
          1)   sebagai    upaya   untuk    mencegah    terjadinya
     penghindaran pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;

          2)   untuk memberikan perlakuan yang sama dan untuk
     memenuhi rasa keadilan antara pihak yang membeli bangunan
     dari Pengusaha Real Estate atau yang menyerahkan pembangunan
     gedung kepada pemborong dengan pihak yang membangun sendiri.

     Dengan demikian, ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk
     mengenakan Pajak Pertambahan Nilai atas semua kegiatan
     membangun sendiri. Untuk mencegah pengenaan pajak terhadap
     konsumsi   masyarakat  yang   berpenghasilan  rendah,  maka
     ditetapkan batasan yang dapat menghindarkan pengenaan Pajak
     Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri oleh
     masyarakat yang berpenghasilan rendah.

     Pasal 16D
     Penyerahan mesin, bangunan, peralatan, perabotan atau aktiva
     lain yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan
     oleh Pengusaha Kena Pajak, dikenakan pajak sepanjang
     memenuhi persyaratan, yaitu bahwa Pajak Pertambahan Nilai
     yang dibayar pada saat perolehannya, sesuai ketentuan
     Undang-undang ini, dapat dikreditkan.

     Dengan demikian, penyerahan aktiva tersebut tidak dikenakan
     pajak apabila Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada
     waktu perolehannya tidak dapat dikreditkan berdasarkan
     ketentuan dalam Undang-undang ini, kecuali jika tidak dapat
     dikreditkannya Pajak Pertambahan Nilai tersebut karena bukti
     pengkreditannya tidak memenuhi persyaratan administratif,
     misalnya Faktur Pajaknya tidak diisi lengkap sesuai dengan
     ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5).

Angka 23
     Pasal 17
     Cukup jelas

Pasal II
     Huruf a
     Fasilitas berupa penundaan pembayaran Pajak Pertambahan
     Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang telah
     diberikan sebelum berlakunya Undang-undang ini, tetap dapat
     dinikmati oleh Pengusaha sampai dengan habisnya jangka waktu
     penundaan  tersebut.   Untuk   kepastian  hukum   perlu  ada
     pembatasan yaitu berakhir paling lambat pada tanggal 31
     Desember 1999.

     Huruf b
     Ketentuan mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan
     Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang diatur secara khusus
     dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian
     kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada
     saat berlakunya Undang-undang ini, dinyatakan tetap berlaku
     sampai dengan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau
     perjanjian kerjasama  pengusahaan pertambangan tersebut
     berakhir.

     Dengan   demikian,  semua  ketentuan   yang  diatur   dalam
     Undang-undang ini baru diberlakukan untuk Kontrak Bagi
     Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan
     pertambangan yang dibuat setelah berlakunya Undang-undang
     ini.

Pasal III
     Cukup jelas

Pasal IV
     Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3568

              *8777 --------------------------------

                              CATATAN

Kutipan:   LEMBAR LEPAS SEKRETARIAT NEGARA RI 1994


Silahkan download versi PDF nya sbb:
perubahan_atas_undang_undang_nomor_8_tahun_198_(u_10.pdf
(ogi/Carapedia)
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.