Previous
Next
  • Home
  • »
  • Undang-Undang
  • »
  • 1994
  • » Undang-Undang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 (UU 9 thn 1994)

1994

Undang-Undang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 (UU 9 thn 1994)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 :

UU 9/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983
TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

                            Lihat Juga : PANGKALAN DATA PERATURAN
                    *8618
PAJAK

Bentuk:    UNDANG-UNDANG (UU)

Oleh:      PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor:     9 TAHUN 1994 (9/1994)

Tanggal:   9 NOPEMBER 1994 (JAKARTA)

Sumber:    LN 1994/59; TLN NO. 3566

Tentang:   PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6        TAHUN   1983
    TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

                DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                   PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:      a.    bahwa pelaksanaan pembangunan nasional telah
    menghasilkan    perkembangan   yang   pesat   dalam   kehidupan
    nasional,    khususnya    di   bidang-perekonomian,    termasuk
    perkembangan    bentuk-bentuk   dan   praktek   penyelenggaraan
    kegiatan usaha yang belum tertampung dalam Undang-undang
    Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
    Perpajakan;

          b.    bahwa dalam upaya untuk selalu menjaga agar
    perkembangan seperti tersebut di atas dapat tetap berjalan
    sesuaidengan kebijakan pembangunan yang bertumpu pada Trilogi
    Pembangunan sebagaimana diamanatkan dalam Garis-garis Besar
    Haluan Negara, dan agar lebih dapat diciptakan kepastian
    hukum yang berkaitan dengan aspek perpajakan,diperlukan
    langkah-langkah penyesuaian terhadap Undang-undang Nomor 6
    Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;

          c.   bahwa untuk mewujudkan hal-hal tersebut, dipandang
    perlu mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 6
    Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dãn Tata Cara Perpajakan;

Mengingat:      1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan
    Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 ;

          2.   Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
    Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983
    Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);
                     *8619 Dengan persetujuan

            DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

                           MEMUTUSKAN :

Menetapkan:     UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
    NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA
    PERPAJAKAN.

                              Pasal I

Mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagai
berikut :

1.   Ketentuan Pasal 1 huruf a sampai dengan huruf d, huruf g
     sampai dengan huruf n, huruf q dan huruf s diubah dan
     ditambah dengan huruf t, huruf u, huruf v, huruf w, huruf x,
     huruf y, huruf z, dan huruf aa, sehingga Pasal 1 seluruhnya
     menjadi berbunyi sebagai berikut :

                             "Pasal 1

     Yang dimaksud dalam undang-undang ini dengan :

     a.    Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang
     menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
     ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk
     pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu;

     b.    Badan adalah suatu bentuk badan usaha yang meliputi
     perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
     badan usaha milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam
     bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi,
     koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana
     pensiun, bentuk usaha tetap, serta bentuk badan usaha
     lainnya;

     c.    Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan
     satu bulan takwim kecuali ditetapkan lain oleh Menteri
     Keuangan ;

     d.    Tahun Pajak adalah jangka waktu satu tahun takwim
     kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak
     sama dengan tahun takwim ;

     e.     Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu
     satu Tahun Pajak;

     f.    Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak
     digunakan untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak
     yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
    perpajakan ;
*8620
    g.    Surat Pemberitahuan Masa adalah surat yang oleh Wajib
    Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau
    pembayaran pajak yang terutang dalam suatu Masa Pajak atau
    pada suatu saat;

   h.    Surat Pemberitahuan Tahunan adalah surat yang oleh
   Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan
   pembayaran pajak yang terutang dalam suatu Tahun Pajak ;

   i.    Surat Setoran Pajak adalah surat yang oleh Wajib Pajak
   digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak
   yang terutang ke Kas Negara atau ke tempat pembayaran lain
   yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan ;

   j.    Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan
   tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan
   atau denda;

   k.    Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat
   keputusan   yang  menentukan  besarnya jumlah   pajak  yang
   terutang, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran
   pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang
   masih harus dibayar ;

   l.    Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah
   surat keputusan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak
   yang telah ditetapkan ;

   m.    Surat   Ketetapan  Pajak  Lebih    Bayar adalah surat
   keputusan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak
   karena jumlah kredit pajak lebih besar dari pajak yang
   terutang atau tidak seharusnya terutang;

   n.    Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat keputusan yang
   menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan
   jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada
   kredit pajak ;

   o.    Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar
   pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak atau
   dalam  Bagian   Tahun   Pajak  menurut ketentuan peraturan
   perundang-undangan perpajakan;

   p.    Surat Paksa adalah surat perintah membayar pajak dan
   tagihan   yang   berkaitan   dengan  pajak,  sesuai  dengan
   Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak
   Negara dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor
   63, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1850);

   q.    Kredit pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak
   Masukan yang dapat dikreditkan, dan untuk Pajak     *8621
Penghasilan adalah pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak
sendiri ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut,
ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau yang
terutang di luar negeri, yang dikurangkan dari pajak yang
terutang ;

r.    Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh
orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha
untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu
hubungan kerja;

s.    Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari,
mengumpulkan, dan mengolah data dan/atau keterangan lainnya
dalam   rangka  pengawasan   kepatuhan  pemenuhan   kewajiban
perpajakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan ;

t.    Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan berupa
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau disingkat SKPKB,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan atau disingkat
SKPKBT, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau disingkat
SKPLB, Surat Ketetapan Pajak Nihil atau disingkat SKPN;

u.    Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang
bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang
menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;

v.     Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan
secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi yang
meliputi    keadaan  harta,   kewajiban  atau   utang,   modal,
penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan
penyerahan barang atau jasa yang terutang maupun yang tidak
terutang Pajak Pertambahan Nilai, yang dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen) dan yang
dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang ditutup
dengan    menyusun   laporan   keuangan  berupa    neraca   dan
perhitungan rugi laba pada setiap Tahun Pajak berakhir;

w.    Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
untuk menilai kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan
lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran
penulisan dan penghitungannya ;

x.    Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah
serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang
terjadi serta menemukan tersangkanya;

y.   Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan
untuk membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung dan/atau
kekeliruan     dalam    penerapan     ketentuan    peraturan
     perundang-undangan perpajakan yang terdapat      dalam     surat
     ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak;

     z.    Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas
     keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap
     pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan
     oleh Wajib Pajak;

     aa.   Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak
     atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan
     oleh Wajib Pajak."

2.    Judul Bab II diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

                              "BAB II
                     NOMOR POKOK WAJIB PAJAK,
              NOMOR PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK,
       SURAT PEMBERITAHUAN, DAN TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK"

3.   Ketentuan Pasal 2 diubah dan ditambah dengan ayat (2), ayat
     (3), ayat (4), dan ayat (5), sehingga Pasal 2 seluruhnya
     menjadi berbunyi sebagai berikut :

                             "Pasal 2

     (1)   Setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada kantor
     Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
     tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan
     kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.

     (2)   Setiap Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan
     Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984, wajib melaporkan
     usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
     kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan
     Pengusaha,   dan  tempat   kegiatan  usaha   dilakukan untuk
     dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak dan kepadanya
     diberikan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

     (3)   Direktur   Jenderal  Pajak   dapat   menetapkan  tempat
     pendaftaran dan/atau tempat pelaporan      usaha selain yang
     ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2).

     (4)   Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Nomor Pokok
     Wajib Pajak dan/atau Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
     secara jabatan, apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak
     tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada
     ayat (1) dan/atau ayat (2).

     (5)   Jangka waktu pendaftaran dan pelaporan serta tata cara
     pendaftaran dan pengukuhan sebagaimana dimaksud pada
     *8623 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) ditetapkan oleh
     Direktur Jenderal Pajak."
4.   Ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (6) diubah dan ditambah
     dengan ayat (7) dan ayat (8), sehingga Pasal 3 seluruhnya
     menjadi berbunyi sebagai berikut :

                             "Pasal 3

     (1)    Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan,
     menandatangani dan menyampaikannya ke kantor Direktorat
     Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan
     atau tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal
     Pajak.

     (2)   Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
     mengambil  sendiri   Surat   Pemberitahuan di tempat  yang
     ditentukan oleh Direktorat Jenderat Pajak.

     (3)    Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah :

      a.   untuk Surat Pemberitahuan Masa, selambat-lambatnya dua
     puluh hari setelah akhir Masa Pajak ;

      b.   untuk Surat Pemberitahuan Tahunan, selambat-lambatnya
     tiga bulan setelah akhir Tahun Pajak.

     (4)   Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak
     dapat    memperpanjang jangka   waktu  penyampaian  Surat
     Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
     huruf b.

     (5)    Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diajukan
     secara    tertulis   disertai   Surat    Pernyataan   mengenai
     penghitungan sementara pajak terutang dalam satu Tahun Pajak
     dan   bukti   pelunasan  kekurangan   pembayaran   pajak  yang
     terutang.

     (6)   Direktur Jenderal Pajak menetapkan bentuk dan isi Surat
     Pemberitahuan serta keterangan dan dokumen yang harus
     dilampirkan.

     (7)   Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan apabila
     tidak atau tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan dokumen
     sebagaimana dimaksud pada ayat (6).

     (8)   Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada
     ayat (1) adalah Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu yang
     ditetapkan oleh Menteri Keuangan."

5.   Ketentuan Pasal 6 ayat (2) diubah dan ditambah dengan ayat
     (3), sehingga Pasal 6 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai
     berikut :

                          *8624 "Pasal 6
     (1)   Surat Pemberitahuan yang disampaikan langsung oleh
     Wajib Pajak ke kantor Direktorat Jenderal Pajak harus diberi
     tanggal penerimaan oleh pejabat yang ditunjuk untuk itu,
     sedangkan untuk Surat Pemberitahuan Tahunan harus diberikan
     juga bukti penerimaan.

     (2)   Penyampaian   Surat   Pemberitahuan  dapat   dikirimkan
     melalui Kantor Pos dan Giro secara tercatat atau dengan cara
     lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

     (3)   Tanda bukti dan tanggal pengiriman untuk penyampaian
     Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
     dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan."

6.    Ketentuan Pasal 7 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai
     berikut :

                             "Pasal 7

     Apabila   Surat   Pemberitahuan   tidak   disampaikan   atau
     disampaikan tidak sesuai dengan batas waktu sebagaimana
     dimaksud   dalam  Pasal   3  ayat   (3),   dikenakan  sanksi
     administrasi berupa denda untuk Surat Pemberitahuan Masa
     sebesar Rp 25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) dan untuk
     Surat Pemberitahuan Tahunan sebesar Rp 50.000,00 (lima puluh
     ribu rupiah)".

7.   Ketentuan Pasal 8 ayat (1) diubah dan ditambah dengan ayat
     (4) dan ayat (5), sehingga Pasal 8 seluruhnya menjadi
     berbunyi sebagai berikut :

                             "Pasal 8

     (1)   Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan atas
     kemauan sendiri dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam
     jangka waktu dua tahun sesudah saat terutangnya pajak atau
     berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak,
     dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan
     tindakan pemeriksaan.

     (2)   Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat
     Pemberitahuan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih
     besar, maka kepadanya dikenakan sanksi administrasi berupa
     bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas jumlah pajak yang
     kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat
     Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran
     karena pembetulan Surat Pemberitahuan itu.

     (3)   Sekalipun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi
     sepanjang belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai
     *8625 adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak
     sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran
     perbuatan   Wajib  Pajak   tersebut   tidak  akan   dilakukan
     penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri
     mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan
     disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang
     sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda
     sebesar dua kali jumlah pajak yang kurang dibayar."

     (4)    Sekalipun jangka waktu pembetulan Surat Pemberitahuan
     sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah berakhir, dengan
     syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat
     ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat
     mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran
     pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan, yang
     mengakibatkan :

      a.   pajak-pajak   yang   masih   harus   dibayar   menjadi   lebih
     besar ; atau

      b.   rugi berdasarkan     ketentuan   perpajakan    menjadi   lebih
     kecil; atau

      c.   jumlah harta menjadi lebih besar ; atau

      d.   jumlah modal menjadi lebih besar.

     (5)   Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat
     dari    pengungkapan    ketidakbenaran    pengisian    Surat
     Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) beserta
     sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh
     persen) dari pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi
     sendiri oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud
     disampaikan."

8.   Ketentuan Pasal 9 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diubah,
     sehingga Pasal 9 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:

                                "Pasal 9

     (1)   Menteri   Keuangan  menentukan tanggal   jatuh  tempo
     pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu
     saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak,
     selambat-lambatnya lima belas hari setelah saat terutangnya
     pajak atau Masa Pajak berakhir.

     (2)   Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan
     Surat    Pemberitahuan    Tahunan    harus   dibayar    lunas
     selambat-lambatnya tanggal dua puluh lima bulan ketiga
     setelah Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak berakhir, sebelum
     Surat Pemberitahuan itu disampaikan.

     *8626 (3) Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang
     Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat
     Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
     Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
     bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu satu bulan sejak
     tanggal diterbitkan.

     (4)   Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak
     setelah   memenuhi   persyaratan yang   ditentukan,  dapat
     memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur
     atau menunda pembayaran pajak. "

9.   Ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) diubah, sehingga
     Pasal 11 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :

                             "Pasal 11

     (1)   Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak
     sebagaimana   dimaksud  dalam   Pasal  17   atau  Pasal   17B
     dikembalikan, atau apabila ternyata Wajib Pajak mempunyai
     utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih
     dahulu utang pajak tersebut.

     (2)   Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana
     dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu satu
     bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan
     pembayaran pajak sehubungan diterbitkannıa Surat Ketetapan
     Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 atau
     sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
     sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B.

     (3)   Apabila   pengembalian   kelebihan   pembayaran   pajak
     dilakukan setelah jangka waktu satu bulan, Pemerintah
     memberikan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas
     kelambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak, dihitung
     dari saat berlakunya batas waktu sebagaimana dimaksud pada
     ayat (2) sampai dengan saat dilakukan pembayaran kelebihan.

     (4)   Tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan
     pembayaran pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan."

10. Ketentuan Pasal 13 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (6),
    dan ayat (7) diubah serta ayat (4) dan ayat (5) dihapus,
    sehingga Pasal 13 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut
    :

                             "Pasal 13

     (1)   Dalam   jangka  waktu   sepuluh   tahun   sesudah    saat
     terutangnya pajak, atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun
     Pajak atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak      *8627
     dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam
     hal-hal sebagai berikut :

      a.   apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan
     lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar ;
 b.   apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan
setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada
waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;

 c.   apabila berdasarkan hasil pemeriksaan mengenai Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak
atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0% (nol persen);

 d.   apabila kewajiban sebagaimana.dimaksud dalam Pasal 28
dan Pasal 29 tidak dipenuhi, sehingga tidak dapat diketahui
besarnya pajak yang terutang.

(2)    Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk selama-lamanya dua
puluh empat bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak
sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar.

(3)   Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan
huruf d ditambah dengan sanksi administrasi benrpa kenaikan
sebesar :

 a.   50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang
tidak atau kurang dibayar dalam satu Tahun Pajak;

 b.   100% (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak
atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau
kurang disetorkan, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak
atau kurang disetorkan ;

 c.   100% (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang
tidak atau kurang dibayar.

(4)   Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh
Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan menjadi pasti menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan            perpajakan
                                         *8628
yang berlaku, apabila dalam jangka waktu sepuluh tahun
sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak,
Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, tidak diterbitkan surat
ketetapan pajak.

(5)   Apabila jangka waktu sepuluh tahun sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen)dari jumlah
pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak
      setelah jangka waktu sepuluh tahun tersebut dipidana, karena
      melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan
      putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
      tetap."

11. Ketentuan Pasal 14 ayat (1) diubah dan ditambah dengan ayat
    (3) dan ayat (4), sehingga Pasal 14 seluruhnya menjadi
    berbunyi sebagai berikut :

                              "Pasal 14

      (1)    Direktur Jenderal    Pajak     dapat     menerbitkan      Surat
      Tagihan Pajak apabila:

       a.    Pajak Penghasilan   dalam    tahun     berjalan   tidak    atau
      kurang dibayar;

       b.   dari hasil penelitian    Surat Pemberitahuan terdapat
      kekurangan pembayaran pajak     sebagai akibat salah tulis
      dan/atau salah hitung;

       c.    Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda
      dan/atau bunga;

       d.   Pengusaha     yang    dikenakan   pajak     berdasarkan
      Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 tetapi tidak
      melaporkan   kegiatan   usahanya  untuk  dikukuhkan   sebagai
      Pengusaha Kena Pajak ;

       e.   Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
      Pajak tetapi membuat Faktur Pajak atau Pengusaha yang telah
      dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi tidak membuat
      atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak.

      (2)    Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan
      pajak.

      (3)   Jumlah kekurangan pajak yang terhutang dalam Surat
      Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan
      huruf b ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga
      sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk     *8629
      selama-lamanya dua puluh empat bulan, dihitung sejak saat
      terutangnya pajak atau Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak
      sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.

      (4)   Terhadap   Pengusaha   atau    Pengusaha   Kena Pajak
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e
      masing-masing dikenakan sanksi administrasi berupa denda
      sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak."

12.    Ketentuan Pasal 15 diubah,        sehingga    seluruhnya     menjadi
      berbunyi sebagai berikut :
                              "Pasal 15

      (1)   Direktur   Jenderal  Pajak   dapat  menerbitkan   Surat
      Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu
      sepuluh tahun sesudah saat pajak terutang, berakhirnya Masa
      Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, apabila ditemukan
      data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang
      menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang.

      (2)   Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat
      Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, ditambah dengan sanksi
      administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen)
      dari jumlah kekurangan pajak tersebut.

      (3)   Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
      dikenakan apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
      itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib
      Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal
      Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan.

      (4)    Apabila jangka waktu sepuluh tahun sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
      Tambahan tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi
      berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari
      jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal Wajib
      Pajak setelah jangka waktu sepuluh tahun tersebut dipidana
      karena    melakukan  tindak   pidana   di  bidang   perpajakan
      berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
      hukum tetap."

13.    Ketentuan Pasal 16 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai
      berikut :

                              "Pasal 16

      *8630 Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas
      permohonan Wajib Pajak dapat membetulkan surat ketetapan
      pajak atau Surat Tagihan Pajak yang dalam penerbitannya
      terdapat   kesalahan   tulis,    kesalahan   hitung  dan/atau
      kekeliruan     dalam     penerapan     ketentuan    peraturan
      perundang-undangan perpajakan."'

14.    Ketentuan Pasal 17 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai
      berikut :

                              "Pasal 17

      Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan,
      menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah
      kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar
      daripada jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan
      pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang."
15. Menambah dua ketentuan baru di antara Pasal 17 dan Pasal 18
    yang dijadikan Pasal 17A dan Pasal 17B, yang masing-masing
    berbunyi sebagai berikut :

                             "Pasal 17A

      Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan,
      menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil apabila jumlah kredit
      pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak
      yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit
      pajak atau tidak ada pembayaran pajak.

                              Pasal 17B

      (1)    Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan
      atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak harus
      menerbitkan surat ketetapan pajak selambat-lambatnya dua
      belas bulan sejak surat permohonan diterima, kecuali untuk
      kegiatan tertentu ditetapkan lain oleh Direktur Jenderal
      Pajak.

      (2)   Apabila setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu
      keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
      dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
      harus diterbitkan dalam waktu selambat-lambatnya satu bulan
      setelah jangka waktu tersebut berakhir.

    (3)    Apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat
    diterbitkan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
    (2), maka kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar
    2% (dua persen) sebulan dihitung sejak berakhirnya jangka
    waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan saat
    diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar."
*8631
16. Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga seluruhnya menjadi
    berbunyi sebagai berikut :

                              "Pasal 18

      (1)   Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang
      Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat
      Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
      Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
      bertambah, merupakan dasar penagihan pajak.

      (2)    Tata cara pelaksanaan penagihan pajak ditetapkan oleh
      Menteri Keuangan."

17.    Ketentuan Pasal 20 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai
      berikut :
                           "Pasal 20

   Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
   9, jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Tagihan
   Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan
   Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan,
   Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan
   jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, ditagih seketika
   dan sekaligus dalam hal:

   a.    Penanggung Pajak akan meninggalkan     Indonesia   untuk
   selama-lamanya atau berniat untuk itu;

   b.    Penanggung Pajak   menghentikan atau   secara  nyata
   mengecilkan kegiatan perusahaannya atau pekerjaan yang
   dilakukannya di Indonesia ataupun memindahtangankan barang
   bergerak atau barang tidak bergerak yang dimilikinya atau
   dikuasainya ;

   c.    pembubaran badan atau niat untuk membubarkannya,
   pernyataan pailit, begitu pula dalam hal terjadi penyitaan
   atas barang bergerak atau barang tidak bergerak milik
   Penanggung Pajak."

18. Ketentuan Pasal 21 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah,
    dan ditambah ayat (5), sehingga Pasal 21 seluruhnya menjadi
    berbunyi sebagai berikut :

                           "Pasal 21

   (1)   Negara mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pajak atas
   barang-barang milik Penanggung Pajak.

   *8632 (2) Ketentuan    tentang   hak  mendahulu sebagaimana
   dimaksud pada ayat (1), meliputi pokok pajak, bunga, denda
   administrasi, kenaikan, dan biaya penagihan.

   (3)   Hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak
   mendahulu lainnya, kecuali terhadap :

    a.   biaya   perkara  yang   semata-mata  disebabkan   suatu
   penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak maupun tidak
   bergerak;

    b.     biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu
   barang;

    c.   biaya perkara, yang semata-mata disebabkan pelelangan
   dan penyelesaian suatu warisan.

   (4)   Hak mendahulu itu hilang setelah lampau waktu dua tahun
   sejak   tanggal  diterbitkan   Surat  Tagihan   Pajak,  Surat
   Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang
      Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat
      Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah
      pajak yang harus dibayar bertambah, kecuali apabila dalam
      jangka waktu dua tahun tersebut; Surat Paksa untuk membayar
      itu diberitahukan secara resmi, atau diberikan penundaan
      pembayaran.

      (5)    Dalam hal Surat Paksa untuk   membayar diberitahukan
      secara resmi, jangka waktu dua tahun sebagaimana dimaksud
      pada ayat (4), dihitung sejak tanggal pemberitahuan Surat
      Paksa, atau dalam hal diberikan penundaan pembayaran jangka
      waktu dua tahun tersebut ditambah dengan jangka waktu
      penundaan pembayaran."

19. Ketentuan Pasal    22 diubah dan      ditambah   dengan ayat (2),
    sehingga Pasal     22 seluruhnya       menjadi   berbunyi sebagai
    berikut:

                              "Pasal 22

      (1)   Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga,
      denda, kenaikan, dan biaya penagihan, daluwarsa setelah
      lampau waktu sepuluh tahun terhitung sejak saat terutangnya
      pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau
      Tahun Pajak yang bersangkutan.

      (2)   Daluwarsa penagihan pajak     sebagaimana    dimaksud    pada
      ayat (1) tertangguh apabila :

       a.    diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa;

       b.   ada pengakuan utang pajak       dari     Wajib   Pajak   baik
      langsung maupun tidak langsung;

       *8633 c. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau Surat
      Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 15 ayat (4)."

20.    Ketentuan Pasal 23 diubah dan ditambah dengan ayat (2), dan
      ayat (3), sehingga Pasal 23 seluruhnya menjadi berbunyi
      sebagai berikut :

                              "Pasal 23

      (1)    Jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Tagihan
      Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan
      Pajak Kurang Bayar Tambahan dan Surat Keputusan Pembetulan,
      Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan
      jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar
      Penanggung Pajak pada waktunya, dapat ditagih dengan Surat
      Paksa.
   (2)   Sanggahan dan/atau gugatan Penanggung Pajak terhadap
   pelaksanaan Surat Paksa, sita atau lelang hanya dapat
   diajukan kepada badan peradilan pajak.

   (3)   Pelaksanaan   penagihan   pajak  dengan   Surat   Paksa
   berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku".

21. Ketentuan Pasal 25 diubah dan ditambah dengan satu ayat,
    sehingga Pasal 25 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai
    berikut:

                           "Pasal 25

   (1)    Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada
   Direktur Jenderal Pajak atas suatu:

    a.    Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;

    b.    Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;

    c.    Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;

    d.    Surat Ketetapan Pajak Nihil;

    e.   Pemotongan    atau    pemungutan   oleh   pihak   ketiga
   berdasarkan     ketentuan      peraturan    perundang-undangan
   perpajakan.

   (2)   Keberatan   diajukan   secara   tertulis   dalam   bahasa
   Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak terutang atau
   jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi
   menurut    penghitungan    Wajib    Pajak    dengan    disertai
   alasan-alasan yang jelas.

   *8634 (3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu tiga
   bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan
   sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali apabila Wajib
   Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat
   dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.

   (4)   Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
   dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dianggap sebagai
   Surat Keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.

   (5)   Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh
   pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu
   atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat
   menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi
   kepentingan Wajib Pajak.

   (6)   Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan
   pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan
   keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar
    pengenaan   pajak,   penghitungan   rugi,   pemotongan   atau
    pemungutan pajak.

    (7)   Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar
    pajak dan pelaksanaan penagihan pajak."

22. Ketentuan Pasal 27 diubah dan ditambah dengan tiga ayat,
    sehingga Pasal 27 seluluhnya menjadi berbunyi sebagai
    berikut:

                            "Pasal 27

    (1)   Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya
    kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai
    keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

    (2)   Sebelum badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada
    ayat (1) dibentuk, permohonan banding diajukan kepada Majelis
    Pertimbangan Pajak, yang putusannya bukan merupakan keputusan
    Tata Usaha Negara.

    (3)   Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
    secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang
    jelas dalam waktu tiga bulan sejak keputusan diterima,
    dilampiri salinan dari surat keputusan tersebut.

    (4)    Putusan badan peradilan pajak merupakan putusan akhir
    dan bersifat tetap.

    (5)    Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban
    membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
*8635
    (6)    Susunan, kekuasaan dan acara badan peradilan pajak
    sebagaimana   dimaksud   pada    ayat   (1)   diatur dengan
    undang-undang."

23. Menambah ketentuan baru di antara Pasal 27 dan Pasal 28 yang
    dijadikan Pasal 27A, yang berbunyi sebagai berikut:

                           "Pasal 27A

    Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding diterima
    sebagian   atau   seluruhnya,   maka   kelebihan   pembayaran
    dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua
    persen) sebulan untuk selama-lamanya dua puluh empat bulan."

24. Ketentuan Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (6)
    diubah dan ditambah dengan ayat (7), ayat (8), ayat (9), ayat
    (10), ayat (11), dan ayat (12), sehingga Pasal 28 seluruhnya
    menjadi berbunyi sebagai berikut:

                            "Pasal 28
(1)   Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia,
wajib menyelenggarakan pembukuan.

(2)   Dikecualikan. dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi wajib melakukan
pencatatan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menurut ketentuan
peraturan    perundang-undangan   perpajakan    diperbolehkan
menghitung   penghasilan   neto  dengan   menggunakan   Norma
Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi
yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

(3)   Pembukuan     atau     pencatatan    tersebut     harus
diselenggarakan   dengan   memperhatikan  itikad   baik   dan
mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.

(4)   Pembukuan   sekurang-kurangnya  terdiri   dari  catatan
mengenai harta, kewajiban atau utang, modal, penghasilan dan
biaya, serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung
besarnya pajak yang terutang.

(5)   Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di
Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan
mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau
dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.

(6) Buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen yang
menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain
wajib disimpan di Indonesia selama sepuluh tahun, yaitu
untuk:

 a.    Wajib Pajak orang pribadi, di tempat kegiatan atau
tempat tinggal;

 b.    Wajib Pajak badan, di tempat kedudukan.

(7)   Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan
dengan stelsel akrual atau stelsel kas.

(8)    Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun
buku, harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal
Pajak.

(9)    Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata
uang selain rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak
dalam rangka Penanaman Modal Asing, Kontrak Karya, Kontrak
Bagi Hasil, dan kegiatan usaha atau badan lain, setelah
mendapat izin Menteri Keuangan dengan ketentuan bahwa Surat
Pemberitahuan harus diisi dalam bahasa Indonesia dan mata
uang rupiah, yang pelaksanaannya ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.
      (10) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri
      dari data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran
      bruto dan/atau penerimaan penghasilan sebagai dasar untuk
      menghitung jumlah pajak yang terutang.

      (11) Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan
      dan melakukan pencatatan adalah Wajib Pajak orang pribadi
      yang tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan
      Pajak Penghasilan.

      (12) Pedoman    penyelenggaraan  pembukuan     atau   pencatatan
      ditetapkan olelh Direktur Jenderal Pajak."

25. Ketentuan Pasal 29 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah,
    sehingga Pasal 29 seluruhnya menjadi berrbunyi sebagai
    berikut:

                              "Pasal 29

      (1)   Direktur    Jenderal    Pajak    berwenang   melakukan
      permeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
      perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
      ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

    (2)   Untuk keperluan pemeriksaan petugas pemeriksa           harus
    dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan dan              harus
    memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa.
*8637
    (3)   Wajib Pajak yang diperiksa wajib :

       a.    memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan,
      dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang
      berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan
      usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang
      pajak;

       b.   memberikan kesempatan untuk memasuki         tempat    atau
      ruangan yang dipandang perlu dan memberi          bantuan    guna
      kelancaran pemeriksaan;

       c.   memberikan keterangan yang diperlukan.

      (4)   Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau
      dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat
      oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka kewajiban untuk
      merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan
      pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)."

26.    Ketentuan Pasal 31 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai
      berikut:

                              "Pasal 31
      Tata cara pemeriksaan ditetapkan oleh Menteri Keuangan."

27. Ketentuan Pasal 32 ayat (1) dan ayat (3) diubah dan ditambah
    dengan ayat (4), sehingga Pasal 32 seluruhnya menjadi
    berbunyi sebagai berikut :

                              "Pasal 32

      (1)   Dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut
      ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib
      Pajak diwakili, dalam hal:

       a.   badan oleh pengurus;

       b.    badan dalam pembubaran atau pailit oleh orang atau
      badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan;

       c.    suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang
      ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta
      peninggalannya ;

       d.   anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam
      pengampuan oleh wali atau pengampunya.

      (2)   Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung
      jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran
      pajak yang terutang, kecuali apabila dapat     *8638
      membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak, bahwa
      mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk
      dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut.

      (3)   Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa
      dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi
      kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
      perpajakan.

      (4)   Termasuk dalam pengertian pengurus sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) huruf a adalah orang yang nyata-nyata mempunyai
      wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil
      keputusan dalam menjalankan perusahaan."

28.    Ketentuan Pasal 34 diubah,     sehingga   seluruhnya   menjadi
      berbunyi sebagai berikut :

                              "Pasal 34

      (1)   Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak
      lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau
      diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan
      atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan
      perundang-undangan perpajakan, kecuali sebagai saksi atau
      saksi ahli dalam sidang pengadilan.
      (2)   Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
      juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur
      Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan
      peraturan perundang-undangan perpajakan, kecuali sebagai
      saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan.

      (3)   Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang
      memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) dan tenaga-tenaga ahli sebagaimana dimaksud
      pada ayat (2) supaya memberikan keterangan, memperlihatkan
      bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak
      yang ditunjuknya.

      (4)   Untuk kepentingan pemeriksaan di Pengadilan dalam
      perkara pidana atau perdata atas permintaan Hakim sesuai
      dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Menteri
      Keuangan dapat memberi izin tertulis untuk meminta kepada
      pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bukti tertulis dan
      keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.

      (5)   Pemintaan Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
      harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat,
      *8639 keterangan-keterangan yang diminta, serta kaitan antara
      perkara   pidana  atau   perdata   yang  bersangkutan  dengan
      keterangan yang diminta tersebut."

29. Ketentuan Pasal 35 diubah,       sehingga   seluruhnya   menjadi
    berbunyi sebagai berikut :

                              "Pasal 35

      (1)   Apabila   dalam    menjalankan    ketentuan   peraturan
      perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan, atau
      bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak,
      kantor administrasi, dan pihak ketiga lainnya, yang mempunyai
      hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa atau disidik, atas
      permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak
      tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta.

      (2)   Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) terikat oleh kewajiban merahasiakan, untuk keperluan
      pemeriksaan atau penyidikan pajak, kewajiban merahasiakan
      tersebut   ditiadakan,   kecuali   untuk   bank   kewajiban
      merahasiakan ditiadakan atas perintah tertulis dari Menteri
      Keuangan".

30.    Ketentuan Pasal 38 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai
      berikut :

                              "Pasal 38

      Barang siapa karena kealpaannya :
   a.     tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau

   b.    menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak
   benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang
   isinya tidak benar,

   sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara,
   diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya satu tahun dan
   denda setinggi-tingginya dua kali jumlah pajak terutang yang
   tidak atau kurang dibayar."

31. Ketentuan Pasal 39 ayat (1) diubah dan ditambah dengan ayat
    (3), sehingga Pasal 39 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai
    berikut :

                            "Pasal 39

   (1)    Barang siapa dengan sengaja:

    a.   tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau
   menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau *8640
   Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud
   dalam Pasal 2; atau

    b.    tidak mnenyampaikan Surat Pemberitahuan; atau

    c.   menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau         keterangan
   yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau

    d.   memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain
   yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau

    e.   tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak
   memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau
   dokumen lainnya; atau

    f.    tidak   menyetorkan   pajak   yang   telah   dipotong   atau
   dipungut,

    sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara,
   diancam dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun dan
   denda setinggi-tingginya empat kali jumlah pajak tetutang
   yang tidak atau kurang dibayar.

   (2)   Ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
   dilipatkan dua apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana
   di bidang perpajakan sebelum lewat satu tahun, terhitung
   sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.

   (3)   Barang siapa melakukan percobaan untuk melakukan tindak
   pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok
   Wajib Pajak atau Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, atau menyampaikan
      Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak
      benar atau tidak lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      huruf c dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau
      melakukan kompensasi pajak, dipidana dengan pidana penjara
      selama-lamanya dua tahun dan denda setinggi-tingginya empat
      kali jumlah restitusi yang dimohon dan/atau kompensasi yang
      dilakukan oleh Wajib Pajak."

32. Ketentuan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) diubah, sehingga
    Pasal 41 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :

                              "Pasal 41

    (1)    Pejabat   yang   karena  kealpaannya   tidak    memenuhi
    kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
    34, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya satu tahun
    dan denda setinggi-tingginya Rp 2.000.000,00 (dua juta
    rupiah).
*8641
    (2)    Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya
    atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban
    pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, diancam dengan
    pidana    penjara   selama-lamanya   dua   tahun   dan    denda
    setinggi-tingginya Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

      (3)   Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan
      orang yang kerahasiaannya dilanggar. "

33. Menambah dua ketentuan baru di antara Pasal 41 dan Pasal 42
    yang dijadikan Pasal 41A dan Pasal 41B, yang masing-masing
    berbunyi sebagai berikut :

                             "Pasal 41A

      Barang siapa yang menurut Pasal 35 Undang-undang ini wajib
      memberi keterangan atau bukti yang diminta tetapi dengan
      sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi
      keterangan atau bukti yang tidak benar, diancam dengan pidana
      penjara     selama-lamanya    satu     tahun    dan     denda
      setinggi-tingginya Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

                              Pasal 41B

      Barang siapa dengan sengaja menghalangi atau mempersulit
      penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, diancam dengan
      pidana   penjara   selama-lamanya   tiga  tahun   dan   denda
      setinggi-tingginya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)."

34.    Ketentuan Pasal 42 dihapus.

35.    Ketentuan Pasal 43 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai
   berikut:
                           "Pasal 43

   (1)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal
   39, berlaku juga bagi wakil, kuasa, atau pegawai dari Wajìb
   Pajak, yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan,
   yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana
   di bidang perpajakan.

   (2)    Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan
   Pasal 41B berlaku juga bagi yang menyuruh melakukan, yang
   menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di
   bidang perpajakan.

36. Ketentuan Pasal 44 ayat (2) diubah, sehingga       Pasal   44
    seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut :

                           "Pasal 44

   *8642 (1) Pejabat    Pegawai   Negeri   Sipil  tertentu   lingkungan Direktorat Jenderal Pajak diberi wewenang khusus
   sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di
   bidang perpajakan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
   Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

   (2)    Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
   adalah :

    a.   menerima,   mencari,    mengumpulkan, dan   meneliti
   keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di
   bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut
   menjadi lebih lengkap dan jelas;

    b.   meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai
   orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang
   dilakukan   sehubungan  dengan   tindak   pidana  di   bidang
   perpajakan;

    c.   meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi
   atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang
   perpajakan ;

    d.   memeriksa      buku-buku,     catatan-catatan,      dan
   dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang
   perpajakan ;

    e.   melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti
   pembukuan, pencatatan, dan dokumen-dokumen lain, serta
   melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;

    f.   meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan
   tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
       g.   menyuruh   berhenti    dan/atau    melarang   seseorang
      meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang
      berlangsung dan memeriksa identitas orang dan/atau dokumen
      yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e;

       h.   memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana
      di bidang perpajakan;

       i.   memanggil orang untuk didengar      keterangannya   dan
      diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

       j.    menghentikan penyidikan ;

       k.   melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran
      penyidikan tindak pidana di bidang   *8643 perpajakan menurut
      hukum yang dapat dipertanggunjawabkan.

      (3)   Penyidik   sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (1)
      memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil
      penyidikannya kepada Penuntut Umum, sesuai dengan ketentuan
      yang diatur Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
      Acara Pidana. "

37. Menambah dua ketentuan baru di antara Pasal 44 dan Pasal 45
    yang dijadikan Pasal 44A dan Pasal 44B, yang masing-masing
    berbunyi berikut :

                             "Pasal 44A

      Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1)
      menghentikan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44
      ayat (2) huruf j dalam hal tidak terdapat cukup bukti, atau
      peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang
      perpajakan, atau penyidikan dihentikan karena peristiwanya
      telah daluwarsa, atau tersangka meninggal dunia.

                              Pasal 44B

      (1)   Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan
      Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan
      tindak pidana di bidang perpajakan.

      (2)   Penghentian   penyidikan   tindak   pidana  di  bidang
      perpajakan   sebagaimana  dimaksud   pada   ayat (1),  hanya
      dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi pajak yang tidak atau
      kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan,
      ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar
      empat kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau
      yang tidak seharusnya dikembalikan."

38.    Ketentuan Pasal 47 dihapus.

                              Pasal II
Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan tahun 1994 dan
sebelumnya, diberlakukan ketentuan Undang-undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebelum
dilakukan perubahan berdasarkan undang-undang ini.

                               Pasal III

Undang-undang   ini   dapat  disebut   "Undang-undang   Perubahan
Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan".

                               Pasal IV

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.
*8644
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 9 Nopember 1994
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 Nopember 1994
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd

MOERDIONO

                               PENJELASAN
                                   ATAS
                    UNDANG-UNDANG REPUBLIK lNDONESIA
                           NOMOR 9 TAHUN 1994
                                 TENTANG
            PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983
            TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

UMUM

1.     Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang
       ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang berlaku sejak 1
       Januari 1984 adalah Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
       Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang-undang Nomor
       6   Tahun  1983   ini   dilandasi   falsafah  Pancasila   dan
       Undang-undang Dasar 1945, yang di dalamnya tertuang ketentuan
       yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan
     kewajiban   perpajakan  sebagai  kewajiban  kenegaraan  dan
     merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan negara
     dan pembangunan nasional.

    Undang-undang ini sebagian besar memuat ketentuan umum dan
    tata cara yang berlaku untuk Pajak Penghasilan, sedangkan
    ketentuan umum dan tata cara untuk Pajak Pertambahan Nilai
    Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, banyak
    diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
    Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas
    Barang Mewah.
*8645
2. Dalam pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983, disadari
    bahwa banyak masalah dihadapi yang ternyata belum diatur
    dalam    Undang-undang   ini   sehingga   menuntut    perlunya
    penyempurnaan. Penyempurnaan tersebut sejalan dengan arah dan
    tujuan pembangunan nasional serta kebijakan Pemerintah dalam
    Pembangunan Jangka Panjang Tahap II yang antara lain berbunyi
    "Sistem perpajakan terus disempurnakan, pemungutan pajak
    diintensifkan dan aparat perpajakan harus makin mampu dan
    bersih ". Harapan masyarakat terhadap adanya aparatur
    perpajakan yang makin mampu dan bersih, dituangkan dalam
    berbagai    ketentuan   yang    bersifat   pengawasan    dalam
    Undang-undang ini.

3.   Falsafah dan landasan yang menjadi latar belakang dan dasar
     Undang-undang ini tercermin dalam ketentuan-ketentuan yang
     mengatur sistem dan mekanisme pemungutan pajak. Sistem dan
     mekanisme tersebut menjadi ciri dan corak tersendiri dalam
     sistem perpajakan Indonesia, karena kedudukan Undang-undang
     ini    yang    akan    menjadi    "ketentuan  umum"    bagi
     perundang-undangan perpajakan yang lain.

     Ciri dan corak tersendiri     dari   sistem   pemungutan   pajak
     tersebut adalah :

     a.    Bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari
     pengabdian dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung
     dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang
     diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional;

     b.    Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pemungutan
     pajak, sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan
     berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak sendiri.

      Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan sesuai dengan
     fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan dan
     pengawasan    terhadap    pemenuhan   kewajiban   perpajakan
     berdasarkan   ketentuan  yang   digariskan  dalam  peraturan
     perundang-undangan perpajakan;

     c.    Anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk
     dapat melaksanakan kegotong-royongan nasional melalui sistem
     menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri
     pajak yang terutang (self assessment), sehingga melalui
     sistem   ini   administrasi   perpajakan   diharapkan   dapat
     dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana dan
     mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.

     Sistem pemungutan pajak tersebut mempunyai arti bahwa
     penentuan penetapan besarnya pajak yang terutang dipercayakan
     kepada Wajib Pajak sendiri dan melaporkannya           secara
                                                    *8646
     teratur jumlah pajak yang terutang dan yang telah dibayar
     sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
     perpajakan. Dengan sistem ini diharapkan pula pelaksanaan
     administrasi perpajakan yang berbelit-belit dan birokratis
     akan dapat dihindari. Sejalan dengan harapan tersebut,
     wewenang Direktur Jenderal Pajak yang bersifat teknis
     administratif dapat dilimpahkan kepada aparat bawahannya.

     Menurut ketentuan Undang-undang ini, administrasi perpajakan
     berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian administrasi
     pemungutan   pajak  yang   meliputi  tugas-tugas  pembinaan,
     pelayanan, pengawasan, dan penerapan sanksi perpajakan.
     Pembinaan masyarakat Wajib Pajak dapat dilakukan melalui
     berbagai upaya, antara lain pemberian penyuluhan pengetahuan
     perpajakan baik melalui media massa maupun penerangan
     langsung kepada masyarakat.

4.   Dengan   berpegang   teguh   pada prinsip   kepastian hukum,
     keadilan,   dan    kesederhanaan,  maka   arah   dan  tujuan
     penyempurnaan Undang-undang perpajakan ini adalah dalam
     memenuhi amanat Garis-garis Besar Haluan Negara 1993 yang
     mengacu pada kebijaksanaan pokok sebagai berikut :

     a.    Menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan
     pembiayaan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari
     penerimaan pajak;

     b.    Menunjang usaha pembangunan secara merata, mendorong
     investasi   secara   merata    di   seluruh wilayah  Republik
     Indonesia, terutama untuk mendorong pembangunan di daerah
     terpencil  yang    selama   ini   dirasakan terbelakang   atau
     terlambat perkembangannya, baik dalam rangka pemerataan
     pembangunan dan pendayagunaan sumber daya alam maupun dalam
     rangka peningkatan penerimaan pajak dalam jangka panjang;

     c.    Menunjang usaha peningkatan ekspor, terutama ekspor non
     migas, barang hasil olahan, dan jasa jasa dalam rangka
     meningkatkan perolehan devisa;

     d.    Menunjang   usaha   pengembangan  usaha    kecil    untuk
     mengoptimalkan pengembangan potensinya, dan dalam        rangka
     pengentasan sebagian masyarakat dari kemiskinan;

     e.    Menunjang usaha pengembangan sumber daya manusia, ilmu
    pengetahuan, dan teknologi;

    f.    Menunjang usaha pelestarian    ekosistem,   sumber   daya
    alam, dan lingkungan hidup;

    *8647 g.   Menunjang   usaha meningkatkan  keadilan  dalam
    partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pembangunan sesuai
    dengan kemampuannya; dan

    h.    Menunjang usaha terciptanya aparat perpajakan yang
    makin mampu dan makin bersih, peningkatan pelayanan kepada
    Wajib Pajak termasuk penyederhanaan dan kemudahan prosedur
    dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, peningkatan pengawasan
    atas pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut,
    serta peningkatan penegakan pelaksanaan ketentuan hukum yang
    berlaku.

PASAL DEMI PASAL

Pasal I
Angka 1

Pasal 1
Dalam pasal ini memuat perumusan mengenai pengertian istilah
perpajakan yang dipergunakan dalam undang-undang ini. Dengan
adanya pengertian tentang istilah-istilah tersebut dapat dicegah
adanya salah pengertian atau salah penafsiran dalam melaksanakan
pasal-pasal yang bersangkutan sehingga dapat mencapai kelancaran
dan kemudahan baik bagi Wajib Pajak maupun bagi aparatur dalam
melaksanakan kewajibannya dan pada akhirnya dicapai tertib
administrasi perpajakan.

Pengertian ini diperlukan, karena mengandung hal yang bersifat
teknis dan baku, khususnya dalam bidang perpajakan.

Angka 2
Cukup jelas

Angka 3
Pasal 2
    Ayat (1)
    Semua Wajib Pajak. berdasarkan sistem "self assessment" wajib
    mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk
    dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan
    Nomor Pokok Wajib Pajak.

    Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap
    wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah karena
    hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki
    secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan
    dan harta.

    Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut adalah suatu sarana dalam
administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda
pengenal diri atau identitas Wajib Pajak, oleh karena itu
kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok
Wajib Pajak. Selain daripada itu, Nomor Pokok Wajib Pajak
juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran
pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan.
Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak
diwajibkan   mencantumkan  Nomor   Pokok  Wajib   Pajak  yang
dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan
diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak dikenakan
sanksi perpajakan.

Ayat (2)
Setiap Pengusaha yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
berdasarkan     ketentuan    peraturan   perundang-undangan
perpajakan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak dan kepadanya diberikan Nomor
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

Pengusaha orang pribadi berkewajiban melaporkan usahanya pada
kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal Pengusaha dan tempat kegiatan usaha
dilakukan.   Sedangkan   bagi   Pengusaha   badan,   kewajiban
melaporkan usahanya tersebut adalah pada kantor Direktorat
Jenderal   Pajak  yang   wilayah   kerjanya  meliputi   tempat
kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan.

Dengan demikian Pengusaha orang pribadi atau badan yang
mempunyai tempat kegiatan usaha di wilayah beberapa kantor
Direktorat Jenderal Pajak, wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak baik di kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha maupun di
kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.

Fungsi   Nomor  Pengukuhan   Pengusaha   Kena  Pajak   selain
dipergunakan untuk mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak
yang sebenarnya, juga berguna dalam pemenuhan kewajiban Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah serta
untuk pengawasan administrasi perpajakan.

Terhadap Pengusaha yang telah memenuhi syarat sebagai
Pengusaha Kena Pajak tetapi tidak melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dikenakan sanksi
perpajakan.

Ayat (3)
Terhadap Wajib Pajak maupun Pengusaha Kena Pajak tertentu,
Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan kantor Direktorat
Jenderal Pajak selain yang ditentukan pada ayat (1) dan ayat
(2), sebagai tempat pendaftaran untuk memperoleh Nomor Pokok
Wajib Pajak dan/atau Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
   Ayat (4)
   Terhadap Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak yang tidak
   memenuhi   kewajiban   untuk   mendaftarkan   diri   dan/atau
   melaporkan usahanya, dapat diterbitkan Nomor Pokok Wajib
   Pajak dan/atau Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara
   *8649 jabatan. Hal ini dapat dilakukan apabila berdasarkan
   data yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktorat Jenderal
   Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau Pengusaha
   tersebut telah memenuhi syarat untuk memperoleh Nomor Pokok
   Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

    Ayat (5)
    Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok
    Wajib Pajak dan kewajiban melaporkan usaha untuk memperoleh
    Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dibatasi jangka
    waktunya, karena hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang
    dan kewajiban mengenakan pajak terutang.

    Pengaturan tentang jangka waktu pendaftaran dan pelaporan
    tersebut serta tata cara pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak
    dan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak ditetapkan oleh
    Direktur Jenderal Pajak.

Angka 4
    Pasal 3
    Ayat (1)
    Fungsi Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan
    adalah     sebagai     sarana    untuk     melaporkan     dan
    mempertanggungjawabkan   penghitungan   jumlah   pajak   yang
    sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :

    -     pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
    sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak
    lain dalam satu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak ;

    -     pembayaran   dari   pemotong  atau    pemungut tentang
    pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan
    lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan peraturan
    perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

     Bagi Pengusaha Kena Pajak fungsi Surat Pemberitahuan adalah
    sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
    penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
    Penjualan Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan
    untuk melaporkan tentang :

    -     pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;

    -     pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
    sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain
    dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan oleh ketentuan
    peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku.
-     bagi Pemotong atau Pemungut Pajak, fungsi Surat
Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan
dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau
dipungut dan disetorkannya.

 Yang dimaksud dengan mengisi Surat Pemberitahuan adalah
mengisi formulir Surat Pemberitahuan dengan benar, jelas, dan
lengkap sesuai dengan petunjuk yang diberikan berdasarkan
ketentuan   peraturan   perundang-undangan  perpajakan   yang
berlaku.

 Pengisian   Surat  Pemberitahuan yang tidak benar       yang
mengakibatkan pajak yang terutang kurang dibayar,        akan
dikenakan sanksi perpajakan.

Ayat (2)
Dalam rangka pelayanan dan kemudahan bagi Wajib Pajak,
formulir Surat Pemberitahuan disediakan pada kantor-kantor di
lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, Kantor Pos dan Giro,
Kantor Pos Pembantu, dan tempat-tempat lain yang ditentukan
oleh Direktur Jenderal pajak dan yang diperkirakan mudah
terjangkau oleh Wajib Pajak.

Ayat (3)
Ayat ini mengatur tentang batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan yang dianggap cukup memadai bagi Wajib Pajak
untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan
pembayaran pajak maupun penyelesaian pembukuannya.

Ayat (4)
Apabila Wajib Pajak baik orang pribadi atau badan ternyata
tidak dapat menyampaikan atau menyiapkan laporan keuangan
tahunan atau neraca perusahaan beserta daftar rugi laba dalam
jangka waktu yang telah ditetapkan pada ayat (3) huruf b
karena luasnya kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis
penyusunan neraca atau laporan keuangan, sulit untuk memenuhi
batas waktu penyelesaian dan memerlukan kelonggaran dari
batas waktu yang telah ditentukan, Wajib Pajak dapat
mengajukan permohonan agar memperoleh perpanjangan waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Ayat (5)
Untuk mencegah usaha penghindaran diri dan/atau perpanjangan
waktu pembayaran pajak yang terutang dalam satu Tahun Pajak
yang harus dibayar sebelum batas waktu pemasukan Surat
Pemberitahuan Tahunan, perlu ditetapkan persyaratan yang
berakibat pengenaan sanksi administrasi berupa bunga bagi
Wajib Pajak yang ingin memperpanjang waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Persyaratan tersebut berupa keharusan memberikan pernyataan
tertulis   tentang  besarnya  pajak   yang   harus  dibayar
    berdasarkan penghitungan sementara dalam satu Tahun Pajak,
    sebagai   lampiran  surat   permohonan  penundaan   kewajiban
    penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

    *8651 Ayat (6)
    Mengingat fungsi Surat Pemberitahuan merupakan sarana Wajib
    Pajak    untuk    melaporkan     dan   mempertanggungjawabkan
    penghitungan jumlah pajak yang terutang dan pembayarannya,
    maka dalam rangka keseragaman dan mempermudah pengisian serta
    pengadministrasiannya, bentuk dan isi Surat Pemberitahuan
    ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Surat Pemberitahuan
    Tahunan Pajak Penghasilan sekurang-kurangnya memuat jumlah
    peredaran, jumlah penghasilan, jumlah penghasilan kena pajak,
    jumlah pajak yang terutang, jumlah kredit pajak, dan jumlah
    kekurangan atau kelebihan pajak.

    Surat    Pemberitahuan   Masa    Pajak   Pertambahan     Nilai
    sekurang-kurangnya memuat jumlah Dasar Pengenaan Pajak,
    jumlah Pajak Keluaran, jumlah Pajak Masukan yang dapat
    dikreditkan, dan jumlah kekurangan atau kelebihan pajak.

    Surat Pemberitahuan harus dilampiri dengan keterangan dan
    dokumen yang dapat berupa antara lain surat kuasa, surat
    keterangan  tentang   perkawinan  dengan  pisah   harta  dan
    penghasilan, dokumen yang berkenaan dengan impor atau ekspor
    dan Surat Setoran Pajak.

    Ayat (7)
    Surat Pemberitahuan beserta lampirannya merupakan satu
    kesatuan, oleh karena itu apabila Surat Pemberitahuan
    disampaikan tidak atau tidak sepenuhnya dilampiri dengan
    keterangan   dan   dokumen  yang   diharuskan,   maka Surat
    Pemberitahuan tersebut dianggap tidak disampaikan.

    Ayat (8)
    Pada   prinsipnya  setiap   Wajib   Pajak   Pajak  Penghasilan
    diwajibkan    menyampaikan    Surat    Pemberitahuan.   Dengan
    pertimbangan efisiensi atau pertimbangan lainnya, Menteri
    Keuangan dapat menetapkan Wajib Pajak Pajak Penghasilan yang
    dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan,
    misalnya Wajib Pajak orang pribadi yang menerima atau
    memperoleh penghasilan hanya dari satu pemberi kerja yang
    telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
    Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.

Angka 5
    Pasal 6
    Ayat (1)
    Cukup jelas

    Ayat (2)
    Dalam rangka peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak dan
    sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, maka perlu
    cara lain bagi Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban
    menyampaikan Surat Pemberitahuannya selain melalui Kantor Pos
    dan Giro secara tercatat. Oleh karena itu, cara lain perlu
    ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

    *8652 Ayat (3)
    Cukup jelas

Angka 6
    Pasal 7
    Untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan dan untuk
    menjaga disiplin Wajib Pajak, bagi Wajib Pajak yang tidak
    mematuhi kewajiban formal menyampaikan Surat Pemberitahuan
    sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, dikenakan sanksi
    administrasi berupa denda untuk Surat Pemberitahuan Masa
    sebesar Rp 25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) dan untuk
    Surat Pemberitahuan Tahunan sebesar Rp 50.000,00 (lima puluh
    ribu rupiah).

Angka 7
    Pasal 8
    Ayat (1)
    Terhadap kekeliruan dalam pengisian Surat Pemberitahuan yang
    dibuat oleh Wajib Pajak, masih terbuka baginya hak untuk
    melakukan pembetulan atas kemauan sendiri dalam jangka waktu
    dua tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya
    Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dengan
    syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan
    pemeriksaan.

    Penetapan batas waktu pembetulan tersebut, di satu pihak
    dipandang cukup waktu bagi Wajib Pajak untuk meneliti dan
    membetulkan    Surat   Pemberitahuannya    apabila   terdapat
    kesalahan, dilain pihak masih tersedia cukup waktu bagi
    Direktur Jenderal Pajak untuk memberikan pelayanan dan
    melakukan pengawasan terhadap pembetulan yang dilakukan Wajib
    Pajak sebelum batas waktu daluwarsa terlampaui.

    Ayat (2)
    Dengan adanya pembetulan Surat Pemberitahuan atas kemauan
    sendiri membawa akibat penghitungan jumlah pajak yang
    terutang dan jumlah penghitungan pembayaran pajak menjadi
    berubah dari jumlah semula.

    Atas kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat pembetulan
    tersebut dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar
    2% (dua persen) perbulan.

    Bunga  yang  terutang  atas   kekurangan   pembayaran   pajak
    tersebut, dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu
    penyampaian Surat   Pemberitahuan   sampai   dengan   tanggal
    pembayaran karena adanya pembetulan Surat Pemberitahuan
    tersebut.
Ayat (3)
Wajib Pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 selama belum dilakukan penyidikan, sekalipun
telah dilakukan pemeriksaan terhadapnya dan Wajib Pajak telah
mengungkapkan kesalahannya dan sekaligus melunasi    *8653
jumlah   pajak  yang   sebenarnya  terutang   beserta   sanksi
administrasi berupa denda sebesar dua kali dari jumlah pajak
yang kurang dibayar, maka terhadapnya tidak akan dilakukan
penyidikan.

Namun bilamana telah dilakukan tindakan penyidikan dan
mulainya penyidikan tersebut diberitahukan kepada Penuntut
Umum, maka kesempatan untuk membetulkan sendiri sudah
tertutup bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.

Ayat (4)
Walaupun jangka waktu dua tahun sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) telah berakhir dan Direktur Jenderal Pajak belum
menerbitkan surat ketetapan pajak, kepada Wajib Pajak baik
yang telah maupun yang belum membetulkan Surat Pemberitahuan
masih diberikan kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran
pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan, yang
dapat   berupa   Surat   Pemberitahuan    Tahunan   atau   Surat
Pemberitahuan   Masa    untuk    tahun-tahun   atau    masa-masa
sebelumnya.   Pengungkapan    ketidakbenaran   pengisian   Surat
Pemberitahuan tersebut terbatas pada hal-hal sebagai berikut:

a.     pajak-pajak   yang   masih   harus   dibayar   menjadi   lebih
besar; atau

b.     rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih
kecil; atau

c.     jumlah harta menjadi lebih besar; atau

d.     jumlah modal menjadi lebih besar.

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 9
Ayat (1)
Batas waktu pembayaran masa ditetapkan oleh Menteri Keuangan
dengan batas waktu tidak boleh melebihi lima belas hari sejak
saat terutangnya atau berakhirnya Masa Pajak Keterlambatan
dalam pembayaran masa tersebut berakibat dikenakannya sanksi
administrasi sesuai ketentuan yang berlaku.

Ayat (2)
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b Wajib
Pajak   wajib   menyampaikan  Surat   Pemberitahuan   Tahunan
selambat-lambatnya tiga bulan setelah akhir Tahun Pajak. Jika
    pada waktu pengisian Surat Pemberitahuan tersebut ternyata
    masih terdapat kekurangan pembayaran pajak yang terutang,
    maka kekurangan pembayaran pajak tersebut harus dibayar lunas
    selambat-lambatnya tanggal dua puluh lima bulan ketiga
    setelah Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak    *8654 berakhir
    sebelum Surat Perrìberitahuan Tahunan itu disampaikan.

    Misalnya Surat Pemberitahuan harus disampaikan pada tanggal
    31 Maret, kekurangan pembayaran pajak yang terutang atau
    setoran akhir harus sudah dilunasi selambat-lambatnya tanggal
    25 Maret, sebelum Surat Pemberitahuan disampaikan.

    Ayat (3 )
    Cukup jelas

    Ayat (4)
    Direktur Jenderal Pajak dapat memperkenankan pengangsuran
    atau penundaan pembayaran pajak yang terutang, meskipun
    tanggal jatuh tempo pembayaran telah ditentukan.

    Kelonggaran tersebut diberikan dengan hati-hati dan terbatas
    kepada   Wajib  Pajak  yang   benar-benar  sedang  mengalami
    kesulitan likuiditas.

    Untuk mendapatkan kelonggaran tersebut, Wajib    Pajak   harus
    memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.

Angka 9
    Pasal 11
    Ayat (1)
    Jika   setelah  diadakan   penghitungan  jumlah   pajak  yang
    sebenarnya terutang dengan jumlah kredit pajak menunjukkan
    jumlah selisih lebih (jumlah kredit pajak lebih besar dari
    jumlah pajak yang terutang), Wajib Pajak berhak untuk meminta
    kembali kelebihan pembayaran pajak, dengan catatan Wajib
    Pajak tersebut tidak mempunyai utang pajak. Dalam hal Wajib
    Pajak masih mempunyai utang pajak yang belum dilunasi,
    kelebihan pembayaran tersebut harus diperhitungkan lebih
    dahulu dengan utang pajak tersebut dan bilamana masih
    terdapat sisa lebih, baru dapat dikembalikan kepada Wajib
    Pajak.

    Yang dimaksud dengan utang pajak adalah utang pajak untuk
    semua jenis pajak yang terutang oleh Wajib Pajak baik pusat
    maupun cabang-cabangnya.

    Untuk memperoleh kembali kelebihan pembayaran tersebut, Wajib
    Pajak harus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur
    Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuknya.

    Ayat (2)
    Untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan
    menjamin ketertiban administrasi, batas waktu pengembalian
    oleh   Direktur  Jenderal   Pajak   ditetapkan   dalam   waktu
    selama-lamanya satu bulan :

    *8655 a.    untuk  Surat   Ketetapan    Pajak   Lebih   Bayar
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 B, dihitung sejak tanggal
    penerbitan;

    b.     untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 17, dihitung sejak tanggal diterimanya
    permohonan tertulis tentang pengembalian kelebihan pembayaran
    pajak.

    Ayat (3 )
    Untuk terciptanya keseimbangan hak dan kewajiban bagi Wajib
    Pajak dengan kecepatan pelayanan oleh Direktorat Jenderal
    Pajak, ayat ini menentukan bahwa atas setiap kelambatan dalam
    pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari jangka waktu
    seperti tersebut pada ayat (2), kepada Wajib Pajak yang
    bersangkutan diberikan imbalan oleh Pemerintah berupa bunga
    sebesar 2% (dua persen) perbulan dihitung sejak berakhirnya
    jangka waktu satu bulan sampai dengan saat dilakukan
    pembayaran.

    Yang dimaksud dengan saat dilakukan pembayaran kelebihan
    pembayaran  pajak   adalah   saat Surat Perintah Membayar
    Kelebihan Pajak diterbitkan.

    Ayat (4)
    Cukup jelas

Angka 10
    Pasal 13
    Ayat (1)
    Ketentuan ayat ini memberikan wewenang kepada Direktur
    Jenderal Pajak untuk dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
    Kurang Bayar, yang pada hakekatnya hanya terhadap kasus-kasus
    tertentu seperti tersebut dalam ayat ini, dengan perkataan
    lain hanya terhadap Wajib Pajak tertentu yang nyata-nyata
    atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban
    formal dan/atau kewajiban materiil. Wewenang yang diberikan
    oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan kepada
    Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan koreksi fiskal
    tersebut dibatasi sampai dengan kurun waktu sepuluh tahun.

    Menurut ketentuan ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajak
    Kurang Bayar Pajak Penghasilan baru diterbitkan bilamana
    Wajib Pajak tidak membayar pajak sebagaimana mestinya menurut
    peraturan perundang-undangan perpajakan.

    Diketahuinya bahwa Wajib Pajak tidak atau kurang membayar
    pajak, adalah karena dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib
    Pajak yang bersangkutan dan dari hasil pemeriksaan itu
    diketahui bahwa Wajib Pajak tidak atau kurang membayar dari
jumlah yang seharusnya terutang. Pemeriksaan dapat dilakukan
di tempat tinggal, tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan
usaha Wajib Pajak. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dapat
juga diterbitkan dalam hal Direktur Jenderal Pajak
memiliki data lain di luar data yang disampaikan oleh Wajib
Pajak sendiri, dari data tersebut dapat dipastikan bahwa
Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pajak sebagaimana
mestinya. Untuk memastikan kebenaran data itu, terhadap Wajib
Pajak dapat dilakukan pemeriksaan. Surat Pemberitahuan yang
tidak disampaikan pada waktunya, walaupun telah ditegur
secara tertulis dan tidak juga disampaikan dalam jangka waktu
yang ditentukan dalam Surat Teguran itu, menurut ketentuan
ayat (1) huruf b membawa akibat, bahwa Direktur Jenderal
Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
secara jabatan. Terhadap ketetapan seperti ini dikenakan
sanksi administrasi berupa kenaikan sebagaimana diatur pada
ayat (3).

Teguran antara lain dimaksudkan pula untuk memberi kesempatan
kepada Wajib Pajak yang beritikad baik, untuk menyampaikan
alasan atau sebab-sebab tidak dapatnya Surat Pemberitahuan
disampaikan karena sesuatu hal di luar kemampuannya (force
mayeur).

Bagi Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakan
di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah, yang mengakibatkan pajak terutang tidak atau
kurang dibayar sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf c,
dikenakan sanksi administrasi dengan menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah kenaikan sebesar 100%
(seratus persen).

Bagi Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan
menurut ketentuan Pasal 28 atau pada saat diperiksa tidak
memenuhi permintaan menurut Pasal 29, sehingga Direktur
Jenderal Pajak tidak dapat menghitung jumlah pajak yang
seharusnya terutang sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf
d, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan secara
jabatan yaitu penghitungan pajak didasarkan pada data yang
tidak hanya diperoleh dari Wajib Pajak saja.

Pembuktian atas uraian penghitungan yang dijadikan dasar
penghitungan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak
diletakkan pada Wajib Pajak. Sebagai contoh diberikan antara
lain :

1.     pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak
lengkap, sehingga penghitungan rugi laba atau peredaran tidak
jelas;

2.    dokumen-dokumen   pembukuan   tidak  lengkap   sehingga
angka-angka dalam pembukuan tidak dapat diuji;
3.     dari rangkaian pemeriksaan dan/atau fakta-fakta yang
diketahui besar dugaan disembunyikannya dokumen atau data
pendukung lain disuatu tempat tertentu, sehingga    *8657
dari sikap demikian jelas Wajib Pajak telah tidak menunjukkan
itikad    baiknya   untuk   membantu    kelancaran   jalannya
pemeriksaan.

 Beban pembuktian tersebut berlaku juga bagi ketetapan yang
diterbitkan berdasarkan ketentuan ayat (1) huruf b.

Ayat (2)
Ayat ini mengatur sanksi administrasi perpajakan yang
dikenakan kepada Wajib Pajak karena melanggar kewajiban
perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. Sanksi
administrasi perpajakan tersebut berupa bunga sebesar 2% (dua
persen) dituangkan dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.

Sanksi administrasi berupa bunga, dihitung dari jumlah pajak
yang tidak atau kurang dibayar dan bagian dari bulan dihitung
satu bulan.

Contoh :
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan.

Seorang Wajib Pajak Pajak Penghasilan yang mempunyai tahun
buku sama dengan tahun takwim memasukkan Surat Pemberitahuan
Tahunan untuk tahun 1995 tepat pada waktunya yang disertai
dengan setoran akhir. Pada bulan April 1998 dikeluarkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang menunjukkan kekurangan
pajak yang terutang sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah). Berdasarkan ketentuan ayat ini maka atas kekurangan
tersebut ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%
(dua persen) sebulan.

Walaupun   Surat  Ketetapan   Pajak  Kurang   Bayar  tersebut
diterbitkan lebih dari dua tahun sejak berakhirnya Tahun
Pajak, bunga dikenakan atas kekurangan tersebut hanya untuk
masa dua tahun dengan penghitungan sebagai berikut :

1. Pajak yang terutang                    Rp 1.725.000,00
2. Kredit pajak :
 a.   Pajak yang dipotong oleh
      pemberi kerja                   Rp 150.000,00
 b.   Pajak yang dibayar sendiri
      (setoran masa)             Rp 400.000,00
 c.   Pajak yang ditagih dalam STP
      (tidak termasuk bunga dan
      denda)                         Rp 75.000,00
 d.   Pajak yang ditagih di
      luar negeri                     Rp 100.000,00
                                      ----------(+)
 Jumlah pajak yang dikreditkan         Rp 725.000,00
                                       ----------(-)
3. Pajak yang kurang dibayar                Rp 1.000.000,00
4. Bunga 2 tahun
   = 2% x 2 x 12 x Rp 1.000.000,00 =         Rp   480.000,00
                                       ---------(+)
5. Pajak yang masih harus dibayar            Rp 1.480.000,00

Seandainya Surat Ketetapan Pajak         Kurang Bayar tersebut
diterbitkan bulan Mei 1997, maka        penghitungannya sebagai
berikut :

1. Pajak yang kurang dibayar........... Rp 1.000.000,00
 2. Bunga 17 bulan =
   2% x 17 x Rp 1.000.000,00=            Rp   340.000.00
                                    --------(+)
3. Pajak yang masih harus dibayar . ....Rp 1.340.000,00

Ayat (3)
Ayat ini mengatur sanksi administrasi dari suatu ketetapan
pajak, karena melanggar kewajiban perpajakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d. Sanksi
administrasi demikian berupa kenaikan, yaitu suatu jumlah
proporsional yang harus ditambahkan pada jumlah pajak yang
harus ditagih.

Besarnya sanksi administrasi berupa kenaikan berbeda-beda
menurut jenis pajaknya yaitu untuk jenis Pajak Penghasilan
yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sanksi kenaikan sebesar
50% (lima puluh persen), untuk jenis Pajak Penghasilan yang
dipotong oleh orang atau badan lain sanksi kenaikan sebesar
100%   (seratus   persen),   sedangkan  untuk   jenis   Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
sanksi kenaikan sebesar l00% (seratus persen).

Ayat (4)
Untuk memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi para Wajib
Pajak, berkenaan dengan pelaksanaan pemungutan pajak dengan
sistem "self assessment", maka apabila dalam waktu sepuluh
tahun sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak,
Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak, Direktur
Jenderal Pajak tidak juga menerbitkan ketetapan pajak, maka
jumlah pembayaran pajak yang diberitahukan dalam Surat
Pemberitahuan Masa atau Surat Pemberitahuan Tahunan pada
hakekatnya telah menjadi tetap dengan sendirinya atau telah
menjadi pasti karena hukum menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.

Dengan demikian, Surat Pemberitahuan Wajib Pajak yang
bersangkutan telah merupakan ketetapan yang tetap dan tidak
akan diubah (rampung).

Ayat (5)
    Dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana
    di bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan yang
    telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Surat Ketetapan Pajak
    Kurang Bayar masih dibenarkan untuk diterbitkan,    *8659
    ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat
    puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau
    kurang   dibayar   meskipun   jangka  waktu   sepuluh   tahun
    sebagaimana ditentukan pada ayat (1) dilampaui.

    Dengan adanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh
    kekuatan hukum tetap tersebut, terungkap adanya data fiskal
    yang selama itu sengaja tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.

Angka 11
    Pasal 14
    Ayat (1)
    Cukup jelas

    Ayat (2)
    Surat Tagihan Pajak menurut ayat ini dipersamakan kekuatan
    hukumnya dengan surat ketetapan pajak, sehingga dalam hal
    penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa.

    Ayat (3)
    Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga
    atas Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan karena:
    -     penelitian Surat Pemberitahuan yang menghasilkan pajak
    kurang dibayar karena terdapat salah tulis dan/atau salah
    hitung;

    -      Pajak Penghasilan   dalam    tahun   berjalan   tidak   atau
    kurang dibayar.

    Untuk jelasnya cara penghitungannya diberikan contoh sebagai
    berikut:

    1.     Hasil penelitian Surat Pemberitahuan.

     Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 1995
    yang disampaikan tanggal 31 Maret 1996 setelah dilakukan
    penelitian ternyata terdapat salah hitung yang menyebabkan
    Pajak Penghasilan kurang bayar sebesar Rp l .000.000,00. Atas
    kekurangan Pajak Penghasilan tersebut diterbitkan Surat
    Tagihan Pajak tanggal 14 Juni 1996 dengan penghitungan
    sebagai berikut :

     - Kekurangan bayar
       Pajak Penghasilan               Rp 1.000.000,00
     - Bunga =
       3 x 2"% x Rp.1.000.000,00           Rp    60.000,00
                                              -------(+)
     - Jumlah yang harus dibayar            Rp 1.060.000,00
    2.     Pajak Penghasilan   dalam   tahun   berjalan   tidak   atau
    kurang dibayar :

     Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 1995 setiap bulan sebesar
    Rp 100.000.000,00. jatuh tempo misalnya tiap  *8660 tanggal
    15.   Bulan   Juni   1995,  dibayar   tepat  waktu  sebesar
    Rp40.000.000,00.

     Atas   kekurangan  Pajak   Penghasilan  Pasal   25 tersebut
    diterbitkan Surat Tagihan Pajak tanggal 18 September 1995
    dengan penghitungan sebagai berikut :
     - Kekurangan bayar Pajak Penghasilan
       Pasal 25 bulan Juni 1995     =Rp 60.000.000,00
     - Bunga =
       3 x 2% x Rp 60.000.000,00   =Rp 3.600.000.00
                                   ---------(+)
     - Jumlah yang harus dibayaR   =Rp 63.600.000,00

     Ayat (4)
     Apabila Pengusaha Kena Pajak tidak melaporkan kegiatan
    usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka
    ia telah melanggar kewajibannya dengan itikad tidak baik dan
    melalaikan kepercayaan yang telah diberikan kepadanya. Oleh
    karena itu selain harus menyetor pajak terutang dengan tidak
    diperkenankan memperhitungkan Pajak Masukan, Pengusaha Kena
    Pajak juga dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar
    2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak yang timbul
    sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Di
    samping      itu     berdasarkan      ketentuan     peraturan
    perundang-undangan perpajakan ditetapkan bahwa Faktur Pajak
    hanya boleh dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak. Larangan
    membuat Faktur Pajak oleh bukan Pengusaha Kena Pajak
    dimaksudkan untuk melindungi pembeli dari pemungutan pajak
    yang tidak semestinya, dan oleh karena itu terhadapnya
    dikenakan sanksi berupa denda administrasi. Demikian pula
    terhadap Pengusaha Kena Pajak yang wajib membuat Faktur Pajak
    tetapi tidak melaksanakan atau tidak selengkapnya mengisi
    Faktur Pajak, dikenakan sanksi yang sama.

Angka 12
    Pasal 15

     Ayat (1)
     Untuk menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan
    Pajak Kurang Bayar yang ternyata telah ditetapkan lebih
    rendah atau telah dilakukan pengembalian pajak yang tidak
    seharusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan
    Pajak Lebih Bayar, atau pajak yang terutang dalam suatu Surat
    Ketetapan Pajak Nihil ditetapkan lebih rendah, Direktur
    Jenderal Pajak berwenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan
    Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu sepuluh tahun
    sesudah saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak,
    Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak.
 *8661 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan merupakan
koreksi atas ketetapan pajak sebelumnya. Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan baru diterbitkan apabila telah
pernah diterbitkan ketetapan pajak. Dengan perkataan lain
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tidak akan
mungkin diterbitkan sebelum didahului dengan penerbitan
ketetapan pajak. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan dilakukan dengan syarat adanya data baru
(novum) dan/atau data yang semula belum terungkap yang
menyebabkan penambahan pajak yang terutang dalam surat
ketetapan pajak sebelumnya. Sejalan dengan itu maka setelah
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan sebagai akibat
telah lewat waktu dua belas bulan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17B, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
diterbitkan hanya dalam hal ditemukan data baru dan/atau data
yang semula belum terungkap. Dalam hal masih ditemukan lagi
data yang semula belum terungkap pada saat diterbitkannya
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan/atau data
baru yang diketahui kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan masih dapat
diterbitkan lagi.

 Yang dimaksud dengan data baru adalah data yang belum
dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan,
sedangkan data yang semula belum terungkap adalah data yang
sudah dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan
namun tidak diungkapkan secara jelas.

 Sebagai contoh dari data yang semula belum terungkap antara
lain adalah sumbangan yang diperhitungkan sebagai biaya umum
dengan tidak disertai rinciannya, sehingga tidak dapat
diketahui bahwa sumbangan tersebut sebenarnya tidak dapat
dikurangkan sebagai biaya berdasarkan ketentuan yang berlaku.

 Ayat (2)
 Dalam hal setelah diterbitkan ketetapan pajak ternyata masih
ditemukan data baru dan/atau data yang belum terungkap yang
belum diperhitungkan sebagai dasar penetapan tersebut, maka
atas pajak yang kurang dibayar ditagih dengan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah sanksi administrasi
berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari pajak yang
kurang dibayar.

 Ayat (3)
 Cukup jelas

 Ayat (4)
 Dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,            Surat
                                              *8662
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan masih dibenarkan untuk
diterbitkan, ditambah sanksi administrasi berupa bunga
   sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak
   yang tidak atau kurang dibayar, meskipun jangka waktu sepuluh
   tahun sebagaimana ditentukan pada ayat (1) dilampaui.

Angka 13
    Pasal 16
    Pembetulan ketetapan pajak menurut pasal ini dilaksanakan
    dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan yang baik,
    sehingga apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan yang
    bersifat   manusiawi  dalam  suatu  ketetapan  pajak  perlu
    dibetulkan   sebagaimana  mestinya.  Sifat  kesalahan  atau
    kekeliruan tersebut tidak mengandung persengketaan antara
    fiskus dan Wajib Pajak.

   Apabila kesalahan atau kekeliruan ditemukan baik oleh fiskus
   atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak maka kesalahan atau
   kekeliruan tersebut harus dibetulkan. Surat ketetapan pajak
   yang salah atau keliru yang dapat dibetulkan tersebut adalah
   Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak
   Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dan
   Surat Ketetapan Pajak Nihil selain itu dapat juga dibetulkan
   Surat Tagihan Pajak yang salah atau keliru.

   Ruang lingkup pembetulan yang diatur dalam pasal ini terbatas
   pada surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak yang
   salah sebagai akibat dari :

   a.    Kesalahan tulis, yaitu antara lain kesalahan yang dapat
   berupa nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, Nomor
   Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Nomor Surat Ketetapan Pajak,
   Jenis Pajak, Masa atau Tahun Pajak, dan tanggal jatuh tempo;

   b.    Kesalahan hitung, yaitu kesalahan yang berasal dari
   penjumlahan dan/atau pengurangan dan/atau perkalian dan/atau
   pembagian suatu bilangan ;

   c.     Kekeliruan       dalam       penerapan       ketentuan
   peraturanperundang-undangan, perpajakan, yaitu kekeliruan
   dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase Norma
   Penghitungan,   kekeliruanpenerapan    sanksi   administrasi,
   kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak, dan kekeliruan dalam
   pengkreditan.

    Pengertian membetulkan dalam pasal ini dapat berarti
   menambah atau mengurangkan atau menghapuskan, tergantung pada
   sifat kesalahan dan kekeliruannya.

    Apabila masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung,
   dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan
   perpajakan dalam surat keputusan pembetulan  *8663
   tersebut, Wajib Pajak dapat mengajukan lagi permohonan
   pembetulan kepada Direktur Jenderal Pajak, atau Direktur
   Jenderal Pajak dapat melakukan pembetulan lagi karena
    jabatan.

Angka 14
    Pasal 17
    Menurut ketentuan pasal ini Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
    diterbitkan, apabila :

    a.    untuk Pajak Penghasilan, jumlah kredit pajak lebih
    besar dari jumlah pajak yang terutang, atau telah dilakukan
    pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;

    b.    untuk Pajak Pertambahan Nilai, jumlah kredit pajak
    lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, atau telah
    dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
    Apabila terdapat pajak terutang yang dipungut oleh Pemungut
    Pajak Pertambahan Nilai, maka yang dimaksud dengan jumlah
    yang terutang adalah jumlah Pajak Keluaran setelah dikurangi
    pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai
    tersebut ;

    c.    untuk Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pajak
    yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak yang terutang atau
    telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya
    terutang.

     Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut diterbitkan
    setelah dilakukan pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang
    disampaikan Wajib Pajak yang menyatakan kurang bayar, nihil,
    atau lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan
    pengembalian   kelebihan    pembayaran   pajak   (permohonan
    restitusi).

     Apabila Wajib Pajak setelah menerima Surat Ketetapan Pajak
    Lebih Bayar dan menghendaki pengembalian kelebihan pembayaran
    pajak (restitusi), maka wajib mengajukan permohonan tertulis
    sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2).

     Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih dapat diterbitkan
    lagi apabila berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata pajak
    yang lebih dibayar jumlahnya lebih besar dari kelebihan
    pembayaran pajak yang telah ditetapkan.

Angka 15
    Pasal 17 A
    Menurut ketentuan pasal   ini   Surat   Ketetapan   Pajak   Nihil
    diterbitkan apabila :

    *8664 a.   untuk Pajak Penghasilan, jumlah kredit pajak sama
    dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang
    dan tidak ada kredit pajak ;

    b.    untuk Pajak Pertambahan Nilai, jumlah kredit pajak
    sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak
   terutang dan tidak ada kredit pajak. Apabila terdapat pajak
   terutang yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai,
   maka yang dimaksud dengan jumlah pajak yang terutang adalah
   jumlah Pajak Keluaran setelah dikurangi dengan pajak yang
   dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut ;

   c.    untuk Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pajak
   yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang atau
   pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran pajak.

   Pasal 17 B
    Ayat (1)
    Terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
   harus diterbitkan surat ketetapan pajak selambat-lambatnya
   dua belas bulan sejak surat permohonan diterima secara
   lengkap, dalam arti bahwa Surat Pemberitahuan telah diisi
   lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Untuk kegiatan
   ekspor dan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
   Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jangka waktu
   tersebut   dapat  dipersingkat  dengan   keputusan  Direktur
   Jenderal Pajak. Permohonan dapat disampaikan dengan cara
   mengisi kolom dalam Surat Pemberitahuan atau dengan surat
   tersendiri.

    Surat ketetapan pajak tersebut dapat berupa Surat Ketetapan
   Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Surat
   Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
   17 atau Surat Ketetapan Pajak Nihil sebagaimana dimaksud
   dalam Pasal 17A.

    Ayat (2)
    Dengan batas waktu tersebut pada ayat (1) dimaksudkan untuk
   memberikan kepastian hukum terhadap permohonan Wajib Pajak
   atau Pengusaha Kena Pajak, sehingga bila batas waktu tersebut
   dilewati dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu
   keputusan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan.
   Selain itu, batas waktu tersebut dimaksudkan pula untuk
   kepentingan tertib administrasi perpajakan.

    Ayat (3 )
    Dalam hal Direktur Jenderal Pajak terlambat menerbitkan
   Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar maka oleh Pemerintah
   diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
   kepada Wajib Pajak, dihitung sejak berakhirnya      *8665
   jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan
   saat Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan, bagian
   dari bulan dihitung satu bulan.

Angka 16
    Pasal 18
     Ayat (1 )
     Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang
    Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
   (SKPKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
   Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak
   yang harus dibayar bertambah, merupakan sarana administrasi
   bagi Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan penagihan pajak.

    Ayat (2)
    Cukup jelas

Angka 17
    Pasal 20
    Yang dimaksud dengan penagihan "seketika" adalah penagihan
    yang dilakukan segera tanpa menunggu tanggal jatuh tempo
    pembayaran, sedangkan penagihan "sekaligus" adalah penagihan
    yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak dan
    Tahun Pajak.

Angka 18
    Pasal 21
     Ayat (1)
     Ayat ini menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur
    preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas
    barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di
    muka umum.

    Setelah utang pajak dilunasi baru diselesaikan pembayaran
   kepada kreditur lainnya.

    Maksud dari ayat ini adalah untuk memberi kesempatan kepada
   Pemerintah untuk mendapatkan bagian lebih dahulu dari
   kreditur lain atas hasil pelelangan barang-barang milik
   Penanggung Pajak dimuka umum guna menutupi atau melunasi
   utang pajaknya.

    Ayat (2)
    Cukup jelas

    Ayat (3)
    Cukup jelas

    Ayat (4)
    Cukup jelas

    Ayat (5)
    *8666 Cukup jelas

Angka 19
    Pasal 22
     Ayat (1)
     Saat daluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk
    memberi kepastian hukum kapan utang pajak tersebut tidak
    dapat ditagih lagi.

    Ayat (2)
     Daluwarsa   penagihan   pajak   dapat   melampaui   sepuluh   tahun
    apabila:

     a.   Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Teguran dan
    menyampaikan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak yang tidak
    melakukan pembayaran utang pajak sampai dengan tanggal jatuh
    tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu daluwarsa penagihan
    dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut.

     b.     Wajib Pajak menyatakan pengakuan utang pajak dengan
    cara:

          -   Wajib Pajak mengajukan permohonan angsuran atau
   penundaan pembayaran utang pajak sebelum tanggal jatuh tempo
   pembayaran. Daiam hal seperti itu daluwarsa penagihan
   dihitung sejak tanggal surat permohonan angsuran atau
   penundaan pembayaran utang pajak diterima Direktur Jenderal
   Pajak.

         -    Wajib Pajak mengajukan permohonan keberatan. Dalam
   hal seperti itu daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal
   surat keberatan Wajib Pajak diterima Direktur Jenderal Pajak.

         -    Wajib Pajak melaksanakan pembayaran sebagian utang
   pajaknya. Dalam hal seperti itu daluwarsa penagihan dihitung
   sejak tanggal pembayaran sebagian utang pajak tersebut.

     c.    Terdapat Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat
    Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang diterbitkan
    terhadap Wajib Pajak karena melakukan tindak pidana di bidang
    perpajakan   berdasarkan   putusan    Pengadilan   yang   telah
    memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal seperti itu
    daluwarsa   penagihan  dihitung    sejak   tanggal   penerbitan
    ketetapan pajak tersebut.

Angka 20
    Pasal 23
     Ayat (1)
     *8667 Dalam hal jumlah tagihan pajak tersebut tidak dibayar
    sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran, penagihannya
    dapat dilakukan dengan Surat Paksa. Pengertian kata "dapat"
    pada ayat ini adalah bahwa penagihan pajak dengan Surat Paksa
    baru dilaksanakan apabila Penanggung Pajak tidak melunasi
    utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran atau
    sampai dengan tanggal jatuh tempo penundaan pembayaran atau
    tidak memenuhi angsuran pembayaran pajak.

     Ayat (2)
     Sebelum badan peradilan pajak dibentuk, sanggahan dan/atau
    gugatan Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan Surat Paksa,
    sita atau lelang diajukan kepada Pengadilan Negeri setempat.

     Ayat (3)
     Cukup jelas

Angka 21
    Pasal 25
     Ayat (1)
     Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah
    pajak, dan pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana
    mestinya, maka Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya
    kepada Direktur Jenderal Pajak.

     Keberatan yang diajukan adalah terhadap materi atau isi dari
    ketetapan pajak yaitu jumlah rugi berdasarkan ketentuan
    undang-undang   perpajakan,   jumlah  besarnya   pajak,   dan
    pemotongan atau pemungutan pajak.

     Perkataan "suatu" pada ayat ini dimaksudkan bahwa satu
    keberatan harus diajukan terhadap satu jenis pajak dan satu
    tahun pajak, misalnya:

     Pajak Penghasilan Tahun Pajak 1995 dan Tahun Pajak 1996
    keberatannya harus diajukan masing-masing dalam satu surat
    keberatan tersendiri. Untuk dua tahun pajak tersebut harus
    diajukan dua buah surat keberatan.

     Ayat (2)
     Cukup jelas.

     Ayat (3)
     Batas waktu pengajuan surat keberatan ditentukan dalam waktu
    tiga bulan sejak diterbitkannya surat ketetapan pajak
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan maksud agar supaya
    Wajib Pajak mempunyai waktu yang cukup memadai untuk
    mempersiapkan surat keberatan beserta alasannya.

     *8668 Apabila ternyata bahwa batas waktu tiga bulan tersebut
    tidak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak karena keadaan diluar
    kekuasaan Wajib Pajak (force mayeur), maka tenggang waktu
    selama tiga bulan tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk
    diperpanjang oleh Direktur Jenderal Pajak.

     Ayat (4)
     Cukup jelas

     Ayat (5)
     Tanda bukti atau resi penerimaan surat keberatan      sangat
    diperlukan untuk memenuhi ketentuan formal.

     Diterima atau tidaknya hak mengajukan surat keberatan
    dimaksud, tergantung dipenuhinya ketentuan batas waktu
    sebagaimana dimaksud pada ayat (3), yang dihitung mulai
    diterbitkannya surat ketetapan pajak sampai saat diterimanya
    surat keberatan tersebut.
     Tanda bukti atau resi penerimaan tersebut oleh Wajib Pajak
    dapat juga digunakan sebagai alat kontrol baginya, untuk
    mengetahui sampai kapan batas waktu dua belas bulan
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) berakhir.

     Tanda bukti atau resi penerimaan itu diperlukan untuk
    memastikan bahwa keberatannya dikabulkan, apabila dalam
    jangka waktu tersebut Wajib Pajak tidak menerima surat
    balasan dari Direktur Jenderal Pajak atas keberatan yang
    diajukan.

     Inilah yang dimaksud dengan kata "kepentingan" dalam ayat
    ini.

     Ayat (6)
     Agar   Wajib   Pajak   dapat    menyusun   keberatan  dengan
    alasan-alasan yang kuat, Wajib Pajak diberi hak untuk meminta
    dasar-dasar pengenaan, pemotongan atau pemungutan pajak yang
    telah   ditetapkan,   sebaliknya   Direktur   Jenderal   Pajak
    berkewajiban untuk memenuhi permintaan tersebut di atas.

     Ayat (7)
     Untuk mencegah usaha penghindaran atau penundaan pembayaran
    pajak melalui pengajuan surat keberatan, maka pengajuan
    keberatan tidak menghalangi tindakan penagihan sampai dengan
    pelaksanaan lelang.

      Ketentuan ini perlu dicantumkan dengan maksud agar Wajib
    Pajak   dengan  dalih   mengajukan  keberatan,   untuk tidak
    melakukan kewajiban membayar pajak yang telah ditetapkan,
    sehingga dapat dicegah terganggunya penerimaan negara.
*8669
Angka 22
    Pasal 27
      Ayat (1)
      Cukup jelas

     Ayat (2)
     Cukup jelas

     Ayat (3 )
     Cukup jelas

     Ayat (4)
     Cukup jelas

     Ayat (5)
     Cukup jelas

     Ayat (6)
     Cukup jelas

Angka 23
    Pasal 27A
    Cukup jelas

Angka 24
    Pasal 28
     Ayat (1)
     Cukup jelas

     Ayat (2)
     Cukup jelas

     Ayat (3)
     Cukup jelas

     Ayat (4)
     Pengertian pembukuan telah diatur dalam Pasal 1 huruf v.
    Pengaturan pada ayat ini dimaksudkan agar dari pembukuan
    tersebut dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.

     Selain   dapat   dihitung    besarnya   Pajak   Penghasilan,
    pajak-pajak lainnya juga harus dapat dihitung dari pembukuan
    tersebut. Agar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
    Atas Barang Mewah dapat dihitung dengan benar maka pembukuan
    harus mencatat juga jumlah harga perolehan atau nilai impor,
    jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari
    barang yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah,
    jumlah pembayaran atas pemanfaatan barang kena pajak tidak
    berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
    dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
    di dalam Daerah Pabean, jumlah Pajak Masukan             yang
                                                   *8670
    dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan.

     Dengan demikian pembukuan harus diselenggarakan dengan cara
    atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia misalnya
    berdasarkan Prinsip Akuntansi Indonesia, kecuali peraturan
    perundang-undangan perpajakan menentukan lain.

     Ayat (5)
     Cukup jelas

     Ayat (6)
     Buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen termasuk
    hasil pengolahan data elektronik yang menjadi dasar pembukuan
    atau pencatatan harus disimpan selama sepuluh tahun di
    Indonesia, dengan maksud agar apabila Direktur Jenderal Pajak
    akan mengeluarkan surat ketetapan pajak, bahan pembukuan atau
    pencatatan yang diperlukan masih tetap ada dan dapat segera
    disediakan. Kurun waktu sepuluh tahun penyimpanan buku-buku,
    catatan-catatan, dan dokumen-dokumen yang menjadi dasar
    pembukuan atau pencatatan adalah sesuai dengan ketentuan yang
    mengatur mengenai batas daluwarsa penetapan pajak.

     Ayat (7)
 Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam
metode   pembukuan  dengan   tahun-tahun  sebelumnya,  untuk
mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam
metode pembukuan misalnya penggunaan :

 a.    Stelsel pengakuan penghasilan;
 b.    Tahun buku ;
 c.    Metode penilaian persediaan;
 d.    Metode penyusutan.

 Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan
dan biaya dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh
dan biaya diakui pada waktu terutang. Jadi tidak tergantung
kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar
tunai.

 Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan
penghasilan    berdasarkan   metode   persentase   tingkat
penyelesaian pekerjaan yang umumnya dipakai di bidang
konstruksi dan metode lainnya yang dipakai di bidang usaha
tertentu seperti Build Operate and Transfers (BOT), Real
Estate, dan lain-lain.

 Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya
didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya yang
dibayar secara tunai. Menurut stelsel ini, penghasilan baru
dianggap sebagai penghasilan, bila   *8671 benar-benar telah
diterima tunai dalam suatu periode tertentu, serta biaya baru
dianggap sebagai biaya, bila benar-benar telah dibayar tunai
dalam suatu periode tertentu.

 Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang
pribadi atau perusahaan jasa misalnya transportasi, hiburan,
restoran, yang tenggang waktu antara penyerahan jasa dan
penerimaan pembayarannya tidak berlangsung lama. Dalam
Stelsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang atau
jasa ditetapkan pada saat diterimanya pembayaran dari
langganan, dan biaya-biaya ditetapkan pada saat dibayarnya
barang, jasa, dan biaya operasi lainnya.

 Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan
penghitungan yang mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu
besarnya penghasilan dari tahun ke tahun dapat disesuaikan
dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas. Oleh
karena itu untuk penghitungan Pajak Penghasilan, dalam
memakai stelsel kas harus memperhatikan halhal antara lain
sebagai berikut :

 1)    Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus
meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang
bukan.

      Dalam   menghitung   harga    pokok   penjualan   harus
diperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan.

 2)   Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan
hak-hak yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan
dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan
amortisasi.

 3)    Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas
(konsisten).

      Dengan demikian penggunaan stelsel kas untuk       tujuan
perpajakan dapat juga dinamakan stelsel campuran.

 Ayat (8)
 Pada dasarnya metode-metode pembukuan yang dianut harus taat
asas, yaitu harus sama dengan tahun-tahun sebelumnya,
misalnya dalam hal penggunaan metode pengakuan penghasilan
dan biaya (metode kas atau akrual), metode penyusutan aktiva
tetap, metode penilaian persediaan dan sebagainya. Namun
demikian, perubahan metode pembukuan masih dimungkinkan
dengan syarat telah mendapat persetujuan dari Direktur
Jenderal Pajak. Perubahan metode pembukuan harus diajukan
kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum dimulainya tahun buku
yang bersangkutan dengan   *8672 menyampaikan alasan-alasan
yang logis dan dapat diterima serta akibat-akibat yang
mungkin timbul dari perubahan tersebut.

 Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan
dalam prinsip taat asas yang dapat meliputi perubahan metode
dari kas ke akrual atau sebaliknya atau perubahan penggunaan
metode pengakuan penghasilan atau pengakuan biaya itu
sendiri. Misalnya dalam metode pengakuan biaya yang berkenaan
dengan penyusutan aktiva tetap dengan menggunakan metode
penyusutan tertentu.

 Contoh :

 Wajib Pajak dalam tahun 1995 menggunakan metode penyusutan
garis lurus atau straight line method. Dalam tahun 1996 Wajib
Pajak bermaksud mengubah metode penyusutan aktiva dengan
menggunakan    metode   penyusutan    saldo   menurun    atau
declining-balanced method.

 Untuk   keperluan   tersebut,  Wajib   Pajak    harus    minta
persetujuan terlebih dahulu kepada Direktur Jenderal      Pajak
yang diajukan sebelum dimulainya tahun buku 1996         dengan
menyebutkan   alasan-alasan  dilakukannya   perubahan    metode
penyusutan dan akibat dari perubahan tersebut.

 Selain itu, perubahan periode tahun buku juga berakibat
berubahnya jumlah penghasilan atau kerugian Wajib Pajak, oleh
karena itu perubahan tersebut juga harus mendapat persetujuan
Direktur Jenderal Pajak. Tahun pajak adalah sama dengan tahun
   takwim (tahun kalender) kecuali Wajib Pajak menggunakan tahun
   buku yang tidak sama dengan tahun takwim.

    Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama
   dengan tahun takwim, maka penyebutan tahun pajak yang
   bersangkutan menggunakan tahun yang di dalamnya termasuk enam
   bulan pertama atau lebih.

    Contoh :

    a.    Pembukuan 1 Juli 1995 sampai dengan 30 Juni 1996,
   tahun pajaknya adalah tahun pajak 1995.

    b.   Pembukuan 1 Oktober 1995 sampai dengan 30 September
   1996, tahun pajaknya adalah tahun pajak 1996.

    Ayat (9)
    Cukup jelas

    Ayat (10)
    Pencatatan oleh Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha
   dan pekerjaan bebas meliputi peredaran bruto dan  *8673
   penerimaan penghasilan lainnya, sedangkan bagi mereka yang
   semata-mata   menerima  penghasilan   dari  luar usaha  dan
   pekerjaan bebas pencatatannya hanya mengenai penerimaan
   penghasilan.

    Ayat (11)
    Cukup jelas

    Ayat (12)
    Cukup jelas

Angka 25
    Pasal 29
     Ayat (1)
     Direktur Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan berwenang
    melakukan pemeriksaan untuk :

    a.    Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan ;

    b.    Tujuan lain dalam rangka melaksanakan        ketentuan
   peraturan perundang-undangan perpajakan.

         Pemeriksaan dapat dilakukan di Kantor (Pemeriksaan
   Kantor) atau di tempat Wajib Pajak (Pemeriksaan Lapangan)
   yang ruang lingkup pemeriksaannya dapat meliputi tahun-tahun
   yang lalu maupun tahun berjalan.

         Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak,
   termasuk terhadap instansi pemerintah dan badan lain sebagai
   pemungut pajak atau pemotong pajak.
      Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dengan menelusuri
kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan
pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya, dibandingkan dengan
keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak, yang
dilakukan dengan :

      a.   Menerapkan teknik-teknik pemeriksaan yang lazim
digunakan dalam pemeriksaan pada umumnya, yang dinamakan
Pemeriksaan Lengkap ;

      b.   Menerapkan teknik-teknik pemeriksaan dengan bobot
dan kedalaman yang sederhana sesuai dengan ruang lingkup
pemeriksaan baik dilakukan di kantor maupun di lapangan, yang
dinamakan Pemeriksaan Sederhana.

      Selain itu, Pemeriksaan Sederhana dapat juga dilakukan
untuk tujuan lain, diantaranya :

      *8674 -   menetapkan satu atau lebih tempat terutang
Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 21;

      -     mengukuhkan   atau   mencabut   pengukuhan   Pengusaha
Kena Pajak;

      -    memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau Nomor
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan.

 Ayat (2)
 Cukup jelas

 Ayat (3)
 Wajib Pajak yang diperiksa dalam rangka pengujian tingkat
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakannya atau untuk tujuan
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperlihatkan
dan meminjamkan buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen
dan keterangan-keterangan lain yang diperlukan yang berkaitan
dengan perolehan penghasilan atau kegiatan usaha.

 Bilamana buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen yang
diperlukan tidak dapat diberikan oleh Wajib Pajak dengan
dalih untuk menghindarkan diri, berdasarkan ayat ini petugas
pemeriksa dibolehkan untuk memasuki tempat atau ruangan yang
menurut dugaan petugas digunakan sebagai tempat penyimpanan
buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen tersebut.

 Ayat (4)
 Untuk mencegah adanya dalih terikat pada kerahasiaan,
sehingga      pembukuan,     catatan,    dokumen     serta
keterangan-keterangan lain yang diperlukan tidak dapat
diberikan oleh Wajib Pajak, maka ayat ini menegaskan bahwa
kewajiban merahasiakan itu ditiadakan.
Angka 26
    Pasal 31
    Cukup jelas

Angka 27
    Pasal 32
     Ayat (1)
     Dalam Undang-undang ini ditentukan siapa yang menjadi wakil
    untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak
    terhadap badan, badan dalam pembubaran, warisan yang belum
    dibagi, dan anak yang belum dewasa atau orang yang berada
    dalam pengampuan. Bagi Wajib Pajak tersebut perlu ditentukan
    siapa yang menjadi wakil atau kuasanya, oleh karena mereka
    tidak dapat      *8675 atau tidak mungkin melakukan sendiri
    tindakan hukum tersebut.

     Ayat (2)
     Ayat ini menegaskan bahwa wakil dari Wajib Pajak yang diatur
    dalam Undang-undang ini bertanggung jawab secara pribadi atau
    secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang.

     Pengecualian dapat dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal
    Pajak apabila wakil Wajib Pajak dapat membuktikan dan
    meyakinkan bahwa dalam kedudukannya, menurut kewajaran dan
    kepatutan tidak mungkin dimintakan pertanggungjawaban secara
    pribadi atau secara renteng.

     Ayat (3)
     Ayat ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib
    Pajak untuk minta bantuan pihak lain yang memahami masalah
    perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya membantu
    melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.

     Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan
    materiil serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang ditentukan
    dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.

     Ayat (4)
     Orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan
    kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka
    menjalankan    kegiatan  perusahaan,    misalnya    berwenang
    menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani
    cheque, dan sebagainya, walaupun orang tersebut tidak
    tercantum namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam
    akte   pendirian  maupun  akte  perubahan,   termasuk   dalam
    pengertian pengurus.

Angka 28
    Pasal 34
     Ayat (1)
     Cukup jelas

     Ayat (2)
     Para ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, pengacara dan
    sebagainya yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk
    membantu pelaksanaan Undang-undang perpajakan, adalah sama
    dengan petugas pajak yang dilarang pula untuk mengungkapkan
    kerahasiaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

     Ayat (3)
     Untuk kepentingan negara, misalnya dalam rangka mengadakan
    kerja sama dengan instansi pemerintah                lainnya,
                                              *8676
    keterangan atau bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak
    dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu yang
    ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

     Dalam surat izin yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan
    harus dicantumkan nama Wajib Pajak, nama pihak yang ditunjuk
    dan nama pejabat atau ahli atau tenaga ahli yang diizinkan
    untuk   memberikan  keterangan   atau  memperlihatkan  bukti
    tertulis dari atau tentang Wajib pajak. Pemberian izin
    tersebut dilakukan secara terbatas dalam hal-hal yang
    dipandang perlu oleh Menteri Keuangan.

     Ayat (4)
     Untuk melaksanakan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam
    perkara pidana atau perdata yang berhubungan dengan masalah
    perpajakan, demi kepentingan peradilan Menteri Keuangan
    memberikan izin pembebasan atas kewajiban kerahasiaan kepada
    pejabat pajak termasuk pejabat pajak yang ditugaskan dalam
    badan peradilan pajak atau Majelis Pertimbangan Pajak dan
    para ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
    atas permintaan tertulis Hakim ketua sidang.

     Ayat (5)
     Maksud dari ayat ini adalah merupakan pembatasan dan
    penegasan, bahwa keterangan perpajakan yang diminta tersebut
    adalah hanya mengenai perkara pidana atau perdata tentang
    perbuatan atau peristiwa yang menyangkut bidang perpajakan
    dan hanya terbatas pada tersangka yang bersangkutan.

Angka 29
    Pasal 35
     Ayat (1)
     Untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan
    perpajakan, atas permintaan tertulis Direktur Jenderal Pajak,
    pihak ketiga yaitu bank, akuntan publik, notaris, konsultan
    pajak, kantor administrasi, dan pihak ketiga lainnya yang
    mempunyai hubungan dengan kegiatan usaha Wajib Pajak yang
    diperiksa atau disidik, harus memberikan keterangan atau
    bukti-bukti yang diminta pejabat Direktorat Jenderal Pajak.

     Ayat (2)
     Cukup jelas

Angka 30
   Pasal 38
   Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh
   Wajib Pajak, sepanjang menyangkut tindakan administrasi
   perpajakan dikenakan sanksi administrasi, sedangkan yang
   menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan, dikenakan
   *8677 sanksi pidana. Perbuatan atau tindakan sebagaimana
   dimaksud   dalam  pasal   ini  bukan   merupakan  pelanggaran
   administrasi tetapi merupakan tindak pidana.

   Dengan adanya sanksi pidana tersebut, diharapkan tumbuhnya
   kesadaran Wajib Pajak untuk mematuhi kewajiban perpajakan
   seperti yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
   perpajakan.

   Kealpaan yang dimaksud dalam pasal ini berarti tidak sengaja,
   lalai,    tidak   hati-hati,    atau   kurang    mengindahkan
   kewajibannya,   sehingga   perbuatan   tersebut   menimbulkan
   kerugian pada pendapatan negara.

Angka 31
    Pasal 39
     Ayat (1)
     Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini
    yang dilakukan dengan sengaja dikenakan sanksi yang berat
    mengingat   pentingnya  peranan   penerimaan   pajak  dalam
    penerimaan negara.

    Ayat (2)
    Untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana di
   bidang perpajakan, maka bagi mereka yang melakukan lagi
   tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat satu tahun
   sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana
   penjara yang dijatuhkan, dikenakan pidana lebih berat, ialah
   dilipatkan dua dari ancaman pidana yang diatur pada ayat (1).

    Ayat (3)
    Penyalahgunaan atau penggunaan tanpa hak Nomor Pokok Wajib
   Pajak atau Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, atau
   penyampaian Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau
   tidak lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi
   pajak dan/atau kompensasi pajak yang tidak benar, sangat
   merugikan negara. Oleh karena itu percobaan melakukan tindak
   pidana tersebut merupakan delik tersendiri.

Angka 32
    Pasal 41
     Ayat (1)
     Untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan tidak
    akan diberitahukan kepada pihak lain dan supaya Wajib Pajak
    dalam memberikan data dan keterangan tidak ragu-ragu, dalam
    rangka pelaksanaan undang-undang perpajakan, maka perlu
    adanya sanksi pidana bagi pejabat yang bersangkutan yang
    menyebabkan terjadinya pengungkapan kerahasiaan tersebut.
     Pengungkapan kerahasiaan menurut ayat ini adalah dilakukan
    karena kealpaan dalam arti lalai, tidak hati-hati, atau
    kurang mengindahkan, sehingga kewajiban untuk merahasiakan,
    keterangan, atau bukti-bukti yang ada pada wajib pajak yang
    dilindungi oleh Undang-undang perpajakan, dilanggar. Atas
    kealpaan tersebut dihukum dengan hukuman yang setimpal.

     Ayat (2)
     Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini
    yang dilakukan dengan sengaja dikenakan sanksi yang lebih
    berat dibanding dengan perbuatan atau tindakan yang dilakukan
    karena kealpaan, agar pejabat yang bersangkutan lebih
    berhati-hati untuk tidak melakukan perbuatan membocorkan
    rahasia Wajib Pajak.

     Ayat (3)
     Tuntutan pidana terhadap pelanggaran kerahasiaan sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan sifatnya,
    adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau Badan
    selaku Wajib Pajak, karena itu dijadikan tindak pidana
    pengaduan.

Angka 33
    Pasal 41A
    Agar pihak ketiga memenuhi permintaan Direktur Jenderal Pajak
    sebagaimana diatur dalam Pasal 35 maka perlu adanya sanksi
    bagi pihak ketiga yang melakukan perbuatan atau tindakan
    sebagaimana dimaksud dalam pasal ini.

    Pasal 41B
    Seseorang   yang   melakukan   perbuatan    menghalangi   atau
    mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
    misalnya   menghalangi   Penyidik   melakukan   penggeledahan,
    menyembunyikan   bahan  bukti   dan   sebagainya   sebagaimana
    dimaksud dalam pasal ini, dikenakan sanksi pidana.

Angka 34
    Pasal 42
    Cukup jelas

Angka 35
    Pasal 43
     Ayat (1)
     Yang dipidana karena melakukan perbuatan tindak pidana di
    bidang perpajakan tidak terbatas pada Wajib Pajak, wakil
    Wajib Pajak, kuasa Wajib Pajak, atau pegawai Wajib Pajak,
    namun juga terhadap mereka yang menyuruh melakukan, yang
    turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu
    melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

     Ayat (2)
     Cukup jelas
Angka 36
    *8678 Pasal 44
     Ayat (1)
     Penyidik di bidang perpajakan adalah pejabat pegawai negeri
    tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang
    diangkat oleh Menteri Kehakiman sesuai dengan ketentuan
    peraturan perundang-undangan yang berlaku.

     Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dilaksanakan
    menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8
    Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan peraturan
    pelaksanaannya.

     Ayat (2)
     Cukup jelas

     Ayat (3)
     Cukup jelas

Angka 37
    Pasal 44A
    Dalam hal penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
    dihentikan kecuali karena peristiwanya telah daluwarsa, maka
    surat ketetapan pajak tetap dapat diterbitkan.

     Pasal 44B
     Ayat (1)
     Cukup jelas

     Ayat (2)
     Cukup jelas

Angka 38
    Pasal 47
    Ketentuan pasal ini dihapus, karena secara substantif
    merupakan materi dari Undang-undang tentang Pajak Penghasilan
    dan telah diatur dalam undang-undang tersebut.

Pasal II
    Cukup jelas

Pasal III
    Cukup jelas

Pasal IV
    Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK lNDONESIA NOMOR 3566

                   --------------------------------

                               CATATAN
Kutipan:   LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1994


Silahkan download versi PDF nya sbb:
perubahan_atas_undang_undang_nomor_6_tahun_1983_(_9.pdf
(ogi/Carapedia)
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.
FIND US ON FACEEBOOK