Previous
Next

2009

Undang-Undang Penerbangan (UU 1 thn 2009)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan :
              UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                      NOMOR 1 TAHUN 2009
                             TENTANG
                          PENERBANGAN


             DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
                 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang   : a. bahwa negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara
                 kepulauan berciri nusantara yang disatukan oleh wilayah
                 perairan dan udara dengan batas-batas, hak-hak, dan
                 kedaulatan yang ditetapkan oleh Undang-Undang;
             b. bahwa dalam upaya mencapai tujuan nasional berdasarkan
                Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
                Indonesia Tahun 1945, mewujudkan Wawasan Nusantara
                serta memantapkan ketahanan nasional diperlukan sistem
                transportasi nasional yang mendukung pertumbuhan
                ekonomi, pengembangan wilayah, mempererat hubungan
                antarbangsa, dan memperkukuh kedaulatan negara;
             c. bahwa penerbangan merupakan bagian dari sistem
                transportasi nasional yang mempunyai karakteristik
                mampu bergerak dalam waktu cepat, menggunakan
                teknologi tinggi, padat modal, manajemen yang andal, serta
                memerlukan jaminan keselamatan dan keamanan yang
                optimal, perlu dikembangkan potensi dan peranannya yang
                efektif dan efisien, serta membantu terciptanya pola
                distribusi nasional yang mantap dan dinamis;
             d. bahwa perkembangan lingkungan strategis nasional dan
                internasional menuntut penyelenggaraan penerbangan
                yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
                teknologi, peran serta swasta dan persaingan usaha,
                perlindungan konsumen, ketentuan internasional yang
                disesuaikan dengan kepentingan nasional, akuntabilitas
                penyelenggaraan negara, dan otonomi daerah;
             e. bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang
                Penerbangan sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi,
                perubahan     lingkungan  strategis,  dan kebutuhan
                penyelenggaraan penerbangan saat ini sehingga perlu
                diganti dengan undang-undang yang baru;


                                                              f. bahwa . . .
                                         -2-


                  f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
                     dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e,
                     perlu membentuk Undang-Undang tentang Penerbangan;

Mengingat     :        Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 25A,
                       dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik
                       Indonesia Tahun 1945;


                            Dengan Persetujuan Bersama

             DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

                                         DAN

                          PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

                                   MEMUTUSKAN :

Menetapkan    :        UNDANG-UNDANG TENTANG PENERBANGAN.

                                        BAB I

                                 KETENTUAN UMUM

                                       Pasal 1

                  Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

                  1.    Penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri
                        atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar
                        udara,     angkutan   udara,      navigasi penerbangan,
                        keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta
                        fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.
                  2.    Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di atas
                        wilayah daratan dan perairan Indonesia.
                  3.    Pesawat Udara adalah setiap mesin atau alat yang dapat
                        terbang di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara,
                        tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan
                        bumi yang digunakan untuk penerbangan.

                  4.    Pesawat Terbang adalah pesawat udara yang lebih berat
                        dari udara, bersayap tetap, dan dapat terbang dengan
                        tenaga sendiri.


                                                                  5. Helikopter . . .
                    -3-


5.   Helikopter adalah pesawat udara yang lebih berat dari
     udara, bersayap putar yang rotornya digerakkan oleh
     mesin.

6.   Pesawat Udara Indonesia adalah pesawat udara yang
     mempunyai tanda pendaftaran Indonesia dan tanda
     kebangsaan Indonesia.

7.   Pesawat Udara Negara adalah pesawat udara yang
     digunakan oleh Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian
     Republik Indonesia, kepabeanan, dan instansi pemerintah
     lainnya untuk menjalankan fungsi dan kewenangan
     penegakan hukum serta tugas lainnya sesuai dengan
     peraturan perundang-undangan.

8.   Pesawat Udara Sipil adalah pesawat udara yang
     digunakan untuk kepentingan angkutan udara niaga dan
     bukan niaga.

9.   Pesawat Udara Sipil Asing adalah pesawat udara yang
     digunakan untuk kepentingan angkutan udara niaga dan
     bukan niaga yang mempunyai tanda pendaftaran dan
     tanda kebangsaan negara asing.

10. Kelaikudaraan adalah terpenuhinya persyaratan desain
    tipe pesawat udara dan dalam kondisi aman untuk
    beroperasi.

11. Kapten Penerbang adalah penerbang yang ditugaskan
    oleh perusahaan atau pemilik pesawat udara untuk
    memimpin penerbangan dan bertanggung jawab penuh
    terhadap     keselamatan    penerbangan      selama
    pengoperasian pesawat udara sesuai dengan peraturan
    perundang-undangan.

12. Personel Penerbangan, yang selanjutnya disebut personel,
    adalah personel yang berlisensi atau bersertifikat yang
    diberi tugas dan tanggung jawab di bidang penerbangan.

13. Angkutan Udara adalah setiap kegiatan dengan
    menggunakan pesawat udara untuk mengangkut
    penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan
    atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang
    lain atau beberapa bandar udara.


                                            14. Angkutan . . .
                    -4-


14. Angkutan Udara Niaga adalah angkutan udara untuk
    umum dengan memungut pembayaran.

15. Angkutan Udara Bukan Niaga adalah angkutan udara
    yang digunakan untuk melayani kepentingan sendiri yang
    dilakukan untuk mendukung kegiatan yang usaha
    pokoknya selain di bidang angkutan udara.

16. Angkutan Udara Dalam Negeri adalah kegiatan angkutan
    udara niaga untuk melayani angkutan udara dari satu
    bandar udara ke bandar udara lain di dalam wilayah
    Negara Kesatuan Republik Indonesia.

17. Angkutan Udara Luar Negeri adalah kegiatan angkutan
    udara niaga untuk melayani angkutan udara dari satu
    bandar udara di dalam negeri ke bandar udara lain di luar
    wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
    sebaliknya.

18. Angkutan Udara Perintis adalah kegiatan angkutan udara
    niaga dalam negeri yang melayani jaringan dan rute
    penerbangan untuk menghubungkan daerah terpencil
    dan tertinggal atau daerah yang belum terlayani oleh
    moda transportasi lain dan secara komersial belum
    menguntungkan.

19. Rute Penerbangan adalah lintasan pesawat udara dari
    bandar udara asal ke bandar udara tujuan melalui jalur
    penerbangan yang telah ditetapkan.

20. Badan Usaha Angkutan Udara adalah badan usaha milik
    negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum
    Indonesia berbentuk perseroan terbatas atau koperasi,
    yang kegiatan utamanya mengoperasikan pesawat udara
    untuk digunakan mengangkut penumpang, kargo,
    dan/atau pos dengan memungut pembayaran.

21. Jaringan penerbangan adalah beberapa rute penerbangan
    yang merupakan satu kesatuan pelayanan angkutan
    udara.
22. Tanggung     Jawab    Pengangkut   adalah   kewajiban
    perusahaan angkutan udara untuk mengganti kerugian
    yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang
    serta pihak ketiga.

                                                23. Kargo . . .
                   -5-


23. Kargo adalah setiap barang yang diangkut oleh pesawat
    udara termasuk hewan dan tumbuhan selain pos, barang
    kebutuhan pesawat selama penerbangan, barang bawaan,
    atau barang yang tidak bertuan.

24. Bagasi Tercatat adalah barang penumpang yang
    diserahkan oleh penumpang kepada pengangkut untuk
    diangkut dengan pesawat udara yang sama.

25. Bagasi Kabin adalah barang yang dibawa oleh penumpang
    dan berada dalam pengawasan penumpang sendiri.

26. Pengangkut adalah badan usaha angkutan udara niaga,
    pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang
    melakukan kegiatan angkutan udara niaga berdasarkan
    ketentuan Undang-Undang ini, dan/atau badan usaha
    selain badan usaha angkutan udara niaga yang membuat
    kontrak perjanjian angkutan udara niaga.

27. Tiket adalah dokumen berbentuk cetak, melalui proses
    elektronik, atau bentuk lainnya, yang merupakan salah
    satu alat bukti adanya perjanjian angkutan udara antara
    penumpang dan pengangkut, dan hak penumpang untuk
    menggunakan pesawat udara atau diangkut dengan
    pesawat udara.

28. Surat Muatan Udara (airway bill)       adalah dokumen
    berbentuk cetak, melalui proses elektronik, atau bentuk
    lainnya, yang merupakan salah satu bukti adanya
    perjanjian pengangkutan udara antara pengirim kargo
    dan pengangkut, dan hak penerima kargo untuk
    mengambil kargo.

29. Perjanjian Pengangkutan Udara adalah perjanjian antara
    pengangkut dan pihak penumpang dan/atau pengirim
    kargo untuk mengangkut penumpang dan/atau kargo
    dengan pesawat udara, dengan imbalan bayaran atau
    dalam bentuk imbalan jasa yang lain.

30. Keterlambatan adalah terjadinya perbedaan waktu antara
    waktu keberangkatan atau kedatangan yang dijadwalkan
    dengan realisasi waktu keberangkatan atau kedatangan.


                                   31. Kebandarudaraan . . .
                    -6-


31. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaitan
    dengan penyelenggaraan bandar udara dan kegiatan
    lainnya dalam melaksanakan fungsi keselamatan,
    keamanan, kelancaran, dan ketertiban arus lalu lintas
    pesawat udara, penumpang, kargo dan/atau pos, tempat
    perpindahan    intra  dan/atau    antarmoda     serta
    meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan
    daerah.
32. Tatanan Kebandarudaraan Nasional adalah sistem
    kebandarudaraan secara nasional yang menggambarkan
    perencanaan bandar udara berdasarkan rencana tata
    ruang, pertumbuhan ekonomi, keunggulan komparatif
    wilayah, kondisi alam dan geografi, keterpaduan intra dan
    antarmoda     transportasi,   kelestarian     lingkungan,
    keselamatan    dan    keamanan       penerbangan,    serta
    keterpaduan dengan sektor pembangunan lainnya.
33. Bandar Udara adalah kawasan di daratan dan/atau
    perairan dengan batas-batas tertentu yang digunakan
    sebagai tempat pesawat udara mendarat dan lepas
    landas, naik turun penumpang, bongkar muat barang,
    dan    tempat    perpindahan    intra  dan    antarmoda
    transportasi,  yang       dilengkapi   dengan    fasilitas
    keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas
    pokok dan fasilitas penunjang lainnya.

34. Bandar Udara Umum adalah bandar udara                 yang
    digunakan untuk melayani kepentingan umum.
35. Bandar Udara Khusus adalah bandar udara yang hanya
    digunakan untuk melayani kepentingan sendiri untuk
    menunjang kegiatan usaha pokoknya.
36. Bandar Udara Domestik adalah bandar udara yang
    ditetapkan sebagai bandar udara yang melayani rute
    penerbangan dalam negeri.
37. Bandar Udara Internasional adalah bandar udara yang
    ditetapkan sebagai bandar udara yang melayani rute
    penerbangan dalam negeri dan rute penerbangan dari dan
    ke luar negeri.
38. Bandar Udara Pengumpul (hub) adalah bandar udara
    yang mempunyai cakupan pelayanan yang luas dari
    berbagai bandar udara yang melayani penumpang
    dan/atau kargo dalam jumlah besar dan mempengaruhi
    perkembangan ekonomi secara nasional atau berbagai
    provinsi.

                                               39. Bandar . . .
                   -7-


39. Bandar Udara Pengumpan (spoke) adalah bandar udara
    yang mempunyai cakupan pelayanan dan mempengaruhi
    perkembangan ekonomi terbatas.

40. Pangkalan Udara adalah kawasan di daratan dan/atau di
    perairan dengan batas-batas tertentu dalam wilayah
    Republik Indonesia yang digunakan untuk kegiatan lepas
    landas dan pendaratan pesawat udara guna keperluan
    pertahanan negara oleh Tentara Nasional Indonesia.

41. Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) Bandar Udara adalah
    wilayah daratan dan/atau perairan yang digunakan
    secara langsung untuk kegiatan bandar udara.

42. Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan adalah
    wilayah daratan dan/atau perairan serta ruang udara di
    sekitar bandar udara yang digunakan untuk kegiatan
    operasi   penerbangan    dalam     rangka    menjamin
    keselamatan penerbangan.

43. Badan Usaha Bandar Udara adalah badan usaha milik
    negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum
    Indonesia berbentuk perseroan terbatas atau koperasi,
    yang kegiatan utamanya mengoperasikan bandar udara
    untuk pelayanan umum.

44. Unit Penyelenggara Bandar Udara adalah lembaga
    pemerintah di bandar udara yang bertindak sebagai
    penyelenggara bandar udara yang memberikan jasa
    pelayanan kebandarudaraan untuk bandar udara yang
    belum diusahakan secara komersial.

45. Otoritas Bandar Udara adalah lembaga pemerintah yang
    diangkat oleh Menteri dan memiliki kewenangan untuk
    menjalankan dan melakukan pengawasan terhadap
    dipenuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan
    untuk menjamin keselamatan, keamanan, dan pelayanan
    penerbangan.

46. Navigasi Penerbangan adalah proses mengarahkan gerak
    pesawat udara dari satu titik ke titik yang lain dengan
    selamat dan lancar untuk menghindari bahaya dan/atau
    rintangan penerbangan.

                                         47. Aerodrome . . .
                    -8-


47. Aerodrome adalah kawasan di daratan dan/atau perairan
    dengan batas-batas tertentu yang hanya digunakan
    sebagai tempat pesawat udara mendarat dan lepas
    landas.

48. Keselamatan Penerbangan adalah suatu keadaan
    terpenuhinya      persyaratan      keselamatan  dalam
    pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar
    udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, serta
    fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.

49. Keamanan Penerbangan adalah suatu keadaan yang
    memberikan perlindungan kepada penerbangan dari
    tindakan  melawan   hukum   melalui  keterpaduan
    pemanfaatan sumber daya manusia, fasilitas, dan
    prosedur.

50. Lisensi adalah surat izin yang diberikan kepada seseorang
    yang telah memenuhi persyaratan tertentu untuk
    melakukan pekerjaan di bidangnya dalam jangka waktu
    tertentu.

51. Sertifikat Kompetensi adalah tanda bukti seseorang telah
    memenuhi persyaratan pengetahuan, keahlian, dan
    kualifikasi di bidangnya.

52. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah,
    adalah   Presiden Republik Indonesia yang memegang
    kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
    sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar
    Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

53. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau
    walikota,  dan   perangkat   daerah sebagai unsur
    penyelenggara pemerintahan daerah.

54. Menteri adalah     menteri   yang   membidangi    urusan
    penerbangan.

55. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.




                                                   BAB II . . .
                   -9-


                  BAB II
            ASAS DAN TUJUAN

                 Pasal 2
Penerbangan diselenggarakan berdasarkan asas:
a. manfaat;
b. usaha bersama dan kekeluargaan;
c. adil dan merata;
d. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan;
e. kepentingan umum;
f.  keterpaduan;
g. tegaknya hukum;
h. kemandirian;
i.  keterbukaan dan anti monopoli;
j.  berwawasan lingkungan hidup;
k. kedaulatan negara;
l.  kebangsaan; dan
m. kenusantaraan.
                 Pasal 3
Penerbangan diselenggarakan dengan tujuan:
a. mewujudkan penyelenggaraan penerbangan yang tertib,
    teratur, selamat, aman, nyaman, dengan harga yang
    wajar, dan menghindari praktek persaingan usaha yang
    tidak sehat;
b. memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang
    melalui udara dengan mengutamakan dan melindungi
    angkutan udara dalam rangka memperlancar kegiatan
    perekonomian nasional;
c. membina jiwa kedirgantaraan;
d. menjunjung kedaulatan negara;
e. menciptakan daya saing dengan mengembangkan
    teknologi dan industri angkutan udara nasional;
f.  menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian
    tujuan pembangunan nasional;
g. memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam
    rangka perwujudan Wawasan Nusantara;
h. meningkatkan ketahanan nasional; dan
i.  mempererat hubungan antarbangsa.


                                                BAB III . . .
                       - 10 -


                     BAB III

RUANG LINGKUP BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG

                     Pasal 4

  Undang-Undang ini berlaku untuk:
  a. semua kegiatan penggunaan wilayah udara, navigasi
     penerbangan, pesawat udara, bandar udara, pangkalan
     udara, angkutan udara, keselamatan dan keamanan
     penerbangan, serta fasilitas penunjang dan fasilitas
     umum lain yang terkait, termasuk kelestarian
     lingkungan di wilayah Negara Kesatuan Republik
     Indonesia;
  b. semua pesawat udara asing yang melakukan kegiatan
     dari dan/atau ke wilayah Negara Kesatuan Republik
     Indonesia; dan
  c. semua pesawat udara Indonesia yang berada di luar
     wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.


                     BAB IV

        KEDAULATAN ATAS WILAYAH UDARA

                     Pasal 5

  Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan
  eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia.

                     Pasal 6

  Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas
  wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia,
  Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab
  pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan,
  perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara,
  sosial budaya, serta lingkungan udara.

                     Pasal 7

  (1)   Dalam    rangka   melaksanakan      tanggung     jawab
        sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pemerintah
        menetapkan kawasan udara terlarang dan terbatas.

                                                (2) Pesawat . . .
                      - 11 -



(2)   Pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing
      dilarang terbang melalui kawasan udara terlarang.
(3)   Larangan terbang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      bersifat permanen dan menyeluruh.
(4)   Kawasan udara terbatas sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) hanya dapat digunakan untuk penerbangan
      pesawat udara negara.

                    Pasal 8

(1)   Pesawat udara yang melanggar wilayah kedaulatan
      Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 5 diperingatkan dan diperintahkan
      untuk meninggalkan wilayah tersebut oleh personel
      pemandu lalu lintas penerbangan.
(2)   Pesawat udara yang akan dan telah memasuki kawasan
      udara terlarang dan terbatas sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 7 ayat (2) dan ayat (4) diperingatkan dan
      diperintahkan untuk meninggalkan wilayah tersebut oleh
      personel pemandu lalu lintas penerbangan.
(3)   Personel pemandu lalu lintas penerbangan wajib
      menginformasikan pesawat udara yang melanggar wilayah
      kedaulatan dan kawasan udara terlarang dan terbatas
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada
      aparat yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
      pertahanan negara.
(4)   Dalam hal peringatan dan perintah sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak ditaati,
      dilakukan tindakan pemaksaan oleh pesawat udara
      negara untuk keluar wilayah Negara Kesatuan Republik
      Indonesia atau kawasan udara terlarang dan terbatas
      atau untuk mendarat di pangkalan udara atau bandar
      udara tertentu di dalam wilayah Negara Kesatuan
      Republik Indonesia.

(5)   Personel pesawat udara, pesawat udara, dan seluruh
      muatannya yang melanggar ketentuan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diperiksa dan disidik
      sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

                                                     Pasal 9 . . .
                     - 12 -


                    Pasal 9

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelanggaran wilayah
kedaulatan, penetapan kawasan udara terlarang, kawasan
udara terbatas, pelaksanaan tindakan terhadap pesawat udara
dan personel pesawat udara, serta tata cara dan prosedur
pelaksanaan tindakan pemaksaan oleh pesawat udara negara
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                    BAB V

                 PEMBINAAN

                   Pasal 10
(1)   Penerbangan dikuasai oleh negara dan pembinaannya
      dilakukan oleh Pemerintah.
(2)   Pembinaan Penerbangan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan
      pengawasan.
(3)   Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi
      penetapan kebijakan umum dan teknis yang terdiri atas
      penentuan    norma,   standar,  pedoman,      kriteria,
      perencanaan, dan prosedur termasuk       persyaratan
      keselamatan dan keamanan penerbangan serta perizinan.
(4)   Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      meliputi pemberian arahan, bimbingan, pelatihan,
      perizinan, sertifikasi, serta bantuan teknis di bidang
      pembangunan dan pengoperasian.
(5)   Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      meliputi kegiatan     pengawasan pembangunan dan
      pengoperasian agar sesuai dengan peraturan perundang-
      undangan termasuk melakukan tindakan korektif dan
      penegakan hukum.
(6)   Pembinaan Penerbangan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan seluruh aspek
      kehidupan masyarakat dan diarahkan untuk:
      a. memperlancar arus perpindahan orang dan/atau
         barang secara massal melalui angkutan udara dengan
         selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur,
         nyaman, dan berdaya guna, dengan biaya yang wajar;

                                         b. meningkatkan . . .
                     - 13 -


      b. meningkatkan penyelenggaraan kegiatan angkutan
         udara, kebandarudaraan, keselamatan dan keamanan,
         serta perlindungan lingkungan sebagai bagian dari
         keseluruhan moda transportasi secara terpadu dengan
         memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan
         teknologi;
      c. mengembangkan kemampuan armada angkutan udara
         nasional yang tangguh serta didukung industri
         pesawat udara yang andal sehingga mampu memenuhi
         kebutuhan angkutan, baik di dalam negeri maupun
         dari dan ke luar negeri;
      d. mengembangkan usaha jasa angkutan udara nasional
         yang andal dan berdaya saing serta didukung
         kemudahan memperoleh pendanaan, keringanan
         perpajakan, dan industri pesawat udara yang tangguh
         sehingga mampu mandiri dan bersaing;
      e. meningkatkan        kemampuan      dan      peranan
         kebandarudaraan serta keselamatan dan keamanan
         penerbangan dengan menjamin tersedianya jalur
         penerbangan dan navigasi penerbangan yang memadai
         dalam rangka menunjang angkutan udara;
      f. mewujudkan sumber daya manusia yang berjiwa
         kedirgantaraan, profesional, dan mampu memenuhi
         kebutuhan penyelenggaraan penerbangan; dan
      g. memenuhi perlindungan lingkungan dengan upaya
         pencegahan dan penanggulangan pencemaran yang
         diakibatkan dari kegiatan angkutan udara dan
         kebandarudaraan, dan pencegahan perubahan iklim,
         serta keselamatan dan keamanan penerbangan.
(7)   Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
      dilakukan secara terkoordinasi dan didukung oleh
      instansi terkait yang bertanggung jawab di bidang
      industri pesawat udara, lingkungan hidup, ilmu
      pengetahuan dan teknologi, serta keuangan dan
      perbankan.

(8)   Pemerintah daerah melakukan pembinaan penerbangan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan
      kewenangannya.

                   Pasal 11

(1)   Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
      (1) dilaksanakan oleh Menteri.

                                          (2) Pembinaan . . .
                         - 14 -



   (2)   Pembinaan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada
         ayat (1) dilakukan dengan memperkuat kelembagaan yang
         bertanggung jawab di bidang penerbangan berupa:
         a. penataan struktur kelembagaan;
         b. peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya
            manusia;
         c. peningkatan pengelolaan anggaran yang efektif, efisien,
            dan fleksibel berdasarkan skala prioritas;
         d. peningkatan kesejahteraan sumber daya manusia;
         e. pengenaan sanksi kepada pejabat dan/atau pegawai
            atas pelanggaran dalam pelaksanaan ketentuan
            Undang-Undang ini; dan
         f. peningkatan keselamatan, keamanan, dan pelayanan
            penerbangan.
   (3)   Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
         didelegasikan kepada unit di bawah Menteri.
   (4)   Ketentuan mengenai pendelegasian kepada unit di bawah
         Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
         dengan Peraturan Menteri.
                       Pasal 12
   (1)   Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
         dilakukan dengan berkoordinasi dan bersinergi dengan
         lembaga yang mempunyai fungsi perumusan kebijakan
         dan pemberian pertimbangan di bidang penerbangan dan
         antariksa.
   (2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan, lembaga,
         fungsi perumusan kebijakan, dan fungsi pemberian
         pertimbangan di bidang penerbangan dan antariksa
         diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                       BAB VI

RANCANG BANGUN DAN PRODUKSI PESAWAT UDARA BAB VI . . .

                   Bagian Kesatu
           Rancang Bangun Pesawat Udara
                       Pasal 13

   (1)   Pesawat udara, mesin pesawat udara, dan baling-baling
         pesawat terbang yang akan dibuat untuk digunakan
         secara sah (eligible) harus memiliki rancang bangun.

                                                   (2) Rancang . . .
                      - 15 -



(2)   Rancang bangun pesawat udara, mesin pesawat udara,
      dan    baling-baling   pesawat   terbang   sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) harus mendapat surat
      persetujuan    setelah   dilakukan   pemeriksaan   dan
      pengujian sesuai dengan standar kelaikudaraan.

(3)   Pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada
      ayat (2) harus memenuhi standar kelaikudaraan dan
      ketentuan perundang-undangan.

                   Pasal 14                       Pasal 14 . . .
Setiap orang yang melakukan kegiatan rancang bangun
pesawat udara, mesin pesawat udara, dan baling-baling
pesawat terbang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 harus
mendapat surat persetujuan.

                   Pasal 15

(1)   Pesawat udara, mesin pesawat udara, atau baling-baling
      pesawat terbang yang dibuat berdasarkan rancang
      bangun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 untuk
      diproduksi harus memiliki sertifikat tipe.

(2)   Sertifikat tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      diberikan setelah dilakukan pemeriksaan kesesuaian
      terhadap standar kelaikudaraan rancang bangun (initial
      airworthiness) dan telah memenuhi uji tipe.

                   Pasal 16

(1)   Setiap pesawat udara, mesin pesawat udara, dan baling-
      baling pesawat terbang yang dirancang dan diproduksi di
      luar negeri dan diimpor ke Indonesia harus mendapat
      sertifikat validasi tipe.

(2)   Sertifikasi validasi tipe sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) dilaksanakan berdasarkan perjanjian antarnegara di
      bidang kelaikudaraan.

(3)   Sertifikat validasi tipe sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) diberikan setelah lulus pemeriksaan dan pengujian.


                                                  Pasal 17 . . .
                       - 16 -


                    Pasal 17

(1)   Setiap perubahan terhadap rancang bangun pesawat
      udara, mesin pesawat udara, atau baling-baling pesawat
      terbang yang telah mendapat sertifikat tipe sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 15 harus mendapat surat
      persetujuan.

(2)   Persetujuan perubahan rancang bangun sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah dilakukan
      pemeriksaan kesesuaian rancang bangun dan uji tipe
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2).

(3)   Persetujuan perubahan rancang bangun sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) berupa:
      a. persetujuan perubahan (modification);
      b. sertifikat tipe tambahan (supplement); atau
      c. amendemen sertifikat tipe (amendment). Persetujuan . . .
                                               3.

                    Pasal 18

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
mendapatkan surat persetujuan rancang bangun, kegiatan
rancang bangun, dan perubahan rancang bangun pesawat
udara, sertifikat tipe, serta sertifikat validasi tipe diatur
dengan Peraturan Menteri.

                Bagian Kedua
                                                Bagian Kedua . . .
            Produksi Pesawat Udara

                    Pasal 19

(1)   Setiap badan hukum Indonesia yang melakukan kegiatan
      produksi dan/atau perakitan pesawat udara, mesin
      pesawat udara, dan/atau baling-baling pesawat terbang
      wajib memiliki sertifikat produksi.

(2)   Untuk memperoleh sertifikat produksi sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1), badan hukum Indonesia harus
      memenuhi persyaratan:
      a. memiliki sertifikat tipe (type certificate) atau memiliki
         lisensi produksi pembuatan berdasarkan perjanjian
         dengan pihak lain;
      b. fasilitas dan peralatan produksi;

                                                   c. struktur . . .
                        - 17 -


         c. struktur organisasi sekurang-kurangnya memiliki
            bidang produksi dan kendali mutu;
         d. personel produksi dan kendali mutu yang kompeten;
         e. sistem jaminan kendali mutu; dan
         f. sistem pemeriksaan produk dan pengujian produksi.

   (3)   Sertifikat produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
         diberikan setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian
         yang hasilnya memenuhi standar kelaikudaraan.

                      Pasal 20

   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur.
                                                 Pasal 20 . .
   memperoleh sertifikat produksi pesawat udara diatur dalam
   Peraturan Menteri.

                      Pasal 21

   Proses sertifikasi pesawat udara, mesin pesawat udara, dan
   baling-baling pesawat terbang sebagaimana dimaksud dalam
   Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 19 dilaksanakan oleh
   lembaga penyelenggara pelayanan umum.

                      Pasal 22

   Proses sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
   dikenakan biaya.

                      Pasal 23

   Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyelenggara
   pelayanan umum, serta proses dan biaya sertifikasi 23 . . .
                                                Pasal diatur
   dalam Peraturan Menteri.


                      BAB VII
PENDAFTARAN DAN KEBANGSAAN PESAWAT UDARA

                      Pasal 24

   Setiap pesawat udara yang dioperasikan di Indonesia wajib
   mempunyai tanda pendaftaran.


                                                   Pasal 25 . . .
                      - 18 -


                    Pasal 25

Pesawat udara sipil yang dapat didaftarkan di Indonesia harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. tidak terdaftar di negara lain; dan
b. dimiliki oleh warga negara Indonesia atau dimiliki oleh
   badan hukum Indonesia;
c. dimiliki oleh warga negara asing atau badan hukum asing
   dan dioperasikan oleh warga negara Indonesia atau badan
   hukum Indonesia untuk jangka waktu pemakaiannya
   minimal 2 (dua) tahun secara terus-menerus berdasarkan
   suatu perjanjian;
d. dimiliki oleh instansi pemerintah atau pemerintah daerah,
                                                  minimal . . .
   dan pesawat udara tersebut tidak dipergunakan untuk misi
   penegakan hukum; atau
e. dimiliki oleh warga negara asing atau badan hukum asing
   yang pesawat udaranya dikuasai oleh badan hukum
   Indonesia berdasarkan suatu perjanjian yang tunduk pada
   hukum yang disepakati para pihak untuk kegiatan
   penyimpanan, penyewaan, dan/atau perdagangan pesawat
   udara.

                    Pasal 26

(1)   Pendaftaran     pesawat udara sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 25 diajukan oleh pemilik atau yang diberi
      kuasa dengan persyaratan:
      a. menunjukkan bukti kepemilikan atau penguasaan
         pesawat udara;
      b. menunjukkan bukti penghapusan pendaftaran atau
                                           a. menunjukkan . . .
         tidak didaftarkan di negara lain;
      c. memenuhi ketentuan persyaratan batas usia pesawat
         udara yang ditetapkan oleh Menteri;
      d. bukti asuransi pesawat udara; dan
      e. bukti terpenuhinya persyaratan pengadaan pesawat
         udara.

(2)   Pesawat udara yang telah memenuhi persyaratan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi sertifikat
      pendaftaran.

(3)   Sertifikat pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat
      (2) berlaku selama 3 (tiga) tahun.

                                                   Pasal 27 . . .
                      - 19 -



                    Pasal 27

(1)   Pesawat terbang, helikopter, balon udara berpenumpang,
      dan kapal udara (airship) yang telah mempunyai sertifikat
      pendaftaran Indonesia diberikan tanda       kebangsaan
      Indonesia.
(2)   Pesawat terbang, helikopter, balon udara berpenumpang,
      dan kapal udara yang telah mempunyai tanda
      pendaftaran Indonesia dan tanda kebangsaan Indonesia
      wajib dilengkapi dengan bendera Negara Kesatuan
      Republik Indonesia.
(3)   Pesawat udara selain pesawat terbang, helikopter, balon.
                                                    wajib . .
      udara berpenumpang, dan kapal udara dapat dibebaskan
      dari tanda kebangsaan Indonesia.
(4)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi administratif
      berupa:
      a. peringatan; dan/atau
      b. pencabutan sertifikat.
                    Pasal 28
(1)   Setiap orang dilarang memberikan tanda-tanda atau
      mengubah identitas pendaftaran sedemikian rupa
      sehingga mengaburkan tanda pendaftaran, kebangsaan,
      dan bendera pada pesawat udara.

(2)   Setiap orang yang mengaburkan identitas tanda
      pendaftaran dan kebangsaan sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa: . . .
                                                   (2) Setiap
      a. peringatan; dan/atau
      b. pencabutan sertifikat.
                    Pasal 29
Pesawat udara yang telah memiliki tanda pendaftaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dapat dihapus tanda
pendaftarannya apabila:
a. permintaan dari pemilik atau orang perseorangan yang
    diberi kuasa dengan ketentuan:
    1) telah berakhirnya perjanjian sewa guna usaha;
    2) diakhirinya perjanjian yang disepakati para pihak;

                                                    3) akan . . .
                           - 20 -


           3) akan dipindahkan pendaftarannya ke negara lain;
           4) rusak totalnya pesawat udara akibat kecelakaan;
           5) tidak digunakannya lagi pesawat udara;
           6) pesawat udara dengan sengaja dirusak atau
              dihancurkan; atau
           7) terjadi cedera janji (wanprestasi) oleh penyewa pesawat
              udara tanpa putusan pengadilan.
     b.    tidak dapat mempertahankan sertifikat kelaikudaraan
           secara terus-menerus selama 3 (tiga) tahun.
                         Pasal 30
     Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
     pendaftaran dan penghapusan tanda pendaftaran dan tanda
     kebangsaan Indonesia serta pemberian sanksi administratif
     diatur dengan Peraturan Menteri.
                         Pasal 31
     Proses sertifikasi pendaftaran pesawat udara sebagaimana
     dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dan penghapusan tanda
     pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
     dilaksanakan oleh lembaga penyelenggara pelayanan umum.
                         Pasal 32
     Proses sertifikasi pendaftaran pesawat udara sebagaimana
     dimaksud dalam Pasal 31 dikenakan biaya.

                         Pasal 33
     Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyelenggara
     pelayanan umum, serta proses dan biaya sertifikasi diatur
                                                  Pasal 33 . . .
     dalam Peraturan Menteri.


                         BAB VIII

KELAIKUDARAAN DAN PENGOPERASIAN PESAWAT UDARA

                       Bagian Kesatu
                Kelaikudaraan Pesawat Udara

                         Pasal 34

     (1)   Setiap pesawat udara yang dioperasikan wajib memenuhi
           standar kelaikudaraan.

                                                     (2) Pesawat . . .
                        - 21 -



(2)   Pesawat     udara    yang   telah   memenuhi    standar
      kelaikudaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi
      sertifikat kelaikudaraan setelah lulus pemeriksaan dan
      pengujian kelaikudaraan.

                     Pasal 35

Sertifikat Kelaikudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34 ayat (2) terdiri atas:
a. sertifikat kelaikudaraan standar; dan
b. sertifikat kelaikudaraan khusus.

                     Pasal 36

Sertifikat kelaikudaraan standar diberikan untuk pesawat
terbang kategori transpor, normal, kegunaan (utility),
aerobatik, komuter, helikopter kategori normal dan transpor,
serta kapal udara dan balon berpenumpang.

                     Pasal 37

(1)   Sertifikat kelaikudaraan standar sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 36 terdiri atas:
      a. sertifikat kelaikudaraan standar pertama (initial
         airworthiness certificate) yang diberikan untuk pesawat
         udara pertama kali dioperasikan oleh setiap orang; dan
      b. sertifikat kelaikudaraan standar lanjutan (continous
         airworthiness certificate) yang diberikan untuk pesawat
         udara setelah sertifikat kelaikudaraan standar pertama
         dan akan dioperasikan secara terus menerus.
                                                  b. sertifikat . . .
(2)   Untuk memperoleh sertifikat kelaikudaraan standar
      pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
      pesawat udara harus:
      a. memiliki sertifikat pendaftaran yang berlaku;
      b. melaksanakan proses produksi dari rancang bangun,
         pembuatan       komponen,     pengetesan    komponen,
         perakitan, pemeriksaan kualitas, dan pengujian
         terbang yang memenuhi standar dan sesuai dengan
         kategori tipe pesawat udara;
      c. telah diperiksa dan dinyatakan sesuai dengan sertifikat
         tipe atau sertifikat validasi tipe atau sertifikat
         tambahan validasi Indonesia; dan

                                                  d. memenuhi . . .
                      - 22 -


      d. memenuhi persyaratan       standar   kebisingan    dan
         standar emisi gas buang.

(3)   Untuk memperoleh sertifikat kelaikudaraan standar
      lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
      pesawat udara harus:
      a. memiliki sertifikat pendaftaran yang masih berlaku;
      b. memiliki sertifikat kelaikudaraan yang masih berlaku;
      c. melaksanakan perawatan sesuai dengan standar.
                                                 a. memiliki . .
         perawatan yang telah ditetapkan;
      d. telah memenuhi instruksi kelaikudaraan yang
         diwajibkan (airworthiness directive);
      e. memiliki sertifikat tipe tambahan apabila terdapat
         penambahan kemampuan pesawat udara;
      f. memenuhi ketentuan pengoperasian; dan
      g. memenuhi ketentuan standar kebisingan dan standar
         emisi gas buang.

                    Pasal 38

Sertifikat kelaikudaraan khusus diberikan untuk pesawat
udara yang penggunaannya khusus secara terbatas
(restricted),  percobaan   (experimental), dan  kegiatan
penerbangan yang bersifat khusus.

                    Pasal 39

                                                 Pasal 39. . .
Setiap orang yang melanggar ketentuan standar kelaikudaraan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dikenakan
sanksi administratif berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan sertifikat; dan/atau
c. pencabutan sertifikat.

                    Pasal 40

Ketentuan lebih      lanjut mengenai tata cara dan prosedur
untuk memperoleh sertifikat kelaikudaraan dan pemberian
sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.




                                              Bagian Kedua . . .
                     - 23 -


                Bagian Kedua
            Operasi Pesawat Udara

                   Pasal 41

(1)   Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara untuk
      kegiatan angkutan udara wajib memiliki sertifikat.

(2)   Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
      atas:
      a. sertifikat operator pesawat udara (air operator
         certificate), yang diberikan kepada badan hukum
         Indonesia yang mengoperasikan pesawat udara sipil
         untuk angkutan udara niaga; atau
      b. sertifikat pengoperasian pesawat udara (operating
         certificate), yang diberikan kepada orang atau badan
         hukum Indonesia yang mengoperasikan pesawat udara
         sipil untuk angkutan udara bukan niaga.

(3)   Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan
      setelah lulus pemeriksaan dan pengujian serta pemohon
      mendemonstrasikan kemampuan pengoperasian pesawat
      udara.

                   Pasal 42

Untuk mendapatkan sertifikat operator pesawat udara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a
operator harus:
a. memiliki izin usaha angkutan udara niaga;
b. memiliki dan menguasai pesawat udara sesuai dengan
    izin usaha yang dimiliki;
                                             a. memiliki . . .
c. memiliki dan/atau menguasai personel pesawat udara
    yang kompeten dalam jumlah rasio yang memadai untuk
    mengoperasikan dan melakukan perawatan pesawat
    udara;
d. memiliki struktur organisasi paling sedikit di bidang
    operasi, perawatan, keselamatan, dan jaminan kendali
    mutu;
e. memiliki personel manajemen yang kompeten dengan
    jumlah memadai;
f.  memiliki dan/atau menguasai fasilitas pengoperasian
    pesawat udara;

                                               g. memiliki . . .
                     - 24 -


g. memiliki dan/atau menguasai persediaan suku cadang
   yang memadai;
h. memiliki pedoman organisasi pengoperasian (company
   operation manual) dan pedoman organisasi perawatan
   (company maintenance manual);
i. memiliki standar keandalan pengoperasian pesawat udara
   (aircraft operating procedures);
j. memiliki standar perawatan pesawat udara;
k. memiliki fasilitas dan pedoman pendidikan dan/atau
   pelatihan personel pesawat udara (company training
                                              k. memiliki . . .
   manuals);
l. memiliki sistem jaminan kendali mutu (company quality
   assurance manuals) untuk mempertahankan kinerja
   operasi dan teknik secara terus menerus; dan
m. memiliki      pedoman sistem manajemen keselamatan
   (safety management system manual).
                  Pasal 43
Untuk memperoleh sertifikat pengoperasian pesawat udara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf b,
operator harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki izin kegiatan angkutan udara bukan niaga;
b. memiliki dan menguasai pesawat udara sesuai dengan
    izin kegiatan yang dimiliki;
c. memiliki dan/atau menguasai personel operasi pesawat
    udara dan personel ahli perawatan pesawat udara;
d. memiliki standar pengoperasian pesawat udara; dan
e. memiliki standar perawatan pesawat udara.
                  Pasal 44
Setiap orang yang melanggar ketentuan sertifikat operasi
pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat. (1)
                                             Pasal 44 . .
dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan sertifikat; dan/atau
c. pencabutan sertifikat.
                  Pasal 45
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
memperoleh sertifikat operator pesawat udara atau sertifikat
pengoperasian pesawat udara dan pemberian sanksi
administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

                                            Bagian Ketiga . . .
                       - 25 -




                Bagian Ketiga
           Perawatan Pesawat Udara

                    Pasal 46
(1)   Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara wajib
      merawat pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-
      baling pesawat terbang, dan komponennya untuk
      mempertahankan keandalan dan kelaikudaraan secara
      berkelanjutan.

(2)   Dalam perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara,
      baling-baling pesawat terbang, dan komponennya
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap orang harus
      membuat program perawatan pesawat udara yang
      disahkan oleh Menteri.

                    Pasal 47

(1)   Perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-
      baling pesawat terbang dan komponennya sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 46 hanya dapat dilakukan oleh:
      a. perusahaan angkutan udara yang telah memiliki
         sertifikat operator pesawat udara;
      b. badan hukum organisasi perawatan pesawat udara
         yang telah memiliki sertifikat organisasi perawatan
         pesawat udara (approved maintenance organization);
         atau
      c. personel ahli perawatan pesawat udara yang telah
         memiliki lisensi ahli perawatan pesawat udara (aircraft
         maintenance engineer license).          c. personel . . .

(2)   Sertifikat   organisasi    perawatan     pesawat    udara
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan lisensi
      ahli perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) huruf c diberikan setelah lulus pemeriksaan
      dan pengujian.

                    Pasal 48

Untuk mendapatkan sertifikat organisasi perawatan pesawat
udara sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 ayat (1) huruf b
harus memenuhi persyaratan:

                                                  a. memiliki . . .
                    - 26 -


a.   memiliki atau menguasai fasilitas dan peralatan
     pendukung perawatan secara berkelanjutan;
b.   memiliki atau menguasai personel yang telah mempunyai
     lisensi ahli perawatan pesawat udara sesuai dengan
     lingkup pekerjaannya;
c.   memiliki pedoman perawatan dan pemeriksaaan;
d.   memiliki    pedoman    perawatan    dan    pemeriksaan
     (maintenance manuals) terkini yang dikeluarkan oleh
     pabrikan sesuai dengan jenis pesawat udara yang
     dioperasikan;
e.   memiliki pedoman jaminan mutu (quality assurance
     manuals) untuk menjamin dan mempertahan kinerja
     perawatan pesawat udara, mesin, baling-baling, dan
     komponen secara berkelanjutan;
f.   memiliki    atau   menguasai   suku    cadang     untuk
     mempertahankan      keandalan     dan     kelaikudaraan
     berkelanjutan; dan
g.   memiliki pedoman sistem manajemen keselamatan.

                  Pasal 49

Sertifikat organisasi perawatan pesawat udara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf b dapat diberikan
kepada organisasi perawatan pesawat udara di luar negeri
yang memenuhi persyaratan setelah memiliki sertifikat
organisasi perawatan pesawat udara yang diterbitkan oleh
otoritas penerbangan negara yang bersangkutan.

                  Pasal 50
                                            Pasal 50 . . .
Setiap orang yang melanggar ketentuan perawatan pesawat
udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1)
dikenakan sanksi administratif berupa:
a. pembekuan sertifikat; dan/atau
b. pencabutan sertifikat.

                  Pasal 51

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, prosedur, dan
pemberian sertifikat organisasi perawatan pesawat udara dan
lisensi ahli perawatan pesawat udara dan pemberian sanksi
administratif diatur dengan Peraturan Menteri.


                                         Bagian Keempat . . .
                       - 27 -


               Bagian Keempat
Keselamatan dan Keamanan dalam Pesawat Udara
             Selama Penerbangan

                     Pasal 52

 (1)   Setiap pesawat udara sipil Indonesia atau asing yang tiba
       di atau berangkat dari Indonesia hanya dapat mendarat
       atau lepas landas dari bandar udara yang ditetapkan
       untuk itu.

 (2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
       berlaku dalam keadaan darurat.

 (3)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
       dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif
       berupa:
       a. peringatan;
       b. pembekuan sertifikat; dan/atau
       c. pencabutan sertifikat.

                     Pasal 53

 (1)   Setiap    orang      dilarang  menerbangkan   atau
       mengoperasikan       pesawat  udara   yang   dapat
       membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang
       dan barang, dan/atau penduduk atau mengganggu
       keamanan dan ketertiban umum atau merugikan harta
       benda milik orang lain.
 (2)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
       dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif
       berupa:
       a. pembekuan sertifikat; dan/atau
       b. pencabutan sertifikat.

                     Pasal 54

 Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan
 dilarang melakukan:
 a. perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dan
      keselamatan penerbangan;
 b. pelanggaran tata tertib dalam penerbangan;

                                             c. pengambilan . . .
                      - 28 -


c.    pengambilan atau pengrusakan peralatan pesawat udara
      yang dapat membahayakan keselamatan;
d.    perbuatan asusila;
e.    perbuatan yang mengganggu ketenteraman; atau
f.    pengoperasian peralatan elektronika yang mengganggu
      navigasi penerbangan.

                    Pasal 55

Selama terbang, kapten penerbang pesawat udara yang
bersangkutan mempunyai wewenang mengambil tindakan
untuk menjamin keselamatan, ketertiban, dan keamanan
penerbangan.

                    Pasal 56

(1)   Dalam penerbangan dilarang menempatkan penumpang
      yang tidak mampu melakukan tindakan darurat pada
      pintu dan jendela darurat pesawat udara.

(2)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif
      berupa:
      a. peringatan;
      b. pembekuan sertifikat; dan/atau
      c. pencabutan sertifikat.

                    Pasal 57
Ketentuan lebih lanjut mengenai keselamatan dan keamanan
dalam pesawat udara, kewenangan kapten penerbang selama
penerbangan, dan pemberian sanksi administratif diatur
dengan Peraturan Menteri.

                Bagian Kelima
            Personel Pesawat Udara

                    Pasal 58
(1)   Setiap personel pesawat udara wajib memiliki lisensi atau
      sertifikat kompetensi.

(2)   Personel pesawat udara yang terkait langsung dengan
      pelaksanaan pengoperasian pesawat udara wajib memiliki
      lisensi yang sah dan masih berlaku.

                                                 (3) Lisensi . . .
                      - 29 -



(3)   Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan
      oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan:
      a. administratif;
      b. sehat jasmani dan rohani;
      c. memiliki sertifikat kompetensi di bidangnya; dan
      d. lulus ujian.

(4)   Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat
      (3) huruf c diperoleh melalui pendidikan dan/atau
      pelatihan yang diselenggarakan lembaga yang telah
      diakreditasi.
                    Pasal 59
(1)   Personel pesawat udara yang telah memiliki lisensi wajib:
      a. melaksanaan pekerjaan sesuai dengan ketentuan di
         bidangnya;
      b. mempertahankan kemampuan yang dimiliki; dan
      c. melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala.

(2)   Personel pesawat udara yang melanggar ketentuan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi
      administratif berupa:
      a. peringatan;
      b. pembekuan lisensi; dan/atau
      c. pencabutan lisensi.

                    Pasal 60

Lisensi personel pesawat udara yang diberikan oleh negara
lain dapat diakui melalui proses pengesahan oleh Menteri.

                    Pasal 61

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan
prosedur memperoleh lisensi, atau sertifikat kompetensi dan
lembaga pendidikan dan/atau pelatihan diatur dengan
Peraturan Menteri.




                                            Bagian Keenam . . .
                     - 30 -


              Bagian Keenam
Asuransi dalam Pengoperasian Pesawat Udara

                   Pasal 62

(1)   Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara wajib
      mengasuransikan:
      a. pesawat udara yang dioperasikan;
      b. personel pesawat udara yang dioperasikan;
      c. tanggung jawab kerugian pihak kedua;
      d. tanggung jawab kerugian pihak ketiga; dan
      e. kegiatan investigasi insiden dan kecelakaan pesawat
         udara.

(2)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif
      berupa:
      a. peringatan;
      b. pembekuan sertifikat; dan/atau
      c. pencabutan sertifikat.

(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai wajib asuransi dalam
      pengoperasian pesawat udara dan pemberian sanksi
      administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
      dengan Peraturan Menteri.


                                           Bagian Ketujuh . . .
               Bagian Ketujuh
         Pengoperasian Pesawat Udara

                   Pasal 63

(1)   Pesawat udara yang dapat dioperasikan di wilayah Negara
      Kesatuan Republik Indonesia hanya pesawat udara
      Indonesia.

(2)   Dalam keadaan tertentu dan dalam waktu terbatas
      pesawat udara asing dapat dioperasikan setelah
      mendapat izin dari Menteri.

(3)   Pesawat udara sipil asing dapat dioperasikan oleh
      perusahaan angkutan udara nasional untuk penerbangan
      ke dan dari luar negeri setelah adanya perjanjian
      antarnegara.

                                              (4) Pesawat . . .
                      - 31 -



(4)   Pesawat udara sipil asing yang akan dioperasikan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus
      memenuhi persyaratan kelaikudaraan.

(5)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
      dikenakan sanksi administratif berupa:
      a. peringatan;
      b. pembekuan sertifikat; dan/atau
      c. pencabutan sertifikat.

(6)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoperasian pesawat
      udara sipil dan pemberian sanksi administratif
      sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan
      Peraturan Menteri.

                   Pasal 64

Proses sertifikasi kelaikudaraan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 ayat (2), sertifikasi operator pesawat udara dan
sertifikasi pengoperasian pesawat udara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2), sertifikasi organisasi
perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
48, sertifikasi organisasi perawatan pesawat udara di luar
negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, dan lisensi
personel pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
58 ayat (1) dilaksanakan oleh lembaga penyelenggara
pelayanan umum.

                   Pasal 65

Proses sertifikasi dan lisensi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 64 dikenakan biaya.

                   Pasal 66

Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyelenggara
pelayanan umum, serta proses dan biaya sertifikasi diatur
dalam Peraturan Menteri.




                                         Bagian Kedelapan . . .
                    - 32 -


              Bagian Kedelapan
            Pesawat Udara Negara

                  Pasal 67

(1)   Setiap pesawat udara negara yang dibuat dan
      dioperasikan harus memenuhi standar rancang bangun,
      produksi, dan kelaikudaraan.

(2)   Pesawat udara negara sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) wajib memiliki tanda identitas.

                  Pasal 68

Dalam keadaan tertentu pesawat udara negara dapat
dipergunakan untuk keperluan angkutan udara sipil dan
sebaliknya.

                  Pasal 69

Penggunaan pesawat udara negara asing untuk kegiatan
angkutan udara dari dan ke atau melalui wilayah Republik
Indonesia hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin
Pemerintah.

                  Pasal 70

Ketentuan lebih lanjut mengenai pesawat udara negara diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

                   BAB IX
       KEPENTINGAN INTERNASIONAL
       ATAS OBJEK PESAWAT UDARA

                  Pasal 71

Objek pesawat udara dapat dibebani dengan kepentingan
internasional yang timbul akibat perjanjian pemberian hak
jaminan kebendaan, perjanjian pengikatan hak bersyarat,
dan/atau perjanjian sewa guna usaha.

                  Pasal 72
Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dapat
dibuat berdasarkan hukum yang dipilih oleh para pihak pada
perjanjian tersebut.

                                               Pasal 73 . . .
                      - 33 -


                   Pasal 73
Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71
tunduk pada hukum Indonesia, perjanjian tersebut harus
dibuat dalam akta otentik yang paling sedikit memuat:
a. identitas para pihak;
b. identitas dari objek pesawat udara; dan
c. hak dan kewajiban para pihak.
                   Pasal 74
(1)   Debitur dapat menerbitkan kuasa memohon deregistrasi
      kepada    kreditur   untuk   memohon      penghapusan
      pendaftaran dan ekspor atas pesawat terbang atau
      helikopter yang telah memperoleh tanda pendaftaran
      Indonesia dan tanda kebangsaan Indonesia.
(2)   Kuasa memohon deregistrasi sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) harus diakui dan dicatat oleh Menteri dan
      tidak dapat dibatalkan tanpa persetujuan kreditur.
(3)   Kuasa memohon deregistrasi sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) tetap berlaku pada saat debitur dinyatakan
      pailit atau berada dalam keadaan tidak mampu
      membayar utang.
(4)   Kreditur merupakan satu-satunya pihak yang berwenang
      untuk     mengajukan     permohonan     penghapusan
      pendaftaran pesawat terbang atau helikopter tersebut
      sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam kuasa
      memohon deregistrasi sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1).

                   Pasal 75

(1)   Dalam hal debitur cedera janji, kreditur dapat
      mengajukan permohonan kepada Menteri sesuai dengan
      kuasa memohon deregistrasi sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 74 untuk meminta penghapusan pendaftaran
      dan ekspor pesawat terbang atau helikopter.

(2)   Berdasarkan     permohonan     kreditur   sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1), Menteri wajib menghapus tanda
      pendaftaran dan kebangsaan pesawat terbang atau
      helikopter paling lama 5 (lima) hari kerja setelah
      permohonan diterima.

                                                  Pasal 76 . . .
                     - 34 -


                   Pasal 76
Kementerian yang membidangi urusan penerbangan dan
instansi   pemerintah   lainnya    harus   membantu   dan
memperlancar pelaksanaan upaya pemulihan yang dilakukan
oleh kreditur berdasarkan perjanjian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 71.
                   Pasal 77
Hak-hak kreditur dan upaya pemulihan timbul pada saat
ditandatanganinya perjanjian oleh para pihak.
                   Pasal 78
Kepentingan internasional, termasuk setiap pengalihan
dan/atau subordinasi dari kepentingan tersebut, memperoleh
prioritas pada saat kepentingan tersebut didaftarkan pada
kantor pendaftaran internasional.
                   Pasal 79

(1)   Dalam hal debitur cedera janji, kreditur dapat meminta
      penetapan dari pengadilan negeri untuk memperoleh
      tindakan sementara berdasarkan perjanjian sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 71 tanpa didahului pengajuan
      gugatan pada pokok perkara untuk melaksanakan
      tuntutannya di Indonesia dan tanpa para pihak mengikuti
      mediasi yang diperintahkan oleh pengadilan.

(2)   Penetapan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu sebagaimana
      dinyatakan dalam deklarasi yang dibuat oleh Pemerintah
      sehubungan dengan konvensi dan protokol tersebut.

                   Pasal 80
Pengadilan, kurator, pengurus kepailitan, dan/atau debitur
harus menyerahkan penguasaan objek pesawat udara kepada
kreditur yang berhak dalam jangka waktu yang ditetapkan
oleh Pemerintah.

                   Pasal 81

Tagihan-tagihan tertentu memiliki prioritas terhadap tagihan
dari pemegang kepentingan internasional yang terdaftar atas
objek pesawat udara.

                                                 Pasal 82 . . .
                      - 35 -


                    Pasal 82

Ketentuan   dalam     konvensi    internasional mengenai
kepentingan internasional dalam peralatan bergerak dan
protokol mengenai masalah-masalah khusus pada peralatan
pesawat udara, di mana Indonesia merupakan pihak
mempunyai kekuatan hukum di Indonesia dan merupakan
ketentuan hukum khusus (lex specialis).


                     BAB X
              ANGKUTAN UDARA


                 Bagian Kesatu
             Jenis Angkutan Udara

                  Paragraf 1
             Angkutan Udara Niaga

                    Pasal 83

(1)   Kegiatan angkutan udara terdiri atas:
      a. angkutan udara niaga; dan
      b. angkutan udara bukan niaga.

(2)   Angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) huruf a terdiri atas:
      a. angkutan udara niaga dalam negeri; dan
      b. angkutan udara niaga luar negeri.

(3)   Kegiatan angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan secara berjadwal
      dan/atau tidak berjadwal oleh badan usaha angkutan
      udara niaga nasional dan/atau asing untuk mengangkut
      penumpang dan kargo atau khusus mengangkut kargo.

                    Pasal 84

Angkutan udara niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan
oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah
mendapat izin usaha angkutan udara niaga.

                                                Pasal 85 . . .
                      - 36 -


                    Pasal 85

(1)   Angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri hanya
      dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara
      nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara
      niaga berjadwal.

(2)   Badan    usaha   angkutan    udara  niaga  berjadwal
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam keadaan
      tertentu dan bersifat sementara dapat melakukan
      kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal setelah
      mendapat persetujuan dari Menteri.

(3)   Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal yang
      bersifat sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      dapat dilakukan atas inisiatif instansi Pemerintah
      dan/atau atas permintaan badan usaha angkutan udara
      niaga nasional.

(4)   Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal yang
      dilaksanakan oleh badan usaha angkutan udara niaga
      berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
      menyebabkan terganggunya pelayanan pada rute yang
      menjadi tanggung jawabnya dan pada rute yang masih
      dilayani oleh badan usaha angkutan udara niaga
      berjadwal lainnya.

                    Pasal 86
(1)   Kegiatan angkutan udara niaga berjadwal luar negeri
      dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga
      berjadwal nasional dan/atau perusahaan angkutan udara
      niaga berjadwal asing untuk mengangkut penumpang dan
      kargo berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral.
(2)   Dalam hal angkutan udara niaga berjadwal luar negeri
      merupakan bagian dari perjanjian multilateral yang
      bersifat multisektoral, pelaksanaan angkutan udara niaga
      berjadwal luar negeri tetap harus diatur melalui
      perjanjian bilateral.
(3)   Perjanjian bilateral atau multilateral sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan ketentuan
      peraturan perundang-undangan dan mempertimbangkan
      kepentingan nasional berdasarkan prinsip keadilan
      (fairness) dan timbal balik (reciprocity).

                                                 (4) Badan . . .
                      - 37 -


(4)   Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus merupakan
      badan usaha angkutan udara niaga yang telah ditunjuk
      oleh Pemerintah Republik Indonesia dan mendapat
      persetujuan dari negara asing yang bersangkutan.
(5)   Perusahaan angkutan udara niaga berjadwal asing
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus merupakan
      perusahaan angkutan udara niaga yang telah ditunjuk
      oleh   negara  yang    bersangkutan    dan mendapat
      persetujuan Pemerintah Republik Indonesia.
                    Pasal 87
(1)   Dalam hal Indonesia melakukan perjanjian plurilateral
      mengenai angkutan udara dengan suatu organisasi
      komunitas   negara   asing,   pelaksanaan    perjanjian
      dilakukan berdasarkan perjanjian bilateral dengan
      masing-masing negara anggota komunitas tersebut.

(2)   Dalam hal Indonesia sebagai anggota dari suatu
      organisasi komunitas negara yang melakukan perjanjian
      plurilateral mengenai angkutan udara dengan suatu
      organisasi komunitas negara lain, pelaksanaan perjanjian
      dilakukan berdasarkan ketentuan yang disepakati dalam
      perjanjian tersebut.
                    Pasal 88

(1)   Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional
      dapat melakukan kerja sama angkutan udara dengan
      badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional
      lainnya untuk melayani angkutan dalam negeri dan/atau
      luar negeri.
(2)   Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional
      dapat melakukan kerja sama dengan perusahaan
      angkutan udara asing untuk melayani angkutan udara
      luar negeri.
                    Pasal 89
(1)   Perusahaan angkutan udara niaga berjadwal asing
      khusus mengangkut kargo dapat menurunkan dan
      menaikkan kargo di wilayah Indonesia berdasarkan
      perjanjian bilateral atau multilateral dan pelaksanaannya
      melalui mekanisme yang mengikat para pihak.

                                              (2) Perjanjian . . .
                      - 38 -


(2)   Perjanjian bilateral atau multilateral sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan ketentuan
      peraturan perundang-undangan dan mempertimbangkan
      kepentingan nasional berdasarkan prinsip keadilan dan
      timbal balik.

(3)   Perusahaan angkutan udara niaga berjadwal asing
      khusus mengangkut kargo sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) harus merupakan perusahaan angkutan udara
      niaga yang telah ditunjuk oleh negara yang bersangkutan
      dan    mendapat     persetujuan   Pemerintah    Republik
      Indonesia.

                   Pasal 90

(1)   Pembukaan pasar angkutan udara menuju ruang udara
      tanpa batasan hak angkut udara (open sky) dari dan ke
      Indonesia untuk perusahaan angkutan udara niaga asing
      dilaksanakan secara bertahap berdasarkan perjanjian
      bilateral atau multilateral dan pelaksanaannya melalui
      mekanisme yang mengikat para pihak.

(2)   Perjanjian bilateral atau multilateral sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan ketentuan
      peraturan perundang-undangan dan mempertimbangkan
      kepentingan nasional berdasarkan prinsip keadilan dan
      timbal balik.
                   Pasal 91

(1)   Angkutan udara niaga tidak berjadwal dalam negeri
      hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara
      nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara
      niaga tidak berjadwal.

(2)   Angkutan udara niaga tidak berjadwal dalam negeri
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
      berdasarkan persetujuan terbang (flight approval).

(3)   Badan usaha angkutan udara niaga tidak berjadwal
      dalam negeri dalam keadaan tertentu dan bersifat
      sementara dapat melakukan kegiatan angkutan udara
      niaga berjadwal setelah mendapat persetujuan Menteri.

                                               (4) Kegiatan . . .
                      - 39 -


(4)   Kegiatan angkutan udara niaga berjadwal yang bersifat
      sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
      dilakukan atas inisiatif instansi Pemerintah, pemerintah
      daerah dan/atau badan usaha angkutan udara niaga
      nasional.
(5)   Kegiatan angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana
      dimaksud pada ayat (3) tidak menyebabkan terganggunya
      pelayanan angkutan udara pada rute yang masih dilayani
      oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal
      lainnya.
                   Pasal 92
Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal dapat berupa:
a. rombongan tertentu yang mempunyai maksud dan tujuan
    yang sama bukan untuk tujuan wisata (affinity group);
b. kelompok penumpang yang membeli seluruh atau
    sebagian kapasitas pesawat untuk melakukan paket
    perjalanan    termasuk      pengaturan       akomodasi dan
    transportasi lokal (inclusive tour charter);
c. seseorang yang membeli seluruh kapasitas pesawat udara
    untuk kepentingan sendiri (own use charter);
d. taksi udara (air taxi); atau
e. kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal lainnya.
                   Pasal 93
(1)   Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar
      negeri yang dilakukan oleh badan usaha angkutan udara
      niaga nasional wajib mendapatkan persetujuan terbang
      dari Menteri.

(2)   Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar
      negeri yang dilakukan oleh perusahaan angkutan udara
      niaga asing wajib mendapatkan persetujuan terbang dari
      Menteri setelah mendapat persetujuan dari menteri
      terkait.

                   Pasal 94

(1)   Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing
      yang melayani rute ke Indonesia dilarang mengangkut
      penumpang     dari    wilayah     Indonesia,   kecuali
      penumpangnya     sendiri   yang     diturunkan   pada
      penerbangan sebelumnya (in-bound traffic).

                                            (2) Perusahaan . . .
                     - 40 -



(2)   Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing
      yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda
      administratif.

(3)   Prosedur dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan
      Pemerintah mengenai penerimaan negara bukan pajak.

                   Pasal 95

(1)   Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing
      khusus pengangkut kargo yang melayani rute ke
      Indonesia dilarang mengangkut kargo dari wilayah
      Indonesia, kecuali dengan izin Menteri.

(2)   Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing
      khusus pengangkut kargo yang melanggar ketentuan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi
      administratif berupa denda administratif.

(3)   Besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada
      ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai
      penerimaan negara bukan pajak.

                   Pasal 96

Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan udara niaga, kerja
sama angkutan udara        dan prosedur pengenaan sanksi
administratif diatur dengan Peraturan Menteri.


                Paragraf 2
 Pelayanan Angkutan Udara Niaga Berjadwal

                   Pasal 97

(1)   Pelayanan yang diberikan badan usaha angkutan udara
      niaga berjadwal dalam menjalankan kegiatannya dapat
      dikelompokkan paling sedikit dalam:
      a. pelayanan dengan standar maksimum (full services);
      b. pelayanan dengan standar menengah (medium
         services); atau
      c. pelayanan dengan standar minimum (no frills).

                                            (2) Pelayanan . . .
                     - 41 -



(2)   Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
      adalah bentuk pelayanan maksimum yang diberikan
      kepada penumpang selama penerbangan sesuai dengan
      jenis kelas pelayanan penerbangan.

(3)   Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
      adalah bentuk pelayanan sederhana yang diberikan
      kepada penumpang selama penerbangan.

(4)   Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
      adalah bentuk pelayanan minimum yang diberikan
      kepada penumpang selama penerbangan.

(5)   Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dalam
      menetapkan kelas pelayanan sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) harus memberitahukan kepada pengguna
      jasa tentang kondisi dan spesifikasi pelayanan yang
      disediakan.

                   Pasal 98

(1)   Badan usaha angkutan udara         niaga berjadwal yang
      pelayanannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97
      ayat (1) huruf b dan huruf c merupakan badan usaha
      yang berbasis biaya operasi rendah.

(2)   Badan    usaha   angkutan   udara   niaga  berjadwal
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
      standar keselamatan dan keamanan penerbangan.

                   Pasal 99

(1)   Badan usaha angkutan udara      niaga berjadwal yang
      berbasis biaya operasi rendah sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 98 harus mengajukan permohonan izin
      kepada Menteri.

(2)   Menteri menetapkan badan usaha angkutan udara niaga
      berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah
      memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

(3)   Terhadap badan usaha angkutan udara niaga berjadwal
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan
      evaluasi secara periodik.

                                                Pasal 100 . . .
                     - 42 -



                  Pasal 100

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan badan usaha
angkutan udara niaga berjadwal diatur dengan Peraturan
Menteri.


                 Paragraf 3
         Angkutan Udara Bukan Niaga

                  Pasal 101

(1)   Kegiatan angkutan udara bukan niaga dapat dilakukan
      oleh Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga tertentu,
      orang perseorangan, dan/atau badan usaha Indonesia
      lainnya.

(2)   Kegiatan angkutan udara bukan niaga berupa:
      a. angkutan udara untuk kegiatan keudaraan (aerial
         work);
      b. angkutan udara untuk kegiatan pendidikan dan/atau
         pelatihan personel pesawat udara; atau
      c. angkutan udara bukan niaga lainnya yang kegiatan
         pokoknya bukan usaha angkutan udara niaga.

                  Pasal 102

(1)   Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga
      dilarang melakukan kegiatan angkutan udara niaga,
      kecuali atas izin Menteri.

(2)   Izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
      diberikan    kepada pemegang izin kegiatan angkutan
      udara bukan niaga untuk melakukan kegiatan angkutan
      penumpang dan barang pada daerah tertentu, dengan
      memenuhi persyaratan tertentu, dan bersifat sementara.

(3)   Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang
      melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) dikenakan sanksi administratif berupa :
      a. peringatan;
      b. penbekuan izin; dan/atau
      c. pencabutan izin.

                                               Pasal 103 . . .
                     - 43 -


                  Pasal 103
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan udara
bukan niaga, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi
administratif diatur dengan Peraturan Menteri.


                 Paragraf 4
           Angkutan Udara Perintis
                  Pasal 104
(1)   Angkutan udara perintis wajib diselenggarakan oleh
      Pemerintah, dan pelaksanaannya dilakukan oleh badan
      usaha     angkutan udara niaga nasional berdasarkan
      perjanjian dengan Pemerintah.
(2)   Dalam   penyelenggaraan   angkutan    udara   perintis
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah daerah
      wajib menjamin tersedianya lahan, prasarana angkutan
      udara, keselamatan dan keamanan penerbangan, serta
      kompensasi lainnya.
(3)   Angkutan udara perintis dilaksanakan secara terpadu
      dengan   sektor    lain    berdasarkan   pendekatan
      pembangunan wilayah.
(4)   Angkutan udara perintis dievaluasi oleh Pemerintah
      setiap tahun.
(5)   Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat
      mengubah suatu rute angkutan udara perintis menjadi
      rute komersial.
                   Pasal 105

Dalam keadaan tertentu angkutan udara perintis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) dapat dilakukan oleh
pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga.

                  Pasal 106

(1)   Badan usaha angkutan udara niaga yang melakukan
      kegiatan angkutan udara perintis sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 104 ayat (1) dan pemegang izin kegiatan
      angkutan udara bukan niaga sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 105 diberi kompensasi untuk menjamin
      kelangsungan pelayanan angkutan udara perintis sesuai
      dengan rute dan jadwal yang telah ditetapkan.

                                           (2) Kompensasi . . .
                     - 44 -



(2)   Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
      berupa:
      a. pemberian rute lain di luar rute perintis bagi badan
         usaha angkutan udara niaga berjadwal untuk
         mendukung kegiatan angkutan udara perintis;
      b. bantuan biaya operasi angkutan udara; dan/atau
      c. bantuan biaya angkutan bahan bakar minyak.

(3)   Pelaksana kegiatan angkutan udara perintis dikenakan
      sanksi administratif berupa tidak diperkenankan
      mengikuti pelelangan tahun berikutnya dalam hal tidak
      melaksanakan kegiatan sesuai dengan kontrak pekerjaan
      tahun berjalan.

                  Pasal 107

Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan udara perintis
diatur dengan Peraturan Menteri.


                  Bagian Kedua
           Perizinan Angkutan Udara
                   Paragraf 1
        Perizinan Angkutan Udara Niaga

                  Pasal 108

(1)   Kegiatan angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 83 ayat (1) huruf a dilakukan oleh badan
      usaha di bidang angkutan udara niaga nasional.

(2)   Badan    usaha   angkutan    udara    niaga  nasional
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seluruh atau
      sebagian besar modalnya, harus dimiliki oleh badan
      hukum Indonesia atau warga negara Indonesia.

(3)   Dalam hal modal badan usaha angkutan udara niaga
      nasional yang dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau
      warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
      (2) terbagi atas beberapa pemilik modal, salah satu
      pemilik modal nasional harus tetap lebih besar dari
      keseluruhan pemilik modal asing (single majority).

                                                Pasal 109 . . .
                      - 45 -


                   Pasal 109
(1)   Untuk mendapatkan izin usaha angkutan udara niaga
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108, paling sedikit
      harus memenuhi persyaratan:
      a. akta pendirian badan usaha Indonesia yang usahanya
         bergerak di bidang angkutan udara niaga berjadwal
         atau angkutan udara niaga tidak berjadwal dan
         disahkan oleh Menteri yang berwenang;
      b. nomor pokok wajib pajak (NPWP);
      c. surat keterangan domisili yang diterbitkan oleh
         instansi yang berwenang;
      d. surat persetujuan dari instansi yang bertanggung
         jawab di bidang penanaman modal apabila yang
         bersangkutan menggunakan fasilitas penanaman
         modal;
      e. tanda bukti modal yang disetor;
      f. garansi/jaminan bank; dan
      g. rencana bisnis untuk kurun waktu paling singkat 5
         (lima) tahun.
(2)   Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
      huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e diserahkan dalam
      bentuk salinan yang telah dilegalisasi oleh instansi yang
      mengeluarkan, dan dokumen aslinya ditunjukkan kepada
      Menteri.
                   Pasal 110
(1)   Rencana bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109
      ayat (1) huruf g paling sedikit memuat:
      a. jenis dan jumlah pesawat udara yang akan
         dioperasikan;
      b. rencana pusat kegiatan operasi penerbangan dan rute
         penerbangan bagi badan usaha angkutan udara niaga
         berjadwal;
      c. rencana pusat kegiatan operasi penerbangan bagi
         badan usaha angkutan udara niaga tidak berjadwal;
      d. aspek pemasaran dalam bentuk potensi permintaan
         pasar angkutan udara;
      e. sumber daya manusia yang terdiri dari manajemen,
         teknisi, dan personel pesawat udara;
      f. kesiapan atau kelayakan operasi; dan
      g. analisis dan evaluasi aspek ekonomi dan keuangan.

                                             (2) Penentuan . . .
                      - 46 -



(2)   Penentuan dan penetapan lokasi pusat kegiatan operasi
      penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
      b dilakukan oleh Menteri paling sedikit dengan
      mempertimbangkan:
      a. rencana tata ruang nasional;
      b. pertumbuhan kegiatan ekonomi; dan
      c. keseimbangan jaringan dan rute penerbangan
         nasional.

                   Pasal 111

(1)   Orang perseorangan dapat diangkat menjadi direksi
      badan usaha angkutan udara niaga, dengan memenuhi
      persyaratan:
      a. memiliki    kemampuan       operasi  dan    manajerial
         pengelolaan usaha angkutan udara niaga;
      b. telah dinyatakan lulus uji kepatutan dan uji kelayakan
         oleh Menteri;
      c. tidak pernah terlibat tindak pidana berdasarkan
         putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
         hukum tetap yang terkait dengan penyelenggaraan
         angkutan udara; dan
      d. pada saat memimpin badan usaha angkutan udara
         niaga, badan usahanya tidak pernah dinyatakan pailit
         sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2)   Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
      berlaku bagi direktur utama badan usaha angkutan
      udara niaga.

                   Pasal 112
(1)   Izin usaha angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 109 ayat (1) berlaku selama pemegang izin
      masih menjalankan kegiatan angkutan udara secara
      nyata dengan terus menerus mengoperasikan pesawat
      udara sesuai dengan izin yang diberikan.
(2)   Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dievaluasi
      setiap tahun.
(3)   Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      digunakan    sebagai   pertimbangan     untuk tetap
      diperbolehkan menjalankan kegiatan usahanya.

                                                 Pasal 113 . . .
                      - 47 -


                   Pasal 113

(1)    Izin usaha angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud
       dalam Pasal 109 ayat (1) dilarang dipindahtangankan
       kepada pihak lain sebelum melakukan kegiatan usaha
       angkutan udara secara nyata dengan mengoperasikan
       pesawat udara sesuai dengan izin usaha yang diberikan.

(2)    Pemindahtanganan izin usaha angkutan udara niaga
       hanya dapat dilakukan setelah pemegang izin usaha
       beroperasi dan mendapatkan persetujuan Menteri.

(3)    Pemegang Izin usaha angkutan udara niaga yang
       melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
       (1) dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan
       izin.
                   Pasal 114
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan
prosedur memperoleh izin usaha angkutan udara niaga dan
pengangkatan direksi perusahaan angkutan udara niaga
diatur dengan Peraturan Menteri.

                    Paragraf 2
      Perizinan Angkutan Udara Bukan Niaga
                   Pasal 115
(1)    Kegiatan angkutan udara bukan niaga sebagaimana
       dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf b dilakukan
       setelah memperoleh izin dari Menteri.
(2)    Untuk mendapatkan izin kegiatan angkutan udara bukan
       niaga yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah
       daerah, badan usaha Indonesia, dan lembaga tertentu
       sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus
       memiliki:
       a. persetujuan dari instansi yang membina kegiatan
          pokoknya;
       b. akta pendirian badan usaha atau lembaga yang telah
          disahkan oleh menteri yang berwenang;
       c. nomor pokok wajib pajak (NPWP);
       d. surat keterangan domisili tempat kegiatan yang
          diterbitkan oleh instansi yang berwenang; dan
       e. rencana kegiatan angkutan udara.

                                                 (3) Untuk . . .
                       - 48 -



(3)   Untuk mendapatkan izin kegiatan angkutan udara bukan
      niaga yang digunakan oleh orang perseorangan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus
      memiliki:
      a. tanda bukti identitas diri yang diterbitkan oleh instansi
         yang berwenang;
      b. nomor pokok wajib pajak (NPWP);
      c. surat keterangan domisili tempat kegiatan yang
         diterbitkan oleh instansi yang berwenang; dan
      d. rencana kegiatan angkutan udara.

(4)   Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a,
      huruf b, huruf c, dan huruf d, serta ayat (3) huruf a,
      huruf b, dan huruf c diserahkan dalam bentuk salinan
      yang telah dilegalisasi oleh instansi yang mengeluarkan
      dan dokumen aslinya ditunjukkan kepada Menteri.

(5)   Rencana kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      huruf e dan ayat (3) huruf d paling sedikit memuat:
      a. jenis dan jumlah pesawat udara yang akan
         dioperasikan;
      b. pusat kegiatan operasi penerbangan;
      c. sumber daya manusia yang terdiri atas teknisi dan
         personel pesawat udara; serta
      d. kesiapan serta kelayakan operasi.

                    Pasal 116

(1)   Izin kegiatan angkutan udara bukan niaga sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 115 berlaku selama pemegang izin
      masih menjalankan kegiatan angkutan udara secara
      nyata dengan terus menerus mengoperasikan pesawat
      udara.

(2)   Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dievaluasi
      setiap tahun.

(3)   Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      digunakan    sebagai   pertimbangan    untuk tetap
      diperbolehkan menjalankan kegiatannya.

                                                    Pasal 117 . . .
                      - 49 -


                   Pasal 117
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan
prosedur memperoleh izin kegiatan angkutan udara bukan
niaga diatur dengan Peraturan Menteri.

                Paragraf 3
  Kewajiban Pemegang Izin Angkutan Udara
                   Pasal 118
(1)   Pemegang izin usaha angkutan udara niaga wajib:
      a. melakukan kegiatan angkutan udara secara nyata
         paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak izin
         diterbitkan dengan mengoperasikan minimal jumlah
         pesawat udara yang dimiliki dan dikuasai sesuai
         dengan lingkup usaha atau kegiatannya;
      b. memiliki dan menguasai pesawat udara dengan jumlah
         tertentu;
      c. mematuhi ketentuan wajib angkut, penerbangan sipil,
         dan ketentuan lain sesuai dengan peraturan
         perundang­undangan;
      d. menutup asuransi tanggung jawab pengangkut dengan
         nilai pertanggungan sebesar santunan penumpang
         angkutan udara niaga yang dibuktikan dengan
         perjanjian penutupan asuransi;
      e. melayani calon penumpang secara adil tanpa
         diskriminasi    atas   dasar    suku,    agama,   ras,
         antargolongan, serta strata ekonomi dan sosial;
      f. menyerahkan laporan kegiatan angkutan udara,
         termasuk       keterlambatan      dan      pembatalan
         penerbangan, setiap bulan paling lambat tanggal 10
         (sepuluh) bulan berikutnya kepada Menteri;
      g. menyerahkan laporan kinerja keuangan yang telah
         diaudit oleh kantor akuntan publik terdaftar yang
         sekurang-kurangnya memuat neraca, laporan rugi
         laba, arus kas, dan rincian biaya, setiap tahun paling
         lambat akhir bulan April tahun berikutnya kepada
         Menteri;
      h. melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung
         jawab atau pemilik badan usaha angkutan udara
         niaga, domisili badan usaha angkutan udara niaga dan
         pemilikan pesawat udara kepada Menteri; dan
      i. memenuhi standar pelayanan yang ditetapkan.

                                                (2) Pesawat . . .
                      - 50 -


(2)   Pesawat udara dengan jumlah tertentu sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) huruf b, untuk:
      a. angkutan udara niaga berjadwal memiliki paling
         sedikit 5 (lima) unit pesawat udara dan menguasai
         paling sedikit 5 (lima) unit pesawat udara dengan jenis
         yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan
         rute yang dilayani;
      b. angkutan udara niaga tidak berjadwal memiliki paling
         sedikit 1 (satu) unit pesawat udara dan menguasai
         paling sedikit 2 (dua) unit pesawat udara dengan jenis
         yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan
         daerah operasi yang dilayani; dan
      c. angkutan udara niaga khusus mengangkut kargo
         memiliki paling sedikit 1 (satu) unit pesawat udara dan
         menguasai paling sedikit 2 (dua) unit pesawat udara
         dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha
         sesuai dengan rute atau daerah operasi yang dilayani.
(3)   Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang
      dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, badan
      usaha, dan lembaga tertentu diwajibkan:
      a. mengoperasikan pesawat udara paling lambat 12 (dua
         belas) bulan setelah izin kegiatan diterbitkan;
      b. mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang
         penerbangan sipil dan peraturan perundang-undangan
         lain yang berlaku;
      c. menyerahkan laporan kegiatan angkutan udara setiap
         bulan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan
         berikutnya kepada Menteri; dan
      d. melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung
         jawab, kepemilikan pesawat udara, dan/atau domisili
         kantor pusat kegiatan kepada Menteri.
(4)   Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang
      dilakukan oleh orang perseorangan diwajibkan:
      a. mengoperasikan pesawat udara paling lambat 12 (dua
         belas) bulan setelah izin kegiatan diterbitkan;
      b. mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang
         penerbangan sipil dan peraturan perundang-undangan
         lain;
      c. menyerahkan laporan kegiatan angkutan udara setiap
         bulan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan
         berikutnya kepada Menteri; dan
                                             d. melaporkan . . .
                      - 51 -


      d. melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung
         jawab, kepemilikan pesawat udara, dan/atau domisili
         pemegang izin kegiatan kepada Menteri.
                   Pasal 119
(1)   Pemegang izin usaha angkutan udara niaga dan
      pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang
      tidak melakukan kegiatan angkutan udara secara nyata
      dengan mengoperasikan pesawat udara selama 12 (dua
      belas) bulan berturut-turut sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 118 ayat (1) huruf a, ayat (3) huruf a, dan ayat (4)
      huruf a, izin usaha angkutan udara niaga atau izin
      kegiatan angkutan udara bukan niaga yang diterbitkan
      tidak berlaku dengan sendirinya.

(2)   Pemegang izin usaha angkutan udara niaga yang
      melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
      118 ayat (1) huruf c dikenakan sanksi administratif
      berupa peringatan dan/atau pencabutan izin serta denda.

(3)   Pemegang izin usaha angkutan udara niaga dan
      pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang
      melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
      118 ayat (1) huruf d dikenakan sanksi administratif
      berupa peringatan dan/atau pencabutan izin.

(4)   Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang
      melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
      118 ayat (3) huruf b dan ayat (4) huruf b dikenakan
      sanksi administratif berupa peringatan dan/atau
      pencabutan izin serta denda.
                   Pasal 120

Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pemegang izin
angkutan udara, persyaratan, tata cara, dan prosedur
pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Menteri.
                   Pasal 121

(1)   Badan usaha angkutan udara niaga nasional dan
      perusahaan angkutan udara asing yang melakukan
      kegiatan angkutan udara ke dan dari wilayah Indonesia
      wajib menyerahkan data penumpang pra kedatangan atau
      keberangkatan (pre-arrival or pre-departure passengers
      information).

                                                    (2) Data . . .
                     - 52 -


(2)   Data penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      diserahkan sebelum kedatangan atau keberangkatan
      pesawat udara kepada petugas yang berwenang di bandar
      udara kedatangan atau keberangkatan di Indonesia.

(3)   Data penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      paling sedikit memuat keterangan:
      a. nama lengkap penumpang sesuai dengan paspor;
      b. jenis kelamin;
      c. kewarganegaraan;
      d. nomor paspor;
      e. tanggal lahir;
      f. asal dan tujuan akhir penerbangan;
      g. nomor kursi; dan
      h. nomor bagasi.

                 Bagian Ketiga
        Jaringan dan Rute Penerbangan

                   Pasal 122

(1)   Jaringan dan rute penerbangan dalam negeri untuk
      angkutan udara niaga berjadwal ditetapkan oleh Menteri.

(2)   Jaringan dan rute penerbangan luar negeri ditetapkan
      oleh Menteri berdasarkan perjanjian angkutan udara
      antarnegara.

                   Pasal 123

(1)   Jaringan    dan   rute penerbangan  dalam negeri
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (1)
      ditetapkan dengan mempertimbangkan:
      a. permintaan jasa angkutan udara;
      b. terpenuhinya persyaratan teknis operasi penerbangan;
      c. fasilitas bandar udara yang sesuai dengan ketentuan
         keselamatan dan keamanan penerbangan;
      d. terlayaninya semua daerah yang memiliki bandar
         udara;
      e. pusat kegiatan operasi penerbangan masing-masing
         badan usaha angkutan udara niaga berjadwal; serta
      f. keterpaduan rute dalam negeri dan luar negeri.

                                               (2) Jaringan . . .
                      - 53 -


(2)   Jaringan dan rute penerbangan luar negeri sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 122 ayat (2) ditetapkan dengan
      mempertimbangkan:
      a. kepentingan nasional;
      b. permintaan jasa angkutan udara;
      c. pengembangan pariwisata;
      d. potensi industri dan perdagangan;
      e. potensi ekonomi daerah; dan
      f. keterpaduan intra dan antarmoda.
                   Pasal 124
(1)   Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional
      dapat mengajukan rute penerbangan baru dalam negeri
      dan/atau luar negeri kepada Menteri.
(2)   Menteri melakukan evaluasi pengajuan dan menetapkan
      rute penerbangan baru sebagaimana dimaksud dalam
      ayat (1).
                   Pasal 125

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
penetapan serta pemanfaatan jaringan dan rute penerbangan
diatur dengan Peraturan Menteri.


                Bagian Keempat
                    Tarif

                   Pasal 126

(1)   Tarif angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri terdiri
      atas tarif angkutan penumpang dan tarif angkutan kargo.

(2)   Tarif angkutan penumpang sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) terdiri atas golongan tarif pelayanan kelas
      ekonomi dan non-ekonomi.

(3)   Tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan komponen:
      a. tarif jarak;
      b. pajak;
      c. iuran wajib asuransi; dan
      d. biaya tuslah/tambahan (surcharge).

                                                  Pasal 127 . . .
                     - 54 -



                  Pasal 127

(1)   Hasil perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
      126 ayat (3) merupakan batas atas tarif penumpang
      pelayanan kelas ekonomi angkutan udara niaga berjadwal
      dalam negeri.

(2)   Tarif batas atas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan
      aspek perlindungan konsumen dan badan usaha
      angkutan udara niaga berjadwal dari persaingan tidak
      sehat.

(3)   Tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi angkutan
      udara niaga berjadwal dalam negeri yang ditetapkan oleh
      Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
      dipublikasikan kepada konsumen.

(4)   Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dalam
      negeri dilarang menjual harga tiket kelas ekonomi
      melebihi tarif batas atas yang ditetapkan Menteri.

(5)   Badan usaha angkutan udara yang melanggar ketentuan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenakan sanksi
      administratif berupa sanksi peringatan dan/atau
      pencabutan izin rute penerbangan.

                  Pasal 128

(1)   Tarif penumpang pelayanan non-ekonomi angkutan udara
      niaga berjadwal dan angkutan kargo berjadwal dalam
      negeri ditentukan berdasarkan mekanisme pasar.

(2)   Tarif angkutan udara niaga untuk penumpang dan
      angkutan kargo tidak berjadwal dalam negeri ditentukan
      berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan
      penyedia jasa angkutan.

                   Pasal 129

Tarif penumpang angkutan udara niaga dan angkutan kargo
berjadwal luar negeri ditetapkan dengan berpedoman pada
hasil perjanjian angkutan udara bilateral atau multilateral.

                                                Pasal 130 . . .
                      - 55 -


                   Pasal 130

Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif angkutan udara niaga
berjadwal dalam negeri kelas ekonomi dan angkutan udara
perintis serta tata cara dan prosedur     pengenaan sanksi
administratif diatur dengan Peraturan Menteri.


              Bagian Kelima
 Kegiatan Usaha Penunjang Angkutan Udara

                   Pasal 131

(1)   Untuk menunjang kegiatan angkutan udara niaga, dapat
      dilaksanakan kegiatan usaha penunjang angkutan udara.

(2)   Kegiatan usaha penunjang angkutan udara sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin dari Menteri.

                   Pasal 132

Untuk mendapatkan izin usaha penunjang angkutan udara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (2) wajib
memenuhi persyaratan memiliki:
a. akta pendirian badan usaha yang telah disahkan oleh
    menteri yang berwenang dan salah satu usahanya
    bergerak di bidang penunjang angkutan udara;
b. nomor pokok wajib pajak (NPWP);
c. surat keterangan domisili yang diterbitkan oleh instansi
    yang berwenang;
d. surat persetujuan dari badan koordinasi penanaman
    modal atau badan koordinasi penanaman modal daerah
    apabila menggunakan fasilitas penanaman modal;
e. tanda bukti modal yang disetor;
f.  garansi/jaminan bank; serta
g. kelayakan teknis dan operasi.

                   Pasal 133

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan
prosedur pemberian izin kegiatan usaha penunjang angkutan
udara diatur dengan Peraturan Menteri.

                                           Bagian Keenam . . .
                        - 56 -



                Bagian Keenam
Pengangkutan untuk Penyandang Cacat, Lanjut Usia,
        Anak­Anak, dan/atau Orang Sakit

                     Pasal 134

   (1)   Penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak di bawah usia
         12 (dua belas) tahun, dan/atau orang sakit berhak
         memperoleh pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas
         khusus dari badan usaha angkutan udara niaga.

   (2)   Pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus
         sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
         meliputi:
         a. pemberian prioritas tambahan tempat duduk;
         b. penyediaan fasilitas kemudahan untuk naik ke dan
            turun dari pesawat udara;
         c. penyediaan fasilitas untuk penyandang cacat selama
            berada di pesawat udara;
         d. sarana bantu bagi orang sakit;
         e. penyediaan fasilitas untuk anak-anak selama berada
            di pesawat udara;
         f. tersedianya personel yang dapat berkomunikasi
            dengan penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak,
            dan/atau orang sakit; dan
         g. tersedianya buku petunjuk tentang keselamatan dan
            keamanan penerbangan bagi penumpang pesawat
            udara dan sarana lain yang dapat dimengerti oleh
            penyandang cacat, lanjut usia, dan orang sakit.

   (3)   Pemberian perlakuan dan fasilitas khusus sebagaimana
         dimaksud pada ayat (2) tidak dipungut biaya tambahan.

                     Pasal 135

   Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan berupa perlakuan
   dan fasilitas khusus diatur dengan Peraturan Menteri.


                                             Bagian Ketujuh . . .
                      - 57 -


             Bagian Ketujuh
Pengangkutan Barang Khusus dan Berbahaya

                   Pasal 136

(1)   Pengangkutan barang khusus dan berbahaya wajib
      memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan
      penerbangan.

(2)   Barang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      berupa barang yang karena sifat, jenis, dan ukurannya
      memerlukan penanganan khusus.

(3)   Barang berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      dapat berbentuk bahan cair, bahan padat, atau bahan gas
      yang dapat membahayakan kesehatan, keselamatan jiwa,
      dan harta benda, serta keselamatan dan keamanan
      penerbangan.

(4)   Barang berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
      diklasifikasikan sebagai berikut:
      a. bahan peledak (explosives);
      b. gas yang dimampatkan, dicairkan, atau dilarutkan
         dengan tekanan (compressed gases, liquified or
         dissolved under pressure);
      c. cairan mudah menyala atau terbakar (flammable
         liquids);
      d. bahan atau barang padat mudah menyala atau
         terbakar (flammable solids);
      e. bahan atau barang pengoksidasi (oxidizing substances);
      f. bahan atau barang beracun dan mudah menular (toxic
         and infectious substances);
      g. bahan atau barang radioaktif (radioactive material);
      h. bahan atau barang perusak (corrosive substances);
      i. cairan, aerosol, dan jelly (liquids, aerosols, and gels)
         dalam jumlah tertentu; atau
      j. bahan atau zat berbahaya lainnya (miscellaneous
         dangerous substances).

(5)   Badan usaha angkutan udara niaga yang melanggar
      ketentuan pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif
      berupa peringatan dan/atau pencabutan izin.

                                                   Pasal 137 . . .
                      - 58 -



                   Pasal 137

Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 136 ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

                   Pasal 138

(1)   Pemilik, agen ekspedisi muatan pesawat udara, atau
      pengirim yang menyerahkan barang khusus dan/atau
      berbahaya wajib menyampaikan pemberitahuan kepada
      pengelola pergudangan dan/atau badan usaha angkutan
      udara sebelum dimuat ke dalam pesawat udara.

(2)   Badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar
      udara, badan usaha pergudangan, atau badan usaha
      angkutan udara niaga yang melakukan kegiatan
      pengangkutan    barang    khusus   dan/atau   barang
      berbahaya wajib menyediakan tempat penyimpanan atau
      penumpukan     serta   bertanggung   jawab  terhadap
      penyusunan sistem dan prosedur penanganan barang
      khusus dan/atau berbahaya selama barang tersebut
      belum dimuat ke dalam pesawat udara.

(3)   Pemilik, agen ekspedisi muatan pesawat udara, atau
      pengirim, badan usaha bandar udara, unit penyelenggara
      bandar udara, badan usaha pergudangan, atau badan
      usaha angkutan udara niaga yang melanggar ketentuan
      pengangkutan barang berbahaya sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif
      berupa peringatan dan/atau pencabutan izin.

                   Pasal 139

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara prosedur
pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya serta
pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan
Menteri.

                                          Bagian kedelapan . . .
                     - 59 -


               Bagian Kedelapan
          Tanggung Jawab Pengangkut

                  Paragraf 1
                 Wajib Angkut

                  Pasal 140

(1)   Badan usaha angkutan udara niaga wajib mengangkut
      orang dan/atau kargo, dan pos setelah disepakatinya
      perjanjian pengangkutan.

(2)   Badan usaha angkutan udara niaga wajib memberikan
      pelayanan yang layak terhadap setiap pengguna jasa
      angkutan udara sesuai dengan perjanjian pengangkutan
      yang disepakati.

(3)   Perjanjian pengangkutan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) dibuktikan dengan tiket penumpang dan
      dokumen muatan.


                  Paragraf 2
      Tanggung Jawab Pengangkut terhadap
      Penumpang dan/atau Pengirim Kargo

                  Pasal 141

(1)   Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang
      yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang
      diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat
      dan/atau naik turun pesawat udara.

(2)   Apabila kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      timbul karena tindakan sengaja atau kesalahan dari
      pengangkut     atau    orang  yang    dipekerjakannya,
      pengangkut bertanggung jawab      atas kerugian yang
      timbul dan tidak dapat mempergunakan ketentuan dalam
      undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya.

(3)   Ahli waris atau korban sebagai akibat kejadian angkutan
      udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
      melakukan      penuntutan     ke   pengadilan     untuk
      mendapatkan ganti kerugian tambahan selain ganti
      kerugian yang telah ditetapkan.

                                                Pasal 142 . . .
                     - 60 -



                  Pasal 142
(1)   Pengangkut tidak bertanggung jawab dan dapat menolak
      untuk mengangkut calon penumpang yang sakit, kecuali
      dapat menyerahkan surat keterangan dokter kepada
      pengangkut yang menyatakan bahwa orang tersebut
      diizinkan dapat diangkut dengan pesawat udara.

(2)   Penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
      didampingi oleh seorang dokter atau perawat yang
      bertanggung jawab dan dapat membantunya selama
      penerbangan berlangsung.
                  Pasal 143
Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian karena
hilang atau rusaknya bagasi kabin, kecuali apabila
penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut
disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang
dipekerjakannya.
                  Pasal 144
Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita
oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau
rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama
bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut.
                  Pasal 145
Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita
oleh pengirim kargo karena kargo yang dikirim hilang,
musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan
udara selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut.
                  Pasal 146
Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita
karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi,
atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan
bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca
dan teknis operasional.

                  Pasal 147
(1)   Pengangkut bertanggung jawab atas tidak terangkutnya
      penumpang, sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan
      dengan alasan kapasitas pesawat udara.

                                      (2) Tanggung jawab . . .
                       - 61 -


  (2)   Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
        dengan memberikan kompensasi kepada penumpang
        berupa:
        a. mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar
           biaya tambahan; dan/atau
        b. memberikan konsumsi,        akomodasi,  dan biaya
           transportasi apabila tidak ada penerbangan lain ke
           tempat tujuan.

                    Pasal 148

  Tanggung jawab pengangkut sebagaimana dimaksud dalam
  Pasal 141 sampai dengan Pasal 147 tidak berlaku untuk:
  a. angkutan pos;
  b. angkutan penumpang dan/atau kargo yang dilakukan
      oleh pesawat udara negara; dan
  c. angkutan udara bukan niaga.

                    Pasal 149

  Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu keterlambatan
  angkutan udara diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.


                 Paragraf 3
Dokumen Angkutan Penumpang, Bagasi, dan Kargo

                    Pasal 150

  Dokumen angkutan udara terdiri atas:
  a. tiket penumpang pesawat udara;
  b. pas masuk pesawat udara (boarding pass);
  c. tanda pengenal bagasi (baggage identification/claim tag);
     dan
  d. surat muatan udara (airway bill).

                    Pasal 151

  (1)   Pengangkut wajib menyerahkan tiket kepada penumpang
        perseorangan atau penumpang kolektif.

  (2)   Tiket penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
        paling sedikit memuat:

                                                  a. nomor . . .
                     - 62 -


      a. nomor, tempat, dan tanggal penerbitan;
      b. nama penumpang dan nama pengangkut;
      c. tempat, tanggal, waktu pemberangkatan, dan tujuan
         pendaratan;
      d. nomor penerbangan;
      e. tempat pendaratan yang direncanakan antara tempat
         pemberangkatan dan tempat tujuan, apabila ada; dan
      f. pernyataan bahwa pengangkut tunduk pada ketentuan
         dalam undang-undang ini.

(3)   Yang berhak menggunakan tiket penumpang adalah
      orang yang namanya tercantum dalam tiket yang
      dibuktikan dengan dokumen identitas diri yang sah.

(4)   Dalam hal tiket tidak diisi keterangan-keterangan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau tidak diberikan
      oleh pengangkut, pengangkut tidak berhak menggunakan
      ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi
      tanggung jawabnya.

                  Pasal 152

(1)   Pengangkut harus menyerahkan pas masuk pesawat
      udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 huruf b
      kepada penumpang.

(2)   Pas masuk pesawat udara sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) paling sedikit memuat:
      a. nama penumpang;
      b. rute penerbangan;
      c. nomor penerbangan;
      d. tanggal dan jam keberangkatan;
      e. nomor tempat duduk;
      f. pintu masuk ke ruang tunggu menuju pesawat udara
         (boarding gate); dan
      g. waktu masuk pesawat udara (boarding time).

                  Pasal 153

(1)   Pengangkut wajib menyerahkan tanda pengenal bagasi
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 huruf c kepada
      penumpang.

                                                (2) Tanda . . .
                     - 63 -


(2)   Tanda pengenal bagasi sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) paling sedikit memuat:
      a. nomor tanda pengenal bagasi;
      b. kode tempat keberangkatan dan tempat tujuan; dan
      c. berat bagasi.
(3)   Dalam hal tanda pengenal bagasi tidak diisi keterangan-
      keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hilang,
      atau tidak diberikan oleh pengangkut, pengangkut tidak
      berhak menggunakan ketentuan dalam undang-undang
      ini untuk membatasi tanggung jawabnya.
                  Pasal 154
Tiket penumpang dan tanda pengenal bagasi dapat disatukan
dalam satu dokumen angkutan udara.
                  Pasal 155
(1)   Surat muatan udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
      150 huruf d wajib dibuat oleh pengirim kargo.
(2)   Surat muatan udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      paling sedikit memuat:
      a. tanggal dan tempat surat muatan udara dibuat;
      b. tempat pemberangkatan dan tujuan;
      c. nama dan alamat pengangkut pertama;
      d. nama dan alamat pengirim kargo;
      e. nama dan alamat penerima kargo;
      f. jumlah, cara pembungkusan, tanda-tanda istimewa,
         atau nomor kargo yang ada;
      g. jumlah, berat, ukuran, atau besarnya kargo;
      h. jenis atau macam kargo yang dikirim; dan
      i. pernyataan bahwa pengangkutan kargo ini tunduk
         pada ketentuan dalam undang-undang ini.
(3)   Penyerahan surat muatan udara oleh pengirim kepada
      pengangkut membuktikan kargo telah diterima oleh
      pengangkut dalam keadaan sebagaimana tercatat dalam
      surat muatan udara.
(4)   Dalam hal surat muatan udara tidak diisi keterangan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau tidak
      diserahkan kepada pengangkut, pengangkut tidak berhak
      menggunakan ketentuan dalam undang-undang ini untuk
      membatasi tanggung jawabnya.

                                               Pasal 156 . . .
                    - 64 -


                  Pasal 156

(1)   Surat muatan udara wajib dibuat sekurang-kurangnya
      rangkap 3 (tiga), lembar asli diserahkan pada saat
      pengangkut menerima barang untuk diangkut.

(2)   Pengangkut wajib menandatangani surat muatan udara
      sebelum barang dimuat ke dalam pesawat udara.

                  Pasal 157

Surat muatan udara tidak dapat diperjualbelikan atau
dijadikan jaminan kepada orang lain dan/atau pihak lain.

                  Pasal 158

Pengangkut wajib memberi prioritas pengiriman dokumen
penting yang bersifat segera serta kargo yang memuat barang
mudah rusak dan/atau cepat busuk (perishable goods).

                  Pasal 159

Dalam hal pengirim kargo menyatakan secara tertulis harga
kargo yang sebenarnya, pengangkut dan pengirim kargo dapat
membuat kesepakatan khusus untuk kargo yang memuat
barang mudah rusak dan/atau cepat busuk dengan
mengecualikan besaran kompensasi tanggung jawab yang
diatur dalam undang-undang ini.

                  Pasal 160

Pengangkut dan pengirim kargo dapat menyepakati syarat-
syarat khusus untuk angkutan kargo:
a. yang nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan besar
    ganti kerugian sesuai dengan ketentuan dalam undang-
    undang ini; dan/atau

b.    yang memerlukan perawatan atau penanganan khusus
      dan harus disertai perjanjian khusus dengan tambahan
      imbalan untuk mengasuransikan kargo tersebut.

                  Pasal 161

(1)   Pengirim bertanggung    jawab   atas   kebenaran    surat
      muatan udara.
                                               (2) Pengirim . . .
                     - 65 -


(2)   Pengirim kargo bertanggung jawab atas kelengkapan
      dokumen lainnya yang dipersyaratkan oleh instansi
      terkait dan menyerahkan kepada pengangkut.

(3)   Pengirim bertanggung jawab atas kerugian yang diderita
      oleh pengangkut atau pihak lain sebagai akibat dari
      ketidakbenaran surat muatan udara yang dibuat oleh
      pengirim.
                  Pasal 162
(1)   Pengangkut wajib segera memberi tahu penerima kargo
      pada kesempatan pertama bahwa kargo telah tiba dan
      segera diambil.
(2)   Biaya yang timbul akibat penerima kargo terlambat atau
      lalai mengambil pada waktu yang telah ditentukan
      menjadi tanggung jawab penerima.

                  Pasal 163
Dalam hal kargo belum diserahkan kepada penerima, pengirim
dapat meminta kepada pengangkut untuk menyerahkan kargo
tersebut kepada penerima lain atau mengirimkan kembali
kepada pengirim, dan semuanya atas biaya dan tanggung
jawab pengirim.

                  Pasal 164

(1)   Dalam hal penerima kargo, setelah diberitahu sesuai
      dengan waktu yang diperjanjikan tidak mengambil kargo,
      semua biaya yang ditimbulkannya menjadi tanggung
      jawab penerima kargo.

(2)   Kargo yang telah melebihi batas waktu sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1), pengangkut berhak menjualnya
      dan hasilnya digunakan untuk pembayaran biaya yang
      timbul akibat kargo yang tidak diambil oleh penerima.

(3)   Penjualan kargo sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      dilakukan dengan cara yang paling cepat, tepat, dan
      dengan harga yang wajar.

(4)   Hasil penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      diserahkan kepada yang berhak menerima setelah
      dipotong biaya yang dikeluarkan oleh pengangkut
      sepanjang dapat dibuktikan.
                                             (5) Penerima . . .
                      - 66 -



(5)   Penerima kargo tidak berhak menuntut ganti kerugian
      atas kerugian yang dideritanya karena penjualan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2).


                  Paragraf 4
            Besaran Ganti Kerugian

                   Pasal 165

(1)   Jumlah ganti kerugian untuk setiap penumpang yang
      meninggal    dunia,   cacat  tetap,  atau luka-luka
      sebagaimana     dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1)
      ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

(2)   Jumlah ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) adalah jumlah ganti kerugian yang diberikan oleh
      badan usaha angkutan udara niaga di luar ganti kerugian
      yang diberikan oleh lembaga asuransi yang ditetapkan
      oleh Pemerintah.

                   Pasal 166

Pengangkut dan penumpang dapat membuat persetujuan
khusus untuk menetapkan jumlah ganti kerugian yang lebih
tinggi dari jumlah ganti kerugian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 165 ayat (1).
                   Pasal 167

Jumlah ganti kerugian untuk bagasi kabin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 143 ditetapkan setinggi-tingginya
sebesar kerugian nyata penumpang.
                   Pasal 168
(1)   Jumlah ganti kerugian untuk setiap bagasi tercatat dan
      kargo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 dan Pasal
      145 ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

(2)   Besarnya ganti kerugian untuk kerusakan atau
      kehilangan sebagian atau seluruh bagasi tercatat
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 atau kargo
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 dihitung
      berdasarkan berat bagasi tercatat atau kargo yang dikirim
      yang hilang, musnah, atau rusak.

                                                 (3) Apabila . . .
                      - 67 -



(3)   Apabila    kerusakan     atau    kehilangan     sebagian
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
      seluruh bagasi atau seluruh kargo tidak dapat digunakan
      lagi, pengangkut bertanggung jawab berdasarkan seluruh
      berat bagasi atau kargo yang tidak dapat digunakan
      tersebut.

                   Pasal 169

Pengangkut dan penumpang dapat membuat persetujuan
khusus untuk menetapkan jumlah ganti kerugian yang lebih
tinggi dari jumlah ganti kerugian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 168 ayat (1).

                   Pasal 170

Jumlah ganti kerugian untuk setiap keterlambatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri.

                   Pasal 171

Dalam hal orang yang dipekerjakan atau mitra usaha yang
bertindak atas nama pengangkut digugat untuk membayar
ganti kerugian untuk kerugian yang timbul karena tindakan
yang dilakukan di luar batas kewenangannya, menjadi
tanggung jawab yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

                   Pasal 172

(1)   Besaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 165, Pasal 168, dan Pasal 170 dievaluasi paling
      sedikit satu kali dalam satu tahun oleh Menteri.

(2)   Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan
      pada:
      a. tingkat hidup yang layak rakyat Indonesia;
      b. kelangsungan hidup badan usaha angkutan udara
         niaga;
      c. tingkat inflasi kumulatif;
      d. pendapatan per kapita; dan
      e. perkiraan usia harapan hidup.
                                           (3) Berdasarkan . . .
                      - 68 -



(3)   Berdasarkan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1), dapat dilakukan perubahan besaran ganti kerugian,
      setelah mempertimbangkan saran dan masukan dari
      menteri yang membidangi urusan keuangan.

(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran ganti kerugian
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
      Peraturan Menteri.

                Paragraf 5
Pihak yang Berhak Menerima Ganti Kerugian

                   Pasal 173

(1)   Dalam hal seorang penumpang meninggal dunia
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1), yang
      berhak menerima ganti kerugian adalah ahli waris
      penumpang tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan
      perundang-undangan.

(2)   Dalam hal tidak ada ahli waris yang berhak menerima
      ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
      badan usaha angkutan udara niaga menyerahkan ganti
      kerugian kepada negara setelah dikurangi biaya
      pengurusan jenazah sesuai dengan ketentuan peraturan
      perundang-undangan.


                 Paragraf 6
        Jangka Waktu Pengajuan Klaim

                   Pasal 174

(1)   Klaim atas kerusakan bagasi tercatat harus diajukan
      pada saat bagasi tercatat diambil oleh penumpang.

(2)   Klaim atas keterlambatan atau tidak diterimanya bagasi
      tercatat harus diajukan pada saat bagasi tercatat
      seharusnya diambil oleh penumpang.

(3)   Bagasi tercatat dinyatakan hilang setelah 14 (empat belas)
      hari kalender terhitung sejak tiba di tempat tujuan.

(4)   Klaim atas kehilangan bagasi tercatat diajukan setelah
      jangka waktu 14 (empat belas) hari kalender sebagaimana
      dimaksud pada ayat (3) terlampaui.

                                                  Pasal 175 . . .
                      - 69 -


                   Pasal 175
(1)   Klaim atas kerusakan kargo harus diajukan pada saat
      kargo diambil oleh penerima kargo.
(2)   Klaim atas keterlambatan atau tidak diterimanya kargo
      harus diajukan pada saat kargo seharusnya diambil oleh
      penerima kargo.
(3)   Kargo dinyatakan hilang setelah 14 (empat belas) hari
      kalender terhitung sejak tiba di tempat tujuan.
(4)   Klaim atas kehilangan kargo diajukan setelah jangka
      waktu 14 (empat belas) hari kalender sebagaimana
      dimaksud pada ayat (3) terlampaui.

                  Paragraf 7
                 Hal Gugatan
                   Pasal 176
Penumpang, pemilik bagasi kabin, pemilik bagasi tercatat,
pengirim kargo, dan/atau ahli waris penumpang, yang
menderita kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 141,
Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, dan Pasal 173 dapat
mengajukan gugatan terhadap pengangkut di pengadilan
negeri di wilayah Indonesia dengan menggunakan hukum
Indonesia.
                   Pasal 177
Hak untuk menggugat kerugian yang diderita penumpang
atau pengirim kepada pengangkut dinyatakan kedaluwarsa
dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung mulai tanggal
seharusnya kargo dan bagasi tersebut tiba di tempat tujuan.

                Paragraf 8
 Pernyataan Kemungkinan Meninggal Dunia
 bagi Penumpang Pesawat Udara yang Hilang

                   Pasal 178

(1)   Penumpang yang berada dalam pesawat udara yang
      hilang, dianggap telah meninggal dunia, apabila dalam
      jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah tanggal pesawat udara
      seharusnya mendarat di tempat tujuan akhir tidak
      diperoleh kabar mengenai hal ihwal penumpang tersebut,
      tanpa diperlukan putusan pengadilan.

                                                    (2) Hak . . .
                     - 70 -



(2)   Hak penerimaan ganti kerugian dapat diajukan setelah
      lewat jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1).


                 Paragraf 9
                Wajib Asuransi

                  Pasal 179

Pengangkut wajib mengasuransikan tanggung jawabnya
terhadap penumpang dan kargo yang diangkut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 141, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145,
dan Pasal 146.

                  Pasal 180

Besarnya pertanggungan asuransi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 179 sekurang-kurangnya harus sama dengan
jumlah ganti kerugian yang ditentukan dalam Pasal 165, Pasal
168, dan Pasal 170.


                Paragraf 10
   Tanggung Jawab pada Angkutan Udara
 oleh Beberapa Pengangkut Berturut ­ turut

                  Pasal 181

(1)   Pengangkutan yang dilakukan berturut-turut oleh
      beberapa    pengangkut    dianggap    sebagai      satu
      pengangkutan, dalam hal diperjanjikan sebagai satu
      perjanjian angkutan udara oleh pihak­pihak yang
      bersangkutan dengan tanggung jawab sendiri-sendiri atau
      bersama-sama.

(2)   Dalam hal tidak ada perjanjian oleh pihak-pihak yang
      bersangkutan, kerugian yang diderita penumpang,
      pengirim, dan/atau penerima kargo menjadi tanggung
      jawab pihak pengangkut yang mengeluarkan dokumen
      angkutan.

                                              Paragraf 11 . . .
                       - 71 -


                Paragraf 11
   Tanggung Jawab pada Angkutan Intermoda
                    Pasal 182
  (1)   Pengangkut hanya bertanggung jawab terhadap kerugian
        yang terjadi dalam kegiatan angkutan udara dalam hal
        pengangkutan dilakukan melalui angkutan intermoda.

  (2)   Dalam hal angkutan intermoda sebagaimana dimaksud
        pada ayat (1), para pihak pengangkut menggunakan 1
        (satu) dokumen angkutan, tanggung jawab dibebankan
        kepada pihak yang menerbitkan dokumen.


                   Paragraf 12
         Tanggung Jawab Pengangkut Lain

                    Pasal 183

  Tanggung jawab pengangkut sebagaimana dimaksud dalam
  Pasal 141, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, dan Pasal 146
  berlaku juga bagi angkutan udara yang dilaksanakan oleh
  pihak     pengangkut lain yang mengadakan perjanjian
  pengangkutan selain pengangkut.


                  Paragraf 13
Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap Pihak Ketiga

                    Pasal 184

  (1)   Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara
        bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita pihak
        ketiga yang diakibatkan oleh pengoperasian pesawat
        udara, kecelakaan pesawat udara, atau jatuhnya benda-
        benda lain dari pesawat udara yang dioperasikan.

  (2)   Ganti kerugian terhadap kerugian yang diderita pihak
        ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
        sesuai dengan kerugian nyata yang dialami.

  (3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan besaran
        ganti kerugian, persyaratan, dan tata cara untuk
        memperoleh ganti kerugian diatur dengan Peraturan
        Menteri.

                                                  Pasal 185 . . .
                     - 72 -



                  Pasal 185

Pengangkut dapat menuntut pihak ketiga yang mengakibatkan
timbulnya kerugian terhadap penumpang, pengirim, atau
penerima kargo yang menjadi tanggung jawab pengangkut.


                 Paragraf 14
             Persyaratan Khusus

                  Pasal 186

(1)   Pengangkut    dilarang   membuat    perjanjian atau
      persyaratan khusus yang meniadakan tanggung jawab
      pengangkut atau menentukan batas yang lebih rendah
      dari batas ganti kerugian yang diatur dalam Undang-
      Undang ini.

(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung         jawab
      pengangkut diatur dengan Peraturan Menteri.


              Bagian Kesembilan
             Angkutan Multimoda

                  Pasal 187

(1)   Angkutan udara dapat merupakan bagian angkutan
      multimoda yang dilaksanakan oleh badan usaha
      angkutan multimoda.

(2)   Kegiatan angkutan udara dalam angkutan multimoda
      dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang dibuat antara
      badan usaha angkutan udara dan badan usaha angkutan
      multimoda, dan/atau badan usaha moda lainnya.

                  Pasal 188

Angkutan multimoda dilakukan oleh badan usaha yang telah
mendapat izin untuk melakukan angkutan multimoda dari
Menteri.

                                               Pasal 189 . . .
                     - 73 -


                  Pasal 189

(1)   Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188
      bertanggung jawab (liability) terhadap barang kiriman
      sejak diterima sampai diserahkan kepada penerima
      barang.

(2)   Tanggung jawab angkutan multimoda sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) meliputi kehilangan atau
      kerusakan yang terjadi pada barang serta keterlambatan
      penyerahan barang.

(3)   Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      dapat dikecualikan dalam hal badan usaha angkutan
      multimoda atau agennya dapat membuktikan telah
      dilaksanakannya segala prosedur untuk mencegah
      terjadinya  kehilangan,   kerusakan barang,  serta
      keterlambatan penyerahan barang.

(4)   Tanggung jawab badan usaha angkutan multimoda
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat terbatas.

                  Pasal 190

Badan usaha angkutan multimoda wajib mengasuransikan
tanggung jawabnya.

                  Pasal 191

Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda diatur
dengan Peraturan Pemerintah.


                 BAB XI
            KEBANDARUDARAAN

                Bagian Kesatu
                   Umum

                  Pasal 192

Bandar udara terdiri atas:
a. bandar udara umum, yang selanjutnya disebut bandar
   udara; dan
b. bandar udara khusus.

                                           Bagian Kedua . . .
                      - 74 -


                Bagian Kedua
      Tatanan Kebandarudaraan Nasional
                   Pasal 193
(1)   Tatanan kebandarudaraan nasional diwujudkan dalam
      rangka penyelenggaraan bandar udara yang andal,
      terpadu, efisien, serta mempunyai daya saing global
      untuk menunjang pembangunan nasional dan daerah
      yang ber-Wawasan Nusantara.
(2)   Tatanan       kebandarudaraan nasional sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) merupakan sistem perencanaan
      kebandarudaraan        nasional yang menggambarkan
      interdependensi, interrelasi, dan sinergi antar-unsur yang
      meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia,
      geografis, potensi ekonomi, dan pertahanan keamanan
      dalam rangka mencapai tujuan nasional.
(3)   Tatanan    kebandarudaraan     nasional   sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) memuat:
      a. peran, fungsi, penggunaan, hierarki, dan klasifikasi
         bandar udara; serta
      b. rencana induk nasional bandar udara.
                   Pasal 194
Bandar udara memiliki peran sebagai:
a. simpul dalam jaringan transportasi sesuai dengan
   hierarkinya;
b. pintu gerbang kegiatan perekonomian;
c. tempat kegiatan alih moda transportasi;
d. pendorong dan penunjang kegiatan industri dan/atau
   perdagangan;
e. pembuka      isolasi  daerah,   pengembangan daerah
   perbatasan, dan penanganan bencana; serta
f. prasarana memperkukuh Wawasan Nusantara dan
   kedaulatan negara.
                   Pasal 195

Bandar udara berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan
kegiatan:
a. pemerintahan; dan/atau
b. pengusahaan.

                                                  Pasal 196 . . .
                     - 75 -


                  Pasal 196

Penggunaan bandar udara terdiri atas         bandar   udara
internasional dan bandar udara domestik.
                  Pasal 197
(1)   Hierarki bandar udara terdiri atas bandar udara
      pengumpul (hub) dan bandar udara pengumpan (spoke).
(2)   Bandar udara pengumpul sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1), terdiri atas bandar udara pengumpul dengan
      skala pelayanan primer, sekunder, dan tersier.
(3)   Bandar udara pengumpan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) merupakan bandar udara tujuan atau penunjang
      dari bandar udara pengumpul dan merupakan salah satu
      prasarana penunjang pelayanan kegiatan lokal.
                  Pasal 198
Klasifikasi bandar udara terdiri atas beberapa kelas bandar
udara yang ditetapkan berdasarkan kapasitas pelayanan dan
kegiatan operasional bandar udara.

                  Pasal 199

(1)   Rencana induk nasional bandar udara sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 193 ayat (3) huruf b merupakan
      pedoman dalam penetapan lokasi, penyusunan rencana
      induk, pembangunan, pengoperasian, dan pengembangan
      bandar udara.

(2)   Rencana induk nasional bandar udara sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) disusun dengan memperhatikan:
      a. rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata
         ruang wilayah provinsi, rencana tata ruang wilayah
         kabupaten/kota;
      b. potensi dan perkembangan sosial ekonomi wilayah;
      c. potensi sumber daya alam;
      d. perkembangan lingkungan strategis, baik nasional
         maupun internasional;
      e. sistem transportasi nasional;
      f. keterpaduan intermoda dan multimoda; serta
      g. peran bandar udara.

                                            (3) Rencana . . .
                      - 76 -


(3)   Rencana induk nasional bandar udara memuat:
      a. kebijakan nasional bandar udara; dan
      b. rencana lokasi bandar udara beserta penggunaan,
         hierarki, dan klasifikasi bandar udara.
                   Pasal 200
(1)   Menteri menetapkan tatanan kebandarudaraan nasional
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 untuk jangka
      waktu 20 (dua puluh) tahun.
(2)   Tatanan     kebandarudaraan   nasional   sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali 1 (satu)
      kali dalam 5 (lima) tahun.
(3)   Dalam hal terjadi perubahan kondisi lingkungan strategis,
      tatanan kebandarudaraan nasional dapat ditinjau lebih
      dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
      penetapan tatanan kebandarudaraan diatur dengan
      Peraturan Menteri.

                Bagian Ketiga
        Penetapan Lokasi Bandar Udara

                   Pasal 201

(1)   Lokasi bandar udara ditetapkan oleh Menteri.

(2)   Penetapan lokasi bandar udara sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) memuat:
      a. titik koordinat bandar udara; dan
      b. rencana induk bandar udara.

(3)   Penetapan lokasi bandar udara sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan:
      a. rencana induk nasional bandar udara;
      b. keselamatan dan keamanan penerbangan;
      c. keserasian dan keseimbangan dengan budaya
         setempat dan kegiatan lain terkait di lokasi bandar
         udara;
      d. kelayakan ekonomis, finansial, sosial, pengembangan
         wilayah, teknis pembangunan, dan pengoperasian;
         serta
      e. kelayakan lingkungan.

                                                 Pasal 202 . . .
                      - 77 -


                   Pasal 202

Rencana induk bandar udara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 201 ayat (2) huruf b paling sedikit memuat:
a. prakiraan permintaan kebutuhan pelayanan penumpang
    dan kargo;
b. kebutuhan fasilitas;
c. tata letak fasilitas;
d. tahapan pelaksanaan pembangunan;
e. kebutuhan dan pemanfaatan lahan;
f.  daerah lingkungan kerja;
g. daerah lingkungan kepentingan;
h. kawasan keselamatan operasi penerbangan; dan
i.  batas kawasan kebisingan.

                   Pasal 203

(1)   Daerah lingkungan kerja bandar udara sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 202 huruf f merupakan daerah
      yang dikuasai badan usaha bandar udara atau unit
      penyelenggara bandar udara, yang digunakan untuk
      pelaksanaan     pembangunan,      pengembangan, dan
      pengoperasian fasilitas bandar udara.

(2)   Pada daerah lingkungan kerja bandar udara yang telah
      ditetapkan, dapat diberikan hak pengelolaan atas tanah
      dan/atau pemanfaatan perairan sesuai dengan ketentuan
      peraturan perundang-undangan.

                   Pasal 204

(1)   Dalam pelayanan kegiatan angkutan udara dapat
      ditetapkan tempat pelaporan keberangkatan (city check in
      counter) di luar daerah lingkungan kerja bandar udara
      yang ditetapkan oleh Menteri.

(2)   Tempat pelaporan keberangkatan (city check in counter)
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian
      yang tidak terpisahkan dari daerah lingkungan kerja
      bandar udara dan harus memperhatikan aspek keamanan
      penerbangan.

                                                Pasal 205 . . .
                     - 78 -



                  Pasal 205

(1)   Daerah   lingkungan    kepentingan     bandar    udara
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf g
      merupakan daerah di luar lingkungan kerja bandar udara
      yang digunakan untuk menjamin keselamatan dan
      keamanan penerbangan, serta kelancaran aksesibilitas
      penumpang dan kargo.

(2)   Pemanfaatan daerah lingkungan kepentingan bandar
      udara harus mendapatkan persetujuan dari Menteri.

                  Pasal 206

Kawasan keselamatan operasi penerbangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 202 huruf h terdiri atas:
a. kawasan ancangan pendaratan dan lepas landas;
b. kawasan kemungkinan bahaya kecelakaan;
c. kawasan di bawah permukaan transisi;
d. kawasan di bawah permukaan horizontal-dalam;
e. kawasan di bawah permukaan kerucut; dan
f.  kawasan di bawah permukaan horizontal-luar.

                  Pasal 207

Batas kawasan kebisingan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 202 huruf i merupakan kawasan tertentu di sekitar
bandar udara yang terpengaruh gelombang suara mesin
pesawat udara yang terdiri atas:
a. kebisingan tingkat I;
b. kebisingan tingkat II; dan
c. kebisingan tingkat III.

                  Pasal 208

(1)   Untuk mendirikan, mengubah, atau melestarikan
      bangunan, serta menanam atau memelihara pepohonan
      di dalam kawasan keselamatan operasi penerbangan tidak
      boleh melebihi batas ketinggian kawasan keselamatan
      operasi penerbangan.

                                         (2) Pengecualian . . .
                      - 79 -


(2)   Pengecualian terhadap ketentuan mendirikan, mengubah,
      atau melestarikan bangunan sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) harus mendapat persetujuan Menteri, dan
      memenuhi ketentuan sebagai berikut:
      a. merupakan fasilitas yang mutlak diperlukan untuk
         operasi penerbangan;
      b. memenuhi kajian khusus aeronautika; dan
      c. sesuai dengan ketentuan teknis keselamatan operasi
         penerbangan.

(3)   Bangunan yang melebihi batasan sebagaimana dimaksud
      pada ayat (2) wajib diinformasikan melalui pelayanan
      informasi aeronautika (aeronautical information service).

                   Pasal 209

Batas   daerah    lingkungan   kerja,  daerah   lingkungan
kepentingan, kawasan keselamatan operasi penerbangan, dan
batas kawasan kebisingan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 202 huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf i ditetapkan
dengan koordinat geografis.

                   Pasal 210

Setiap orang dilarang berada di daerah tertentu di bandar
udara, membuat halangan (obstacle), dan/atau melakukan
kegiatan lain di kawasan keselamatan operasi penerbangan
yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan
penerbangan, kecuali memperoleh izin dari otoritas bandar
udara.

                   Pasal 211

(1)   Untuk    menjamin     keselamatan    dan   keamanan
      penerbangan serta pengembangan bandar udara,
      pemerintah   daerah    wajib  mengendalikan   daerah
      lingkungan kepentingan bandar udara.

(2)   Untuk mengendalikan daerah lingkungan kepentingan
      bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
      pemerintah daerah wajib menetapkan rencana rinci tata
      ruang kawasan di sekitar bandar udara dengan
      memperhatikan rencana induk bandar udara dan rencana
      induk nasional bandar udara.

                                                 Pasal 212 . . .
                      - 80 -


                   Pasal 212

Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya menjamin tersedianya aksesibilitas dan
utilitas untuk menunjang pelayanan bandar udara.

                   Pasal 213

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
penetapan lokasi bandar udara dan tempat pelayanan
penunjang di luar daerah lingkungan kerja diatur dengan
Peraturan Menteri.

              Bagian Keempat
         Pembangunan Bandar Udara

                   Pasal 214

Bandar udara sebagai bangunan gedung dengan fungsi
khusus, pembangunannya wajib memperhatikan ketentuan
keselamatan dan keamanan penerbangan, mutu pelayanan
jasa   kebandarudaraan,   kelestarian lingkungan, serta
keterpaduan intermoda dan multimoda.

                   Pasal 215

(1)   Izin mendirikan bangunan bandar udara ditetapkan oleh
      Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah
      daerah.

(2)   Izin mendirikan bangunan bandar udara sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) diterbitkan setelah memenuhi
      persyaratan:
      a. bukti kepemilikan dan/atau penguasaan lahan;
      b. rekomendasi yang diberikan oleh instansi terkait
          terhadap     utilitas  dan      aksesibilitas  dalam
          penyelenggaraan bandar udara;
      c. bukti penetapan lokasi bandar udara;
      d. rancangan teknik terinci fasilitas pokok bandar udara;
          dan
      e. kelestarian lingkungan.

                                                 Pasal 216 . . .
                      - 81 -


                   Pasal 216
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan bandar udara
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
               Bagian Kelima
         Pengoperasian Bandar Udara
                    Paragraf 1
        Sertifikasi Operasi Bandar Udara
                   Pasal 217
(1)   Setiap bandar udara yang dioperasikan wajib memenuhi
      ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan,
      serta ketentuan pelayanan jasa bandar udara.

(2)   Bandar udara yang telah memenuhi ketentuan
      keselamatan penerbangan, Menteri memberikan:
      a. sertifikat bandar udara, untuk bandar udara yang
         melayani pesawat udara dengan kapasitas lebih dari
         30 (tiga puluh) tempat duduk atau dengan berat
         maksimum tinggal landas lebih dari 5.700 (lima ribu
         tujuh ratus) kilogram; atau
      b. register bandar udara, untuk bandar udara yang
         melayani pesawat udara dengan kapasitas maksimum
         30 (tiga puluh) tempat duduk atau dengan berat
         maksimum tinggal landas sampai dengan 5.700 (lima
         ribu tujuh ratus) kilogram.
(3)   Sertifikat bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat
      (2) huruf a, diberikan setelah bandar udara memiliki buku
      pedoman pengoperasian bandar udara (aerodrome
      manual) yang memenuhi persyaratan teknis tentang:
      a. personel;
      b. fasilitas;
      c. prosedur operasi bandar udara; dan
      d. sistem manajemen keselamatan operasi bandar udara.
(4)   Register bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat
      (2) huruf b diberikan setelah bandar udara memiliki buku
      pedoman pengoperasian bandar udara yang memenuhi
      persyaratan teknis tentang:
      a. personel;
      b. fasilitas; dan
      c. prosedur operasi bandar udara.
                                                 (5) Setiap . . .
                      - 82 -


(5)   Setiap orang yang mengoperasikan bandar udara tidak
      memenuhi ketentuan pelayanan jasa bandar udara
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi
      administratif berupa:
      a. peringatan;
      b. penurunan tarif jasa bandar udara; dan/atau
      c. pencabutan sertifikat.
                   Pasal 218
Ketentuan lebih lanjut mengenai keselamatan dan keamanan
penerbangan, pelayanan jasa bandar udara, serta tata cara
dan prosedur untuk memperoleh sertifikat bandar udara atau
register bandar udara dan pengenaan sanksi administratif
diatur dengan Peraturan Menteri.
                   Paragraf 2
            Fasilitas Bandar Udara
                   Pasal 219
(1)   Setiap  badan    usaha   bandar    udara   atau    unit
      penyelenggara bandar udara wajib menyediakan fasilitas
      bandar udara yang memenuhi persyaratan keselamatan
      dan keamanan penerbangan, serta pelayanan jasa bandar
      udara sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan.
(2)   Setiap fasilitas bandar udara sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) diberi sertifikat kelaikan oleh Menteri.
(3)   Untuk mempertahankan kesiapan fasilitas bandar udara,
      badan usaha bandar udara, atau unit penyelenggara
      bandar udara wajib melakukan perawatan dalam jangka
      waktu tertentu dengan cara pengecekan, tes, verifikasi,
      dan/atau kalibrasi.
(4)   Untuk menjaga dan meningkatkan kinerja fasilitas,
      prosedur, dan personel, badan usaha bandar udara atau
      unit penyelenggara bandar udara wajib melakukan
      pelatihan penanggulangan keadaan darurat secara
      berkala.
(5)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) dikenakan
      sanksi administratif berupa:
      a. peringatan;
      b. pembekuan sertifikat; dan/atau
      c. pencabutan sertifikat.
                                                Pasal 220 . . .
                      - 83 -


                   Pasal 220
(1)   Pengoperasian bandar udara sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 217 ayat (1) wajib dilakukan oleh tenaga
      manajerial yang memiliki kemampuan dan kompetensi
      operasi dan manajerial di bidang teknis dan/atau operasi
      bandar udara.
(2)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif
      berupa:
      a. peringatan;
      b. pembekuan sertifikat; dan/atau
      c. pencabutan sertifikat.
                   Pasal 221

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoperasian fasilitas
bandar udara serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi
administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

                  Paragraf 3
            Personel Bandar Udara

                   Pasal 222

(1)   Setiap personel bandar udara wajib memiliki lisensi atau
      sertifikat kompetensi.

(2)   Personel bandar udara yang terkait langsung dengan
      pelaksanaan pengoperasian dan/atau pemeliharaan
      fasilitas bandar udara wajib memiliki lisensi yang sah dan
      masih berlaku.

(3)   Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan
      oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan:
      a. administratif;
      b. sehat jasmani dan rohani;
      c. memiliki sertifikat kompetensi di bidangnya; dan
      d. lulus ujian.

(4)   Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat
      (3) huruf c diperoleh melalui pendidikan dan/atau
      pelatihan yang diselenggarakan lembaga yang telah
      diakreditasi oleh Menteri.

                                                  Pasal 223 . . .
                       - 84 -


                    Pasal 223

(1)    Personel bandar udara yang telah memiliki lisensi wajib:
       a. melaksanakan pekerjaan sesuai dengan ketentuan di
          bidangnya;
       b. mempertahankan kemampuan yang dimiliki; dan
       c. melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala.

(2)    Personel bandar udara yang melanggar ketentuan
       sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi
       administratif berupa:
       a. peringatan;
       b. pembekuan lisensi; dan/atau
       c. pencabutan lisensi.

                    Pasal 224

Lisensi personel bandar udara yang diberikan oleh negara lain
dinyatakan sah melalui proses pengesahan atau validasi oleh
Menteri.

                    Pasal 225

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan
prosedur memperoleh lisensi, lembaga pendidikan dan/atau
pelatihan, serta pengenaan sanksi administratif diatur dengan
Peraturan Menteri.

              Bagian Keenam
 Penyelenggaraan Kegiatan di Bandar Udara

                    Paragraf 1
      Kegiatan Pemerintahan di Bandar Udara

                    Pasal 226

(1)    Kegiatan pemerintahan di bandar udara meliputi:
       a. pembinaan kegiatan penerbangan;
       b. kepabeanan;
       c. keimigrasian; dan
       d. kekarantinaan.

                                              (2) Pembinaan . . .
                     - 85 -


(2)   Pembinaan kegiatan penerbangan di bandar udara,
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
      otoritas bandar udara.
(3)   Fungsi kepabeanan, keimigrasian, dan kekarantinaan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
      dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pemerintahan
      di bandar udara diatur dengan Peraturan Menteri.

                  Paragraf 2
            Otoritas Bandar Udara
                  Pasal 227
(1)   Otoritas bandar udara ditetapkan oleh dan bertanggung
      jawab kepada Menteri.
(2)   Otoritas bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) dapat dibentuk untuk satu atau beberapa bandar
      udara terdekat.
(3)   Otoritas bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) dalam melaksanakan tugasnya berkoordinasi dengan
      pemerintah daerah setempat.
                  Pasal 228

Otoritas bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
227 ayat (1) mempunyai tugas dan tanggung jawab:
a. menjamin keselamatan, keamanan, kelancaran, dan
    kenyamanan di bandar udara;
b. memastikan terlaksana dan terpenuhinya ketentuan
    keselamatan dan keamanan penerbangan, kelancaran,
    dan kenyamanan di bandar udara;
c. menjamin terpeliharanya pelestarian lingkungan bandar
    udara;
d. menyelesaikan masalah-masalah yang dapat mengganggu
    kelancaran kegiatan operasional bandar udara yang
    dianggap tidak dapat diselesaikan oleh instansi lainnya;
e. melaporkan kepada pimpinan tertingginya dalam hal
    pejabat instansi di bandar udara, melalaikan tugas dan
    tanggungjawabnya serta mengabaikan dan/atau tidak
    menjalankan kebijakan dan peraturan yang ada di bandar
    udara; dan

                                           f. melaporkan . . .
                    - 86 -


f.   melaporkan pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya
     kepada Menteri.

                 Pasal 229

Otoritas bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
227 ayat (1) mempunyai wewenang:
a. mengkoordinasikan kegiatan pemerintahan di bandar
    udara;
b. mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pelaksanaan
    ketentuan keselamatan, keamanan, kelancaran, serta
    kenyamanan penerbangan di bandar udara;
c. mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pelaksanaan
    ketentuan pelestarian lingkungan;
d. mengatur, mengendalikan, dan mengawasi penggunaan
    lahan daratan dan/atau perairan bandar udara sesuai
    dengan rencana induk bandar udara;
e. mengatur, mengendalikan, dan mengawasi penggunaan
    kawasan keselamatan operasional penerbangan dan
    daerah lingkungan kerja bandar udara serta daerah
    lingkungan kepentingan bandar udara;
f.   mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pelaksanaan
    standar kinerja operasional pelayanan jasa di bandar
    udara; dan
g. memberikan sanksi administratif kepada badan usaha
    bandar udara, unit penyelenggara bandar udara,
    dan/atau badan usaha lainnya yang tidak memenuhi
    ketentuan keselamatan, keamanan, kelancaran serta
    kenyamanan penerbangan sesuai dengan peraturan
    perundang-undangan.

                 Pasal 230

Aparat otoritas bandar udara merupakan pegawai negeri sipil
yang memiliki kompetensi di bidang penerbangan sesuai
dengan standar dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri.

                 Pasal 231

Ketentuan lebih lanjut mengenai otoritas bandar udara diatur
dengan Peraturan Menteri.


                                              Paragraf 3 . . .
                        - 87 -


                    Paragraf 3
      Kegiatan Pengusahaan di Bandar Udara
                     Pasal 232
(1)    Kegiatan pengusahaan bandar udara terdiri atas:
       a. pelayanan jasa kebandarudaraan; dan
       b. pelayanan jasa terkait bandar udara.
(2)    Pelayanan jasa kebandarudaraan sebagaimana dimaksud
       pada ayat (1) huruf a meliputi pelayanan jasa pesawat
       udara, penumpang, barang, dan pos yang terdiri atas
       penyediaan dan/atau pengembangan:
       a. fasilitas untuk kegiatan pelayanan pendaratan, lepas
          landas, manuver, parkir, dan penyimpanan pesawat
          udara;
       b. fasilitas   terminal     untuk     pelayanan    angkutan
          penumpang, kargo, dan pos;
       c. fasilitas elektronika, listrik, air, dan instalasi limbah
          buangan; dan
       d. lahan untuk bangunan, lapangan, dan industri serta
          gedung atau bangunan yang berhubungan dengan
          kelancaran angkutan udara.

(3)    Pelayanan jasa terkait bandar udara sebagaimana
       dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi kegiatan:
       a. jasa terkait untuk menunjang kegiatan pelayanan
          operasi pesawat udara di bandar udara, terdiri atas:
          1) penyediaan hanggar pesawat udara;
          2) perbengkelan pesawat udara;
          3) pergudangan;
          4) katering pesawat udara;
          5) pelayanan teknis penanganan pesawat udara di
             darat (ground handling);
          6) pelayanan penumpang dan bagasi; serta
          7) penanganan kargo dan pos.
       b. jasa terkait untuk menunjang kegiatan pelayanan
          penumpang dan barang, terdiri atas:
          1) penyediaan penginapan/hotel dan transit hotel;
          2) penyediaan toko dan restoran;
          3) penyimpanan kendaraan bermotor;
          4) pelayanan kesehatan;
                                                  5) perbankan . . .
                       - 88 -



           5) perbankan dan/atau penukaran uang; dan
           6) transportasi darat.

      c.   jasa terkait untuk memberikan nilai tambah bagi
           pengusahaan bandar udara, terdiri atas:
           1) penyediaan tempat bermain dan rekreasi;
           2) penyediaan fasilitas perkantoran;
           3) penyediaan fasilitas olah raga;
           4) penyediaan fasiltas pendidikan dan pelatihan;
           5) pengisian bahan bakar kendaraan bermotor; dan
           6) periklanan.

                    Pasal 233

(1)    Pelayanan jasa kebandarudaraan sebagaimana dimaksud
       dalam Pasal 232 ayat (2) dapat diselenggarakan oleh:
       a. badan usaha bandar udara untuk bandar udara yang
          diusahakan secara komersial setelah memperoleh izin
          dari Menteri; atau
       b. unit penyelenggara bandar udara untuk bandar udara
          yang belum diusahakan secara komersial yang
          dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada
          pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

(2)    Izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
       diberikan setelah memenuhi persyaratan administrasi,
       keuangan, dan manajemen.

(3)    Izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
       tidak dapat dipindahtangankan.

(4)    Pelayanan jasa terkait dengan bandar udara sebagaimana
       dimaksud dalam Pasal 232 ayat (3) dapat diselenggarakan
       oleh orang perseorangan warga negara Indonesia
       dan/atau badan hukum Indonesia.

(5)    Badan usaha bandar udara yang memindahtangankan
       izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan
       sanksi administratif berupa pencabutan izin.


                                                Pasal 234 . . .
                      - 89 -


                   Pasal 234
(1)   Dalam melaksanakan pelayanan jasa kebandarudaraan
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 ayat (2), badan
      usaha bandar udara dan unit penyelenggara bandar
      udara wajib:
      a. memiliki sertifikat bandar udara atau register bandar
         udara;
      b. menyediakan fasilitas bandar udara yang laik operasi,
         serta memelihara kelaikan fasilitas bandar udara;
      c. menyediakan personel yang mempunyai kompetensi
         untuk perawatan dan pengoperasian fasilitas bandar
         udara;
      d. mempertahankan dan meningkatkan kompetensi
         personel yang merawat dan mengoperasikan fasilitas
         bandar udara;
      e. menyediakan dan memperbarui setiap prosedur
         pengoperasian dan perawatan fasilitas bandar udara;
      f. memberikan pelayanan kepada pengguna jasa bandar
         udara sesuai dengan standar pelayanan yang
         ditetapkan oleh Menteri;
      g. menyediakan fasilitas kelancaran lalu lintas personel
         pesawat udara dan petugas operasional;
      h. menjaga dan meningkatkan keselamatan, keamanan,
         kelancaran, dan kenyamanan di bandar udara;
      i. menjaga dan meningkatkan keamanan dan ketertiban
         bandar udara;
      j. memelihara kelestarian lingkungan;
      k. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan;
      l. melakukan pengawasan dan pengendalian secara
         internal atas kelaikan fasilitas bandar udara,
         pelaksanaan prosedur perawatan dan pengoperasian
         fasilitas bandar udara, serta kompetensi personel
         bandar udara; dan
      m. memberikan laporan secara berkala kepada Menteri
         dan otoritas bandar udara.
(2)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif
      berupa:
      a. peringatan;
      b. pembekuan izin; dan/atau
      c. pencabutan izin.
                                                Pasal 235 . . .
                     - 90 -


                  Pasal 235
(1)   Pelayanan jasa kebandarudaraan yang dilaksanakan oleh
      badan usaha bandar udara diselenggarakan berdasarkan
      konsesi dan/atau bentuk lainnya sesuai ketentuan
      peraturan perundang-undangan diberikan oleh Menteri
      dan dituangkan dalam perjanjian.
(2)   Hasil konsesi dan/atau bentuk lainnya sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) merupakan pendapatan negara
      sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
                  Pasal 236
Badan usaha bandar udara dapat menyelenggarakan 1 (satu)
atau lebih bandar udara yang diusahakan secara komersial.
                  Pasal 237
(1)   Pengusahaan bandar udara sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 232 ayat (1) yang dilakukan oleh badan
      usaha bandar udara, seluruh atau sebagian besar
      modalnya harus dimiliki oleh badan hukum Indonesia
      atau warga negara Indonesia.
(2)   Dalam hal modal badan usaha bandar udara yang dimiliki
      oleh badan hukum Indonesia atau warga negara
      Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbagi
      atas beberapa pemilik modal, salah satu pemilik modal
      nasional harus tetap lebih besar dari keseluruhan
      pemegang modal asing.
                  Pasal 238
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pengusahaan di
bandar udara, serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi
administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

               Bagian Ketujuh
        Pelayanan dan Fasilitas Khusus

                  Pasal 239

(1)   Penyandang cacat, orang sakit, lanjut usia, dan anak-
      anak berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan
      dan fasilitas khusus dari badan usaha bandar udara atau
      unit penyelenggara bandar udara.

                                            (2) Pelayanan . . .
                      - 91 -


(2)   Pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
      a. pemberian prioritas pelayanan di terminal;
      b. menyediakan fasilitas untuk penyandang cacat selama
         di terminal;
      c. sarana bantu bagi orang sakit;
      d. menyediakan fasilitas untuk ibu merawat bayi
         (nursery);
      e. tersedianya personel yang khusus bertugas untuk
         melayani atau berkomunikasi dengan penyandang
         cacat, orang sakit, dan lanjut usia; serta
      f. tersedianya    informasi    atau     petunjuk   tentang
         keselamatan bangunan bagi penumpang di terminal
         dan sarana lain yang dapat dimengerti oleh
         penyandang cacat, orang sakit, dan lanjut usia.

(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan berupa
      perlakuan dan fasilitas khusus diatur dengan Peraturan
      Menteri.


              Bagian Kedelapan
        Tanggung Jawab Ganti Kerugian

                   Pasal 240

(1)   Badan usaha bandar udara bertanggung jawab terhadap
      kerugian yang diderita oleh pengguna jasa bandar udara
      dan/atau    pihak    ketiga   yang  diakibatkan   oleh
      pengoperasian bandar udara.

(2)   Tanggung jawab       terhadap kerugian sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) meliputi:
      a. kematian atau luka fisik orang;
      b. musnah,    hilang,   atau    rusak peralatan yang
         dioperasikan; dan/atau
      c. dampak lingkungan di sekitar bandar udara akibat
         pengoperasian bandar udara.

(3)   Risiko  atas   tanggung     jawab    terhadap     kerugian
      sebagaimana    dimaksud       pada     ayat   (1)    wajib
      diasuransikan.

                                                   (4) Setiap . . .
                     - 92 -


(4)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi administratif
      berupa:
      a. peringatan;
      b. pembekuan sertifikat; dan/atau
      c. pencabutan sertifikat.
                  Pasal 241
Orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau     badan
usaha yang melaksanakan kegiatan di bandar             udara
bertanggung jawab untuk mengganti kerugian atas        setiap
kerusakan pada bangunan dan/atau fasilitas bandar      udara
yang diakibatkan oleh kegiatannya.
                  Pasal 242
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab atas
kerugian serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi
administratif diatur dengan Peraturan Menteri.

               Bagian Kesembilan
          Tarif Jasa Kebandarudaraan
                  Pasal 243
Setiap pelayanan jasa kebandarudaraan dan jasa terkait
dengan bandar udara dikenakan tarif sesuai dengan jasa yang
disediakan.
                  Pasal 244
(1)   Struktur dan golongan tarif jasa kebandarudaraan
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 ditetapkan oleh
      Menteri.
(2)   Besaran tarif jasa kebandarudaraan pada bandar udara
      yang diusahakan secara komersial ditetapkan oleh badan
      usaha bandar udara.
(3)   Besaran tarif jasa kebandarudaraan pada bandar udara
      yang belum diusahakan secara komersial ditetapkan
      dengan:
      a. Peraturan Pemerintah untuk bandar udara yang
         diselenggarakan oleh unit penyelenggara bandar
         udara; atau

                                             b. Peraturan . . .
                     - 93 -


      b. Peraturan daerah untuk bandar udara yang
         diselenggarakan oleh unit penyelenggara bandar udara
         pemerintah daerah.

                  Pasal 245

Besaran tarif jasa terkait pada bandar udara ditetapkan oleh
penyedia jasa terkait berdasarkan kesepakatan antara
pengguna jasa dan penyedia jasa.

                  Pasal 246

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
pengenaan tarif jasa kebandarudaraan diatur dengan
Peraturan Menteri.


              Bagian Kesepuluh
            Bandar Udara Khusus

                  Pasal 247

(1)   Dalam rangka menunjang kegiatan tertentu, Pemerintah,
      pemerintah daerah, dan/atau badan hukum Indonesia
      dapat membangun bandar udara khusus setelah
      mendapat izin pembangunan dari Menteri.

(2)   Izin pembangunan bandar udara khusus sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
      a. bukti kepemilikan dan/atau penguasaan lahan;
      b. rekomendasi yang diberikan oleh pemerintah daerah
          setempat;
      c. rancangan teknik terinci fasilitas pokok; dan
      d. kelestarian lingkungan.

(3)   Ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan pada
      bandar udara khusus berlaku sebagaimana ketentuan
      pada bandar udara.

                  Pasal 248

Pengawasan dan pengendalian pengoperasian bandar udara
khusus dilakukan oleh otoritas bandar udara terdekat yang
ditetapkan oleh Menteri.

                                                Pasal 249 . . .
                       - 94 -


                    Pasal 249
 Bandar udara khusus dilarang melayani penerbangan
 langsung dari dan/atau ke luar negeri kecuali dalam keadaan
 tertentu dan bersifat sementara, setelah memperoleh izin dari
 Menteri.
                    Pasal 250
 Bandar udara khusus dilarang digunakan untuk kepentingan
 umum kecuali dalam keadaan tertentu dengan izin Menteri,
 dan bersifat sementara.

                    Pasal 251

 Bandar udara khusus dapat berubah status menjadi bandar
 udara yang dapat melayani kepentingan umum setelah
 memenuhi persyaratan ketentuan bandar udara.

                    Pasal 252

 Ketentuan lebih lanjut mengenai izin pembangunan dan
 pengoperasian bandar udara khusus, serta perubahan status
 menjadi bandar udara yang dapat melayani kepentingan
 umum diatur dengan Peraturan Menteri.


              Bagian Kesebelas
Tempat Pendaratan dan Lepas Landas Helikopter

                    Pasal 253

 (1)   Tempat pendaratan dan lepas landas helikopter (heliport)
       terdiri atas:
       a. tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di
          daratan (surface level heliport);
       b. tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di atas
          gedung (elevated heliport); dan
       c. tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di
          perairan (helideck).

 (2)   Izin mendirikan bangunan tempat pendaratan dan lepas
       landas helikopter sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
       diberikan oleh pemerintah daerah setempat setelah
       memperoleh pertimbangan teknis dari Menteri.

                                          (3) Pertimbangan . . .
                     - 95 -


(3)   Pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      meliputi aspek:
      a. penggunaan ruang udara;
      b. rencana jalur penerbangan ke dan dari tempat
         pendaratan dan lepas landas helikopter; serta
      c. standar teknis operasional keselamatan dan keamanan
         penerbangan.
                  Pasal 254
(1)   Setiap tempat pendaratan dan lepas landas helikopter
      yang    dioperasikan  wajib   memenuhi    ketentuan
      keselamatan dan keamanan penerbangan.
(2)   Tempat pendaratan dan lepas landas helikopter yang
      telah memenuhi ketentuan keselamatan penerbangan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan register
      oleh Menteri.
                  Pasal 255

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
pemberian izin pembangunan dan pengoperasian tempat
pendaratan dan lepas landas helikopter diatur dengan
Peraturan Menteri.


             Bagian Kedua Belas
          Bandar Udara Internasional

                  Pasal 256

(1)   Menteri menetapkan beberapa bandar udara sebagai
      bandar udara internasional.

(2)   Penetapan bandar udara internasional sebagaimana
      dimaksud     pada   ayat   (1)  dilaksanakan dengan
      mempertimbangkan:
      a. rencana induk nasional bandar udara;
      b. pertahanan dan keamanan negara;
      c. pertumbuhan dan perkembangan pariwisata;
      d. kepentingan dan kemampuan angkutan udara
         nasional; serta
      e. pengembangan ekonomi nasional dan perdagangan
         luar negeri.

                                           (3) Penetapan . . .
                          - 96 -



     (3)   Penetapan bandar udara internasional oleh Menteri
           sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
           memperhatikan pertimbangan menteri terkait.

     (4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai bandar           udara
           internasional diatur dengan Peraturan Menteri.


                Bagian Ketiga Belas
Penggunaan Bersama Bandar Udara dan Pangkalan Udara

                       Pasal 257

     (1)   Dalam keadaan tertentu bandar udara dapat digunakan
           sebagai pangkalan udara.

     (2)   Dalam keadaan tertentu pangkalan udara           dapat
           digunakan bersama sebagai bandar udara.

     (3)   Penggunaan bersama suatu bandar udara atau pangkalan
           udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
           dilakukan dengan memperhatikan:
           a. kebutuhan pelayanan jasa transportasi udara;
           b. keselamatan, keamanan, dan kelancaran penerbangan;
           c. keamanan dan pertahanan negara; serta
           d. peraturan perundang-undangan.

                       Pasal 258

     (1)   Dalam keadaan damai, pangkalan udara yang digunakan
           bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 257 ayat (2)
           berlaku ketentuan penerbangan sipil.

     (2)   Pengawasan dan pengendalian penggunaan kawasan
           keselamatan operasi penerbangan pada pangkalan udara
           yang digunakan bersama dilaksanakan oleh otoritas
           bandar udara setelah mendapat persetujuan dari instansi
           terkait.

                       Pasal 259

     Bandar udara dan pangkalan udara yang digunakan secara
     bersama ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

                                         Bagian Keempat Belas . . .
                      - 97 -


             Bagian Keempat Belas
             Pelestarian Lingkungan

                    Pasal 260

(1)    Badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara
       bandar udara wajib menjaga ambang batas kebisingan
       dan pencemaran lingkungan di bandar udara dan
       sekitarnya sesuai dengan ambang batas dan baku mutu
       yang ditetapkan Pemerintah.

(2)    Untuk    menjaga    ambang    batas    kebisingan  dan
       pencemaran lingkungan sebagaimana dimaksud pada
       ayat (1), badan usaha bandar udara atau unit
       penyelenggara bandar udara dapat membatasi waktu dan
       frekuensi, atau menolak pengoperasian pesawat udara.

(3)    Untuk    menjaga   ambang     batas  kebisingan dan
       pencemaran lingkungan sebagaimana dimaksud pada
       ayat (1), badan usaha bandar udara atau unit
       penyelenggara bandar udara wajib melaksanakan
       pengelolaan dan pemantauan lingkungan.

(4)    Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat kebisingan,
       pencemaran,    serta   pemantauan    dan    pengelolaan
       lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                   BAB XII
            NAVIGASI PENERBANGAN

                 Bagian Kesatu
      Tatanan Navigasi Penerbangan Nasional

                    Pasal 261

(1)    Guna mewujudkan penyelenggaraan pelayanan navigasi
       penerbangan yang andal     dalam rangka keselamatan
       penerbangan   harus   ditetapkan   tatanan  navigasi
       penerbangan nasional.

(2)    Tatanan navigasi penerbangan nasional sebagaimana
       dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri dengan
       memperhatikan pertimbangan menteri yang membidangi
       urusan di bidang pertahanan dan Panglima Tentara
       Nasional Indonesia.

                                              (3) Penyusunan . . .
                      - 98 -



(3)   Penyusunan tatanan navigasi penerbangan nasional
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
      dengan mempertimbangkan:
      a. keselamatan operasi penerbangan;
      b. efektivitas dan efisiensi operasi penerbangan;
      c. kepadatan lalu lintas penerbangan;
      d. standar tingkat pelayanan navigasi penerbangan yang
         berlaku; dan
      e. perkembangan        teknologi    di    bidang  navigasi
         penerbangan.

(4)   Tatanan navigasi penerbangan nasional sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) memuat:
      a. ruang udara yang dilayani;
      b. klasifikasi ruang udara;
      c. jalur penerbangan; dan
      d. jenis pelayanan navigasi penerbangan.


                 Paragraf 1
          Ruang Udara Yang Dilayani

                   Pasal 262

(1)   Ruang udara yang dilayani sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 261 ayat (4) huruf a meliputi:
      a. wilayah udara Republik Indonesia, selain wilayah
         udara yang pelayanan navigasi penerbangannya
         didelegasikan kepada negara lain berdasarkan
         perjanjian;
      b. ruang udara negara lain yang pelayanan navigasi
         penerbangannya      didelegasikan kepada   Republik
         Indonesia; dan
      c. ruang udara yang pelayanan navigasi penerbangannya
         didelegasikan oleh Organisasi Penerbangan Sipil
         Internasional kepada Republik Indonesia.

(2)   Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
      dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
      perundang-undangan.

                                                  Pasal 263 . . .
                      - 99 -



                   Pasal 263

Pendelegasian pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 262 ayat (1) dilaksanakan dengan
mempertimbangkan paling sedikit:
a. struktur jalur penerbangan;
b. arus lalu lintas penerbangan; dan
c. efisiensi pergerakan pesawat udara.

                   Pasal 264

(1)   Kawasan udara berbahaya ditetapkan oleh penyelenggara
      pelayanan navigasi penerbangan pada ruang udara yang
      dilayaninya.

(2)   Pada kawasan udara berbahaya sebagaimana dimaksud
      pada   ayat   (1)  dilakukan    pembatasan kegiatan
      penerbangan yang bersifat tidak tetap dan tidak
      menyeluruh sesuai dengan kondisi alam.


                    Paragraf 2
            Klasifikasi Ruang Udara

                   Pasal 265

(1)   Klasifikasi ruang udara sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 261 ayat (4) huruf b disusun dengan
      mempertimbangkan:
      a. kaidah penerbangan;
      b. pemberian separasi;
      c. pelayanan yang disediakan:
      d. pembatasan kecepatan:
      e. komunikasi radio; dan/atau
      f. persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan
         (Air Traffic Control Clearance).

(2)   Klasifikasi Ruang Udara sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) terdiri atas kelas A, kelas B, kelas C, kelas D,
      kelas E, kelas F, dan kelas G.

                                                 Paragraf 3 . . .
                       - 100 -


                   Paragraf 3
               Jalur Penerbangan
                    Pasal 266
(1)    Jalur penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
       261 ayat (4) huruf c bertujuan untuk mengatur arus lalu
       lintas penerbangan.
(2)    Penetapan jalur penerbangan sebagaimana dimaksud
       pada ayat (1) memperhatikan paling sedikit:
       a. pembatasan penggunaan ruang udara;
       b. klasifikasi ruang udara;
       c. fasilitas navigasi penerbangan;
       d. efisiensi dan keselamatan pergerakan pesawat udara;
          dan
       e. kebutuhan pengguna pelayanan navigasi penerbangan.
                    Pasal 267
 (1)   Jalur penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
       261 ayat (4) huruf c meliputi:
       a. jalur udara (airway);
       b. jalur udara dengan pelayanan saran panduan
          (advisory route);
       c. jalur udara dengan pemanduan (control route)
          dan/atau jalur udara tanpa pemanduan (uncontrolled
          route); dan
       d. jalur udara keberangkatan (departure route) dan jalur
          udara kedatangan (arrival route).
 (2)   Jalur penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
       memuat paling sedikit:
       a. nama jalur penerbangan;
       b. nama titik acuan dan koordinat;
       c. arah (track) yang menuju atau dari suatu titik acuan;
       d. jarak antartitik acuan; dan
       e. batas ketinggian aman terendah.

                     Pasal 268

 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
 penetapan Tatanan Ruang Udara Nasional dan jalur
 penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.

                                             Bagian Kedua . . .
                       - 101 -


                 Bagian Kedua
Penyelenggaraan Pelayanan Navigasi Penerbangan

                   Paragraf 1
Tujuan dan Jenis Pelayanan Navigasi Penerbangan

                    Pasal 269

  Navigasi penerbangan mempunyai tujuan sebagai berikut:
  a. terwujudnya     penyediaan     jasa    pelayanan navigasi
      penerbangan sesuai dengan standar yang berlaku;
  b. terwujudnya efisiensi penerbangan; dan
  c. terwujudnya     suatu     jaringan    pelayanan  navigasi
      penerbangan secara terpadu, serasi, dan harmonis dalam
      lingkup nasional, regional, dan internasional.

                    Pasal 270

  Jenis pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud
  dalam Pasal 261 ayat (4) huruf d meliputi:
  a. pelayanan lalu lintas penerbangan (air traffic services);
  b. pelayanan telekomunikasi penerbangan (aeronautical
      telecommunication services);
  c. pelayanan informasi aeronautika (aeronautical information
      services);
  d. pelayanan       informasi      meteorologi     penerbangan
      (aeronautical meteorological services); dan
  e. pelayanan informasi pencarian dan pertolongan (search
      and rescue).


                   Paragraf 2
 Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan

                    Pasal 271

  (1)   Pemerintah    bertanggung    jawab     menyelenggarakan
        pelayanan navigasi penerbangan terhadap pesawat udara
        yang beroperasi di ruang udara yang dilayani.

  (2)   Untuk     menyelenggarakan      pelayanan navigasi
        penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
        Pemerintah membentuk satu lembaga penyelenggara
        pelayanan navigasi penerbangan.


                                                (3) Lembaga . . .
                      - 102 -


(3)   Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memenuhi kriteria
      sebagai berikut:
      a. mengutamakan keselamatan penerbangan;
      b. tidak berorientasi kepada keuntungan;
      c. secara finansial dapat mandiri; dan
      d. biaya yang ditarik dari pengguna dikembalikan untuk
         biaya investasi dan peningkatan operasional (cost
         recovery).
(4)   Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibentuk oleh dan
      bertanggung jawab kepada Menteri.
                   Pasal 272
(1)   Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 ayat (2) wajib
      memberikan pelayanan navigasi penerbangan pesawat
      udara.

(2)   Kewajiban pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak kontak komunikasi
      pertama sampai dengan kontak komunikasi terakhir
      antara kapten penerbang dengan petugas atau fasilitas
      navigasi penerbangan.

(3)   Untuk memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) lembaga penyelenggara         pelayanan navigasi
      penerbangan:
      a. memiliki standar prosedur operasi (standard operating
         procedure);
      b. mengoperasikan dan memelihara keandalan fasilitas
         navigasi penerbangan sesuai dengan standar;
      c. mempekerjakan personel navigasi penerbangan yang
         memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi; dan
      d. memiliki mekanisme pengawasan dan pengendalian
         jaminan kualitas pelayanan.

                   Pasal 273

Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan
harus mengalihkan jalur penerbangan suatu pesawat terbang,
helikopter, atau pesawat udara sipil jenis tertentu, yang tidak
memenuhi persyaratan navigasi penerbangan.

                                                 Pasal 274 . . .
                     - 103 -



                  Pasal 274

Ketentuan     lebih   lanjut  mengenai   pengalihan   jalur
penerbangan      oleh    lembaga  penyelenggara    navigasi
penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 diatur
oleh Menteri.


                   Paragraf 3
 Sertifikasi Pelayanan Navigasi Penerbangan

                  Pasal 275

(1)   Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 ayat (2) wajib
      memiliki sertifikat pelayanan navigasi penerbangan yang
      ditetapkan oleh Menteri.

(2)   Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
      kepada masing-masing unit pelayanan penyelenggara
      navigasi penerbangan.

(3)   Unit pelayanan penyelenggara navigasi penerbangan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
      a. unit pelayanan navigasi penerbangan di bandar udara;
      b. unit pelayanan navigasi pendekatan; dan
      c. unit pelayanan navigasi penerbangan jelajah.


                Paragraf 4
Biaya Pelayanan Jasa Navigasi Penerbangan

                  Pasal 276

(1)   Pesawat udara yang terbang melalui ruang udara yang
      dilayani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 261 ayat (4)
      huruf a dikenakan biaya pelayanan jasa navigasi
      penerbangan.

(2)   Biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan sebagaimana
      dimaksud       pada   ayat     (1)  ditetapkan  dengan
      mempertimbangkan       tingkat     pelayanan   navigasi
      penerbangan yang diberikan.

                                                Pasal 277 . . .
                      - 104 -


                   Pasal 277
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
pembentukan     dan    sertifikasi lembaga    penyelenggara
pelayanan navigasi penerbangan, serta biaya pelayanan jasa
navigasi penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.


                  Paragraf 5
        Pelayanan Lalu Lintas Penerbangan
                   Pasal 278

Pelayanan lalu lintas penerbangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 270 huruf a mempunyai tujuan:
a. mencegah terjadinya tabrakan antarpesawat udara di
    udara;
b. mencegah terjadinya tabrakan antarpesawat udara atau
    pesawat udara dengan halangan (obstacle) di daerah
    manuver (manouvering area);
c. memperlancar dan menjaga keteraturan arus lalu lintas
    penerbangan;
d. memberikan petunjuk dan informasi yang berguna untuk
    keselamatan dan efisiensi penerbangan; dan
e. memberikan notifikasi kepada organisasi terkait untuk
    bantuan pencarian dan pertolongan (search and rescue).
                   Pasal 279
(1)   Pelayanan      lalu    lintas penerbangan  sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 278 terdiri atas:
      a. pelayanan pemanduan lalu lintas penerbangan (air
         traffic control service);
      b. pelayanan informasi penerbangan (flight information
         service);
      c. pelayanan saran lalu lintas penerbangan (air traffic
         advisory service); dan
      d. pelayanan kesiagaan (alerting service).
(2)   Pelayanan      lalu   lintas  penerbangan     sebagaimana
      dimaksud        pada     ayat  (1)   ditetapkan    dengan
      mempertimbangkan paling sedikit:
      a. jenis lalu lintas penerbangan;
      b. kepadatan arus lalu lintas penerbangan;
      c. kondisi sistem teknologi dan topografi; serta

                                                 d. fasilitas . . .
                    - 105 -


    d. fasilitas dan kelengkapan navigasi penerbangan di
       pesawat udara.

                 Pasal 280

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
pelayanan lalu lintas penerbangan diatur dengan Peraturan
Menteri.

                Paragraf 6
    Pelayanan Telekomunikasi Penerbangan

                 Pasal 281

Pelayanan      telekomunikasi penerbangan  sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 270 huruf b bertujuan menyediakan
informasi untuk menciptakan akurasi, keteraturan, dan
efisiensi penerbangan.

                 Pasal 282

Pelayanan      telekomunikasi  penerbangan       sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 281 terdiri atas:
a. pelayanan aeronautika tetap (aeronautical fixed services);
b. pelayanan aeronautika bergerak (aeronautical mobile
    services); dan
c. pelayanan radio navigasi aeronautika (aeronautical radio
    navigation services).

                 Pasal 283

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
pelayanan telekomunikasi penerbangan diatur dengan
Peraturan Menteri


                Paragraf 7
        Pelayanan Informasi Aeronautika

                  Pasal 284

Pelayanan informasi aeronautika sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 270 huruf c bertujuan tersedianya informasi yang
cukup, akurat, terkini, dan tepat waktu yang diperlukan
untuk keteraturan dan efisiensi penerbangan.

                                               Pasal 285 . . .
                      - 106 -


                   Pasal 285
(1)   Pelayanan informasi aeronautika sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 284 memuat informasi tentang fasilitas,
      prosedur, pelayanan di bandar udara dan ruang udara.
(2)   Informasi aeronautika sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) terdiri atas paket informasi aeronautika terpadu dan
      peta navigasi penerbangan.
(3)   Paket Informasi aeronautika terpadu sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
      a. publikasi     informasi    aeronautika    (aeronautical
         information publication);
      b. notifikasi kepada penerbang dan petugas lalu lintas
         penerbangan (notice to airmen);
      c. edaran informasi aeronautika (aeronautical information
         circulars); dan
      d. buletin yang berisi informasi yang diperlukan sebelum
         penerbangan.
                   Pasal 286
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
pelayanan informasi aeronautika diatur dengan Peraturan
Menteri.

                 Paragraf 8
  Pelayanan Informasi Meteorologi Penerbangan

                   Pasal 287

Pelayanan informasi meteorologi penerbangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 270 huruf d bertujuan menyediakan
informasi cuaca di bandar udara dan sepanjang jalur
penerbangan yang cukup, akurat, terkini, dan tepat waktu
untuk keselamatan, kelancaran, dan efisiensi penerbangan.

                   Pasal 288

Pelayanan informasi meteorologi penerbangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 287 diberikan oleh unit pelayanan
informasi meteorologi kepada operator pesawat udara,
personel pesawat udara, unit pelayanan navigasi penerbangan,
unit   pelayanan    pencarian     dan   pertolongan,   serta
penyelenggara bandar udara.

                                                  Pasal 289 . . .
                     - 107 -



                  Pasal 289

Pelayanan informasi meteorologi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 287 dilaksanakan secara berkoordinasi antara
unit pelayanan informasi meteorologi dan unit pelayanan
navigasi penerbangan yang dilakukan melalui kesepakatan
bersama.

                  Pasal 290

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
pelayanan informasi meteorologi penerbangan diatur dengan
Peraturan Menteri.

                 Paragraf 9
Pelayanan Informasi Pencarian Dan Pertolongan

                  Pasal 291

(1)   Pelayanan   informasi   pencarian  dan    pertolongan
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270 huruf e
      bertujuan memberikan informasi yang cepat dan akurat
      untuk membantu usaha pencarian dan pertolongan
      kecelakaan pesawat udara.

(2)   Dalam memberikan pelayanan informasi sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1), penyelenggara pelayanan
      navigasi penerbangan harus menyediakan interkoneksi
      dan berkoordinasi dengan badan yang tugas dan
      tanggung jawabnya di bidang pencarian dan pertolongan.

(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
      pelayanan informasi pencarian dan pertolongan diatur
      dengan Peraturan Menteri.


                Bagian Ketiga
        Personel Navigasi Penerbangan

                  Pasal 292

(1)   Setiap personel navigasi penerbangan wajib memiliki
      lisensi atau sertifikat kompetensi.


                                                (2) Personel . . .
                      - 108 -


(2)   Personel navigasi penerbangan yang terkait langsung
      dengan       pelaksanaan     pengoperasian   dan/atau
      pemeliharaan fasilitas navigasi penerbangan wajib
      memiliki lisensi yang sah dan masih berlaku.
(3)   Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan
      oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan:
      a. administratif;
      b. sehat jasmani dan rohani;
      c. memiliki sertifikat kompetensi di bidangnya; dan
      d. lulus ujian.
(4)   Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat
      (3) huruf c diperoleh melalui pendidikan dan/atau
      pelatihan yang diselenggarakan lembaga yang telah
      diakreditasi oleh Menteri.
                   Pasal 293
(1)   Personel navigasi penerbangan yang telah memiliki lisensi
      wajib:
      a. melaksanaan pekerjaan sesuai dengan ketentuan di
         bidangnya;
      b. mempertahankan kemampuan yang dimiliki; dan
      c. melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala.
(2)   Personel navigasi penerbangan yang melanggar ketentuan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi
      administratif berupa:
      a. peringatan;
      b. pembekuan lisensi; dan/atau
      c. pencabutan lisensi.

                   Pasal 294

Lisensi personel navigasi penerbangan yang diberikan oleh
negara lain dinyatakan sah melalui proses pengesahan atau
validasi oleh Menteri.

                   Pasal 295

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan
prosedur memperoleh lisensi, lembaga pendidikan dan/atau
pelatihan, dan pengenaan sanksi administratif diatur dengan
Peraturan Menteri.

                                           Bagian Keempat . . .
                      - 109 -


                 Bagian Keempat
         Fasilitas Navigasi Penerbangan

                   Pasal 296

(1)   Fasilitas navigasi penerbangan terdiri atas:
      a. fasilitas telekomunikasi penerbangan;
      b. fasilitas informasi aeronautika; dan
      c. fasilitas informasi meteorologi penerbangan.

(2)   Fasilitas navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) yang akan dipasang dan dioperasikan harus
      mendapat persetujuan Menteri.

                   Pasal 297

Pemasangan fasilitas navigasi penerbangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 296 ayat (1) harus memperhatikan:
a. kebutuhan operasional;
b. perkembangan teknologi;
c. keandalan fasilitas; dan
d. keterpaduan sistem.

                   Pasal 298

(1)   Fasilitas navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 296 ayat (1) wajib dipelihara oleh
      penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan sesuai
      dengan ketentuan yang berlaku.

(2)   Penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan yang
      melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
      a. peringatan;
      b. pembekuan izin; dan/atau
      c. pencabutan izin.

                   Pasal 299

(1)   Fasilitas navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 296 ayat (1) huruf a yang dioperasikan untuk
      pelayanan navigasi penerbangan wajib dikalibrasi secara
      berkala agar tetap laik operasi.

                                           (2) Penyelenggara . . .
                     - 110 -


(2)   Penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan yang
      melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) dikenakan sanksi administratif berupa pembekuan
      izin.
                  Pasal 300
Penyelenggaraan kalibrasi fasilitas navigasi penerbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299 ayat (1) dapat
dilakukan oleh pemerintah dan/atau badan hukum yang
mendapat sertifikat dari Menteri.
                  Pasal 301
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
pemasangan, pengoperasian, pemeliharaan, pelaksanaan
kalibrasi, dan pengenaan sanksi administratif diatur dengan
Peraturan Menteri.

                Bagian Kelima
         Frekuensi Radio Penerbangan

                 Paragraf 1
            Penggunaan Frekuensi

                  Pasal 302

(1)   Menteri   mengatur    penggunaan     frekuensi   radio
      penerbangan yang telah dialokasikan oleh menteri yang
      membidangi urusan frekuensi.

(2)   Frekuensi radio penerbangan sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) hanya digunakan untuk kepentingan
      keselamatan   penerbangan  aeronautika dan  non-
      aeronautika.

                  Pasal 303

(1)   Menteri memberikan rekomendasi penggunaan frekuensi
      radio untuk menunjang operasi penerbangan di luar
      frekuensi yang telah dialokasikan.

(2)   Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      digunakan sebagai dasar untuk pemberian izin yang
      diberikan oleh menteri yang membidangi urusan
      frekuensi.

                                          (3) Penggunaan . . .
                     - 111 -


(3)   Penggunaan frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) dapat diubah setelah mendapat persetujuan dari
      Menteri.
                  Pasal 304
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
penggunaan frekuensi radio untuk kegiatan penerbangan
diatur dengan Peraturan Menteri.


                  Paragraf 2
                    Biaya
                  Pasal 305
(1)   Penggunaan      frekuensi  radio penerbangan   untuk
      aeronautika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 302 ayat
      (2) tidak dikenakan biaya.
(2)   Penggunaan frekuensi radio penerbangan untuk non-
      aeronautika yang tidak digunakan untuk keselamatan
      penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 302
      ayat (2) dapat dikenakan biaya.
                  Pasal 306
Setiap orang dilarang:
a. menggunakan frekuensi radio penerbangan kecuali untuk
     penerbangan; dan
b. menggunakan frekuensi radio yang secara langsung atau
     tidak langsung mengganggu keselamatan penerbangan.
                  Pasal 307
Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya penggunaan frekuensi
radio diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


                BAB XIII
        KESELAMATAN PENERBANGAN
               Bagian Kesatu
 Program Keselamatan Penerbangan Nasional

                  Pasal 308

(1)   Menteri bertanggung      jawab   terhadap   keselamatan
      penerbangan nasional.


                                                  (2) Untuk . . .
                      - 112 -


(2)   Untuk menjamin keselamatan penerbangan nasional
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri menetapkan
      program keselamatan penerbangan nasional (state safety
      program).

                   Pasal 309

(1)   Program keselamatan penerbangan nasional sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 308 ayat (2) memuat:
      a. peraturan keselamatan penerbangan;
      b. sasaran keselamatan penerbangan;
      c. sistem pelaporan keselamatan penerbangan;
      d. analisis data dan pertukaran informasi keselamatan
         penerbangan (safety data analysis and exchange);
      e. kegiatan     investigasi kecelakaan    dan     kejadian
         penerbangan (accident and incident investigation);
      f. promosi keselamatan penerbangan (safety promotion);
      g. pengawasan       keselamatan   penerbangan       (safety
         oversight); dan
      h. penegakan hukum (law enforcement).

(2)   Pelaksanaan program keselamatan penerbangan nasional
      (state safety program) sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) dievaluasi secara berkelanjutan oleh tim yang dibentuk
      oleh Menteri.

                   Pasal 310

(1)   Sasaran      keselamatan    penerbangan    sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 309 ayat (1) huruf b meliputi:
      a. target kinerja keselamatan penerbangan;
      b. indikator kinerja keselamatan penerbangan; dan
      c. pengukuran pencapaian keselamatan penerbangan.

(2)   Target dan hasil pencapaian kinerja keselamatan
      penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
      dipublikasikan kepada masyarakat.

                   Pasal 311

Ketentuan lebih lanjut mengenai program keselamatan
penerbangan nasional diatur dengan Peraturan Menteri.

                                               Bagian Kedua . . .
                     - 113 -


                 Bagian Kedua
      Pengawasan Keselamatan Penerbangan

                  Pasal 312
(1)   Menteri bertanggung jawab terhadap         pengawasan
      keselamatan penerbangan nasional.
(2)   Pengawasan keselamatan penerbangan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan pengawasan
      berkelanjutan untuk melihat pemenuhan peraturan
      keselamatan penerbangan yang dilaksanakan oleh
      penyedia jasa penerbangan dan pemangku kepentingan
      lainnya yang meliputi:
      a. audit;
      b. inspeksi;
      c. pengamatan (surveillance); dan
      d. pemantauan (monitoring).
(3)   Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (2) dilakukan oleh unit kerja atau lembaga
      penyelenggara pelayanan umum.
(4)   Terhadap hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (2), Menteri melakukan tindakan korektif dan
      penegakan hukum.
(5)   Ketentuan    lebih   lanjut mengenai     pengawasan
      keselamatan penerbangan, unit kerja, dan lembaga
      penyelenggara pelayanan umum diatur dengan Peraturan
      Menteri.

             Bagian Ketiga
Penegakan Hukum Keselamatan Penerbangan
                  Pasal 313
(1)   Menteri berwenang menetapkan program penegakan
      hukum dan     mengambil tindakan hukum di bidang
      keselamatan penerbangan.
(2)   Program penegakan hukum sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) memuat:
      a. tata cara penegakan hukum;
      b. penyiapan personel yang berwenang mengawasi
         penerapan aturan di bidang keselamatan penerbangan;


                                            c. pendidikan . . .
                           - 114 -


            c. pendidikan   masyarakat      dan   penyedia     jasa
               penerbangan serta para penegak hukum; dan
            d. penindakan.

      (3)   Tindakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
            berupa:
            a. sanksi administratif; dan
            b. sanksi pidana.


                   Bagian Keempat
Sistem Manajemen Keselamatan Penyedia Jasa Penerbangan

                        Pasal 314

      (1)   Setiap penyedia jasa penerbangan wajib membuat,
            melaksanakan, mengevaluasi, dan menyempurnakan
            secara berkelanjutan sistem manajemen keselamatan
            (safety management system) dengan berpedoman pada
            program keselamatan penerbangan nasional.

      (2)   Sistem   manajemen    keselamatan   penyedia    jasa
            penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
            mendapat pengesahan dari Menteri.

      (3)   Setiap penyedia jasa penerbangan yang melanggar
            ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
            dikenakan sanksi administratif berupa:
            a. peringatan;
            b. pembekuan izin; dan/atau
            c. pencabutan izin.

                        Pasal 315

      Sistem manajemen keselamatan penyedia jasa penerbangan
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 314 ayat (1) paling sedikit
      memuat:
      a. kebijakan dan sasaran keselamatan;
      b. manajemen risiko keselamatan;
      c. jaminan keselamatan; dan
      d. promosi keselamatan.


                                                    Pasal 316 . . .
                     - 115 -


                  Pasal 316
 (1) Kebijakan dan sasaran keselamatan sebagaimana
     dimaksud dalam Pasal 315 huruf a paling sedikit
     memuat:
     a. komitmen pimpinan penyedia jasa penerbangan;
     b. penunjukan penanggung jawab utama keselamatan;
     c. pembentukan unit manajemen keselamatan;
     d. penetapan target kinerja keselamatan;
     e. penetapan indikator kinerja keselamatan;
     f. pengukuran pencapaian keselamatan;
     g. dokumentasi data keselamatan; dan
     h. koordinasi penanggulangan gawat darurat.
(2)   Penetapan target kinerja keselamatan sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) huruf d yang akan dicapai harus
      minimal sama atau lebih baik daripada target kinerja
      keselamatan nasional.
(3)   Target dan hasil pencapaian kinerja keselamatan harus
      dipublikasikan kepada masyarakat.
                  Pasal 317
Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem manajemen
keselamatan penyedia jasa penerbangan, tata cara, dan
prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan
Peraturan Menteri.


               Bagian Kelima
       Budaya Keselamatan Penerbangan
                  Pasal 318

Pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya bertanggung
jawab membangun dan mewujudkan budaya keselamatan
penerbangan.

                  Pasal 319

Untuk membangun dan mewujudkan budaya keselamatan
penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 318,
Menteri menetapkan kebijakan dan program budaya tindakan
keselamatan, keterbukaan, komunikasi, serta penilaian dan
penghargaan terhadap tindakan keselamatan penerbangan.

                                               Pasal 320 . . .
                      - 116 -


                   Pasal 320

 Untuk membangun dan mewujudkan budaya keselamatan
 penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 318,
 penyedia jasa penerbangan menetapkan kebijakan dan
 program budaya keselamatan.

                   Pasal 321

 (1)   Personel penerbangan yang mengetahui terjadinya
       penyimpangan       atau     ketidaksesuaian    prosedur
       penerbangan, atau tidak berfungsinya peralatan dan
       fasilitas penerbangan wajib melaporkan kepada Menteri.

 (2)   Personel penerbangan yang melaporkan kejadian
       sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi perlindungan
       sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

 (3)   Personel penerbangan yang melanggar ketentuan
       sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi
       administratif berupa:
       a. peringatan;
       b. pembekuan lisensi atau sertifikat kompetensi;
          dan/atau
       c. pencabutan lisensi atau sertifikat kompetensi.

                   Pasal 322

 Ketentuan lebih lanjut mengenai budaya keselamatan
 penerbangan, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi
 adminisratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 321 ayat (3)
 diatur dengan Peraturan Menteri.


                  BAB XIV
           KEAMANAN PENERBANGAN

               Bagian Kesatu
        Keamanan Penerbangan Nasional


                   Pasal 323

(1)    Menteri  bertanggung     jawab   terhadap      keamanan
       penerbangan nasional.

                                                   (2) Untuk . . .
                      - 117 -


(2)    Untuk melaksanakan tanggung jawab sebagaimana
       dimaksud pada ayat (1) Menteri berwenang untuk:
       a. membentuk komite nasional keamanan penerbangan;
       b. menetapkan     program    keamanan     penerbangan
          nasional; dan
       c. mengawasi     pelaksanaan      program    keamanan
          penerbangan nasional.

                   Pasal 324
 Komite nasional keamanan penerbangan sebagaimana
 dimaksud dalam Pasal 323 ayat (2) huruf a bertugas
 mengkoordinasikan     pelaksanaan program keamanan
 penerbangan nasional.
                    Pasal 325

 Program keamanan penerbangan nasional sebagaimana
 dimaksud dalam Pasal 323 ayat (2) huruf b paling sedikit
 memuat:
 a. peraturan keamanan penerbangan;
 b. sasaran keamanan penerbangan;
 c. personel keamanan penerbangan;
 d. pembagian tanggung jawab keamanan penerbangan;
 e. perlindungan bandar udara, pesawat udara, dan fasilitas
     navigasi penerbangan;
 f.  pengendalian dan penjaminan keamanan terhadap orang
     dan barang di pesawat udara;
 g. penanggulangan tindakan melawan hukum;
 h. penyesuaian sistem keamanan terhadap tingkat ancaman
     keamanan; serta
 i.  pengawasan keamanan penerbangan.
                    Pasal 326
 (1)   Dalam melaksanakan program keamanan penerbangan
       nasional,  Pemerintah dapat melakukan kerja sama
       dengan negara lain.
 (2)   Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
       a. pertukaran informasi;
       b. pendidikan dan pelatihan;
       c. peningkatan kualitas keamanan; serta
       d. permintaan keamanan tambahan.

                                                Pasal 327 . . .
                     - 118 -


                  Pasal 327

(1)   Badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara
      bandar    udara     wajib   membuat,    melaksanakan,
      mengevaluasi, dan mengembangkan program keamanan
      bandar udara di setiap bandar udara dengan berpedoman
      pada program keamanan penerbangan nasional.

(2)   Program keamanan bandar udara sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) disahkan oleh Menteri.

(3)   Badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara
      bandar udara bertanggung jawab terhadap pembiayaan
      keamanan bandar udara.

                  Pasal 328

(1)   Setiap otoritas bandar udara bertanggung jawab terhadap
      pengawasan dan pengendalian program keamanan bandar
      udara.

(2)   Untuk melaksanakan tanggung jawab sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1), otoritas bandar udara
      membentuk komite keamanan bandar udara.

(3)   Komite keamanan bandar udara sebagaimana dimaksud
      pada ayat (2) bertugas mengkoordinasikan pelaksanaan
      program keamanan bandar udara.

                  Pasal 329

(1)   Setiap badan usaha angkutan udara wajib membuat,
      melaksanakan, mengevaluasi, dan mengembangkan
      program keamanan angkutan udara dengan berpedoman
      pada program keamanan penerbangan nasional.

(2)   Program keamanan angkutan udara sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dibuat oleh badan usaha
      angkutan udara dan disahkan oleh Menteri.

(3)   Badan usaha angkutan udara bertanggung            jawab
      terhadap pembiayaan keamanan angkutan udara.

                                                Pasal 330 . . .
                      - 119 -


                   Pasal 330

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
pembuatan     atau    pelaksanaan     program    keamanan
penerbangan nasional diatur dengan Peraturan Menteri.

                Bagian Kedua
      Pengawasan Keamanan Penerbangan

                   Pasal 331

(1)   Menteri bertanggung jawab terhadap          pengawasan
      keamanan penerbangan nasional.

(2)   Pengawasan      keamanan    penerbangan     sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan pengawasan
      berkelanjutan untuk melihat pemenuhan peraturan
      keamanan penerbangan yang dilaksanakan oleh penyedia
      jasa penerbangan atau institusi lain yang terkait dengan
      keamanan yang meliputi:
      a. audit;
      b. inspeksi;
      c. survei; dan
      d. pengujian (test).

(3)   Terhadap hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (2), Menteri melakukan tindakan korektif dan
      penegakan hukum.

                   Pasal 332

Otoritas bandar udara, unit penyelenggara bandar udara,
badan usaha bandar udara, dan badan usaha angkutan udara
wajib melaksanakan pengawasan internal dan melaporkan
hasilnya kepada Menteri.

                   Pasal 333

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan keamanan
penerbangan nasional diatur dengan Peraturan Menteri.


                                             Bagian Ketiga . . .
                      - 120 -


               Bagian Ketiga
           Keamanan Bandar Udara

                   Pasal 334

(1)   Orang perseorangan, kendaraan, kargo, dan pos yang
      akan memasuki daerah keamanan terbatas wajib memiliki
      izin masuk daerah terbatas atau tiket pesawat udara bagi
      penumpang pesawat udara, dan dilakukan pemeriksaan
      keamanan.

(2)   Pemeriksaan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) dilakukan oleh personel yang berkompeten di bidang
      keamanan penerbangan.

                   Pasal 335

(1)   Terhadap penumpang, personel pesawat udara, bagasi,
      kargo, dan pos yang akan diangkut harus dilakukan
      pemeriksaan dan memenuhi persyaratan keamanan
      penerbangan.

(2)   Penumpang dan kargo tertentu dapat diberikan perlakuan
      khusus dalam pemeriksaan keamanan.


                   Pasal 336

Kantong diplomatik tidak boleh diperiksa, kecuali atas
permintaan dari instansi yang berwenang di bidang hubungan
luar negeri dan pertahanan negara.

                   Pasal 337

(1)   Penumpang pesawat udara yang membawa senjata wajib
      melaporkan dan menyerahkannya kepada badan usaha
      angkutan udara yang akan mengangkut penumpang
      tersebut.

(2)   Badan usaha angkutan udara sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) bertanggung jawab atas keamanan senjata
      yang diterima sampai dengan diserahkan kembali kepada
      pemiliknya di bandar udara tujuan.


                                                Pasal 338 . . .
                      - 121 -


                   Pasal 338
Badan usaha bandar udara dan unit penyelenggara bandar
udara wajib menyediakan atau menunjuk bagian dari wilayah
bandar udara sebagai tempat terisolasi (isolated parking area)
untuk penempatan pesawat udara yang mengalami gangguan
atau ancaman keamanan.
                   Pasal 339
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
keamanan pengoperasian bandar udara diatur dengan
Peraturan Menteri.


                Bagian Keempat
      Keamanan Pengoperasian Pesawat Udara
                   Pasal 340
(1)    Badan usaha angkutan udara bertanggung jawab
       terhadap keamanan pengoperasian pesawat udara di
       bandar udara dan selama terbang.
(2)    Tanggung jawab terhadap keamanan pengoperasian
       pesawat udara di bandar udara sebagaimana dimaksud
       pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
       a. pemeriksaan keamanan pesawat udara sebelum
          pengoperasian berdasarkan penilaian risiko keamanan
          (check and search);
       b. pemeriksaan terhadap barang bawaan penumpang
          yang tertinggal di pesawat udara;
       c. pemeriksaan terhadap semua petugas yang masuk
          pesawat udara; dan
       d. pemeriksaan terhadap peralatan, barang, makanan,
          dan minuman yang akan masuk pesawat udara.
(3)    Tanggung jawab terhadap keamanan pengoperasian
       pesawat udara selama terbang sebagaimana dimaksud
       pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
       a. mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin
          keamanan penerbangan;
       b. memberitahu kepada kapten penerbang apabila ada
          petugas keamanan dalam penerbangan (air marshal) di
          pesawat udara; dan

                                           c. memberitahu . . .
                    - 122 -


    c. memberitahu kepada kapten penerbang adanya
       muatan barang berbahaya di dalam pesawat udara.

                  Pasal 341

Penempatan petugas keamanan dalam penerbangan pada
pesawat udara niaga berjadwal asing dari dan ke wilayah
Republik Indonesia hanya dapat dilaksanakan berdasarkan
perjanjian bilateral.

                  Pasal 342

Setiap badan usaha angkutan udara yang mengoperasikan
pesawat udara kategori transpor wajib memenuhi persyaratan
keamanan penerbangan.

                  Pasal 343

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
pelaksanaan keamanan pengoperasian pesawat udara diatur
dengan Peraturan Menteri.


              Bagian Kelima
 Penanggulangan Tindakan Melawan Hukum

                  Pasal 344

Setiap orang dilarang melakukan tindakan melawan hukum
(acts    of   unlawful  interference)   yang   membahayakan
keselamatan penerbangan dan angkutan udara berupa:
a. menguasai secara tidak sah pesawat udara yang sedang
     terbang atau yang sedang di darat;
b. menyandera orang di dalam pesawat udara atau di
     bandar udara;
c. masuk ke dalam pesawat udara, daerah keamanan
     terbatas bandar udara, atau wilayah fasilitas aeronautika
     secara tidak sah;
d. membawa senjata, barang dan peralatan berbahaya, atau
     bom ke dalam pesawat udara atau bandar udara tanpa
     izin; dan
e. menyampaikan informasi palsu yang membahayakan
     keselamatan penerbangan.

                                                Pasal 345 . . .
                     - 123 -


                  Pasal 345

(1)   Otoritas bandar udara, unit penyelenggara bandar udara,
      badan usaha bandar udara, dan/atau badan usaha
      angkutan udara wajib menanggulangi tindakan melawan
      hukum.

(2)   Penanggulangan tindakan melawan hukum sebagaimana
      dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk program
      penanggulangan keadaan darurat.

                  Pasal 346

Dalam hal terjadi tindakan melawan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 344 huruf a dan huruf b, Menteri
berkoordinasi serta menyerahkan tugas dan komando
penanggulangannya kepada institusi yang tugas dan tanggung
jawabnya di bidang keamanan.

                  Pasal 347

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
penanggulangan tindakan melawan hukum serta penyerahan
tugas dan komando penanggulangan diatur dalam Peraturan
Menteri.


                 Bagian Keenam
       Fasilitas Keamanan Penerbangan

                  Pasal 348

Menteri menetapkan fasilitas keamanan penerbangan yang
digunakan dalam mewujudkan keamanan penerbangan.

                  Pasal 349

Penyediaan fasilitas keamanan penerbangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 348 dilaksanakan sesuai dengan
kebutuhan dengan mempertimbangkan:
a. efektivitas peralatan;
b. klasifikasi bandar udara; serta
c. tingkat ancaman dan gangguan.

                                                Pasal 350 . . .
                      - 124 -


                   Pasal 350

(1)   Badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar
      udara, dan      badan usaha angkutan udara yang
      menggunakan fasilitas keamanan penerbangan wajib:
      a. menyediakan, mengoperasikan, memelihara, dan
         memodernisasinya sesuai dengan standar yang
         ditetapkan;
      b. mempertahankan keakurasian kinerjanya dengan
         melakukan kalibrasi; dan
      c. melengkapi sertifikat peralatannya.

(2)   Badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar
      udara, dan badan usaha angkutan udara yang melanggar
      ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      dikenakan sanksi administratif berupa:
      a. peringatan;
      b. pembekuan izin atau sertifikat; dan/atau
      c. pencabutan izin atau sertifikat.

                   Pasal 351

Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitas            keamanan
penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.


                    BAB XV
       PENCARIAN DAN PERTOLONGAN                    BAB XV . . .
       KECELAKAAN PESAWAT UDARA

                   Pasal 352

(1)   Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab
      melakukan pencarian dan pertolongan terhadap setiap
      pesawat udara yang mengalami kecelakaan di wilayah
      Republik Indonesia.

(2)   Pencarian dan pertolongan sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) harus dilakukan dengan cepat, tepat, efektif, dan
      efisien untuk mengurangi korban.

                                                  (3) Setiap . . .
                      - 125 -


(3)   Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara wajib
      membantu usaha pencarian dan pertolongan terhadap
      kecelakaan pesawat udara.

                   Pasal 353

Tanggung jawab pelaksanaan pencarian dan pertolongan oleh
Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 352 ayat (1)
dikoordinasikan   dan    dilakukan    oleh  instansi   yang
bertanggung jawab di bidang pencarian dan pertolongan.
                   Pasal 354
Kapten penerbang yang sedang bertugas yang mengalami
keadaan bahaya atau mengetahui adanya pesawat udara lain
yang diindikasikan sedang menghadapi bahaya dalam
penerbangan wajib segera memberitahukan kepada unit
pelayanan lalu lintas penerbangan.

                   Pasal 355
Setiap personel pelayanan lalu lintas penerbangan yang
bertugas wajib segera memberitahukan kepada instansi yang
tugas dan tanggung jawabnya di bidang pencarian dan
pertolongan    setelah  menerima    pemberitahuan    atau
mengetahui adanya pesawat udara yang berada dalam
keadaan bahaya atau hilang dalam penerbangan.

                   Pasal 356

Ketentuan lebih lanjut mengenai pencarian dan pertolongan
terhadap kecelakaan pesawat udara diatur dalam Peraturan
Pemerintah.


                    BAB XVI
INVESTIGASI DAN PENYELIDIKAN LANJUTAN
      KECELAKAAN PESAWAT UDARA

                Bagian Pertama
                    Umum
                   Pasal 357

(1)   Pemerintah melakukan investigasi dan penyelidikan
      lanjutan mengenai penyebab setiap kecelakaan dan
      kejadian serius pesawat udara sipil yang terjadi di wilayah
      Republik Indonesia.

                                             (2) Pelaksanaan . . .
                      - 126 -


(2)   Pelaksanaan investigasi dan penyelidikan lanjutan
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
      komite nasional yang dibentuk dan bertanggung jawab
      kepada Presiden.

(3)   Komite nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      adalah institusi yang independen dalam menjalankan
      tugas dan fungsinya serta memiliki keanggotaan yang
      dipilih berdasarkan standar kompetensi melalui uji
      kepatutan dan kelayakan oleh Menteri.

(4)   Komite nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
      bertugas melakukan kegiatan investigasi, penelitian,
      penyelidikan lanjutan, laporan akhir, dan memberikan
      rekomendasi    dalam    rangka  mencegah    terjadinya
      kecelakaan dengan penyebab yang sama.

(5)   Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib
      dan segera ditindaklanjuti oleh para pihak terkait.

                   Bagian Kedua
      Investigasi Kecelakaan Pesawat Udara

                   Pasal 358

(1)   Komite nasional wajib melaporkan segala perkembangan
      dan hasil investigasinya kepada Menteri.

(2)   Menteri harus menyampaikan laporan hasil investigasi
      pesawat tertentu kepada pihak terkait.

(3)   Rancangan laporan akhir investigasi harus dikirim
      kepada negara tempat pesawat didaftarkan, negara
      tempat badan usaha angkutan udara, negara perancang
      pesawat,  dan   negara   pembuat    pesawat   untuk
      mendapatkan tanggapan.

(4)   Rancangan laporan akhir investigasi sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) diselesaikan secepat-cepatnya,
      jika dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, laporan
      akhir investigasi belum dapat diselesaikan, komite
      nasional wajib menyampaikan laporan perkembangan
      (intermediate report) hasil investigasi setiap tahun.


                                               Pasal 359 . . .
                      - 127 -


                   Pasal 359

(1)   Hasil investigasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti
      dalam proses peradilan.

(2)   Hasil investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
      yang bukan digolongkan sebagai informasi rahasia, dapat
      diumumkan kepada masyarakat.

                   Pasal 360

(1)   Setiap orang dilarang merusak atau menghilangkan
      bukti-bukti, mengubah letak pesawat udara, dan
      mengambil bagian pesawat udara atau barang lainnya
      yang tersisa akibat dari kecelakaan atau kejadian serius
      pesawat udara.

(2)   Untuk      kepentingan      keselamatan    operasional
      penerbangan, pesawat udara yang mengalami kecelakaan
      atau kejadian serius sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      dapat dipindahkan atas persetujuan pejabat yang
      berwenang.

                   Pasal 361
                                                Pasal 361 . . .
(1)   Dalam hal pesawat udara asing mengalami kecelakaan di
      wilayah Republik Indonesia, wakil resmi dari negara
      (acredited   representative) tempat   pesawat    udara
      didaftarkan, negara tempat badan usaha angkutan udara,
      negara tempat perancang pesawat udara, dan negara
      tempat pembuat pesawat udara dapat diikutsertakan
      dalam investigasi sepanjang tidak bertentangan dengan
      kepentingan nasional.

(2)   Dalam hal pesawat udara yang terdaftar di Indonesia
      mengalami kecelakaan di luar wilayah Republik Indonesia
      dan negara tempat terjadinya kecelakaan tidak
      melakukan investigasi, Pemerintah Republik Indonesia
      wajib melakukan investigasi.

                   Pasal 362

(1)   Orang perseorangan wajib memberikan keterangan atau
      bantuan jasa keahlian untuk kelancaran investigasi yang
      dibutuhkan oleh komite nasional.

                                                (2) Otoritas . . .
                      - 128 -



 (2)   Otoritas bandar udara, unit penyelenggara bandar udara,
       badan usaha bandar udara, penyelenggara pelayanan
       navigasi penerbangan, dan/atau badan usaha angkutan
       udara wajib membantu kelancaran investigasi kecelakaan
       pesawat udara.

                   Pasal 363

 (1)   Pejabat yang berwenang di lokasi kecelakaan pesawat
       udara wajib melakukan tindakan pengamanan terhadap
       pesawat udara yang mengalami kecelakaan di luar daerah
       lingkungan kerja bandar udara untuk:
       a. melindungi     personel    pesawat   udara      dan
          penumpangnya; dan
       b. mencegah terjadinya tindakan yang dapat mengubah
          letak pesawat udara, merusak dan/atau mengambil
          barang-barang dari pesawat udara yang mengalami
          kecelakaan.

 (2)   Tindakan pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat
       (1) berlangsung sampai dengan berakhirnya pelaksanaan
       investigasi lokasi kecelakaan oleh komite nasional.


                 Bagian Ketiga
Penyelidikan Lanjutan Kecelakaan Pesawat Udara

                   Pasal 364

 Untuk melaksanakan penyelidikan lanjutan, penegakan etika
 profesi, pelaksanaan mediasi  dan penafsiran penerapan
 regulasi, komite nasional membentuk majelis profesi
 penerbangan.

                   Pasal 365

 Majelis profesi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam
 Pasal 364 mempunyai tugas:
 a. menegakkan etika profesi dan kompetensi personel di
     bidang penerbangan;
 b. melaksanakan mediasi antara penyedia jasa penerbangan,
     personel dan pengguna jasa penerbangan; dan
 c. menafsirkan penerapan regulasi di bidang penerbangan.

                                                 Pasal 366 . . .
                   - 129 -



                Pasal 366

Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
365 majelis profesi penerbangan memiliki fungsi:
a. menjadi penegak etika profesi dan kompetensi personel
    penerbangan;
b. menjadi mediator penyelesaian sengketa perselisihan di
    bidang penerbangan di luar pengadilan; dan
c. menjadi     penafsir   penerapan    regulasi  di bidang
    penerbangan;

                Pasal 367

Majelis profesi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 364 paling sedikit berasal dari unsur profesi,
pemerintah, dan masyarakat yang kompeten di bidang:
a. hukum;
b. pesawat udara;
c. navigasi penerbangan;
d. bandar udara;
e. kedokteran penerbangan; dan
f.  Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

                Pasal 368

Majelis profesi penerbangan berwenang:
a. memberi rekomendasi kepada Menteri untuk pengenaan
    sanksi administratif atau penyidikan lanjut oleh PPNS;
b. menetapkan keputusan dalam sengketa para pihak
    dampak dari kecelakaan atau kejadian serius terhadap
    pesawat udara; dan
c. memberikan rekomendasi terhadap penerapan regulasi
    penerbangan.

                Pasal 369

Ketentuan lebih lanjut mengenai investigasi kecelakaan
pesawat udara dan penyelidikan lanjutan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.



                                             BAB XVII . . .
                        - 130 -


                     BAB XVII

PEMBERDAYAAN INDUSTRI DAN PENGEMBANGAN
        TEKNOLOGI PENERBANGAN

                     Pasal 370

  (1)   Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi
        penerbangan wajib dilakukan Pemerintah secara terpadu
        dengan   dukungan     semua    sektor   terkait untuk
        memperkuat transportasi udara nasional.

  (2)   Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi
        penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
        sedikit meliputi industri:
        a. rancang bangun, produksi, dan pemeliharaan pesawat
           udara;
        b. mesin, baling-baling, dan komponen pesawat udara;
        c. fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan;
        d. teknologi, informasi, dan navigasi penerbangan;
        e. kebandarudaraan; serta
        f. fasilitas    pendidikan    dan     pelatihan  personel
           penerbangan.

  (3)   Perkuatan transportasi udara nasional sebagaimana
        dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan Pemerintah
        dengan:
        a. mengembangkan riset pemasaran dan rancang bangun
           yang laik jual;
        b. mengembangkan      standardisasi   dan     komponen
           penerbangan     dengan   menggunakan       sebanyak-
           banyaknya muatan lokal dan alih teknologi;
        c. mengembangkan industri bahan baku dan komponen;
        d. memberikan kemudahan fasilitas pembiayaan dan
           perpajakan;
        e. memfasilitasi kerja sama dengan industri sejenis
           dan/atau pasar pengguna di dalam dan luar negeri;
           serta
        f. menetapkan kawasan industri penerbangan terpadu.




                                                   Pasal 371 . . .
                     - 131 -


                  Pasal 371
Pemberdayaan    industri dan   pengembangan    teknologi
penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 370 ayat (1)
dilaksanakan dengan mempersiapkan dan mempekerjakan
sumber daya manusia nasional yang memenuhi standar
kompetensi.
                  Pasal 372
Pemberdayaan    industri dan   pengembangan    teknologi
penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 370 ayat (1)
harus dilaksanakan dengan memenuhi standar keselamatan
dan keamanan serta memperhatikan aspek kelestarian
lingkungan hidup.
                  Pasal 373
Badan usaha angkutan udara, badan usaha bandar udara,
dan unit penyelenggara bandar udara, serta lembaga
penyelenggara    pelayanan   navigasi penerbangan wajib
mendukung pemberdayaan industri dan pengembangan
teknologi penerbangan nasional.

                  Pasal 374
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberdayaan industri dan
pengembangan     teknologi  penerbangan   diatur  dengan
Peraturan Pemerintah.


                  BAB XVIII

      SISTEM INFORMASI PENERBANGAN

                  Pasal 375

(1)   Sistem informasi penerbangan mencakup pengumpulan,
      pengolahan, penganalisisan, penyimpanan, penyajian,
      serta penyebaran data dan informasi penerbangan untuk:
      a. meningkatkan pelayanan kepada masyarakat atau
         publik; dan
      b. mendukung     perumusan      kebijakan   di   bidang
         penerbangan.

(2)   Sistem informasi penerbangan sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) diselenggarakan oleh Menteri.

                                                Pasal 376 . . .
                    - 132 -


                 Pasal 376
Sistem informasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 375 paling sedikit meliputi:
a. peraturan penerbangan sipil nasional;
b. target dan hasil pencapaian kinerja keselamatan
     penerbangan;
c. jumlah badan usaha angkutan udara nasional dan asing
     yang beroperasi;
d. jumlah dan rincian armada angkutan udara nasional;
e. rute dan kapasitas tersedia angkutan udara berjadwal
     domestik dan internasional;
f.   jenis pesawat yang dioperasikan pada rute penerbangan;
g. data lalu lintas angkutan udara di bandar udara umum;
h. tingkat ketepatan waktu jadwal pesawat udara;
i.   tingkat pelayanan angkutan udara;
j.   kelas dan status bandar udara;
k. fasilitas penunjang bandar udara; serta
l.   hasil investigasi kecelakaan dan kejadian pesawat udara
     yang tidak digolongkan informasi yang bersifat rahasia.
                 Pasal 377
Penyelenggaraan sistem informasi penerbangan dilakukan
dengan membangun dan mengembangkan jaringan informasi
secara efektif, efisien, dan terpadu yang melibatkan pihak
terkait dengan memanfaatkan perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi.
                 Pasal 378
Iklan di daerah lingkungan kerja bandar udara harus
memenuhi ketentuan:
a. tidak    mengganggu     keselamatan  dan    keamanan
     penerbangan;
b. tidak mengganggu informasi dan pelayanan penerbangan;
     dan
c. tidak merusak estetika bandar udara.

                 Pasal 379
(1)   Setiap orang yang melakukan kegiatan di bidang
      penerbangan wajib menyampaikan data dan informasi
      kegiatannya kepada Menteri.

                                              (2) Menteri . . .
                     - 133 -


(2)   Menteri melakukan pemutakhiran data dan informasi
      penerbangan secara periodik untuk menghasilkan data
      dan informasi yang sesuai dengan kebutuhan, akurat,
      terkini, dan dapat dipertanggungjawabkan.
(3)   Data dan informasi penerbangan didokumentasikan dan
      dipublikasikan serta dapat diakses dan digunakan oleh
      masyarakat yang membutuhkan dengan memanfaatkan
      teknologi informasi dan komunikasi.
(4)   Pengelolaan sistem informasi penerbangan oleh Menteri
      dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak lain.
(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian
      dan pengelolaan sistem informasi penerbangan diatur
      dengan Peraturan Menteri.
                  Pasal 380
(1)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 379 ayat (1) dapat dikenakan
      sanksi administratif.

(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
      pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) serta besarnya denda administratif diatur
      dengan Peraturan Menteri.


                   BAB XIX

           SUMBER DAYA MANUSIA

                Bagian Kesatu
        Penyediaan dan Pengembangan

                  Pasal 381
(1)   Pemerintah bertanggung jawab terhadap penyediaan dan
      pengembangan sumber daya manusia di bidang
      penerbangan.

(2)   Penyediaan dan pengembangan sumber daya manusia di
      bidang penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      bertujuan untuk mewujudkan sumber daya manusia
      yang profesional, kompeten, disiplin, bertanggung jawab,
      dan memiliki integritas.

                                               (3) Sumber . . .
                     - 134 -


 (3)   Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat
       (1) terdiri atas sumber daya manusia di bidang:
       a. pesawat udara;
       b. angkutan udara;
       c. kebandarudaraan;
       d. navigasi penerbangan;
       e. keselamatan penerbangan; dan
       f. keamanan penerbangan.

 (4)   Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada
       ayat (2), Menteri menetapkan kebijakan penyediaan dan
       pengembangan sumber daya manusia di bidang
       penerbangan yang mencakup:
       a. perencanaan sumber daya manusia (manpower
          planning);
       b. pendidikan dan pelatihan;
       c. perluasan kesempatan kerja; serta
       d. pengawasan, pemantauan, dan evaluasi.

 (5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan
       pengembangan sumber daya manusia di bidang
       penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.

                Bagian Kedua
Pendidikan dan Pelatihan di Bidang Penerbangan

                   Pasal 382

 (1)   Pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan
       dilaksanakan dalam kerangka sistem pendidikan
       nasional.

 (2)   Menteri bertanggung jawab atas pembinaan dan
       terselenggaranya pendidikan dan pelatihan di bidang
       penerbangan.

 (3)   Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
       paling sedikit meliputi:
       a. peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga pendidik
           di bidang penerbangan;
       b. kurikulum dan silabus serta metoda pendidikan dan
           pelatihan di bidang penerbangan sesuai dengan
           standar yang ditetapkan;

                                             c. penataan . . .
                     - 135 -


      c. penataan, penyempurnaan, dan sertifikasi organisasi
         atau manajemen lembaga pendidikan dan pelatihan di
         bidang penerbangan; serta
      d. modernisasi dan peningkatan teknologi sarana dan
         prasarana belajar mengajar pada lembaga pendidikan
         dan pelatihan di bidang penerbangan.
                  Pasal 383
(1)   Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 382 diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah
      daerah, atau masyarakat melalui jalur pendidikan formal
      dan/atau nonformal.
(2)   Jalur pendidikan formal sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) diselenggarakan dalam jenjang pendidikan
      menengah dan pendidikan tinggi sesuai dengan
      ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)   Jalur pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) diselenggarakan oleh satuan pendidikan
      nonformal di bidang penerbangan yang telah mendapat
      persetujuan Menteri.
                  Pasal 384
(1)   Pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia di
      bidang penerbangan disusun dalam model yang
      ditetapkan oleh Menteri.
(2)   Model pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
      memuat:
      a. jenis dan jenjang pendidikan dan pelatihan;
      b. persyaratan peserta pendidikan dan pelatihan;
      c. kurikulum silabus dan metode pendidikan dan
         pelatihan;
      d. persyaratan tenaga pendidik dan pelatih;
      e. standar prasarana dan sarana pendidikan dan
         pelatihan;
      f. persyaratan     penyelenggaraan    pendidikan   dan
         pelatihan;
      g. standar penetapan biaya pendidikan dan pelatihan;
         serta
      h. pengendalian dan pengawasan terhadap pendidikan
         dan pelatihan.

                                               Pasal 385 . . .
                    - 136 -


                 Pasal 385
Pemerintah mengarahkan, membimbing, dan mengawasi
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan di bidang
penerbangan.
                 Pasal 386
Pemerintah daerah membantu dan memberikan kemudahan
untuk terselenggaranya pendidikan dan pelatihan di bidang
penerbangan.
                 Pasal 387
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan
dan pelatihan di bidang penerbangan diatur dengan Peraturan
Menteri.

                 Bagian Ketiga
      Sertifikat Kompetensi dan Lisensi
                 Pasal 388

Penyelenggara pendidikan dan pelatihan wajib memberikan
sertifikat kompetensi kepada peserta didik yang telah
dinyatakan lulus pendidikan dan pelatihan.

                 Pasal 389

Setiap personel di bidang penerbangan yang telah memiliki
sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 388
dapat diberi lisensi oleh Menteri setelah memenuhi
persyaratan.
                  Pasal 390
Dalam menjalankan pekerjaannya, setiap personel di bidang
penerbangan wajib memiliki sertifikat kompetensi atau lisensi
sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan untuk bidang
pekerjaannya.
                 Pasal 391
Penyedia     jasa  penerbangan      dan     organisasi yang
menyelenggarakan kegiatan di bidang penerbangan wajib:
a. mempekerjakan personel penerbangan yang memiliki
    sertifikat kompetensi atau lisensi sebagaimana dimaksud
    dalam Pasal 389;

                                            b. menyusun . . .
                      - 137 -


b.     menyusun program pelatihan di bidang penerbangan
       untuk mempertahankan dan meningkatkan kompetensi
       personel penerbangan yang dipekerjakannya.

                   Pasal 392

Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat kompetensi dan
lisensi serta penyusunan program pelatihan diatur dengan
Peraturan Menteri.


                 Bagian Keempat
      Kontribusi Penyedia Jasa Penerbangan

                   Pasal 393

(1)    Penyedia jasa penerbangan dan organisasi yang memiliki
       kegiatan di bidang penerbangan wajib memberikan
       kontribusi   dalam    menunjang     penyediaan   dan
       pengembangan personel di bidang penerbangan.

(2)    Kontribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
       sedikit berupa:
       a. pemberian beasiswa pendidikan dan pelatihan;
       b. pembangunan lembaga dan/atau penyediaan fasilitas
          pendidikan dan pelatihan;
       c. kerja sama dengan lembaga pendidikan dan pelatihan
          yang ada; dan/atau
       d. pemberian kesempatan kepada peserta pendidikan
          dan pelatihan untuk praktek kerja.

                      Pasal 394

Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 393 dikenakan sanksi administratif
berupa:
a. peringatan;
b. denda administratif;
c.   pembekuan izin; atau
d. pencabutan izin.


                                             Bagian Kelima . . .
                      - 138 -


                Bagian Kelima
           Pengaturan Waktu Kerja
                   Pasal 395

(1)   Untuk menjamin keselamatan penerbangan harus
      dilakukan pengaturan hari kerja, pembatasan jam kerja,
      dan persyaratan jam istirahat bagi personel operasional
      penerbangan.

(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan hari kerja,
      pembatasan jam kerja, dan persyaratan jam istirahat
      sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
      Peraturan Menteri.


                    BAB XX
         PERAN SERTA MASYARAKAT

                   Pasal 396

(1)   Dalam     rangka      meningkatkan     penyelenggaraan
      penerbangan secara optimal masyarakat memiliki
      kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk
      berperan serta dalam kegiatan penerbangan.
(2)   Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) berupa:
      a. memantau dan menjaga ketertiban penyelenggaraan
         kegiatan penerbangan;
      b. memberikan masukan kepada Pemerintah dalam
         penyempurnaan peraturan, pedoman, dan standar
         teknis di bidang penerbangan;
      c. memberikan        masukan      kepada      Pemerintah,
         pemerintah daerah dalam rangka pembinaan,
         penyelenggaraan, dan pengawasan penerbangan;
      d. menyampaikan pendapat dan pertimbangan kepada
                                              c. memberikan . . .
         pejabat     yang    berwenang     terhadap     kegiatan
         penyelenggaraan penerbangan yang mengakibatkan
         dampak penting terhadap lingkungan;
      e. melaporkan apabila mengetahui terjadinya ketidak-
         sesuaian      prosedur   penerbangan,     atau    tidak
         berfungsinya peralatan dan fasilitas penerbangan;
      f. melaporkan apabila mengetahui terjadinya kecelakaan
         atau kejadian terhadap pesawat udara;

                                           g. mengutamakan . . .
                     - 139 -


      g. mengutamakan     dan    mempromosikan     budaya
         keselamatan penerbangan; dan/atau
      h. melaksanakan gugatan perwakilan terhadap kegiatan
         penerbangan yang mengganggu, merugikan, dan/atau
         membahayakan kepentingan umum.
(3)   Pemerintah, pemerintah daerah, dan penyedia jasa
      penerbangan menindaklanjuti masukan, pendapat, dan
      laporan yang disampaikan oleh masyarakat sebagaimana
      dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, huruf
      e, dan huruf f.
(4)   Dalam melaksanakan peran serta sebagaimana dimaksud
      pada ayat (2), masyarakat ikut bertanggung jawab
      menjaga ketertiban serta keselamatan dan keamanan
      penerbangan.
                  Pasal 397
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
396 ayat (1) dapat dilakukan secara perseorangan, kelompok,
organisasi    profesi,  badan    usaha,    atau   organisasi
kemasyarakatan lain sesuai dengan prinsip keterbukaan dan
kemitraan.
                  Pasal 398

Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat
diatur dengan Peraturan Menteri.


                   BAB XXI

                 PENYIDIKAN

                  Pasal 399

(1)   Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan
      instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
      bidang penerbangan diberi wewenang khusus sebagai
      penyidik tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
      Undang-Undang ini.

(2)   Dalam pelaksanaan tugasnya pejabat pegawai negeri sipil
      tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di
      bawah koordinasi dan pengawasan penyidik polisi Negara
      Republik Indonesia.

                                                Pasal 400 . . .
                     - 140 -


                  Pasal 400
(1)   Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 399 dilaksanakan sebagai berikut:
      a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
         sehubungan dengan tindak pidana di bidang
         penerbangan;
      b. menerima laporan tentang adanya tindak pidana di
         bidang penerbangan;
      c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
         sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana di
         bidang penerbangan;
      d. melakukan penangkapan terhadap orang yang diduga
         melakukan tindak pidana di bidang penerbangan;
      e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga
         melakukan tindak pidana di bidang penerbangan;
      f. memotret     dan/atau    merekam      melalui media
         elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
         atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
         pidana di bidang penerbangan;
      g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
         pidana penerbangan;
      h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
      i. menggeledah pesawat udara dan tempat-tempat
         tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana di
         bidang penerbangan;
      j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang
         yang digunakan untuk melakukan tindak pidana di
         bidang penerbangan;
      k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
         dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
         sehubungan dengan tindak pidana di bidang
         penerbangan;
      l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan;
      m. menghentikan proses penyidikan; dan
      n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
         atau instansi lain terkait untuk melakukan
         penanganan tindak pidana di bidang penerbangan.

(2)   Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 399 menyampaikan hasil penyidikan kepada
      penuntut umum melalui pejabat penyidik Kepolisian
      Negara Republik Indonesia.
                                               BAB XXII . . .
                    - 141 -


                 BAB XXII
           KETENTUAN PIDANA

                 Pasal 401
Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia
atau pesawat udara asing yang memasuki kawasan udara
terlarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun
dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
                 Pasal 402
Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia
atau pesawat udara asing yang memasuki kawasan udara
terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
                 Pasal 403
Setiap orang yang melakukan kegiatan produksi dan/atau
perakitan pesawat udara, mesin pesawat udara, dan/atau
baling-baling pesawat terbang yang tidak memiliki sertifikat
produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
                 Pasal 404
Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak
mempunyai tanda pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
                 Pasal 405
Setiap orang yang memberikan tanda-tanda atau mengubah
identitas pendaftaran sedemikian rupa sehingga mengaburkan
tanda pendaftaran, kebangsaan, dan bendera pada pesawat
udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda
paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah).
                                               Pasal 406 . . .
                     - 142 -


                  Pasal 406
(1)   Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang
      tidak memenuhi standar kelaikudaraan sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana
      penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
      banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
      rupiah).
(2)   Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      menimbulkan kerugian harta benda dipidana dengan
      pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda
      paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(3)   Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
      mengakibatkan kematian seseorang dan kerugian harta
      benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
      (sepuluh)   tahun    dan     denda     paling    banyak
      Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

                  Pasal 407

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak
memiliki sertifikat operator pesawat udara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling
banyak Rp2.500.000.000,00 (dua       miliar lima ratus juta
rupiah).

                  Pasal 408

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak
memiliki sertifikat pengoperasian pesawat udara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf b dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

                  Pasal 409

Setiap orang selain yang ditentukan dalam Pasal 47 ayat (1)
yang melakukan perawatan pesawat udara, mesin pesawat
udara, baling-baling pesawat terbang dan komponennya
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).

                                                Pasal 410 . . .
                     - 143 -


                  Pasal 410
Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara sipil
Indonesia atau asing yang tiba di atau berangkat dari
Indonesia dan melakukan pendaratan dan/atau tinggal landas
dari bandar udara yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 52 dipidana dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau
denda Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
                  Pasal 411
Setiap   orang   dengan    sengaja    menerbangkan  atau
mengoperasikan pesawat      udara yang membahayakan
keselamatan pesawat udara, penumpang dan barang,
dan/atau penduduk atau merugikan harta benda milik orang
lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
                  Pasal 412
(1)   Setiap orang di dalam pesawat udara selama
      penerbangan    melakukan    perbuatan   yang   dapat
      membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf a dipidana
      dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
      denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
      rupiah).
(2)   Setiap orang di dalam pesawat udara selama
      penerbangan melakukan perbuatan yang melanggar tata
      tertib dalam penerbangan, sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 54 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling
      lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
      Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3)   Setiap orang di dalam pesawat udara selama
      penerbangan mengambil atau merusak peralatan pesawat
      udara yang membahayakan keselamatan, sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 54 huruf c dipidana dengan
      pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda
      paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(4)   Setiap orang di dalam pesawat udara selama
      penerbangan mengganggu ketenteraman, sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 54 huruf e dipidana dengan
      pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda
      paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).


                                                (5) Setiap . . .
                     - 144 -



(5)   Setiap orang di dalam pesawat udara selama
      penerbangan mengoperasikan peralatan elektronika yang
      mengganggu navigasi       penerbangan, sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 54 huruf f       dipidana dengan
      pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda
      paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(6)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) atau ayat (5)
      mengakibatkan kerusakan atau kecelakaan pesawat dan
      kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara
      paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
      Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

(7)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), atau ayat (5)
      mengakibatkan cacat tetap atau matinya orang dipidana
      dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

                  Pasal 413

(1)   Setiap personel pesawat udara yang melakukan tugasnya
      tanpa memiliki sertifikat kompetensi atau lisensi
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dipidana
      dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau
      denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
      rupiah).

(2)   Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan
      pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
      denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
      rupiah).

                  Pasal 414

Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara asing di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa izin
Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).


                                                Pasal 415 . . .
                     - 145 -


                  Pasal 415
Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara sipil asing
yang dioperasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang tidak memenuhi persyaratan kelaikudaraan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (4) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda
paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

                  Pasal 416

Setiap orang yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga
dalam negeri tanpa izin usaha angkutan udara niaga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
                  Pasal 417
Setiap orang yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga
berjadwal dalam negeri tanpa izin usaha angkutan udara
niaga berjadwal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
                  Pasal 418
Setiap orang yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga
tidak berjadwal luar negeri tanpa persetujuan terbang dari
Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
                  Pasal 419
(1)   Setiap orang yang melakukan pengangkutan barang
      khusus dan berbahaya yang tidak memenuhi persyaratan
      keselamatan dan keamanan penerbangan sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 136 ayat (1) dipidana dengan
      pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda
      paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2)   Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan
      pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

                                                Pasal 420 . . .
                     - 146 -


                  Pasal 420
Pemilik, agen ekspedisi muatan pesawat udara, pengirim,
badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara,
badan usaha pergudangan, atau badan usaha angkutan udara
niaga yang melanggar ketentuan pengangkutan barang
khusus dan/atau berbahaya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 138 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
                  Pasal 421

(1)   Setiap orang berada di daerah tertentu di bandar udara,
      tanpa memperoleh izin dari otoritas bandar udara
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 dipidana dengan
      pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda
      paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(2)   Setiap orang membuat halangan (obstacle), dan/atau
      melakukan kegiatan lain di kawasan keselamatan operasi
      penerbangan yang membahayakan keselamatan dan
      keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 210 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
      (tiga)  tahun    dan/atau     denda      paling banyak
      Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
                  Pasal 422
(1)   Setiap orang dengan sengaja mengoperasikan bandar
      udara tanpa memenuhi ketentuan keselamatan dan
      keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 217 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
      lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
      Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2)   Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) menimbulkan kerugian harta benda seseorang,
      dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
      tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua
      miliar rupiah).

(3)   Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan
      pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
      denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
      rupiah).

                                                Pasal 423 . . .
                     - 147 -


                  Pasal 423
(1)   Personel bandar udara yang mengoperasikan dan/atau
      memelihara fasilitas bandar udara tanpa memiliki lisensi
      atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 222 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
      lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
      Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2)   Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan
      pidana penjara  paling lama 15 (lima belas) tahun dan
      denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
      rupiah).
                  Pasal 424
(1)   Setiap orang yang tidak bertanggung jawab terhadap
      kerugian yang diderita oleh pengguna jasa bandar udara
      dan/atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 240 ayat (1) berupa kematian atau luka fisik orang
      yang diakibatkan oleh pengoperasian bandar udara
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (2) huruf a,
      dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
      belas)    tahun      dan    denda      paling    banyak
      Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2)   Setiap orang yang tidak bertanggung jawab terhadap
      kerugian yang diderita oleh pengguna jasa bandar udara
      dan/atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 240 ayat (1) berupa:
      a. musnah,    hilang,   atau   rusak    peralatan  yang
         dioperasikan; dan/atau
      b. dampak lingkungan di sekitar bandar udara,
      yang diakibatkan oleh pengoperasian bandar udara
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (2) huruf b
      dan huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama
      10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
      Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
                  Pasal 425
Setiap orang yang melaksanakan kegiatan di bandar udara
yang tidak bertanggung jawab untuk mengganti kerugian atas
setiap kerusakan pada bangunan dan/atau fasilitas bandar
udara yang diakibatkan oleh kegiatannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 241, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

                                                Pasal 426 . . .
                      - 148 -


                   Pasal 426
Setiap orang yang membangun bandar udara khusus tanpa
izin dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
                   Pasal 427
Setiap orang yang mengoperasikan bandar udara khusus
dengan melayani penerbangan langsung dari dan/atau ke luar
negeri tanpa izin dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 249, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).
                   Pasal 428
(1)   Setiap orang yang mengoperasikan bandar udara khusus
      yang digunakan untuk kepentingan umum tanpa izin dari
      Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250
      dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
      tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00
      (tiga miliar rupiah).
(2)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) mengakibatkan matinya orang dipidana dengan
      pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
      denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas
      miliar rupiah).
                   Pasal 429
Setiap orang yang menyelenggarakan pelayanan navigasi
penerbangan tidak memiliki sertifikat pelayanan navigasi
penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 275 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
                   Pasal 430

(1)   Personel navigasi penerbangan yang tidak memiliki lisensi
      atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam
      Pasal 292 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
      lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
      Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

                                                 (2) Dalam . . .
                    - 149 -


(2)   Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
      (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan
      pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
      denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
      rupiah).
                  Pasal 431
(1)   Setiap orang yang menggunakan frekuensi radio
      penerbangan selain untuk kegiatan penerbangan atau
      menggunakan frekuensi radio penerbangan yang secara
      langsung atau tidak langsung mengganggu keselamatan
      penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 306
      dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
      tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00
      (seratus juta rupiah).
(2)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan
      pidana penjara paling lama 15 (lima belas) Tahun dan
      denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
      rupiah).
                  Pasal 432
Setiap orang yang akan memasuki daerah keamanan terbatas
tanpa memiliki izin masuk daerah terbatas atau tiket pesawat
udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 334 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
                  Pasal 433
Setiap orang yang menempatkan petugas keamanan dalam
penerbangan pada pesawat udara niaga berjadwal asing dari
dan ke wilayah Republik Indonesia tanpa adanya perjanjian
bilateral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341, dipidana
dengan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
                  Pasal 434
Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara kategori
transpor tidak memenuhi persyaratan keamanan penerbangan
sebagaimana     dimaksud   dalam    Pasal   342    sehingga
mengakibatkan kecelakaan pesawat udara dan kerugian harta
benda, dipidana dengan pidana penjara 5 (lima) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

                                              Pasal 435 . . .
                     - 150 -




                  Pasal 435

Setiap orang yang masuk ke dalam pesawat udara, daerah
keamanan terbatas bandar udara, atau wilayah fasilitas
aeronautika secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 344 huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama
1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).

                  Pasal 436

(1)   Setiap orang yang membawa senjata, barang dan
      peralatan berbahaya, atau bom ke dalam pesawat udara
      atau bandar udara tanpa izin sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 344 huruf d, dipidana dengan pidana penjara
      paling lama 3 (tiga) tahun.

(2)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) mengakibatkan kerugian harta benda dipidana
      dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.

(3)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan
      pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

                  Pasal 437

(1)   Setiap orang menyampaikan informasi palsu yang
      membahayakan keselamatan penerbangan sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 344 huruf e dipidana dengan
      pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

(2)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) mengakibatkan kecelakaan atau kerugian harta
      benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8
      (delapan) tahun.

(3)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan
      pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.


                                                Pasal 438 . . .
                      - 151 -



                   Pasal 438

(1)   Kapten penerbang yang sedang bertugas yang mengalami
      keadaan bahaya atau mengetahui adanya pesawat udara
      lain yang diindikasikan sedang menghadapi bahaya
      dalam penerbangan, tidak memberitahukan kepada unit
      pelayanan   lalu  lintas  penerbangan    sebagaimana
      dimaksud dalam Pasal 354 sehingga berakibat terjadinya
      kecelakaan pesawat udara dan kerugian harta benda,
      dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan)
      tahun.

(2)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan
      pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
                                                  (2) Dalam . . .
                   Pasal 439

(1)   Setiap personel pelayanan lalu lintas penerbangan yang
      pada saat bertugas menerima pemberitahuan atau
      mengetahui adanya pesawat udara yang berada dalam
      keadaan bahaya atau hilang dalam penerbangan tidak
      segera memberitahukan kepada instansi yang tugas dan
      tanggung jawabnya di bidang pencarian dan pertolongan
      sebagaimana dimaksud dalam Pasal 355 sehingga
      mengakibatkan kecelakaan pesawat udara dan kerugian
      harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama
      8 (delapan) tahun.

(2)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
      ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan
      pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.


                   Pasal 440

Setiap orang yang merusak atau menghilangkan bukti-bukti,
mengubah letak pesawat udara, mengambil bagian pesawat
udara atau barang lainnya yang tersisa akibat dari kecelakaan
atau kejadian serius pesawat udara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 360 ayat (1) dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).

                                                  Pasal 441 . . .
                      - 152 -


                   Pasal 441
(1)   Tindak pidana di bidang penerbangan dianggap
      dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut
      dilakukan oleh orang yang bertindak untuk dan/atau
      atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi,
      baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan
      lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik
      sendiri maupun bersama-sama.
(2)   Dalam hal tindak pidana di bidang penerbangan
      dilakukan oleh suatu korporasi sebagaimana dimaksud
      pada ayat (1) maka penyidikan, penuntutan, dan
      pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau
      pengurusnya.

                   Pasal 442
Dalam hal panggilan terhadap korporasi, maka pemanggilan
untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan
disampaikan kepada pengurus di tempat pengurus berkantor,
di tempat korporasi itu beroperasi, atau di tempat tinggal
pengurus.
                   Pasal 443
Dalam hal tindak pidana di bidang penerbangan dilakukan
oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda
terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan
terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan
3 (tiga) kali dari pidana denda yang ditentukan dalam Bab ini.

                  BAB XXIII
           KETENTUAN PERALIHAN

                   Pasal 444
Setiap kepentingan internasional dalam objek pesawat udara
yang dibuat sesuai dengan dan setelah berlakunya ketentuan
dalam konvensi tentang Kepentingan Internasional dalam
Peralatan Bergerak (Convention on International Interests in
Mobile Equipment) dan protokol mengenai Masalah-Masalah
Khusus pada Peralatan Pesawat Udara (Protocol to the
Convention on Interests on Mobile Equipment on Matters
Specific to Aircraft Equipment) tersebut di Indonesia yang telah
didaftarkan pada kantor pendaftaran internasional tetap sah
dan dapat dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang ini
sampai dihapusnya pendaftaran atau berakhirnya masa
berlaku sebagaimana tercantum dalam pendaftaran.

                                                  Pasal 445 . . .
                    - 153 -


                  Pasal 445

Badan usaha yang telah memiliki izin usaha angkutan udara
niaga berjadwal dan niaga tidak berjadwal pada saat Undang-
Undang ini diundangkan tetap dapat menjalankan usahanya
sesuai dengan izin yang dimiliki dan wajib menyesuaikan
dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini paling lambat 3
(tiga) tahun.

                  Pasal 446

Kantor administrator bandar udara, kantor bandar udara, dan
cabang badan usaha kebandarudaraan tetap melaksanakan
tugas dan fungsinya sampai dengan terbentuknya otoritas
bandar udara berdasarkan Undang-Undang ini.

                 Pasal 447

Bandar udara umum dan bandar udara khusus yang telah
diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 15
Tahun     1992   tentang     Penerbangan    tetap   dapat
menyelenggarakan kegiatannya dan wajib disesuaikan dengan
Undang-Undang ini     paling lambat 3 (tiga) tahun sejak
Undang-Undang ini berlaku.

                  Pasal 448

(1)   Pada saat Undang-Undang ini berlaku, perjanjian kerja
      sama    badan     usaha milik  negara   yang    telah
      menyelenggarakan usaha bandar udara dengan pihak
      ketiga tetap berlaku sampai perjanjian kerja sama
      tersebut berakhir.

(2)   Pada saat Undang-Undang ini berlaku, perjanjian kerja
      sama badan usaha milik negara yang menyelenggarakan
      usaha bandar udara dengan pihak ketiga dilaksanakan
      sesuai dengan Undang-Undang ini.

                  Pasal 449

Komite    Nasional     Keselamatan   Transportasi tetap
melaksanakan tugas dan fungsinya sampai terbentuknya
komite nasional berdasarkan Undang-Undang ini.


                                              Pasal 450 . . .
                     - 154 -


                   Pasal 450

Fungsi   pelayanan sertifikasi    dan pengawasan tetap
dilaksanakan secara fungsional oleh unit di bawah Direktorat
Jenderal Perhubungan Udara sampai terbentuknya lembaga
penyelenggara pelayanan umum berdasarkan Undang-Undang
ini.

                   Pasal 451

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, unit pelaksana teknis
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, dan badan usaha
milik negara yang menyelenggarakan penyelenggaraan
navigasi penerbangan tetap menyelenggarakan kegiatan
penyelenggaraan navigasi penerbangan sampai terbentuknya
lembaga penyelenggara pelayanan navigasi berdasarkan
Undang-Undang ini.


                  BAB XXIV

            KETENTUAN PENUTUP

                  Pasal 452
(1)   Peraturan Pemerintah pelaksanaan dari Undang-Undang
      ini ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-
      Undang ini berlaku.

(2)   Peraturan Menteri pelaksanaan dari Undang-Undang ini
      ditetapkan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-
      Undang ini berlaku.
                  Pasal 453
Dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang
ini berlaku, kegiatan usaha bandar udara yang dilaksanakan
oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan badan usaha milik
negara wajib disesuaikan dengan Undang-Undang ini.

                  Pasal 454

Badan usaha yang telah memiliki izin usaha angkutan udara
niaga berjadwal dan niaga tidak berjadwal pada saat Undang-
Undang ini diundangkan, wajib menyesuaikan dengan
ketentuan dalam Undang-Undang ini paling lambat 3 (tiga)
tahun.

                                                Pasal 455 . . .
                    - 155 -


                 Pasal 455

Otoritas bandar udara dan unit penyelenggara bandar udara
harus sudah terbentuk paling lambat 1 (satu) tahun terhitung
sejak Undang-Undang ini berlaku.

                 Pasal 456

Tatanan kebandarudaraan nasional harus disesuaikan dan
ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang
ini berlaku.

                 Pasal 457

Rencana induk bandar udara pada bandar udara yang
beroperasi harus disesuaikan dan ditetapkan paling lambat 3
(tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

                 Pasal 458

Wilayah udara Republik Indonesia, yang pelayanan navigasi
penerbangannya      didelegasikan   kepada    negara   lain
berdasarkan perjanjian sudah harus dievaluasi dan dilayani
oleh lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan
paling lambat 15 (lima belas) tahun sejak Undang-Undang ini
berlaku.

                 Pasal 459

Lembaga penyelenggara pelayanan umum harus terbentuk
paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini
berlaku.

                 Pasal 460

Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan
harus terbentuk paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-
Undang ini berlaku.

                 Pasal 461

Program keselamatan penerbangan nasional harus ditetapkan
paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini
berlaku.

                                               Pasal 462 . . .
                   - 156 -



                 Pasal 462

Komite nasional harus sudah terbentuk paling lambat 2 (dua)
tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

                 Pasal 463

Program keamanan penerbangan nasional harus ditetapkan
paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini
berlaku.

                 Pasal 464

Pada saat Undang-Undang ini berlaku semua peraturan
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang
Penerbangan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan atau diganti dengan yang baru berdasarkan
Undang-Undang ini.

                 Pasal 465

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 53, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3481) dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.


                 Pasal 466

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.




                                                  Agar . . .
                                        - 157 -


                  Agar   setiap  orang    mengetahuinya,    memerintahkan
                  pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
                  dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


                                        Disahkan di Jakarta
                                        Pada tanggal 12 Januari 2009

                                        PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


                                                      ttd.


                                        DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO


Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Januari 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
        REPUBLIK INDONESIA,


                     ttd.

             ANDI MATTALATTA


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 1

      Salinan sesuai dengan aslinya
     SEKRETARIAT NEGARA RI
    Kepala Biro Perundang-undangan
    Bidang Perekonomian dan Industri,




          Setio Sapto Nugroho
                          PENJELASAN
                             ATAS
                  UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                       NOMOR 1 TAHUN 2009
                             TENTANG

                               PENERBANGAN



I.   UMUM

     Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa Negara Kesatuan Republik
     Indonesia telah dianugerahi sebagai negara kepulauan yang terdiri dari
     beribu pulau, terletak memanjang di garis khatulistiwa, di antara dua
     benua dan dua samudera, serta ruang udara yang luas. Oleh karena itu,
     Indonesia mempunyai posisi dan peranan yang sangat penting dan
     strategis dalam hubungan internasional.

     Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional sebagai pengamalan
     Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
     1945, mewujudkan Wawasan Nusantara serta memantapkan ketahanan
     nasional, diperlukan sistem transportasi nasional yang memiliki posisi
     penting dan strategis dalam pembangunan nasional yang berwawasan
     lingkungan. Transportasi juga merupakan sarana dalam memperlancar
     roda perekonomian, membuka akses ke daerah pedalaman atau terpencil,
     memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, menegakkan kedaulatan
     negara, serta mempengaruhi semua aspek kehidupan masyarakat.

     Pentingnya transportasi tercermin pada semakin meningkatnya kebutuhan
     jasa angkutan bagi mobilitas orang serta barang di dalam negeri, dari dan
     ke luar negeri, serta berperan sebagai pendorong, dan penggerak bagi
     pertumbuhan daerah dan pengembangan wilayah. Menyadari peran
     transportasi tersebut, penyelenggaraan penerbangan harus ditata dalam
     satu kesatuan sistem transportasi nasional secara terpadu dan mampu
     mewujudkan penyediaan jasa transportasi yang seimbang dengan tingkat
     kebutuhan, selamat, aman, efektif, dan efisien.

     Penerbangan yang mempunyai karakteristik dan keunggulan tersendiri,
     perlu dikembangkan agar mampu meningkatkan pelayanan yang lebih
     luas, baik domestik maupun internasional. Pengembangan penerbangan
     ditata dalam satu kesatuan sistem dengan mengintegrasikan dan
     mendinamisasikan prasarana dan sarana penerbangan,              metoda,
     prosedur, dan peraturan sehingga berdaya guna serta berhasil guna.

                                                          Undang-Undang . . .
                               -2-


Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan perlu
disempurnakan guna menyelaraskan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, perubahan paradigma dan lingkungan
strategis, termasuk otonomi daerah, kompetisi di tingkat regional dan
global, peran serta masyarakat, persaingan usaha, konvensi internasional
tentang penerbangan, perlindungan profesi, serta perlindungan
konsumen.
Dalam penyelenggaraan penerbangan, Undang-Undang ini bertujuan
mewujudkan penerbangan yang tertib, teratur, selamat, aman, nyaman,
dengan harga yang wajar, dan menghindari praktek persaingan usaha
yang tidak sehat, memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang
melalui udara dengan mengutamakan dan melindungi angkutan udara
dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional, membina
jiwa kedirgantaraan, menjunjung kedaulatan negara, menciptakan daya
saing dengan mengembangkan teknologi dan industri angkutan udara
nasional, menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan
pembangunan nasional, memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa
dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara, meningkatkan ketahanan
nasional, dan mempererat hubungan antarbangsa, serta berasaskan
manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata,
keseimbangan, keserasian dan keselarasan, kepentingan umum,
keterpaduan, tegaknya hukum, kemandirian, anti monopoli dan
keterbukaan, berwawasan lingkungan hidup, kedaulatan negara,
kebangsaan, serta kenusantaraan.
Atas dasar hal tersebut disusunlah undang-undang tentang penerbangan
yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang nomor 15 tahun
1992, sehingga penyelenggaraan penerbangan sebagai sebuah sistem
dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada seluruh rakyat,
bangsa dan negara, serta memupuk dan mengembangkan jiwa
kedirgantaraan dengan mengutamakan faktor keselamatan, keamanan,
dan kenyamanan.
Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai hak, kewajiban, serta
tanggung jawab hukum para penyedia jasa dan para pengguna jasa, dan
tanggung jawab hukum penyedia jasa terhadap kerugian pihak ketiga
sebagai akibat dari penyelenggaraan penerbangan serta kepentingan
internasional atas objek pesawat udara yang telah mempunyai tanda
pendaftaran dan kebangsaan Indonesia. Di samping itu, dalam rangka
pembangunan hukum nasional serta untuk lebih memantapkan
perwujudan kepastian hukum, Undang-Undang ini juga memberikan
perlindungan konsumen tanpa mengorbankan kelangsungan hidup
penyedia jasa transportasi serta memberi kesempatan yang lebih luas
kepada daerah untuk mengembangkan usaha-usaha tertentu di bandar
udara yang tidak terkait langsung dengan keselamatan penerbangan.

                                                              Dalam . . .
                                -3-


Dalam Undang-Undang ini telah dilakukan perubahan paradigma yang
nyata dalam rangka pemisahan yang tegas antara fungsi regulator,
operator, dan penyedia jasa penerbangan. Di samping itu, juga dilakukan
penggabungan beberapa penyelenggara yang ada menjadi satu
penyelenggara pelayanan navigasi serta untuk sertifikasi dan registrasi
pesawat udara juga dibentuk unit pelayanan otonom, dengan
mengutamakan keselamatan dan keamanan penerbangan, yang tidak
berorientasi pada keuntungan, secara finansial dapat mandiri, serta biaya
yang ditarik dari pengguna dikembalikan untuk biaya investasi dan
peningkatan operasional (cost recovery).

Penerbangan sebagai satu kesatuan sistem yang terdiri atas
pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan
udara, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas
penunjang dan fasilitas umum lainnya yang pokok-pokoknya dapat
diuraikan sebagai berikut.

a.   Pemanfaatan wilayah udara merupakan implementasi dari kedaulatan
     Negara Republik Indonesia yang utuh dan eksklusif atas ruang
     udaranya,   yang    memuat    tatanan   ruang   udara    nasional,
     penyelenggaraan pelayanan, personel dan fasilitas navigasi
     penerbangan, serta pengaturan tentang tata cara navigasi,
     komunikasi penerbangan, pengamatan dan larangan mengganggu
     pelayanan navigasi penerbangan, termasuk pemberian sanksi.

     Tatanan ruang udara nasional ditetapkan untuk mewujudkan
     penyelenggaraan pelayanan navigasi penerbangan yang andal dalam
     rangka keselamatan penerbangan dengan mengacu pada peraturan
     nasional dan regulasi Organisasi Penerbangan Sipil Internasional
     (International Civil Aviation Organisation/ICAO) yang terkait dengan
     penetapan dan penggunaan ruang udara. Dalam penggunaan ruang
     udara tersebut, diberikan pelayanan oleh Pemerintah selaku
     penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan, terdiri atas
     pelayanan lalu lintas penerbangan, komunikasi penerbangan,
     informasi aeronautika, informasi meteorologi penerbangan, serta
     informasi pencarian dan pertolongan. Guna mendukung kelancaran
     kegiatan penerbangan serta keselamatan penerbangan, penyelenggara
     pelayanan navigasi penerbangan menyiapkan personel yang
     kompeten, memasang dan mengoperasikan serta merawat fasilitas
     navigasi penerbangan.

     Untuk menjaga keselamatan penerbangan, dalam tata cara
     bernavigasi, penyelenggara dan pengguna pelayanan navigasi
     penerbangan diwajibkan mematuhi semua ketentuan yang berlaku. Di
     samping itu, diatur izin penggunaan frekuensi radio yang
     dialokasikan untuk penerbangan, dan pemberian rekomendasi


                                                         penggunaan . . .
                                  -4-


     penggunaan frekuensi radio di luar alokasi frekuensi yang sudah
     ditetapkan  untuk   kegiatan    penerbangan,    serta  dilakukan
     pembatasan, larangan, dan sanksi terhadap kegiatan yang
     mengganggu pelayanan navigasi penerbangan.

     Wilayah udara Republik Indonesia yang pelayanan navigasi
     penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan
     perjanjian sudah harus dievaluasikan dan dilayani oleh lembaga
     penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan paling lambat 15 (lima
     belas) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

b.   Karena penting dan strategisnya peranan penerbangan untuk hajat
     hidup orang banyak, penerbangan dikuasai oleh negara yang
     pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah dengan memperkuat
     kelembagaan yang bertanggung jawab di bidang penerbangan berupa
     penataan struktur kelembagaan, peningkatan kuantitas dan kualitas
     sumber daya manusia, peningkatan pengelolaan anggaran yang
     efektif, efisien, dan fleksibel berdasarkan skala prioritas, peningkatan
     kesejahteraan sumber daya manusia, pengenaan sanksi kepada
     pejabat dan/atau pegawai atas pelanggaran dalam pelaksanaan
     ketentuan Undang-Undang ini. Pembinaan yang dilakukan               oleh
     Pemerintah tersebut meliputi pengaturan, pengendalian, dan
     pengawasan.

c.   Dalam rangka menghadapi perkembangan dunia penerbangan tanpa
     batas hak angkut (open sky policy), kerja sama bilateral, multilateral,
     dan plurilateral, asas resiprokal, keadilan (fairness), dan cabotage,
     aliansi penerbangan, jaringan rute pengumpul (hub) dan pengumpan
     (spoke), serta perkuatan industri penerbangan dalam negeri,
     pengaturan angkutan udara difokuskan untuk menciptakan iklim
     yang kondusif di bidang jasa angkutan udara, dengan menetapkan
     hak dan kewajiban yang seimbang, standar pelayanan prima, dengan
     mengutamakan perlindungan terhadap pengguna jasa.

     Dalam Undang-Undang ini juga diatur persyaratan badan usaha
     angkutan udara agar mampu tumbuh sehat, berkembang, dan
     kompetitif secara nasional dan internasional. Selanjutnya, untuk
     membuka daerah-daerah terpencil di seluruh wilayah Indonesia,
     Undang-Undang ini tetap menjamin pelayanan angkutan udara
     perintis dalam upaya memberikan stimulus bagi daerah-daerah guna
     peningkatan kegiatan ekonomi.

     Dalam upaya pemberdayaan industri penerbangan nasional, Undang-
     Undang ini juga memuat ketentuan mengenai kepentingan
     internasional atas objek pesawat udara yang mengatur objek pesawat


                                                                  udara . . .
                                  -5-


     udara dapat dibebani dengan kepentingan internasional yang timbul
     akibat perjanjian pemberian hak jaminan kebendaan, perjanjian
     pengikatan hak bersyarat dan/atau perjanjian sewa guna usaha.
     Pengaturan tersebut mengacu pada Konvensi Internasional dalam
     peralatan bergerak (Convention on international interest in mobile
     equipment) dan protokol mengenai masalah-masalah khusus pada
     peralatan pesawat udara (Protocol to the convention on interest in mobile
     equipment on matters specific to Aircraft equipment), sebagai
     konsekuensi diratifikasinya konvensi dan protokol yang biasa disebut
     Cape Town Convention.
d.   Dalam rangka menjamin penyelenggaraan kebandarudaraan sebagai
     pusat kegiatan pelayanan angkutan udara dan unit bisnis yang
     efektif, efisien, dan mampu menggerakkan perekonomian wilayah,
     Undang-Undang ini mengatur persyaratan, prosedur, dan standar
     kebandarudaraan, tatanan kebandarudaraan nasional, penetapan
     lokasi, pengoperasian, fasilitas dan personel bandar udara,
     pengendalian daerah lingkungan kerja, dan kawasan keselamatan
     operasi penerbangan di sekitar bandar udara untuk kepentingan
     keselamatan dan keamanan penerbangan, serta kelestarian
     lingkungan.
     Dalam penyelenggaraan bandar udara diatur juga pemisahan yang
     tegas antara regulator dan operator bandar udara dengan
     dibentuknya Otoritas Bandar Udara, serta memberi peluang lebih luas
     terhadap peran serta swasta dan pemerintah daerah dalam
     penyelenggaraan bandar udara.
e.   Untuk menjamin terwujudnya penyelenggaraan penerbangan yang
     memenuhi standar keselamatan dan keamanan, Undang-Undang ini
     mengatur penetapan program keselamatan penerbangan nasional,
     program keamanan penerbangan nasional, dan program budaya
     tindakan keselamatan yang mengacu pada regulasi Organisasi
     Penerbangan Sipil Internasional (ICAO). Program keselamatan
     penerbangan nasional memuat peraturan keselamatan, sasaran
     keselamatan, sistem pelaporan keselamatan, analisis data dan
     pertukaran informasi keselamatan         (safety data analysis and
     exchange), kegiatan investigasi kecelakaan dan kejadian (accident and
     incident investigation), promosi keselamatan       (safety promotion),
     pengawasan keselamatan (safety oversight), dan penegakan hukum
     (law enforcement). Sedangkan program keamanan penerbangan
     nasional memuat peraturan keamanan, sasaran keamanan, personel
     keamanan, pembagian tanggung jawab keamanan, perlindungan
     bandar udara, pesawat udara, dan fasilitas navigasi, pengendalian
     dan penjaminan keamanan terhadap orang dan barang di pesawat
     udara, penanggulangan tindakan melawan hukum, penyesuaian

                                                                   sistem . . .
                                      -6-


           sistem keamanan terhadap tingkat        ancaman    keamanan,     dan
           pengawasan keamanan penerbangan.
      f.   Dalam upaya memberikan jaminan pelayanan sertifikasi dan inspeksi
           keselamatan yang kredibel, transparan, dan akuntabel, serta
           meningkatkan     kompetensi       sumber      daya     manusia untuk
           penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik, Undang-Undang ini
           mengatur pembentukan penyelenggara pelayanan umum yang dalam
           menjalankan tugasnya berdasarkan pola penganggaran berbasis
           kinerja dengan skala prioritas, efisiensi, dan efektivitas.
      g.   Untuk mengetahui penyebab setiap kecelakaan dan kejadian serius
           pesawat udara sipil dan dalam rangka menegakkan etika profesi,
           melaksanakan mediasi, dan menafsirkan penerapan regulasi di
           bidang penerbangan untuk mencegah terjadinya kecelakaan dengan
           penyebab yang sama, diatur pula pembentukan komite nasional yang
           bertanggung jawab kepada Presiden, dan untuk keperluan
           penyelidikan lanjutan, komite tersebut membentuk majelis profesi
           penerbangan.
      h.   Dalam Undang-Undang ini diatur pula sistem informasi penerbangan
           melalui jaringan informasi yang efektif, efisien, dan terpadu dengan
           memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
           Selanjutnya    dalam    rangka    meningkatkan       penyelenggaraan
           penerbangan secara optimal, diatur peran serta masyarakat dengan
           prinsip keterbukaan dan kemitraan.

      Dengan diundangkannya Undang-Undang ini, berbagai ketentuan yang
      terdapat   dalam     peraturan    perundang-undangan     nasional  dan
      internasional sepanjang tidak bertentangan tetap berlaku dan merupakan
      peraturan yang saling melengkapi.

      Dalam Undang-Undang ini diatur hal-hal yang bersifat pokok, sedangkan
      yang bersifat teknis dan operasional diatur dalam Peraturan Pemerintah,
      Peraturan Menteri dan peraturan pelaksanaan lainnya.


II.   PASAL DEMI PASAL

      Pasal 1

           Cukup jelas.

                                                                   Pasal 2 . . .
                                 -7-


Pasal 2

    Huruf a

          Yang dimaksud dengan "asas manfaat" adalah penyelenggaraan
          penerbangan harus dapat memberikan manfaat yang sebesar-
          besarnya bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat
          dan pengembangan bagi warga negara, serta upaya peningkatan
          pertahanan dan keamanan negara.

    Huruf b

          Yang dimaksud dengan "asas usaha bersama dan kekeluargaan"
          adalah    penyelenggaraan    usaha   di bidang  penerbangan
          dilaksanakan untuk mencapai tujuan nasional yang dalam
          kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat
          dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan.

    Huruf c

          Yang dimaksud dengan "asas adil dan merata" adalah
          penyelenggaraan    penerbangan  harus   dapat    memberikan
          pelayanan yang adil dan merata tanpa diskriminasi kepada
          segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh
          masyarakat tanpa membedakan suku, agama, dan keturunan
          serta tingkat ekonomi.

    Huruf d

          Yang dimaksud dengan "asas keseimbangan, keserasian, dan
          keselarasan" adalah penyelenggaraan penerbangan harus
          dilaksanakan sedemikian rupa sehingga terdapat keseimbangan,
          keserasian, dan keselarasan antara sarana dan prasarana, antara
          kepentingan pengguna dan penyedia jasa, antara kepentingan
          individu dan masyarakat, serta antara kepentingan nasional dan
          internasional.

    Huruf e

          Yang dimaksud dengan "asas kepentingan umum" adalah
          penyelenggaraan penerbangan harus mengutamakan kepentingan
          masyarakat luas.


                                                              Huruf f . . .
                          -8-



Huruf f

   Yang     dimaksud    dengan     "asas  keterpaduan"    adalah
   penyelenggaraan penerbangan harus merupakan kesatuan yang
   bulat dan utuh, terpadu, saling menunjang, dan saling mengisi,
   baik intra maupun antarmoda transportasi.

Huruf g

   Yang dimaksud dengan "asas tegaknya hukum" adalah undang-
   undang ini mewajibkan Pemerintah untuk menegakkan dan
   menjamin kepastian hukum serta mewajibkan kepada setiap
   warga negara Indonesia untuk selalu sadar dan taat kepada
   hukum dalam penyelenggaraan penerbangan.

Huruf h

   Yang    dimaksud     dengan    "asas     kemandirian"     adalah
   penyelenggaraan    penerbangan     harus    bersendikan     pada
   kepribadian bangsa, berlandaskan pada kepercayaan akan
   kemampuan dan kekuatan sendiri, mengutamakan kepentingan
   nasional dalam penerbangan, dan memperhatikan pangsa muatan
   yang wajar dalam angkutan di perairan dari dan ke luar negeri.

Huruf i

   Yang dimaksud dengan "asas keterbukaan dan anti-monopoli"
   adalah    penyelenggaraan    usaha   di bidang  penerbangan
   dilaksanakan untuk mencapai tujuan nasional yang dalam
   kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat
   dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan.

Huruf j

   Yang dimaksud dengan "asas berwawasan lingkungan hidup"
   adalah penyelenggaraan penerbangan harus dilakukan selaras
   dengan upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Huruf k

   Yang dimaksud dengan "asas kedaulatan negara" adalah
   penyelenggaraan penerbangan harus dilakukan selaras dengan
   upaya menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
   Indonesia.

                                                        Huruf l . . .
                                -9-



    Huruf l

          Yang    dimaksud    dengan   "asas   kebangsaan"   adalah
          penyelenggaraan penerbangan harus dapat mencerminkan sifat
          dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan)
          dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik
          Indonesia.

    Huruf m
          Yang dimaksud dengan "asas kenusantaraan" adalah setiap
          penyelenggaraan   penerbangan     senantiasa   memperhatikan
          kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan penyelenggaraan
          penerbangan yang dilakukan oleh daerah merupakan bagian dari
          sistem penerbangan nasional yang berdasarkan Pancasila.

Pasal 3
    Cukup jelas.

Pasal 4
    Cukup jelas.

Pasal 5

    Sebagai negara berdaulat, Republik Indonesia memiliki kedaulatan
    penuh dan utuh di wilayah udara Republik Indonesia, sesuai dengan
    ketentuan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil
    Internasional dan Konvensi Hukum Laut Internasional Tahun 1982
    yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 Tentang
    Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea.
    Ketentuan dalam pasal ini hanya menegaskan mengenai kewenangan
    dan tanggung jawab negara Republik Indonesia untuk mengatur
    penggunaan wilayah udara yang merupakan bagian dari wilayah
    Indonesia, sedangkan mengenai kedaulatan atas wilayah Republik
    Indonesia secara menyeluruh tetap berlaku ketentuan perundang-
    undangan di bidang pertahanan negara.
    Untuk dapat menjaga kedaulatan wilayah udara Negara Kesatuan
    Republik Indonesia, harus dilakukan penguasaan dan pengembangan
    teknologi agar Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat setinggi
    mungkin menguasai wilayah udaranya untuk kepentingan yang
    seluas-luasnya bagi masyarakat khususnya untuk kepentingan
    penerbangan.


                                                           Pasal 6 . . .
                                 - 10 -



Pasal 6

    Wilayah udara yang berupa ruang udara di atas wilayah daratan dan
    perairan Republik Indonesia merupakan kekayaan nasional sehingga
    harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat,
    bangsa, dan negara.

Pasal 7

    Ayat (1)

          Kewenangan menetapkan kawasan udara terlarang dan terbatas
          merupakan kewenangan dari setiap negara berdaulat untuk
          mengatur penggunaan wilayah udaranya, dalam rangka
          keselamatan masyarakat luas, keselamatan penerbangan,
          perekonomian nasional, lingkungan hidup, serta pertahanan dan
          keamanan.

          Yang dimaksud dengan "kawasan udara terlarang (prohibited
          area)" adalah kawasan udara dengan pembatasan yang bersifat
          permanen dan menyeluruh bagi semua pesawat udara.
          Pembatasan hanya dapat ditetapkan di dalam wilayah udara
          Indonesia, sebagai contoh instalasi nuklir atau istana Presiden.

          Yang dimaksud dengan "kawasan udara terbatas (restricted area)"
          adalah kawasan udara dengan pembatasan bersifat tidak tetap
          dan hanya dapat digunakan untuk operasi penerbangan tertentu
          (pesawat udara TNI). Pada waktu tidak digunakan (tidak aktif),
          kawasan ini dapat digunakan untuk penerbangan sipil.
          Pembatasan dapat berupa pembatasan ketinggian dan hanya
          dapat ditetapkan di dalam wilayah udara Indonesia, misalnya
          instalasi atau kawasan militer.

    Ayat (2)

          Cukup jelas.

    Ayat (3)

          Cukup jelas.
    Ayat (4)

          Cukup jelas.


                                                              Pasal 8 . . .
                                 - 11 -



Pasal 8

    Ayat (1)

           Yang dimaksud dengan "melanggar wilayah kedaulatan Negara
           Kesatuan Republik Indonesia" adalah memasuki wilayah Negara
           Kesatuan Republik Indonesia tanpa izin.

    Ayat (2)

           Cukup jelas.

    Ayat (3)

           Informasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini diperlukan
           untuk langkah tindak lanjut yang dilakukan oleh aparat yang
           tugas dan bertanggung jawab di bidang pertahanan negara.

    Ayat (4)

           Cukup jelas.

    Ayat (5)

           Yang dimaksud dengan "seluruh muatannya" adalah semua yang
           terangkut dalam pesawat udara antara lain penumpang, kargo,
           pos, dan perlengkapan lainnya yang ada dalam pesawat udara.

Pasal 9

    Cukup jelas.

Pasal 10

    Ayat (1)

           Yang dimaksud dengan "dikuasai oleh negara" adalah bahwa
           negara mempunyai hak penguasaan atas penyelenggaraan
           penerbangan yang perwujudannya meliputi aspek pengaturan,
           pengendalian, dan pengawasan.

    Ayat (2)

           Cukup jelas.

                                                            Ayat (3) . . .
                                - 12 -



    Ayat (3)

           Cukup jelas.

    Ayat (4)

           Cukup jelas.

    Ayat (5)

           Cukup jelas.

    Ayat (6)

           Cukup jelas.

    Ayat (7)

           Cukup jelas.

    Ayat (8)

           Yang dimaksud dengan "sesuai dengan kewenangannya" adalah
           kewenangan yang telah diserahkan oleh Pemerintah kepada
           pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan perundang-
           undangan.
Pasal 11

    Cukup jelas.

Pasal 12

    Cukup jelas.

Pasal 13

    Cukup jelas.

Pasal 14

    Cukup jelas.


                                                         Pasal 15 . . .
                                   - 13 -


Pasal 15
    Ayat (1)
           Cukup jelas.
    Ayat (2)
           Yang dimaksud dengan "uji tipe", antara lain, meliputi:
           a. pengujian rangka;
           b. pengujian mesin;
           c. pengujian fungsi sistem di darat;
           d. pengujian fungsi sistem di udara; dan
           e. pengujian kemampuan terbang.
Pasal 16
    Cukup jelas.
Pasal 17
    Ayat (1)
           Cukup jelas.
    Ayat (2)
           Cukup jelas.
    Ayat (3)
           Huruf a
               Cukup jelas.

           Huruf b
               Dalam sertifikat tipe tambahan antara lain termasuk
               pemberian sertifikat peralatan telekomunikasi di pesawat
               udara untuk mencegah ancaman keselamatan dan
               keamanan penerbangan, misalnya peralatan telekomunikasi
               tersebut  tidak     mengganggu     (interferensi) navigasi
               penerbangan.
           Huruf c
               Cukup jelas.
Pasal 18
    Cukup jelas.

                                                                Pasal 19 . . .
                                 - 14 -



Pasal 19

    Cukup jelas.

Pasal 20

    Cukup jelas.

Pasal 21

    Cukup jelas.

Pasal 22

    Cukup jelas.

Pasal 23

    Cukup jelas.

Pasal 24

    Tanda pendaftaran dapat berupa tanda pendaftaran Indonesia atau
    tanda pendaftaran asing.

Pasal 25

    Yang dimaksud dengan "tanda pendaftaran Indonesia" terdiri atas 3
    (tiga) huruf.

           Huruf a

               Cukup jelas.

           Huruf b

               Cukup jelas.

           Huruf c

               Yang dimaksud dengan "perjanjian" adalah perjanjian sewa
               beli, sewa guna usaha, atau bentuk perjanjian lainnya yang
               tunduk pada hukum yang disepakati para pihak;



                                                             Huruf d . . .
                                  - 15 -


           Huruf d

               Cukup jelas.

           Huruf e

               Cukup jelas.

Pasal 26

    Cukup jelas.

Pasal 27

    Ayat (1)

           Yang dimaksud dengan "tanda kebangsaan Indonesia" adalah
           pemberian identitas di pesawat udara yang saat ini digunakan
           Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari 2 (dua) huruf
           yaitu PK. Untuk itu, tidak semua pesawat udara yang telah
           didaftarkan harus diberikan tanda kebangsaan.

           Tanda Kebangsaan Indonesia melekat pada sertifikat pendaftaran.

    Ayat (2)

           Cukup jelas.

    Ayat (3)
           Pembebasan dari tanda kebangsaan dengan pertimbangan bahwa
           pesawat udara tersebut daerah operasinya dibatasi dan
           penerbangan yang akan dilakukan tidak melewati batas wilayah
           teritorial (beroperasi dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
           Indonseia).
           Pembebasan tanda kebangsaan Indonesia tidak berarti tidak
           memiliki tanda pendaftaran.

    Ayat (4)

           Cukup jelas.

Pasal 28

    Cukup jelas.

                                                              Pasal 29 . . .
                                - 16 -


Pasal 29
    Huruf a
           Angka 1)
               Cukup jelas.
           Angka 2)
               Cukup jelas.
           Angka 3)
               Cukup jelas.
           Angka 4)
               Cukup jelas.
           Angka 5)
               Cukup jelas.
           Angka 6)
               Yang dimaksud dengan "sengaja dirusak atau dihancurkan"
               dalam ketentuan ini adalah pesawat tersebut tidak akan
               digunakan lagi atau dialih fungsi pengunaannya seperti
               sebagai bahan praktek pendidikan, atau barang pajangan.
           Angka 7)
               Yang dimaksud dengan "cedera janji" adalah penyewa
               pesawat udara tidak memenuhi kesepakatan dalam
               perjanjian.
               Ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada huruf a angka
               7) mengacu kepada konvensi tentang kepentingan
               internasional dalam peralatan bergerak (Convention on
               International Interest in Mobile Equipment).
    Huruf b

      Cukup jelas.
Pasal 30
    Cukup jelas.


                                                         Pasal 31 . . .
                               - 17 -


Pasal 31

    Cukup jelas.

Pasal 32

    Cukup jelas.

Pasal 33

    Cukup jelas.

Pasal 34

    Cukup jelas.

Pasal 35

    Cukup jelas.

Pasal 36

    Yang dimaksud dengan:
    a. "kategori transpor" terbatas pada pesawat terbang yang beban
       maksimal pada saat lepas landas (maximum take off
       weight/MTOW) lebih besar atau sama dengan 5.700 kilogram.
    b. "kategori normal" terbatas pada pesawat terbang yang memiliki
       konfigurasi tempat duduk (seat) untuk lebih kecil atau sama
       dengan 9 (sembilan) penumpang selain tempat duduk pilot,
       beban maksimal pada saat lepas landas lebih kecil atau sama
       dengan 5.700 kilogram dan untuk pengoperasian non-aerobatik.
    c. "kategori kegunaan" terbatas pada pesawat terbang yang memiliki
       konfigurasi tempat duduk untuk lebih kecil atau sama dengan 9
       (sembilan) penumpang selain tempat duduk pilot, beban
       maksimal pada saat lepas landas lebih kecil atau sama 5.700
       kilogram dan untuk pengoperasian aerobatik yang terbatas
       (limited aerobatic).
    d. "kategori aerobatik" terbatas pada pesawat terbang yang memiliki
       konfigurasi tempat duduk untuk lebih kecil atau sama dengan 9
       (sembilan) penumpang selain tempat duduk pilot, beban
       maksimal pada saat lepas landas lebih kecil atau sama dengan
       5.700 kilogram dan untuk pengoperasian tanpa batas (full
       aerobatic).

                                               e. "kategori komuter" . . .
                                   - 18 -


    e.     "kategori komuter" terbatas pada pesawat terbang yang memiliki
           baling-baling pendorong (propeller), bermesin lebih dari satu
           (multiengines), memiliki konfigurasi tempat duduk lebih kecil atau
           sama dengan 19 selain tempat duduk pilot, beban maksimal pada
           saat lepas landas lebih kecil atau sama dengan 8.500 kilogram
           dan untuk pengoperasian non-aerobatik.

Pasal 37

    Cukup jelas.

Pasal 38

    Yang dimaksud dengan:
    a.     "Penggunaan pesawat udara secara terbatas" adalah penggunaan
           dan pengoperasian pesawat udara secara terbatas untuk tujuan
           khusus antara lain pertanian, konservasi hutan, pemetaan,
           patroli, pemantauan cuaca, hujan buatan, dan periklanan.

    b.     Penggunaan pesawat udara untuk percobaan adalah penggunaan
           dan pengoperasian pesawat udara untuk tujuan:
           1) penelitian dan pengembangan (research & development);
           2) pembuktian      kesesuaian    dengan    peraturan-peraturan
               (showing compliance with regulations);
           3) pelatihan awak pesawat (crew training);
           4) pameran (exhibition);
           5) perlombaan balap udara (air racing);
           6) survei pasar (market surveys); dan
           7) kegemaran/hobi kedirgantaraan.
    c.     Penggunaan pesawat udara untuk kegiatan penerbangan yang
           bersifat khusus adalah izin terbang khusus yang diterbitkan
           untuk pengoperasian pesawat udara untuk keperluan:
           1) perbaikan atau perawatan;
           2) pengiriman atau ekspor pesawat udara;
           3) uji terbang produksi (production flight test);
           4) evakuasi pesawat dari daerah berbahaya; atau
           5) demonstrasi terbang.

Pasal 39
    Cukup jelas.

                                                                Pasal 40 . . .
                                - 19 -


Pasal 40
    Cukup jelas.
Pasal 41

    Cukup jelas.

Pasal 42
    Huruf a
           Cukup jelas.
    Huruf b
           Cukup jelas.
    Huruf c
           Cukup jelas.

    Huruf d
           Cukup jelas.
    Huruf e

           Yang dimaksud dengan "personel manajemen yang kompeten"
           adalah personel yang telah memiliki sertifikat kecakapan.
    Huruf f

           Cukup jelas.

    Huruf g

           Cukup jelas.

    Huruf h
           Cukup jelas.
    Huruf i

           Cukup jelas.

    Huruf j

           Cukup jelas.

                                                       Huruf k . . .
                                - 20 -



    Huruf k
           Cukup jelas.
    Huruf l
           Cukup jelas.
    Huruf m
           Cukup jelas.

Pasal 43
    Cukup jelas.

Pasal 44

    Cukup jelas.

Pasal 45

    Cukup jelas.

Pasal 46
    Cukup jelas.

Pasal 47
    Ayat (1)
           Huruf a
               Cukup jelas.
           Huruf b
               Cukup jelas.
           Huruf c
               Perseorangan pemegang sertifikat ahli perawatan pesawat
               udara yang dimaksud dalam ketentuan ini hanya dapat
               melakukan perawatan pesawat udara untuk perusahaan
               angkutan udara bukan niaga yang berkapasitas penumpang
               kurang dari 9 (sembilan) orang.
    Ayat (2)

           Cukup jelas.
                                                          Pasal 48 . . .
                                   - 21 -



Pasal 48

    Cukup jelas.

Pasal 49

    Cukup jelas.

Pasal 50

    Cukup jelas.

Pasal 51
    Cukup jelas.

Pasal 52
    Ayat (1)
           Cukup jelas.
    Ayat (2)
           Yang dimaksud dengan "keadaan darurat" adalah suatu keadaan
           yang memaksa sehingga harus dilakukan pendaratan di luar
           bandar udara yang telah ditetapkan, misalnya karena terjadi
           kerusakan mesin, kehabisan bahan bakar, cuaca buruk, ancaman
           bom, atau pembajakan, teroris yang dapat membahayakan
           keselamatan penerbangan apabila penerbangan tetap dilanjutkan.
    Ayat (3)
           Cukup jelas.
Pasal 53

    Ayat (1)

           Kegiatan yang membahayakan keselamatan pesawat udara
           tersebut antara lain terbang di luar jalur yang ditentukan, terbang
           tidak membawa peralatan keselamatan, dan terbang di atas
           kawasan udara terlarang.

    Ayat (2)

           Cukup jelas.
                                                                 Pasal 54 . . .
                                   - 22 -


Pasal 54

    Cukup jelas.

Pasal 55
    Yang dimaksud dengan "selama terbang" adalah sejak saat semua
    pintu luar pesawat udara ditutup setelah naiknya penumpang
    (embarkasi) sampai saat pintu dibuka untuk penurunan penumpang
    (debarkasi) di bandar udara tujuan.
    Kewenangan kapten penerbang dalam ketentuan ini juga pada saat
    pendaratan darurat sampai dengan kewenangan tersebut diambil alih
    pejabat yang berwenang atau pejabat yang ditunjuk dalam
    penanganan darurat.
    Kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk
    memberikan landasan hukum bagi tindakan yang diambil oleh
    kapten penerbang dalam rangka keamanan dan keselamatan
    penerbangan.

Pasal 56
    Ayat (1)
           Yang dimaksud dengan "penumpang yang tidak mampu", antara
           lain, orang cacat, orang buta huruf, dan anak-anak.
    Ayat (2)
           Cukup jelas.

Pasal 57
    Cukup jelas.

Pasal 58
    Ayat (1)

           Personel pesawat udara meliputi personel operasi pesawat udara,
           personel penunjang operasi pesawat udara, dan personel
           perawatan pesawat udara.
           Personel operasi pesawat udara meliputi:
           a. penerbang; dan
           b. juru mesin pesawat udara.

                                                              Personel . . .
                                  - 23 -


           Personel penunjang operasi pesawat udara meliputi:
           a. personel penunjang operasi penerbangan; dan
           b. personel kabin.
           Personel perawatan pesawat udara, yaitu personel yang telah
           memiliki lisensi ahli perawatan pesawat udara.
    Ayat (2)
      Yang dimaksud dengan "sah" adalah dikeluarkan atau dilegalisasi
      oleh pejabat yang berwenang.

      Yang dimaksud dengan "masih berlaku" adalah lisensi yang
      diberikan memiliki batas waktu berlakunya sesuai dengan bidang
      pekerjaannya.
    Ayat (3)
           Huruf a
               Cukup jelas.
           Huruf b
               Yang dimaksud dengan "sehat jasmani dan rohani" adalah
               keterangan hasil pemeriksaan kesehatan yang dilaksanakan
               oleh unit kesehatan yang mempunyai kualifikasi untuk
               melakukan pemeriksaan kesehatan personel penerbangan.
           Huruf c
               Cukup jelas.
           Huruf d
               Yang dimaksud dengan "ujian" adalah suatu kegiatan untuk
               mengetahui kompetensi personel dalam rangka mendapatkan
               lisensi.
    Ayat (4)
           Cukup jelas.
Pasal 59
    Ayat (1)
           Huruf a
               Cukup jelas.
                                                                Huruf b . . .
                                 - 24 -


           Huruf b
               Yang dimaksud dengan "mempertahankan kemampuan yang
               dimiliki" adalah kewajiban minimal personel dalam
               melakukan pekerjaan dan mengikuti pelatihan ulang.
           Huruf c
              Cukup jelas.
    Ayat (2)
           Cukup jelas.
Pasal 60
    Cukup jelas.
Pasal 61
    Cukup jelas.
Pasal 62
    Ayat (1)
           Huruf a
               Cukup jelas.
           Huruf b
               Cukup jelas.
           Huruf c
               Yang dimaksud dengan "pihak kedua" adalah orang atau
               badan hukum yang mempunyai hubungan langsung dengan
               kegiatan pengoperasian pesawat udara dengan suatu ikatan
               hukum.

           Huruf d
               Yang dimaksud dengan "pihak ketiga" adalah orang atau
               badan hukum yang tidak mempunyai hubungan langsung
               dengan kegiatan pengoperasian pesawat udara dengan suatu
               ikatan hukum, tetapi mendapat akibat dari pengoperasian
               pesawat udara tersebut.
           Huruf e
               Cukup jelas.
                                                            Ayat (2) . . .
                                  - 25 -


    Ayat (2)

           Cukup jelas.

    Ayat (3)
           Cukup jelas.
Pasal 63
    Ayat (1)

           Cukup jelas.

    Ayat (2)
           Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah:
           a. tidak tersedianya kapasitas pesawat udara di Indonesia;
           b. tidak tersedianya jenis atau kemampuan pesawat udara
              Indonesia untuk melakukan kegiatan angkutan udara;
           c. bencana alam; dan/atau
           d. bantuan kemanusiaan.
           Yang dimaksud dengan "dalam waktu yang terbatas" adalah
           waktu pengoperasian pesawat udara asing dibatasi sampai dapat
           ditanggulanginya keadaan tertentu oleh pesawat udara Indonesia.
    Ayat (3)
           Yang dimaksud dengan "perjanjian antarnegara" adalah perjanjian
           pelimpahan kewenangan fungsi kelaikudaraan.
    Ayat (4)
           Yang dimaksud "persyaratan kelaikudaraan"       adalah    sesuai
           dengan ketentuan nasional dan internasional.

    Ayat (5)

           Cukup jelas.

    Ayat (6)

           Cukup jelas.
Pasal 64
    Cukup jelas.
                                                              Pasal 65 . . .
                              - 26 -



Pasal 65
    Cukup jelas.
Pasal 66

    Cukup jelas.

Pasal 67
    Ayat (1)

           Cukup jelas.
    Ayat (2)
           Yang dimaksud   dengan   "tanda   identitas"   adalah   tanda
           pendaftaran.
Pasal 68

    Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah apabila Pemerintah
    memerlukan transportasi untuk angkutan udara, sedangkan yang
    tersedia hanya pesawat udara negara, Pemerintah dapat
    menggunakan pesawat udara negara menjadi pesawat udara sipil
    sesuai dengan persyaratan pesawat udara sipil.
    Begitu juga sebaliknya apabila Pemerintah memerlukan pesawat
    udara untuk kegiatan negara, sedangkan yang tersedia hanya
    pesawat udara sipil pesawat udara sipil dapat diubah menjadi
    pesawat udara negara sesuai dengan persyaratan pesawat udara
    negara.

Pasal 69

    Yang dimaksud dengan izin Pemerintah adalah persetujuan terbang
    (flight approval).

Pasal 70

    Cukup jelas.

Pasal 71
    Yang dimaksud dengan "objek pesawat udara" adalah rangka pesawat
    udara, mesin pesawat udara, dan helikopter. Mesin pesawat udara
    yang dipasang pada rangka pesawat udara disebut pesawat terbang.

                                                     Yang dimaksud . . .
                           - 27 -


Yang dimaksud dengan "rangka pesawat udara" adalah rangka
pesawat udara (selain rangka pesawat udara yang digunakan untuk
dinas kemiliteran, beacukai, atau kepolisian) yang apabila dipasang
mesin-mesin pesawat udara yang sesuai pada rangka pesawat udara
itu, disertifikasi oleh lembaga penerbang yang berwenang untuk
mengangkut:
a. paling sedikit 8 orang termasuk awak pesawat; atau
b. barang-barang yang lebih dari 2.750 kg,
beserta seluruh perlengkapan, komponen, dan peralatan yang
terpasang dimasukkan atau terkait (selain mesin pesawat udara) dan
seluruh data buku petunjuk dan catatan yang berhubungan dengan
itu.
Yang dimaksud dengan "mesin pesawat udara" adalah mesin pesawat
udara (selain mesin pesawat udara yang digunakan untuk dinas
kemiliteran, beacukai, atau kepolisian) yang digerakkan oleh tenaga
propulsi jet atau turbin atau teknologi piston dan:
a. dalam hal mesin pesawat udara dengan propulsi jet, mempunyai
   paling sedikit gaya dorong sebesar 1.750 lbs atau yang setara; dan
b. dalam hal mesin-mesin pesawat udara yang diberi tenaga oleh
   turbin atau piston, mempunyai paling sedikit 550 tenaga kuda
   yang digunakan untuk lepas landas rata-rata atau yang setara,
beserta seluruh modul dan perlengkapan, komponen dan peralatan
lain yang terpasang, dimasukan atau terkait, dan seluruh data, buku
petunjuk dan catatan yang berhubungan dengan itu.
Yang dimaksud dengan "helikopter" adalah helikopter tertentu (yang
tidak digunakan dalam dinas-dinas militer, beacukai, atau kepolisian)
yang disertifikasi oleh lembaga penerbangan yang berwenang untuk
mengangkut:
a. paling sedikit 5 orang termasuk awak, atau
b. barang yang lebih dari 450 kg,
beserta seluruh perlengkapan, komponen, dan peralatan yang
terpasang, dimasukkan atau terkait (termasuk rotor-rotor) dan
seluruh data, buku petunjuk, dan catatan yang berhubungan dengan
itu.
Yang dimaksud dengan "kepentingan internasional" adalah suatu
kepentingan yang diperoleh kreditur yang timbul akibat perjanjian
pemberian hak jaminan kebendaan, perjanjian pengikatan hak
bersyarat dan/atau perjanjian hak sewa guna usaha yang tunduk
pada konvensi tentang kepentingan internasional dalam peralatan
bergerak dan protokol mengenai masalah-masalah khusus pada
peralatan udara (Protocol to the Convention on Interests in Mobile
Equipment on Matters Specific to Aircraft Equipment).

                                                  Yang dimaksud . . .
                                   - 28 -


    Yang dimaksud dengan "pemberian hak jaminan kebendaan (security
    agreement)" adalah suatu perjanjian di mana pemberi hak jaminan
    kebendaan (chargor) memberikan atau menyetujui untuk memberikan
    kepada penerima hak jaminan kebendaan (chargee) suatu
    kepentingan (termasuk kepentingan kepemilikan) atas objek pesawat
    udara untuk menjamin pemenuhan kewajiban yang terjadi atau yang
    akan terjadi dari pemberi hak jaminan kebendaan atau pihak ketiga.
    Yang dimaksud dengan "perjanjian pengikatan hak bersyarat (title
    reservation agreement)" adalah suatu perjanjian penjualan objek
    pesawat udara dengan ketentuan bahwa kepemilikan tidak akan
    beralih sampai terpenuhinya persyaratan yang tercantum dalam
    perjanjian.
    Yang dimaksud dengan "perjanjian sewa guna usaha (leasing
    agreement)" adalah suatu perjanjian di mana seseorang (pemberi sewa
    guna usaha/lessor) memberikan hak kepada orang lain (penerima
    sewa guna usaha/lessee) untuk menguasai suatu objek pesawat
    udara (dengan atau tanpa opsi untuk membeli) dengan kompensasi
    berupa uang sewa atau pembayaran lainnya.

Pasal 72
    Yang dimaksud dengan "berdasarkan hukum yang dipilih" adalah
    para pihak dapat memilih hukum yang akan mengatur hak dan
    kewajiban kontraktual mereka berdasarkan perjanjian tersebut
    dengan atau tanpa adanya titik taut antara hukum yang dipilih
    dengan salah satu pihak pada perjanjian atau pelaksanaan
    kewajiban-kewajiban berdasarkan perjanjian tersebut. Para pihak
    dalam perjanjian tersebut juga diberikan kebebasan untuk memilih
    yurisdiksi pada pengadilan dari Negara peserta konvensi dan protokol
    tersebut dengan atau tanpa adanya titik taut antara pengadilan yang
    dipilih dengan para pihak atau dengan transaksi yang timbul dari
    perjanjian tersebut.

Pasal 73
    Cukup jelas.
Pasal 74
    Ayat (1)

           Yang dimaksud dengan "kuasa memohon deregistrasi" adalah
           kuasa untuk memohon penghapusan pendaftaran dan ekspor
           yang tidak dapat ditarik kembali (irrevocable de-registration and
           export request authorization) sebagaimana dimaksud dalam
           konvensi dan protokol tersebut.
                                                                Ayat (2) . . .
                                 - 29 -


    Ayat (2)
           Cukup jelas.
    Ayat (3)
           Cukup jelas.
    Ayat (4)
           Cukup jelas.
Pasal 75
    Cukup jelas.
Pasal 76
    Yang dimaksud dengan "instansi pemerintah lainnya", antara lain,
    instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang bea cukai,
    perpajakan, luar negeri, dan pertahanan sesuai dengan kewenangan
    masing-masing.
Pasal 77
    Cukup jelas.
Pasal 78

    Yang dimaksud dengan "kantor pendaftaran internasional" adalah
    fasilitas pendaftaran internasional yang dibentuk untuk keperluan
    konvensi dan protokol tersebut dan akan menjadi satu-satunya
    kantor pendaftaran bagi kepentingan internasional dalam objek
    pesawat udara.
Pasal 79
    Ayat (1)
           Yang dimaksud dengan "pengadilan negeri" adalah pengadilan
           negeri yang dipilih oleh para pihak atau pengadilan negeri
           Indonesia yang memiliki kompetensi relatif dalam hal tidak
           adanya pilihan pengadilan dalam perjanjian.
    Ayat (2)
           Yang dimaksud dengan "jangka waktu" adalah:
           a. paling lama 10 (sepuluh) hari kalender sejak permohonan
              diterima untuk memberikan perlindungan terhadap objek
              pesawat udara dan nilainya, penguasaan, pengendalian atau
              pengawasan, dan/atau larangan memindahkan objek pesawat
              udara; dan
                                                      b. paling lama . . .
                                  - 30 -


           b. paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak permohonan
              diterima untuk memberikan sewa guna usaha atau pengelolaan
              objek pesawat udara dan pendapatan yang diterima dari hal
              tersebut, serta penjualan dan penggunaan hasil penjualan dari
              objek pesawat udara.
Pasal 80
    Yang dimaksud dengan "jangka waktu yang ditetapkan oleh
    Pemerintah" adalah jangka waktu yang dinyatakan dalam deklarasi
    pemerintah sehubungan dengan konvensi dan protokol tersebut.
Pasal 81
    Yang dimaksud dengan "tagihan-tagihan tertentu" adalah tagihan-
    tagihan yang dinyatakan dalam deklarasi pemerintah sehubungan
    dengan konvensi dan protokol tersebut, yaitu:
    a. hak karyawan perusahaan angkutan udara atas gaji yang belum
       dibayar yang timbul sejak dinyatakan cedera janji menurut
       perjanjian pembiayaan atau sewa guna usaha atas objek pesawat
       udara;
    b. hak dari otoritas di Indonesia terkait dengan pajak atau tagihan
       lainnya yang belum dibayar yang timbul dari atau terkait dengan
       penggunaan objek pesawat udara, dan timbul sejak dinyatakan
       cedera janji menurut perjanjian pembiayaan atau sewa guna usaha
       atas objek pesawat udara tersebut; dan
    c. hak lainnya dari pihak yang memperbaiki objek pesawat udara
       yang berada dalam penguasaannya sepanjang perbaikan tersebut
       mempunyai nilai tambah bagi objek pesawat udara tersebut.
Pasal 82
    Yang dimaksud dengan "ketentuan hukum khusus" adalah dalam hal
    terjadi pertentangan atau perbedaan pengaturan antara ketentuan
    dalam konvensi, protokol atau deklarasi dengan peraturan
    perundang-undangan Indonesia, ketentuan-ketentuan dari konvensi,
    protokol, dan deklarasi tersebut yang berlaku.
Pasal 83
    Ayat (1)
           Cukup jelas.
    Ayat (2)
           Cukup jelas.

                                                               Ayat (3) . . .
                                   - 31 -


    Ayat (3)

           Yang dimaksud dengan "kegiatan angkutan udara niaga
           berjadwal" adalah pelayanan angkutan udara niaga dalam rute
           penerbangan yang dilakukan secara tetap dan teratur.

           Yang dimaksud dengan "kegiatan angkutan udara niaga tidak
           berjadwal" adalah pelayanan angkutan udara niaga yang tidak
           terikat pada rute dan jadwal penerbangan yang tetap dan teratur.

Pasal 84

    Cukup jelas.

Pasal 85

    Ayat (1)

           Cukup jelas.

    Ayat (2)

           Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah adanya
           kebutuhan kapasitas angkutan udara pada rute tertentu yang
           tidak dapat dipenuhi      oleh kapasitas angkutan udara niaga
           berjadwal yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan angkutan
           udara niaga tidak berjadwal, antara lain paket wisata, MICE
           (meeting, insentive travel, convention, and exhibition), angkutan
           udara haji, bantuan bencana alam, kegiatan kemanusiaan, dan
           kegiatan yang bersifat nasional dan internasional.

           Yang dimaksud dengan "bersifat sementara" adalah persetujuan
           yang diberikan terbatas untuk jangka waktu tertentu, paling lama
           6 (enam) bulan dan hanya dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali
           pada rute yang sama.

    Ayat (3)

           Cukup jelas.

    Ayat (4)

           Cukup jelas.

                                                               Pasal 86 . . .
                                  - 32 -


Pasal 86
    Ayat (1)
           Yang dimaksud dengan "perjanjian bilateral" adalah perjanjian
           angkutan udara yang dilakukan oleh Pemerintah Republik
           Indonesia dengan 1 (satu) negara asing yang menjadi mitra
           perikatan (contracting party).
           Yang dimaksud dengan "perjanjian multilateral" adalah perjanjian
           angkutan udara yang bersifat khusus atau umum yang dilakukan
           oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan beberapa negara
           asing yang menjadi mitra perikatan dan anggota dalam perjanjian
           ini bersifat tetap.
    Ayat (2)
           Cukup jelas.
    Ayat (3)
           Yang dimaksud dengan "kepentingan nasional", antara lain,
           kepentingan kedaulatan negara, keutuhan wilayah nasional,
           kepentingan ekonomi nasional, dan kelangsungan usaha badan
           usaha angkutan udara nasional.
    Ayat (4)
           Cukup jelas.
    Ayat (5)
           Cukup jelas.
Pasal 87
    Ayat (1)
           Yang dimaksud dengan "perjanjian plurilateral" adalah perjanjian
           yang dilakukan antara satu negara dan organisasi komunitas
           negara   atau   antarorganisasi   komunitas      negara,   yang
           keanggotaannya bersifat terbuka.
    Ayat (2)

           Cukup jelas.

Pasal 88

    Cukup jelas.
                                                              Pasal 89 . . .
                                 - 33 -


Pasal 89
    Cukup jelas.

Pasal 90

    Ayat (1)
           Yang dimaksud dengan "tanpa batasan hak angkut udara" adalah
           pelaksanaan hak angkut udara tidak membatasi, antara lain,
           tempat tujuan, frekuensi penerbangan, kapasitas angkut,
           penerapan tarif, dan kebebasan di udara (freedom of the air).
           Yang dimaksud dengan "pembukaan pasar angkutan udara"
           adalah memberikan peluang/kesempatan kepada perusahaan
           angkutan udara asing untuk melayani penerbangan dari dan ke
           wilayah Republik Indonesia dengan pembatasan hak angkut
           udara.
           Yang dimaksud dengan "secara bertahap" adalah dilakukan,
           antara lain, sesuai dengan kesiapan daya saing perusahaan
           angkutan udara nasional.
    Ayat (2)
           Cukup jelas.
Pasal 91
    Ayat (1)
           Cukup jelas.
    Ayat (2)

           Cukup jelas.
    Ayat (3)
           Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah keadaan tidak
           terpenuhi atau tidak terlayaninya permintaan jasa angkutan
           udara oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal pada
           rute tertentu.
    Ayat (4)

           Cukup jelas.
    Ayat (5)
           Cukup jelas.

                                                            Pasal 92 . . .
                                   - 34 -



Pasal 92

    Huruf a

           Cukup jelas.

    Huruf b

           Yang dimaksud dengan "kelompok penumpang yang melakukan
           paket perjalanan", antara lain, untuk keperluan haji, umroh,
           paket wisata, dan MICE.

    Huruf c

           Cukup jelas.

    Huruf d

           Cukup jelas.

    Huruf e

           Yang dimaksud dengan "bentuk kegiatan angkutan udara niaga
           tidak berjadwal lainnya", antara lain, dalam satu pesawat terdiri
           dari berbagai kelompok dan dengan tujuan yang berbeda-beda
           (split charter), untuk orang sakit, kegiatan kemanusiaan, dan
           kegiatan terjun payung.

Pasal 93

    Ayat (1)

           Cukup jelas.

    Ayat (2)

           Yang dimaksud dengan "menteri terkait" adalah menteri yang
           membidangi urusan luar negeri berupa diplomatic clearance dan
           menteri yang membidangi urusan pertahanan berupa security
           clearance.

Pasal 94

    Cukup jelas.

                                                               Pasal 95 . . .
                                 - 35 -


Pasal 95
    Cukup jelas.
Pasal 96
    Cukup jelas.
Pasal 97
    Ayat (1)
         Huruf a
               Yang dimaksud dengan "pelayanan standar maksimum",
               antara lain, pemberian makan dan minum, makanan ringan,
               dan fasilitas ruang tunggu eksekutif (lounge) untuk kelas
               bisnis (business class) dan kelas utama (first class).
           Huruf b
               Yang dimaksud dengan "pelayanan standar menengah",
               antara lain, pemberian makanan ringan, dan fasilitas lain
               ruang tunggu eksekutif untuk penumpang kelas ekonomi
               tertentu.
           Huruf c
               Yang dimaksud dengan "pelayanan standar minimum",
               antara lain, hanya ada 1 (satu) kelas pelayanan, tanpa
               pemberian makan dan minum, makanan ringan, fasilitas
               ruang tunggu eksekutif, dan dikenakan biaya untuk bagasi
               tercatat.
    Ayat (2)
           Cukup jelas.
    Ayat (3)
           Cukup jelas.
    Ayat (4)
           Cukup jelas.
    Ayat (5)
       Cukup jelas.
Pasal 98
    Cukup jelas.
Pasal 99
    Cukup jelas.
Pasal 100
    Cukup jelas.


                                                           Pasal 101 . . .
                               - 36 -



Pasal 101

    Ayat (1)

        Yang dimaksud dengan "lembaga tertentu", antara lain, adalah
        lembaga keagamaan, lembaga sosial, dan perkumpulan olah raga.

    Ayat (2)

        Yang dimaksud dengan "kegiatan keudaraan" misalnya kegiatan
        penyemprotan pertanian, pemadaman kebakaran, hujan buatan,
        pemotretan udara, survei dan pemetaan, pencarian dan
        pertolongan, kalibrasi, serta patroli.

Pasal 102

    Ayat (1)

        Cukup jelas.

    Ayat (2)

        Yang dimaksud dengan "daerah tertentu" adalah daerah atau
        wilayah yang tidak dilayani oleh badan usaha angkutan udara
        niaga.
        Yang dimaksud dengan "persyaratan tertentu", antara lain,
        asuransi, menerbitkan tiket, melaporkan atau menyerahkan
        manifes kepada penyelenggara bandar udara.
        Yang dimaksud dengan "bersifat sementara" adalah persetujuan
        yang diberikan terbatas untuk jangka waktu tertentu, paling lama
        6 (enam) bulan dan hanya dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali
        pada rute yang sama.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

Pasal 103

    Cukup jelas.

                                                           Pasal 104 . . .
                               - 37 -


Pasal 104
    Ayat (1)
        Yang dimaksud dengan "perjanjian" adalah kesepakatan antara
        Pemerintah dan badan usaha angkutan udara niaga nasional
        setelah dilakukannya proses pelelangan sesuai dengan Peraturan
        Perundang-undangan.
    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan "kompensasi       lainnya",   antara lain,
        memberikan subsidi tambahan.
    Ayat (3)
        Cukup jelas.
    Ayat (4)
        Cukup jelas.
    Ayat (5)
        Cukup jelas.
Pasal 105
    Yang dimaksud dengan "dalam keadaan tertentu" adalah tidak
    tersedianya badan usaha angkutan udara niaga untuk melayani
    kegiatan angkutan udara perintis pada suatu lokasi.
Pasal 106
    Cukup jelas.
Pasal 107
    Cukup jelas.
Pasal 108
    Cukup jelas.
Pasal 109
    Cukup jelas.
Pasal 110
    Cukup jelas.
Pasal 111
    Cukup jelas.

                                                        Pasal 112 . . .
                              - 38 -



Pasal 112

    Ayat (1)

        Cukup jelas.

    Ayat (2)

        Yang dimaksud dengan "evaluasi" adalah evaluasi terhadap
        kinerja badan usaha angkutan udara niaga.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

Pasal 113

    Ayat (1)
        Yang dimaksud dengan "dipindahtangankan" adalah perubahan
        kepemilikan sebagian atau seluruh saham badan usaha angkutan
        udara niaga berupa penggabungan (merger) atau pengambilalihan
        (akuisisi).

    Ayat (2)

        Cukup jelas.

    Ayat (3)

        Cukup jelas.

Pasal 114

    Cukup jelas.

Pasal 115

    Cukup jelas.

Pasal 116

    Ayat (1)

        Cukup jelas.


                                                          Ayat (2) . . .
                                 - 39 -


    Ayat (2)

        Yang dimaksud dengan "evaluasi" adalah evaluasi          kinerja
        pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga.

    Ayat (3)

        Cukup jelas.

Pasal 117

    Cukup jelas.

Pasal 118

    Ayat (1)

        Huruf a

               Yang dimaksud dengan "melakukan kegiatan angkutan
               udara secara nyata" adalah pengoperasian pesawat udara,
               sedangkan kegiatan pendirian kantor perusahaan dan
               perwakilan, penyiapan sumber daya manusia, dan penyiapan
               administrasi lainnya yang dilakukan oleh badan usaha
               angkutan udara niaga belum dikategorikan melakukan
               kegiatan angkutan udara.

        Huruf b

               Cukup jelas.

        Huruf c

               Cukup jelas.

        Huruf d

               Cukup jelas.

        Huruf e

               Cukup jelas.
        Huruf f

               Cukup jelas.

                                                           Huruf g . . .
                                 - 40 -


        Huruf g
               Cukup jelas.
        Huruf h
               Cukup jelas.
        Huruf i
               Cukup jelas.
    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan "memiliki" adalah pesawat udara yang
        diperoleh dari pembelian yang dibuktikan dengan bukti
        kepemilikan (bill of sale).
    Ayat (3)
        Cukup jelas.
    Ayat (4)
        Cukup jelas.
Pasal 119
    Cukup jelas.
Pasal 120
    Cukup jelas.
Pasal 121

    Cukup jelas.

Pasal 122

    Ayat (1)

            Menteri dalam menetapkan jaringan dan rute penerbangan
            bertujuan untuk menjamin tersedianya jasa angkutan udara ke
            seluruh   pelosok  wilayah   Republik    Indonesia,  dengan
            mempertimbangkan keterpaduan antarmoda angkutan dan
            kelangsungan hidup badan usaha angkutan udara niaga.

    Ayat (2)

            Cukup jelas.

                                                          Pasal 123 . . .
                                  - 41 -


Pasal 123
    Cukup jelas.
Pasal 124
    Cukup jelas.
Pasal 125
    Cukup jelas.
Pasal 126
    Ayat (1)
        Cukup jelas.
    Ayat (2)
        Dalam penetapan golongan tarif angkutan udara niaga berjadwal
        domestik, Menteri memperhatikan kepentingan keselamatan dan
        keamanan     penerbangan,    kepentingan    masyarakat    dan
        kepentingan penyelenggara angkutan udara niaga.
    Ayat (3)
        Huruf a
               Yang dimaksud dengan "tarif jarak" adalah besaran tarif per
               rute penerbangan per satu kali penerbangan, untuk setiap
               penumpang yang merupakan hasil perkalian antara tarif
               dasar    dengan   jarak   serta  dengan    memperhatikan
               kemampuan daya beli. Tarif jarak terdiri dari biaya pokok
               rata-rata ditambah dengan keuntungan wajar.
        Huruf b
               Yang dimaksud dengan "pajak" adalah pajak pertambahan
               nilai (PPn) yang dikenakan sesuai dengan peraturan
               perundang-undangan di bidang perpajakan.

        Huruf c

               Yang dimaksud dengan "iuran wajib asuransi" adalah
               asuransi pertanggungan kecelakaan penumpang yang
               dikenakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di
               bidang dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang.


                                                              Huruf d . . .
                                  - 42 -



        Huruf d

               Yang dimaksud dengan "biaya tuslah/tambahan (surcharge)"
               adalah biaya yang dikenakan karena terdapat biaya-biaya
               tambahan yang dikeluarkan oleh perusahaan angkutan
               udara di luar perhitungan penetapan tarif jarak antara lain
               biaya fluktuasi harga bahan bakar (fuel surcharge) dan biaya
               yang ditanggung oleh perusahaan angkutan udara karena
               pada saat berangkat atau pulang penerbangan tanpa
               penumpang, misalnya pada saat hari raya.

Pasal 127

    Ayat (1)

        Yang dimaksud dengan "tarif penumpang pelayanan kelas
        ekonomi" adalah harga jasa maksimum pada suatu rute tertentu
        di dalam negeri atas pelayanan angkutan penumpang kelas
        ekonomi yang ditetapkan setelah berkoordinasi dengan asosiasi
        penerbangan nasional dengan mempertimbangkan masukan dari
        asosiasi pengguna jasa penerbangan.

        Yang dimaksud dengan "pelayanan kelas ekonomi" adalah jasa
        angkutan udara yang disediakan oleh badan usaha angkutan
        udara niaga dengan pelayanan minimal yang memenuhi aspek
        keselamatan dan keamanan penerbangan.

    Ayat (2)

        Yang dimaksud dengan "perlindungan konsumen" adalah
        melindungi konsumen dari pemberlakuan tarif tinggi oleh badan
        usaha angkutan udara niaga dan melindungi konsumen dari
        informasi/iklan  tarif    penerbangan     yang       berpotensi
        merugikan/menyesatkan sehingga ditetapkan tarif batas atas.

        Yang dimaksud dengan "perlindungan dari persaingan tidak
        sehat" adalah melindungi badan usaha angkutan udara niaga
        berjadwal dari penetapan tarif rendah oleh badan usaha angkutan
        udara niaga berjadwal lainnya yang bertujuan untuk
        mengeluarkan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal
        pesaing dari rute yang dilayani.

                                                               Ayat (3) . . .
                               - 43 -


    Ayat (3)

        Yang dimaksud dengan "dipublikasikan" adalah dilakukan
        penyebarluasan tarif batas atas yang telah ditetapkan oleh
        Menteri, baik yang dilakukan Menteri maupun oleh badan usaha
        angkutan udara niaga, antara lain, melalui media cetak dan
        elektronika dan/atau dipasang pada setiap tempat penjualan tiket
        pesawat udara.

    Ayat (4)

        Cukup jelas.

    Ayat (5)

        Cukup jelas.

Pasal 128

    Cukup jelas.

Pasal 129

    Cukup jelas.

Pasal 130

    Cukup jelas.

Pasal 131

    Ayat (1)
        Yang dimaksud dengan "kegiatan usaha penunjang angkutan
        udara" adalah kegiatan yang secara langsung berhubungan
        dengan kegiatan angkutan udara niaga antara lain sistem
        reservasi melalui komputer (computerized reservation system),
        pemasaran dan penjualan tiket pesawat atau agen penjualan
        umum (ticket marketing and selling), pelayanan di darat untuk
        penumpang dan kargo (ground handling), dan penyewaan pesawat
        udara (aircraft leasing).

    Ayat (2)

        Cukup jelas.
                                                          Pasal 132 . . .
                               - 44 -


Pasal 132

    Cukup jelas.

Pasal 133

    Cukup jelas.

Pasal 134

    Ayat (1)

        Pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus bagi
        penumpang yang menyandang cacat atau orang sakit
        dimaksudkan agar mereka juga dapat menikmati pelayanan
        angkutan dengan layak.

        Yang dimaksud dengan "fasilitas khusus" dapat berupa
        penyediaan jalan khusus di bandar udara dan sarana khusus
        untuk naik ke atau turun dari pesawat udara, atau penyediaan
        ruang yang disediakan khusus bagi penempatan kursi roda atau
        sarana bantu bagi orang sakit yang pengangkutannya
        mengharuskan dalam posisi tidur.

        Yang dimaksud dengan "penyandang cacat", antara lain,
        penumpang yang menggunakan kursi roda karena lumpuh, cacat
        kaki, dan tuna netra.

        Tidak termasuk dalam pengertian "orang sakit" dalam ketentuan
        ini adalah orang yang menderita penyakit menular sesuai dengan
        peraturan perundang-undangan.

    Ayat (2)

        Cukup jelas.

    Ayat (3)
      Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dapat menetapkan
      biaya tambahan dalam hal orang sakit membutuhkan tempat
      duduk tambahan selama penerbangan.

Pasal 135

    Cukup jelas.
                                                         Pasal 136 . . .
                             - 45 -


Pasal 136
    Ayat (1)
        Cukup jelas.
    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan "barang khusus", antara lain, berupa
        hewan, ikan, tanaman, buah-buahan, sayur-mayur, daging,
        peralatan olahraga, dan alat musik.
    Ayat (3)
        Cukup jelas.
    Ayat (4)
        Cukup jelas.
    Ayat (5)
        Cukup jelas.
Pasal 137
    Cukup jelas.
Pasal 138
    Cukup jelas.
Pasal 139
    Cukup jelas.

Pasal 140

    Ayat (1)

        Ketentuan ini dimaksudkan agar badan usaha angkutan udara
        niaga tidak membedakan perlakuan terhadap pengguna jasa
        angkutan sepanjang yang bersangkutan telah memenuhi
        persyaratan perjanjian pengangkutan yang disepakati.
    Ayat (2)
        Cukup jelas.
    Ayat (3)

        Cukup jelas.
                                                     Pasal 141 . . .
                               - 46 -



Pasal 141

    Ayat (1)

        Yang dimaksud dengan "kejadian angkutan udara" adalah
        kejadian  yang   semata-mata ada hubungannya   dengan
        pengangkutan udara.

        Yang dimaksud dengan "cacat tetap" adalah kehilangan atau
        menyebabkan tidak berfungsinya salah satu anggota badan atau
        yang mempengaruhi aktivitas secara normal seperti hilangnya
        tangan, kaki, atau mata, termasuk dalam pengertian cacat tetap
        adalah cacat mental sebagaimana diatur dalam peraturan
        perundang-undangan di bidang usaha perasuransian.

    Ayat (2)

        Cukup jelas.

    Ayat (3)

        Cukup jelas.

Pasal 142

    Cukup jelas.

Pasal 143

    Cukup jelas.

Pasal 144

    Yang dimaksud dengan "dalam pengawasan pengangkut" adalah
    sejak barang diterima oleh pengangkut pada saat pelaporan (check in)
    sampai dengan barang tersebut diambil oleh penumpang di bandar
    udara tujuan.

Pasal 145

    Cukup jelas.
                                                          Pasal 146 . . .
                                - 47 -


Pasal 146
    Yang dimaksud dengan "faktor cuaca" adalah hujan lebat, petir,
    badai, kabut, asap, jarak pandang di bawah standar minimal, atau
    kecepatan angin yang melampaui standar maksimal yang
    mengganggu keselamatan penerbangan.
    Yang dimaksud dengan "teknis operasional" antara lain:
    a. bandar udara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat
       digunakan operasional pesawat udara;
    b. lingkungan menuju bandar udara atau landasan terganggu
       fungsinya misalnya retak, banjir, atau kebakaran;
    c. terjadinya antrian pesawat udara lepas landas (take off), mendarat
       (landing), atau alokasi waktu keberangkatan (departure slot time) di
       bandar udara; atau
    d. keterlambatan pengisian bahan bakar (refuelling).
    Sedangkan yang tidak termasuk dengan "teknis operasional" antara
    lain:
    a. keterlambatan pilot, co pilot, dan awak kabin;
    b. keterlambatan jasa boga (catering);
    c. keterlambatan penanganan di darat;
    d. menunggu penumpang, baik yang baru melapor (check in), pindah
       pesawat (transfer) atau penerbangan lanjutan (connecting flight);
       dan
    e. ketidaksiapan pesawat udara.

Pasal 147

    Ayat (1)

        Cukup jelas.

    Ayat (2)

        Yang dimaksud dengan "penerbangan lain" adalah penerbangan
        dengan pesawat udara lain milik pengangkut atau pengangkut
        lainnya.
Pasal 148
    Cukup jelas.

Pasal 149

   Cukup jelas.
                                                             Pasal 150 . . .
                              - 48 -


Pasal 150
    Huruf a
        Cukup jelas.
    Huruf b
        Yang dimaksud dengan "pas masuk pesawat udara" adalah tanda
        bukti calon penumpang telah melapor untuk berangkat dan
        dipergunakan sebagai tanda masuk ke pesawat udara.
    Huruf c
        Yang dimaksud dengan "tanda pengenal bagasi" adalah tanda
        bukti pengambilan bagasi tercatat milik penumpang.
Pasal 151
    Cukup jelas.

Pasal 152
    Cukup jelas.

Pasal 153
    Cukup jelas.

Pasal 154
    Cukup jelas.

Pasal 155
    Cukup jelas.

Pasal 156

    Ayat (1)
        Lembar pertama untuk pengangkut kargo, ditandatangani oleh
        pengirim kargo, lembar kedua untuk penerima kargo yang
        ditandatangani oleh pengangkut kargo dan pengirim kargo yang
        dikirim bersama-sama dengan barang, sedangkan lembar ketiga
        untuk pengirim kargo yang ditandatangani oleh pengirim kargo
        dan pengangkut kargo sebagai bukti penerima barang oleh
        pengangkut kargo.

   Ayat (2)

      Cukup jelas.
                                                       Pasal 157 . . .
                               - 49 -


Pasal 157

    Cukup jelas.

Pasal 158

    Cukup jelas.

Pasal 159

    Yang dimaksud dengan "harga kargo sebenarnya" adalah harga yang
    dinyatakan oleh pengirim kargo berdasarkan harga pasar atau harga
    yang ditetapkan sendiri.

Pasal 160

    Cukup jelas.

Pasal 161

    Ayat (1)

        Cukup jelas.

   Ayat (2)

        Yang dimaksud dengan "instansi terkait", antara lain, instansi
        yang bertanggung jawab di bidang kehutanan, karantina hewan,
        dan tanaman.

Pasal 162

    Cukup jelas.

Pasal 163

    Cukup jelas.

Pasal 164

    Cukup jelas.

Pasal 165

    Cukup jelas.

                                                         Pasal 166 . . .
                               - 50 -


Pasal 166
    Cukup jelas.
Pasal 167
    Yang dimaksud dengan "kerugian nyata" adalah kerugian yang
    didasarkan pada nilai barang yang hilang atau rusak pada saat
    kejadian.
Pasal 168
    Cukup jelas.
Pasal 169
    Cukup jelas.
Pasal 170
    Cukup jelas.
Pasal 171
    Yang dimaksud dengan "mitra usaha" adalah pihak yang mempunyai
    ikatan kerja dengan perusahaan pengangkut, misalnya yang
    menangani pelayanan di darat untuk penumpang dan kargo.
Pasal 172
    Ayat (1)
        Penetapan batas ganti kerugian harus disesuaikan dengan
        perkembangan nilai mata uang.
        Dengan pertimbangan bahwa tingkat hidup, kelangsungan hidup
        perusahaan, inflasi dan pendapatan per kapita serta umur rata-
        rata manusia, selalu mengalami perubahan, maka terhadap
        besaran nilai ganti kerugian hendaknya selalu di evaluasi
        sehingga dapat memenuhi keinginan, baik dari pengguna jasa
        maupun pemberi jasa.
    Ayat (2)
        Cukup jelas.
    Ayat (3)
        Cukup jelas.
    Ayat (4)
        Cukup jelas.

                                                         Pasal 173 . . .
                              - 51 -


Pasal 173

    Cukup jelas.

Pasal 174

    Ayat (1)

        Penerimaan bagasi tercatat tanpa klaim oleh penumpang
        merupakan bukti bahwa bagasi tercatat tersebut telah diambil
        dalam keadaan baik.

   Ayat (2)

        Cukup jelas.

   Ayat (3)

        Cukup jelas.

   Ayat (4)

        Cukup jelas.

Pasal 175

    Ayat (1)

        Penerimaan kargo tanpa klaim oleh penerima kargo merupakan
        bukti bahwa kargo tersebut telah diambil dalam keadaan baik.

    Ayat (2)

        Cukup jelas.

    Ayat (3)

        Cukup jelas.

    Ayat (4)

        Cukup jelas.

                                                       Pasal 176 . . .
                               - 52 -


Pasal 176
    Gugatan dapat diajukan ke pengadilan negeri tempat pembelian tiket,
    pengiriman barang, domisili kantor pengangkut, kantor cabang dan
    domisili tergugat atau penggugat di seluruh wilayah Republik
    Indonesia. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberi kemudahan
    kepada korban.
Pasal 177
    Yang dimaksud dengan "kerugian yang diderita penumpang atau
    pengirim" meliputi:
    a. untuk penumpang adalah meninggal dunia, luka-luka tubuh,
       keterlambatan, dan tidak terangkut; serta
    b. untuk bagasi tercatat dan kargo, adalah hilang, musnah, rusak,
       terlambat, dan tidak terangkut sesuai dengan jadwal yang telah
       ditentukan.
Pasal 178
    Cukup jelas.
Pasal 179
    Cukup jelas.

Pasal 180
    Yang dimaksud sekurang-kurangnya dalam ketentuan ini adalah
    tanggung jawab ganti kerugian yang harus diberikan oleh pengangkut
    tidak boleh kurang dari yang ditetapkan oleh Menteri, tetapi
    penumpang dapat menuntut ganti kerugian lebih tinggi apabila dapat
    membuktikan kecelakaan yang terjadi yang disebabkan oleh kelalaian
    atau kesalahan pengangkut.
Pasal 181
    Cukup jelas.
Pasal 182
    Ayat (1)
        Yang dimaksud dengan "angkutan intermoda" adalah 1 (satu)
        rangkaian angkutan orang dan/atau kargo yang dilakukan oleh
        lebih dari 1 (satu) moda angkutan.
    Ayat (2)

        Cukup jelas.
                                                         Pasal 183 . . .
                               - 53 -


Pasal 183
    Yang dimaksud "pihak pengangkut lain" adalah biro/agen perjalanan
    atau perusahaan ekspedisi muatan pesawat udara yang bertindak
    sebagai pembuat kontrak pengangkutan (contracting carrier) dengan
    penumpang atau pengirim barang atau dengan seseorang yang
    bertindak atas nama penumpang atau pengirim barang untuk
    diangkut oleh perusahaan angkutan udara (actual carrier).
Pasal 184
    Cukup jelas.

Pasal 185

    Cukup jelas.

Pasal 186
    Cukup jelas.
Pasal 187
    Ayat (1)
        Yang dimaksud dengan "usaha angkutan multimoda" adalah
        usaha angkutan dengan menggunakan paling sedikit dua moda
        angkutan yang berbeda atas dasar suatu kontrak angkutan
        multimoda dengan menggunakan satu dokumen angkutan
        multimoda (DAM) dari suatu tempat barang diterima oleh operator
        angkutan multimoda ke suatu tempat yang ditentukan untuk
        penerimaan barang tersebut.

    Ayat (2)

        Cukup jelas.
Pasal 188
    Cukup jelas.
Pasal 189
    Ayat (1)
        Cukup jelas.
    Ayat (2)

        Cukup jelas.

                                                           Ayat (3) . . .
                               - 54 -


    Ayat (3)

        Cukup jelas.

    Ayat (4)

        Yang dimaksud dengan "tanggung jawab badan usaha angkutan
        multimoda bersifat terbatas" adalah tanggung jawab badan usaha
        angkutan multimoda terhadap kerugian yang disebabkan oleh
        keterlambatan penyerahan adalah terbatas pada suatu jumlah
        yang sebanding dengan 2 (dua) setengah kali biaya angkut yang
        harus dibayar atas barang yang terlambat, tetapi tidak melebihi
        jumlah biaya angkut yang harus dibayar berdasarkan kontrak
        transportasi multimoda.

        Keseluruhan jumlah tanggung jawab yang menjadi beban badan
        usaha angkutan multimoda tidak boleh melebihi batas tanggung
        jawab yang diakibatkan oleh kerugian total terhadap barang.

Pasal 190

    Cukup jelas.

Pasal 191

    Cukup jelas.

Pasal 192

    Cukup jelas.

Pasal 193

    Cukup jelas.

Pasal 194

    Cukup jelas.
Pasal 195

    Cukup jelas.

Pasal 196

    Cukup jelas.
                                                          Pasal 197 . . .
                               - 55 -



Pasal 197
    Ayat (1)

        Cukup jelas.

    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan skala pelayanan primer adalah bandar
        udara sebagai salah satu prasarana penunjang pelayanan Pusat
        Kegiatan Nasional (PKN) yang melayani penumpang dengan
        jumlah lebih besar atau sama dengan 5.000.000 (lima juta) orang
        per tahun.
        Yang dimaksud dengan skala pelayanan sekunder adalah bandar
        udara sebagai salah satu prasarana penunjang pelayanan Pusat
        Kegiatan Nasional (PKN) yang melayani penumpang dengan
        jumlah lebih besar dari atau sama dengan 1.000.000 (satu juta)
        dan lebih kecil dari 5.000.000 (lima juta) orang per tahun.
        Yang dimaksud dengan skala pelayanan tersier adalah bandar
        udara sebagai salah satu prasarana penunjang pelayanan Pusat
        Kegiatan Nasional (PKN) dan Pusat Kegiatan Wilayah (PKW)
        terdekat yang melayani penumpang dengan jumlah lebih besar
        dari atau sama dengan 500.000 (lima ratus ribu) dan lebih kecil
        dari 1.000.000 (satu juta) orang per tahun.
    Ayat (3)
        Cukup jelas.

Pasal 198

    Yang dimaksud dengan "kapasitas pelayanan" adalah kemampuan
    bandar udara untuk melayani jenis pesawat udara terbesar dan
    jumlah penumpang/barang.

Pasal 199

    Ayat (1)
        Cukup jelas.
    Ayat (2)

        Huruf a

               Cukup jelas.

                                                           Huruf b . . .
                                 - 56 -



        Huruf b
               Potensi dan perkembangan sosial ekonomi wilayah diketahui
               atau diukur antara lain dengan survei asal dan tujuan
               penumpang (origin and destination survey).
        Huruf c
               Cukup jelas.
        Huruf d
               Cukup jelas.
        Huruf e
               Cukup jelas.
        Huruf f
               Cukup jelas.
        Huruf g
               Cukup jelas.
    Ayat (3)

        Cukup jelas.

Pasal 200

    Ayat (1)

        Cukup jelas.

    Ayat (2)

        Cukup jelas.

    Ayat (3)

        Yang dimaksud dengan "perubahan kondisi lingkungan strategis",
        antara lain, bencana yang ditetapkan dengan ketentuan peraturan
        perundang-undangan, kebijakan nasional yang mengakibatkan
        perubahan batas wilayah provinsi.

    Ayat (4)

        Cukup jelas.
                                                          Pasal 201 . . .
                                  - 57 -



Pasal 201
    Ayat (1)
        Cukup jelas.
    Ayat (2)
        Huruf a
               Yang dimaksud dengan "titik koordinat bandar udara" adalah
               titik yang dinyatakan dengan koordinat geografis.
        Huruf b
               Cukup jelas.
    Ayat (3)
        Huruf a
               Cukup jelas.
        Huruf b
               Cukup jelas.
        Huruf c
               Cukup jelas.
        Huruf d
               Yang dimaksud dengan "kelayakan ekonomis" adalah
               kelayakan yang dinilai akan memberikan keuntungan secara
               ekonomis bagi pengembangan wilayah, baik secara langsung
               maupun tidak langsung.
               Yang dimaksud dengan "kelayakan finansial" adalah
               kelayakan yang dinilai akan memberikan keuntungan bagi
               badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar
               udara.
               Yang dimaksud dengan "kelayakan sosial" adalah kelayakan
               yang dinilai berdasarkan dampak yang ditimbulkan oleh
               adanya bandar udara tidak akan meresahkan masyarakat
               sekitar serta memberikan nilai tambah bagi masyarakat
               sekitar.
               Yang dimaksud dengan "kelayakan pengembangan wilayah"
               adalah kelayakan yang dinilai berdasarkan kesesuaian
               dengan rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata
               ruang wilayah kabupaten/kota.

                                                       Yang dimaksud . . .
                                 - 58 -


              Yang dimaksud dengan "kelayakan teknis pembangunan"
              adalah kelayakan yang dinilai berdasarkan faktor kesesuaian
              fisik dasar antara lain topografi, kondisi meteorologi dan
              geofisika, serta daya dukung tanah.
              Yang dimaksud dengan "kelayakan pengoperasian" adalah
              kelayakan yang dinilai berdasarkan jenis pesawat, pengaruh
              cuaca, penghalang, penggunaan ruang udara, dukungan
              navigasi penerbangan, serta prosedur pendaratan dan lepas
              landas.

        Huruf e
              Yang dimaksud dengan "kelayakan lingkungan" yaitu suatu
              kelayakan yang dinilai dari besarnya dampak yang akan
              ditimbulkan     serta kemampuan     mengurangi    dampak
              (mitigasi), pada masa konstruksi, pengoperasian, dan/atau
              pada tahap pengembangan selanjutnya.
Pasal 202
    Huruf a
        Cukup jelas.
    Huruf b
        Yang dimaksud dengan "fasilitas" adalah:
        a. fasilitas pokok meliputi:

            1) fasilitas keselamatan dan keamanan, antara lain
               Pertolongan      Kecelakaan     Penerbangan    ­    Pemadam
               Kebakaran (PKP-PK), salvage, alat bantu pendaratan visual
               (Airfield Lighting System), sistem catu daya kelistrikan, dan
               pagar.

            2) fasilitas sisi udara (airside facility), antara lain:
               a) landas pacu (runway);
               b) runway strip, Runway End Safety Area (RESA),
                    stopway, clearway;
               c) landas hubung (taxiway);
               d) landas parkir (apron);
               e) marka dan rambu; dan
               f) taman meteo (fasilitas dan peralatan pengamatan
                    cuaca).

                                                             3) fasilitas . . .
                            - 59 -


          3) fasilitas sisi darat (landside facility) antara lain:
             a) bangunan terminal penumpang;
             b) bangunan terminal kargo;
             c) menara pengatur lalu lintas penerbangan (control
                 tower);
             d) bangunan operasional penerbangan;
             e) jalan masuk (access road);
             f) parkir kendaraan bermotor;
             g) depo pengisian bahan bakar pesawat udara;
             h) bangunan hanggar;
             i) bangunan administrasi/perkantoran;
             j) marka dan rambu; serta
             k) fasilitas pengolahan limbah.

   b. fasilitas penunjang merupakan fasilitas yang secara langsung
      dan tidak langsung menunjang kegiatan bandar udara dan
      memberikan      nilai  tambah      secara     ekonomis    pada
      penyelenggaraan bandar udara, antara lain fasilitas
      perbengkelan     pesawat    udara,    fasilitas   pergudangan,
      penginapan/hotel, toko, restoran, dan lapangan golf.

Huruf c

   Cukup jelas.

Huruf d

   Cukup jelas.
Huruf e
   Cukup jelas.
Huruf f

   Cukup jelas.

Huruf g

   Cukup jelas.

Huruf h

   Cukup jelas.

Huruf i

   Cukup jelas.

                                                     Pasal 203 . . .
                                - 60 -


Pasal 203
    Cukup jelas.
Pasal 204
    Ayat (1)
        Yang dimaksud dengan "tempat pelaporan keberangkatan (city
        check in counter)" adalah suatu fasilitas/tempat di luar daerah
        lingkungan kerja bandar udara yang berfungsi untuk
        menyelesaikan berbagai prosedur dan persyaratan keamanan dan
        pelayanan sebagaimana halnya di bandar udara.
    Ayat (2)
        Cukup jelas.

Pasal 205
    Cukup jelas.
Pasal 206

    Huruf a

        Yang dimaksud dengan "kawasan ancangan pendaratan dan lepas
        landas (approach and take-off area)" adalah suatu kawasan
        perpanjangan kedua ujung landas pacu, di bawah lintasan
        pesawat udara setelah lepas landas atau akan mendarat, yang
        dibatasi oleh ukuran panjang dan lebar tertentu.

    Huruf b

        Yang dimaksud dengan "kawasan kemungkinan bahaya
        kecelakaan" adalah sebagian dari kawasan pendekatan yang
        berbatasan langsung dengan ujung-ujung landas pacu dan
        mempunyai ukuran tertentu, yang dapat menimbulkan bahaya
        kecelakaan.

    Huruf c
        Yang dimaksud dengan "kawasan di bawah permukaan transisi"
        adalah bidang dengan kemiringan tertentu sejajar dan berjarak
        tertentu dari sumbu landas pacu, pada bagian bawah dibatasi
        oleh titik perpotongan dengan garis-garis datar yang ditarik tegak
        lurus pada sumbu landas pacu, dan pada bagian atas dibatasi
        oleh garis perpotongan dengan permukaan horizontal dalam.

                                                              Huruf d . . .
                               - 61 -


    Huruf d

        Yang dimaksud dengan "kawasan di bawah permukaan horizontal
        dalam" adalah bidang datar di atas dan di sekitar bandar udara
        yang dibatasi oleh radius dan ketinggian dengan ukuran tertentu
        untuk kepentingan pesawat udara melakukan terbang rendah
        pada waktu akan mendarat atau setelah lepas landas.

    Huruf e

        Yang dimaksud dengan "kawasan di bawah permukaan kerucut"
        adalah bidang dari suatu kerucut yang bagian bawahnya dibatasi
        oleh garis perpotongan dengan horizontal dalam dan bagian
        atasnya dibatasi oleh garis perpotongan dengan permukaan
        horizontal luar, masing-masing dengan radius dan ketinggian
        tertentu dihitung dari titik referensi yang ditentukan.

    Huruf f

        Yang dimaksud dengan "kawasan di bawah permukaan horizontal
        luar" adalah bidang datar di sekitar bandar udara yang dibatasi
        oleh radius dan ketinggian dengan ukuran tertentu untuk
        kepentingan keselamatan dan efisiensi operasi penerbangan,
        antara lain, pada waktu pesawat udara melakukan pendekatan
        untuk mendarat dan gerakan setelah tinggal landas atau gerakan
        dalam hal mengalami kegagalan dalam pendaratan.

Pasal 207

    Huruf a
        Yang dimaksud dengan "kebisingan tingkat I" adalah tingkat
        kebisingan yang berada dalam Indeks Kebisingan Pesawat Udara
        (Weighted Equivalent Continous Perceived Noise Level/WECPNL)
        lebih besar atau sama dengan 70 (tujuh puluh) dan lebih kecil
        dari 75 (tujuh puluh lima).

    Huruf b

        Yang dimaksud dengan "kebisingan tingkat II" adalah tingkat
        kebisingan yang berada dalam Indeks Kebisingan Pesawat Udara
        lebih besar atau sama dengan 75 (tujuh puluh lima) dan lebih
        kecil dari 80 (delapan puluh).

                                                            Huruf c . . .
                               - 62 -




    Huruf c

        Yang dimaksud dengan "kebisingan tingkat III" adalah tingkat
        kebisingan yang berada dalam Indeks Kebisingan Pesawat Udara
        lebih besar atau sama dengan 80 (delapan puluh).


Pasal 208

    Cukup jelas.

Pasal 209

    Cukup jelas.

Pasal 210

    Yang dimaksud dengan "halangan", antara lain, bangunan gedung,
    tumpukan tanah, tumpukan bahan bangunan, atau benda-benda
    galian, baik yang bersifat sementara maupun bersifat tetap, termasuk
    pepohonan dan bangunan yang sebelumnya telah didirikan.



    Yang dimaksud dengan "kegiatan lain", antara lain, kegiatan bermain
    layang-layang, menggembala ternak, menggunakan frekuensi radio,
    melintasi landasan, dan kegiatan yang menimbulkan asap.




                                                          Pasal 211 . . .
                              - 63 -


Pasal 211
    Ayat (1)
        Cukup jelas.
    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan "rencana rinci tata ruang kawasan di
        sekitar bandar udara" adalah pengaturan tata guna lahan di
        sekitar bandar udara.
        Rencana induk nasional bandar udara dipergunakan sebagai
        pedoman apabila belum ada rencana induk bandar udara.
Pasal 212

    Yang dimaksud dengan "aksesibilitas" adalah prasarana yang
    digunakan oleh pengguna jasa bandar udara dari dan ke bandar
    udara.

    Yang dimaksud dengan "utilitas" adalah prasarana yang digunakan
    untuk menunjang operasi bandar udara, antara lain, listrik, air
    bersih, drainase, dan telekomunikasi.

Pasal 213
    Cukup jelas.
Pasal 214

    Yang dimaksud dengan "fungsi khusus" adalah fungsi bangunan yang
    dalam pembangunan dan penyelenggaraannya dapat membahayakan
    masyarakat sekitarnya dan mempunyai risiko bahaya tinggi.

Pasal 215
    Ayat (1)

        Yang dimaksud dengan "berkoordinasi dengan pemerintah
        daerah" adalah untuk mendapatkan rekomendasi dari gubernur
        atau bupati/walikota.

    Ayat (2)
        Huruf a

               Cukup jelas.

                                                        Huruf b . . .
                               - 64 -


        Huruf b

            Cukup jelas.

        Huruf c

            Cukup jelas.

        Huruf d

            Rancangan teknik terinci bandar udara disesuaikan dengan
            rencana peruntukan bandar udara yang bersangkutan,
            dalam kaitan dengan kemampuannya menampung pesawat
            udara yang akan mendarat dan lepas landas, serta
            penumpang dan barang dari bandar udara tersebut.

            Rancangan teknik terinci sebagai dasar pelaksanaan kegiatan
            pembangunan bandar udara mencakup gambar dan
            spesifikasi teknis bangunan, fasilitas dan prasarana
            termasuk struktur bangunan dan bahan, serta fasilitas
            elektronika, listrik, dan mekanikal sebagai penunjang
            keselamatan penerbangan.

        Huruf e

            Persyaratan mengenai kelestarian lingkungan ditunjukkan
            dengan adanya studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
            (AMDAL), Kerangka Acuan Andal (KA-ANDAL), Analisis
            Dampak Lingkungan (ANDAL),         Rencana Pengelolaan
            Lingkungan (RKL), Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL),
            Upaya Pengelolaan Lingkungan atau Upaya Pemantauan
            Lingkungan (UKL-UPL), atau Dokumen Pengelolaan dan
            Pemantauan Lingkungan Hidup (DPPL) yang merupakan
            dokumen untuk terpenuhinya persyaratan kelestarian
            lingkungan.
Pasal 216
    Cukup jelas.

Pasal 217
    Cukup jelas.
Pasal 218

    Cukup jelas.

                                                          Pasal 219 . . .
                              - 65 -


Pasal 219

    Cukup jelas.

Pasal 220

    Cukup jelas.

Pasal 221

    Cukup jelas.

Pasal 222

    Ayat (1)

        Cukup jelas.

    Ayat (2)

       Yang dimaksud dengan "personel bandar udara yang terkait
       langsung     dengan      pelaksanaan    pengoperasian dan/atau
       pemeliharaan fasilitas bandar udara", antara lain:
       1) personel fasilitas teknik bandar udara;
       2) personel fasilitas elektronika bandar udara;
       3) personel fasilitas listrik bandar udara;
       4) personel fasilitas mekanikal bandar udara;
       5) personel pengatur pergerakan pesawat udara (apron movement
           control/AMC);
       6) personel pengelola dan pemantau lingkungan;
       7) personel pertolongan kecelakaan penerbangan-pemadam
           kebakaran (PKP-PK);
       8) personel keamanan;
       9) personel fasilitas keamanan penerbangan; dan
      10) personel salvage.

    Ayat (3)

        Cukup jelas.

    Ayat (4)

        Cukup jelas.
                                                        Pasal 223 . . .
                                - 66 -




Pasal 223

    Cukup jelas.

Pasal 224

    Cukup jelas.

Pasal 225

    Cukup jelas.

Pasal 226

    Ayat (1)

        Huruf a

               Yang dimaksud dengan "pembinaan kegiatan penerbangan"
               adalah termasuk pembinaan di bidang keselamatan,
               keamanan, dan kelancaran penerbangan serta pembinaan
               keamanan, ketertiban, dan kenyamanan di bandar udara.

        Huruf b

               Cukup jelas.

        Huruf c

               Cukup jelas.

        Huruf d

               Cukup jelas.


                                                         Ayat (2) . . .
                              - 67 -


    Ayat (2)

        Cukup jelas.

    Ayat (3)

        Cukup jelas.

    Ayat (4)

        Cukup jelas.

Pasal 227

    Ayat (1)

        Cukup jelas.

    Ayat (2)

        Cukup jelas.

    Ayat (3)

        Yang dimaksud dengan "berkoordinasi dengan pemerintah daerah
        setempat", antara lain, dalam bentuk penyampaian laporan dan
        informasi mengenai perkembangan bandar udara kepada
        pemerintah daerah yang terkait dengan kepentingannya.

Pasal 228

    Cukup jelas.

Pasal 229

    Cukup jelas.

Pasal 230

    Cukup jelas.

Pasal 231

    Cukup jelas.
                                                      Pasal 232 . . .
                                - 68 -


Pasal 232
    Cukup jelas.
Pasal 233
    Ayat (1)
        Cukup jelas.
    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan "persyaratan administratif", antara lain,
        meliputi akte pendirian perusahaan, tanda jati diri pemilik, nomor
        pokok wajib pajak, dan domisili.
        Yang dimaksud dengan "persyaratan keuangan" adalah
        kemampuan finansial perusahaan untuk pembangunan dan
        kelangsungan kegiatan pengoperasian bandar udara.
        Yang dimaksud dengan "persyaratan manajemen"                adalah
        kemampuan personel dan organisasi pengoperasian             bandar
        udara.
    Ayat (3)
        Cukup jelas.
    Ayat (4)
        Cukup jelas.
    Ayat (5)
        Cukup jelas.

Pasal 234

    Cukup jelas.

Pasal 235
    Ayat (1)
        Yang dimaksud dengan "bentuk lainnya" adalah kerja sama
        antara lain dalam bentuk build operate own, build operate transfer,
        dan contract management.
    Ayat (2)

        Cukup jelas.
                                                             Pasal 236 . . .
                               - 69 -


Pasal 236
    Cukup jelas.

Pasal 237
    Cukup jelas.

Pasal 238
    Cukup jelas.

Pasal 239
    Ayat (1)
       Cukup jelas.
    Ayat (2)
       Huruf a

               Cukup jelas.

       Huruf b
               Yang dimaksud dengan "fasilitas" adalah sarana yang
               memenuhi persyaratan standar bagi penyandang cacat
               antara lain berupa lift, toilet khusus, dan ramp.

       Huruf c
               Cukup jelas.

       Huruf d

               Cukup jelas.
       Huruf e

               Cukup jelas.
       Huruf f
               Cukup jelas.

    Ayat (3)

       Cukup jelas.
                                                      Pasal 240 . . .
                              - 70 -


Pasal 240

    Ayat (1)

        Yang dimaksud dengan "pengguna jasa bandar udara" adalah
        setiap orang yang menikmati pelayanan jasa bandar udara
        dan/atau mempunyai ikatan kerja dengan bandar udara.

        Yang dimaksud dengan "pihak ketiga" adalah masyarakat sekitar
        bandar udara.

    Ayat (2)

        Cukup jelas.

    Ayat (3)

        Cukup jelas.

    Ayat (4)

        Cukup jelas.

Pasal 241

    Cukup jelas.

Pasal 242
    Cukup jelas.

Pasal 243
    Cukup jelas.
Pasal 244
    Cukup jelas.
Pasal 245
    Cukup jelas.
Pasal 246
    Cukup jelas.
Pasal 247
    Cukup jelas.

                                                        Pasal 248 . . .
                               - 71 -


Pasal 248

    Cukup jelas.

Pasal 249

    Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu", antara lain, untuk tujuan
    medical evacuation dan penanganan bencana.

Pasal 250

    Yang dimaksud "keadaan tertentu" dapat berupa:
    a. terjadi bencana alam atau keadaan darurat lainnya sehingga
       mengakibatkan tidak berfungsinya bandar udara umum;
       dan/atau
    b. pada daerah yang bersangkutan tidak terdapat bandar udara
       umum dan belum ada moda transportasi yang memadai.

    Yang dimaksud "bersifat sementara" adalah jangka waktu terbatas
    sampai diatasinya kondisi keadaan tertentu.

Pasal 251

    Cukup jelas.

Pasal 252

    Cukup jelas.

Pasal 253
    Cukup jelas.

Pasal 254
    Ayat (1)
        Yang dimaksud dengan "memenuhi ketentuan keselamatan dan
        keamanan", antara lain, memiliki buku pedoman pengoperasian
        tempat pendaratan dan lepas landas helikopter (heliport manual).
    Ayat (2)
        Cukup jelas.
Pasal 255

   Cukup jelas.
                                                         Pasal 256 . . .
                               - 72 -



Pasal 256

    Ayat (1)

        Yang dimaksud dengan "beberapa" adalah bahwa penetapan
        bandar udara internasional dibatasi jumlahnya.

    Ayat (2)

        Cukup jelas.

    Ayat (3)

        Yang dimaksud dengan "menteri terkait" adalah menteri yang
        membidangi     urusan    keimigrasian,   kepabeanan,      dan
        kekarantinaan dalam rangka penempatan unit kerja dan personel.

    Ayat (4)
        Cukup jelas.
Pasal 257
    Ayat (1)
        Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" untuk bandar udara
        digunakan sebagai pangkalan udara adalah hanya untuk
        pertahanan negara yang ditetapkan oleh Presiden.

    Ayat (2)

        Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" untuk pangkalan
        udara dapat digunakan bersama sebagai bandar udara dapat
        berupa:
        a. terjadi bencana alam atau keadaan darurat lainnya sehingga
           mengakibatkan tidak berfungsinya bandar udara; atau
        b. pada daerah yang bersangkutan tidak terdapat bandar udara.

    Ayat (3)
        Cukup jelas.

Pasal 258

    Cukup jelas.

                                                        Pasal 259 . . .
                                  - 73 -


Pasal 259

    Cukup jelas.

Pasal 260

    Cukup jelas.

Pasal 261

    Cukup jelas.

Pasal 262

    Ayat (1)

        Huruf a

               Pendelegasian pelayanan navigasi penerbangan pada wilayah
               udara semata-mata berdasarkan alasan teknis operasional
               dan tidak terkait dengan kedaulatan atas wilayah udara
               Indonesia serta bersifat sementara.

        Huruf b

               Cukup jelas.

        Huruf c

               Pendelegasian ruang udara oleh organisasi penerbangan sipil
               internasional adalah di ruang udara di atas wilayah yang
               bukan merupakan teritorial suatu negara atau di atas laut
               bebas.
    Ayat (2)

        Cukup jelas.
Pasal 263
    Cukup jelas.
Pasal 264
    Ayat (1)

        Cukup jelas.
                                                             Ayat (2) . . .
                                  - 74 -


    Ayat (2)

        Yang   dimaksud  dengan     "bersifat tidak   tetap"  adalah
        pemberlakuan pembatasan dilaksanakan tidak terus-menerus.
        Yang dimaksud dengan "tidak menyeluruh" adalah batas
        horizontal dan vertikal (ketinggian) dibatasi sehingga pesawat
        udara dapat melakukan penerbangan dengan tata cara
        bernavigasi yang ditetapkan pada kawasan udara tersebut.
        Yang dimaksud dengan "kondisi alam", antara lain, aktivitas
        gunung berapi, badai, turbulensi (turbulence), atau kebakaran
        hutan.

Pasal 265

    Ayat (1)

        Huruf a

               Yang dimaksud dengan "kaidah penerbangan" adalah jenis
               penerbangan yang didasarkan pada cara penerbangan, yaitu
               penerbangan instrumen atau kaidah penerbangan instrumen
               (instrument flight rules) dan penerbangan visual atau kaidah
               penerbangan visual (visual flight rules).

        Huruf b

               Yang dimaksud dengan "pemberian            separasi"   adalah
               pemberian jarak vertikal dan horizontal.

        Huruf c

               Cukup jelas.

        Huruf d

               Cukup jelas.

        Huruf e
               Cukup jelas.

        Huruf f

               Cukup jelas.

                                                                Ayat (2) . . .
                          - 75 -


Ayat (2)

   Yang dimaksud dengan "kelas A" adalah ruang udara yang
   memiliki kriteria sebagai berikut:
   1. hanya digunakan untuk kaidah penerbangan instrumen;
   2. diberikan separasi kepada semua pesawat udara;
   3. diberikan pelayanan pemanduan lalu lintas penerbangan;
   4. tidak ada pembatasan kecepatan;
   5. memerlukan komunikasi radio dua arah; dan
   6. persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan
      kepada pilot (Air Traffic Control Clearance).

   Yang dimaksud dengan "kelas B" adalah ruang udara yang
   memiliki kriteria sebagai berikut:
   1. digunakan untuk kaidah penerbangan instrumen dan visual;
   2. diberikan separasi kepada semua pesawat udara;
   3. diberikan pelayanan pemanduan lalu lintas penerbangan;
   4. tidak ada pembatasan kecepatan;
   5. memerlukan komunikasi radio dua arah; dan
   6. persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan
      kepada pilot.

   Yang dimaksud dengan "kelas C" adalah ruang udara yang
   memiliki kriteria sebagai berikut:
   1. untuk kaidah penerbangan instrumen:
      a) diberikan separasi kepada:
         1) antarkaidah penerbangan instrumen; dan
         2) antara kaidah penerbangan instrumen dengan kaidah
             penerbangan visual.
      b) pelayanan yang diberikan berupa:
         1) layanan pemanduan lalu lintas penerbangan untuk
             pemberian separasi dengan kaidah penerbangan
             instrumen; dan
         2) layanan informasi lalu lintas penerbangan antar kaidah
             penerbangan visual.
      c) tidak ada pembatasan kecepatan;
      d) memerlukan komunikasi radio dua arah; dan
      e) persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan
         kepada pilot.

                                                      2. untuk . . .
                      - 76 -


2. untuk kaidah penerbangan visual:
   a) diberikan separasi antara penerbangan visual dan
      penerbangan instrumen;
   b) pelayanan pemanduan lalu lintas penerbangan;
   c) kecepatan dibatasi 250 knot pada ketinggian dibawah
      10.000 kaki di atas permukaan laut;
   d) memerlukan komunikasi radio dua arah; dan
   e) persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan
      kepada pilot.

Yang dimaksud dengan "kelas D" adalah ruang udara yang
memiliki kriteria sebagai berikut:

1. untuk kaidah penerbangan instrumen:
   a) separasi diberikan antarkaidah penerbangan instrumen;
   b) diberikan layanan pemanduan lalu lintas penerbangan dan
      informasi tentang lalu lintas penerbangan visual;
   c) kecepatan dibatasi 250 knot pada ketinggian di bawah
      10.000 kaki di atas permukaan laut;
   d) memerlukan komunikasi radio dua arah; dan
   e) persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan
      kepada pilot.

2. untuk kaidah penerbangan visual:
   a) tidak diberikan separasi;
   b) diberikan informasi lalu lintas penerbangan instrumen
      kepada penerbangan visual dan antarpenerbangan visual;
   c) pembatasan kecepatan sebesar 250 knot dibawah 10.000
      kaki di atas permukaan laut;
   d) memerlukan komunikasi radio dua arah;
   e) persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan
      kepada pilot.

Yang dimaksud dengan "kelas E" adalah ruang udara yang
memiliki kriteria sebagai berikut:

1. untuk kaidah penerbangan instrumen:
   a) diberikan separasi antarkaidah penerbangan instrumen;
   b) diberikan layanan pemanduan lalu lintas penerbangan
      sepanjang dapat dilaksanakan atau informasi lalu lintas
      penerbangan untuk penerbangan visual;

                                            c) pembatasan . . .
                       - 77 -


   c) pembatasan kecepatan sebesar 250 knot di bawah 10.000
      kaki di atas permukaan laut;
   d) memerlukan komunikasi radio dua arah; dan
   e) persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan
      kepada pilot.

2. untuk kaidah penerbangan visual:
   a) tidak diberikan separasi;
   b) diberikan informasi lalu lintas penerbangan sepanjang
      dapat dilaksanakan;
   c) pembatasan kecepatan sebesar 250 knot di bawah 10.000
      kaki di atas permukaan laut;
   d) tidak diperlukan komunikasi radio;
   e) tidak diperlukan persetujuan personel pemandu lalu lintas
      penerbangan kepada pilot.

Yang dimaksud dengan "kelas F" adalah ruang udara yang
memiliki kriteria sebagai berikut:

1. untuk kaidah penerbangan instrumen:
   a) diberikan separasi antarkaidah penerbangan instrumen
      sepanjang dapat dilaksanakan;
   b) diberikan bantuan layanan pemanduan lalu lintas
      penerbangan     atau   layanan   informasi  lalu   lintas
      penerbangan;
   c) pembatasan kecepatan sebesar 250 knot di bawah 10.000
      kaki di atas permukaan laut;
   d) memerlukan komunikasi radio dua arah; dan
   e) tidak diperlukan persetujuan personel pemandu lalu lintas
      penerbangan kepada pilot.

2. untuk kaidah penerbangan visual:
   a) tidak diberikan separasi;
   b) diberikan layanan informasi penerbangan;
   c) pembatasan kecepatan sebesar 250 knot di bawah 10.000
      kaki di atas permukaan laut;
   d) tidak diperlukan komunikasi radio; dan
   e) tidak diperlukan persetujuan personel pemandu lalu lintas
      penerbangan kepada pilot.

                                            Yang dimaksud . . .
                                 - 78 -


        Yang dimaksud dengan "kelas G" adalah ruang udara yang
        memiliki kriteria sebagai berikut:

        1. untuk kaidah penerbangan instrumen:
           a) tidak diberikan separasi;
           b) diberikan layanan informasi penerbangan;
           c) pembatasan kecepatan sebesar 250 knot di bawah 10.000
              kaki di atas permukaan laut;
           d) memerlukan komunikasi radio dua arah; dan
           e) tidak diperlukan persetujuan personel pemandu lalu lintas
              penerbangan kepada pilot.

        2. untuk kaidah penerbangan visual:
           a) tidak diberikan separasi;
           b) diberikan layanan informasi penerbangan;
           c) pembatasan kecepatan sebesar 250 knot di bawah 10.000
              kaki di atas permukaan laut;
           d) tidak diperlukan komunikasi radio; dan
           e) tidak diperlukan persetujuan personel pemandu lalu lintas
              penerbangan kepada pilot.
Pasal 266

    Cukup jelas.

Pasal 267

    Ayat (1)

        Huruf a
               Yang dimaksud dengan "jalur udara (airway)" adalah suatu
               ruang udara yang terkontrol dalam bentuk koridor yang
               dilengkapi dengan peralatan radio navigasi.

        Huruf b
               Cukup jelas.

        Huruf c
               Cukup jelas.

        Huruf d

               Cukup jelas.
                                                           Ayat (2) . . .
                                   - 79 -



    Ayat (2)

        Huruf a

               Cukup jelas.

        Huruf b
               Yang dimaksud dengan "titik acuan" adalah titik yang
               digunakan    untuk     menghubungkan      segmen     jalur
               penerbangan yang telah ditetapkan nama dan koordinatnya.
               Titik acuan tersebut ditetapkan di atas fasilitas navigasi atau
               suatu titik maya yang ditetapkan posisinya.

        Huruf c

               Cukup jelas.

        Huruf d

               Cukup jelas.

        Huruf e

               Cukup jelas.

Pasal 268

    Cukup jelas.

Pasal 269

    Cukup jelas.

Pasal 270

    Cukup jelas.

Pasal 271

    Ayat (1)

        Cukup jelas.

                                                                 Ayat (2) . . .
                                 - 80 -


    Ayat (2)

        Cukup jelas.

    Ayat (3)

        Huruf a

               Cukup jelas.

        Huruf b

               Yang dimaksud dengan "tidak berorientasi kepada
               keuntungan" adalah lembaga penyelenggara dalam mengelola
               pendapatannya dimanfaatkan untuk biaya investasi, biaya
               operasional, dan peningkatan kualitas pelayanan.

        Huruf c

               Cukup jelas.

        Huruf d

               Cukup jelas.
    Ayat (4)

        Cukup jelas.

Pasal 272

    Cukup jelas.

Pasal 273

    Cukup jelas.

Pasal 274

    Cukup jelas.

Pasal 275

    Ayat (1)

        Cukup jelas.

                                                           Ayat (2) . . .
                                  - 81 -



    Ayat (2)

        Cukup jelas.

    Ayat (3)

        Huruf a

               Yang    dimaksud    dengan    "unit pelayanan navigasi
               penerbangan di bandar udara" terdiri atas pelayanan
               aerodrome oleh personel pemandu (aerodrome control),
               pelayanan komunikasi penerbangan (aeronautical flight
               information services), dan pelayanan aerodrome tanpa
               personel pemandu (un-attended).

        Huruf b

               Yang dimaksud dengan "unit pelayanan navigasi pendekatan"
               adalah unit pelayanan navigasi penerbangan pada kawasan
               pendekatan kedatangan (standard arrival route) dan
               keberangkatan (standard instrument departure).

        Huruf c

               Yang      dimaksud    dengan    "unit pelayanan   navigasi
               penerbangan jelajah" adalah unit pelayanan lalu lintas
               penerbangan terkendali yang diberikan kepada pesawat
               udara yang mendapatkan persetujuan dari personel
               pemandu lalu lintas penerbangan (air traffic control
               clearance),    pelayanan   informasi  penerbangan   (flight
               information service), dan pelayanan kesiagaan (alerting
               service).
Pasal 276

    Cukup jelas.

Pasal 277

    Cukup jelas.

Pasal 278

    Cukup jelas.

                                                            Pasal 279 . . .
                               - 82 -


Pasal 279

    Cukup jelas.

Pasal 280

    Cukup jelas.

Pasal 281

    Cukup jelas.

Pasal 282

    Huruf a
        Yang dimaksud dengan "pelayanan aeronautika tetap" adalah
        pelayanan telekomunikasi penerbangan antarstasiun tetap (tidak
        bergerak).

    Huruf b
        Yang dimaksud dengan "pelayanan aeronautika bergerak" adalah
        telekomunikasi:
        1. antara stasiun penerbangan di darat dengan stasiun
           penerbangan di pesawat udara;
        2. antarstasiun pesawat udara;
        3. radio beacon yang menunjukkan posisi darurat (emergency) dan
           marabahaya (distress); serta
        4. penyiaran informasi penerbangan (aeronautical broadcasting
           service)

    Huruf c

        Yang dimaksud dengan "pelayanan radio navigasi aeronautika"
        adalah penyampaian informasi melalui perambatan gelombang
        radio untuk menentukan posisi, arah, kecepatan, dan
        karakteristik suatu benda untuk kepentingan navigasi.

Pasal 283

    Cukup jelas.

Pasal 284

    Yang dimaksud dengan "tepat waktu" adalah waktu penyampaian
    informasi tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

                                                         Pasal 285 . . .
                               - 83 -



Pasal 285

    Cukup jelas.

Pasal 286

    Cukup jelas.

Pasal 287

    Yang dimaksud dengan "informasi cuaca", antara lain, meliputi:
    a. angin atas (upper winds) dan suhu udara atas (upper air
       temperature);
    b. fenomena cuaca yang signifikan pada jalur jelajah (forecast of
       significant en-route weather phenomena);
    c. laporan meteorologi      bandar udara (aerodrome meteorological
       report);
    d. prakiraan cuaca bandar udara (aerodrome forecast);
    e. prakiraan cuaca untuk lepas landas (forecast for take-off);
    f. prakiraan cuaca untuk pendaratan (landing forecast);
    g. informasi     cuaca yang signifikan      (significant information
       meteorology);
    h. informasi cuaca pada lapisan rendah (airmet); dan
    i. ringkasan iklim bandar udara (aerodrome climatological summary).

Pasal 288

    Yang dimaksud dengan "unit pelayanan informasi meteorologi" adalah
    badan yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang meteorologi,
    klimatologi, dan geofisika.

Pasal 289

    Cukup jelas.

Pasal 290

    Dalam penetapan tata cara dan prosedur pelayanan informasi
    meteorologi penerbangan diatur oleh Menteri berkoordinasi dengan
    institusi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang meteorologi,
    klimatologi, dan geofisika.
                                                          Pasal 291 . . .
                                - 84 -


Pasal 291

    Ayat (1)

        Cukup jelas.

    Ayat (2)

        Cukup jelas.

    Ayat (3)

        Dalam penetapan tata cara dan prosedur pelayanan informasi
        pencarian dan pertolongan diatur oleh Menteri berkoordinasi
        dengan badan yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
        pencarian dan pertolongan.

Pasal 292

    Ayat (1)

        Cukup jelas.

    Ayat (2)

        Yang dimaksud dengan "personel navigasi penerbangan yang
        terkait langsung dengan pelaksanaan pengoperasian dan/atau
        pemeliharaan fasilitas navigasi penerbangan" meliputi:

        a. personel pelayanan lalu lintas penerbangan, yang terdiri atas:
           1) pemandu lalu lintas penerbangan; dan
           2) pemandu komunikasi penerbangan.

        b. personel teknik telekomunikasi penerbangan, yang terdiri
           atas:
           1) teknisi komunikasi penerbangan;
           2) teknisi radio navigasi penerbangan;
           3) teknisi pengamatan penerbangan; dan
           4) teknisi kalibrasi penerbangan.

        c. personel pelayanan informasi aeronautika; dan

        d. personel perancang prosedur penerbangan adalah personel
           yang bertugas antara lain:
                                                        1) merancang . . .
                                 - 85 -


            1) merancang suatu prosedur pergerakan pesawat udara
               untuk:
               a) keberangkatan (standard instrument departure).
                  Prosedur pergerakan pesawat udara keberangkatan
                  adalah jalur penerbangan tertentu dari suatu bandara,
                  ditandai oleh fasilitas navigasi, yang merupakan
                  panduan bagi penerbang.
               b) kedatangan (standard instrument arrival route).
                  Prosedur pergerakan pesawat udara kedatangan
                  adalah jalur penerbangan tertentu menuju suatu
                  bandara, ditandai oleh fasilitas-fasilitas navigasi, yang
                  merupakan panduan bagi penerbang.
               c) ancangan pendaratan (instrument approach procedure).
                  Prosedur pergerakan pesawat udara ancangan
                  pendaratan adalah rangkaian manuver yang ditetapkan
                  bagi penerbang dalam melaksanakan prosedur
                  ancangan pendaratan dengan hanya berpedoman pada
                  instrumen-instrumen yang terdapat dalam cockpit
                  serta fasilitas komunikasi dan navigasi.
               d) terbang jelajah (en-route).
                  Prosedur pergerakan pesawat udara terbang jelajah
                  adalah prosedur pergerakan pesawat udara yang
                  dimulai dari fase keberangkatan sampai dengan awal
                  fase kedatangan melalui suatu jalur penerbangan
                  dengan batas ketinggian minimum yang ditentukan
                  (minimum en-route altitude).
            2) melakukan kajian aeronautika terhadap objek halangan
               yang berada dalam area operasi penerbangan.
    Ayat (3)
        Cukup jelas.
    Ayat (4)
        Cukup jelas.
Pasal 293

    Cukup jelas.



                                                           Pasal 294 . . .
                   - 86 -




Pasal 294

    Cukup jelas.

Pasal 295

    Cukup jelas.

Pasal 296

    Cukup jelas.

Pasal 297

    Cukup jelas.

Pasal 298

    Cukup jelas.

Pasal 299

    Cukup jelas.

Pasal 300

    Cukup jelas.

Pasal 301

    Cukup jelas.



                            Pasal 302 . . .
                               - 87 -


Pasal 302

    Cukup jelas.

Pasal 303

    Ayat (1)
        Yang dimaksud dengan "penggunaan frekuensi radio di luar
        alokasi frekuensi radio penerbangan", antara lain, untuk
        kepentingan pengamanan penerbangan, pertolongan kecelakaan
        penerbangan dan pemadam kebakaran (rescue and fire fighting),
        penanganan darat pesawat udara (ground handling) dan radio link
        penunjang pelayanan navigasi penerbangan.

    Ayat (2)

        Cukup jelas.

    Ayat (3)

        Cukup jelas.

Pasal 304

    Cukup jelas.

Pasal 305

    Ayat (1)
        Cukup jelas.

    Ayat (2)

        Yang dimaksud dengan "yang tidak digunakan untuk keselamatan
        penerbangan", antara lain, digunakan untuk kepentingan
        operasional perusahaan angkutan udara.
Pasal 306

    Cukup jelas.

Pasal 307

    Cukup jelas.

                                                         Pasal 308 . . .
                                  - 88 -


Pasal 308
    Ayat (1)
        Cukup jelas.
    Ayat (2)

        Yang dimaksud dengan "program keselamatan penerbangan
        nasional"    adalah    seperangkat   peraturan keselamatan
        penerbangan dan kegiatan yang terintegrasi untuk mencapai
        tingkat keselamatan yang diinginkan.

Pasal 309

    Ayat (1)

        Huruf a

               Cukup jelas.

        Huruf b

               Cukup jelas.

        Huruf c
               Yang dimaksud dengan "sistem pelaporan keselamatan
               penerbangan" adalah tata cara dan prosedur pengumpulan
               data dan laporan yang bersifat laporan wajib, sukarela,
               dan/atau bersifat terbatas (confidential mandatory/voluntary
               reporting systems).

        Huruf d
               Cukup jelas.

        Huruf e
               Cukup jelas.

        Huruf f

               Yang dimaksud dengan "promosi keselamatan penerbangan
               (safety  promotion)"   adalah    upaya      memasyarakatkan
               keselamatan penerbangan secara berkelanjutan melalui
               pendidikan dan pelatihan serta sosialisasi keselamatan.

                                                               Huruf g . . .
                                  - 89 -


        Huruf g

               Cukup jelas.

        Huruf h

               Cukup jelas.

    Ayat (2)

        Cukup jelas.

Pasal 310

    Ayat (1)

        Huruf a

               Yang dimaksud dengan "target kinerja keselamatan
               penerbangan" adalah kinerja keselamatan penerbangan yang
               ingin dicapai pada periode tertentu berdasarkan perhitungan
               kuantitatif rasio data kecelakaan periode terkini.

               Kinerja keselamatan penerbangan yang akan dicapai dan
               ditetapkan Pemerintah nilainya harus lebih kecil daripada
               rasio data kecelakaan periode terkini.

               Rasio data kecelakaan adalah data kuantitatif jumlah
               kecelakaan yang menyebabkan korban jiwa dibandingkan
               dengan jumlah pendaratan, jumlah keberangkatan, dan/atau
               jumlah jam terbang pesawat udara kategori transpor
               komersial.

               Penetapan target kinerja keselamatan penerbangan disusun
               berdasarkan pertimbangan dan masukan para pemangku
               kepentingan (stake holders).

        Huruf b

               Yang dimaksud dengan "indikator kinerja keselamatan
               penerbangan" adalah ukuran kuantitatif yang digunakan
               untuk mengetahui tingkat pencapaian kinerja keselamatan
               penerbangan.

                                                              Huruf c . . .
                                  - 90 -


        Huruf c
               Yang     dimaksud      dengan     "pengukuran pencapaian
               keselamatan penerbangan" adalah kegiatan yang dilakukan
               secara berkala dan berkelanjutan untuk mengetahui
               tercapainya target kinerja keselamatan.
    Ayat (2)
        Cukup jelas.
Pasal 311
    Cukup jelas.
Pasal 312
    Ayat (1)
        Cukup jelas.
    Ayat (2)
        Huruf a
               Yang dimaksud dengan "audit" adalah pemeriksaan yang
               terjadwal, sistematis, dan mendalam terhadap prosedur,
               fasilitas, personel, dan dokumentasi organisasi penyedia jasa
               penerbangan untuk melihat tingkat kepatuhan terhadap
               ketentuan dan peraturan yang berlaku.
        Huruf b
               Yang dimaksud dengan "inspeksi" adalah pemeriksaan
               sederhana terhadap pemenuhan standar suatu produk akhir
               objek tertentu.

        Huruf c
               Yang dimaksud dengan "pengamatan" adalah kegiatan
               penelusuran yang mendalam atas bagian tertentu dari
               prosedur, fasilitas, personel, dan dokumentasi organisasi
               penyedia jasa penerbangan dan pemangku kepentingan
               lainnya untuk melihat tingkat kepatuhan terhadap ketentuan
               dan peraturan yang berlaku.
        Huruf d
               Yang dimaksud dengan "pemantauan" adalah kegiatan
               evaluasi terhadap data, laporan, dan informasi untuk
               mengetahui     kecenderungan    kinerja   keselamatan
               penerbangan.
                                                           Ayat (3) . . .
                               - 91 -



    Ayat (3)

        Cukup jelas.

    Ayat (4)

        Cukup jelas.

    Ayat (5)

        Cukup jelas.

Pasal 313

    Cukup jelas.

Pasal 314

    Ayat (1)

        Yang dimaksud dengan "penyedia jasa penerbangan", antara lain:
        a. badan usaha angkutan udara;
        b. badan usaha bandar udara dan unit penyelenggara bandar
           udara;
        c. penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan;
        d. badan usaha pemeliharaan pesawat udara;
        e. penyelenggara pendidikan dan pelatihan penerbangan; dan
        f. badan usaha rancang bangun dan pabrik pesawat udara,
           mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang, dan
           komponen pesawat udara.

    Ayat (2)
        Cukup jelas.
    Ayat (3)
        Cukup jelas.

Pasal 315

    Huruf a

        Cukup jelas.
                                                           Huruf b . . .
                               - 92 -



    Huruf b
        Yang dimaksud dengan "manajemen risiko keselamatan" adalah
        rangkaian kegiatan berkelanjutan dimulai dari identifikasi
        bahaya, analisis risiko, penilaian tingkat risiko, dan langkah-
        langkah penurunan risiko untuk mencapai tingkat risiko yang
        dapat diterima.
    Huruf c
        Yang dimaksud dengan "jaminan keselamatan" adalah upaya
        untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan keselamatan
        melalui kegiatan pengawasan dan pengukuran       kinerja
        keselamatan, serta perbaikan sistem keselamatan secara
        berkelanjutan.
    Huruf d

        Cukup jelas.

Pasal 316

    Cukup jelas.

Pasal 317

    Cukup jelas.

Pasal 318

    Yang dimaksud dengan "budaya keselamatan penerbangan" adalah
    keyakinan, pola pikir, pola sikap, dan perasaan tertentu yang
    mendasari dan mengarahkan tingkah laku seseorang atau organisasi
    untuk menciptakan keselamatan penerbangan.

    Budaya keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud di atas
    perlu dibangun dalam bentuk budaya lapor (reporting culture), budaya
    saling mengingatkan (informed culture), budaya belajar (learning
    culture), dan just culture.

    Just culture sebagaimana dimaksud di atas adalah suatu kondisi
    kepercayaan pada saat masyarakat didorong bahkan diberi hadiah
    untuk menyampaikan informasi yang berhubungan dengan
    keselamatan dan dipahami secara jelas batasan perilaku yang dapat
    diterima dan yang tidak dapat diterima.
                                                          Pasal 319 . . .
                   - 93 -



Pasal 319

    Cukup jelas.

Pasal 320

    Cukup jelas.

Pasal 321

    Cukup jelas.

Pasal 322

    Cukup jelas.

Pasal 323

    Cukup jelas.

Pasal 324

    Cukup jelas.

Pasal 325

    Cukup jelas.

Pasal 326

    Cukup jelas.

Pasal 327

    Cukup jelas.

Pasal 328

    Cukup jelas.

Pasal 329

    Cukup jelas.

Pasal 330

    Cukup jelas.
                            Pasal 331 . . .
                                - 94 -



Pasal 331
    Ayat (1)
        Cukup jelas.
    Ayat (2)
        Huruf a
               Cukup jelas.
        Huruf b
               Cukup jelas.
        Huruf c
               Cukup jelas.
        Huruf d
               Yang dimaksud dengan "pengujian (test)" adalah uji coba
               secara tertutup atau terbuka terhadap upaya keamanan
               penerbangan atau tindakan keamanan penerbangan dengan
               simulasi percobaan untuk tindakan melawan hukum.
    Ayat (3)
        Cukup jelas.
Pasal 332
    Cukup jelas.
Pasal 333
    Cukup jelas.

Pasal 334

    Ayat (1)

        Cukup jelas.

    Ayat (2)

        Yang dimaksud dengan "personel yang berkompeten di bidang
        keamanan penerbangan" adalah personel yang telah memiliki
        lisensi.
                                                         Pasal 335 . . .
                              - 95 -




Pasal 335

    Ayat (1)

        Cukup jelas.

    Ayat (2)

        Yang dimaksud dengan "penumpang tertentu", antara lain, orang
        sakit diberikan kemudahan perlakuan pemeriksaan keamanan.

        Yang dimaksud dengan "kargo tertentu", antara lain, barang-
        barang yang mudah rusak bila dilakukan pemeriksaan dengan X-
        Ray sepanjang dilengkapi dokumen yang sah.

Pasal 336
    Cukup jelas.

Pasal 337
    Cukup jelas.

Pasal 338

    Yang dimaksud dengan "gangguan atau ancaman keamanan", antara
    lain, pembajakan atau ancaman bom.

Pasal 339

    Cukup jelas.

Pasal 340
    Ayat (1)
        Cukup jelas.
    Ayat (2)
        Cukup jelas.
    Ayat (3)
        Huruf a
               Cukup jelas.
                                                          Huruf b . . .
                                - 96 -



        Huruf b
              Cukup jelas.

        Huruf c
              Pemberitahuan muatan barang berbahaya mencakup, antara
              lain, nama dan jenis, nomor identitas, klasifikasi, jumlah
              kemasan, jenis kemasan, berat per kemasan, volume
              perkemasan, kode darurat (emergency), dan penempatannya.

Pasal 341

    Cukup jelas.

Pasal 342

    Yang dimaksud dengan "persyaratan keamanan penerbangan" adalah
    dipenuhinya persyaratan di pesawat udara, antara lain:
    a. berupa tempat untuk meredam bahan peledak;
    b. menentukan daerah bagian pesawat udara yang bisa menerima
       ledakan dengan tidak membahayakan kegiatan penerbangan; dan
    c. pintu ruang kemudi pesawat udara (cockpit door) yang terbuat
       dari material yang tahan peluru dan dengan sistem pembuka
       rahasia dari kabin pesawat udara.

    Kategori transpor yang dipersyaratan dalam ketentuan ini adalah
    pesawat udara yang beratnya saat lepas landas (MTOW) 45.500 kg
    keatas atau yang berkapasitas tempat duduk lebih dari 60 tempat
    duduk.

Pasal 343

    Cukup jelas.

Pasal 344

    Huruf a

        Cukup jelas.

    Huruf b

        Cukup jelas.
                                                           Huruf c . . .
                                 - 97 -


    Huruf c

        Yang dimaksud dengan "fasilitas aeronautika", antara lain, radar
        dan menara pengatur lalu lintas penerbangan.

    Huruf d

        Cukup jelas.

    Huruf e
        Cukup jelas.

Pasal 345

    Ayat (1)

        Cukup jelas.

    Ayat (2)

        Program penanggulangan keadaan darurat (contingency plan)
        merupakan bagian dari program pengamanan bandar udara.

Pasal 346

    Cukup jelas.

Pasal 347

    Cukup jelas.
Pasal 348
    Fasilitas keamanan penerbangan, antara lain, berupa peralatan:
    a. pendeteksi bahan peledak;
    b. pendeteksi bahan organik dan non-organik;
    c. pendeteksi metal;
    d. pendeteksi bahan nuklir, biologi, kimia, dan radioaktif;
    e. pemantau lalu lintas orang, kargo, pos, kendaraan, dan pesawat
       udara di darat;
    f. penunda upaya kejahatan dan pembatas daerah keamanan
       terbatas; serta
    g. komunikasi keamanan penerbangan.
                                                             Pasal 349 . . .
                                - 98 -



Pasal 349

    Cukup jelas.

Pasal 350
    Cukup jelas.

Pasal 351
    Cukup jelas.

Pasal 352
    Cukup jelas.

Pasal 353
    Cukup jelas.

Pasal 354
    Cukup jelas.

Pasal 355

    Cukup jelas.

Pasal 356

    Cukup jelas.

Pasal 357

    Ayat (1)

        Yang   dimaksud     dengan     "kecelakaan"    adalah   peristiwa
        pengoperasian pesawat udara yang mengakibatkan:
        a. kerusakan berat pada peralatan atau fasilitas yang digunakan;
           dan/atau
        b. korban jiwa atau luka serius.

        Yang dimaksud dengan "kejadian serius" adalah suatu kondisi
        pengoperasian pesawat udara hampir terjadinya kecelakaan.

                                                              Ayat (2) . . .
                               - 99 -



    Ayat (2)
        Cukup jelas.
    Ayat (3)
        Cukup jelas.
    Ayat (4)
        Cukup jelas.
    Ayat (5)
        Cukup jelas.
Pasal 358
    Ayat (1)
        Cukup jelas.
    Ayat (2)
        Yang dimaksud dengan "pesawat tertentu" adalah pesawat udara
        yang dikategorikan berdasarkan berat.
        Yang dimaksud dengan "pihak terkait", antara lain, organisasi
        penerbangan sipil internasional.

    Ayat (3)
        Yang dimaksud dengan "tanggapan" adalah pendapat dari pihak
        terkait terhadap rancangan laporan akhir investigasi. Tanggapan
        yang dapat diterima dijadikan bagian dari laporan akhir,
        sedangkan tanggapan yang tidak dapat diterima dijadikan
        lampiran dari laporan akhir.
    Ayat (4)
        Cukup jelas.
Pasal 359
    Ayat (1)

        Cukup jelas.


                                                            Ayat (2) . . .
                              - 100 -


    Ayat (2)

        Yang dimaksud dengan "informasi rahasia (non disclosure of
        records)", antara lain:
        a. pernyataan dari orang-orang yang diperoleh dalam proses
            investigasi;
        b. rekaman atau transkrip komunikasi antara orang-orang yang
            terlibat di dalam pengoperasian pesawat udara;
        c. informasi mengenai kesehatan atau informasi pribadi dari
            orang-orang terlibat dalam kecelakaan atau kejadian;
        d. rekaman suara di ruang kemudi (cockpit voice recorder) dan
            catatan kata demi kata (transkrip) dari rekaman suara
            tersebut;
        e. rekaman dan transkrip dari pembicaraan petugas pelayanan
            lalu lintas penerbangan (air traffic services); dan
        f. pendapat yang disampaikan dalam analisis informasi
            termasuk rekaman informasi penerbangan (flight data
            recorder).

Pasal 360

    Cukup jelas.

Pasal 361

    Cukup jelas.

Pasal 362

    Cukup jelas.

Pasal 363

    Ayat (1)

        Yang dimaksud dengan "pejabat yang berwenang di lokasi
        kecelakaan pesawat udara", antara lain, aparat keamanan
        setempat.

    Ayat (2)

        Cukup jelas.


                                                       Pasal 364 . . .
                               - 101 -


Pasal 364

    Yang dimaksud dengan "penyelidikan lanjutan" adalah suatu proses
    untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi personel
    penerbangan atas tindakan, keputusan atau pengabaian yang
    dilakukan berdasarkan hasil pelatihan dan pengalamannya (actions,
    omissions or decisions taken by them that are commensurate with their
    experience and training) serta penentuan dari sisi profesi perilaku
    mana yang dapat diterima atau yang tidak dapat ditoleransi (the role
    of domain expertise be in judging whether is acceptable or
    unacceptable).

Pasal 365

    Cukup jelas.

Pasal 366

    Cukup jelas.

Pasal 367

    Cukup jelas.

Pasal 368

    Cukup jelas.

Pasal 369

    Cukup jelas.

Pasal 370

    Cukup jelas.

Pasal 371

    Cukup jelas.

Pasal 372

    Cukup jelas.

Pasal 373

    Cukup jelas.

                                                            Pasal 374 . . .
                       - 102 -



Pasal 374

    Cukup jelas.

Pasal 375

    Cukup jelas.

Pasal 376

    Cukup jelas.

Pasal 377

    Cukup jelas.

Pasal 378

    Cukup jelas.

Pasal 379

    Cukup jelas.

Pasal 380

    Cukup jelas.

Pasal 381

    Ayat (1)

        Cukup jelas.

    Ayat (2)

        Cukup jelas.

    Ayat (3)

        Cukup jelas.
                                 Ayat (4) . . .
                                 - 103 -



    Ayat (4)

        Huruf a

               Cukup jelas.

        Huruf b

               Cukup jelas.

        Huruf c

               Yang dimaksud dengan "perluasan kesempatan kerja" adalah
               kegiatan yang dilaksanakan guna perluasan kesempatan
               kerja di bidang penerbangan untuk pemenuhan kebutuhan
               pasar tenaga kerja di tingkat nasional dan internasional.

        Huruf d

               Cukup jelas.

    Ayat (5)

        Cukup jelas.

Pasal 382

    Cukup jelas.

Pasal 383

    Cukup jelas.

Pasal 384

    Cukup jelas.

Pasal 385

    Cukup jelas.

Pasal 386

    Cukup jelas.
                                                            Pasal 387 . . .
                               - 104 -



Pasal 387

    Cukup jelas.

Pasal 388

    Yang dimaksud dengan "penyelenggara pendidikan dan pelatihan"
    adalah lembaga yang mendapatkan akreditasi dari lembaga sertifikasi
    profesi atau disahkan oleh Menteri.

Pasal 389

    Cukup jelas.

Pasal 390

    Cukup jelas.

Pasal 391

    Cukup jelas.

Pasal 392

    Cukup jelas.

Pasal 393

    Cukup jelas.

Pasal 394

    Cukup jelas.

Pasal 395

    Cukup jelas.
Pasal 396

    Cukup jelas.

Pasal 397

    Cukup jelas.
                                                         Pasal 398 . . .
                   - 105 -



Pasal 398

    Cukup jelas.

Pasal 399

    Cukup jelas.

Pasal 400

    Cukup jelas.

Pasal 401

    Cukup jelas.

Pasal 402

    Cukup jelas.

Pasal 403

    Cukup jelas.

Pasal 404

    Cukup jelas.

Pasal 405

    Cukup jelas.

Pasal 406

    Cukup jelas.

Pasal 407

    Cukup jelas.

Pasal 408

    Cukup jelas.


                             Pasal 409 . . .
                   - 106 -


Pasal 409

    Cukup jelas.

Pasal 410

    Cukup jelas.

Pasal 411

    Cukup jelas.
Pasal 412

    Cukup jelas.

Pasal 413

    Cukup jelas.

Pasal 414

    Cukup jelas.

Pasal 415

    Cukup jelas.

Pasal 416

    Cukup jelas.

Pasal 417
    Cukup jelas.

Pasal 418
    Cukup jelas.

Pasal 419
    Cukup jelas.

Pasal 420

    Cukup jelas.
                             Pasal 421 . . .
                   - 107 -


Pasal 421

    Cukup jelas.

Pasal 422

    Cukup jelas.

Pasal 423

    Cukup jelas.

Pasal 424

    Cukup jelas.

Pasal 425

    Cukup jelas.

Pasal 426

    Cukup jelas.

Pasal 427

    Cukup jelas.

Pasal 428

    Cukup jelas.

Pasal 429

    Cukup jelas.

Pasal 430

    Cukup jelas.

Pasal 431

    Cukup jelas.


                             Pasal 432 . . .
                   - 108 -


Pasal 432

    Cukup jelas.

Pasal 433

    Cukup jelas.

Pasal 434

    Cukup jelas.

Pasal 435

    Cukup jelas.

Pasal 436

    Cukup jelas.

Pasal 437

    Cukup jelas.

Pasal 438

    Cukup jelas.

Pasal 439
    Cukup jelas.

Pasal 440
    Cukup jelas.

Pasal 441
    Cukup jelas.

Pasal 442
    Cukup jelas.

Pasal 443

    Cukup jelas.

                             Pasal 444 . . .
                   - 109 -



Pasal 444

    Cukup jelas.

Pasal 445

    Cukup jelas.

Pasal 446

    Cukup jelas.

Pasal 447

    Cukup jelas.

Pasal 448

    Cukup jelas.

Pasal 449

    Cukup jelas.

Pasal 450

    Cukup jelas.

Pasal 451

    Cukup jelas.

Pasal 452

    Cukup jelas.

Pasal 453

    Cukup jelas.

Pasal 454

    Cukup jelas.


                             Pasal 455 . . .
                         - 110 -


Pasal 455
    Cukup jelas.
Pasal 456
    Cukup jelas.
Pasal 457
    Cukup jelas.
Pasal 458
    Cukup jelas.
Pasal 459
    Cukup jelas.
Pasal 460
    Cukup jelas.
Pasal 461
    Cukup jelas.
Pasal 462
    Cukup jelas.
Pasal 463
    Cukup jelas.
Pasal 464
    Cukup jelas.
Pasal 465
    Cukup jelas.
Pasal 466
    Cukup jelas.



TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4956


Silahkan download versi PDF nya sbb:
penerbangan_(uu_1_thn_2009)_1.pdf
(ogi/Carapedia)
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.