Previous
Next
  • Home
  • »
  • Undang-Undang
  • »
  • 1990
  • » Undang-Undang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 (UU 9 thn 1990)

1990

Undang-Undang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 (UU 9 thn 1990)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 :

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983
TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG
UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991

Bentuk:      UNDANG-UNDANG (UU)

Oleh:              PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor:        10 TAHUN 1994 (10/1994)

Tanggal:      9 NOPEMBER 1994 (JAKARTA)

Sumber:       LN 1994/60; TLN NO. 3567

Tentang:   PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983
     TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN
     UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991

                   DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                     PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:     a.   bahwa pelaksanaan pembangunan nasional telah
     menghasilkan   perkembangan  yang   pesat   dalam  kehidupan
     nasional,   khususnya   di  bidang   perekonomian,  termasuk
     berkembangnya bentuk-bentuk dan praktek penyelenggaraan
     kegiatan usaha yang belum tertampung dalam Undang-undang
     Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
     telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991;

              b.  bahwa dalam upaya untuk selalu menjaga agar
        perkembangan perekonomian seperti tersebut di atas dapat
        tetap berjalan sesuai dengan kebijakan pembangunan yang
        bertumpu pada Trilogi Pembangunan sebagaimana diamanatkan
        dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, dan seiring dengan
        itu dapat diciptakan kepastian hukum yang berkaitan dengan
        aspek    perpajakan   bagi    bentuk-bentuk   dan    praktek
        penyelenggaraan kegiatan usaha yang terus berkembang,
        diperlukan langkah-langkah penyesuaian yang memadai terhadap
        Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,
        sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun
        1991;

             c.   bahwa untuk mewujudkan hal-hal tersebut, dipandang
        perlu mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor
        7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah
        diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991;

Mengingat:      1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan
     Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 ;
          2.   Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
     Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983
     Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262), sebagaimana
     telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994
     (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran
     Negara Nomor 3566);

          3.   Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
     Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan
     Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah diubah dengan
     Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Tahun 1991
     Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459);

                        Dengan persetujuan
            DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

                              MEMUTUSKAN :

Menetapkan :   UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
     NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA
     TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991.

                                 Pasal I

Mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991, sebagai berikut:

1.   Ketentuan Pasal 1 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai
     berikut :

                                "Pasal 1

     Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas
     penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun
     pajak."

2.   Ketentuan Pasal      2   diubah,    sehingga   seluruhnya   berbunyi
     sebagai berikut:

                                "Pasal 2

     (1)    Yang menjadi Subjek Pajak adalah:

           a.   1)      orang pribadi;

               2)   warisan yang belum          terbagi   sebagai    satu
     kesatuan, menggantikan yang berhak;

          b.   badan, terdiri dari perseroan terbatas, perseroan
     komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara dan
     badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk
     apapun, persekutuan, perkumpulan, frma, kongsi, koperasi,
        yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun,
        dan bentuk badan usaha lainnya;

              c.    bentuk usaha tetap.

        (2)   Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam negeri
        dan Subjek Pajak luar negeri.

        (3)    Yang dimaksud dengan Subjek Pajak dalam negeri adalah:

             a.   orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia
        atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183
        (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
        belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun
        pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat
        tinggal di Indonesia;

             b.    badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
        Indonesia;

             c.   warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan,
        menggantikan yang berhak.

        (4)    Yang dimaksud dengan Subjek Pajak luar negeri adalah:

             a.   orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
        Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183
        (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
        belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
        bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau
        melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;

             b.    orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
        Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183
        (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
        belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
        bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau
        memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan
        usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
        Indonesia.

        (5) Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk
        usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
        bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia
        tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
        jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak
        didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk
        menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang
        dapat berupa:
*8681
              a.    tempat kedudukan manajemen;

              b.    cabang perusahaan;
          c.    kantor perwakilan;

          d.    gedung kantor;

          e.    pabrik;

          f.    bengkel;

           g.   pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah
     kerja    pengeboran    yang  digunakan   untuk   eksplorasi
     pertambangan;

          h.    perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau
     kehutanan;

          i.    proyek     konstruksi,    instalasi,   atau   proyek
     perakitan;

          j.   pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai
     atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60
     (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;

          k.   orang atau badan yang bertindak selaku agen yang
     kedudukannya tidak bebas;

          l.    agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang
     tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
     yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di
     Indonesia.

     (6) Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan
     badan ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut
     keadaan yang sebenarnya."

3.   Menambah ketentuan baru diantara Pasal 2 dan Pasal 3 yang
     dijadikan Pasal 2A, yang berbunyi sebagai berikut:

                              "Pasal 2A

     (1) Kewajiban pajak subjektif orang pribadi sebagaimana
     dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dimulai pada saat
     orang pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau berniat
     untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat
     meninggal   dunia   atau   meninggalkan   Indonesia   untuk
     selama-lamanya.

     (2) Kewajiban pajak subjektif badan sebagaimana dimaksud
     dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dimulai pada saat badan
     tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan
     berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat
     kedudukan di Indonesia.
     (3) Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan
     sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a dimulai
     pada saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan
     usaha atau melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
     Pasal 2 ayat (5) dan berakhir pada saat tidak lagi
     menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
     usaha tetap.

     (4) Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan
     sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b dimulai
     pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau
     memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir pada saat
     tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.

     (5) Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum           terbagi
     sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a       angka 2)
     dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum             terbagi
     tersebut dan berakhir pada saat warisan tersebut           selesai
     dibagi.

     (6) Apabila kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang
     bertempat tinggal atau yang berada di Indonesia hanya
     meliputi sebagian dari tahun pajak, maka bagian tahun pajak
     tersebut menggantikan tahun pajak. "
*8682
4.     Ketentuan Pasal   3   diubah,   sehingga   seluruhnya   berbunyi
      sebagai berikut:

                               "Pasal 3

     Tidak termasuk Subjek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
     2 adalah:

     a.    badan perwakilan negara asing;

     b.   pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau
     pejabat--pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang
     yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
     bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan
     warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau
     memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya di Indonesia,
     serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal
     balik;

     c.   organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan
     oleh Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha
     atau melakukan kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan di
     Indonesia;

     d.   pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional
     yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan syarat bukan
     warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau
     melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
        penghasilan di Indonesia."

5.       Ketentuan Pasal   4   diubah,   sehingga   seluruhnya    berbunyi
        sebagai berikut:

                                 "Pasal 4

        (1) Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu
        setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
        diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
        maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
        konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
        bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:

              a.    penggantian   atau   imbalan   berkenaan  dengan
        pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk
        gaji,    upah,   tunjangan,    honorarium,   komisi,  bonus,
        gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk
        lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;

             b.    hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan,
        dan penghargaan;

             c.    laba usaha;

             d.   keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan
        harta termasuk:

                  1)   keuntungan karena pengalihan harta kepada
        perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti
        saham atau penyertaan modal;

                  2)   keuntungan    yang     diperoleh   perseroan,
        persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada
        pemegang saham, sekutu, atau anggota;

                  3)   keuntungan karena likuidasi, penggabungan,
        peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha;

                  4)   keuntungan karena pengalihan harta berupa
        hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada
        keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat,
        dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial
        atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh
        Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan
        usaha,   pekerjaan,  kepemilikan   atau  penguasaan   antara
        pihak-pihak yang bersangkutan;

                    e. penerimaan kembali      pembayaran   pajak     yang
*8683
        telah dibebankan sebagai biaya;

             f.   bunga termasuk premium,      diskonto,    dan    imbalan
        karena jaminan pengembalian utang;
     g.   dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun,
termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang
polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;

      h.    royalti;

     i.    sewa dan    penghasilan   lain   sehubungan      dengan
penggunaan harta;

      j.    penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

      k.    keuntungan karena pembebasan utang;

      l.    keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;

      m.    selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

      n.    premi asuransi;

     o.   iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan
dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, sepanjang iuran
tersebut ditentukan berdasarkan volume kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas anggotanya;

     p.   tambahan   kekayaan   neto    yang      berasal     dari
penghasilan yang belum dikenakan pajak.

(2) Atas     penghasilan   berupa   bunga    deposito   dan
tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham
dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari
pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan serta
penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur
dengan peraturan pemerintah.

(3)   Yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah :

      a.   1)   bantuan atau sumbangan;

          2)    harta hibahan yang diterima oleh keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh
badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau
pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan;

          sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan;

      b.    warisan;

      c.   harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh
     badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (I) huruf b
     sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan
     modal;

          d.   penggantian atau   imbalan  sehubungan  dengan
     pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam
     bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau
     pemerintah;

          e.    pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang
     pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi
     kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
     bea siswa;

          f.   dividen atau bagian laba yang diterima atau
     diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam
     negeri, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis,
     badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah,
     dari penyertaan modal             pada   badan  usaha yang
                               *8684
     didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia;

          g.   iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun
     yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang
     dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai, dan penghasilan
     dana pensiun tersebut dari modal yang ditanamkan dalam
     bidang-bidang   tertentu   yang  ditetapkan   oleh   Menteri
     Keuangan;

          h.   bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota
     dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas
     saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi;

          i.   bunga obligasi     yang   diterima    atau     diperoleh
     perusahaan reksa dana;

          j.   penghasilan  yang   diterima   atau   diperoleh
     perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan
     pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau
     kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha
     tersebut:

               1)   merupakan perusahaan kecil, menengah,          atau
     yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha           yang
     ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan

               2)     sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek
     di Indonesia."

6.    Ketentuan Pasal   5   diubah,   sehingga   seluruhnya    berbunyi
     sebagai berikut:

                              "Pasal 5
     (1)   Yang menjadi Objek Pajak bentuk usaha tetap adalah:

          a.   penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha
     tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai;

          b.   penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan,
     penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang
     sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh
     bentuk usaha tetap di Indonesia;

          c.   penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26
     yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang
     terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan
     harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.

     (2) Biaya-biaya     yang   berkenaan    dengan   penghasilan
     sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c boleh
     dikurangkan dari penghasilan bentuk usaha tetap.

     (3)    Dalam   menentukan    besarnya   laba   suatu   bentuk   usaha
     tetap:

          a.   biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan
     untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha
     atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya ditetapkan
     oleh Direktur Jenderal Pajak;

          b.   pembayaran   kepada   kantor  pusat           yang    tidak
     diperbolehkan dibebankan sebagai biaya adalah:

               1)   royalti   atau  imbalan  lainnya   sehubungan
     dengan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya;

               2)      imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan
     jasa lainnya;

               3)     bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan
     usaha perbankan;

          *8685 c. pembayaran sebagaimana tersebut pada huruf b
     yang diterima atau diperoleh dari kantor pusat tidak
     dianggap sebagai Objek Pajak, kecuali bunga yang berkenaan
     dengan usaha perbankan."

7.    Ketentuan Pasal    6   diubah,   sehingga     seluruhnya   berbunyi
     sebagai berikut:

                                 "Pasal 6

     (1) Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam
     negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan
     penghasilan bruto dikurangi:
          a.   biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
     penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan
     dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium,
     bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam
     bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya
     pengolahan limbah, piutang yang nyata-nyata tidak dapat
     ditagih, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak
     kecuali Pajak Penghasilan;

          b.    penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta
     berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh
     hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih
     dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan
     Pasal 11A;

          c.   iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
     disahkan oleh Menteri Keuangan;

          d.   kerugian karena penjualan atau pengalihan harta
     yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang
     dimiliki   untuk  mendapatkan,  menagih,  dan   memelihara
     penghasilan;

           e.    kerugian karena selisih kurs mata uang asing;

          f.   biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang
     dilakukan di Indonesia;

           g.    biaya bea siswa, magang, dan pelatihan.

     (2) Apabila    penghasilan    bruto    setelah   pengurangan
     sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian, maka
     kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai
     tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima)
     tahun.

     (3) Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri
     diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak
     sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7."

8.    Ketentuan Pasal   7   diubah,   sehingga   seluruhnya   berbunyi
     sebagai berikut:

                              "Pasal 7

     (1)    Penghasilan Tidak Kena Pajak diberikan sebesar:

          a.    Rp 1.728.000,00 (satu juta tujuh ratus dua puluh
     delapan ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;

          b.   Rp 864.000,00 (delapan ratus enam puluh empat ribu
     rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
          c.   Rp 1.728.000,00 (satu juta tujuh ratus dua puluh
     delapan ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang
     penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana
     dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1);

          d.    Rp 864.000,00 (delapan, ratus enam puluh empat
     ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah
     dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak
     angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3
     (tiga) orang untuk setiap keluarga.

     *8686 (2) Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada
     awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak.

     (3) Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak tersebut pada
     ayat (1) akan disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian
     yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan."

9.   Ketentuan Pasal 8 disempurnakan dan ditambah dengan beberapa
     ketentuan   baru,  sehingga   seluruhnya  berbunyi   sebagai
     berikut:

                             "Pasal 8

     (1) Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang
     telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian
     tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari
     tahun-tahun     sebelumnya     yang    belum    dikompensasikan
     sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai
     penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan
     tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu)
     pemberi   kerja   yang   telah    dipotong   pajak  berdasarkan
     ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada
     hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau
     anggota keluarga lainnya.

     (2)   Penghasilan   suami-isteri    dikenakan   pajak   secara
     terpisah apabila:

          a.    suami-isteri telah hidup berpisah;

          b.   dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri
     berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan.

     (3) Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada
     ayat (2) huruf b dikenakan pajak berdasarkan penggabungan
     penghasilan neto suami-isteri, dan besarnya pajak yang harus
     dilunasi oleh masing--masing suami-isteri dihitung sesuai
     dengan perbandingan penghasilan neto mereka.

     (4) Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan
     penghasilan orang tuanya, kecuali penghasilan dari pekerjaan
     yang tidak ada hubungannya dengan usaha orang yang mempunyai
      hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
      (4) huruf c."

10.    Ketentuan Pasal    9     diubah,   sehingga    seluruhnya   berbunyi
      sebagai berikut:

                                  "Pasal 9

      (1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi
      Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh
      dikurangkan:

           a.   pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun
      seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh
      perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian
      sisa hasil usaha koperasi;

           b.   biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk
      kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota;

           c.   pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali
      cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna
      usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan
      cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang
      ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan oleh Menteri
      Keuangan;

           d.   premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
      asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa,
      yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika
      dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung
      sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;

           e.   penggantian    atau   imbalan  sehubungan   dengan
      pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan
      kenikmatan, kecuali penggantian atau imbalan dalam bentuk
      natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan pemberian dalam
      bentuk natura dan     *8687 kenikmatan yang berkaitan dengan
      pelaksanaan pekerjaan, yang ditetapkan dengan keputusan
      Menteri Keuangan;

           f.   jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan
      kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai
      hubungan   istimewa   sebagai imbalan  sehubungan dengan
      pekerjaan yang dilakukan;

           g.   harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan
      warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a
      dan huruf b;

           h.    Pajak Penghasilan;

           i.   biaya    yang    dibebankan    atau    dikeluarkan    untuk
      kepentingan pribadi     Wajib   Pajak   atau   orang   yang    menjadi
      tanggungannya;

           j.     gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan,
      firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi
      atas saham;

           k.   sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan
      kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan
      dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.

      (2) Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
      penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)
      tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan
      dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11 A."

11.    Ketentuan Pasal   10   diubah,   sehingga     seluruhnya     berbunyi
      sebagai berikut:

                               "Pasal 10

      (1) Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi
      jual beli harta yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) adalah jumlah
      yang sesungguhnya dikeluarkan atau diterima, sedangkan
      apabila terdapat hubungan istimewa adalah jumlah yang
      seharusnya dikeluarkan atau diterima.

      (2) Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi
      tukar-menukar   harta   adalah    jumlah   yang    seharusnya
      dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.

      (3) Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan
      dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
      pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah jumlah yang
      seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga
      pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.

      (4)   Apabila terjadi pengalihan harta:

           a.   yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, maka dasar penilaian
      bagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai sisa buku
      dari pihak yang melakukan pengalihan atau nilai yang
      ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;

           b.   yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a, maka dasar penilaian bagi
      yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar dari harta
      tersebut.

      (5)   Apabila terjadi pengalihan harta sebagaimana dimaksud
        dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c, maka dasar penilaian harta
        bagi badan yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar
        dari harta tersebut.

        (6) Persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan
        harga pokok dinilai berdasarkan harga perolehan yang
        dilakukan secara rata-rata atau dengan cara mendahulukan
        persediaan yang diperoleh pertama."

12.      Ketentuan Pasal   11   diubah,   sehingga   seluruhnya   berbunyi
        sebagai berikut:

                                 "Pasal 11
*8688
        (1) Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian,
        penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud,
        kecuali   tanah,   yang   dimiliki    dan  digunakan   untuk
        mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
        mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan
        dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang
        telah ditentukan bagi harta tersebut.

        (2) Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana
        dimaksud pada ayat (1) selain bangunan, dapat juga dilakukan
        dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang
        dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai
        sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku
        disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat
        asas.

        (3) Penyusutan dimulai pada tahun dilakukannya pengeluaran,
        kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan,
        penyusutannya dimulai pada tahun selesainya pengerjaan harta
        tersebut.

        (4) Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak
        diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada tahun harta
        tersebut   digunakan   untuk    mendapatkan,   menagih,  dan
        memelihara   penghasilan   atau    pada  tahun   harta  yang
        bersangkutan mulai menghasilkan.

        (5) Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva
        berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19,
        maka dasar penyusutan atas harta adalah nilai setelah
        dilakukan penilaian kembali aktiva tersebut.

        (6) Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan            tarif
        penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut:

                                  Kelompok
                                    Harta
                                  Berwujud
                                Masa Manfaat
                           Tarif Penyusutan
                             sebagaimana
                            dimaksud pada
Ayat (1)
Ayat (2)I. Bukan bangunan
     Kelompok 1
     Kelompok 2
     Kelompok 3
     Kelompok 4

II. Bangunan
     Permanen
     Tidak Permanen

        4 tahun
        8 tahun
        16 tahun
        20 tahun

        20 tahun
        10 tahun

25%
12,5%
6,25%
5%

5%
10%

50%
25%
12,5%
10%

-
-
        (7) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana diatur pada ayat
        (1), ketentuan tentang penyusutan atas harta berwujud yang
        dimiliki dan digunakan dalam usaha tertentu, ditetapkan
        dengan keputusan Menteri Keuangan.

        (8) Apabila    terjadi  pengalihan   atau  penarikan   harta
        sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d atau
        penarikan harta karena sebab lainnya, maka jumlah nilai sisa
        buku harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah
        harga jual atau penggantian asuransinya yang diterima atau
        diperoleh   dibukukan   sebagai   penghasilan   pada   tahun
        terjadinya penarikan harta tersebut.

        (9) Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima
        jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa
        kemudian, maka dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak
        jumlah sebesar kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (8)
        dibukukan sebagai beban masa kemudian tersebut.

        (10) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat
        sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan
        huruf b, yang berupa harta berwujud, maka jumlah nilai sisa
        buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian
        bagi pihak yang mengalihkan.
*8689
        (11) Kelompok harta berwujud sesuai dengan masa manfaat
        sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan dengan
        keputusan Menteri Keuangan."

13.      Menambah ketentuan baru diantara Pasal 11 dan Pasal 12 yang
        dijadikan Pasal 11A, yang berbunyi sebagai berikut:

                              "Pasal 11 A

        (1)   Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak
        berwujud dan pengeluaran lainnya yang mempunyai masa manfaat
        lebih dari 1 (satu) tahun yang digunakan untuk mendapatkan,
        menagih,   dan  memelihara   penghasilan,  dilakukan   dalam
        bagian-bagian yang sama besar atau dalam bagian-bagian yang
        menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara
        menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau
        atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat
        diamortisasi sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat
        asas.

        (2) Untuk menghitung amortisasi, masa      manfaat   dan   tarif
        amortisasi ditetapkan sebagai berikut:

Kelompok           Masa Manfaat   Tarif Amortisasi
Harta Tak                         berdasarkan metode
Berwujud                          Garis Lurus      Saldo Menurun

Kelompok    1.     4 tahun         25%            50%
Kelompok    2.     8 tahun         12,5%          25%
Kelompok    3.     16 tahun        6,25%          12,5%
Kelompok    4.         20 tahun        5%             10%

        (3)   Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan
        modal suatu perusahaan dibebankan pada tahun terjadinya
        pengeluaran atau diamortisasi sesuai dengan ayat (2).

        (4) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan
        pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
        (satu) tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi
        dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi.

        (5) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak
        penambangan selain yang dimaksud pada ayat (4), hak
        pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta
      hasil alam lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
      (satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan metode satuan
      produksi setinggi-tingginya 20% (dua puluh persen) setahun.

      (6) Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial
      yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun,
      dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi sesuai dengan ayat
      (2).

      (7) Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau
      hak-hak seperti tersebut pada ayat (1), ayat (4), dan ayat
      (5), maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut
      dibebankan sebagai kerugian dan jumlah yang diterima sebagai
      penggantian merupakan penghasilan pada tahun terjadinya
      pengalihan tersebut.

      (8) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan
      huruf b, yang berupa harta tak berwujud, maka jumlah nilai
      sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai
      kerugian bagi pihak yang mengalihkan."

14.    Ketentuan Pasal 12 dihapus.

15.    Ketentuan Pasal 13 dihapus.

16.    Ketentuan Pasal 14   diubah,   sehingga   seluruhnya   berbunyi
      sebagai berikut :

                             "Pasal 14

      (1) Norma Penghitungan Peredaran Bruto untuk menentukan
      peredaran bruto dan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
      untuk menentukan penghasilan           neto,   dibuat   dan
                                     *8690
      disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur
      Jenderal Pajak berdasarkan pegangan yang ditetapkan oleh
      Menteri Keuangan.

      (2) Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya dalam
      satu tahun kurang dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta
      rupiah),   boleh   menghitung    penghasilan  neto   dengan
      menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1), dengan syarat memberitahukan kepada
      Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
      pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.

      (3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
      menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma
      Penghitungan   Penghasilan   Neto,  wajib menyelenggarakan
      pencatatan sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang
      Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

      (4)   Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
      tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk
      menghitung   penghasilan   neto  dengan  menggunakan   Norma
      Penghitungan     Penghasilan    Neto,   dianggap     memilih
      menyelenggarakan pembukuan.

      (5) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan,
      termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
      ayat (4), yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya
      menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan peredaran bruto
      atau   tidak   memperlihatkan  pembukuan   atau  pencatatan
      peredaran bruto atau bukti-bukti pendukungnya, sehingga
      tidak diketahui besarnya peredaran bruto yang sebenarnya,
      maka peredaran bruto dan penghasilan netonya dihitung
      berdasarkan norma penghitungan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1).

      (6) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan,
      termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
      yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan
      pembukuan,   atau   tidak  memperlihatkan   pembukuan atau
      bukti-bukti pendukungnya tetapi dapat diketahui peredaran
      bruto yang sebenarnya, maka penghasilan netonya dihitung
      berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

      (7) Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat
      (2) dapat diubah dengan keputusan Menteri Keuangan."

17.    Ketentuan Pasal 15 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai
      berikut:

                               "Pasal 15

      Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan neto
      dari Wajib Pajak tertentu yang tidak dapat dihitung
      berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3)
      ditetapkan Menteri Keuangan."

18.    Ketentuan Pasal   16   diubah,   sehingga   seluruhnya   berbunyi
      sebagai berikut:

                               "Pasal 16

      (1) Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif
      bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam suatu tahun pajak
      dihitung   dengan   cara   mengurangkan  dari   penghasilan
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dengan
      pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan
      ayat (2), Pasal 7 ayat (1), dan Pasal 9 ayat (1) huruf c,
      huruf d, dan huruf e.

      (2) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi
      dan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dihitung
      dengan menggunakan norma penghitungan sebagaimana dimaksud
      dalam pasal tersebut, dan untuk Wajib Pajak orang pribadi
      dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).

      (3) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri
      yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu
      bentuk usaha tetap di Indonesia dalam suatu tahun pajak
      dihitung    dengan   cara   mengurangkan   dari   penghasilan
      sebagaimana    dimaksud   dalam   Pasal  5   ayat   (1)   dan
      memperhatikan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dengan
      pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan
      ayat (3), Pasal 6     *8691 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal
      9 ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf.

      (4) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi
      dalam negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian tahun
      pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (6) dihitung
      berdasarkan penghasilan neto yang diterima atau diperoleh
      dalam bagian tahun pajak yang disetahunkan."

19.   Ketentuan Pasal 17        diubah,   sehingga    seluruhnya    berbunyi
      sebagai berikut :

                                 "Pasal 17

      (1)   Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena
      Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap
      adalah sebagai berikut:

            Lapisan Penghasilan Kena Pajak                 Tarif Pajak

            sampai dengan Rp 25.000.000,00                      10%
            (dua puluh lima juta rupiah)                   (sepuluh
persen)

            di atas Rp 25.000.000,00                       15%
            (dua puluh lima juta rupiah) s/d                (lima      belas
persen)
            Rp 50.000.000,00 (lima puluh-
            juta rupiah)

            di atas Rp 50.000.000,00                        30%
            (lima puluh juta rupiah)                  (tiga puluh persen)

      (2) Dengan     Peraturan    Pemerintah,   tarif   tertinggi
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diturunkan menjadi
      serendah-rendahnya 25% (dua puluh lima persen).

      (3)   Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dapat diubah dengan keputusan Menteri
      Keuangan.

      (4)   Untuk   keperluan    penerapan    tarif    pajak   sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1), jumlah Penghasilan           Kena    Pajak
      dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.

      (5) Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang
      pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian tahun
      pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) dihitung
      sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut
      dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan dengan pajak
      yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak.

      (6) Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud
      pada ayat (5), tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga
      puluh) hari.

      (7) Dengan peraturan pemerintah dapat ditetapkan tarif
      pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak
      tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1)."

20.   Ketentuan Pasal    18   diubah,   sehingga   seluruhnya   berbunyi
      sebagai berikut:

                               "Pasal 18

      (1) Menteri   Keuangan  berwenang  mengeluarkan keputusan
      mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal
      perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan
      Undang-undang ini.

      (2) Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya
      dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal
      pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang
      menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai
      berikut:

           a.   besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri
      tersebut sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari
      jumlah saham yang disetor; atau

           *8692 b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam
      negeri lainnya memiliki penyertaan modal sebesar 50% (lima
      puluh persen) atau lebih dari jumlah saham yang disetor.

      (3) Direktur Jenderal Pajak berwenang menentukan kembali
      besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang
      sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena
      Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa
      dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan
      kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan
      istimewa.

      (4) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
      Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10
      ayat (1) dianggap ada apabila:

           a.   Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung
      atau tidak langsung sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau
      lebih pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib
      Pajak dengan penyertaan 25% (dua puluh lima persen) atau
      lebih pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula
      hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut
      terakhir; atau

           b.   Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya, atau
      dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang
      sama baik langsung maupun tidak langsung; atau

           c.   terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun
      semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu
      derajat.

      (5) Apabila Wajib Pajak badan dalam negeri memiliki
      penyertaan modal langsung atau tidak langsung sebesar 25%
      (dua puluh lima persen) atau lebih pada Wajib Pajak badan
      dalam negeri lainnya, maka lapisan tarif rendah sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 17 hanya diterapkan pada 1 (satu) Wajib
      Pajak saja."

21.   Ketentuan Pasal    19   diubah,   sehingga   seluruhnya   berbunyi
      sebagai berikut:

                               "Pasal 19

      (1) Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang
      penilaian kembali aktiva dan faktor penyesuaian apabila
      terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dengan
      penghasilan karena perkembangan harga.

      (2) Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri
      dengan keputusan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi
      tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
      ayat (1)."

22.   Ketentuan Pasal 20      diubah,   sehingga   seluruhnya   berbunyi
      sebagai berikut :

                               "Pasal 20

      (1) Pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun
      pajak, dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan
      melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain,
      serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri.

      (2) Pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      dilakukan untuk setiap bulan atau masa lain yang ditetapkan
      oleh Menteri Keuangan.

      (3) Pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap
      Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang
      bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan
      pajaknya bersifat final."

23.    Ketentuan Pasal   21    diubah,   sehingga   seluruhnya   berbunyi
      sebagai berikut:

                                "Pasal 21

      (1) Pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas
      penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan
      dengan nama dan      *8693 dalam bentuk apapun yang diterima
      atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, wajib
      dilakukan oleh:

           a.   pemberi   kerja   yang    membayar   gaji,   upah,
      honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan
      sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau
      bukan pegawai;

           b.   bendaharawan pemerintah yang membayar gaji, upah,
      honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain, sehubungan
      dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;

           c.   dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang
      pensiun dan pembayaran lain dengan nama apapun dalam rangka
      pensiun;

           d.   badan yang membayar honorarium atau pembayaran
      lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa
      tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas;

           e.   perusahaan, badan, dan penyelenggara kegiatan yang
      melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu
      kegiatan.

      (2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang                 wajib
      melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan               pajak
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah:

           a.    badan perwakilan negara asing;

           b.    organisasi     internasional   yang   ditetapkan    oleh
      Menteri Keuangan.

      (3) Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong
      pajak untuk setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto
      setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun
      yang besarnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, iuran
      pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak.

      (4) Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai
      tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah
      penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang
      tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan oleh
      Menteri Keuangan.

      (5) Tarif pemotongan atas pembayaran sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) adalah sama dengan tarif pajak sebagaimana
      tersebut dalam Pasal 17.

      (6) Pajak yang telah dipotong atas penghasilan yang
      diterima atau diperoleh sehubungan dengan pekerjaan dari 1
      (satu) pemberi kerja sesuai dengan ketentuan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), merupakan pelunasan
      pajak yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan,
      kecuali pegawai atau pensiunan tersebut menerima atau
      memperoleh penghasilan lain yang bukan penghasilan yang
      pajaknya telah dibayar atau dipotong dan bersifat final
      menurut Undang-undang ini.

      (7) Menteri Keuangan berwenang untuk menetapkan pemotongan
      pajak yang bersifat final atas penghasilan yang diterima
      atau diperoleh sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau
      kegiatan tertentu.

      (8) Petunjuk mengenai pelaksanaan pemotongan, penyetoran,
      dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan
      pekerjaan, jasa, atau kegiatan ditetapkan oleh Direktur
      Jenderal Pajak."

24.    Ketentuan Pasal   22   diubah,   sehingga   seluruhnya   berbunyi
      sebagai berikut:

                               "Pasal 22

      (1) Menteri    Keuangan    dapat   menetapkan    bendaharawan
      pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran
      atas penyerahan barang, dan badan-badan tertentu untuk
      memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di
      bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.

      *8694 (2) Ketentuan mengenai dasar pemungutan,        sifat dan
      besarnya pungutan, tata cara penyetoran, dan          tata cara
      pelaporan   pajak  sebagaimana   dimaksud pada        ayat  (1)
      ditetapkan oleh Menteri Keuangan."

25.    Ketentuan Pasal   23   diubah,   sehingga   seluruhnya   berbunyi
      sebagai berikut:

                               "Pasal 23
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan
dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan
pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau
bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib
membayarkan:

        a.    sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto
atas:

             1)    dividen;

          2)   bunga,   termasuk  premium,   diskonto,                 dan
imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;

             3)    royalti;

          4)   hadiah dan penghargaan selain yang telah
dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 ayat (1) huruf e;

     b.   sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto
dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh
koperasi;

     c.   sebesar 15% (lima        belas     persen)    dari    perkiraan
penghasilan neto atas:

          1)   sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta;

          2)   imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa
manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain
selain   jasa   yang  telah   dipotong  Pajak  Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

(2) Besarnya perkiraan penghasilan neto dan jenis jasa lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.

(3) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat
ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Pemotongan pajak        sebagaimana    dimaksud     pada    ayat   (1)
tidak dilakukan atas:

        a.    penghasilan   yang   dibayar    atau     terutang    kepada
bank;

     b.   sewa yang dibayarkan atau terutang                   sehubungan
dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
          c.    dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
     (3) huruf f;

          d.   bunga obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
     ayat (3) huruf i;

          e.    bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
     ayat (3) huruf j;

          f.    sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh
     koperasi kepada anggotanya;

          g.   bunga simpanan yang tidak melebihi batas              yang
     ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dibayarkan                oleh
     koperasi kepada anggotanya."
*8695
26.    Ketentuan Pasal   24   diubah,    sehingga   seluruhnya   berbunyi
      sebagai berikut:

                               "Pasal 24

     (1) Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas
     penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh
     Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak
     yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun
     pajak yang sama.

     (2) Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
     (1) adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau
     terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi
     penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang
     ini.

     (3) Dalam   menghitung     batas      jumlah   pajak yang  boleh
     dikreditkan, penentuan     sumber     penghasilan adalah sebagai
     berikut:

          a.   penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya
     adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau
     sekuritas tersebut bertempat kedudukan;

          b.   penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa
     sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah negara
     tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti,
     atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada;

          c.   penghasilan      berupa  sewa   sehubungan  dengan
     penggunaan harta tak       gerak adalah negara tempat harta
     tersebut terletak;

          d.   penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa,
     pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang
      membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan
      atau berada;

           e.   penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara
      tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau
      melakukan kegiatan.

      (4) Penentuan    sumber   penghasilan   selain   penghasilan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan prinsip yang
      sama dengan prinsip yang dimaksud pada ayat tersebut.

      (5) Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang
      dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan,
      maka pajak yang terutang menurut Undang-undang ini harus
      ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun pengurangan atau
      pengembalian itu dilakukan.

      (6) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas
      penghasilan dari luar negeri ditetapkan dengan keputusan
      Menteri Keuangan."

27.    Ketentuan Pasal   25   diubah,   sehingga   seluruhnya   berbunyi
      sebagai berikut:

                               "Pasal 25

      (1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang
      harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan
      adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat
      Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang
      lalu dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang dipotong
      dan/atau dipungut serta Pajak Penghasilan yang dibayar atau
      terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24,
      dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian
      tahun pajak.

      (2) Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh
      Wajib   Pajak   untuk  bulan-bulan   sebelum   batas  waktu
      penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan,
      sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir
      dari tahun pajak yang lalu, sepanjang tidak kurang dari
      rata-rata angsuran bulanan tahun pajak yang lalu.

      *8696 (3) Apabila telah diterbitkan surat ketetapan pajak
      untuk 2 (dua) tahun pajak sebelum tahun Surat Pemberitahuan
      Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1), yang menghasilkan angsuran pajak yang lebih besar dari
      angsuran pajak berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
      Penghasilan tersebut, maka besarnya angsuran pajak dihitung
      berdasarkan surat ketetapan pajak tahun pajak terakhir.

      (4)   Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat
      ketetapan pajak untuk 2 (dua) tahun pajak sebelumnya yang
      menghasilkan angsuran pajak yang lebih besar daripada
      angsuran pajak bulan yang lalu, yang dihitung berdasarkan
      ketentuan pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), maka
      besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat
      ketetapan pajak tahun pajak terakhir dan berlaku mulai bulan
      berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.

      (5) Apabila Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat
      Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang
      lalu Iebih kecil dari jumlah Pajak Penghasilan yang telah
      dibayar, dipotong dan/atau dipungut selama tahun pajak yang
      bersangkutan, maka besarnya angsuran pajak untuk setiap
      bulan sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari
      tahun pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3),
      dan ayat (4) sampai dikeluarkannya keputusan Direktur
      Jenderal Pajak, dan untuk bulan-bulan berikutnya angsuran
      pajak dihitung berdasarkan jumlah pajak yang terutang
      menurut keputusan tersebut.

      (6) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan
      penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak
      berjalan dalam hal-hal tertentu, apabila:

           a.     Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;

           b.     Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;

           c.     Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
      tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang
      ditentukan;

           d.   Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu
      penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;

           e.   Wajib    Pajak    membetulkan   sendiri    Surat
      Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan
      angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum
      pembetulan;

           f.    terjadi    perubahan     keadaan    usaha   atau   kegiatan
      Wajib Pajak.

      (7) Penghitungan besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak
      baru, bank, badan usaha milik negara, badan usaha milik
      daerah, dan Wajib Pajak tertentu lainnya ditetapkan oleh
      Menteri Keuangan.

      (8) Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak ke luar
      negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan
      peraturan pemerintah."

28.   Ketentuan   Pasal    26   diubah,   sehingga   seluruhnya     berbunyi
sebagai berikut:

                        "Pasal 26

(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan
dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang terutang oleh
badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain
bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20%
(dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib
membayarkan:

     a.     dividen;

     b.   bunga, termasuk premium, diskonto,     dan    imbalan
sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;

     *8697 c. royalti,     sewa,    dan   penghasilan      lain
sehubungan dengan penggunaan harta;

     d.     imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan;

     e.     hadiah dan penghargaan;

     f.     pensiun dan pembayaran berkala lainnya.

(2) Atas penghasilan dari penjualan harta di Indonesia,
kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha
tetap di Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan
kepada perusahaan asuransi luar negeri, dipotong pajak
sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan
neto.

(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

(4) Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari
suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenakan pajak
sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut
ditanamkan kembali di Indonesia yang ketentuannya ditetapkan
lebih lanjut dengan keputusan Menteri Keuangan.

(5) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (4) bersifat final, kecuali:

     a.   pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c;

     b.   pemotongan atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah
      status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha
      tetap."

29.    Ketentuan Pasal 27 dihapus.

30.    Judul Bab VI diubah, sehingga menjadi sebagai berikut:

                                "BAB VI
                  PERHITUNGAN PAJAK PADA AKHIR TAHUN"

31.   Ketentuan    Pasal   28 disempurnakan dan ditambah dengan
      ketentuan    baru,    sehingga seluruhnya berbunyi sebagai
      berikut:

                               "Pasal 28

      (1) Bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap,
      pajak yang terutang dikurangi dengan kredit pajak untuk
      tahun pajak yang bersangkutan, berupa:

           a.   pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan,
      jasa, dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;

           b.   pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan di
      bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 22;

           c.   pemotongan pajak atas penghasilan berupa dividen,
      bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, dan imbalan
      jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23;

           d.    pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan
      dari luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 24;

           e.   pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;

           f.   pemotongan pajak atas      penghasilan   sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5).

      *8698 (2) Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan
      kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan
      dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang
      perpajakan yang berlaku tidak boleh dikreditkan dengan pajak
      yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)."

32.    Menambah ketentuan baru diantara Pasal 28 dan Pasal 29 yang
      dijadikan Pasal 28A, yang berbunyi sebagai berikut:

                              "Pasal 28A

      Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata
      lebih kecil dari jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 28 ayat (1), maka setelah dilakukan pemeriksaan,
      kelebihan    pembayaran     pajak    dikembalikan    setelah
      diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksi-sanksinya."

33.    Ketentuan   Pasal   29    diubah,     sehingga   berbunyi   sebagai
      berikut:

                                "Pasal 29

      Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata
      lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 28 ayat (1), maka kekurangan pajak yang terutang harus
      dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 (duapuluh lima) bulan
      ke tiga setelah tahun pajak berakhir, sebelum Surat
      Pemberitahuan Tahunan disampaikan."

34.    Ketentuan Pasal 30 dihapus.

35.    Ketentuan Pasal 31 dihapus.

36.   Menambah ketentuan baru diantara Pasal 31 dan Pasal 32 yang
      dijadikan Pasal 31A dalam Bab VII tentang Ketentuan
      Lain-lain, yang berbunyi sebagai berikut:

                                "Pasal 31A

      Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di
      bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah
      tertentu dapat diberikan fasilitas perpajakan yang diatur
      dengan peraturan pemerintah."

37.    Ketentuan Pasal 32 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai
      berikut:

                                "Pasal 32

      Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan dengan
      pelaksanaan Undang-undang ini dilakukan sesuai dengan
      ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang
      Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan."

38.   Menambah ketentuan baru diantara Pasal 33 dan Pasal 34 yang
      dijadikan Pasal 33A dalam BAB VIII tentang Ketentuan
      Peralihan, yang berbunyi sebagai berikut :

                                "Pasal 33A

      (1) Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal
      30 Juni 1995 wajib menghitung pajaknya berdasarkan ketentuan
      sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
      sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang ini.
      (2) Wajib Pajak yang memperoleh fasilitas perpajakan dan
      telah mendapat keputusan tentang saat mulai berproduksi
      sebelum tanggal 1 Januari 1995, maka fasilitas perpajakan
      dimaksud dapat dinikmati sesuai dengan jangka waktu yang
      ditentukan.

      (3) Fasilitas perpajakan yang telah diberikan, berakhir
      pada tanggal 31 Desember 1994, kecuali fasilitas sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2).

      (4) Wajib    Pajak   yang   menjalankan   usaha  di   bidang
      pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan
      pertambangan lainnya berdasarkan kontrak bagi hasil, kontrak
      karya, atau perjanjian kerjasama                 pengusahaan
                                          *8699
      pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya
      Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan
      dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian
      kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan
      berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud."

39.    Ketentuan Pasal 34 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai
      berikut:

                               "Pasal 34

      Peraturan pelaksanaan di bidang Pajak Penghasilan yang masih
      berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini dinyatakan
      tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
      dalam Undang-undang ini."

40.    Ketentuan Pasal 35 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai
      berikut:

                               "Pasal 35

      Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang      ini
      diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah."

                               Pasal II

Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Perubahan Kedua
Undang-undang Pajak Penghasilan 1984".

                               Pasal III

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 9 Nopember 1994
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 Nopember 1994

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

MOERDIONO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1994 NOMOR 60

Salinan sesuai aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Hukum
dan Perundang-undangan

Plt

Lambock V. Nahattands, S.H.

                             PENJELASAN
                                ATAS
                 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                        NOMOR 10 TAHUN 1994
                           *8700 TENTANG
  PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
    PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG
                         NOMOR 7 TAHUN 1991

UMUM

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak
dan kewajiban setiap orang, oleh karena itu menempatkan
perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan
dalam rangka kegotong-royongan nasional sebagai peran serta
masyarakat dalam pembiayaan negara dan pembangunan.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945, ketentuan-ketentuan perpajakan yang merupakan landasan
pemungutan    pajak   harus ditetapkan   dengan    undang-undang.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka sebagai hasil reformasi
undang-undang    perpajakan  tahun   1983    telah    diundangkan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,
sebagai landasan hukum pengenaan Pajak Penghasilan yang berlaku
sejak tahun 1984, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1991.

Dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil
pembangunan nasional dan globalisasi di berbagai bidang, disadari
bahwa banyak bentuk-bentuk dan praktek penyelenggaraan kegiatan
usaha yang aspek perpajakannya belum diatur atau belum cukup
diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991. Selain dari pada
itu, Undang-undang tersebut belum sepenuhnya menampung amanat
dalam Garis-garis Besar Haluan Negara 1993. Oleh karena itu,
dipandang sudah masanya untuk menyempurnakan Undang-undang Nomor
7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
7 Tahun 1991.

Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan,
dan   kesederhanaan,   maka   arah   dan   tujuan   penyempurnaan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 7 Tahun I991 adalah sebagai berikut:

a.    Menuju kemandirian bangsa    dalam pembiayaan negara dan
     pembiayaan pembangunan yang   sumber utamanya berasal dari
     penerimaan pajak;

b.    Lebih  memberikan   kepastian  hukum   dan  keadilan   bagi
     masyarakat dalam berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan
     sesuai dengan kemampuannya;

c.    Menunjang    kebijaksanaan    pemerintah    dalam    rangka
     meningkatkan   pertumbuhan,   pemerataan  pembangunan,   dan
     investasi di seluruh wilayah Republik Indonesia;

d.    Menunjang   usaha  peningkatan ekspor, terutama  ekspor
     nonmigas, barang hasil olahan dan jasa jasa dalam rangka
     meningkatkan perolehan devisa;

e.    Menunjang    usaha   pengembangan  usaha   kecil      untuk
     mengoptimalkan pengembangan potensinya, dan dalam     rangka
     pengentasan kemiskinan;

f.   Menunjang usaha pengembangan sumber daya manusia, ilmu
     pengetahuan dan teknologi, pelestarian ekosistem, sumber
     daya alam dan lingkungan hidup;

g.    Menunjang usaha terciptanya aparat perpajakan yang makin
     mampu dan makin bersih, peningkatan pelayanan kepada Wajib
     Pajak termasuk penyederhanaan dan kemudahan prosedur dalam
     pemenuhan kewajiban perpajakan, peningkatan pengawasan atas
     pelaksanaan   pemenuhan   kewajiban  perpajakan   tersebut,
     termasuk peningkatan penegakan pelaksanaan ketentuan hukum
     yang berlaku.

Dengan berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut,
perlu dilakukan perubahan terhadap beberapa ketentuan dalam
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 se-bagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991, dengan pokok-pokok sebagai
berikut:

a.    Dalam   rangka  meningkatkan   kemandirian  bangsa   dalam
     pembiayaan pembangunan nasional, diatur ketentuan-ketentuan
     yang menunjang kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi
     pengenaan pajak;

b. Ketentuan mengenai Subjek Pajak diatur secara lebih
     luwes agar dapat mengikuti perkembangan sosial ekonomi dan
     perkembangan bentuk-bentuk aktifitas bisnis yang timbul dan
     berkembang di masyarakat;

c.   Ketentuan mengenai Objek Pajak diatur dengan lebih rinci,
     jelas dan tegas untuk lebih memberikan kepastian hukum dan
     keadilan dalam pengenaan pajak;

d.   Dalam rangka menunjang pengembangan ilmu pengetahuan dan
     teknologi, pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan
     perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya;

e.    Untuk   meningkatkan   kualitas  sumber  daya   manusia,
     pengeluaran untuk biaya pelatihan, magang, dan bea siswa
     dapat dibebankan sebagai biaya;

f.   Dalam   rangka   menunjang    kebijakan   pemerintah   untuk
     meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan nasional
     di segala bidang, dapat diberikan fasilitas perpajakan
     kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di
     bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah
     tertentu;

g.   Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun
     tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun yang diatur
     selaras dengan kebijakan pemerintah dalam rangka pemerataan
     pembangunan nasional;

h.   Untuk   menunjang  program   pemerintah  dalam   pelestarian
     ekosistem, sumber daya alam dan lingkungan hidup, ditegaskan
     bahwa biaya pengolahan limbah boleh dibebankan sebagai biaya
     dan diatur mengenai pembentukan atau pemupukan cadangan
     untuk biaya reklamasi;

i.   Untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak dalam hal
     penghitungan penyusutan atas harta yang dimiliki dan
     digunakan dalam usaha serta lebih menyelaraskan pembukuan
     Wajib Pajak untuk kepentingan fiskal, maka kepada Wajib
     Pajak diberikan kebebasan untuk memilih metode penyusutan
     atas harta berwujud bukan bangunan;

j.   Kebijaksanaan di bidang tarif pajak dilakukan dengan
     mengatur kembali besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak dan
     besarnya lapisan tarif pajak dengan tetap mempertahankan
     progresivitas tarif yang diberlakukan terhadap Wajib Pajak
     orang pribadi dan Wajib Pajak badan, dengan mempertimbangkan
     kesempatan   melakukan  pengembangan   kegiatan  usaha   dan
     persaingan dunia usaha dalam era globalisasi;

k.   Mencegah penghindaran pajak melalui penundaan pembagian laba
     dalam waktu yang tidak ditentukan atas penanaman modal di
     luar negeri;

l.   Perluasan dalam sistem pemotongan dan pemungutan pajak untuk
     meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, menggali potensi fiskal
     yang tersedia, dan menunjang sistem "self assessment"
     melalui pemanfaatan data yang lebih efektif dan efisien;

m.   Dalam rangka kemudahan dan kesederhanaan pengenaan pajak
     serta untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, diatur
     pemungutan     pajak     yang     bersifat final    atas
     penghasilan-penghasilan tertentu.

PASAL DEMI PASAL

Pasal I
Angka 1
     Pasal 1
     Undang-undang ini mengatur pengenaan pajak penghasilan
     terhadap Subjek Pajak berkenaan dengan penghasilan yang
     diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek Pajak
     tersebut dikenakan pajak apabila menerima atau memperoleh
     penghasilan. Subjek Pajak yang menerima atau memperoleh
     penghasilan dalam Undang-undang ini disebut Wajib Pajak.
     Wajib Pajak dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima
     atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula
     dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak,
     apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir
     dalam tahun pajak.

     Yang dimaksud dengan tahun pajak dalam Undang-undang ini
     adalah tahun takwim, namun Wajib Pajak dapat menggunakan
     tahun buku yang tidak sama    *8702 dengan tahun takwim,
     sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12 (dua
     belas) bulan.

Angka 2
     Pasal 2
     Ayat (1)
     Pengertian Subjek Pajak meliputi orang pribadi, warisan yang
     belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan, dan bentuk usaha
     tetap.

     Huruf a
     Orang pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal
     atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan
yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek
Pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli
waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subjek
Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas
penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat
dilaksanakan.

Huruf b
Pengertian badan sebagai Subjek Pajak terdiri dari perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan
usaha   milik  negara   dan   badan   usaha  milik   daerah,
persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan
atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun, dan
bentuk badan usaha lainnya.

Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah
merupakan   Subjek   Pajak   tanpa   memperhatikan   nama   dan
bentuknya,   sehingga   setiap   unit   tertentu   dari   badan
pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang
dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh
penghasilan merupakan Subjek Pajak.

Perkumpulan sebagai Subjek Pajak adalah perkumpulan yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh
penghasilan dan/atau memberikan jasa kepada anggota. Dalam
pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan,
perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai
kepentingan yang sama.

Huruf c
Lihat ketentuan pada ayat (5) dan penjelasannya.

Ayat (2)
Subjek Pajak dibedakan antara Subjek Pajak dalam negeri dan
Subjek Pajak luar negeri. Subjek Pajak dalam negeri menjadi
Wajib   Pajak  apabila   telah   menerima  atau   memperoleh
penghasilan, sedangkan Subjek Pajak luar negeri sekaligus
menjadi Wajib Pajak, sehubungan dengan penghasilan yang
diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau diperoleh
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan
lain Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah
memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.
Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan
Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban
pajaknya, antara lain:

a.   Wajib   Pajak  dalam   negeri   dikenakan  pajak   atas
penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia
dan dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri
dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari
sumber penghasilan di Indonesia.
        b.   Wajib Pajak dalam     negeri dikenakan pajak berdasarkan
        penghasilan neto dengan     tarif umum, sedangkan Wajib Pajak
        luar negeri dikenakan        pajak pada dasarnya berdasarkan
        penghasilan bruto dengan    tarif pajak sepadan.

        c.   Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat
        Pemberitahuan Tahunan sebagai sarana untuk menetapkan pajak
        yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak
        luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan
        Tahunan,   karena   kewajiban  pajaknya   dipenuhi   melalui
        pemotongan pajak yang bersifat final.

        Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau
        melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia,
        pemenuhan   kewajiban   perpajakannya  dipersamakan   dengan
        pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri
        sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini dan Undang-undang
        tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
*8703
        Ayat (3)
        Huruf a
        Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi Subjek Pajak
        dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal
        atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang
        pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka
        yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
        Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di
        Indonesia ditimbang menurut keadaan.

        Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183
        (seratus   delapan   puluh   tiga)   hari   tidaklah harus
        berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang
        tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua
        belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia.

        Huruf b
        Cukup jelas.

        Huruf c
        Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang
        pribadi sebagai Subjek Pajak dalam negeri dianggap Subjek
        Pajak dalam negeri dalam pengertian Undang-undang ini
        mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan
        kewajiban   perpajakannya,  warisan   tersebut  menggantikan
        kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut
        telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya beralih kepada
        ahli waris.

        Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang
        pribadi sebagai Subjek Pajak luar negeri yang tidak
        menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu
        bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai
        Subjek   Pajak pengganti  karena pengenaan  pajak  atas
penghasilan yang diterima atau     diperoleh   orang   pribadi
dimaksud melekat pada objeknya.

Ayat (4)
Huruf a dan huruf b
Subjek Pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan
yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar
Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia, baik melalui ataupun tanpa melalui bentuk
usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia, tetapi berada di Indonesia kurang dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, maka orang tersebut adalah Subjek Pajak luar
negeri. Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui
bentuk usaha tetap, maka terhadap orang pribadi atau badan
tersebut dikenakan pajak melalui bentuk usaha tetap, dan
orang pribadi atau badan tersebut statusnya tetap sebagai
Subjek Pajak luar negeri. Dengan demikian bentuk usaha tetap
tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai
Subjek   Pajak   luar  negeri   dalam   memenuhi   kewajiban
perpajakannya di Indonesia.

Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa
melalui   bentuk  usaha   tetap,  maka   pengenaan  pajaknya
dilakukan langsung kepada Subjek Pajak luar negeri tersebut.

Ayat (5)
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu
tempat usaha ("place of business") yaitu fasilitas yang
dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan
peralatan.

Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi
yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi
atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang
bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang
tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di
Indonesia.

Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di
Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen,
broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas,
asalkan agen atau             perantara    tersebut    dalam
                     *8704
kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan
perusahaannya sendiri.
     Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan
     di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di
     Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima
     pembayaran premi asuransi di Indonesia atau menanggung
     risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya
     di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti
     bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi
     di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak
     tertanggung   bertempat  tinggal,   berada  atau   bertempat
     kedudukan di Indonesia.

     Ayat (6)
     Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan
     badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana
     yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang
     diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut.

     Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat
     kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya.
     Dengan demikian penentuan tempat tinggal atau tempat
     kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang
     bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan.
     Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur
     Jenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang
     atau tempat kedudukan badan tersebut antara lain domisili,
     alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat
     menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu
     dipertimbangkan  untuk   memudahkan   pelaksanaan  pemenuhan
     kewajiban pajak.

Angka 3
     Pasal 2A
     Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang
     kewajiban    pajaknya  melekat   pada   Subjek   Pajak   yang
     bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan
     untuk tidak dilimpahkan kepada Subjek Pajak lainnya. Oleh
     karena   itu   dalam  rangka   memberikan  kepastian   hukum,
     penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak
     subjektif menjadi penting.

     Ayat (1)
     Kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempat
     tinggal di Indonesia dimulai pada saat ia lahir di
     Indonesia. Untuk orang pribadi yang berada di Indonesia
     lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
     jangka waktu 12 (dua belas) bulan, kewajiban pajak
     subjektifnya dimulai sejak hari pertama ia berada di
     Indonesia. Kewajiban pajak subjektif orang pribadi berakhir
     pada saat ia meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia
     untuk selama-lamanya.
     Pengertian meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya harus
     dikaitkan dengan hal-hal yang nyata pada saat orang pribadi
     tersebut meninggalkan Indonesia. Apabila pada saat ia
meninggalkan Indonesia terdapat bukti--bukti yang nyata
mengenai   niatnya   untuk meninggalkan Indonesia  untuk
selama-lamanya, maka pada saat itu ia tidak lagi menjadi
Subjek Pajak dalam negeri.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Bagi orang pribadi yang tidak bertempat tinggal dan berada
di Indonesia tidak lebih dari    183 (seratus delapan puluh
tiga) hari, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan di Indonesia melalui suatu bentuk
usaha tetap, kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat
bentuk usaha tetap tersebut berada di Indonesia dan berakhir
pada saat bentuk usaha tetap tersebut tidak lagi berada di
Indonesia.

Ayat (4)
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia,
adalah Subjek Pajak luar negeri sepanjang orang pribadi atau
badan tersebut mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia.
Hubungan ekonomis dengan Indonesia dianggap ada apabila
orang pribadi atau badan tersebut            menerima   atau
                                    *8705
memperoleh penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan
di Indonesia.

Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan tersebut
dimulai pada saat orang pribadi atau badan mempunyai
hubungan ekonomis dengan Indonesia, yaitu menerima atau
memperoleh penghasilan dari sumber-sumber di Indonesia dan
berakhir pada saat orang pribadi atau badan tersebut tidak
lagi mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia.

Ayat (5)
Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi dimulai
pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut,
yaitu pada saat meninggalnya pewaris. Sejak saat itu
pemenuhan kewajiban perpajakannya melekat pada warisan
tersebut. Kewajiban pajak subjektif warisan berakhir pada
saat warisan tersebut dibagi kepada para ahli waris. Sejak
saat itu pemenuhan kewajiban perpajakannya beralih kepada
para ahli waris.

Ayat (6)
Dapat terjadi orang pribadi menjadi Subjek Pajak tidak untuk
jangka waktu satu tahun pajak penuh, misalnya orang pribadi
yang mulai menjadi Subjek Pajak pada pertengahan tahun
    pajak, atau yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya
    pada pertengahan tahun pajak. Jangka waktu yang kurang dari
    satu tahun pajak tersebut dinamakan bagian tahun pajak yang
    menggantikan tahun pajak.

Angka 4
     Pasal 3
     Huruf a dan hurufb
     Sesuai dengan kelaziman internasional, badan perwakilan
     negara asing beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik
     dan konsulat serta pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan
     sebagai Subjek Pajak di tempat mereka mewakili negaranya.

    Pengecualian sebagai Subjek Pajak bagi pejabat-pejabat
    tersebut tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan
    lain di luar jabatannya atau mereka adalah warga negara
    Indonesia.

    Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara
    asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar
    jabatannya, maka. ia termasuk Subjek Pajak yang dapat
    dikenakan pajak atas penghasilan lain tersebut.

    Namun apabila negara asal pejabat tersebut memberikan
    pembebasan pajak kepada pejabat perwakilan Indonesia atas
    penghasilan lain di luar jabatannya, maka berlaku asas
    timbal balik.

    Huruf c
    Cukup jelas.

    Huruf d
    Cukup jelas.

Angka 5
     Pasal 4
     Ayat (1)
     Undang-undang   ini   menganut  prinsip   pemajakan  atas
     penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak
     dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
     diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya
     yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah
     kekayaan Wajib Pajak tersebut.

    Pengertian   penghasilan   dalam  Undang-undang   ini  tidak
    memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu,
    tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan
    kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
    merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak
    tersebut   untuk  ikut   bersama-sama  memikul   biaya  yang
    diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.

    Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada
Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:

-   penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja
dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan
dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara,
dan sebagainya;

-     penghasilan dari usaha dan kegiatan;

-    penghasilan dari modal, yang berupa harta     gerak
ataupun harta tak gerak seperti bunga, dividen, royalti,
sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak
dipergunakan untuk usaha, dan lain sebagainya;

-     penghasilan  lain-lain,   seperti   pembebasan    utang,
hadiah, dan lain sebagainya.

Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk
konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan
Wajib Pajak. Karena Undang-undang ini menganut pengertian
penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang
diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan
untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian,
bila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan
menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan
dengan penghasilan lainnya (kompensasi horizontal), kecuali
kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian,
apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif
yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka
penghasilan   tersebut   tidak  boleh   digabungkan   dengan
penghasilan lain yang dikenakan tarif umum.

Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini
dimaksudkan untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan
yang luas yang tidak terbatas pada contoh-contoh dimaksud.

Huruf a
Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan,
seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, asuransi kesehatan
yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk
lainnya adalah Objek Pajak.

Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan
dalam   bentuk  natura  yang  pada  hakekatnya  merupakan
penghasilan.

Huruf b
Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian,
pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan,
hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya.

Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang
diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya
imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda
purbakala.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih
tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga
atau nilai perolehan, maka selisih harga tersebut merupakan
keuntungan. Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi
antara badan usaha dengan pemegang sahamnya, maka harga jual
yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan
dari penjualan tersebut adalah harga pasar.

Misalnya PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam
kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp
40.000.000,00. Mobil tersebut dijual sesuai dengan harga
pasar sebesar Rp 60.000.000,00. Dengan demikian keuntungan
PT S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalah
Rp 20.000.000,00. Apabila mobil tersebut dijual kepada salah
seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp 50.000.000, maka
nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga
pasar   sebesar  Rp   60.000.000,00.   Selisih  sebesar   Rp
20.000.000,00 merupakan keuntungan bagi PT S, dan bagi
pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar
Rp 10.000.000,00 merupakan penghasilan.

Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan
harta, yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga
pasar dengan nilai sisa buku             harta      tersebut,
                               *8707
merupakan Objek Pajak. Demikian juga selisih lebih antara
harga pasar dengan nilai sisa buku dalam hal terjadi
penggabungan,    peleburan,   pemekaran,    pemecahan,    dan
pengambilalihan usaha merupakan penghasilan.

Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham
atau penyertaan modal maka keuntungan berupa selisih antara
harga pasar dari harta yang diserahkan dengan nilai bukunya
merupakan penghasilan.

Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dengan nilai
perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa
hibah, bantuan atau sumbangan dianggap sebagai penghasilan
bagi  pihak   yang   mengalihkan,  kecuali   harta  tersebut
dialihkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat, serta badan keagamaan atau badan
pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha
kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan.
Huruf e
Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada
saat menghitung Penghasilan Kena Pajak, merupakan Objek
Pajak.

Sebagai contoh Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar
dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab
dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut
merupakan penghasilan.

Huruf f
Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan
imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.

Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di
atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila
surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium
tersebut   merupakan penghasilan  bagi  yang   menerbitkan
obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang
membeli obligasi.

Huruf g
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham
atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha
koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Termasuk dalam
pengertian dividen adalah:

1)   pembagian laba baik secara langsung ataupun            tidak
langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;

2)    pembayaran kembali karena       likuidasi   yang   melebihi
jumlah modal yang disetor;

3)    pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran
kecuali saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio
saham baru dan revaluasi aktiva tetap;

4)    pembagian laba dalam bentuk saham;

5)    pencatatan   tambahan   modal    yang   dilakukan     tanpa
penyetoran;

6)   jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang
diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian
kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan;

7)   pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal
yang   disetorkan,  jika  dalam   tahun-tahun  yang  lampau
diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu
adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang
dilakukan secara sah;

8)   pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk
yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;

9)    bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;

10)   bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;

11)   pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota
koperasi;

12) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang
saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.

Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran
dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang
saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan
pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi
kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih
lebih antara bunga yang dibayarkan dengan tingkat bunga yang
berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga
yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh
dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.

Huruf h
Pada dasarnya imbalan berupa royalti terdiri dari         tiga
kelompok, yaitu imbalan sehubungan dengan penggunaan:

1)   hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang,
paten, merek dagang, formula, atau rahasia perusahaan;

2)    hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat
industri, komersial, dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud
dengan alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan
adalah setiap peralatan yang mempunyai nilai intelektual,
misalnya peralatan-peralatan yang digunakan di beberapa
industri   khusus   seperti   anjungan  pengeboran  minyak
("drilling rig"), dan sebagainya;

3)    informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan
secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan, misalnya
pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha lainnya.
Ciri dari informasi dimaksud adalah bahwa informasi tersebut
telah    tersedia sehingga   pemiliknya  tidak   perlu  lagi
melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut. Tidak
termasuk dalam pengertian informasi di sini adalah informasi
yang diberikan oleh misalnya akuntan publik, ahli hukum,
atau ahli teknik sesuai dengan bidang keahliannya, yang
dapat diberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar
belakang disiplin ilmu yang sama.

Huruf i
Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau
diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan
dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya
sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.

Huruf j
Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya "alimentasi"
atau    tunjangan  seumur    hidup   yang  dibayar   secara
berulang-ulang dalam waktu tertentu.

Huruf k
Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai
penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi
pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya.

Huruf i
Keuntungan karena selisih kurs dapat disebabkan fluktuasi
kurs mata uang asing atau adanya kebijaksanaan pemerintah di
bidang moneter. Atas keuntungan yang diperoleh karena
fluktuasi kurs mata uang asing, pengenaan pajaknya dikaitkan
dengan sistem pembukuan yang dianut oleh Wajib Pajak, dengan
syarat dilakukan secara taat asas.

Huruf m
Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 merupakan penghasilan.

Huruf n
Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.

Huruf o
Iuran yang dibayar oleh anggota kepada perkumpulan yang
dihitung berdasarkan volume kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas dari anggota tersebut, misalnya iuran yang besarnya
ditentukan berdasarkan volume *8709 ekspor, satuan produksi
atau satuan penjualan, adalah penghasilan bagi perkumpulan
tersebut.

Huruf p
Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi
penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan
Objek Pajak serta yang belum dikenakan pajak. Apabila
diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi
akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang
bukan Objek Pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut
merupakan penghasilan.

Ayat (2)
Sesuai dengan ketentuan pada ayat (1), penghasilan berupa
bunga deposito dan tabungan lainnya, penghasilan dari
transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek,
penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau
bangunan, serta penghasilan tertentu lainnya merupakan Objek
Pajak. Tabungan masyarakat yang disalurkan melalui perbaikan
dan bursa efek merupakan sumber dana bagi pelaksanaan
pembangunan, sehingga pengenaan pajak atas penghasilan yang
berasal dari tabungan masyarakat tersebut perlu diberikan
perlakuan     tersendiri    dalam     pengenaan    pajaknya.
Pertimbangan-pertimbangan yang mendasari diberikan perlakuan
tersendiri dimaksud antara lain adalah kesederhanaan dalam
pemungutan pajak, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan
pajaknya serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan
moneter. Pertimbangan tersebut juga mendasari perlunya
pemberian perlakuan tersendiri terhadap pengenaan pajak atas
penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau
bangunan, serta jenis jenis penghasilan tertentu lainnya.
Oleh karena itu pengenaan Pajak Penghasilan termasuk sifat,
besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan,
atau pemungutan atas jenis-jenis penghasilan tersebut diatur
tersendiri dengan peraturan pemerintah.

Dengan   mempertimbangkan   kemudahan   dalam   pelaksanaan
pengenaan serta agar tidak menambah beban administrasi baik
bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, maka
pengenaan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini dapat
bersifat final.

Ayat (3)
Huruf a
Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan
merupakan Objek Pajak sepanjang diterima tidak dalam rangka
hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau
hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima
dapat terjadi, misalnya PT A sebagai produsen suatu jenis
barang yang bahan baku utamanya diproduksi oleh PT B.
Apabila PT B memberikan sumbangan bahan baku kepada PT A,
maka sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT B merupakan
Objek Pajak. Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan
merupakan Objek Pajak apabila diterima oleh keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan
keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk
yayasan   atau  pengusaha   kecil  termasuk   koperasi  yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang diterima tidak
dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan
kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima
oleh badan merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi badan
tersebut. Namun karena harta tersebut diterima sebagai
pengganti saham atau penyertaan modal, maka berdasarkan
ketentuan ini, harta yang diterima tersebut bukan merupakan
Objek Pajak.
        Huruf d
        Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan
        berkenaan dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan
        kemampuan ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang.
        Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura seperti beras,
        gula dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan
        seperti penggunaan mobil, rumah, fasilitas pengobatan dan
        lain sebagainya, bukan merupakan Objek Pajak.
*8710
        Apabila yang memberi imbalan berupa natura atau kenikmatan
        tersebut bukan Wajib Pajak, maka imbalan dalam bentuk natura
        atau kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi yang
        menerima atau memperolehnya. Misalnya, seorang Indonesia
        menjadi pegawai pada suatu perwakilan diplomatik asing di
        Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan menempati
        rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau
        kenikmatan-kenikmatan     lainnya.     Kenikmatan-kenikmatan
        tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut, sebab
        perwakilan diplomatik yang bersangkutan bukan merupakan
        Wajib Pajak.

        Huruf e
        Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi
        dari perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi
        kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
        dwiguna, dan asuransi bea siswa, bukan merupakan Objek
        Pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat
        (1) huruf d, yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar oleh
        Wajib Pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya tidak
        boleh dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak.

        Huruf f
        Berdasarkan ketentuan ini, dividen atau bagian laba yang
        diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib
        Pajak dalam negeri, koperasi, yayasan atau organisasi yang
        sejenis, badan usaha milik negara atau badan usaha milik
        daerah, dari penyertaannya pada badan usaha lainnya yang
        didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, tidak
        termasuk Objek Pajak. Yang dimaksud dengan badan usaha milik
        negara dan badan usaha milik daerah pada ayat ini antara
        lain adalah perusahaan perseroan (Persero), bank pemerintah,
        bank pembangunan daerah, dan Pertamina.

        Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima dividen atau
        bagian laba adalah Wajib Pajak selain badan-badan tersebut
        di atas, seperti orang pribadi baik dalam negeri maupun luar
        negeri, firma, perseroan komanditer dan sebagainya, maka
        penghasilan berupa dividen atau bagian laba tersebut tetap
        merupakan Objek Pajak.

        Huruf g
        Pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini
hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah
mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan
dari Objek Pajak adalah:

1)   iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik atas
beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja. Pada
dasarnya iuran yang diterima oleh dana pensiun tersebut
merupakan dana milik dari peserta pensiun, yang akan
dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya. Pengenaan
pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para
peserta pensiun, dan oleh karena itu iuran tersebut
dikecualikan sebagai Objek Pajak.

2)   penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang
tertentu berdasarkan keputusan Menteri Keuangan. Penanaman
modal oleh dana pensiun dimaksudkan untuk pengembangan dan
pemupukan dana untuk pembayaran kembali kepada peserta
pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman modal tersebut
perlu diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifat
spekulatif atau yang berisiko tinggi. Oleh karena itu
penentuan bidang-bidang tertentu dimaksud ditetapkan dengan
keputusan Menteri Keuangan.

Huruf h
Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana
disebut dalam ketentuan ini yang merupakan himpunan para
anggotanya dikenakan pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada
tingkat badan tersebut. Oleh karena itu, bagian laba yang
diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi
merupakan Objek Pajak.

Huruf i
Perusahaan reksa dana adalah perusahaan yang kegiatan
utamanya melakukan investasi, investasi kembali, atau jual
beli sekuritas. Bagi pemodal khususnya pemodal kecil,
perusahaan reksa dana merupakan salah satu pilihan yang aman
untuk menanamkan modalnya. Penghasilan yang diterima atau
diperoleh perusahaan reksa dana dari investasinya dapat
berupa             dividen   dan  bunga   obligasi.   Karena
           *8711
perusahaan reksa dana pada umumnya berbentuk perseroan
terbatas, sesuai dengan ketentuan pada ayat (3) huruf f
dividen tersebut bukan merupakan Objek Pajak. Agar tidak
mengurangi dana yang tersedia untuk dibagikan kepada para
pemodal, terutama pemodal kecil, bunga obligasi juga bukan
merupakan Objek Pajak bagi perusahaan reksa dana.

Huruf j
Perusahaan modal ventura adalah suatu perusahaan yang
kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan
usaha) dalam bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka
waktu tertentu. Berdasarkan ketentuan ini, bagian laba yang
diterima atau diperoleh dari perusahaan pasangan usaha tidak
termasuk sebagai Objek Pajak, dengan syarat perusahaan
     pasangan   usaha   tersebut  merupakan   perusahaan kecil,
     menengah, atau yang menjalankan usaha atau melakukan
     kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan oleh
     Menteri Keuangan, dan saham perusahaan tersebut tidak
     diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

     Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura memenuhi
     ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f, maka
     dividen yang diterima atau diperoleh perusahaan modal
     ventura bukan merupakan Objek Pajak.

     Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan
     kepada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang memperoleh
     prioritas untuk dikembangkan, misalnya untuk meningkatkan
     ekspor nonmigas, maka usaha atau kegiatan dari perusahaan
     pasangan usaha tersebut diatur oleh Menteri Keuangan.
     Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternatif
     pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal, maka penyertaan
     modal yang akan dilakukan oleh perusahaan modal ventura
     diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang belum mempunyai
     akses ke bursa efek.

Angka 6
     Pasal 5
     Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang
     tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
     yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu
     bentuk usaha tetap di Indonesia, dikenakan pajak di
     Indonesia melalui bentuk usaha tetap tersebut.

     Ayat (1)
     Huruf a
     Bentuk usaha tetap dikenakan pajak atas penghasilan yang
     berasal dari usaha atau kegiatan dan dari harta yang
     dimiliki atau dikuasainya. Dengan demikian semua penghasilan
     tersebut dikenakan pajak di Indonesia.

     Huruf b
     Berdasarkan ketentuan ini penghasilan kantor pusat yang
     berasal dari usaha atau kegiatan, penjualan barang dan
     pemberian jasa, yang sejenis dengan yang dilakukan oleh
     bentuk usaha tetap dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha
     tetap, karena pada hakekatnya usaha atau kegiatan tersebut
     termasuk dalam ruang lingkup usaha atau kegiatan dan dapat
     dilakukan oleh bentuk usaha tetap.

     Usaha atau kegiatan yang sejenis dengan usaha atau kegiatan
     bentuk usaha tetap, misalnya terjadi apabila sebuah bank di
     luar Indonesia yang mempunyai bentuk usaha tetap di
     Indonesia, memberikan pinjaman secara langsung tanpa melalui
     bentuk usaha tetapnya kepada perusahaan di Indonesia.

     Penjualan barang yang sejenis dengan yang dijual oleh bentuk
usaha tetap, misalnya kantor pusat di luar negeri yang
mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia menjual produk
yang sama dengan produk yang dijual oleh bentuk usaha tetap
tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya
kepada pembeli di Indonesia. Pemberian jasa oleh kantor
pusat yang sejenis dengan jasa yang diberikan oleh bentuk
usaha tetap, misalnya kantor pusat perusahaan konsultan di
luar Indonesia memberikan konsultasi yang sama dengan jenis
jasa yang dilakukan bentuk usaha tetap tersebut secara
langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada klien di
Indonesia.

Huruf c
Penghasilan seperti dimaksud dalam Pasal 26 yang diterima
atau diperoleh kantor pusat dianggap sebagai penghasilan
bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila terdapat hubungan
efektif antara harta atau kegiatan yang *8712     memberikan
penghasilan dengan bentuk usaha tetap tersebut. Misalnya, X
Inc.   menutup  perjanjian   lisensi  dengan   PT  Y   untuk
mempergunakan merek dagang X Inc. Atas penggunaan hak
tersebut X Inc. menerima imbalan berupa royalti dari PT Y.
Sehubungan dengan perjanjian tersebut X Inc. juga memberikan
jasa manajemen kepada PT Y melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia, dalam rangka pemasaran produk PT Y yang
mempergunakan merek dagang tersebut. Dalam hal demikian,
penggunaan merek dagang oleh PT Y mempunyai hubungan efektif
dengan bentuk usaha tetap di Indonesia, dan oleh karena itu
penghasilan X Inc. yang berupa royalti tersebut diperlakukan
sebagai penghasilan bentuk usaha tetap.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)

Huruf a
Biaya-biaya administrasi yang dikeluarkan oleh kantor pusat
sepanjang digunakan untuk menunjang usaha atau kegiatan
bentuk usaha tetap di Indonesia, boleh dikurangkan dari
penghasilan bentuk usaha tetap tersebut. Jenis serta
besarnya biaya yang boleh dikurangkan tersebut ditetapkan
oleh Direktur Jenderal Pajak.

Huruf b dan huruf c
Pada dasarnya bentuk usaha tetap merupakan satu kesatuan
dengan kantor pusatnya, sehingga pembayaran oleh bentuk
usaha tetap kepada kantor pusatnya, seperti royalti atas
penggunaan harta kantor pusat, merupakan perputaran dana
dalam   satu  perusahaan.   Oleh  karena   itu,  berdasarkan
ketentuan ini pembayaran bentuk usaha tetap kepada kantor
pusatnya berupa royalti, imbalan jasa, dan bunga tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bentuk usaha tetap. Namun
apabila kantor pusat dan bentuk usaha tetapnya bergerak
     dalam bidang usaha perbankan, maka pembayaran berupa bunga
     pinjaman dapat dibebankan sebagai biaya.

     Sebagai     konsekuensi     dari     perlakuan     tersebut,
     pembayaran-pembayaran yang sejenis yang diterima oleh bentuk
     usaha tetap dari kantor pusatnya tidak dianggap sebagai
     Objek Pajak, kecuali bunga yang diterima oleh bentuk usaha
     tetap dari kantor pusatnya yang berkenaan dengan usaha
     perbankan.

Angka 7
Pasal 6
     Ayat (1)
     Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
     dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu beban atau biaya
     yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun
     dan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.
     Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu)
     tahun merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya
     gaji, biaya administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan
     limbah, dan sebagainya. Sedangkan pengeluaran yang mempunyai
     masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya
     dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi.
     Disamping itu, apabila dalam suatu tahun pajak didapat
     kerugian karena penjualan harta atau karena selisih kurs,
     maka kerugian-kerugian tersebut dapat dikurangkan dari
     penghasilan bruto.

     Huruf a
     Biaya-biaya yang dimaksud pada ayat ini lazim disebut biaya
     sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran.
     Untuk       dapat       dibebankan      sebagai       biaya,
     pengeluaran-pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan
     langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan,
     menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek
     Pajak.   Dengan   demikian   pengeluaran-pengeluaran   untuk
     mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan
     merupakan Objek Pajak, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

     Contoh:
     Dana Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat pengesahan
     dari Menteri Keuangan memperoleh penghasilan bruto yang
     terdiri dari:

     a)   penghasilan yang bukan
          merupakan Objek Pajak sesuai
          Pasal 4 ayat (3)
          huruf g sebesar                Rp 100.000.000,00
     *8713 b)   penghasilan bruto diluar
          ad. a) sebesar           Rp 300.000.000,00
                                   ___________________(+)
Jumlah penghasilan
          bruto                           Rp 400.000.000,00
Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp 200.000.000,00 maka
biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara    penghasilan    adalah    sebesar    3/4    x    Rp
200.000.000,00 = Rp 150.000.000,00.
Demikian pula bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk
membeli saham yang sudah beredar atau untuk melakukan
akuisisi saham milik pemegang saham pendiri atau lama tidak
dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang dividen yang
diterimanya tidak merupakan Objek Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f, kecuali bunga atas pinjaman
yang dipergunakan untuk melakukan penyertaan pada perusahaan
yang baru didirikan atau mengambil bagian dalam "right
issue" oleh perusahaan yang telah lama berdiri. Bunga
pinjaman   yang   tidak   boleh  dibiayakan    tersebut    dapat
dikapitalisasi.
Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan
upaya    untuk    mendapatkan,    menagih,    dan    memelihara
penghasilan,     misalnya    pengeluaran-pengeluaran       untuk
keperluan pribadi pemegang saham, pembayaran bunga atas
pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan pribadi peminjam
serta pembayaran premi asuransi untuk kepentingan pribadi,
tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

Piutang   yang   nyata-nyata  tidak   dapat   ditagih  dapat
dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah
melakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir,
yaitu Wajib Pajak telah menyerahkan penagihan piutang
tersebut kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara
(BUPLN) atau telah mendapat keputusan Pengadilan.
Pembayaran   premi   asuransi   oleh  pemberi   kerja  untuk
kepentingan pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya
perusahaan, namun bagi pegawai yang bersangkutan premi
tersebut merupakan penghasilan.

Pengeluaran-pengeluaran sehubungan dengan pekerjaan yang
boleh dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan
dalam bentuk uang. Pengeluaran yang dilakukan dalam bentuk
natura atau kenikmatan, misalnya fasilitas menempati rumah
dengan cuma-cuma, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan
bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan
penghasilan. Namun demikian, pengeluaran dalam bentuk natura
atau kenikmatan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9
ayat (1) huruf e, boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi
pihak   yang  menerima   atau   menikmati  bukan   merupakan
penghasilan.

Pengeluaran-pengeluaran   yang   dapat   dikurangkan   dari
penghasilan bruto harus dilakukan dalam batas-batas yang
wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik.
Dengan demikian apabila pengeluaran yang melampaui batas
kewajaran tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka
jumlah yang melampaui batas kewajaran tersebut tidak boleh
        dikurangkan dari penghasilan     bruto. Selanjutnya lihat
        ketentuan dalam Pasal 9 ayat    (1) huruf f dan Pasal 18
        beserta penjelasannya.

        Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka
        usahanya selain Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan
        Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), Pajak Pembangunan I
        (PP.I), dapat dibebankan sebagai biaya.

        Mengenai pengeluaran untuk promosi, perlu dibedakan antara
        biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi dengan
        biaya yang pada hakekatnya merupakan sumbangan. Biaya yang
        benar-benar dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan dari
        penghasilan bruto.

        Huruf b
        Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
        harta tak berwujud serta pengeluaran lain yang mempunyai
        masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya
        dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi.

        Selanjutnya lihat ketentuan Pasal 9 ayat (2), Pasal 11, dan
        Pasal 11A beserta penjelasannya.

        Pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan pembayaran di
        muka, misalnya sewa untuk beberapa tahun yang dibayar
        sekaligus, pembebanannya dapat dilakukan melalui alokasi.
*8714
        Huruf c
        Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
        oleh Menteri Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya,
        sedangkan iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun yang
        pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Menteri Keuangan
        tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

        Huruf d
        Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut
        tujuannya semula tidak dimaksudkan untuk dijual atau
        dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan
        atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
        penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

        Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang
        dimiliki tetapi tidak digunakan dalam perusahaan, atau yang
        dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih
        dan memelihara penghasilan, tidak boleh dikurangkan dari
        penghasilan bruto.

        Huruf e
        Kerugian karena selisih kurs mata uang asing dapat
        disebabkan  oleh   adanya  fluktuasi  kurs   yang  terjadi
        sehari-hari, atau oleh adanya kebijaksanaan pemerintah di
        bidang moneter. Kerugian selisih kurs mata uang asing yang
disebabkan oleh fluktuasi kurs, pembebanannya dilakukan
berdasarkan  sistem   pembukuan   yang  dianut,   dan  harus
dilakukan secara taat asas. Apabila Wajib Pajak menggunakan
sistem pembukuan berdasarkan kurs tetap, pembebanan kerugian
selisih kurs dilakukan pada saat terjadinya realisasi atas
perkiraan mata uang asing tersebut. Apabila Wajib Pajak
menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tengah Bank
Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir
tahun, pembebanannya dilakukan pada setiap akhir tahun
berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang
sebenarnya berlaku pada akhir tahun.

Rugi selisih kurs karena kebijaksanaan pemerintah dibidang
moneter dibukukan dalam perkiraan sementara di neraca dan
pembebanannya dilakukan bertahap berdasarkan realisasi mata
uang asing tersebut.

Huruf f
Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan
di Indonesia dalam jumlah yang wajar untuk menemukan
teknologi atau sistem baru bagi pengembangan perusahaan
boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan.

Huruf g

Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan bea siswa, magang dan
pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya
manusia dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan, dengan
memperhatikan kewajaran dan kepentingan perusahaan.

Ayat (2)
Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan berdasarkan
ketentuan pada ayat (1) setelah dikurangkan dari penghasilan
bruto    didapat    kerugian,   maka    kerugian    tersebut
dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal
selama 5 (lima) tahun berturut-turut dimulai sejak tahun
berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut.

Contoh:
PT A dalam tahun 1995 menderita kerugian fiskal
sebesar Rp 1.200.000.000,00. Dalam 5 (lima) tahun berikutnya
rugi laba fiskal PT A sebagai berikut:

1996   :          laba fiskal Rp 200.000.000,00
1997   :   rugi    fiskal (Rp 300.000.000,00)
1998   :   laba    fiskal Rp NIHIL
1999   :   laba    fiskal Rp 100.000.000,00
2000   :   laba    fiskal Rp 800.000.000,00

Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :

Rugi fiskal tahun 1995                (Rp 1.200.000.000,00)
Laba fiskal tahun 1996                 Rp 200.000.000,00
                                     ________________________(+)
     Sisa   rugi fiskal tahun 1995        (Rp 1.000.000.000,00)
     Rugi   fiskal tahun 1997             (Rp   300.000.000,00)
     Sisa   rugi fiskal tahun 1995        (Rp 1.000.000.000,00)
     Laba   fiskal tahun 1998             Rp        NIHIL
                                     _________________________(+)
     Sisa rugi fiskal tahun 1995          (Rp 1.000.000.000,00)
     Laba fiskal tahun 1999                Rp 100.000.000,00
                                     _________________________(+)

     Sisa rugi fiskal tahun 1995          (Rp 900.000.000,00)
     Laba fiskal tahun 2000                Rp 800.000.000,00
                                     _________________________(+)
     Sisa rugi fiskal tahun 1995          (Rp 100.000.000,00)

     Rugi fiskal tahun 1995 sebesar Rp 100.000.000,00 yang masih
     tersisa pada akhir tahun 2000, tidak boleh dikompensasikan
     lagi dengan laba fiskal tahun 2001, sedangkan rugi fiskal
     1997 sebesar Rp 300.000.000,00 hanya boleh dikompensasikan
     dengan laba fiskal tahun 2001 dan tahun 2002, karena jangka
     waktu 5 tahun yang dimulai sejak tahun 1998 berakhir pada
     akhir tahun 2002.

     Ayat (3 )
     Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang
     pribadi dalam negeri, kepadanya diberikan pengurangan berupa
     Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berdasarkan ketentuan
     sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

Angka 8
     Pasal 7
     Ayat (1)
     Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari Wajib
     Pajak orang pribadi dalam negeri, penghasilan netonya
     dikurangi dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak.
     Disamping untuk dirinya, kepada Wajib Pajak yang sudah kawin
     diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak.

     Bagi Wajib Pajak yang isterinya menerima atau memperoleh
     penghasilan yang digabung dengan penghasilannya, maka Wajib
     Pajak tersebut mendapat tambahan Penghasilan Tidak Kena
     Pajak untuk seorang isteri sebesar Rp 1.728.000,00.

     Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan
     semenda dalam garis keturunan lurus yang menjadi tanggungan
     sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak kandung, anak
     angkat, diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak
     untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengan
     anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya adalah
     anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan       dan
     seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.

     Contoh:
     Wajib Pajak A mempunyai seorang isteri dengan tanggungan 4
     (empat) orang anak. Apabila isterinya memperoleh penghasilan
     dari   satu   pemberi   kerja    yang   sudah   dipotong   Pajak
     Penghasilan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada
     hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga
     lainnya, maka besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang
     diberikan   kepada    Wajib   Pajak   A    adalah   sebesar    Rp
     5.184.000,00 {Rp 1.728.000,00 + Rp 864.000,00 + (3 x Rp
     864.000,00)}.    Sedangkan    untuk   isterinya,     pada    saat
     pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh pemberi kerja,
     diberikan   Penghasilan     Tidak   Kena    Pajak   sebesar    Rp
     1.728.000,00. Apabila penghasilan isteri harus         *8716
     digabung dengan penghasilan suami, maka besarnya Penghasilan
     Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah
     sebesar Rp 6.912.000,00 (Rp 5.184.000,00 + Rp 1.728.000,00).

     Ayat (2)
     Penghitungan   besarnya Penghasilan  Tidak   Kena  Pajak
     sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan menurut
     keadaan Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau pada awal
     bagian tahun pajak.

     Misalnya, pada tanggal 1 Januari 1995 Wajib Pajak B
     berstatus kawin dengan tanggungan 1 (satu) orang anak.
     Apabila anak yang kedua lahir setelah tanggal 1 Januari
     1995, maka besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang
     diberikan kepada Wajib Pajak B untuk tahun pajak 1995 tetap
     dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak.

     Ayat (3)
     Berdasarkan   ketentuan   ini   Menteri Keuangan    diberikan
     wewenang untuk mengubah besarnya Penghasilan Tidak Kena
     Pajak    sebagaimana   dimaksud    pada  ayat   (1)    dengan
     mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta
     perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya.

Angka 9
     Pasal 8
     Sistem   pengenaan  pajak   berdasarkan  Undang-undang   ini
     menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya
     penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga
     digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenakan pajak dan
     pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga.
     Namun, dalam hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak
     tersebut dilakukan secara terpisah.

     Ayat (1)
     Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada
     awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak dianggap
     sebagai penghasilan atau kerugian suaminya dan dikenakan
     pajak sebagai satu kesatuan. Penggabungan tersebut tidak
     dilakukan dalam hal penghasilan isteri diperoleh dari
     pekerjaan sebagai pegawai yang telah dipotong pajak oleh
pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa:

a.   penghasilan isteri tersebut semata-mata diperoleh dari
satu pemberi kerja, dan

b.   penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang
tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas
suami atau anggota keluarga lainnya.

Contoh :
Wajib pajak A, yang memperoleh penghasilan dari usaha
sebesar Rp 100.000.000,00, mempunyai seorang isteri yang
menjadi pegawai dengan penghasilan sebesar Rp 50.000.000,00.
Apabila penghasilan isteri tersebut diperoleh dari satu
pemberi kerja dan telah dipotong pajak oleh pemberi kerja
dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha
suami atau anggota keluarga lainnya, maka penghasilan
sebesar Rp 50.000.000,00 tidak digabung dengan penghasilan A
dan pengenaan pajak atas penghasilan isteri tersebut
bersifat final.

Apabila selain menjadi pegawai, isteri A juga menjalankan
usaha, misalnya salon kecantikan dengan penghasilan sebesar
Rp 75.000.000,00, maka seluruh penghasilan isteri sebesar Rp
125.000.000,00   (Rp  50.000.000,00   +  Rp   75.000.000,00)
digabungkan dengan penghasilan A. Dengan penggabungan
tersebut A dikenakan pajak atas penghasilan sebesar Rp
225.000.000,00 (Rp 100.000.000,00 + Rp 50.000.000,00 + Rp
75.000.000,00). Potongan pajak atas penghasilan isteri tidak
bersifat final, artinya dapat dikreditkan terhadap pajak
yang terutang atas penghasilan sebesar Rp 225.000.000,00
tersebut yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan suami.

Ayat (2) dan ayat (3)
Dalam hal suami-isteri telah hidup berpisah, penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan pengenaan pajaknya dilakukan
sendiri-sendiri. Namun, apabila suami-isteri mengadakan
perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis,
penghitungan pajaknya dilakukan berdasarkan penjumlahan
penghasilan neto suami-isteri dan masing-masing
memikul beban pajak sebanding dengan besarnya penghasilan
neto.

Contoh:
Penghitungan   pajak   bagi  suami-isteri   yang   mengadakan
perjanjian pemisahan penghasilan secara tertulis adalah
sebagai berikut:
Dari contoh pada ayat (1), apabila isterinya menjalankan
usaha   salon   kecantikan,   pengenaan   pajaknya   dihitung
berdasarkan jumlah penghasilan sebesar Rp 225.000.000,00.
Misalnya pajak yang terutang atas jumlah penghasilan
tersebut adalah sebesar Rp 56.250.000,00, maka untuk
     masing-masing suami dan isteri pengenaan pajaknya dihitung
     sebagai berikut:

     - Suami:
     100.000.000,00
     ------------x Rp 56.250.000,00 = Rp.25,000.000,00
           225.000.000,00

     - Isteri:
     125.000.000,00
     --------------x Rp 56.250.000,00 = Rp 31.250.000,00
     225.000.000,00

                                               Ayat (4)
     Penghasilan anak yang belum dewasa yang tidak digabung
     dengan penghasilan orang tuanya hanya penghasilan yang
     berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan
     usaha atau kegiatan dari orang yang mempunyai hubungan
     istimewa dengan anak tersebut.

     Yang dimaksud dengan anak yang belum dewasa adalah anak yang
     belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah
     menikah. Apabila seorang anak belum dewasa, yang orang
     tuanya telah berpisah, menerima atau memperoleh penghasilan
     maka pengenaan pajaknya digabungkan dengan penghasilan ayah
     atau ibunya berdasarkan keadaan yang sebenarnya.

Angka 10
     Pasal 9
     Ayat (1)
     Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat
     dibedakan antara pengeluaran yang boleh dan yang tidak boleh
     dibebankan sebagai biaya.

     Pada   prinsipnya   biaya  yang   boleh   dikurangkan   dari
     penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan
     langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan,
     menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek
     Pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun
     pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran
     tersebut. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari
     penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang sifatnya adalah
     pemakaian   penghasilan,  atau   yang   jumlahnya   melebihi
     kewajaran.

     Huruf a
     Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk
     pembayaran dividen kepada pemilik modal, pembagian sisa
     hasil usaha koperasi kepada anggotanya, dan pembayaran
     dividen oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis,
     tidak   boleh  dikurangkan   dari  penghasilan   badan  yang
     membagikannya karena pembagian laba tersebut merupakan
     bagian dari penghasilan badan tersebut yang akan dikenakan
pajak berdasarkan Undang-undang ini.

Huruf b
Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan
adalah biaya-biaya yang dikeluarkan atau dibebankan oleh
perusahaan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu
atau anggota, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya
perjalanan,   biaya  premi   asuransi  yang   dibayar  oleh
perusahaan untuk kepentingan pribadi para pemegang saham
atau keluarganya.

Huruf c
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan pada prinsipnya
tidak dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung
Penghasilan Kena Pajak. Namun untuk jenis jenis usaha
tertentu yang secara ekonomis memang diperlukan   *8718
adanya cadangan untuk menutup beban atau kerugian yang akan
terjadi dikemudian hari, yang terbatas pada piutang tak
tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak
opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya
reklamasi untuk usaha pertambangan, maka perusahaan yang
bersangkutan dapat melakukan pembentukan dana cadangan yang
ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.

Huruf d
Premi   untuk  asuransi   kesehatan,   asuransi   kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak orang pribadi tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat orang
pribadi   dimaksud   menerima   penggantian   atau   santunan
asuransi, penerimaan tersebut bukan merupakan Objek Pajak.
Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh
pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut
boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai yang
bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan Objek
Pajak.

Huruf e
Sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 ayat
(3) huruf d, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura
dan kenikmatan dianggap bukan merupakan Objek Pajak. Selaras
dengan hal tersebut maka dalam ketentuan ini, penggantian
atau imbalan dimaksud dianggap bukan merupakan pengeluaran
yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja.
Namun, dalam rangka menunjang kebijaksanaan pemerintah untuk
mendorong pembangunan di daerah tertentu yaitu daerah
terpencil,    berdasarkan   keputusan    Menteri   Keuangan,
penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan
yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di
daerah tersebut, boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
pemberi kerja.
Dalam hal pemberian kepada pegawai yang merupakan keharusan
dalam pelaksanaan pekerjaan, seperti pakaian dan peralatan
untuk keselamatan kerja, pakaian seragam, antar jemput
karyawan, penyediaan makanan dan minuman serta penginapan
untuk awak kapal, dan yang sejenisnya, pemberian tersebut
bukan merupakan imbalan tetapi boleh dibebankan sebagai
biaya bagi pemberi kerja.

Huruf f
Dalam   hubungan   pekerjaan,   kemungkinan    dapat   terjadi
pembayaran imbalan yang diberikan kepada pegawai yang juga
pemegang saham. Karena pada dasarnya pengeluaran untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto adalah pengeluaran yang
jumlahnya   wajar  sesuai   dengan   kelaziman   usaha,   maka
berdasarkan ketentuan ini, jumlah yang melebihi kewajaran
tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

Misalnya seorang tenaga ahli yang adalah pemegang saham dari
suatu badan, memberikan jasa kepada badan tersebut dengan
memperoleh imbalan sebesar Rp 5.000.000,00. Apabila untuk
jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang
setara hanya dibayar sebesar Rp 2.000.000,00, maka jumlah
sebesar Rp 3.000.000,00 tidak boleh dibebankan sebagai
biaya. Bagi tenaga ahli yang juga sebagai pemegang saham
tersebut, jumlah sebesar Rp 3.000.000,00 dimaksud dianggap
sebagai dividen.

Huruf g
Cukup jelas.

Huruf h
Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan
ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak
yang bersangkutan.

Huruf i
Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang
menjadi tanggungannya, pada hakekatnya merupakan penggunaan
penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena
itu biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan
bruto perusahaan.

Huruf j
Anggota firma, persekutuan dan perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham diperlakukan sebagai satu
kesatuan, sehingga tidak ada imbalan sebagai gaji. Dengan
demikian gaji yang diterima oleh anggota persekutuan, firma,
atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi
atas saham, bukan merupakan pembayaran yang boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto badan tersebut.

Huruf k
     Cukup jelas.

     Ayat (2)
     Sesuai dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang mempunyai
     peranan   terhadap   penghasilan   untuk   beberapa   tahun,
     pembebanannya dilakukan sesuai dengan jumlah tahun lamanya
     pengeluaran tersebut berperan terhadap penghasilan. Sejalan
     dengan prinsip penyelarasan antara pengeluaran dengan
     penghasilan,   dalam    ketentuan  ini   pengeluaran   untuk
     mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
     mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dapat
     dikurangkan sebagai biaya perusahaan sekaligus pada tahun
     pengeluaran, melainkan dibebankan melalui penyusutan dan
     amortisasi selama masa manfaatnya sebagaimana diatur dalam
     Pasal 11 dan Pasal 11A.

Angka 11
     Pasal 10
     Ketentuan ini mengatur tentang cara penilaian harta,
     termasuk persediaan, dalam rangka menghitung penghasilan
     sehubungan   dengan   penggunaan  harta   dalam   perusahaan,
     menghitung   keuntungan   atau   kerugian   apabila   terjadi
     penjualan   atau    pengalihan   harta,   dan    penghitungan
     penghasilan dari penjualan barang dagangan.

     Ayat (1)
     Pada umumnya dalam jual beli harta, harga perolehan harta
     bagi pihak pembeli adalah harga yang sesungguhnya dibayar
     dan harga penjualan bagi pihak penjual adalah harga yang
     sesungguhnya diterima. Termasuk dalam harga perolehan adalah
     harga beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka
     memperoleh   harta   tersebut,   seperti   bea  masuk,   biaya
     pengangkutan dan biaya pemasangan.
     Dalam   jual   beli   yang   dipengaruhi   hubungan   istimewa
     sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4), maka bagi
     pihak   pembeli   nilai   perolehannya   adalah  jumlah   yang
     seharusnya dibayar dan bagi pihak penjual nilai penjualannya
     adalah jumlah yang seharusnya diterima. Adanya hubungan
     istimewa antara pembeli dan penjual dapat menyebabkan harga,
     perolehan menjadi lebih besar atau lebih kecil dibandingkan
     dengan jika jual beli tersebut tidak dipengaruhi oleh
     hubungan istimewa. Oleh karena itu dalam ketentuan ini
     diatur bahwa nilai perolehan atau nilai penjualan harta bagi
     pihak-pihak yang bersangkutan adalah jumlah yang seharusnya
     dikeluarkan atau yang seharusnya diterima.

     Ayat (2)
     Harta yang diperoleh berdasarkan transaksi tukar-menukar
     dengan harta lain, nilai perolehan atau nilai penjualannya
     adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkanatau diterima
     berdasarkan harga pasar.

     Contoh:
     PT A PT B                 (Harta X)                (Harta Y)
     Nilai sisa buku      Rp 10.000.000,00         Rp
12.000.000,00
     Harga Pasar     Rp 20.000.000,00         Rp 20.000.000,00

     Antara PT A dan PT B terjadi pertukaran harta. Walaupun
     tidak terdapat realisasi pembayaran antara pihak-pihak yang
     bersangkutan,   namun   karena   harga  pasar   harta   yang
     dipertukarkan adalah Rp 20.000.000,00, maka jumlah sebesar
     Rp 20.000.000,00 merupakan nilai perolehan yang seharusnya
     dikeluarkan atau nilai penjualan yang seharusnya diterima.
     Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang
     dipertukarkan merupakan keuntungan yang dikenakan pajak. PT
     A memperoleh keuntungan sebesar Rp 10.000.000,00 (Rp
     20.000.000,00 - Rp 10.000.000,00) dan PT B memperoleh
     keuntungan sebesar Rp 8.000.000,00 (Rp 20.000.000,00 - Rp
     12.000.000,00).

     Ayat (3)
     Pada prinsipnya apabila terjadi pengalihan harta, penilaian
     harta yang dialihkan dilakukan berdasarkan harga pasar.
     Pengalihan harta tersebut dapat dilakukan dalam rangka
     pengembangan    usaha   berupa    penggabungan,  peleburan,
     pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha. Selain itu
     pengalihan tersebut dapat dilakukan pula dalam rangka
     likuidasi usaha atau sebab lainnya.

     *8720 Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku
     harta yang dialihkan merupakan penghasilan yang dikenakan
     pajak.

               Contoh:
     PT A dan PT B melakukan peleburan dan membentuk badan baru,
     yaitu PT C. Nilai sisa buku dan harga pasar harta dari kedua
     badan tersebut adalah sebagai berikut:

     PT A            PT B
     Nilai sisa buku      Rp 200.000.000,00 Rp 300.000.000,00
     Harga pasar     Rp 300.000.000,00 Rp 450.000.000,00

     Pada dasarnya, penilaian harta yang diserahkan oleh PT A dan
     PT B dalam rangka peleburan menjadi PT C adalah harga pasar
     dari harta. Dengan demikian, PT A mendapat keuntungan
     sebesar   Rp   100.000.000,00   (Rp  300.000.000,00   -   Rp
     200.000.000,00) dan PT B mendapat keuntungan sebesar Rp
     150.000.000,00 (Rp 450.000.000,00 - Rp 300.000.000,00).
     Sedangkan PT C membukukan semua harta tersebut dengan jumlah
     Rp 750.000.000,00 (Rp 300.000.000,00 + Rp 450.000.000,00).
     Namun dalam rangka menyelaraskan dengan kebijakan di bidang
     sosial, ekonomi, investasi, moneter dan kebijakan lainnya,
     Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan nilai lain
     selain harga pasar, yaitu atas dasar nilai sisa buku
     ("pooling of interest"). Dalam hal demikian PT C membukukan
penerimaan harta dari PT A dan PT B tersebut sebesar Rp
500.000.000,00 (Rp 200.000.000,00 + Rp 300.000.000,00).

Ayat (4)
Dalam hal terjadi penyerahan harta karena hibah, bantuan,
sumbangan yang memenuhi syarat dalam Pasal 4 ayat (3) huruf
a atau warisan, maka nilai perolehan bagi pihak yang
menerima harta adalah nilai sisa buku harta dari pihak yang
melakukan    penyerahan.   Apabila   Wajib    Pajak   tidak
menyelenggarakan pembukuan sehingga nilai sisa buku tidak
diketahui, maka nilai perolehan atas harta ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.

Dalam hal terjadi penyerahan harta karena hibah, bantuan,
sumbangan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a, maka nilai perolehan bagi
pihak yang mengalihkan adalah harga pasar

Ayat (5)
Penyertaan Wajib Pajak dalam permodalan suatu badan dapat
dipenuhi dengan setoran tunai atau pengalihan harta.

Ketentuan  ini   mengatur  tentang  penilaian  harta  yang
diserahkan sebagai pengganti saham atau penyertaan modal
dimaksud, yaitu dinilai berdasarkan nilai pasar dari harta
yang dialihkan tersebut.

Contoh:
Wajib Pajak X menyerahkan 20 unit mesin bubut yang nilai
bukunya adalah Rp 25.000.000,00 kepada PT Y sebagai
pengganti penyertaan sahamnya dengan nilai nominal Rp
20.000.000,00. Harga pasar mesin-mesin bubut tersebut adalah
Rp 40.000.000,00. Dalam hal ini PT Y akan mencatat mesin
bubut tersebut sebagai aktiva dengan nilai Rp 40.000.000,00
dan sebesar nilai tersebut bukan merupakan penghasilan bagi
PT Y. Selisih antara nilai nominal saham dengan nilai pasar
harta, yaitu sebesar Rp 20.000.000,00 (Rp 40.000.000,00 - Rp
20.000.000,00) dibukukan sebagai agio. Bagi Wajib Pajak X
selisih sebesar Rp 15.000.000,00 (Rp 40.000.000,00 - Rp
25.000.000,00) merupakan Objek Pajak.

Ayat (6)
Pada umumnya terdapat 3 (tiga) golongan persediaan barang,
yaitu barang jadi atau barang dagangan, barang dalam proses
produksi, bahan baku dan bahan pembantu.

Ketentuan pada ayat ini mengatur bahwa penilaian persediaan
barang hanya boleh menggunakan harga perolehan. Penilaian
pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok hanya
boleh dilakukan dengan cara rata-rata atau dengan cara
mendahulukan persediaan yang didapat pertama ("first-in
first-out atau disingkat FIFO"). Sesuai dengan kelaziman,
cara   penilaian   tersebut  juga   diberlakukan   terhadap
     sekuritas.

     Contoh:
     1. Persediaan awal        100 satuan      @Rp 9,00
     *8721 2. Pembelian             100 satuan      @Rp 12,00
     3. Pembelian              100 satuan      @Rp 11,25
     4. Penjualan/dipakai           100 satuan
     5. Penjualan/dipakai           100 satuan

     Penghitungan harga pokok penjualan dan nilai persediaan
     dengan menggunakan cara rata-rata misalnya sebagai berikut:

No Didapat                    Dipakai          Sisa/persediaan
1.                                          100s@Rp9,00=Rp 900,00
2. 100s@Rp12,00=Rp1.200,00
200s@10,50=Rp2.100,00
3. 100s@Rp11,25=Rp1,125,00
300s@Rp10,75=Rp3.225,00
4.                    100s@Rp10,75=Rp1.075,00
200s@Rp10,75=Rp2.150,00
5.                    100sRp                     10,75=Rp1.075,00
100s@Rp10,75=Rp1.075,00

     Penghitungan harga pokok dan nilai persediaan          dengan
     menggunakan cara FIFO misalnya sebagai berikut:

No   Didapat             Dipakai         Sisa/persediaan
1.                                       100s@Rp9,00=Rp900,00
2. 100s@Rp12,00=Rp1.200,00                    100s@Rp9,00=Rp900,00
                                         100s@Rp12,00=Rp1,200,00
3. 100s@11,25=Rp1.125,00                 100@Rp9,00=Rp900,00
                                         100s@Rp12,00=Rp1.200,00
                                         100s@Rp11,25=Rp1.125,00
4. 100s@Rp9,00=Rp900,00
     100s@Rp12,00=Rp1.200,00
                                        100s@Rp11,25=Rp1.125,00
5.                  100s@Rp12,00=Rp1,200,00
     100s@Rp11,25=Rp1.125,00

     Sekali Wajib Pajak memilih salah satu cara penilaian
     pemakainan   persediaan  untuk   penghitungan  harga   pokok
     tersebtu, maka untuk tahun-tahun selanjutnya harus digunakan
     cara yang sama.

Angka 12
     Pasal 11
     Ayat (1) dan ayat (2)
     Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai
     masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun harus dibebankan
     sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
     penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut
     selama masa manfaat harta tersebut melalui penyusutan. Tanah
     tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut
dipergunakan dalam perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh
penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang
karena peng-gunaannya untuk memperoleh penghasilan, misalnya
tanah dipergunakan untuk perusahaan genteng, perusahaan
keramik atau perusahaan batu bata. Metode penyusutan yang
dibolehkan berdasarkan ketentuan ini adalah (a) dalam
bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang
ditetapkan bagi harta tersebut (metode garis lurus atau
"straight-line method"), atau (b) dalam bagian-bagian yang
menurun dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai
sisa buku (metode saldo menurun atau "declining balance
method"). Penggunaan metode penyusutan atas harta harus
dilakukan secara taat asas.

Untuk harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan
dengan metode garis lurus. Harta berwujud selain bangunan
dapat disusutkan dengan metode garis lurus atau metode saldo
menurun. Dalam hal Wajib Pajak memilih menggunakan metode
saldo menurun, nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus
disusutkan sekaligus.
Sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil ("small
tools") yang sama atau sejenis dapat disusutkan dalam satu
golongan.

Contoh penggunaan metode garis lurus :

Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp 100.000.000,00 dan
masa manfaatnya 20 (dua puluh) tahun, penyusutannya setiap
tahun adalah sebesar Rp 5.000.000,00 (Rp 100.000.000,00 :
20).

Contoh penggunaan metode saldo menurun :

Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan
Juni 1995 dengan harga perolehan sebesar Rp 150.000.000,00.
Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun.
Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh
persen), maka penghitungan penyusutannya adalah sebagai
berikut:

Tahun      Tarif     Penyusutan         Nilai Sisa Buku
0                                 150.000.000,00
1         50%       75.000.000,00   75.000.000,00
2         50%       37.500.000,00   37.500.000,00
3         50%       18.750.000,00   18.750.000,00
4. disusutkan sekaligus 18.750.000,00       0

Ayat (3) dan ayat (4)
Ketentuan ini mengatur saat mulainya penyusutan, yaitu pada
tahun dilakukannya pengeluaran atau pada tahun selesainya
pengerjaan suatu harta. Namun berdasarkan persetujuan
Direktur Jenderal Pajak, saat mulainya penyusutan dapat
dilakukan   pada  tahun  harta  tersebut   digunakan  untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan atau pada
tahun harta tersebut mulai menghasilkan. Yang dimaksud
dengan mulai menghasilkan dalam ketentuan ini dikaitkan
dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan
saat diterima atau diperolehnya penghasilan.

Contoh 1.
Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar
Rp 100.000.000,00. Pembangunan dimulai pada bulan Oktober
1995 dan selesai untuk digunakan pada bulan Maret 1996.
Penyusutan atas harga perolehan bangunan gedung tersebut
dimulai pada tahun pajak 1996.

Contoh 2.
PT X yang bergerak di bidang perkebunan kopi membeli traktor
pada tahun 1999. Perkebunan tersebut mulai menghasilkan
(panen) pada tahun 2000. Dengan persetujuan Direktur
Jenderal Pajak, penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan
mulai tahun 2000.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Ayat (6)
Untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dalam
melakukan penyusutan atas pengeluaran harta berwujud,
ketentuan ini mengatur kelompok masa manfaat harta dan tarif
penyusutan baik menurut metode garis lurus maupun saldo
menurun.

Yang dimaksud bangunan tidak permanen adalah bangunan yang
bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan
lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan, yang masa
manfaatnya tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun. Misalnya,
barak atau asrama yang dibuat dari kayu untuk karyawan.

Ayat (7)
Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang
usaha tertentu, seperti pertambangan minyak dan gas bumi,
perkebunan   tanaman  keras,   perlu  diberikan   pengaturan
tersendiri untuk penyusutan harta berwujud yang digunakan
dalam usaha tersebut yang ketentuannya ditetapkan dengan
keputusan Menteri Keuangan.

Ayat (8) dan ayat (9)
Pada dasarnya keuntungan atau kerugian karena pengalihan
harta dikenakan pajak dalam tahun dilakukannya pengalihan
harta tersebut.

Apabila harta tersebut dijual atau terbakar, maka penerimaan
neto dari penjualan harta tersebut, yaitu selisih antara
harga penjualan dengan biaya yang dikeluarkan berkenaan
dengan penjualan tersebut, dan/atau penggantian asuransinya
     dibukukan   sebagai      penghasilan  pada  tahun   terjadinya
     penjualan atau pada    tahun diterimanya penggantian asuransi,
     dan nilai sisa buku     dari harta tersebut dibebankan sebagai
     kerugian dalam tahun   pajak yang bersangkutan.

     Dalam hal penggantian asuransi yang diterima jumlahnya baru
     dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, Wajib Pajak
     dapat mengajukan             permohonan    kepada   Direktur
                          *8723
     Jenderal Pajak agar jumlah sebesar kerugian tersebut dapat
     dibebankan dalam tahun penggantian asuransi tersebut.

     Ayat (10)
     Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
     (8), dalam hal pengalihan harta berwujud yang memenuhi
     syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a
     dan huruf b, nilai sisa bukunya tidak boleh dibebankan
     sebagai kerugian oleh pihak yang mengalihkan.

     Ayat (11)
     Dalam rangka memberikan keseragaman kepada Wajib Pajak untuk
     melakukan penyusutan, Menteri Keuangan diberi wewenang
     menetapkan jenis jenis harta yang termasuk dalam setiap
     kelompok masa manfaat yang harus dükuti oleh Wajib Pajak.

Angka 13

     Pasal 11 A

     Ayat (1)
     Harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lain yang
     mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, diamortisasi
     dengan metode (a) dalam bagian-bagian yang sama setiap tahun
     selama masa manfaat, atau (b) dalam bagian-bagian yang
     menurun setiap tahun dengan cara menerapkan tarif amortisasi
     atas nilai sisa buku.

      Khusus untuk amortisasi harta tak berwujud yang menggunakan
     metode saldo menurun, pada akhir masa manfaat nilai sisa
     buku harta tak berwujud atau hak-hak tersebut diamortisasi
     sekaligus.

     Ayat (2)
     Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi atas pengeluaran
     harta tak berwujud dimaksudkan untuk memberikan keseragaman
     bagi Wajib Pajak dalam melakukan amortisasi. Wajib Pajak
     dapat melakukan amortisasi sesuai dengan metode yang
     dipilihnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan
     masa manfaat yang sebenarnya dari tiap harta tak berwujud.
     Tarif amortisasi yang diterapkan didasarkan pada kelompok
     masa manfaat sebagaimana yang diatur dalam ketentuan ini.
     Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak
     tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada, maka Wajib
     Pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat. Misalnya harta
tak berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya 6 (enam)
tahun dapat menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat)
tahun atau 8 (delapan) tahun. Dalam hal masa manfaat yang
sebenarnya 5 (lima) tahun, maka harta tak berwujud tersebut
diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4
(empat) tahun.

Ayat (3 )
Cukup jelas.

Ayat (4)
Metode   satuan   produksi   dilakukan  dengan   menerapkan
persentase tarif amortisasi yang besarnya setiap tahun sama
dengan persentase perbandingan antara realisasi penambangan
minyak dan gas bumi pada tahun yang bersangkutan dengan
taksiran jumlah seluruh kandungan minyak dan gas bumi di
lokasi tersebut yang dapat diproduksi.

Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil
dari yang diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa
pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain, maka
atas sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus
dalam tahun pajak yang bersangkutan.

Ayat (5)
Pengeluaran untuk memperoleh    hak penambangan selain minyak
dan gas bumi, hak pengusahaan   hutan, atau hasil alam lainnya
seperti hak pengusahaan hasil    laut diamortisasi berdasarkan
metode satuan produksi dengan    jumlah setinggi-tingginya 20%
(dua puluh persen) setahun.

Contoh:
Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan, yang
mempunyai potensi 10.000.000 (sepuluh juta) ton kayu,
sebesar   Rp  500.000.000,00  diamortisasi   sesuai  dengan
persentase satuan produksi yang direalisasikan dalam tahun
yang bersangkutan. Jika dalam satu tahun pajak ternyata
jumlah produksi      *8724 mencapai 3.000.000 (tiga juta)
ton yang berarti 30% (tiga puluh persen) dari potensi yang
tersedia, maka walaupun jumlah produksi pada tahun tersebut
mencapai 30% (tiga puluh persen) dari jumlah potensi yang
tersedia, besarnya amortisasi yang diperkenankan untuk
dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun tersebut
adalah 20% (dua puluh persen) dari pengeluaran atau Rp
100.000.000,00.

Ayat (6)
Dalam pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi
komersial, adalah biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum
operasi komersial, misalnya biaya studi kelayakan dan biaya
produksi   percobaan  tetapi   tidak  termasuk   biaya-biaya
operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya
rekening listrik dan telepon, dan biaya kantor lainnya.
     Untuk pengeluaran operasional yang rutin ini tidak boleh
     dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun
     pengeluaran.

     Ayat (7)
     Contoh:
     PT X mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan
     minyak   dan   gas  bumi   di   suatu   lokasi  sebesar   Rp
     500.000.000,00. Taksiran jumlah kandungan minyak di daerah
     tersebut adalah sebanyak 200.000.000 (dua ratus juta) barel.
     Setelah produksi minyak dan gas bumi mencapai 100.000.000
     (seratus juta) barel, PT X menjual hak penambangan tersebut
     kepada pihak lain dengan harga sebesar Rp 300.000.000,00.
     Penghitungan penghasilan dan kerugian dari penjualan hak
     tersebut adalah sebagai berikut:

     Harga perolehan                    Rp 500.000.000,00
     Amortisasi yang telah dilakukan     100.000.000/200.000.000
barel (50%)
                                   Rp 250.000.000,00
     Nilai buku harta                   Rp 250.000.000,00
     Harga jual harta                   Rp 300.000.000,00

     Dengan   demikian  jumlah   nilai  sisa   buku  sebesar  Rp
     250.000.000,00 dibebankan sebagai kerugian dan jumlah
     sebesar Rp 300.000.000,00 dibukukan sebagai penghasilan.

     Ayat (8)
     Cukup jelas.

Angka 14
     Pasal 12
     Cukup jelas.

Angka 15
     Pasal 13
     Cukup jelas.

Angka 16
     Pasal 14
     Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib
     Pajak sangat penting untuk dapat mengenakan pajak yang adil
     dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak.
     Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak harus
     menyelenggarakan pembukuan. Namun disadari bahwa tidak semua
     Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan.

     Semua Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan
     menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi yang
     menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan
     jumlah   peredaran   tertentu,   tidak  diwajibkan   untuk
     menyelenggarakan pembukuan.
Untuk   memberikan   kemudahan  dalam   menghitung   besarnya
penghasilan neto bagi Wajib Pajak yang menjalankan usaha
atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu
tersebut,   Direktur   Jenderal   Pajak   menerbitkan   norma
penghitungan.

Ayat (1)
Norma penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya
peredaran   bruto   dan    besarnya   penghasilan   neto  yang
diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dengan berpedoman
pada suatu pegangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan
dan   disempurnakan     terus    menerus.   Penggunaan   norma
penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal
:

a.   tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih
baik, yaitu pembukuan atau catatan peredaran bruto yang
lengkap, atau

b.   pembukuan atau catatan peredaran bruto      Wajib   Pajak
ternyata diselenggarakan secara tidak benar.

Norma penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil
penelitian  atau   data   lain,  dan   dengan  memperhatikan
kewajaran.
Norma penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang
belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung
penghasilan neto.

Ayat (2), ayat (3) dan ayat (4)
Norma Penghitungan Penghasilan Neto hanya boleh digunakan
oleh Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya
kurang   dari   jumlah  Rp    600.000.000,00. Untuk   dapat
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut
Wajib Pajak orang pribadi harus memberitahukan kepada
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Wajib Pajak
orang   pribadi    yang   menggunakan   Norma  Penghitungan
Penghasilan Neto tersebut wajib menyelenggarakan pencatatan
sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan, tentang peredaran brutonya.
Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan
norma dalam menghitung penghasilan neto.

Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang berhak bermaksud
untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto,
tetapi tidak memberitahukannya kepada Direktur Jenderal
Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan, maka Wajib Pajak
tersebut dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.

Ayat (5)
Ketentuan ini mengatur tentang penerapan Norma Penghitungan
Peredaran Bruto dan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
     terhadap Wajib Pajak yang peredaran bruto sebenarnya tidak
     dapat diketahui, yaitu Wajib Pajak yang:

     a.   wajib menyelenggarakan pembukuan tetapi tidak bersedia
     memperlihatkan pembukuan atau catatan peredaran bruto atau
     bukti--bukti pembukuan atau bukti-bukti pencatatan peredaran
     bruto, sehingga peredaran bruto yang sebenarnya tidak dapat
     diketahui;

     b.    dianggap  menyelenggarakan   pembukuan  karena   tidak
     memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak tentang
     keinginannya untuk menghitung penghasilan neto dengan Norma
     Penghitungan Penghasilan Neto, namun ternyata tidak atau
     tidak   sepenuhnya   menyelenggarakan   pembukuan   sehingga
     peredaran bruto yang sebenarnya tidak dapat diketahui;

     c.    telah menyatakan keinginannya kepada Direktur Jenderal
     Pajak   untuk   menghitung    penghasilan   netonya   dengan
     menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, namun
     ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan
     pencatatan mengenai peredaran brutonya, sehingga peredaran
     bruto yang sebenarnya tidak dapat diketahui.

     Ayat (6)
     Ketentuan ini mengatur tentang penerapan Norma Penghitungan
     Penghasilan Neto dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak yang
     sebenarnya dapat diketahui namun penghasilan netonya tidak
     dapat dihitung, yaitu terhadap Wajib Pajak yang:

     a.   wajib menyelenggarakan pembukuan tetapi tidak atau
     tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak
     memperlihatkan   pembukuan   atau    bukti-buktinya, namun
     peredaran bruto yang sebenarnya dapat diketahui;

     b.   dianggap menyelenggarakan pembukuan seperti dimaksud
     pada   ayat  (4)   tetapi   tidak   atau  tidak   sepenuhnya
     menyelenggarakan   pembukuan   atau   tidak   memperlihatkan
     pembukuan atau bukti-buktinya, namun peredaran bruto yang
     sebenarnya dapat diketahui.

     Ayat (7)
     Menteri Keuangan dapat menyesuaikan besarnya batas peredaran
     bruto    sebagaimana  dimaksud    pada   ayat   (2)   dengan
     memperhatikan perkembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat
     Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan.
*8726
Angka 17
      Pasal 15
      Ketentuan ini mengatur tentang Norma Penghitungan Khusus
      untuk golongan Wajib Pajak tertentu, antara lain perusahaan
      pelayaran   atau   penerbangan  internasional,   perusahaan
      asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan
      panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang
    melakukan investasi dalam bentuk bangun-guna-serah ("build,
    operate, and transfer").

    Untuk menghindari kesukaran dalam menghitung besarnya
    Penghasilan Kena Pajak bagi golongan Wajib Pajak tertentu
    tersebut, berdasarkan pertimbangan praktis atau sesuai
    dengan kelaziman pengenaan pajak dalam bidang-bidang usaha
    tersebut, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan
    Norma   Penghitungan   Khusus   guna   menghitung    besarnya
    penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu tersebut.

Angka 18
     Pasal 16
     Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar penghitungan untuk
     menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang. Dalam
     Undang-undang ini dikenal dua golongan Wajib Pajak, yaitu
     Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri.

    Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua
    cara untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak, yaitu
    penghitungan dengan cara biasa dan penghitungan dengan
    menggunakan norma penghitungan.

    Di   samping   itu   terdapat   cara   penghitungan  dengan
    mempergunakan Norma Penghitungan Khusus, yang diperuntukkan
    bagi Wajib Pajak tertentu berdasarkan keputusan Menteri
    Keuangan.

    Bagi Wajib Pajak luar negeri penentuan besarnya Penghasilan
    Kena Pajak dibedakan antara :

    (1) Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau
    melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di
    Indonesia;

    (2)    Wajib Pajak luar negeri lainnya.

    Ayat (1)
    Bagi   Wajib  Pajak   dalam   negeri   yang  menyelenggarakan
    pembukuan,   Penghasilan   Kena   Pajaknya  dihitung   dengan
    menggunakan cara penghitungan biasa dengan contoh sebagai
    berikut:

    -     Peredaran bruto                 Rp 300.000.000,00
    -     Biaya untuk mendapatkan,
          menagih dan memelihara
          penghasilan                 Rp 255.000.000,00
                                     ___________________ (-)
    -     Laba usaha
          (penghasilan neto usaha) Rp 45.000.000,00
    -     Penghasilan lainnya Rp 5.000.000,00
    -      Biaya untuk mendapatkan,
          menagih dan memelihara
      penghasilan lainnya
      tersebut             Rp 3.000.000,00
                           _________________ (-)
                           Rp   2.000.000,00
                           __________________
      Jumlah seluruh penghasilan
      neto                       Rp 47.000.000,00
- Kompensasi kerugian           Rp   2.000.000,00
                           ___________________(-)
- Penghasilan Kena Pajak
  (bagi Wajib Pajak badan)       Rp 45.000.000,00
- Pengurangan berupa
  Penghasilan Tidak Kena Pajak
  untuk Wajib Pajak orang pribadi
  (isteri+3 anak)           Rp   5.184.000,00
                           _________________(-)
- Penghasilan Kena Pajak
         (bagi Wajib Pajak
*8727
  orang pribadi)                 Rp 39. 816. 000,00

Ayat (2)
Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang berhak untuk tidak
menyelenggarakan   pembukuan,    Penghasilan  Kena   Pajaknya
dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto dengan contoh sebagai berikut :
- Peredaran bruto               Rp 300 .000.000,00
- Penghasilan neto
  (menurut Norma Penghitungan)
  misalnya 20%                  Rp 60.000.000,00
- Penghasilan neto lainnya           Rp   5.000.000,00
                               _________________(+)
- Jumlah seluruh
  penghasilan neto              Rp 65 .000.000,00
- Penghasilan Tidak Kena Pajak
  (isteri + 3 anak)             Rp   5.184.000,00
                               _________________ (-)
  Penghasilan Kena Pajak        Rp 59.816.000,00

Ayat (3)
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia, cara penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya pada
dasarnya sama dengan cara penghitungan Penghasilan Kena
Pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri. Oleh karena
bentuk usaha tetap berkewajiban untuk menyelenggarakan
pembukuan, maka Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan
cara penghitungan biasa.

Contoh :
- Peredaran bruto                    Rp 400.000.000,00
- Biaya untuk mendapatkan,
  menagih dan memelihara penghasilan     Rp 275.000.000,00
                                   __________________(-)
                                        Rp 125.000.000,00
     - Penghasilan bunga                Rp   5.000.000,00
     - Penjualan langsung barang
       oleh kantor pusat yang
       sejenis dengan barang yang
       dijual bentuk usaha tetap    Rp 200.000.000,00
     - Biaya untuk mendapatkan, menagih
       dan memelihara penghasilan   Rp 150.000.000,00
                              ___________________(-)
                              Rp 50.000.000,00
     - Dividen yang diterima atau
       diperoleh kantor pusat yang
       mempunyai hubungan efektif
       dengan bentuk usaha tetap              Rp   2.000.000,00
                                        _________________ (+)
                                    Rp 182.000.000,00
     - Biaya-biaya menurut Pasal 5 ayat (3) Rp    7.000.000,00
                                        __________________(-)
     - Penghasilan Kena Pajak           Rp 175.000.000,00

     Ayat (4)
     Contoh :
     Misalnya orang pribadi tidak kawin yang kewajiban pajak
     subjektifnya sebagai Subjek Pajak dalam negeri adalah 3
     (tiga) bulan, dan dalam jangka waktu tersebut memperoleh
     penghasilan sebesar Rp 10.000.000,00 maka penghitungan
     Penghasilan Kena Pajaknya adalah sebagai berikut:

     Penghasilan selama 3 (tiga) bulan    Rp 10.000.000,00

     Penghasilan setahun sebesar:
     360/3x30x Rp 10.000.000,00          Rp 40.000.000,00

     Penghasilan Tidak Kena Pajak
     (isteri+3 anak)                     Rp 5.184.000,00
                                    _________________(-)
     Penghasilan Kena Pajak              Rp 34.816.000,00

Angka 19
     Pasal 17
     *8728 Ayat (1)
     Contoh :
     Jumlah Penghasilan Kena Pajak       Rp 120.000.000,00
     Pajak Penghasilan terutang :
     1O% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
     15% x Rp 25.000.000,00 = Rp 3.750.000,00
     30% x Rp 70.000.000,00 = Rp 21.000.000,00
                         __________________(+)

                         Rp   27.250.000,00

     Tarif pajak bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan
     usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia melalui suatu
     bentuk usaha tetap di Indonesia, sama dengan tarif pajak
     bagi Wajib Pajak dalam negeri.

     Ayat (2)
     Perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat ini akan
     diberlakukan secara nasional, dimulai per 1 (satu) Januari
     dan diumumkan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tarif
     baru itu berlaku efektif, serta dikemukakan oleh Pemerintah
     kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, untuk
     dibahas   dalam   rangka   penyusunan   Rancangan   Anggaran
     Pendapatan dan Belanja Negara.

     Ayat (3 )
     Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud
     pada ayat (1) tersebut akan disesuaikan dengan faktor
     penyesuaian, antara lain tingkat inflasi. Menteri Keuangan
     diberi wewenang mengeluarkan keputusan yang mengatur tentang
     faktor penyesuaian tersebut.

     Ayat (4)
     Contoh:
     Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 5.050.900,00 untuk
     penerapan tarif dibulatkan ke bawah menjadi Rp 5.050.000,00.

     Ayat (5) dan ayat (6)
     Contoh (berdasarkan contoh dalam Pasal 16 ayat (4)):
     Penghasilan Kena Pajak              Rp 34.816.000,00
     Pajak Penghasilan setahun :
     10% x Rp 25.000.000,00 =       Rp 2.500.000,00
     15% x Rp 9.816.000,00 =        Rp 1.472.400,00
                                   _______________(+)
                                   Rp 3.972.400,00

     Pajak Penghasilan terutang dalam bagìan tahun      pajak   (3
     bulan)
     (3 x 30)/360 x Rp 3.972.400,00 = Rp 993.100,00

     Ayat (7)
     Ketentuan pada ayat ini memberi wewenang kepada Pemerintah
     untuk menentukan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat
     final atas jenis penghasilan tertentu sebagaimana dimaksud
     dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak lebih tinggi dari
     tarif pajak tertinggi sebagaimana diatur pada ayat (1).
     Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut didasarkan atas
     pertimbangan   kesederhanaan,   keadilan,  pemerataan,  dan
     efektivitas dalam pengenaan pajak.

Angka 20
     Pasal 18
     Ayat (1)
     Undang-undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan
     untuk memberi keputusan tentang besarnya perbandingan antara
     utang dan modal perusahaan yang dapat dibenarkan untuk
keperluan penghitungan pajak. Dalam dunia usaha terdapat
tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya
perbandingan antara utang dan modal ("debt-equity ratio").
Apabila perbandingan antara utang dan modal sangat besar
yang melebihi batas-batas kewajaran, maka pada umumnya
perusahaan tersebut dalam keadaan kurang sehat. Dalam hal
demikian   untuk   penghitungan  Penghasilan   Kena    Pajak,
Undang-undang ini menentukan adanya modal terselubung.

Ayat (2)
Dengan   semakin  berkembangnya   ekonomi  dan   perdagangan
internasional sejalan dengan era globalisasi, dapat terjadi
bahwa Wajib Pajak dalam negeri menanam modal di luar negeri.
Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran             pajak,
                                              *8729
maka terhadap penanaman modal di luar negeri selain pada
badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, Menteri
Keuangan berwenang untuk menentukan saat diperolehnya
dividen.
Contoh:
PT A dan PT B masing-masing memiliki saham sebesar 40% dan
20% pada X Ltd. yang bertempat kedudukan di negara Q. Saham
X Ltd. tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek. Dalam
tahun 1995 X Ltd. memperoleh laba setelah pajak sejumlah Rp
100.000.000,00.

Dalam hal demikian, Menteri Keuangan berwenang menetapkan
saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya.

Ayat (3 )
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah
terjadinya penghindaran pajak, yang dapat terjadi karena
adanya   hubungan   istimewa.    Apabila  terdapat hubungan
istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan
kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi
dari yang seharusnya. Dalam hal demikian, Direktur Jenderal
Pajak   berwenang    untuk    menentukan   kembali besarnya
penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya
di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan
istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan
dan/atau biaya tersebut dapat dipakai beberapa pendekatan,
misalnya data pembanding, alokasi laba berdasar fungsi atau
peran serta dari Wajib Pajak yang mempunyai hubungan
istimewa dan indikasi serta data lainnya.

Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara
terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal tersebut
sebagai utang, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk
menentukan   utang   tersebut  sebagai   modal   perusahaan.
Penentuan tersebut dapat dilakukan misalnya melalui indikasi
mengenai perbandingan antara modal dengan utang yang lazim
terjadi antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh
hubungan istimewa atau berdasar data atau indikasi lainnya.
Dengan demikian bunga yang dibayarkan sehubungan dengan
utang yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak
diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi pemegang
saham yang menerima atau memperolehnya dianggap sebagai
dividen yang dikenakan pajak.

Ayat (4)
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena
ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang
disebabkan karena:

a.    kepemilikan atau penyertaan modal;

b.   adanya   penguasaan   melalui   manajemen   atau   penggunaan
teknologi.

Selain karena hal-hal tersebut di atas, hubungan istimewa di
antara Wajib Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena
adanya hubungan darah atau karena perkawinan.

Huruf a
Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan
kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25% (dua
puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak
langsung. Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen)
saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan penyertaan
langsung.

Selanjutnya apabila PT B tersebut mempunyai 50% (lima puluh
persen) saham PT C, maka PT A sebagai pemegang saham PT B
secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C sebesar
25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian antara PT A,
PT B dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila
PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham PT D,
maka antara PT B, PT C, dan PT D dianggap terdapat hubungan
istimewa. Hubungan kepemilikan seperti tersebut di atas
dapat juga terjadi antara orang pribadi dan badan.

Huruf b
Hubungan istimewa antara Wajib Pajak dapat juga terjadi
karena   penguasaan   melalui  manajemen  atau  penggunaan
teknologi, kendatipun tidak terdapat hubungan kepemilikan.
Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih
perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama. Demikian
juga *8730 hubungan antara beberapa perusahaan yang berada
dalam penguasaan yang sama tersebut.

Huruf c
Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat adalah ayah, ibu, dan anak,
sedangkan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke
samping satu derajat adalah saudara.
     Yang dimaksud dengan keluarga semenda dalam garis keturunan
     lurus satu derajat adalah mertua dan anak tiri, sedangkan
     hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping
     satu derajat adalah ipar.

     Ayat (5)
     Berdasarkan ketentuan ini, Wajib Pajak yang mempunyai
     penyertaan modal langsung atau tidak langsung sebesar 25%
     (dua puluh lima persen) atau lebih pada Wajib Pajak lainnya,
     maka untuk penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang atas
     Wajib Pajak-Wajib Pajak dimaksud penerapan lapisan tarif
     rendah hanya diberikan satu kali saja yaitu terhadap Wajib
     Pajak induknya. Sedangkan terhadap Wajib Pajak lainnya dalam
     satu grup, Pajak Penghasilan yang terutang dihitung langsung
     berdasarkan tarif yang lebih tinggi yang dikenakan terhadap
     Wajib Pajak induk tersebut atau tarif tertinggi.

     Yang dimaksud dengan lapisan tarif rendah adalah lapisan
     tarif di bawah lapisan tarif tertinggi yang diterapkan
     terhadap Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak induk
     dimaksud.

     Contoh :
     PT A memiliki saham PT B sebesar 50% (lima puluh persen) dan
     PT B memiliki saham PT C sebesar 60% (enam puluh persen).
     Penghasilan Kena Pajak atau kerugian fiskal tahun 1995 untuk
     masing-masing badan misalnya sebagai berikut :

     PT A Penghasilan Kena Pajak         : Rp 200.000.000,00
     PT B Rugi fiskal                    : (Rp 40.000.000,00)
     PT C Penghasilan Kena Pajak         : Rp 70.000.000,00

     Penghitungan pajak yang   terutang :
     PT A:
     10% x Rp 25.000.000,00    =         Rp 2.500.000,00
     15% x Rp 25.000.000,00    =         Rp 3.750.000,00
     30% x Rp 150.000.000,00   =         Rp 45.000.000,00
                                   ________________(+)
                                   Rp 51.250.000,00

     PT B: Nihil.
     Kerugian fiskal sebesar Rp 40.000.000,00 tidak boleh
     diperhitungkan terhadap penghasilan neto PT A dan PT C.

     PT C :
     30% x Rp 70.000.000,00 = Rp 21.000.000,00

     Atas Penghasilan Kena Pajak PT C sebesar Rp 70.000.000,00
     langsung diterapkan tarif 30% (tiga puluh persen), karena
     penerapan tarif rendah hanya dilakukan pada satu Wajib Pajak
     saja, yaitu PT A.

Angka 21
        Pasal 19
        Ayat (1)
        Adanya perkembangan harga yang mencolok atau perubahan
        kebijakan    di     bidang     moneter     dapat     menyebabkan
        kekurangserasian antara biaya dan penghasilan, yang dapat
        mengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang wajar. Dalam
        keadaan   demikian,    Menteri    Keuangan    diberi    wewenang
        menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva tetap
        (revaluasi) atau indeksasi biaya dan penghasilan.

        Ayat (2)
        Cukup jelas.

Angka 22

        Pasal 20
*8731
        Ayat (1)
        Agar pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan mendekati
        jumlah pajak yang akan terutang untuk tahun pajak yang
        bersangkutan, maka pelaksanaannya dilakukan melalui:

        a.    pemotongan pajak oleh pihak lain dalam hal diperoleh
        penghasilan oleh Wajib Pajak dari pekerjaan, jasa atau
        kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, pemungutan
        pajak atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam
        Pasal 22, dan pemotongan pajak atas penghasilan dari modal,
        jasa dan kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
        23.

        b.    pembayaran oleh Wajib       Pajak   sendiri   sebagaimana
        dimaksud dalam Pasal 25.

        Ayat (2)
        Pada dasarnya pelunasan pajak dalam tahun berjalan dilakukan
        untuk setiap bulan, namun Menteri Keuangan dapat menentukan
        masa lain, seperti saat dilakukannya transaksi atau saat
        diterima atau diperolehnya penghasilan, sehingga pelunasan
        pajak dalam tahun berjalan dapat dilaksanakan dengan baik.

        Ayat (3 )
        Pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan merupakan
        angsuran pembayaran pajak yang nantinya boleh diperhitungkan
        dengan cara mengkreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang
        terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.

        Dengan pertimbangan kemudahan, kesederhanaan, kepastian,
        pengenaan pajak yang tepat waktu, dan pertimbangan lainnya,
        maka dapat diatur pelunasan pajak dalam tahun berjalan yang
        bersifat final atas jenis jenis penghasilan tertentu seperti
        dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 21, Pasal 22, dan
        Pasal 23. Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut
        tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang
     terutang.

Angka 23
     Pasal 21
     Ayat (1)
     Ketentuan ini mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun
     berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang
     diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam
     negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan. Pihak
     yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan
     pajak adalah pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana
     pensiun, badan, perusahaan, dan penyelenggara kegiatan.

     Huruf a
     Pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran
     dan pelaporan pajak adalah orang pribadi ataupun badan yang
     merupakan induk, cabang, perwakilan atau unit perusahaan,
     yang   membayar  atau   terutang   gaji,  upah,   tunjangan,
     honorarium, dan pembayaran lain dengan nama apapun kepada
     pengurus, pegawai atau bukan pegawai, sebagai imbalan
     sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang
     dilakukan. Dalam pengertian pemberi kerja termasuk juga
     organisasi internasional yang tidak dikecualikan dari
     kewajiban memotong pajak.
     Yang dimaksud dengan pembayaran lain adalah pembayaran
     dengan nama apapun selain gaji, upah, tunjangan, dan
     honorarium, dan pembayaran lain seperti bonus, gratifikasi,
     tantiem.
     Yang dimaksud dengan bukan pegawai adalah orang pribadi yang
     menerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja
     sehubungan dengan ikatan kerja tidak tetap, misalnya artis
     yang menerima atau memperoleh honorarium dari pemberi kerja.

     Huruf b
     Bendaharawan    pemerintah   termasuk   bendaharawan   pada
     Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga
     pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya dan Kedutaan
     Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayar gaji,
     upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain sehubungan
     dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.

     Huruf c
             Dana  pensiun   atau   badan   lain  seperti   badan
     *8732
     penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang membayarkan
     uang pensiun, tunjangan hari tua, tabungan hari tua, dan
     pembayaran lain yang sejenis dengan nama apapun.
     Dalam pengertian uang pensiun atau pembayaran lain termasuk
     tunjangan-tunjangan baik yang dibayarkan secara berkala
     ataupun tidak, yang dibayarkan kepada penerima pensiun,
     penerima tunjangan hari tua, penerima tabungan hari tua.

     Huruf d
     Dalam pengertian   badan   termasuk   organisasi   internasional
yang tidak dikecualikan berdasarkan ayat (2). Termasuk
tenaga ahli orang pribadi misalnya dokter, pengacara,
akuntan, yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk
dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama
persekutuannya.

Huruf e
Perusahaan,   badan,  atau   penyelenggara  kegiatan   wajib
memotong pajak atas pembayaran hadiah atau penghargaan dalam
bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan. Dalam
pengertian badan termasuk badan pemerintah, organisasi
termasuk organisasi internasional, dan perkumpulan. Kegiatan
yang diselenggarakan misalnya kegiatan olahraga, keagamaan,
kesenian dan kegiatan lain.

Ayat (2)
Cukup jelas

     Ayat (3 )
Bagi pegawai tetap besarnya penghasilan yang dipotong pajak
adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan,
iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam
pengertian iuran pensiun termasuk juga iuran tunjangan hari
tua atau tabungan hari tua yang dibayar oleh pegawai.
Bagi pensiunan besarnya penghasilan yang dipotong pajak
adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya
pensiun dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam pengertian
pensiunan termasuk juga penerima tunjangan hari tua atau
tabungan hari tua.

     Ayat (4)
Besarnya penghasilan yang dipotong pajak bagi pegawai
harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya adalah
jumlah   penghasilan   bruto    dikurangi  -dengan  bagian
penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan memperhatikan
Penghasilan Tidak Kena Pajak yang berlaku.

     Ayat (5)
          Cukup jelas

     Ayat (6)
Apabila pemberi kerja telah melakukan pemotongan dan
penyetoran pajak dengan benar, maka pada akhir tahun pajak
terhadap pegawai atau orang pribadi yang hanya menerima atau
memperoleh penghasilan dari 1 (satu) pemberi kerja, yang
pajaknya telah dipotong tidak lagi diwajibkan menyampaikan
Surat Pemberitahuan Tahunan, kecuali pegawai atau orang
pribadi tersebut memperoleh penghasilan lain yang bukan
penghasilan yang pajaknya telah dibayar atau dipotong dan
bersifat   final   menurut   Undang-undang   ini,    misalnya
pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7).
          Ayat (7)
     Misalnya, penghasilan tertentu dari kegiatan seperti hadiah
     olah raga dan undian.

          Ayat (8)
               Cukup jelas

Angka 24
     Pasal 22
     Ayat (1) dan ayat (2)
          Berdasarkan ketentuan ini yang dapat ditunjuk sebagai
     pemungut pajak adalah:
          -    bendaharawan pemerintah, termasuk bendaharawan
     pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau
     lembaga pemerintah dan              lembaga-lembaga     negara
                                *8733
     lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang;
          -     badan-badan   tertentu,   baik  badan    pemerintah
     maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor,
     atau kegiatan usaha di bidang lain.

          Pemungutan pajak berdasarkan ketentuan ini, dimaksudkan
     untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengumpulan
     dana melalui sistem pembayaran pajak dan untuk tujuan
     kesederhanaan, kemudahan, dan pengenaan pajak yang tepat
     waktu.
          Dalam hubungan ini Menteri Keuangan menetapkan besarnya
     pungutan yang dapat bersifat final.
          Pelaksanaan ketentuan ini ditetapkan oleh Menteri
     Keuangan dengan mempertimbangkan antara lain:
          -    penunjukan pemungut pajak secara selektif, demi
     pelaksanaan pemungutan pajak secara efektif dan efisien;
          -     tidak mengganggu kelancaran lalu lintas barang;
          -    prosedur pemungutan, penyetoran, dan pelaporan
     yang sederhana sehingga mudah dilaksanakan.

Angka 25
     Pasal 23
          Ayat (1)
     Ketentuan dalam ayat ini mengatur pemotongan pajak atas
     penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam
     negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal dari modal,
     penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang
     telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
     ayat (1) huruf e, yang dibayarkan atau terutang oleh badan
     pemerintah    atau  Subjek   Pajak  badan   dalam   negeri,
     penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
     perusahaan luar negeri lainnya.

     Dasar pemotongan pajak dalam ayat ini dibedakan antara
     penghasilan bruto dan perkiraan penghasilan neto. Dasar
     pemotongan pajak untuk pembayaran penghasilan dalam bentuk
     dividen, bunga, royalti, hadiah, dan penghargaan adalah
     jumlah penghasilan bruto. Dasar pemotongan untuk sewa dan
     penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta adalah
     perkiraan penghasilan neto.

     Penghasilan berupa imbalan jasa yang wajib dilakukan
     pemotongan pajak adalah jasa teknik, jasa manajemen, jasa
     konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain yang diterima atau
     diperoleh Wajib Pajak selain jasa yang telah dipotong Pajak
     Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

     Atas penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh
     koperasi dipotong pajak sebesar 15% (lima belas persen) dan
     bersifat final. Atas penghasilan berupa bunga simpanan
     koperasi yang tidak melebihi batas yang ditetapkan oleh
     Menteri Keuangan yang dibayarkan koperasi kepada anggotanya
     tidak dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23.

     Ayat (2)
     Agar ketentuan ini dapat dilaksanakan dengan baik dan
     dinamis sesuai dengan perkembangan dunia usaha, maka
     Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk menetapkan
     jenis-jenis jasa lain dan besarnya perkiraan penghasilan
     neto. Dalam menetapkan besarnya perkiraan penghasilan neto,
     Direktur Jenderal Pajak selain memanfaatkan data dan
     informasi intern, dapat memperhatikan pendapat dan informasi
     dari pihak-pihak yang terkait.

     Ayat (3)
     Cukup jelas

     Ayat (4)
     Cukup jelas

Angka 26
     Pasal 24
     Pada dasarnya Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas
     seluruh penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau
     diperoleh dari luar negeri. Untuk meringankan beban pajak
     ganda yang dapat terjadi karena pengenaan pajak atas
     penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri,
     ketentuan ini mengatur tentang perhitungan besarnya pajak
     atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri
     yang dapat              dikreditkan   terhadap  pajak   yang
                     *8734
     terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri.

     Ayat (1)
     Pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar
     negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang
     di Indonesia hanyalah pajak yang langsung dikenakan atas
     penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak.

     Contoh:
     PT A di Indonesia merupakan pemegang saham tunggal dari Z
Inc. di Negara X. Z Inc. tersebut dalam tahun 1995
memperoleh   keuntungan   sebesar  US$   100,000.00.   Pajak
Penghasilan yang berlaku di negara X adalah 48% dan Pajak
Dividen adalah 38%. Penghitungan pajak atas dividen tersebut
sebagai berikut:

 Keuntungan Z Inc.              US$ 100,000.00
Pajak Penghasilan (Corporate
income tax) atas Z Inc. (48%)  US$ 48,000.00
                              ________________(-)
                              US$ 52,000.00
Pajak atas dividen (38%)       US$ 19,760.00
Dividen yang dikirim ke Indonesia   US$ 32,240.00

Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh
Pajak Penghasilan yang terutang atas PT A adalah pajak yang
langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh di luar negeri, dalam contoh di atas yaitu jumlah
sebesar US$ 19,760.00.
Pajak Penghasilan (Corporate income tax) atas Z Inc. sebesar
US$ 48,000.00 tidak dapat dikreditkan terhadap Pajak
Penghasilan yang terutang atas PT A, karena pajak sebesar
US$ 48,000.00 tersebut tidak dikenakan langsung atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh PT A dari luar
negeri, melainkan pajak yang dikenakan atas keuntungan Z
Inc. di negara X.

Ayat (2)
Untuk memberikan perlakuan pemajakan yang sama antara
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri
dengan   penghasilan  yang   diterima   atau  diperolehIndonesia, maka besarnya pajak yang dibayar atau terutang di
luar negeri dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang
di Indonesia tetapi tidak boleh melebihi besarnya pajak yang
dihitung berdasarkan Undang-undang ini.
 Cara penghitungan besarnya pajak yang dapat dikreditkan
ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan wewenang
sebagaimana diatur pada ayat (6).

Ayat (3) dan ayat (4)
Dalam perhitungan kredit pajak atas penghasilan yang dibayar
atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap
pajak yang terutang menurut Undang-undang ini, penentuan
sumber penghasilan menjadi sangat penting. Selanjutnya,
ketentuan ini mengatur tentang penentuan sumber penghasilan
untuk memperhitungkan kredit pajak luar negeri tersebut.
Mengingat Undang-undang ini menganut pengertian penghasilan
yang luas, maka sesuai dengan ketentuan pada ayat (4)
penentuan sumber dari penghasilan selain yang tersebut pada
ayat (3) dipergunakan prinsip yang sama dengan prinsip
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tersebut, misalnya A
sebagai Wajib Pajak dalam negeri memiliki sebuah rumah di
Singapura dan dalam tahun 1995 rumah tersebut dijual.
     Keuntungan yang diperoleh dari penjualan rumah tersebut
     merupakan penghasilan yang bersumber di Singapura, karena
     rumah tersebut terletak di Singapura.

     Ayat (5)
     Apabila terjadi pengurangan atau pengembalian pajak atas
     penghasilan yang dibayar di Iuar negeri, sehingga besarnya
     pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia menjadi lebih
     kecil dari besarnya perhitungan semula, maka selisihnya
     ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terutang menurut
     Undang-undang ini. Misalnya, dalam tahun 1996, Wajib Pajak
     mendapat pengurangan pajak atas penghasilan luar negeri
     tahun pajak 1995 sebesar Rp 5.000.000,00, yang semula telah
     termasuk dalam jumlah pajak yang dikreditkan terhadap pajak
     yang terutang untuk tahun pajak 1995, maka jumlah sebesar Rp
     5.000.000,00, tersebut ditambahkan pada Pajak Penghasilan
     yang terutang dalam tahun pajak 1996.

     Ayat (6)
     *8735 Cukup jelas

Angka 27
     Pasal 25
     Ketentuan   ini  mengatur   tentang  penghitungan   besarnya
     angsuran bulanan yang harus dibayar oleh Wajib Pajak sendiri
     dalam tahun berjalan.

     Ayat (1)
     Contoh 1:
     Pajak    Penghasilan   yang    terutang    berdasarkan   Surat
     Pemberitahuan Tahunan Pajak
     Penghasilan tahun 1994          Rp 50.000.000,00,
     dikurangi:
     a.     Pajak Penghasilan yang dipotong
           pemberi kerja
           (Pasal 21)          Rp 15.000.000,00
     b.     Pajak Penghasilan yang
           dipungut oleh pihak lain
           (Pasal 22)           Rp 10.000.000,00
     c.     Pajak Penghasilan yang
           dipotong oleh pihak lain
           (Pasal 23)           Rp 2.500.000,00
     d.     Kredit Pajak Penghasilan
           luar negeri
           (Pasal 24)          Rp 7.500.000,00
                          _________________(+)
           Jumlah kredit pajak Rp 35.000.000,00
                               __________________ (-)
           Selisih     Rp 15.000.000,00

     Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap
     bulan untuk tahun 1995 adalah sebesar Rp 1.250.000,00 (Rp
     15.000.000,00 : 12).
Contoh 2:
Apabila Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam contoh
di atas berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau
diperoleh untuk bagian tahun pajak yang meliputi masa 6
(enam) bulan dalam tahun 1994, maka besarnya angsuran
bulanan yang harus dibayar sendiri setiap bulan dalam tahun
1995 adalah sebesar Rp 2.500.000,00 (Rp 15.000.000,00 : 6).

Ayat (2)
Mengingat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan adalah 3 (tiga) bulan setelah
tahun pajak berakhir, maka besarnya angsuran pajak yang
harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sebelum batas waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
belum dapat dihitung sesuai dengan ketentuan ayat (1).
Berdasarkan ketentuan ini, besarnya angsuran pajak untuk
bulan-bulan   sebelum   batas    waktu   penyampaian   Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tersebut adalah sama
dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak
yang lalu, tetapi tidak boleh lebih kecil dari rata-rata
angsuran bulanan tahun pajak yang lalu.

Contoh :
Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
disampaikan oleh Wajib Pajak pada bulan Maret 1995, maka
besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak untuk
bulan Januari dan Pebruari 1995 adalah sebesar angsuran
pajak bulan Desember 1994, misalnya sebesar Rp 1.000.000,00.
Namun, apabila dalam bulan September 1994 diterbitkan
keputusan pengurangan angsuran pajak menjadi nihil, sehingga
angsuran pajak sejak bulan Oktober sampai dengan Desember
1994 menjadi nihil, maka besarnya angsuran pajak yang harus
dibayar Wajib Pajak setiap bulan untuk bulan Januari dan
Pebruari 1995 adalah berdasarkan perhitungan rata-rata
angsuran bulanan tahun lalu, yaitu sebesar Rp 750.000,00 (9
x Rp 1.000.000.00 : 12).

Ayat (3) dan ayat (4)
Apabila telah diterbitkan surat ketetapan pajak untuk 2
(dua) tahun pajak sebelum tahun Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan yang menghasilkan angsuran pajak lebih
besar    daripada    angsuran   pajak    berdasarkan    Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang
lalu, maka angsuran bulanan dihitung menurut surat ketetapan
pajak terakhir.
Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan surat
ketetapan pajak untuk 2 (dua) tahun pajak sebelumnya yang
menghasilkan jumlah angsuran pajak yang lebih besar dari
jumlah angsuran pajak bulan sebelumnya, maka angsuran pajak
dihitung   berdasarkan   surat  ketetapan   pajak   terakhir.
Perubahan angsuran pajak tersebut berlaku mulai bulan
berikutnya setelah bulan diterbitkannya surat ketetapan
pajak.

Contoh :
Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
1994 yang disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Maret 1995,
perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar
adalah sebesar Rp 1.250.000,00. Dalam bulan Juni 1994 telah
diterbitkan surat ketetapan pajak tahun pajak 1992 yang
menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan sebesar Rp
2.000.000,00.   Selanjutnya   dalam   bulan   Oktober   1994
diterbitkan surat ketetapan pajak tahun pajak 1993 yang
menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan sebesar Rp
1.500.000,00.
Berdasarkan ketentuan pada ayat (3), maka besarnya angsuran
pajak mulai bulan Maret 1995 adalah sebesar Rp 1.500.000,00
dengan   perhitungan   angsuran  pajak   berdasarkan   surat
ketetapan pajak tahun 1993, sedangkan besarnya angsuran
pajak untuk bulan Januari dan Pebruari 1995 dihitung
berdasarkan ketentuan pada ayat (2).
Selanjutnya apabila dalam bulan Oktober 1995 diterbitkan
surat   ketetapan  pajak   untuk  tahun   pajak  1994   yang
menghasilkan besarnya angsuran pajak untuk setiap bulan
sebesar Rp 1.750.000,00, maka berdasarkan ketentuan pada
ayat (4), besarnya angsuran pajak mulai bulan Nopember 1995
adalah sebesar Rp 1.750.000,00.

Ayat (5)
Apabila pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan yang disampaikan lebih kecil dari
pada pajak yang telah dibayar, dipotong, dan dipungut selama
tahun pajak yang bersangkutan, dan oleh karena itu Wajib
Pajak    mengajukan   permohonan    pengembalian   kelebihan
pembayaran pajak atau permohonan untuk memperhitungkan
dengan utang pajak lain, sebelum Direktur Jenderal Pajak
memberikan keputusan mengenai pengembalian atau perhitungan
kelebihan pajak tersebut, besarnya angsuran bulanan adalah
sama dengan angsuran pajak bulan terakhir dari tahun pajak
yang lalu, tetapi tidak boleh lebih kecil dari rata-rata
angsuran bulanan tahun pajak yang lalu.
Setelah adanya keputusan Direktur Jenderal Pajak, maka
angsuran bulanan dari bulan berikutnya setelah tanggal
keputusan itu, dihitung berdasarkan keputusan tersebut.

Contoh :
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan 1994 yang
disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Maret 1995 menunjukkan
kelebihan   pembayaran  pajak   sebesar  Rp   40.000.000,00,
sedangkan angsuran bulanan dalam tahun 1994 sebesar Rp
1.000.000,00.
Atas permohonan pengembalian pembayaran pajak tahun 1994
tersebut, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan pada
bulan Agustus 1995 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak
untuk setiap bulan menjadi nihil. Berdasarkan ketentuan ini,
besarnya angsuran pajak setiap bulan untuk bulan Januari
sampai dengan bulan Agustus 1995 sebesar Rp 1.000.000,00 dan
mulai bulan September 1995 adalah nihil.

Ayat (6)
Pada dasarnya besarnya pembayaran angsuran pajak oleh Wajib
Pajak   sendiri  dalam   tahun  berjalan   sedapat  mungkin
diupayakan mendekati jumlah pajak yang akan terutang pada
akhir tahun. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan ini,
dalam hal-hal tertentu Direktur Jenderal Pajak diberikan
wewenang untuk menyesuaikan penghitungan besarnya angsuran
pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam
tahun berjalan, apabila terdapat kompensasi kerugian, Wajib
Pajak menerima atau memperoleh penghasilan tidak teratur,
atau terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib
Pajak.

Contoh 1:
- Penghasilan PT X tahun 1994      Rp 120.000.000,00
- Sisa kerugian tahun sebelumnya
  yang masih dapat dikompensasikan Rp 150.000.000,00
- Sisa kerugian yang belum
  dikompensasikan tahun 1994       Rp 30.000.000,00

Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 1995 adalah:
-   Penghasilan   yang   dipakai  dasar   penghitungan
angsuran Pajak Penghasilan
     Pasal 25 = Rp 120.000.000,00 - Rp 30.000.000,00 = Rp
90.000.000,00

-     Pajak Penghasilan terutang:
     10% x Rp. 25.000.000,00 =       Rp 2.500.000,00
     15% x Rp. 25.000.000,00 =       Rp 3.750.000,00
     30% x Rp. 40.000.000,00 =       Rp 12.000.000,00
                               __________________(+)
                                Rp 18.250.000,00

-    Apabila pada tahun 1994 tidak ada Pajak Penghasilan
yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain dan pajak yang
dibayar atau terutang di luar negeri sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 24, maka besarnya angsuran pajak bulanan PT X
tahun 1995 = 1/12 x Rp 18.250.000,00 -Rp 1.520.833,33
(dibulatkan Rp 1.520.833,00).

Contoh 2:
Penghasilan teratur Wajib Pajak A dari usaha dagang dalam
tahun 1994 Rp 48.000.000,00 dan penghasilan tidak teratur
dari mengontrakkan rumah selama 3 (tiga) tahun yang dibayar
sekaligus  pada   tahun  1994   sebesar  Rp  72.000.000,00.
Mengingat penghasilan yang tidak teratur tersebut sekaligus
diterima pada tahun 1994, maka penghasilan yang dipakai
sebagai dasar penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 dari
Wajib Pajak A pada tahun 1995 adalah hanya dari penghasilan
teratur tersebut.

Contoh 3 :
Perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak dapat
terjadi karena penurunan atau peningkatan usaha. PT B yang
bergerak di bidang produksi benang dalam tahun 1995 membayar
angsuran bulanan sebesar Rp 15.000.000,00.

Dalam bulan Juni 1995 pabrik milik PT B terbakar, oleh
karena itu berdasarkan keputusan Direktur Jenderal Pajak
mulai bulan Juli 1995 angsuran bulanan PT B dapat
disesuaikan menjadi lebih kecil dari Rp 15.000.000,00.

Sebaliknya apabila PT B mengalami peningkatan usaha,
misalnya adanya peningkatan penjualan dan diperkirakan
Penghasilan Kena Pajaknya akan lebih besar dibandingkan
dengan tahun sebelumnya, maka kewajiban angsuran bulanan PT
B dapat disesuaikan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Ayat (7)
Pada prinsipnya penghitungan besarnya angsuran bulanan dalam
tahun berjalan didasarkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan tahun yang lalu. Namun berdasarkan
ketentuan ini, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk
menetapkan dasar penghitungan besarnya angsuran bulanan
selain berdasarkan prinsip tersebut dengan tujuan agar lebih
mendekati kewajaran berdasarkan data yang dapat dipakai
untuk menentukan besarnya pajak yang akan terutang pada
akhir tahun serta sebaga.i dasar penghitungan jumlah
(besarnya) angsuran pajak dalam tahun berjalan.

Bagi Wajib Pajak baru yang mulai menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan dalam tahun pajak berjalan, perlu diatur
untuk menentukan besarnya angsuran pajak, karena Wajib Pajak
belum   memasukkan   Surat   Pemberitahuan   Tahunan   Pajak
Penghasilan.

Penentuan besarnya angsuran pajak didasarkan atas kenyataan
usaha atau kegiatan Wajib Pajak.

Bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang perbankan, badan
usaha milik negara dan badan usaha milik daerah, terdapat
kewajiban menyampaikan kepada Pemerintah laporan yang
berkaitan dengan pengelolaan keuangan dalam suatu periode
tertentu, yang dapat dipakai sebagai dasar penghitungan
untuk menentukan besarnya angsuran pajak dalam tahun
berjalan.
Dalam perkembangan dunia usaha, kemungkinan terdapat bidang
usaha atau Wajib Pajak tertentu yang angsuran pajaknya dapat
dihitung berdasarkan data atau kenyataan yang ada, sehingga
mendekati kewajaran.

Ayat (8)
     Pajak yang dibayar Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak
     ke luar negeri merupakan pembayaran angsuran pajak dalam
     tahun berjalan yang dapat               dikreditkan  dengan
                                    *8738
     jumlah Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun.
     Berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya tugas negara,
     pertimbangan sosial, budaya, pendidikan, keagamaan, dan
     kelaziman internasional, dengan peraturan pemerintah diatur
     tentang   pengecualian    dari  kewajiban   membayar  pajak
     sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini.

Angka 28

     Pasal 26
     Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
     luar negeri dari Indonesia, Undang-undang ini menganut dua
     sistem pengenaan pajak, yaitu pemenuhan sendiri kewajiban
     perpajakannya bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan
     usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha
     tetap di Indonesia, dan pemotongan oleh pihak yang wajib
     membayar bagi Wajib Pajak luar negeri lainnya.

     Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan atas penghasilan
     yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh
     Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.

     Ayat (1)
     Pemotongan pajak berdasarkan ketentuan ini wajib dilakukan
     oleh   badan   pemerintah,  Subjek   Pajak  dalam   negeri,
     penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
     perusahaan luar negeri lainnya, yang melakukan pembayaran
     kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di
     Indonesia, dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) dari
     jumlah bruto.

     Jenis-jenis penghasilan      yang   wajib   dilakukan   pemotongan
     dapat digolongkan dalam:

     1.   penghasilan yang bersumber dari modal dalam bentuk
     dividen, bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan
     karena jaminan pengembalian utang, royalti, dan sewa serta
     penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

     2.    imbalan   sehubungan     dengan   jasa,    pekerjaan,    dan
     kegiatan;

     3.    hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk
     apapun;

     4.    pensiun dan pembayaran berkala lainnya.

     Sesuai dengan ketentuan ini, misalnya suatu badan Subyek
     Pajak   dalam  negeri   membayarkan  royalti   sebesar  Rp
     100.000.000,00 kepada Wajib Pajak luar negeri, maka Subjek
Pajak dalam negeri tersebut berkewajiban untuk memotong
Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari Rp
100.000.000,00.
Sebagai contoh lain misalnya seorang atlit dari luar negeri
yang ikut mengambil bagian dalam perlombaan lari maraton di
Indonesia, dan kemudian merebut hadiah uang, maka atas
hadiah tersebut dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan
sebesar 20% (dua puluh persen).

Ayat (2) dan ayat (3)
Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar
negeri yang bersumber di Indonesia, selain dari penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu penghasilan dari
penjualan   harta  dan   premi   asuransi,  termasuk    premi
reasuransi. Atas penghasilan tersebut dipotong pajak sebesar
20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto dan
bersifat final. Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk
menetapkan besarnya perkiraan penghasilan neto dimaksud,
serta hal-hal lain dalam rangka pelaksanaan pemotongan pajak
tersebut. Ketentuan ini tidak diterapkan dalam hal Wajib
Pajak luar negeri tersebut menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, atau
apabila penghasilan dari penjualan harta tersebut telah
dikenakan pajak berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2).

Ayat (4)
Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari
bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20%
(dua puluh persen).

Contoh :
Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha tetap
di Indonesia                   Rp 17. 500.000.000,00
Pajak Penghasilan:
1O% x Rp     25.000.000,00 = Rp      2.500.000,00
15% x Rp     25.000.000,00 = Rp      3.750.000,00
30% x Rp 17.450.000.000,00 = Rp 5.235.000.000,00
                         ____________________(+)
                         Rp 5.241.250.000,00
                         _____________________ (-)
Penghasilan Kena Pajak setelah
dikurangi pajak                     Rp 12.258.750.000,00
PPh yang dipotong sebesar 20% Rp 2.451.750.000,00

Namun apabila penghasilan setelah dikurangi pajak tersebut
sebesar Rp 12.258.750.000,00 ditanamkan kembali dilndonesia
sesuai  dengan   keputusan   Menteri  Keuangan,  maka  atas
penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.

Ayat (5)
Pada prinsipnya pemotongan pajak atas      Wajib   Pajak luar
negeri adalah bersifat final, namun        atas    penghasilan
     sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan
     huruf c, dan atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau
     badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak
     dalam negeri atau bentuk usaha tetap, pemotongan pajaknya
     tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat
     dikreditkan   dalam   Surat  Pemberitahuan   Tahunan   Pajak
     Penghasilan.

     Contoh:
     A sebagai tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian
     kerja dengan PT B sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk
     bekerja di Indonesia untuk jangka waktu 5 (lima) bulan
     terhitung mulai tanggal I Januari 1995. Pada tanggal 20
     April 1995 perjanjian kerja tersebut diperpanjang menjadi 8
     (delapan) bulan sehingga akan berakhir pada tanggal 31
     Agustus   1995.  Jika   perjanjian   kerja   tersebut  tidak
     diperpanjang maka status A adalah tetap sebagai Wajib Pajak
     luar   negeri.  Dengan   diperpanjangnya   perjanjian  kerja
     tersebut, maka status A berubah dari Wajib Pajak luar negeri
     menjadi Wajib Pajak dalam negeri terhitung sejak tanggal 1
     Januari 1995. Selama bulan Januari sampai dengan Maret 1995
     atas penghasilan bruto A telah dipotong Pajak Penghasilan
     Pasal 26 oleh PT B.
     Berdasarkan ketentuan ini, maka untuk menghitung Pajak
     Penghasilan yang terutang atas penghasilan A untuk masa
     Januari sampai dengan Agustus 1995, Pajak Penghasilan Pasal
     26 yang telah dipotong dan disetor PT B atas penghasilan A
     sampai dengan Maret tersebut, dapat dikreditkan terhadap
     pajak A sebagai Wajib Pajak dalam negeri.

Angka 29
     Pasal 27
          Cukup jelas

Angka 30
     Judul Bab VI diganti menjadi "PERHITUNGAN PAJAK PADA AKHIR
     TAHUN"

Angka 31
     Pasal 28
     Ayat (1)
     Pajak yang telah dilunasi dalam tahun berjalan, baik yang
     dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ataupun yang dipotong serta
     dipungut oleh pihak lain, dapat dikreditkan terhadap pajak
     yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan.

     Contoh :
     Pajak Penghasilan yang
     terutang                  Rp 80.000.000,00
     Kredit pajak :
     Pemotongan pajak dari
     pekerjaan (Pasal 21)      Rp   5.000.000,00
      Pemungutan pajak oleh
     pihak lain (Pasal 22)     Rp 10.000.000,00
     Pemotongan pajak
     dari modal (Pasal 23)     Rp 5.000.000,00
     Kredit pajak luar
     negeri (Pasal 24)         Rp 15.000.000,00
     Dibayar sendiri oleh
     *8740 Wajib Pajak (Pasal 25) Rp 10.000.000,00
                          _________________ (+)
     Jumlah Pajak Penghasilan
     yang dapat dikreditkan         Rp 45.000.000,00
                               _________________(-)
     Pajak Penghasilan yang
     masih harus dibayar       Rp 35.000.000,00

     Ayat (2)
     Cukup jelas

Angka 32
     Pasal 28A
     Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17 B ayat (1)
     Undang-undang   tentang  Ketentuan   Umum   dan  Tata    Cara
     Perpajakan, Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang
     ditunjuk berwenang untuk mengadakan pemeriksaan sebelum
     dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak.
     Hal-hal yang harus menjadi pertimbangan sebelum dilakukan
     pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak adalah:

     a.    kebenaran materiil tentang besarnya Pajak Penghasilan
     yang terutang;
     b.    keabsahan   bukti-bukti   pungutan   dan   bukti-bukti
     potongan pajak serta bukti pembayaran pajak oleh Wajib Pajak
     sendiri selama dan untuk tahun pajak yang bersangkutan.

          Oleh karena itu untuk kepentingan pemeriksaan, Direktur
     Jenderal Pajak atau pejabat lain yang ditunjuk diberi
     wewenang untuk mengadakan pemeriksaan atas laporan keuangan,
     buku-buku, dan catatan lainnya serta pemeriksaan lain yang
     berkaitan dengan penentuan besarnya Pajak Penghasilan yang
     terutang, kebenaran jumlah pajak dan jumlah pajak yang telah
     dikreditkan   dan   untuk  menentukan   besarnya   kelebihan
     pembayaran pajak yang harus dikembalikan. Maksud pemeriksaan
     ini untuk memastikan bahwa uang yang akan dibayar kembali
     kepada Wajib Pajak sebagai restitusi itu adalah benar
     merupakan hak Wajib Pajak.

Angka 33

     Pasal 29
     Ketentuan Pasal ini mewajibkan Wajib Pajak untuk melunasi
     kekurangan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan
     Undang-undang ini sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
     Penghasilan disampaikan. Apabila tahun buku sama dengan
     tahun takwim maka kekurangan pajak tersebut wajib dilunasi
     selambat-lambatnya tanggal 25 Maret setelah tahun pajak
     berakhir, sedangkan apabila tahun buku tidak sama dengan
     tahun takwim, misalnya dimulai tanggal 1 Juli sampai dengan
     30    Juni,   maka    kekurangan   pajak   wajib   dilunasi
     selambat-lambatnya tanggal 25 September.

Angka 34
     Pasal 30
     Cukup jelas

Angka 35
     Pasal 31
     Cukup jelas

Angka 36
     Pasal 31A
     Salah satu prinsip yang perlu dipegang teguh di dalam
     undang-undang     perpajakan   adalah     diberlakukan    dan
     diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak
     atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang
     hakekatnya    sama,    dengan  berpegang     pada   ketentuan
     perundang-undangan yang berlaku. Karena itu setiap kemudahan
     dalam bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus
     mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam
     penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan
     diberikannya kemudahan tersebut.
     Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakekatnya
     terutama untuk berhasilnya sektor-sektor kegiatan ekonomi
     yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, khususnya
     penggalakan ekspor. Selain itu kemudahan ini dapat pula
     diberikan   untuk    mendorong   perkembangan   daerah   yang
     terpencil, seperti yang banyak terdapat di kawasan timur
     Indonesia, dalam rangka pemerataan pembangunan.
     *8741 Kemudahan yang diberikan terbatas dalam bentuk :

     a.   penyusutan dan amortisasi yang lebih dipercepat;

     b.   kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih
     dari 10 (sepuluh) tahun;

     c.    pengurangan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana
     dimaksud dalam Pasal 26.

     Demikian pula ketentuan ini dapat digunakan untuk menampung
     kemungkinan perjanjian dengan negara atau negara-negara lain
     dalam bidang perdagangan, investasi, dan bidang lainnya.

Angka 37
     Pasal 32
     Cukup jelas

Angka 38
     Pasal 33A
     Ayat (1)
     Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang berakhir
     tanggal 30 Juni 1995 atau sebelumnya (tidak sama dengan
     tahun takwim), maka tahun buku tersebut adalah tahun pajak
     1994. Pajak yang terutang dalam tahun tersebut tetap
     dihitung   berdasar  Undang-undang   Nomor   7  Tahun   1983
     sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun
     1991. Sedangkan bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir
     setelah tanggal 30 Juni 1995, wajib menghitung pajaknya
     mulai tahun pajak 1995 berdasarkan Undang-undang Nomor 7
     Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah
     diubah terakhir dengan Undang-undang ini.

     Ayat (2) dan ayat (3)
     Wajib Pajak yang telah memperoleh Keputusan Menteri Keuangan
     mengenai fasilitas perpajakan tentang saat mulai berproduksi
     yang diterbitkan sebelum tanggal 1 Januari 1995 dapat
     menikmati fasilitas perpajakan yang diberikan sampai dengan
     jangka   waktu   yang  ditetapkan   dalam   keputusan   yang
     bersangkutan. Dengan demikian sejak 1 Januari 1995 keputusan
     tentang saat mulai berproduksi tidak diterbitkan lagi.

     Ayat (4)
     Ketentuan pajak dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya,
     atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan yang
     masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini,
     dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak
     bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama
     pengusahaan pertambangan tersebut. Walaupun Undang-undang
     ini sudah mulai berlaku, namun kewajiban pajak bagi Wajib
     Pajak yang terikat dengan kontrak bagi hasil, kontrak karya
     atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tetap
     dihitung berdasar kontrak atau perjanjian dimaksud.
     Dengan   demikian,    ketentuan    Undang-undang    ini    baru
     diberlakukan untuk pengenaan pajak atas penghasilan yang
     diterima atau diperoleh Wajib Pajak di bidang pengusahaan
     pertambangan   minyak    dan   gas   bumi    dan   pengusahaan
     pertambangan umum lainnya yang dilakukan dalam bentuk
     kontrak karya, kontrak bagi hasil, atau perjanjian kerjasama
     pengusahaan   pertambangan,   yang    ditandatangani    setelah
     berlakunya Undang-undang ini.

Angka 39
     Pasal 34
     Cukup jelas.

Angka 40
     Pasal 35
     Dengan Peraturan Pemerintah diatur lebih lanjut hal-hal yang
     belum cukup diatur dalam Undang-undang ini, yaitu semua
     peraturan yang diperlukan agar Undang-undang ini dapat
     dilaksanakan dengann sebaik-baiknya, termasuk pula peraturan
     peralihan.
Pasal II
     Cukup jelas

Pasal III
     Cukup jelas

*8742
        TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3567

                   --------------------------------

                                CATATAN

Kutipan:    LEMBAR LEPAS 1994


Silahkan download versi PDF nya sbb:
perubahan_atas_undang_undang_nomor_7_tahun_1983_(_9.pdf
(ogi/Carapedia)
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.
FIND US ON FACEEBOOK