Previous
Next

2009

Undang-Undang Pertambangan Mineral Dan Batubara (UU 4 thn 2009)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara :
                 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

                          NOMOR 4 TAHUN 2009

                                TENTANG

                PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA


                 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                      PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang   :   a. bahwa mineral dan batubara yang terkandung dalam
                   wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan
                   kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan
                   Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam
                   memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu
                   pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi
                   nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional
                   dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan
                   rakyat secara berkeadilan;
                b. bahwa kegiatan usaha        pertambangan mineral dan
                   batubara yang merupakan kegiatan usaha pertambangan
                   di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah
                   mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai
                   tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi
                   nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan;
                c. bahwa dengan mempertimbangkan perkembangan nasional
                   maupun internasional, Undang-Undang Nomor 11 Tahun
                   1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan
                   sudah tidak sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan
                   peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan
                   mineral dan batubara yang dapat mengelola dan
                   mengusahakan potensi mineral dan batubara secara
                   mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan
                   berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan
                   nasional secara berkelanjutan;




                                                            d. bahwa . . .
                                   -2-

               d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
                  dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk
                  Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan
                  Batubara;

Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)
            Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


                       Dengan Persetujuan Bersama

           DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
                              dan
                  PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

                              MEMUTUSKAN:

Menetapkan :   UNDANG-UNDANG        TENTANG    PERTAMBANGAN        MINERAL
               DAN BATUBARA.


                                   BAB I
                            KETENTUAN UMUM

                                  Pasal 1

               Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

               1.   Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan
                    kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan
                    pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi
                    penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan,
                    konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian,
                    pengangkutan    dan    penjualan,  serta   kegiatan
                    pascatambang.
               2.   Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di
                    alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta
                    susunan kristal teratur atau gabungannya yang
                    membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.
               3.   Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan
                    yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-
                    tumbuhan.


                                                        4. Pertambangan . . .
                   -3-

4.   Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan
     mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas
     bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.
5.   Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan
     karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen
     padat, gambut, dan batuan aspal.
6.   Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka
     pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi
     tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi
     kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan
     pemurnian,   pengangkutan     dan penjualan,    serta
     pascatambang.
7.   Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP,
     adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan.
8.   IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk
     melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum,
     eksplorasi, dan studi kelayakan.
9.   IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan
     setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk
     melakukan tahapan kegiatan operasi produksi.
10. Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut IPR,
    adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan
    dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah
    dan investasi terbatas.
11. Izin Usaha Pertambangan Khusus, yang selanjutnya
    disebut dengan IUPK, adalah izin untuk melaksanakan
    usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan
    khusus.
12. IUPK Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk
    melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum,
    eksplorasi, dan studi kelayakan di wilayah izin usaha
    pertambangan khusus.
13. IUPK Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan
    setelah selesai pelaksanaan IUPK Eksplorasi untuk
    melakukan tahapan kegiatan operasi produksi di wilayah
    izin usaha pertambangan khusus.



                                       14. Penyelidikan . . .
                  -4-

14. Penyelidikan    Umum     adalah   tahapan    kegiatan
    pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi regional
    dan indikasi adanya mineralisasi.
15. Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan
    untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti
    tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan
    sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi
    mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup.
16. Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha
    pertambangan untuk memperoleh informasi secara rinci
    seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan
    kelayakan ekonomis dan teknis usaha pertambangan,
    termasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta
    perencanaan pascatambang.
17. Operasi Produksi adalah tahapan kegiatan usaha
    pertambangan yang meliputi konstruksi, penambangan,
    pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan
    penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan
    sesuai dengan hasil studi kelayakan.
18. Konstruksi adalah kegiatan usaha pertambangan untuk
    melakukan     pembangunan seluruh fasilitas operasi
    produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan.
19. Penambangan     adalah     bagian kegiatan usaha
    pertambangan untuk memproduksi mineral dan/atau
    batubara dan mineral ikutannya.
20. Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan usaha
    pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral
    dan/atau batubara    serta untuk memanfaatkan dan
    memperoleh mineral ikutan.
21. Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertambangan
    untuk memindahkan mineral dan/atau batubara dari
    daerah tambang dan/atau tempat pengolahan dan
    pemurnian sampai tempat penyerahan.
22. Penjualan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk
    menjual hasil pertambangan mineral atau batubara.
23. Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak
    di bidang pertambangan yang didirikan berdasarkan
    hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah
    Negara Kesatuan Republik Indonesia.

                                               24. Jasa . . .
                   -5-

24. Jasa Pertambangan adalah jasa penunjang             yang
    berkaitan dengan kegiatan usaha pertambangan.
25. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang selanjutnya
    disebut amdal, adalah kajian mengenai dampak besar dan
    penting    suatu   usaha    dan/atau    kegiatan    yang
    direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan
    bagi     proses   pengambilan     keputusan      tentang
    penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
26. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang
    tahapan   usaha    pertambangan    untuk    menata,
    memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan
    ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai
    peruntukannya.
27. Kegiatan pascatambang, yang selanjutnya disebut
    pascatambang, adalah kegiatan terencana, sistematis,
    dan berlanjut setelah akhir     sebagian atau seluruh
    kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi
    lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal
    di seluruh wilayah penambangan.
28. Pemberdayaan     Masyarakat  adalah  usaha    untuk
    meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara
    individual maupun kolektif, agar menjadi lebih baik
    tingkat kehidupannya.
29. Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disebut WP,
    adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau
    batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi
    pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang
    nasional.
30. Wilayah Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut
    WUP, adalah bagian dari WP yang telah memiliki
    ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi.
31. Wilayah Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya
    disebut WIUP, adalah wilayah yang diberikan kepada
    pemegang IUP.
32. Wilayah Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut
    WPR, adalah bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan
    usaha pertambangan rakyat.
33. Wilayah Pencadangan Negara, yang selanjutnya disebut
    WPN, adalah bagian dari WP yang dicadangkan untuk
    kepentingan strategis nasional.


                                            34. Wilayah . . .
                     -6-

34. Wilayah Usaha Pertambangan Khusus yang selanjutnya
    disebut WUPK, adalah bagian dari WPN yang dapat
    diusahakan.
35. Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus dalam WUPK,
    yang selanjutnya disebut WIUPK, adalah wilayah yang
    diberikan kepada pemegang IUPK.
36. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah,
    adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
    kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia
    sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
    Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
37. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau
    walikota,  dan   perangkat   daerah  sebagai unsur
    penyelenggaraan pemerintahan daerah.
38. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
    pemerintahan di bidang pertambangan mineral dan
    batubara.


                    BAB II
              ASAS DAN TUJUAN

                    Pasal 2

Pertambangan   mineral    dan/atau    batubara           dikelola
berasaskan:
a. manfaat, keadilan, dan keseimbangan;
b.   keberpihakan kepada kepentingan bangsa;
c.   partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas;
d.   berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

                    Pasal 3

Dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang
berkesinambungan, tujuan pengelolaan mineral dan batubara
adalah:
a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian
    kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna,
    berhasil guna, dan berdaya saing;
b.   menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara
     secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup;


                                                 c. menjamin . . .
                    -7-

c. menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan
   baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan
   dalam negeri;
d. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan
   nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional,
   regional, dan internasional;
e. meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan
   negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-
   besar kesejahteraan rakyat; dan
f. menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan
   kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.


                   BAB III
  PENGUASAAN MINERAL DAN BATUBARA

                   Pasal 4

(1)   Mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak
      terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai
      oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.
(2)   Penguasaan mineral dan batubara oleh negara
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan
      oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

                   Pasal 5

(1)   Untuk    kepentingan   nasional, Pemerintah   setelah
      berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
      Indonesia dapat menetapkan kebijakan pengutamaan
      mineral dan/atau batubara untuk kepentingan dalam
      negeri.
(2)   Kepentingan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) dapat dilakukan dengan pengendalian produksi dan
      ekspor.
(3)   Dalam    melaksanakan      pengendalian sebagaimana
      dimaksud       pada ayat (2), Pemerintah mempunyai
      kewenangan untuk menetapkan jumlah produksi tiap-tiap
      komoditas per tahun setiap provinsi.
(4)   Pemerintah daerah wajib mematuhi ketentuan jumlah
      yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud
      pada ayat (3).


                                           (5) Ketentuan . . .
                                  -8-

           (5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pengutamaan mineral
                 dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri
                 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengendalian
                 produksi dan ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat
                 (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.


                                  BAB IV
KEWENANGAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

                                 Pasal 6

           (1)   Kewenangan     Pemerintah      dalam        pengelolaan
                 pertambangan mineral dan batubara, antara lain, adalah:
                 a.   penetapan kebijakan nasional;
                 b.   pembuatan peraturan perundang-undangan;
                 c.   penetapan standar nasional, pedoman, dan kriteria;
                 d.   penetapan sistem perizinan pertambangan mineral dan
                      batubara nasional;
                 e.   penetapan WP yang dilakukan setelah berkoordinasi
                      dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan
                      Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
                 f.   pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik
                      masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan
                      yang berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau
                      wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis
                      pantai;
                 g.   pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik
                      masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan
                      yang lokasi penambangannya berada pada lintas
                      wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12
                      (dua belas) mil dari garis pantai;
                 h.   pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik
                      masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan
                      operasi    produksi    yang    berdampak      lingkungan
                      langsung lintas provinsi dan/atau dalam wilayah laut
                      lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;
                 i.   pemberian IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi
                      Produksi;
                 j.   pengevaluasian       IUP      Operasi Produksi, yang
                      dikeluarkan oleh pemerintah daerah, yang telah
                      menimbulkan kerusakan lingkungan serta yang tidak
                      menerapkan kaidah pertambangan yang baik;


                                                           k. penetapan . . .
                     -9-

      k. penetapan      kebijakan     produksi,    pemasaran,
         pemanfaatan, dan konservasi;
      l. penetapan kebijakan kerja sama, kemitraan,         dan
         pemberdayaan masyarakat;
      m. perumusan dan penetapan penerimaan negara bukan
         pajak dari hasil usaha pertambangan mineral dan
         batubara;
      n. pembinaan     dan     pengawasan      penyelenggaraan
         pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang
         dilaksanakan oleh pemerintah daerah;
      o. pembinaan dan pengawasan penyusunan peraturan
         daerah di bidang pertambangan;
      p. penginventarisasian, penyelidikan, dan penelitian serta
         eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan
         informasi mineral dan batubara sebagai bahan
         penyusunan WUP dan WPN;
      q. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi
         sumber daya mineral dan batubara, serta informasi
         pertambangan pada tingkat nasional;
      r. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan
         pascatambang;
      s. penyusunan neraca sumber daya mineral dan
         batubara tingkat nasional;
      t. pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan
         usaha pertambangan; dan
      u. peningkatan    kemampuan       aparatur   Pemerintah,
         pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota
         dalam      penyelenggaraan      pengelolaan      usaha
         pertambangan.

(2)   Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
      perundang-undangan.

                    Pasal 7

(1)   Kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan
      pertambangan mineral dan batubara, antara lain, adalah:
      a. pembuatan peraturan perundang-undangan daerah;
      b. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik
         masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan
         pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah
         laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;



                                            c. pemberian . . .
                      - 10 -

      c. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik
         masyarakat     dan pengawasan usaha pertambangan
         operasi produksi yang kegiatannya berada pada lintas
         wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah           laut 4
         (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;
      d. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik
         masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan
         yang    berdampak      lingkungan     langsung     lintas
         kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil
         sampai dengan 12 (dua belas) mil;
      e. penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian serta
         eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan
         informasi mineral dan batubara sesuai dengan
         kewenangannya;
      f. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi
         sumber daya mineral dan batubara, serta informasi
         pertambangan pada daerah/wilayah provinsi;
      g. penyusunan neraca sumber daya mineral dan
         batubara pada daerah/wilayah provinsi;
      h. pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan
         usaha pertambangan di provinsi;
      i. pengembangan      dan     peningkatan     peran     serta
         masyarakat dalam usaha pertambangan dengan
         memperhatikan kelestarian lingkungan;
      j. pengoordinasian      perizinan    dan       pengawasan
         penggunaan bahan peledak di wilayah tambang sesuai
         dengan kewenangannya;
      k. penyampaian       informasi     hasil      inventarisasi,
         penyelidikan umum, dan penelitian serta eksplorasi
         kepada Menteri dan bupati/walikota;
      l. penyampaian informasi hasil produksi, penjualan
         dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan
         bupati/walikota;
      m. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan
         pascatambang; dan
      n. peningkatan    kemampuan        aparatur     pemerintah
         provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam
         penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.

(2)   Kewenangan pemerintah provinsi sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
      peraturan perundang-undangan.


                                                      Pasal 8 . . .
                     - 11 -

                    Pasal 8

(1)   Kewenangan       pemerintah      kabupaten/kota    dalam
      pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara
      lain, adalah:
      a. pembuatan peraturan perundang-undangan daerah;
      b. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian
         konflik    masyarakat,     dan    pengawasan    usaha
         pertambangan di wilayah kabupaten/kota dan/atau
         wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil;
      c. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian
         konflik masyarakat           dan pengawasan usaha
         pertambangan operasi produksi yang kegiatannya
         berada di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah
         laut sampai dengan 4 (empat) mil;
      d. penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian, serta
         eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan
         informasi mineral dan batubara;
      e. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi
         mineral dan batubara, serta informasi pertambangan
         pada wilayah kabupaten/kota;
      f. penyusunan neraca sumber daya mineral dan
         batubara pada wilayah kabupaten/kota;
      g. pengembangan       dan     pemberdayaan    masyarakat
         setempat    dalam      usaha   pertambangan    dengan
         memperhatikan kelestarian lingkungan;
      h. pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan
         manfaat kegiatan usaha pertambangan secara optimal;
      i. penyampaian        informasi     hasil   inventarisasi,
         penyelidikan umum, dan penelitian, serta eksplorasi
         dan eksploitasi kepada Menteri dan gubernur;
      j. penyampaian informasi hasil produksi, penjualan
         dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan
         gubernur;
      k. pembinaan      dan    pengawasan terhadap reklamasi
         lahan pascatambang; dan
      l. peningkatan     kemampuan       aparatur   pemerintah
         kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan
         usaha pertambangan.

(2)   Kewenangan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
      ketentuan peraturan perundang-undangan.

                                                     BAB V . . .
                         - 12 -


                         BAB V
           WILAYAH PERTAMBANGAN
                      Bagian Kesatu
                         Umum

                         Pasal 9

(1)   WP sebagai bagian dari tata ruang nasional merupakan
      landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan.
(2)   WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
      Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah
      daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan
      Rakyat Republik Indonesia.

                        Pasal 10
Penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)
dilaksanakan:
a.    secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab;
b.    secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari
      instansi pemerintah terkait, masyarakat, dan dengan
      mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial
      budaya, serta berwawasan lingkungan; dan
c.    dengan memperhatikan aspirasi daerah.

                        Pasal 11

Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan
penyelidikan dan penelitian pertambangan dalam rangka
penyiapan WP.
                        Pasal 12

Ketentuan lebih lanjut mengenai batas, luas, dan mekanisme
penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal
10, dan Pasal 11 diatur dengan peraturan pemerintah.

                        Pasal 13

WP    terdiri atas:
a.     WUP;
b.     WPR; dan
c.     WPN.

                                            Bagian Kedua . . .
                    - 13 -

                Bagian Kedua
         Wilayah Usaha Pertambangan

                   Pasal 14

(1)   Penetapan WUP dilakukan oleh Pemerintah setelah
      berkoordinasi    dengan    pemerintah daerah   dan
      disampaikan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan
      Rakyat Republik Indonesia.
(2)   Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      dilakukan dengan pemerintah daerah yang bersangkutan
      berdasarkan data dan informasi yang dimiliki Pemerintah
      dan pemerintah daerah.

                   Pasal 15
Pemerintah dapat melimpahkan sebagian kewenangannya
dalam penetapan WUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (1) kepada pemerintah provinsi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

                   Pasal 16

Satu WUP terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WIUP yang
berada pada lintas wilayah provinsi, lintas wilayah
kabupaten/kota,  dan/atau    dalam   1   (satu) wilayah
kabupaten/kota.

                  Pasal 17

Luas dan batas WIUP mineral logam dan batubara ditetapkan
oleh Pemerintah berkoordinasi dengan pemerintah daerah
berdasarkan kriteria yang dimiliki oleh Pemerintah.

                   Pasal 18

Kriteria untuk menetapkan 1 (satu) atau beberapa WIUP
dalam 1 (satu) WUP adalah sebagai berikut:
a. letak geografis;
b. kaidah konservasi;
c. daya dukung lindungan lingkungan;
d. optimalisasi sumber daya mineral dan/atau batubara;
     dan
e. tingkat kepadatan penduduk.

                                                Pasal 19 . . .
                   - 14 -


                 Pasal 19

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan batas
dan luas WIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 diatur
dengan peraturan pemerintah.

               Bagian Ketiga
       Wilayah Pertambangan Rakyat

                  Pasal 20

Kegiatan pertambangan rakyat dilaksanakan dalam suatu
WPR.

                  Pasal 21

WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ditetapkan oleh
bupati/walikota   setelah  berkonsultasi dengan  Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota.

                 Pasal 22

Kriteria untuk menetapkan WPR adalah sebagai berikut:
a. mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di
     sungai dan/atau di antara tepi dan tepi sungai;
b. mempunyai cadangan primer logam atau batubara
     dengan kedalaman maksimal 25 (dua puluh lima) meter;
c. endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai
     purba;
d. luas maksimal wilayah pertambangan rakyat adalah 25
     (dua puluh lima) hektare;
e. menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang;
     dan/atau
f.   merupakan wilayah atau tempat          kegiatan tambang
     rakyat yang sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15
     (lima belas) tahun.

                 Pasal 23

Dalam menetapkan WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21, bupati/walikota berkewajiban melakukan pengumuman
mengenai rencana WPR kepada masyarakat secara terbuka.



                                               Pasal 24 . . .
                    - 15 -

                   Pasal 24
Wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah
dikerjakan    tetapi   belum    ditetapkan   sebagai WPR
diprioritaskan untuk ditetapkan sebagai WPR.

                  Pasal 25
Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman, prosedur, dan
penetapan WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan
Pasal 23 diatur dengan peraturan pemerintah.

                  Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan mekanisme
penetapan WPR, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan
Pasal 23 diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota.


               Bagian Keempat
         Wilayah Pencadangan Negara

                   Pasal 27

(1)   Untuk kepentingan strategis nasional, Pemerintah dengan
      persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
      dan dengan memperhatikan aspirasi daerah menetapkan
      WPN sebagai daerah yang dicadangkan untuk komoditas
      tertentu dan daerah konservasi dalam rangka menjaga
      keseimbangan ekosistem dan lingkungan.
(2)   WPN yang ditetapkan untuk komoditas tertentu
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusahakan
      sebagian luas wilayahnya dengan persetujuan Dewan
      Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(3)   WPN yang ditetapkan untuk konservasi sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) ditentukan batasan waktu dengan
      persetujuan  Dewan      Perwakilan   Rakyat   Republik
      Indonesia.
(4)   Wilayah yang akan diusahakan sebagaimana dimaksud
      pada ayat (2) dan ayat (3) berubah statusnya menjadi
      WUPK.




                                                 Pasal 28 . . .
                    - 16 -

                   Pasal 28

Perubahan status WPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) menjadi WUPK dapat
dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. pemenuhan bahan baku industri dan energi dalam negeri;
b.    sumber devisa negara;
c.    kondisi wilayah didasarkan pada keterbatasan sarana dan
      prasarana;
d.    berpotensi untuk     dikembangkan      sebagai      pusat
      pertumbuhan ekonomi;
e.    daya dukung lingkungan; dan/atau
f.    penggunaan teknologi tinggi dan modal investasi yang
      besar.

                   Pasal 29

(1)   WUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4)
      yang akan diusahakan ditetapkan oleh Pemerintah
      setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah.
(2)   Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan di WUPK
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
      bentuk IUPK.

                   Pasal 30

Satu WUPK terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WIUPK yang
berada pada lintas wilayah provinsi, lintas wilayah
kabupaten/kota,   dan/atau    dalam    1   (satu) wilayah
kabupaten/kota.

                  Pasal 31

Luas dan batas WIUPK mineral logam dan batubara
ditetapkan oleh Pemerintah berkoordinasi dengan pemerintah
daerah berdasarkan kriteria dan informasi yang dimiliki oleh
Pemerintah.

                   Pasal 32

Kriteria untuk menetapkan 1 (satu) atau beberapa WIUPK
dalam 1 (satu) WUPK adalah sebagai berikut:


                                         a. letak geografis . . .
                    - 17 -

a.    letak geografis;
b.    kaidah konservasi;
c.    daya dukung lindungan lingkungan;
d.    optimalisasi sumber daya mineral dan/atau batubara;
      dan
e.    tingkat kepadatan penduduk.

                  Pasal 33

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan luas dan
batas WIUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan
Pasal 32 diatur dengan peraturan pemerintah.


                    BAB VI
           USAHA PERTAMBANGAN

                   Pasal 34

(1)   Usaha pertambangan dikelompokkan atas:
      a. pertambangan mineral; dan
      b. pertambangan batubara.
(2)   Pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) huruf a digolongkan atas:
      a. pertambangan mineral radioaktif;
      b. pertambangan mineral logam;
      c. pertambangan mineral bukan logam; dan
      d. pertambangan batuan.
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan suatu
      komoditas     tambang    ke   dalam     suatu golongan
      pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada ayat
      (2) diatur dengan peraturan pemerintah.

                     Pasal 35

Usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
dilaksanakan dalam bentuk:
a. IUP;
b. IPR; dan
c. IUPK.


                                               BAB VII . . .
                      - 18 -

                      BAB VII
         IZIN USAHA PERTAMBANGAN

                 Bagian Kesatu
                    Umum

                   Pasal 36

(1)   IUP terdiri atas dua tahap:
      a. IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum,
         eksplorasi, dan studi kelayakan;
      b. IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi,
         penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta
         pengangkutan dan penjualan.
(2)   Pemegang IUP Eksplorasi dan pemegang IUP Operasi
      Produksi dapat melakukan sebagian atau seluruh
      kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

                       Pasal 37

IUP diberikan oleh:
a.    bupati/walikota apabila WIUP berada di dalam satu
      wilayah kabupaten/kota;
b.    gubernur apabila WIUP berada pada lintas wilayah
      kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi setelah
      mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota setempat
      sesuai   dengan    ketentuan   peraturan     perundang-
      undangan; dan
c.    Menteri apabila WIUP berada pada lintas wilayah provinsi
      setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan
      bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan
      peraturan perundang-undangan.

                      Pasal 38

IUP   diberikan kepada:
a.    badan usaha;
b.    koperasi; dan
c.    perseorangan.




                                                 Pasal 39 . . .
                    - 19 -

                   Pasal 39

(1)   IUP Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
      ayat (1) huruf a wajib memuat ketentuan sekurang-
      kurangnya:
      a. nama perusahaan;
      b. lokasi dan luas wilayah;
      c. rencana umum tata ruang;
      d. jaminan kesungguhan;
      e. modal investasi;
      f. perpanjangan waktu tahap kegiatan;
      g. hak dan kewajiban pemegang IUP;
      h. jangka waktu berlakunya tahap kegiatan;
      i. jenis usaha yang diberikan;
      j. rencana      pengembangan       dan    pemberdayaan
         masyarakat di sekitar wilayah pertambangan;
      k. perpajakan;
      l. penyelesaian perselisihan;
      m. iuran tetap dan iuran eksplorasi; dan
      n. amdal.
(2)   IUP Operasi Produksi      sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 36 ayat (1) huruf b wajib memuat ketentuan
      sekurang-kurangnya:
      a. nama perusahaan;
      b. luas wilayah;
      c. lokasi penambangan;
      d. lokasi pengolahan dan pemurnian;
      e. pengangkutan dan penjualan;
      f. modal investasi;
      g. jangka waktu berlakunya IUP;
      h. jangka waktu tahap kegiatan;
      i. penyelesaian masalah pertanahan;
      j. lingkungan     hidup    termasuk    reklamasi   dan
         pascatambang;
      k. dana jaminan reklamasi dan pascatambang;
      l. perpanjangan IUP;
      m. hak dan kewajiban pemegang IUP;
      n. rencana     pengembangan        dan    pemberdayaan
         masyarakat di sekitar wilayah pertambangan;


                                            o. perpajakan . . .
                     - 20 -

      o. perpajakan;
      p. penerimaan negara bukan pajak yang terdiri atas iuran
         tetap dan iuran produksi;
      q. penyelesaian perselisihan;
      r. keselamatan dan kesehatan kerja;
      s. konservasi mineral atau batubara;
      t. pemanfaatan barang, jasa, dan teknologi dalam negeri;
      u. penerapan kaidah keekonomian dan keteknikan
         pertambangan yang baik;
      v. pengembangan tenaga kerja Indonesia;
      w. pengelolaan data mineral atau batubara; dan
      x. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi
         pertambangan mineral atau batubara.
                   Pasal 40
(1)   IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1)
      diberikan untuk 1 (satu) jenis mineral atau batubara.
(2)   Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
      menemukan mineral lain di dalam WIUP yang dikelola
      diberikan prioritas untuk mengusahakannya.
(3)   Pemegang IUP yang bermaksud mengusahakan mineral
      lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib
      mengajukan permohonan IUP baru kepada Menteri,
      gubernur,   dan  bupati/walikota sesuai  dengan
      kewenangannya.
(4)   Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
      menyatakan tidak berminat untuk mengusahakan
      mineral lain yang ditemukan tersebut.
(5)   Pemegang IUP yang tidak berminat untuk mengusahakan
      mineral lain yang ditemukan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (4), wajib menjaga mineral lain tersebut agar tidak
      dimanfaatkan pihak lain.
(6)   IUP untuk mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat
      (4) dan ayat (5) dapat diberikan kepada pihak lain oleh
      Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan
      kewenangannya.

                   Pasal 41
IUP tidak dapat digunakan selain yang dimaksud dalam
pemberian IUP.

                                            Bagian Kedua . . .
                     - 21 -


                 Bagian Kedua
                 IUP Eksplorasi

                   Pasal 42

(1)   IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral logam dapat
      diberikan dalam jangka waktu paling lama 8 (delapan)
      tahun.
(2)   IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral bukan logam
      dapat diberikan paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga)
      tahun dan mineral bukan logam jenis tertentu dapat
      diberikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh)
      tahun.
(3)   IUP Eksplorasi untuk pertambangan batuan dapat
      diberikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun.
(4)   IUP Eksplorasi untuk pertambangan batubara dapat
      diberikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh)
      tahun.

                   Pasal 43

(1)   Dalam hal kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi
      kelayakan, pemegang IUP Eksplorasi yang mendapatkan
      mineral atau batubara yang tergali wajib melaporkan
      kepada pemberi IUP.
(2)   Pemegang IUP Eksplorasi yang ingin menjual mineral atau
      batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
      mengajukan    izin   sementara     untuk    melakukan
      pengangkutan dan penjualan.

                   Pasal 44

Izin sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2)
diberikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.

                   Pasal 45

Mineral atau batubara yang tergali sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43 dikenai iuran produksi.




                                             Bagian Ketiga . . .
                     - 22 -

                Bagian Ketiga
             IUP Operasi Produksi

                   Pasal 46

(1)   Setiap pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk
      memperoleh IUP Operasi Produksi sebagai kelanjutan
      kegiatan usaha pertambangannya.
(2)   IUP Operasi Produksi dapat diberikan kepada badan
      usaha, koperasi, atau perseorangan atas hasil pelelangan
      WIUP mineral logam atau batubara yang telah
      mempunyai data hasil kajian studi kelayakan.

                   Pasal 47

(1)   IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral logam
      dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua
      puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-
      masing 10 (sepuluh) tahun.
(2)   IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral
      bukan logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling
      lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua)
      kali masing-masing 5 (lima) tahun.
(3)   IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral
      bukan logam jenis tertentu dapat diberikan dalam jangka
      waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat
      diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh)
      tahun.
(4)   IUP Operasi Produksi untuk pertambangan batuan dapat
      diberikan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun
      dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5
      (lima) tahun.
(5)   IUP Operasi Produksi untuk Pertambangan batubara
      dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua
      puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-
      masing 10 (sepuluh) tahun.

                   Pasal 48

IUP Operasi Produksi diberikan oleh:
a. bupati/walikota apabila lokasi penambangan, lokasi
    pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di
    dalam satu wilayah kabupaten/kota;


                                               b. gubernur . . .
                     - 23 -

b.    gubernur apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan
      dan pemurnian,      serta pelabuhan berada di dalam
      wilayah   kabupaten/kota      yang    berbeda   setelah
      mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota setempat
      sesuai   dengan    ketentuan    peraturan   perundang-
      undangan; dan
c.    Menteri apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan
      dan pemurnian,      serta pelabuhan berada di dalam
      wilayah provinsi yang berbeda setelah mendapatkan
      rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat
      sesuai   dengan    ketentuan    peraturan   perundang-
      undangan.

                   Pasal 49

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IUP
Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan IUP
Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
diatur dengan peraturan pemerintah.


               Bagian Keempat
            Pertambangan Mineral

                 Paragraf 1
       Pertambangan Mineral Radioaktif

                   Pasal 50

WUP mineral radioaktif ditetapkan oleh Pemerintah dan
pengusahaannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

                 Paragraf 2
         Pertambangan Mineral Logam

                   Pasal 51

WIUP mineral logam diberikan kepada badan usaha, koperasi,
dan perseorangan dengan cara lelang.

                   Pasal 52

(1)   Pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP
      dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan
      paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare.


                                                  (2) Pada . . .
                     - 24 -

(2)   Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral
      logam dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk
      mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya
      berbeda.
(3)   Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari
      pemegang IUP pertama.

                   Pasal 53

Pemegang IUP Operasi Produksi mineral logam diberi WIUP
dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu)
hektare.

                 Paragraf 3
      Pertambangan Mineral Bukan Logam

                   Pasal 54

WIUP mineral bukan logam diberikan kepada badan usaha,
koperasi, dan perseorangan dengan cara permohonan wilayah
kepada pemberi izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.

                   Pasal 55

(1)   Pemegang IUP Eksplorasi mineral bukan logam diberi
      WIUP dengan luas paling sedikit 500 (lima ratus) hektare
      dan paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare.
(2)   Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral
      bukan logam dapat diberikan IUP kepada pihak lain
      untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya
      berbeda.
(3)   Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari
      pemegang IUP pertama.

                   Pasal 56

Pemegang IUP Operasi Produksi mineral bukan logam diberi
WIUP dengan luas paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare.




                                                Paragraf 4 . . .
                     - 25 -

                   Paragraf 4
             Pertambangan Batuan

                   Pasal 57

WIUP batuan diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan
perseorangan dengan cara permohonan wilayah kepada
pemberi izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.

                   Pasal 58

(1)   Pemegang IUP Eksplorasi batuan diberi WIUP dengan luas
      paling sedikit 5 (lima) hektare dan paling banyak 5.000
      (lima ribu) hektare.
(2)   Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi batuan
      dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk
      mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya
      berbeda.
(3)   Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari
      pemegang IUP pertama.

                   Pasal 59

Pemegang IUP Operasi Produksi batuan diberi WIUP dengan
luas paling banyak 1.000 (seribu) hektare.


                 Bagian Kelima
            Pertambangan Batubara

                   Pasal 60

WIUP batubara diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan
perseorangan dengan cara lelang.

                   Pasal 61

(1)   Pemegang IUP Eksplorasi Batubara diberi WIUP dengan
      luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling
      banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare.



                                                  (2) Pada . . .
                       - 26 -

  (2)   Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi
        batubara dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk
        mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya
        berbeda.
  (3)   Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
        dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari
        pemegang IUP pertama.

                     Pasal 62

  Pemegang IUP Operasi Produksi batubara diberi WIUP dengan
  luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare.

                      Pasal 63

  Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh WIUP
  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, Pasal 54, Pasal 57,
  dan Pasal 60 diatur dengan peraturan pemerintah.


                      BAB VIII
PERSYARATAN PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN

                     Pasal 64

  Pemerintah   dan    pemerintah   daerah   sesuai  dengan
  kewenangannya       berkewajiban mengumumkan rencana
  kegiatan usaha pertambangan di WIUP sebagaimana
  dimaksud dalam Pasal 16 serta memberikan IUP Eksplorasi
  dan IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
  36 kepada masyarakat secara terbuka.

                      Pasal 65

  (1)   Badan usaha, koperasi, dan perseorangan sebagaimana
        dimaksud dalam Pasal 51, Pasal 54, Pasal 57, dan Pasal
        60 yang melakukan usaha pertambangan wajib
        memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis,
        persyaratan lingkungan, dan persyaratan finansial.
  (2)   Ketentuan      lebih    lanjut   mengenai      persyaratan
        administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan,
        dan persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada
        ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.


                                                       BAB IX . . .
                     - 27 -

                    BAB IX
         IZIN PERTAMBANGAN RAKYAT

                    Pasal 66

 Kegiatan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam
 Pasal 20 dikelompokkan sebagai berikut:
 a. pertambangan mineral logam;
 b. pertambangan mineral bukan logam;
 c. pertambangan batuan; dan/atau
 d. pertambangan batubara.

                    Pasal 67

(1)    Bupati/walikota memberikan IPR terutama kepada
       penduduk    setempat,  baik   perseorangan maupun
       kelompok masyarakat dan/atau koperasi.
(2)    Bupati/walikota    dapat    melimpahkan     kewenangan
       pelaksanaan pemberian IPR sebagaimana dimaksud pada
       ayat (1) kepada camat sesuai dengan ketentuan peraturan
       perundang-undangan.
(3)    Untuk memperoleh IPR sebagaimana dimaksud pada ayat
       (1), pemohon wajib menyampaikan surat permohonan
       kepada bupati/walikota.

                    Pasal 68

 (1)   Luas wilayah untuk 1 (satu) IPR yang dapat diberikan
       kepada:
       a. perseorangan paling banyak 1 (satu) hektare;
       b. kelompok masyarakat paling banyak 5 (lima) hektare;
          dan/atau
       c. koperasi paling banyak 10 (sepuluh) hektare.
 (2)   IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima)
       tahun dan dapat diperpanjang.

                    Pasal 69

 Pemegang IPR berhak:
 a. mendapat pembinaan dan        pengawasan di bidang
    keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan, teknis
    pertambangan,     dan  manajemen   dari  Pemerintah
    dan/atau pemerintah daerah; dan


                                              b. mendapat . . .
                     - 28 -

 b.    mendapat bantuan modal sesuai      dengan   ketentuan
       peraturan perundang-undangan.

                   Pasal 70

 Pemegang IPR wajib:
 a. melakukan kegiatan penambangan paling lambat 3 (tiga)
    bulan setelah IPR diterbitkan;
 b. mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang
    keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan,
    pengelolaan lingkungan, dan memenuhi standar yang
    berlaku;
 c. mengelola lingkungan hidup bersama pemerintah daerah;
 d. membayar iuran tetap dan iuran produksi; dan
 e. menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha
    pertambangan rakyat secara berkala kepada pemberi IPR.

                     Pasal 71

 (1)   Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70,
       pemegang IPR dalam melakukan kegiatan pertambangan
       rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 wajib
       menaati ketentuan persyaratan teknis pertambangan.
 (2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis
       pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
       diatur dengan peraturan pemerintah.

                    Pasal 72

 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IPR
 diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota.

                   Pasal 73

(1)    Pemerintah kabupaten/kota melaksanakan pembinaan di
       bidang pengusahaan, teknologi pertambangan, serta
       permodalan dan pemasaran dalam usaha meningkatkan
       kemampuan usaha pertambangan rakyat.
(2)    Pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab terhadap
       pengamanan teknis pada usaha pertambangan rakyat
       yang meliputi:
       a. keselamatan dan kesehatan kerja;
       b. pengelolaan lingkungan hidup; dan
       c. pascatambang.

                                               (3) Untuk . . .
                       - 29 -

(3)     Untuk melaksanakan pengamanan teknis sebagaimana
        dimaksud pada ayat (2), pemerintah kabupaten/kota
        wajib mengangkat pejabat fungsional inspektur tambang
        sesuai  dengan    ketentuan    peraturan   perundang-
        undangan.
(4)     Pemerintah kabupaten/kota wajib mencatat hasil
        produksi dari seluruh kegiatan usaha pertambangan
        rakyat yang berada dalam wilayahnya dan melaporkannya
        secara berkala kepada Menteri dan gubernur setempat.

                      BAB X
       IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS

                     Pasal 74

 (1)    IUPK diberikan oleh Menteri dengan memperhatikan
        kepentingan daerah.
 (2)    IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
        untuk 1 (satu) jenis mineral logam atau batubara dalam 1
        (satu) WIUPK.
 (3)    Pemegang IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
        yang menemukan mineral lain di dalam WIUPK yang
        dikelola diberikan prioritas untuk mengusahakannya.
 (4)    Pemegang IUPK yang bermaksud mengusahakan mineral
        lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib
        mengajukan permohonan IUPK baru kepada Menteri.
 (5)    Pemegang IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
        dapat menyatakan tidak berminat untuk mengusahakan
        mineral lain yang ditemukan tersebut.
 (6)    Pemegang     IUPK     yang     tidak   berminat untuk
        mengusahakan mineral lain yang ditemukan sebagaimana
        dimaksud pada ayat (4), wajib menjaga mineral lain
        tersebut agar tidak dimanfaatkan pihak lain.
 (7)    IUPK untuk mineral lain sebagaimana dimaksud pada
        ayat (4) dan ayat (5) dapat diberikan kepada pihak lain
        oleh Menteri.

                     Pasal 75

 (1)    Pemberian IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74
        ayat   (1)   dilakukan   berdasarkan  pertimbangan
        sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.



                                                   (2) IUPK . . .
                     - 30 -

(2)   IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
      diberikan kepada badan usaha yang berbadan hukum
      Indonesia, baik berupa badan usaha milik negara, badan
      usaha milik daerah, maupun badan usaha swasta.
(3)   Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat prioritas
      dalam mendapatkan IUPK.
(4)   Badan usaha swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      untuk mendapatkan IUPK dilaksanakan dengan cara
      lelang WIUPK.

                   Pasal 76

(1)   IUPK terdiri atas dua tahap:
      a. IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum,
         eksplorasi, dan studi kelayakan;
      b. IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi,
         penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta
         pengangkutan dan penjualan.
(2)   Pemegang IUPK Eksplorasi dan pemegang IUPK Operasi
      Produksi dapat melakukan sebagian atau seluruh
      kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh
      IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
      peraturan pemerintah.

                   Pasal 77

(1)   Setiap pemegang IUPK Eksplorasi dijamin untuk
      memperoleh IUPK Operasi Produksi sebagai kelanjutan
      kegiatan usaha pertambangannya.
(2)   IUPK Operasi Produksi dapat diberikan kepada badan
      usaha yang berbadan hukum Indonesia sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3) dan ayat (4) yang telah
      mempunyai data hasil kajian studi kelayakan.

                   Pasal 78

IUPK Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat
(1) huruf a sekurang-kurangnya wajib memuat:
a. nama perusahaan;
b. luas dan lokasi wilayah;
c. rencana umum tata ruang;

                                               d. jaminan . . .
                  - 31 -

d. jaminan kesungguhan;
e. modal investasi;
f. perpanjangan waktu tahap kegiatan;
g. hak dan kewajiban pemegang IUPK;
h. jangka waktu tahap kegiatan;
i. jenis usaha yang diberikan;
j. rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat
   di sekitar wilayah pertambangan;
k. perpajakan;
l. penyelesaian perselisihan masalah pertanahan;
m. iuran tetap dan iuran eksplorasi; dan
n. amdal.

                 Pasal 79

IUPK Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76
ayat (1) huruf b sekurang-kurangnya wajib memuat:
a. nama perusahaan;
b. luas wilayah;
c. lokasi penambangan;
d. lokasi pengolahan dan pemurnian;
e. pengangkutan dan penjualan;
f.   modal investasi;
g. jangka waktu tahap kegiatan;
h. penyelesaian masalah pertanahan;
i.   lingkungan      hidup,   termasuk     reklamasi  dan
     pascatambang;
j.   dana jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang;
k. jangka waktu berlakunya IUPK;
l.   perpanjangan IUPK;
m. hak dan kewajiban;
n. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar
     wilayah pertambangan;
o. perpajakan;
p. iuran tetap dan iuran produksi serta bagian pendapatan
     negara/daerah, yang terdiri atas bagi hasil dari
     keuntungan bersih sejak berproduksi;
q. penyelesaian perselisihan;
r. keselamatan dan kesehatan kerja;
s. konservasi mineral atau batubara;


                                       t. pemanfaatan . . .
                    - 32 -

t.    pemanfaatan barang, jasa, teknologi serta kemampuan
      rekayasa dan rancang bangun dalam negeri;
u.    penerapan     kaidah  keekonomian      dan keteknikan
      pertambangan yang baik;
v.    pengembangan tenaga kerja Indonesia;
w.    pengelolaan data mineral atau batubara;
x.    penguasaan, pengembangan dan penerapan teknologi
      pertambangan mineral atau batubara; dan
y.    divestasi saham.

                  Pasal 80

IUPK tidak dapat digunakan selain yang dimaksud dalam
pemberian IUPK.

                   Pasal 81

(1)   Dalam hal kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi
      kelayakan, pemegang IUPK Eksplorasi yang mendapatkan
      mineral logam atau batubara yang tergali wajib
      melaporkan kepada Menteri.
(2)   Pemegang IUPK Eksplorasi yang ingin menjual mineral
      logam atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) wajib mengajukan izin sementara untuk melakukan
      pengangkutan dan penjualan.
(3)   Izin sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      diberikan oleh Menteri.

                   Pasal 82

Mineral atau batubara yang tergali sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 81 dikenai iuran produksi.

                  Pasal 83

Persyaratan luas wilayah dan jangka waktu sesuai dengan
kelompok usaha pertambangan yang berlaku bagi pemegang
IUPK meliputi:
a. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi
    pertambangan mineral logam diberikan dengan luas
    paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare.
b. luas 1 (satu)     WIUPK untuk tahap kegiatan operasi
    produksi pertambangan mineral logam diberikan dengan
    luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare.


                                                  c. luas . . .
                           - 33 -

      c.    luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi
            pertambangan batubara diberikan dengan luas paling
            banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare.
      d.    luas 1 (satu)    WIUPK untuk tahap kegiatan operasi
            produksi pertambangan batubara diberikan dengan luas
            paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare.
      e.    jangka waktu IUPK Eksplorasi pertambangan mineral
            logam dapat diberikan paling lama 8 (delapan) tahun.
      f.    jangka waktu IUPK Eksplorasi pertambangan batubara
            dapat diberikan paling lama 7 (tujuh) tahun.
      g.    jangka waktu IUPK Operasi Produksi mineral logam atau
            batubara dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh)
            tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing
            10 (sepuluh) tahun.

                          Pasal 84

      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh WIUPK
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (2) dan ayat (3),
      dan Pasal 75 ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.


                          BAB XI
PERSYARATAN PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS

                         Pasal 85

      Pemerintah berkewajiban mengumumkan rencana kegiatan
      usaha pertambangan di WIUPK sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 30 serta memberikan IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi
      Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 kepada
      masyarakat secara terbuka.

                          Pasal 86

      (1)   Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat
            (2) yang melakukan kegiatan dalam WIUPK wajib
            memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis,
            persyaratan lingkungan dan persyaratan finansial.
      (2)   Ketentuan      lebih    lanjut   mengenai      persyaratan
            administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan,
            dan persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada
            ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.



                                                         BAB XII . . .
                   - 34 -


                   BAB XII
            DATA PERTAMBANGAN

                  Pasal 87

Untuk menunjang penyiapan WP dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi pertambangan, Menteri atau
gubernur sesuai dengan kewenangannya dapat menugasi
lembaga riset negara dan/atau daerah untuk melakukan
penyelidikan dan penelitian tentang pertambangan.

                  Pasal 88

(1)   Data yang diperoleh dari kegiatan usaha pertambangan
      merupakan data milik Pemerintah dan/atau pemerintah
      daerah sesuai dengan kewenangannya.
(2)   Data usaha pertambangan yang dimiliki pemerintah
      daerah wajib disampaikan kepada Pemerintah untuk
      pengelolaan data pertambangan tingkat nasional.
(3)   Pengelolaan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah
      daerah sesuai dengan kewenangannya.

                  Pasal 89

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penugasan
penyelidikan dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 87 dan pengelolaan data sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 88 diatur dengan peraturan pemerintah.


                  BAB XIII
            HAK DAN KEWAJIBAN

                Bagian Kesatu
                     Hak

                  Pasal 90

Pemegang IUP dan IUPK dapat melakukan sebagian atau
seluruh tahapan usaha pertambangan, baik kegiatan
eksplorasi maupun kegiatan operasi produksi.



                                              Pasal 91 . . .
                   - 35 -

                  Pasal 91

Pemegang IUP dan IUPK dapat memanfaatkan prasarana dan
sarana umum untuk keperluan pertambangan setelah
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.

                  Pasal 92

Pemegang IUP dan IUPK berhak memiliki mineral, termasuk
mineral ikutannya, atau batubara yang telah diproduksi
apabila telah memenuhi iuran eksplorasi atau iuran produksi,
kecuali mineral ikutan radioaktif.

                  Pasal 93

(1)   Pemegang IUP dan IUPK tidak boleh memindahkan IUP
      dan IUPK-nya kepada pihak lain.
(2)   Untuk pengalihan kepemilikan dan/atau saham di bursa
      saham Indonesia hanya dapat dilakukan setelah
      melakukan kegiatan eksplorasi tahapan tertentu.
(3)   Pengalihan kepemilikan dan/atau saham sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan dengan
      syarat:
      a. harus memberitahu kepada Menteri, gubernur, atau
         bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya; dan
      b. sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
         peraturan perundang-undangan.

                  Pasal 94
Pemegang IUP dan IUPK dijamin haknya untuk melakukan
usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

                Bagian Kedua
                 Kewajiban

                  Pasal 95

Pemegang IUP dan IUPK wajib:
a. menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik;
b. mengelola keuangan sesuai dengan sistem akuntansi
   Indonesia;


                                        c. meningkatkan . . .
                    - 36 -

c.    meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral
      dan/atau batubara;
d.    melaksanakan    pengembangan      dan    pemberdayaan
      masyarakat setempat; dan
e.    mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan.

                   Pasal 96

Dalam penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik,
pemegang IUP dan IUPK wajib melaksanakan:
a.    ketentuan     keselamatan    dan    kesehatan     kerja
      pertambangan;
b.    keselamatan operasi pertambangan;
c.    pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan,
      termasuk kegiatan reklamasi dan pascatambang;
d.    upaya konservasi sumber daya mineral dan batubara;
e.    pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha
      pertambangan dalam bentuk padat, cair, atau gas sampai
      memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum
      dilepas ke media lingkungan.

                   Pasal 97

Pemegang IUP dan IUPK wajib menjamin penerapan standar
dan baku mutu lingkungan sesuai dengan karakteristik suatu
daerah.

                   Pasal 98

Pemegang IUP dan IUPK wajib menjaga kelestarian fungsi dan
daya dukung sumber daya air yang bersangkutan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

                   Pasal 99

(1)   Setiap pemegang    IUP dan IUPK wajib menyerahkan
      rencana reklamasi dan rencana pascatambang pada saat
      mengajukan permohonan IUP Operasi Produksi atau IUPK
      Operasi Produksi.
(2)   Pelaksanaan reklamasi dan kegiatan pascatambang
      dilakukan   sesuai   dengan  peruntukan    lahan
      pascatambang.


                                           (3) Peruntukan . . .
                    - 37 -

(3)   Peruntukan lahan pascatambang sebagaimana dimaksud
      pada ayat (2) dicantumkan dalam perjanjian penggunaan
      tanah antara pemegang IUP atau IUPK dan pemegang hak
      atas tanah.

                 Pasal 100

(1)   Pemegang IUP dan IUPK wajib menyediakan dana jaminan
      reklamasi dan dana jaminan pascatambang.
(2)   Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
      kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk
      melakukan reklamasi dan pascatambang dengan dana
      jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      diberlakukan apabila pemegang IUP atau IUPK tidak
      melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai
      dengan rencana yang telah disetujui.

                 Pasal   101

Ketentuan lebih lanjut mengenai reklamasi dan pascatambang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 serta dana jaminan
reklamasi dan dana jaminan pascatambang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal        100 diatur dengan peraturan
pemerintah.
                  Pasal 102
Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah
sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan
penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan
mineral dan batubara.
                  Pasal 103
(1)   Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi           wajib
      melakukan   pengolahan       dan pemurnian       hasil
      penambangan di dalam negeri.
(2)   Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana    dimaksud pada
      ayat (1) dapat mengolah dan memurnikan hasil
      penambangan dari pemegang IUP dan IUPK lainnya.
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai
      tambah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 serta
      pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud pada
      ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.


                                               Pasal 104 . . .
                    - 38 -


                  Pasal 104

(1)   Untuk pengolahan dan pemurnian, pemegang IUP Operasi
      Produksi dan IUPK Operasi Produksi sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 103 dapat melakukan kerja sama
      dengan badan usaha, koperasi, atau perseorangan yang
      telah mendapatkan IUP atau IUPK.
(2)   IUP yang didapat badan usaha sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) adalah IUP Operasi Produksi Khusus untuk
      pengolahan dan pemurnian yang dikeluarkan oleh
      Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai dengan
      kewenangannya.
(3)   Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana      dimaksud pada
      ayat (1) dilarang melakukan pengolahan dan pemurnian
      dari hasil penambangan yang tidak memiliki IUP, IPR,
      atau IUPK.

                  Pasal 105

(1)   Badan usaha yang tidak bergerak pada usaha
      pertambangan    yang    bermaksud    menjual   mineral
      dan/atau batubara yang tergali wajib terlebih dahulu
      memiliki IUP Operasi Produksi untuk penjualan.
(2)   IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
      diberikan untuk 1 (satu) kali penjualan oleh Menteri,
      gubernur,   atau   bupati/walikota   sesuai   dengan
      kewenangannya.
(3)   Mineral atau batubara yang tergali dan akan dijual
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai iuran
      produksi.
(4)   Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
      ayat (2) wajib menyampaikan laporan hasil penjualan
      mineral dan/atau batubara yang tergali kepada Menteri,
      gubernur,    atau  bupati/walikota    sesuai   dengan
      kewenangannya.

                  Pasal 106

Pemegang IUP dan IUPK harus mengutamakan pemanfaatan
tenaga kerja setempat, barang, dan jasa dalam negeri sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



                                               Pasal 107 . . .
                    - 39 -

                  Pasal 107
Dalam melakukan kegiatan operasi produksi, badan usaha
pemegang IUP dan IUPK wajib mengikutsertakan pengusaha
lokal yang ada di daerah tersebut sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
                  Pasal 108
(1)   Pemegang IUP dan IUPK wajib menyusun program
      pengembangan dan pemberdayaan masyarakat.
(2)   Penyusunan    program    dan    rencana   sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dikonsultasikan kepada
      Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
                  Pasal 109
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengembangan
dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 108 diatur dengan peraturan pemerintah.
                  Pasal 110
Pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan seluruh data
yang diperoleh dari hasil eksplorasi dan operasi produksi
kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
                  Pasal 111
(1)   Pemegang IUP dan IUPK wajib memberikan laporan
      tertulis secara berkala atas rencana kerja dan
      pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan
      batubara kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
      sesuai dengan kewenangannya.
(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, jenis, waktu,
      dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan
      pemerintah.
                  Pasal 112
(1)   Setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha
      pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh
      asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah,
      pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan
      usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional.


                                             (2) Ketentuan . . .
                                - 40 -

           (2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai divestasi saham
                 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
                 peraturan pemerintah.

                              BAB XIV
               PENGHENTIAN SEMENTARA KEGIATAN
IZIN USAHA PERTAMBANGAN DAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS
                              Pasal 113
           (1)   Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan
                 dapat diberikan kepada pemegang IUP dan IUPK apabila
                 terjadi:
                 a. keadaan kahar;
                 b. keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan
                     penghentian sebagian atau seluruh kegiatan usaha
                     pertambangan;
                 c. apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah
                     tersebut tidak dapat menanggung beban kegiatan
                     operasi produksi sumber daya mineral         dan/atau
                     batubara yang dilakukan di wilayahnya.
           (2)   Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan
                 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi
                 masa berlaku IUP atau IUPK.
           (3)   Permohonan penghentian sementara kegiatan usaha
                 pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
                 a dan huruf b disampaikan kepada Menteri, gubernur,
                 atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
           (4)   Penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat
                 (1) huruf c dapat dilakukan oleh inspektur tambang atau
                 dilakukan berdasarkan permohonan masyarakat kepada
                 Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
                 kewenangannya.
           (5)   Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
                 kewenangannya wajib mengeluarkan keputusan tertulis
                 diterima atau ditolak disertai alasannya atas permohonan
                 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 30 (tiga
                 puluh) hari sejak menerima permohonan tersebut.

                              Pasal 114
           (1)   Jangka waktu penghentian sementara karena keadaan
                 kahar dan/atau keadaan yang menghalangi sebagaimana
                 dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) diberikan paling lama
                 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang paling banyak 1
                 (satu) kali untuk 1 (satu) tahun.

                                                            (2) Apabila . . .
                      - 41 -

  (2)   Apabila dalam kurun waktu sebelum habis masa
        penghentian sementara berakhir pemegang IUP dan IUPK
        sudah siap melakukan kegiatan operasinya, kegiatan
        dimaksud wajib dilaporkan kepada Menteri, gubernur,
        atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
  (3)   Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
        kewenangannya     mencabut   keputusan    penghentian
        sementara setelah menerima laporan sebagaimana
        dimaksud pada ayat (2).
                    Pasal 115
  (1)   Apabila   penghentian    sementara   kegiatan   usaha
        pertambangan    diberikan    karena  keadaan    kahar
        sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf a,
        kewajiban pemegang IUP dan IUPK terhadap Pemerintah
        dan pemerintah daerah tidak berlaku.
  (2)   Apabila   penghentian    sementara   kegiatan usaha
        pertambangan    diberikan     karena  keadaan  yang
        menghalangi kegiatan usaha pertambangan sebagaimana
        dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf b, kewajiban
        pemegang IUP dan IUPK terhadap Pemerintah dan
        pemerintah daerah tetap berlaku.
  (3)   Apabila   penghentian    sementara    kegiatan  usaha
        pertambangan diberikan karena kondisi daya dukung
        lingkungan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
        113 ayat (1) huruf c, kewajiban pemegang IUP dan IUPK
        terhadap Pemerintah dan pemerintah daerah tetap
        berlaku.
                    Pasal 116
  Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian sementara
  kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam
  Pasal 113, Pasal 114, dan Pasal 115 diatur dengan peraturan
  pemerintah.

                     BAB XV
BERAKHIRNYA IZIN USAHA PERTAMBANGAN DAN
    IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS

                    Pasal 117

  IUP dan IUPK berakhir karena:
  a. dikembalikan;


                                                 b. dicabut . . .
                    - 42 -

b.    dicabut; atau
c.    habis masa berlakunya.

                  Pasal 118

(1)   Pemegang IUP atau IUPK dapat menyerahkan kembali IUP
      atau IUPK-nya dengan pernyataan tertulis kepada
      Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
      kewenangannya dan disertai dengan alasan yang jelas.
(2)   Pengembalian IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) dinyatakan sah setelah disetujui oleh
      Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
      kewenangannya dan setelah memenuhi kewajibannya.

                  Pasal 119

IUP atau IUPK dapat dicabut oleh Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya apabila:
a. pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang
    ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta peraturan
    perundang-undangan;
b. pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak pidana
    sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini; atau
c. pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit.

                  Pasal 120

Dalam hal jangka waktu yang ditentukan dalam IUP dan IUPK
telah habis dan tidak diajukan permohonan peningkatan atau
perpanjangan tahap kegiatan atau pengajuan permohonan
tetapi tidak memenuhi persyaratan, IUP dan IUPK tersebut
berakhir.

                  Pasal 121

(1)   Pemegang IUP atau IUPK yang IUP-nya atau IUPK-nya
      berakhir karena alasan sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, dan Pasal 120 wajib
      memenuhi dan menyelesaikan kewajiban sesuai dengan
      ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)   Kewajiban pemegang IUP atau IUPK sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dianggap telah dipenuhi setelah
      mendapat persetujuan dari Menteri, gubernur, atau
      bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.


                                               Pasal 122 . . .
                    - 43 -

                  Pasal 122

(1)   IUP atau IUPK yang telah dikembalikan, dicabut, atau
      habis masa berlakunya sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 121 dikembalikan kepada Menteri, gubernur, atau
      bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2)   WIUP atau WIUPK yang IUP-nya atau IUPK-nya berakhir
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditawarkan kepada
      badan usaha, koperasi, atau perseorangan melalui
      mekanisme sesuai dengan ketentuan dalam Undang-
      Undang ini.

                  Pasal 123

Apabila IUP atau IUPK berakhir, pemegang IUP atau IUPK
wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh dari hasil
eksplorasi dan operasi produksi kepada Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.


                  BAB XVI
        USAHA JASA PERTAMBANGAN

                  Pasal 124

(1)   Pemegang IUP atau IUPK wajib menggunakan perusahaan
      jasa pertambangan lokal dan/atau nasional.
(2)   Dalam hal tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IUP atau
      IUPK dapat menggunakan perusahaan jasa pertambangan
      lain yang berbadan hukum Indonesia.
(3)   Jenis usaha jasa pertambangan meliputi:
      a. konsultasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pengujian
         peralatan di bidang:
         1) penyelidikan umum;
         2) eksplorasi;
         3) studi kelayakan;
         4) konstruksi pertambangan;
         5) pengangkutan;
         6) lingkungan pertambangan;
         7) pascatambang dan reklamasi; dan/atau
         8) keselamatan dan kesehatan kerja.




                                            b. konsultasi . . .
                     - 44 -

      b. konsultasi, perencanaan, dan pengujian peralatan di
         bidang:
         1) penambangan; atau
         2) pengolahan dan pemurnian.

                   Pasal 125

(1)   Dalam hal pemegang IUP atau IUPK menggunakan jasa
      pertambangan,   tanggung   jawab  kegiatan  usaha
      pertambangan tetap dibebankan kepada pemegang IUP
      atau IUPK.
(2)   Pelaksana usaha jasa pertambangan dapat berupa badan
      usaha, koperasi, atau perseorangan sesuai dengan
      klasifikasi dan kualifikasi yang telah ditetapkan oleh
      Menteri.
(3)   Pelaku usaha jasa pertambangan wajib mengutamakan
      kontraktor dan tenaga kerja lokal.

                   Pasal 126

(1)   Pemegang IUP atau IUPK dilarang melibatkan anak
      perusahaan dan/atau afiliasinya dalam bidang usaha jasa
      pertambangan di wilayah usaha pertambangan yang
      diusahakannya, kecuali dengan izin Menteri.
(2)   Pemberian izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) dilakukan apabila:
      a. tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan sejenis
          di wilayah tersebut; atau
      b. tidak ada perusahaan jasa pertambangan yang
          berminat/mampu.
                  Pasal 127
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan usaha jasa
pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124, Pasal
125, dan Pasal 126 diatur dengan peraturan menteri.

                   BAB XVII
      PENDAPATAN NEGARA DAN DAERAH
                  Pasal 128

(1)   Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar pendapatan
      negara dan pendapatan daerah.


                                            (2) Pendapatan . . .
                    - 45 -

(2)   Pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan negara
      bukan pajak.
(3)   Penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      terdiri atas:
      a. pajak-pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah
         sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
         undangan di bidang perpajakan; dan
      b. bea masuk dan cukai.
(4)   Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud
      pada ayat (2) terdiri atas:
      a. iuran tetap;
      b. iuran eksplorasi;
      c. iuran produksi; dan
      d. kompensasi data informasi.
(5)   Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      terdiri atas:
      a. pajak daerah;
      b. retribusi daerah; dan
      c. pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan
         peraturan perundang-undangan.

                  Pasal 129

(1)   Pemegang IUPK Operasi Produksi untuk pertambangan
      mineral logam dan batubara wajib membayar sebesar 4%
      (empat persen) kepada Pemerintah dan 6% (enam persen)
      kepada pemerintah daerah dari keuntungan bersih sejak
      berproduksi.
(2)   Bagian pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) diatur sebagai berikut:
      a. pemerintah provinsi mendapat bagian sebesar 1%
         (satu persen);
      b. pemerintah kabupaten/kota penghasil mendapat
         bagian sebesar 2,5% (dua koma lima persen); dan
      c. pemerintah kabupaten/kota lainnya dalam provinsi
         yang sama mendapat bagian sebesar 2,5% (dua koma
         lima persen).



                                               Pasal 130 . . .
                            - 46 -

                          Pasal 130

        (1)   Pemegang IUP atau IUPK tidak dikenai iuran produksi
              sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (4) huruf c
              dan pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana
              dimaksud dalam Pasal 128 ayat (5) atas tanah/batuan
              yang ikut tergali pada saat penambangan.
        (2)   Pemegang IUP atau IUPK dikenai       iuran produksi
              sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (4) huruf c
              atas pemanfaatan tanah/batuan yang ikut tergali pada
              saat penambangan.

                          Pasal 131

        Besarnya pajak dan penerimaan negara bukan pajak yang
        dipungut dari pemegang IUP, IPR, atau IUPK ditetapkan
        berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

                          Pasal 132

        (1)   Besaran tarif iuran produksi ditetapkan berdasarkan
              tingkat pengusahaan, produksi, dan harga komoditas
              tambang.
        (2)   Besaran tarif iuran produksi sebagaimana dimaksud
              pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan ketentuan
              peraturan perundang-undangan.

                          Pasal 133

        (1)   Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud
              dalam Pasal 128 ayat (4) merupakan pendapatan negara
              dan daerah yang pembagiannya ditetapkan berdasarkan
              ketentuan peraturan perundang-undangan.
        (2)   Penerimaan negara bukan pajak yang merupakan bagian
              daerah dibayar langsung ke kas daerah setiap 3 (tiga)
              bulan setelah disetor ke kas negara.


                          BAB XVIII
PENGGUNAAN TANAH UNTUK KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN
                          Pasal 134

        (1)   Hak atas WIUP, WPR, atau WIUPK tidak meliputi hak atas
              tanah permukaan bumi.

                                                     (2) Kegiatan . . .
                    - 47 -

(2)   Kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan
      pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan
      usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan
      perundang-undangan.
(3)   Kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud
      pada ayat (2) dapat dilaksanakan setelah mendapat izin
      dari instansi Pemerintah sesuai dengan ketentuan
      peraturan perundang-undangan.

                  Pasal 135

Pemegang IUP Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi hanya dapat
melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan
dari pemegang hak atas tanah.

                  Pasal 136

(1)   Pemegang IUP atau IUPK sebelum melakukan kegiatan
      operasi produksi wajib menyelesaikan hak atas tanah
      dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan
      peraturan perundang-undangan.
(2)   Penyelesaian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan
      kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP atau IUPK.

                  Pasal 137

Pemegang IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal
135 dan Pasal 136 yang telah melaksanakan penyelesaian
terhadap bidang-bidang tanah dapat diberikan hak atas tanah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

                  Pasal 138

Hak atas IUP, IPR, atau IUPK bukan merupakan      pemilikan
hak atas tanah.




                                               BAB XIX . . .
                           - 48 -

                         BAB XIX
PEMBINAAN, PENGAWASAN, DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT


                      Bagian Kesatu
                Pembinaan dan Pengawasan
                         Pasal 139
       (1)   Menteri melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan
             pengelolaan usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh
             pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota
             sesuai dengan kewenangannya.
       (2)   Pembinaan       sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
             meliputi:
             a. pemberian pedoman dan standar pelaksanaan
                pengelolaan usaha pertambangan;
             b. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi;
             c. pendidikan dan pelatihan; dan
             d. perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan,
                dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan usaha
                pertambangan di bidang mineral dan batubara.
       (3)   Menteri dapat melimpahkan kepada gubernur untuk
             melakukan     pembinaan   terhadap   penyelenggaraan
             kewenangan pengelolaan di bidang usaha pertambangan
             sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilaksanakan
             oleh pemerintah kabupaten/kota.
       (4)   Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
             kewenangannya      bertanggung    jawab     melakukan
             pembinaan     atas    pelaksanaan    kegiatan   usaha
             pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IPR,
             atau IUPK.

                         Pasal 140

       (1)   Menteri      melakukan      pengawasan      terhadap
             penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan yang
             dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah
             kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.
       (2)   Menteri dapat melimpahkan kepada gubernur untuk
             melakukan     pengawasan   terhadap  penyelenggaraan
             kewenangan pengelolaan di bidang usaha pertambangan
             sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilaksanakan
             oleh pemerintah kabupaten/kota.

                                                    (3) Menteri . . .
                     - 49 -

(3)   Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan
      kewenangannya      melakukan       pengawasan    atas
      pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang
      dilakukan oleh pemegang IUP, IPR, atau IUPK.

                   Pasal 141

(1)   Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140,
      antara lain, berupa:
      a. teknis pertambangan;
      b. pemasaran;
      c. keuangan;
      d. pengolahan data mineral dan batubara;
      e. konservasi sumber daya mineral dan batubara;
      f. keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan;
      g. keselamatan operasi pertambangan;
      h. pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi, dan
         pascatambang;
      i. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan
         rekayasa dan rancang bangun dalam negeri;
      j. pengembangan tenaga kerja teknis pertambangan;
      k. pengembangan       dan    pemberdayaan     masyarakat
         setempat;
      l. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi
         pertambangan;
      m. kegiatan-kegiatan lain di bidang kegiatan usaha
         pertambangan yang menyangkut kepentingan umum;
      n. pengelolaan IUP atau IUPK; dan
      o. jumlah, jenis, dan mutu hasil usaha pertambangan.
(2)   Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
      a, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf l
      dilakukan oleh inspektur tambang sesuai dengan
      ketentuan peraturan perundang- undangan.
(3)   Dalam hal pemerintah daerah provinsi atau pemerintah
      daerah kabupaten/kota belum mempunyai inspektur
      tambang, Menteri menugaskan inspektur tambang yang
      sudah diangkat untuk melaksanaan pembinaan dan
      pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).



                                                 Pasal 142 . . .
                    - 50 -

                  Pasal 142
(1)   Gubernur dan bupati/walikota wajib melaporkan
      pelaksanaan usaha pertambangan di wilayahnya masing-
      masing sekurang-kurangnya sekali dalam 6 (enam) bulan
      kepada Menteri.
(2)   Pemerintah dapat memberi teguran kepada pemerintah
      daerah apabila dalam pelaksanaan kewenangannya tidak
      sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dan
      ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

                  Pasal 143
(1)   Bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan
      terhadap usaha pertambangan rakyat.
(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan
      pengawasan pertambangan rakyat diatur dengan
      peraturan daerah kabupaten/kota.


                  Pasal 144
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar dan prosedur
pembinaan serta pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 139, Pasal 140, Pasal 141, Pasal 142, dan Pasal 143
diatur dengan peraturan pemerintah.

                 Bagian Kedua
           Perlindungan Masyarakat

                  Pasal 145
(1)   Masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari
      kegiatan usaha pertambangan berhak:
      a. memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan
         dalam pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai
         dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
      b. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap
         kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang
         menyalahi ketentuan.
(2)   Ketentuan    mengenai      perlindungan   masyarakat
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
      berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.



                                                BAB XX . . .
                      - 51 -

                     BAB XX
      PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SERTA
         PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

                  Bagian Kesatu
          Penelitian dan Pengembangan

                    Pasal 146

Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mendorong,
melaksanakan, dan/atau memfasilitasi pelaksanaan penelitian
dan pengembangan mineral dan batubara.


                 Bagian Kedua
            Pendidikan dan Pelatihan

                    Pasal 147

Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mendorong,
melaksanakan,     dan/atau      memfasilitasi pelaksanaan
pendidikan dan pelatihan di bidang pengusahaan mineral dan
batubara.

                    Pasal 148

Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dapat dilakukan
oleh Pemerintah, pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat.


                    BAB XXI
                  PENYIDIKAN

                   Pasal 149

(1)    Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia,
       pejabat pegawai negeri sipil yang lingkup tugas dan
       tanggung jawabnya di bidang pertambangan diberi
       wewenang khusus sebagai penyidik sesuai dengan
       ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)    Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada
       ayat (1) berwenang:
       a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
          keterangan berkenaan dengan tindak pidana dalam
          kegiatan usaha pertambangan;


                                              b. melakukan . . .
                     - 52 -

      b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan
         yang diduga melakukan tindak pidana dalam kegiatan
         usaha pertambangan;
      c. memanggil dan/atau mendatangkan secara paksa
         orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau
         tersangka dalam perkara tindak pidana kegiatan usaha
         pertambangan;
      d. menggeledah tempat dan/atau sarana yang diduga
         digunakan untuk melakukan tindak pidana dalam
         kegiatan usaha pertambangan;
      e. melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana
         kegiatan usaha pertambangan dan menghentikan
         penggunaan peralatan yang diduga digunakan untuk
         melakukan tindak pidana;
      f. menyegel dan/atau menyita alat kegiatan usaha
         pertambangan yang digunakan untuk melakukan
         tindak pidana sebagai alat bukti;
      g. mendatangkan dan/atau meminta bantuan tenaga ahli
         yang    diperlukan   dalam    hubungannya     dengan
         pemeriksaan perkara tindak pidana dalam kegiatan
         usaha pertambangan; dan/atau
      h. menghentikan penyidikan perkara tindak pidana
         dalam kegiatan usaha pertambangan.

                   Pasal 150

(1)   Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 149 dapat menangkap pelaku tindak pidana
      dalam kegiatan usaha pertambangan.
(2)   Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) memberitahukan dimulai penyidikan dan
      menyerahkan hasil penyidikannya kepada pejabat polisi
      negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan
      peraturan perundang-undangan.
(3)   Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) wajib menghentikan penyidikannya dalam hal
      tidak terdapat cukup bukti dan/atau peristiwanya bukan
      merupakan tindak pidana.
(4)   Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (2) dan ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan
      peraturan perundang-undangan.


                                                 BAB XXII . . .
                      - 53 -

                    BAB XXII
            SANKSI ADMINISTRATIF
                    Pasal 151
(1)   Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
      kewenangannya berhak memberikan sanksi administratif
      kepada pemegang IUP, IPR atau IUPK atas pelanggaran
      ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat
      (3), Pasal 40 ayat (5), Pasal 41, Pasal 43, Pasal 70, Pasal
      71 ayat (1), Pasal 74 ayat (4), Pasal 74 ayat (6), Pasal 81
      ayat (1), Pasal 93 ayat (3), Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97,
      Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 102, Pasal 103, Pasal
      105 ayat (3), Pasal 105 ayat (4), Pasal 107, Pasal 108 ayat
      (1), Pasal 110, Pasal 111 ayat (1), Pasal 112 ayat (1), Pasal
      114 ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 125 ayat (3), Pasal
      126 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), Pasal 129 ayat (1), atau
      Pasal 130 ayat (2).
(2)   Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      berupa:
      a. peringatan tertulis;
      b. penghentian sementara sebagian atau seluruh
         kegiatan eksplorasi atau operasi produksi; dan/atau
      c. pencabutan IUP, IPR, atau IUPK.
                   Pasal 152
Dalam hal pemerintah daerah tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 dan hasil evaluasi
yang dilakukan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf    j, Menteri dapat menghentikan
sementara dan/atau mencabut IUP atau IPR sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
                    Pasal 153
Dalam hal pemerintah daerah berkeberatan terhadap
penghentian sementara dan/atau pencabutan IUP dan IPR
oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152,
pemerintah daerah dapat mengajukan keberatan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
                    Pasal 154
Setiap sengketa yang muncul dalam pelaksanaan IUP, IPR,
atau IUPK diselesaikan melalui pengadilan dan arbitrase
dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.


                                                     Pasal 155 . . .
                    - 54 -


                  Pasal 155

Segala akibat hukum yang timbul karena penghentian
sementara dan/atau pencabutan IUP,      IPR atau IUPK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2) huruf b dan
huruf c diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

                  Pasal 156

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 dan
Pasal 152 diatur dengan peraturan pemerintah.

                  Pasal 157

Pemerintah daerah yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dikenai sanksi
administratif berupa penarikan sementara kewenangan atas
hak pengelolaan usaha pertambangan mineral dan batubara.



                  BAB XXIII
            KETENTUAN PIDANA

                  Pasal 158

Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP,
IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal
40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau
ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh)      tahun     dan      denda      paling      banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

                 Pasal 159

Pemegang IUP,        IPR, atau IUPK yang dengan sengaja
menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
43 ayat (1), Pasal 70 huruf e, Pasal 81 ayat (1), Pasal 105 ayat
(4), Pasal 110, atau Pasal 111 ayat (1) dengan tidak benar
atau menyampaikan keterangan palsu dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).


                                                  Pasal 160 . . .
                     - 55 -

                   Pasal 160

(1)   Setiap orang yang melakukan eksplorasi tanpa memiliki
      IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
      atau Pasal 74 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan
      paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
      Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2)   Setiap orang yang mempunyai IUP Eksplorasi tetapi
      melakukan kegiatan   operasi   produksi      dipidana
      dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
      denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
      miliar rupiah).

                   Pasal 161

Setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK
Operasi    Produksi     yang    menampung,       memanfaatkan,
melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan,
penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang
IUP, IUPK, atau izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37,
Pasal 40 ayat (3), Pasal 43 ayat (2), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1),
Pasal 74 ayat (1), Pasal 81 ayat (2), Pasal 103 ayat (2), Pasal
104 ayat (3), atau Pasal 105 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

                  Pasal 162

Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan
usaha pertambangan dari pemegang IUP atau IUPK yang telah
memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

                  Pasal 163

(1)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
      bab ini dilakukan oleh suatu badan hukum, selain pidana
      penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang
      dapat dijatuhkan terhadap badan hukum tersebut berupa
      pidana denda dengan pemberatan ditambah 1/3 (satu per
      tiga) kali dari ketentuan maksimum pidana denda yang
      dijatuhkan.


                                                    (2) Selain . . .
                   - 56 -

(2)   Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1), badan hukum dapat dijatuhi pidana tambahan
      berupa:
      a. pencabutan izin usaha; dan/atau
      b. pencabutan status badan hukum.

                 Pasal 164

Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158,
Pasal 159, Pasal 160, Pasal 161, dan Pasal 162 kepada pelaku
tindak pidana dapat dikenai pidana tambahan berupa:
a. perampasan barang yang digunakan dalam melakukan
     tindak pidana;
b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak
     pidana; dan/atau
c. kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak
     pidana.

                 Pasal 165

Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang
bertentangan     dengan     Undang-Undang     ini    dan
menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling
lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).


                 BAB XXIV
           KETENTUAN LAIN-LAIN

                 Pasal 166

Setiap masalah yang timbul terhadap pelaksanaan IUP, IPR,
atau IUPK yang berkaitan dengan dampak lingkungan
diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

                 Pasal 167

WP dikelola oleh Menteri dalam suatu sistem informasi WP
yang terintegrasi secara nasional untuk melakukan
penyeragaman mengenai sistem koordinat dan peta dasar
dalam penerbitan WUP, WIUP,      WPR, WPN, WUPK, dan
WIUPK.


                                               Pasal 168 . . .
                     - 57 -

                   Pasal 168

Untuk meningkatkan investasi di bidang pertambangan,
Pemerintah dapat memberikan keringanan dan fasilitas
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan kecuali ditentukan lain dalam IUP atau IUPK.

                   BAB XXV
           KETENTUAN PERALIHAN
                   Pasal 169
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan
    pertambangan batubara yang telah ada sebelum
    berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan
    sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian.
b. Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya
    dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan
    batubara sebagaimana dimaksud pada huruf a
    disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak
    Undang-Undang ini diundangkan kecuali mengenai
    penerimaan negara.
c. Pengecualian terhadap penerimaan negara sebagaimana
    dimaksud pada huruf b adalah upaya peningkatan
    penerimaan negara.
                   Pasal 170
Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-
lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
                   Pasal 171
(1)   Pemegang     kontrak   karya    dan    perjanjian   karya
      pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 169 yang telah melakukan
      tahapan kegiatan eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,
      atau operasi produksi paling lambat 1 (satu) tahun sejak
      berlakunya Undang-Undang ini harus menyampaikan
      rencana      kegiatan      pada      seluruh      wilayah
      kontrak/perjanjian sampai dengan jangka waktu
      berakhirnya kontrak/perjanjian untuk mendapatkan
      persetujuan pemerintah.


                                                  (2) Dalam . . .
                     - 58 -

(2)   Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) tidak terpenuhi, luas wilayah pertambangan yang telah
      diberikan kepada pemegang kontrak karya dan perjanjian
      karya pengusahaan pertambangan batubara disesuaikan
      dengan Undang-Undang ini.

                   Pasal 172

Permohonan kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara yang telah diajukan kepada Menteri
paling lambat 1 (satu) tahun sebelum berlakunya Undang-
Undang ini dan sudah mendapatkan surat persetujuan prinsip
atau surat izin penyelidikan pendahuluan tetap dihormati dan
dapat diproses perizinannya tanpa melalui lelang berdasarkan
Undang-Undang ini.

                   BAB XXVI
            KETENTUAN PENUTUP

                   Pasal 173

(1)   Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-
      Undang Nomor 11 Tahun 1967           tentang Ketentuan-
      Ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara
      Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan
      Lembaran Negara Republik Indonesia         Nomor 2831)
      dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
(2)   Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua
      Peraturan    Perundang-undangan     yang   merupakan
      peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 11
      Tahun 1967       tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
      Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
      Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara
      Republik Indonesia Nomor 2831) dinyatakan masih tetap
      berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
      dalam Undang-Undang ini.

                   Pasal 174
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah
ditetapkan dalam waktu 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang
ini diundangkan.
                  Pasal 175
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.



                                                      Agar . . .
                                  - 59 -



               Agar   setiap  orang    mengetahuinya,    memerintahkan
               pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
               dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

                                   Disahkan di Jakarta
                                   pada tanggal 12 Januari 2009

                                   PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


                                                  ttd.

                                   DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Januari 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
      REPUBLIK INDONESIA,


                 ttd.

          ANDI MATTALATTA



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 4


      Salinan sesuai dengan aslinya
       SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
    Bidang Perekonomian dan Industri,

                   ttd.


            Setio Sapto Nugroho
                          PENJELASAN
                             ATAS
                UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                       NOMOR 4 TAHUN 2009
                           TENTANG
               PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA




I. UMUM

      Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa
  bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
  negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
  Mengingat mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung
  di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan,
  pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan,
  berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar
  memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat secara
  berkelanjutan.
       Guna memenuhi ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
  1945 tersebut, telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967
  tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Undang-undang
  tersebut selama lebih kurang empat dasawarsa sejak diberlakukannya telah
  dapat memberikan sumbangan yang penting bagi pembangunan nasional.
       Dalam perkembangan lebih lanjut, undang-undang tersebut yang
  materi muatannya bersifat sentralistik sudah tidak sesuai dengan
  perkembangan situasi sekarang dan tantangan di masa depan. Di samping
  itu, pembangunan pertambangan harus menyesuaikan diri dengan
  perubahan lingkungan strategis, baik bersifat nasional maupun
  internasional. Tantangan utama yang dihadapi oleh pertambangan mineral
  dan batubara adalah pengaruh globalisasi yang mendorong demokratisasi,
  otonomi daerah, hak asasi manusia, lingkungan hidup, perkembangan
  teknologi dan informasi, hak atas kekayaan intelektual serta tuntutan
  peningkatan peran swasta dan masyarakat.
      Untuk menghadapi tantangan lingkungan strategis dan menjawab
  sejumlah permasalahan tersebut, perlu disusun peraturan perundang-
  undangan baru di bidang pertambangan mineral dan batubara yang dapat
  memberikan landasan hukum bagi langkah-langkah pembaruan dan
  penataan kembali kegiatan pengelolaan dan pengusahaan pertambangan
  mineral dan batubara.




                                                     Undang-Undang . . .
                                 -2-

  Undang-Undang ini mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
  1. Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan
     dikuasai oleh negara dan pengembangan serta pendayagunaannya
     dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan
     pelaku usaha.
  2. Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha
     yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun
     masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan
     batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah,
     diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan
     kewenangannya masing-masing.
  3. Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah,
     pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan
     berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang
     melibatkan Pemerintah dan pemerintah daerah.
  4. Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang
     sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
  5. Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah
     dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan
     menengah     serta   mendorong     tumbuhnya      industri  penunjang
     pertambangan.
  6. Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha
     pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip
     lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.



II. PASAL DEMI PASAL

  Pasal 1
        Cukup jelas.

  Pasal 2
        Huruf a
             Cukup jelas.

       Huruf b
            Cukup jelas.

       Huruf c
            Cukup jelas.



                                                              Huruf d . . .
                              -3-

      Huruf d
           Yang dimaksud dengan asas berkelanjutan dan berwawasan
           lingkungan    adalah   asas   yang    secara   terencana
           mengintegrasikan dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial
           budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral dan
           batubara untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan
           masa mendatang.
Pasal 3
      Cukup jelas.

Pasal 4
      Cukup jelas.

Pasal 5
      Cukup jelas.

Pasal 6
      Ayat (1)
          Huruf a
               Cukup jelas.

          Huruf b
             Cukup jelas.

          Huruf c
             Standar nasional di bidang pertambangan mineral dan
             batubara adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang
             dibakukan.
          Huruf d
              Cukup jelas.
          Huruf e
              Cukup jelas.

          Huruf f
              Cukup jelas.

          Huruf g
             Cukup jelas.

          Huruf h
               Cukup jelas.

          Huruf i
               Cukup jelas.
                                                         Huruf j . . .
                              -4-

          Huruf j
               Cukup jelas.

          Huruf k
               Cukup jelas.

          Huruf l
               Cukup jelas.

          Huruf m
               Cukup jelas.

          Huruf n
               Cukup jelas.

          Huruf o
               Cukup jelas.

          Huruf p
               Cukup jelas.

          Huruf q
               Cukup jelas.

          Huruf r
               Cukup jelas.

          Huruf s
               Yang dimaksud dengan neraca sumber daya mineral dan
               batubara   tingkat    nasional   adalah   neraca yang
               menggambarkan jumlah sumber daya, cadangan, dan
               produksi mineral dan batubara secara nasional.

          Huruf t
               Cukup jelas.

          Huruf u
               Cukup jelas.

     Ayat (2)
        Cukup jelas.

Pasal 7
      Cukup jelas.

                                                          Pasal 8 . . .
                                  -5-

Pasal 8
      Cukup jelas.

Pasal 9
      Cukup jelas.

Pasal 10
      Cukup jelas.

Pasal 11
     Cukup jelas.

Pasal 12
      Cukup jelas.

Pasal 13
      Cukup jelas.

Pasal 14
      Cukup jelas.

Pasal 15
      Kewenangan yang dilimpahkan adalah kewenangan dalam
      menetapkan WUP untuk mineral bukan logam dan batuan dalam
      satu kabupaten/kota atau lintas kabupaten/kota.
Pasal 16
      Cukup jelas.

Pasal 17
      Yang dimaksud dengan luas adalah luas maksimum dan luas
      minimum.
      Penentuan batas dilakukan berdasarkan keahlian yang diterima oleh
      semua pihak.
Pasal 18
      Cukup jelas.
Pasal 19
      Cukup jelas.
Pasal 20
      Cukup jelas.

Pasal 21
      Penetapan WPR didasarkan pada perencanaan dengan melakukan
      sinkronisasi data dan informasi melalui sistem informasi WP.
                                                               Pasal 22 . . .
                               -6-

Pasal 22
     Huruf a
          Yang dimaksud dengan tepi dan tepi sungai adalah daerah
          akumulasi pengayaan mineral sekunder (pay streak) dalam
          suatu meander sungai.

     Huruf b
          Cukup jelas.

     Huruf c
          Cukup jelas.

     Huruf d
          Cukup jelas.

     Huruf e
          Cukup jelas.

     Huruf f
          Cukup jelas.

Pasal 23
      Pengumuman rencana WPR dilakukan di kantor desa/kelurahan dan
      kantor/instansi terkait; dilengkapi dengan peta situasi yang
      menggambarkan lokasi, luas, dan batas serta daftar koordinat; dan
      dilengkapi daftar pemegang hak atas tanah yang berada dalam WPR.

Pasal 24
      Cukup jelas.

Pasal 25
      Cukup jelas.

Pasal 26
      Cukup jelas.

Pasal 27
      Ayat (1)
          Penetapan WPN untuk kepentingan nasional dimaksudkan untuk
          mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, ketahanan energi
          dan industri strategis nasional, serta meningkatkan daya saing
          nasional dalam menghadapi tantangan global.




                                                                Yang. . .
                               -7-

          Yang dimaksud dengan komoditas tertentu antara lain tembaga,
          timah, emas, besi, nikel, dan bauksit serta batubara.
          Konservasi yang dimaksud juga mencakup upaya pengelolaan
          mineral dan/atau batubara yang keberadaannya terbatas.

     Ayat (2)
         Yang dimaksud dengan sebagian luas wilayahnya adalah untuk
         menentukan persentase besaran luas wilayah yang akan
         diusahakan.

     Ayat (3)
         Yang dimaksud dengan batasan waktu adalah WPN yang
         ditetapkan untuk konservasi dapat diusahakan setelah melewati
         jangka waktu tertentu.

     Ayat (4)
       Cukup jelas.

Pasal 28
      Cukup jelas.

Pasal 29
      Ayat (1)
          Yang dimaksud dengan koordinasi adalah mengakomodasi
          semua kepentingan daerah yang terkait dengan WUPK sesuai
          dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

     Ayat (2)
         Cukup jelas.

Pasal 30
      Cukup jelas.

Pasal 31
      Yang dimaksud dengan luas adalah luas maksimum dan luas
      minimum.
     Penentuan batas dilakukan berdasarkan keahlian yang diterima oleh
     semua pihak.

Pasal 32
      Cukup jelas.

Pasal 33
      Cukup jelas.
                                                           Pasal 34. . .
                               -8-

Pasal 34
      Ayat (1)
            Huruf a
                Cukup jelas.

           Huruf b
              Cukup jelas.

     Ayat (2)
           Huruf a
              Yang dimaksud dengan pertambangan mineral radioaktif
              adalah pertambangan sebagaimana diatur dalam peraturan
              perundang-undangan di bidang ketenaganukliran.

           Huruf b
              Pertambangan mineral logam      dalam   ketentuan    ini
              termasuk mineral ikutannya.

           Huruf c
               Cukup jelas.

           Huruf d
              Cukup jelas.

     Ayat (3)
           Cukup jelas.

Pasal 35
      Cukup jelas.

Pasal 36
      Cukup jelas.

Pasal 37
      Cukup jelas.

Pasal 38
      Huruf a
          Badan usaha dalam ketentuan ini meliputi juga badan usaha
          milik negara dan badan usaha milik daerah.

     Huruf b
          Cukup jelas.


                                                          Huruf c. . .
                               -9-

     Huruf c
          Cukup jelas.

Pasal 39
      Ayat (1)
            Huruf a
                Cukup jelas.

           Huruf b
               Cukup jelas.

           Huruf c
               Cukup jelas.

           Huruf d
                Jaminan kesungguhan dalam ketentuan ini termasuk
                biaya pengelolaan lingkungan akibat kegiatan eksplorasi.

           Huruf e
                Cukup jelas.

           Huruf f
                Cukup jelas.

           Huruf g
                Cukup jelas.

           Huruf h
                Cukup jelas.

           Huruf i
                Cukup jelas.

           Huruf j
                Cukup jelas.

           Huruf k
                Cukup jelas.

           Huruf l
                Cukup jelas.

           Huruf m
                Cukup jelas.

                                                             Huruf n. . .
                                - 10 -

            Huruf n
                 Cukup jelas.

      Ayat (2)
            Cukup jelas.

Pasal 40
      Cukup jelas.

Pasal 41
      Cukup jelas.

Pasal 42
      Ayat (1)
            Jangka waktu 8 (delapan) tahun meliputi penyelidikan umum 1
            (satu) tahun; eksplorasi 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 2
            (dua) kali masing-masing 1 (satu) tahun; serta studi kelayakan
            1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali 1 (satu)
            tahun.

      Ayat (2)
            Jangka waktu 3 (tiga) tahun meliputi penyelidikan umum 1
            (satu) tahun, eksplorasi 1 (satu) tahun, dan studi kelayakan 1
            (satu) tahun.

            Yang dimaksud dengan mineral bukan logam jenis tertentu
            adalah antara lain batu gamping untuk industri semen, intan,
            dan batu mulia.

            Jangka waktu 7 (tujuh) tahun meliputi penyelidikan umum 1
            (satu) tahun; eksplorasi 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 1
            (satu) kali 1 (satu) tahun; serta studi kelayakan 1 (satu) tahun
            dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali 1 (satu) tahun.

      Ayat (3)
            Jangka waktu 3 (tiga) tahun meliputi penyelidikan umum 1
            (satu) tahun, eksplorasi 1 (satu) tahun, dan studi kelayakan 1
            (satu) tahun.

      Ayat (4)
            Jangka waktu 7 (tujuh) tahun meliputi penyelidikan umum 1
            (satu) tahun; eksplorasi 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang 2
            (dua) kali masing-masing 1 (satu) tahun; serta studi kelayakan
            2 (dua) tahun.

                                                               Pasal 43 . . .
                              - 11 -

Pasal 43
      Cukup jelas.

Pasal 44
      Cukup jelas.

Pasal 45
      Cukup jelas.

Pasal 46
     Ayat (1)
           Cukup jelas.

     Ayat (2)
           Yang dimaksud dengan data hasil kajian studi kelayakan
           merupakan sinkronisasi data milik Pemerintah dan pemerintah
           daerah.

Pasal 47
      Ayat (1)
            Jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dalam ketentuan ini
            termasuk jangka waktu untuk konstruksi selama 2 (dua)
            tahun.

     Ayat (2)
           Cukup Jelas

     Ayat (3)
           Yang dimaksud dengan mineral bukan logam jenis tertentu
           adalah antara lain batu gamping untuk industri semen, intan,
           dan batu mulia.

           Jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dalam ketentuan ini
           termasuk jangka waktu untuk konstruksi selama 2 (dua)
           tahun.

     Ayat (4)
           Cukup jelas.

     Ayat (5)
           Jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dalam ketentuan ini
           termasuk jangka waktu untuk konstruksi selama 2 (dua)
           tahun.


                                                           Pasal 48 . . .
                              - 12 -

Pasal 48
      Cukup jelas.

Pasal 49
      Cukup jelas.

Pasal 50
      Cukup jelas.

Pasal 51
      Pertambangan mineral logam dalam ketentuan ini termasuk mineral
      ikutannya.

Pasal 52
      Ayat (1)
            Cukup jelas.

     Ayat (2)
           Apabila dalam WIUP terdapat      mineral lain yang berbeda
           keterdapatannya secara vertikal maupun horizontal, pihak lain
           dapat mengusahakan mineral tersebut.

     Ayat (3)
           Cukup jelas.

Pasal 53
      Cukup jelas.

Pasal 54
      Cukup jelas.

Pasal 55
      Ayat (1)
            Cukup jelas.

     Ayat (2)
           Apabila dalam WIUP terdapat      mineral lain yang berbeda
           keterdapatannya secara vertikal maupun horizontal, pihak lain
           dapat mengusahakan mineral tersebut.

     Ayat (3)
           Cukup jelas.

Pasal 56
      Cukup jelas.
                                                            Pasal 57. . .
                              - 13 -

Pasal 57
      Cukup jelas.

Pasal 58
      Ayat (1)
            Cukup jelas.

     Ayat (2)
           Apabila dalam WIUP terdapat      mineral lain yang berbeda
           keterdapatannya secara vertikal maupun horizontal, pihak lain
           dapat mengusahakan mineral tersebut.

     Ayat (3)
            Cukup jelas.

Pasal 59
      Cukup jelas.

Pasal 60
      Cukup jelas.

Pasal 61
      Ayat (1)
            Cukup jelas.

     Ayat (2)
           Apabila dalam WIUP terdapat      mineral lain yang berbeda
           keterdapatannya secara vertikal maupun horizontal, pihak lain
           dapat mengusahakan mineral tersebut.

     Ayat (3)
           Cukup jelas.

Pasal 62
      Cukup jelas.

Pasal 63
      Cukup jelas.

Pasal 64
      Cukup jelas.

Pasal 65
      Cukup jelas.

                                                            Pasal 66. . .
                              - 14 -

Pasal 66
      Cukup jelas.

Pasal 67
      Ayat (1)
            Cukup jelas.

     Ayat (2)
           Cukup jelas.

     Ayat (3)
           Surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini
           disertai dengan meterai cukup dan dilampiri rekomendasi dari
           kepala desa/lurah/kepala adat mengenai kebenaran riwayat
           pemohon untuk memperoleh prioritas dalam mendapatkan IPR.

Pasal 68
      Cukup jelas.

Pasal 69
      Cukup jelas.

Pasal 70
      Huruf a
           Cukup jelas.

     Huruf b
          Cukup jelas.

     Huruf c
          Kegiatan pengelolaan lingkungan hidup meliputi pencegahan
          dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan fungsi
          lingkungan hidup, termasuk reklamasi lahan bekas tambang.

     Huruf d
          Cukup jelas.

     Huruf e
          Laporan disampaikan setiap 4 (empat) bulan.

Pasal 71
      Cukup jelas.

Pasal 72
      Cukup jelas.
                                                            Pasal 73. . .
                              - 15 -

Pasal 73
      Cukup jelas.

Pasal 74
      Ayat (1)
            Yang dimaksud dengan memperhatikan kepentingan     daerah
            adalah dalam rangka pemberdayaan daerah.

     Ayat (2)
           Pertambangan mineral logam dalam ketentuan ini termasuk
           mineral ikutannya.

     Ayat (3)
           Cukup jelas.

     Ayat (4)
           Cukup jelas.

     Ayat (5)
           Cukup jelas.

     Ayat (6)
           Cukup jelas.

     Ayat (7)
           Cukup jelas.

Pasal 75
      Cukup jelas.

Pasal 76
      Cukup jelas.

Pasal 77
      Ayat (1)
            Cukup jelas.

     Ayat (2)
           Yang dimaksud dengan data hasil kajian studi kelayakan
           merupakan sinkronisasi data milik Pemerintah dan pemerintah
           daerah.

Pasal 78
      Huruf a
           Cukup jelas.
                                                           Huruf b. . .
                             - 16 -

     Huruf b
          Cukup jelas.

     Huruf c
          Cukup jelas.

     Huruf d
          Jaminan    kesungguhan     termasuk     di  dalamnya   biaya
          pengelolaan lingkungan akibat kegiatan eksplorasi.

     Huruf e
          Cukup jelas.

     Huruf f
          Cukup jelas.

     Huruf g
          Cukup jelas.

     Huruf h
          Cukup jelas.

     Huruf i
          Cukup jelas.

     Huruf j
          Cukup jelas.

     Huruf k
          Cukup jelas.

     Huruf l
          Cukup jelas.

     Huruf m
          Cukup jelas.

     Huruf n
          Cukup jelas.

Pasal 79
      Huruf a
           Cukup jelas.


                                                           Huruf b. . .
                     - 17 -

Huruf b
     Cukup jelas.

Huruf c
      Cukup jelas.

Huruf d
      Cukup jelas.

Huruf e
     Cukup jelas.

Huruf f
     Cukup jelas.

Huruf g
     Cukup jelas.

Huruf h
      Cukup jelas.

Huruf i
     Cukup jelas.

Huruf j
     Cukup jelas.

Huruf k
     Cukup jelas.

Huruf l
      Cukup jelas.

Huruf m
      Cukup jelas.

Huruf n
      Cukup jelas.

Huruf o
     Cukup jelas.

Huruf p
     Cukup jelas.

                              Huruf q . . .
                             - 18 -

     Huruf q
          Cukup jelas.

     Huruf r
          Cukup jelas.

     Huruf s
          Cukup jelas.

     Huruf t
          Cukup jelas.

     Huruf u
          Cukup jelas.

     Huruf v
          Cukup jelas.

     Huruf w
          Cukup jelas.

     Huruf x
          Cukup jelas.

     Huruf y
          Pencantuman divestasi saham hanya berlaku apabila sahamnya
          dimiliki oleh asing sesuai dengan ketentuan peraturan
          perundang-undangan.

Pasal 80
      Cukup jelas.

Pasal 81
      Cukup jelas.

Pasal 82
      Cukup jelas.

Pasal 83
      Huruf a
           Cukup jelas.

     Huruf b
          Cukup jelas.

                                                          Huruf c. . .
                               - 19 -

     Huruf c
          Cukup jelas.

     Huruf d
               Cukup jelas.

     Huruf e
          Jangka waktu 8 (delapan) tahun meliputi penyelidikan umum 1
          (satu) tahun; eksplorasi 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 2
          (dua) kali masing-masing 1 (satu) tahun; serta studi kelayakan
          1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali 1 (satu)
          tahun.

     Huruf f
          Jangka waktu 7 (tujuh) tahun meliputi penyelidikan umum 1
          (satu) tahun; eksplorasi 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang 2
          (dua) kali masing-masing 1 (satu) tahun; serta studi kelayakan
          2 (dua) tahun.

     Huruf g
          Jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dalam ketentuan ini
          termasuk jangka waktu untuk konstruksi selama 2 (dua)
          tahun.

Pasal 84
      Cukup jelas.

Pasal 85
      Cukup jelas.

Pasal 86
      Cukup jelas.

Pasal 87
      Cukup jelas.

Pasal 88
      Cukup jelas.

Pasal 89
      Cukup jelas.

Pasal 90
      Cukup jelas.

                                                              Pasal 91. . .
                              - 20 -

Pasal 91
      Cukup jelas.

Pasal 92
      Cukup jelas.

Pasal 93
      Ayat (1)
            Cukup jelas.

     Ayat (2)
           Yang dimaksud eksplorasi tahapan tertentu dalam ketentuan
           ini yaitu telah ditemukan 2 (dua) wilayah prospek dalam
           kegiatan eksplorasi.

     Ayat (3)
           Cukup jelas.

Pasal 94
      Cukup jelas.

Pasal 95
      Cukup jelas.

Pasal 96
      Huruf a
           Cukup jelas.

     Huruf b
          Cukup jelas.

     Huruf c
          Cukup jelas.

     Huruf d
          Cukup jelas.

     Huruf e
          Yang dimaksud dengan sisa tambang meliputi antara lain
          tailing dan limbah batubara.

Pasal 97
      Cukup jelas.


                                                           Pasal 98 . . .
                               - 21 -


Pasal 98
      Ketentuan ini dimaksudkan mengingat usaha pertambangan pada
      sumber air dapat mengakibatkan perubahan morfologi sumber air,
      baik pada kawasan hulu maupun hilir.

Pasal 99
      Cukup jelas.

Pasal 100
      Cukup jelas.

Pasal 101
      Ketentuan mengenai dana jaminan reklamasi dan dana jaminan
      pascatambang berisi, antara lain, besaran, tata cara penyetoran dan
      pencairan, serta pelaporan penggunaan dana jaminan.

Pasal 102
      Nilai tambah dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan
      produk akhir dari usaha pertambangan atau pemanfaatan terhadap
      mineral ikutan.

Pasal 103
      ayat (1)
            Kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di
            dalam negeri dimaksudkan, antara lain, untuk meningkatkan
            dan mengoptimalkan nilai tambang dari produk, tersedianya
            bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan
            peningkatan penerimaan negara.

     ayat (2)
           Cukup jelas.

     ayat (3)
           Cukup jelas.

Pasal 104
      Cukup jelas.

Pasal 105
      Ayat (1)
            Yang dimaksud dengan terlebih dahulu memiliki IUP Operasi
            Produksi untuk penjualan dalam ketentuan ini adalah
            pengurusan izin pengangkutan dan penjualan atas mineral
            dan/atau batubara yang tergali.
                                                           Ayat (2). . .
                               - 22 -


      Ayat (2)
            Izin diberikan setelah terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan
            dan evaluasi atas mineral dan/atau batubara yang tergali oleh
            instansi teknis terkait.

      Ayat (3)
            Cukup jelas.

      Ayat (4)
            Cukup jelas.

Pasal 106
      Pemanfaatan tenaga kerja setempat tetap mempertimbangkan
      kompetensi tenaga kerja dan keahlian tenaga kerja yang tersedia.

      Ketentuan ini   dimaksudkan  untuk    mendukung    dan
      menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu
      bersaing.

Pasal 107
      Cukup jelas.

Pasal 108
      Ayat (1)
            Cukup jelas.

      Ayat (2)
            Yang dimaksud dengan masyarakat adalah masyarakat yang
            berdomisili di sekitar operasi pertambangan.

Pasal 109
      Cukup jelas.

Pasal 110
      Cukup jelas.

Pasal 111
      Cukup jelas.

Pasal 112
      Cukup jelas.

Pasal 113
      Ayat (1)
                                                             Huruf a . . .
                               - 23 -

           Huruf a
                Yang dimaksud keadaan kahar (force majeur) dalam ayat
                ini, antara lain, perang, kerusuhan sipil, pemberontakan,
                epidemi, gempa bumi, banjir, kebakaran, dan bencana
                alam di luar kemampuan manusia.

           Huruf b
                Yang dimaksud keadaan yang menghalangi dalam ayat
                ini, antara lain, blokade, pemogokan, dan perselisihan
                perburuhan di luar kesalahan pemegang IUP atau IUPK
                dan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan
                oleh Pemerintah yang menghambat kegiatan usaha
                pertambangan yang sedang berjalan.

           Huruf c
                Cukup jelas.

     Ayat (2)
           Cukup jelas.

     Ayat (3)
           Permohonan menjelaskan kondisi keadaan kahar dan/atau
           keadaan    yang   menghalangi  sehingga   mengakibatkan
           penghentian   sebagian  atau  seluruh   kegiatan  usaha
           pertambangan.

     Ayat (4)
           Permohonan masyarakat memuat penjelasan keadaan kondisi
           daya dukung lingkungan wilayah yang    dikaitkan dengan
           aktivitas kegiatan penambangan.

     Ayat (5)
           Cukup jelas.

Pasal 114
      Cukup jelas.

Pasal 115
      Cukup jelas.

Pasal 116
      Cukup jelas.

Pasal 117
      Cukup jelas.

                                                           Pasal 118 . . .
                              - 24 -

Pasal 118
      Ayat (1)
            Yang dimaksud dengan alasan yang jelas dalam ketentuan ini
            antara lain tidak ditemukannya prospek secara       teknis,
            ekonomis, atau lingkungan.

     Ayat (2)
           Cukup jelas.

Pasal 119
      Cukup jelas.

Pasal 120
      Yang dimaksud dengan peningkatan adalah peningkatan dari tahap
      ekplorasi ke tahap operasi produksi.

Pasal 121
      Cukup jelas.

Pasal 122
      Cukup jelas.

Pasal 123
      Cukup jelas.

Pasal 124
      Ayat (1)
            Perusahaan nasional dapat mendirikan   perusahaan cabang di
            daerah.

     Ayat (2)
           Cukup jelas.

     Ayat (3)
           Cukup jelas.

Pasal 125
      Cukup jelas.

Pasal 126
      Cukup jelas.

Pasal 127
      Cukup jelas.

                                                          Pasal 128 . . .
                              - 25 -

Pasal 128
      Cukup jelas.

Pasal 129
     Cukup jelas.

Pasal 130
      Cukup jelas.

Pasal 131
      Cukup jelas.

Pasal 132
      Cukup jelas.

Pasal 133
      Cukup jelas.

Pasal 134
      Cukup jelas.

Pasal 135
      Persetujuan dari pemegang hak atas tanah dimaksudkan untuk
      menyelesaikan lahan-lahan yang terganggu oleh kegiatan eksplorasi
      seperti pengeboran, parit uji, dan pengambilan contoh.

Pasal 136
      Cukup jelas.

Pasal 137
      Cukup jelas.

Pasal 138
      Cukup jelas.

Pasal 139
      Cukup jelas.

Pasal 140
      Cukup jelas.

Pasal 141
      Cukup jelas.

Pasal 142
                                                        Cukup jelas. . .
                           - 26 -

     Cukup jelas.

Pasal 143
      Cukup jelas.

Pasal 144
      Cukup jelas.

Pasal 145
      Ayat (1)
            Yang dimaksud dengan masyarakat adalah mereka yang
            terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha
            pertambangan.

     Ayat (2)
           Cukup jelas.

Pasal 146
      Cukup jelas.

Pasal 147
      Cukup jelas.

Pasal 148
      Cukup jelas.

Pasal 149
      Cukup jelas.

Pasal 150
      Cukup jelas.

Pasal 151
      Cukup jelas.

Pasal 152
      Cukup jelas.

Pasal 153
      Cukup jelas.

Pasal 154
      Cukup jelas.

Pasal 155
                                                 Cukup jelas . . .
                              - 27 -

     Cukup jelas.

Pasal 156
      Cukup jelas.

Pasal 157
      Cukup jelas.

Pasal 158
      Cukup jelas.

Pasal 159
      Cukup jelas.

Pasal 160
      Cukup jelas.

Pasal 161
      Cukup jelas.

Pasal 162
      Cukup jelas.

Pasal 163
      Cukup jelas.

Pasal 164
      Cukup jelas.

Pasal 165
      Yang dimaksud dengan setiap orang adalah pejabat yang menerbitkan
      IUP, IPR, atau IUPK.

Pasal 166
      Cukup jelas.

Pasal 167
      Cukup jelas.

Pasal 168
      Cukup jelas.

Pasal 169
      Huruf a
            Cukup jelas.
                                                            Huruf b . . .
                              - 28 -

       Huruf b
            Semua pasal yang terkandung dalam kontrak karya dan
            perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara harus
            disesuaikan dengan Undang-Undang.

       Huruf c
            Cukup jelas.

  Pasal 170
        Cukup jelas.

  Pasal 171
        Cukup jelas.

  Pasal 172
        Cukup jelas.

  Pasal 173
        Cukup jelas.

  Pasal 174
        Cukup jelas.

  Pasal 175
        Cukup jelas.



TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4959



Silahkan download versi PDF nya sbb:
pertambangan_mineral_batubara_(uu_4_thn_2009)_4.pdf
(ogi/Carapedia)
Pencarian Terbaru

Pasal 161 uu no 4 tahun 2009. Pasal 161 uu pertambangan. Pasal 161 undang undang ri nomor 4 tahun 2009. 161 uu no 4 tahun 2009. Isi pasal 161 uu no.04 tahun 2009. Pasal 161 uu nomor 4 tahun 2009. Uu no 4 tahun 2009 pasal 161.

Pasal 161 uu ri no 4 tahun 2009. Pasal 161 uu ri no4 tahun 2009. Uu no 4 thn 2009 pasal 161. Pasal 161 pertambangan. Pasal 158 bunyi sanksi pidana pertambangan. Pasal 161 uud pertambangan. Undang undang 161 tentang minerba.

Bunyi pasal 162 tentang pertambangan. Ancaman pasal 161 tentang minerba. Uu 4thn2009 psl luasan lahan iup. Bunyi pasal 168 undang undang pertambangan mineral. Undang undang nomor 4/2009 tentang mineral dan batubara pasal 158 dan pasal 161. Uu 161 no 4 2009.

Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.