Previous
Next

1992

Undang-Undang Penerbangan (UU 15 thn 1992)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan :

UU 15/1992, PENERBANGAN

Bentuk:   UNDANG-UNDANG (UU)

Oleh:      PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor:     15 TAHUN 1992 (15/1992)

Tanggal:   25 MEI 1992 (JAKARTA)

Sumber:    LN 1992/53; TLN NO. 3481

Tentang:   PENERBANGAN

Indeks:    ADMINISTRASI. PERHUBUNGAN. Udara.

                DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

                  Presiden Republik Indonesia,

Menimbang :
a.   bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis
     untuk memantapkan perwujudan wawasan nusantara, memperkukuh
     ketahanan nasional, dan mempererat hubungan antar bangsa
     dalam usaha mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila
     dan Undang-Undang Dasar 1945;
b.   bahwa penerbangan sebagai salah satu moda transportasi tidak
     dapat dipisahkan dari moda-moda transportasi lain yang
     ditata dalam sistem transportasi nasional, yang dinamis dan
     mampu   mengadaptasi   kemajuan  dimasa   depan,   mempunyai
     karakteristik mampu mencapai tujuan dalam waktu cepat,
     berteknologi tinggi dan memerlukan tingkat keselamatan
     tinggi, perlu lebih dikembangkan potensinya dan ditingkatkan
     peranannya sebagai penghubung wilayah baik nasional maupun
     internasional, sebagai penunjang, pendorong, dan penggerak
     pembangunan nasional demi peningkatan kesejahteraan rakyat;
c.   bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur penerbangan
     yang ada pada saat ini tidak sesuai lagi dengan kebutuhan
     dan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi;
d.   bahwa untuk meningkatkan pembinaan dan penyelenggaraan
     penerbangan sesuai dengan perkembangan kehidupan rakyat dan
     bangsa Indonesia serta agar lebih berhasil guna dan
     berdayaguna dipandang perlu menetapkan ketentuan mengenai
     penerbangan dalam Undang-undang;

Mengingat :
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945;

                       Dengan persetujuan
           DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
                          MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENERBANGAN.

                              BAB I
                         KETENTUAN UMUM

                             Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1.   Penerbangan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan
     penggunaan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara,
     angkutan udara, keamanan dan keselamatan penerbangan, serta
     kegiatan dan fasilitas penunjang lain yang terkait;
2.   Wilayah udara adalah ruang udara di atas wilayah daratan dan
     perairan Republik Indonesia;
3.   Pesawat udara adalah setiap alat yang dapat terbang di
     atmosfer karena daya angkat dari reaksi udara;
4.   Pesawat   udara   Indonesia   adalah  pesawat   udara   yang
     didaftarkan dan mempunyai tanda pendaftaran Indonesia;
5.   Pesawat terbang adalah pesawat udara yang lebih berat dari
     udara, bersayap tetap, dan dapat terbang dengan tenaganya
     sendiri;
6.   Helikopter adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara,
     dapat terbang dengan sayap berputar, dan bergerak dengan
     tenaganya sendiri;
7.   Pesawat udara negara adalah pesawat udara yang dipergunakan
     oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan pesawat
     udara instansi Pemerintah tertentu yang diberi fungsi dan
     kewenangan untuk menegakkan hukum sesuai dengan peraturan
     perundang-undangan yang berlaku;
8.   Pesawat udara sipil adalah pesawat udara selain pesawat
     udara negara;
9.   Pesawat udara sipil asing adalah pesawat udara yang
     didaftarkan dan/atau mempunyai tanda pendaftaran negara
     bukan Indonesia;
10. Pesawat udara Angkatan Bersenjata Republik Indonesia adalah
     pesawat udara negara yang dipergunakan dalam dinas Angkatan
     Bersenjata Republik Indonesia;
11. Bandar udara adalah lapangan terbang yang dipergunakan untuk
     mendarat dan lepas landas pesawat udara, naik turun
     penumpang, dan/atau bongkar muat kargo dan/atau pos, serta
     dilengkapi dengan fasilitas keselamatan penerbangan dan
     sebagai tempat perpindahan antar moda transportasi;
12. Pangkalan udara adalah kawasan di daratan dan/atau di
     perairan dalam wilayah Republik Indonesia yang dipergunakan
     untuk kegiatan penerbangan Angkatan Bersenjata Republik
     Indonesia;
13. Angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan
     pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos
     untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke
     bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara;
14.   Angkutan    udara niaga adalah angkutan udara untuk umum
      dengan memungut pembayaran;
15.   Kelaikan udara adalah terpenuhinya persyaratan minimum
      kondisi pesawat udara dan/atau komponen-komponennya untuk
              menjamin   keselamatan  penerbangan   dan   mencegah
      *8178
      terjadinya pencemaran lingkungan.

                               BAB II
                          ASAS DAN TUJUAN

                             Pasal 2
Penerbangan diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, usaha
bersama  dan   kekeluargaan,  adil   dan  merata,  keseimbangan,
kepentingan umum, keterpaduan, kesadaran hukum, dan percaya pada
diri sendiri.

                             Pasal 3
Tujuan penerbangan adalah untuk mewujudkan penyelenggaraan
penerbangan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan
teratur, nyaman dan berdayaguna, dengan biaya yang terjangkau
oleh daya beli masyarakat, dengan mengutamakan dan melindungi
penerbangan nasional, menunjang pemerataan, pertumbuhan dan
stabilitas,   sebagai   pendorong,   penggerak,   dan   penunjang
pembangunan nasional serta mempererat hubungan antar bangsa.

                              BAB III
                   KEDAULATAN ATAS WILAYAH UDARA

                            Pasal 4
Negara Republik Indonesia berdaulat penuh dan utuh atas wilayah
udara Republik Indonesia.

                             Pasal 5
Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara
Republik Indonesia, Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung
jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan pertahanan dan
keamanan negara, penerbangan, dan ekonomi nasional.

                              Pasal 6
(1)   Untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara serta
      keselamatan penerbangan, Pemerintah menetapkan kawasan udara
      terlarang.
(2)   Pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing dilarang
      terbang melalui kawasan udara terlarang, dan terhadap
      pesawat udara yang melanggar larangan dimaksud dapat dipaksa
      untuk mendarat di pangkalan udara atau bandar udara di dalam
      wilayah Republik Indonesia.
(3)   Ketentuan mengenai penetapan kawasan udara terlarang dan
      tindakan pemaksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
      ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                               BAB IV
                             PEMBINAAN
                              Pasal 7
(1)  Penerbangan dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan
     oleh Pemerintah.
(2) Penyelenggaraan penerbangan dilaksanakan berdasarkan
     ketentuan dalam Undang-undang ini.
(3) Pembinaan     penerbangan    diarahkan   untuk    meningkatkan
     penyelenggaraan    penerbangan    dalam   keseluruhan    moda
     transportasi   secara    terpadu,  terwujudnya   sarana   dan
     prasarana penerbangan yang andal, sumber daya manusia yang
     profesional serta didukung industri pesawat terbang nasional
     yang tangguh, dengan memperhatikan seluruh aspek kehidupan
     masyarakat untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud
     dalam Pasal 3.
(4) Pembinaan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3),
     diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                             Pasal 8
Prasarana   dan  sarana  penerbangan    yang  dioperasikan wajib
mempunyai keandalan dan memenuhi       persyaratan keamanan dan
keselamatan penerbangan.

                              BAB V
             PENDAFTARAN DAN KEBANGSAAN PESAWAT UDARA
               SERTA PENGGUNAANNYA SEBAGAI JAMINAN

                              Pasal 9
(1)   Pesawat udara yang dioperasikan di Indonesia wajib mempunyai
      tanda pendaftaran.
(2)   Pesawat udara sipil yang dapat memperoleh tanda pendaftaran
      Indonesia adalah pesawat udara yang tidak didaftarkan di
      negara lain dan memenuhi salah satu ketentuan sebagai
      berikut :
      a.        dimiliki oleh warga negara Indonesia atau dimiliki
      oleh badan hukum Indonesia;
      b.        dimiliki oleh warga negara asing atau badan hukum
      asing dan dioperasikan oleh warga negara Indonesia atau
      badan hukum Indonesia untuk jangka waktu pemakaiannya
      minimal dua tahun secara terus menerus berdasarkan suatu
      perjanjian sewa beli, sewa guna usaha atau bentuk perjanjian
      lainnya;
      c.        dimiliki oleh instansi Pemerintah;
      d.        dimiliki oleh lembaga tertentu yang diizinkan
      Pemerintah.
(3)   Ketentuan   mengenai   pendaftaran   pesawat   udara   sipil
      sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan pendaftaran pesawat
      udara Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diatur lebih
      lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 10
(1)   Selain tanda pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
      ayat (1), pesawat terbang dan helikopter yang dioperasikan
      di Indonesia wajib mempunyai tanda kebangsaan.
(2)   Tanda kebangsaan Indonesia hanya diberikan kepada pesawat
      terbang   dan   helikopter  yang   telah   mempunyai   tanda
      pendaftaran Indonesia.
(3)   Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh dan mencabut
      tanda kebangsaan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat
      *8180 (2) dan jenis-jenis pesawat terbang dan helikopter
      tertentu yang dapat dibebaskan dari kewajiban memiliki tanda
      kebangsaan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 11
(1)   Dilarang memberi atau mengubah tanda-tanda pada pesawat
      udara sipil sedemikian rupa sehingga menyerupai pesawat
      udara negara.
(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya berlaku
      terhadap pesawat terbang dan helikopter.

                              Pasal 12
(1)   Pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda
      pendaftaran dan kebangsaan Indonesia dapat dibebani hipotek.
(2)   Pembebanan hipotek pada pesawat terbang dan helikopter
      sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didaftarkan.
(3)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih
      lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                              BAB VI
                     PENGGUNAAN PESAWAT UDARA

                              Pasal 13
(1)   Pesawat udara yang dapat digunakan di wilayah Republik
      Indonesia hanya pesawat udara Indonesia.
(2)   Penggunaan pesawat udara sipil asing dari dan ke atau
      melalui wilayah Republik Indonesia, hanya dapat dilakukan
      berdasarkan    perjanjian     bilateral   atau    perjanjian
      multilateral atau izin khusus Pemerintah.
(3)   Penggunaan pesawat udara negara asing dari dan ke atau
      melalui wilayah Republik Indonesia, hanya dapat dilakukan
      berdasarkan izin khusus Pemerintah.
(4)   Izin khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)
      diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                             Pasal 14
Jenis dan penggunaan pesawat udara sipil dan pesawat udara negara
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemernitah.

                              Pasal 15
(1)   Setiap pesawat udara sipil Indonesia atau asing yang tiba di
      atau berangkat dari Indonesia, hanya dapat mendarat di atau
      tinggal landas dari bandar udara yang ditetapkan untuk itu.
(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku
      dalam keadaan darurat.
(3)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
      diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
                             Pasal 16
Dilarang menerbangkan pesawat udara yang dapat membahayakan
keselamatan pesawat udara, penumpang dan barang, dan/atau *8181
penduduk atau mengganggu keamanan dan ketertiban umum atau
merugikan harta benda milik orang lain.

                              Pasal 17
(1)   Dilarang melakukan perekaman dari udara dengan menggunakan
      pesawat udara kecuali atas izin Pemerintah.
(2)   Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh izin sebagaimana
      dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
      Pemerintah.

                              BAB VII
               KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN

                              Pasal 18
(1)   Setiap personil penerbangan wajib memiliki sertifikat
      kecakapan.
(2)   Sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan.
(3)   Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh sertifikat
      kecakapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
      diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 19
(1)   Setiap pesawat udara yang dipergunakan untuk terbang wajib
      memiliki sertifikat kelaikan udara.
(2)   Untuk memperoleh sertifikat kelaikan udara sebagaimana
      dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pemeriksaan dan pengujian.
(3)   Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh sertifikat
      kelaikan udara serta ketentuan mengenai pemeriksaan dan
      pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
      diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                             Pasal 20
Setiap fasilitas dan/atau peralatan penunjang penerbangan wajib
memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangan.

                              Pasal 21
(1)   Persyaratan keselamatan penerbangan dalam kegiatan rancang
      bangun, pembuatan, perakitan, perawatan, dan penyimpanan
      pesawat udara termasuk komponen-komponen, dan suku cadangnya
      ditetapkan oleh Pemerintah.
(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya berlaku
      terhadap pesawat terbang dan helikopter.

                            Pasal 22
(1)   Dalam rangka keselamatan penerbangan, pesawat udara yang
      terbang di wilayah Republik Indonesia diberikan pelayanan
      navigasi penerbangan.
(2)   Pemberian pelayanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      dikenakan biaya.
(3)     Persyaratan dan tata cara pemberian pelayanan sebagaimana
        dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
        dengan Peraturan Pemerintah.
*8182
                                Pasal 23
(1)     Selama   terbang,  kapten   penerbang  pesawat   udara yang
        bersangkutan mempunyai wewenang mengambil tindakan untuk
        keamanan dan keselamatan penerbangan.
(2)     Jenis dan bentuk tindakan yang dapat diambil untuk keamanan
        dan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat
        (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                             Pasal 24
Pencegahan dan penanggulangan tindakan yang dapat menimbulkan
gangguan terhadap keamanan penerbangan termasuk yang membahayakan
pertahanan   dan   keamanan   negara  diatur   dengan   Peraturan
Pemerintah.

                               BAB VIII
                             BANDAR UDARA

                                Pasal 25
(1)     Pemerintah menetapkan bagian wilayah darat dan/atau perairan
        Republik Indonesia untuk dipergunakan sebagai bandar udara.
(2)     Penentuan lokasi, pembuatan rancang bangun, perencanaan, dan
        pembangunan bandar udara termasuk kawasan di sekelilingnya
        wajib   memperhatikan    ketentuan   keamanan    penerbangan,
        keselamatan penerbangan, dan kelestarian lingkungan kawasan
        bandar udara.
(3)     Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
        diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                                 Pasal 26
(1)     Penyelenggaraan bandar udara untuk umum dan pelayanan
        navigasi    penerbangan   dilakukan  oleh   Pemerintah    dan
        pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada badan usaha milik
        negara yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan
        peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)     Badan    hukum    Indonesia    dapat  diikutsertakan   dalam
        penyelenggaraan bandar udara untuk umum sebagaimana dimaksud
        dalam ayat (1) atas dasar kerja sama dengan badan usaha
        milik negara yang melaksanakan penyelenggaraan bandar udara
        untuk umum.
(3)     Pengadaan, pengoperasian, dan perawatan fasilitas penunjang
        bandar udara untuk umum dapat dilakukan oleh Pemerintah atau
        badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia.
(4)     Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan
        ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                               Pasal 27

(1)     Dalam    rangka    menunjang   kegiatan    tertentu    dapat
        diselenggarakan bandar udara khusus.
(2)  Pembangunan dan/atau pengoperasian bandar udara khusus
     sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan berdasarkan
     izin Pemerintah.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
     (2), perawatan dan pengoperasian serta pelayanan navigasi
     penerbangan di bandar udara khusus diatur lebih lanjut
     dengan Peraturan Pemerintah.

                           Pasal 28
Dilarang berada di bandar udara, mendirikan bangunan atau
melakukan kegiatan-kegiatan lain di dalam maupun di sekitar
bandar udara yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan
penerbangan.

                             Pasal 29
Ketentuan mengenai status, kelas, dan penggunaan bandar udara
untuk keperluan penerbangan internasional dan/atau domestik
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 30
(1)   Penyelenggara bander udara bertanggung jawab terhadap
      keamanan dan keselamatan penerbangan serta kelancaran
      pelayanannya.
(2)   Tanggung jawab terhadap keamanan dan keselamatan penerbangan
      sebagaimana dimaksud dalam ayal (1) yang wajib diasuransikan
      diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                             Pasal 31
Struktur dan golongan tarif penggunaan fasilitas dan jasa yang
diberikan di bandar udara ditetapkan oleh Pemerintah.

                               BAB IX
                PENCARIAN DAN PERTOLONGAN KECELAKAAN
              SERTA PENELITIAN SEBAB-SEBAB KECELAKAAN
                           PESAWAT UDARA

                           Pasal 32
Pemerintah wajib melakukan pencarian dan pertolongan terhadap
setiap pesawat udara yang mengalami kecelakaan di wilayah
Republik Indonesia.

                              Pasal 33
(1)   Setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan pesawat
      udara wajib membantu usaha pencarian dan pertolongan
      terhadap kecelakaan pesawat udara.
(2)   Pengaturan mengenai pencarian dan pertolongan terhadap
      pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
      lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                             Pasal 34
(1)   Pemerintah melakukan penelitian mengenai penyebab setiap
      kecelakaan pesawat udara yang terjadi di wilayah Republik
      Indonesia.
(2)   Setiap   orang    dilarang   merusak    atau   menghilangkan
      bukti-bukti, mengubah letak pesawat udara, mengambil bagian
      pesawat udara atau barang lainnya yang tersisa akibat dari
      *8184 kecelakaan pesawat udara sebelum dilakukan penelitian
      terhadap penyebab kecelakaan tersebut.
(3)   Ketentuan mengenai penelitian sebagaimana dimaksud dalam
      ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                             Pasal 35
Dalam hal pesawat udara asing mengalami kecelakaan di wilayah
Republik Indonesia, wakil pemerintah tempat pesawat udara
didaftarkan, wakil perusahaan angkutan udara yang bersangkutan,
dan wakil pabrik pesawat udara yang bersangkutan dapat disertakan
sebagai peninjau dalam penelitian.

                               BAB X
                          ANGKUTAN UDARA

                              Pasal 36
(1)   Kegiatan angkutan udara niaga yang melayani angkutan di
      dalam negeri atau ke luar negeri hanya dapat diusahakan oleh
      badan hukum Indonesia yang telah mendapat izin.
(2)   Kegiatan angkutan udara bukan niaga dapat dilakukan oleh
      Pemerintah atau badan hukum Indonesia, lembaga tertentu atau
      perorangan warga negara Indonesia yang telah mendapat izin.
(3)   Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh izin sebagaimana
      dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
      dengan Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 37
(1)   Usaha angkutan udara niaga dilakukan secara berjadwal dan
      tidak berjadwal.
(2)   Ketentuan mengenai penetapan jaringan dan rute penerbangan
      dalam   negeri   untuk   angkutan  udara   niaga   berjadwal
      sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan mempertimbangkan
      keterpaduan antar moda angkutan diatur lebih lanjut dengan
      Peraturan Pemerintah.
(3)   Penetapan jaringan dan rute penerbangan international diatur
      oleh Pemerintah berdasarkan perjanjian antar negara.

                              Pasal 38
(1)   Pemerintah menyelenggarakan angkutan udara perintis untuk
      melayani jaringan dan rute penerbangan yang menghubungkan
      daerah-daerah terpencil dan pedalaman atau yang sukar
      terhubungi oleh moda transportasi lain.
(2)   Penyelenggaraan angkutan udara perintis sebagaimana dimaksud
      dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
      Pemerintah.

                             Pasal 39
Perusahaan angkutan udara asing dilarang melakukan angkutan udara
niaga di dalam negeri.
                             Pasal 40
Struktur dan golongan tarif angkutan udara niaga, ditetapkan oleh
Pemerintah.

                          *8185 Pasal 41
(1)   Perusahaan angkutan udara niaga, wajib mengangkut orang
      dan/atau barang, setelah disepakati perjanjian pengangkutan.
(2)   Tiket penumpang atau tiket bagasi merupakan tanda bukti
      telah disepakati perjanjian pengangkutan dan pembayaran
      biaya angkutan.
(3)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
      lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 42
(1)   Penyandang cacat dan orang sakit berhak memperoleh pelayanan
      berupa perlakuan khusus dalam angkutan udara niaga.
(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih
      lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 43
(1)   Perusahaan angkutan udara yang melakukan kegiatan angkutan
      udara niaga bertanggungjawab atas :
      a.   kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;
      b.   musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut;
      c.   keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang
      diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan
      pengangkut.
(2)   Batas jumlah ganti rugi terhadap tanggung jawab pengangkut
      sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
      dengan Peraturan Pemerintah.

                              Pasal 44
(1)   Setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan pesawat
      udara bertanggungjawab terhadap kerugian yang diderita oleh
      pihak ketiga yang diakibatkan oleh pengoperasian pesawat
      udara   atau   kecelakaan   pesawat  udara   atau   jatuhnya
      benda-benda lain dari pesawat udara yang dioperasikan.
(2)   Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh ganti rugi dan
      batas jumlah ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemernitah.

                             Pasal 45
Pengangkutan udara yang dilakukan berturut-turut oleh beberapa
perusahaan angkutan udara, dianggap sebagai satu pengangkutan
udara, apabila oleh pihak-pihak yang bersangkutan diperjanjikan
sebagai satu perjanjian pengangkutan udara.

                             Pasal 46
Dalam pengangkutan campuran yang sebagian dilaksanakan melalui
angkutan udara dan sebagian melalui moda angkutan lainnya,
ketentuan dalam Undang-undang ini hanya berlaku untuk tanggung
jawab dalam rangka pengangkutan udara.
                             Pasal 47
Setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan pesawat udara
wajib mengasuransikan tanggungjawabnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 43 dan Pasal 44 ayat (1).
*8186
                             Pasal 48
Setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan pesawat udara
wajib mengasuransikan awak pesawat udara yang dipekerjakannya.

                              Pasal 49
(1)   Dalam keadaan tertentu pesawat udara Angkatan Bersenjata
      Republik Indonesia dapat dipergunakan untuk keperluan
      angkutan udara sipil dan sebaliknya.
(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
      lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                               BAB XI
                         DAMPAK LINGKUNGAN

                              Pasal 50
(1)   Untuk mencegah terganggunya kelestarian lingkungan hidup,
      setiap pesawat udara wajib memenuhi persyaratan ambang batas
      tingkat kebisingan.
(2)   Setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan pesawat
      udara wajib mencegah terganggunya kelestarian lingkungan
      hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
      diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                            Pasal .51
Standar mengenai tingkat kebisingan pesawat udara di bandar udara
dan sekitarnya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

                              BAB XII
                            PENYIDIKAN

                              Pasal 52
(1)   Selain pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, pejabat
      Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang
      lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang penerbangan,
      dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
      dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
      Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana
      di bidang penerbangan, kecuali tindak pidana yang diancam
      hukuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54.
(2)   Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang
      untuk:
      a.   melakukan,pemeriksaan atas kebenaran laporan, pengaduan
      atau keterangan tentang adanya tindak pidana;
      b.   memanggil dan memeriksa saksi dan/atau tersangka;
      c.   melakukan penggeledahan, penyegelan dan/atau penyitaan
      alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
      d.   melakukan pemeriksaan tempat yang diduga digunakan
      untuk melakukan tindak pidana;
      e.   meminta keterangan kepada saksi-saksi dan mengumpulkan
      barang bukti dari orang dan/atau badan hukum sehubungan
      dengan tindak pidana;
      *8187 f. membuat     dan    menandatangani    berita    acara
      pemeriksaan;
      g.   menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup
      bukti tentang adanya tindak pidana.
(3)   Pelaksanaan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      dan   ayat   (2),    dilakukan   sesuai    dengan   peraturan
      perundang-undangan yang berlaku.

                             Pasal 53
Penyidikan terhadap pelanggaran wilayah udara termasuk kawasan
udara terlarang yang mengakibatkan tindakan pemaksaan mendarat
oleh pesawat udara Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Udara, dan penyelesaian hukumnya
di-lakukan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana.

                             BAB XIII
                         KETENTUAN PIDANA

                            Pasal 54
Barangsiapa mengoperasikan pesawat udara melalui kawasan udara
terlarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda
setinggi-tingginya Rp. 72.000.000,- (tujuh puluh dua juta
rupiah).

                            Pasal 55
Barangsiapa mengoperasikan pesawat udara yang tidak mempunyai
tanda pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1),
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau
denda setinggi-tingginya Rp. 36.000.000,- (tiga puluh enam juta
rupiah).

                             Pasal 56
Barangsiapa mengoperasikan pesawat terbang dan helikopter yang
tidak mempunyai tanda kebangsaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 36.000.000,- (tiga
puluh enam juta rupiah).

                             Pasal 57
Barangsiapa memberi atau mengubah tanda-tanda pada pesawat udara
sipil sedemikian rupa sehingga menyerupai pesawat udara negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), dipidana dengan
pidana   kurungan  paling   lama   6  (enam)  bulan  atau   denda
setinggi-tingginya Rp. 18.000.000,- (delapan belas juta rupiah).

                            Pasal 58
Barangsiapa mengoperasikan pesawat udara asing      dari, ke atau
melalui wilayah Republik Indonesia dengan melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), dipidana dengan
pidana   penjara   paling  lama   5   (lima)   tahun  dan   denda
setinggi-tingginya Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).

                         *8188 Pasal 59
Barangsiapa melakukan pendaratan atau tinggal landas dengan
menggunakan pesawat udara tidak di atau dari bandar udara yang
ditetapkan untuk itu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat
(1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
atau denda setinggi-tingginya Rp. 36.000.000,- (tiga puluh enam
juta rupiah).

                             Pasal 60
Barangsiapa menerbangkan pesawat udara yang dapat membahayakan
keselamatan pesawat udara, penumpang dan barang, dan/atau
penduduk, atau mengganggu keamanan dan ketertiban umum atau
merugikan harta benda milik orang lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 60.000.000,- (enam puluh
juta rupiah).

                             Pasal 61
Barangsiapa tanpa izin Pemerintah melakukan perekaman dari udara
dengan menggunakan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima )
tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 60.000.000,- (enam puluh
juta rupiah).

                             Pasal 62
Barangsiapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 36.000.000,- (tiga puluh
enam juta rupiah).

                            Pasal 63
Barangsiapa mengoperasikan pesawat udara yang tidak memiliki
sertifikat kelaikan udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 36.000.000,- (tiga puluh
enam juta rupiah).

                             Pasal 64
Barangsiapa mengoperasikan fasilitas dan/atau peralatan penunjang
penerbangan  yang   tidak   memenuhi  persyaratan  keamanan   dan
keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau
denda setinggi-tingginya Rp. 18.000.000,- (delapan belas juta
rupiah).

                             Pasal 65
Barangsiapa membangun dan/atau mengoperasikan bandar udara khusus
tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda
setinggi-tingginya Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).

                            Pasal 66
Barangsiapa tanpa hak berada di tempat-tempat tertentu di bandar
udara, mendirikan bangunan atau melakukan kegiatan lain di dalam
atau di sekitar bandar udara yang dapat membahayakan
keamanan dan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam)
bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 18.000.000,- (delapan
belas juta rupiah).

                             Pasal 67
Barangsiapa tidak membantu usaha pencarian dan pertolongan
terhadap pesawat udara yang mengalami kecelakaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) walaupun telah diberitahukan
secara patut oleh pejabat yang berwenang, dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya
Rp. 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).

                              Pasal 68
(1)   Barangsiapa tanpa hak merusak atau menghilangkan bukti-bukti
      atau mengubah letak pesawat udara, atau mengambil bagian
      pesawat udara atau barang lainnya yang tersisa akibat dari
      kecelakaan pesawat udara, sebelum dilakukan penelitian
      terhadap penyebab kecelakaan tersebut sebagaimana dimaksud
      dalam Pasal 34 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan
      paling lama 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.
      18.000.000,- (delapan belas juta rupiah).
(2)   Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
      dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan bukti-bukti
      mengenai penyebab kecelakaan, dipidana dengan pidana penjara
      paling lama 5 (lima) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp.
      60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).

                             Pasal 69
Barangsiapa melakukan kegiatan angkutan udara niaga atau bukan
niaga tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dan
ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam)
bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 18.000.000.- (delapan
belas juta rupiah).

                             Pasal 70
Barangsiapa    mengoperasikan     pesawat   udara    dan    tidak
mengasuransikan tanggungjawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
47, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
atau denda setinggi-tingginya Rp. 36.000.000,- .(tiga puluh enam
juta rupiah).

                           Pasal 71
Barangsiapa tidak mengasuransikan awak pesawat udara yang
dipekerjakannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 terhadap
resiko terjadinya kecelakaan pesawat udara, dipidana dengan
pidana   kurungan paling lama  1   (satu) tahun atau denda
setinggi-tingginya Rp. 36.000.000,- (tiga puluh enam juta
rupiah).

                             Pasal 72
Barangsiapa mengoperasikan pesawat udara yang tidak memenuhi
persyaratan ambang batas tingkat kebisingan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp.
36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).

                              Pasal 73
(1)   Tindak   pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal
      58, Pasal 60, Pasal 61, dan Pasal 68 ayat (2) adalah
      kejahatan.
(2)   Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, Pasal 56.
      Pasal 57, Pasal 59, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65,
      Pasal 66, Pasal 67, Pasal 69 ayat (1). Pasal 69, Pasal 70,
      Pasal 71, dan Pasal 72 adalah pelanggaran.

                              BAB XIV
                        KETENTUAN PERALIHAN

                              Pasal 74
Dengan berlakunya Undang-undang ini maka :
a.   Ordonansi   Pengangkutan   Udara  (Luchtvervoer Ordonnantie
     Staatsblad Tahun, 1939 Nomor 100) dinyatakan tetap berlaku
     sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini atau
     belum diganti dengan Undang-undang yang baru;
b.   semua peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 93 Tahun
     1958 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor
     159, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1687) dinyatakan tetap
     berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti
     dengan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.

                               BAB XV
                              PENUTUP

                            Pasal 75
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang
Nomor 83 Tahun 1958 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Tahun
1958 Nomor 159, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1687), dinyatakan
tidak berlaku.

                             Pasal 76
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 17 September 1992.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 25 Mei 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Mei 1992
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

MOERDIONO

                              PENJELASA
                                 ATAS
                  UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                         NOMOR 15 TAHUN 1992
                               TENTANG
                             PENERBANGAN

UMUM

     Bahwa berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa Negara Republik
Indonesia telah dianugerahi sebagai negara kepulauan yang terdiri
dari beribu pulau, terletak memanjang di garis khatulistiwa, di
antara dua benua dan dua samudera, oleh karena itu mempunyai
posisi dan peranan yang sangat penting dan strategis dalam
hubungan antar bangsa.
     Untuk   mencapai     tujuan   pembangunan    nasional   sebagai
pengamalan Pancasila, transportasi memiliki posisi yang penting
dan strategis dalam pembangunan bangsa yang berwawasan lingkungan
dan hal ini harus tercermin pada kebutuhan mobilitas seluruh
sektor dan wilayah.
     Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan
strategis dalam memperlancar roda perekonomian, memperkukuh
persatuan dan kesatuan, mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa
dan negara serta mempererat hubungan antar bangsa.
     Pentingnya transportasi tersebut tercermin pada semakin
meningkatnya kebutuhan jasa angkutan bagi mobilitas orang serta
barang dari dan ke seluruh pelosok tanah air, bahkan dari dan ke
luar negeri.
     Di   samping   itu,    transportasi   juga   berperan   sebagai
penunjang, pendorong, dan penggerak bagi pertumbuhan daerah yang
berpotensi namun belum berkembang, dalam upaya peningkatan dan
pemerataan pembangunan serta hasil-hasilnya.
     Menyadari    peranan    transportasi,   maka    penyelenggaraan
penerbangan harus ditata dalam satu kesatuan sistem transportasi
nasional secara terpadu dan mampu mewujudkan penyediaan jasa
transportasi   yang   seimbang    dengan   tingkat   kebutuhan   dan
tersedianya pelayanan angkutan yang selamat, aman, cepat, lancar,
tertib, teratur, nyaman, dan efisien dengan biaya yang wajar
serta terjangkau oleh daya beli masyarakat.
     Penerbangan yang mempunyai karakteristik dan keunggulan
tersendiri perlu dikembangkan dengan memperhatikan sifatnya yang
padat modal sehingga mampu meningkatkan pelayanan yang lebih luas
baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.
      Pengembangan penerbangan yang ditata dalam satu kesatuan
sistem, dilakukan dengan mengintegrasikan dan mendinamisasikan
unsur-unsurnya     yang    terdiri   dari    prasarana   dan   sarana
penerbangan, peraturan-peraturan, prosedur dan metoda sedemikian
rupa sehingga terwujud suatu totalitas yang utuh, berdayaguna,
berhasilguna serta dapat diterapkan.
      Mengingat penting dan strategisnya peranan penerbangan yang
menguasai hajat hidup orang banyak, maka penerbangan dikuasai
oleh negara yang pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.
      *8192 Penyelenggaraan penerbangan perlu diselenggarakan
secara berkesinambungan dan terus ditingkatkan agar lebih luas
daya    jangkau   dan    pelayanannya    kepada   masyarakat   dengan
memperhatikan sebesar-besar kepentingan umum dan kemampuan
masyarakat, kelestarian lingkungan, koordinasi antar wewenang
pusat dan daerah serta antar instansi, sektor, dan antar unsur
terkait serta pertahanan dan keamanan negara, sekaligus dalam
rangka mewujudkan sistem transportasi nasional yang andal dan
terpadu.
      Keseluruhan hal tersebut perlu dicerminkan dalam satu
Undang-undang yang utuh.
      Dalam Undang-undang ini juga diatur mengenai hak, kewajiban
serta tanggung jawab para penyedia jasa dan para pengguna jasa,
dan tanggung jawab penyedia jasa terhadap kerugian pihak ketiga
sebagai akibat dari penyelenggaraan penerbangan serta pembebanan
hipotek terhadap pesawat terbang dan helikopter yang telah
memperoleh tanda pendaftaran Indonesia.
      Di samping itu dalam rangka pembangunan hukum nasional serta
untuk lebih memantapkan perwujudan kepastian hukum, Undang-undang
Nomor 83 Tahun 1958 tentang Penerbangan, perlu diganti dengan
Undang-undang ini, karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan belum tertata
dalam    satu   kesatuan    sistem   yang   merupakan   bagian   dari
transportasi secara keseluruhan.
      Mengingat Indonesia sebagai salah satu negara anggota
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil
Aviation Organization, disingkat ICAO), maka ketentuan-ketentuan
penerbangan internasional sebagaimana tercantum dalam Konvensi
Chicago    1944   beserta    Annexes   dan   dokumen-dokumen   teknis
operasionalnya serta konvensi-konvensi internasional terkait
lainnya, merupakan ketentuan-ketentuan yang harus ditaati sesuai
dengan kepentingan nasional.
      Dalam Undang-undang ini diatur hal-hal yang bersifat pokok,
sedangkan yang bersifat teknis dan operasional diatur dalam
Peraturan Pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
     Angka 1
          Cukup jelas
     Angka 2
          Cukup jelas
     Angka 3
          Tidak   termasuk   pengertian   pesawat  udara   adalah
     alat-alat yang dapat terbang bukan oleh daya angkat dari
     reaksi udara, melainkan karena reaksi udara terhadap
     permukaan bumi, misalnya roket.
     Angka 4
          Cukup jelas
     Angka 5
          Cukup jelas
     Angka 6
          Cukup jelas
     Angka 7
          *8193 Cukup jelas
     Angka 8
          Cukup jelas
     Angka 9
          Cukup jelas
     Angka 10
          Cukup jelas
     Angka 11
          Yang dimaksud dengan lapangan terbang dalam ketentuan
     ini   adalah   kawasan   di  daratan   atau  perairan   yang
     dipergunakan untuk lepas landas dan/atau pendaratan pesawat
     udara.
     Angka 12
          Cukup jelas
     Angka 13
          Cukup jelas
     Angka 14
          Cukup jelas
     Angka 15
          Cukup jelas

Pasal 2
     Dalam ketentuan pasal ini yang dimaksud dengan :

     a.   asas manfaat yaitu, bahwa penerbangan harus dapat
     memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan,
     peningkatan    kesejahteraan    rakyat   dan    pengembangan
     perikehidupan yang berkeseimbangan bagi warga negara, serta
     upaya peningkatan pertahanan dan keamanan negara;
     b.   asas usaha bersama dan kekeluargaan yaitu, bahwa
     penyelenggaraan usaha di bidang penerbangan dilaksanakan
     untuk mencapai cita-cita dan aspirasi bangsa yang dalam
     kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat
     dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan;
     c.   asas adil dan merata yaitu, bahwa penyelenggaraan
     penerbangan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan
     merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang
     terjangkau oleh masyarakat;
     d.   asas keseimbangan yaitu, bahwa penerbangan harus
     diselenggarakan    sedemikian    rupa   sehingga    terdapat
     keseimbangan yang serasi antara sarana dan prasarana, antara
     kepentingan pengguna dan penyedia jasa, antara kepentingan
     individu dan masyarakat, serta antara kepentingan nasional
     dan internasional;
     e.    asas kepentingan umum yaitu, bahwa penyelenggaraan
     penerbangan harus mengutamakan kepentingan pelayanan umum
     bagi masyarakat luas;
     f.    asas   keterpaduan  yaitu,   bahwa  penerbangan   harus
     merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, terpadu, saling
     menunjang, dan saling mengisi baik intra maupun antar moda
     transportasi;
     *8194 g. asas kesadaran hukum yaitu, bahwa mewajibkan
     kepada pemerintah untuk menegakkan dan menjamin kepastian
     hukum serta mewajibkan kepada setiap warga negara Indonesia
     untuk    selalu   sadar   dan   taat   kepada   hukum   dalam
     penyelenggaraan penerbangan;
     h.    asas percaya pada diri sendiri yaitu, bahwa penerbangan
     harus berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan
     kekuatan sendiri, serta bersendikan kepada kepribadian
     bangsa.

Pasal 3
     Cukup jelas

Pasal 4
     Sebagai negara berdaulat, Republik Indonesia memiliki
     kedaulatan penuh dan utuh di wilayah udara Republik
     Indonesia, sesuai dengan ketentuan Konvensi Chicago 1944
     tentang Penerbangan Sipil Internasional.
     Ketentuan   dalam  pasal   ini  hanya   menegaskan   mengenai
     kewenangan dan tanggung jawab negara Republik Indonesia
     untuk mengatur penggunaan wilayah udara yang merupakan
     bagian dari wilayah dirgantara Indonesia, sedangkan mengenai
     kedaulatan atas wilayah Republik Indonesia secara menyeluruh
     tetap   berlaku    ketentuan   sebagaimana    diatur    dalam
     Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok
     Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia.

Pasal 5
     Wilayah udara yang berupa ruang udara di atas wilayah
     daratan dan perairan Republik Indonesia merupakan kekayaan
     nasional sehingga harus dimanfaatkan bagi sebesar-besar
     kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.

Pasal 6
     Ayat (1)
          Kewenangan menetapkan kawasan udara terlarang merupakan
     kewenangan dari setiap negara berdaulat untuk mengatur
     penggunaan   wilayah   udaranya,  dalam  rangka   pertahanan
     keamanan negara dan keselamatan penerbangan.
          Kawasan udara terlarang dalam ketentuan ini mengandung
     dua pengertian yaitu :

          a.   kawasan udara terlarang yang larangannya bersifat
     tetap (prohibited area) karena pertimbangan pertahanan dan
     keamanan negara serta keselamatan penerbangan;
          b.   kawasan udara terlarang yang larangannya bersifat
     terbatas (restricted area) karena pertimbangan pertahanan
     dan keamanan atau keselamatan penerbangan atau kepentingan
     umum misalnya pembatasan ketinggian terbang, pembatasan
     waktu operasi, dan lain-lain.
     Ayat (2)
     *8195 Penegakan hukum terhadap ketentuan ini dilakukan
     dengan   menggunakan  pesawat   udara  Angkatan  Bersenjata
     Republik Indonesia oleh instansi yang bertanggung jawab di
     bidang pertahanan dan keamanan.
     Ayat (3)
          Cukup jelas

Pasal 7
     Ayat (1)
           Pengertian dikuasai oleh negara adalah bahwa negara
     mempunyai hak penguasaan atas penyelenggaraan penerbangan
     yang    perwujudannya    meliputi   aspek-aspek   pengaturan,
     pengendalian, dan pengawasan.
           Dalam   aspek   pengaturan,   tercakup  perumusan   dan
     penentuan kebijaksanaan umum maupun teknis yang antara lain
     berupa persyaratan keselamatan dan perizinan.
           Aspek pengendalian dilakukan baik di bidang pembangunan
     maupun operasi berupa pengarahan dan bimbingan. Sedangkan
     aspek    pengawasan    dilakukan   terhadap   penyelenggaraan
     penerbangan.
     Ayat (2)
           Cukup jelas
     Ayat (3)
           Dalam pengertian memperhatikan seluruh aspek kehidupan
     masyarakat yang meliputi aspek politik, ekonomi, sosial
     budaya, pertahanan dan keamanan, termasuk memperhatikan
     lingkungan hidup, tata ruang, energi, perkembangan ilmu
     pengetahuan dan teknologi, hubungan internasional, serta
     pengembangan potensi yang ada dalam masyarakat dalam rangka
     meningkatkan kemampuan penerbangan nasional yang lebih luas.
     Ayat (4)
           Cukup jelas

Pasal 8
     Yang dimaksud dengan mempunyai keandalan adalah kondisi
     prasarana yang siap pakai dan secara teknis laik untuk
     dioperasikan serta sarana yang laik udara.

Pasal 9
     Ayat (1)
          Yang dimaksud dengan tanda pendaftaran dalam ketentuan
     ini adalah tanda pendaftaran Indonesia atau asing.
          Pengertian dioperasikan dalam ayat ini adalah dipakai
     untuk terbang.
     Ayat (2)
          Huruf a
               Cukup jelas
          Huruf b
               Sepanjang kebutuhan angkutan udara di Indonesia
     belum terpenuhi, pesawat udara yang dimiliki oleh warga
     negara asing atau badan hukum asing, dapat didaftarkan di
     Indonesia apabila memenuhi ketentuan dalam ayat ini.
          *8196 Huruf c
               Cukup jelas
          Huruf d
               Yang dimaksud dengan lembaga tertentu antara lain
     lembaga sosial, keagamaan, pendidikan, dan olah raga.
     Sedangkan yang dimaksud dengan izin Pemerintah adalah izin
     untuk melakukan kegiatan tertentu di Indonesia dan izin
     untuk dapat menggunakan pesawat udara dalam rangka menunjang
     kegiatannya.
     Ayat (3)
          Sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan keadaan, dalam
     Peraturan Pemerintah dapat diatur mengenai bentuk-bentuk
     perjanjian lainnya yang dapat dipergunakan sebagai dasar
     untuk mendaftarkan di Indonesia, pesawat udara milik warga
     negara   asing  atau   badan  hukum   asing,  dengan   tetap
     memperhatikan ketentuan dalam Undang-undang ini.

Pasal 10
     Ayat (1)
          Cukup jelas
     Ayat (2)
          Cukup jelas
     Ayat (3)
          Yang dimaksud dengan jenis-jenis pesawat terbang
     tertentu yang merupakan hasil pengembangan teknologi antara
     lain adalah pesawat terbang sangat ringan (ultra light).
          Mengingat pengoperasian ultra light sangat terbatas dan
     terhadap ultra light tidak berlaku ketentuan Konvensi
     Chicago 1944, maka tidak diwajibkan untuk memiliki tanda
     kebangsaan.

Pasal 11
     Ayat (1)
          Cukup jelas
     Ayat (2)
          Berdasarkan  pertimbangan keamanan dan  ketertiban,
     ketentuan dalam pasal ini diberlakukan pula terhadap
     jenis-jenis pesawat udara tertentu yang ditetapkan oleh
     Pemerintah.

Pasal 12
     Ayat (1)
          Terhadap   hipotek  pesawat     terbang  dan   helikopter
     sebagaimana   dimaksud    dalam     ketentuan   ini    berlaku
     ketentuan-ketentuan hipotek dalam   Kitab Undang-undang Hukum
     Perdata Indonesia.
          Ketentuan dalam pasal ini      tidak   menutup   pembebanan
     pesawat terbang dan helikopter dengan hak jaminan lain
     sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
     Ayat (2)
          *8197 Cukup jelas
     Ayat (3)
          Cukup jelas

Pasal 13
     Ayat (1)
          Yang dimaksud dengan kata digunakan dalam ketentuan ini
     adalah dioperasikan.
     Ayat (2)
          Cukup jelas
     Ayat (3)
          Cukup jelas
     Ayat (4)
          Cukup jelas

Pasal 14
     Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencapai optimalisasi dalam
     pengoperasian pesawat udara, melalui pengaturan jenis dan
     penggunaan pesawat udara pada rute atau daerah operasi
     tertentu, dengan memperhatikan perkembangan industri pesawat
     udara dalam negeri dan perkembangan angkutan udara nasional.
     Dalam Peraturan Pemerintah diatur jenis dan penggunaan
     pesawat udara sipil untuk angkutan udara niaga dan bukan
     niaga, serta jenis dan penggunaan pesawat udara negara untuk
     Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Bea dan Cukai, dan
     lain-lain instansi.

Pasal 15
     Ayat (1)
          Cukup jelas
     Ayat (2)
          Yang dimaksud dalam keadaan darurat adalah suatu
     keadaan yang memaksa, sehingga harus dilakukan pendaratan di
     luar bandar udara yang telah ditetapkan, misalnya karena
     terjadi kerusakan mesin atau kehabisan bahan bakar atau
     cuaca buruk yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan
     apabila penerbangan tetap dilanjutkan.
     Ayat (3)
          Cukup jelas

Pasal 16
     Kegiatan yang membahayakan tersebut antara lain terbang di
     luar jalur yang ditentukan, terbang tidak membawa peralatan
     keselamatan, terbang di atas kawasan udara terlarang, dan
     juga dapat membahayakan kelestarian lingkungan hidup.

Pasal 17
     Ayat (1)
          Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah dilakukannya
     kegiatan perekaman dengan menggunakan pesawat udara yang
     dilengkapi dengan alat-alat perekam dalam bentuk *8198
     apapun, sehingga dapat membahayakan kepentingan pertahanan
     dan keamanan negara.
     Ayat (2)
          Cukup jelas

Pasal 18
     Ayat (1)
          Yang dimaksud dengan personil penerbangan adalah orang
     yang mempunyai kecakapan tertentu yang tugasnya secara
     langsung mempengaruhi keselamatan penerbangan.
     Ayat (2)
          Berdasarkan   pertimbangan    keselamatan    penerbangan,
     sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
     ini   ditetapkan  batas   waktunya,   dan   untuk   memperoleh
     perpanjangan masa berlakunya dilakukan kegiatan antara lain
     pengujian kecakapan dan pengujian kesehatan.
     Ayat (3)
          Cukup jelas

Pasal 19
     Ayat (1)
          Cukup jelas
     Ayat (2)
          Cukup jelas
     Ayat (3)
          Cukup jelas

Pasal 20
     Fasilitas   penerbangan   ialah   peralatan-peralatan  yang
     dibutuhkan langsung untuk navigasi penerbangan antara lain
     peralatan sistem pendaratan, sistem komunikasi, meteorologi
     sedangkan peralatan penunjang berupa peralatan yang tidak
     secara langsung mempengaruhi keamanan dan keselamatan
     penerbangan antara lain peralatan perbengkelan.

Pasal 21
     Ayat (1)
          Ketentuan   ini   merupakan  persyaratan   yang    harus
     diperhatikan dalam rangka keselamatan penerbangan.
     Ayat (2)
          Cukup jelas

Pasal 22
     Ayat (1)
          Pelayanan navigasi penerbangan (air navigation) dalam
     ketentuan ini antara lain terdiri dari pelayanan lalu lintas
     udara, meteorologi, komunikasi penerbangan, dan fasilitas
     bantu navigasi penerbangan.
     Ayat (2)
          Pendapatan yang diperoleh sebagai hasil pemberian
     pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam
     ketentuan    ini,   dikelola    sesuai   dengan    peraturan
     perundang-undangan yang berlaku.
     *8199 Ayat (3)
          Cukup jelas

Pasal 23
     Ayat (1)
          Yang dimaksud dengan selama terbang dalam ketentuan ini
     adalah sejak saat semua pintu luar pesawat udara ditutup
     setelah naiknya penumpang (embarkasi) sampai saat pintu
     dibuka untuk penurunan penumpang (debarkasi).
          Kewenangan yang diatur dalam Undang-undang ini untuk
     memberi landasan hukum bagi tindakan yang diambil oleh
     kapten penerbang dalam rangka keamanan dan keselamatan
     penerbangan.
     Ayat (2)
          Cukup jelas

Pasal 24
     Cukup jelas

Pasal 25
     Ayat (1)
          Cukup jelas
     Ayat (2)
          Cukup jelas
     Ayat (3)
          Cukup jelas

Pasal 26
     Ayat (1)
          Penyelenggaraan bandar udara sebagaimana dimaksud dalam
     ketentuan ini meliputi kegiatan perencanaan, pembangunan,
     pengoperasian, perawatan, dan pengawasan serta pengendalian.
     Ayat (2)
          Cukup jelas
     Ayat (3)
          Fasilitas penunjang bandar udara adalah fasilitas yang
     diperlukan untuk memperlancar arus lalu lintas penumpang,
     kargo, dan pos di bandar udara, antara lain hotel, jasaboga,
     toko, gudang, hanggar, parkir, dan jasa perawatan pada
     umumnya.
     Ayat (4)
          Dalam Peraturan Pemerintah diatur pula ketentuan
     mengenai   penggunaan  bersama   suatu  bandar   udara  atau
     pangkalan udara untuk penerbangan sipil dan penerbangan
     Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (enclave sipil dan
     enclave militer).

Pasal 27
     Ayat (1)
          Yang dimaksud dengan bandar udara khusus adalah bandar
     udara yang penggunaannya hanya untuk menunjang kegiatan
     tertentu dan tidak dipergunakan untuk umum.
     *8200 Ayat (2)
           Pengawasan dan   pengendalian  terhadap.bandar udara
     khusus tetap dilaksanakan oleh Pemerintah.
     Ayat (3)
           Dalam Peraturan Pemerintah diatur pula ketentuan
     mengenai kemungkinan penggunaan bandar udara khusus untuk
     umum.

Pasal 28
     Pengertian berada di bandar udara dalam ketentuan ini adalah
     berada tanpa izin di daerah-daerah tertentu di bandar udara
     yang   dapat    membahayakan   keamanan    dan   keselamatan
     penerbangan.
     Yang dimaksud dengan bangunan antara lain adalah bangunan
     yang secara pisik membahayakan operasi lalu lintas udara,
     yang dapat berupa gedung, tumpukan tanah, tumpukan bahan
     bangunan, atau benda-benda galian baik bersifat sementara
     ataupun bersifat tetap.
     Ketentuan ini juga berlaku terhadap bangunan yang sebelumnya
     telah didirikan atau tanaman yang kemudian ternyata dapat
     membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan.
     Yang dimaksud dengan kegiatan-kegiatan lain dalam ketentuan
     ini antara lain adalah kegiatan yang dapat mengganggu
     komunikasi penerbangan dan navigasi penerbangan.

Pasal 29
     Cukup jelas

Pasal 30
     Ayat (1)
          Tanggung jawab terhadap keamanan dan keselamatan
     penerbangan serta kelancaran pelayanan termasuk keamanan dan
     keselamatan calon penumpang dan penumpang selama berada di
     sisi udara dari bandar udara yang bersangkutan.
     Ayat (2)
          Cukup jelas

Pasal 31
     Dengan berpedoman pada struktur dan golongan tarif yang
     ditetapkan oleh Pemerintah. penyelenggara bandar udara
     menetapkan tarif dengan memperhatikan kelangsungan dan
     pengembangan usaha penyelenggara bandar udara dalam rangka
     meningkatkan mutu pelayanan.

Pasal 32
     Pengertian pencarian dan pertolongan (search and rescue)
     dalam ketentuan ini adalah pencarian terhadap pesawat udara
     dan manusia yang menjadi korban, sedangkan pertolongan hanya
     terhadap manusia.

Pasal 33
     Ayat (1)
          Cukup jelas
     *8201 Ayat (2)
          Cukup jelas

Pasal 34
     Ayat (1)
          Penelitian mengenai penyebab kecelakaan sebagaimana
     dimaksud dalam ketentuan ini, dilakukan oleh suatu panitia
     yang anggotanya terdiri dari para ahli di bidang penerbangan
     dan bidang-bidang lain sesuai kebutuhan.
          Semua keterangan atau data yang ditemukan dari kegiatan
     penelitian tidak dimaksudkan untuk mempertanggungjawabkan
     kesalahan pada pihak-pihak yang terkait, melainkan untuk
     mencegah jangan sampai terjadi lagi kecelakaan pesawat udara
     dengan penyebab yang sama.
     Ayat (2)
          Untuk   keperluan    penyelamatan   para   korban   dan
     keselamatan   penerbangan   serta   keselamatan  umum   yang
     disebabkan oleh kecelakaan dimaksud para petugas yang
     berwenang dapat melakukan tindakan merusak, mengubah letak
     pesawat udara atau mengambil bagian pesawat udara dan
     lain-lain sebelum dilakukan penelitian penyebab kecelakaan
     pesawat udara tersebut.
     Ayat (3)
          Cukup jelas

Pasal 35
     Kata   dapat  sebagaimana   dimaksud  dalam   ketentuan   ini
     mengandung pengertian bahwa bukan merupakan suatu kewajiban
     untuk mengikutsertakan wakil pemerintah tempat pesawat udara
     didaftarkan   dan/atau  wakil   perusahaan  angkutan    udara
     dan/atau wakil pabrik pesawat udara yang bersangkutan
     sebagai peninjau dalam penelitian.
     Pengertian peninjau dalam ketentuan ini adalah pengamat
     (observer) dalam pelaksanaan penelitian.

Pasal 36
     Ayat (1)
          Yang dimaksud dengan badan hukum Indonesia adalah badan
     usaha milik negara, badan usaha milik swasta, dan koperasi.
     Ayat (2)
          Kegiatan angkutan udara bukan niaga yang dilaksanakan
     oleh badan hukum Indonesia atau perorangan adalah yang
     kegiatan pokoknya bukan usaha angkutan udara dan hanya untuk
     mendukung kegiatan pokok tersebut, misalnya perusahaan
     perkebunan, perusahaan minyak, dan lain sebagainya.
     Ayat (3)
          Cukup jelas

Pasal 37
     Ayat (1)
          *8202 Yang dimaksud dengan secara berjadwal adalah
     pelayanan angkutan udara niaga dalam rute penerbangan yang
     dilakukan secara tetap dan teratur, sedangkan yang dimaksud
     dengan secara tidak berjadwal adalah pelayanan angkutan
     udara niaga yang tidak terikat pada rute serta jadwal
     penerbangan yang tetap dan teratur.
     Ayat (2)
          Penetapan jaringan dan rute penerbangan bertujuan di
     samping untuk kepentingan kelangsungan hidup perusahaan
     angkutan udara juga untuk menjamin tersedianya jasa angkutan
     udara yang diperlukan oleh pengguna jasa ke seluruh pelosok
     wilayah Republik Indonesia, termasuk jaringan dan rute
     angkutan udara perintis.
     Ayat (3)
          Penentuan jaringan dan rute penerbangan internasional
     dibicarakan dalam negosiasi perjanjian antar negara dengan
     memanfaatkan wilayah udara nasional bagi sebesar-besar
     kemakmuran rakyat.
          Delegasi   Indonesia  dalam   negosiasi  terdiri   dari
     instansi pemerintah yang terkait dan perusahaan angkutan
     udara yang akan melayani rute tersebut.

Pasal 38
     Ayat (1)
          Guna membuka isolasi dan mengembangkan semua daerah dan
     pulau terpencil, angkutan udara perintis diselenggarakan
     oleh pemerintah dengan mengikutsertakan angkutan udara niaga
     nasional yang dapat diberi kemudahan tertentu.
     Ayat (2)
          Cukup jelas

Pasal 39
     Cukup jelas

Pasal 40
     Dalam penetapan struktur dan golongan tarif angkutan udara
     niaga    domestik,   Pemerintah   memperhatikan    kepentingan
     masyarakat dan kepentingan penyelenggara angkutan udara
     niaga.
     Pemerintah    menetapkan  tarif   yang   berorientasi   kepada
     kepentingan dan kemampuan masyarakat luas, termasuk tarif
     untuk angkutan udara perintis.
     Dengan berpedoman pada struktur dan golongan tarif tersebut
     penyelenggara angkutan udara niaga menetapkan tarif yang
     berorientasi kepada kelangsungan dan pengembangan usaha
     angkutan    udara  niaga   dalam  rangka   meningkatkan   mutu
     pelayanan.
     Tarif   angkutan    udara   niaga  internasional    ditetapkan
     berdasarkan perjanjian internasional.

Pasal 41
     Ayat (1)
          *8203 Ketentuan wajib angkut ini dimaksudkan agar
     perusahaan angkutan udara niaga tidak melakukan perbedaan
     perlakuan terhadap pengguna jasa angkutan, sepanjang yang
     bersangkutan telah memenuhi persyaratan sesuai perjanjian
     pengangkutan yang disepakati.
     Ayat (2)
          Cukup jelas
     Ayat (3)
          Cukup jelas

Pasal 42
     Ayat (1)
          Pelayanan khusus bagi penumpang yang menyandang cacat
     atau orang sakit dimaksudkan agar mereka juga dapat
     menikmati pelayanan angkutan udara dengan baik.
          Yang dimaksud pelayanan khusus dalam ketentuan ini
     dapat berupa pembuatan jalan khusus di bandar udara dan
     sarana khusus untuk naik ke atau turun dari pesawat udara,
     atau penyediaan ruang yang disediakan khusus bagi penempatan
     kursi roda atau sarana bantu bagi orang sakit yang
     pengangkutannya mengharuskan dalam posisi tidur.
          Yang dimaksud dengan cacat dalam ketentuan ini misalnya
     penumpang yang menggunakan kursi roda karena lumpuh, cacat
     kaki, tuna netra, dan sebagainya.
          Tidak termasuk dalam pengertian orang sakit dalam
     ketentuan ini adalah orang yang menderita penyakit menular
     sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
     Ayat (2)
          Cukup jelas

Pasal 43
     Ayat (1)
          Huruf a
               Tanggung     jawab   perusahaan     angkutan  udara
     sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah apabila
     kematian   atau    lukanya   penumpang    diakibatkan  karena
     kecelakaan selama dalam pengangkutan udara dan terjadi di
     dalam pesawat udara atau kecelakaan pada saat naik ke atau
     turun dari pesawat udara.
               Termasuk dalam pengertian lukanya penumpang adalah
     cacat fisik dan/atau cacat mental.
          Huruf b
               Cukup jelas
          Huruf c
               Cukup jelas
     Ayat (2)
          Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyempurnakan balas
     ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 30 Ordonansi
     Pengangkutan Udara (Luchtvervoer Ordonnantie Staatsblad 1939
     No. 100).
          *8204 Besarnya ganti rugi harus selalu disesuaikan
     dengan perkembangan nilai mata uang.

Pasal 44
     Ayat (1)
          Yang dimaksud pihak ketiga adalah orang atau badan
     hukum yang tidak ada kaitannya dengan pengoperasian pesawat
     udara tetapi meninggal atau luka atau menderita kerugian
     akibat pengoperasian pesawat udara.
     Ayat (2)
          Penetapan batas ganti rugi harus selalu disesuaikan
     dengan perkembangan nilai mata uang.

Pasal 45
     Dalam hal pengangkutan udara dilakukan sebagaimana dimaksud
     dalam ketentuan ini, maka perusahaan angkutan udara yang
     melakukan   perjanjian   angkutan   dengan pengguna   jasa,
     bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh
     pengguna jasa, meskipun pelaksanaannya dilakukan oleh
     beberapa perusahaan angkutan udara.
     Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan
     pengguna jasa angkutan udara.

Pasal 46
     Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan bahwa
     dalam hal pengangkutan campuran, Undang-undang ini hanya
     mengatur ketentuan mengenai tanggung jawab pengangkut udara,
     apabila kegiatan angkutan tersebut dilakukan dalam satu
     dokumen   angkutan   udara,   sedangkan   ketentuan  mengenai
     tanggung jawab yang menyangkut moda angkutan lainnya diatur
     berdasarkan    ketentuan    mengenai   tanggungjawab   sesuai
     peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 47
     Cukup jelas

Pasal 48
     Cukup jelas

Pasal 49
     Ayat (1)
          Yang dimaksud keadaan tertentu yaitu apabila Pemerintah
     memerlukan transportasi untuk angkutan udara, sedangkan yang
     tersedia hanya pesawat udara Angkatan Bersenjata Republik
     Indonesia, maka Pemerintah dapat mengubah pesawat udara
     Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menjadi pesawat udara
     sipil sesuai dengan persyaratan pesawat udara sipil.
          Begitu juga sebaliknya apabila Pemerintah memerlukan
     pesawat udara untuk transportasi angkutan udara Angkatan
     Bersenjata Republik Indonesia, sedangkan yang tersedia hanya
     pesawat udara sipil maka pesawat udara sipil dapat diubah
     menjadi pesawat udara Angkatan                    Bersenjata
                                         *8205
     Republik Indonesia sesuai dengan persyaratan pesawat udara
     Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
          Sedangkan yang dimaksudkan dengan angkutan udara sipil
     adalah angkutan udara niaga atau bukan niaga.
     Ayat (2)
          Cukup jelas

Pasal 50
     Ayat (1)
          Cukup jelas
     Ayat (2)
          Cukup jelas
     Ayat (3)
          Cukup jelas

Pasal 51
     Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah atau setidak-tidaknya
     mengurangi sejauh mungkin gangguan yang diderita oleh
     masyarakat yang ditimbulkan oleh kebisingan bunyi mesin
     pesawat udara, baik pada waktu terbang, mendarat, tinggal
     landas maupun pada saat menghidupkan mesinnya di bandar
     udara.

Pasal 52
     Ayat (1)
          Penyidikan    pelanggaran    terhadap   Undang-undang
     Penerbangan memerlukan keahlian dalam bidang penerbangan
     sehingga perlu adanya petugas khusus untuk melakukan
     penyidikan di samping pegawai yang biasa bertugas menyidik
     tindak pidana.
     Ayat (2)
          Cukup jelas
     Ayat (3)
          Cukup jelas

Pasal 53
     Cukup jelas

Pasal 54
     Cukup jelas

Pasal 55
     Cukup jelas

Pasal 56
     Cukup jelas

Pasal 57
     Cukup jelas

Pasal 58
     Cukup jelas

Pasal 59
     *8206 Cukup jelas

Pasal 60
     Cukup jelas

Pasal 61
     Cukup jelas
Pasal 62
     Cukup jelas

Pasal 63
     Cukup jelas

Pasal 64
     Cukup jelas

Pasal 65
     Cukup jelas

Pasal 66
     Cukup jelas

Pasal 67
     Cukup jelas

Pasal 68
     Ayat (1)
          Yang   dimaksud   dengan  merusak  atau  menghilangkan
     bukti-bukti, mengubah letak pesawat udara, mengambil bagian
     pesawat udara atau barang lainnya yang tersisa akibat
     kecelakaan pesawat udara adalah setiap tindakan yang
     mengakibatkan    sulitnya   penelitian  terhadap   penyebab
     kecelakaan pesawat udara.
     Ayat (2)
          Cukup jelas

Pasal 69
     Cukup jelas

Pasal 70
     Cukup jelas

Pasal 71
     Cukup jelas

Pasal 72
     Cukup jelas

Pasal 73
      Ayat (1)
           Cukup jelas
      Ayat (2)
           Cukup jelas
*8207
Pasal 74
      Huruf a
           Ketentuan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa
      ordonansi   Pengangkutan  Udara   (Luchtvervoer Ordonnantie
      Staatsblad 1939 No. 100) tetap berlaku.
          Dalam Undang-undang ini telah dilakukan penyempurnaan
     terhadap Pasal 3, Pasal 30, dan Pasal 38 Ordonansi
     Pengangkutan Udara (Luchtvervoer Ordonnantie Staatsblad 1939
     No. 100) yang materinya telah dituangkan di dalam Pasal 43,
     Pasal 45, dan Pasal 46.
          Dalam rangka mengantisipasi perkembangan angkutan udara
     yang semakin meningkat, baik di dalam negeri maupun
     internasional,   perlu    segera   diambil   langkah-langkah
     perubahan dan penyempurnaan terhadap Ordonansi Pengangkutan
     Udara (Luchtvervoer Ordonnantie Staatsblad 1939 No. 100)
     dalam bentuk Undang-undang tersendiri.
     Huruf b
          Cukup jelas

Pasal 75
     Cukup jelas

Pasal 76
     Cukup jelas

                   --------------------------------

                               CATATAN

Kutipan:   LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1992


Silahkan download versi PDF nya sbb:
penerbangan_(uu_15_thn_1992)_15.pdf
(ogi/Carapedia)
Tambahkan komentar baru
Komentar Sebelumnya (0)
Belum ada komentar untuk produk ini.